Upload
s-rofiah-sh-mh
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
1/85
1
1
1.1
Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa
daerah setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara
formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturan-
aturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok
masyarakat tersebut.
Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa
merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga kecamatan menjadi instrumen
koordinator dari penguasa supra desa (Negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah).
Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh bumi
nusantara sebagai suatu kesatuan negara,1 urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah
urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma
atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum
yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai
hukum adat. Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang
1 Lihat alinea terakhir Pembukaan UUD NRI 1945: untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia, maka disusunlah susunan negara Republik Indonesia .
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
2/85
2
hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan
(dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai
pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Urusan yang demikian,
dalam teori dan praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal
sebagai urusan asal-usul.
Dalam perkembangannya, setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia, urusan
desa menjadi bertambah, antara lain dengan masuknya urusan-urusan yang timbul karena
adanya pemerintahan negara sebagai kekuasaan supra desa. Dalam hal ini Pemerintah, baik
secara langsung dan dengan tugas pembantuan ataupun melalui pemerintah daerah
dengan desentralisasi otonomi,memerlukan bantuan dari desa untuk menyelenggarakan
urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat akar rumput (grass roots).
Deskripsi di atas disimpulkan secara umum dari kondisi serta pengaturan yang
pernah ada sejak masa sebelum datangnya kekuasaan penjajahan kolonial hingga saat ini.
Berbagai periode kekuasaan dan pengaturan telah dilalui oleh desa dalam perjalanan yang
sangat panjang. Dalam hal pengaturan, disamping tumbuh dan berkembangnya adat istiadat
serta prakarsa masyarakatnya, berbagai kepentingan politik penguasa di tingkat supra desa
telah pula ikut mewarnai pengelolaan desa dan masyarakatnya. Namun demikian, karena
pada dasarnya keberadaan desa sangat tergantung pada kehendak masyarakat pengelolanya,
maka sistem pengelolaan desa yang berkembangpun menjadi sangat beragam.
Dalam literatur modern di Indonesia, sistem pengelolaan desa secara formal tercatat
sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan dikeluarkannya dua peraturan
perundang-undangan, yaitu: Staadsblad No. 83 Tahun 1906 tentang Indische Gemeente
Ordonantie(IGO) yang berlaku bagi desa-desa di pulau Jawa dan Madura, dan Staatsblad
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
3/85
3
No. 683 Tahun 1938 tentang Indische Gemeente Ordonantie Buitengevesten(IGOB) yang
berlaku bagi desa-desa di luar pulau Jawa dan Madura. Kedua peraturan tersebut banyak
menyerahkan persoalan masyarakat desa kepada hukum adat masing-masing.
Kemudian setelah merdeka, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum amandemen) dalam Penjelasannya
mencantumkan:
Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250zelfbesturendelandschappen
dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan olehkarenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Dalam paragraf berikutnya dari Penjelasan UUD 1945 tersebut, dinyatakan:
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut.
Atas dasar Penjelasan UUD 1945 inilah, 3 tahun kemudian dibuat pengaturan
tentang desa yang dimasukkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dimana desa digolongkan sebagai pemerintah daerah tingkat III.
Penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1948 menyebutkan alasan untuk mengatur desa
sebagai daerah tingkat ketiga:2
Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonoom yang terbawah ialah desa,
negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalamlingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau.
Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi
negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya,
diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi
untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya).
Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa,
karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai
2 Dalam Undang-Undang ini, kepala desa diangkat oleh gubernur dari empat calon yangdiajukan oleh dewan desa.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
4/85
4
keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah
tidak hidup lagi.
Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya adat yang
hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena
kepentingan penjajah menghendaki itu.
Perkembangan selanjutnya, dibawah rezim Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950, UU No. 22 Tahun 1948 diganti dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Penjelasan Umum Undang--Undang ini (Ad. 2)
dinyatakan:
Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari pengertian setempatmengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang paling bawah, yang kita namakan kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya
bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu
macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan
masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal, mempunyai daerah
sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, sedangkan
hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya "homogeen". Lain coraknya
umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk
yang bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi
dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing
mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula
mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula huta-
huta yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri.
Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang
"homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan masyarakat
hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan
dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang masing-masing suku merupakan pula
satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya
yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan
nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat mutlak dalamsistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat yang berdiam
dalam suatu lingkungan yang nyata.
Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk
menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga
kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada
kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah
administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi.
Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-
bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada.
Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi ituhendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
5/85
5
faktor-faktor pengikut kesatuannya.
Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat
diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung
dengan hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai
dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwaurusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat, sehingga manakala sesuatu
kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan
ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-
kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi
hukum-adat yang bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat
hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan
dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.
Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan
adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu secara yang
memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam sistimhukum-adat itu.
Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah daerah tingkat
III berubah dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang
ini menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Daerah Tingkat III adalah
Kecamatan/Kotapraja. Namun karena persoalan desa tidak diatur di dalamnya, sebagai
pendamping bagi UU No. 18 Tahun 1965 tersebut dikeluarkan pula UU No. 19 Tahun 1965
tentang Desapraja,3 yang mengatur bahwa desapraja tidak dianggap sebagai tingkat
pemerintahan daerah sebagaimana halnya Provinsi, Kabupaten/Kotamadya dan
Kecamatan, karena dianggap memiliki perbedaan mendasar, yakni adanya otonomi asli
yang sudah hidup secara turun temurun dan menyatu dalam kehidupan masyarakat sebelum
terbentuknya Negara. Namun sayangnya, karena alasan politik tertentu dari penguasa pada
saat itu (rezim Orde Baru), keberlakuan Undang-undang tentang Desapraja ini
ditangguhkan, yang menyebabkan selama lebih kurang 14 tahun sampai munculnya UU
3 UU No 19 Tahun 1965 disahkan empat minggu sebelum peristiwa Gerakan 30 September
1965. Judul lengkap Undang-Undang ini adalah Undang-undang tentang Desapraja sebagai
bentuk Peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayahRepublik Indonesia.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
6/85
6
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang desa menjadi kosong. Dalam situasi kekosongan hukum tersebut,
praktis hanya hukum adatlah saat itu yang menjadi pegangan bagi kesatuan masyarakat
yang hidup di desa, mirip seperti sebelum berkuasanya pemerintah kolonial di bumi
Nusantara. Seperti alasan dipisahkannya pengaturan tentang desa dalam UU No. 19 Tahun
1965 dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
juga dimaksudkan sebagai pendamping bagi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dalam mengatur pengelolaan wilayah masyarakat terkecil secara
formal. Akan tetapi, meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan
menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini
yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-
istilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan
hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa,
terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah menyeragamkan bentuk
dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. Demi tujuan penyeragaman tersebut bahkan
Pemerintah saat itu melakukan regrouping terhadap beberapa desa. Sebagaimana pernah
dinyatakan oleh salah seorang tokoh adat di Kabupaten Sanggau di bawah ini:4
Dahulu ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, banyak kampung-kampung yangdiregrouping menjadi desa. Hal ini untuk memenuhi syarat menjadi desa. Akhirnya banyak
kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan untuk ke desa pengembangan
4 BP LAPPERA, Mempertegas Identitas dengan Kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung:
Pengalaman Masyarakat Sanggau Mengupayakan Perda Sistem Pemerintahan Kampung,
2002 dalamAnalisis Klausul-klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004: Menutup
Pintu yang terbuka, Paramita Iswari (disampaikan pada diskusi Mendudukkan Otonomi
Asli dengan Memanfaatkan Momentum Politik Otonomi Daerah dalam rangka Penataan
Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat, dalam rangka memperingati Hari
Masyarakat Adat Nusantara, yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat AdatKalimantan Barat di Hotel Merpati, Pontianak, 16 Maret 2005),.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
7/85
7
(pusat desa) warga masyarakat harus menempuh jarak berjam-jam hanya untuk mengurus
surat ijin dari kepala desa.
Sebagian kalangan, ada yang menilai bahwa Undang-undang tersebut merupakan
upaya jawanisasi.5 Ada pula yang mensinyalir, bahwa yang menjadi alasan utama
Pemerintah pada waktu itu dalam melakukan penyeragaman tersebut adalah demi
terkendalinya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga ke
tingkat pedesaan dimana hidup para petani yang menjadi basis kekuatan komunisme saat
itu, yang dianggap sebagai ancaman utama bagi tegaknya negara yang berdasarkan asas
ketuhanan(sila pertama Pancasila). Dalam perkembangannya, penyeragaman pengelolaan
desa tersebut telah banyak mematikan kehidupan demokrasi di tingkat desa. Dengan
penyeragaman, Orde Baru sebagai penguasa waktu itu telah menjadikan desa sebagai
instrumen untuk mempertahankan tirani kekuasaan.
Selanjutnya dengan bergulirnya arus reformasi tahun 1998 yang meruntuhkan
kekuasaan rezim Orde Baru, lahirlah suatu undang-undang baru di bidang pemerintahan
daerah yang isinya diupayakan dibuat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi
tuntutan utama dari Gerakan Reformasi, yakni Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah,yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat ini. Namun demikian,
meskipun kedua undang-undang itu sudah mengatur tentang desa dalam satu bab khusus,
ternyata hal ini belum cukup memuaskan masyarakat desa itu sendiri.
5 Yang dimaksud dengan Jawanisasi disini adalah menerapkan model desa Jawa untuk
kesatuan masyarakat adat di luar Jawa. Hal ini terlihat dari definisi desa oleh UU No 5
Tahun 1979: Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
persatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri. Definisi ini tidak memberikan kebebasan kepada desa-desa diluar pulau
Jawa untuk memakai bahasa daerah sendiri dalam penyebutan istilah desa, yang telahdikenal dan melekat pada kehidupan mereka secara turun temurun.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
8/85
8
Sebenarnya, UU No. 22 Tahun 1999 telah memberikan pengakuan terhadap
keragaman dan keunikan desa sebagai self-governing community. Hal ini terlihat dari
definisi desa yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-undang ini, yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pada UU ini, tidak ada lagi penyeragaman penggunaan istilah. Penggunaan istilah
dalam bahasa daerah mendapat ruang kebebasan.6Kemudian ada beberapa ketentuan lain
yang juga memberikan kebebasan dalam sistem penataan dan pengelolaan desa.7 Secara
normatif, UU No. 22 Tahun 1999 sudah tidak lagi menempatkan desa sebagai bentuk
pemerintahan terendah di bawah kecamatan semata, melainkan juga sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
sesuai hak asal-usul dan adat-sitiadat setempat. Implikasinya adalah, desa berhak
membentuk regulasi desa sendiri untuk mengelola kehidupan di desa. Dengan demikian,
Undang-Undang ini diharapkan dapat membangkitkan wacana, inisiatif, dan eksperimen
otonomi desa, sekaligus mendorong bangkitnya identitas lokal daerah.
Meskipun demikian, UU No. 22 Tahun 1999 bukannya tanpa kelemahan. Beberapa
kesalahan dapat dilihat dalam perumusan judul bagian8 dan definisi. Dalam Undang-
6 Dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan: Istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat
seperti nagari, kampong, huta, bori dan marga.
7 Perhatikan penjelasan pasal-pasal 94, 95, 96, 100, 105 ayat (3), dan 110 UU No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
8 Bagian kerjasama dalam UU No.22 Tahun 1999 menggunakan judul yang salah, yaitu
Kerjasama Antar Desa. Seharusnya judulnya adalah Kerjasama Desa saja sebagaimana
digunakan dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena isinya tidak
hanya mengenai kerjasama antar desa saja tetapi juga kerjasama antara desa dengan pihaklainnya (Pasal 110 UU No.22 Tahun 1999).
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
9/85
9
Undang ini, desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum, ... berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat padahal dalam kenyataannya banyak sekali desa
dengan masyarakat yang memiliki dari lebih dari satu kesatuan masyarakat hukum adat
(seperti di Maluku dengan orang Ambon dan orang Buton), dan banyak juga desa yang
tidak lagi mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat, serta juga ada wilayah kesatuan masyarakat hukum adat dengan batasan berbeda
dengan batasan wilayah desa.
Pada Undang-Undang ini, tidak tergambarkan bahwa desa juga dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan (urusan pelayanan dan pembangunan) yang sesuai
dengan keinginan masyarakat desa guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat desa dengan memperhatikan faktor-faktor perlindungan/kelestarian lingkungan
hidup9yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa di masa depan. Sebenarnya ada
satu ketentuan dalam Undang-Undang ini yang mencoba memberikan solusi terhadap
permasalahan ini, yakni Pasal 99 huruf b, namun masih belum cukup untuk memberikan
pemecahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa desa memiliki kewenangan yang
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan
Pemerintah. Dari perumusan ini memang bisa saja diartikan bahwa pendelegasian urusan
pemerintahan terjadi secara otomatis, sepanjang belum dilaksanakan oleh Daerah dan
Pemerintah. Akan tetapi di sisi lain dapat pula berarti bahwa apabila Daerah dan
Pemerintah telah melaksanakannya, maka urusan itupun dengan sendirinya tidak dapat lagi
dilaksanakan oleh desa. Hal ini tidak fair bagi desa, karena dalam prakteknya akan
menyulitkan desa dimana desa tidak memiliki bargaining positionuntuk meminta, menolak
9 Masalah kelestarian lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 215 ayat (2) butir d UUNo.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
10/85
10
atau mempertahankan urusan tersebut karena alasan kondisi dan tingkat kemampuan
sumber daya, baik sumber daya manusia maupun finansial.
Untuk memecahkan persoalan di atas, seharusnya ada prinsip yang jelas untuk
dijadikan dasar atau pegangan bagi desa untuk bisa meminta, menolak ataupun
mempertahankan urusan-urusan pemerintahan, yang sebenarnya merupakan urusan
pemerintah daerah dan/atau Pemerintah. Desa harus bisa menjadi subyek bagi urusan-
urusan yang akan dikelolanya, bukan hanya menjadi obyek. Prinsip tersebut harus dapat
menempatkan posisi desa sejajar dengan pemerintah, bukan sub-ordinatif, sehingga
hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang bersifat kemitraan, dimana tidak ada
unsur pemaksaan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Dengan prinsip ini desa juga dapat
mempertahankan urusan pelayanan dan pembangunan yang merupakan urusan asal-
usulnya. Yang harus diciptakan dengan prinsip ini adalah pemerintah daerah dan/atau
Pemerintah hanya dapat mendelegasikan kewenangan atau urusannya kepada desa setelah
mendapat persetujuan dari masyarakat desa melalui penyelenggara desa, dan demikian pula
sebaliknya pihak desa baru dapat melaksanakan urusan pemerintahan yang mereka anggap
sebagai otonomi asli milik desa setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah. Kedua
hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan faktor kehendak dan
kesiapan/kemampuan desa10
. Memang, setelah berlakunya UU No.22 tahun 1999, ada
peraturan pemerintah (PP) yang lahir sebagai peraturan pelaksana, yakni PP No. 76 Tahun
10 Dalam prakteknya nanti, guna menghindari subyektifitas penilaian baik dari pihak desa
maupun pihak pemerintah, maka diperlukan adanya suatu lembaga independen untuk itu
yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak (satake holders)yang mempunyai kepentingan
terhadap desa yang berkedudukan di tiap-tiap kota atau ibukota kapubaten, yang dalam
Naskah Akademik ini diusulkan diberi nama Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi Desa(KOMISI DESA).
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
11/85
11
2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Namun PP ini juga tidak
menyebutkan secara jelas prinsip yang dimaksud dalam uraian di atas.
Kelemahan lainnya yang dapat dicatat adalah sebagaimana dirumuskan pada
definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999, bahwa desa hanya terdapat di kabupaten.
Seharusnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang dapat mengatur dan mengurus
dirinya sendiri, desa tidak hanya terdapat di wilayah kabupaten, sehingga di dalam wilayah
kota bisa saja terdapat desa, meskipun disuatu kawasan tertentu telah ada satuan wilayah
kerja pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) dibawah kecamatanyang disebut
kelurahan. Hal ini seharusnya bisa terjadi karena desa sebenarnya bukanlah wilayah kerja
pemerintah kota. Dasar pemikiran ini terkait pula dengan pemikiran bahwa pemerintah desa
sebenarnya bukanlah pemerintah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikenal
dalam istilah Pemerintah (Pusat) ataupun pemerintah daerah. Konstitusi Indonesia (UUD
NRI 1945) yang berlaku saat ini tidak menyebutkan bahwa Pemerintah Desa adalah
pemerintah. Yang disebut Pemerintah dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 hanyalah Pemerintah
(Pusat) dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pemerintah desa hanyalah
organisasi yang dibentuk oleh masyarakat desa untuk menyelenggarakan (mengatur dan
mengurus) urusan umum yang menyangkut kepentingan masyarakat desa dan individu yang
berada dan/atau mempunyai kepentingan di desa. Sehingga dalam implementasinya, di
dalam wilayah kecamatan bisa saja terdapat kelurahan sekaligus desa. Sebagai
perbandingan, dapat dilihat keadaan yang ada di Bali, dimana di dalam wilayah kecamatan
bisa terdapat desa administrasi sekaligus desa adat. Desa administrasi mungkin bisa
dianalogikan sebagai kelurahan di kota, tetapi perbedaannya desa administrasi di Bali
adalah organisasi yang dibentuk dan diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat dan
bisa terdapat dimana saja (kota dan kabupaten), sedangkan kelurahan adalah bagian dari
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
12/85
12
dan dibentuk oleh organisasi pemerintah daerah dan hanya terdapat di wilayah perkotaan.
Disamping itu, dengan menetapkan bahwa desa hanya terdapat di kabupaten, maka banyak
desa-desa yang dikota secara dipaksakan diubah menjadi kelurahan, tanpa memperhatikan
aspirasi dari masyarakat desa.
Adanya kelemahan pada UU No. 22 Tahun 1999 telah mendorong pemerintah untuk
merevisinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sangat
disayangkan, UU No. 32 Tahun 2004 inipun tidak terlalu menyelesaikan permasalahan
tentang desa yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, karena desain desentralisasi
yang dimiliki UU No. 32 Tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki UU No. 22
Tahun 1999. Memang sudah ada sedikit perbaikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.72
tahun 2005 tentang Desa yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 32 Tahun 2004.
Pasal 9 ayat (1) PP itu menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi
kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa ... diatur denganPeraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.
Namun ketentuan tersebut belum memberikan prinsip dasar yang dimaksud dalam
uraian di atas (kesetaraan), yang seharusnya diatur dalam peraturan pada tingkat undang-
undang, yang berlaku secara nasional. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) PP No.72 tahun 2005
menyatakan: Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta
sumber daya manusia.11
Namun sekali lagi, ketentuan ini juga belum dianggap cukup
untuk memberikan prinsip dasar tentang kesetaraan tersebut, karena hanya memberikan
11 Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Penjelasan Pasal 100 UU No.22 Tahun 1999.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
13/85
13
aturan mengenai power untuk melakukan penolakan, belum untuk meminta dan
mempertahankan.
Satu kelemahan lain yang cukup signifikan dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah
ketentuan Pasal 200 ayat (3) yang menyebutkan:
Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan
permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
Meskipun ketentuan ini telah mengadopsi perhatian terhadap usul dan prakarsa
pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa, namun pengaturan bahwa desa
dapat diubah menjadi kelurahan adalah tidak tepat, dan tidak ada penjelasan mengapa
kelurahan diasumsikan lebih sesuai. Keresahan lainnya adalah adanya ketentuan yang
cenderung meningkatkan kontrol pemerintah terhadap desa, yaitu ketentuan Pasal 202 ayat
(3) yang menetapkan bahwa seorang sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ketentuan ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan sekretaris desa kepada kepala desa
sebagai atasannya, akan tetapi ia hanya akan patuh kepada kekuasaan yang mengatur dan
bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai PNS, yang jelas-jelas bukanlah kepala desa tapi
pejabat di jajaran perangkat pemerintah daerah.
Ketidak puasan masyarakat desa akan peraturan perundang-undangan yang ada, kini
telah berujung pada tuntutan bahwa desa seharusnya tidak diatur satu paket dalam undang-
undang tentang pemerintahan daerah, akan tetapi hendaknya diatur dalam undang-undang
tersendiri yang khusus mengatur tentang Desa. Disamping alasan yang telah diuraikan di
atas, berbagai alasan lain juga melatarbelakangi tuntutan itu, seperti: dianggap bahwa desa
masih kurang diperhatikan oleh pemerintah; pemerintahan desa tidak sama hakikatnya
dengan pemerintah daerah, yang otonominya diberikan secara total oleh Pemerintah Pusat;
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
14/85
14
tidak jelasnya kedudukan desa dalam sistem pemerintahan negara; serta sangat kurangnya
pengalokasian anggaran negara bagi penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa.
Dengan fakta-fakta di atas yang dianggap menjadi alasan-alasan utama, Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini mencoba mencarikan jalan keluar
bagi permasalahan-permasalahan tersebut dengan merumuskan suatu rancangan undang-
undang (RUU) tersendiri tentang desa. Adapun pokok-pokok pemikiran yang ingin dimuat
dalam RUU tersebut adalah hal-hal yang menyangkut:
1. Ketentuan umum,
2. Keberadaan dan pembentukan desa,
3. Pembagian kewenangan antara daerah dan desa,
4. Sumber keuangan desa,
5. Penyelenggara Desa (Kepala Desa dan Dewan Perwakilan Masyarakat Desa)
dan Pengurus Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa).
6. Musyawarah desa,
7. Pemilihan desa,
8. Lembaga-lembaga desa,
9. Peraturan desa dan keputusan kepala desa,
10. Pengelolaan keuangan dan kinerja desa,
11. Kerjasama,
12. Penyelesaian perselisihan,
13. Pengawasan, pembinaan dan pertimbangan otonomi desa,
14. Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah di desa,
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
15/85
15
15. Ketentuan pidana,
16. Ketentuan peralihan, dan
17.
Ketentuan penutup.
Selanjutnya naskah akademikini akan menguraikan hal-hal yang akan diatur dalam
pokok-pokok pikiran tersebut, yang nantinya akan dituangkan sebagai bab-bab dalam suatu
rancangan undang-undang.
1.2
Tujuan dibuatnya naskah akademik ini adalah:
1. Mengkaji dan menganalisa upaya memberdayakan desa agar terwujud desa
sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik,
berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
2. Merumuskan konsep desa ideal yang menjamin terwujudnya desa yang
berperan dalam pembangunan nasional.
3. Memberikan alasan-alasan ilmiah yang diperlukan bagi pembentukan
Rancangan Undang-Undang tentang Desa (RUU Desa) yang memuat peraturan
mengenai penyelenggaraan tata kelola desa, yang wilayahnya merupakan
bagian dari kabupaten/kota yang didiami masyarakat sipil.
1.3
Pendekatan Penelitian dan Tipe Pemaparan
Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan 2
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
16/85
16
(dua) metode penelitian. Pertama, metode yuridis normatif yang memusatkan perhatian
pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan tentang desa, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang
ditambah wawasan dari peraturan perundang-undang yang berlaku sebelumnya, sejak
jaman pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi.
Dengan demikian penelitian Naskah Akademik ini merupakan penelitian doktrinal dengan
optik prescriptive(bersifat memberi petunjuk atau menjelaskan) guna menemukan kaidah
hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis dari subyek dan
obyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu.
Kedua, di samping peraturan perundang-undangan diatas, penelitian ini menjangkau
pula pandangan masyarakat terutama masyarakat desa dan peran pemerintah dalam bentuk
kebijakan nasional tentang desa yang menjadi topik utama penelitian. Pada tingkat ini,
penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Metode ini mengacu pada prosedur
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang data secara mendalam
dan holistik. Adapun tipe pemaparan yang digunakan naskah akademis ini bersifat
deskriptif-analitis, sehingga kajian yang dilakukan dan uraian yang diberikan dapat menjadi
acuan komprehensif bagi penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Desa.
Data Penelitian
Data dalam penelitian yang digunakan berupa data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group Dissucion(FGD) / konsinyering
dan pembahasan dengan anggota DPD RI yang mengundang secara langsung para
pemangku kepentingan (stakeholders) desa, diantaranya pemerhati desa dan ilmuwan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
17/85
17
bidang hukum adat dan pemerintahan yang berasal dari beberapa perguruan tinggi serta
konsultasi dengan nara sumber terpilih. Data primer juga diambil dari pertemuan-
pertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengurus permasalahan desa.12
Sedangkan data sekunder yangdigunakan dalam proses penyusunan naskah akademik ini
adalah bahan-bahan kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yang mencakup:
1. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan
yangberlaku, khususnya UUD NRI Tahun 1945, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP
72 Tahun 2005. Juga bahan hukum primer yang berupa ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang mengikat pada masa lampau, termasuk UU No. 22
Tahun 1948, UU No. 19 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1979 dan UU No. 22
Tahun 1999.
2. Bahan kepustakaan akademis, seperti hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel dan sebagainya;
3. Bahan kepustakaan lain, berupa kamus, internet, surat kabar, dan sebagainya.
12 LSM yang hasil pertemuannya dijadikan masukan bagi Naskah Akademis ini antara lain
adalah Forum Warga KAUKUS 17++ dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia(Apdesi).
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
18/85
18
2
Yang dimaksud dengan penyempurnaan dari judul bab ini adalah perubahan
terhadap ketentuan-ketentuan pengaturan tentang desa yang terdapat dalam Bab XI UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri atas enam Bagian (Umum;
Pemerintah Desa; Badan Permusyawaratan Desa; Lembaga Lain; Keuangan Desa; dan
Kerjasama Desa) dan 17 Pasal (200 216) serta penambahan segala pengaturan yang baru
yang belum diatur oleh UU tersebut, yang mencakup hal-hal dibawah ini dimana pasal-
pasal hasil perubahan dan penambahan tersebut dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip yang
akan dianut dalam UU tentang Desa. Dalam melakukan penyempurnaan tersebut akan
diperhatikan segala ketentuan yang sudah ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72
Tahun 2005 tentang Desa. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No.32 Tahun 2004 dan
PP No. 72 Tahun 2005 yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut dalam
UU tentang Desa akan tetap diadopsi. Sehingga UU tentang Desa yang baru bukanlah suatu
produk peraturan baru yang mengadakan perubahan total terhadap produk peraturan yang
lama, akan tetapi hanya memperbaiki aturan-aturan yang dianggap kurang tepatdan
menambahkan aturan-aturan baru yang memang dibutuhkan dengan menggunakan
prinsip-prinsip atau asas-asas penyelenggaraan tata kelola desa yang tepat dan jelas,
demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa. Dengan demikian,
secara singkat dapat dikatakan, bahwa isi UU tentang Desa adalah gabungan dari
ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
19/85
19
yang telah mengalami penyempurnaan. Namun demikian, walaupun sebagian ketentuan-
ketentuan dalam PP No. 72 Tahun 2005 akan menjadi bagian dari UU tentang Desa, teori
tentang tentang materi muatan undang-undang tetap harus diperhatikan. Artinyaketentuan-
ketentuan yang ada dalam PP tersebut yang bukan merupakan materi muatan
undang-undang tidak dapat dimasukkan ke dalam UU tentang Desa yang akan dibuat.
Ketentuan-ketentuan demikian akan tetap menjadi materi muatan dari PP yang akan
menjadi peraturan pelaksana dari UU tentang Desa.
2.1
Definisi
Persoalan definisi yang akan menjadi Bab tentang Ketentuan Umum dari UU
tentang Desa yang baru dapat dikatakan merupakan bagian yang paling menentukan. Dalam
RUU tentang Desa nantinya, desa didefinisikan sebagai berikut. Desa,yang disebut dengan
istilah sesuai dengan bahasa daerah setempat, adalah bagian wilayah kecamatan dengan
batas-batas yurisdiksi tertentu, bersama masyarakat yang berdiam didalamnya, yang
membentuk kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul/adat istiadat dan/atau prakarsa masyarakat
setempat, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan yang diakui Pemerintah sebagai Desa. Dari definisi yang diusulkan ini,
terdapat 3 hal yang baru.Pertama, bahwa yang menjadi dasar bagi masyarakat desa dalam
mengurus rumah tangganya tidak hanya asal-usul/adat istiadat, melainkan mereka juga
dapat menggunakan prakarsa atau inisiatif yang berkembang. Agar dapat dijalankan, maka
asal-usul/adat istiadat dan prakarsa tersebut harus diakui dan dihormati (recognised) oleh
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
20/85
20
negara/pemerintah dalam bentuk kesepakatan antara masyarakat desa dengan pemerintah,
yang dituangkan dalam wujud peraturan daerah mengenai kewenangan desa. Selanjutnya
tentu timbul pertanyaan, mengapa harus dengan kesepakatan? Jawabannya adalah karena
desa bukanlah sub-ordinasi dari pemerintah. Artinya, kedudukan desa berada di luar atau
tidak dibawah pemerintah. Akibatnya, sebagai organisasi yang independen, kesatuan
masyarakat desa bebas melakukan kewenangan apa saja selama masih dalam koridor
hukum positif nasional. Namun karena wilayah yang akan digunakan untuk melakukan
kewenangan tersebut pada dasarnya adalah wilayah negara yang diserahkan pengelolaannya
kepada daerah otonom (kapubaten/kota) tertentu, maka agar dapat diakui, dihormati dan
dilindungi oleh negara, kewenangan masyarakat desa harus diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, menurut hukum yang berlaku saat ini (UU No. 32
Tahun 2004), peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan
masyarakat adalah domain dari pemerintah daerah, yaitu peraturan daerah (perda).
Mengenai kewenangan apa saja yang dapat diakui, hal inilah yang perlu dirumuskan
bersama antara pemerintah dengan masyarakat desa dalam kedudukan yang sejajar. Dalam
hukum perdata, pemerintah dan masyarakat desa dapat diibaratkan sebagai para pihak yang
membuat perjanjian.
Lebih jelasnya, pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan tata kelola desa
(disingkat penyelenggaraan desa), atau yang dikenal selama ini sebagai pemerintahan
desa, sebenarnya bukanlah suatu bentuk pemerintahan daerah sebagaimana halnya
provinsi dan kabupaten/kota, yang kewenangannya diperoleh karena otonomi yang
diberikan secara total oleh Pemerintah. Di sini, desa yang sebenarnya adalah lembaga yang
dibentuk oleh masayarakat sipil mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah.
Oleh karena itu bentuk hubungan kemitraanberlaku dalam hal mengatur dan mengurus
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
21/85
21
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah - baik
pusat maupun daerah kabupaten/kota - dapat dinon-pemerintahkan (dikembalikan kepada
masyarakat desa untuk dijadikan urusan desa) melalui kesepakatan antara pemerintah
dengan penyelenggara desa, berdasarkan kemampuan, kinerja dan kondisi desa. Demikian
pula sebaliknya, urusan desa yang dapat digolongkan sebagai urusan pemerintahan yang
telah dilaksanakan secara turun-temurun sebagai urusan asal-usul, juga harus disetujui
terlebih dahulu oleh pemerintah untuk dapat terus dipertahankan guna dilaksanakan oleh
penyelenggara desa, baik supaya dapat diakui dan dihormati, maupun agar dapat diberi
subsidi. Prinsip kesepakatan ini bahkan juga berlaku bagi urusan adat istiadat yang
mendapat subsidi dari negara.
Sifat obyektif aspiratif dan bottom up yang merupakan ciri utama demokrasi akan
lebih muncul jika dibandingkan dengan bila desa dianggap sebagai bagian dari
Pemerintah/pemerintah daerah (di bawah kecamatan). Lagipula, jika desa ditempatkan
sebagai bagian dari pemerintah daerah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin, karena di
desa terjadi proses demokrasi lewat pemilihan desa (pemilihan kepala desa dan
pemilihan dewan perwakilan masyarakat desa (DPMD)13
dan aparat perangkat desa
bersama relawan berasal dari unsur-unsur masyarakat yang bukan Pegawai Negeri Sipil
(PNS).14
Hal ini berbeda dengan kelurahan, yang menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan wilayah kerja dari pemerintah daerah (dalam hal ini
kelurahan merupakan bagian dari wilayah kecamatan), dimana kepala dan perangkat
13 Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD) adalah istilah yang diusulkan untuk
mengganti Badan Permusyawaratan Desa, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tujuan untuk menghindari kerancuan dengan
penggunaan istilah pemerintahan yang sebenarnya.
14 Status kepegawaian di desa dapat disamakan dengan yang berlaku pada lembaga swadayamasyarakat biasa.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
22/85
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
23/85
23
disingkat dengan Komisi Desa), yang para anggotanya terdiri dari berbagai unsur
masyarakat yang berasal dari dalam dan luar desa17
, yang ingin bekerjasama secara sukarela
demi kepentingan, kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa yang
terdapat dalam suatu kabupaten/kota. Dengan penilaian secara berkala yang obyektif,
diharapkan masyarakat desa benar-benar dapat mengatur dan mengurus urusan yang
memang mampu mereka laksanakan berdasarkan kehendak sendiri dan bukan merupakan
paksaan sepihak, baik dari sisi desa ataupun dari pihak pemerintah. Kalaupun rakyat di desa
itu tidak atau belum/kurang menyadari potensi yang mereka miliki, maka Komisi Desa
akan memberi rekomendasi kepada penyelenggara desa dan pemerintah daerah tentang
dukungan (encouragement) dan pembinaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kepercayaan diri mereka. Pola hubungan pemerintah daerah dengan penyelenggara desa
tersebut diatas dapat digambarkan dengan skema berikut:
Gambar 1: Penyelenggara DESA sebagai lembaga masyarakat dengan kekuasaan
sebagai MITRA dari pemerintah daerah
DAERAH DESA
17 Diusulkan dalam setiap Komisi Desa hanya perlu sekitar lima sampai dengan sepuluh orang
anggota, dengan staf maksimal 20 orang untuk kabupaten/kota yang besar dan 10 oranguntuk kabupaten/kota yang kecil.
CAMAT
Bupati/WalikotaDPRD Kepala Desa DPMD
MASYARAKAT
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
24/85
24
Kedua, hal baru yang terkandung dalam definisi yang diusulkan tersebut adalah
selain memiliki kewenangan untuk mengelola hak dan kewajiban yang berasal dari asal-
usul/adat-istiadat dan/atau prakarsa sendiri, masyarakat desa juga dapat menyelenggarakan
urusan pelayanan dan pembangunan, yang juga harus diatur dengan peraturan daerah
seperti proses yang diuraikan di atas (dengan kesepakatan). Ketiga,keberadaan desa harus
secara nyata diakui oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan (dalam
hal ini Peraturan Daerah). Bila proses kesepakatan ini tidak dilakukan, maka suatu desa
menjadi tidak berhak menerima bagian keuangan negara, baik dalam bentuk Alokasi
Dana Desa (ADD) maupun dana-dana yang diberikan berdasarkan asas pembantuan dan
hibah, termasuk dari pemerintah daerah. Permasalahan yang mungkin timbul dari ketentuan
ini diantaranya adalah terdapatnya beberapa daerah yang berdasarkan kebudayaan setempat
memiliki lebih dari satu sistem kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai wilayah,
seperti halnya di Sumatra Utara, dimana selain ada Huta juga ada wilayah masyarakat
hukum adat yang disebut Kuria, yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Huta.
Dalam hal ini tentunya harus dicari solusi yang terbaik berdasarkan kesepakatan diantara
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri, seperti pemilihan salah satu di antara
keduanya yang harus diputuskan untuk diakui oleh Pemerintah sebagai Desa ataupun
dengan cara pembagian urusan diantara mereka sendiri. Keberadaan desa adat dan desa
admistratif seperti di Balipun dapat diakomodir untuk mendapatkan ADD yang disalurkan
lewat APBD, asalkan urusan-urusannya ditetapkan terlebih dahulu melalui kesepakatan
antara desa-desa tersebut dengan pemerintah daerah.
Sementara itu sistem tata kelola desa secara internal harus diatur dengan
memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Disamping pengurus desa yang
berfungsi sebagai pemerintah desa, keberadaan lembaga-lembaga lain dapat dipertahankan.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
25/85
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
26/85
26
pemerintah desa.18
Seharusnya hal ini dicantumkan dalam penjelasan tentang definisi desa.
Ada pula satu catatan kecil yang mungkin penting diperhatikan dari pencantuman istilah
atau terminologi di daerah sebagai padanan istilah desa, yaitu mengenai dicantumkannya
Gampong yang ada di Provinsi NAD Aceh. Pencantuman Gampong di UU Desa yang baru
sudah tidak relevan lagi, karena Aceh sudah memiliki sistem pemerintahan terendah yang
diatur secara khusus dan berbeda. Pasal 1 Angka 19 dan 20 UU No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menyebutkan, bahwa gampong adalah kesatuan masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah
kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Hal ini berbeda dengan
pengaturan yang akan dimuat dalam UU Desa yang baru, dimana yang setingkat dengan
desa di Aceh seharusnya adalah mukim. Akan tetapi, mukim juga tidak sama dengan desa,
karena mukim adalah sub-ordinat/bawahan dari kecamatan, sedangkan desa bukan
merupakan bawahan kecamatan.
Tujuan Pembentukan UU Desa
Dibentuknya Undang-Undang tentang Desa secara tersendiri, yang merupakan
pemisahan peraturan perundang-undangan tentang desa dari pemerintahan daerah dengan
misi memperbaiki dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya,
adalah dengan tujuan utuk membentuk desa yang modern berbasis masyarakat sebagai civil
society, dimana tersedia ruang publik dan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya
masyarakat dengan ciri-ciri mandiri, otonom, dan sukarela. Selain itu Undang-undang
18 Pasal 202 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004: Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini
termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang diSulawesi Selatan, Desa di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
27/85
27
tentang Desa juga akan memberikan legitimasi dan justifikasi yang lebih kuat bagi self
governing community sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan prinsip-prinsip
demokrasi seperti checks & balances, tranparancy, dan accountability.Pencapaian tujuan
tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki ketentuan-ketentuan yang ada sekarang, yang
secara khusus dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Lebih mengakui dan menghormati upaya masyarakat desa untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri dan hubungan mereka dengan masyarakat desa
lain;
b. Mengatur tata cara masyarakat desa mengatur dan mengurus hal-hal
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memperjelas aturan mengenai hubungan masyarakat desa dengan Negara,
Pemerintah dan pemerintah daerah;
d. Memberi masyarakat desa alokasi dana sesuai dengan kebutuhan untuk
mengatur dan mengurus hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a;
e. Mengatur tata cara pertanggungjawaban kinerja dan keuangan pemerintah desa
dengan menggunakan prinsip profesionalisme;
f. Mengatur tata cara pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan desa
Dalam Bab tentang Ketentuan Umum RUU tentang Desa nantinya juga akan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
28/85
28
dicantumkan prinsip-prinsip atau asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan desa dimana
prinsip-prinsip tersebut harus yang berkaitan dengan kerangka hubungan desa dengan
pemerintah, dimana pada dasarnya penyelenggara desa bukanlah pemerintah dan
mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah dalam bentuk kemitraan, sehingga
hubungan yang terbentuk adalah hubungan kerjasama, bukan hubungan sub-ordinatif.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
- Kesetaraan dan kemitraan,
- Rekognisi (pengakuan dan penghormatan);
- Subsidiaritas,
- Demokrasi, dan
- Profesionalisme, khususnya dalam pengelolaan keuangan yaitu penerapan
prinsip-prinsip keuangan modern, yang telah diadopsi oleh UU No.17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Selain prinsip-prinsip diatas juga masih dikenal penerapan asas-asas pemerintahan
yang lain seperti desentralisasi dan tugas pembantuan. Namun dalam penyelenggaraan desa,
penerapan asas desentralisasi agak berbeda dengan desentralisasi yang kita kenal dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana walaupun negara telah menyerahkan urusan
kepada daerah, urusan tersebut tetap menjadi milik negara, dalam arti negara dapat
mengambil alih urusan tersebut setiap saat dengan perubahan undang-undang terkait.
Sementara dalam penyelenggaraan desa, suatu urusan yang telah diserahkan oleh
pemerintah kepada desa (melalui proses kesepakatan antara pihak pemerintah daerah
dengan pihak desa) akan menjadi urusan desa (tidak lagi merupakan urusan
pemerintahan). Dengan demikian urusan yang telah menjadi urusan desa ini hanya dapat
diambil kembali oleh pemerintah dengan persetujuan dari masyarakat desa dalam bentuk
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
29/85
29
kesepakatan antara pemerintah dengan penyelenggara desa, untuk selanjutnya
diformalisasikan dalam peraturan daerah. Inilah yang disebut dengan prinsip kesetaraan
dan kemitraan.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, dengan prinsip tersebut desa bukanlah
merupakan sub-ordinat dari pemerintah, tapi mitra yang setara dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat desa dan melakukan pembangunan di desa. Dengan prinsip
ini berarti desa dan pemerintah akan saling menghormati, yang merupakan bagian dari
prinsip rekognisi (mengakui dan menghormati). Dalam prinsip rekognisi, negara harus
mengakui keberadaan desa-desa beserta sistem pengelolaan kemasyarakatan dan
lingkungannya. Namun pengakuan dan penghormatan itu tentunya harus dilakukan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa-desa yang yang harus diakui dan
dihormati tersebut mencakup desa-desa yang telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia diproklamasikan dan desadesa yang lahir berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang desa yang pernah berlaku, yang masih ada sampai saat
UU tentang Desa disahkan.
Sebenarnya konstitusi negara Indonesia pernah merumuskan secara jelas tentang
pengakuan terhadap desa-desa di Indonesia, yakni dapat kita lihat pada bagian Penjelasan
Umum Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang sekarang telah dihapuskan. Prinsip
rekognisi juga berlaku bagi pengurus desa terhadap lembaga desa lainnya yang
melaksanakan urusan asal-usulnya.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
30/85
30
Prinsip selanjutnya, yang merupakan suatu prinsip baru yang diperkenalkan dalam
Undang-undang tentang Desa nantinya adalah prinsip subsidiaritas.19
Prinsip ini berkaitan
dengan pembagian kewenangan antara desa dan pemerintah sebagai kekuasaan supra desa.
Prinsip subsidiaritas didefinisikan sebagai prinsip bahwa segala masalah seharusnya
diselesaikan pada tingkat paling kecil/rendah, kecuali ada alasan yang memaksakan
masalah tersebut perlu diselesaikan pada tingkat yang lebih luas.20
Prinsip subsidiaritas
bukan bersifat top-downseperti pada konsep pembagian urusan dalam UU No. 32 Tahun
2004, yang banyak menentukan dimana Pemerintah (Pusat) selalu membuat Peraturan
Pemerintah untuk membagi banyak urusan pemerintahan hingga tingkat kabupaten/kota
bahkan desa. Prinsip subsidiaritas menekankan rekognisi terhadap semua kewenangan asal-
usul yang dimiliki desa, sebelum pemerintah dapat mengambil alih urusan yang menurut
mereka tidak dapat dilaksanakan oleh desa. Di samping itu, apabila terdapat kewenangan
yang berasal dari hak asal-usul, tetapi kewenangan ini baru ditemukan, maka pemerintah
harus pula me-rekognisi-nya. Asas subsidiaritas dapat dijelaskan dalam diagram berikut:
Gambar 3: Perubahan Paradigma Kepemerintahan
19 Prinsip subsidiaritas ini dikenal dalam penyelenggaraan organisasi internasional Uni Eropa,
yakni mengenai hubungan negara anggota dengan Uni Eropa secara keseluruhan.
20 Owen Podger, Komentar atas Naskah Akademis dan RUU Desa versi Depdagri, (TanpaTempat: April 2008), Makalah tidak dipublikasikan. Hal. 9.
PERUBAHAN
PARADIGMA
KEPEMERINTAHAN
DARI
cara
tradisional
Tata Kelola
Pemerintah
Instansi-instansi
Pemerintah Pusat
Masyarakat
sebagai penerima
layanan
Kebijakan dan
peraturan
Instansi-instansi
provinsi
Instansi-instansikab/kot
Kepada Tata Kelola Pemerintah
berbasis kinerja
Masyarakat sebagai
Pelanggang (dan pemegang saham!)PEMKAB/KOTA sebagai pemberi
layanan langsung pada masyarakat
Peraturan perundang-undanganuntuk kepastian hukum
Pemerintah Provinsi dan PUSATsebagai fasilitator, denganpenyusun kebijakan dan membina
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
31/85
31
Dari gambar di atas terlihat, bahwa campur tangan otoritas publik harus datang dari
tingkat hirarki yang lebih dekat dengan warga, sehingga sedapat mungkin komunitaslah
yang akan menangani masalah warganya. Tetapi jika komunitas tidak dapat menyelesaikan
masalah, maka penguasa regional (supra) yang membantu. Jika tidak mampu juga maka
Negara yang harus membantu. Hubungan desa dengan supra desa harus menerapkan prinsip
subsidiaritas, karena meskipun dalam hal eksternalitas diamanatkan adanya campur tangan
supra desa, akan tetapi apabila antara desa-desa yang akan atau telah memiliki suatu
kerjasama tertentu, dan desa-desa tersebut telah memiliki kompetensi untuk mengurus
kerjasamanya, maka peran supra desa tetap harus diminimalisir, atau hanya sebatas sebagai
institusi pengawas bagi hubungan kerjasama tersebut.
Prinsip yang tak kalah penting yang harus dianut dalam penyelenggaraan desa
adalah demokrasi, khususnya dalam penggunannya sebagai dasar perubahan Badan
Permusyawaratan Desa (Bamusda) menjadi Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD).
Keberadaan DPMD adalah agar proses checks and balancesdapat terjadi dengan sempurna
dalam mengimplementasikan demokrasi di tingkat desa. Di sini yang sangat penting untuk
diingat adalah bahwa DPMD bukanlah suatu lembaga legislator yang menjadi oposisi bagi
kepala desa seperti apa yang dikenal dalam teori ketatanegaraan, tapi ia hanyalah suatu
lembaga yang bertujuan memberikan koreksi dan menciptakan keseimbangan yang
memberikan dukungan secara langsung kepada kepala desa untuk mencapai hasil-hasil dari
kesepakatan yang dibuat bersama oleh DPMD dan kepala desa. Singkatnya, DPMD dan
kepala desa adalah satu lembaga yang disebut Penyelenggara Desa, bukan dua lembaga
yang berseberangan satu sama lain.
Prinsip yang terakhir adalah profesionalisme, yang khususnya diterapkan dalam
pengelolaan administrasi keuangan, yang harus dilakukan secara modern menurutstandar
ilmu keuangan yang telah diadopsi oleh Undang-undang No.17 Tahun 2003
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
32/85
32
tentang Keuangan Negara, sehingga pemerintah tidak perlu lagi membuat aturan-aturan
tersendiri tentang tata-cara pengelolaan keuangan desa. Dalam prinsip ini pengelola
keuangan desa tidak perlu dirangkap lagi oleh sekretaris desa, tapi pembukuan dapat
dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi yang memiliki sertifikasi minimal
sesuai dengan kebutuhan sebagai ahli keuangan dengan persyaratan tertentu sesuai
kebutuhan desa. Pesyaratan ini juga belaku bagi auditor keuangan desa. Ketentuan
mengenai sertifikasi minimal ini dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
teknis/pelaksana. Selain itu dengan prinsip profesionalisme, pembukuan keuangan desa
harus dilakukan dengan menggunakan sistem yang universal, dan bila memungkinkan
dibuat on-lineagar senantiasa dapat dipantau oleh para stakeholders-nya, sehingga dapat
mewujudkan transparansi manajemen sebagai salah satu perwujudan sistem good
governance.
2.2
Rekognisi keberadaan dan pembentukan Desa
Usulan revisi komprehensif terhadap pengaturan tentang keberadaan dan
pembentukan desa adalah sebagai berikut:
Kenyataan yang ada di Indonesia sehubungan dengan keberadaan desa adalah
keberagaman, terutama dalam hal budaya tatacara mengelola kehidupan bersama, yang
mempunyai filosofi yang spesifik bagi masing-masing desa.
Keberadaan desa tidak ada lagi diatur dalam ketentuan peralihan, namun harus diatur
dalam bab khusus yang mencakup pengakuan terhadap desa-desa yang ada serta aturan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
33/85
33
main untuk pembentukan desa-desa baru ataupun penghapusan desa. Rekognisi
terhadap desa seharusnya memang tidak diatur dalam Bab tentang Peralihan, karena
rekognisi bukanlah isu peralihan, tetapi merupakan isu konstitusional tentang
kesatuan masyarakat hukum termasuk masyarakat hukum adat. Rekognisi terhadap
keberadaan desa juga akan menghormati dan mengakui adanya nama, simbol dan
atribut desa.
Pembentukan desa baru harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat secara efektif dan efisien. Desa dibentuk dengan keputusan musyawarah
masyarakat desa, yang harus diakui daerah dengan peraturan daerah, yang setelah itu
menjadi peraturan desa tentang pembentukan desa yang baru.Dalam pembentukan desa
baru, perlu diperhatikan data kuantitatif tentang penduduk desa di Indonesia dan
permasalahan sebagai berikut:
(1)Jumlah penduduk desa rata-rata di Indonesia: 3.170 penduduk per desa/kelurahan
dengan 5% daerah kurang dari 500 penduduk per desa/kelurahan, 15% daerah
kurang dari 1.000 penduduk per desa/kelurahan, 50% daerah kurang dari 2.740
penduduk per desa/kelurahan, dan 10% daerah: lebih dari 8.600 penduduk per
desa/kelurahan.
(2)Tidak ada data nasional yang definitif tentang pemekaran desa, tetapi ada beberapa
contoh yang dapat diambil dari beberapa daerah. Misalnya pada tahun 2004 diakui
ada 5.965 gampong di Aceh, dan pada tahun 2007 jumlah tersebut bertambah
menjadi 6.381.
(3)Jumlah desa dalam satu kecamatan ada yang satu desa saja, tetapi ada juga yang
lebih dari 70 desa. Sebagai perbandingan dapat diperhatikan data tentang jumlah
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
34/85
34
Gampong maksimal dan minimal per Kecamatan per Kabupaten/Kota di Aceh
berikut:
Gambar 4: Jumlah maskimal dan minimal gampongdalam kecamatan di masing-masing kabupaten/kota di Aceh
Sumber: Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi NAD 2007
Dalam hal pembentukan desa baru ada suatu pertanyaan penting yang harus dapat
dijawab oleh RUU tentang Desa ini, yaitu apakah diperlukan semacam moratorium
pembentukan desa dan kecamatan baru sampai ada semacam Grand Designuntuk desa
dan kecamatan di setiap daerah?
Pengaturan khusus tentang lingkungan kawasan perairan (laut, danau dan sungai) yang
ditempati oleh (sebagian) masyarakat desa. Ini diperlukan karena undang-undang
tentang desa harus melindungi semua rakyat Indonesia. Munculnya ide tentang
pengaturan ini karena mengingat, bahwa secara fisik batas wilayah desa hanya dapat
ditetapkan di atas daratan. Batas wilayah desa di lingkungan kawasan perairan tidak
bisa ditentukan secara fisik, tapi harus ditentukan dengan cara membuat kesepakatan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
35/85
35
antar masyarakat desa yang bersebelahan dan/atau yang memanfaatkan perairan yang
sama. Dalam UU Desa nantinya diusulkan dimasukkan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
(1) Desa di lingkungan kawasan perairan mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- Masyarakatnya membangun rumah di atas kawasan perairan;
- Masyarakatnya memanfaatkan hasil perairan;
-
Masyarakatnya menggunakan kawasan perairan untuk transportasi; dan/atau
- Masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang tidak menetap.
(2) Batas desa, yang masyarakatnya membangun rumah diatas kawasan perairan, dapat
ditetapkan di kawasan perairan dengan membuat tanda-tanda tertentu;
(3) Komunitas dari desa-desa yang bersebelahan bersepakat untuk menetapkan tatacara
bersama dalam memanfaatkan perairan dan hasil perairan yang sama.
(4) Batas desa, yang masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang tidak menetap,
dianggap di sekitar lokasi perahu-perahu berada, asalkan dengan kesepakatan
bersama komunitas desa lain yang juga memanfaatkan hasil perairan yang sama.
Pembahasan mengenai pembentukan desa juga dapat dilihat dari definisi desa. Pada
undang-undang yang berlaku sekarang, definisi desa ditekankan pada kesatuan
masyarakat.21
Formulasi demikian secara leksikal menyebabkan pengertian yang agak
membingungkan. Desa seharusnya berarti wilayah kediaman masyarakat tertentu dengan
21 Lihat definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
36/85
36
batas-batas tertentu, sedangkan kesatuan masyarakat yang berdiam secara tetap didalamnya
dengan jumlah tertentu, yang mengelola urusan tertentu bagi kepentingan mereka sendiri,
merupakan salah satu syarat bagi wilayah tersebut untuk dapat diakui sebagai desa. Selain
itu, karena pertimbangan dinamika dan mobilitas masyarakat pada jaman modern ini,
definisi desa seharusnya lebih ditekankan pada paradigma teritorial, bukan kesatuan
masyarakat karena masyarakat tidak akan selalu tetap menjadi satu seperti di masa yang
lampau. Perubahan paradigma seperti ini dilakukan dalam upaya mensinergikan
perkembangan dan dinamika yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya dalam merancang ketentuan-ketentuan tentang pembentukan desa
yang akan dimuat dalam UU tentang Desa dapat diadopsi pasal-pasal mengenai hal yang
sama yang ada dalam PP No.72 tahun 2005 tentang Desa, yakni pasal 2, 3 dan 4. Sementara
prinsip-prinsip tentang pembentukan desa berlaku sama bagi penghapusan, penggabungan
ataupun pemekaran desa. Sehingga dalam implementasinya, pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat melakukan pembentukan, penghapusan, penggabungan atau
pemekaran desa didalam batas-batas yurisdiksinya yang selanjutnya ditetapkan dengan
peraturan daerah menurut tata cara yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, dengan
memperhatikan aspirasi dan adat-istiadat masyarakat setempat serta rekomendasi dari suatu
lembaga independen, yaitu Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi (Komisi Desa).
Tidak Perlu Terjadi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan
Pasal 200 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan, Desa di kabupaten/kota
secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan
prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
37/85
37
Perda. Ketentuan ini tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas, karena
bertentangan dengan upaya mendorong masyarakat sipil untuk melaksanakan asas
subsidiaritas. Ketentuan yang mengamanatkan perubahan desa menjadi kelurahan
harus ditiadakan dalam Undang-Undang tentang Desa. Beberapa landasan pikiran
untuk meniadakan ketentuan perubahan desa menjadi kelurahan dapat dipaparkan sebagai
berikut: Pertama, kelurahan menurut Pasal 127 Ayat (2) dipimpin oleh lurah dan
melaksanakan tugasnya berdasarkan delegasi dari bupati/walikota.22
Ketentuan ini berarti
menempatkan desa (yang telah berubah menjadi kelurahan) sebagai subsistem
kabupaten/kota. Dengan demikian ketentuan ini tidak lagi cocok dengan konsep yang
dikehendaki dalam Undang-Undang tentang Desa yang baru, yang ingin merevitalisasi
konsep civil society sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pelayanan dan
pembangunan yang independen dari struktur pemerintah daerah. Kedua, perubahan desa
menjadi kelurahan juga menuai konsekuensi hilangnya kekayaan dan sumber alam desa
untuk diambil alih oleh kabupaten/kota.23
Kelurahan sebagai subsistem kabupaten/kota
harus menyerahkan semua hak-hak dan kekayaannya untuk diatur dan dikelola oleh
kabupaten/kota, sehingga hak-hak desa atas wilayahnya menjadi hilang. Ketiga, harus
dipahami bahwa terlepas dari jumlah dan besarnya urusan, selama masih ada urusan yang
masih dapat dilaksanakan oleh pengurus desa, harus tetap ada desa. Dengan kata lain,
Undang-Undang tentang Desa yang baru harus mempertegas pelembagaan asas
subsidiaritas. Pelembagaan asas subsidiaritas akan bertentangan bila dikaitkan dengan
22 Pasal 127 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari
Bupati/Walikota.
23 Pasal 201 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: Dalam hal desa berubah statusnya menjadi
kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yangbersangkutan.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
38/85
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
39/85
39
cabang dari kantor kecamatan atau dinas tertentu, namun tentunya dengan kewenangan
yang sangat bervariasi, tergantung pada variasi kewenangan yang dimiliki oleh desa di
wilayah tersebut. Dengan demikian kewenangan cabang kantor kecamatan (kantor
kelurahan) atau suku dinas yang dibentuk merupakan residu dari kewenangan
pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah daerah kepada desa. Sehingga dengan
konsep ini keberadaan suatu kantor kelurahan atau suku dinas tidak bersifat compulsary.
2.3
Menurut teori ilmu pemerintahan, daerah otonom memperoleh kewenangan dengan
menggunakan asas desentralisasi(otonomi yang diberi oleh Pemerintah). Berbeda dengan
desa yang merupakan self governing communitymenggunakan asas subsidiaritas, dimana
sebagian besar kewenangan itu aslinya memang sudah ada di masyarakat, bukan
pemberian. Dalam desentralisasi, bila daerah tidak mampu, kewenangannya diambil
kembali oleh Pemerintah, sementara dalam subsidiaritas, bila ada eksternalitas, maka
masyarakatlah yang meminta pemerintah untuk mengambil alih. Hal ini sesuai dengan
amanat Pembukaan UUD NRI 1945, dimana pembentukan Pemerintah Negara Indonesia
dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus hal-hal yang tidak bisa diselenggarakan oleh
masyarakat sendiri (lihat kalimat Kemudian daripada itu melindungi segenap
bangsa )
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, tidak diatur secara jelas tentang kedudukan dan
tata hubungan kewenangan desa dengan supra desa, termasuk pembinaan,
pengawasan, dan pelayanan kebutuhan dasar. Dalam UU ini, pada satu sisi semua
kewenangan ada di tangan negara, dengan sebagian besarnya diserahkan kepada pemerintah
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
40/85
40
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota (termasuk kecamatan) untuk diatur
dan diurus, sehingga tidak ada yang tersisa untuk diserahkan kepada desa. Pada sisi kedua,
desa mempunyai otonomi asli, dan UU ini memberi hak untuk desa melanjutkan otonomi
yang masih hidup. Dua sisi ini sebenarnya tidak bisa disatukan (kontradiktif). Untuk itu
diperlukan suatu konsep yang dapat mencarikan solusi terhadap permasalahan ini.
Pembahasan mengenai topik ini dilatarbelakangi oleh kewenangan desa yang
mencakup:
1. Urusan-urusan pemerintahan (pelayanan dan pembangunan) yang harus disepakati
dengan Pemda Kabupaten/Kota:
a. urusan-urusan yang lahir karena hak dan kewajiban asal-usul dan/atau prakarsa
masyarakat setempat, dan
b. urusan-urusan pemerintahan yang telah disepakati antara masyarakat desa dengan
pemerintah daerah untuk dijadikan urusan desa.
Karena penyelenggaraan desa bukanlah suatu pemerintahan, maka setelah disepakati
oleh kedua belah pihak, kedua urusan diatas tidak lagi disebut sebagai urusan
pemerintahan, melainkan akan disebut urusan desa.
2. Urusan-urusan yang tidak harus mendapat kesepakatan dengan Pemda Kabupaten/Kota:
a. urusan-urusan yang lahir dari tugas pembantuan dan kewenangan atributif yang
lahir karena peraturan perundang-undangan (tingkat pusat/provinsi), dan
b. urusan penegakan hukum untuk masyarakat hukum adat tertentu yang harus dapat
kesepakatan dengan pengadilan negeri dan kesepakatan dari Polri untuk
bekerjasama dengan polisi sebagai upaya ADR (Alternative Dispute Resolution
).
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
41/85
41
Pelaksanaan urusan desa selalu direview oleh Komisi Desa) yang memberi
rekomendasi kepada bupati/walikota untuk:
(1) menambah atau mengurangi urusan; dan
(2) menyempurnakan formulir Alokasi Dana Desa (ADD) sesuai dengan
kebutuhan.
Urusan desa dapat diselenggarakan oleh pengurus desa atau oleh lembaga adat,
lembaga ekonomi dan lembaga kemasyarakatan di desa.
2.4
Sumber keuangan desa secara umum terdiri atas pendapatan asli desa (PADes) dan Alokasi
Dana Desa (ADD) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). PADes terdiri
atas:
1. Retribusi desa:
Pemerintah desa dapat menagih ongkos pelayanan yang diberi.
2. Hasil usaha desa:
Karena kebiasaan rent-seekingterhadap sumber pendapatan ini, hasil usaha desa
jangan masuk ke dalam rekening pengurus desa, kecuali ada asal-usul pendapatan
asli desa dari usaha tertentu.
Hasil usaha desa seharusnya masuk ke rekening usaha itu, dan keuntungan dibagi
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
42/85
42
sesuai dengan pemilikan saham dan keputusan pemilik saham. Jadi jika usaha desa
itu dimiliki desa, akan ada hasil kekayaan pemerintah desa.
3. Hasil kekayaan pemerintah desa:
- Dapat menjadi sumber pendapatan desa.
- Jika ada usaha desa yang menghasilkan keuntungan, investasi pemerintah desa
bisa dapat bagian dari keuntungannya.
4. Hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong:
- Harus disepakati masyarakat desa, bukan karena perintah elit desa.
- Jadi selalu harus ada musyawarah desa untuk mendapatkan kesepakatan
masyarakat dulu.
5. Lain-lain pendapatan asli desa yang sah:
Hanya sah kalau ada peraturan perundang-undangan yang membuatnya sah.
6. Pungutan yang telah dilaksanakan oleh desa (pemerintah desa atau kesatuan
masyarakat lain di desa) tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atasan:
- Jika terbukti pada tahun 1979 (tahun berlakunya UU No. 5 tahun 1979 tentang
desa) masih ada pungutan tradisional desa yang sejak tahun 1979 diambil
pemerintah atasan, pungutan itu harus dikembalikan.
- Jika sekarang ada lebih dari satu lembaga desa yang melaksanakan fungsi
yang menjadi sumber pungutan, pungutan tersebut diberi kepada lembaga itu,
dan tidak dibenarkan dipungut oleh yang lain.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
43/85
43
7. Sumber yang sudah dipungut oleh daerah tidak dibenarkan menjadi sumber
pungutan tambahan oleh pemerintah desa, kecuali retribusi berkaitan dengan urusan
yang diserahteruskan kepada desa, yang harus juga diserahteruskan bersama
urusannya.
8. Pinjaman, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga:
Setiap pemberian pinjaman, hibah atau penyertaan modal yang diteruspinjamkan
atau diterushibahkan terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. Jika
sumbangan berbentuk barang, perlu dicatat sebagai barang inventaris kekayaan
milik desa.
Pinjaman yang diterima Pemerintah Pusat dari luar negeri dapat
diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah untuk diteruspinjamkan atau
diterushibahkan kepada Pemerintah Desa/ atau ke BUMDes.
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan pinjaman atau penyertaan
modal kepada BUMDes.
Hibah dan sumbangan tidak boleh mengikat, dan tidak mengurangi kewajiban-
kewajiban pihak penyumbang kepada desa.
Hibah dari luar negeri:
Hibah dari negara donor atau lembaga multilateral (UN, Bank Dunia, ADB, IDB
dll) perlu dicatat dalam anggaran negara seperti hibah kepada daerah, dan
diterushibahkan ke desa melalui daerah kabupaten/kota. Karena desa bukan
bagian dari pemerintah, hibah dari lembaga internasional lain tidak perlu dicatat
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
44/85
44
dalam anggaran negara seperti hibah kepada daerah, akan tetapi perlu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan izin kerja donor tsb
dan dilaporkan dalam laporan keuangan desa dan laporan keuangan donor, dan
dua-duanya diaudit.
9. Dana Darurat:
Pemerintah Desa yang mengeluarkan dana untuk keperluan mendesak dapat
menerima bagian dari Dana Darurat kabupaten/kota, provinsi atau negara, jika tidak
dapat ditanggulangi oleh pemerintah desa sendiri. Keadaan yang dapat digolongkan
sebagai bencana dan peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Bupati/Walikota
berdasarkan peraturan Badan Penanggulangan Bencana Nasional.
Bagi Hasil dan Dana Perimbangan
Dalam UU tentang Desa seharusnya tidak ada sumber keuangan desa yang berasal dari
dana yang merupakan bagi hasil dan dana perimbangan dari penghasilan daerah atau
negara, karena peran pemerintah desa bukan untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi untuk
melayani masyarakat. Prinsip bagi hasil dan dana perimbangan sebenarnya telah melanggar
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang menjadi inti
permasalahan dari penyebab kemiskinan desa bukanlah karena desa tidak menerima dana
bagi hasil atau dana perimbangan, akan tetapi adalah pembagian uang yang tidak tepat oleh
Pemerintah. Dalam paradigma yang baru, rakyat desa seharusnya dapat menikmati hasil
dari sumber daya alamnya yang dibagi merata secara nasional sesuai dengan kebutuhan
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
45/85
45
masyarakat. Yang penting disini adalah masyarakat jangan dipaksa untuk melepaskan
haknya karena alas an tidak punya surat-surat yang sah, padahal tanah itu secara tradisional
turun temurun menjadi milik masyarakat. Jadi bila ada pihak dari luar desa yang akan
mengusahakan sumber daya alam, mereka dapat menyewa tanah tersebut, supaya
masyarakat dapat menikmati manfaat atas tanah yang digunakan. Selain itu, agar
masyarakat juga dapat menikmati keuntungan dari tanah mereka yang dimanfaatkan oleh
negara melalui pihak swasta yang mengusahakan sumber daya alam, maka pihak swasta
tersebut harus menyalurkan dana Corporate Social Responsibility(CSR) sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Bab V
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Pasal 74 yang menyatakan:
(1)Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikankepatutan dan kewajaran.
(3)Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Solusi lain karena dihapusnya dana bagi hasil dan dana perimbangan tersebut
dapat juga dengan cara sebagai berikut:
Jika desa membantu suatu pelayanan yang dibayar dengan retribusi (baik tugas
pembantuan maupun urusan yang dikelola desa) desa perlu diberi bagian dari retribusi
yang cukup besar untuk menutupi ongkosnya.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
46/85
46
Jika masyarakat desa dengan usah paya menghasilkan sumber keuangan pemerintah
atau pemerintahan daerah, seharusnya desa dapat sebagian dari hasil tersebut.
Lain daripada itu, sebaiknya sistem alokasi dana kepada desa tidak dibuat terlalu
rumit dengan banyak formulir bagi hasil.
Selanjutnya masalah yang crucial dalam hal sumber keuangan desa untuk
memperbaiki sistem yang ada sekarang adalah persoalan Alokasi Dana Desa (ADD). ADD
seharusnya diberikan kepada desa sesuai dengan kebutuhan karena jika ADD kurang, maka
masyarakat tidak dapat dilayani dan sebaliknya jika ADD berlebih, berarti terjadi
pemborosan keuangan negara. Penetapan ADD yang tidak fair berpotensi memicu
konspirasi pemda dan perangkat desa yang berujung pada rencana anggaran yang dimark-
up.
Paralel dengan transfer kewenangan, APBDes harus didukung dengan ADD yang
cukup, sehingga tidak boleh lagi terjadi penjeratan terhadap masyarakat desa melalui
mobilisasi swadaya. ADD bukan lagi sebagai bantuan alakadarnya atau stimulan untuk
memobilisasi swadaya masyarakat, tetapi sebagai bentuk hak dasar yang harus diterima
sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat desa.26
Pemberian ADD harus ditentukan dalam proses perencanaan yang dibuat
berdasarkan formulir yang dibuat berdasarkan standar perhitungan urusan yang dikelola
desa, yang ditentukan melalui proses verifikasi sbb:
26 Sutoro Eko, et al., Kaya Peraturan Miskin Kebijakan, Village Papers Hasil Kajian
KritisUU No.32/2004 dan PP No.72/2005 (Paper dalam Forum PengembanganPembaharuan Desa, Jakarta: Kerjasama FPPD dan LGSP-USAID, 2006), hal. 8
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
47/85
47
Komisi Desa dengan masukan dari masing-masing dinas terkait pada setiap
kabupaten/kota menilai ongkos pengelolaan setiap urusan;
Penilaian ongkos tersebut direviewoleh pemerintah provinsi dan hasil review
tersebut dikonsultasikan oleh Pemerintah (Pusat) dan provinsi seluruh Indonesia
untuk menjamin konsistensi secara nasional;
Setelah direview oleh Komisi Desa, formulir ADD dinilai, disetujui dan
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
ADD ditetapkan dalam APBN sebagai bagian Dana Alokasi Umum (DAU).
Ada beberapa hal penting yang menjadi inovasi dalam hal sumber keuangan desa,
yaitu:
- ADD dibagi atas ADD untuk operasional dan pemeliharaan dan ADD untuk
investasi.
- Dalam sumber keuangan desa seharusnya tidak ada bagian dari bagi hasil, karena
ADD dianggap cukup, kecuali dalam hal desa melaksanakan tugas pembantuan
maka bagian desa harus cukup untuk melaksanakan tugas tersebut.
- Untuk dana bantuan yang berasal dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota, perlu dirancang ongkos tugas pembantuan, dana
darurat, proses untuk memberi bantuan kepada pengurus desa luar daripada ADD,
dan proses untuk memberi bantuan kepada lembaga desa yang lain diluar
pendapatan desa.
- Karena proses perencanaan negara tahunan dimulai sebelum perencanaan daerah
dan sebelum perencanaan desa, maka seharusnya penentuan ADD dan
perencanaan desaharus multi tahunan. Penetapan formulir ADD harus
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
48/85
48
dinamis dalam arti dapat disempurnakan secara langsung, tergantung pada kinerja
yang lalu dan kinerja yang direncanakan. Namun permasalahannya adalah sampai
berapa jauh (detil) konsep ini harus diatur dalam undang-undang? Jika perlu diatur
secara detil, DPD RI akan berkonsultasi lebih lanjutan dengan Departemen
Keuangan dan Departemen Dalam Negeri.
2. ( )
Pembahasan tentang Penyelenggara Tata Kelola Desa (disingkat Penyelenggara
Desa) akan diawali dengan penjelasan tentang beberapa perubahan istilah kelembagaan
yang akan digunakan dalam UU tentang Desa dalam rangka menghindari kerancuan dengan
istilah-istilah yang digunakan dalam pemerintahan, karena desa adalah suatu bentuk dari
civil society yang mirip dengan lembaga swadaya masyarakat, yang berarti
penyelenggaraan tata kelola (pengelolaan)nya bukanlah suatu bentuk penyelenggaraan
pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam UUD NRI 1945. Pertama, istilah
Pemerintahan Desa diganti dengan Penyelenggara Desa, yang terdiri atas Kepala Desa dan
Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD). Kedua, istilah Pengurus Desa
menggantikan istilah Pemerintah Desa yang tetap terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat
Desa, sedangkan DPMD menggantikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD atau
Bamusdes).
Dalam UU tentang Desa yang baru nantinya, tidak ada perubahan status dan fungsi
dari lembaga yang disebut dengan sebutan baru sebagai Penyelenggara Desa, Pengurus
Desa, Kepala Desa dan Perangkat Desa. Namun DPMD berbeda dengan Bamusdes.
Bamusdes adalah suatu lembaga permusyawaratan yang anggota-anggotanya tidak dipilih
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
49/85
49
secara langsung oleh masyarakat desa,27
sedangkan DPMD adalah suatu lembaga yang
mirip dengan DPR pada tingkat pusat atau DPRD pada tingkat daerah. Perbedaannya,
anggota-anggota DPMD tidak berasal dari partai politik, tidak berpolitik, dan bertindak
berdasarkan hasil Musyawarah Desa (sebagaimana dibahas dibawah). Keberadaan DPMD
tidaklah dimaksudkan untuk mengundang perbedaan pendapat diantara masyarakat desa,
tapi tujuannnya lebih kepada mewakili masyarakat untuk menjamin bahwa penyelenggara
desa bekerja untuk kepentingan semua anggotanya, karena penyelenggara desa yang terdiri
atas DPMD dan Kepala Desa adalah satu kesatuan, bukan dua lembaga yang terpisah
sebagaimana halnya dalam teori pemisahan kekuasaan negaranya John Locke atau
Montesquieu. DPMD adalah bentuk penyempurnaan dari Badan Perwakilan Desa (BPDes)
yang dikenal dalam UU No. 22 Tahun 1999.28
Pengembalian fungsi lembaga pendamping
bagi pengurus desa (pemerintah desa) ini adalah dengan tujuan mengembalikan lembaga
tersebut sebagai lembaga penyeimbang yang demokratis dalam tubuh penyelenggara desa,
yakni bagi kepala desa. Ada inconsistency yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004
yang telah mengubah BPDes menjadi Bamusdes. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal
209 UU tersebut, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam ketentuan ini adalah
sebutan nama Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebenarnya ada kejanggalan dalam kebijakan politik yang menetapkan cara
penentuan anggota Bamusdes menurut perumusan UU No.32 tahun 2004 dan PP No.72
27 Pasal 210 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004: Anggota badan permusyawaratan desa adalah
wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat.
28 Pasal 105 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999: Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih daridan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan.
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
50/85
50
tahun 2005. Mereka tidak dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan umum yang terbuka,
tetapi berhak membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat masyarakat desa.
Secara materi hukum, kekuatan dari produk perundang-undangan (peraturan desa) yang
dihasilkannya tentu tidaklah dapat disamakan antara yang dibuat oleh BPDes (atau DPMD)
dengan yang dibuat Bamusdes, yang berarti secara demokrasi, legitimasi peraturan desa
yang dibuat BPDes (atau DPMD) jelas lebih kuat daripada yang dibuat oleh Bamusdes.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa digunakan kata dewan? Hal ini
mempunyai alasan sebagai berikut. Secara manajemen ketatanegaraan, kata dewan
mengandung arti suatu lembaga yang terdiri atas anggota-anggota yang merupakan wakil
dari pemangku kepentingan (stake holders) dengan kedudukan yang setara diantara para
anggota tersebut dan berfungsi sebagai legislator. Padanan kata dewan dalam bahasa
Inggris adalah council, yang dalam Kamus Blacks Law29
mempunyai beberapa arti
sebagai berikut:
- an assembly of persons for the purpose of concerting measures of state or
municipal policy;
- The leg