63
1 Natal “yang terlupakan” (demi spiritualitas berkeadilan) Oleh: Pdt Bonar H. Lumbantobing

Natal Yang Terlupakan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

  • 1

    Natal yang terlupakan

    (demi spiritualitas berkeadilan)

    Oleh:

    Pdt Bonar H. Lumbantobing

  • 2

    Ditulis dalam rangka menyambut

    Kongres XXIX GMKI Tanggal 8 14 Desember 2004

    Di Pematangsiantar

    Natal yang terlupakan (demi spiritualitas berkeadilan)

    Lumbantobing, Bonar H. Natal yang terlupakan; demi spiritualitas berkeadilan 100 hlm. 21.5 cm

    1. Natal 2. Tahun Gerejawi 3. Liturgi 4 Spiritualitas

    Percetakan Hendrik Offset

    Pematangsiantar

  • 3

    Daftar Isi

  • 4

    I

    Sejarah Singkat Penyimpangan Perayaan Natal

    Perayaan Natal di Indonesia umumnya dan di Sumatera Utara khususnya telah mengalami perobahan bila dibandingkan pada masa tahun 1950-an dengan masa sesudah tahun 1970-an. Tahap-tahap perobahan itu akan disampaikan secara singkat dalam fasal ini. Kalau pun penulis sebutkan sejarah singkat, namun yang dimaksud adalah beberapa hasil pengamatan yang panjang. Sebenarnya masih diperlukan lagi data yang lebih lengkap. Dalam buku ini hanya gejalanya yang akan ditunjukkan, maka data lengkap diharapkan akan muncul melalui penelitian-penelitian oleh pihak lain yang mungkin boleh diinspirasikan oleh tulisan ini. Adapun pengamatan yang dimaksud di sini, akan dibatasi pada adanya tiga perkembangan dalam perayaan Natal, yaitu:

    perkembangan yang berkaitan dengan pelaksana perayaan, perkembangan yang berkaitan dengan tanggal perayaan Natal dan perkembangan yang berkaitan dengan corak perayaan Natal.

    1. Berkembangnya pelaksana perayaan Natal

    Pada awalnya perkembangan baru bersifat positip: Sampai tahun 1950-an, pada umumnya perayaan Natal berlangsung di gedung-gedung gereja dan merupakan perayaan yang dilaksanakan oleh jemaat setempat. Perayaan itu lebih terkonsenterasi dalam 3 hari yaitu: pertama, malam tanggal 24, pelaksananya adalah Pendeta dan Majelis Jemaat; kedua: malam tanggal 25 pelaksananya adalah Majelis Jemaat dan Pendeta, dibantu oleh anak-anak dari Sekolah Minggu kelas kecil sebagai liturgist; ketiga: malam tanggal 26 Desember pelaksananya adalah Majelis Jemaat dan Pendeta, dibantu oleh anak-anak dari Sekolah Minggu kelas besar sebagai liturgist. Peran anak-anak sebagai liturgist dapat diterangkan sebagai berikut: Khusus di Sumatera Utara dan juga jemaat di pulau-pulau lain yang berasal dari Gereja-gereja bekas asuhan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yaitu sebuah lembaga Pekabaran Injil dari Jerman-, terdapat suatu tradisi perayaan Natal: pada tanggal 25 dan 26 Desember anak-anak akan bertugas dalam kebaktian sebagai liturgist mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah dihafal luar kepala. Sebanyak delapan hingga sepuluh anak-anak akan bergiliran maju ke depan untuk mengucapkan ayat itu. Ayat-ayat tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu:

    Berita Penciptaan,

  • 5

    Kejatuhan Manusia ke dalam dosa, Janji kedatangan Messias, Kelahiran Juruslamat dan Ucapan Syukur atas keselamatan.

    Kesempatan ini merupakan suasana gembira, di mana anak-anak akan mengenakan baju baru, dan seluruh keluarga akan menantikan giliran anaknya memberitakan ayat itu di depan. Pada saat itu di daerah yang penduduknya mayoritas Kristen di Sumatera Utara, khususnya daerah Tapanuli, sekolah-sekolah dasar yang ada sejak akhir abad 19 adalah sekolah milik gereja. Guru Kepala adalah Guru Zending didikan Missionaris. Guru Zending juga yang mengajar anak-anak di sekolah Minggu pada hari Minggu dan di sekolah mulai hari Senin sampai Sabtu. Menjelang perayaan Natal, maka latihan anak-anak sebagai liturgis adalah sekali gus program Sekolah milik Gereja dan Sekolah Minggu. Oleh karena itu dalam pelaksanaan Natal itu akan terlihat bahwa yang dilaksanakan bukan Natal Sekolah milik Gereja atau Natal Sekolah Minggu, tetapi Natal yang dirayakan jemaat dengan anak-anak sebagai liturgist. Jemaat yang hadir pun adalah keseluruhan lapisan umur dalam jemaat. Mereka datang mengikuti kebaktian untuk umum yang turut dilayani anak-anak. Ketika Sekolah-sekolah Dasar milik Negara sudah mulai banyak didirikan di desa-desa, maka Sekolah-sekolah itu masih mengenang bagaimana sekolah-sekolah Gereja menjadi pelayan liturgist dalam Natal di Gereja. Oleh karena itu mereka mulai merancang, bagaimana agar mereka mempunyai Natal sendiri yang dilayani oleh anak-anak sekolah Negeri ini sebagai liturgist. Lalu mereka pun merayakan Natal itu bukan lagi tanggal 25 dan 26 Desember, tetapi pada tanggal sebelumnya. Karena kesempatan hanyalah sebelum libur Natal, maka Natal sendiri itu pun dirayakan pada tanggal sebelum libur berarti tanggal yang jatuh sebelum hari Natal tiba. Untuk perayaan Natal sendiri oleh Sekolah Negeri ini, pelaksana adalah sekolah itu sendiri dengan murid-murid sebagai liturgist dan mengundang Pendeta atau Guru Jemaat dari Gereja untuk berkhotbah. Hadirin yang turut merayakan adalah keluarga Guru-guru dan orangtua/keluarga murid-murid yang akan senang melihat anak-anak mereka turut sebagai liturgist. Biasanya hadirin yang tidak punya kaitan dengan pelaksana acara itu, tidak akan hadir, kecuali kalau ada undangan khusus, misalnya undangan pada Kantor Dinas Pendidikan dan lembaga pemerintahan lainnya. Kebiasaan ini menjadi marak di berbagai desa dan kota, sehingga Sekolah-sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) melaksanakan perayaan Natal sendiri juga. Perkembangan di luar Gereja ini pun kemudian berakibat pada Natal yang dilaksanakan di gereja. Anak-anak Sekolah Minggu bukan lagi anak-anak dari sekolah

  • 6

    milik Gereja saja, tetapi juga sudah terdiri dari anak-anak yang murid Sekolah-sekolah Negeri. Tugas untuk menjadi pelayan liturgist tidak mungkin lagi dilatih hanya di Sekolah milik Gereja tetapi harus memberi kesempatan latihan bersama dengan anak-anak lain. Jadinya Sekolah milik gereja berfikir seperti Sekolah Negeri, yaitu bagaimana supaya ada perayaan Natal sendiri khusus untuk murid-muridnya sebagai liturgist, karena di gereja adalah Natal seluruh anak-anak dan jemaat. Natal sendiri ini pun jadinya dilaksanakn oleh Sekolah milik Gereja, tidak lagi bersama dengan jemaat, tetapi bersama dengan orangtua murid dan keluarga Guru dan undangan khusus lainnya. Pelaksanaannya pun jatuh pada masa sebelum libur Natal. Perkembangan selanjutnya terlihat melalui gerakan yang positip juga, yaitu munculnya perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara ekumenis. Gereja-gereja yang berbeda-beda keluar dari jemaat masing-masing dan berkumpul untuk mengadakan perayaan bersama. Di beberapa tempat, kebaktian seperti ini pada kurun waktu tahun 1950-an dimotivasi oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Karena tugasnya, ABRI tidak sealu terikat pada satu jemaat saja, sehingga jemaat-jemaat lokal dengan senang hati turut bergabung menyertai angkatan Bersenjata untuk merayakan Natal. Ini jadinya merupakan kesempatan bagi jemaat-jemaat untuk beribadah bersama dengan jemaat-jemaat yang selama ini berkumpul sendiri-sendiri. Di daerah Medan misalnya terdapat perkembangan lain, yaitu tersedianya fasilitas umum dengan dibangunnya Stadion Teladan, maka perayaan Natal secara ekumenis menjadi semakin besar karena tempat yang tersedia lebih dari cukup. Dengan pecahnya gerakan yang kemudian oleh Pemereontah Orde Baru disebut sebagai G30S/PKI, maka kehidupan beragama lebih digiatkan, bahkan melampaui batas-batas pelaksanaan kegiatan agama yang selama ini terbatas untuk kalangan lokal. Hal ini sejajar dengan perhatian Pemerintah Orde Baru terhadap bidang keagamaan yang tidak hanya dalam organisasi keagamaan, tetapi juga hidup keagamaan dari para pegawai pemerintahan. Perhatian ini didukung oleh fasilitas yang disediakan bagi kantor-kantor dan instansi pemerintahan misalnya, bahkan hingga dukungan dana. Beberapa kegiatan keagamaan bahkan ditangani dan difasilitasi secara langsung oleh pemerintah. Para pegawai yang beragama Kristen jadinya turut juga menikmati kesempatan ini. Perayaan Natal pun dipengaruhi oleh perkembangan ini: Kantor-kantor dan instansi pemerintahan mengadakan perayaan Natal di lingkungan kantor mereka masing-masing. Bila keadaan mendukung, perayaan itu dilaksanakan di gedung sendiri, kalau tidak, dilaksanakan di gedung-gedung umum yang lebih luas, tetapi jarang diadakan di gedung gereja. Perayaan ini pun menunjukkan sifat ekumenisnya, terlihat dari pengkhotbah yang diundang, atau pemimpin doa syafaat mau pun pemberi renungan

  • 7

    Natal, yang biasanya adalah pelayan-pelayan penuh waktu dari Gereja-gereja yang anggotanya ada di kantor tersebut. Pada kurun waktu 1970-an di Sumatera Utara, sejajar dengan perkembangan perayaan Natal oleh instansi pemerintahan, muncullah perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh kelompok-kelompok marga, kumpulan sosial di tingkat RT/RW atau Lorong-lorong dan Wijk. Di tingkat jemaat lokal pun berkembang juga perayaan Natal: kelompok kaum Ibu, kaum Bapak, Muda/i bahkan Majelis Jemaat dengan keluarganya, juga akan mengadakan perayaan sendiri-sendiri yang dilangsungkan di gedung gereja. Selain itu, lingkungan atau rayon yang dilayani oleh para Penatua, kemudian mengadakan perayaan, terkadang dilaksanakan di lingkungan sendiri atau di gedung gereja. Kebiasaan untuk mengucapkan ayat hafalan dari Alkitab, yang tadinya adalah tugas liturgis dari anak-anak, jadinya dilakukan oleh orang dewasa, baik kaum bapak, Ibu mau pun muda/i. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa dalam masa Natal itu seseorang termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan Natal; atau, mungkin saja satu orang atau satu keluarga, selain termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan, juga menjadi undangan pada berbagai perayaan-perayaan Natal itu sendiri. Demikianlah terlihat kesibukan yang luar biasa selama masa Natal, yang membuat banyak orang harus simpang-siur.

    2. Berkembangnya tanggal perayaan Natal Pada awalnya, perayaan Natal tanggal 25 Desember dibuka pada persekutuan malam sebelumnya yang disebut Vesper. Hal ini sesuai dengan pemahaman Gereja bahwa hari mulai pada sore harinya jam 06.00 sore, sebagaimana hari Sabbat sudah mulai berlaku sejak jam 06.00 sore hari Jumat. Dasar alkitabiah untuk itu adalah berita penciptaan yang mengatakan: Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama demikian seterusnya hingga hari ke tujuh. Jadi perhitungan hari menurut kita jaman ini mulai dari jam 00.00 berbeda dengan Alkitab. Dalam kehidupan gereja, selalu ada kebaktian khusus pada malam sebelumnya untuk menyambut hari besar esoknya. Kebaktian seperti itu disebut dalam bahasa Inggris dengan vigil. Itulah sebabnya setiap tanggal 24 Desember malam, juga tanggal 31 Desember malam dan di beberapa gereja pada hari Sabtu malam sebelum Paskah, diadakan kebaktian di Gereja menyambut pesta besar esoknya. Sehubungan dengan perayaan Natal, jemaat berkumpul di Gereja secara bersama-sama pada malam tanggal 24 Desember, dan kebaktian dilaksanakan atas nama jemaat setempat secara keseluruhan, tidak atas nama kelompok tertentu. Kemudian jemaat akan datang lagi tanggal 25 dan 26 Desember untuk merayakan Natal.

  • 8

    Tetapi dengan perkembangan di atas, maka tanggal perayaan Natal sendiri ditentukan menurut kesempatan pelaksana perayaan, yaitu sekolah-sekolah, kantor-kantor instansi pemerintahan, kumpulan-kumpulan marga dan persatuan sosial lainnya, termasuk oleh kelompok-kelompok kategorial dalam jemaat. Tanggal yang dilihat paling sesuai pada umumnya adalah sebelum tanggal 25 Desember. Memang ada juga kelompok yang mencoba mengadakannya sesudah tanggal 25 Desember, tetapi selalu terdengar suara-suara yang keberatan, yang menginginkan agar hari-hari sesudah tanggal 25 Desember sebaiknya dibiarkan bebas untuk mengadakan persiapan merayakan Tahun Baru, atau untuk kegiatan penutupan pembukuan dan laporan-laporan tahunan yang penting bagi sebagian kantor-kantor dan perusahaan. Dengan alasan seperti itu, bila bulan Desember sudah tiba, itu seolah-olah menjadi pertanda dimulainya perayaan-perayaan Natal.

    3. Berkembangnya corak perayaan Natal Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Natal itu dirayakan sebagai kebaktian di gereja. Bagi jemaat yang dipengaruhi oleh penginjilan Jerman perayaan dilaksanakan dengan pola yang disebutkan sebelumnya, yaitu pembacaan berita penciptaan hingga kelahiran Yesus. Bagi jemaat yang dipengaruhi oleh Penginjilan Belanda, maka corak perayaannya berbeda. Seturut perkembangan yang disebutkan sebelumnya, maka perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan di luar jemaat melibatkan anggota-anggota jemaat dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Lalu terjadilah penggabungan dari cara-cara perayaan itu. Sebagian lagi masih tetap dengan cara masing-masing. Dalam perjalanan waktu mulailah terlihat bahwa perayaan ini diiringi dengan acara menikmati makanan kecil untuk menghangatkan suasana dan sekali gus dengan itu membutuhkan adanya acara-acara hiburan. Lama kelamaan, acara-acara hiburan ini pun terlihat menjadi sangat penting dan membutuhkan variasi dari tahun ke tahun. Lalu berkembanglah penampilan acara-acara hiburan. Dari segi waktu, acara ini mendominasi seluruh waktu perayaan. Seturut dengan perkembangan ini pun, maka berkembanglah dekorasi dari berbagai jenis, dibutuhkanlah makanan kecil, bahkan terkadang hingga makan siang atau makan malam. Acara sedemikian menuntut tata krama tersendiri sebagaimana layaknya sebuah pesta dalam resepsi perkawinan misalnya, sehingga personil yang terlibat di dalamnya semakin beranekaragam, termasuk penerima tamu, petugas dalam melayani makan dan sebagainya. Demikianlah pakaian-pakaian dan cara berhias lainnya menjadi sangat menentukan. Seluruh perkembangan ini akan berakibat langsung pada biaya penyelenggaraan Natal. Dia tampil menjadi suatu pesta mewah.

  • 9

    Selain daripada itu, masyarakat juga sudah terpengaruh oleh musik industri dan kebutuhan akan hiburan. Aspek hiburan dalam perayaan Natal jadinya menyelusup masuk ke dalam kebaktian. Lama kelamaan kebaktian dirakit agar mampu memberi variasi dan lebih memunculkan suasana ceria yang menghibur. Demikianlah tari-tarian, drama, penyanyi-penyanyi tunggal atau Paduan Suara menjadi sangat penting untuk menghibur hadirin. Walau pun khotbah memang tetap diberi tempat tersendiri, tetapi acara lainnya menjadi bagian dari hasil fantasi orang-orang yang merakit acara itu dengan selera hiburan tersebut. Sebagian memang dari sudut seni sangat memukau, tetapi jelas terlihat, bahwa kebutuhan yang mendasarinya adalah keinginan untuk hal-hal yang berbau hiburan dan spektakuler. Penampilan seperti ini akan terwujud dalam bentuk lain di desa-desa. Kekurangan hiburan mengakibatkan Natal menjadi suatu perayaan yang dinantikan dan akan benar-benar dipersiapkan agar sungguh-sungguh memenuhi selera. Walau pun suasana berbeda dibanding dengan di kota, tetapi coraknya sama, dan akibatnya tetap membutuhkan dana besar. Namun segala usaha akan dijalankan untuk mengumpulkan sumbangan-sumbangan, entah mencetak kalender sebagai alasan meminta sumbangan atau mengedarkan undangan yang mempunyai kupon sumbangan. Bahkan di beberapa desa yang terletak di tepi jalan raya, anak-anak muda ditugaskan untuk mencegat mobil-mobil yang lewat untuk memohon sumbangan. Perkembangan kebutuhan ini memang diperhatikan oleh industri, oleh karena itu sejak tahun 1970-an, bahkan sejak terbukanya Indonesia untuk lebih bebas dalam peredaran modal, maka seluruh kebutuhan Natal pun menjadi bagian dari industri. Sebagaimana layaknya dalam masyarakat industri pada umumnya, yaitu bahwa industri harus mampu untuk mencipta kebutuhan, bukan mengikuti kebutuhan masyarakat, maka keseluruhan corak perayaan Natal akhirnya menjadi bagian dari konsumerisme dalam segala bagian-bagiannya, baik kebaktiannya, dekorasinya, pakaian, dan gedung-gedung yang digunakan. Di pasar beredarlah dekorasi Natal yang cocok untuk mal-mal, toko-toko lain, acara-acara pemasaran produksi untuk kepentingan Natal dan sebagainya. Pasar jadinya lebih menentukan selera dekorasi kebaktian Natal, sehingga suasana di gedung kebaktian tidak beda lagi dari suasana di pasar raya. Pemasaran produk Natal tertentu menjadi menang sehingga muncullah cirri yang gemerlapan. Dekorasi Natal yang dahulu adalah bagian dari ibadah yang memberi kesan khusyukm anggun, tenang namun ceria, akhirnya tidak terlihat lagi. Demikianlah sekilas perkembangan dari perayaan Natal dilihat dari segi pelaksana perayaan, tanggal perayaan dan corak perayaan.

  • 10

    II Tiga tahap Perayaan Natal

    1. Pengantar: Natal, Bukan perayaan Ulang Tahun: Salah satu alasan bahwa Natal dapat dirayakan seperti apa yang sudah diuraikan di atas, adalah karena Natal itu adalah hari ulang tahun Yesus. Oleh karena itu, siapa pun dapat merayakannya, entah itu kelompok dalam jemaat atau pun di luar jemaat. Sebagaimana perayaan ulang tahun, maka tanggal perayaan itu pun dapat juga lebih longgar, menurut kesempatan yang ada: entah sebelum tanggal 25 atau sesudahnya, sama saja, yang penting kelahirannya itu dirayakan. Sebagaimana layaknya perayaan ulangtahun, di mana seluruh yang merayakannya akan bersukacita dengan keramaian, kue-kue dan makanan, maka Natal pun dapat dirayakan demikian. Pada hal tanggal kelahiran Yesus secara tepatnya tidak diketahui. Kalau berita dari Lukas 2 diperhatikan misalnya, di sana disebut bahwa para gembala bermalam di padang menjaga domba-domba, maka untuk daerah Timur Tengah yang mengenal empat musim, dapatlah diketahui bahwa hanya dalam musim panaslah domba dibiarkan di padang pada malam hari, sementara pada musim dingin, yaitu termasuk bulan Desember, maka domba-domba akan dibiarkan di kandang supaya tidak kedinginan. Para gembala pun tidak mungkin bermalam di padang pada waktu musim dingin. Oleh karena itu tidaklah mungkin tanggal 25 Desember sebagai tanggal lahir Tuhan Yesus. Memang ada usaha untuk mengadakan penelitian ilmiah tentang penentuan tahun kelahiranNya, misalnya dengan memperhatikan nama-nama Kaisar yang disebut dalam Alkitab, yang tentunya dalam ilmu sejarah dapat diketahui tahun pemerintahannya. Perjalanan orang Majus mengikuti bintang dapat juga ditentukan tahunnya menurut ilmu perbintangan. Namun semuanya itu tidak pasti, lebih lagi tanggal dan bulannya, lebih sulit lagi untuk ditentukan. Memang tanggal lahir Yesus itu pun tidak pernah dirasakan sebagai sesuatu yang penting bagi jemaat Kristen mula-mula. Itulah sebabnya dalam tulisan-tulisan Kristen yang kemudian masuk ke dalam kumpulan tulisan yang disebut Perjanjian Baru, di sana tidak ada yang menyinggung perlunya tanggal kelahiran itu. Ada 4 Injil, tetapi yang menuliskan kelahiran Yesus hanya dua

  • 11

    saja, yaitu Injil Matius dan Injil Lukas. Surat-surat lainnya dalam Perjanjian Baru pun tidak menyinggung peristiwa yang ajaib itu. Oleh karena itu, Perjanjian Baru memang tidak memberi dukungan bagi kita untuk mementingkan tanggal lahir Yesus. Oleh karena itu, Natal sebaiknya tidak dimengerti sebagai tanggal lahir. Natal mempunyai arti yang lain, yang jauh lebih mulia daripada sekedar ulang tahun, dan itulah yang akan kita bahas dalam bagian berikut. Dengan demikian kita tidak perlu ikut-ikut merayakan tanggal lahir Yesus, melainkan merayakan Natal saja.

    2. Rangkaian perayaan Natal:

    Melalui Natal, umat Kristen bukan bermaksud merayakan tanggal lahir. Tanggal dari peristiwa sejarah tertentu tidak menjadi penting bagi umat Kristen. Tetapi yang ingin dirayakan adalah perbuatan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian perayaannya akan sangat berbeda dibanding dengan sekedar merayakan tanggal lahir. Perayaan tidak mengingat satu peristiwa saja, tetapi selalu dilihat dalam rangkaian antara suatu peristiwa iman dengan peristiwa iman yang lain. Itulah sebabnya seluruh perayaan Kristen selalu mempunyai rangkaian. Tidak ada perayaan Kristen yang hanya dirayakan untuk satu kali itu saja di dalam satu hari misalnya, melainkan selalu ada rangkaian yang saling berhubungan. Dengan demikian Natal adalah bagian dari suatu rangkaian perayaan. Natal tidak hanya tanggal 25 dan 26 Desember saja.Secara garis besar, rangkaian itu akan digambarkan sebagai berikut:

    Rangkaian Perayaan Natal itu sendiri pun berkaitan dengan perayaan lain, yaitu Rangkaian Perayaan Paskah. Berakhirnya Rangkaian Natal ditentukan oleh Rangkaian Paskah. Selain itu Perayaan Paskah itu pun mempunyai rangkaiannya sendiri sebagai berikut:

    Rangkaian Perayaan Natal

    3. Masa Penampakan (Epiphania) 6 Januari s/d 2-4 minggu berikutnya

    2. Masa Raya Natal 25 Desember 5 Yanuari

    1.Masa Penantian (Advent) 4 minggu

  • 12

    Selanjutnya Rangkaian Paskah masih berlanjut pada Rangkaian Perayaan yang berkaitan dengan

    Seluruh rangkaian perayaan tersebut di atas dinamai dengan Tahun Gerejawi atau Tahun Liturgi. Rangkaian perayaan itu pun mempunyai thema yang berbeda-beda sesuai dengan tahun Liturgi itu dan thema-thema tersebut merupakan rangkaian dari suatu awal menuju suatu puncak:

    Advent memulai tahun Liturgi dengan thema besar tentang hidup Yesus di dunia ini dilihat dari sudut nubuatan dari Perjanjian Lama

    Natal dengan berbagai thema sekitar kelahiran Yesus Epiphania dengan berbagai thema tentang mujizat yang diperbuat Yesus dan

    awal pelayananNya. Pra Passion dan Minggu-minggu Passion

    Perayaan Paskah

    3. Masa Raya Paskah (berlangsung selama 50 hari)

    2. Masa Passion (6 Minggu sebelum Paskah)

    1.Masa Pra Passion (9 Minggu sebelum Paskah)

    Perayaan Trinitatis

    3. Minggu Akhir Tahun Gerejawi

    2. Masa peralihan (antara Minggu ke 25 dan akhir Tahun Gerejawi)

    1.Bagian Pertama selama 24 Minggu

  • 13

    3. Hubungan Rangkaian Perayaan Natal dengan seluruh perayaan Gerejawi lainnya (Tahun Gerejawi):

    Sebagai penutup dari bagian ini masih perlu diperhatikan lagi, bahwa walau pun perayaan Natal itu terdiri dari tiga bagian besar yang merupakan satu rangkaian, namun perayaan Natal itu pun ditentukan oleh rangkaian perayaan lainnya yang diadakan sepanjang tahun oleh Gereja. Perayaan-perayaan gerejawi itu dalam sejarahnya memang bermunculan pada waktu yang berbeda, bahkan sebagian muncul ratusan tahun sebelum yang lainnya. Namun kehidupan iman umat Kristen akhirnya merakit dan menyatukan perayaan-perayaan yang berbeda itu menjadi satu rangkaian perayaan yang mempunyai maksud sendiri. Perayaan Natal adalah sebagian kecil darinya dan berfungsi untuk menghantar masuk pada perayaan-perayaan berikutnya. Untuk memperoleh gambaran singkat, akan didaftarkan sebagai berikut:

    Minggu-Minggu Advent (4 kali hari Minggu) merupakan Persiapan untuk Natal.

    Minggu-minggu Natal (25 Desember 5 Januari) Minggu Epiphania ( mulai tanggal 6 Januari hingga Minggu

    sebelum minggu Septuagesima). Minggu-minggu Pra-Passion ( Minggu Septuagisma sampai

    Estomihi) yaitu sekitar Februari hingga awal Maret, Minggu-minggu Sengsara atau Passion (yaitu 6 Minggu sebelum

    Minggu kebangkitan) Minggu Paskah (50 hari, dimulai dari antara 22 Maret dan 25

    April hingga hari Minggu turunnya Roh Kudus) Minggu-minggu Trinitatis, yang berlangsung sepanjang 24 26

    Minggu, yang diakhiri dengan Minggu Kekekalan, yaitu Minggu memperingati orang-orang yang sudah meninggal.

    Bila perayaan-perayaan di atas dilihat, maka jelaslah semuanya itu mempunyai kaitan satu dengan yang lain bagaikan mata-rantai. Itulah perayaan yang terbentuk dalam sejarah yang panjang iman Kristen. Oleh karena itu, bila salah satu mata-rantai itu diputus, sebagaimana halnya dengan cara perayaan Natal yang salah seperti kita sebut di atas, maka hilanglah kaitan dari yang satu dengan yang lainnya, sehingga memunculkan kekacauan hidup kerohanian. Lebih lagi, hal ini berpengaruh pada kerohanian (spiritualitas) yang memimpin pada hidup yang berjuang untuk keadilan.

  • 14

    Melalui seluruh penjelasan di atas, terlihatlah sebuah rimba yang berkaitan dengan perayaan-perayaan Kristen, yang kelihatannya sangat sederhana, ternyata mengandung banyak muatan-muatan kerokhanian yang sangat dalam. Oleh karena itu berbagai pokok-pokok kecil yang disinggung di atas membutuhkan penjelasan lanjutan, agar makna Natal itu secara keseluruhan dapat difahami dan kemudian dihidupi, sehingga darinya kita dapat memperoleh pertumbuhan kerokhanian, khususnya dalam rangka memperjuangkan keadilan di dunia ini. Adapun pokok-pokok kecil yang perlu diperdalam untuk memahami Natal seutuhnya, adalah sebagai berikut:

    Bertumbuhnya perayaan-perayaan gerejawi, yang mendahului dan mendasari makna perayaan Natal, serta yang menentukan bentuk perayaan Natal,

    Perincian dari tahap-tahap perayaan Natal itu dan berbagai cara untuk merayakannya,

    Hal-hal teknis dalam perayaan Natal Hubungan perayaan Natal dengan spiritualitas yang berkeadilan:

    sebagai refleksi dari keseluruhan pendalaman tentang perayaan Natal.

  • 15

    III Yesus: bangkit dahulu baru lahir!?

    (proses bertumbuhnya perayaan gerejawi

    yang kemudian melahirkan perayaan Natal)

    1. Kebangkitan dan Hari Minggu Dalam kehidupan umat Kristen kebangkitan Yesus Kristus menjadi titik-tolak segalanya, sesuai dengan apa yang Paulus pesankan: Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. (I Korintus 15:14). Hal ini berlaku juga dalam munculnya perayaan Kristen. Perayaan yang pertama sekali dikenal oleh umat Kristen adalah perayaan mengingat kebangkitan Yesus yang diadakan setiap minggu, yaitu pada hari Minggu. Walau pun perayaan hari Minggu ini mengalami sejarah yang panjang, tetapi berikut ini akan disampaikan satu segi dari proses perkembangan perayaan itu, untuk menunjukkan makna perayaan yang dikenal oleh iman Kristen: Sebagaimana kita ketahui, pada awalnya mereka yang menjadi percaya akan kebangkitan Kristus dan kemudian disebut menjadi Kristen, adalah orang-orang Yahudi. Berarti mereka memelihara perayaan pada hari Sabbat, hari ke tujuh. Pada awalnya, orang-orang Kristen masih tetap bagian dari ke-Yahudian dan juga Bait Suci. Kita ingat bagaimana pada jam-jam doa Yahudi, Petrus masih pergi juga ke Bait Suci ( Kis. 3:1). Dalam perjalanan penginjilan Paulus, dia selalu mengunjungi Sinagoge, tempat kebaktian Yahudi pada hari Sabtu

  • 16

    (Kis. 13:12, 42, 44; 14:1; 16:13; 17:2; dll). Namun pada hari berkutnya, hari Minggu yaitu hari pertama bagi Yahudi mereka berkumpul untuk persekutuan dan perjamuan kudus (Kis. 2:46). Untuk mengikuti penghitungan hari Yahudi, maka orang Kristen pun menyebut hari Minggu mereka sebagai hari ke delapan (Yoh. 20:26). Dalam perjalanan waktu, hubungan ke-Yahudian dengan Kristen semakin renggang dan akhirnya terpisah, maka perayaan hari Minggu menjadi sangat penting. Namanya pun disebut menjadi Hari Tuhan (Wahyu 1:10). Karena dalam bahasa Latin kata Tuhan adalah dominus, maka hari Tuhan itu disebut oleh daerah-daerah yang dipengaruhi bahasa Latin dengan kata Domenica, Domingo, Dimanche. Kita di Indonesia dipengaruhi oleh bahasa Portugis, Domingo, sehingga menyebutnya dengan hari Minggu. Jadi kita beruntung di Indonesia, karena hari peristirahatan kita menggunakan istilah yang muncul langsung dari iman Kristen. Lama kelamaan makna perayaan hari Minggu itu berkembang lagi menjadi bagian dari penciptaan, karena di dalam kebangkitan Kristus, maka orang yang percaya dilahirkan kembali oleh kebangkitan Kristus (I Petrus 1:3) menjadi ciptaan baru. Itulah sebabnya setiap merayakan hari Minggu, mereka merayakan penciptaan juga, baik penciptaan manusia mau pun seluruh ciptaan lainnya. Itulah sebabnya Hari Minggu itu tetap mereka katakan sebagai hari pertama juga, karena pada hari pertamalah Allah menciptakan terang yang melenyapkan kegelapan, dan pada hari pertamalah Yesus dibangkitkan yang melenyapkan kegelapan maut. Namun semakin dalam umat percaya menghidupi makna hari Minggu, mereka semakin sadar bahwa bukan saja kebangkitan yang dirayakan, tetapi kematianNya juga, karena peristiwa Jumat Agung dilihat sebagai satu kesatuan dengan Minggu Paskah. Oleh karena itu perayaan itu akan mengingat kematian dan kebangkitan Yesus. Itu dapat dilaksanakan sekali gus melalui perayaan Perjamuan Kudus, karena dalam Perjamuan Kudus terkandung perintah untuk memberitakan kematian Yesus hingga Dia datang (I Korintus 11:26). Demikianlah perayaan hari Minggu menjadi titik berangkat untuk memberitakan Kristus, termasuk kematianNya. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus harus dirayakan setiap Minggu, sehingga tugas pengutusan orang percaya tetap diteguhkan.

  • 17

    Di sinilah terlihat makna perayaan: itu tidak sekedar pesta seperti yang kita ketahui, tetapi di dalamnya diperbaharui penghayatan akan kematian dan kebangkitan Kristus, semakin dalam masuk di dalam tugas penginjilan, semakin dipersatukan dengan Yesus yang sudah menjadi bagian dari diri dan hidup mereka melalui Perjamuan Kudus dan melalui Baptisan (Roma 6:3-5). Di sini tidak perlu lagi diterangkan bagaimana orang percaya melihat apa yang dirayakan pada hari Sabbat, ternyata intinya ditemukan dalam perayaan kebangkitan Yesus. Thema ini membutuhkan penjelasan yang panjang, tetapi cukuplah secara singkat dinyatakan di sini untuk semakin menguatkan apa makna perayaan. Bila dalam perayaan Sabbat umat beristirahat, maka itu dimaksudkan sebagai undangan bagi umat percaya untuk masuk ke dalam peristirahatan Allah. Seluruh kelelahan, dan hidup yang sudah usang atau seolah-olah terpecah-pecah menjadi kepingan-kepingan tugas sehari-hari, maka dengan masuk ke dalam istirahat Allah itu, manusia kembali dipulihkan seperti semula, mengalami hidup sebagai yang dicipta kembali. Itulah sebabnya maka perayaan Sabbat ini pada akhirnya menghantar pada perayaan kebangkitan Yesus, yang melahirkan kita kembali. Oleh karena itulah, maka kebangkitan Yesus menjadi pemenuhan istirahat pada hari Sabbat, sebab Sabbat itu sendiri tidak mampu mencipta kembali, tetapi kebangkitan Kristus sajalah yang melahirkan kembali. Itulah sebabnya orang Kristen merayakan hari Minggu dengan beristirahat. Melalui penjelasan ini kiranya semakin jelas bagi kita akan makna perayaan: bahwa kita pada akhirnya dipersatukan dengan apa yang menjadi penentu bagi penciptaan kita dan bagi keselamatan kita. Perayaan kita sangat berbeda dengan apa yang dilaksanakan oleh dunia ini. Dengan demikian, kita sudah boleh beralih pada perayaan-perayaan lain yang muncul sesudah adanya perayaan kebangkitan pada setiap hari Minggu.

    3. Munculnya Perayaan Paskah dan terbentuknya tahun Gerejawi bagian pertama:

    Sebagaimana kita ketahui perayaan Paskah adalah perayaan Yahudi. Pada awalnya, Paskah tidak dirayakan oleh orang Kristen karena tidak melihat pentingnya merayakan pesta Yahudi. Seperti yang disebutkan di atas, perayaan Kristen lebih pada kebangkitan Yesus pada setiap hari Minggu. Namun pada abad ke 2 sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari ke

  • 18

    limapuluh, yaitu perayaan Pentakosta. Perayaan itu bagi orang Kristen bagaikan perayaan kebangkitan yang sambung menyambung setiap hari, hingga Ambrosius, seorang Bapa Gereja mengatakan, bahwa perayaan hari-hari yang panjang itu seolah-olah satu hari saja. Perkembangan ini memimpin pada perayaan Paskah sebagai perayaan Kristen dan cepat berkembang di seluruh daerah di mana Kristen hidup, tetapi Paskah itu tetap dirayakan selalu jatuhnya pada suatu hari Minggu. Namun terjadilah perbedaan cara penghitungan kapan jatuhnya Paskah: sebagian menghitungnya berdasarkan perhitungan Yahudi yaitu pada tanggal ke empatbelas bulan Nisan. Kelompok ini disebut dengan quartodeciman (empatbelas). Masalahnya adalah, melalui penghitungan ini maka Paskah bisa saja tidak jatuh pada hari Minggu. Yang lainnya melakukan cara penghitungan yang lain supaya Paskah tetap jatuh pada hari Minggu. Barulah pada Konsili Nicea tahun 325 diperoleh kesepakatan: Hari Paskah selalu pada hari Minggu sesudah bulan purnama yang terjadi pada saat atau sesudah hari di mana waktu siang dan malam sama panjangnya. Sebagaimana kita ketahui bagi daerah pada bagian tertentu di atas katulistiwa, pada musim dingin terjadi di mana malam hari lebih panjang dari siang hari. Tetapi semakin mendekat pada musim panas, maka akan ada satu hari di mana siang dan malam mulai sama panjangnya. Pada bulan purnama saat itu atau sesudahnyalah hari Paskah. Oleh karena itu untuk penganggalan kita sekarang, maka itu selalu ada di sekitar tanggal 22 Maret dan 25 April. Itulah sebabnya tanggal Paskah tidak pernah selalu sama setiap tahun. Perayaan Paskah menjadi sangat penting juga, karena pada saat itulah biasanya orang-orang dewasa dibaptiskan, setelah mereka menjalani masa katekhisasi. Sebelum dibaptis, mereka harus menjalani masa puasa sebagai persiapan diri selama 40 hari, mengikuti lamanya puasa Yesus. Bila ke 40 hari itudiperhatikan itu berarti dia berada dalam ruang lingkup 6 hari Minggu. Setiap hari mereka dibmbing untuk menjalani masa puasa itu dengan pembacaan Alkitab, untuk mengikuti perlahan-lahan perjalanan Yesus menuju salib. Itu menjadi penting, karena melalui baptisan, orang percaya akan mati dan bangkit bersama Kristus (Roma 6:3-5). Berarti hidup mereka akan dipersatukan dengan hidup Yesus, sehingga sesudah baptisan mereka mengaku: namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. ( Galatia 2:20). Selama

  • 19

    40 hari mereka akan perlahan-lahan mengikuti Yesus menuju kayu salib, hingga pada Paskah pada kebangkitanNya, mereka akan dibaptis. Kebiasaan ini berlangsung terus walau pun mereka sudah dibaptis. Mereka jadinya turut serta bersama-sama dengan calon baptis lainnya berpuasa dan berjalan perlahan-lahan dari hari ke hari bersama dengan Yesus menuju Golgata. Hari-hari perenungan mereka itu ditentukan melalui pembacaan-pembacaan Alkitab setiap hari. Ayat-ayat itu dipengaruhi oleh ayat pembimbing yang kita dengar setiap awal kebaktian. Ayat itu disebut dengan Introitus. Ayat itu biasanya diambil dari bahasa Latin, dan untuk memudahkan mengingatnya, maka setiap kata pertama dari ayat itu, dibuat menjadi nama dari hari Minggu itu. Dengan demikian muncullah 6 Minggu dengan nama masing-masing sebagai Minggu-minggu dalam masa Puasa. Karena dalam masa ini penderitaan Yesus yang menjadi perhatian utama, maka minggu itu disebut dengan Minggu-minggu Sengsara atau Minggu Passion. Minggunya terdiri dari:

    Minggu Invocavit : mengikuti kata pertama dalam bahasa Latin dari Mazmur 19:5;

    Minggu Reminiscere: mengikuti kata pertama dalam bahasa Latin dariMazmur 25:6, 2b;

    Minggu Oculi: mengikuti kata pertama dalam bahasa Latin dari Mazmur 25:16;

    Minggu Letare: mengikuti kata pertama dalam bahasa Latin dari Yesaya. 66:10;

    Minggu Palem: Minggu yang mengingat Yesus masuk ke Yerusalem dan disambut dengan daun palem.

    Sesudah ke 6 Minggu inilah umat percaya masuk ke dalam apa yang disebut Minggu Kudus, yang di dalamnya terdapat Jumat Agung. Dan hari Minggu berikutnya adalah Paskah. Demikianlah satu rangkaian perayaan muncul, yaitu mulai dari masa puasa 40 hari atau 6 Minggu Passion hingga Minggu Paskah. Lalu rangkaian ini digabung dengan Minggu-minggu sesudahnya yang berjumlah 50 hari, yaitu mulai dari kebangkitan hingga hari Pentakosta. Ke 50 hari ini pun kemudian dirangkai dalam Minggu-minggu dengan nama demikian:

    Paskah hari Pertama dan Paskah Hari kedua Minggu Quasimodogeniti

  • 20

    Minggu Misericordias Domini Minggu Jubilate Minggu Kantate Minggu Rogate Hari Kenaikan Minggu Exaudi Minggu Pentakosta hari Pertama dan Kedua

    Dengan demikian, muncullah satu rangkaian perayaan yang panjang dengan urutan perayaan sebagai berikut:

    Persiapan/pendahuluan melalui Puasa Perayaan Inti Yaitu Minggu Kudus sampai Paskah Perayaan lanjutan, yaitu hingga hari ke 50.

    Tetapi dalam perkembangan kemudian, ditambah lagi 3 Minggu sebagai Pra Persiapan, yang biasa disebut dengan Pra-Passion, dengan nama Minggu : Septuagesima, Sexagesima dan Estomihi. Hari Rabu sesudah Estomihilah awal dari masa Puasa yang kemudian disebut sebagai Rabu Abu. Inilah yang kemudian membentuk Tahun Gerejawi. Untuk sementara, karena belum lengkap, marilah kita sebut sebagai Tahun Gerejawi bagian pertama.

    4. Munculnya Perayaan Natal dan terbentuknya tahun Gerejawi bagian Kedua:

    Sekitar abad kedua muncullah di Mesir kebiasaan oleh jemaat yang beraliran Gnostik, merayakan kelahiran Yesus pada tanggal 6 Januari. Tetapi kebiasaan ini bertahan hanya pada kalangan mereka saja. Sekitar abad ke 4 M. muncullah juga di Mesir secara perlahan-lahan kebiasaan merayakan tiga pesta sekaligus dalam waktu yang sama (6 Januari), yaitu perayaan yang namanya Penampakan Yesus. Perayaan ini mempunyai penekanan tiga peristiwa Yesus yang dilihat sebagai awal penampakanNya, yaitu kelahiran, baptisan di sungai Yordan dan Perkawinan di Kana (air menjadi anggur). Ketiga perayaan ini berkaitan dengan tradisi kuno Mesir tentang kelahiran dewa dari seorang anak dara, dan kekuatan Sungai Nil dalam memberi kehidupan pada bangsa Mesir, serta peristiwa berobahnya air menjadi anggur oleh dewa mereka. Tradisi ini seolah-olah mereka temukan dalam Diri Yesus, sehingga ketiganya dirayakan tidak lagi berkaitan dengan dewa-dewi, tetapi berkaitan dengan keselamatan yang diterima dari Yesus. Hal ini mereka

  • 21

    lakukan untuk menginjili jemaat yang masih kafir agar meninggalkan dewa-dewi mereka dan beralih pada Yesus yang menjamin kesuburan tanah mereka. Perayaan ini kemudian dikenal di seluruh bagian Timur kerajaan Romawi melalui Yerusalem. Seorang Bapa Gereja, bernama Athanasius, yang menjalani hukuman di daerah Trier, membawa kebiasaan ini ke Eropa, tetapi perayaan Perjamuan di Kana tidak turut dirayakan jemaat di tempat yang baru itu, sehingga hanya kelahiran dan baptisan Yesus saja yang dirayakan. Tetapi di bagian Barat Kerajaan Rumawi berkembang juga tradisi yang lain untuk perayaan kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember, yaitu tanggal yang tadinya berkaitan dengan matahari. Pada hari inilah matahari berada pada titik terendah sebelum dia kembali naik. Di sinilah mereka berpesta besar untuk merayakan kemenangan matahari, sebagai Matahari yang tidak terkalahkan. Bagi jemaat Kristen, Terang dunia adalah Yesus sendiri dan Sang Surya Kebenaran menurut Maleaki 4 adalah Yesus sendiri. Oleh karena itu orang Kristen menginjili lingkungannya melalui kebiasaan kebudayaan tersebut untuk menunjukkan bahwa Yesus sajalah Terang Dunia, oleh karena itu perayaan dewa matahari harus ditinggalkan. Perkembangan selanjutnya adalah, bahwa kedua tanggal ini, yaitu 25 Desember dan 6 Januari mulai menyebar ke jemaat-jemaat dan saling mempengaruhi dalam hidup berjemaat. Melalui suatu proses yang panjang, yang tidak mungkin diceriterakan dalam buku ini, terjadilah penggabungan di jemaat-jemaat di Barat menjadi: kelahiran dirayakan pada tanggal 25 Desember dan baptisan Yesus pada tanggal 6 Januari. Di Timur kelahiran Yesus tetap dirayakan pada tanggal 6 Januari. Memang sejarah tanggal ini mempunyai perkembangan rumit, karena juga berkaitan dengan perobahan penanggalan, yaitu tahun menurut Kaisar Julianus tetap digunakan oleh Gereja-gereja di Timur dan di Barat digunakan tahun Masehi seerti yang kita gunakan sekarang. Ini juga membawa perbedaan tanggal perayaan. Seluruh proses ini terjadi mulai abad ke 4. Melihat perkembangan itu jelaslah terlihat bahwa jemaat Kristen baik di Barat mau pun di Timur tidak pernah bermaksud merayakan kelahiran Yesus menurut tanggal yang pasti kelahiran Yesus. Tanggal itu tidak pernah mereka cari untuk menjadi pertimbangan untuk merayakan kelahiran Yesus. Jemaat lebih memperhatikan makna simbolis dari setiap tanggal yang dipilih untuk merayakan kelahiran Yesus tersebut.

  • 22

    Sebagaimana sudah disinggung di atas, perayaan Paskahlah yang terbesar dan yang pertama dirayakan dibanding dengan Natal. Telah disebut juga bahwa ada kebiasaan jemaat untuk turut serta dengan calon baptis berpuasa selama 6 Minggu. Dalam perkembangan selanjutnya ke 6 minggu tersebut mempunyai penekanan yang berbeda-beda, yang merupakan rangkaian persiapan menyongsong perayaan Paskah itu. Persiapan itu lebih merupakan perjalanan bersama dengan Yesus menuju salib. Oleh karena itu peristiwa Yesus direnungkan setiap hari Minggu dan setiap hari, perlahan-lahan hingga tiba di bukit Golgata dan bangkit lagi pada hari ke tiga. Ini dijalani melalui bacaan-bacaan Alkitab dan perenungan-perenungan. Selama perenungan inilah puasa dijalankan. Karena puasa Kristen lebih merupakan doa melalui tubuh, maka caranya tidak sama. Ada yang hanya berpantang daging tetapi memakan ikan, ada yang hanya memakan tumbuh-tumbuhan saja, ada yang tidak menyentuh roti tetapi hanya bubur kacang saja. Satu minggu sebelum Paskah sebahagian orang malah benar-benar puasa total. Tidak ada rumus yang sama, karena puasa bukan bentuk kesalehan yang menentukan keselamatan. Jemaat yang sudah mengalami indahnya persiapan menyongsong Paskah itu selama 6 minggu, tentunya melihat pentingnya juga menyongsong Natal melalui suatu persiapan diri. Di Timur memang sudah ada kebiasaan untuk menjalani masa puasa selama 40 hari sebelum perayaan yang masih tergabung tiga tadi (kelahiran, baptisan Yesus dan Perjamuan Kana) yang dirayakan tanggal 6 Januari. Itu berarti puasa itu dimulai tanggal 11 November. Pemahaman yang sama pun muncul di Barat, sehingga mereka juga menyongsong Natal melalui puasa di daerah Perancis selama 6 minggu. Kebiasaan ini pun berkembang hingga ke daerah lain di Barat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya persiapan ini pun kemudian berobah menjadi 4 Minggu. Sama seperti masa Puasa dalam Paskah, maka masa persiapan sebelum Natal itu pun mempunyai penekanannya sendiri-sendiri. Penekanan itu ditandai oleh ayat Introitus tadi, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dan melalui pembacaan Alkitab dan perenungan-perenungan. Sama seperti proses munculnya Paskah, muncul jugalah suatu rangkaian perayaan yang baru yang mempunyai pola yang sama yaitu: Sebagai pendahuluan dan persiapan ialah ke 4 minggu Advent. Perayaan yang lebih tua sebelumnya, yang dimulai dengan tanggal 6 Januari digabung dengan perayaan Natal Oleh karena itu tanggal 25 Desember sampai dengan tanggal 5 Januari

  • 23

    menjadi satu kesatuan. Lalu disambung pada kesatuan lainnya yang mulai tanggal 6 Januari. Dengan demikian strukturnya menjadi sama seperti rangkaian Paskah, di mana ditemukan

    Persiapan/pendahuluan melalui Puasa Perayaan Inti Yaitu Minggu Kudus sampai Paskah Perayaan lanjutan, yaitu hingga hari ke 50.

    Dalam rangkaian Natal, ketiga struktur Paskah ini terlihat sebagai berikut: Persiapan:

    Advent I: Tuhan yang akan datang pada akhir zaman Advent II: Pertobatan untuk menyongsong Tuhan Advent III: Kedatangan Tuhan di dunia ini sebagai Penyelamat Advent IV: Sukacita menyongsong Tuhan (Pujian Maria)

    Masa Raya Natal

    Hari Pertama: 25 Desember: Kelahiran Yesus. Hari Kedua: 26 Desember Kematian Stefanus (martir pertama). Hari Ketiga: 27 Desember Yohannes (murid yang dikasihi). Hari Keempat: 28 Desember Kematian anak-anak yang tidak bersalah

    di Bethlehem Hari Kelima: 29 Desember Simeon Hari Keenam: 30 Desember Hanna Hari Ketujuh: 31 Desember Firman menjadi daging Hari Kedelapan: 1 Januari Nama Yesus (Yesus di Bait Suci) Hari Kesembilan: 2 Januari Yohannes 3: 1-8 Hari Kesepuluh: 3 Januari Yoh. 3:9-15 Hari Kesebelas: 4 Januari Yoh. 3:16-21 Hari Keduabelas: 5 Januari Yoh. 3:22-36

    Minggu Penampakan (Epiphania)

    Minggu I sesudah Epiphania: pembaptisan Yesus di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis.

    Minggu II sesudah Epiphania: tanda ajaib yang pertama dilakukan Yesus pada waktu Perjamuan di Kana.

    Minggu III sesudah Epiphania: penyembuhan hamba dari perwira Kapernaum.

    Minggu IV sesudah Epiphania: Yesus meredakan angin ribut.

  • 24

    Minggu V sesudah Epiphania: perumpamaan Yesus tentang lalang di tengah-tengah gandum.

    Demikianlah muncul satu rangkaian perayaan besar yang kedua, sesudah yang pertama tadi, yaitu rangkaian Paskah. Kita lihat pemikiran-pemikiran teologis yang ada dalam pembentukan dan susunan rangkaian Paskah itu mempengaruhi proses pembentukan dan susunan rangkaian Natal. Dapat dikatakan bahwa rangkaian Paskah itulah yang melahirkan rangkaian Natal. Memang sebagaimana kita sebutkan sebelumnya, Paskahlah yang paling utama dalam perayaan dibanding dengan Natal. Namun kedua rangkaian itu kemudian digabungkan dengan rangkaian Paskah. Ini terlihat dengan jelas melalui jumlah Minggu Epiphania. Walau pun di atas didaftarkan adanya 5 Minggu Epiphania, tetapi di dalam kenyataannya Minggu-minggu itu tidak selalu sama setiap tahun, terkadang dua Minggu terkadang 4 minggu. Jumlah itu tergantung dari tanggal Paskah. Seperti sudah disebutkan, tanggal Paskah itu terletak di antara tanggal 22 Maret dan 25 April. Paskah itulah yang menentukan Minggu-minggu Pra-Passion yang berjumlah 3 dan Minggu-minggu Passion yang berjumlah 6. Jadi kalau tanggal Paskah sudah ditentukan, maka haruslah dihitung 9 minggu sebelumnya ke belakang, dan minggu sebelumnyalah yang menjadi akhir dari Minggu Epiphania. Semakin jauh ke April, maka Minggu Epiphania akan semakin banyak dan semakin dekat ke April, maka Minggu Epiphania akan berjumlah lebih sedikit. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa panjang tidaknya rangkaian perayaan Natal, ditentukan oleh Paskah. Secara teologis makin jelaslah juga terlihat, bahwa Paskah sangat menentukan bagi Natal. Bahkan seperti yang sudah disebutkan di atas, Paskahlah yang melahirkan Natal.

    5. Natal sebagai bagian dari keseluruhan Tahun Gerejawi:

    Sebelum bagian ini ditutup perlu kita lihat secara sekilas, bahwa bila Rangkaian Natal dan Rangkaian Paskah digabungkan, maka terdapatlah suatu rangkaian perayaan mulai dari Advent sampai Pentakosta, itu berarti dalam tahun Masehi rangkaian itu terletak mulai dari akhir November hingga Mei. Dalam rangkaian perayaan ini terlihatlah hampir setengah dari tahun Masehi kita jadinya dinaungi oleh rangkaian perayaan itu. Cirinya adalah perayaan itu

  • 25

    berpusat pada Pribadi dan karya Yesus Kristus dan dimaksudkan untuk kemuliaanNya. Dalam ide aslinya, rangkaian perayaan itu ingin mengambil babak-babak penting dari sejarah dalam Injil itu dan membariskannya sebagai perjalanan tahunan bagi kita, mulai dari kelahiranNya hingga pencurahan Roh Kudus. Dengan menjalani hidup kita sehari-hari di dalam tahun Masehi, serentak dengan itu kita menjalani kehidupan Yesus melalui rangkaian perayaan itu, yang kemudian disebut dengan Tahun Gerejawi atau Tahun Liturgi, sebagaimana sudah disinggung pada bab yang lalu. Setengah tahun lagi, tahun Gerejawi itu disebut dengan Minggu-minggu Trinitatis, atau Minggu-minggu sesudah Pentakosta. Segera sesudah selesai Minggu Pentakosta, mulailah suatu Minggu yang disebut dengan Minggu Trinitatis. Di sini Tri Tunggal Kudus menjadi thema perayaan. Minggu-minggu sesudahnya akan disebut dengan Minggu 1. sesudah Trinitatis dan seterusnya. Minggu-minggu itu sedemikian panjang hingga menjelang akhir November. Bila Minggu Advent sudah dimulai, dengan menghitung 4 hari Minggu sebelum tanggal 25 Desember, maka di situlah akhir dari Minggu Trinitatis. Oleh karena itu seluruh Minggu Trinitatis berjumlah 24 Minggu, ditambah dengan 3 Minggu lagi yang dapat dijalani semua atau sebagian, tergantung kapan mulainya Advent. Thema dari pada Minggu-minggu tersebut adalah berkaitan dengan kehidupan Gereja, yaitu dasar berdirinya gereja, pertumbuhannya, baik secara pribadi maupun bersama seluruh jemaat, tentang kelahiran kembali dan kebangkitan dari mati. Itulah sebabnya minggu-minggu ini disebut juga Semestre ecclesiae, sementara setengah tahun pertama yang berkaitan dengan Diri dan Karya Yesus disebut dengan semestre Domini. Pada akhir Minggu Trinitatis, maka Gereja mengingat akhir dari hidupnya, dan untuk itu Gereja mengingat orang-orang yang sudah meninggal. Demikianlah satu perjalanan panjang selesai dilalui, barulah kemudian jemaat akan dihantar pada tahap berikutnya, yaitu masuk ke dalam perayaan Advent. Setiap tahun perjalanan ini berlangsung berulang-ulang, mulai dari Advent hingga kembali lagi memasuki Advent. Dia terlihat menjadi satu rangkaian mata rantai yang teratur. Oleh karena itu bila Natal dicuri dan dirayakan keluar dari mata-rantai ini maka akan berakibat pada berantakannya rangkaian perayaan yang lain dalam tahun gerejawi itu, berarti kekacauan perayaan iman kita.

  • 26

    IV Tahap-tahap

    Merayakan Natal Tahap-tahap itu dimaksudkan untuk menjalani rangkaian perayaan Natal itu menurut thema-thema yang sudah ditentukan. Thema-thema itu biasanya dimulai atau terdengar di dalam kebaktian hari Minggu. Disana terdapat beberapa bacaan Alkitab, dan dari bacaan itulah kita menyadari bahwa kita sedang berada dalam suatu tahap tertentu. Daftar bacaan itu terdiri dari, pertama sekali, ayat pembuka dalam kebaktian, yang biasa disebut dengan Introitus. Dia biasanya terdiri dari satu atau dua ayat. Bila kita jeli mendengarnya, maka akan terdengarlah di mana posisi kita. Introitus, yang menurut arti kata juga berarti pintu masuk, memang membuka pintu untuk memasuki penekanan perayaan, yang kemudian akan terasa dalam pembacaan Alkitab yang berikutnya, yaitu pembacaan dari Perjanjian Lama, menyusul Pembacaan dari Surat Kiriman (Epistel) dan kemudian pembacaan dari Injil (Evangelium). Pembacaan ini sudah tersusun untuk sepanjang tahun dalam suatu rangkaian bacaan yang disebut dengan Lectionary. Dalam susunan pembacaan itulah kita mengetahui sedang berada dalam tahap mana di dalam suatu rangkaian perayaan. Introitus yang telah membuka tadi, akan selalu berkaitan dengan pembacaan Alkitab dari Perjanjian Lama, Epistel dan Injil tadi. Apa yang sudah dibuka dalam kebaktian hari Minggu, akan diteruskan dalam doa-doa di rumah. Untuk Gereja-gereja di Sumatera Utara, Gereja biasanya mengeluarkan sebuah buku yang di dalamnya terdapat daftar bacaan Alkitab untuk setiap hari. Di sana tercantum

    Ayat Harian Bacaan Alkitab untuk Pagi Hari

  • 27

    Bacaan Alkitab untuk Malam hari Ketiga bacaan ini biasanya berkaitan dengan Introitus pada hari Minggu dan bacaan Alkitab lainnya. Dengan demikian, setiap hari kita dapat mengikuti thema itu satu persatu. Inilah secara umum yang dapat kita ikuti untuk benar-benar berada dalam tahap-tahap perayaan itu. Dengan kata lain, pembacaan Alkitab itulah yang menjadi penentu dalam kita menjalani tahap-tahap itu. Untuk itu kita dapat melihat bagaimana itu dijalankan bila kita mengingat apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita, yang sedang lupa pada perayaan Natal yang sesuai dengan tahun Gerejawi.

    1. Sungguh-sungguh menjalani Menjalani Masa Advent

    Pembacaan Alkitab dan Nyanyian Dalam bagian sebelumnya sudah disebutkan penekanan dari setiap Minggu Advent. Sayang sekali bahwa Gereja-gereja kita mempunyai tradisi yang berbeda-beda tentang urutan-urutan penekannnya yang dituang dalam ke empat Minggu Advent tersebut. Tetapi kalau semua diperhatikan, maka biasanya Minggu Advent itu berkisar pada penantian Yesus di dalam kehidupan kita saat ini, di dalam hati kita dan ini lebih mengarah pada persiapan menyongsong kelahiran, dan kemudian penekanan akan penantian kedatangan Yesus keduakalinya di akhir zaman. Adapun thema yang ditulis sebelumnya dan yang didaftarkan kembali berikut ini, adalah berasal dari satu tradisi:

    Advent I: Tuhan yang akan datang pada akhir zaman Advent II: Pertobatan untuk menyongsong Tuhan Advent III: Kedatangan Tuhan di dunia ini sebagai Penyelamat Advent IV: Sukacita menyongsong Tuhan (Pujian Maria)

    Jika thema itu pada hari Senin sampai Sabtu dijalani, maka akan terlihatlah, bahwa kita menikmati hari Senin dari Minggu Advent 1 berbeda dengan hari Senin dari Minggu Advent ke 2. Demikian seterusnya dengan hari-hari lain. Selain dari pada bacaan Alkitab, kepada kita dipersiapkan juga nyanyian-nyanyian yang dapat kita gunakan, yang sesuai dengan thema dari Minggu yang sedang dijalani. Bila kita terus menjalaninya setiap hari melalui pembacaan itu, baik pagi hari dan malam hari, maka kita akan merasakan bagaimana suatu kehidupan dijalani dalam misteri kehidupan Kristus.

  • 28

    Sebagai contoh, berikut ini akan diambil satu rangkaian bacaan Alkitab pada suatu Advent 1: Hari Perj. Lama Epistel Injil Minggu Yes 1:1-9 2 Petr. 3:1-10 Mat. 25-1-13 Selasa Yes. 1;10-20 1 Tes. 1:1-10 Luk. 20:1-8 Rabu Yes. 2:1-4 1 Tes. 2:13-20 Luk. 20:19-26 Kamis Yes. 2:5-22 1 Tes. 3:1-13 Luk. 20:27-40 Jumat Yes.3: 1-4:1 1 Tes. 4:1-12 Luk. 20:41-21:4 Sabtu Yes. 4:2-6 1 Tes. 4:13-18 Luk. 21:5-19 Bila Injil hari Minggu di atas dilihat, maka kewaspadaan akan kedatangan Tuhan kedua kali menjadi tekanan. Hal ini dikuatkan dalam Epistel dari 2 Petrus. Bacaan Perjanjian Lama menyediakan tegoran untuk mengarahkan sikap hidup bagi orang yang menantikan kedatangan Yesus ke duakali. Untuk itu kita dapat mengambil nyanyian yang sesuai dengannya, misalnya dari Kidung Jemaat no 272 279.

    Bentuk Perayaan-perayaan dalam Advent Sebagaimana digambarkan pada awal buku ini, masyarakat kita sudah mencuri Natal dan melepaskannya dari mata-rantainya, maka untuk mengembalikannya kita masih dapat mengadakan perkumpulan-perkumpulan selama masa Advent. Bila memang kantor kita atau sekolah kita tidak mempunyai kesematan lagi untuk berkumpul bersama, maka kita dapat membuat perkumpulan tetapi tetap setia pada thema yang sudah ada. Mungkin sulit bagi kita membayangkan bagaimana menjalankannya, sementara kita sudah terbiasa bernyanyi Malam Kudus pada Advent pertama misalnya. Mungkin agak lucu bagi perasaan kita, bahwa untuk meluruskannya kita dapat mengambil contoh dari pengalaman saudara-saudara Muslim. Pada bulan Ramadhan mereka berpuasa. Mereka konsisten menjalaninya. Tidak ada yang mencoba-coba mendahulukan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Seandainya seperti alasan kita, mereka mengatakan bahwa waktu untuk berkumpul di kantor adalah pada bulan Ramadhan, maka mereka berpuasa juga pada siang hari, tetapi sesudah berbuka mereka akan merayakan Idul Fitri dan besoknya kembali puasa. Namun hal seperti itu tidak pernah mereka laksanakan. Bila mereka ingin berkumpul pada bulan Ramadhan,

  • 29

    maka mereka berkumpul untuk berbuka bersama, sebab itulah cara perkumpulan ibadah yang cocok untuk masa puasa tersebut. Betapa janggalnya sebenarnya kalau pada sepanjang minggu Advent jemaat kita merayakan Natal, membaca Lukas 2, menyanyikan Malam Kudus, dan bersalam-salaman Selamat Natal walau pun belum tiba, lalu kemudian kita pada hari Minggu masuk dalam kebaktian di Gereja dan mendengar bahwa kita sekarang sedang berada dalam Minggu Advent lalu kita bernyanyi Kusongsong bagaimana, ya Tuhan datangMu atau O datanglah Immanuel, tetapi malamnya Immanuel itu sudah dirayakan sebagai yang sudah datang, yang tidak perlu disongsong lagi, lalu hari Minggunya masuk lagi ke Gereja untuk menyongsong dan menyeru agar Immanuel datang. Sungguh lucu sebenarnya, selucu kalau ada Muslim yang berani-beranian merayakan Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu kalau memang harus berkumpul untuk ibadah, baiklah kita merayakannya dengan menyebut perayaan itu Kebaktian menyongsong Natal. Lalu kalau kita mencari thema, kita tinggal melihat, pada minggu ke berapakah dalam Advent kebaktian itu diadakan, dan melihat pada hari apa, maka di sana sudah tersedia bacaan Alkitab, dan itulah yang menjadi thema dari perayaan itu. Biarlah kita bernyanyi pada perayaan itu, dengan menyesuaikan misalnya nyanyian Akhir Zaman untuk Advent 1, pengakuan dosa atau seruan pertobatan untuk dinyanyikan pada Advent ke 2 dan seterusnya. Kantor atau sekolah kita masih dapat juga mengadakan perayaan menyongsong Natal itu dengan kebiasaan jemaat yang lebih dekat pada tradisi yang selalu membacakan ayat-ayat tertentu melalui susunan seperti berikut ini:

    Berita Penciptaan, Kejatuhan Manusia ke dalam dosa, Janji kedatangan Messias, Kelahiran Juruslamat dan Ucapan Syukur atas keselamatan.

    Tetapi bila kebaktian itu ada pada masa Advent, maka pembacaan Alkitab hanya sampai pada urutan ke tiga, entah itu janji kedatangan Messias dalam Perjanjian Lama, atau penantian kedatangan Juruslamat dalam perjanjian

  • 30

    Baru, tetapi tidak akan membacakan Lukas 2 misalnya dan tidak menyanyikan Malam Kudus, atau Hai mari berhimpun. Dalam perayaan ini, maka Pohon Natal sebaiknya tidak diletakkan di tempat perayaan. Simbol Advent sebaiknya dibuat, yaitu lingkaran besar dari daun pohon pinus atau sejenisnya yang diikat dengan pita merah, dan di atasnya diletakkan 4 lilin. Acara penyalaan lilin adalah menyalakan lilin yang ada dalam krans Advent itu, tergantung pada tanggal perayaan: kalau perayaan itu diadakan pada minggu ke tiga misalnya, maka lilin yang dinyalakan adalah tiga buah. Demikian seterusnya. Dekorasi juga disesuaikan. Masa Advent ditandai dengan warna ungu, yaitu warna penutup altar. Oleh karena itu kertas-kertas creppe yang dipakai untuk menghias sebaiknya didominasi warna ungu. Warna itu menyimbolkan wana penantian yang berkaitan dengan rasa penyesalan. Tradisi zaman dulu, yang mengisi minggu Advent dengan puasa, sekarang sudah mulai hilang. Ada juga sebagian warga jemaat yang mengisinya dengan berpantang makanan tertentu atau kebiasaan-kebiasaan tertentu, agar dia tertolong untuk menjalani perlahan-lahan apa yang harus dia persiapkan dalam hidup kerokhaniannya menyongsong kelahiran Yesus. Melalui itulah seorang warga jemaat dapat membenamkan dirinya pada Firman Allah melalui persiapan ini, sehingga ketika tanggal 24 Desember tiba, dia akan memasukinya dengan kegembiraan yang besar, sebagai akhir dari persiapan itu, akhir dari hari-hari Advent. Bila kita sepanjang bulan Desember ramai dengan kebaktian-kebaktian menyongsong Natal, maka kita tidak akan menjadi lelah karena masuk ke dalam nyanyian yang sama dan thema yang sama, tetapi kita masuk ke dalam berbagai tahap yang semakin memuncak, sehingga kita aka tertolong untuk sungguh-sungguh menjalani masa Advent itu, selangkah demi langkah dipimpin menuju kebaktian malam tanggal 24 Desember. Di situlah jemaat akan menyanyikan Malam Kudus. Penghayatan iman akan semakin dalam memasuki Natal, karena sepanjang 4 Minggu sudah berlangsung persiapan rohani. Seluruh usul-usul di atas untuk merayakan Natal dengan tepat memang membutuhkan perlengkapan tertentu. Hingga hari ini kita sangat jarang melihat perayaan menyongsong Natal atau perayaan Advent. Untuk itu jemaat membutuhkan contoh-cntoh Tata Kebaktian dan pedoman pelaksanaannya. Terlampir pembaca dapat melihat satu contoh kebaktian Advent dengan

  • 31

    mengikuti model Liturgi Lutheran. Dengan sengaja penjelasan singkat Liturgi Lutheran di lampirkan juga, agar kita dapat melihat mana rumpun ibadah itu yang sudah menetap, mana yang dapat dirobah-robah. Bila perayaan ini sudah benar-benar mulai dijalankan, ini akan menjadi dorongan untuk para pendeta dan teolog untuk mulai mempersiapkannya jauh-jauh hari, agar jemaat boleh mempersiapkan diri memedomani perayaan itu menurut tanggal dan thema perenungan yang sudah tertentu tadi. Ahli-ahli musik Gerejawi juga sebaiknya mempersiapkan contoh-contoh Koor yang cocok untuk dinyanyikan selama Masa Advent, sehingga thema tentang penantian akan kedatangan Yesus kedua kali di samping penantian akan keselamatan dalam kehidupan di dunia ini, akan terdengar melalui paduan-paduan suara. Hal ini akan semakin memberi kekuatan untuk dunia ini, untuk benar-benar masuk ke dalam kerinduan yang menjadi thema dari Masa Advent itu, sehingga ketika Natal tiba, semuanya akan masuk dengan kegembiraan khusus. Namun langkah kecil yang dapat dimulai oleh warga jemaat adalah mensosialisasilan hal ini pada masyarakat. Hampir seluruh perayaan-perayaan Natal selama ini ditentukan bentuk dan perayaannya oleh kaum awam. Oleh karena itu kaum awam sebaiknya mengorganisir diri secara ekumenis untuk memulai hal ini, baik melalui rapat-rapat pembentukan panitia.

    2. Sunguh-sungguh menjalani masa raya Natal Seperti sudah disinggung di atas, maka hari-hari yang masuk pada Natal adalah tanggal 25 Desember hingga 5 Januari, berarti terdapat 12 hari. Tahun Baru Masehi tanggal 1 Januari dirayakan dalam rangka Natal juga. Setiap hari terdapat penekanan-penekanan khusus untuk Natal itu, yang ditandai oleh bacaan-bacaan Alkitab yang dikhususkan untuk hari itu, sebagai berikut: 1. Natal Hari Pertama, 25 Desember: perenungan akan peristiwa kelahiran

    Yesus itu sendiri. 2. Natal hari kedua, 26 Desember: perenungan akan hidup Stefanus, Diakon

    yang pertama dan yang pertama martir menurut Kisah Para Rasul. Melalui perenungan ini akan tergambar kehidupan Yesus sendiri dan juga hidup orang percaya.

  • 32

    3. Natal hari ketiga, 27 Desember: perenungan akan hidup Yohanes, murid yang paling dikasihi oleh Yesus.

    4. Natal hari ke empat, 28 Desember: perenungan akan anak-anak yang tidak bersalah di Bethlehem, yang dibunuh oleh Herodes.

    5. Natal hari ke lima, 29 Desember: perenungan akan hidup Simeon yang lama menantikan Messias di Bait Allah.

    6. Natal hari ke enam, 30 Desember: perenungan akan hidup Hanna, yang juga lama menantikan Messias di Bait Suci.

    7. Natal hari ke tujuh, 31 Desember: perenungan akan hidup Yesus yang sudah ada sebelum Penciptaan.

    8. Natal Hari ke delapan, 1 Januari: perenungan akan Yesus yang dibawa ke Bait Suci. Pada saat inilah jemaat merayakan tahun baru Masehi, sehingga Tahun yang baru itu dilihat dalam rangka keselamatan kita, seperti yang nyata dalam Nama Yesus.

    9. Natal hari ke sembilan, 2 Januari: perenungan akan Yoh. 3:1-8; 10. Natal hari ke sepuluh, 3 Januari: perenungan akan Yoh. 3:9-15; 11. Natal hari ke sebelas, 4 Januari: perenungan akan Yoh. 3: 16-21; 12. Natal hari ke duabelas, 5 Januari: perenungan akan Yoh. 3: 22-36; Perlu diingat, bahwa gereja-gereja juga mempunyai perbedaan tradisi tentang isi dari setiap tanggal tersebut, misalnya Gereja Katolik mempunyai daftar bacaan yang berbeda dengan Lutheran, berbeda juga dengan Kalvinis. Namun melalui pemaparan thema-thema yang berbeda selama Natal yang terdiri dari duabelas hari itu, terlihat betapa luasnya segi-segi yang direnungkan dalam masa Natal itu. Bila semuanya dijalani satu-persatu, maka akan terlihatlah keindahan Natal itu lebih dalam lagi. Sejak tanggal 24 Desember sebaiknya Gereja-gereja dan rumah-rumah kita dihiasi dengan pohon Natal, di samping krans Advent. Dekorasi warna ungu sudah boleh digantikan dengan dekorasi warna putih, mengikuti warna tutup altar pada masa raya Natal. Kertas-kertas creppe juga sebaiknya mengikuti warna ini lebih banyak, warna lain hanya sekedar mencipta keramaian. Bila kelompok-kelompok merayakan Natal pada kurun waktu 12 hari ini, hendaknya disesuaikan dengan thema-thema yang sudah tertentu tadi. Bahkan dalam rangka memilih tanggal perayaan boleh juga berdasarkan perenungan yang sudah ada. Misalnya Natal anak-anak dapat diadakan pada tanggal 28 Desember di saat anak-anak yang tak bersalah di Bethlehem

  • 33

    direnungkan, atau kaum Ibu boleh memilih tanggal itu juga mengenang tangisan Ibu-ibu di Bethlehem, atau tanggal 30 Desember, merenungkan Hanna yang setia menanti-nanti Juruselamat. Kaum Bapak boleh memilih tanggal 29 Desember sambil merenungkan Simeon, atau juga tanggal 26, sambil merenungkan Stefanus. Aktivis LSM atau hak-hak azasi manusia boleh juga memilih hari yang sama, merenungkan keadilan yang nyata dalam mati syahid. Bagi sekolah-sekolah tertentu, mungkin merayakan Natal sesudah tanggal 1 Januari lebih tepat, karena tidak akan menggangu kesibukan pelajaran selama bulan Desember. Suasana Tahun Baru dalam Natal akan sangat tepat bagi kantor-kantor, ketika mereka awal tahun mulai masuk kantor tetapi kesibukan belum begitu terlihat, dalam saat itu perayaan Natal akan mempunyai arti tertentu. Bila tiba tanggal 5 Januari, maka jemaat dan rumah kita juga sudah boleh menyimpan semua dekorasi Natal.

    3. Merayakan Natal dalam masa Epiphania Dalam beberapa jemaat, misalnya di Pulau Nias, terdapat juga kebiasaan untuk merayakan Natal pada masa Epiphania. Beberapa instansi atau perkumpulan yang anggotanya berasal dari jemaat yang tetap berpegang tidak merayakan Natal pada masa Advent, mereka mengadakan perayaan pada bulan Januari. Karena Epiphania adalah lanjutan dari Masa Raya Natal, maka kemungkinan ini pun masih terbuka. Yang perlu diperhatikan adalah tanggal pelaksanaannya. Ini penting karena setiap Minggu sudah mempunyai thema tertentu:

    Hari Epiphania 6 Januari: peristiwa datangnya orang Majus. Minggu I sesudah Epiphania: penampakan pada dunia di sini dinyatakan

    melalui peristiwa pembaptisan Yesus di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis.

    Minggu II sesudah Epiphania: penampakan pada dunia di sini dinyatakan melalui peristiwa tanda ajaib yang pertama dilakukan Yesus pada waktu Perjamuan di Kana.

  • 34

    Minggu III sesudah Epiphania: penampakan pada dunia di sini dinyatakan melalui peristiwa penyembuhan hamba dari perwira Kapernaum.

    Di sini dibatasi hingga pada Minggu ke tiga, karena biasanya sesudahnya sudah jarang yang mengadakan perayaan itu. Terlihatlah bahwa thema-thema di atas dapat terkait dengan mudah pada thema-thema yang ditemukan di dalam Masa Raya Natal. Oleh karena itu dalam mengambil nyanyian, masih ditemukan thema Epiphania di dalam nyanyian Natal, misalnya Kidung Jemaat no. 109, 119, 123, dll. Dekorasi akan didominasi warna putih pada tanggal 6 dan sesudahnya, atau warna hijau pada hari-hari Minggu sesudah Epiphania. Minggu-minggu penampakan memang benar-benar merupakan seruan yang mengejutkan, agar jemaat bangkit dan menjadi terang, sebab Terang itu sudah datang pada kita. Itulah sebabnya di dalam berita Epiphania kita selalu mengalami suasana yang terhambat, mandek, terbuka kembali oleh Yesus, baik dalam Baptisan Yesus, Perjamuan di Kana, Pemberian makan 5000 orang, atau Penyembuhan hamba Perwira dari Kapernaum. Epiphania benar-benar pemberitaan yang sangat relevan dengan dunia kita saat ini.

    V

    Dekorasi Natal Apa boleh buat, perayaan Natal memang sangat erat terkait dengan budaya Eropa Barat yang menyebar ke dunia lain melalui Kolonisasi di Amerika dan Australia serta Afrika Selatan, maupun melalui kolonialisme dan penginjilan-penginjilan ke belahan dunia lain. Karena dia adalah perayaan budaya, maka di dalamnya terdapat berbagai unsur-unsur, termasuk kue-kue tertentu, makan malam, musik dan juga dekorasi. Sebaiknya disadari juga, bahwa Natal tetap dirayakan oleh semua orang yang berlatarbelakang Eropa Barat, walau pun mereka sebagian sudah menyatakan diri bukan lagi bagian dari Kekristenan. Memang bagi mereka agama adalah

  • 35

    urusan pribadi. Bila Minggu pertama Advent jendela-jendela mereka sudah dihias dengan dekorasi yang sangat teduh, maka itu tidak berarti bahwa mereka mau menunjukkan bahwa mereka adalah Kristen, tetapi memberi kesan bahwa mereka adalah dari latar belakang budaya Eropa. Itulah sebabnya dekorasi yang ditempel dan diletakkan di jendela tidak menunjukkan segi-segi agama. Pohon Terang misalnya, yang mulai di pasang di pusat-pusat perbelanjaan, stasiun kereta api, lapangan terbang dan di pusat-pusat hiburan, semuanya itu menunjukkan kaitan dengan budaya Eropa. Pohon Terang juga adalah milik budaya Eropa. Oleh karena itu hiasan-hiasannya pun tidak menunjukkan nuansa agama. Rasa keagamaan itu barulah kita lihat dalam dekorasi yang ada di Gereja. Di sana ada juga pohon terang, tetapi melihat hiasan yang digantungkan pada Pohon Terang memberi kesan religius, termasuk juga warna. Memang di mana-mana warna tradisionil Natal yaitu merah dan hijau selalu terasa di mana-mana. Tetapi di gereja akan terlihat sentuhan dekoratif yang mengingatkan akan Maria dan Bayi itu, akan para Gembala, salib yang dimunculkan dengan sinar yang lebih lembut, bintang-bintang dengan latar belakang warna biru mengingatkan suasana Efrata, malaikat-malaikat yang bernyanyi, lonceng gereja yang berpita merah dan lain-lain. Selanjutnya dekorasi Natal sudah menjadi bagian dari industri. Oleh karena itu seluruh yang terlibat dengan dunia Industri akan memasuki dekorasi Natal juga. Itulah sebabnya di Jepang misalnya, di mana Kristen sangat minoritas, tetapi dalam foto-foto kita lihat pusat-pusat perbelanjaan mereka di kota-kota besar terlihat dihiasi dengan pohon terang dan dekorasi Natal lainnya. Itulah sebabnya dekorasi Natal jadinya diprosduksi di Asia juga, antara lain dari Hong Kong. Lalu muncullah corak dekorasi khusus di daerah Asia Tenggara yang dipengaruhi warna Cina, yaitu merah Natal itu menjadi warna merah Naga yang sering kita lihat pada waktu Imlek. Warna kuning emas pun jadinya lebih dekat pada kuning emas budaya Cina. Berbagai corak hiasan baru bermunculan yang sebenarnya merupakan inkulturasi dari budaya Asia terhadap budaya Eropa (bukan terhadap Kekristenan). Bagi kita di Indonesia terdapat kesan, bahwa orang Kristen tidak terlalu membedakan mana dekorasi yang melulu adalah untuk budaya Eropa (versi Cina) dan mana untuk ekspressi iman Kristen. Itulah sebabnya di gedung-gedung gereja dilengketkan berbagai dekorasi yang sebenarnya cocok untuk

  • 36

    resepsi di luar atau untuk pusat-pusat perbelanjaan. Atas dugaan bahwa Natal milik Kristen, maka setiap dekorasi yang ditawarkan sebagai dekorasi Natal, dianggap milik Kristen, sehingga masuk ke perayaan kita tanpa seleksi. Beberapa lampu-lampu yang digunakan di diskotek2 atau di bar-bar bahkan dalam rumah-rumah yang menampung perbuatan kotor, jadinya masuk di gereja. Seolah-olah setiap lampu yang berkedip-kedip dan berkejaran identik dengan hiasan Natal Kristen. Mengembalikan perayaan Natal pada jalurnya jadinya mempertimbangkan dekorasi. Bila memang perayaan kita juga berkaitan dengan resepsi, maka dekorasinya tentunya disesuaikan. Tetapi bila itu berkaitan dengan kebaktian juga, maka akan ada sudut tertentu di mana ekspressinya berbeda dengan dekorasi budaya tadi. Dengan demikian kesyahduan kehadiran Kristus terasa melalui dekorasi. Bila harmony dan melodi dari nyanyian Malam Kudus misalnya diresapi, maka rasa seni kita dapat memilih dekorasi manakah yang sesuai dengan itu. Dekorasi yang berkilat-kilat mungkin merupakan expressi dunia industri dengan segala kemenangannya yang gemilang dalam menguasai dunia ini. Tetapi bila Raja Kita, Sang Juru Slamat dunia, yang datang dalam kelembutan, maka ekspressi dekoratifnya juga akan dapat disesuaikan.

  • 37

    V Natal dan Keadilan

    (sebuah refleksi) Dalam natal dirayakan Allah menjadi daging. Mysteri ini kita dapat baca di

    dalam Filipi 2:6-11. Yesus Kristus terlihat sangat bebas, dan tidak mempertahankan apa pun. Dia mengosongkan DiriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba. KebebasanNya membuat dia radikal, dalam arti kata sebenarnya, yaitu menembus sampai ke akar-akarnya. Tindakan radikal ini sungguh mengejutkan: Dia berani melepaskan segalanya, bahkan melepaskan yang seharusnya menjadi hakNya. Dia meninggalkan itu semua, hatiNya tertuju hanya pada satu saja, pada keselamatan kita. Dia tinggalkan Bapa. HatiNya murni! CintaNya terarah pada satu saja dan yang lain menjadi tidak perlu lagi.

    HatiNya yang murni ini nyata dalam keberanianNya untuk melepas. Dia tidak meraih apa pun lagi, karena kita, dan dia tidak mengharapkan apa pun untuk DiriNya, karena kita. Demikianlah dia menjadi miskin, mengambil rupa seorang hamba. KebebasanNya untuk menjadi miskin, membuat dia radikal, berdampak sampai ke akar-akarnya. Sekali Dia melangkah, Dia tidak mundur, karena itu bukan untuk DiriNya tetapi karena melakukan kehendak Bapa. Itulah sebabnya dia taat, bahkan taat sampai mati! KetaatanNya menujukkan bahwa Dia memang benar-benar bebas, tertuju pada satu hal saja, kehendak BapaNya. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Fil:2:10-11)

    Namun dalam ayat 5 disebut agar kita dalam hidup bersama menaruh pikiran dan perasaan seperti yang terdapat dalam Kristus Yesus. Ini sungguh suatu rahasia, kita diundang untuk dapat menyatukan diri padaNya. Mengambil bagian dalam ketaatanNya, kemurnian hatiNya dan kemiskinanNya.

  • 38

    Mysteri ini kita sambut dalam perayaan Natal itu. Kita turut ambil bagian dalam keadilan Allah ini, dan itulah yang kita rayakan. Oleh karena itu pemahaman dasar terhadap mysteri ini dapat kita petik dari rumusan Martin Luther dalam khotbah Natalnya yang menyebutkan:

    Sebagaimana Firman Allah menjadi daging, maka tentulah sangat perlu bahwa daging itu menjadi Firman juga. Karena itulah sebabnya maka Firman menjadi daging, agar daging itu menjadi Firman. Dengan kata lain: Allah menjadi manusia, agar manusia menjadi Allah. Jadi Kuasa dijadikan tidak berkuasa, agar kelemahan menjadi berkuasa. Logos itu mengenakan wujud, bentuk, gambar dan kesamaan dengan kita, agar Dia mengenakan pada kita gambarNya, WujudNya dan KesamaanNya.

    Ini sejajar dengan II Petrus 1: 4: .supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi,. Peristiwa dahsyat ini memang benar-benar dialami oleh orang percaya dalam hidupnya, sehingga orang percaya mampu melihat melalui baptisanNya dapat berkata: namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Dalam Natal, kenyataan inilah yang kita rayakan. Kita mengalami penyatuan denganNya, sehingga kita menjadi radikal hanya di dalam Dia. Demikianlah kita dapat bergerak bebas untuk keadilan yang sedang diperjuangkanNya. Perayaan itu mengembalikan kita pada identitas bebas ini. Seluruhnya itu terlihat dalam rangkaian perayaan Natal itu: Bila Firman itu kita rayakan benar menjadi daging pada tanggal 25 Desember, maka tanggal 26 Desember kita segera merayakan Stefanus, diaken yang mati martir. Lalu tanggal 27 Desember prayaan kita mengingat Yohannes, dan 28 Desember mengingat anak-anak Bethlehem yang mati karena kekejaman Herodes. Apakah ada garis berpikir dibaliknya yang menolong kita untuk turut berpartisipasi dalam keilahianNya? Ketiga perayaan ini dan pribadi yang turut dilibatkan dalam perayaan itu menunjukkan tiga tonggak dari mati syahid: mati syahid dalam kehendak dan dalam kenyataan (Stefanus), dalam kehendak tanpa sempat dalam kenyataan

  • 39

    (Yohanes) dan dalam kenyataan tanpa berkehendak untuk itu, mati syahid tanpa sadar (anak-anak Bethlehem). Tetapi mati syahid bagi Kekristenan adalah sebagai kelahiran sorgawi dan buah dari kelahiran Kristus, itulah sebabnya jemaat mula-mula menyanyikan: Kemarin Kristus lahir di bumi, dan hari ini Stefanus lahir di sorga! Hubungan yang dekat antara kelahiran Kristus dan Yohanes adalah karena dia murid yang dikasihi yang dilihat memberitakan Firman menjadi daging. Dan anak-anak Bethlehem, bunga dari kemartiran, kuntum mawar yang dihancurkan oleh pengejaran dan kecemburuan, bagaikan persembahan buah bungaran pada Kristus, kawanan domba lembut untuk korban bakaran, mereka semua juga adalah mewakili anak-anak sorgawi. Melalui kemartiran anak-anak ini terngianglah ucapan Yesus :Karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga! Perayaan Natal memasukkan kita pada mysteri martir, sebagai buah kelahiran Kristus. Bagi mereka yang mati martir, tidak ada lagi apa pun yang dipertahankan, mereka rela masuk ke dalam penyerahan total. Mereka benar-benar adalah orang yang sudah dibebaskan, karena mereka turut ambil bagian dalam kodrat ilahi yang ditemukan dalam Kristus, yang taat sampai mati! Demikianlah kemartiran ini segera disambung dengan penantian tanpa henti-henti dari Simeon dan Hanna, yang dirayakan tanggal 29 Desember dan tanggal 30 Desember. Penantian mereka setiap hari di Bait Suci menunjukkan kepastian walau pun mereka tidak melihat apa-apa. Dan ternyata kepastian mereka tidak sia-sia. Kristus ada di pangkuannya, dan dia akhirnya berkata : Biarkanlah hambaMu ini pergi sesuai dengan firmanMu, sebab mataku telah melihat keselamatan. Penyerahan total. Itulah seruan Simeon, dan seruan Simeon ini menjadi seruan setiap orang percaya dalam doa malam, yang merelakan hidupnya pada Allah bila Allah memang berkenan mengambilnya malam itu. Doa itu tidak mempertahankan apa pum, membuat menjadi bebas, lepas dari rasa bermilik. Spiritualitas keadilan yang transformatif, muncul dari perayaan Natal itu. Dia tidak mungkin lagi dirayakan menjadi bagian dari kemewahan dan konsumerisme, karena umat percaya dalam perayaan ini diingatkan untuk bersatu dengan Kristus sehingga dimampukan untuk melepaskan segalanya . Inilah titik tolak untuk perjuangan keadilan.

  • 40

    Perjuangan keadilan tidak lagi semata-mata bagian dari demonstrasi saja atau perbuatan kebajikan lainnya, tetapi di sana ada kerelaan diundang masuk pada ketaatan, kemiskinan dan kemurnian Yesus. Itulah sebabnya perjuangan keadilan adalah perjuangan tanpa kata, melainkan suatu perjalanan yang tersembunyi di dalam Kristus yang sedang berjuang. Tentunya bagi manusia yang dibentuk oleh perayaan Natal sedemikian ini akan memberi tanda-tanda dalam dirinya. Tanda-tanda itu kiranya pembaca temukan dari kutipan seorang Romo yang saya tidak tahu lagi namanya dan judul bukunya. Tanda-tanda kepribadian rohani ini akan menunjukkan bahwa seseorang bersedia dibentuk menjadi bebas seperti Kristus, sebagai berikut: Tanda-tanda kepribadian rohani:

    S E D E R H A N A :

    Tidak mudah untuk mengungkapkan apa artinya kata sederhana. Sekedar untuk membantu usaha pemahaman, dapat dibedakan dua macam kesederhanaan: Pertama, kesederhanaan seseorang yang kurang mempunyai pengetahuan karena sedikit pengalaman. Kedua, kesederhanaan seseorang yang telah lama bergulat dalam hidup lewat pengalaman-pengalaman. Kesederhanaan yang dimaksud di sini ialah kesederhanaan yang kedua. Orang yang sederhana ialah orang yang tutur kata, perilaku dan tidakannya mempunyai keserasian dengan kesederhanaan yang mendalam. Apa yang dikatakannya, dilakukannya, semuanya itu keluar dari kedalaman hatinya, bukan yang hanya sekedar keluar secara spontan dan dangkal timbul dari hatinya. Kesederhanaan seseorang yang telah menguasai diri, tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok, akan memancar dalam tata kehidupan sehari-hari, seperti hidup teratur, tahu batas diri, tahu menerima kegagalan, tahu menyerahkan diri kepada Allah, tidak malu minta bantuan dan lain sebagainya.

    L E P A S B E B A S : Lepas bebas ini merupakan sikap orang yang sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan, menuju ke suatu yang lebih besar, lebih baik, lebih penuh. Karena menyadari itu, orang mulai melihat bahwa segala sesuatu yang dialami dan dimiliki itu dilihat dalam kerangka tujuan yang "lebih" itu tadi. Dalam pilihan, orang yang lepas abebas akan memilih hal yang lebih menunjang ke tujuan itu. Terhadap pilihan itu pun dia sanggup meninggalkan segalanya

  • 41

    kalau ternyata ada yang lebih membawa ke tujuan. Orang yang lepas bebas mampu meninggalkan sukses hidup yang sudah dialaminya selama ini untuk memulai dari nol lagi. Dia tidak terikat oleh pola hidup, dan berani meninggalkannya kalau dituntut untuk berbuat itu. Memang masih banyak contohkonkrit lain untuk menggambarkan apa arti lepas bebas. Pada pokokonya dia hanya melekat pada suatu tujuan yaitu: cintanya kepada Kristus, yang lain menjadi nomor dua. Meskipun secara konkrit dia harus masih memperjuangkannya, dia tetap tekun dan kuat memegang prinsip antara tujuan dan sarana.

    H E N I N G : Orang yang biasa mengalami saat yang hening, dia akan menjadi orang yang hening. Orang yang hening hidupnya mengetahui ke mana harus pergi dalam menghadapi gejolak dan pergulatan hidup. Doa semakin mengambil peranan dalam hidup. Karena semuanya dia lihat dalam perspektif kehadiran dan kehendak Allah, orang yang hening mempunyai kepekaan rohani. Dalam menghadapi peristiwa hidup ia tidak emosional. Kalau pun pada suatu saat mengalami gerakan yang emosional, orang yang hening tahu menanti saat emosi ditata kembali dan baru merefleksikan secara jernih pengalamannya, kemudian mulai mengambil sikap atau pun keputusan yang layak. Orang yang heninga dapat menempatkan segala sesuatu dalam tempatnya yang wajar. Dia tidak berpandangan ekstrim dan tidak memutlakkan segala sesuatu. Dalam setiap saat dan peristiwa dia dapat dengan bebas menghayati, bukan sebagai yang menakutkan atau pun mengancam, melainkan sebagai yang bermakna bagi dirinya.

    D I S I P L I N / T A A T : Hidup yang sederhana, lepas bebas dan hening itu akan membawa kejernihan dalam perilaku hidup. Hati selalu makin siap dan berjaga. Karena itu dia akan bersatu dengan Allah dalam hidup sehari-hari, yaitu taat kepada kehendakNya. Taat itu keluar dari kedalaman hati yang sadar bahwa Allah selalu menyapa dirinya. Dia mampu menemukan Allah dalam setiap saat. Orang seperti itu dalam segala tindakan tidak mencari kepentingan egoistis, tetapi dalam segala hal, entah hidup atau mati, hanya demi kemuliaan Allah. Dalam visi ketaatan iman seperti itu, orang mampu menghayati hidup yang monoton, karena dia sudah ditangkap oleh Allah. Dalam ketidak-pastian, dia menemukan kepastian bahwa Allah hadir dan mencintai, sebab orang itu sudah mengingkari kehendak pribadinya dan hanya melakukan kehendak Allah,

  • 42

    jiwanya sudah keluar dari diri sendiri dan tertangkap oleh Allah. Kegagalan untuk berdisiplin dan taat berkaitan dengan hidup yang sederhana, lepas bebas dan hening. Sebuah persaudaraan atau hidup bersama yang gagal berdisiplin adalah karena mencari kepentingan egoistis, yang jiwanya belum menyerah sepenuhnya kepada Allah.

    KEHADIRAN YANG MEMBANGUN: Karena orang itu semakin tertangkap oleh Allah, maka dia akan semakin diresapi oleh semangat dan sifat-sifat ilahi. Oleh karena itu kehadiran orang seperti itu akan mampu untuk membangun hidup orang lain. Itu berarti tutur kata, tingkah laku dan perbuatannya mengarahkan orang yang di sekitarnya pada nilai-nilai Kristiani, menumbuhkan kerinduan pada hal-hal yang luhur. Tantangan yang paling besar ialah membuat batu sandungan. Orang yang kehadirannya membangun hidup sesama tidak menekan dan tidak mengancam; kehadirannya memberikan keleluasaan dan kemerdekaan, lebih cenderung untuk mencari unsur-unsur yang positip pada diri orang lain, dan kalau pun memberikan kritikan, selalu dengan tujuan membangun dan demi kebaikan bersama. Kehadirannya memberikan kegembiraan, damai dan optimisme hidup.

    Tanda-tanda tersebut benar-benar mendorong orang percaya untuk menjalani hidup yang radikal sesuai Kristus, dan benar-benar menjadi buah dari kesempatan yang diberikan pada orang percaya untuk mengambil bagian dalam keilahianNya. Dengan demikian keadilan akan sungguh-sungguh senantiasa diperjuangkan. Oleh karena itu, sebagaimana dimaksudkan oleh buku ini, kiranya tidak turut dengan mereka yang sesuka-suka hati merayakan Natal sesuai dengan keinginan hatinya. Jangan lagi turut ambil bagian dalam merayakan Natal sebelum waktunya.

  • 43

    VI Lampiran

    (rancangan untuk kebaktian Advent atau Natal)

    1. Pegangan khusus dalam penyusunan kebaktian:

    Terdapat kecenderungan bahwa kebaktian yang dilakukan oleh gereja-gereja dari arus utama dinilai sebagai sesuatu yang membosankan. Penilaian ini memang sering dilihat dari sudut corak kebaktian Gerakan Kharismatik atau Gerakan kaum Injili (Evangelikal). Ini mendorong kita untuk selalu mencipta Liturgi dengan istilah liturgi kontemporer atau liturgi Alternatif yang selalu dibayang-bayangi oleh corak kebaktian gerakan tersebut. Namun sebaiknya dalam menyusun kebaktian seperti itu, kita menyadari kesamaan gereja arus utama dengan Saudara-saudara kita dari Gerakan Kharismatik dan Evangelikal. Untuk itu berikut ini akan disampaikan beberapa pertimbangan umum: UNSUR-UNSUR KEBAKTIAN KHARISMATIK DAN GERAKAN EVANGELIKAL YANG TIDAK DAPAT DIKAITKAN DENGAN Liturgi Kontemporer

    A. Corak jemaat non-liturgis

  • 44

    1. Bila penyusunan Liturgi Alternatif selalu menunjuk pada kebiasaan kebaktian di kalangan evangelikal/revialist dan juga gerakan kharismatik, maka masalah pertama adalah bahwa gerakan-gerakan tersebut bukan jemaat liturgis. Itulah sebabnya kebaktian mereka tidak mempertimbangkan unsur-unsur Liturgis, dan keseluruhan hidup kerokhaniannya tidak berkaitan dengan hidup liturgis.

    2. Sementara itu GEREJA-GEREJA ARUS UTAMA adalah jemaat

    liturgis, bukan saja karena terlihat susunan kebaktiannya mengikuti pola liturgis yang benar, tetapi keseluruhan hidup berjemaat dibentuk melalui hidup liturgis. Penyusunan Liturgi Alternatif harus hati-hati dengan kenyataan ini, sebab pada umumnya terlihat Liturgi Alternatif tunduk pada corak yang bukan liturgis, di mana yang terjadi adalah pengurangan unsur-unsur liturgis bahkan susunan berobah, dan terlihatlah bahwa pada akhirnya lebih dekat pada corak kebaktian non-liturgis.

    B. Fungsi Nyanyian dalam Kebaktian

    1. Khotbah adalah inti dan puncak kebaktian. Nyanyian dalam gerakan Kharismatik dan evangelikal adalah untuk membuka jalannya Firman memasuki hidup jemaat melalui khotbah.

    2. Sementara dalam kebaktian jemaat liturgis nyanyian adalah bagian integral dari keseluruhan kebaktian.

    C. Penggunaan Sound-system

    1. Pengeras suara menentukan dalam kebaktian kharismatik dan gerakan evangelikal/revialist. Volume harus otoriter, atau maksimum sehingga hadirin seolah-olah tenggelam dan melihat dirinya tidak ada lagi, sehingga dia mudah diarahkan dan dipimpin.

    2. Sementara bagi jemaat Liturgis volume tidak akan memekakkan telinga, jemaat masih dapat mendengar suaranya sendiri ketika bernyanyi, mereka akan disapa dengan volume yang sesuai untuk mengambil keputusan sesuai dengan pertolongan Roh Kudus. Mereka tidak perlu dipengaruhi oleh peralatan tekhnis supaya bertobat, karena sebagai jemaat Protestant kita sama setuju dengan Martin Luther: Aku tidak dapat percaya hanya dengan keinginanku sendiri, tetapi Roh Kudus telah memanggil aku

  • 45

    3. Karena berkaitan dengan sound system ini posisi MC sangat

    menentukan, maka di bagian inilah juga MC dibicarakab. Dia pada dasarnya adalah pengarah dari keseluruhan proses kebaktian menuju khotbah. Siap tidaknya hati dan suasana jemaat sebelum mendengar Firman, sangat ditentukan oleh peranannya. Itulah sebabnya dia pun memegang seluruh suasana, termasuk dialog dengan jemaat. Dialah yang berdiri di tengah-tengah suasana.

    4. Berbeda dengan Pemimpin Liturgi dalam jemaat liturgis, pemimpin

    itu mewakili peranan Allah, dalam kebaktian yang dasarnya adalah dialog antara jemaat dengan Allah. Oleh karena itu Liturgist tidak berdiri atas dasar kepribadiannya. Di sini beda yang sang sangat mendasar dengan MC dalam jemaat yang tidak liturgis. Oleh karena itu, dalam Liturgi Alternatif, MC harus diberi isi Liturgist dalam bentuk khusus, sehingga bukan keinginannya yang diperintahkan pada jemaat ketika dia mengajak bernyanyi atau mengajak suasana yanbg lebih ceria.

    UNSUR-UNSUR KEBAKTIAN KHARISMATIK DAN GERAKAN EVANGELIKAL YANG MENDUKUNG PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN LITURGI ALTERNATIF 1. Song Leader dan MC Song Leaders sangat mendukung untuk menolong jemaat menyanyikan nyanyian sesuai dengan melodi yang tepat. Selain itu semangat yang diperlukan untuk nyanyian itu telah berhasil ditunjukkan oleh song leaders sehingga jemaat dapat tertolong untuk bergerak dari satu nyanyian ke nyanyian lain, sambil masuk ke dalam pesan yang ingin disampaikan oleh nyanyian tersebut. Hal seperti ini dapat diikuti oleh Liturgi Alternatif, tetapi sebaiknya mempertimbangkan sisi negatif tadi, bahwa sebenarnya song leaders mendominasi juga kebaktian melalui soundsystem agar jemaat tergiring dan tidak mendengar suara sendiri. Oleh karena itu, peranan song leader harus

  • 46

    menjadi apa yang disebut dalam tradisi kita cantor, penolong jemaat untuk bernyanyi dengan benar. Kemungkinan lain adalah peranan Paduan Suara. Paduan Suara itu akan berperanan dari depan sampai akhir. Seandainya ada waktu, supaya suasana lebih ceria, setiap nyanyian yang akan dinyanyikan diaransemen sedemikian rupa untuk mengiringi jemaat. Bisa juga jemaat bersahut-sahutan dengan Paduan Suara. Selain itu Paduan Suara juga akan berperan mengiringi altar calling pada saat sesudah khotbah. Peranan mereka dalam mengantar jemaat pulang