Upload
jojo-hoho
View
129
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
p
Citation preview
Natsir, Politikus Intelektual
Oleh ANWAR IBRAHIM
(Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia)
PERTEMUAN pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim dengan Indonesia.
Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik di antara kedua negara—Indonesia dan
Malaysia—pulih setelah mengalami konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu
Indonesia dari sedikit pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka,
dan lain-lain.
Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari Lebaran melalui Radio
Republik Indonesia siaran Medan, yang saya dengar di kampung saya di Pulau Pinang. Ayah saya,
yang ketika itu anggota parlemen dari partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya
ini.
Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan beberapa
pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana menemui kekasih yang belum
pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin
membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya
begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi—
aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia—saya lebih banyak mendengar dari berkata-
kata.
Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu adalah sosok, sikap, dan
tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di
sana saya dibawa ke sebuah toko buku Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu.
Toko buku tersebut merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur,
Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Di toko itu, dan
di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta,
lantas membelinya.
Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, serta ideologi
dalam perjuang an dan gerakan politik. Saya kagum terhadap intelektualitas dan gagasan para filsuf.
Melalui Capita Selecta saya tampak sosok intelektual Mohammad Natsir. Melaluinya saya mengenali
Henri Pirenne, nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan polemik
besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun Barat. Muhammad et
Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan bagaimana Islam menjadi faktor
penentu dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum
di kalangan sarjana bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi
rasionalisme, dan humanisme.
Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya diperkaya oleh
imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan politik mutakhir. Tatkala saya sudah
membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia, beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial
di Malaysia, dengan kehadiran jumlah masyarakat Cina, India, dan lain-lainnya yang substantif. Beliau
sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di antara organisasi Islam dan
masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi,
saya sering mengulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan:
membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja,
membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan.
Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford, Inggris, dan beberapa universitas lainnya di Amerika
Serikat, khususnya di Universitas Georgetown. Di universitas ini saya memberikan mata kuliah yang
khusus tentang rantau ini, karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur
Tengah dan negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga muncul
persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi.
Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan
perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan
Gerakan Masyumi serta sejarah ”demokrasi konstitusional” di Indonesia sebelum dihancurkan oleh
Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. Satu-
satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional
democracy di dunia membangun selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang
magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi
Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar Said Co kroaminoto, Agus Salim, dan Wahid
Hasyim. Di negara Arab kita menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan
tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar. Di
Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang
memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam.
Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan Islam, dengan intelektual
muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna bagi generasi muda muslim di Malaysia. Di
Kuala Lumpur hari ini terdapat anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka
juga sebahagian dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang
negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih relevan dalam
negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia.
Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia ialah Fiqud Dakwah. Saya selaku Presiden
ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi Jawi dan menjadikannya teks
usrah ataupun grup studi ka mi. Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dak wahnya
bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga
menjadi orga nisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana.
Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya
berkunjung ke Indonesia. Saya ingin menemui Pak Natsir di kediamannya, tapi beliau lebih dulu
menemui saya di hotel. Saya sangat terharu karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia
merupakan pemikir Islam besar. Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi.
Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan Petisi 50. Ternyata
pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde Baru. Maka, ketika saya menemui Pak
Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami
hanya mengobrol secara umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam
mendengar penjelasan saya.
Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau
sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya
merasakan layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau
mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah
berpulang ke rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang adil dari
luar rantau ini.
*Artikel ini telah disiarkan dalam majalah Tempo edisi 14 Julai 2008.
Muhammad Natsir, Mujahid dan Politikus Piawai
“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan pidato Muhammad
Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. Muhammad Natsir adalah tokoh Islam
kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan segenap kemampuan
untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan melawan orang-orang
yang menghalangi tegaknya Islam.Hingga riwayat hidupnya tercatat dalam buku “Mereka
yang telah pergi, Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer”.
Muhammad Natsir lahir pada tanggal 16 Juli 1908 di Maninjau Sumatera Barat. Ia
dibesarkan di keluarga agamis, ayahnya seorang ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan
seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Ia belajar di sekolah agama
dan negeri. Mendapat ijazah perguruan tinggi terbiyah
Bandung, Mendapat gelar Doktor Honoris Causal fari Universitas Islam Indonesia (dulu
Sekolah Tinggi Islam), Yogyakarta. Pada masa pendudukan Belanda aktif pada dunia
pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada Direktorat Pendidikan di Jakarta.
Tahun 1945, Dr. Muhammad Hatta, wakil Presiden RI setelah kemerdekaan, memintanya
membantu melawan penjajah. Kemudian ia menjadi anggota Majelis permusyawaratan
Jul 15, '08 2:22 AM
for everyone
Rakyat Sumatera. Tahun 1946, ia mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Ia juga menjabat Menteri Penerangan Selama empat tahun.
Perjuangan Muhammad Natsir
Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir
menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan
ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus
menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan
dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi
dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957. Pidatonya yang berjudul “Pilihlah salah
satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” yang disampaikan di parlemen Indonesia dan
dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya pengaruh besar pada anggota parlemen dan
masyaakat muslim Indonesia.
Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat
menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat
dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang
serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah
dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia
juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat
Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak
kemerdekaan. Saat itu
Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI)
untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga
tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama
Muhmmad Natsir.Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut
hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
Manhaj Dakwah Muhammad Natsir
Keluar dari penjara, Muhammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah
Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat, mengerahkan
para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDI terbentuk di seluruh
Indonesia, dan generasi muda dapat mengenyam fikrah Islam yang benar, memberi
pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic Center)
dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta
mendirikan beberapa asosiasi profesional: para insinyur, petani, pekerja dan lain-lain. Ia
juga menjalin hubungan dengan gerakan-geraka Islam Internasional, untuk saling tukar
pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih
menjadi Wakil Ketua Muktmaar Islam Internasiomal di Pakistan.
Kepedulian Muhammad Natsir
Muhammad Natsir sangat seius memperhatikan masalah Palestina. Ia temui tokoh,
pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat
membela Palestina, setelah kekelahan tahun 1967. Siang dan malam Muhammad Natsir
berkunjung ke wilayah di Indonesia untuk urusan dakwah. Setelah Soekarno tumbang bulan
Oktber 1965, kristenisasi semakin meningkat. Para misionaris melipatgandakan upayanya,
membangun gereja-gereja, menyebarkan Injil, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
Kristen dan membuka sekolah-sekolah misionaris. mereka berharap tahun 2000 Indonesia
menjadi Kristen.
Meskipun para misionaris mendaptkan suplay dana dari luar negeri dalam menjalankan
aksinya, namun upaya Muhammad Natsir dn rekan-rekannya menjadi penghambat aktivitas
para misionaris dan mengagalkan rencana serta konspirasi busuk mereka. Rakyat Indonesia
mulai mendekati dai untuk mengenal Islam yang benar. Kesadaran berislam pun merebak
dikalangan mahasiswa dan pelajar,
juga menyentuh para intelektual.
Ungkapan-ungkapan Muhammad Natsir
“Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi
individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia
terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan
kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara
yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka
berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya
keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang
diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim
yang terpelajar.”
Saat diwawancarai dengan redaktur majalah “Al-Wa’yul ISlami” Kuwait di kediaman
Muhammad Natsir pada tahun 1989, Muhammad Natsir berkata: “Saya tidak takut masa
depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan
milik Umat Islam, jika mereka tetap istiqomah, baik secara pribadi atau kolektif.” Ketika
redaktur bertanya tentnag tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya dan
mempengaruhi perjuangannya, Muhammad natsir menjawab: “Haji Syaikh Muhammad
Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dan Imam Al-Hudhaibi.Sedangtokoh
tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”
Karya-Karya Muhammad Natsir
Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan
dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih
dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas
Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan). Disamping itu masih banyak ceramah, riset,
makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung.
Akhir Hidup
Hamba Allah Muhammad Natsir pulang kerahmatullah pada tanggal 5 Februari 1993 di
Jakarta. Perjalanan hidupnya dalam menegakkan dawah Islam menjadi inspirasi bagi
generasi penerus dakwah di Indonesia.
Oleh: Ningsih
Sumber: http://www.pks-jaksel.or.id/Article133.phtml
Orang banyak mengenalnya sebagai Pak Natsir. Nama lengkapnya Muhammad Natsir, bergelar Datuk Sinaro nan Panjang, lahir di Minangkabau tanggal 17 Juli 1908, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah. Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh umat, dan tokoh dunia Islam, karena aktifitas dan peran yang telah dilakukannya untuk Islam dan umat tanpa mengenal lelah.Pada tahun 1945-1946, pak Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), tahun 1946-1949 menjabat sebagai Menteri Peneranan RI, tahun 1950-1951 menjadi Perdana Menteri RI.Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara-negara Arab, pak Natsir sangat dikenal, dihormati dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional, tahun 1967 diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami), Karachi, Pakistan, tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1980 menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal, Saudi
Arabia, tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait, pada tahun 1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris dan angota Majelis Umana’ International Islamic Univesity, Islamabad, Pakistan.Ketika Subandrio naik haji dan ingin bertemu dengan Raja Faisal, Raja Faisal tidak mau menerimanya. Setelah diusahakan oleh pihak KBRI Jedah dan prosesnya agak lama, akhirnya Raja Faisal mau juga menerima Subandrio yang saat itu menjadi orang penting di Indonesia. Subandrio menceritakan tentang Islam di Indonesia, juga menceritakan perannya membela Islam, kisah naik haji dan lain-lain.Tanpa disangka dan diduga oleh Subandrio, Raja Faisal langsung bertanya, “Kenapa saudara tahan Muhammad Natsir?”. Pak Natsir pernah diasingkan oleh pemerintah Orde Lama ke Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta (1962-1966).“Saudara tahu”, kata Raja Faisal. “Muhammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!”.Dalam bidang akademik, Pak Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon (1967), dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).Perhatian dan kepedulian Pak Natsir terhadap Palestina terus bergelora, tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas, walau usianya sudah uzur, lah laruik sanjo istilah orang Minang, beliau masih memiliki semangat yang tinggi dan kepedulian yang besar terhadap urusan umat khususnya Palestina.Pak Natsir banyak meninggalkan karya tulis yang berkaitan dengan dakwah dan pemikiran, sebagiannya diterbitkan dalam bahasa Arab, misalnya Fiqh Da’wah, dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan). Beliau juga menulis buku khusus yang membahas permasalahan Palestina dengan judul Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina).Menurut Al-Mustasyar Abdullah Al-‘Aqil, mantan wakil Sekretaris Jendral Rabithah Alam Islami di Mekah Al-Mukaromah, “Dr. Muhammad Natsir sangat serius memperhatikan masalah Palestina. Ia temui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina, setelah kekalahan tahun 1967”.Ketika redaktur majalah “Al-Wa’yul Islami” Kuwait, ustadz Muhammad Yasir Al-Qadhami bersilaturrahim ke rumah pak Natsir, Februari 1989, dan bertanya tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh pada dirinya dan mempengaruhi perjuangannya, pak Natsir menjawab, “ Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Sedang tokoh-tokoh Indonesia adalah Syekh Agus Salim dan Syekh Ahmad Surkati.”Di hadapan sekitar 2.000 orang yang hadir dalam acara Tasyakur 80 Tahun Muhammad Natsir, di Masjid Al-Furqan, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta Pusat, 17 Juli 1988. Pak Natsir menyampaikan kepada jama’ah, founding fathers, tokoh dan pendiri Republik ini, ulama, zuama, cendikiawan, dan generasi muda Islam tentang perjuangan anak-anak dan pemuda Palestina melawan penjajah Zionis Israel.“Soal Palestina yang selama ini macet, hidup kembali dengan demonstrasi, pemuda-
pemuda dan anak-anak sekolah yang secara spontan menyatakan protes dengan beramai-ramai melempari dengan batu (bukan granat) dengan seruan Allahu Akbar, ke arah tentara Israel yang bersenjata lengkap. Sudah delapan bulan yang demikian itu berjalan, sudah banyak yang syahid ditembaki oleh tentara Israel. Tetapi mereka tak berhenti. Siapa yang mnenyangka tadinya akan demikian semangat jihad anak-anak belasan tahun berhadapan dengan angkatan bersenjata Israel…Demikianlah. Tak ada yang tetap di dunia ini. Innazzamaana Qadistadaara (Zaman beredar, musim berganti)”.Walau dikenal luas oleh para tokoh dunia, Pak Natsir tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Pak Natsir merupakan salah satu dari sedikit tokoh Islam Indonesia yang sungguh-sungguh berjuang menghidupi Islam, bukan sungguh-sungguh hidup dari memanfaatkan Islam, sehingga menjadi gemuk di jalan dakwah, seperti yang sekarang banyak dikerjakan orang-orang yang mengaku tokoh Islam. Bagi Pak Natsir, dunia dengan segala gemerlapnya adalah kepalsuan, bukan hakikat.Tokoh yang sederhana ini wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 84 tahun. Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya, dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga.“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhmahfuz).”(QS: Yaasin/36: 12).
100 tahun Pak Natsir
PAK NATSIR DAN PALESTINA
Pak Natsir nama lengkapnya Mohammad Natsir, gelar Datuk Sinaro nan Panjang, lahir di Minangkabau
tanggal 17 Juli 1908, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatrera Barat dari
pasangan Sutan Saripado dan Khadijah.
Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh umat dan tokoh dunia Islam karena aktifitas dan peran yang telah
dilakukannya untuk Islam dan umat tanpa mengenal lelah.
Pada tahun 1945-1946, pak Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP), tahun 1946-1949 menjabat sebagai Menteri Peneranan RI,
tahun 1950-1951 menjadi Perdana Menteri RI.
Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara-negara Arab, pak Natsir sangat dikenal,
dihormati dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat
internasional, tahun 1967 diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress(Muktamar
Alam Islami), Karaci, Pakistan, tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League, Mekah, Saudi Arabia,
tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al Alam lil Masajid, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1980
menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal, Saudi Arabia, tahun 1985
menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait, pada tahun
1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris dan angota
majelis Umana’ International Islamic,Univesity, Islamabad, Pakistan.
Ketika Subandrio naik haji dan ingin bertemu dengan Raja Faisal, Raja Faisal tidak mau menerimanya.
Setelah diusahakan oleh pihak KBRI Jedah dan prosesnya agak lama, akhirnya Raja Faisal mau juga
menerima Subandrio yang saat itu menjadi orang penting di Indonesia. Subandrio menceritakan tentang
Islam di Indonesia, juga menceritakan perannya membela Islam, kisah naik haji dan lain-lain.
Tanpa disangka dan diduga oleh Subandrio, Raja Faisal langsung bertanya, “ Kenapa saudara tahan
Mohammad Natsir?”. Pak Natsir pernah diasingkan oleh pemerintah Orde Lama ke Batu Malang, Jawa
Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta
(1962-1966).
“Saudara tahu”, kata Raja Faisal. “Mohammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesiasaja, tetapi
pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!”.
Dalam bidang akademik, Pak Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Politk Islam dari
Universitas Islam Libanon (1967) dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam
bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).
Perhatian dan kepedulian Pak Natsir terhadap Palestina terus bergelora, tak lapuk karena hujan, tak
lekang karena panas, walaupun usianya sudah uzur, lah laruik sanjo istilah orang Minang, beliau masih
memiliki semangat yang tinggi dan kepedulian yang besar terhadap urusan umat khususnya Palestina.
Pak Natsir banyak meninggalkan karya tulis yang berkaitan dengan dakwah dan pemikiran, sebagiannya
diterbitkan dalam bahasa Arab, misalnya Fiqh Da’wah, dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari
Dua Jalan). Beliau juga menulis buku khusus yang membahas permasalahan Palestina dengan
judul Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina).
Menurut Al Mustasyar Abdullah Al ‘Aqil, mantan wakil Sekretaris Jendral Rabithah Alam Islami di Mekah
Al Mukaromah, “Dr. Muhammad Natsir sangat serius memerhatikan masalah Palestina. Ia temui
tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela
Palestina, setelah kekalahan tahun 1967”.
Ketika redaktur majalah “Al Wa’yul Islami” Kuwait, ustadz Muhammad Yasir Al Qadhami bersilaturrahim
ke rumah pak Natsir, Februari 1989 dan bertanya tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh pada dirinya
dan mempengaruhi perjuangannya, pak Natsir menjawab, “ Haji Syekh Muhammad Amin Al Husaini,
Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, dan Imam Hasan Al Hudhaibi. Sedang tokoh-
tokoh Indonesia adalah Syekh Agus Salim dan Syekh Ahmad Surkati.”
Di hadapan sekitar 2.000 orang yang hadir dalam acara Tasyakur 80 Tahun Mohammad Natsir, di Masjid
Al Furqan, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta Pusat, 17 Juli 1988.
Pak Natsir menyampaikan kepada jama’ah, founding fathers, tokoh dan pendiri Republik ini, ulama,
zuama, cendikiawan dan generasi muda Islam tentang perjuangan anak-anak dan pemuda Palestina
melawan penjajah Zionis Israel.
“ Soal Palestina yang selama ini macet, hidup kembali dengan demonstrasi, pemuda-pemuda dan
anak-anak sekolah yang secara spontan menyatakan protes dengan beramai-ramai melempari
dengan batu (bukan granat) dengan seruan Allahu Akbar, kearah tentara Israel yang bersnjata
lengkap.
Sudah delapan bulan yang demikian itu berjalan, sudah banyak yang syahid ditembaki oleh
tentara Israel. Tetapi mereka tak berhenti. Siapa yang mnenyangka tadinya akan demikian semangat
jiad anak-anak belasan tahun berhadapan dengan angkatan bersenjata Israel…Demikianlah. Tak ada
yang tetap di dunia ini. Innazzamaana Qadistadaara (Zaman beredar, musim berganti)”.
Pak Natsir wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta dalam usia 84 tahun.
Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya,
dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga.
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan
dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang
nyata (Lohmahfuz).(QS:Yaasin/36: 12)
oleh:
H. Ferry Nur S.Si, Sekjen KISPA
email: [email protected]
Pak Natsir dan Jihad Palestina
PENGANTAR DA’WAH (PENDAHULUAN)
Pengertian Istilah da’wah
Da’wah adalah salah satu masdar dari kata kerja da’a—yad’u; masdar lainnya adalah du’â’, yang
diindonesiakan menajdi doa .
Dalam Al-Qurân, kedua masdar itu kadang digunakan dalam pengertian yang sama, sesuai dengan
karinah (qarïnah) atau posisinya dalam kalimat. Contoh:
يزدهم فلم نهارا و ليال قومى دعوت إنى رب فرارا دhعgاءeى قال ` إال …
(Nuh) mengeluh, “Tuhanku, aku benar-benar telah menda’wahi (دعوت) kaumku siang dan malam, tapi
(kegiatan) da’wahku (دعاءى) itu hanyalah membuat mereka semakin lari (menjauh dariku)…[surat
Nuh ayat 5).
kبeجh ن قريب أجل إلى أخqرنا ربنا ظلموا الذين hفيقول hالعذاب يأتيهم gيوم gوأنذرالناس gكg الرسل دgعkوgت eنتبع و …
Ingatkanlah manusia tentang saat munculnya azab, sehingga orang-orang zhalim mengemis, “Tuhan
kami! undurkanlah sedikit ajal kami, (maka) kami akan menyambut da’wah anda(دعوتك) , yakni kami
akan mematuhi para rasul…[surat Ibrahim ayat 44]
Demikian juga halnya makna harfiah kata kerja da’ â, ditentukan oleh karinahnya. Misalnya, da’â-hu (
.(استعانه) bisa mempunyai dua arti, yaitu meminta kepadanya dan meminta tolong kepadanya (دعاه
Sementara da’ â fulânan ( فالنا berarti menyebut atau menamakan seseorang, atau meminta (دعا
seseorang untuk datang (= memanggil). Untuk makna meminta seseorang untuk datang (=
memanggil), juga digunakan kata da’â bihi ( به ) Sedangkan da’â -hu ilâl-amri .(دعا األمر إلى (دعاه
berarti mengajak atau mendorong seseorang untuk menjalankan perintah atau melakukan suatu
urusan.
Secara umum, menurut kamus bahasa Arab, da’wah (dan juga du’a) berarti ajakan, seruan,
panggilan, undangan, tawaran, anjuran, dorongan, permintaan, permohonan, harapan dan
sebagainya. Secara khusus, sebagai istilah, da’wah yang kita maksud adalah da’wah ajaran Allah (Al-
Qurân); sehingga bila kita gunakan segala pengertian harfiah da’wah itu, maka da’wah yang kita
maksud adalah ajakan, seruan, panggilan, undangan, tawaran, anjuran, dorongan, permintaan,
permohonan, harapan untuk hidup dengan ajaran Allah (Al-Qurân).
Demikianlah pengertian harfiahnya. Pengertian itu tidak bisa memberikan gambaran yang jelas dan
rinci tentang da’wah, baik yang sudah kita ketahui secara apriori (tidak langsung) maupun yang
dikehendaki Allah dalam Al-Qurân.
Hipotesis
Kajian kita tentang da’wah ini berangkat dari apriori; yaitu dari pengetahuan awal tentang da’wah
yang sudah kita terima dari berbagai sumber (guru, bacaan, dsb.), yang tentu tidak bisa dibuang
begitu saja sebelum mengetahui pengertian yang sebenarnya yang bersumber dari Al-Qurân dan Al-
Hadits.
Dengan menggunakan pengetahuan yang bersifat apriori itulah, di sini saya ajukan sebuah
hipotesis[1]bahwa istilah da’wah (الدعوة) pada dasarnya bisa digambarkan sebagai Siapa
menyampaikan Apa dengan cara Bagaimana kepada Siapa untuk mencapai Apa. Untuk lebih jelasnya
hipotesis tersebut kita uraikan sebagai berikut:
1. Siapa 1, adalah pokok permasalahan tentang para pelaku da’wah (الداعى). Jadi, siapa di sini
bermakna majemuk, bukan hanya untuk satu orang. Lebih tegasnya lagi, siapa di sini digunakan
untuk menyebut pribadi-pribadi (setiap orang) yang melakukan kegiatan da’wah, baik mereka
tergabung dalam suatu organisasi (lembaga) yang menjalankan proses da’wah, ataupun yang hanya
menjalankan da’wah secara sendirian (individual). Merekalah yang selama ini bertanggung-jawab
sebagai para pelaksana kegiatan da’wah, dan karena itu pula mereka pun bertanggung-jawab atas
segala hasil kerja da’wah yang nampak.
2. Apa 1, adalah pokok pembahasan tentang bahan (materi) yang mereka sampaikan, baik secara
lisan maupun lewat tulisan, yang mereka sampaikan dalam berbagai kesempatan dan media (buku,
majalah, koran buletin, brosur dsb). Materi da’wah yang mereka sampaikan tentu sangat berkaitan
dengan hasil da’wah yang nampak dalam kenyataan hidup umat Islam.
3. Bagaimana, adalah pokok pembahasan tentang kiat atau teknik penyampaian bahan. Titik
beratnya adalah pada ketrampilan da’i dalam menyajikan bahan di medan da’wah.
4. Siapa 2, adalah pokok pembahasan tentang sasaran da’wah yang mereka tuju atau garap, yakni
pengenalan (identifikasi) kelas-kelas masyarakat atau kelompok-kelompok mad’u.
5. Apa 2, adalah pokok pembahasan tentang tujuan-tujuan da’wah yang hendak mereka capai, dan
hasil-hasil yang bisa kita saksikan.
Untuk lebih jelasnya, marilah pokok-pokok permasalahan di atas itu kita urai satu demi satu, dengan
lebih dulu memeriksa beberapa buku tentang da’wah.
Perlu dicatat bahwa buku-buku tentang da’wah yang beredar di pasaran jumlahnya sangat sedikit,
dan kebanyakan berukuran tipis, sehingga otomatis kandungan isinya menjadi sangat miskin.
Sementara yang agak tebal juga umumnya belum mampu memberikan gambaran tentang da’wah Al-
Qurمn secara cukup utuh.
Para pelaksana da’wah (da’i)
Syaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al Kandahlawi r.a. mengatakan dalam
bukunya, Fadhâilil-A’mâl bab Fadhilah Tabligh mengutip surat Fussilat ayat 33:
المسلمين مeن إننى قال و صالحا وعمeل الله إلى دعا مeمن قوال hأحسن ومgن
Siapakah yang lebih baik da’wahnya daripada orang yang berda’wah untuk menegakkan ajaran Allah
seraya (ia sendiri) melakukan tindakan yang tepat (shalih) serta menegaskan, “Sungguh, aku ini
hanyalah seorang muslim (patuh terhadap Allah).
Kemudian ia menulis:
…para Nabi a.s. berdakwah dengan cara memperlihatkan mukjizat, para ulama berdakwah dengan
hujjah dan dalil-dalil, para mujahid berdakwah dengan pedangnya, para muadzdzin berdakwah
dengan adzannya. Pendek kata, barangsiapa menyeru manusia kepada kebaikan, maka dia berhak
mendapatkan kehormatan seperti disebutkan ayat di atas, baik menyeru kepada amalan zhahir
ataupun amalan batin seperti para ahli tasawuf yang mengajak kepada ma’rifatullah (mengenal
Allah).[2]
Dr. Sayyid Muhammad Nuh menulis dalam Fiqhud Da’wah al Fardiyyah fil Manhajil Islami:
… kaum muslimin dengan kemampuannya yang ada pada dirinya, bisa menjadikan setiap amal yang
diperbuat dan setiap aktifitas yang dilaksanakan sebagai jalan untuk berda’wah menunjukkan
manusia ke jalan yang lurus. Seorang dokter, insinyur, astrolog, geolog, ahli sejarah, apoteker,
petani, pedagang, pengrajin dan lain sebagainya —dengan ilmu yang mereka miliki— amat potensial
untuk menjadi du’at ilallah. Ini tentunya apabila mereka betul-betul itqan (bersungguh-sungguh)
dengan profesinya. Serta berkeyakinan bahwa profesi yang ditekuni itu adalah sarana untuk
bertaqarrub kepada Allah. Titik tolak dari kerangka ini adalah bahwa setiap manusia mempunyai
amal untuk dijadikan ma’isyah yang dengan amal itu pula ia bisa memberi manfaat kepada
sesamanya. Sedangkan da’wah adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan siapa saja.
Keseimbangan ini tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali manakala seorang muslim menjadikan
seluruh hidupnya untuk berda’wah ilallah. Kaum muslimin generasi awal telah memahami hakikat ini.
Mereka berda’wah dan mengajak manusia ke dalam pangkuan Islam dengan cara memanfaatkan
profesi keseharian mereka baik sebagai guru, pedagang atau petani. …[3]
M. Natsir, dalam buku Fiqhud Da’wah, menulis:
… da’wah dalam arti yang luas, adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap Mulsim dan
Muslimah. Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan daripadanya.
Da’wah dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan
keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fithrah manusia
selaku social being, (makhluk ijtimaie); dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah: oleh Kitabullah
dan Sunnah Rasul!
Bukan monopoli golongan yang disebut “Ulama” atau “Cerdik-Cendekiawan”.
Bagaimana suatu masyarakat mendapat kemajuan apabila para anggotanya yang mempunyai ilmu,
banyak sedikitnya, baik dunia atau diny, tidak bersedia mengembangkan apa yang ada pada mereka
di antara sesama anggota masyarakat?
Suatu illmu yang bermanfaat, tiap-tiap yang khair dan ma’ruf, yang baik, patut dan pantas, bisa terbit
dari tiap seorang anggota masyarakat. Dan tiap-tiap benih kebenaran itu mempunyai daya
berkembangnya sendiri; tinggal lagi menaburkan dan memupuknya.
Oleh karena itu pembawa Risalah berpesan:
gة� gي أ gو وgل qى عgن qغhوا gل ب
Sampaikanlah daripadaku sekalipun satu ayat. (“Ayat” dalam arti luas).[4]
Tiga kutipan di atas boleh dikatakan sudah cukup untuk mewakili pandangan umum para ahli dari
luar dan dalam negeri; yang pertama mewakili ulama India, yang kedua mewakili ulama Arab, yang
ketiga mewakili ulama Indonesia. Mereka sepakat menyatakan bahwa da’wah pada hakikatnya
merupakan kewajiban setiap pribadi, sesuai dengan kadar kemampuannya.
Sayangnya, mereka tidak memaparkan bagaimana cara untuk membuat setiap pribadi bisa tampil
sebagai da’i. Apakah mereka dibiarkan tumbuh sendiri, atau ada sistem yang bisa menjamin agar
setiap orang berperan serta dalam kegiatan da’wah? Dari buku-buku yang ada, terkesan bahwa
sistem itu tidak ada, dan nampaknya buku-buku itu memang ditulis hanya untuk orang-orang yang
ingin menjadi da’i profesional. Bahkan ada kesan bahwa da’i adalah “orang yang dilahirkan sebagai
da’i” (lahir dengan membawa bakat da’i), bukan dibentuk melalui semacam proses pendidikan.
Ada sebuah buku berjudul Kepribadian Dai yang ditulis Dr. Irwan Prayitno. Dilihat dari judul dan
tebalnya (734 halaman) buku ini tampak ‘menjanjikan’ sebagai pedoman pembentukan pribadi da’i
yang utuh dan tangguh. Tapi, setelah diperiksa, ternyata sistematika penyusunannya (daftar isinya)
demikian rancu, sehingga kita jadi bingung tentang kepribadian da’i macam apa yang hendak
dibentuk buku ini. Selain itu, cara penulisannya juga tidak menarik.
Bahan (materi) da’wah
Sepanjang penelitian penulis, di antara mereka (bukan hanya yang tiga orang itu) belum ada satu pun
yang menegaskan bahwa da’wah yang dimaksud adalah da’wah dalam rangka menyampaikan
(mengajarkan) Al-Qurân.
Mereka pada umumnya hanya menyatakan bahwa da’wah yang dimaksud adalah menyampaikan
ajaran Islam; dan yang mereka maksud dengan ajaran Islam itu pada akhirnya muncul dalam wujud
ilmu tauhid, fiqh, akhlaq, dan tasawuf. Sementara penyampaian Al-Qurمn hanya dilakukan dengan
cara mengajar membaca, mulai dari mengeja, meningkat pada pelajaran tajwid, dan berpuncak pada
pelajaran melagukan bacaan dengan berbagai lagu.
Ada juga mereka mengajarkan hafalan dan tafsir Al-Qurân, tapi hanya untuk kalangan khusus
(biasanya para calon da’i).
Sebuah lembaga penghafalan Al-Qurân bernama Jam’iyah Litahfidh Al-Qur’an (disingkat JatiQu),
memberikan gambaran bagaimana mereka menyampaikan Al-Qurân kepada masyarakat. Dalam
selebarannya yang, antara lain, menawarkan program bimbingan menghafal, membaca dan tahsin Al-
Qurân, tertulis juga tawaran tentang tafsir tematik:
Dapat membaca Al-Qur’an seharusnya juga diringi dengan pemahaman makna kandungannya. Di sini
juga para pengajar dapat memberikan bimgingan Tafsir melalui tema-tema yang disesuaikan dengan
kecende-rungan masyarakat (sebagai pemecahan masalah kehidupan pribadi). Misalkan yang jadi
pedagang, tafsir yang dikaji ayat-ayat tentang berdagang, begitu juga yang bergerak dalam hal
perbankan dsb.
Jadi, boleh dikatakan program da’wah mereka pada umumnya bersifat memberikan pandangan umum
tentang Islam, kemudian pokok-pokok kepercayaan yang terdapat dalam rumusan Rukun Iman,
disusul dengan petunjuk-petunjuk praktis ibadah (ritual) seperti yang dirumuskan dalam Rukun
Islam, dan diakhiri dengan gambaran-gambaran perilaku baik dan mulia dalam rumusan
akhlaq/tasawuf.
Kaifiat (strategi & taktik) da’wah
Dalam buku-buku tentang da’wah, kaifiat atau strategi dan taktik da’wah pada umumnya cuma
dikemukakan sisi teknisnya, khususnya tentang “bagaimana cara mengajar” (how to teach). Dalam
buku karangan M. Natsir yang menjadi kebanggaan Dewan Da’wah Islamiyah Jakarta, Fiqhud
Da’wah, pada babKaifiat Dan Adab Da’wah, yang dibahas cuma sekitar Hikmah dalam arti mengenal
golongan, Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus bicara, bila harus diam, Hikmah
dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai tempat bertolak, untuk
maju secara sistematis, Hikmah tidak melepaskan sibghah, Memilih dan menyusun kata yang tepat,
Hikmah dalam cara perpisahan, Hikmah dengan arti Uswah Hasanah dan Lisanul Hal, … Mawaddah
Fil-Qurba: Jembatan Rasa…
Kadang terkesan pada kita bahwa berda’wah itu sama dengan berpidato atau berceramah saja,
sehingga dalam buku-buku, juga di perguruan tinggi yang mengajarkan da’wah, dalam arti how to
teach itu, diajarkanlah ilmu kemahiran berpidato (retorika), agar pidato itu memikat dan
mengesankan.
Fathi Yakan, misalnya, mengatakan:
Seorang da’i dapat dianggap sukses jika ia mempunyai kemampuan memberikan kesan mendalam
pada orang-orang yang menerima seruan dan buah pikirannya, walaupun mereka itu mempunyai
perbedaan dalam cara hidup dan tradisi atau latar belakang sosial. Bahkan ia mampu menguasai dan
mempengaruhi perilaku serta pikiran sejumlah orang sekaligus. Dengan demikian, penguasaan
da’wah sebagai suatu keampuhan dan ketinggian budi atau kesucian iman yang dianugerahi Allah
akan sangat menentukan kedudukan para da’i sebagai pemberi petunjuk danpimpinan masyarakat,
serta sanggup menghimpun orang banyak dan menarik perhatian atau simpati mereka.[5]
Saya menemukan sebuah buku yang judulnya cukup menarik, yaitu Cara Para Nabi Berdakwah,
karangan Syaikh DR. Rabi’ Bin hadi ‘Umair Al-Madkhaly. Dari buku ini, semula saya berharap untuk
mendapatkan gambaran tentang da’wah para nabi secara utuh. Tapi ternyata, dalam buku ini pun
gambaran tentang da’wah para nabi itu boleh dikatakan kabur. Penulisnya cuma memberikan
gambaran umum bahwa da’wah-da’wah setiap (para) nabi, pertama, setiap mereka berjalan di
atas manhaj yang menyeru kepada tauhidullah, dan hanya menyembah kepadaNya. Kemudian,
mereka menerima penghinaan, pendustaan dan celaan dari kaumnya, … [6] Selanjutnya,
digamabarkanlah bagaimana penderitaan Nabi Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, dan Nabi Muhammad
dengan para sahabatnya.
Buku lainnya, yang cukup menarik adalah Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, karangan Ali Mustafa
Yaqub. Tapi, sekali lagi, dari buku ini pun kita tidak bisa mengharapkan untuk mendapatkan
gambaran utuh tentang da’wah Nabi Muhammad. Yang ‘menarik’, buku ini agaknya ditulis karena
penulisnya tergelitik menyaksikan sejumlah artis yang kadang tampil berda’wah, dan sejumlah
mubaligh yang akrab dengan para artis dan dunia mereka yang ‘menyerempet-nyerempet bahaya’.
Dalam kesimpulannya, ditegaskan oleh penulis bahwa hal itu tak pernah dilakukan oleh Nabi.
Sasaran da’wah (mad’u)
Jamaluddin Kafie, dalam bukunya yang berjudul Psikologi Dakwah menjelaskan tentang obyek
(sasaran) da’wah demikian:
Sudah jelas kiranya bahwa objek dakwah adalah manusia, mulai dari individu, keluarga, kelompok,
golongan, kaum, massa dan umat seluruhnya. Sudah jelas pula bahwa setiap insan yang normal,
dewasa dan beradab, pada umumnya mempunyai cita-cita mencapai kebahagiaan hidup. Cita-cita
yang luhur itu kemudian dimanifesta-sikan dalam bentuk keinginan-keinginan yang akhirnya
mengarah kepada tujuan hidupnya di dunia ini. Dakwah sudah menggaris bawahi tujuan manusia itu
serta memasukkannya ke dalam agenda jadwal tugasnya amar ma’ruf — nahi mungkar.
Manusia sebagai objek dakwah dapat digolongkan menurut klasnya masing-masing serta menurut
lapangan kehidupannya. Akan tetapi menurut pendekatan psikologis, manusia hanya bisa didekati
dari tiga sisi, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk ber-Ketuhanan.[7]
Sungguh memprihatinkan, buku-buku tentang da’wah yang ada di pasaran tidak satu pun yang
berusaha mengurai pembagian sasaran da’wah berdasarkan paparan Al-Qurân.
Tujuan da’wah
Para penulis buku tentang da’wah pada umumnya tidak menggambarkan dengan gamblang tentang
tujuan akhir da’wah. Segi ini merupakan titik terlemah dari buku-buku da’wah itu.
Ali Mustafa Yaqub, misalnya, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, pada
babTugas-tugas Pokok Nabi SAW, menyatakan bahwa tugas mereka (para rasul) sejak Nabi Adam as
sampai Nabi Muhammad saw adalah sama, yaitu:
1. Menyeru umat manusia untuk hanya beribadah kepada Allah.
2. Menyampaikan ajaran Allah kepada manusia.
3. Memberikan hidayah kepada umat manusia.
4. Memberikan teladan yang baik.
5. Memperingatkan manusia tentang kehidupan akhirat.
6. Mengubah orientasi duniawi menjadi orientasi ukhrawi.
Ini hanya salah satu contoh dari seorang ‘pakar’ yang bingung membedakan antara TIU dan TIK
da’wah.[8]Atau dengan kata lain, sang pakar ini bingung membedakan antara pandangan deduktif
(umum) dan induktif (khusus) tentang apa yang disampaikan para rasul, yakni ajaran Allah. Coba
perhatikan keenam butir di atas! Bukankah, dalam sistematika ilmu yang benar, seharusnya ia
menempatkan butir kedua pada urutan pertama? Setelah itu, butir-butir selainnya pada hakikatnya
hanyalah mewakili aspek-aspek khusus dari butir pertama (ajaran Allah).
Jamaluddin Kafie mengatakan bahwa ilmu da’wah sampai sekarang belum ada pengakuan secara
resmi sejak kapan ia disebut “Dakwatologi”[9]. Masalahnya bagi kita bukan lah pengakuan resmi
tentang ilmu da’wah, tapi yang disebut ilmu da’wah yang sudah dikembangkan dan diterapkan
sekarang itu sudah bernilai ilmiah atau belum? Artinya, bila ia disebut ilmu, maka di dalamnya sudah
harus tercermin atau tersimpul dasar-dasar (prinsip) keilmuan yang diakui, yaitu harus mencakup
metode (prosedur) yang jelas dan pasti, sistematika (paparan, atau rangkaian keterangan yang
runtun dan kompak), analitika (pendataan, keterangan pembuktian), dan obyektifita (kebenaran yang
gamblang, sehingga bisa direkonstruksi). Bila hal-hal seperti itu bisa kita temukan, maka sah lah ia
sebagai ilmu. Sayang, pada buku-buku tentang da’wah yang ada, kita tidak menemukan hal itu. Apa
yang disebut Jamaluddin Kafie sebagai “Dakwatologi” itu, kenyataannya hanyalah menumpang pada
ilmu komunikasi.
Seperti dirumuskan Lasswell, komunikasi pada hakikatnya mempunyai lima unsur, yaitu Siapa
mengatakan Apa kepada siapa melalui Saluran Mana dengan dampak Apa? (Who says What to
whom through Which Channel with What effect?).[10] Atau, seperti terkesan dari buku-buku yang
ada, yang disebut ilmu da’wah itu bahkan tampak hanya nebeng pada retorika.[11]
Ilmu da’wah memang ada hubungannya dengan ilmu komunikasi dan retorika. Bahkan, boleh jadi
ilmu komunikasi dan retorika hanyalah sempalan saja dari ilmu da’wah yang diajarkan Allah kepada
para rasul. Bila kita mempelajari ilmu komunikasi, lantas dari situ kita menyusun ilmu da’wah, tegak
lah ilmu komunikasi yang dikembangkan manusia, dan sebaliknya hancur lah ilmu da’wah yang
diajarkan Allah dan dikembangkan para rasul.
[1] Dari bahasa Latin, hypothesis, yang berarti “kesimpulan sementara” , yaitu suatu keterangan
yang dibuat sebagai pegangan sementara, sebelum dilakukan pengkajian lebih lanjut. Bila sudah
dilakukan pengkajian, dan ternyata bahwa keterangan itu terbukti benar, maka ia bisa menjadi teori,
yang selanjutnya dapat pula menjadi hukum. (Lihat Kamus Internasional, Osman Raliby).
[2] Fadhمilil-A’mâl hal. 405, Pustaka Ramadhan, Bandung, Januari 2001.
[3] Da’wah Fardiyah Dalam Manhaj Amal Islami, terj. Ashfa Akfarina, hal. 24-25, Citra Islami Press,
Solo, 1996.
[4] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, hal. 110-111, cetakan kelima, Media Da’wah, Jakarta, 1408/1988.
[5] Konsep Penguasaan Da’wah, Fathi Yakan, terj. Pardi Yatim, hal. 1-2, cetakan kedua, Yayasan Al-
Amanah, Jakarta, 1992.
[6] Cara Para Nabi Berdakwah, Syaikh DR. Rabi’ Bin hadi ‘Umair Al-Madkhaly, terj. Muhtadin
Abrari, hal. 15, cet. Pertama, Maktabah Salafy Press, Tegal, 2002.
[7] Psikologi Dakwah, Jamaluddin Kafie, hal. 32, Penerbit Indah, Surabaya, 1993.
[8] TIU (Tujuan Instruksional Umum); TIK (Tujuan Instruksional Khusus). Keduanya adalah istillah
yang biasa digunakan dalam buku-buku teks (textbook) untuk mahasiswa.
[9] Psikologi Dakwah, bab Pengantar, hal. iii.
[10] Seperti dikutip Dr. phil. Astrid S. Susanto dalam bukunya, Komunikasi Kontemporer, cetakan
kedua, hal.5, Binacipta, Bandung, 1982.
[11] Ing.: rhetoric: seni penggunaan kata-kata yang mengesankan dalam pidato maupun tulisan.
Berdakwah dengan penyampaian dan acara yang tepat, sesuai situasi dan kondisi masyarakat, kultur
dan budaya. Dilakukan juga dengan bahasa yang baik serta dengan perilaku sehari2 yang
mencerminkan akhlak Islam...(lihat fiqhud da'wah Muhammad Natsir).
Pemikiran Politik M. Natsir
Posted by Gonda Yumitro
Mengenal M. Natsir
Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang dilahirkan di Sumatera Barat, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun. Natsir dikenal sebagai seorang cendikiawan-budayawan muslim, tokoh politik, da’i dan negarawan yang sangat berkontribusi di Indonesia, bahkan dunia Internasional.Natsir berasal dari keluarga muslim yang taat, dan dimasa remaja mulai berkenalan dengan pendidikan barat. Pada awalnya ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) di solok pada tahun 1916-1923, kemudian Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang pada tahun 1923-1927. Baru kemudian pada tahun 1927-1930 melanjutkan pendidikan di AMS (Algemene Middelbare School) Bandung. Setelah itu Natsir belajar di Persatuan Islam (Persis) dibawah asuhan ustadz A.Hasan. Selanjutnya Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs) dan pada tahun 1932-1942 dipercaya sebagai direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.
Tahun 1946 Natsir mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpinnya sampai tahun 1957. Natsir juga pernah menjabat sebagai menteri penerangan (1946-1949). Pada waktu itu Natsir berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman untuk kembali ke Jogja dan menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno Hatta karena tersinggung atas kesepakatan
Roem Royen. Natsir juga melunakkan hati Daud Beureuh untuk bergabung dengan Sumatera Utara. Pada waktu Natsir menjadi perdana Menteri (1950-1951), Indonesia bergabung dalam PBB.
Hanya saja karena sikapnya yang kritis menyebabkan Soekarno memecat Natsir. Apalagi pada waktu itu Soekarno sudah mulai mendekat dengan China melalui Partai Komunis Indonesia. Puncaknya, dari tahun 1962-1966 Natsir menjadi tahanan politik orde lama.
Ketika orde baru berkuasa Natsir tetap kritis melalui organisasi Dewan Da’wah Islam Indonesia yang didirikannya. Tahun 1967 Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan. Selain itu Natsir juga aktif sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Al Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam Al Islami.
Ditengah kesibukannya yang sangat banyak, Natsir masih sempat menulis beberapa buku antaralain Capita Selecta (3 jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat, Revolusi Indonesia, Islam Sebagai Dasar Negara, Dari Masa Ke Masa (beberapa jilid), Kumpulan Khutbah Hari Raya, Islam dan Kristen di Indonesia, Kebudayaan Islam, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah Naungan Risalah, Kode dan Etik Da’wah, Tugas dan Peranan Ulama, Kubu Pertahanan Mental Dari Abad Ke Abad, Membangun Umat dan Negara, Berbahagialah Perintis, World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah, Asas Keyakinan Agama Kami, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia, Tentang Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Demokrasi Di Bawah Hukum, Pesan Perjuangan Seorang Bapak-Percakapan Antar Generasi, dan lain-lain.
Natsir banyak mendapatkan penghargaan, antaralain pada tahun 1957 mendapat bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah.
Dalam pemikiran Islam, Natsir banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, Imam Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.
Pemikiran Politik M.Natsir
Beberapa pemikiran politik M.Natsir antaralain:a. Hidup hanya akan berarti jika dihabiskan untuk da’wah dan jihad. Menurut Natsir
Islam adalah harga mati yang harus selalu diperjuangkan. Syair yang sering Natsir sitir untuk menggambarkan semangat tersebut adalah syair dari seorang pujangga mesir, Syauqi Bey yang berbunyi, “berdirilah tegak memperjuangkan pendirian selama hidupmu”.
b. Islam bukanlah semata-mata suatu agama dalam definisi yang sempit, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
c. Sebagai perjuangan dan da’wah, maka dalam politik akan sangat banyak ditemukan rintangan dan tantangan seperti perang ideology, pemikiran, gerakan pemurtadan, dan sekularisasi.
d. Dalam menghadapi semua tantangan manusia harus benar-benar memahami posisi dirinya sebagai hamba. “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.
e. Islam tidak mungkin menyebabkkan rakyat menjadi bodoh, terbelakang, dan tertindas. Meskipun bernama pemerintahan Islam, jika para pemimpin ahli maksiat, takhayul dibiarkan, pemerintahan tidak diserahkan kepada yang ahli, maka sesungguhnya itu bukan pemerintahan islam. Keadaan seperti ini akan menyebabkan datangnya kerusakan dan bencana yang bertubi-tubi. Jadi, Natsir menginginkan pemerintahan yang baik secara simbol maupun substansi memperjuangkan Islam. Bukan pemerintahan sekuler, yang waktu itu dikampanyekan oleh Soekarno. Jika Soekarno menyatakan bahwa tidak ada perintah untuk menyatukan agama dengan negara, maka Natsir juga membalas bahwa tidak pula ada larangan jika agama dan negara harus bersatu.
f. Demokrasi mempunyai persamaan dengan islam dalam hal hak rakyat untuk mengkritik, menegur, dan membetulkan pemerintahan yang dzalim. Apabila tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika diperlukan. Argument ini Natsir dasarkan pada hadits nabi ketika seseorang bertanya, “Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai). Atau dalam hadits yang lain, Rasullulah memperingatkan “apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
g. Meskipun substansinya membolehkan demokrasi, tetapi tentu tidak pada semua aspek kehidupan bernegara. Terhadap persoalan-persoalan yang sudah jelas dalam Alquran dan Sunnah, maka negara tidak ada pilihan lain kecuali mentaati. Para anggota dewan hanya membahas persoalan-persoalan yang belum jelas dari Alquran dan sunnah saja. Jadi negara harus tetap berada dibawah ordinasi negara.
h. Jikapun ada yang mengatakan kalau demikian Islam tidak demokratis, maka nasir berpendapat bahwa demokrasi ala Islam adalah Theistic Democracy (Demokrasi berdasar pada nilai-nilai ketuhanan). Jika pun tetap ditolak sebagai demokrasi, menurut nasir itulah Islam.
i. Dalam hal pemerintahan, maka kepala pemerintahan tidak berarti kepala agama. Masalah agama dipimpin oleh para ulama. Jika terjadi konflik antara urusan pemerintahan dan agama maka persoalan harus diselesaikan sesuai dengan hukum Allah. “bila betul-betul hukum dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi, hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia mestilah gugur!. Dalam istilah barat kondisi ini sama dengan leg superior derogut leg imperior yang artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.
j. Untuk penerapan syariat Islam dalam negara, maka sebuah negara harus dipimpin oleh seorang muslim. Oleh karena itu diperlukan pengkaderan pemimpin muslim yang terpelajar, yang memahamkan masyarakat bahwa Islam tidak sekedar urusan ritual semata.
k. Jika dengan kekuasaan orang Islam ada yang menilai tidak adil, maka menurut Natsir Islam sangat menghargai kebebasan orang lain dalam beragama, sehingga tidak perlu khawatir. Justru sebaliknya, jika saja hukum Islam tidak diterapkan maka sadar atau tidak sebenarnya itu sedang mendholimi umat Islam sendiri yang penduduknya lebih dari 80%. Artinya hak mayoritas akan dirugikan.
l. Dalam politik menurut Natsir yang perlu dilakukan bukan sekedar berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan suara terbanyak dengan asumsi akan mampu memasukkan hukum-hukum Islam dalam undang-undang negara, tetapi lebih dari itu, kaedah, prinsi-prinsip politik Islam merupakan perhatian utama agar umat Islam tidak tertipu.
MUHAMMAD NATSIR: Sejarah dan Gagasannya Terhadap Pendidikan Islam.
Oleh: Muhammad Fahri
Madju atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran
dan pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang
terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki
didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.[1]
A. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki khazanah tokoh pembaharu dunia pendidikan Islam yang begitu
banyak, para tokoh tersebut sangat intens dan menaruh perhatian besar tehadap
perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan Islam. Mereka banyak melahirkan
gerakan-gerakan yang baru, pemikiran-pemikiran yang segar bahkan gagasan-gagasan
yang cemerlang yang sesuai dengan tujuan dan arahan serta visi misi pendidikan
Islam. Peran tokoh-tokoh tersebut banyak memberikan angin segar, pencerahan ide-
ide yang banyak dikembangkan oleh para praktisi pendidikan pada masa kini.
Nama Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana Pendidikan Islam di Indonesia.
Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional yang kiprahnya dalam memajukan bangsa
ini, khususnya umat Islam di waktu lampau telah diakui oleh berbagai kalangan.
Bahkan, pengaruh dari usaha beliau masih dirasakan hingga sekarang. Pak Natsir
(sapaan akrab beliau) tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan, pemikir modernis,
mujahid dakwah. Tapi, beliau dikenal juga sebagai seorang aktivis pendidik bangsa
yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia sejak awal kemerdekaan
hingga masa orde baru. Pemikirannya banyak digali dan dijadikan sebagai titik tolak
kebangkitan umat Islam dalam berbagai macam bidang.
Mohammad Natsir adalah tokoh yang menggagas pembaharuan pendidikan Islam yang
berbasis al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan berbasis al-Qur’an dan al-Sunnah, maka
pendidikan Islam harus bersifat integral[2], harmonis, dan universal, mengembangkan
segenap potensi manusia (fitrah) agar menjadi manusia yang bebas, mandiri sehingga
mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Selanjutnya, konsep
pendidikan integral, harmonis dan universal tersebut oleh Natsir dihubungkan dengan
misi ajaran Islam sebagai agama yang bersifat universal.
Menurut Natsir, bahwa Islam bukan sekedar agama dalam pengertian yang sempit
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga mengatur
hubungan manusia dengan manusia. Dari pertimbangan yang telah diutarakan diatas,
terlihat bahwa studi mengenai Mohammad Natsir dan pemikirannya tentang
pendidikan Islam merupakan bidang yang amat menarik dan penting untuk diteliti
serta cukup beralasan, maka penulis berusaha menganalisis pemikiran Mohammad
Natsir, serta membuat format dari gagasan tersebut yang dikemas dalam suatu
rumusan: Bagaimana konsep Pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir. Untuk
menjawab permasalahan ini maka akan dibahas pemikiran Muhammad Natsir
mengenai: (a) tujuan pendidikan Islam, (b) kurikulum pendidikan Islam, (c) metode
pendidikan Islam.
B. BIOGRAFI MUHAMMAD NATSIR
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok,
Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah bertepatan dengan 17
Juli 1908 Masehi. Natsir adalah putra dari Khadijah dan Mohammad Idris Sutan
Saripado. Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan,
Rubiah, Yohanusun. Tanah kelahiran Natsir sangat terbuka dengan model pendidikan
Belanda, sehingga kesempatan ini banyak dipergunakan oleh penduduk secara
antusias, sehingga sekolah pada waktu itu tidak dapat menampung animo masyakat
untuk mengenyam pendidikan.
Riwayat pendidikan Muhammad Natsir dimulai di sekolah Rakyat (SR) Maninjau
Sumatra Barat hingga kelas dua. Ketika ayahnya dipindah-tugaskan ke Bakeru, Natsir
mendapat tawaran dari mamaknya, Ibrahim untuk pindah ke Padang agar dapat
menjadi siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Namun His Padang
menolaknya dikarenakan latar belakang Muhammad Natsir yang berasal dari anak
pegawai rendahan. Akan tetapi Natsir memasuki HIS Adabiyah (swasta) yang
diperuntukkan untuk anak-anak negeri selama lima bulan.
Setelah ayahnya dipindah-tugaskan dari Bekeru ke Alahan Panjang, Natsir dijemput
untuk sekolah di HIS Pemerintah yang berada di Solok. Namun karena Solok cukup
jauh dari Alahan Panjang, maka Natsir terpaksa dititipkan di rumah saudagar yang
bernama Haji Musa.
Setelah belajar di HIS pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah pada
waktu sore dan belajar mengaji pada malam hari. Pada waktu itulah Natsir mulai
belajar bahasa Arab. Setelah ia duduk di kelas tiga sekolah diniyah, dia diminta untuk
mengajar di kelas satu, mengingat pada saat itu masih kekurangan guru. Atas
pelaksanaan tugasnya itu, Natsir memperoleh imbalan sebesar sepuluh ribu rupiah
sebulan.
Namun saat itu datang pula kakaknya yang mengajak pindah ke Padang. Di HIS
Padang itulah Natsir masuk kelas lima dan bersekolah di situ selama tiga tahun hingga
selesai. Setelah lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat
beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) dan ternyata lamarannjya itu
diterima. Di MULO Padang inilah Natsir mulai aktif dalam organisasi. Mula-mula ia
masuk dalam Jong Sumatranen Bond (Serikat Pemuda Sumatra) yang diketuai oleh
Sanusi Pane. Kemudian ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (Serikat Pemuda
Islam) dan disitupun Sanusi Pane aktif sebagi ketua dan menjadi anggota Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka sekarang. Menurut Natsir
organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkan di sekolah, dan memiliki andil
yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah
mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di Algememe Midelbare
School (AMS) di Bandung. Di kota inilah ia mempelajari agama secara mendalam serta
berkecimpung dalam bidang politik, dakwah, dan pendidikan. Di tempat inipula Natsir
berjumpa dengan A. Hasan (1887-1958), seorang tokoh pemikir radikal dan pendiri
Persatuan Islam (Persis). Natsir mengaku bahwa A. Hassan banyak mempengaruhi
alam pikirannya. Hal ini karena Muhammad Natsir tertarik pada kesederhanaan A.
Hassan, juga kerapihan kerja dan kealimannya. [3]
Minat dan perhatian Natsir terhadap persoalan keIslaman dan Kemasyarakatan
menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang ditawarkan kepadanya, yaitu
melanjutkan ke fakultas ekonomi atau fakultas hukum di Rotterdam, menjadi pegawai
negeri dengan gaji besar sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelesaikan studi di
AMS dengan nilai tinggi. Minat tersebut direalisasikannya dengan aktif dalam bidang
pendidikan secara luas yang dirintisnya dengan melibatkan diri secara langsung dalam
kegiatan studi Islam yang dilaksanakan oleh Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang
dimulai sejak tahun 1927-1932 dibawah pimpinan A. Hassan.
Pada bulan Maret 1932 Persis menyelenggarakan pertemuan kaum muslimin di
Bandung dengan mengangkat persoalan pendidikan bagi generasi muda Islam sebagai
tema sentralnya. Pertemuan itu melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama
Pendidikan Islam (Pendis) dengan program utamanya meningkatkan mutu pendidikan
melalui pembaruan kurikulum, menanamkan ruh Islam pada setiap mata pelajaran
yang diajarkan kepada para siswa[4].
Serta mengelola sistem pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki
kepribadian yang mandiri dan terampil. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas antara
lain dilakukan melalui pendirian sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak, HIS,
MULO, pertukangan, Perdagangan, Kursus-kursus, ceramah, dan lain sebagainya.[5]
Jejak M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum negeri ini merdeka.
Ketika Indonesia berada di bawah jajahan Jepang (1942-1945) seluruh partai Islam
dibubarkan kecuali empat organisasi islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) yaitu; NU, Muhammadiyah, PUI yang berpusat di Majalengka, dan PUII
yang berpusat di Sukabumi. Empat generasi tersebut kemudian tergabung dalam satu
wadah, yaitu MASJOEMI, penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masjoemi mengadakan
rapat yang menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk barisan
mujahidin dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua, mendirikan
perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI kemudian hari
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Maksud berdirinya STI adalah
untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama Islam, sehingga dapat bermanfaat
bagi masyarakat di kemudian hari.
Dewan Ketua Kurator STI dijabat Mohammad Hatta dan Natsir sebagai sekretarisnya.
Rektor Magnificus oleh KH. A. Kahar Muzakkir dan Natsir pula sebagai sekretarisnya,
dan Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil sekretaris. Di samping menjabat sebagai
sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, Pak Natsir, di kala itu,
menjabat sebagai kepala biro pendidikan Kodya Bandung. Pada tahun 1932-1942,
beliau memimpin Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS)[6] yang menjadi cikal bakal
lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat menjadi universitas
terpandang di kota Bandung.
Setelah matang membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun
perguruan Islam lainnya. Beliau melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan
program pendidikan perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang
memiliki keseragaman dasar dan cita-cita.
Guna merealisasikan tujuannya ini, beliau menyeru perguruan dan institusi pendidikan
Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan
Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Beliau juga tercatat sebagai penggagas di
balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang
kini memiliki anggota lebih dari 500 PTIS se Indonesia. Dari gagasan Muhammad
Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas
Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di
Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim
Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di
Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia, dan
LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad
Natsir.[7]
Muhammad Natsir berpulang ke rahmatullah pad tanggal 6 Februari 1993 Masehi
bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 Hijriah di rumah sakit Cipto Mangun Kusumo
Jakarta dalam usia 85 tahun dengan meninggalkan enam orang anak dari
pernikahannya dengan Nurhanar, yaitu; Siti Muchlisoh (20 Maret 1936), Abu Hanifah (
29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941). Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Aisyatul
Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi (26 April 1944). Berbagai ungkapan
belasungkawa muncul baik dari kawan seperjuangan maupn lawan politiknya.[8]
C. GAGASAN DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN
Selain sejarah atau biografi Muhammad Natsir, berikut dengan riwayat pendidikan
serta kariernya dalam bidang politik dan keorganisasian, penulis akan membahas
gagasan dan pemikiran muhammad Natsir ditinjau dari tiga sisi, yaitu; Tujuan
Pendidikan Islam, Kurikulum Pendidikan Islam serta Metode Pendidikan Islam.
I. TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah membentuk
manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga
memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika
perkembangan masyarakat.[9] Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan
sempurna kecuali dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia,
tujuan ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.
gينeمg kعgال ال qب gر eه� eل ل eي وgمgمgات gايg ي kحgمgو كeي hسh وgن eي ت gالgص eن� إ kلhق
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)
Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri
kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya.
Hal ini juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan
pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin
menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada
Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa
mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata.
Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di
antaranya adalah pendidikan.
Firman Allah Ta’ala:
eونhدh gعkب eي ل eال� إ gسk eن kاإلgو kجeن� ال hتkقg ل gخ وgمgا
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri
sepenuhnya kepada Allah, berarti is telah berada dalam dimensi kehidupan yang
menyejahterakan di dunia dan membahagiakan diakhirat. Menurut Natsir dalam
menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia
sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi.
[10] Perkataan menyembah-Ku sebagaimana terdapat dalam potongan surat az
Dzariyat tersebut diatas menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas lebih
luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan
setiap hari. ”Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan
kepada semua perintah ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan
diakhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya
kemenangan di dunia dan di akhirat itu.[11]
Selain itu, Muhammad Natsir sangat konsen terhadap Pendidikan anak dalam Islam,
sesuai yang dipahami Natsir, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak
(orang tua). Hukumnya fadlu ‘ain. Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah
amanat bagi keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab
atas anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ا gار� ن kمh eيك gهkل وgأ kمh ك gسhنفg أ قhوا hوا ءgامgن gينeذ� ال �هgا يg gاأ ي
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(Q.S.At-Tahrim: 6)
Menurut Muhammad Natsir, maksud ayat ini adalah: “harus kita berikan kepada anak
dan istri kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan memberi
keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat. Sabda Rasulullah SAW: “Tiada seorang
bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nashrani.” (HR. Bukhari)
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi fardlu ‘ainbagi
orang tuanya, tapi juga menjadi fadlu kifayah bagi tiap-tiap anggota dalam sebuah
masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali Imran: 104
gونhحe kمhفkل ال hمhه gكe gئ hول وgأ eرg kك kمhن ال eنgع gنkوgهk gن وgي eوف hرkعgمk eال ب gون hرhمk gأ وgي eرk ي gخk ال eلgى إ gونhعkدg ي م�ة�
h أ kمh kك مeن kنh gك kت وgل
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-
orang yang beruntung.”
Kaum muslimin wajib mengadakan satu kelompok yang mengadakan pendidikan untuk
anak-anak orang Islam, supaya pendidikan mereka tidak di’garap’ oleh orang-orang
yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman, dan tidak seagama. hal ini sesuai
dengan perintah Allah dan pesan Rasulullah SAW.
kمeه eسhفk gن أ eدk ن eع kنeم د�ا gسgح ا hف�ار� ك kمh eك eيمgان إ eدkعg ب kنeم kمh gك د�ون hرg ي kوg ل eابg eت kك ال eلkهg أ kنeم eير� gث ك وgد�
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri. (QS al Baqarah: 109)
II. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam tersebut menurut pandangan
Mohammad Natsir semestinya kurikulum pendidikan dapat disusun dan dikembangkan
secara integral dengan mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus
sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap
kemandirian bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Beliau
sangat tegas menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan
ilmu umum. Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan
umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim
sekularisme. Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang manusia.
Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa
yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk
menjadi khalifah muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Allah dalam arti
seluas-luasnya. Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini sebaik-baiknya kecuali dengan
penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini.[12]
Muhammad Natsir juga mengenalkan konsep tauhid sebagai dasar Pendidikan. Tauhid
harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya,
diantaranya pendidikan. Muhammad Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah
dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang diasaskan pada tauhid. Beliau berpandangan
bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih
muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan
pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk bergantung.[13] Hasil dari
pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki hubungan kuat
dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk. Dan inilah dua
syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin.
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Ali Imran:112
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali
mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian
itu……… (QS. Ali Imran: 112)
Menurut Natsir, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan
kelalaian yang amat besar. Bahayanya, sama besarnya, dengan penghianatan terhadap
anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan dan minumnya, pakaian dan
perhiasannya, serta dilengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya.
Semua ini, menurutnya, tidak ada artinya apabila meninggalkan dasar ketuhanan
(ketauhidan) dalam pendidikan mereka. Natsir memandang bahwa lahirnya para
intelektual muslim yang menentang Islam dan kelompok yang western-
minded[14] adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis agama yang benar. Dari
sinilah beliau melihat sisi pentingnya tauhid sebagai dasar dari pendidikan Islam.[15]
III. METODE PENDIDIKAN ISLAM
Muhammad Natsir telah menempatkan dirinya untuk berada di jalan da’wah. Sehingga
apapun yang dijalankan selalu disebatikan dengan misi da’wah. Kecerdasan yang ada
pada pada diri beliau dan kuatnya keyakinan terhadap ajaran islam menjadikannya
seorang penda’wah yang ulung. Dan kelebihan yang dimilikinya adalah mampu
berda’wah dalam berbagai aspek, seperti politik, pendidikan, keilmuan, keperibadian
dan tingkah laku. Selain itu objek da’wah yang disentuh tidak hanya untuk kalangan
atau golongan tertentu, namun yang menjadi target da’wah adalah mencakup seluruh
masyarakat. Baik golongan atas maupun golongan bawah, bahkan kiprahnya dalam
da’wah mulai dari daerah, nasional hingga internasional. Dalam berda’wah di arena
politik Pak Natsir terkenal dengan dua kalimat “berda’wah dijalur politik berpolitik
dijalur da’wah”. Bagi Pak Natsir berpolitik adalah suatu medan da’wah, sehingga
dalam prakteknya harus dilakukan dengan penuh kejujuran, keikhlasan dan sopan
santun. Dalam berpolitik sangat tidak pantas kalau hanya menurutkan hawa nafsu dan
menepikan hukum Allah. Berpolitik bukan untuk mencari kekuasaan tetapi yang
sangat utama adalah mengutamakan kemaslahatan umat.[16] Begitu juga dalam dunia
pendidikan, menurutnya pendidikan merupakan sarana untuk berda’wah. Dengan
menggunakan kurikulum pendidikan yang integral maka proses transformasi ilmu
pada peserta didik dapat ditempuh melalui tiga tingkatan yaitu: metode hikmah,
mauidzah dan mujadalah. Ketiga metode tersebut bersifat landasan normatif dan
diterapkan dalam tataran praktis yang dapat dikembangkan dalam berbagai model
sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi peserta didik. Dalam pandangan Natsir, dari
beberapa metode yang diungkapkan di atas, terlihat metode hikmah lebih berorientasi
pada kecerdasan dan keunggulan. Metode ini memiliki cakupan yang sangat luas,
meliputi kemampuan memilih saat yang tepat untuk melangkah, mencari kontak dalam
alam pemikiran guna dijadikan titik bertolak, kemampuan memilih kata dan cara yang
tepat, sesuai dengan pokok persoalan, sepadan dengan suasana serta keadaan orang
yang dihadapi. Natsir menambahkan bahwa implikasi metode hikmah ini akan
menjelma dalam sikap dan tindakan.[17]
Metode-metode tersebut diatas sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat an Nahl
ayat125:
äí÷Š$# 4’n<Î) È@‹Î6y™ y7În/u‘ ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9ω»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7 /u‘ uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã
¾Ï&Î#‹Î6y™ ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïωtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[18] dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An Nahl:125)
Hikmah menurut pandangan Natsir memiliki beberapa kategori. Pertama, hikmah
dalam arti ‘mengenal golongan’, yaitu bagaimana seorang da’i dalam hal ini pendidik
menyikapi corak manusia (peserta didik) yang akan dijumpainya. Masing-masing
golongan manusia harus dihadapi oleh yang sepadan dengan tingkat kecerdasan,
sepadan dengan alam fikiran dan perasaan serta tabiat masing-masing. Ayat di atas
mengandung petunjuk pokok bagi Rasul dan para muballighin tentang bagaimana cara
menyampaikan da’wah kepada manusia yang berbagai jenis itu. M. Natsir menukil
pendapat Syaikh Muhammad Abduh yang membagi hikmah dalam tiga golongan: a)
ada golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara
kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan
hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh
kekuasaan akal mereka.b) Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat
berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-
tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzah al-hasanah, dengan anjuran dan
didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difaham. c) Ada golongan
yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dapat
dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai pula , bila dilayani seperti golongan
awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu,
tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah bi al-lati hiya
ahsân, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat,
dan satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.[19]
Adapun mau’idzah al-hasanah dan mujadalah bi al-lati hiya ahsân, kedua hal ini
menurut Natsir lebih banyak mengenai bentuk da’wah, yang juga dapat dipakai dalam
menghadapi semua golongan menurut keadaan, ruang dan waktu. Bentuk mujadalah,
bertukar fikiran berupa debat, bisa dan tepat juga dipakai dalam menghadapi golongan
cerdik pandai; bertukar fikiran berupa soal jawab yang mudah dapat dipakai juga
dalam menghadapi golongan awam. Semua golongan ini memiliki unsur akal dan unsur
rasa. Yang berbeda-beda ialah saat, keadaan dan suasana.[20]
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian gagasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Muhammad Natsir dalah tokoh nasional dan internasiaonal yang memiliki
integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan negara
dengan menjadikan Islam sebagai landasan motivasi
perjuangannya.Kedua, Muhammad Natsir selain seorang negarawan yang handal, ia
juga termasuk pemikir, arsitek pendidikan Islam yang serius. Ia menyadari dengan
sungguhnya bahwa pendidikan merupakan media yang paling strategis untuk
memberdayakan anak bangsa dengan memperhatikan pendidikan mereka sedini
mungkin, khususnya umat Islam agar ia mampu menolong dirinya sendiri, dan pada
saat yang sama ia mampu memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa dan
negara. Ketiga, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya
ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaruan dan kemajuan
pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup
berhasil, ia tidak puas dengan sistem pendidikan Belanda yang sekuler dan dikotomis,
dan juga pada pendidikan Islam tradisional, khususya pesantren dan madrasah yang
hanya mementingkan ilmu-ilmu agama saja, sehingga lulusannya tidak dapat merebut
peluang kerja pada sektor-sektor ekonomi, hukum, politik dan
sebagainya. Keempat, Nastsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi
keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal: (i) dengan merombak sistem
yang dikotomis kepada sistem yang integrated antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-
ilmu umum. (ii) dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi
kurikulum yang integrated (iii) dengan menggunakan metode-metode yang aplicable
dan sesuai dengan syariat-syariat Islam. Kelima, gagasan dan pemikiran Natsir, baik
dalam bidang kenegaraan maupun bidang pendidikan, tampak dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal.
Yang dimaksud faktor internal adalah kecerdasan, karakter dan kepribadian Natsir
yang demikian kuat, tabah dan rela berkorban untuk memperjuangkan kebenaran yang
diyakininya sekalipun harus dibayar dengan penderitaan. Dan yang dimaksud dengan
faktor ekternal adalah penjajahan belanda yang telah menyengsarakan rakyat baik
lahir maupun bathin, dan juga kondisi umat Islam sendiri yang bersikap pasrah,
memusuhi ilmu pengetahuan, tidak menguasai manajeman dan cita-cita yang tinggi.
D. PENUTUP
Inilah gagasan serta pemikiran Muhammad Natsir dalam dunia pendidikan, yang
membuktikan bahwa beliau seorang tokoh Islam yang memiliki pandangan luas
tentang kemaslahatan umat Islam. Semoga kita sebagai generasi yang datang
sesudahnya mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran beliau untuk kemaslahatan
Islam dan kaum muslimin.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab!!!
Sumber gambar : di sini
Referensi:
Husaini, Adian, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika.
Ahad, 21 Maret 2010
Meneladani Da’wah Muhammad Natsir, diunduh tanggal 17 Mei
2010http://mediaislam.myblogrepublika.com/meneladani-da%E2%80%99wah-
muhammad-natsir/
Nata, Abuddin, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta
Natsir, M, Capita Selecta 1, Yayasan Bulan Bintang Abadi dan Media Da’wah. Cet 4.
2008.
Natsir, M, Fiqhud Da’wah: Penerbit Media Da’wah: Jakarta. 1988.
Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diunduh tanggal 29 April 2010
dari http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s1-
2008-dwimardiya-12336&PHPSESSID=42d6ee65b827a38f44956092d28ba985
Rokhman, Saeful, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh
tanggal 17 Mei 2010.http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-terhadap-buku-
fiqhud-dawah.html
Tamam, Badru, Konsep Pendidikan Mohammad Natsir. Diunduh tanggal 29 April 2010
dari http://www.voa-islam.com/teenage/print/2009/07/09/187/konsep-pendidikan-
mohammad-natsir/
Catatan Kaki :
[1] Ini adalah salah satu bunyi pidato Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan
yang beliau sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934
[2] Beliau berpendapat bahwa pendidikan bukanlah bersifat parsial, pendidikan adalah
universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara
sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu
[3] Ada tiga tokoh yang mempengaruhi alam fikiran Muhammad Natsir, yaitu; Pendiri
Persis A. Hassan, Haji Agus Salim dan pendiri al Irsyad al Islamiyah Syaikh Achmad
Soerkati (Adian Husaini, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan,
Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[4] Salah satu prestasinya yang membanggakan adalah pada saat Muhammad Natsir
menjadi perdana Menteri, Beliau mengeluarkan keputusan untuk mewajibkan
pelajaran Agama Islam disekolah-sekolah Umum. (Adian Husaini,Muhammad Natsir;
Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[5] Abuddin Nata: Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. PT
RajaGrafindo Persada: Jakarta hlm 73-77
[6]Lembaga ini menjadi model alternative dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus
hadir sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau
berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal, ada
keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani
dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu. Beliau berusaha
menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak sepakat
dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari dunia.
[7] Badru Tamam: Konsep Pendidikan Muhammad Natsir. Diunduh tanggal 29 April
2010 dari http://www.voa-islam.com/teenage/print/2009/07/09/187/konsep-pendidikan-
mohammad-natsir/
[8] Mantan perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita
wafatnya Natsir ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak Muhammad Natsir terasa
lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom Hirosima (Abuddin Nata,Tokoh Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia.hal.81)
[9] Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diunduh tanggal 29 April 2010
dari http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s1-
2008-dwimardiya-12336&PHPSESSID=42d6ee65b827a38f44956092d28ba985
[10] Abuddin Nata: Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia,PT
RajaGrafindo Persada.: Jakarta hlm.83
[11] M. Natsir, Capita Selekta 1. Yayasan Bulan Bintang Abadi dan Media Da’wah. Cet
4. 2008. hlm. 86
[12] Beliau berpandangan bahwa kemunduran dan kemajuan tidak bergantung pada
ketimuran atau kebaratan. Tidak bergantung pada putih, kuning, atau hitamnya warna
kulit. Tapi bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit kesanggupan
dalam salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat
yang mulia di atas dunia ini. Dan ada atau tidaknya sifat-sifat dan kesanggupan
(kapasitas) ini bergantung kepada didikan jasmani dan rohani yang mereka terima
untuk mencapai yang demikian
[13] Salah satu ungkapan Muhammad Natsir pada tahun 1937 dalam artikelnya di
majalah Pedoman Masyarakat yang bertajuk Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan.
“Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan mejerahkan diri kepada
Tuhan, tak dapat harus mendjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan jang hendak
diberikan kepada generasi jang kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai
Ibu-Bapa, betul-betul tjinta kepada anak-anak jang dipertaruhkan Allah kepada
kita” dan “Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan
sadja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh dinanti-nantikan
setelahnja besar atau berumur landjut.”
[14] Muhammad Natsir mencontohkan salah satu tokoh muda yang terpengaruh
oleh western minded seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata: “Salah satu usaha
pemerintah kolonial Belanda yang juga merupakan tantangan adalah apa yang dikenal
dengan asimilasi atau se-Indonesiasi, yaitu upaya untuk mengajak golongan elite
Indonesia agar merasa dan menganggap sebagai orang Belanda yang sama-sama
berkiblat ke Den Haag, sehingga terlepas dari pandangan hidupnya sebagai bangsa
Indonesia yang memiliki budaya asli Indonesia. Murid-murid sekolah yang otaknya
brillian dititipkan kepada keluarga belanda atau keluarga yang beragama Kristen.
Salah satu korbannya adalah Amir Syarifuddin yang lahir sebagai anak Islam, namun
kemudian menjadi seorang Kristen Protestan” (Abuddin Nata: Tokoh Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, hal. 82)
[15] Badru Tamam: Konsep Pendidikan Muhammad Natsir.
[16] Meneladani Da’wah Muhammad Natsir, diunduh tangga 17 Mei
2010http://mediaislam.myblogrepublika.com/meneladani-da%E2%80%99wah-
muhammad-natsir/
[17] Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diunduh tanggal 29 April 2010
dari http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s1-
2008-dwimardiya-12336&PHPSESSID=42d6ee65b827a38f44956092d28ba985
[18] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara
yang hak dengan yang bathil
[19] Lihat. M. Natsir, Fiqhud Da’wah: Penerbit Media Da’wah: Jakarta. 1988. hlm.158-
159
[20] Saeful Rokhman, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir,
diunduh tanggal 17 Mei 2010.http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-
terhadap-buku-fiqhud-dawah.html
Jurnal Dakwah STID M. Natsir
Terbitnya Jurnal Da'wah oleh Litbang Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir ini, berusaha untuk
memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan da'wah Islam di negeri tercinta ini. Melalui institusi
kampus yang bercorak da'wah ini, adalah sebuah keniscayaan bahkan kewajiban untuk senantiasa beramal jama'i,
melahirkan aktifitas-aktifitas keIslaman, serta melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan umat. Semoga Jurnal
perdana yang kami terbitkan, tentunya dengan banyak kekurangan dapat dijadikan sebagai bahan-bahan referensi
ilmiah untuk kepentingan da'wah. Selain itu, kami ucapkan support yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
telah rurut serta memperlancar amalan ini seperti; Ketua STID Mohammad Natsir, Dewan Senat STID Mohammad
Natsir, dan civitas akademika STID Mohammad Natsir serta pihak-pihak lain yang tak dapat disebutkan satu persatu,
semoga Allah menambahkan kebaikan keapda masing-masing, berikut curahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Amin.
PERANAN PEMIKIRAN MOHD NATSIR DALAM KONTEKS MEMODENKAN
PEMIKIRAN UMAT
OLEH:
MUHAMMAD ‘UTHMAN EL-MUHAMMADY
Pak Natsir, atau al marhum Mohammad Natsir (lahir di Alahanpanjang, Sumatera Barat, 17 -7-1908 - meninggal 6 Faebruari 1993) adalah seorang negarawan Muslim, ulama dan intelektuil, pembaharu dan ahlis siasah Muslim Nusantara yang disegani. Hidupnya yang penuh dengan kegiatan yang berfaedah dan membina umat itu, apa lagi di Nusantara, jelas dalam banyak bidang keagamaan, intelektuil dakwah, budaya dan siasah. Pemergiannya sukar diganti. Ia bukan sahaja berjasa kepada rantau ini dengan kegiatan sosial dan siasah sampai pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia, serta dakwahnya, dengan terasasnya Majlis Dakwah Indonesia, bahkan ia juga berjasa dalam bidang Islam peringkat antarabangsa sampai ia mendapat kurnia Kurnia Raja Faisal.
Dalam nota ini insya’Allah akan diberikan perhatian kepada beberapa aspek pemikirannya
dan bagaimana ianya memainkan peranan dalam meletakkan pemikiran umat dalam
konteks zaman moden antaranya sebagaimana yang boleh dilihat dari bukunya “Kapita
Selekta” dan juga “Fiqhu’d-Da’wah” dalam hubungan dengan persoalan ini.
Dalam bukunya yang pertama (diselenggarakan oleh Sati Alimin, penerbitan Sumur, Bandung, 1961) jld 1 daftar isinya menunjukkan jangkauan ilmunya yang meliputi kebudayaan-falsafah, pendidikan, dan agama, demikian pula buknu itu jld ke 2 nya (terbitan Pustaka Pendis, Jakarta) yang terdiri daripadaceramah-ceramah dan wawancara-wawancaranya, dan tulisan-tulisannya di akhbar mencakupi bidang-bidang politik agama, dan budaya serta falsafah.
Faktor-Faktor Mendasar Dalam Pembentukan Kebudayaan:
Berbicara tentang “Islam dan Kebudayaan” (“Kapita Selekta,” jld 1 hlm 3 dst) beliau
menyatakan antaranya beliau menulis tentang akal, pengetahuan dan agama (yang beliau tulis tahun 1936) seperti berikut:
1.Agama Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal itu pada tempat yang terhormat serta menyuruh agar manusia mempergunakan akal itu untuk menyelidiki keadaan alam.
2.Agama Islam mewajibkan pemeluknya , baik laki-laki maupun perempuan menuntut
ilmu.”Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahad” kata Nabi Muhammad s.a.w.
3.Agama Islam melarang bertaklid-buta , menerima sesuatu sebelum diperiksa , walaupun datang darinya dari kalangan sebangsa dan seagama, atau dari ibu-bapa dan nenek-
moyang sekalipun.” Dan jangan engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai
pengetahuan
atasnya, kerana sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu
semuanya akan ditanya tentang itu.”(Q.s.Bani Isra’il:36).
4.Agama Islam menyuruh memereksa kebenaran , walaupun datang
nya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
5.Agama Islam menggemarkan dan mengerahkan pemeluknya pergi
meninggalkan kampung halaman berjalan ke negeri lain, memperhu
bungkan silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling ber
tukar rasa dan pemandangan .Wajib atas tiap-tiap Muslimin yang
kuasa , pergi sekurangnya sekali seumur hidupnya mengerjakan
haji.Pada saat itu terdapatlah pertemuan yang karib antara segenap
bangsa dan golongan di atas dunia ini.Keadaan itu menimbulkan
perhubungan persaudaraan dan perhubungan kebudayaan (akkultu
rasi) yang sangat penting ertinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa.
Sekian sebagai kutipan ringkas dari ajaran Agama Islam , yang
menjadi sumber kekuatan , yang mendorong terbitnya satu kebuda
yaan , yang akan kita perbincangkan dengan ringkas di bawah ini.”Ini disusuli dengan kenyataan-kenyataan tentang khaifah-khalifah Islam memberi perlindungan dan galakan kepada ahli-ahli ilmu pengetahuan dan seni tanpa memandang bangsa dan agama.Disebutkanbagaimana khalifah Abbasiyyah yang kedua al-Mansur yang taat beragama yang alim dalam ilmu fiqh, menggemari ilmu bintang dan perubatan.Disebutkan bagaimana an-Naubakht ahli ilmu bintang yang dulunya beragama majusi memeluk Islam dengan penyaksian baginda sendiri, dan hidup di istana meneruskan kegiatan-kegiatannya dala,m ilmu bintang itu.Disebutkan bagaimana minat khalifah terhadap falsafah Yunani Purba sampai dikirimkan oleh raja Rumawi waktu itu supaya
dikirimkan kitab fisika dan kitab ilmu mathematik ke Baghdad.Kitab-kitab itu dikaji dan diterjemahkan serta disebarkan isinya dalam tamadun Islam.Beliau menyebut bagaimana
Georgy Bakhtisyu’ ahli perubatan bangsa Siria yang mendapat kurnia dari Khalifah al-
mansur kerana ilmunya yang mendalam.Demikian pula halifah-khalifah kemudiannya
seperti harun al-Rasyid dan al-Ma’mun mementingkan agama, pengetahuan, dan
falsafah.Disebutkan bagaimana kitab-kitab kenegaraan karangan Plato dan kitab ilmu hitung dari Euclides dan kitab-kitab ilmu bintang Ptolemy diterjemahkan dan dikaji.
Kemudian Pak Natsir menyebut bagaimana pengarang-pengarang Islam berjasa dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan mereka masing-masing seperti al-Kindi yang mahir dalam falsafah , ilmu hisab dan muzik, al-Farabi ahli mantik, falsafah, serta politik.Disebut oleh beliau jasa Ibn Sina dalam falsafah dan perubatan, dan Ibn Rusyd , Ibn Majah, serta Ibn Miskawaih dalam bidang mereka masing-masing.
Selepas menyebut banyak perkara tentang perkembangan budaya ilmu pengetahuan dalam
Islam Pak Natsir bertanya di hujungnya: ”Bilakah kembalinya masa yang demikian wahai
Pemuda Islam?” kerana beliau mengharapkan keagungan budaya ilmu pengetahuan dan
kemajuan agama bergabung dalam umat ini yang memberi kegemilangan kepadanya.
Falsafah dan Akhlak
Dalam karangannya tentang Ibn Miskawaih (hlm 10 dst) (yang ditulisnya tahun 1937) beliau mengakhiri karangan itu dengan menyebutkan :
“Kalau ada pemuda-pemuda kita yang sedang menelaah kitab-kitab
Sigmund Freud , psychoanalist yang termasyhur di Weenen (Vienna-
Sixteen) itu, silakanlah pula menyelidiki umpamanya” Tahdhibul Akhlak
(karangan Ibn Miskawaih-p) mudah-mudahan akan menambahkan
penghargaan dari kalangan kita Muslimin kepada pujangga kita dari
zaman itu, yang sampai sekarang hanya dapat penghargaan rupanya
dari pihak “orang lain” saja.”(hlm 11-12).
“Mudah-mudahan akan menjadi sedikit ubat untuk penyembuhkan
penyakit “perasaan kecil” yang melemahkan ruhani .yang umum ada
di kalangan kita kaum Muslimin di zaman sekarang”.
Ahli Falsafah, Perubatan dan Metafisika:
Dalam tulisannya tentang “Ibn Sina” (hlm 13 dst) (yang ditulisnya pada tahun 1937)
selepas daripada berbicara dengan ringkas tentang kedudukan ibn Sina sebagai failasuf dan ahli perubatan dalam sejarah perkembangan pengetahuan dunia, beliau menyatakan bahawa falsafah tidak menggoncangkan keimanan Ibn Sina.Bahkan beliau menulis bagaimana sikap Ibn Sina bila ia berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dalam ilmunya, katanyta:
“Malah sering, apabila ia betemu dengan suatu masalah yang sulit,
sangat susah difikirkan, ia terus pergi berwudhu’ dan pergi ke
mesjid, sembahyang dan berdo’a mudah-mudahan Allah mem
berinya hidayah .Sesudah itu ia terus menelaah dan berfikir
kembali, kerana ia tetap insaf akan kelemahannya sebagai manu
sia , dan berkeperluan akan pertunjuk dan hidayah dari Allah
subhanahu wa ta’ala.”
Selepas menulis sedikit tentang Ibn Sina beliau menulis:”Dalam umur 57 tahun
berpulanglah Ibn Sina dalam bulan Ramadan tahun 428 H.bersamaan dengan bulan Julai 1037 M.meninggalkan pusaka yang sedang menantikan ahli-ahli waris yang lebih dekat, yakni: Pemuda-Pemuda islam yang menaruh himmah, dan bercita-cita
tinggi!” (hlm
15).
Kepakaran Dalam Fiqh, Falsafah, Akhlak, Siasah dan Muzik
Dalam menulis tentang “al-Farabi” (hlm 16 dst) (yang ditulisnya pada tahun
1937) yang berjasa dalam bidang falsafah, politik dan ekonomi serta muzik dan akhlak, beliau membuat kenyataan:
“Abu Nasr al-Farabi hidup dengan akhlak yang tinggi, tidak amat
mementingkan kesenangan dunia, tapi amat menyintai falsafah,
ilmu dan seni,.Pernah ia berkerja di istana Amir Saifud-Daulah
di Halab (Aleppo)… Hidup bersahaja di alam maddah (materi)
sebagai fakir, tetapi memegang kendali dalam runahi sebagai
raja”.
Gabungan Kematangan Rohani, Intelektuil, dan Akhlak Yang Memuncak
Kemudian beliau menulis pula berkenaan dengan Imam Hujjatul-Islam al-Ghazali rd. pada bulan April 1937.Di dalam tulisannya itu beliau membicarakan imam agung ini dengan jasanya dalam pengetahuan, falsafah, akhlak dan tasawwuf, dalam bidang
terakhir ini beliau terkenal dengan kitabIhya’nya.
Dalam berbicara tentang ilmu, pengelaman pancaindera dan akal, akhirnya Imam al-Ghazali berbicara tentang kelemahan semuanya untuk mencapai hakikat terakhir; akhirnya manusia memerlukan hidayat dari Tuhan Sendiri bagaimana tingginya ilmunya sekalipun.
Beliau berbicara bagaimana soal sebab-musabab dibicarakan beratus-ratus tahun dahulu mendahuluiDavid Hume, juga beliau membicarakan kritikan Imam al-Ghazali
terhadap falsafah Barat dalam“Tahafu al-falasifah”nya.
Bahagian akhirnya beliau menulis:
“Dalam tahun 505 H.(1111 M) Imam al-Ghazali mendapat husnul-
khatimah , meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh
kaum Muslimin dan meninggalkan juga pangkal perpecahan
paham antara mereka yang setuju dengan yang tak setuju dengan
buah fikirannya ialah suatu hal yang galib diterima oleh setiap
orang yang berjalan di muka merintis jalan baru, yang mende
ngarkan suara keyakinan yang teguh yang berbisik di dalam hati,
dan tidak hendak turut-turut kehilir kemudik seperti pucuk aru
dihembus angin.”(hlm 23).
Beliau menyebut bagaimana imam utama ini menyelamatkan akidah Islam daripada
serangan pemikiran falsafah Yunani Purba, antaranya dalam”Tahafut al-
Falasifah” yang terkenal itu.
Beliau menyebut pendapat Dr Zwemmer tentang kedudukan Imam al-Ghazali sebagai seorang daripada empat orang yang paling berpengaruh dalam dalam islam, Nabi
Muhammad saw,Imam al-Bukhari dalam hadith, Imam al-Asy’ari dalam akidah, dan
kemudian akhirnya Imam al-Ghazali.
Jiwa Saintifik Yang Dipupuk oleh Islam
Tulisan-tulisan beliau itu disusuli dengan huraian-huraian berkenaan dengan jasa kebudayaan Islam dalam sejarah dunia, seperti misalnya jasa Ibn Haitham berhubungan
dengan persoalan dasar-dasar yang memungkinkan kamera diciptakan, jauh sebelum kemunculan ahli ilmu Barat seperti Leonardo da Vinci dan lainnya.Beliau menyebutkan bagaimana kritikan Ibn Haitham (di Barat dipanggil Alhazen)terhadap ahli-ahli pengetahuan Yunani misalnya Euclides dan Ptolemy tentang penembusan dan perjalanan cahaya menimbulkan revolusi dalam ilmu itu pada zamannya.Ibn Haitham menyuatakan bahawa yang menyebabkan kita melihat objek-objek ialah kerana cahaya dari barang-barang itu sampai ke mata kita, maka dilihat objek-objek melalui lensa mata itu, dan bukanlah cahaya itu dikirim oleh mata kepada objek-objek itu srebagaimana yang dikatakan oleh Euclides dan Ptolemy.Disebutkan bagaimana pengaruh Ibn Haitham dalam bidangnya itu mempengaruhi para ilmuan Barat seperti Leonardo da Vinci, Johann Kepler, Roger Bacon dan lainnya.
Beliau menyebutkan bagaimana jiwa menyiasat alam ini timbul daripada didikan Quran,
antaranya dalam ayat yan g bermaksud:”Dan janganlah engkaun turut saja apa yang
engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, kerana sesungguhynya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya tentangnya”(Q.s.Bani
Israel:36).
Beliau menyebut pendapat ilmuan Islam yang bernama Abu Musa Jabir Ibn Hayyan yang bermaksud:
“Pendirian-pendirian yang berdasarkan ‘kata si anu’ ertinya perka
taan yang tidak disertakan bukti penyelidikan , tidak berharga
dalam ilmu kimia.Suati kaedah dalam ilmu kimia ini dengan tidak
ada kecualinya, ialah bahawa dalil yang tidak berdasarkan bukti
yang nyata , harganya tidak lebih dari satu omongan yang boleh-
jadi benar dan boleh-jadi keliru.Hanya bila seseorang membawa
kan keterangan dengan bukti yang nyata , penguatkan pendirian
nya, barulah kita boleh berkata :pendirian tuan dapatlah kami
terima!” (hlm 27).
Sikap ilmiah dan suka memerhati dan menyelidika ilmuan Muslimin beliau nyatakan seperti berikut:
“Adapun tentang pendirian, serta mencari dan menentukan
ijtihad ,adalah telah jadi darah daging dalam kalangan Islam.
Perhatikan betapa teliti, hemat serta cermatnya kaum Mus
limin mengumpul, memilih, dan menyaring hadith-hadith
yang bakjal jadi dasar untuk fatwa dan pendirian dalam
Hukum Agama .Diperiksa isi perkataannya, diteliti sanad
dan musnadnya, diatur biografi yang sesungguhnya tentang
peribadi dan akhlak seorang rawi .Agama manakah, falsafah
mazhab apakah dan kebudayaan aliran manakah yang telah
mendidik pengikutnya kepada ruh intiqad yang sampai
demikian tinggi tingkatnya?” (hlm 27).
Beliau menjawab katanya:”Tak lain yang mendidik kami (Muslimin-p) sampai demikian,
adalah Agama kami yakni Agama fitrah, Agama yang cocok dan selaras dengan fitrah
kejadian manusia!”Kemudian beliau menyebut tentang keadaan Muslimin yang sudah kehilangan ciri-ciri budaya ilmiah sedemikian itu dengan katanya:
“…Setelah kaum Muslimin kehilangan pokok yang tak ternilai
harganya itu, harkat mereka di langit kebudayaan makin lama
makin turunlah.Keberanian yang tadinya hidup berkobar-kobar
bertukarlah dengan perasaan kecil, rasa-kurang-harga …Ruh
segar dan gembira menghadapi hidup tadinya, menjadilah ruh
yang tunduk-ringkuk, penyembah kubur dan tempat-tempat
keramat, menjadilah budak jimat dan air-jampi.Tangan yang
tadinya begitu giat menyelidik, memeriksa alam supaya memberi
manfaat kepada umat manusia lantas terkulai tak ada himmah,
selain dari menghitung untaian tasbih penebus bidadari di dalam
sorga! “ (hlm 28).
Yang beliau kehendaki ialah, seperti yang dikatakannya :”Jalan untuk membongkar ruh
taklid ini satu-satunya ialah memperlihatkan dengan tidak sembunyi-sembunyi dan
terus-terang kekeliruan-kekeliruan khurafat dan bid’ah itu.Memperlihatkannya ini
berkehendak kepada munazarah dan mujadalah yang bukan kecil, menuntut tenaga, kecakapan , keuletan serta kebijaksanaan yang amat besar..
“Kita telah sama-sama melihat bagaimana akibatnya kebudayaan yang terlepas dari
pimpinan dan jiwa Tauhid yang suci-bersih, serta Akhlak dan Inbadat yang sehat.Semua ini ada hubungannya antara satu dengan yang lain, hubungan yang bergantung dan
bersangkut-paut…Akal Dan Agama
Dalam tulisannya “Hayy ibn Yaqzan” yang ditulis pada bulan Disember 1937 (hlm 30-
36) beliau memberi huraian tentang roman falsafah oleh Ibn Tufail yang diakui sebagai kitab yang paling aneh dalam abad pertengahan (dengan mengutip kata-kata sarjana
terkenal Carra de Vaux: “sans contest l’un livres les plus curieux du moyenage”).
Ianya berkenaan dengan roman falsafah yang menakjubkan berkenaan dengan cerita seorang anak bernama Hayy ibn Yaqzan yang terdampar di sebuah pulau yang kemudiannya disusui oleh kambing hutan, yang kemudiannya membesar dan menjadi dewasa dengan mempunyai ilmu pengetahuan dan hikmat kebijaksanaan hasil daripada penggunaan pancaindera dan akal yang tajam mengamati alam dan alam sekitar dengan penuh ketajaman akal dan budi serta hati nurani.
Dengan akalnya yang tajam dana perasaan yang sentisitif maka Hayy ibn Yaqzan membuat rumusan tentang adanya Tuhan Yang Wajib Ada, tiap-tap sesuatu itu ada pembuatnya, tiap-tiap sesuatu benda itu ada bentuknya yang ditentukan oleh pembuatnya, dan bahawa rupa sesuatu itu sesuai dengan tuntutan kesediaan asal yang ada pada zatnya sendiri, demikian seterusnya.Akhirnya hiduplah Hayy ibn Yaqzan dengan cara yang benar mengikut akalnya, sehingga pada umurnya yang ke 35 tahun baharu ia bertemu dengan Asal, ahli agama yang rasa kecewa dengan menausia tidak hidup dengan sebenarnya mengikut agamanya.Akhirnya ke dua orang itu bersahabat baik.Kedua-duanya mendapati bahawa akal yang sejahtera yang berfikir sampai kepada natijah yang diajarkan oleh agama.hanya akal sahaja belum cukup untuk mengatur hidup manusia dengan pencipta dan makhlukNya.ia memerlukan panduan agama dan wahyu.
Kemudian kedua orang yang mewakili agama dan akal ini berusaha untuk menyeru manusia kepada kehidupan berdasarkan kepada kebenaran dan kebaikan., tetapi seruan mereka tidak mendapat penerimaan yang baik, lalu mereka memencil diri untuk ibadat kepada Allah.
Roman falsafah ini sangat menarik tentang hubungan antara wahyu dan akal manusia dan peranannya dalam menyelamatkan manusia.Ianya bukan semata-mata kisah yang
menarik tanpa falsafah, berlainan daripada cerita “Robnson Crusoe” yang tidak
mempunai apa-apa falsafah yang mendalam dan menyelamatkan.
Antara nabi Muhammad saw dan Charlemagne
Tahun 1938 beliau menulis responsnya selepas membaca buku “Mahomet et
Charlemagne” oleh Henri Pirenne yang membandingkan kesan-kesan perjuangan nabi
Muhammad dengan kesan-kesan yang ditinggalkan oleh Charlemagne.Dinyatakannya bahawa selepas kedatangan bangsa Jermania ke Rom bangsa yang datang itu berubah dipengaruhi oleh budaya golongan yang mereka kuasai seolah-oleh mereka dihisap
olehnya.Kata Pirenne :”Orang Jermania jadi Rumawi setelah ia masuk ke negeri Rum
sebaliknya orang Rumawi menjadi ke-Araban setelahnya dia ditaklukkan Islam””.(hlm
38).
Beliau menegaskan:
“Dengan masuknya Agama Islam , timbullah satu dunia yang baharu di sekitar Laut
Tengah yang tadinya berpusat ke Kota Roma sebagaim sumber peradaban dan
kebudayaan.Sampai ke masa kita sekarang ini –demikian Pirenne meneruskan
keterangannya—masih tetap ada perpecahan dengan masuknya Islam ke Eropah
Selatan ini.Semenjak itulah Laut Tengah menjadi pertemuan dari dua budaya yang
berlainan dan bertentangan …”(hlm 38).
Mengapakah bangsa Arab yang membawa agama Islam itu tidak demikian bila mereka berhadapan dengan bangsa Rumawi itu? Jawabnya bangsa jermania masuk dengan pedang dan kekerasan, sedang Orang Islam masuk dengan senjata jasmani didampingi dengan senjata ruhani.
Kata Pak Natsir lagi:”Senjata ruhani inilah yang menyebabkan kita orang Timur , yang
walaupun bagaimana hebatnya ditindas oleh bangsa Barat, tapi tetap tidak dapat dihancur-leburkan kebudayaan dan peradaban kita oleh orang barat itu sampai
sekarang…”Ini pesanan yang paling bermakna bagi umat Islam yang sedang
berhadapan dengan gelombang globalisasi sekarang ini.
Mencari Kekuatan Dalam Seni Sastera:
Bapak Mohamad Natsir juga memberi perhatian kepada penulisan sastera
zamannya.Dalam tahun 1940 di atas tajuk “Pemandangan tentang Buku Roman” (hlm
41 dst ) selepas beliau menyatakan kekesalannya dengan cerita-ceritas roman masa itu yang kurang memuaskannya dari segi seni dan mesejnya, yang tidak begitu mempunyai makna apa-apa, yang terpengaruh dengan Barat, beliau membuat kenyataan seperti berikut:
“Dan lapangan pekerjaan untuk pujangga kita , amat luas sekali.
Baik dalam kalangan syair ataupun prosa.Buku-buku bacaan
yang memberi didikan amat sedikit.Pembacaan kanak-kanak
hampir nihil.Kita kekurangan kitab nyanyi yang menarik dan
teratur.Dibandingkan dengan anak-anak Eropah, dalam pem
bacaan dan nyanyian , anak-anak kita amat miskin.
“Tidak heran, kerana penulis-penulis untuk bacaan kanak-kanak
di kalangan kita boleh dikatakan baru sedikit sekali, dibandingkan
dengan keperluan yang amat besar.Alangkah baiknya sekiranya
pujangga-pujangga kita meletakkan Conan Doyle dan Manfaluti
barang sebentar dan mencarim inspirasi dalam gudang lagu-lagu
lama dan cerita-cerita lama bangsa kita sendiri , yang sekarang
masih banyak yang belum dipedulikan.Banyak yang mungkin
disaring , diperbagus dan dirombak oleh Pujangga Muda Indo
nesia!” (hlm 47).
Kata beliau lagi dalam soal perkembangan kebudayaan ini:
“Memang tidak ada halangan mencari inspirasi keluar negeri.
Kebudayaan itu tidak monopoli satu bangsa, dan tidak mungkin
dipagar rapat supaya jangan keluar dari satu kaum.Tidak bisa
dan tidak perlu (kalau beliau menulis sekarang sudah tentu beliau
faham keadaan dunia tanpa sempadan dan memberi respon yang
konstruktif-p)Barat boleh mengambil inspirasi ke Timur, Timur
boleh mengambil inspirasi ke Barat.Akan tetapi tidak semua
sumber-sumber itu mengeluarkan air yang jernih, yang memberi
manfaat kepada kita.Baik buat orang, belum tentu baik buat kita.
Jadi di sini perlu rupanya pujangga kita memakai saringan sedikit
, apalagi sebagai Pujangga Muslim.!" (hlm 47).
Selepas itu beliau menyebut tentang keperluan dibaca Perjalanan Ibn Battutah, buku-buku sejarah Indonesia, riwayat umat islam bermula dengan Nabi saw, buku-buku
tentang kesusasteraan Islamzaman keemasannmya, disebutnya “Diwan” oleh Goethe,
dan “Divine Comedy” oleh Dante.Walaupun beliau mengaku beliau bukan pujangga,
tetapi hasil tulisannhya tidak mengecualikan beliau dari golongan pujangga dalam pengertiannya yang tersendiri.
Dalam hubungan dengan seni sastera dan cita-cita beliau tentangnya boleh dilihat daripada pidatonya pada hari Iqbal 21 April, 1953 di Jakarta (Capita Selecta, jld 2. 98 dst).
Pengamatannya tentang Iqbal sangat menarik berkenaan dengan keindahan puisinya serta cita-cita keagamaan, budaya, dan siasahnya yang dinyatakannya sebagai faktor yang menyebabkan lahirnya negara islam Pakistan.Terjemahannya ke atas puisi Iqbal yang didasarkan atas terjemahan Arabnya dari Al-Adzami sangat indah dan menawan seperti baqhagian-bahagian dari “Syikwa” dan “jawabi-Syikwa”.Misalnya dalam hubungan dengan harapannya kepada para pemuda, beliau menterjemahkan puisi Iqbal demikian:
“(harapan kepada pemuda)
Aku harapkan pemuda inilah yang akan sanggup
membangunkan zaman yang baru
memperbaru kekuatan iman
menjalankan pelita hidayat
menyebarkan ajaran khatamul-anbiya’
menancapkan (i.,e menanamkan) di tengah medan pokok ajaran
Ibrahim
Api ini akan hidup kembali dan membakar
jangan mengeluh jua , hai orang yang mengadu
Jangan putus asa , melihat lengang kebunmu
Cahaya pagi telah terhampar bersih
Dan kembang-kembang telah menyebar harum narwastu
……
Khilafatul-Ard akan diserahkan kembali ke tanganmu
Bersedialah dari sekarang
Tegaklah untuk menetapkan engkau ada
Denganmulah Nur Tauhid akan disempurnakan kembali
Engkaulah minyak atar itu , meskipun masih tersimpan dalam
kuntum yang akan mekar
Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu
Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini
Agar harum-harum narwastu meliputi segala
Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak
hanya berbunyi ketika terhempas di pantai
Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu
Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk
Sinarilah zaman dengan nur imanmu
Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu
Patrikan segala dengan nama Muhammad
………
Dan kemudian beliau memberi tanggapannya berkenaan dengan Iqbal sebagai seorang penyair,pendidik, ahli hukum, ahli kritik seni, ahli siasah dan failasuf sekali-gus.
Dalam ntulisannya ini Pak Natsir menunjukkan dirinya sebagai pencinta Iqbal yang sangat faham tentang kesenian persajakan dan citanya yang dituang dalam poersajakannya itu.
Dalam tahun-tahun lima puluhan penulis ini teringat bagaimana ia tertarik dengan sajak-sajak Iqbal terjemahan Pak Natsir yang disiarkan dalam “Majallah Pengasuh” terbitan Majlis Ugama Islam Kelantan waktu itu.Dan minat beliau kekal sampai sekarang terhadap Iqbal yang bermula dengan membaca puisi terjemahan beliau itu.
Dalam hubungan dengan pendidikan, antara lainnnya, sebagaimana yang beliau ceramahkan pada pideatonya di depan mahasiswa P>T>I>I> Medan 2 Disember 1953 (Capita Selecta.2. 115-116) seperti berikut:
“Saudara-saudara! Pernah di Indonesia sistem uzlah dilakukan,
terlepas dari soal jazan (zaman-p).Sistem itu dipakai oleh umat
Islam di bawah pimpinan alim ulama.Mereka mengambil sistem
uzlah untuk mempertahankan diri , mempertahankan kubu-kubu
pertahanan jiwa, berupa pesantren-pesantren , berupa mesjid-mesjid,
di mana ‘uzlah itu dapat disempurnakan.Ini yang dijalankan oleh
Tuanku Imam Bonjol umpamanya!
Ada orang pada masa itu mengatakan bahawa belajar bahasa
Belanda haram hukumnya, berdasi itu juga tidak boleh, sebab
menyerupai orang-orang kafir.Mereka mengharamkan sekolah-
sekolah H.I.S. yang didirikan oleh penjajah.
sendiri
Di situlah timbul potensi di Indonesia dan berkembanglah satu
dinamik yang besar untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang
sampai sekarang masih dirasai lazatnya oleh kita semua, yaitu
pemimpin-pemimpin yang berasal dari pesantren-pesantren.
(kemudian beliau menyebut percubaan pendidikan di Mesir)
….
Yang ada di Barat itu terutamanya adalah tenknik dan effisiensi .
Akan tetapi hasil atau akibat dari memakai itu, disedari atau tidak
ialah intisari dari apa yang hendak dipertahankan jadi hancur.Ia
menceburkan diri dalam air untuk berenang, tetapi terbawa hanyut
dalam air itu sendiri.
Dengan itu Islam hanya tinggal hayya ‘ala ‘s-salah, hayya ‘alal-
falah sahaja lagi.Ini akibatnya menceburkan diri maksud meme
gang kemudi , akan tetapi hanyut ke hilir.Kesudahannya yang
hidup di sana itu ialah pikiran yang statis, yang tidakbergerak
sedikit juga.
‘Uzlah yang dipakai oleh zaman (asal jaman) memang akhirnya
dapat memperlindungi sesuatu yang ada dalam negeri dari
kerusakan alam fikiran.
Tapi yang demikian adalah ujung dari sikap tidak berani
menghadapi ruh dan iktikad dari luar lantas menutup pintu erat-
erat.Kesudahannya yang hidup di sana itu juga adalah alam
alam pikirann yang statis yang tidak bergerak.Tidak ada dinamik
nya untuk mencari dan menjelajah, dinamik yang menjadi sifat
putera-putera Islam dahulu.Tidak akan timbul lagi Al-Farabi
dan Ibn Sina ke-2 oleh sikap yang serupa itu.
…..
dan salah satu aliran pokok pikiran yang ditarik untuk menge
tengahi kedua pendirian ekstrim itu ialah pikiran dari Jamalud
Din Afghani dan Mohammad Abduh yang memberikan satu
pedoman kepada umat Islam seluruh dunia sekarang ini.Di situ
ada pikiran yang berharga , berupa pusparagam yang di
dalamnya kelihatan pokok dan pangkal.Cubalah saudara-
saudara lihat dan saudara-saudara pelajari sendiri.
Kesimpulan: Muslimin membina hidup dan tamadun Islam yang berjaya di zaman moden
Ringkasnya, sebagaimana yang dilihat di atas, Pak Natsir mahu melihat umat Islam kembali kepada jati dirinya sebagai Muslimin dengan aqidahnya, hidup kerohanian dan akhlaknya, dengan peraturan Syariatnya dalam hidupnya, dengan membina tamadun dan budayanya; kerja-kerja itu adalah dengan mengambil kira kemenafaatan-kemenafaatan hidup sezaman yang perlu digunakan bagi menjayakan Islam itu.Beliau mahu timbul kembali ciri-ciri agung manusia dan pendidikan hendaklah berjalan dalam rangka ajaran yang mengambil kira ilmu-=ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu semasa yang digarap dengan jayanya.
Beliau mahu Muslimin hidup dalam dunia moden dengan menguasai pengetahuan-pengetahuan moden dan menjayakan Islam dan tamadunnya di tenaghj-tengfah cabaran dunia sekarang ini tanpa mengamalkan ‘uzlah yang disebutannya itu.
Pada akhir hayatnya beliau menumpukan perhatian kepada Dewan Da’wah Islamiah Indonesia yang bergerak cergas sampai sekarang dalam menghadapi penghakisan Islam umat dan cabaran Kristianisasi.Pandangan-pandangannya tentang dakwah boleh dilihat pada bukunya “Fiqhud-Da’wah”, (1984, Pustakan al-Ameen,Kuala Lumpur).Dan kalau beliau hidup sekarang beliau akan mengajak kita menguatkan peribadi , keimanan, ketaqwaan dan ketrampilan bagi menghadapi globalisasi, yang pada masa beliau belum kelihatan dengan jelas.Wallahu a’lam.
Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da'i Negarawan yang Tangguh
Diposting pada Senin, 20-07-2008 | 00:00:00 WIB
Mengenang Alm. Mohammad Natsir tepat tanggal 17 Juli 2008 mencapai usia satu abad. Ia tidak hanya dikenal
sebagai politisi, Perdana Menteri, Menteri Penerangan, Politisi ulung, sekaligus ulama di dunia Islam. Beliau sangat
konsisten dalam memperjuangkan keutuhan bangsa, mengenalkan posisi Indonesia di mata internasional sampai
sikap politik yang berprinsip kepada penegakan kebenaran dan keadilan. Sehingga langkah-langkahnya
berseberangan dengan Presiden Soekarno sampai mendekam di penjara beberapa tahun karena beliau ingin
menyelamatkan bangsa dari pengaruh komunisme dan demokrasi terpimpin yang tidak sehat.
Mohammad Natsir lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris
Sutan Saripado adalahpegawai juru tulis kontrolir dikampungnya. Beliau lahir dari seorang wanita salihah, Khadijah.
Natsir dibesarkan dalam suasana keserdehanaan dan dilingkungan yang taat beribadah. Semangat mengaji terus
tumbuh mulai kecil, walau Natsir sendiri mengenyam pendidikan barat, ghirah dalam menuntut ilmu agama tiada
pernah lekang dan terus ingin mendalami Islam. Pendidikannya dimulai di HIS (Holland Inlandische
School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok, disanalah ia menghabiskan waktu menuntut ilmu. Pagi
hari di HIS, sore di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Tamat dari HIS, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang, dan
di MULO-lah awal ia aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang
Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Organisasi ini awalnya bergerak menentang para misionaris kristen sehingga
JIB banyak melakukan konterpropaganda supaya aktivitas mereka tidak meresakan umat Islam di wilayah Sumatra
Utara.
Natsir selalu haus ilmu, sehingga tamat dari MULO keinginan melanjutkan studi berlanjut. Ia mendapat beasiswa
studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung karena kecerdasan intelektualnya. Di
Bandung ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ternama seperti H. Agus Salim dari Syarekat Islam dan Ahmad Soorkaty
yang mendirikan organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah. Dua tokoh itulah yang berpengaruh besar dalam karir dakwah
Natsir, disamping ada inspirator lain seperti Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-
Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.
Natsir merupakan organisator dan negarawan ulung. Karir politiknya mencuat setelah bergabung dengan organisasi
Persatuan Islam (Persis) setelah banyak bergaul dan belajar dengan A. Hasan selaku aktivis Persis. Banyak pihak
kagum atas kiprah, semangat juang, da'i yang tidak pernah lelah untuk menyerukan kalimatullah di muka bumi, baik
di Indonesia maupun di dunia Islam. Natsir dan rekan seperjuangannya terus membela Islam, memperjuangkan
dasar negara berdasarkan sistem Islam, karena negara tidak bisa dipisahkan dengan agama, beliau sangat anti
sekularisme. Penentangan dari pihak-pihak yang menghina Islam, para kaum misionaris dan Yahudi serta lawan-
lawan poltiknya selalu diatasi dengan tegas, bijak dan berwibawa.
Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam, ia adalah ulama, da'i militan yang tidak pernah menyerah
dengan lawan, selalu membela kebenaran. Seperti yang pernah ia lakukan terhadap masalah Palestina, berkiprah di
kancah internasional, dan ia selalu sederhana dalam bernampilan.
Mengenang seabad Mohammad Natsir, tidak akan lepas dari kiprah beliau yang banyak bergelut di berbagai
organisasi dengan jabatan strategis. Berikut ini beberapa jabatan yang pernah diamanahkan kepada sosok da'i dan
sekaligus negarawan ulung, Mohammad Natsir:
1. Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
2. Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
3. Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
4. Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah
dan kaki tangan asing.
5. Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
6. Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
7. Memimpin Majelis Al Islam A'la Indunisiya (MIAI).
8. Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
9. Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
10. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
11. Anggota MPRS.
12. Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Dalam pemilu 1955, yang dianggap
pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58
kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara
Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
13. Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS
dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad
Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
14. Menteri Penerangan Republik Indonesia.
15. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
16. Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya "Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam
atau Atheis" di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat
muslim Indonesia.
17. Anggota Konstituante.
18. Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
19. Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke
seluruh Indonesia.
20. Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
21. Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat
membela Palestina.
22. Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya. Natsir
adalah pemimpin dunia Islam yang amat dihormati—Sekretaris Jenderal Rabitah Alam Islami meminta hadirin
berdiri saat pak Natsir memasuki ruang sidang organisasi dunia Islam itu.
23. Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
24. Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
25. Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, dll. Juga
enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.
26. Ketika presiden Soeharto kesulitan menuntaskan konforontasi Indonesia-Malaysia (yang dimulai presiden
Soekarno), berkat bantuan dan jasa hubungan baik Natsir dengan Perdana Menteri (PM) Tengku Abdul
Rahman, Malaysia membuka diri menyelesaikan konfrontasi, dan Letjen TNI Ali Moertopo, Asisten Pribadi
(Aspri) Presiden Soeharto, diterima/berunding pejabat Malaysia.
27. Berkat jasa hubungan baik Natsir dengan PM Fukuda juga, pemerintah Jepang bersedia membantu Indonesia
setelah perekonomian negara ambruk di masa Orde Lama dan setelah pemberontakan G 30 S/PKI.
28. Karena jasa baik dan pengaruh ketokohan DR. Muuhammad Natsir pula, Presiden Soeharto diterima di
negara-negara Timur Tengah dan Dunia Islam. Natsir adalah anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi
tokoh Dunia Islam yang begitu dihormati sepanjang sejarah Indonesia—bahkan sampai sekarang.
(www.penamuslim.com)
Disamping mahir berorganisasi sehingga menjadi negarawan ulung, beliau adalah seorang pendidik sehingga
menjabat dalam berbagai posisi strategis. Mohammad Natsir sangat cinta kepada Islam. Ia adalah seorang da'i yang
mendidik umat, memperhatikan kemaslahatan dan terus mengabdikan dirinya dijalan dakwah. Disamping itu, ia
seorang cendekiawan yang intelektualnya ditasbihkan dalam tulisan. Mulai berdakwah lewat Majalah Pembela Islam,
Majalah Pandji Islam dan banyak berkarya dalam dunia perbukuan untuk selalu mewariskan tsaqafah-nya. Hampir
semua buku yang ia tulis berbahasa Arab yang bernuansa Islami. Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian pada
dinul Islam sebagai agama penyempurna dan paripurna.
Karya-karya Mohammad Natsir antara lain: Fiqhud Da'wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu
dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II, dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan
masih banyak lagi. (Dikutip dari buku "Mereka Yang Telah Pergi" karya Abdullah Al-'Aqil dan Majalah Al-Mujtama'
Edisi 3).
Perjalanan hidup Mantan Perdana Mentri RI terus berlawanan dengan pihak yang tidak senang dengan pandangan
politik dan kebijaksanaannya. Walaupun ia sangat mati-matian memperjuangkan nasib dan kepentingan umat,
bangsa dan negara. Sebagai contoh ia terkenal dengan Mosi Integral yang menyatukan keutuhan NKRI, kiprah di
dunia pendidikan juga dengan getol ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam.
Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah
mata. Ia beberapa kali masuk penjara, berjuang diputan-hutan dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh
pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.
Kini Mohammad Natsir telah wafat. Namun semangat juang untuk meneggakan kalimatullah, bertauhid, selalu
membahana dihati orang-orang yang mencintainya sebagai penerus perjuangan dakwah ini. Mohammad Natsir,
dikenal dengan keserdehanaan hidup, kecerdasan intelektul, piawai dalam berpidato yang sangat menyentuh,
organisator handal, kerja keras pantang menyerah dalam berdakwah, tauhidnya yang lurusmenjadikan dirinya
menjadi tokoh Nasional yang diakui dunia dan terus mengabdi demi kepentingan umat.
Ngadiyo
PENDIDIKAN DAN SAINS DALAM PRESPEKTIF DR. MOHAMMAD NATSIR
Oleh: Imam Taufik Alkhotob
I. Pendahuluan
Pada tanggal 10 November 2008 bersamaan dengan diperingatinya hari pahlawan, perintah Indonesia telah
menetapkan Dr. Mohammad Natsir (akrab dengan panggilan Pak Natsir/bergelar Datok Sinaro Panjang)
sebagai Pahlawan Nasional untuk bangsa Indonesia. Meski terkesan lama, namun usaha Panitia refleksi
Seabad Natsir dan seluruh komponen umat anak idiologis Natsir akhirnya tercapai. Semua merasa gembira
sekaligus terharu sebab meski telah wafat sejak 6 Februari 1993 , nama Natsir tetap menjadi icon
pergerakan ummat.
Tokoh pergerakan Islam internasional yang akrap dipanggil oleh Raja Faisal dengan sebutan “Mujahid Kabir”
ini adalah figur ummat yang melegenda.
Raja Faisal sendiri kemudian menganugerahkan “Faisal Award” sebagaimana ia juga memberikannya
kepada Syaikh Abul A’la Al Maududi, Syaikh Abdullah Ibnu Baz, Syaikh Abul Hasan An Nadawi dan lain-lain
atas jasa-jasanya dalam berkhidmat kepada dunia Islam.
Peta biografi M. Natsir telah banyak ditulis oleh berbagai kalangan baik akademisi maupun non akademisi
dari beragam sisi. Keberagaman sisi itu menunjukkan betapa luasnya bidang perjuangan yang ia geluti.
Salah satu hal yang cukup menarik untuk dikaji dalam hal ini adalah pemikiran beliau tentang pendidikan
dan sains (ilmu pengetahuan). Topik ini akan senantiasa relevan untuk terus dikaji, bukan hanya karena
masalah pendidikan masih menjadi isu sentral ditengah-tengah usaha umat memperbaiki kondisi negara
yang sakit, lebih dari itu pengakuan Natsir sendiri menyebutkan bahwa ranah perjuangan pertama yang
digelutinya adalah dalam dunia pendidikan. Dihadapan para guru Pendis (Pendidikan Islam) Medan 20
September 1951 Natsir mengatakan; “Sekarang saya berada ditengah-tengah saudara-saudara yang
rasanya saya berada kembali pada tangga saya sendiri. Sebab takkala saya keluar dari bangku pelajaran,
maka yang mula-mula saya hadapi dalam lapangan pekerjaan dan perjuangan, ialah lapangan pendidikan
Islam.”
Pengkajian tentang pendidikan dalam prespektif Natsir akan semakin terasa lengkap jika pemikiran beliau
tentang sains ikut diurai. Hal itu karena Natsir terkenal dengan sosok legendaries di dunia pendidikan yang
tidak membeda-bedakan antara sains Barat atau Timur selama itu adalah al haq (kebenaran).
II. Biografi M. Natsir
Untuk mengetahui peta pemikiran Natsir maka riwayat hidup dibawah ini akan banyak membantu dalam
melihat bagaimana keudukan Natsir baik sebagai inspirator, penggerak, ataupun pelaku pendidikan
tersebut.
2.1 Masa Kelahiran dan Pendidikan
2.1.1 Masa Kelahiran dan Kondisi Sosio Kultural
Tepatnya 17 Juli 1908 pasangan Idris Sutan Saripado (pegawai pemerintahan Belanda) dan Khadijah
(keturunan Chainago) melahirkan Natsir kecil di bumi Alahan Panjang Minangkabau Sumatera Barat. Natsir
kecil kemudian tumbuh dalam setting sejarah yang penuh dengan gejolak sosial dan keagamaan. Sejak abad
ke XIX, Minangkabau merupakan basis utama gerakan pembaharuan dan kebangkitan Islam yang dipelopori
kaum Padri. Gerakan ini melahirkan dinamika sosial tersendiri karena memicu perdebatan intelektual antara
kaum adat dan tokoh pembaharuan agama, Natsir menyaksikan dan menjadi bagian dinamika itu. Bahkan
untuk membangun inteaksi dengan agama sesuai dengan apa yang dipahami, orang-orang minang
membangun kebiasaan (Floksways) melepaskan anak-anaknya untuk tidur disurau-surau. Dalam asuhan
orang tua dan para asatidz di masa kecilnya, Natsir telah memulai perjalanan hidupnya dengan sentuhan
Islam modernis.
Dimasa itu pulalah, tokoh-tokoh seperti Buya Hamka, juga mengalami hal yang sama. Apalagi ayahanda
Buya Dr. Abdul Karim Amrullah adalah tokoh yang paling populer ketika itu menghusung paham Islam
modernis.
2.1.2 Natsir Mengenyam Pendidikan
Sekolah Rakyat (SR). Orang jawa sering menyebutnya dengan sekolah ”ongko loro” (nomor dua). Sebuah
sekolah rendahan tempat memisahkan kalangan buruh dan nigrat. Disinilah Natsir pertama kali mengenyam
pendidikannya hingga ke kelas dua. Belum sempat tamat, Natsir harus pindah tepatnya di Hollandsch
Inlandsche school (HIS) Adabiyah di Padang dan tinggal bersama pamannya; Ibrahim. HIS Adabiyah Padang
adalah sekolah partikelir yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad pada 23 Agustus 1915, dan oleh Belanda
sering disebut sebagai sekolah liar (Wilde School). Sesungguhnya Natsir berharap dapat bersekolah di HIS
yang didirikan oleh pemerintah Belanda untuk anak-anak pribumi kelas atas. Namun hal itu tidak
memungkinkan oleh sebab kedudukan orangtuannya yang pegawai rendahan. .
Belum sempat Natsir menyelesaikannya di kelas satu, Natsir kembali dipindahkan oleh ayahnya. Kali ini ke
Solok dan tinggal dengan seorang saudagar kaya bernama Haji Musa. Di kota ini ternyata satu sekolah HIS
milik Pemerintah baru dibuka. Oleh ayahnya Natsir coba didaftarkan. Karena kelas satu sudah penuh, Natsir
kemudian mencoba mendaftar di kelas dua. Karena kepintarannya Natsir ternyata layak untuk duduk di
kelas dua. Disinilah awal pertamakali Natsir berinteraksi dengan pendidikan sistem kolonial. Di Solok, selain
belajar di HIS, sore harinya Natsir juga belajar agama di Madrasah Diniyah Tuanku Mudo Amin, seorang
pengikut Haji Rasul. Lagi-lagi di kota ini Natsir tidak dapat menyelesaikan HIS-nya. Karena ketika kelas
empat ia kembali pindah ke Padang atas ajakan kakaknya, Rabi’ah. Di Padang Natsir diterima di kelas lima
HIS milik Pemerintah, sekolah yang dulu pernah menolaknya karena status ayahnya. Akhirnya di sekolah
inilah Natsir menyelesaikan HIS dengan nilai memuaskan .
Setamatnya dari HIS, karena nilai-nilainya yang baik, Natsir mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah
ke tingkat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) milik pemerintah Hindia dan setingkat SMP di Padang. Ia
mendapatkan beasiswa sebesar Rp. 20 perbulan. Natsir sekolah di MULO dari tahun 1923-1927 dan disini Ia
kembali menyelesaikan studi dengan nilai memuaskan. Semasa di MULO inilah Natsir juga tercatat sebagai
anggota JIB (Jong Islamieten Bond) pimpinan Sanusi Pane, seorang sastrawan terkenal di Indonesia yang
bergerak dibidang kepemudaan Islam.
Karena Natsir mendapatkan nilai yang baik di MULO, maka ia kembali mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikannya ke tingkat AMS (Algemene Midlebare School) setingkat SMA sejak 1927 hingga
1930. Karena di Padang belum ada sekolah tingkat AMS, maka Natsir memutuskan untuk melanjutkan
sekolah AMS nya di Bandung, Jawa Barat. Di AMS ini Natsir mendapatkan beasiswa sebesar Rp. 30 perbulan.
Disinilah Natsir berjumpa dengan A. Hasan kemudian secara intens memperdalam studinya tentang Islam
dibawah asuhan beliau antara tahun 1927 hingga tahun 1932. A. Hasan adalah tokoh tersendiri yang
mewarnai pemahaman keagamaan Natsir. Natsir mengatakan; ”Kami merasa sangat beruntung mendapat
didikan dan bimbingan beliau itu, yang sesungguhnya takkan kami lupakan dan sia-siakan … sungguh
kehidupan kami banyak di pengaruhi oleh cara hidup tuan A. Hassan.”
Ketika belajar di AMS Natsir kembali aktif di JIB Bandung. Karena piawai dalam berorganiasai ia kemudian
diangkat menjadi ketua (sejak 1928-1932). Selepas tamat dari AMS, Natsir mendapat tawaran beaiswa untuk
meneruskan pendidikannya ke Fakultas Hukum Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam Belanda. Namun
ia menolak kedua tawaran itu, dan lebih memilih untuk menjadi pegawai di majalah Pembela Islam, sebuah
majalah milik Persis dibawah asuhan Tuan A. Hasan. Perhatiannya terhadap kondisi penjajahan dan nasib
bangsa yang tertindas menjadi sebab utama mengapa ia tindak ingin mengambil studi ke Belanda. Beberapa
tahun kemudian, karena keinginannya mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam, Natsir mengikuti
kursus guru Diploma LO (Lager Onderwijs) (1931-1932) di Bandung.
2.1.3 Natsir Berkiprah di Dunia Pendidikan
“Sebagai segelintir orang yang terdidik, kamu harus memerdekakan bangsamu” demikian pesan Dr. Van
Bessem orang belanda yang pernah memimpin (rector) AMS kepada Natsir saat masih studi di sekolah
tersebut. Pesan ini tertancap kuat pada diri Natsir, dan menjadi salah satu penyemangat dirinya untuk tetap
menyuarakan perjuangan menuju kemerdekaan.
Ketertarikan Natsir untuk memperjuangkan kemerdekaan dimulai dari peran aktifnya membangun dunia
pendidikan. Langkah ini ia ambil karena Natsir sadar betul kedudukan pendidikan bagi masa depan bangsa.
Mengenai hal itu Natsir mengatakan; “Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantuang sebagian besar
kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada suatu bangsa yang
terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan
pemuda-pemuda mereka.”
Berikut ini adalah beberapa peran terpenting Natsir dalam dunia pendidikan.
a. Sebagai guru di Madrasah
Ketika duduk di kelas tiga Madrasah Diniyah Tuanku Mudo Amin, Natsir diminta menjadi Guru bantu kelas
satu. Hal ini karena kepintaran dan prestasinya. Namun karena ketika kelas empat ia pindah ke Padang,
maka iapun tidak lagi berkesempatan untuk mengajar.
b. Membuka kursus-kurus
Sebelum melahirkan Pendis Natsir pernah mengajar di MULO dengan tanpa gaji. Motivasinya ketika itu
hanyalah ingin mengajarkan agama Islam. Dikediamannya ia juga membuka kursus-kursus belajar yang
kemudian terus-menerus berkembang.
c. Mendirikan Pendis
Begitu selesai AMS dengan nilai memuaskan, Natsir tidak mengambil semua tawaran bekerja dan sekolah
oleh Belanda. Ia lebih memilih untuk terus belajar kepada A. Hassan dan kemudian mendirikan Pendis
(Pendidikan Islam). Pendis adalah sebuah sekolah partikelir dengan sistem pendidikan integral dari tingkat
dasar hingga MULO. Apa yang dilakukan Natsir dengan Pendis ini menjadi penting karena beberapa hal.
Pertama, secara konsisten Natsir menerapkan visi pendidikiannya dalam kurikulum pengajaran dalam
bentuk yang integral. Natsir menempatkan pelajaran-pelajaran dasar agama sejajar dengan pelajaran-
pelajaran lainnya. Kedua, Natsir tidak menempatkan Pendis sebagai satu-satunya model pendidikan yang
harus dikembangkan. Secara konsisten Natsir juga menyokong berdirinya Pesantren Persatuan Islam pada
tahun 1936 atas inisiatif A. Hassan. Natsir pula ikut merumuskan kurikulum dan menjadi pengajar di sini.
Sesuai dengan visinya, pesantren yang baru berdiri itu tidak hanya mengajarkan disiplin ilmu agama secara
mendalam, tapi juga memperkenalkan pengetahuan-pengetahuan umum seperti pengetahuan sosial,
Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Ilmu Mengajar, dan sedikit ilmu-ilmu Alam. Jumlahnya tentu tidak sebanyak
di Pendis karena tujuannya hanya untuk memperluas wawasan santri. Ketiga, visi dan prinsip yang dipegang
Natsir ini, terus dipegang sepanjang hayatnya nanti, dalam posisi apapun. Pendis didirikan sejak 1932 dan
berakhir pada 1942 karena ditutup oleh pemerintahan Jepang.
d. Menjadi Sekretaris Sekolah Tinggi Islam Jakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta).
e. 1942-1945 Diangkat sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo)
f. Natsir memimpin kabinetnya pada tahun 1950 untuk memprakarsai kerjasama antara Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dalam penerapan kurikulum pendidikan agama. Dalam SKB tersebut ditetapkan bahwa
Pendidikan umum harus mengajarkan pendidikan agama, dan pendidikan agama harus mengajarkan
pendidikan umum.
g. Mendirikan Lembaga Pendidikan Dakwah Islamiyah (LPDI)
Ketika menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Da’wah, Natsir berinisiatif mendirikan sebuah lembaga
sebagai tempat pengkaderan para penerusnya. Lembaga ini berbentuk lembaga pendidikan dengan nama
Lembaga Pendidikan Dakwah Islamiyah atau lebih dikenal dengan sebutan LPDI. Dari rahim LPDI inilah
banyak lahir kader-kader muda Mohammad Natsir. Kini para kader itu sudah banyak berkecimpung di dunia
dakwah, baik di Dewan Da’wah maupun di lembaga da’wah lainnya. Dewan Dakwah pada tahun 1999
kemudian mengembangkan kampus LPDI dari program diploma ke strata satu dengan sebuah perguruan
tinggi baru dengan nama Universitas Islam Mohammad Natsir. Namun karena kondisi yang hingga kini masih
belum memungkinkan, maka universitas tersebut berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah
Mohammad Natsir.
h. Ikut mendirikan sembilan Universitas di Indonesia.
Mohammad Natsir tercatat ikut mendirikan sembilan universitas di berbagai kota di Indonesia. Diantaranya
adalah UIKA Bogor, UISU Medan, UNISBA Bandung, UMI Makassar, UNISSULA Semarang, UII Yogyakarta, UIR
Riau dan Universitas al-Azhar Indonesia Jakarta .
i. Ketua Badan Penasehat Yaysasan Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor. Dan pada tahun 1984 masuk
sebagai Ketua Badan Penasehat Yasayan Pondok Pesantren Indonesia.
i. Anggota Dewan Kurator sejumlah Universitas Internasional.
Karena ketokohannya di tingkat Internasional, Natsir juga mendapatkan kehormatan untuk menjadi anggota
Dewan Kurator di tiga universitas Internasional, yaitu: International Islamic University Malaysia (IIUM),
International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan (1957), dan The Oxford Centre of Islamic Studies
(1987), London.
Besarnya peran Natsir dalam dunia pendidikan sebagaimana diterangkan diatas adalah bukti bahwa ia
benar-benar menjadikan persoalan ini sebagai suatu hal yang asasi. Bahkan sebagaimana yang ditulis oleh
Soebadio Sastrosatomo bahwa M. Natsir selaku pribadi, muslim, dan pemimpin bangsa, sangat besar minat
dan perhatiannya kepada dua aspek; Pendidikan dan Da’wah.
2.1.4 Sekilas Kiprah Natsir dalam Perjuangan Politik
Ketika tahun 1928-1932 Natsir sudah aktif di JIB cabang Bandung dan menjadi ketua. Kemudia pada tahun
1937 ia diangkat menjadi wakil ketua organiasai Persis (Persatuan Islam). Pada tahun 1938 ia kemudian
diamanahi untuk menjadi Ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Kemudian pada tahun 1940-
1942 ia juga masuk kedalam Anggota Dewan Rakyat (Volksraad) Kabupaten Bandung. Tahun 1945-1946
Natsir masuk dalam anggota Badan Perkerja KNIP. Karir Natsir terus naik dan sempat menjadi anak
kesayangan Soekarno. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Penerangan R1 untuk tiga kabinet sejak 1946-
1949.
Setelah tidak setuju dengan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan RIS (Repuplik Indonesia
Serikat), Natsir menggagas ”Mosi Integral” dalam sidang parlemen RIS (3 April 1950) dan melobi negara-
negara serikat untuk kembali kepangkuan NKRI. Usha ini meski cukup panjang, namun akhirnya tercapai.
Pada tahun 1949-1958 Natsir memimpin Partai Masyumi. Setelah Indonesia kembali menjadi Negara
Kesatuan, Natsir diangkat menjadi Perdana Mentri pertamanya (1950-1958). Tahun 1950-1958 ia juga
tercatat sebagai anggota parlemen RI Fraksi Masyumi. Tahun 1956-1961 Natsir masuk sebagai anggota
konstituante RI.
Karena Soekarno mulai bermesraan dengan komunis dan menimbulkan gejolak diberbagai sektor
pemerintahan, M. Natsir meninggalkan jakarta ke Bukit Tinggi bersama Syafrudin Prawiranegara mendirikan
pemerintahan PRRI/Permesta sebagai penyelamat idiologi negara (1958-1961). Setelah PRRI dibekukan oleh
Pemerintahan RI maka Natsir beserta rekan-rekannya dibui dua tahun lamanya (1962-1964). Kemudian
tahun 1964-1966 karena masih dianggap berbahaya, ia kembali menjalani masa tahanan RTM (Rumah
Tahanan Militer) di Jakarta. Setelah keluar pada bulan Juli, Natsir mendirikan DDII (Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia), tepatnya pada bulan Februari 1967 bersama dengan para senior Masyumi dan para tokoh-tokoh
lainnya. Dewan Da’wah kemudian menjadi kendaraan Natir karena dilarang untuk berpolitik praktis. Beliau
menjadi ketua Umum sejak 1967 – 1993. Pada 5 Mei 1980 Natsir turut serta dalam penandatanganan Petisi
50 yang berakibat pencekalan selama orde baru. Kemudian Bersama KH. Masykur pada tahun 1989
mendirikan FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah)
2.1.5 Kiprah Natsir di Luar Negeri
a. Pada tahun 1952, sebagai pimpinan Masyumi, Natsir mengunjungi beberapa negara Timur Tengah.
Setelah meletakkan jabatan sebagai PM (Perdana Menteri) RI
b. Memimpin sidang Muktamar Alam Islam di Damaskus Syiria (1956)
c. Menggerakkan solidaritas masyarakat Indonesia untuk membantu perjuangan kemerdekaan Afrika Utara
(1956)
d. Melakukan kunjungan ke negara-negara Timur tengah atas undangan Raja Saudi Arabia, Yordania, dan
Kwait (1967)
e. Sebagai presiden pada Kongres Dunia Islam yang bermarkas di Karachi Pakistan (1967)
f. Masuk kedalam Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami berpusat di Makkah (1969)
g. Anggota Dewan Masjid Sedunia berpusat di Makkah (1976), bersama dengan syaikh Harakan dan Syeikh
Abdullah Ibnu Baz
h. Menjadi ketua Tim Penyelesaian masalah muslim Moro Filiphina Selatan (1978)
i. Anggota Pendiri International Islamic Cahitable Organization (1986) Kwait
III. Mengelaborasi Pemikiran Natsir tentang Pendidikan dan Ilmu
Ketokohan M. Natsir bila dilihat dari sudut manasaja tidak dapat dilepaskan dari jatidirinya sebagai
penghusung gerakan Islam modernis dan tajdid. Modernitas Islam dan tajdid yang difahami Natsir bukanlah
berangkat dari kacamata Barat yang mengusung modernitas dan pembaruan ‘ala ma’na sekuler dan liberal.
Tapi sebagaimana yang dikatakan Natsir, modernitas itu bermakna kembali kepada Islam yang murni. Natsir
mengatakan; ”Bagi saya modernisasi dalam Islam justeru kembali kepada yang pokok atau keaslian. Jadi,
modern yang saya maksud adalah kembali kepada esensialitas Islam,” tegasnya. Sementara makna tajdid
menurut Natsir adalah; ”Mengintrodusir kembali apa yang dahulu peranah ada tetapi ditinggalkan. Yaitu
membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh noda-noda.” Prinsip inilah yang kemudian
mendasari aktifitas Natsir, baik didunia pendidikan, da’wah, politik dan sebagainya.
3.1 Pandangan Natsir tentang Ilmu
Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Kondisi ini jelas berbeda dari apa
yang pernah terjadi di Barat (Kristen), dimana ilmu pengetahuan pernah menjadi musuh besar agama. Kasus
Galileo Galilei menjadi sejarah yang dijadikan tamsil oleh Natsir. Bagi Natsir, umat Islam harus bersyukur
karena telah mendapat kehormatan dari Allah untuk maju dan berkembang pesat serta tampil sebagai
contoh sekaligus sumber kemajuan peradaban untuk dunia. Bagi Natsir, masa-masa kejayaan itu tidak lain
disebabkan oleh ajaran Islam sendiri yang memerintahkan prinsip-prinsip hidup berikut ini;
a) Akal dihormati, dimana Islam meletakkan akal pada tempat yang terhormat sebagai alat berfikir dan
memeriksa (QS. Ali ’Imran: 191).
b) Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu (QS. Al Mujadalah: 11)
c) Islam melarang umatnya untuk bersikap taklid buta (QS. Al Isra’: 36)
d) Islam menyuruh pemeluknya untuk bersikap inisiatif (membuat penemuan baru) dalam hal keduniaan
bagi mashalat masyarakat. (Al Hadits)
e) Islam menyuruh pemeluknya mencari keridhoan Allah melalui semua ni’mat yang ditermianya dan
diperintahkan untuk dipergunakan haknya dalam urusan dunia diatas landasan agama. (QS. Al Qassash: 77)
f) Islam memerintahkan pemeluknya untuk pergi meninggalkan kampung halaman guna pertukaran
silaturahim, pengetahuan, pemandangan, dan perasaan (QS. Al Hajj: 46)
Dalam sebuah pidato yang mempembicaraan tentang ”Agama dan Moral”, Natsir menyinggung secara
panjang lebar tentang ilmu, dan fungsinya.
Fungsi ilmu tidak lain adalah sebagai pembeda antara al haq dan al bathil. Hal itu didasarkan oleh Natsir
kepada salah satu unsur risalah Muhammad yaitu pembeda antara yang haq dan yang bathil. Natsir
mengatakan; ”Salah satu alat untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil adalah ilmu. Oleh sebab
itulah maka Rasulullah menyuruh kepada ummatnya untuk mencari ilmu, memmupuk ilmu. Dengan ilmu
dapat dipisahkan antara yang hak dan yang bathil dan atara yang baik dan yang buruk.”
Akan tetapi, permasalahan lain kemudian muncul. Dengan ilmu yang dimiliki seseorang, baik ia muslim
ataupun kafir, tidak bisa serta merta menyelamatkannya dari penyelewengan yang berakhir kepada
kerusakan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh ilmu tersebut telah terjadi dibelahan negara-negara maju
semisal Amerika Serikat, kata Natsir. Oleh sebab itu, maka yang akan menyelamatakan itu semua
sesungguhnya adalah apa yang disebut Natsir dengan; akhlak atau moral. Namun timbul kembali
permasalahan; moral manakah yang dapat kita pegang ?. Sebab sejak dahulu masalah moral sudah
dibincangkan oleh para ahli falsafah semisal Machiavelli, sementara yang timbul adalah; masalah moral
menjadi relatif tergantung siapa yang memandang, tergantung pula pada keadaan dan tempatnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan diatas, maka dengan tegas Natsir menyebutkan bahwa diperlukan
patokan yang jelas, dan garis yang tegas, yang akan memandu moral untuk mendorong seseorang
mengawal ilmunya. Patokan itu adalah; wahyu Ilahi (QS. Al Furqon: 33-34). Melalui ayat ini Natsir
menjelaskan bahwa hawa nafsu manusia bisa saja mengalahkan kebenaran yang telah ia terima. Oleh
karenanya, bimbingan Ilahi menjadi satu-satunya kekuatan untuk menundukkan nafsu tersebut. Natsir
kemudian menyimpulkan dalam kalimat yang lebih umum bahwa patokan itu tidak lain adalah agama. ”Ilmu
bisa dijadikan pokrol untuk mengatakan yang buruk itu baik. Maka agama diperlukan utnuk mengawal ilmu
itu, supaya dia jangan dijadikan pembela untuk mempertahankan hal-hal yang buruk dan merusak,”
demikian menurut Natsir.
Dari penjelasan diatas, Natsir jelas sekali menghindari ilmu pengetahuan dari masuknya faham relativisme.
Adapun yang diinginkan Natsir adalah, ilmu harus memiliki landasan berpijak yang dapat memberikan
pedoman bagi ilmuan untuk tidak terjerumus pada penggunaan kearah yang merusak, serta penafsiran akal
kepada keinginan nafsu manusia secara sefihak, dan itu ada pada agama.
3.2 Ma’na dan Urgensi Pendidikan Menurut Natsir
“Islam adalah agama pendidikan dan pencerdasan ummat.” Demikian pandangan Natsir. Pandangan ini
terlihat dari tulisan Natsir ketika membantah buku yang ditulis Dr. I.J. Brugmans yang berjudul Geschiedenis
van het Onderwijs in Ned Indie (Sejarah Pendidikan di Hindia Belanda) yang mengatakan bahwa Islam adalah
agama penaklukan yang disebarkan dengan pedang . Untuk menangkis kesimpulan itu, Natsir membuat
tulisan dengan judul “Hakikat Agama Islam: Tangkisan atas Kritik Tajam daro Dr. I.J Brugmans” dan dimuat
dalam majalah Panji Islam bulan Oktober 1938. Dalam tulisan ini Natsir menjelaskan secara panjang lebar
bahwa Islam tidak dapat dikatakan sebagai agama yang tersebar dengan pedang lantaran ia memiliki
syari’at tentang jihad. Islam harus dilihat secara konfrehensif dimana ia juga merupakan agama yang
mengajarkan tentang pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengannya secara kuat.
Di dalam buku Capita Selecta 1, pikiran-pikiran Natsir tentang pendidikan sebagian besar terkumpul disana.
Didalamnya tersebutlah tentang ma’na pendidikan. Ma’na pendidikan itu dijelaskan oleh Natsir dengan
bahasa sederhana namun memukau; “Yang dinamakan didikan ialah suatu pimpinan jasmani dan rohani
yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang
sesungguhnya. Pimpinan semacam ini sekurangnya antara lain perlu kepada dua perkara: a. Satu tujuan
yang tertentu tempat mengarahkan didikan. b. Satu asas tempat mendasarkannya” . Disini terlihat jelas
bahwasanya Natsir melihat pendidikan sebagai usaha untuk mengisi nilai-nilai positif baik bagi jasmani
maupun rohani yang menuju kepada terwujudnya manusia yang ideal (insan kamil) dengan kesempurnaan
sifat-sifatnya.
Natsir memahami bahwa pendidikan adalah modal utama untuk bangkit dan berubah kearah yang lebih
baik. Dengan demikian pendidikan adalah sesuatu yang sangat-sangat urgen. Dalam salah satu tulisannya
Natsir menegaskan; “Masalah pendidikan ini adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat
penting sekali, lebih penting dari masalah yang lainnya” . Urgensi pendidikan tersebut akan semakin jelas
terlihat ketika Natsir mengaitkannya dengan kemunduran dan kemajuan suatu bangsa. Hal itu sebagaimana
yang diungkapkannya; “Maju atau mundurnya salah satu kaum, bergantung sebagian besar kepada
pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang
menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-
pemuda mereka .” Sebuah contoh yang kemudian disebutkan Natsir saat itu adalah perbandingan antara
Negara Jepang dengan Negara Spanyol. Lebih jelasnya Natsir mengatakan; “Bangsa Jepang, satu bangsa di
Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya, masih akan tinggal terus dalam
kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur pendidikan bangsa mereka … (sementara) Spanyol, satu negeri
di benua Barat, yang selama ini masuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah, sesudah
enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan
mengganti pujangga-pujangga bangsa di hari kelak” .
Urgensi pendidikan juga didasarkan pada analisa Natsir bahwa Islam memerlukan sekelompok orang yang
memang menerjunkan dirinya secara serius dibidang tersebut. Kelompok tersebut disebutkan dalam al
Qur’an sebagai ummat yang bertafaqquh fid din berdasarkan firman Allah dalam surah At Taubah (ayat:
122). Umat inilah yang nantinya akan kembali kepada kaumnya untuk mengadakan pengajaran dan
memberi peringatan dengan ilmunya. Natsir mengatakan ”Ummat Islam harus mempunyai satu golongan,
satu corps, memusatkan perhatian dan kegiatannya kepada menggali kebenaran-kebenaran yang tersimpan
didalam ajaran agama Islam dan memperlengkapi tubuh umat Islam dengannya.”
Semasa hidupnya, Natsir melihat sebuah kenyataan dimana belanda tidak hanya tampil menjajah secara
fisik, akan tetapi juga pemikiran. Ketika Belanda berupaya menggiring pola fikir anak bangsa agar berkiblat
ke Den Haag Natsir tampil mengkritik kebijakan itu. Natsir mengatakan;
“Salah satu usaha pemerintah kolonial Belanda yang juga merupakan tantangan adalah apa yang dikenal
sebagai asimilasi atau se-Indonesianisasi, yaitu upaya untuk mengajak segolongan elit Indonesia agar
merasa dan menganggap sebagai orang Belanda yang sama-sama berkiblat ke Den Haag, … Murid-murid
sekolah yang otaknya brilian dititipkan kepada keluarga belanda atau keluarga yang beragama Kristen.
Salah satu korbannya adalah Amir Syarifuddin yang lahir sebagai anak Islam, namun kemudian menjadi
seorang Kristen Protestan.”
Dari fenomena di atas maka pendidikan tidak hanya dipandang perlu untuk menyelamatkan Negara, tetapi
juga penting untuk menyelamatkan aqidah.
3.3 Tujuan dan Landasan Pendidikan
Sebagaimana disebutkan dalam definisi pendidikan menurut Natsir, maka persoalam Tujuan dan Landasan
Pendidikan adalah mutlak ditentukan.
3.3.1 Tujuan Pendidikan
Nampak sangat jelas bahwa Natsir tidak membedakan antara tujuan pendidikan dan tujuan diciptakannya
manusia. Bahkan menurutnya, tujuan pendidikan itu harus sesuai dengan tujuan hidup manusia. Dalam
pidatonya pada rapat Persatuan Islam di Bogor Natsir mengatakan:
”Apakah tujuan yang akan dituju oleh didikan kita? Sebenarnya tidak pula dapat dijawab sebelum menjawab
pertanyaan yang lebih tinggi lagi, yaitu ”Apakah tujuan hidup kita di dunia ini?”. kedua pertanyaan ini tidak
dapat dipisahkan, keduanya sama (identik). ”Tujuan didikan ialah tujuan hidup”. Qur`anul Karim menjawab
pertanyaan ini begini: Dan Aku (Allah) tidak jadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku (QS.
Adz-Dzariat: 56). ”
Jadi menurut Natsir, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup ya’ni menjadi hamba Allah.
Mengenai hamba Allah ini Natsir menjelaskan: ”Menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan
ketundukan kepada semua perintah Ilahi, yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan
akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan-larangan yang meghalang-halangi tercapainya
kemenangan dunia dan akhirat itu” . Sesungguhnya apa yang disebutkan Natsir tentang ketundukan dan
ketaatan ini merupakan dimensi terpenting dari keislaman seseorang. Dimana inti dari syari’at ini adalah
tunduk terhadap perintah dan larangan. Bahkan hal itu sangat terlihat jelas kaitannya dengan penjelasan
tentang ma’na Islam sebagaimana yang disebutkan Natsir berikut ini; ”Islam artinya damai, juga berarti
menyerahkan diri dalam hal ini, yaitu menyerahkan diri, jiwa dan raga seluruhnya kepada Ilahi. Seorang
muslim ialah seorang yang mematuhi dengan sesungguhnya akan segala suruhan Allah serta menjauhi
larangan-larangan-Nya, baik yang berkenaan dengan kewajiban terhadap-Nya atau terhadap sesama
manusia.” .
Bagi Natsir, istilah hamba Allah yang haqiqi tidaklah mudah disandangkan begitu saja kepada setiap insan.
Sebab baginya, menjadi hamba Allah itu mesti memiliki prasarat utama yaitu; memiliki ilmu serta tidak
mengasingkan diri untuk kepentingan rohani pribadi sendiri saja. Sebab dengan mengasingkan diri ia justeru
akan jauh dari pencarian dan pengamalan ilmu itu sendiri. Natsir melandaskan pendapatnya pada firman
Allah surah Al Fathir yang artinya;
”Bahwa yang sebenar-benarnya takut kepada Allah itu, ialah hamba-hamba-Nya yang mempunyai ilmu,
sesungguhnya Allah itu Berkuasa lagi Pengampun.” (QS. Al Fathir: 28).
Pada kesempatan yang lain, Natsir juga menyebutkan bahwa tujuan pendidikan yang diinginkan al Qur’an
adalah usaha untuk membentuk pribadi-pribadi yang tidak lalai dengan perniagaan dan jual beli dari
mengingat Allah. Artinya, ketaatan kepada Allah benar-benar mampu mengalahkan segala bentuk kelalaian
yang menjauhkan ia dari Allah. Natsir menyebutkan bahwa pribadi-pribadi yang tidak lalai tersebut
melakukan itu semua dalam rangka bersyukur atas ni’mat yang dikaruniakan kepada Allah. Hal itu ia
dasarkan pada firman Allah surah An Nur (ayat: 37) yang sesungguhnya memiliki inti dan ma’na yang sudah
disebutkan Natsir di atas sebagai seorang ”hamba Allah”.
3.3.2 Landasan Pendidikan
Mohammad Natsir memandang bahwa yang harus menjadi landasan dalam pendidikan adalah tauhid. Ini
misalnya terlihat pada pidato Natsir dalam rapat Persatuan Islam di Bogor pada tanggal 17 Juni 1934 dengan
judul ”Ideologi Didikan Islam”. Juga terlihat dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada tahun 1937
dengan judul ”Tauhid Sebagai Dasar Didikan”. Menurut Mochtar Naim, dalam dua tulisan tersebut dengan
gamblang Natsir menggariskan bahwa ideologi pendidikan ummat Islam harus bertitik-tolak dari dan
berorientasi kepada Tauhid . Keyakinan untuk bertauhid dengan segala konsekwensinya merupakan pokok
dari aqidah, sementara aqiedah itu sendiri menurut Natsir memiliki fungsi pokok yaitu; sumber motivasi,
sumber inspirasi, sumber kekuatan, titik tolak dalam berbuat, dan pegangan hidup yang akan dibawa mati.”
Sebuah kasus menarik yang bertalian antara aqidah dan pendidikan pernah terjadi. Ketika berlangsung
zaman orde baru, pemerintah pernah mengeluarkan buku pedoman moral berlandaskan semangat Pancasila
PMP sebagai buku wajib di sekolah-sekolah. Buku tersebut dilahirkan sebagai upaya penanaman dasar-dasar
nilai toleransi antar sesama versi pemerintah. Maka Pada tanggal 23 Agustus 1982, Natsir bersama sekitar
53 orang pemimpin dan tokoh masyarakat mendatangi DPR untuk menuntut ditariknya buku tersebut dari
peredaran karena dinilai menyesatkan aqidah Islam. Mereka menyampaikan kepada DPR/MPR untuk
meninjau secara menyeluruh dan mendasar buku tersebut. Sebagai contoh, pada halaman 14 buku tersebut
menyebutkan;” Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya.” Jelas hal tersebut sangat
berbau pluralisme dan bertentangan dengan ka’idah ubudiyah dalam Islam. Prof. Dr. Abuddin Nata
menganalisa bahwa sikap Natsir diatas sesunggunya memiliki keterkaitan dengan konsep Tauhid sebagai
dasar pendidikan sebagaimana yang diyakininya.
Menurut Natsir, sesungguhnya Risalah tauhid sebagai risalah awal yang diturunkan kepada manusia ini
mengandung nilai kemerdekaan jiwa. Kemerdekaan jiwa yang dimaksud adalah jiwa yang tidak merasa takut
kepada sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti. Kebebasan dari penyembahan terhadap mahluk yang
merupakan penghinaan dan pelanggaran martabat manusia. Disini mengandung makna bahwa kebebasan
itu terikat dengan nilai-nilai pengabdian kepada Allah semata.
Bagi Natsir, tauhid harus dijadikan landasan pendidikan sekaligus orientasi pendidikan tersebut. Mereka
yang kehilangan orientasi ini dan berada pada pihak anti agama akan mengalami kekacauan dilubuk
hatinya. Prof. Ehrenfest adalah contoh yang diberikan Natsir. Prof. Ehrenfest adalah ilmuan yang sangat
memuja perkembangan sains dan tehnologi dan tampil sebagai pakar brilian. Namun riwayat tragis
menimpa dirinya berikut anaknya. Ia bunuh anaknya, baru kemudian ia bunuh dirinya sendiri. Peristiwa ini
oleh Natsir disebutkan sebagai contoh pendidikan yang kehilangan dasar (tauhid). ”Ia putar balikkan antara
alat dan tujuan,” Kata Natsir
3.3.3 Karakter Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan karekter pendidikan Islam disini adalah ciri-ciri khusus atau khas yang terdapat
didalam pendidikan tersebut. Kekhasan tersebut menurut Natsir ada pada beberapa hal berikut ini;
1. Universal. Pendidikan dengan sifat seperti ini diuraikan Natsir dalam bentuk penerimaan sumber
datangnya ilmu antara Timur dan Barat. Sejak terlibat dalam dunia pendidikan Natsir berusaha meluruskan
pemahanan umat Islam ketika itu yang sering mengantagoniskan antara dunia Timur dan Barat. Natsir
memahami bahwa hal itu merupakan reaksi terhadap sketsa pendidikan Barat dimasa itu yang begitu pro
terhadap kolonilisme, dan budaya Barat. Justeru bagi Natsir sesungguhnya Barat dan Timur adalah sama,
dimana kedua-duanya makhluk Allah yang bersifat baru (huduts). Pendapatnya ini didasarkan kepada
karakter Islam yang tidak mengantagoniskan antara Barat dan Timur. Bagi Natsir, Islam hanya
mengantagoniskan antara hak dan bathil. Sehingga apa yang datang dari Timur jika itu bathil maka harus
disingkirkan dan apa yang datang dari Barat jika itu hak maka harus diterima. Data-data berikut ini
merupakan dasar kesimpulan diatas.
a) Natsir mengatakan; ”Bahwa kemunduran dan kemajuan itu tidaklah tergantung pada ketimuran dan
kebaratan, dan tidak tergantung pada putih kuning, atau hitamnya warna kulit, tetapi bergantung pada ada
atau tiadanya sifat-sifat atau bibit-bibit kesanggupan dalam … menduduki tempat yang mulia diatas dunia
ini. ”
b) ”Ada yang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat itu ialah lawan dari
didikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap didikan ”kebaratan” yang ada dinegeri kita yang memang
sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam.”
c) ”Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonisme
(pertentangan) antara Barat dan Timur itu. Islam hanya mengenal antagonisme antara hak dan batil.”
2. Integral. Artinya pendidikan itu tidak mengenal pemisahan antara jasmani dan ruhani, serta dunia dan
akhirat. Sehingga pendidikan Islam itu mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dalam
menghambakan diri kepada Allah dan dalam rangka membina hari esok yang lebih baik, di dunia maupun di
akhirat. Mengenai sifat pendidikan yang integral ini Natsir mengacu kepada firman Allah dalam surat al-
Baqarah: 143. Berdasarkan ayat ini, Natsir memahami bahwasanya pendidikan itu mesti memiliki nilai-nilai
keseimbangan. Natsir menjelaskan; ”jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukanlah dua barang yang
bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua hal serangkai yang harus lengkap-melengkapi dan
dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang.”
Pada tulisan lainnya di Panji Masyarakat tahun 1972 Natsir membagi bentuk keseimbangan itu kedalam tiga
hal; 1) keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, 2) keseimbangan antara badan dan roh, dan
3) keseimbangan antara individu dan masyarakat. Sifat keseimbangan ini sejatinya adalah upaya Natsir
dalam menolak ide-ide sekularisme yang berupaya memisahkan masing-masing unsur diatas. Tercapainya
kebahagian dunia dan akhirat dalam kerangka pengabdian kepada Allah inilah yang sejatinya menjadi
fasafah pendidikan Natsir.
Kedua sifat pendidikan ini direlisasikan Natsir melalui lembaga pendidikan yang didirikannya dimana-mana.
Mohammad Nasir sebagimaan juga kita, dihadapkan pada permasalahan dikotomi ilmu, antara ilmu umum
dan ilmu agama. Menghadapi hal ini Natsir mencoba menjembataninya dengan mengisi kekurangan yang
satu dengan kelebihan yang lain. Jadi sistem pendidikan yang bersifat universal, integral dan harmonis ini
tidak lagi mengenal dikotomi antara pendidikan umum dan agama. Semua dasarnya adalah agama, apapun
bidang dan disiplin ilmu yang dimasuki.
Pikiran Natsir diatas muncul setelah ia melihat kenyataan di lapangan pada masanya, bahwa praktik
pendidikan yang dihadapi ummat, satu sama lain saling menegasikan dan bersebrangan. Di satu sisi,
pendidikan klasikal ala Belanda yang baru diperkenalkan kepada masyarakat muslim Indonesia pada akhir
abad 19 dan awal abad 20, terutama melalui kebijakan Politik Etis Belanda, sama sekali tidak mengajarkan
dan menyentuh aspek-aspek agama. Sekularisme begitu jelas membayang-bayangi sistem pendidikan baru
ini. Sementara di sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia bersikap antipati
terhadap semua yang berbau Belanda. Sikap ini mudah untuk difahami, mengingat sepanjang abad 19,
pihak Pesantren dengan penuh semangat jihad fi sabilillah mengerakan berbagai elemen ummat dan
masyarakat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Oleh sebab itu apapun yang berbau Belanda
dianggap buruk, termasuk sistem pendidikan yang ditawarkannya. Adapun kelebihan Natsir dalam
menghadapi keadaan seperti itu adalah bahwa ia mengenal dengan baik kedua sisi praktik pendidikan yang
dihadapi ummat saat itu, bahkan ia juga terlibat secara langsung.
3.3.4 Peran Pendidik
”Memang, kalau uang yang hendak dicari, bukan dimuka kelas tempatnya”. (Tulisan M. Natsir, dari Panji
Islam dan Pedoman Masyarakat, 1938). Dalam biografi sebelumnya telah disebutkan sejumlah peran Natsir
di dunia pendidikan baik sebagai guru maupun pembangun lembaga pendidikan. Sedangkan dibawah ini
adalah beberapa uraian pemikirannya.
Mohammad Natsir sangat memperhatikan masalah dan peran pendidik (guru). Bahkan untuk menyoroti para
aktifis pendidikan yang berupaya mempertahankan eksistensinya, ia menyebut meraka sebagai para
mujahidin. Peran guru dalam pandangan Natsir tidak hanya bagi mereka yang berada pada komunitas
lembaga pendidikan formal. Justeru orang tua disebutkan oleh Natsir sebagai pihak yang paling penting
memerankan diri sebagai guru. Orang tua dalam hal ini memiliki hukum fardu ’ain untuk mendidik buah
hatinya sebelum masyarakat lainnya. Menurut Natsir anak-anak adalah amanah yang diberikan Allah Ta’ala
kepada orang tua, sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam salah satu haditsnya bahwa setiap anak
itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Dan orangtuanyalah yang menentukan akan menjadi apa anaknya
itu kelak, Yahudikah, Nasranikah atau Majusikah. Kemudian Natsir menjelasakan bahwa kewajiban mendidik
anak bukan hanya kewajiban yang sifatnya fardu ’ain bagi setiap orang tua, tapi juga fardu kifayah bagi
segolongan dari ummat Islam ini. Natsir mendasarinya dengan nash al Qur’an surah Ali ’Imron (ayat: 104).
Pada tahun 1938 Natsir menulis artikel di dalam majalah Panji Islam dengan judul ”Perguruan Kita
Kekurangan Guru.” Tulisan Natsir ini mencerminkan kondisi sekolah-sekolah partikelir yang jumlahnya
semakin berkembang, namun sangat minim tenaga pengajar. Kondisi itu semakin diperparah ketika
pemerintah kolonial tidak memperhaitikan kedudukan mereka, yang sesungguhnya sedikit-banyak
membantu pemerintah itu sendiri.
Tulisan Natsir dimajalah tersebut pertamakali diawali dengan kritikan terhadap seorang guru yang berpindah
profesi kepada pekerjaan lain dan berhenti dari dunia pengajaran hanya karena alasan duniawi. Padahal
Natir memandang bahwa kebutuhan akan kehadiran guru di negeri ini belumlah mencukupi. Dari permintaan
sekolah-sekolah yang meminta guru pengajar hanya 20 % saja yang sanggup didatangkan, itupun dengan
susah payah, dan dengan imbalan sekedarnya. Lulusan-lulusan sekolah pemerintahan Belanda ketika itu
banyak yang hanya menjadikan identitas guru sebagai batu loncatan menunggu dibukanya pekerjaan di
instansai-instansi pemerintahan dengan gaji yang lebih besar tentunya. Lalu Natsir mempertanyakan;
”Bagaimana kita akan membangun perekonomian dan pergerakan politik dalam kalangan bangsa kita yang
bermiliunan itu, apabila mereka masih belum saja 5 % yang pandai tulis baca.” kemudian Natsir mengutip
perkataan mendiang Dr. G.J Nieuwenhuis sekembalinya mengadakan penelitian di Philipina; ”Suatu bangsa
tidak akan maju, sebelum ada diantara bangsa itu segolongan guru yang suka berkurban untuk keperluan
bangsanya.”
DAFTAR PUSATAKA
1. Natsir, M, Capita Selecta 1, Bulan Bintang, Jakarta: 1973
2. Natsir. M, Capita Selecta 2, Jakarta: PT. Abadi, 2008
3. Natsir, M, Politik Melalui Jalur Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 2008
4. M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Prespektif Sejarah, Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1988
5. Natsir, M, Ummat Islam di Persimpangan Jalan, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1968
6. Natsir, M, Agama dan Moral, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1972
7. Natsir, M, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Jakarta: Media
Dakwah, 1987
8. Natsir, M, Marilah Shalat, Jakarta; Media Da’wah, 2006
9. Natsir, M, Asas Keyakinan Agama Kami, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1982
10. Natsir, M, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 2000
11. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000
12. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam 4, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000
13. Anton, Raja Juli (Ed.), Aba: M. Natsir Sebagai Cahaya Keluarga, Jakarta: PT. Abadi, 2008
14. Haryono, Anwar, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
15. Haryono, Anwar dkk, M. Natsir, Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia, Jakarta: Media Da’wah,
1995
16. Rosyidi, Ajip, Mohammad Natsir: Sebuah Biografi, Jakrta: Giri Mukti Pasaka, 1990
17. Hamka, Ayahku, Jakarta: Umminda, 1982
18. Nata, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005
19. Chaplin, J.P. Kamus Psikologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
20. Abdullah, Yusuf Puar dkk, Muhammad Natsir 70Ttahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan,
Jakarta: Pustaka Antara, 1978
21. Suhelmi, Ahmad, Soekarno Versus Natsir, Jakarta: Darul Falah, 1999
22. Syam, Firdaus, Yusril Ihza Mahendra; Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politiknya, Jakarta, PT.
Dyatama Milenia, 2004
23. Mohammad, Henry dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006
24. Federsipel, Howard M., Persatuan Islam; Pembaharuan Islam Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996
25. Wildan, Dadan, Yang Da’i yang Politikus; Hayat dan Perjuagnan Lima Tokoh Persis, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1997
26. Djaja, Tamar, Riwayat Hidup A. Hasan, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980
27. A, Windi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, Jakarta: PT. Buku Kita, 2007
28. Buletin Konsisten, Litbang STID Mohammad Natsir
29. Majalah Al-Mujtama’; Edisi 3 Th I/14 Rajab 1429/17 Juli 2008
30. Panitia Refleksi Seabad Pak Natsir, Mosi Integral Natsir; Dari RIS ke NKRI, Jakarta: Media Da’wah, 2008
31. Kahin, George Mc Turnan dan Lukman Hakiem, PRRI: Pergolakan Daerah Atau Pemberontakan ?, Jakarta:
Media Dakwah, 2008.
32. Mas’oed Abidin, Tausyiah Dr. Mohammad Natsir; Pesan Dakwah Pemandu Umat, Padang: Tp, 2000
33. Lukman Hakim, Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu,
1993
34. Pratikya, A.W dkk, Percakapan Antar Genarasi; Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Jakaarta-Yogyakarta,
DDII & LABDA, 1989
35. Mohammad, Hery dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006
36. Buletin Da’wah yang diterbitkan oleh DDII masjid Al Munawarah , 27 September 1968, dengan judul;
Khotbah Jumát di Masjid Tokyo,
37. Wasrun, Mohammad, Pemikiran Natsir tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, “Skripsi” di
Universitas Indonesia, fakultas Sastra, Tahun, 1987
Ads by Google
CERMIN DA’I; KEKUATAN ILMU DAN AKHLAK
Abu Zahid Qur’ani
Iftitah
Kata akhlaq disebutkan oleh Allah di dalam al Qur’an pada surah Al Qalam ayat ke 4 untuk merujuk kepada
kepribadian agung Muhammad Rasulullah. Allah berfirman;
“Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Para mufassir seperti Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan kedudukan Nabi sebagai
bentuk miniatur al Qur’an di mana Nabi memerintahkan dan melarang sesuatu, beramal atau meninggalkan sesuatu
perkara, mengikuti wahyu al Qur’an. Ibnu Katsir kemudian menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
banyak jalur salah satunya dari sahabat Qatadah radhiyallâhuanhu yang bertanya kepada Ummul Mukmini A’isyah
tentang akhlak Nabi.
‘Aisyah menjawab pertanyaan itu dengan ungkapan; “Sesungguhnya Akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an.”[2] Dalam
penafsiran Ibnu Abbas radhiyallâhu’anhu, sebagaimana yang disebutkan Imam Al Qurthubi rahimahullah bahwa
yang dimaksud dengankhuluq al adzhîm dalam ayat di atas adalah; dîn al adzhîm (yaitu; Islam). Artinya, ayat di atas
sesungguhnya menunjukkan bahwa Rasulullah benar-benar hidup dengan akhlaq Islami.[3]
Dalam catatan Ensiklopedi Umum, kata akhlak disepadankan dengan kata moral. Padahal, kata moral itu sendiri
didefinisikan didalamnya sebagai; sebuah tata tertib tingkah laku yang dianggap baik dan luhur dalam suatu
lingkungan atau masyarakat.[4]Melalui pengertian ini, anggapan baik suatu masyarakat tentang moralitas jelas tidak
sama, karena yang menjadi patokan adalah anggapan masyarakat. Bukan ketentuan baku yang mengikat semua
manusia. Sementara itu, kata akhlaq di dalam bahasa Arab merupakan bentuk jama’ dari kata khuluq yang artinya;
kebiasaan, perangai, tabi’at, dan agama.[5] Ia merupakan tingkah laku yang lahir dari manusia sejara alami, tidak
dibuat-buat dan telah manjadi kebiasaan.[6] Definisi akhlak di dalam Islam sebagaimana merujuk kepada hadits
Aisyah dan firman Allah diatas menjelaskan pandangan Islam tentang tata aturan tingkah laku yang bersumber
kepada al Qur’an dan apa yang dicontohkan oleh Nabi (sunnah) atau; “akhlaq Islam”.
Da’i: Urgensi Ilmu dan Akhlak
Dalam pribadi seorang da’i baik bagi mereka yang sedang dalam proses pembentukan maupun mereka yang telah
terjun ke lapangan, tidaklah dapat melepaskan dirinya dari dua bekal utama yaitu; ilmu dan akhlak. Kedua-duanya
menjadi amunisi bagi da’i dalam aktifitasnya. Ayat yang mendasari kekuatan ilmu (hujjah) di dalam da’wah ada dalam
surah Yusuf ayat 108.
ö@è% ¾ÍnÉ?»yd þ?Í??Î6y? (#þqãã÷?r& ?n<Î) «!$# 4 4?n?tã >ou? � ÅÁt/ O$tRr& Ç`tBur ÓÍ_yèt6¨?$# ( z`»ysö6ß?ur «!
$# !$tBur O$tRr& z`ÏB ?úüÏ.Î?ô³ßJø9$# ÇÊÉÑÈ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".
Setidaknya ada tiga hal pokok yang dapat digaris bawahi dalam ayat ini, kaitannya dengan tugas da’wah. Pertama,
da’wah harus berdasarkan manhaj yang benar (hâdzihi sabîlî), kedua, seruan da’wah seluruhnya terfokus hanya
kepada Allah (ilallâh), dan ketiga, semua itu harus berdasarkan pada ilmu yaqin atau hujjah yang kuat (basyîrah).
[7] Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan seseorang untuk berakhlaq mulia adalah ayat-ayat yang berbicara
dalam konteks berbuat baik (ihsan), sebab berbuat ihsan merupakan salah satu bentuk akhlaq mulia. Ayat-ayat
tersebut berlaku secara umum bagi kaum muslimin baik ia da’i maupun mad’u, sebagaimana Al Imam Ibnu Rajab Al
Hanbali rahimahullâh ketika mejelaskan hadits (?? ??????? ??????? ???????? ??????) menjelaskannya
dengan ayat-ayat tentang ihsan dan taqwa (QS Ali Imran: 133134).[8] Karena ilmu dan akhlaq merupakan syari’at
Allah yang agung, maka seorang da’i berkewajiban untuk senantiasa berusaha berpegang teguh dengannya.
Perkara ini menjadi begitu penting karena da’i memikul amanah yang berat sebagai pewaris risalah
da’wah.Allâhuyarham Dr. M. Natsir didalam bukunya “Fiqhud Da’wah” berpesan; “Ummat Islam adalah
pendukung amanah, untuk meneruskan Risalah dengan da’wah; baik sebagai umat kepada umat-umat yang lain,
ataupun selaku perseorangan ditempat manapun mereka berada, menurut kemampuan masing-masing.”[9] Dari
pernyataan ini, memang pada asalnya seorang muslim dituntut untuk berda’wah sesuai dengan kemampuannya,
akan tetapi selaku kader da’i tentunya tuntutan itu jauh lebih besar dirasakan dan amanah yang dipikul juga jauh
lebih berat untuk diemban.
Imam Al Bukhari di didalam shaihnya membuat satu kumpulan hadits tentang ilmu dalam bab tersendiri ya’ni Kitâb al
‘Ilmi. Untuk menunjukkan hujjah hadits-hadits tersebut Al Bukhari memulainya dengan menyebutkan dua ayat al
Qur’an (surah Al Mujadalah: 11 dan Tâhâ: 114). Beliau menempatkan dalam urutan pertama hadits tentang
“amanah”, kaitannya dengan kredibelitas seseorang dalam memikul amanah tersebut.[10] Hadits yang diriwayatkan
oleh Sahabat Abu Hurairah ra itu menceritakan pernah suatu ketika di dalam majelis Rasulullah, tiba-tiba Nabi
ditanya oleh seseorang; “Kapan kiamat tiba ?.” Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat sebagian sahabat yang
membersamai Nabi tanpak tidak menyukai sipenanya. Maka Rasulullahpun bertanya; “Siapa yang bertanya tentang
kiamat tadi ?” seseorang kemudian menjawab; “Saya ya Rasulullah” maka beliau menjawab; “Apa bila anamah telah
hilang, maka tunggulah tibanya kiamat.” Orang tadi bertanya lagi; “Bagimana (bentuk) hilangnya ?” Nabi menjawab;
“Apabila suatu perkara dipikulkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat itu.”[11]
Pengarang kitab ‘Aunul Bâri li Halli Adillati al Bukhâri Al ‘Alamah shadiq Hasan Khan rahimahullâh (W. 1307 H)
menjelaskan bahwa makna al amru (perkara) di dalam lafadz hadits di atas berma’na; al amru muta’allaq bid
dîn (perkara yang berkaitan tentang agama), seperti Khalifah, Mufti atau Qadhi atau semisalnya. Artinya, jika tempat-
tempat tersebut diduduki bukan oleh pakarnya, maka itulah yang dimaksud dengan hilangnya amanah atau
menempatkan sesuatu bukan kepada ahlinya, yang merupakan tanda dekatnya akhir zaman.[12] Hadits lainnya yang
memberikan kolerasi tentang fenomena ilmu agama di akhir zaman adalah sabda Nabi;
???? ????????? ?????????? ???? ?????????? ????????? ?????? ????????????
Artinya : "Diantara tanda-tanda hari kiamat adalah diambilnya ilmu dari al-ashoghir (orang yang bodoh atau ahli
bid'ah)". (Syaikh Albani di dalam Silsilah Ahâdits Ash-Shahîhah, No: 695)
Yang dimaskud Ilmu didalam hadits ini adalah ilmu tentang agama (ad dîn). Oleh karenanya Al Imâm Muhammad bin
Sirinrahimahullâh seorang tabi'in yang mulia memberikan tanbih bahwa: "Ilmu ini adalah agama itu sendiri. Maka
lihatlah darimana kamu mengambil ilmu tersebut" dan dari ucapan beliau juga : "Dahulu para salaf (sahabat) tidak
pernah bertanya tentang isnad tapi ketika terjadi fitnah, mereka bertanya: Siapa guru-gurumu ? Jika guru tersebut
dari ahli sunnah maka diambil haditsnya tapi jika dari ahli bid'ah maka ditolak haditsnya."[13]
Panduan Akhlak bagi penuntut ilmu
Agar amanah da’wah ini dapat diemban dengan baik oleh kader da’wah yang sedang menjalani proses thalabul ‘ilmi,
maka nasihat para ulama tentang akhlaq bagi penuntut ilmu sangat baik untuk dijadikan pedoman. Kami mencoba
mensarikan dari sejumlah pandangan para ulama seperti; Syaikh Ibnu Baaz rahimahullâh, Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaiminrahimahullâh, Dr. Shalih As Suhaimi, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr rahimahullâh, dan
lain-lainnya. Semoga bermanfaat;
1. 1. Ikhlas. Dalam sebuah hadits juga disebutkan; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah
dengan Ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi maka ia tidak
mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.” [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad (II/338), Abu Dawud
(3664), Ibnu Majah (252), al-Hakim (I/85), Ibnu Hibban (78) dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu].
Syaikh Abdullah Ibnu Baaz rahimahullah berkata; ”Wajib bagi setiap da’i untuk mengikhlaskan diri kepada
Alloh Azza wa Jalla, bukan karena keinginan untuk riya’ (pamer supaya dilihat orang) dansum’ah (pamer
supaya didengar orang) dan bukan pula untuk mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hanya saja ia
berdakwah kepada Allah untuk mengharap wajah Allah Jalla wa ’Ala semata, sebagaimana firman
Alloh Subhanahu :
???? ?????? ???????? ??????? ????? ???????
”Katakanlah: Inilah jalanku, Aku menyeru hanya kepada Alloh.”[14]
1. 2. Mengawali dengan Memdalami Aqidah . Dr. Shalih As Suhaimi mengatakan, wajib bagi penuntut ilmu
untuk memulai mendalami masalah aqidah, dan menda’wahkan aqidah sebagai permualaan sebelum yang
lain. Maka benarlah perkataan Al Imâm Ibnu Qayyim Al Jauziyah sebagimana dijelaskan dalam
kitabnya; Madârij as Sâlikîn dimana beliau mengatakan; “Tauhid adalah yang pertamakali diucapkan
seseorang ketika pertama kali masuk ke dalam Islam dan yang terakhir kali sesaat sebelum meninggalkan
dunia... tauhid adalah awal segala perkara dan akhir dari segalanya.”[15]
2. 3. Menghiasi diri dengan Berakhlaq Mulia. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata; ”Seorang da’i
haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia, dimana ilmunya tampak terefleksikan di dalam aqidah,
ibadah, perilaku dan semua jalan hidupnya, sehingga ia dapat menjalankan peran sebagai seorang da’i di jalan
Allah. Adapun apabila ia dalam keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal, sekiranya
sukses maka kesuksesannya sedikit.”[16]Beberapa pesan Rasulullah berikut ini adalah penguatnya;
(1) Rasulullah bersabda; ”Kaum mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaqnya paling baik
diantara mereka, dan yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.” (HR. At
Tirmidzi, No. 1162. Lafadz awalnya diriwayatkan oleh Abu Daud, No. 4682, Ahmad (Jilid II, hal. 250, 472), Al Hakim
(Jilid I, hal. 3) dari sahabat Abu Hurairahradhiyallâhu ’anhu. Berkata At Tirmidzi; hasan shahih)
(3) Rasulullah juga bersabda; ”Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari
kiamat melainkan akhlaq yang baik...” (HR. At Tirmidzi, No. 2002, Abu Daud, No. 4799, Ahmad (Jilid VII, hal.
446,448) dari sahabat Abu Darda radhiyallâhu’anhu. Berkata At Tirmidzi; hadits ini hasan shahih)
(2) Rasulullah bersabda; ”Sesungguhnya di antara yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
mejelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.” (HR. At Tirmidzi, No. 2018 dari
sahabat Jabirradhiyallâhu’anhu Berkata At Tirmidzi; hadits hasan)
1. 4. Tidak larut dalam Ta’asub golongan. Dr. Shalih As Suhaimi berkata, bahwa penuntut ilmu tidak boleh larut
dalam kelompok-kelompok yang ada. Ikatan yang terjalin hanya kepada Allah dan bukan pada yang lain. Wala’
hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Ibnu Baaz juga mengatakan; “Merupakan kewajiban bagi setiap
da’i islam untuk berdakwah menyeru kepada Islam secara keseluruhan dan tidak memecah belah manusia,
tidak menjadi orang yang fanatik (muta’ashshib) kepada madzhab tertentu, atau kabilah tertentu, atau fanatik
kepada syaikhnya, atau kepada pemimpinnya, atau selainnya. Namun yang wajib baginya adalah menjadikan
tujuannya adalah untuk menetapkan kebenaran dan menjelaskannya, menjadikan manusia lurus berada di
atas kebenaran, walaupun menyelisihi pendapat Fulan atau Fulan atau Fulan.
2. 5. Menyibukkan waktu dengan ilmu. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr berkata; ”Hendaklah ia
(penuntut ilmu) menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanafaat dari pada ia sibuk melakukan
celaan dan tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat
faedah dan memberikan faedah.”[17]Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam bersabda, “Dua nikmat yang
banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” [Hadits Shahih diriwayatkan
oleh : al-Bukhari (6412), at-Tirmidzi (2304), Ibnu Majah (4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-
Hakim (IV/306) dan lainnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu]
3. 6. Menghiasi diri dengan taqwa dan menjauhi maksiat. Bagi Imam As Syafi’i rahimahullâh. Ilmu adalah
cahaya. Ia melukiskan dalam ba’it sya’irnya yang terkenal setelah pengaduannya kepada Imam Waki’[18];
???????? ????? ???????? ?????? ???????? ????????????? ????? ?????? ???????????
?????????????? ??????? ????????? ?????? ???????? ????? ??? ??????? ????????
1. 7. Sabar dalam proses belajar dan Syukur akan ilmu yang telah didapatkan. Seorang penuntut ilmu wajib
bersabar atas segala keterbatasan yang menimpa dirinya, baik dalam bentuk harta, fasilitas, tugas-tugas dan
lain sebagainya seraya tetap semaksimal mungkin untuk mengusahakannnya seraya bersyukur atas ni’mat
yang diberikan, hingga Allah akan selalu menambahkannya. Salah satu bentuk akhlak ini adalah senantiasa
berdo’a agar ditambahkan ilmu oleh Allah, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah diperintahkan Allah
untuk meminta tambahan atas sesuatu selain meminta agar ditambahkan ilmu. Allah berfirman;
( @è%ur Éb>§? ?ÎT÷?Î? $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ
”Dan Katakanlah (Muhammad): "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha: 114)
Dan dalam setelah selesai shalat subuh Nabi juga sering berdo’a dengan do’a ini;
??????????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ????????? ????????? ????????? ??????????
??.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku mo-hon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diteri-
ma.” ( HR. Ibnu Majah dan ahli hadits yang lain. Lihat kitab Shahih Ibnu Majah 1/152 dan Majma’uz Zawaaid 10/111.)
------------ Wallâhu A’lam Bishawab -----------
Daftar Pustaka
1. Abil Hida’ isma’il bin Katsir Al Quraisy, Tafsîr al Qur’an al Adzhîm, Beirut: Maktabah Al Ashriyyah, 2000,
2. Abi Abdillah Muhamamd bin Ahmad Al Anshari al Qurthubi, Al jâmi’ al Ahkâm al Qur’ân, Mesir: Dâr Al Kitab Al
Arabi li at Thaba’ah wa an Nashr, 1967
3. Ag. Pringgodigdo (Ed.), Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977
4. At Thahir Ahmad Az Zawi, Tartîb al Qâmûs al Muhîth ‘ala Tharîqah al Misbâh al Munîr wa Asâs al balâghah,
Riyadh: Dâr Alam al Kutub, 1996
5. Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, “Akhlaq”, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999
6. Abi Abdillah Abdirrahman bin Nashir bin Abdillah bin Nahsir As Sa’di, Taysîr al Karîm ar Rahmân fî Tafsir
Kalam al Mannân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at Turats al ‘Araby, 1999
7. Muhammad Uwais An Nadawi, Tafsîr al Qayyim li Ibn al Qayyim, tahqiq, Muhammad Hamid al Fata, Beirut:
Lajnah At Turats Al ‘Araby,ttp
8. Ibnu Rajab Al Hanbali, Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam fî Syarhi Khamsîn Hadîtsan min Jawâmi’ al Kalam, tahqiq.
Sya’im al Arnauth, Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, 1998
9. M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 2000
10. Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Shahîh al Bukhâri, Riyadh: Dâr as Salâm, 1997
11. Alamah Shadiq Hasan Khan Al Bukhari, ‘Aunul Bâri li Halli Adillati al Bukhâri, Suria: Dar Ar Rasyîd, 1984
12. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillan Ibnu Baaz, Ad Da’wah Ilallâh wa Akhlâq ad Du’ah, Eebook Da’wah, Maktabah
Abu Salma, 2007
13. Ibnu Qayyim, Madârijus Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în. Beirut: Dâr Al jîl, 1991
14. Ebook Fiqh Da’wah, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin, Zâd ad Da’iyah
15. Abdul Musin Al Abbad Al Badr, Rifqan Ahl as Sunnah bi Ahl As Sunnah, PDF: Maktabah Abu Salma Al Atsari,
2007
16. Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, Dîwân al Imâm Asy Syafi’I, tahqiq. Yusuf As Syaikh Muhammad Al
Biqa’I, Makkah: Dâr al Fikr, 1977
1. Lihat Muqqaddimah Shahîh Muslim dalam bab Ann al Isnâd Min ad Dîn. Al Imâm Muslim An naisabûry, Shahîh
Muslim, (Thoba’ah Mumtâzah Muqâranah ma’a “iddah at Thaba’ah), Riyadh: Dâr As Salâm , 1998
[1] Disampaikan di dalam forum silaturrahim Pimpinan STID Mohammad Natsir dengan mahasiswa program Intensif
hari kamis, 22 Januari 2009. Di aula Asrama STID Mohammad Natsir Bekasi.
[2] Abil Hida’ isma’il bin Katsir Al Quraisy, Tafsîr al Qur’an al Adzhîm, Beirut: Maktabah Al Ashriyyah, 2000, Jilid IV,
Cet. 3, hal. 363
[3] Abi Abdillah Muhamamd bin Ahmad Al Anshari al Qurthubi, Al jâmi’ al Ahkâm al Qur’ân, Mesir: Dâr Al Kitab Al
Arabi li at Thaba’ah wa an Nashr, 1967, Jilid VIII, hal. 227
[4] Ag. Pringgodigdo (Ed.), Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977, hal. 711
[5] At Thahir Ahmad Az Zawi, Tartîb al Qâmûs al Muhîth ‘ala Tharîqah al Misbâh al Munîr wa Asâs al balâghah,
Riyadh: Dâr Alam al Kutub, 1996, Jilid II, Cet. 4, hal. 100
[6] Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, “Akhlaq”, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, Jilid I,
Cet. 3, hal. 73
[7]Abi Abdillah Abdirrahman bin Nashir bin Abdillah bin Nahsir As Sa’di, Taysîr al Karîm ar Rahmân fî Tafsir Kalam al
Mannân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at Turats al ‘Araby, 1999, Cet. 1, hal. 468 , Lihat juga, Muhammad Uwais An
Nadawi, Tafsîr al Qayyim li Ibn al Qayyim, tahqiq, Muhammad Hamid al Fata, Beirut: Lajnah At Turats Al ‘Araby,ttp,
hal.318-319
[8] Ibnu Rajab Al Hanbali, Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam fî Syarhi Khamsîn Hadîtsan min Jawâmi’ al Kalam, tahqiq.
Sya’im al Arnauth, Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, 1998, Jilid I, Cet. 7, hal. 454-455
[9] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 2000, Cet. 11, hal. 109
[10]Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Shahîh al Bukhâri, Riyadh: Dâr as Salâm, 1997, Cet. 1, hal. 18
[11] Shaih Al Bukhari, Hadits No. 59. Ibid
[12] Alamah Shadiq Hasan Khan Al Bukhari, ‘Aunul Bâri li Halli Adillati al Bukhâri, Suria: Dar Ar Rasyîd, 1984, Cet. 1,
Jilid. I, hal. 187.
[13] Lihat Muqqaddimah Shahîh Muslim dalam bab Ann al Isnâd Min ad Dîn. Al Imâm Muslim An naisabûry, Shahîh
Muslim, (Thoba’ah Mumtâzah Muqâranah ma’a “iddah at Thaba’ah), Riyadh: Dâr As Salâm , 1998, hal. 10-11
[14] Syaikh Abdul Aziz bin Abdillan Ibnu Baaz, Ad Da’wah Ilallâh wa Akhlâq ad Du’ah, Eebook Da’wah, Maktabah
Abu Salma, 2007, Point ke 4
[15] Ibnu Qayyim, Madârijus Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în. Beirut: Dâr Al jîl, 1991, Jilid
III, hal. 483.
[16] Ebook Fiqh Da’wah, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin, Zâd ad Da’iyah, point yang ke 4.
[17] Abdul Musin Al Abbad Al Badr, Rifqan Ahl as Sunnah bi Ahl As Sunnah, PDF: Maktabah Abu Salma Al Atsari,
2007, hal. 55
[18] Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, Dîwân al Imâm Asy Syafi’I, tahqiq. Yusuf As Syaikh Muhammad Al
Biqa’I, Makkah: Dâr al Fikr, 1977, Cet. 1, hal. 76. Imam Waki’ yang dimaksud oleh As Syafi’I disini adalah guru beliau
yang bernama lengkap Waki’ Ibn al Jarah bin Mulih bin ‘Ady rahimahullâh. Mengenai kedudukan Imam Waki’ Berkata
Imam Yahya bin Ma’in bahwa ahli hadits itu ada empat (dizamannya); Imam Waki’, Imam Ya’la Ibnu ‘Abid, Imam al
Qa’ny, dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat,Târîkh Baghdâd, Jilid XIII, hal. 496)
Seminar Serantau Memperingati 100 Tahun Pahlawan Nasional Mohammad Natsir
Saya hadir ke Seminar Serantau Memperingati 100 tahun Pahlwan Nasional Bapak Mohammad Natsir anjuran bersama Wadah Pencerdasan Umat(WADAH) dan Kolej Universiti Islam Selangor (KUIS )yang diadakan di Kolej Universiti Islam Selangor(KUIS),Bangi baru-baru ini
Beberapa hari sebelum seminar ini berlangsung saya bersama-sama beberapa orang sahabat telah mengadakan satu diskusi tajuk yang sama dengan tema seminar serantau ini iaitu Bapak Mohamad Natsir:Berdakwah di jalur politik ,Berpolitik di jalur dakwah.
Saya tidak sempat mendengar ucapan wakil keluarga Pak Natsir dan juga ucapan alu-aluan Presiden WADAH yang cukup saya kagumi,Dato Dr.Siddiq Fadzil(bekas pimpinan PMIUM dan Presdien ABIM) memandangkan kelewatan tiba setelah menaiki komuter dari Kl Sentral ke Bangi bersama beberapa orang rakan.(Dari Stesyen Komuter Bangi,kami menaiki van prebet sapu terus ke KUIS)
Setibanya di sana Menteri Besar Selangor sedang berucap merasmikan program ini.Dewan seminar ini agak penuh dengan para peserta yang jumlahnya diluar jangkaan pihak urusetia program.
Kehadiran Dato Seri Anwar Ibrahim (menurut beliau ,kali pertama semenjak 11 tahun yang lalu-tahun beliau dipecat –beliau dibenarkan masuk ke universiti) mungkin menjadi faktor utama kehadiran ramai peserta yang ingin mendengar ucaptama daripada beliau.
Beliau agak rapat dengan Almarhum Pak Natsir bahkan menerima didikan secara tidak langsung dari tokoh pendakwah ,negarawan –pahlwan nasional ini.
Saya sendiri mula mengenali nama Pak Natsir tatkala membaca tulisan dan pidato Dato Seri Anwar Ibrahim.
Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ucaptamanya ini mengupas tentang Pemikiran Pak Natsir:Islam dan kenegaraan.Beliau menyarankan agar digerakkan usaha menerbitkan semula karya-karya pak Natsir dan juga menyeru mahasiswa khasnya untuk mentelaah karya-karya Pak Natsir antaranya seperti Fiqhud Dakwah,Capita Selecta dan lain-lain.
Dato Seri Anwar Ibrahim turut melancarkan buku terbitan bersama WADAH dan KUIS bertajuk Mohammad Natsir:Berdakwah di jalur politik,Berpolitik di jalur dakwah.
Beberapa orang tokoh juga turut membentangkan kertas kerja mereka seperti Bapak Syuhada(Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia-yang diasaskan Pak Natsir),Prof Dr.Kamal Hasan,Prof Madya Dr Mohd Nur Manuty dan lain-lain.
Ketokohan Pak Natsir sebagai pendakwah,ahli politik,pemikir dan lain-lain sukar ditandingi dan memang layak beliau diangkat sebagai pahlawan nasional.
Semoga kehadiran saya dalam seminar memperingati tokoh besar ini membangkitkan semangat menyuntik motivasi buat saya mencontohi keperibadian beliau dan seterusnya menjadi lebih baik daripada beliau.
Meneladani Da’wah Muhammad NatsirKetokohan Muhammad Natsir tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di negara tetangga, Malaysia sosok Muhammad Natsir juga sangat dikagumi dan dekat di hati masyarakat. Maka tidak heran apabila kepergian tokoh tersebut pada 14 Sya’ban 1413H bertepatan 6 Februari 1993 turut dirasai mereka.
Ketika di negara kita ramai memperingati seabad sang pahlawan nasional Muhammad Natsir beberapa waktu yang lalu, Malaysia yang notabene negara Islam tidak ketinggalan untuk turut memperingati 100 tahun Muhammad Natsir, itu diwujudkan dengan diadakanya seminar tentang Muhammad Natsir yang disponsori oleh pemerintah negeri Selangor pada bulan Januari lalu.
Kedekatan Masyarakat Malaysia dengan tokoh Muhammad Natsir sangat beralasan, karena sosok Pak Natsir sangat berperan penting dan berjasa bagi perbaikan hubungan dua negara bertetangga ini,
khususnya pada era Presiden Soekarno yang menjalankan politik konfrontasi terhadap Malaysia. Dalam upaya mengatasi konflik Pak Natsir sempat mengirim sepucuk surat kepada Tun Abdul Rahman, Perdana Menteri saat itu untuk mengahiri konflik dan membawa ke perundingan. Sedangkan menurut mantan wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, beliau banyak belajar kepada Pak Natsir dalam berbagai hal. Selain itu Universitas Kebangsaan Malaysia jauh-jauh hari memberikan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Pak Natsir yang baru memperoleh gelar pahlawan nasional pada 10 November 2008.Ketokohan dan keteladanan Pak Natsir selain di Malaysia juga sangat disegani di kalangan tokoh-tokoh dunia internasional, khususnya dunia islam. Baik kapasitasnya sebagai ulama maupun sebagai politikus.bahkan para pemimpin dan Raja-Raja Arab sangat menghormati beliau. Dalam masa hayatnya pak Natsir banyak menduduki posisi penting dalam berbagai organisasi seperti World Muslim Conggress, Muslim World League atau lebih dikenal Rabithah ‘Alam Islami dan Majlis A’la Al Alami Lil Masjid (Dewan Masjid Sedunia).
Kalau diperhatikan dengan seksama, di balik ketokohan Pak Natsir terdapat sesuatu hal yang menarik yang perlu kita cermati. Dengan hal tersebut beliau mampu tampil beda serta memiliki citra yang unik dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan di Indonesia yang lain. Hal tersebut pulalah yang menjadi jalan hidup beliau dalam menempuh arus zaman. Sesuatu hal yang dimiliki dan ditempuh oleh Pak Natsir tersebut adalah jalan da’wah.
Da’wah dalam segala aspek
Muhammad Natsir telah menempatkan dirinya untuk berada di jalan da’wah. Sehingga apapun yang dijalankan selalu disebatikan dengan misi da’wah. Kecerdasan yang ada pada pada diri beliau dan kuatnya keyakinan terhadap ajaran islam menjadikannya seorang penda’wah yang ulung. Dan kelebihan yang dimilikinya adalah mampu berda’wah dalam berbagai aspek, seperti politik, pendididkan, keilmuan, keperibadian dan tingkah laku. Selain itu objek da’wah yang disentuh tidak hanya untuk kalangan atau golongan tertentu, namun yang menjadi target da’wah adalah mencakup seluruh masyarakat. Baik golongan atas maupun golongan bawah, bahkan kiprahnya dalam da’wah mulai dari daerah, nasional hingga internasional.
Dalam berda’wah di arena politik Pak Natsir terkenal dengan dua kalimat “berda’wah dijalur politik berpolitik dijalur da’wah”. Bagi Pak Natsir berpolitik adalah suatu medan da’wah, sehingga dalam prakteknya harus dilakukan dengan penuh kejujuran, keikhlasan dan sopan santun. Dalam berpolitik sangat tidak pantas kalau hanya menurutkan hawa nafsu dan menepikan hukum Allah. Berpolitik bukan untuk mencari kekuasaan tetapi yang sangat utama adalah mengutamakan kemaslahatan umat.
Pak Natsir juga sangat mendukung demokrasi, karena menurutnya demokrasi yang benar sesuai dengan ajaran islam. Sehingga selama kiprahnya dalam berpolitik selalu melaungkan demokrasi. Bahkan beliau merupakan tokoh penting dalam membangun demokrasi pasca kemerdekaan Indonesia. Sungguh pun beliau memperjuangkan demokrasi namun dalam prakteknya yang dilakukan pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru sangat jauh dengan yang dicita-citakannya. Dalam karirnya di bidang politik, beliau pernah menduduki jabatan-jabatan penting, diantaranya menjadi Menteri Penerangan 1946-1949, dan Perdana Menteri Republik Indonesia 1950-1951, namun beliau tidak pernah berusaha untuk memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, bahkan beliau merasa takut kalau sampai tidak bisa menunaikan amanah dengan benar.
Di arena pendidikan Pak Natsir sangat memperhatikan pentingnya dua aspek pendidikan, jasmani maupun rohani, agama maupun akademis tanpa harus dipisahkan antara satu dengan yang lain. Pak Natsir sangat prihatin dengan keadaan pendidikan yang diwarisi dari sistem pendidikan penjajah yang dipengaruhi pemikiran barat yang sangat menepikan nilai-nilai agama sehingga tidak sesuai bagi generasi Indonesia.
Maka beliau terpanggil untuk berusaha merubah kenyataan yang berlaku.sehingga pada tahun 1938 pak Natsir tampil mengemukakan konsep “pendidikan integral” atau konsep pendidikan yang menyatukan antara pendidikan agama dengan akademis. Disamping itu juga Pak Natsir aktif mendidik para kader untuk terus mendidik anak bangsa dengan nilai-nilai agama.
Selain itu juga dari gagasan dan ide Pak Natsir telah lahir beberapa perguruan tinggi islam di seluruh pelosok tanah air, seperti UNISBA, UII, UMI,UIR, UISU dan UIKA. Maka dengan melihat kiprah pak Natsir dalam berda’wah di dunia pendidikan, tidak berlebihan sekiranya DR.Gamal Abdul Nasir dalam desertasinya menyebutkan “Muhammad Natsir: pendidik umat”.
Dalam dunia keilmuan Muhammad Natsir tampil sebagai intelektual islam yang menguasai berbagai bahasa sehingga beliau mampu mempelajari karya-karya ilmuan barat. Bahkan beliau mengkritik pemikiran-pemikiran barat yang tersasar. Beliau mampu berargumen yang meyakinkan serta ilmiah dalam menyangkal ide-ide ilmuan barat yang mendiskreditkan ideologi Islam.
Salah satu contohnya adalah bantahannya tentang sekulerisme yang diterapkan di negara-negara barat dan ingin ditiru oleh negara-negara islam. Bahkan ada sebagian ulama yang mendukung faham sekulerisme, seperti Syeikh Ali Abdul Raziq dari Mesir dengan karyanya Al Islam Wa Usulul Hukm. Pak Natsir dengan tegas membantah faham tersebut. Selain itu pak Natsir aktif dalam penulisan.
Beliau selalu menulis di berbagai media tentang wacana keislaman, beliau juga menghasilkan beberapa karya besar diantaranya Capita Selecta dan Fikih Da’wah. Dua karya beliau ini sangat dikenal sampai diluar negeri dan menghiasi di hampir seluruh perpustakaan-perpustakaan negara-negara tersebut, seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Bahkan di Malaysia sedang diusahakan untuk menerbitkan kedua buku tersebut kedalam versi bahasa melayu. Dan buku Fikih Da’wah juga menjadi kajian rutin di beberapa organisasi, masjid dan universitas.
Selain berda’wah di jalur politik, pendidikan dan keilmuan, Pak Natsir juga menerapkan metode da’wah dalam bentuk praktis dalam keperibadian dan tingkah laku. Dan baginya ini adalah sangat penting keberhasilan proses da’wah sangat berkaitan erat dengan keadaan diri sang penda’wah. Pak Natsir selalu mengedepankan sopan santun dalam keriernya sebagai politikus, ulama, ilmuan dan negarawan.
Bahkan terhadap lawan-lawan politik dan tokoh-tokoh beda agama beliau tetap menghormati dan santun. Ini dapat terlihat diantaranya hubungan beliau dengan Soekarno tetap baik walaupun ia pernah ditahan. Beliau juga bisa duduk semeja dengan tokoh komunis D.N Aidit walaupun baru saja beradu argumen. Dan beliau pun akrab dengan Ignatius Joseph Kasimo seorang tokoh politik katolik. Intinya walaupun berbeda pandangan dan keyakinan namun hubungan sebagai sesama manusia harus tetap terjaga.
Beberapa bidang da’wah yang disebutkan di atas telah diterapkan oleh Pak Natsir sehingga keteladanan beliau masih sangat cocok untuk dijadikan acuan dalam pergerakan da’wah di Indonesia. Keadaan masyarakat yang majemuk dan kehidupan sosial yang kompleks menuntut para penda’wah harus pandai menempatkan diri serta memainkan peranan sehingga target da’wah dapat tercapai
Menantikan figur baru
Kaadaan bangsa saat ini sangat memerlukan tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir. Maka dalam hal ini tugas para penda’wah dan pendidik sangat berperan penting dalam membentuk generasi unggul dan saleh seperti Pak Natsir. Sehingga dapat melahirkan para pemimpin yang mampu menuntaskan segala permasalahan yang menimpa bangsa.
Mengingat kondisi masyarakat yang masih dirudung kemiskinan padahal sudah puluhan tahun hidup merdeka dari penjajah. begitu pula budaya korupsi yang masih saja berkembang menjadikan negara kita berjalan lamban dan cenderung terseret-seret untuk mencapai kemajuan.
Hal ini bukannya tidak mungkin untuk dirubah, namun perlu usaha serius dan konsisten kearah itu. Pak Natsir telah memulai perjuangan melalui da’wahnya dalam usaha merubah nasib bangsa. Maka diperlukan figur-figur baru untuk meneruskan perjuangannya.
Caranya tentunya adalah dengan bercermin dan meneladani perjuangan beliau dangan menerapkan metode-metode yang telah beliau gariskan. Pak Natsir boleh saja pergi namun perjuangan da’wahnya harus tetap hidup.
Hambari Nursalam; Mahasiswa di International Islamic University Malaysia,IIUM; Alamat: International Islamic University Malaysia,Jalan Gombak 53100 Kuala Lumpur Malaysia. Kontak:+60132229826 Email:[email protected].
BAPAK MOHAMAD NATSIR (1908 – 1993): APRESIASI
GENERASI KEDUA AKTIVIS ISLAM MALAYSIA
Resensi Buku
** Artikel yang termuat dalam buku "MOHAMMAD NATSIR BERDAKWAH DIJALUR POLITIK BERPOLITIK DI JALUR DAKWAH" yang diterbitkan sempena Seminar Serantau Memperingati 100 Tahun Pahlawan Nasional Bapak Mohammad Natsir di KUIS pada 10 Januari yang lalu. Seminar adalah anjuran bersama WADAH dan KUIS
Ada tiga insiden yang benar-benar saya ingat, apabila memperkatakan mengenai Pak Natsir, seorang negarawan, pendakwah, intelektual, politikus di Alam Melayu dan Dunia Islam yang sangat saya hormati dan sanjungi.
Rasanya, hampir seluruh warga ABIM yang pernah bersua dengannya atau pernah membaca karyanya mempunyai apresiasi yang sama dengan saya. Ya, seorang tokoh yang amat susah untuk ditandingi. Seorang pendakwah yang amat merendah diri, sopan santun tetapi gigih berdakwah hingga ke hujung hayatnya. Seorang politikus yang Islami yang baginya politik itu untuk tujuan dakwah, bukan untuk mengejar pangkat dan kedudukan. Seorang intelektual yang luas jangkauan ilmunya yang banyak menyiapkan landasan intelektual di dalam pembinaan negara dan bangsa di awal kemerdekaan. Seorang negarawan yang sentiasa sanggup mengorbankan kepentingan peribadi demi kesejahteraan bangsa dan negara. Juga seorang tokoh Islam yang disanjungi Dunia kerana peranan aktifnya memperjuangkan keadilan sejagat tanpa mengira bangsa, negara dan agama.
Begitulah sosok peribadi yang amat payah dicari ganti. Menghargai akan pengorbanan dan perjuangannya, bukan tujuan untuk mengagung-agungkannya. Kalau itu nawaitunya, saya yakin seandai beliau boleh berkata-kata, pasti akan dibantah sekeras-kerasnya. Kita menghargai dan
memperingatinya kerana kita amat merindukan akan lahir Natsir-Natsir baru yang bakal meneruskan jejak langkah perjuangannya bagi menebus maruah umat yang telah dirobek-robek ketika ini.
Ya, umat amat memerlukan tokoh-tokoh seperti Pak Natsir. Bukan seorang atau dua. Tapi kalau boleh berpuluh malah beratus Natsir –Natsir baru.
INSIDEN PERTAMA – BERTAMU DI RUMAHNYA
Sebagai generasi kedua ABIM, saya memang kerap mendengar nama Pak Natsir dan Dewan Dakwah Islamiyyah disebut di dalam siri perbincangan ABIM terutama ketika menyentuh persoalan dakwah di Indonesia. Bukunya Fiqhud Da’wah sentiasa menjadi rujukan Usrah. Tetapi, orangnya belum pernah ditemui. Gambaran saya mengenai Pak Natsir adalah saperti tokoh-tokoh dakwah antarabangsa yang kerap berkunjung ke Malaysia. Petah berbicara, penampilan yang ‘dominant’ dan agresif.
Tanpa diduga, kesempatan untuk bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut di dalam Usrah akhirnya menjadi realiti. Pada 12 -15 Februari 1989, World Assembly of Muslim Youth (WAMY) menganjurkan ‘Regional Islamic Science Conference for Asia Pacific’ di Hotel Horison, Jakarta. Ketika itu saya bekerja dengan Sdr Kamaruddin Md.Nor yang merupakan wakil WAMY untuk Asia Pasifik, penganjur bersama Persidangan tersebut. Persidangan yang dirasmikan oleh B.J.Habibie, Menteri Riset dan Teknologi ketika itu mengumpulkan para saintis Muslim di Asia Pasifik untuk membincangkan mengenai peranan mereka dalam pembangunan umat Islam.
Memandangkan ramai para saintis dari Malaysia adalah pimpinan ABIM, maka diatur satu pertemuan dengan Pak Natsir di rumahnya di Jalan Cokroaminoto, Jakarta. Almarhum Bang Hussein Umar dan Mazni Yunus dari Dewan Dakwah mengatur pertemuan tersebut setelah usai persidangan.
Saya memang begitu gembira sekali kerana inilah pertemuan yang memang saya nanti-nantikan. Bertemu dengan tokoh dakwah Indonesia yang sentiasa dianggap sebagai ‘orang tua’ ABIM didalam kerja-kerja dakwah.
Seramai 20 orang para Saintis dari Malaysia yang kebanyakannya ahli ABIM bertamu ke rumah Pak Natsir pada waktu yang telah ditetapkan. Saya kaget kerana rumahnya amat sederhana sekali dan apabila Pak Natsir muncul, ketika itu beliau sudah berumur 81 tahun, menyambut kami, ternyata gambaran saya mengenai beliau amat meleset sekali.
Orangnya amat mudah melempar senyuman, berkata dengan lemah lembut tapi teratur, penampilannya begitu sederhana dan bersahaja. Begitu terasa akan keramahan dan kesantunannya. Walaupun sudah berumur 81 tahun, fikirannya tetap bernas dan tajam. Ketokohannya begitu menyerlah.
Setelah bertanya khabar masing-masing, kami terus memulai perbincangan mengenai perkembangan politik dan dakwah di Malaysia, Indonesia dan Dunia Islam amnya. Banyak isu
yang disentuh untuk mendapatkan pandangan dan nasihat darinya. Beliau agak optimis dengan perkembangan dakwah diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Cabaran itu tetap ada disepanjang zaman, katanya. Ini semua adalah lumrah kepada setiap sosok peribadi yang ingin terjun sebagai pendakwah. Ianya adalah sebagai ujian yang mesti ditempuhi, samada suka atau tidak.
Pertemuan mesra tersebut berakhir dengan makan tengahari. Bagi saya pertemuan tersebut amat penting dan bersejarah bagi hidup saya. Bertemu seorang tokoh besar yang mengabdikan diri seluruhnya di jalan Allah s.w.t. Beliau tidak pernah meminta supaya jasanya dibalas oleh sesiapa. Cukup baginya dengan mardhatiLlah semata.
INSIDEN KEDUA – SEMPAT SOLAT JENAZAH PAK NATSIR
Insiden kedua yang masih segar dalam ingatan ialah apabila menerima berita Pak Natsir meninggal dunia. Ketika menerima berita dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia yang memaklumkan bahawa Pak Natsir telah kembali ke RahmatuLlah pada 6 Februari 1993, kami di Sekretariat ABIM terkejut dan tergamam. Walaupun Pak Natsir jauh di Indonesia, kami di ABIM sentiasa menganggap beliau sebagai ‘orang tua’ yang sentiasa dirujuk dan dihormati. Bila berkunjung saja ke Jakarta, antara acara wajib ialah ke kantor Dewan Dakwah untuk mendapatkan nasihat dari Pak Natsir.
ABIM segera memutuskan agar Presiden ketika itu, Dr.Muhammad Nur Manuty harus mewakili ABIM menghadiri upacara pengkebumian Pak Natsir. Saya ketika itu sebagai Penolong Setiausaha Agung di minta untuk menguruskan penerbangan ke Jakarta dan mengiringi sdr Presiden. Ketika kami sampai di Dewan Dakwah, ternyata begitu ramai rakan-taulan, sahabat handai, kenalan jauh dan dekat yang telah pun sampai untuk sama-sama menyempurnakan solat jenazah untuk tokoh yang banyak berjasa kepada nusa dan bangsa ini. Keadaan benar-benar macet (istilah di Indonesia bagi menggambarkan kesesakan lalu-lintas) di Jalan Kramat Raya tersebut. Hujan pula turun seolah-olah turut bersedih di atas pemergian Pak Natsir. Suasana di Dewan Dakwah terasa begitu sayu sekali. Masing-masing mungkin menghimbau kenangan manis bersama Pak Natsir.
Sebaik sampai di perkarangan Dewan Dakwah, kami segera ke Musolla di tingkat tiga yang telah pun penuh dengan jemaah yang telah bersedia untuk memulakan solat. Alhamdulillah, kami sempat menyelit di antara saf yang begitu rapat untuk sama-sama solat jenazah. Seusai solat, kami pun bersilaturrahmi dengan para pemimpin Dewan Dakwah yang sempat ditemui seperti Pak Anwar Haryono, Bang Hussein Umar dan lain-lain menyampaikan ucapan takziah bagi pihak ABIM yang turut merasai kehilangan ‘orang tua’.
Pak Natsir sesungguhnya telah mewariskan kepada generasi pelanjut perjuangan dakwah ini sejumlah khazanah pengalaman selama selama 85 tahun kehidupannya yang sarat dengan pengorbanan yang amat sukar untuk ditandingi. Beliau adalah seorang mujahid ,sebenar-benar mujahid.
“Janganlah kamu mengira bahawa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan kurnia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap
orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahawa tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Ali Imran 3:169-170)
INSIDEN KETIGA – MENUNAI WASIAT PAK NATSIR
Adapun insiden ketiga ialah pada awal tahun 2000, iaitu setelah 7 tahun Pak Natsir kembali bertemu Sang Penciptanya, saya dikunjungi oleh Pak Basyir Gani, pimpinan Pesantren Buya HAMKA di Danau Maninjau, PADANG. Pak Basyir adalah ‘orang kuat’ Pak Natsir di Danau Maninjau.Pak Basyir menyatakan kepada saya bahawa beliau sedang mengusahakan sebuah pesantren di Danau Maninjau yang bertujuan untuk memperingati Buya HAMKA. Danau Maninjau adalah tempat kelahiran Buya HAMKA. Katanya, Pak Natsir pernah mewasiatkan kepada beliau bahawa banyak Pesantren yang menggunakan nama HAMKA, tetapi tidak di tempat kelahiran beliau sendiri di Danau Maninjau. Mengapa tidak diusahakan sebuah Pesantren di Danau Maninjau bagi melahirkan HAMKA-HAMKA baru untuk abad mendatang?
Jadi, kedatangan Pak Basyir Gani ke Pejabat ABIM adalah untuk mengajak ABIM sama-sama merealisasikan wasiat Pak Natsir ini. Mendengar wasiat tersebut dari Pak Basyir, saya lantas bersetuju dan berjanji akan membantu sedaya yang mungkin, walaupun tahu diri bahawa ABIM sendiri sentiasa tidak mempunyai dana yang mencukupi untuk melaksanakan kerja dakwah yang begitu banyak, di dalam maupun di luar negara.
Sejak perjumpaan tersebut, setiap menjelang 24 Julai setiap tahun (tahun Buya HAMKA meninggal dunia), rombongan ABIM melawat Danau Maninjau untuk memperingati HAMKA di bawah program Jejak Ulama dan juga beramah mesra dengan pimpinan Pesantren dan juga para pelajarnya. Setiap ahli rombongan dimaklumkan mengenai wasiat Pak Natsir tersebut, dan masing-masing menghulur dana yang termampu bagi menambah kemudahan asrama yang tidak mencukupi. Pada tahun 2003, hasil dari sumbangan ahli rombongan, sebuah asrama menelan belanja RM50,000 telah berjaya dibina. Kemudian, Yayasan Takmir Pendidikan ABIM menghantar guru-guru pakar ke sana secara berkala untuk meningkatkan kualiti pengajaran guru di Pesantren.
Bagi saya, adalah menjadi suatu kewajipan untuk menunaikan wasiat seseorang. Apalagi wasiat seorang tokoh yang sangat disanjung dan di hormati saperti Pak Natsir.
APRESIASI AKTIVIS ISLAM MALAYSIABagi saya Pak Natsir adalah tokoh besar yang mendahului zamannya. Kekuatan inteleknya, memungkinkan banyak isu-isu yang melatari perjuangannya ditangani dengan sentuhan intelektualisme yang tinggi. Isu-isu yang menjadi polemik di Malaysia ketika ini seperti demokrasi, negara Islam, sekularisme, perkauman, Islamophobia dan xenophobia telah beliau bahas dengan mendalam ketika Indonesia masih di dalam pembentukan sebagai sebuah negara yang merdeka.
Bagi saya, di dalam suasana politik negara yang sedang mengalami proses ‘rethinking’ dan ‘reconstructing’, setelah Pilihanraya ke 12 yang lalu, pemikiran Pak Natsir amatlah relevan untuk ditelaah dan dikaji oleh setiap ahli politik di Malaysia. Buku beliau ‘Agama dan Negara Dalam
Perspektif Islam’ yang merupakan koleksi tulisan beliau sejak tahun 1931 sehingga 1987 adalah merupakan suatu khazanah intektual yang sangat penting untuk pembangunan sebuah negara-bangsa. Berkaitan dengan itu, polemik Negara Islam dan Perlaksanaan Hukum Hudud yang sentiasa hangat diperdebatkan di kalangan Parti-Parti Politik Malaysia sehingga hari ini, harus belajar memanfaatkan pemikiran Pak Natsir keseluruhannya. Kita tidak perlu pergi terlalu jauh ke negara Barat untuk mencari jalan penyelesaian. Pengalaman politik membangun negara –bangsa di Indonesia ternyata jauh lebih realistik untuk kita pelajari di Malaysia. Seeloknya, buku ‘Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam’ harus menjadi bahan bacaan wajib dan diwacanakan oleh sesiapa juga yang terlibat di dalam proses pembinaan negara-bangsa yang semakin banyak dipolemikkan di Malaysia ketika ini.
Meneliti sejarah hidup Pak Natsir, saya boleh merumuskan bahawa keseluruhan hidupnya adalah berpaksikan ummah – ‘ummah-centric’. Beliau memperhambakan dirinya demi ummah yang tercinta. Beliau menolak tawaran biasiswa Belanda untuk meneruskan pendidikan di dalam sistem pendidikan Belanda yang menjanjikan pendapatan lumayan dan status yang tinggi, kerana ingin mengangkat martabat umat melalui pendidikan. Beliau mendirikan Institusi Pendidikan Islam (PENDIS) di Bandung pada tahun 1932 dengan tujuan melahirkan generasi yang berpendidikan moden, tetapi mengakar kefahaman dan penghayatan agamanya. Pengorbanan sebegini sememangnya amat diperlukan terutama bagi mereka yang telah membabitkan diri didalam gelanggang dakwah. Seringkali berlaku, para pendakwah terpaksa membuat pilihan samada memilih kepentingan peribadi atau umat, atau korbankan kepentingan peribadi demi umat tercinta. Pak Natsir memilih jalan mengorbankan cita-cita peribadi demi umat tercinta. Beliau memang tidak kaya di segi material atau kemewahan dunia,tetapi kaya di segi perjuangan dan pengorbanan. Inilah peribadi tauladan yang sekiranya dapat diikuti oleh generasi muda, maka akan ramailah Natsir-Natsir baru yang akan lahir.
Satu hal yang menarik perhatian saya mengenai Pak Natsir ialah beliau tidak mendapat pendidikan formal agama dalam pengertian meraih sarjana dalam bidang pengajian Islam, tetapi kupasannya mengenai agama begitu mendalam . Malah dalam banyak hal, kefahamannya mengenai agama terutama di dalam konteks perubahan sosial dan manhaj da’wah jauh lebih baik dari kupasan mereka yang mendapat pendidikan Islam secara formal. Bacalah bukunya ‘Fiqhud Da’wah’, nanti anda akan mengerti maksud saya.
Menyedari bahawa kekuatan umat amat bergantung kepada kekentalan kesatuan ulama dan intelektual di dalam menangani permasalahan umat, Pak Natsir sentiasa menekankan peri pentingnya kedua golongan ini saling memahami akan kekuatan masing-masing agar persefahaman bertambah mantap dan padu. Oleh kerana itulah agaknya maka slogan ‘Mengulamakkan Intelektual, Mengintelektualkan Ulama’ menjadi dasar penting di dalam Gerakan Dakwah. Malah ABIM mendapat banyak menafaat dari slogan ini sehinggakan kekuatan ABIM sebagai sebuah Gerakan Dakwah yang berpengaruh di Malaysia ialah kerana gabungan kedua kekuatan ini.
Bagi saya terlalu banyak yang boleh diperkatakan mengenai Pak Natsir sebagai apresiasi generasi kedua aktivis Islam di Malaysia. Banyak yang boleh dipelajari dan dicontohi. Walaupun hanya sempat seketika dengan beliau dalam waktu yang sangat terhad, tetapi saya merasakan ketokohan yang Allah ta’ala anugerahkan kepada beliau dapat dirasai oleh generasi mendatang. Buku-
bukunya walau ditulis di dalam konteks dan sikon yang berbeza, tetapi banyak ilmu yang dapat digali bagi yang serius ingin mengkaji dan belajar darinya. Pastinya saya akan terus mengkaji dan belajar darinya di setiap kesempatan yang ada. Mudah-mudahan Allah ta’ala menerima kesemua amalannya dan diberi ganjaran syurga yang dijanjikan. Aamin.
Sumber: Tuan Haji Ahmad Azamhttp://ahmadazam.blogspot.com/2009/01/bapak-mohamad-natsir-1908-1993_15.html
Sasudah ambo kirimkan daftar buku-buku tulisan Mr. Sjafruddin Prawiranegara(24) ambo caliak pulo tulisan Pak M. Matsir. Ado 40 buku buah tanganbaliau nan tadaftar di berbagai Kampuih University of California. Itupunberarti buku-buku baliaupun ado di Kampuih-kampuih nan tamusahua di pelosokbumi ko.
Nak duo bibilography sairiang, sarago awak dalam mamparatikan bibliographyko, di bawah ko ambo salinkan pulo daftar buku-buku tulisan Pak M. Natsir.
Ideologisasi gerakan dakwah : episod kehidupan / M. Natsir dan AzharBasyir ; [disusun oleh] Abdul Munir Mulkan. Cet. 1. Yogyakarta : Sipress, 1996. UCB Main BP170.85 .I34 19961. Hardjadinata, Moh. S. (Mohammad Sanusi), 1914- Selamatkan demokrasi berdasarkan jiwa proklamasi dan UUD 1945 / oleh Moh. Sanusi Hardjadinata, Mohammad Natsir, A.H. Nasution. [Jakarta : s.n.,1984]. UCB S-S/EAsia JQ768 .H28 1984 REF
2. Ideologisasi gerakan dakwah : episod kehidupan / M. Natsir dan AzharBasyir ; [disusun oleh] Abdul Munir Mulkan. Cet. 1. Yogyakarta : Sipress, 1996. UCB Main BP170.85 .I34 1996
3. Mangkusasmito, Prawoto. Sjukur ni'mah; tasjakkur di Mesdjid Agung. Pidato -pidato 14 Agustus 1966: Prawoto Mangkusasmito [dan] M. Natsir. Djakarta, ''Bulan Bintang, 1966. NRLF $B 190 529 Type EXP NRLF for loan details.
4. Mencari modus vivendi antar ummat beragama. Jakarta : Media Dakwah, 1980. NRLF B 3 193 389 Type EXP NRLF for loan details. CRL GenCollec 81-941437 Type EXPLAIN CRL for loan details.
5. Mohammad Natsir pemandu ummat : pesan dan kesan tasyakkur 80 tahun Mohammad Natsir, 17 Juli 1988 / disunting oleh Moch. Lukman Fatahullah Rais, Mohammad Syah Agusdin, Nasmay Lofita Anas. Cet. 1. Jakarta : Bulan Bintang, 1989. UCB Main DS644.1.N33 M64 1989
6. Natsir, M., 1908-1993. Dari masa ke masa / M. Natsir. Jakarta : Fajar Shadiq, 1974-1975. NRLF B 3 200 591 Type EXP NRLF for loan details. NRLF B 3 201 257 Type EXP NRLF for loan details. NRLF B 3 201 256 Type EXP NRLF for loan details. NRLF B 3 200 601 Type EXP NRLF for loan details.
CRL GenCollec 79-941756 Type EXPLAIN CRL for loan details.
7. Natsir, M., 1908-1993. Dibawah naungan risalah / [oleh] M. Natsir. [Tjet. 1. Djakarta] : Sinar Hudaya-Documenta, 1971. Series title: Seri pahlawan Islam no. 9. CRL GenCollec 75-943642 Type EXPLAIN CRL for loan details.
8. Natsir, M., 1908-1993. Dunia Islam dari masa ke masa / M. Natsir. Cet. 1. [Jakarta] : Panji Masyarakat, 1982. NRLF B 3 940 452 Type EXP NRLF for loan details. CRL GenCollec 82-941234 Type EXPLAIN CRL for loan details.
9. Natsir, M., 1908-1993. Ikhtaru ihda al-sabilayn, al-din aw al-la-diniyah / Muhammad Nasir. al- Tab'ah 4. Jiddah : al-Dar al-Sa'udiyah lil-Nashr wa-al-Tawzi', 1983. NRLF B 3 653 532 Type EXP NRLF for loan details.
10. Natsir, M., 1908-1993. Iman, sumber kekuatan lahir dan batin : khutbah nikah : disertai dengan Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan penjelasan2-nya / oleh M. Natsir. Jakarta : Fajar-Shadiq, [pengantar 1974]. CRL GenCollec 79-941759 Type EXPLAIN CRL for loan details.
11. Natsir, M., 1908-1993. Islam dan akal merdeka / M. Natsir. Cet. 4. Jakarta : Media Da'wah, 1988. Series title: Seri media da'wah ; 69. UCB Main DS625 .N377 1988
12. Natsir, M., 1908-1993. Islam dan Kristen di Indonesia / M. Natsir. [Dihimpun dan disusun oleh Saifuddin Anshari. Tjet. 1]. Bandung : Penerbit Peladjar, 1969. NRLF B 4 069 868 Type EXP NRLF for loan details. CRL GenCollec 76-941080 Type EXPLAIN CRL for loan details.
13. Natsir, M., 1908-1993. Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah : kumpulan karangan / M. Natsir ; disunting oleh Endang Saifuddin Anshari ; pendahuluan oleh Ajip Rosidi. Cet. 1. Jakarta : Girimukti Pasaka, 1988. UCB Main BP25 .N35 1988
14. Natsir, M., 1908-1993. Kegelisahan ruhani di Barat : peranan dan tanggung djawab civitas academica dan perguruan tinggi / [oleh] M. Natsir. Disusun oleh S.U. Bajasut. Surabaja : DDII Perwakilan Djatim, [1969]. NRLF B 4 187 584 Type EXP NRLF for loan details. CRL GenCollec 77-940918 Type EXPLAIN CRL for loan details.
15. Natsir, M., 1908-1993. Kumpulan khutbah hari-raya / oleh M. Natsir. Cet. 1. [Jakarta] : Media Da'wah, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 1975. CRL GenCollec 76-941285 Type EXPLAIN CRL for loan details.
16. Natsir, M., 1908-1993. Masalah Palestina / M. Natsir. Tjet. 1. Djakarta : Hudava, 1970 i.e. 1971. UCB Main DS119.7 .N3751 CRL GenCollec 73-942386 Type EXPLAIN CRL for loan details.
17. Natsir, M., 1908-1993. Pesan perjuangan seorang bapak : percakapan antar generasi / [M.Natsir] ; penyunting, A.W. Pratiknya. Ed. ulang. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia : Laboratorium Dakwah, 1989. UCB Main BP63.I5 N35 1989
18. Natsir, M., 1908-1993. Tugas dan peranan Ulama / M. Natsir. [Jakarta] : Dewan Da'wah Islamijah Indonesia, [1972?]. CRL GenCollec 72-942386 Type EXPLAIN CRL for loan details.
19. Natsir, M., 1908-1993. World of Islam Festival dalam perspektif sejarah : ceramah padatanggal 19 Juni 1976 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta / Mohammad Natsir.Jakarta : Yayasan Idayu, 1976. NRLF B 3 188 356 Type EXP NRLF for loan details. CRL GenCollec 77-941419 Type EXPLAIN CRL for loan details.
20. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Capita selecta. [Dihimpunkan oleh: D. P. Sati Alimin]. Bandung, W. van Hoeve [1954?-1957?]. NRLF $B 444 324 Type EXP NRLF for loan details.
21. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Capita selecta / M. Natsir. Tjetakan ketiga. Djakarta : Penerbit Butan Bintang, 1973. UCLA URL BP 25 N214c 1973
22. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Dapatkah dipisahkan politik dari agama? Dr. Mohammad Iqbal. Djakarta, Toko Buku & Penerbit Mutiara [1953?]. NRLF B 4 226 871 Type EXP NRLF for loan details.
23. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Fiqhud-da'wah; djedjak risalah dan dasar-dasar dawah [oleh] M. Natsir, disusun oleh S. U. Bajasut. [Tjet, 1. Surabaja, Jajasan Da'wah Islamijah, 19-- NRLF $C 74 303 Type EXP NRLF for loan details.
24. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Hendak kemana Masjumi? : Kepada seluruh keluarga Masjumi, Pimpinan Partai menjampaikan amanat ini pada tgl. 7 Nopember 1953 / [Moh. Natsir]. [Djakarta : Penerangan Pimpinan Partai Masjumi], [1953]. NRLF $B 583 953 Type EXP NRLF for loan details.
25. Natsir, M. (Mohammad), 1908-
Hidup bahagia / oleh M. Natsir [dan] Nasroen A. S. Bandung : Vorkink-Van Hoeve, 1954. NRLF B 4 136 992 Type EXP NRLF for loan details.
26. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Islam dan akal merdeka / oleh Mohd. Natsir. Tasikmalaja : Persatoean Islam bg. Penjiaran, [1947?]. NRLF $B 376 934 Type EXP NRLF for loan details.
27. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Islam sebagai dasar negara : pidato dalam sidang pleno Konstituante pada tanggal 12 Nopember 1957 / Moh. Natsir. Bandung : Pimpinan Fraksi Masjumi dalam Konstituante, 1957. NRLF B 3 643 264 Type EXP NRLF for loan details.
28. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Islam sebagai ideologie. Cet. 2. Djakarta : Pustaka Aida, [1950]. UCB Main BP161 .N27 1950
29. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Kubu pertahanan mental dari abad keabad / [oleh] M. Natsir. Surabaja, DDII Perwakilan Djatim [1970]. NRLF $B 779 218 Type EXP NRLF for loan details.
30. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Membangun diantara tumpukan puing dan pertumbuhan : keterangan pemerintah diutjapkan dimuka sidang Dewan Perwakilan Rakjat Sementara di Djakarta pada tanggal 10 Oktober, 1950. [Djakarta] : Kementerian Penerangan, [1950?]. NRLF B 3 810 542 Type EXP NRLF for loan details. NRLF B 3 810 542 Type EXP NRLF for loan details.
31. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Oposisi membangun demokrasi : pemandangan umum babak II di Dewan Perwakilan Rakjat 6 September 1953 / oleh Mohammad Natsir. Djakarta : Penerangan Sekr. P. P. Masjumi, [1953]. NRLF $B 588 610 Type EXP NRLF for loan details.
32. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Persatuan agama dengan negara; M. Natsir versus Soekarno, oleh M. Natsir. Tjet. 2. Padang, Jajasan Pendidikan Islam, 1968. NRLF $B 8 284 Type EXP NRLF for loan details.
33. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Pidato ketua umum P.P. Masjumi Mohammad Natsir dalum pemandangan umum babak ke-I di Dewan Perwakilan Rakjat, 28 Agustus 1953. [Djakarta, Penerangan Sekr. P.P. Masjumi, 1953?]. UCB Main DS644 .N3531
34. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Revolusi Indonesia. Bandung : Pustaka Djihad, [1955]. UCB Main DS644 .N354 1955
35. Natsir, M. (Mohammad), 1908-
Some observations concerning the role of Islam in national and international affairs; an address originally made before the Pakistan Institute of World Affairs with subsequent elucidatory additions. Ithaca, Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954. Series title: Data paper (Cornell University. Southeast Asia Program) ; no. 16. UCB Main BP173.6 .N3 UCB Moffitt BP173.6 .N3 UCLA URL DS 503 C81 no.16 UCR Rivera BP173.6 .N3 1976
36. Natsir, M. (Mohammad), 1908- Tindjauan hidup / oleh M. Natsir. Djarta : Widjaya, 1957. NRLF B 3 885 180 Type EXP NRLF for loan details.
37. Natsir, M. (Muhammad) Some observations concerning the role of Islam in national and international affairs : an address originally made before the Pakistan Institute of World Affairs with subsequent elucidatory additions /... Ithaca, N.Y. : Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastern Studies,Cornell University, 1954. Series title: Data paper (Cornell University. Southeast Asia Program) ; no. 16. UCSC McHenry DS503.4.C67D3 no.16
38. Nessa, M. Natsir. Studi pendahuluan terhadap sistem pertambakan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan / oleh M. Natsir Nessa. [Ujung Pandang] : Proyek Penelitian, Universitas Hasanuddin, 1981/1982 [i.e. 1982]. CRL GenCollec FICHE 86/81044 Type EXPLAIN CRL for loan details.
39. Wanita Islam Indonesia dalam kajian tekstual dan kontekstual : kumpulan makalah seminar / di bawah redaksi, Lies M. Marcoes-Natsir, Johan Hendrik Meuleman. Jakarta : INIS, 1993. Series title: Seri INIS ; 18. UCB Main HQ1170 .W36 1993
40. Natsir, M., 1908-1993. Basa Soenda ; panoengtoen pikeun neroeskeun diadjar basa Soenda [didamel koe] Moechlis [et al.]. Weltevreden Visser, 1921-26. Series title: Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. CRL SE Asian MF-10289 SEAM reel 328 item 14 SEAM Type EXPLAINCRL for loan details.
X____________________________ Sjamsir SjarifIndonesian Translator and Cultural Consultant
The Law of Attraction; Memoar Hasan Al Banna; Menuju Jama'atul Muslimin; Fiqhud Dakwah; Photography;
Computer; Agama; Dakwah; Videografi; Nasheed; Murottal; FREE PALESTINE!Fiqhud-dakwah. Ilmu yang
memahami aspek hukum dan tatacara yang berkaitan dengan dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham
tentang kebenaran Islam “Sedikit-sedikit bid'ah, sedikit-sedikit sesat”, “Mengkafirkan umat Islam selain mereka”,
“Hanya mengambil sikap keras Salaf dan melupakan kelemahlembutan mereka”, “Tidak tahu fiqhud dakwah” dan
berbagai macam tuduhan dusta lainnya. fiqhud dakwah 242 reads Da’wah Training Programme. Page 1 of 4.
FORMS OF DA’WAH by Dr. ZAKIR NAIK 1.a. PENGENALAN · Dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim dan
muslimah di setiap masa. Apalagi pada zaman sekarang, umat Islam tengah menghadapi serangan ganas yang
bertubi (Fiqhud Da'wah). Ramadhan yang dikenal juga dengan syahrul ibadah merupakan bulan untuk memperkuat
hubungan dengan Wali dan Pelindung para da'i. karena seorang da'i sejati adalah seorang abid (seorang yang taat
beribadah) kepada Allah, Fiqhud-dakwah Ilmu yang memahami aspek hukum dan tatacara yang berkaitan dengan
dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham tentang kebenaran Islam akan tetapi mereka juga Buku-buku
bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam
Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan
Kita Kami – kata Rasulullah – diperintahakan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka
masing-masing (M.Natsir : “Fiqhud Dakwah”, 1981:162). Sudah sa'atnya dijelaskan secara lugas, gamblang tentang
bahaya rakus, tamak, http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/gul
http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/gul http://www.eramuslim.com/berita/dunia/perancis-denIzzatul
Islam; Arruhul Jadid; Partai Keadilan Sejahtera; Moslem Education; Sholat Subuh Berjamaah di Masjid; P2B PKS;
Laa Tahzan; Fiqhud Dakwah; Sang Murabbi
Fiqhud Dakwah. From: bijan32. Reads: 75 di luar majlis Merasai pertolongan dan keperihatinan ahli Meningkat amal-
amal dakwah Selamat Datang Di Media Online Jurnal Dakwah STID Mohammad Natsir Jakarta, Sekertariat Salah
satunya adalah apa yang ditulis oleh M. Natsir melalui bukunya “Fiqhud Da’wah”
Rokhman, Saeful, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh tanggal 17 Mei 2010.
http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-terhadap-buku-fiqhud-dawah.html. Tamam, Badru, Konsep
Pendidikan Mohammad Natsir.
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak
Maka, inspirasi besarnya adalah, mulai saat ini, seluruh kru dakwah segera meningkatkan kapasitas diri dengan
menghadirkan multikompetensi yang diperlukan bagi dakwah, seperti fiqhud dakwah, teknik komunikasi, leadership,
dll. Perumusan fiqhud dakwah kampus amatlah penting. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan perilaku para rijalud
dakwah di kampus. Kesalahan, kerancuan, kedangkalan, dan kesempitan pemahaman akan berakibat fatal pada
wajah dakwah kampus. Fiqhud Dakwah) memaparkan beberapa kaidah-kaidah dakwah berdasarkan pada Ushul
Fiqh. 1. Memberi keteladanan sebelum berdakwah 2. Mengikat hati sebelum menjelaskan 3. Mengenalkan sebelum
memberi beban 4. Bertahap dalam pembebanan Harus dirumuskan sebuah paket standard dalam bentuk modul atau
diktat yang menjadi tolak ukur bagi peningkatan sumber daya manusia para rijalud dakwah. Paket tersebut meliputi
Manhaj Dakwah Kampus, tarbiyah ruhiyah, fiqhud dakwah, Fiqhud-dakwah. Ilmu yang memahami aspek hukum dan
tatacara yang berkaitan dengan dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham tentang kebenaran Islam akan
tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan
Muhammad Natsir, Mujahid Dakwah dan Politikus
“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan
pidato Muhammad Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. Muhammad Natsir
adalah tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan
segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan
melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam.Hingga riwayat hidupnya tercatat
dalam buku “Mereka yang telah pergi, Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam
Kontemporer”.
Muhammad Natsir lahir pada tanggal 16 Juli 1908 di Maninjau Sumatera Barat. Ia dibesarkan
di keluarga agamis, ayahnya seorang ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini
sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Ia belajar di sekolah agama dan negeri.
Mendapat ijazah perguruan tinggi terbiyah
Bandung, Mendapat gelar Doktor Honoris Causal fari Universitas Islam Indonesia (dulu
Sekolah Tinggi Islam), Yogyakarta. Pada masa pendudukan Belanda aktif pada dunia
pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada Direktorat Pendidikan di Jakarta.
Tahun 1945, Dr. Muhammad Hatta, wakil Presiden RI setelah kemerdekaan, memintanya
membantu melawan penjajah. Kemudian ia menjadi anggota Majelis permusyawaratan
Rakyat Sumatera. Tahun 1946, ia mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Ia juga menjabat Menteri Penerangan Selama empat tahun.
Perjuangan Muhammad Natsir
Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir
menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan
ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus
menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan
dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi
dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957.
Pidatonya yang berjudul :
“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.”
yang disampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya
pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyaakat muslim Indonesia.
Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat
menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat
dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang
serangan mem**** buta yang dilancarkan para antek-antek penjajah dan para kaki tangan
Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan
Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-
anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu
Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI)
untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga
tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama
Muhmmad Natsir.Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut
hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
Manhaj Dakwah Muhammad Natsir
Keluar dari penjara, Muhammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah
Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat,
mengerahkan para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDI terbentuk
di seluruh Indonesia, dan generasi muda dapat mengenyam fikrah Islam yang benar,
memberi pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic
Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam,
serta mendirikan beberapa asosiasi profesional: para insinyur, petani, pekerja dan lain-lain.
Ia juga menjalin hubungan dengan gerakan-geraka Islam Internasional, untuk saling tukar
pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih
menjadi Wakil Ketua Muktmaar Islam Internasiomal di Pakistan.
Kepedulian Muhammad Natsir
Muhammad Natsir sangat seius memperhatikan masalah Palestina. Ia temui tokoh,
pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat
membela Palestina, setelah kekelahan tahun 1967. Siang dan malam Muhammad Natsir
berkunjung ke wilayah di Indonesia untuk urusan dakwah. Rakyat Indonesia mulai
mendekati dai untuk mengenal Islam yang benar. Kesadaran berislam pun merebak
dikalangan mahasiswa dan pelajar, juga menyentuh para intelektual.
Ungkapan-ungkapan Muhammad Natsir
“Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi
individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia
terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan
kemerdekaan.
Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus
mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika
kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai
dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari
kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”
Saat diwawancarai dengan redaktur majalah “Al-Wa’yul ISlami” Kuwait di kediaman
Muhammad Natsir pada tahun 1989, Muhammad Natsir berkata: “Saya tidak takut
masa depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan milik Umat
Islam, jika mereka tetap istiqomah, baik secara pribadi atau
kolektif.” Ketika redaktur bertanya tentnag tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya
dan mempengaruhi perjuangannya, Muhammad natsir menjawab: “Haji Syaikh Muhammad
Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dan Imam Al-Hudhaibi.Sedangtokoh
tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”
Karya-Karya Muhammad Natsir
Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan
dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih
dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas
Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan). Disamping itu masih banyak ceramah, riset,
makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung.
Akhir Hidup
Hamba Allah Muhammad Natsir pulang kerahmatullah pada tanggal 5 Februari 1993 di
Jakarta. Perjalanan hidupnya dalam menegakkan dawah Islam menjadi inspirasi bagi
generasi penerus dakwah di Indonesia. :yihaa:
sumber:
http://dunia.pelajar-islam.or.id/?p=1312
[hr]
Menyusuri Jejak Masa Kecil M Natsir
http://www.padangkini.com/mozaik/?id=16
Sekilas DR. Muhammad Natsir
(mengenang 100th M Natsir)
DR. Muhammad Natsir, atau pak Natsir begitu beliau biasa dipanggil, adalah sosok ulama
pejuang yang komplit. Begitu banyak kisah dan pelajaran yang bisa dituliskan tentang
beliau (Beliau sendiri juga aktif menulis). Tetapi tentu saja kemampuan saya menuliskannya
sangat terbatas. Tapi sayang, kini pak Natsir nyaris diabaikan dan terlupa.
Belakangan pak Natsir diusulkan jadi pahlawan nasional, meskipun tidak jelas kelanjutannya
tetapi Natsir telah jadi pahlawan sebelum diusulkan.
Baiklah untuk lekasnya, simak saja beberapa kiprah berikut jabatan strategis yang pernah
diamanahkan kepadanya.
Diantaranya (tak terurut waktu) :
1. Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
2. Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
3. Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
4. Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda antek-antek penjajah
dan kaki tangan asing.
5. Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
6. Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
7. Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
8. Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
9. Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
10. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
11. Anggota MPRS.
12. Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Dalam pemilu
1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih
suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU
memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi
terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
13. Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi
Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat
kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya.
Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
14. Menteri Penerangan Republik Indonesia.
15. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
16. Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya “Pilih Salah Satu
dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi
anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
17. Anggota Konstituante.
18. Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
19. Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-
cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
20. Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
21. Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk
membangkitkan semangat membela Palestina.
22. Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah
menjadi sekjennya. Natsir adalah pemimpin dunia Islam yang amat dihormati—Sekretaris
Jenderal Rabitah Alam Islami meminta hadirin berdiri saat pak Natsir memasuki ruang
sidang organisasi dunia Islam itu.
23. Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
24. Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
25. Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid
Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.
26. Ketika presiden Soeharto kesulitan menuntaskan konforontasi Indonesia-Malaysia (yang
dimulai presiden Soekarno), berkat bantuan dan jasa hubungan baik Natsir dengan Perdana
Menteri (PM) Tengku Abdul Rahman, Malaysia membuka diri menyelesaikan konfrontasi, dan
Letjen TNI Ali Moertopo, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, diterima/berunding
pejabat Malaysia.
27. Berkat jasa hubungan baik Natsir dengan PM Fukuda juga, pemerintah Jepang bersedia
membantu Indonesia setelah perekonomian negara ambruk di masa Orde Lama dan setelah
pemberontakan G 30 S/PKI.
28. Karena jasa baik dan pengaruh ketokohan DR. Muuhammad Natsir pula, Presiden
Soeharto diterima di negara-negara Timur Tengah dan Dunia Islam. Natsir adalah anak
bangsa Indonesia yang pernah menjadi tokoh Dunia Islam yang begitu dihormati sepanjang
sejarah Indonesia—bahkan sampai sekarang.
Dan masih banyak lagi. Kiprahnya memang tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan.
Ketokohannya tidak hanya dikenal di Indonesia. Tapi juga di dunia Islam. Abdullah Al-’Aqil
dalam bukunya, Min A’lami Al-Harakah wa Ad-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, menulis
biografi singkat DR. Muhammad Natsir (satu-satunya dari Indonesia), beserta 70 tokoh dunia
Islam lainnya dari dari berbagai negara. Diantara tokoh-tokoh itu ada Syaikh Umar Tilmisani,
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Abul A’la Al-maududi, Said Hawwa, Asy-Syahid Sayyid Quthb
dan Abdullah Azam.
Sebuah majalah dari Kuwait pernah bertanya kepada pak Natsir tentang tokoh-tokoh yang
berpengaruh pada diri dan perjuangannya. Jawabnya, “Haji Syaikh Muhammad Amin Al-
Husaini, Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Sedang tokoh-
tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan
dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam
di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon
dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun
1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi
Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.
Natsir memang termasuk tokoh langka. Ini diakui salah satunya George McT Kahin, Guru
Besar Cornell University. “Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada
waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling
camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang
dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan
membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa
pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata Kahin menceritakan
sosok Natsir.
Muhammad Natsir, dalam tulisan lain ada yang menulisnya Mohammad Natsir/Mohd.
Natsir/M. Natsir, adalah putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat
17, Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Natsir adalah orang yang berbicara penuh
sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya.
Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang
menjadi teman bicaranya. Mendapat ijazah perguruan tinggi dari Fakultas Tarbiyah
Bandung. Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta. Ia juga menerima gelar kehormatan akademik dari Universitas kebangsaan
malaysia (UKM). Menjadi Perdana Menteri dalam usia 42 tahun, dan kembali ke haribaan
Ilahi pada 6 Februari 1993 di Jakarta.
Demikian sekelumit catatan. Mudah-mudahan Anda tidak mencukupkan diri mengenal
tokoh-tokoh Islam dari tulisan ini saja. Di tengah aktivitas online, kan Anda dapat
menyisihkan sebagian waktu untuk berburu informasi tentang para pejuang Islam. Masih
begitu banyak nama-nama besar dalam dakwah Islam di Indonesia saja. Belum dari belahan
bumi lainnya. Betul?
sumber:
http://qudrat.multiply.com/journal/item/54
PUISI HAMKA Untuk NATSIR
http://myquran.org/forum/index.php/t...263.0/all.html
Sebuah Pemberontakan tanpa Drama
Hidupnya tak terlalu berwarna. Apalagi penuh kejutan ala kisah Hollywood:perjuangan, petualangan, cinta, perselingkuhan, gaya yang flamboyan,dan akhir yang di luar dugaan, klimaks. Mohammad Natsir menarik karenaia santun, bersih, konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satuteladan yang jarang.
DIA,Mohammad Natsir (17 Juli 1908–6 Februari 1993), orang yang puritan.Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Hidupnya takberwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yangsanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tariksendiri. Karena Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuahlingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemim*pinan terjadi,tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebihbaik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yangberada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikapyang diambil, bersahaja.
Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan danPerjuangan, *Ge*orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yangbersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, berceritatentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu MenteriPenerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuatKahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. "Iamemakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat diantara para pegawai pemerintah mana pun," kata Kahin.
Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelahkelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan
keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontempo*rerkita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Dikalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakankedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapagerahnya Natsir menyaksikan agresivitas *misionaris Kristen di tanahair ini. Dan di kalangan Islam *moderat, dengan politik lupa-ingat yangsama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteridari Partai Masyumi* ini memimpin Dewan Dakwah* Islamiyah; serayamengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belahbangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.
Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologibukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir padadasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalamPemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain,disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainyasemakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, duayang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak diatas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedungparlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketikaitu.
Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno danMohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebihberarti. Waktu itu, pe*ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokannasionalis*me- sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagaibentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalahPembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengankesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.
Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya "bertemu" lagidalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteripenerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilandapertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadiketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluarbuat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yangkemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negarakesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memeliharakehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisamenghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antarasi pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang* anRakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yangterlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yangsemakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapatokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yangmemerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita,akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat,menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu.Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dankawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukungawalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin
yang cenderung otoriter.
Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masaSoekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana danmenandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel "musuh utama"pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisniskeluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kreditbank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke PulauBuru—pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik peng*ikut PKI.Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Parapenanda tangan Petisi 50 dicekal.
Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yangcukup panjang, di balik kelemahlembut* annya, ada kegigihan seorang yangmempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kitasadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, danber*sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang*an. Hari-haribelakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh,bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokohsantun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edi*si ini.__________________“Ke depan, tak boleh ada lagi pemimpin yang mengorbankan anak buahnya”
Lonceng Natsir http://republika.co.id/launcher/view...28/news_id/523
Nama daerah itu makin terlupakan. Sama dengan sosok besar yang dilahirkan di dataran
tinggi nan sejuk di Sumatra Barat ini. Lembah Gumanti kini lebih dikenal sebagai Alahan
Panjang. Di situlah seratus tahun silam, tepatnya 17 Juli 1908, sang pengukir peradaban
Islam itu berasal. Ia Mohammad Natsir.
Tak sedikit tokoh umat yang terinspirasi (atau merasa terinspirasi) oleh Natsir. Tokoh-tokoh
yang pernah melejit sebagai 'intelektual muda Islam', hampir selalu pernah dianggap
sebagai Natsir muda. Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Juga Amien Rais. Anwar Ibrahim dari
Malaysia pun tak luput dari masa dianggap sebagai Natsir muda. Tentu banyak nilai-nilai
Natsir yang diserap para tokoh itu. Tapi, tak semua mampu mengikuti seluruh sisi Natsir.
Ada yang gagal meneladani kesederhanaan dan kerendahatian Natsir. Ada yang kurang
sesabar sosok ini.
Natsir juga bukan sosok yang selalu sabar. Sesekali ia juga masih tampak marah. Tetapi,
dalam konteks membangun umat dan bangsa, ia seorang pendakwah sejati. Seorang yang
selalu berpegang pada prinsip-prinsip kesantunan dan kesabaran dalam melangkah. Prinsip
itu selalu dijaganya. Dengan kesantunan dan kesabaran ia jaga keutuhan bangsa dan umat
ini. Baginya, bangsa dan umat bagai dua sisi berbeda dari keping mata uang yang sama.
Langkah-langkahnya hampir selalu diperuntukkan bagi bangsa dan umat sekaligus.
Natsir sempat berpolemik panjang dengan Soekarno soal landasan bernegara. Tentu ia juga
berseberangan aliran dengan Kasimo yang Katolik. Tapi, buat Indonesia yang mayoritas
penduduknya Muslim ini, ia duduk dan berbagi pandang dengan mereka. Ketika bangsa ini
terancam terbelah-belah, Natsir mengajukan 'mosi' yang mengukuhkan kesatuan Indonesia
sebagai republik. Langkah yang sangat menguntungkan Soekarno dalam memimpin. Natsir
pun tak risau ketika tak lama kemudian Soekarno seperti tak mengingat jasanya. Bahkan,
menjebloskannya ke tahanan.
Hal serupa terjadi semasa Soeharto. Ia telah membantu Soeharto menata kembali negeri ini
setelah carut-marut G30S/PKI. Setidaknya dialah yang menjadi kunci pembukaan hubungan
kembali dengan Malaysia. Tapi, ia mendapat perlakuan yang tak semestinya ia dapatkan
sebagai negarawan. Buat Natsir itu bukan soal. Ia berbuat dan berbuat semata untuk
kebaikan bangsa dan negara. Bukan buat kegagahan, kekuasaan, dan harta sebagaimana
kebanyakan kita. Ia, sekali lagi, seorang pendakwah sejati. Seorang yang mensyukuri setiap
keadaan yang dihadapinya. Seberapa pun buruk keadaan itu. Ia akan antusias
memperbaikinya. Ia seorang yang akan melihat gelas yang separuhnya berisi air sebagai
'setengah penuh'. Bukan 'setengah kosong'.
Dalam berpolitik untuk umat, Natsir telah mengukir karya yang hingga sekarang belum ada
tandingannya. Baginya, keislaman akan selalu berjalan seiring dengan intelektualitas,
profesionalitas. Partai Masyumi yang dibangunnya adalah representasi cara pandang itu.
Baginya, berpartai bukan buat kedudukan dan harta. Berpartai adalah buat
memperjuangkan nilai-nilai kabangsaan dan keislaman yang mencakup intelektualitas-
profesionalitas. Ini sisi lemah bangsa dan umat ini, hingga tertinggal dari bangsa lain.
Banyak tokoh bangsa dan umat kita saat ini yang lemah dalam intelektualitas. Apalagi
profesionalitas. Padahal, tak akan ada bangsa dan umat yang dapat maju tanpa itu.
Lima belas tahun silam sang pribadi itu meninggalkan hiruk-pikuk dunia ini untuk
menghadap-Nya. Seabad kelahirannya sekarang seperti lonceng yang mengingatkan:
tidakkah ini saat tepat buat merenung sejenak, belajar dari Natsir.
__________________
http://hmasoed.wordpress.com/2008/04/16/amar-makruf-nahi-munkar/Amar Makruf Nahi Munkar Posted April 16, 2008 by Buya Masoed Abidin in Buku Buya, Dakwah Komprehensif, Masyarakat Adat, Mohamad Natsir, Pesan Pesan Dakwah Mohamad Natsir.
Pesan Pesan Dakwah Mohamad Natsir
Amar Makruf Nahi Munkar
Oleh : H Mas’oed AbidinDewan Dakwah mengutamakan amar makruf nahi munkar berbentuk reaksi, sosial kontrol sering pula dengan kepeloporan.Ditujukan terhadap hal hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, disikapi secara reaktif bil-hikmah.Artinya, Dewan Dakwah selalu mendukung pemikiran pemikiran baru jika bermanfaat dan tidak membingungkan umat, apalagi sampai menggoyang Aqidah.Maka wajar saja, jika di samping kegiatan sosial, Dewan Dakwah juga mengikuti perkembangan politik, terutama yang berkaitan dengan agama.Para pemimpin yang menggerakkan Dewan Dakwah sangat arif dalam membaca arus yang tengah berkembang.Baik arus politik maupun sosial budaya.Persepsi dan image buruk terhadap partai politik yang terbentuk pada zaman Orde Lama sebagai penyebab instabilitas semakin kental di zaman Orde Baru.Persepsi tersebut telah dijadikan senjata propaganda sistematis untuk meminggirkan peran partai dalam percaturan politik nasional.Sebagai gantinya penguasa dan meliter menjadikan Golkar sebagai mesin politik baru, yang sepanjang sejarah Orde Baru tidak mau menyebut dirinya partai.
Upaya peminggiran partai ini diawali ketika Pemerintah mengajukan 3 Rancangan Undang-undang politik yaitu RUU tentang partai politik, RUU sistem Pemilu dan RUU politik dalam legislatif.Menyadari besarnya ancaman ketiga RUU itu terhadap eksistensi partai, anggota DPR waktu itu berusaha menggagalkan usaha pemerintah ini.Namun tanpa sepengetahuan mereka, pada bulan Juli 1967, Soeharto melakukan negosiasi politik dengan para pimpinan partai yang hasilnya dikemudian hari dikenal dengan “konsesus nasional”.Pertama, pemilihan akan dilaksanakan dengan sistem list (daftar) sebagaimana yang dikehendaki pimpinan partai.Kedua, keanggotaan DPR diperbesar dari 347 orang menjadi 460 orang.Ketiga, pemerintah berhak mengangkat 100 orang anggota DPR (75 mewakili kepentingan militer dan 25 mewakili kepentingan sipil non partai).Dan mengangkat sepertiga anggota MPR.Keempat, anggota ABRI melepaskan hak pilih mereka dalam pemilihan umum.Konsesus yang mengubah peta politik parle-menter Indonesia ini meski jelas merugikan partai.Sungguhpun begitu, tetap diterima oleh sebahagian para pimpinan partai karena mereka optimis akan memenangkan pemilihan umum.Konsesus ini telah menimbulkan kemarahan banyak para politisi partai di DPR. Akibatnya, selama tahun 1967-1968 Soeharto mengeluarkan mereka dari legislatif dan menggantikannya dengan orang-orang-nya.Masih dalam rangka melumpuhkan partai, keluarlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1970 yang intinya melarang pegawai negeri menjadi anggota partai politik.Dan menetapkan pegawai-pegawai negeri harus memiliki monoloyalitas (kesetiaan tunggal) kepada pemerintah.Dalam hal ini memilih Golkar.Mereka yang bersikeras menjadi anggota Partai Politik, apalagi menjadi pengurusnya, harus rela keluar sebagai pegawai negeri.Arus mencemaskan di bidang budaya berupa derasnya kebangkitan nativisme yakni kepercayaan dan anutan anutan yang dianggap dari nenek moyang yang dilestarikan secara turun temurun.Kebangkitan kepercayaan dan pelestarian anutan nenek-moyang ini, yang bila dilihat bertolak belakang dengan ketentuan ayat-1 dari pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ternyata mempunyai korelasi dengan proses sekularisasi atau spatialisasi pada kehidupan kemasyarakatan.Proses modernisasi dibarengi dengan industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, secara besar besaran membawa perubahan sangat berarti dalam semua dampak sosio politiknya.Telah menyebabkan makin cairnya pandangan ideologis umat dan bangsa.Masyarakat industri, memang memiliki kecenderungan untuk mengalami sekularisasi.Suatu upaya, yang memisahkan sektor sektor sosial budaya dari dominasi agama.Sekularisasi yang berpangkal dari faham sekularisme materialisme berkembang lebih cepat pada ma¬syarakat indusri.Sekularisme cenderung untuk meniadakan peranan agama.Sekalipun kemungkinan bahwa agama sekedar mempunyai tempat dan kotak, berupa spatialisai agama, hanya memerani bidang “Rohaniah”.Namun katanya sangat impoten sangat berperan dalam bidang kemasyarakatan yang lain.Suatu kekhawatiran terbesar umat Islam dan bangsa Indonesia masa kini dan mendatang, adalah timbulnya masyarakat yang dikotakkan kedalam kelas kelas, berdasar kepentingan dan penguasaan ekonomi yang berbeda.Dan, mungkin sekali saling bertentangan.Kecenderungan kearah pengkelasan dalam masyarakat terlihat semakin meningkat pada tiga dasawarsa terakhir.
Berakibat kepada beban dakwah umat Islam menjadi semakin berat.Dakwah Islam tidak semata harus menghadapi pemudaran dan pendangkalan nilai nilai agama.Tetapi, dipaksa mesti juga berhadapan dengan fragmentasi sosial ke dalam kelas kelas ekonomi, pemilikan, dan materi.Kebijakan perjuangan Islam menjadi bersifat ganda.Di satu pihak, umat Islam mempunyai tugas nasional.Mencegah pengkelasan masyar¬akat yang diakibatkan oleh sistem politik yang pragmatis.Menerapkan secara aktual ekonomi berbasis kerakyatan.Di lain pihak, umat Islam ingin mencegah sekularisasi.Tugas ganda ini bertumpu pada keyakinan bahwa Islam sebagai agama dan pandangan hidup, harus mencegah pengkelasan masyarakat.Pengkelasan masyarakat secara pasti mengarah dan berdampak kepada sekularisasi kehidupan.Arus dari aliran spiritualisme nativisme sampai batas tertentu mempunyai raison d’etre.Berhubung masyarakat industri selalu mempunyai ke cenderungan alienasi, yang diduganya dapat di tolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi psikologis.Spritualisme dianggap sampah masyarakat perasaan tidak aman warga masyarakat Industrial.Lahir pula masyarakat dengan ilmu yang banyak diatas alas keimanan yang tipis. Too much science, too little faith.Usaha yang perlu dijalankan untuk mengatasi gejala sekularisme dan nativisme dapat bersifat teoritik dan empirik.Menghadapi sekularisme, secara teoritik Islam sudah mempunyai khasanah pustaka yang cukup luas.Tinggal memasyarakatkannya, dan mengaktualisasikannya.Dengan demikian garis besar upaya mencegah sekularisme ialah pengintregasian ilmu ilmu secara teoritk dalam sistem keagamaan.Secara empirik, penanggulangan sekularisme adalah pengintregasian sistem budaya dalam sistem sosial dengan ajaran agama.Tugas dakwah dalam menghadapi sekularisme menjadi sangat penting.Nativisme, dapat dihadapi dengan ketinggian spiritualisme Islam.Maka, secara teoritik sebenarnya, ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasinya.Dalam menghadapi sekularisme dan nativisme, persoalan yang tersulit adalah masalah kelem bagaan.Senyatanya umat Islam cukup memiliki berbagai sumber daya, lembaga dan sumber ideologis bila mau berpedoman dari Risalah agama.Masalahnya kini adalah usaha berketerusan memanfaatkan dan mengarahkan dakwah di bidang sosial budaya.Guna menahan arus sekularisme.Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan terhadap “warisan nenek moyang”.Ditopang kesederhanaan berfikir.Sama sekali bukan dikarenakan sifat sifat tercela yang membuat mereka terjauh dari cahaya ilahi (Aqidah tauhid).Tidak semua warisan nenek moyang mesti ditinggalkan, ada yang masih bisa dipakai selama tidak berten¬tangan dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang yang sesuai dengan Islam dapat dilestarikan.Bahkan dapat dikembangkan secara baik baik, mengharapkan kembali ruhul Islam.Persoalan sekularisme dan nativisme menjadi makin kompleks, karena adanya jalinan kerjasama antara dua kekuatan sosial budaya.Kerjasama ini terjadi karena mereka mempunyai kepentingan yang sama.Keuntungan politik yang diperoleh nativisme selama ini, mempunyai latar belakang sosial dan sejarah.
Nativisme kebanyakan didukung oleh kebanyakan keturunan para priyayi (aristokrat), yang kemudian menjadi birokrat.Secara historis pernah dalam masa yang panjang telah mempunyai jarak dengan budaya Islam.Melalui dakwah yang intensif akan terpintal tali jarak sosial antara priyayi dan santri yang semakin dekat.Kondisi ini dapat diharapkan membawa perkembangan sejarah sendiri.Pada ujungnya akan cenderung untuk menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme.Proses yang natural ini, akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu, berakhir.Proses sejarah ini bisa dipercepat, dengan dakwah yang lebih intensif.Karena itu perlu di tumbuhkan potensi umat.Unsur-unsur yang ingin memojokkan umat Islam kini sedang bekerja keras. Kekuatan-kekuatan asingpun telah bermain.Kita harus memperhatikan berbagai kegiatan yang ingin memojokkan umat Islam dengan cermat dan teliti.Sehingga, maksud mereka yang sebenarnya jangan sempat terbuka lebar.Jangan sampai terulang peristiwa masa lalu yang menyakitkan.Mereka yang “bermain,” kita sama kita sesama antara umat Islam dengan penguasa menjadi jauh.Dan akhirnya bukan saja kehidupan berbangsa terganggu, bahkan integrasi bangsa pun terancam.Tanda-tanda disintegrasi bangsa sudah mulai ada yang melihatnya.
Mengawal Posisi Umat, Pesan Pesan Dakwah Mohamad Natsir
akwah Mohamad Natsir Mengawal Posisi UmatPEMBINAAN DAN PEMBELAANGerakan Dakwah sadar ada kewajiban untuk melanjutkan tugas risalah Islamiyah yang dibawa Rasulullah SAW. Melalui kewajiban dakwah dikandung tujuan mulia. Menciptakan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘alamin). Sudah menjadi tabi’at pembawaan, setiap risalah pasti menghadapi tantangan.Dalam menghadapi tantangan perlu kesiapan untuk bisa memberikan jawaban sewaktu-waktu. Karena itu tugas dakwah senantiasa mengandung dua sisi yang krusial dan penting, bina’an wa difa’an, membina dan mempertahankan. Membina yang sudah muslim sejak lahir, atau yang baru masuk Islam adalah tugas Dakwah Islamiyah.Membela Islam dan umatnya dari mereka yang tidak senang melihat kemajuan umat Islam atau yang melihat Islam sebagai rivalnya.Dakwah Islam berpedoman kepada Risalah Rasulullah menuntut adanya gerakan berkesinambungan. Pada gilirannya pula perlu pengorganisasian gerak.Suatu gagasan bisa diwujudkan secara nyata (aktual) hanyalah karena adanya nidzam yang terang dan teratur rapi. Nidzam ini merupakan perangkat utama dalam rangkaian harakah dakwah ilaa Allah.Mohamad Natsir mengingatkan, bila organisasi cara modern belum mampu diwujudkan, langkah pertama mesti dijaga adalah “berupaya mengokohkan dan selalu meningkatkan persaudaraan”.
Kunci keberhasilan terletak pada upaya bersama, “membulatkan persaudaraan” itu.Usaha ini menjadi gerakan antisipatif terhadap arus globalisasi negatif di abad sekarang.Penyatuan gerak dan program terpadu wajib dibangun dengan koordinasi.Seiring perkembangan zaman, kajian-kajian terus menerus dan komprehensif mesti dihidupkan. Mencetak tenaga-tenaga muda yang cerdas, berkemauan kuat, ihklas dan trampil, mesti segera dilakukan dalam program kadernisasi.Menghidupkan gerakan masyarakat bersama (Social Movement) dalam bentuk Forum Kerjasama Umat menjadi sangat strategis. Dari sini dapat dicanangkan kesadaran menghapus kemaksiatan dan berlomba menjadikan negeri bersih melalui bimbingan dakwah agar umat berperangai mulia terpuji dan selalu memelihara nilai-nilai Islami.Pembinaan kerjasama dengan lembaga dakwah yang ada dalam memerangi kemiskinan, dan bahaya pemurtadan, menjadi salah satu tuntutan di zaman ini. Perlu ada pusat pengumpul dan penjaji informasi tentang bahaya dan perusakan nilai-nilai akidah dan budaya yang terjadi di daerah-daerah.Suatu kemestian membentuk Litbang Dakwah yang memberikan saran-saran positif mendukung gerakan mendidik umat bersatu mewujudkan kesepakatan dalam ;• Pemantauan upaya-upaya permutadan.• Antisipasi terhadap ajaran sesat.• Mensosialisasikan hasil-hasil pertemuan.• Mengukuhkan fatwa agama Islam kepada seluruh masyarakat dan pemerintah.• Mempertegas hubungan mekanisme kerja lembaga-lembaga dakwah yang ada.• Mendukung dan memberi saran untuk pembangunan kehidupan bernegara secara holistik dalam panduan syariat Islam.• Menyiapkan konsep-konsep kotbah, sharing informasi pembangunan akhlak umat.• Berupaya dengan semua pihak untuk menutup peluang tumbuhnya prilaku maksiat dalam bentuk apapun pada kehidupan generasi muda di tanah air.Di sini terletak kekuatan meraih kemenangan. Perlu diingat bahwa, kemenangan adalah kelanjutan dan buah dari jihad.Seperti beras menjadi buahnya batang padi. Tentu akan mustahil bila tiada orang menanam padi akan bisa saja ditemukan beras.Mustahil pula manusia yang tidak mau berjihad, akan mendapatkan saja kemenangan.Umat mesti digerakkan untuk menyingsingkan lengan baju. Bekerja sungguh-sungguh. Merampungkan sekian banyak bengkalai yang belum jadi.Permulaan jihad adalah menghapus enggan dan lalai.Firman Allah memerintahkan untuk, ” Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS.22,Al-Hajj, 78 )Dakwah bergerak dalam kerangka jihad fii-sabilillah dengan menghidupkan giat dan sabar untuk memikul tugas kewajiban. Dari sini lahir tuntutan perlunya berorganisasi agar dapat menyalakan semangat berjihad.
Secara umum, institusi berjamaah dalam kalangan umat Islam Indonesia telah berkembang lama dalambentuk organisasi formal dan non formal.Organisasi formal jelas strukturnya. Eksistensi formal organisasi dan statusnya diakui oleh berbagai kalangan dalam dan di luar organisasi itu. Kegiatan utama himpunan anggo¬tanya, dapat berciri vertikal atau horisontal, integral atau sektoral.Organisasi non formal, terlihat pada ikatan jamaah anggotanya yang bersifat tidak formal yang terbentuk karena kesatuan idea atau kesamaan kegiatan.Dok.HMA.PARA DU’AT, IMAM KHATIB DAN PEMUKA MASYARAKAT TEKUN MENDENGAR TAUSHIYAH BAPAK MOHAMAD NATSIR DI ISLAMIC CENTER PADANG .Kepemimpinan lebih bersifat fungsional. Jamaah dan anggotanya bersifat terbuka, heterogen dan non afilia¬tif.Di antara anggotanya ada yang eksplisit sebagai jamaah masjid, jamaah kampus, jamaah pengajian, majlis ta’lim. Walau tidak sebagai jamaah, kegiatannya masih Islami, seperti kegiatan sosial ekonomi, arisan, koperasi, paguyuban, budaya dan seni, yang tetap dijiwai ajaran Islam.Keadaan organisasi Islam non formal, seperti jamaah mesjid tersebut tumbuh dengan sifat amat heterogen. Tampak pada jamaahnya bercampur beragam dalam umur, tidak tua dan muda, tidak pula kepada tingkat pengetahuan. Berbaur antara awam dan intelektual. Hubungan-hubungan berdasar ikatan paternalistik yang sering menyebabkan ikatannya dirasakan longgar.Syarat utama menjadi muslim yang baik adalah bermanfaat terhadap orang lain.Seluruh makhluk hakikatnya adalah keluarga Allah, yang disayangi Allah adalah yang bermanfaat sesama.( ) . داود أبو رواه eءg ما الس� فeي kنgم hالله hمh حgمkك kرg ي eضkر
g األ فeي kنgم حgمhوkا kار ، hنgمkح الر� hمhهhمgح kرg ي gنkوhمeاح الر�Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah penduduk bumi agar yang di langit ikut pula menyayangimu. (HR.Abu Daud).Perlu diingat, yang paling banyak diperhatikan umat hanya yang paling banyak memperhatikan kepentingan umatnya itu.Konsekwensinya, setiap da’i harus siap untuk menerima segala cobaan dari Allah dalam menjaga umatnya.” Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”. (QS.12,Yusuf:109).Masyarakat dan lingkungan adalah satunya lapangan operasinya para da’i, tempat berdakwah sepanjang hidup.Pentingnya organisasi sebagai alat perjuangan terbukti dalam lintasan sejarah.Juga dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia secara sahih.Perjuangan bangsa Indonesia diwarnai pergerakan organisasi kemasyarakatan. Baik itu di bidang politik dan non politik. (Tulisan ini bagian dari Pesan Pesan Dakwah Mohamad Natsir, Dakwah Komprehensif, dihimpun H.Mas’oed Abidin, [email protected])
Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957, setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante:KutipNatsir mengupas tuntas kelemahan sekularisme, yang dia katakan sebagai paham tanpa agama, atau la diiniyah. Sekularisme, kata Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan. ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka,” ujar Natsir.
Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar
menjadikan Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, ”Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh
akal . Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”
Puisi Hamka untuk NATSIR ...
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu .......!
Mohammad Natsir : Berdakwah Di Jalur Politik, Berpolitik Di Jalur Dakwah
ISBN: 9789834442903
Author: WADAH & KUIS
Publisher: WADAH & KUIS
Year: 2009
No of Pages: 147
Product ID: 387
"Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri, namun demikian dia adalah seorang yang amat cekap dan
penuh kejujuran; jadi kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya
berbicara dengannya."
Haji Agus Salim
"Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan
umat Islam Indonesia, Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah "demokrasi
konstitusional" di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam
dan demokrasi itu tidak akan timbul."
Anwar Ibrahim
"Izinkanlah kami anak-anak yang ingin belajar berjuang, untuk ikut menumpang berteduh di bawah naungan
kepimpinan Bapak. Alangkah bahagianya, andainya kami, anak-anak yang mendambakan kasha sayang orang tua,
juga diizinkan untuk ikut memiliki Bapak."
Siddiq Fadzil
Price: MYR 35.00
EMINAR SERANTAU MEMPERINGATI 100 TAHUN PAHLAWAN NASIONAL
BAPAK MOHAMAD NATSIR
SABTU 10 JANUARI 2009
PKK, KUIS, BANGI, SELANGOR
ANJURAN WADAH & KUIS
Wadah Pencerdasan Umat Malaysia (WADAH) (1947-05-7)No 8, Jalan Surada Satu, Taman
Desa Surada43650 Bandar Baru BangiSelangor Darul Ehsan (Tel) 603-8925 2344(Fax) 603-
8922 2561Mel-e : [email protected]
Biografi Bapak Mohammad Natsir ; Menyuarakan Nurani Umat
Bumi Minangkabau, tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Panjang, negeri dingin di
balik Gunung Talang Solok menjadi saksi kelahiran Pembawa Hati Nurani Ummat, tokoh
yang kemudian mendunia, pemikir dan pemimpin politik.
Mohamad Natsir, pada 17 Juli 1908. Putra Sutan Sari Pado dan Khadijah yang kemudian
menjadi tokoh nasional bahkan aset internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial
budaya, ilmu pengetahuan, keteladanan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian ilmiah
dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta disertasi para doktor
berbagai disiplin ilmu .
Masa kanak-kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh besar pembaharu
dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah Belanda, Bapak Mohamad Natsir
kecil dengan tekun mengikuti gebrakan para tokoh besar di negerinya. Dari usia delapan
tahun (1916) sampai 15 tahun (1923) Bapak Mohamad Natsir remaja menggali kekayaan
para ulama itu di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok.
Bapak Mohamad Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan
pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidikan Belanda, beliau
melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Bandung. Kesempatan tersebut membawa beliau
berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang
membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola
majalah "Pembela Islam" sampai tahun 1932.
Bapak Mohamad Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah-sekolah
Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung dalam kajian
Kesusastraan Barat Klasik. Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa
untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih tinggi. Namun beliau
memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama
yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial keagamaan.
Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan
lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan
Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932-1942. Keluasan
wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing
sebagai alat untuk menggali buku-buku tokoh kelas dunia. Bapak Mohamad Natsir mulai
berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi anggota PII (Partai Islam
Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin organisasi yang terkenal radikal untuk bumi
pancasila.
Majelis Al Islam A'la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan
dalam masa penjajahan Jepang ( 1942-1945) sesepuh dari berbagai kalangan ini masih
sempat jadi kepala bagian di Pemerintahan Daerah Bandung sekaligus merangkap
sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
Di samping itu, saat Pemerintah Jepang berkuasa di negeri Ini, terbentuklah Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin
menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada
tahun 1945-1946 dan menjabat anggota DPR Sementara di tahun 1948 menjabat sebagai
Menteri Penerangan. Karier politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri
Penerangan Republik Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan
untuk tetap mempertahankan bentuk Republik sesuai dengan amana Proklamasi 1945, pada
tahun 1950-an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang mengantarkan dia menjadi
Perdana Menteri pada usia 42 tahun. Kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut
setelah bergesekan dengan dinding kekuasaan Demokrasi Terpimpin, yang menjadikan
angin segar bagi Komunis pada saat itu.
Di tengah gelombang politik yang semakin menggelora, Moh. Natsir berada di "tengah-
tengah arus" oposan yang digalang oleh para Panglima militer di berbagai daerah dengan
wujud PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di
barisan oposisi ini, konflik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan senjata tidak
bisa dihindari. Dengan "dalih" tuduhan subversif, Bapak Mohamad Natsir terpaksa
meringkuk di belakang terali besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan di Batu Malang
Jawa Timur. Status sebagai tahanan politik berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer
(RTM), Jakarta.
Bapak Mohamad Natsir menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari
kursi kepresidenannya. Sebagai seorang panutan umat, ia selalu tampil untuk menyuarakan
nurani umat, kendatipun kadang-kadang dengan mempergunakan nama samaran. Dengan
menggunakan nama samaran Moechlis di majalah "Pembela Islam" awal tahun 1930an. Ia
tampil meneriakkan berbagai masalah umat yang berkaitan dengan hubungan inter dan
antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai dilema yang tersentuh
oleh realitas yang kadang-kadang sempat menyentuh hal-hal sensitif sehingga ia harus
berhadapan dengan pemegang kekuasaan.
Sejak tahun 1967, di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sampai
akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan aktivis dakwah tidak hanya
bergema di negeri tercinta ini akan tetapi menjulang tinggi dalam harokah (pergerakan)
Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League Makkah (1969-1993), berkiprah di
Majlis A'la Al Alamy li Masjid di Makkah kemudian menjabat wakil presiden World Moeslim
Congress (Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967-1993). Juga ikut membidani The
International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan Oxford Center For Islamic Studies di
Inggris.
Sebelum melambaikan tangan selamat tinggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, tokoh
kawakan ini masih sempat meninggalkan jejak perjuangan berupa khazanah intlektual dan
buku-buku yang bernuansa dakwah seperti Fiqhud Dakwah, Islam dan Akal Merdeka, Fungsi
Dakwah Perjuangan, Tugas Ulama, Kapita Selecta dan masih banyak lainnya.
Mohamad Natsir memang punya peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah
bangsa dan negara ini.
berdakwah di jalur politik, berpolitik di jalur dakwah
M. Natsir, Mohd Asri Abdul, Mohd Halimi Abdul Hamid, Rahmah Hashim, Wadah Pencerdasan Umat
Malaysia, Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor
Bersama Wadah Pencerdasan Umat Malaysia (WADAH) [dan] Kolej Universiti Islam Antarabangsa
Selangor (KUIS), 2009 - 122 pages
Mohammad Natsir, an Indonesian Muslim scholar and former Prime Minister and his role in politics and
Islamic propagation; festschrift in honor of his 100th anniversary.
100 years commemorating Bapak Muhammad Natsir
Jan 10, 2009Muhammad Natsir was born on July 17, 1908 in Alahan Panjang, West Sumatra, Indonesia. His father worked as a Dutch Indies government employee and the grandfather was reknown ulama in his hometown. His parents descended from Maninjau, part of Minangkabau ethnic group.At an early age, Natsir received two education system. Western system in HIS Solok and Islamic system in his secondary school in Pesantren that was lead by Haji Rasul followers. On 1923, Natsir received the scholarship from MULO, Padang, and completed his formal education in AMS, Bandung. Apart from that he has risen to be the Prime Minister of Indonesia from 5th September 1950 to April 26, 1951. There has never been any event commemorating 100 years of any personalities in Indonesia attended by so many participants as what happened in the Convention Centre of International College University Islam Selangor in Bangi on Jan 10, 2009.Mohamad Natsir as an Indonesia hero fighting independence and struggle for the enhancement of Indonesian people liberising their minds and provide the way for peaceful transition from the Dutch colonial masters.The opening speech was made by Tan Sri Khalid Ibrahim, the Chief Minister of Selangor and the Key Note Address was given by Dato’ Sri Anwar Ibrahim, representing the Malaysian people and was a personal friend of Bapak Muhammad Natsir. He then launch the book
BERDAKWAH DIJALUR POLITIK, BERPOLITIK DI JALUR DAKWAH
Among the attendees were his daughter Ibu Asma Faridah Saleh, Prof Dr Redzuan Othman as the moderator, Dato’ Dr. Siddik Fadhil with other speakers like Prof Dr Laode, M Kamaluddin, Chris Siner Key Timu, Prof Madya Muhammad Nur Manuti, Syuhada Bahari, Prof Dr Mohd Kamal Hassan, Dr, Gamal Abdul Nasir Hj Zakaria from Brunei.insanMaya Sdn Bhd contributed the Multimedia presentation for the launching after the book was launched. It reflects a 3-4 minutes multimedia clip depicting the history of Pak Natsir since his early ages running through a wall of time chart moving with a pure Indonesian traditional music as background
M. Natsir, dakwah dan pemikirannya [Unknown Binding]
Thohir Luth (Author)
thoughts of M. Natsir on politics and Islam in Indonesia.
Product Details Unknown Binding: 164 pages
Publisher: Gema Insani; Cet. 1 edition (1999)