Upload
dinhkien
View
227
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
NEGARA ISLAMDI JAWA
1500-1700
NEGARA ISLAMDI JAWA
1500-1700
K. Subroto
Laporan Khusus Edisi 4 / Maret 2017
Gambar cover:
Peta Pulau Jawa Kuno Pertama “Iava Maior”, Karya Barent Langenes 1612
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Muqaddimah — 7
Episode Pertama — 10
Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro — 10
Kemunculan Kesultanan Demak — 10
Penetapan Dasar Negara — 11
Berlakunya Hukum Islam — 11
Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya — 13
Negara Islam Jepara — 15
Negara Islam Cirebon — 17
Syariat Islam di Negara Islam Cirebon — 19
Negara Islam Banten — 19
Lahirnya Jayakarta — 21
Kejayaan Banten dengan Syariat Islam — 22
Negara Islam Giri di Gresik — 23
Episode Kedua — 27
Negara Islam Mataram — 27
Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati — 27
Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645) — 29
Hukum Islam di Mataram — 31
Perekonomian Kesultanan Mataram — 34
Kehidupan Sosial keagamaan serta Peran Ulama — 34
Peran di bidang kebudayaan Islam — 35
Sistem Politik Kesultanan Mataram — 35
Politik Luar Negeri — 35
Kezaliman Amangkurat Menghancurkan Mataram — 39
Kesimpulan — 45
Daftar Pustaka — 46
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
4
Sejarah menjadi amat penting dalam perjalanan peradaban manusia. di tengah
masyarakat sebagai pelajaran hidup yang telah dilalui oleh pendahulunya.
Selain untuk mengungkap jatidiri suatu bangsa atau peradaban, sejarah juga
sebagai bahan motivasi dan sekaligus bahan instrospeksi, supaya tidak terjatuh di
lubang yang sama, mengulang kesalahan yang sama yang pernah dialami generasi
sebelumnya. Karena sejarah pasti akan selalu terulang dengan aktor yang berbeda.
Sejarah umumnya ditulis oleh pemenang dengan perspektif pemenang juga
tentunya. Demikianlah kenyataan yang berlaku di seluruh dunia. Dan pemenang
dalam persaingan sebuah peradaban yang kemudian menjadi penguasa menggantikan
peradaban sebelumnya berusaha sekuat tenaga mengecilkan kontribusi lawannya
dalam memajukan masyarakat, atau bahkan kalau bisa berusaha menguburnya
sehingga peradaban yang dikalahkan tidak akan pernah bangkit kembali dan menjadi
ancaman bagi penguasa pemenang.
Demikian jualah yang terjadi dengan sejarah Indonesia. Sebuah nama yang baru
muncul di tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4 yang
awalnya disebut Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya
adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan), yang artinya Kepulauan Hindia.
Penulisan sejarah Indonesia dipelopori oleh para sarjana sejarah berkebangsaan
Belanda, negara yang terlibat peperangan selama ratusan tahun hampir di seluruh
pelosok Nusantara dengan para penguasa lokal dengan misi penjajahan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa sejarah yang ditulis Belanda dengan perspektif penjajah berusaha
memandang sejarah Indonesia umumnya dan Jawa khususnya dengan sudut
pandang penjajah Barat.
Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan
berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negara-
negara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena
selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan
ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah.
Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk
mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang
kafir Belanda.
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
5
Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman
terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli
strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor
penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek. Oleh
karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik
Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan
penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan
Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam
penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Bahkan
ada yang menyebut eksistensi negara Islam sebagai ”ilusi”, sesuatu yang tidak pernah
ada, atau “utopia”, hanya sebuah impian belaka.
Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam.
Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan
Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas
peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan
sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa.
Jadi upaya deislamisasi sejarah Islam memang disengaja oleh penjajah Belanda
sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah
kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan
bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf
mengakui bahwa selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan
untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan
kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyelidikan terhadap bangunan dan
naskah kuno zaman Islam diabaikan.
Dampaknya para peneliti sejarah saat ini kesulitan mencari sumber referensi
tulisan sejarah Indonesia kecuali dari tulisan-tulisan sejarawan Belanda. Maka
kita dapati bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak masa penjajah
Belanda sampai saat ini selalu menonjolkan kegemilangan peradaban Syiwa-Budha
Majapahit dan mengecilkan peran era Islam dalam memajukan masyarakat.
Kenyataannya, kejayaan politik dan peradaban Islam masa Demak dan Mataram
tidak kalah dengan kejayaan era Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara yang
berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah yang berusaha
ditutup-tutupi. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta
negara-negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah
negara.
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan
kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai
subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk
yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk
berhubungan dengan Negara lain.
Demak telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara Islam dengan konstitusi
negara berdasar syariat Islam. Hukum-hukum Islam diberlakukan baik pada pejabat
maupun rakyat jelata. Pengadila syariat didirikan untuk menyelesaikan berbagai
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
6
masalah yang timbul di masyarakat. Rakyat diperintahkan untuk menjalankan
ibadah dengan contoh dan teladan dari pemimpin dan ulama.
Demak juga menjalankan politik luar negeri, dengan melakukan Jihad, mengirim
pasukan Angkatan Lautnya melawan penjajah kafir Portugis di Malaka. Dan
melakukan pembebasan-pembebasan wilayah di tanah Jawa.
Demak juga melakukan upaya memakmurkan rakyatnya dengan berbagai upaya
meningkatkan ekonomi baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri dan
hasil laut.
Negara Islam Mataram merupakan negara Islam yang besar di Tanah Jawa setelah
era Demak. Mataram telah mendirikan peradilan Surambi yang pelaksanaannya
berdasarkan syariat Islam. Islam dijadikan sebagai konstitusi negara. Mataram
melakukan kebijakan politik luar negeri dengan melakukan jihad, dengan mengirim
pasukan infanteri melawan penjajah kafir Belanda di Batavia.
Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah
Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi bila ada ide atau wacana yang menginginkan
kembalinya negara Islam di tanah Jawa (sebagaimana di masa lampau) bukan sebuah
ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian
dari upaya menghidupkan kearifan lokal.
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
7
MuqaddimahTulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra-
Islam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah
Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan
mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India.
Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa
Hindu-Jawa.1
Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan
berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik
negara-negara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar
karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan
dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan
penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad
untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh
orang-orang kafir Belanda.
Upaya deislamisasi sejarah Islam di Indonesia disengaja oleh penjajah Belanda
sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah
kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan
bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Dengan kenyataan itu para orientalis
Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi
penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck
Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan
terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek.2
Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan
politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian
dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan
kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan
dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan.
Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad
1 Lihat; De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafitipers Jakarta, 1985. h.2-3
2 K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017
NEGARA ISLAMDI JAWA
1500-1700
“Belanda
berusaha sekuat
tenaga mengubur
sejarah kesuksesan
politik Islam
dalam mengatur
masyarakat
Indonesia. Di sisi
lain didorong
penelitian dan
penulisan sejarah
kegemilangan
peradaban pra-
Islam, khususnya
kejayaan kerajaan
Syiwa-Budha
Majapahit.
Eksistensi negara
Islam berusaha
dikaburkan
dalam penulisan
sejarah Belanda
di masa lalu, dan
berlanjut di era
kemerdekaan.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
8
telah banyak waktu dan biaya dihabiskan (pemerintah Hindia Belanda) untuk
mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-
Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyedikan terhadap bangunan kuno zaman Islam
diabaikan. Maka untuk menyeimbangkan hal itu perlu diadakan penelitian secara
ilmiah terhadap naskah-naskah Jawa dan Belanda serta penyelidikan kepurbakalaan
(era Islam) di bekas kediaman raja, masjid, tempat pemakaman, kelenteng Cina,
pemukiman-pemukiman kuno serta penggalian dan penyelidikan tanah.3
Kemunduran dan jatuhnya dinasti Shiwa-Budha Majapahit pada kuartal pertama
abad ke-16 dan berdirinya negara Islam Demak berarti akhir dari sebuah peradaban
tua dan babak baru peradaban Islam. Kemunculan Islam sebagai sebuah institusi
politik tidak berlangsung secara tiba-tiba. Banyak tahap yang sudah dilalui dalam
kurun waktu yang panjang sejak kejayaan Majapahit. Bahkan sebelum itu para wali,
ulama, habaib dan juru dakwah bahu-membahu memperkenalkan Islam sebagai
solusi kehidupan duniawi maupun ukhrowi. Para penyebar Islam berasal dari Timur
Tengah, India dan China disamping para juru dakwah lokal setelahnya.
Saat kejayaan Majapahit, muslim menjadi bagian dari pilar kejayaan itu. Dan saat
peradaban Syiwa-Budha sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena tidak mampu
menjawab tantangan dan berbagai problem yang muncul, peradaban Islam telah
siap menggantikan dan meneruskan perannya sebagai sebuah institusi politik yang
memimpin pembangunan secara fisik dan non fisik di Jawa dan Nusantara pada
umumnya.
Islam menjadi dominan di Jawa dengan beberapa tahapan. Komunitas Pedagang
Islam dari berbagai bangsa yang telah lama membangun pengaruh di kota-kota
pelabuhan pantai utara membuahkan hasil yang memuaskan, kemudian mengambil
alih kendali wilayah pantai utara tersebut dari penguasa lokal pengikut dari Shiwa-
Budha Majapahit. Mereka mengakui kekuasaan raja Majapahit dan menjadi vasal
(negara bagian/kadipaten) Majapahit. Puncaknya, runtuhnya Majapahit setelah
lemah dan kalah dalam perang melawan adipadi Keling dan kemudian Demak
sekitar tahun 1527. Setelah Majapahit Runtuh, Raden Fatah sebagai adipati Demak
kemudian mendeklarasikan diri sebagai Sultan, pemimpin sebuah Negara Islam
Pertama di Jawa, Demak Bintoro.4
Ekonomi Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur berbasis pertanian,
khususnya padi. Komunitas perdagangan Jawa dan luar negeri (terutama India dan
Cina), telah ada di beberapa kota pelabuhan di pantai utara selama berabad-abad,
fasilitas pelabuhan menawarkan rute perdagangan internasional dari India dan
China ke Kepulauan Rempah-rempah. Beberapa pusat perdagangan komersial di
Pantai Utara Jawa juga memiliki kapal laut untuk perdagangan ke India, Semenanjung
Melayu, Cina, Filipina dan negara-negara di kawasan sekitarnya.5
Pada saat Islam berkembang di kepulauan Indonesia, Bandar-bandar sepanjang
pantai pulau Jawa merupakan tempat yang sangat menarik bagi para pedagang
3 De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.114 Dr H. J. De Graaf And Tiieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700, Springer-Clence Business Media,
B.V. h.35 De Graaf And Pigeaud, Islamic States In Java, op.cit.h.6
“Selama hampir
satu abad telah
banyak waktu dan
biaya dihabiskan
(pemerintah
Hindia Belanda)
untuk mengadakan
penyelidikan
kepurbakalaan
terhadap
bangunan-
bangunan kuno
pra-Islam, yaitu
candi-candi,
tetapi penyedikan
terhadap bangunan
kuno zaman Islam
diabaikan.”
— De Graaf
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
9
internasional. Bandar-bandar itu menjadi pangkalan, tempat transit untuk mengisi
perbekalan dan menjadi tempat transaksi perdagangan berbagai jenis barang.
Di situ para pelaut membeli bekal berupa beras dan air bersih untuk perjalanan
berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan kapal
layar. Melimpahnya persediaan beras dan hasil-hasil pertanian serta suburnya
tanah membuat bandar-bandar di Jawa saat itu menjadi sangat menarik bagi para
pedagang dan pelaut. Bandar-bandar Jawa juga menjadi tempat penimbunan
(gudang) rempah-rempah.6
Suma Oriental yang ditulis seorang informan portugis, Tome Pires, melukiskan
keadaan Jawa sekitar tahun 1515. Menurutnya perpindahan kekuasaan politik ke
tangan orang Islam terjadi dengan dua cara; Pertama: Bangsawan-bangsawan Jawa
dengan sukarela memeluk Islam di daerah kekuasaannya dan tetap berkuasa, dan
kemudian pedangang-pedagang Islam dan para ulama memperoleh kedudukan
tinggi. Kedua: orang-orang Islam dari berbagai suku bangsa bertempat tinggal
di pemukiman tersendiri di bandar-bandar dan membuat benteng pertahanan
di pemukiman tersebut. Dari benteng tersebut juga diadakan serangan terhadap
pemukiman orang-orang kafir untuk menguasai pemerintahan Bandar.
Cara pengislaman yang pertama yang awalnya dipakai untuk pengislaman di
pantai-pantai utara Jawa timur, misalnya di Tuban. Cara kedua terjadi di Bandar-
bandar pantai utara Jawa Tengah seperti Demak dan Jepara.7
Tulisan ini disusun menjadi dua episode untuk memudahkan dalam memahami
karakteristik negara Islam yang serupa dalam setiap episode. Misalnya episode
pertama; negara Islam Kesultanan Demak dan negara-negara yang lebih kecil
sesudahnya mempunyai karakteristik yang hampir sama.
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan
kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai
subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk
yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk
berhubungan dengan Negara lain.8 Maka dalam tulisan ini akan dibahas apakah
kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu (tahun 1500 – 1700) memenuhi syarat untuk
disebut sebagai sebuah negara atau negara Islam.
Dalam kajian ilmu Tata Negara modern, dikenal 2 bentuk negara atau
pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik. Duguit membedakan
antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika
seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka
bentuk pemerintahan disebut monarchie, pelaksana kekuasaan negara disebut
raja. Jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa
jabatan tertentu maka negaranya disebut republik, pelaksana kekuasaan negara
disebut Presiden.9
6 De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989. h.24-25
7 Ibid. h.28-298 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003), hal. 39 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi
HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167 lihat juga; Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283
“ Dalam kajian
ilmu Tata Negara
modern, dikenal
2 bentuk negara
atau pemerintahan
yaitu; monarchie
(kerajaan) dan
republik.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
10
Saat itu, bentuk negara yang dikenal di seluruh dunia adalah bentuk kerajaan,
sehingga yang dipakai negara-negara Islam saat itu adalah bentuk negara kerajaan.
Sampai sekarangpun sistem ini masih dipakai di banyak negara di berbagai belahan
dunia, misalnya Brunei Darussalam, Oman, Qatar, Saudi Arabia, Vatikan, dan lain-
lain.
Episode Pertama
� Negara Islam Kesultanan Demak Bintoro
Kemunculan Kesultanan Demak
Kesultanan Demak, pada awalnya hanyalah sebuah perkampungan di desa
Glagahwangi yang dibangun di hutan Bintara. Singkat cerita, desa Glagahwangi
telah berubah menjadi sebuah kadipaten di bawah Majapahit yang ramai dan
diberi kebebasan menjalankan ibadah serta menyebarkan agama Islam. Kemudian
para Walipun sepakat untuk mendirikan Masjid Agung guna menopang dan
mengembangkan kadipaten Bintara. Setelah Masjid Agung selesai dibangun, para
Wali bermusyawarah untuk menentukan program dan fase perjuangan lebih lanjut.
Mereka berencana mendirikan Negara Islam dengan merumuskan tiga pokok pikiran,
yaitu: tentang dasar negara Islam, tentang pemegang kekuasaan negara Islam, dan
tentang rencana dan strategi mencapai negara Islam.
Di era Kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh
saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing
maka pemerintah Kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai
pegawai pelabuhan atau syahbandar. Alasannya, pegawai muslim pada masa itu
kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu
berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang
kebanyakan beragama Islam.
Mengenai rancangan dan strategi mencapai negara Islam, para Wali mempunyai
siasat yang matang dan kongkrit. Setelah Kerajaan Majapahit dikalahkan oleh Prabu
Girindrawardana dari Keling Kediri, maka Kadipaten Demak Bintara menyiapkan
strategi untuk menyerang Majapahit yang telah dikuasai raja Keling Kediri. Setelah
Majapahit kalah, maka kadipaten Demak resmi memproklamasikan diri sebagai
kesultanan Islam dengan Raden Fatah sebagai sultannya.
Pada tahun 1481 M Setelah pasukan Majapahit dapat dikalahkan oleh pasukan
Kadipaten Demak sesuai saran para Walisongo, Raden Fattah menyerahkan
pemerintahan sementara Kerajaan Majapahit, kepada Sunan Giri dalam beberapa
saat, sambil melihat perkembangan dampak dari jatuhnya pemerintahan Prabu
Girindrawardhana dan sekaligus menunggu saat yang tepat untuk penobatan Raden
Fattah menjadi Sultan Kasultanan Demak Bintoro.
Menurut pendapat Graaf, dengan tanpa kesulitan Raden Fattah berhasil
mengalahkan Majapahit. Untuk memusnahkan segala bekas kekafiran dan penolak
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
11
bala, maka Sunan Giri memegang pimpinan tertinggi terlebih dahulu selama 40 hari,
baru kemudian diserahkan kepada Raden Fattah
Padahari Senin (Soma) Kliwon malam Selasa Legi tanggal 11 malam 12 Rabiul
Awal 860 H/ 16 Mei 1482 M dengan sengkalan “Warna Sirna Catur Nabi”, maka secara
resmi kadipaten Demak berubah menjadi Kesultanan Demak dan Raden Fattah atau
Adipati Bintoro dilantik menjadi Sultan Demak oleh Sunan Ampel.10
Penetapan Dasar Negara
Tentang dasar negara Islam dapat disingkap dan simpulkan dari berita-berita
dalam Walisana dan Babad Demak, yaitu tentang perdondi kiblat (perselisihan
paham para Wali tentang arah kiblat) Masjid Demak. Menurut kitab Tembang Babad
Demak, peristiwa itu dilukiskan sebagai berikut:
Takir lemungsir pritgantil/ wus pinasang kinancingan/ datan antara usuke/
lawan reng wus pinakon/ mastaka gya pinasang/ wus ngadeg sengkalanipun/
lawang trus gunaning janmal// nulya sagung para Wali/ amawes leresing keblat/
nanging pradondi rembuge/ ana kang ngoyong mangetan/ sawiji datan rembag/
mesjid ingoyong mangidul/ daredah rembag ing wuntat.
Menurut Atmodarminto terhadap peristiwa ini beberapa ahli babad Jawa
menyatakan bahwa Masjid dalam cerita ini harus diartikan secara majazi (kiasan/
sanepan) bukan Masjid hakiki. Adapun yang dimaksud tidak lain ialah Negara Islam,
sedang kiblat yang diperselisihkan itupun bukan kiblat hakiki tetapi kiasan yang
berarti pedoman atau dasar-dasar Negara Islam.
Sementara itu, mustaka (puncak) melambangkan nilai-nilai yang luhur, suci
dan tertinggi di atas nilai-nilai lainnya (top qualities). Menurut Atmodarminto dan
didukung Widji Saksono, rekaman peristiwa itu mengandung isyarat, bahwa wali
songo meyakini supremasi hukum Islam, yaitu suatu negara harus berpegang pada
ajaran Islam murni (mustika Islam) yang berkiblat di Mekah, yaitu al-Qur’an dan
Hadis Nabi.11
Berlakunya Hukum Islam
Kerajaan Demak tidak hanya mengatur masalah pernikahan dan ibadah murni
saja, melainkan juga masalah waris, muamalah, jinayah dan siyasah (pidana dan
politik), hukum acara peradilan dan lain-lain, dimana aturan-aturan tersebut
didasarkan pada hukum Islam. Tidak sebagaimana konsepsi Snouck Hurgronje yang
memisahkan urusan ibadah dan politik.12
Untuk pelaksanaan hukum Islam, Sultan Demak menyusun kitab kumpulan
undang-undang dan peraturan pelaksanaan hukum yang diberi nama Salokantara.
10 Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa, SYAMINA Edisi II Januari 2016, h.30-31 lihat juga: M. Khafid Kasri & Pujo Semedi. Op.Cit. h 65-68
11 Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000), hlm. 45-62. Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm. 127-130.
12 Lihat tulisan kami sebelumnya : Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus Edisi 1 / Januari 2017
“ Menurut
Atmodarminto
dan didukung
Widji Saksono,
rekaman peristiwa
itu mengandung
isyarat, bahwa wali
songo meyakini
supremasi hukum
Islam, yaitu suatu
negara harus
berpegang pada
ajaran Islam murni
(mustika Islam)
yang berkiblat di
Mekah, yaitu al-
Qur’an dan Hadis
Nabi.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
12
Kepala mahkamah agung disebut jeksa dalam kitab hukum tersebut. Nama Sunan
Kalijaga dimungkinkan berhubungan dengan kata qadhi (hakim) dalam Islam.
Setelah Kesultanan Islam Demak berdiri, para Wali menempati jabatan sebagai
pujangga, ngiras kinarya pepunden, jaksa yang mengku perdata atau sebagai
karyawan terhormat, termasuk jaksa penjaga perdata atau undang-undang.
Para Wali selalu mengawasi Sultan dalam memegang mandat menjalankan roda
kepemimpinannya. Khusus Sunan Giri, beliau dipanggil dengan sebutan panatagama
sekaligus memangku jabatan sebagai penghulu. Ia menyusun peraturan-peraturan
ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara di keraton.
Dalam hal ini Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam soal
perundang-undangan peradilan, pengadilan dan mahkamah termasuk hukum-
hukum acara formal. Mereka merumuskan masalah siyasah jinayah (pidana) yang
meliputi: had, qisas, ta’zir termasuk perkara zina dan aniaya, ’aqdiyah (perikatan,
kontrak sosial) syahadah (persaksian, termasuk perwalian), masalah imamah
(kepemimpinan), siyasah (politik), jihad (perang sabil), kompetisi dan panahan, janji
(nadzar), perbudakan, perburuhan, penyembelihan, ’aqiqah (jw: kekah), makanan,
masalah bid’ah dan lain-lain.
Selanjutnya, masalah munakahat (pernikahan), merupakan tugas Sunan Giri
dan Sunan Ampel serta lembaga-lembaga sosialnya. Mereka bertugas menyusun
aturan perdata/adat istiadat dalam keluarga dan sebagainya, yang meliputi soal dan
pasal-pasal tentang khitbah (peminangan), nikah-talak-rujuk, pembentukan usrah
(unit keluarga) dan adat istiadatnya termasuk hadanah (pengasuhan), perwalian,
pengawasan serta fara`id (waris).
Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam merupakan
undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata,
pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian
dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya (Pajang dan
Mataram).
Dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam
dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum
Islam dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam
pembukaan undang-undang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang
lain dengan redaksi kata yang berbeda. Disebutkan dalam naskah Serat Angger-
Angger Suryangalam:
“sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah”
“dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning
Allah tangala, kang tinimbalaken dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad
salalu ngalaihi wasalam”.
Sedangkan dalam Serat Suryangalam disebutkan “ukumullah kang den gawe
pangilon” (hukum Allah dijadikan sebagai pedoman).
“ Naskah Serat
Angger-Angger
Suryangalam dan
Serat Suryangalam
merupakan
undang-undang
resmi kerajaan
Demak yang
berisi mengenai
ketentuan perdata,
pidana, dan
hukum acara yang
bersumber pada
tata hukum Islam
dan kemudian
dijadikan salah satu
sumber hukum
kerajaan–kerajaan
berikutnya (Pajang
dan Mataram).”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
13
Serat Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang bersumber pada
kitab Anwar, sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga (Senopati
Jinbun atau Raden Fatah) yang dituangkan dalam undang-undang oleh Raden Arya
Trenggono (Sultan Demak III) yang saat itu masih menjabat sebagai jaksa, undang-
undang ini kemudian disebut sebagai Undang-Undang Jawa Suryangalam, undang-
undang ini kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan
berikutnya (Pajang dan Mataram).13
Kejayaan Demak dengan Foreign Policy-nya
Kesultanan Islam Demak, menjadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan
untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16.
Untuk itu, kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah
barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wilayah timur pulau tersebut, bahkan juga ke
daerah-daerah luar Jawa. Pada tahun 1527 tentara Demak menguasai Tuban, tahun
berikutnya menguasai Wirosari (Purwodadi, Jateng), kemudian tahun selanjutnya
menyerang Gagelang (Madiun sekarang), kemudian Mendangkungan (sekarang
daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah
Gunung Penanggungan (1543), Memenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan
Sengguruh (1545).14
Pada waktu jatuhnya Malaka ke tangan orang Portugis pada tahun 1511 Masehi,
Demak justru mencapai kejayaannya. Pati Unus (Adipati Yunus) salah satu sultan
Demak, sangat giat memperluas dan memperkuat kedudukan Kerajaan Demak
sebagai negara Islam. Pada tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin
sebuah armada besar menggempur Malaka untuk mengusir orang Portugis.15
Ketika Demak sebagai kota pelabuhan sedang mengalami kejayaan politis, agama,
kebudayaan dan perdagangan, penguasa sangat memperhatikan penyebaran agama.
Kebesaran dan luasnya pengaruh Demak tentu ditopang oleh sebuah kekuatan yang
sangat solid, diantara penopang kekuatan dan disegani dari sisi pengaruh adalah
Wali Songo. Peranan Wali Songo memang sangat sentral di Demak dan Islamisasi
Jawa, para wali tersebut memiliki otoritas temporal dan spiritual yang sangat kuat.
13 Naili Anafah, Legislasi Hukum Islam Di Kerajaan Demak (Studi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam), IAIN Walisongo Semarang, 2011.
14 Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993, hlm. 297-29915 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004. h. 61
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
14
Perluasan wilayah dan mitra kerajaan pun kian bertambah di sepanjang pantai
utara Jawa, hal ini berkat kebesaran nama para Wali Songo. Di sebelah barat berdiri
dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh, yakni Cirebon dan Banten. Dua
kerajaan ini mampu menggeser dominasi kerajaan Padjajaran. Pendiri dua kerajaan
tersebut adalah salah seorang dari sembilan wali yakni Sunan Gunung Djati.
Selain perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya
wilayah atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai
tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai
sebuah kerajaan yang merakyat. Wali songo sebagai sentral dari penyebaran Islam
di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan
kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali di luar
ring pemerintahan.16
Sebuah laporan Portugis menyatakan, bahwa diantara raja-raja Islam, raja
Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus memerangi orang-orang
Portugis, yang dipandang sebagai orang Kafir. Seperti ketika Malaka jatuh ke tangan
kekuasaan Portugis pada tahun 1511, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri,
Adipati Unus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna menghancurkan
kedudukan Portugis di Malaka.
Peristiwa penting lainnya, pada tahun 1527, Fatahillah (seorang ulama
terkemuka dari Pasai yang menikah dengan adik Sultan Trenggono) diutus oleh
Sultan Trenggono untuk mengislamkan Jawa Barat. Akhirnya, ia berhasil merebut
pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Setelah kemenangan itu, maka nama
Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.17
Di bawah kekuasaan Sultan Trenggono pula, sisa Keraton Mataram Kuno di
pedalaman Jawa Tengah dan Singasari Jawa Timur bagian selatan berhasil dikuasai
olehnya.18 Sultan Trenggono juga berhasil membawa Islam masuk ke daerah Jawa
Barat.19 Ia memang disebut-sebut sebagai sultan yang membawa Kesultanan Demak
menuju masa kejayaan.
16 Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004 h. 617 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010, hlm. 6618 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2004, hlm. 3619 Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbarmedia, 2003, hlm.450.
“ Selain
perluasan wilayah
tentu masalah
kejayaan tidak
hanya dilihat dari
luasnya wilayah
atau daerah
yang takluk, jauh
daripada itu
penyebaran Islam
sebagai tonggak
perjuangan
tentu harus
diakui sebagai
keberhasilan
Demak sebagai
sebuah kerajaan
yang merakyat.
Wali songo sebagai
sentral dari
penyebaran Islam
di Jawa memiliki
peran yang sangat
strategis dalam
penyebaran
agama Islam dan
kokohnya pondasi
awal kesultanan
Demak, meskipun
keberadaan para
wali di luar ring
pemerintahan.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
15
Di Pulau Borneo, Kalimantan, Kesultanan Demak juga berhasil memberikan
pengaruhnya sampai ke Kesultanan Banjar. Sebuah sumber menyebutkan bahwa
calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan
tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota
yang didukung oleh Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama, pewaris itu
diberi nama Islam. Tersebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, Raja
Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada kesultanan Demak. Tradisi ini berhenti
ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang di Jawa Tengah.
Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar membuka peluang untuk pengembangan
Islam di kawasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembang-
suburnya Islam di Kalimantan. Pada masa-masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin
menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700).20
� Negara Islam Jepara
Jepara untuk pertama kalinya mengalami perkembangan pesat pada masa
pemerintahan Arya Timur. Pada tahun 1470 Jepara masih merupakan pelabuhan/
wilayah yang tidak berarti dan hanya memiliki penduduk antara 90 sampai 100 orang.
Setelah Pati Unus memegang tampuk pemerintahan menggantikan kedudukan
Patih Jepara, penguasa baru ini berhasil menarik banyak orang dan memperluas
wilayahnya sampai ke tanah sebrang, yakni sampai ke daerah Bangka Tanjungpura,
Pulau Laue dan sejumlah pulau lainnya.
Demikian keterangan Tome Pires yang selanjutnya mengatakan, Pati Unus
telah berhasil membuat negerinya menjadi negeri besar. Di samping itu, Tome
Pires juga memujinya sebagai Raja Jawa yang paling terkenal karena kekuatanya
dan pergaulannya yang baik dengan rakyatnya. Bahkan Tome Pires menyebut Pati
Unus hampir sebesar Raja Demak, sekalipun Jepara berada dibawah Demak, yang
mempunyai lebih banyak penduduk dan negeri.
Pada waktu itu Jepara telah berhasil mempunyai kedudukan yang baik dalam
lintas perdagangan Nusantara. Dengan terus terang Tome Pires mengakui, kota
20 Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993, hlm.299
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
16
Jepara mempunyai sebuah teluk dengan sebuah pelabuhan yang indah. Di depan
pelabuhan terdapat tiga buah sungai, di mana kapal-kapal besar dapat memasukinya.
Tome Pires juga memuji pelabuhan Jepara sebagai pelabuhan yang paling baik dari
sekian banyak pelabuhan yang pernah diceritakannya dan berada dalam keadaan
yang paling baik. Setiap orang yang akan pergi ke Jawa dan Maluku akan singgah di
Jepara.21
Pada abad XVI Demak merupakan kerajaan Islam terkuat di pulau Jawa dan
memegang hegemoni di antara kota-kota pantai Utara Jawa. Namun secara praktis
kota-kota itu tetap berdiri sendiri. Di masa jaya Kesultanan Demak, Jepara juga
menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut, Jepara sebagai pusat penyebaran
agama Islam dan pusat kekuasaan politik, Jepara juga memegang peranan penting
dalam bidang perdagangan. Perdagangan yang dijalankan Demak dan Jepara ialah
beras dan bahan pangan yang lainnya. Jepara menjadi pelabuhan penting setelah
Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511. Malaka dijadikan sebagai pelabuhan
peristirahatan dan perbekalan bagi kapal-kapal Portugis. Selain itu juga dijadikan
sebagai pos militer untuk melindungi perdagangan mereka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan pertimbangan-pertimbangan
baru dalam bidang politik dan ekonomi pada bagian pertama abad 16. Perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam baru tidak hanya pusat politik, tetapi juga memegang
peranan penting dalam perdagangan dan rempah-rempah serta bahan pangan
lainnya. Keberadaan Portugis di Malaka sangat menggangu aktifitas perdagangan
dan pelayaran pedagang-pedagang Islam, termasuk Demak, lebih-lebih karena
ekspansi Portugis selain didorong oleh motif ekonomi komersial juga didorong
oleh misi agama yaitu meneruskan Perang Salib melawan orang-orang Islam.22
Masa-masa keemasan dan kemakmuran Demak mulai pudar pada saat Kematian
Sultan Trenggana pada tahun 1546. Sesudah pertempuran berdarah antara para
calon pengganti raja di ibu kota Demak, para penguasa kerajaan yang terkemuka
berkumpul di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Dengan demikian di
Jawa mulai mendirikan kerajaan Kalinyamat, kota Kalinyamat kira-kira 18 km dari
Jepara masuk ke pedalaman, ditepi jalur ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi tempat
kedudukan raja-raja Kota Pelabuhan.
D.H. Burger mengatakan bahwa meskipun daerahnya kurang subur, namun di
wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu
gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian timur yaitu Jepara, Juwana,
Rembang, dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai
orang yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan Internasional,
terutama dengan Malaka dan Maluku.
Jepara merupakan penyuplai beras yang dihasilkan daerah pedalaman. Selain
berperan sebagai pelabuhan transit juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu,
kelapa, kapuk, dan palawija. Apalagi Ratu Kalinyamat tidak hanya sebagai penguasa
politik, tetapi juga sebagai pedagang.
21 Panitia Penyusun Hari Jadi Jepara Pemerintah kabupaten Tingkat I, 1998, 11-1222 Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah
Ringkas (Jepara:1991), 32.
“ Keberadaan
Portugis di Malaka
sangat menggangu
aktifitas
perdagangan
dan pelayaran
pedagang-
pedagang Islam,
termasuk Demak,
lebih-lebih karena
ekspansi Portugis
selain didorong
oleh motif ekonomi
komersial juga
didorong oleh
misi agama yaitu
meneruskan
Perang Salib
melawan orang-
orang Islam.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
17
Kemasyhuran kepemimpinan Ratu Kalinyamat sampai ke seluruh penjuru
Nusantara, hal ini didasarkan dari berita Portugis yang melaporkan bahwa ada
hubungan antara Ambon dan Jepara. Pemimpin-pemimpin “Persekutuan Hitu” di
Ambon ternyata beberapa kali meminta bantuan Jepara melawan orang Portugis dan
juga melawan suku yang lain yang masih satu keturunan, yaitu orang-orang Hative.
Betapa besar kekuasaan Ratu Kalinyamat nampak dari usahanya menyerang orang
Portugis di Malaka pada tahun 1550 atau 1551 yang kemudian di ulanginya pada
tahun 1574.
Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat kepada
Ratu Kalinyamat, mengajak Ratu Jepara itu melakukan jihad melawan orang-
orang Portugis di Malaka. Dalam surat itu Raja Johor juga menyatakan, di Malaka
telah terjadi kekurangan bahan pangan.
Ratu Kalinyamat menjawab seruan itu dengan mengirim sebuah armada yang
kuat. Dalam serangan tersebut telah muncul 200 buah kapal besar dari negeri-negeri
Islam yang telah bersekutu menyerang Malaka, 40 buah di antaranya berasal dari
Jepara, memuat 4000 sampai 5000 orang Prajurit. Armada itu dipimpin seorang
Panglima Jawa yang disebut dengan nama julukan “Sang Adipati”, seorang lelaki
yang gagah berani.23
� Negara Islam Cirebon
Kerajaan Cirebon adalah sebuah Kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada
abad ke-15 dan 16 masehi, dan merupakan pelabuhan penting di jalur perdagangan
dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan
dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman,
Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan
penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
23 Amin Budiman, Komplek Makam Ratu Kalinyamat, 35.
“ Menurut De
Couro pada tahun
1550 Raja Johor
menulis sepucuk
surat kepada
Ratu Kalinyamat,
mengajak
Ratu Jepara itu
melakukan jihad
melawan orang-
orang Portugis di
Malaka.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
18
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon
tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Banten dan Cirebon adalah kawasan di Jawa Barat yang pertama kali Islam
diperkenalkan. Penduduknya sebagian besarnya adalah pedagang berdarah
campuran. Menurut sumber naskah Jawa, Cirebon diislamkan oleh salah seorang
wali songo yang bernama Sunan Gunung Jati.
Setelah mendirikan komunitas Muslim pertama di Banten, Nurullah (Sunan
Gunung Jati) kemudian memerintah juga di Cirebon. Setelah kematian Sultan
Trenggana pada tahun 1546, Nurullah di tahun 1550-an memutuskan untuk pindah
ke Cirebon di mana ia hidup sebagai ulama sampai kematiannya pada tahun 1570.
Pengaruh spiritualnya di Jawa Barat sangat besar, meskipun tidak sebesar pengaruh
Sunan Giri di Gresik Jawa Timur.
Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati,
dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.
Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana
(1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan hukum Islam, dan
setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di
balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.
Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia menjadi
salah seorang dewan Walisongo di Jawa. Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas
berdakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu
digambarkan sebagai berikut;
“Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon,
amewahi donga hakaliyan mantra,
utawi parasat miwah jajampi
utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana”.
(Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca
matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan).24
Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain
sebagai ulama juga umara’, ia juga sebagai Sultan di Cirebon. Berbagai bukti kejayaan
kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung
Sang Cipta Rasa (1500).
Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan pertama dengan
Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu
(istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan
kedua dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding) tidak
berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia; pernikahan ketiga dengan Nyi
Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten
(Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu Winaon
dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara
24 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah, Tangerang : Transpustaka, 2011. hlm. 90.
“ Perbedaan
lain dengan para
Walisongo ialah
bahwa Syarif
Hidayatullah selain
sebagai ulama juga
umara’, ia juga
sebagai Sultan di
Cirebon. Berbagai
bukti kejayaan
kepemimpinannya
antara lain Masjid
Merah Panjunan (+
1480) dan masjid
Agung Sang Cipta
Rasa (1500).”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
19
Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan
Pangeran Brata Lelana.25
Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai “Jalur Sutra”‟. Adanya Pelabuhan
Muara Jati yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena
perdagangan internasional. Pelabuhan yang ramai dan jalur utama transportasi yang
menghubungkannya dengan wilayah-wilayah lain menyebabkan kota tersebut tampil
dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan
bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut.26
Syariat Islam di Negara Islam Cirebon
Di Kerajaaan Cirebon sudah ada undang-undang hukum Islam yang dipakai
yang dikenal dengan Pepakem. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh
orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan
Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan
menurut undang-undang Islam Jawa. Kitab hukum yang digunakan, yaitu Pepakem
Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam hukum Jawa-kuno memuat
kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra
Menawa, dan Adilulah.27
� Negara Islam Banten
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, diaspora para pedagang
muslim terjadi, sebagian dari mereka pindah ke Banten. Keramaian Banten
bertambah, juga karena para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan
Afrika dan Samudera Hindia mau tidak mau harus melalui Selat Sunda. Di samping
itu, pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dari dan
menuju ke arah barat laut melalui Selat Bangka.
Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, diduga sudah memiliki
hubungan dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7
Banten sudah menjadi pelabuhan yang dikunjungi para saudagar dari luar. Ketika
Islam dibawa oleh para pedagang Arab ke timur, Banten telah menjadi sasaran
dakwah Islam. Menurut berita Tome Pires, pada tahun 1513 di Cimanuk, sudah
dijumpai orang-orang Islam. Jadi, setidaknya pada akhir abad ke-15, Islam sudah
mulai diperkenalkan di pelabuhan milik Kerajaan Hindu Sunda. Ketika Sunan Ampel
Denta pertama kali datang ke Banten, ia mendapati orang Islam di Banten, walaupun
penguasa di situ masih beragama Hindu.
Islamisasi Banten, diawali oleh Sunan Ampel, kemudian dilakukan oleh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari,
dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah bersama 98 orang muridnya meng-
25 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757
26 Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012) hlm. 100 - 127
27 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003. hlm. 114-115. Dalam Neni Vesna Madjid, Perkembangan Hukum Islam Dari Waktu Ke WaktuPada Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara, h.12. http:// fhunilak.ac.id/
“ Di Kerajaaan
Cirebon sudah
ada undang-
undang hukum
Islam yang dipakai
yang dikenal
dengan Pepakem.
Di Cirebon,
Pengadilan
dilaksanakan
oleh tujuh orang
menteri yang
mewakili tiga
Sultan, yaitu
Sultan Sepuh,
Sultan Anom dan
Panembahan
Cirebon.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
20
Islamkan penduduk Banten. Secara perlahan-lahan, Islam dapat diterima masyarakat
sehingga banyak orang masuk Islam, bahkan Bupati Banten, yang merasa tertarik
dengan ketinggian ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah, menikahkan adiknya,
yang bernama Nyai Kawunganten, dengan wali penyebar Islam di Sunda ini. Dari
perkawinan ini lahirlah dua anak yang diberi nama Ratu Winahon (dalam sumber
lain disebut Wulung Ayu) dan Hasanuddin. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa
Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), terus berusaha
untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka pergi ke arah selatan, ke
Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 orang yang setelah mendengar ajaran
Islam disampaikan ayah dan anak itu, semuanya menyatakan masuk Islam. Di lereng
Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan
keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap
cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil
menyebarkan agama Islam kepada penduduk negeri.28
Kesultanan Banten pada awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai oleh
Kesultanan Demak dan kemudian beralih ke Kesultanan Cirebon, pasca runtuhnya
Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggana.29 Setelah tahun 1570, Banten
di bawah Sultan Hasanuddin, memisahkan diri dari Cirebon. Wilayah kekuasaan
Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670 meliputi daerah Jayakarta (lepas
ke tangan VOC sejak 1619), Banten (seluruh daerah propinsi Banten sekarang) dan
sebagian besar daerah Lampung. Batas daerah kekuasaan Banten di barat hingga ke
perbatasan dengan Kesultanan Palembang, di sebelah timur berbatasan dengan kota
benteng Batavia dan punggung timur gunung Halimun yang menjadi kekuasaan
Mataram sejak Sultan Agung.30
Pemilihan Surosowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten, tampaknya didasarkan
atas pertimbangan antara lain karena Surosowan lebih mudah dikembangkan
sebagai bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju,
maka pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah
menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di
Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh
J. de Barros, Banten telah menjadi pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka.
Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian. Sungai itu dapat dilayari
oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng
yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam.31
Kemunculan Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama
pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan
Banten yang berafiliasi ke Demak.
28 Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, cet. I 2004.
29 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm.6930 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994),
hlm.3031 Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet.
I 2004. Ebook chm
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
21
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari
Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama
Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat
dan menjadi Penguasa Jepara.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin
juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia
berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada
puteranya, Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan puteri Demak dan
diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha
ayahnya dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam, yaitu ke Lampung dan daerah
sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin
memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang
menceritakan kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di
Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin
wafat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan
tahun memegang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan
yang belum menganut Islam dan waktu itu masih menguasai sebagian besar
daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja beserta
keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Walaupun
telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar yang
disandang sebelumnya.
Karena Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 maka aktivitas
perdagangan pindah ke Aceh, Banten, Cirebon dan Demak termasuk para pedagang
dari Arab, Persi dan Cina. Mereka tidak mau melewati Malaka karena Portugis
menetapkan aturan pajak/cukai dagang yang tinggi serta memonopoli perdagangan
dan perlakuan yang kasar terutama kepada pedagang muslim.
Lahirnya Jayakarta
Perluasan Islam di Banten sejalan dengan perkembangan pelabuhan Banten,
sementara untuk wilayah Timur pengembangan agama Islam didorong oleh kerajaan
Demak, Sultan Trenggono, raja Demak ke-3 pengganti Adipati Unus bercita-cita
meluaskan Islam di seluruh pulau Jawa.
Melihat perluasan agama Islam yang pesat hal ini mengkhawatirkan raja
Padjajaran Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi, maka ia mengirim anaknya
Surawisesa untuk mengadakan persahabatan dengan Portugis di Malaka karena
khawatir mereka di serang oleh Demak, Cirebon dan Banten. Portugis menyetujui
akan membantu Padjajaran asal mereka diijinkan mendirikan Benteng di Sunda
Kelapa.
“ Selain mulai
membangun
benteng
pertahanan di
Banten, Maulana
Hasanuddin juga
melanjutkan
perluasan
kekuasaan ke
daerah penghasil
lada di Lampung.
Ia berperan dalam
penyebaran
Islam di kawasan
tersebut, selain
itu ia juga telah
melakukan kontak
dagang dengan
raja Malangkabu
(Minangkabau,
Kerajaan
Inderapura), Sultan
Munawar Syah.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
22
Mendengar perjanjian tersebut Sultan Trengono marah dan segera mengirim
pasukan di bawah pimpinan Fatahillah tahun 1527. Dengan bantuan penduduk
Padjadjaran Fatahillah dapat menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa, atas persetujuan
Sultan Demak dan Syarif Hidayatullah Fatahillah diangkat menjadi adipati Sunda
Kelapa, yang kemudian diganti menjadi Jayakarta. Penguasaan Sunda Kelapa
mempunyai arti penting bagi kerajaan Demak karena:
1. Dengan dikuasainya Banten dan Demak, maka akan memudahkan
pengembangan pengaruh Islam ke Pajajaran di kemudian hari.
2. Banten dapat dijadikan tempat yang strategis bagi perluasan wilayah Demak
ke Pantai selatan Sumatera, Lampung dan Palembang yang kaya lada,
cengkeh, dan kopi.
3. Dengan dikuasainya pantai utara Jawa yaitu Banten, Cirebon dan Sunda
Kepala maka kekhawatiran Demak atas pengaruh Portugis di Pulau Jawa
dapat diatasi.
4. Banten juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam untuk masyarakat
Jawa Barat dan sebagian sumatera selatan yang animis.32
Kejayaan Banten dengan Syariat Islam
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu
Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu
Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian
Banten maju pesat.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, dan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun
tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten,
selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama,
juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.33
Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten merupakan Kesultanan Islam di
Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan Aceh
yang mendapat gelar Serambi Makkah ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan,
Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah
Haji, gelar yang pertama kali di miliki raja Jawa. Di bawah kepemimpinan Sultan
Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan yang paling ketat melaksanakan
hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, diberlakukan hukum potong tangan kanan
selanjutnya potong tangan kiri untuk pencurian harta secara berturut-turut
senilai sekurang-kurang nya satu gram emas.34
Sultan Ageng mempunyai mufti Syaikh Yusuf al-Makasari yang melihat dari
nama nya, berasal dari Makasar. Sejak muda, Sultan Ageng (yang waktu itu masih
32 Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www. file.upi.edu33 Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the
Indonesian religious courts, Amsterdam University Press.34 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 142
“ Di bawah
kepemimpinan
Sultan Ageng
Tirtayasa, kerajaan
Banten adalah
kerajaan yang
paling ketat
melaksanakan
hukum Islam. Di
masa Sultan Ageng,
diberlakukan
hukum potong
tangan kanan
selanjutnya potong
tangan kiri untuk
pencurian harta
secara berturut-
turut senilai
sekurang-kurang
nya satu gram
emas.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
23
putra mahkota) bersahabat dengan Muhammad Yusuf yang sesudah belajar di
kampungnya sendiri di Makasar, singgah di Banten dan kemudian belajar ke Aceh
selanjutnya ke Makkah selama ± 30 tahun. Sekembalinya di Indonesia, Kerajaan
Makassar telah dikalahkan Belanda, maka Yusuf yang telah menjadi ulama besar
diminta untuk menjadi mufti di Banten sekaligus menjadi menantu sahabatnya,
Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan
terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan
tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran
seksual.
Demikianlah keberagamaan kerajaan Banten beserta pelaksanaan syariat Islam
kelihatan lebih ketat dibandingkan kerajaan Islam lainnya di Jawa. Ini terjadi karena
Banten yang mempunyai hubungan internasional dengan Negara Islam besar,
sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.
Bangsa lain yang berdagang di Banten antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu,
Cina, Melayu. Walaupun kedudukan Banten kemudian kalah dengan Jayakarta
(yang kemudian menjadi Batavia) yang dijadikan pusat perdagangan oleh Belanda,
sehingga Banten menjadi mundur, Sultan Ageng di tawan Belanda, Syaikh Yusuf di
buang, tetapi pelaksanaan syariat Islam masih tetap ketat. Ketika pada tahun 1813
Kesultanan Banten dibumihanguskan oleh Daendels, keturunan Sultan Ageng masih
terus mengembangkan syariah Islam, salah seorang di antaranya adalah Al-Nawawi
al-Bantani (1813-1897 M).35
� Negara Islam Giri di Gresik
Setelah mengadakan aktifitas dakwahnya dengan melalui perdagangan, lama
kelamaan akhirnya dalam diri Sunan Giri timbul pikiran untuk merealisasikan pesan
yang pernah diberikan oleh gurunya di Pasai, yaitu mendirikan tempat sebagai pusat
untuk berda’wah. Raden Rahmat, guru beliau sangat menyetujui dan mendukung
rencana tersebut. Demikian juga ibu angkatnya yang ada di Gresik memberikan izin
untuk melaksanakan tugas itu.
Untuk mendapatkan tempat yang strategis sesuai dengan yang disarankan oleh
gurunya (Syeh Awwalul Islam). Sunan Giri bermunajat mohon pertolongan kepada
Allah, beliau kemudian berjalan menuju bukit yang letaknya berada di sebelah selatan
kota Gresik itu bukit Giri. Di sekitar bukit itu akhirnya ditemukan sebuah tempat yang
sekarang terletak di desa Sidomukti. Di tempat inilah Sunan Giri mulai mendirikan
Masjid dengan pesantren serta mendirikan rumah untuk para keluarganya. Pada
taraf perkembangan, tempat tersebut menjadi pusat kekuasaan Giri, yaitu dengan
terwujudnya kedaton Giri.36 Kekuasaan Giri setelah wafatnya Raden hahmat (1475
M) menjadi lebih besar, sebab antara Ampel Denta dengan Gresik digabungkan ke
Gresik atas izin raja Majapahit.37
Dalam perkembangan selanjutnya, pusat lembaga dakwah yang telah didirikan
oleh Sunan Giri juga mengalami perkembangan fungsi, jika pada awalnya khusus
35 Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 39.36 Ali Eri'an, Op.cit, hal. 43-4437 Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 145-146
“ Di
Banten, selain
melaksanakan
hukum potong
tangan terhadap
pencuri juga
menghukum orang
yang menggunakan
opium dan
tembakau.
Hukuman berat
juga dilaksanakan
terhadap pelaku
pelanggaran
seksual.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
24
untuk aktifitas pendidikan keagamaan, maka sejak meninggalnya Raden Rahmat,
pusat keagamaan itu juga sebagai pusat kegiatan politik. Hal ini disebabkan adanya
legalitas yang telah diberikan oleh pemerintah Majapahit kepada Sunan Giri yang
telah menjadikan Giri sebagai daerah pusat gubernuran atas Gresik dan Surabaya.38
Kekuasaan Giri yang berpusat di Kedaton Giri merupakan pola pemerintahan
ulama, sebagai embrio berdirinya kerajaan Islam Demak, dari Girilah para ulama
menyusun satu kekuatan dan memfokuskan segala aktifitas yang menyangkut
kepentingan umat Islam pada saat itu.
Sinar-sinar Islam mulai dipancarkan ke berbagai daerah di Nusantara terutama
daerah-daerah yang masih berbau Hindu dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Dengan keagungan dan kebesaran Islam dalam waktu yang relatif singkat, daerah-
daerah di sekitar Giri seperti Tuban telah berkiblat kepada Giri, demiklan juga dengan
para bupatinya segera memeluk agama Islam.39
Sunan Giri berusaha menyebarkan Islam ke wilayah timur dengan mengirim
para muballigh ke daerah tersebut. Diantaranya ke pulau Madura, Kangean, Bawean,
Ternate, dan Haruku di kepulauan Maluku.40
Dalam menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan ulama selain aktif
mengajarkan agama kepada ummat, beliau juga menentukan kebijaksanaan politik
ummat Islam yang berjalan pada waktu itu. Dengan sikap kharismatik dan kebijakan
yang telah dimiliki maka segala persoalan yang menyangkut kelangsungan Islam
terutama dibidang politik, beliaulah yang menentukan bahkan sebagai faktor utama
dalam pengangkatan seorang Sultan atau Raja.41 Maka Sunan Giri oleh penulis Barat
disebut sebagai semacam ‘Paus Jawa’ atau imam Jawa.
Kedudukan Sunan Giri yang begitu penting di mata masyarakat, akan lebih
mempermudah untuk melancarkan pengaruhnya terhadap para penguasa daerah-
daerah kecil yang ada di pesisir utara laut Jawa yang menjadi bawahan Majapahit,
juga para penguasa yang ada di wilayah Nusantara bagian Timur seperti Kalimantan,
Maluku dan sebagainya. Telah diberitakan bahwa raja Ternate, Zaenal Abidin (1486-
1500) masuk Islam juga karena mendapatkan dakwah Sunan Giri di kedaton Giri.
Menurut hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Rijali, bahwa yang mengantar raja
Zaenal Abidin ke Giri adalah Jamilu dari Hitu. Bahkan sekembali nya dari Jawa, raja
tersebut membawa muballigh yang bernama Tuhubahalul.42
Dengan adanya para penguasa yang telah memeluk Islam tersebut, secara politis
Sunan Giri dapat mempengaruhi mereka dalam mengendalikan pemerintahannya.
Maka segala hal yang berkaitan dengan urusan pemerintahannya baik di segi politik,
ekonomi, pendidikan maupun kebudayaan, sedikit banyak akan dapat diwarnai
dengan nilai-nilai Islam.
Sejalan dengan pertumbuhan Islam di Jawa Timur yang telah dimotori oleh
Raden Rahmat dan Sunan Giri berkembang begitu pesat dan mempunyai pengaruh
38 Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta, 1977, hal. 333.39 Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979 , hal 8140 Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979, hal. 14341 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 12142 Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka, Jakarta, 1984. h.22
“ Sunan
Giri berusaha
menyebarkan Islam
ke wilayah timur
dengan mengirim
para muballigh ke
daerah tersebut.
Diantaranya ke
pulau Madura,
Kangean,
Bawean, Ternate,
dan Haruku
di kepulauan
Maluku.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
25
sangat besar terhadap masyarakat khususnya pada masyarakat pesisir utara Jawa
Timur. Sementara dipihak pemerintahan pusat Majapahit terjadi kemunduran
akibat terjadinya pergolakan politik. Lama kelamaan penguasa Majapahit menaruh
kecurigaan terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sunan Giri, sehingga pihak
Majapahit di bawah kekuasaan Wirabhumi (1478 M) berusaha menghancurkan
pusat dakwah di Giri, tetapi mengalami kegagalan karena pertahanan Sunan Giri
cukup kuat. Hal ini adalah bukti yang menunjukkan berkembang pesatnya peranan
kekuasaan politik Giri dibawah pimpinan Sunan Giri.
Berangkat dari kegagalan serangan tersebut dan melihat semakin berpengaruhnya
Islam terhadap kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Timur yang telah dipelopori
oleh Sunan Giri dan Raden Rahmat, maka Raja Majapahit berusaha kompromi
dengan kedua tokoh tersebut, yaitu dengan jalan mengakuinya sebagai orang-orang
besar kerajaan Majapahit.43
Raden Rahmat, bersama para ulama lainnya telah sepakat menempuh jalur
diplomasi dalam menghadapi tekanan Majapahit, tetapi adanya situasi politik yang
semakin buruk, yaitu adanya serangan yang telah dilancarkan oleh Dyah Ranawijaya
Girindrawardhana dari Keling atas Majapahit, maka menjadikan Sunan Giri bersikap
ofensif terhadap pemerintahan Majapahit yang dikuasai pemberontak. Penyerbuan
Girindrawardhana tersebut terjadi pada tahun 1478 M. yang mengakibatkan jatuhnya
Majapahit ke tangan pemberontak.44
Menurut penilaian sunan Giri, sebetulnya yang lebih berhak menggantikan
kedudukan kekuasaan Majapahit adalah Raden Fatah, bukan Girindrawardhana. Ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa Raden Fatah adalah putera Bhre Kertabumi
sebagai penguasa Majapahit pada waktu itu. Maka dengan memihak Demak, Sunan
Giri bersama-sama para wali yang lain mendampingi Raden Fatah untuk mengadakan
operasi terhadap ibu kota Majapahit yang ada di tangan pemberontak; dan akhirnya
pemberontak dari Keling dapat ditundukkan dan Majapahit dapat direbut kembali.
Maka kemudian berdirilah kerajaan Islam Demak pada tahun 1478 M.45
Ketika Demak mencapai kemenangan dan menggantikan kedudukan Majapahit,
Sunan Giri sebagai pimpinan ulama pada saat itu segera mengangkat Raden Fatah
untuk dinobatkan sebagai Raja pertama di kerajaan Islam Bintara Demak. Sedangkan
Sunan Giri sendiri diangkat sebagai menteri dan merangkap sebagai penasehat
hulubalang kerajaan.46
Kedaton Giri menjadi daerah bawahan Demak, tetapi penguasa pusat
memberikan hak otonomi bagi Giri. Hal ini dapat diterima, sebab kekuasaan Giri
waktu itu adalah sebagai pendukung yang dapat dijadikan sebagai patner dalam
menegakkan kerajaan Demak. Sehingga dalam mengendalikan kekuasaannya selama
43 Umar Hasyim, op.cit, hal. 8444 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa Ban Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara,
Bhatara, Jakarta, 1968, hal. 407 juga; Umar Hasyim, op.cit, hal. 56-5745 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1981, hal.
274-27546 Umar Hasyim, op.cit, hal. 86
“ Lama
kelamaan penguasa
Majapahit menaruh
kecurigaan
terhadap gerakan
yang dilakukan
oleh Sunan Giri,
sehingga pihak
Majapahit di
bawah kekuasaan
Wirabhumi (1478
M) berusaha
menghancurkan
pusat dakwah
di Giri, tetapi
mengalami
kegagalan karena
pertahanan Sunan
Giri cukup kuat.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
26
pemerintahan Demak berlangsung, tetap mendapatkan kebebasan untuk berkuasa
hingga beliau wafat, yaitu pada tahun 1506 M.47
Mengenai keadaan ekonomi di Gresik pada abad ke-16, Tome Pires menyatakan
bahwa; Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting
di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi yang dilakukan oleh kapal-kapal
dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-kiu dengan Gresik. Serta ada
aktifitas perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.48
Para pelaut dan pedagang Gresik telah memperkenalkan nama Giri di Abad ke-
18 dan 17 di banyak pantai-pantai timur Nusantara. Dalam kisah di Lombok, Giri
mempunyai kedudukan penting, disebutkan Pangeran Prapen dari Giri (penerus
sunan Giri) dengan armadanya singgah di Pulau Sulat dan Sungian. Ia telah berhasil
menundukkan Raja kafir di teluk Lombok untuk mengakui kekuasaan Islam.
Kemudian ia memasuki tanah Sasak dan berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam
ekspedisi kedua berusaha membebaskan Bali namun gagal karena perlawanan sengit
Raja Dewa Agung.
Tahun 1565 orang-orang Hitu mengadakan perjanjian dengan Raja Giri untuk
mendapat perlindungan dari tentara Portugis. Para prajurut Jawa kurang lebih
selama 3 tahun berada di suatu tempat yang beberapa tahun sesudahnya masih
disebut sebagai “Kota Jawa”.
Pada permulaan abad 17 tidak jarang orang Belanda bercerita tentang seorang
ulama yang mereka namakan “Paus Islam” atau “Raja Imam”. Di bidang politik dan
ekonomi para sunan di Giri mempunyai kedudukan jauh lebih penting dibanding
dengan sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Selama dua abad, Giri mampu
mempertahankan eksistensinya dari mulai masa Majapahit sampai masa Mataram.49
Setelah tahun 1589 Kedaton Giri menjadi tempat berlindung bagi Raja-Raja Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang wilayahnya diduduki tentara Mataram. Saat Sultan
Agung berkuasa, raja terakhir giri tidak mau tunduk di bawah Mataram, sehingga
47 Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da'wah Islamiyah Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974. h. 129 dan 150
48 De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, op.cit. h.174 49 Ibid. h.193
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
27
Sultan Agung telah berhasil merebut Surabaya kemudian mengutus Pangeran Pekik
dari Surabaya (keturunan Sunan Ampel) untuk menaklukkan Giri.
Episode Kedua
� Negara Islam Mataram
Nama Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna
merah menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa
Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama Mataram diberi arti sama dengan
kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu Pertiwi. Sebelum tahun 1000
M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan
Hindu. Pada abad ke-14 saat Majapahit mencapai puncak kejayaan, bumi Mataram
dipandang kurang penting. tidak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
para Raja Mataram kuno yang hidup beberapa abad sebelumnya masih dikenang di
Majapahit.50
Awal Pembentukan Mataram Era Panembahan Senapati
Mataram pada mulanya hanyalah merupakan hutan yang penuh tumbuhan
tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, lima abad sebelum berdirinya
kerajaan Mataram (Islam) yang kita bicarakan sekarang ini.
Wilayah ini di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang - Jaka
Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis” yang
kemudian populer dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukkan
wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam di bawah panji kerajaan Pajang. Wilayah
Mataram dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya,
yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka mengalahkan musuh
negara Pajang, Aria Penangsang di Jipang Panolan.
Ki Pamanahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada
Sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun
1577 M sampai tutup usianya di tahun 1584.51 Setelah wafat ia diganti putranya,
ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama (karena keberaniannya dan kemahirannya
dalam berperang) atau mashur dengan Panembahan Senopati.52
Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan
bawahan Pajang, ia sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan
dengan tidak seba atau sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya raja
Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan
kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi penyerbuan di bawah komando Sultan
Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya
Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang.
50 Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012), hlm.176-180
51 H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985, hal. 277-282.
52 Kartodirdjo, Sejarah Xasional. III. hal. 286
“ Mengenai
keadaan ekonomi
di Gresik pada
abad ke-16, Tome
Pires menyatakan
bahwa; Gresik
sebagai kota
perdagangan laut
yang paling kaya
dan paling penting
di seluruh Jawa.
Ia memberitakan
adanya transaksi
yang dilakukan
oleh kapal-kapal
dari Gujarat,
Calicut, Bengalen,
Siam, Cina, dan
Liu-kiu dengan
Gresik. Serta
ada aktifitas
perdagangan
antara Gresik
dan Maluku serta
Banda.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
28
Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan
Pajang meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati
untuk memproklamasikan dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.53 Senapati
memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi
di seluruh Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati
mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua
memperluas wilayah kerajaan Mataram ke seluruh Jawa.54
Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia
menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan sebagian di Jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa
berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588
(konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) menyusul kemudian
Madiun pada tahun 1590 dan Jepara pada tahun 1599. Pada tahun yang bersamaan
Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat bertahan hingga
diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung.55
Sutawijaya dinilai berhasil membangun Mataram. Wilayah yang dikuasai
Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal
pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.56 Di
sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka.
Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang,
Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram.57
Panembahan Senopati mangkat pada tahun 1601 digantikan putranya yang
bernama Mas Jolang atau Ki Gede Mataram yang kemudian masyhur dengan julukan
Panembahan Sedo Ing Krapyak, yang memerintah tahun 1601 sampai 1613. Dalam
menjalankan roda pemerintahan Sultan yang baru naik tahta ini tidak memiliki watak
agresif sebagaimana bapaknya, ia lebih cenderung mengadakan pembangunan
dibanding ekspansi. Banyak sekali dijumpai bangunan-bangunan yang sebelumnya
tidak ada, seperti : Prabayeksa (tempat kediaman raja) dibangun pada tahun 1603,
Taman Danalaya pada tahun 1605, membuat lumbung di Gading tahun 1610 dan
lain-lain. Maka ia terkenal sebagai raja yang ahli membangun. Kecenderungan
yang ia sukai ialah berburu, ia mempunyai daerah khusus untuk perburuan yang
dinamakan dengan krapyak.58
Raden Mas Jolang diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada
tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari
wilayah pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak
mampu memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Menjelang wafatnya, RM Jolang
menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang
diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman.
53 Ibid. h.28554 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 7055 Ibid, h.29556 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 7057 Prof. dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara,
(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 22658 H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta. Cet. I. 1986, h22-23
“ Sutawijaya
dinilai berhasil
membangun
Mataram. Wilayah
yang dikuasai
Kesultanan
Mataram adalah
Mataram, Kedu,
dan Banyumas.
Sutawijaya
meninggal pada
tahun 1601 dan ia
menguasai wilayah
Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di
sebelah timur
hanya Blambangan,
Panarukan, dan
Bali yang masih
tetap merdeka.
Lainnya tunduk
pada kekuasaan
Senapati
Sedangkan di
pantai laut Jawa
Rembang, Pati,
Demak, Pekalongan
mengakui
kekuasaan
Mataram.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
29
Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan
Mataram mengalami kejayaan.59
Masa Kejayaan Mataram, Sultan Agung (1613 – 1645)
Raden Mas Rangsang diangkat menjadi Raja baru yang memakai nama Sultan
Agung Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil
ibukotanya di Kota Gede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Tempat
yang terletak kira-kira 5 km di sebelah barat daya Kota Gede. Secara adminsitratif
sekarang Karta merupakan sebuah dusun di desa Pleret. Sultan Agung dikenal
dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya
melainkan wilayah Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja kerajaan-
kerajaan yang ada di pesisir dan kerajaan Hindu di Blambang, tetapi juga para
penguasa asing yang berusaha menjajah Nusantara. Misalnya, Portugis dan Belanda.
Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak diangkatnya, ia selalu mengangkat senjata
dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.60
Berbeda sekali dengan ayahnya, ia termasuk figur pemimpin yang keras dan
tegas tetapi bijaksana. Nampaknya karakter itu ia warisi dan almarhum kakeknya. Ia
juga yang telah meneruskan ekspansi-ekspansi ke berbagai wilayah yang pada masa
Panembahan Senopati masih belum tuntas.61 Sultan Agung dikenal sebagai raja yang
kuat, bijaksana, cakap, dan perekonomian masyarakat Mataram berkembang sangat
pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang melimpah ruah. Wilayah
kekuasaan Mataram juga bertambah luas setelah masa pemerintahan Sultan Agung.62
Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas, dan taat dalam
menjalankan agama Islam. Oleh sebab itu, pada masa pemerintahannya, kerajaan
Islam Mataram mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kerajaan terbesar di
pulau Jawa pada saat itu. Menurut kesaksian salah seorang saudagar dari Eropa
yakni Balthasar van Eyndhoven, menyatakan bahwa Sultan Agung adalah seorang
59 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994. h.24-25
60 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2007), hlm.85-87
61 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nsantara Abad XVI dan XVII, h.2562 Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011, h.322.
“ Sultan Agung
dikenal dengan
politik ekspansinya,
sehingga bukan
Jawa saja yang
ingin dikuasainya
melainkan wilayah
Nusantara.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
30
Sultan yang tidak bisa dianggap remeh. Wajahnya kejam, layaknya kaisar dengan
dewan penasehatnya yang memerintah dengan keras, seperti memerintah sebuah
negara besar. Pada tahun 1614, Balthasar bersama Van Surck pergi ke Mataram untuk
mengucapkan selamat atas pengangkatan Raja sebagai pemangku pemerintahan.
Pada saat itu ia memperkirakan bahwa usia raja sekitar 23 tahun, oleh sebab itu
Sultan diperkirakan lahir pada tahun 1591.63
Mengenai penampilan Sultan, pakaian yang dikenakannya juga cukup menarik
perhatian. Pakaian yang dikenakan Sultan Agung tidak jauh berbeda dengan
pakaian orang Jawa pada umumnya yang terbuat dari kain dalam negeri berbatik
putih biru. Sultan juga menggunakan kopyah dari kain linen yang dipastikan
adalah kuluk putih yang sejak masuknya agama Islam dikenakan oleh mereka
yang taat beribadah, ditambah lagi dengan keris di badan bagian depan serta ikat
pinggang dari emas. Pada bagian jemarinya dihiasi cincin dengan banyak intan yang
gemerlapan. Keris di sini dipakai di depan yang berbeda dengan kebiasan orang-
orang Jawa pada umumnya.64
Mengenai sifat-sifatnya yang menarik perhatian adalah sifat ingin tahu, dan
bertindak tegas. Sifat keingintahuannya terlihat dari beberapa pertanyaan yang
dilontarkan Sultan kepada De Haen tentang peta dunia. Sultan ingin melihat
letak negara Belanda, Inggris, dan Spanyol. Ia juga menanyakan tentang arti-arti
sebuah nama termasuk nama para gubernur jenderal pun ingin diketahuinya.
Selain pertanyaan yang diajukan hanya untuk menambah pengetahuan, ada juga
pertanyaan yang berhubungan dengan politik, misalnya tentang jumlah meriam di
Banten.
Begitu kerasnya Sultan dalam bertindak, juga dialami oleh seorang tahanan
Belanda, yang dilemparkan ke buaya-buaya karena dituduh melakukan perbuatan
sihir. Di samping dikenal sebagai seorang yang berwatak keras, Sultan adalah sosok
raja yang tidak mudah percaya dengan orang lain, bahkan termasuk keluarganya
sendiri. Ia beranggapan bahwa di lingkungannya yang terdekat, juga terdapat
seorang penghianat, paling tidak pembohong. Menghadapi kondisi semacam ini, ia
hanya dapat bersikap selalu waspada.65
Raja terkenal sebagai seorang muslim yang saleh. Sebagai seorang raja yang
taat dalam beragama, ia tekun menjalankan perintah agama dan beribadah.
Sultan Agung secara teratur pergi ke masjid, dan para pembesar istana diharuskan
mengikutinya. Berbeda dengan para penggantinya yang hanya mengirim pejabat
istana ke masjid untuk shalat jum’at, tetapi ia sendiri tetap di rumah. Pada Grebeg
Pasa Sultan Agung juga pergi ke masjid bersama rakyatnya. Dan pada masanya
para tawanan diwajibkan dikhitan dengan ancaman hukuman mati bila menolak.66
Hendrick de Haen dalam tulisannya tentang perjalanannya sebagai utusan pada
tahun 1622, menyatakan bahwa para pembesar Mataram tiap hari jumat pagi harus
63 De Graaf dan Puncak Kajayaan Mataram. h.10264 Graff, Puncak Kekuasaan Mataram, h.12265 De Graff, Puncak Kekuasaan Mataram, h.123-12566 Ibid. h.107
“ Pakaian yang
dikenakan Sultan
Agung tidak jauh
berbeda dengan
pakaian orang Jawa
pada umumnya
yang terbuat dari
kain dalam negeri
berbatik putih
biru. Sultan juga
menggunakan
kopyah dari
kain linen yang
dipastikan adalah
kuluk putih yang
sejak masuknya
agama Islam
dikenakan oleh
mereka yang taat
beribadah.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
31
hadir ketika raja pergi ke Masjid. Bahkan pada masa itu masjid ada di setiap desa.67
Jumat pagi jam 9 Raja dan semua pejabat Istana sudah hadir di Masjid.68
Seperti itulah gambaran Sultan tentang ketaatannya pada agama Islam, ada
beberapa petunjuk bahwa sejak sebelum berlakunya tarikh Islam, Sultan Agung lebih
sungguh-sungguh dalam mentaati aturan agama Islam, baik terhadap dirinya sendiri
maupun orang-orang di sekelilingnya. Pada tahun 1630 M para prajurit Mataram
dapat dikenali dengan ciri khas mereka yang berambut pendek dan memakai
kuluk putih. Tidak lama sebelum wafat, Sultan juga menyuruh untuk memangkas
rambutnya. Hal ini merupakan petunjuk bahwa Sultan agung memang raja mataram
yang taat beragama. Van Goens menggambarkan Sultan sebagai tokoh yang
mempunyai pengetahuan luas tentang watak seseorang, kearifan yang mendalam,
dan sebagai orang yang berhati keras.69
� Hukum Islam di Mataram
Pada tahun 1633 Sultan Agung telah berhasil menyusun dan mengumumkan
berlakunya sistem penanggalan tahun baru bagi seluruh kerajaan Mataram, yaitu
model perhitungan kalender Jawa (saka) yang disesuaikan dengan penanggalan
Hijriyah.70 Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang
dikenal di Jawa didasarkan pada sistem Matahari yang lebih terkenal dengan kalender
Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang
juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua
sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi
Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan
menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan,
misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab
menjadi Rejeb, Dzulka’idah menjadi Dulkangidah, Muharram menjadi Sura, dan
Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran
yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu. Sistem ini diresmikan pada
tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.
Sultan Agung juga mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Ia
mengadakan pembaharuan tata hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam,
dan memberi kesempatan bagi peranan para ulama dalam lapangan hukum
Negara.71
Perubahan itu pertama-tama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata
yang dipimpin oleh Raja sendiri. Pengadilan Pradata diubah namanya menjadi
pengadilan Surambi, karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat persidangan
67 Ibid. h.11768 Ibid. h.12569 Bakdi Soemanto, Cerita Rakyat dari Yogyakarta 3 (Yogyakarta: Grasindo, 2003), h. 270 Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Sejarah Kehidupan Kraton Dan Perkembangannya Di Jawa, Yogyakarta : Media
Abadi, 2007 h.31271 Salman Inskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: MIZAN, 2009), 76 juga; Purwadi, Sejarah
Raja-raja Jawa, 312
“ Sultan Agung
juga mendorong
proses Islamisasi
kebudayaan Jawa.
Ia mengadakan
pembaharuan
tata hukum yang
disesuaikan dengan
hukum Islam,
dan memberi
kesempatan bagi
peranan para
ulama dalam
lapangan hukum
Negara.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
32
di Sitiinggil, melainkan di serambi Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang
menjadi urusan pengadilan ini dinamakan kisas.72
Melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama bagi seorang raja. Menurut
istilah yang lebih tua, mbeneri, untuk melakukan keadilan yang kini makin kurang
sering digunakan dan telah diganti dengan kata ngadili. Kata ngadili berasal dari
Bahasa Arab ‘adl’ (adil, secara harfiah, berarti menjadikan lurus, membetulkan).
Kata yang lebih tua tadi sepenuhnya sesuai dengan gagasan untuk meluruskan
keseimbangan, ketenangan, dalam pengertian keselarasan diartikan dalam konteks
Jawa dalam hubungan mikrokosmos dan makrokosmos.73
Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu
anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Konsep dewa-raja
atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada
kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai kalifatullah, wakil Allah di
dunia. Namun penurunan derajat ini tidak mengubah atau mengurangi kekuasaan
raja terhadap rakyat.
Dalam hal ini rakyat tetap dituntut untuk tunduk kepada rajanya. Konsep ratu-
binthara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan
wahyu wilayah. Wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai
wakil Tuhan; wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan
wenang murba wasesa, artinya berkuasa dan bertindak dengan kekuasaannya;
wahyu wilayah, yang melengkapi dua wahyu yang telah disebutkan di atas, memberi
pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada
rakyatnya.74
Selain itu menarik diungkapkan apa yang dikemukakan oleh Zaini Ahmad Noeh,
bahwa di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang
nampaknya meninggalkan ciri-ciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia
dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan
bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum. Jabatan keagamaan di
tingkat desa disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai, dan sebagainya selalu ada di
samping Kepala Desa. Pada tingkat kecamatan atau kewedanaan selalu ada seorang
Penghulu Naib, yang kini dikenal sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan,
Pejabat Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR). Pada tingkat kabupaten, seorang
bupati didampingi oleh seorang Patih untuk bidang-bidang pemerintahan umum
dan seorang Penghulu Kabupaten di bidang agama.
Sistem pemerintahan adat istiadat dan kebiasaan pemerintahan di Jawa mirip
dengan bentuk susunan pemerintahan Mataram di mana ada tiga serangkai jabatan,
yaitu Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola; Keraton,
Alun-Alun, dan Masjid) sebagai manifestasi gelar Raja Mataram yang berbunyi:
Hingkang Sinuhun (yang dipertuan), Senopati Hing Ngalogo (Panglima Perang),
Sayidin Panagatama Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti
72 Dr.Th.W. Juynball, Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet,dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1978), hlm.17
73 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau:Studi tentang masa Mataraam II, abad XVI sampai XIX. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1985). hlm.102
74 B.J.O.ScHrieke,Indonesian Sociological Studies, Part.2, (The Hague-Bandung:W van Hoeve Ltd,1957), hlm.105
“ Bentuk
dan sistem
pemerintahan
kerajaan Islam
di Indonesia
yang nampaknya
meninggalkan ciri-
ciri pada sistem
pemerintahan
Republik Indonesia
dewasa ini, adalah
kerajaan Mataram
di Jawa.”
— Zaini Ahmad
Noeh
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
33
Rasulullah). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para
pegawainya disebut “Kaum”, yang jumlahnya untuk setiap ibukota (pusat dan
kabupaten) selalu tidak kurang dari 40 orang, jumlah itu adalah untuk memenuhi
syarat sahnya shalat Jum’at sesuai ajaran Madzhab Syafi’i dan mereka memperoleh
tanah jabatan (lungguh) di belakang masjid besar yang disebut kampung Kauman.
Adapun sasaran tugas mereka adalah pelayanan bidang peribadatan dan urusan-
urusan keagamaan. Sedangkan tugas mengatur dunia dibebankan kepada Pepatih
Dalem (Patih) sebagai pelaksana pemerintahan umum dan sekaligus pemerintahan
militer.75
Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan Surambi dinamakan
kisas. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Pengadilan Surambi mempunyai arti
suatu nasehat (advis) kepada raja di dalam mengambil keputusannya.” 76
Salah satu produk hukum penting di Keraton Kasunanan Surakarta adalah
Angger Nawala Pradata yang memuat aturan-aturan hukum berbagai jenis tindakan
hukum sekitar tata kehidupan masyarakat di bawah pemerintahan Kasunanan
Surakarta. Namun aturan hukum dalam Angger Nawala Pradata ini konon sudah
mulai dirumuskan sejak zaman Kerajaan Mataram Islam yang merupakan cikal-
bakal dari berdirinya Kasunanan Surakarta. Dari masa ke masa, Angger Nawala
Pradata mengalami amandemen atau pembaharuan karena desakan dan pengaruh
Kolonial Belanda.77
Amandemen Angger Nawala Pradata tidak terlepas dari pengaruh kolonial
Belanda. Larson mengatakan, bahwa situasi politik Kasunanan sangat dipengaruhi
oleh sikap dari pihak Kasunanan sendiri terhadap pemerintah Belanda,
Mangkunegaran, penduduk dan wilayah di luar kerajaan.78 Pengaruh hukum Barat
terhadap undang-undang yang berlaku di kerajaan ini konon berlangsung sejak
tahun 1709 ketika Pakubuwono I (1705-1719) masih bertahta di Kasunanan Kartasura
Hadiningrat. Ketika itu, Pakubuwono I membahas sebuah perjanjian dengan Belanda,
salah satunya mencakup tata cara pelaksanaan pengadilan.79 Dalam perjanjian 1709
tersebut Sunan harus menyerahkan pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah
timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kepada pemerintah Belanda.80
Di kerajaan Mataram, pelaksanaan hukum Islam di bawah Sultan Agung dibagi
menjadi Peradilan Surambi81 yang menangani perkara-perkara kejahatan pidana
(Kisas). Pimpinan peradilan secara de jure berada ditangan Sultan dan secara de facto
dipimpin oleh penghulu dengan dibantu oleh beberapa ulama sebagai anggota.82
75 Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994. h.105
76 Tresna R. “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”. Pradnya Paramita. Jakarta 1978.Cetakan Ke-3. h. 17-18. 77 Angger Nawala Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/78 G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, (Yogyakarta: UGM Press, 1989),
hal., 5.79 Angger Nawala Pradata Kasunanan; http://kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/hukum/80 Achmad Ridwan (Skripsi);"Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di kasunanan
Surakarta tahun 1893-1903"; Universitas Sebelas Maret Surakarta – 201081 Dinamakan Peradilan Surambi karena pelaksanaanya dilakukan di Serambi Masjid Agung. Realitas ini juga terjadi di
beberapa daerah lainnya di Indonesia.82 Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 2006), hlm. 72. Lihat juga R.
Tresna, 1978, Peradilan Agama dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978), hlm. 17-18.
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
34
Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam
mengambil keputusan. Sultan tidak pernah mengambil putusan yang bertentangan
dengan nasihat pengadilan Surambi.83
� Perekonomian Kesultanan Mataram
Negara Mataram tetap merupakan negara agraris yang mengutamakan
pertanian. Selain beras, Mataram juga menghasilkan gula kelapa dan gula aren. Hasil
gula tersebut berasal dari daerah Giring di Guningkidul. Gula kelapa dan gula aren
itu diekspor ke luar melalui Tembayat dan Wedi.84
Dasar-dasar kehidupan maritim tidak dimiliki oleh Mataram. Laut Selatan
Jawa gelombangnya terlalu besar sehingga pembuatan pelabuhan di pantai selatan
tidak mungkin. Kesultanan Mataram yang sedang dalam taraf pembangunan tidak
berhasil memiliki pelabuhan dan tidak menjadi negara Maritim. Kesultanan Mataram
menjadi negara pertanian karena pusat kerajaannya berada di pedalaman.85
� Kehidupan Sosial keagamaan serta Peran Ulama
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama yang ada di kesultanan
Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah
bangsawan, ulama yang bekerja sebagai alat birokrsi, ulama pedesaan yang tidak
menjadi alat birokrasi. Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung sangat menghargai
para ulama karena mereka mempunyai moral dan ilmu pengetahuan tinggi. Jika ingin
membuat kebijakan, Sultan Agung selalu meminta nasihat dan pertimbangan
kepada para ulama.86
Ulama pada saat itu sedang konsentrasi menggarap Islamisasi terhadap budaya-
budaya yang masih melekat di hati masyarakat Mataram. Sunan Kalijaga misalnya,
beliau adalah ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran Islam mudah diterima
oleh masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan terhadap ajaran dan doktrin
budaya sebelum Islam. Berbagai cara telah beliau tempuh termasuk melalui karya
seni yang telah mentradisi di masyarakat.87
Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa
sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja
berkedudukan sebagai pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima
agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua.
Sunan Kalijaga sebagai penghulu terkenal di masjid Agung Demak mempunyai
pengaruh besar di Mataram. Tidak hanya sebagai pemimpin rohani, tetapi juga
sebagai pembimbing di bidang politik.88
Namun peran ulama menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh
Amangkurat I. Pada saat itu terjadi de-islamisasi. Banyak ulama yang dibunuh
83 Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama ….., Op. Cit., hlm. 11484 Daliman, Islamisasi, hlm. 188-18985 Slamet muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, hlm. 22686 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 74-7587 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-3188 Daliman, Islamisasi, hlm. 190
“ Penggunaan
gelar Sayidin
Panatagama
oleh Senopati
menunjukkan
bahwa sejak
awal berdirinya
Mataram telah
dinyatakan sebagai
negara Islam. Raja
berkedudukan
sebagai pemimipin
dan pengatur
agama. Mataram
menerima agama
dan peradaban
Islam dari kerajaan-
kerajaan Islam
pesisir yang lebih
tua.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
35
sehingga kehidupan keagamaan merosot, sementara dekadensi moral menghiasi
keruntuhan pamor Mataram akibat dari campur tangan budaya asing.89
Peran di bidang kebudayaan Islam
pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung gagasan untuk
mengembangkan kebudayaan dapat dimulai. Diambillah unsur-unsur peradaban
dari daerah-daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat mempertinggi martabat
keraton Mataram dibidang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai istana
raja penguasa tertinggi di seluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama
Islam, menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan
Islam Sinkretis.90
Pada masa Sultan Agung diperintahkan untuk menulis sebuah kitab induk
semacam ensiklopedi Jawa yang dinamakan Babat Kerajaan Mataram, sering disebut
juga Babad Tanah Djawi yang sampai sekarang masih ada dan banyak menjadi
sumber kajian dan penelitian sejarah Jawa. Penyusunan babad ini dilakukan setelah
perubahan gelar menjadi sultan sekitar tahun 1641 M. 91
Sistem Politik Kesultanan Mataram
Sistem politik Mataram yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi
tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-masing
periode hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan
wilayah, kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan
Senopati, ia mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi,
yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah
bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan
Amangkurat I martabat Mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan
mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.
Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan.
Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri permaisuri
dan selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak
mendapatkan anak laki-laki, maka paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya
bisa menjadi pengganti.
Politik Luar Negeri
Mengenai politik luar negerinya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui
perbedaan yang mencolok dalam menghadapi penetrasi Barat. Ada yang menempuh
sikap kompromistis dan ada pula yang antipati sama sekali. Pada masa Panembahan
Senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun
saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang
dicurahkan untuk konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
89 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 30-3190 Daliman, Islamisasi, hlm. 191-19291 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, op.cit. h.281-282
“ Pada masa
Sultan Agung
diperintahkan
untuk menulis
sebuah kitab
induk semacam
ensiklopedi Jawa
yang dinamakan
Babat Kerajaan
Mataram, sering
disebut juga Babad
Tanah Djawi yang
sampai sekarang
masih ada dan
banyak menjadi
sumber kajian dan
penelitian sejarah
Jawa.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
36
Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran Belanda diterima dengan
baik di akhir kekuasaannya. Berbeda dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan
Agung, beliau termasuk penguasa yang antipati pada kompeni. Berbagai usaha telah
dikerahkan untuk mengusir keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian
kuat di bumi Nusantara.92
Politik ekspansi Sultan Agung didukung oleh kekuatan tentaranya yang terkenal
perkasa dan sulit terkalahkan dalam peperangan. Dalam setiap misi sampai
penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang
mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara
Mataram tidak kurang dari 300.000 pasukan.
Ada semacam wajib militer di Mataram saat itu. Di samping pasukan pengawal
di istana dan pasukan reguler, masih ada pasukan milisi yang terdiri dari para
penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Para milisi ini tidak dibayar
oleh raja, tetapi sebagai tugas wajib untuk membela negara dengan sukarela. Untuk
memobilisasi milisi diperlukan beberapa tahapan. Untuk daerah di sekitar keraton
mobilisasi dilakukan dengan pukulan-pukulan gong di semua sudut Karta
diikuti desa-desa dan kota-kota di sekitarnya. Dalam setengah hari raja dapat
mengumpulkan 200.000 orang bersenjata. Dengan persenjataan yang sederhana
dan tanpa perbekalan mereka sering terancam kelaparan. Kelebihan tentara Sultan
Agung adalah kedisplinan dan semangat tempur yang tinggi sehingga mampu
melakukan tugas-tugas berat. Di seluruh Nusantara mungkin sulit ditemukan
kemampuan militer yang demikian.93
Beberapa misi Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa di
bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa
wilayah telah terwujud telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan
di sekitar Jawa Timur. Pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian
selatan; Ujung Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki
Wirasaba pada tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu
dikarenakan merupakan pintu masuk ke Surabaya.
Kemudian pada tahun 1616 M, pasukan dikirim melalui pantai Utara dan dapat
menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun
92 Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hlm. 28-2993 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, h.128-130
“ Dalam setiap
misi sampai
penaklukan
Surabaya kekuatan
tentara Sultan
Agung selalu
berhasil gemilang
mengalahkan
musuh-musuhnya.
Pada tahun 1615
total kekuatan
tentara Mataram
tidak kurang dari
300.000 pasukan.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
37
1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut menyerang Surabaya dan setelah itu
Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan
kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.94 Surabaya, yang merupakan
saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut
Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639.95
Yang menarik, pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan bukan karena diserang
melainkan karena rakyatnya mati kelaparan akibat strategi blokade yang dilakukan
Mataram.96 Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan
paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang
tidak berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera,
Kalimantan, dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.97
Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur (kecuali
Blambangan) bersatu di bawah naungan Mataram. Persatuan ini diperkuat lagi oleh
Sultan Agung dengan mengikat para adipatinya dengan tali perkawinan dengan
putri-putri Mataram. Ia sendiri menikah dengan putri Cirebon, sehingga daerah ini
juga mengakui kekuasaan Mataram.98
Setelah Surabaya dapat ditaklukan, Sultan Agung memusatkan penyerangan
ke Batavia. Batavia pada masa itu masih ada konflik dengan Banten. Walaupun
hubungan Banten dan Batavia tegang sejak dulu, Banten tidak ingin Batavia jatuh
ke tangan Mataram. Pada Hari Natal 1627, Banten mengadakan usaha yang tidak
matang untuk menguasai Batavia dengan tiba-tiba, tetapi gagal.99
Usaha ekspansi ke wilayah Barat (Jakarta - yang saat itu dikuasai VOC), dilakukan
Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi gagal dan bahkan banyak menelan
korban di pihak Mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem persenjataan yang
kalah canggih juga karena adanya seorang prajurit Mataram yang membelot dan
memihak kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang
berada di Tegal. Akhirnya logistik itupun dibakar oleh Kompeni dan banvak prajurit
94 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram. h.13795 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. h. 295.96 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi, 2005, h.8697 Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia Baru
menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005), 3298 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 6199 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti,
1990), 137
“ Saat itu Sultan
Agung adalah raja
yang paling kuat
di Nusantara dan
paling luas wilayah
kekuasaannya.
Di Jawa, hanya
Banten dan Batavia
yang tidak berhasil
ditaklukkannya.
Sementara itu,
sebagian wilayah
di Sumatera,
Kalimantan, dan
Bali menyatakan
tunduk kepada
Mataram.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
38
Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa pada saat serangan itu terjadi
prajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.100
Serangan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan
1629. Perlawanan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama, Sultan Agung
menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan
kesatuan Negara terutama Pulau Jawa.101 Pihak Belanda telah melakukan apa yang
telah diperingatkan oleh Sultan Agung agar tidak merebut suatu bagian Pulau Jawa
yang ingin diperintahnya sendiri sebagai penguasa tunggal.
Kedua, Sultan Agung sempat mengajukan beberapa tawaran kepada VOC, tetapi
ditolak. Pada tahun 1621, personel VOC yang ditawan dipulangkan ke Batavia beserta
pengiriman beras. VOC mengirimkan perutusan-perutusannya kepada Sultan Agung
pada tahun 1622, 1623, dan tahun 1624, tetapi permintaan Sultan Agung akan bantuan
angkatan laut VOC dalam rangka menaklukkan Surabaya, Banten, dan Banjarmasin
ditolak oleh pihak VOC. Maka tidak ada satu alasan pun bagi Sultan Agung untuk
membiarkan kehadiran VOC di Pulau Jawa.102 Ketiga, bagi Sultan Agung, Batavia
merupakan kota yang dapat merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram
dan Malaka dipersulit oleh Batavia.103
Keempat, Imperialisme Belanda dengan VOC nya mempunyai dua rencana
kejahatan. Pertama, dalam proses mempercepat perebutan kekuasaan ekonomi
Islam. Kedua, berlomba-lomba untuk memperoleh hegemoni antar Imperialis Barat
di Nusantara dan Kerajaan Katolik Portugis juga Spanyol serta Kerajaan Protestan
Anglikan Inggris. Di bawah kondisi tantangan Imperialis Protestan Belanda ini,
Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia pada tahun 1628-1629.104
Bulan April 1628 Kyai Rangga, bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan beberapa syarat dari Mataram. Tawaran
tersebut ditolak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang
dengan VOC.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa,
bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran
Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang
besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena
kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada
bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung
Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang
Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun
berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei
1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni.
Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan
100 Kartodirdjo. Sejarah Xasional. III. hal. 296101 J.B.Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007), 260102 Ade Soekirno, Cerita Rakyat Jawa Tengah: Pangeran Samber Nyawa (Jakarta: Grasindo, 1993), 89103 Poesponogoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia III, 364.104 Suryanegara, Api Sejarah, jilid 1, Surya Dinasti - Tria Pratama Bandung 2015, h.181.
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
39
cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak
VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung
berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu
J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Pada masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan
Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda.
Sedangkan Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar
Jawa yang juga tunduk di bawah Mataram adalah Palembang dan Jambi di Pulau
Sumatra serta Sukadana dan Martapura (Banjarmasin) di pulau Kalimantan. Sultan
Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di
Sulawesi saat itu. 105
Kezaliman Amangkurat Menghancurkan Mataram
Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M. Sejak umur 5 – 15 Tahun (1624-1634)
dididik oleh Tumenggung Mataram. Ia diangkat sebagai sultan Mataram pasca
mangkatnya Sultan Agung. Masa kekuasaanya berlangsung antara tahun 1646-1677,
suatu masa yang dianggap sebagai tanda kemunduran Kerajaan Mataram. Bukan
hanya sumber Belanda yang menyebutkan demikian, melainkan Babad Tanah Jawa
garapan Meinsma juga mengakui hal tersebut :
Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring
misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana
sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari.
105 De Graf, Puncak Kekuasaan Mataram, Op.cit. h.286-288
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
40
Tijang samatawis sami miris manahipoen, sarta asring grahana woelan toewin
srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes in sabendaloe ketingal. Djawah
awoee oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen
negari bade risak.
“Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering
melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan
keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka.
Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering
terjadi gerhana bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor
terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda
jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Kekuasaan absolut Amangkurat I telah terlihat semenjak ia terpilih jadi Sultan
Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Karta
ke Plered tahun 1647 M. Berbeda dengan keraton di Karta yang terbuat dari kayu,
kali ini sang Sultan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi
parit besar. Utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered pada
tahun 1668, mengkonfirmasi keadaan tersebut. Ia menggambarkan keraton Plered
layaknya sebuah pulau di tengah danau. Keraton yang berada di tengah parit buatan
itu seakan-akan menggambarkan jiwa Amangkurat yang terasing karena pada
dasarnya ia memang mencurigai siapapun.
Konon, setiap malam tiba seluruh kompleks Kraton disterilkan dari laki-laki.
Hanya ia sendiri yang tinggal bersama ribuan wanita, abdi dalem, dan istri-istrinya.
Konon lagi terdapat tiga puluh prajurit wanita cantik yang disebut prajurit Trinisat
Kenya dengan setia selalu menjaganya.
Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, Amangkurat telah menampakkan
sifat arogansinya. Sebelum ia menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, ia
pernah terlibat skandal dengan istri seorang abdi dalem senior bernama Tumenggung
Wiraguna. Skandal ini kemudian dilaporkan kepada Sultan Agung, namun tidak
berhasil menggoyang posisinya sebagai Putra Mahkota.106
Ketika telah berkuasa, Amangkurat I menumpahkan kebenciannya kepada
Tumenggung Wiraguna dengan mengirimnya ke Timur untuk menumpas
ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para
pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh orang kepercayaan Raja. Tidak hanya itu,
Amangkurat juga memerintahkan pasukannya untuk membasmi semua orang yang
pernah terlibat melaporkan tindakan skandal yang dahulu dilakukannya kepada
ayahnya Sultan Agung. Perintah tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa ribuan
wanita dan anak yang tidak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna.
Demikianlah pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan Amangkurat I
tidak dapat membuatnya merasa semakin aman. Konon setiap kali sang Sunan keluar
keraton, ia dikawal oleh 2000 orang prajurit bertombak. Ia juga membunuh hampir
semua pejabat tinggi (peninggalan ayahnya, Sultan Agung) dan menggantinya
dengan abdi-abdi pengikutnya sehingga tampaknya ia tidak mempercayai lagi
106 De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, h.2-3
“ Walaupun
kembali mengalami
kekalahan,
serangan
kedua Sultan
Agung berhasil
membendung dan
mengotori Sungai
Ciliwung, yang
mengakibatkan
timbulnya wabah
penyakit kolera
melanda Batavia.
Gubernur jenderal
VOC yaitu J.P. Coen
meninggal menjadi
korban wabah
tersebut.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
41
pembesar-pembesar dari kalangan keluarganya sendiri. Begitu mudahnya sang
Sunan membunuh orang, sehingga seorang pejabat Belanda, Michielsen, pernah
berkomentar bahwa “Semoga suatu saat sang Sunan akan jenuh mengalirkan darah
orang“.
Adik sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena
kedekatannya dengan Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman
terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati pemuka-pemuka
Islam untuk menghilangkan kecurigaan terhadapnya. Di saat yang bersama ia
mengumpulkan teman-temannya untuk mempersiapkan serangan terhadap sang
Kakak. Mengetahui hal tersebut, Amangkurat I tidak perlu pikir panjang untuk
menghabisi pendukung adiknya. Terpancing atas provokasi tersebut, Pangeran Alit
dengan kekuatan sekitar 60 orang pendukungnya, menyerbu alun-alun keraton
dalam sebuah “pertarungan penghabisan berdarah” pada tahun 1647.
Kekuatan Pangeran Alit tersebut tidak sebanding dengan pasukan Sunan
sehingga dapat dibasmi dengan mudah, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang.
Menurut catatan Belanda yang dipercaya, sang Sultan akhirnya membiarkan para
prajuritnya untuk membunuh pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”, dengan
itu bersihlah tangan Amangkurat dari darah adiknya sendiri.
Akibat pemberontakan ini adalah munculnya kecurigaan Amangkurat I
terhadap kaum ulama atau para pemimpin Islam. Amangkurat I menilai bahwa
adanya ulama atau santri dalam pemerintahannya akan sangat berbahaya,
terutama bagi tahtanya.107 Amangkurat memerintahkan empat pembesar istana
untuk mengerahkan anak buahnya menyebar ke empat penjuru mata angin dan
berusaha keras supaya “jangan seorangpun dari pemuka-pemuka agama (ulama)
dalam seluruh yuridiksi Mataram yang luput dari pembunuhan”. Sehingga
kemudian dibuatlah sebuah daftar para pemimpin agama terkemuka dan mereka
semua dikumpulkan di halaman istana. Kemudian sekitar 5.000 - 6.000 orang,
yang terdiri dari kaum ulama, beserta para keluarganya baik itu pria, wanita dan
anak-anak dibantai dengan keji (1647 M).108 Sang Susuhunan selanjutnya merevisi
administrasi peradilan, yang diperkenalkan oleh ayahnya, dan membatasi yurisdiksi
pengadilan agama (Surambi).109
Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan, kali ini
terhadap Mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang
dituduh merencanakan pembunuhan terhadap sang Raja.
Sultan Amangkurat I juga membuat kebijakan-kebijakan yang kontrofersial
yaitu; pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan berusaha untuk
menyingkirkannya. Pada masanya ribuan ulama Syahid dibunuh Sultan Amangkurat
I. Kedua, menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di Kesultanan, seperti
menghapus Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh Ayahnya. Ketiga,
membatasi perkembangan Islam dan melarang kehidupan Agama mencampuri
107 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 142.108 De Graaf, Disintegrasi Mataram.., op.cit. h. 38109 Rochmat Gatot Santoso, Kebijakan Politik Dan Sosial-Ekonomi Di Kerajaan Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan
Amangkurat I (1646-1677), Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarya 2016. h.9
“ Amangkurat
I menilai bahwa
adanya ulama
atau santri dalam
pemerintahannya
akan sangat
berbahaya,
terutama bagi
tahtanya.”
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
42
masalah kesultanan. Keempat, membangun kerjasama dengan penjajah Belanda
yang menjadi musuh bebuyutan Ayahnya.
Demikianlah gambaran tindakan Amangkurat I yang mempengaruhi masa
kehancuran Mataram, bahkan dalam laporan umum VOC di Batavia tanggal 16
Desember 1659, dikemukakan keyakinan bahwa apabila peperangan terjadi, Sang
Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu
ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan
tentaranya kepada pembesar manapun, karena kezaliman pemerintahan yang
dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”.
Prediksi kompeni tersebut benar terjadi. Para penguasa lokal mulai menunjukan
ketidaksukaanya terhadap penguasa Mataram. Satu per satu pangeran penguasa
kadipaten dan anggota keluarga Sunan sendiri mulai menentang kekuasaanya.
Cara Amangkurat I dalam memerintah yang zalim telah mendatangkan kemarahan
masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang ulama keturunan Sunan Bayat,
melakukan perlawanan. Ia menyusun kekuatan dari para santri dan rakyat pedesaan.
Raden Kajoran mendapat dukungan dari Raden Anom, anak Sultan Amangkurat I
dan Trunojoyo bangsawan dari Madura, yang kemudian menjadi menantu Raden
Kajoran. Kekuatan semakin kuat ketika Karaeng Galesong bangsawan dari Gowa
Makassar bergabung. Namun perkembangan selanjutnya, Adipati Anom melakukan
pengkhianatan, yakni dengan keluar dari aliansi.
Trunojoyo merupakan putra dari Demang Malaya, yang pernah tinggal di
Mataram bersama ayahnya. Sewaktu masih berada di Mataram, Trunojoyo telah
banyak melihat kekejaman serta penyimpangan yang terjadi di istana, sehingga
Trunojoyo kemudian memutuskan untuk tinggal di Sampang bersama dengan
keluarga pamannya, Cakraningrat II. Selama berada di istana, ayahnya dibunuh
(1656 M) dan dirinya terancam. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu alasan
mengapa Trunojoyo sangat membenci Amangkurat I.110
Pemberontakan semakin meluas, ketika pasukan Trunojoyo dan Makasar
memperoleh kemenangan di berbagai daerah pesisir utara Jawa, seperti: Surabaya,
Gresik, Sidayu, Tuban, Rembang, dan Lasem. Barisan Trunojoyo, atas nama Islam,
menyeru pada orang-orang Jawa agar mendukung mereka mengalahkan Amangkurat
I yang bekerjasama dengan orang kafir, Belanda. Seruan ini mendapatkan tanggapan
yang positif, salah satunya dari Panembahan Giri (keturunan sunan Giri), yang
sangat merestui gerakan ini. Ia mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah
sejahtera selama VOC masih berada di Jawa. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya
semangat anti-VOC. Ditambah lagi kejahatan Amangkurat tehadap para ulama yang
sulit dilupakan.
Kegemilangan barisan Madura dan Makasar untuk menguasai wilayah pesisir di
Jawa mencapai puncaknya pada bulan Desember 1676 M dan Januari 1677 M. Barisan
ini berhasil menduduki Demak, Semarang, Kendal, Kaliwungu, Pekalongan, Tegal,
110 Capt. R. P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003, hlm.66 dan M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 86 dan 161
“ Kegemilangan
barisan Madura
dan Makasar
untuk menguasai
wilayah pesisir di
Jawa mencapai
puncaknya pada
bulan Desember
1676 M dan
Januari 1677 M.
Barisan ini berhasil
menduduki
Demak, Semarang,
Kendal, Kaliwungu,
Pekalongan, Tegal,
dan akhirnya
Cirebon dan
Indramayu.
Daerah-daerah
pesisir kemudian
berhasil direbut
kembali dari
pasukan Trunojoyo
dengan bantuan
VOC.”
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
43
dan akhirnya Cirebon dan Indramayu. Daerah-daerah pesisir kemudian berhasil
direbut kembali dari pasukan Trunojoyo dengan bantuan VOC.111
Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC
untuk membantunya. VOC lebih suka berhubungan dengan Amangkurat daripada
dengan Trunojoyo yang dianggap berbahaya. Pada bulan Desember 1676 VOC
mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu
Amangkurat. Sebagai gantinya, Kompeni menuntut Amangkurat mengganti kerugian
perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Singkatnya pada tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan
kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Mataram di Plered. Namun
sebelumnya, pada malam hari Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga
dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, bermaksud menuju Cirebon untuk
berlindung ke Belanda. sementara istana diserahkan kepada putranya, Pangeran
Puger (kelak menjadi Pakubuwana I). Amangkurat kemudian wafat dalam upaya
pelarian tersebut, pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Sebelumnya
ia berwasiat agar anaknya, Mas Rahmat kembali bekerja sama dengan VOC untuk
merebut kembali tahta dari tangan Trunajaya.112
Mas Rahmat inilah yang nantinya bergelar Amangkurat II dan mendirikan
Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kasultanan Mataram. Amangkurat I juga
berwasiat untuk dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut
berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut
Tegalwangi atau Tegalarum. Amangkurat II memerintah dari tahun 1677 sampai
tahun 1703 M.
Sebelum Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan
Mataram yang baru. Setelah dilantik, Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II
ia segera melanjutkan kerjasamanya dengan Belanda untuk merebut kembali tahta
Mataram. Dalam perjanjian di Jepara Belanda menginginkan wilayah timur Karawang
dan upah dalam bentuk uang sebagai pengganti biaya perang. Setelah perjanjian
111 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 191112 M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 166
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
44
Jepara ditandatangani, Amangkurat II dan Belanda melakukan penyerangan ke
Mataram dan berhasil memukul mundur aliansi Raden Kajoran. Dengan demikian,
Sultan amangkurat II berhasil merebut kembali tahta Mataram.
Walaupun Sultan Amangkurat II meduduki Mataram dan berusaha
mengembalikan fungsi ulama, tetapi persoalan Mataram semakin runyam dengan
campur tangan Penjajah Belanda.113 Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-
wilayah Begelen, Kedu, Yogjakarta, dan Surakarta. Tragisnya, Mataram harus terpecah
menjadi dua oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi
Kasunanan Surakarta dengan rajanya Susuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan
Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Pada tahun 1757, Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai
Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di
Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan
Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Bendara Pangeran
Natakusuma atau lebih dikenal dengan Pakualam I.114
113 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 77-80114 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
45
� Kesimpulan
Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta
sejarah. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negara-
negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah Negara
atau negara Islam.
Demak dan Mataram serta negara yang lebih kecil lainnya telah menjadikan Islam
sebagai konstitusi negara dan membentuk lembaga peradilan yang memutuskan
hukumnya berdasar syariat Islam. Hukum Islam diberlakukan bagi seluruh pejabat
maupun rakyat di negara-negara tersebut. Dilengkapi dengan jihad fi sabilillah
(perang sabil) melawan penjajah kafir sebagai kebijakan politik luar negerinya.
Berdasarkan fakta sejarah di atas terlihat bahwa; negara-negara Islam tersebut
mengalami kejayaan dan masa keemasan ketika konsisten dengan syariat Islam.
Sebaliknya mulai dan mulai mundur, merosot dan menuju kehancuran ketika
berpaling dan mulai meninggalkan ajaran Islam.
Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa
pada tahun 1500-1700 M. Jadi jika ada wacana untuk mengembalikan negara Islam
di tanah Jawa bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak
nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal (local wisdom).
(K. Subroto)
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
46
Achmad Ridwan (Skripsi);”Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903”; Universitas Sebelas Maret Surakarta – 2010
Ade Soekirno, Cerita Rakyat Jawa Tengah: Pangeran Samber Nyawa (Jakarta: Grasindo, 1993)
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah, Tangerang : Transpustaka, 2011.
Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbarmedia, 2003
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 1, Penerbit Surya Dinasti Bandung
cet.2 tahun 2015
Bakdi Soemanto, Cerita Rakyat dari Yogyakarta 3 (Yogyakarta: Grasindo, 2003),
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009)
Capt. R. P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan
Sejarah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Revisi, Penerbit; RajaGrafindo
Persada Jakarta, 2003
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010
Encep Supriatna, Tokoh Penyiar Agama Islam Berikut Wilayahnya, https://www.
file.upi.edu
Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Departemen Agama, 1993
Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi
hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam
University Press.
G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, (Yogyakarta: UGM Press, 1989)
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1994)
Daftar Pustaka
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
47
Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas:
model pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam
Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005)
H. J. De Graaf And Tieodore G. Th. Pigeaud, Islamic States In Java 1500-1700,
Springer-Clence Business Media, B.V.
H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terj.
Grafiti press dan KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985
H.J. De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, Pustaka Grafitipers
Jakarta, cet. I tahun 1987
H.J. De Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kajian Sejarah Politik Abad ke-
15 dan ke1-16, Grafitipers Jakarta, cetakan ketiga 1989
H.J. De Graaf, Puncak Kajayaan Mataram. Penerbit Pustakan Grafiti pers. Jakarta.
Cet. I. 1986
H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan
Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990)
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jld. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981
Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961)
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit
: RajaGrafindo, 2003)
J.B.Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia
(Jakarta: Grasindo, 2007)
K. Subroto, Strategi Snouck Mengalahkan Jihad di Nusantara, Laporan Khusus
Edisi 1 / Januari 2017
Komandoko, Atlas pahlawan Indonesia, Yogyakarta: Quantum Ilmu 2011,
Lubis (ed.), Kesultanan Banten, Sejarah Tatar Sunda. Jilid I, 2003, Nina Herlina
Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara Pustaka LP3ES
Indonesia, cet. I 2004.
Mahrus El-mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada
Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012)
Mawarti Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III, PN. Balai pustaka,
Jakarta, 1984
Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983),
Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 1978)
Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta:
Kelompok Penerbit Pinus, 2007)
SYAMINAEdisi 4 / Maret 2017
48
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
2004
Naili Anafah. Op.Cit. h 4. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial
Politik KeIslaman dan Keagamaan (Jakarta: Milenium Publiser, 2000)
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara
Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, cet. I 2004. Ebook chm
Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan
Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin,
SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994
Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia, (Jakarta: Pustaka,
2006), hlm. 72. Lihat juga R. Tresna, 1978, Peradilan Agama dari Abad ke Abad,
(Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978)
Panitia Penelitian Dan Pemugaran Sunan Giri, Sejarah dan da’wah Islamiyah
Sunan Giri, Cet. I, II, Malang, 1974
Prof. a. Daliman, Islamisasi dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2012)
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis
Kultural, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004
Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Sejarah Kehidupan Kraton Dan
Perkembangannya Di Jawa, Yogyakarta : Media Abadi, 2007
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius,
1987)
Rahman, Pengantar Sejarah Jawa Timur, Jld I, Autometie, sumenep, 1979
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta : Serambi, 2005
Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah Atas Karya Klasik,
Bandung: Mizan, 1987
Rochmat Gatot Santoso, Kebijakan Politik Dan Sosial-Ekonomi Di Kerajaan
Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), Jurnal Program
Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarya 2016
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya Di Indonesia,
Bulan Bintang, Jakarta 1981
Salman Inskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: MIZAN, 2009)
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa Ban Timbulnya
Negara-negara Islam Di Nusantara, Bhatara, Jakarta, 1968
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa
Lampau:Studi tentang masa Mataraam II, abad XVI sampai XIX. (Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia, 1985).
SYAMINA Edisi 4 / Maret 2017
49
Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasar Syariat Islam Di Tanah Jawa,
SYAMINA Edisi II Januari 2016
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 1996
Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987
Thomas Arnold, The preaching Of Islam, Terj. Nawawi Rambe, Wijaya, Jakarta,
1977
Tim Penyusun Naskah Sultan Hadiri dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadiri dan
Ratu Kalinyamat Sebuah Sejarah Ringkas (Jepara:1991)
Tresna R. “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”. Pradnya Paramita. Jakarta
1978.Cetakan Ke-3.
Umar Hasyim, Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, 1979
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Penerbit Kurnia
Kalam Sejahtera Yogyakarta, 1994