Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Nilai Indeks Glikemik dan Kadar Gizi Mi Gandum (Triticum aestivum L.) Utuh
var. Dewata
(Glycemic Score and Nutrient’s Value of Whole Wheat (Triticum aestivum L.) Noodle
var. Dewata)
Febrine Pentadini* , Silvia Andini**, Sri Hartini**
*Mahasiswa Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika
**Dosen Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Jln. Diponegoro no. 52-60 Salatiga 50711
Abstrak
Indonesia memiliki gandum varietas Dewata, dimana produk pangan berbasis tepung
utuhnya mulai diminati masyarakat. Olahan pangan dari tepung gandum utuh bisa
menjadi alternatif pangan bagi penderita diabetes, karena memiliki nilai IG 55-69.
Kandungan amilosa, daya cerna pati, dan pati resisten memepengaruhi nilai IG.
Semakin tinggi kandungan amilosa dan pati resisten, serta semakin rendah daya cerna
pati, maka IG akan semakin kecil. Mi adalah produk olahan tepung gandum yang
digemari oleh masyarakat Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan
kandungan amilosa, daya cerna, pati resisten, indeks glikemik dan kadar gizi mi
gandum utuh. Mi dibuat dari tepung terigu yang tersubstitusi tepung gandum utuh var.
Dewata sebesar 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Pati resisten dan daya cerna
ditentukan melalui metode enzimatik, sedangkan amilosa menggunakan metode
gelatinisasi dan serat melalui metode gravimetri. Data-data tersebut dianalisis
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan.
Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5% dilakukan untuk
menentukan beda antar perlakuan. Sedangkan kadar gizi meliputi kadar air (metode
gravimetri), abu (metode gravimetri), lemak (metode soxhlet), protein terlarut (metode
biuret), dan karbohidrat (metode anthrone) dianalisis secara deskriptif dengan 3 ulangan
pada mi yang disukai. Indeks glikemik menggunakan metode incremental area under
the blood glucose response curve (IAUC). Hasil dari penelitan menunjukkan semakin
banyak penambahan tepung gandum utuh, maka kadar amilosa, serat dan pati resisten
akan semakin besar, sedangkan daya cerna pati semakin kecil. Nilai indeks glikemik
dari mi gandum utuh adalah 66,23±6,14 lebih rendah daripada mi terigu. Selain itu, mi
yang dihasilkan memenuhi SNI.
PENDAHULUAN
Tepung gandum utuh kini mulai dikenal dan diminari oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia karena dinilai lebih kaya nutrisinya daripada tepung terigu.
Tepung gandum utuh berbeda dari tepung terigu karena tepung gandum utuh diperoleh
dari hasil penepungan semua bagian gandum, yaitu bran, germ, dan endosperm
(Nursantiyah, 2009; Muoma, 2013). Di Indonesia sendiri terdapat beberapa varietas
gandum yang berhasil ditanam dan dibudidayakan, salah satunya adalah gandum
varietas DWR-162 atau Dewata (Simanjuntak, 2002). Gandum ini ditanam di Getasan
Kabupaten Semarang. Semakin berkembangnya budidaya tanaman gandum maka
membuka potensi pengembangan produk pangan berbasis tepung gandum utuh lokal
tersebut.
Mi adalah pangan olahan basah yang digemari oleh masyarakat Indonesia, terbukti
dengan adanya peningkatan konsumsi produk makanan berbahan dasar terigu sebesar
0,2% setiap tahunnya sejak tahun 1990 hingga 2004 (Survei Sosial Ekonomi Pertanian,
2004). Mi mentah harus memiliki kadar gizi yang sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI) No. 01-2987-1992.
Gandum utuh memiliki indeks glikemik 55-69 (Brand-Miller, 2003 ; Foster-Powell,
1999). Pangan bernilai glikemik rendah sangat disarankan untuk penderita diabetes,
karena karbohidrat di dalamnya tidak langsung dikonversi menjadi gula darah (Praptini,
2011). Oleh karena itu olahan pangan dari tepung gandum utuh dapat menjadi alternatif
pangan bagi penderita diabetes.
Indeks glikemik sangat dipengaruhi oleh kadar amilosa dan daya cerna pati pada
makanan. Makanan yang kandungan amilosanya tinggi berhubungan dengan kadar gula
darah yang rendah (Frei dkk., 2003). Kandungan amilosa pada tepung dipengaruhi oleh
ukuran dan bentuk biji, bentuk kristal, tingkat polimerisasi dan komponen tepung. Hal
tersebut juga sangat berpengaruh pada daya cerna pati (Noda dkk., 2008). Daya cerna
pati merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk dapat dicerna dan
diserap dalam tubuh. Daya cerna pati sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
kadar amilosa, amilopektin, protein, lemak, serat, proses pengolahan dan lain-lain
(Ratnaningsih, 2010).
Pati resisten didefinisikan sebagai fraksi pati atau produk degradasi pati yang tidak
terabsorbsi dalam usus halus individu yang sehat, bersifat resisten terhadap hidrolisis
enzim amilase (Shin dkk., 2004). Pati resisten dikategorikan sebagai bagian dari serat
pangan. Menurut Sajilata (2006) pati resisten memiliki efek fisiologis yang bermanfaat
bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik, berperan
sebagai prebiotik, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak.
Dengan demikian, pati resisten dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pangan
fungsional. Kandungan pati resisten dalam makanan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : sangat rendah(<1%), rendah (1-2,5%), sedang (2,5-5%), tinggi (5-15%) dan
sangat tinggi (>15%) (Goni dkk., 1996).
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan kandungan amilosa, daya cerna pati, serat kasar, dan pati resisten,
pada mi gandum utuh.
2. Menentukan indeks glikemik mi gandum utuh.
3. Menentukan kadar gizi, meliputi kadar air, abu, lemak, protein terlarut, serta
karbohidrat mi gandum utuh yang disukai.
METODA PENELITIAN
Bahan dan piranti
Bahan utama yang digunakan adalah tepung gandum utuh varietas Dewata yang
diperoleh dari Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana. Tepung dibuat
dari hasil penggilingan biji gandum utuh menggunakan mesin penggiling dengan mesh
0,4 mm. Bahan kimia yang digunakan adalah HCl, NaH2PO4.2H2O, Na2HPO4.12H2O,
CuSO4.5H2O, K2SO4 KI, NaKTartart, petroleum eter, H2SO4 98%, anthrone, I2, KI,
glukosa standar, amilosa standar, maltosa standar (grade pro analyse, E-Merck,
Jerman), NaOH, etanol, KOH (teknis, E-Merck, Jerman), DNSA (asam dinitrosalisilat)
(BDH, UK), enzim α-amilase dan enzim protease dari buah crude (Fakultas Teknologi
Pertanian, UGM, Indonesia), enzim amiloglukosidase (SIGMA A-9913, Jerman), dan
akuades (Kotterman 1033, Jerman).
Piranti yang digunakan antara lain moisture analyser (OHAUS MB25, USA),
inkubator (WTB binder, Jerman), spektrofotometer (Optizen 2120 UV, Korea),
penangas air (Memmert WTB A4, Jerman), tanur (Ney Vulcan A-550, USA),
timbangan analitik digital (OHAUS PA114, USA), peralatan gelas (Pyrex, USA dan
Herma, Cina), dan alat pengukur gula darah (Easy Touch GU, Taiwan).
Metode
Pembuatan Mi Gandum Utuh
Pembuatan mi pada penelitian ini menggunakan tepung gandum utuh yang
disubstitusikan pada tepung terigu sebesar 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Sebagai
kontrol adalah mi tanpa substitusi tepung gandum utuh (0%).
Tabel 1. Formulasi Mi
Bahan Formulasi mi dengan penambahan tepung gandum utuh
0% 10% 20% 30% 40% 50%
Tepung terigu (g) 500 450 400 350 300 250
Tepung gandum utuh (g) 0 50 100 150 200 250
Telur (butir) 1 1 1 1 1 1
Garam (g) 3 3 3 3 3 3
Soda kue (g) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Kadar serat kasar (Sudarmadji, 1985)
Sampel dihaluskan, ditimbang 2 g bahan kering dan bebas lemaknya. Kemudian
ditambahkan 200 mL larutan H2SO4 2,5% lalu ditutup dengan pendingin balik dan
didihkan selama 30 menit. Suspensi disaring dan residu dicuci dengan akuades
mendidih. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke erlenmeyer dan
sisanya dicuci dengan 200 mL larutan NaOH 2,5% sampai semua residu dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, tutup dengan pendingin balik dan dididihkan selama 30 menit.
Setelah itu, disaring dengan kertas saring kering yang diketahui beratnya sambil dicuci
dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci dengan akuades mendidih dan 15 mL alkohol
95%. Kemudian kertas saring dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan. Setelah itu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar Amilosa (Apriyantono dkk., 1989 dalam Gustiar 2009)
Sebagai kurva standar digunakan 40 mg amilosa standar yang ditimbang secara teliti,
dan ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 M ke dalam tabung reaksi.
Larutan dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel
pati dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 mL dan ditambah akuades
sampai tanda tera. Larutan amilosa standar ini sebagai larutan stok. Larutan dipipet 1, 2,
3, 4, dan 5 mL dan dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam
Comment [01]: Dibawah prosentase ditambah satu garis lagi!
masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL
larutan asetat 1 M. Ditambahkan 2 mL larutan iod ke dalam labu, ditera dengan akuades
dan dihomogenkan. Larutan dibiarkan 20 menit dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 625 nm.
Sebanyak 100 mg sampel pati ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 M
ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi dipanaskan pada suhu 95oC sampai terbentuk
gel. Setelah didinginkan, larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL
secara kuantitatif dan ditambahkan akuades sampai tanda tera dan dihomogenkan.
Dipipet 5 mL larutan pati kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam
labu, ditambah 1 mL larutan asam asetat 1 M dan 2 mL larutan iod, lalu ditera dengan
air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 625 nm.
keterangan : 30% = jumlah amilosa dalam 100 % pati
Daya Cerna Pati (Muchtadi dkk., 1992)
Sebanyak 1 g sampel ditambahkan dengan 100 mL akuades. Wadah ditutup dengan
aluminium foil dan dipanaskan hingga mencapai suhu 90oC sambil diaduk. Sampel
segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet 2 mL ke dalam tabung
reaksi bertutup dan ditambahkan 3 mL akuades dan 5 mL buffer fosfat 0.1 M pH 7.
Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup
dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5
mL larutan enzim α-amilase (1 mg/mL dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5
mL buffer fosfat 0.1 M pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30
menit. Sebanyak 1 mL campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi
bertutup berisi 2 mL larutan DNSA. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12
menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan ditambahkan 10
mL akuades dan dihomogenkan. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNSA terhadap 0,0; 0,2;
0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL larutan maltosa standar 0.5 mg/mL yang ditepatkan menjadi 1
mL dengan air destilata.
Comment [02]: Kemudian bukan Subyek!! Masa Kemudian mau diukur??
Kadar Pati Resisten (AOAC 1995 yang dikombinasikan dengan AOAC 1985
dalam Gustiar, 2009)
Sampel ditimbang 0,5 g dan dilarutkan dalam 25 mL buffer fosfat 0,08 M (pH 6,0)
lalu ditutup aluminium foil. Larutan ditambah 0,2 mL enzim α-amilase dan diinkubasi
pada suhu 95oC selama 30 menit dengan diaduk lembut. Setelah didinginkan sampai
suhu ruang, pH larutan diatur hingga 4,5 dengan HCl 0,275 M dan ditambahkan 30 μL
enzim amiloglukosidase (10 mg/mL buffer fosfat pH 6.0) lalu diinkubasi dengan
penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai
suhu ruang, pH campuran diatur menjadi 7,5 dengan menambahkan larutan NaOH
0,325 M, lalu ditambah 50 μL enzim protease (40 mg protease/50 mL buffer fosfat pH
6,0) dan campuran diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30
menit. Larutan disentrifuse 3000 rpm selama 10 menit dan diambil bagian peletnya.
Pelet dicuci dua kali dengan etanol 80% dan akuades dan ditambah 1 mL akuades.
Larutan dipanaskan pada suhu 100oC selama 20 menit sambil dikocok halus. Larutan
ditambah 1 mL KOH 4 M kemudian diaduk selama 30 menit pada suhu ruang. Larutan
ditambah 1 mL buffer asetat 0,4 M pH 4,75 lalu ditambah HCl 2 M sampai pH 4,75.
Setelah itu, ditambahkan 60 μL amiloglukosidase (10 mg/mL buffer asetat 0,4 M pH
4,75) dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 60oC selama 30 menit lalu
disentrifuse 3500 rpm selama 30 menit. Kemudian supernatan diambil dan ditepatkan
menjadi 10 mL (larutan stok).
Kadar gula diukur dengan metode anthrone. 1 mL larutan stok dipipetkan ke labu
ukur 100 mL dan ditepatkan dengan akuades. Larutan stok sampel yang telah
diencerkan sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu
ditambahkan dengan 5 mL pereaksi Anthrone 0,1%. Sebagai standar adalah larutan
glukosa murni 0,2 mg/mL sebanyak 0,0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL yang masing-
masing kemudian ditepatkan menjadi 1 mL dengan akuades. Tabung ditutup dan
diinkubasi pada suhu 100oC selama 12 menit. Larutan segera didinginkan dan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 630 nm.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Pengujian organoleptik yang dilakukan meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur mi
gandum utuh dengan skala hedonis sebagai berikut 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka,
3= agak suka, 4= suka, 5= sangat suka. Penilaian dilakukan kepada 30 orang panelis.
Kadar Air Metode Gravimetri (AOAC 1995)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang. Sebanyak 1 g sampel mi gandum utuh yang disukai ditimbang
dengan tepat dalam cawan yang telah diketahui bobot kosong tersebut, lalu dikeringkan
dalam oven pengering suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga
diperoleh berat konstan.
Kadar Abu Metode Gravimetri (AOAC 1995)
Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan dalam cawan porselen dan
ditimbang, lalu diabukan dalam tanur bersuhu 550oC sampai berwarna putih. Setelah itu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)
Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 5 g
dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring tersebut
diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut
petroleum eter dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 3-4 jam.
Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu
ditimbang.
Kadar Protein Terlarut Metode Biuret (AOAC, 1995)
Reagen biuret diibuat dengan melarutkan 0,15 g CuSO4.5H2O dan 0,6 NaKTartart
dalam labu ukur 50 mL. Larutan ditambah 30 mL NaOH 10% dan digenapkan dengan
akuades dalam labu ukur 100 mL.
Kurva standart dibuat dari larutan protein standar bovine serum albumine (BSA)
dengan konsentrasi 10 mg/mL. Larutan standar tersebut disiapkan satu seri dengan
konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 mg/mL dalam 1 mL. Larutan diaduk dan
dihomogenisasi selama 30 menit pada suhu ruang. Absorbansi larutan diukur pada
panjang gelombang 550 nm.
Sebanyak 5 g sampel dilarutkan dalam 15 mL akuades dan dipusingkan selama 15
menit. 5 mL supernatan diambil dan ditambah 1 mL NaOH 1 M dan dipanaskan dengan
penangas air suhu 90oC. Larutan didinginkan hingga mencapai suhu ruang dan diambil
1 mL lalu ditambah 4 mL reagen biuret dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu
ruang. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.
Kadar Karbohidrat Total Metode Anthrone (Apriyantono, 1989 yang dimodifikasi
dalam Gustiar, 2009)
Hidrolisis karbohidrat dengan asam
Sebanyak 3 g sampel dimaserasi dengan 30 mL etanol 80% pada suhu ruang selama
15 menit. Kemudian disaring dan dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50oC
selama 6 jam. Sebanyak 0,5 g sampel halus ditimbang dan ditambah 25 mL akuades dan
5 mL HCl 25%. Wadah ditutup, lalu dipanaskan pada suhu 100oC selama 2,5 jam untuk
menghidrolisis terigu. Setelah didinginkan, larutan hasil hidrolisis dinetralkan dengan
NaOH 25% dan diencerkan sampai 100 mL. Setelah itu, dihomogenisasi dan disaring
untuk kemudian disebut larutan stok
Penentuan total karbohidrat dengan metode Anthrone
Larutan stok dipipet 1 mL dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Sebanyak
1 mL larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan ditambahkan dengan 5
mL pereaksi Anthrone 0,1%. Sebagai kurva standar digunakan larutan glukosa standar
0,2 mg/mL sebanyak 0,0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL yang ditepatkan menjadi 1 mL
dengan akuades. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 12 menit.
Larutan segera didinginkan dengan air mengalir, lalu dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 630 nm.
Uji Indeks Glikemik (El, 1999 yang dimodifikasi dalam Gustiar, 2009)
Makanan yang akan ditentukan nilai indeks glikemiknya dianalisis proksimat untuk
mengetahui jumlah makanan yang harus dikonsumsi oleh panelis, yaitu setara dengan
50 g kandungan karbohidrat. Setiap porsi sampel yang akan ditentukan nilai indeks
glikemiknya diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air)
selama 10 jam. Panelis yang digunakan adalah individu sehat, tidak menderita diabetes,
dan memiliki IMT (indeks masa tubuh) normal (18-25). Panelis yang digunakan
berjumlah 10 orang (3 pria dan 7 wanita). Selama dua jam pasca pemberian asupan mi
gandum utuh yang disukai, sampel darah sebanyak 20 μL (finger-prick cappilary blood
samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur kadar glukosanya.
Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa
standar (sebagai pangan acuan) kepada panelis. Kadar gula darah (pada setiap waktu
pengambilan sampel) diplotkan pada dua sumbu waktu (X) dan kadar gula (Y). Indeks
glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan
yang diukur IG-nya dengan pangan acuan.
Analisa Data
Data serat kasar, amilosa, daya cerna pati, dan pati resisten yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok)
dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah konsentrasi penambahan
tepung gandum utuh. Pengujian rataan antar perlakuan menggunakan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5 % (Steel dan Torrie, 1980). Analisa
deskriptif dengan 3 kali ulangan dilakukan untuk parameter kadar air, abu, lemak,
protein terlarut, dan karbohidrat mi gandum utuh yang disukai panelis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amilosa dan Daya Cerna Pati
Pati merupakan bentuk homopolimer dari glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati
terdiri atas dua polimer yang berbeda, yaitu senyawa yang lurus (amilosa) dan senyawa
bercabang (amilopektin) (Muchtadi dkk., 2006). Amilosa adalah homopolimer lurus α-D-
glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) bersifat larut dalam air panas. Kandungan
amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar
amilosa sangat rendah dengan kadar < 10%, kadar amilosa rendah 10-20%, dan kadar
amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi > 25% (Aliawati 2003).
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh
enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Dalam metode ini sampel
dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit sederhana seperti maltosa. Kandungan
maltosa sampel ditentukan berdasarkan kurva standar maltosa. Daya cerna pati dihitung
sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Gustiar, 2009).
Kadar amilosa dan daya cerna pati pada mi sangat mempengaruhi nilai indeks
glikemiknya. Terjadi peningkatan kadar amilosa dan daya cerna pati pada mi semakin
menurun. Kadar amilosa dan daya cerna pati pada mi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kadar Amilosa dan Daya Cerna Pati (%±SD) Mi Gandum Utuh
PARAMETER MI GANDUM UTUH (%)
W 0 10 20 30 40 50
AMILOSA 30,85 ±
1,87a
31,98 ±
1,47a
31,74 ±
2,61a
32,99 ±
1,28a
34,57 ±
2,86ab
39,18 ±
2,85c
3,14
DAYA
CERNA
14,84 ±
1,49bc
12,94 ±
0,70b
11,45 ±
2,02ab
11,91 ±
0,96ab
10,03 ±
0,61a
8,93 ±
0,49a
1,97
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar amilosa pada setiap
subtitusi tepung gandum utuh. Pada mi gandum utuh 40% terdapat sedikit perbedaan
dari konsentraasi 0-30%. Sedangkan pada konsentrasi 50% ada beda nyata dimana
terjadi kenaikan sebesar 4,61% dari konsentrasi 40%. Kadar amilosa pada tepung
gandum utuh dan tepung terigu adalah 31,08% (bk) dan 27,70% (bk), yang
menunjukkan bahwa kadar amilosa tepung gandum utuh lebih besar. Amilosa
dipengaruhi dengan tingkat gelatinisasi dan proses pengolahan, dimana pada pangan
olahan kering kadar amilosa lebih tinggi daripada pangan olahan basah. Mi diolah
secara basah sehingga proses gelatinisasinya berjalan lebih cepat dan mempengaruhi
Comment [03]: Kadar amiosa (satuan)
Comment [04]: Tambah satu garis lurus dibawah prosentase.
jumlah pati yang larut. Hal ini menyebabkan struktur gel pati terutama amilosa akan
melemah karena diabsorbsi oleh air. Ikatan yang lemah memudahkan air masuk ke
dalam granula sehingga amilosa larut dalam air (Suardi, 2002).
Menurut Willet dkk. (2002), karbohidrat yang diserap secara lambat akan
menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi dalam
mengendalikan daya cerna pati yang dipengaruhi oleh komposisi amilosa. Dalam
pengukuran daya cerna pati digunakan enzim α-amilase. Enzim ini dapat memecah
sampel melalui proses hidrolisis, menjadi unit sederhana seperti maltosa (Gustiar,
2009). Maltosa adalah gula yang diserap di dalam usus halus, sehingga dalam
menentukan besar daya cerna pati, diukur melalui keberadaan maltosa. Daya cerna pati
pada mi gandum utuh adalah 8,93-14,84% (bk), dimana terdapat perbedaan yang nyata
pada setiap konsentrasi mi gandum utuh, kecuali konsentrasi 40% dan 50%. Semakin
besar jumlah tepung gandum utuh yang ditambahkan, maka semakin rendah daya cerna
pati, karena nilai daya cerna tepung gandum lebih rendah 1,12% dibandingkan dengan
tepung terigu. Hal ini seiring dengan kadar amilosa pada pangan olahan yang juga
meningkat dengan adanya penambahan tepung gandum utuh. Kandungan pati dan
komposisi amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap daya cerna pati
(Indrasari,2008).
Peningkatan Kadar Serat Kasar dan Pati Resisten
Pati resisten adalah bagian serat pangan sehingga keduanya berhubungan. Serat
yang diukur adalah serat kasar, tidak hanya serat pangan saja. Kadar serat kasar dan pati
resisten dalam mi gandum utuh cenderung mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya subtitusi tepung gandum utuh dalam pembuatan mi. Masing-masing
kadar serat kasar dan pati resisten dalam mi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar Serat Kasar dan Pati Resisten (%±SD) Mi Gandum Utuh
PARAMETER MI GANDUM UTUH (%)
W 0 10 20 30 40 50
SERAT KASAR 11,37 ±
0,98a
12,57 ±
1,30a
12,89 ±
0,92a
14,66 ±
1,61b
16,38 ±
0,95c
17,71 ±
0,91c
1,57
PATI RESISTEN 1,99 ±
0,15a
2,08 ±
0,23a
2,27 ±
0,12a
3,18 ±
0,08b
4,73 ±
0,15c
5,01 ±
0,35d
0,32
Comment [05]: Tambah satu garis lurus dibawah prosentase.
Comment [06]: Satuan??
Comment [07]: Satuan??
Mi gandum utuh mengalami peningkatan kadar serat kasar dan pati resisten mulai
dari penambahan tepung gandum utuh 30%. Hal ini dikarenakan tepung gandum utuh
sendiri kadar seratnya lebih tinggi 2,75% dibanding tepung terigu. Serat adalah
karbohidrat yang resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia, di dalam serat
terdapat selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, β-glukan, fruktan, dan pati resisten. Secara
umum gandum mengandung lebih banyak serat tak larut seperti lignin, selulosa, dan
hemiselulosa (Tala, 2009).
Kisaran angka pati resisten pada mi gandum utuh (Tabel 3) menurut Goni dkk (1996)
berada pada tingkatan sedang yaitu 2,5-5%. Kadar amilosa yang lebih tinggi dari
amilopektin menjadi salah satu faktor penentu hasil pati resisten (Sajilata, 2006). Hal ini
sesuai dengan kadar amilosa sampel yang tinggi dan cenderung meningkat.
Kadar Gizi Mi Gandum Utuh
Untuk menentukan kadar gizi, dilakukan uji organoleptik terlebih dahulu untuk
menentukan mi yang akan diuji nilai indeks glikemiknya dan dibandingkan dengan mi
terigu (kontrol). Produk mi gandum utuh dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil
organoleptik pada mi gandum utuh dapat dilihat pada Tabel 4.
Gambar 1. Mi gandum utuh berbagai konsentrasi
Tabel 4. Hasil Organoleptik Mi Gandum Utuh
Parameter Mi gandum utuh W
0 10 20 30 40 50
Warna 4,33 ±
0,2919b
3,83 ±
0,2869ab
3,67 ±
0,3111ab
3,17 ±
0,2658a
2,83 ±
0,3248a
2,50 ±
0,4139a
0,8241
Comment [08]: dkk.
Comment [09]: Bukan Subyek!!
Comment [010]: Gambar lengkapi dengan rasio perlakuan!!
Comment [011]: Tambah satu garis lurus dibawah prosentase!! Tabel tidak boleh terpotong!!
Aroma 3,10 ±
0,3583a
3,47 ±
0,2898a
3,63 ±
0,2856a
3,50 ±
0,2730a
3,40 ±
0,2703a
3,43 ±
0,3757a
0,6845
Tekstur 3,90 ±
0,3154ab
3,83 ±
0,2955ab
3,90 ±
0,2998ab
3,27 ±
0,3090a
2,97 ±
0,3175a
3,17 ±
0,4053a
0,8312
Rasa 4,03 ±
0,2296ab
3,97 ±
0,2296ab
3,70 ±
0,2432ab
3,50 ±
0,2137a
3,10 ±
0,3303a
2,77 ±
0,3205a
0,8134
1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak suka, 4= suka, 5= sangat suka
Menurut Meilgaard dkk. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan pada
suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap
produk tersebut secara keseluruhan. Semakin besar penambahan tepung gandum utuh,
warna mi yang kuning (kontrol) akan semakin kecoklatan. Dari hasil organoleptik
warna yang paling disukai adalah mi dengan konsentrasi 10% dengan skor 3,83 ±
0,2869. Aroma yang disukai adalah penambahan 20%. Berdasarkan analisisnya, dalam
parameter aroma tidak berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95% skornya adalah
3,63 ± 0,2856, yang menunjukkan bahwa penambahan tepung gandum utuh tidak
mempengaruhi aroma pada mi. Setser (1995) menyatakan bahwa tekstur merupakan
parameter kritis pada penampakan, flavor, dan penerimaan keseluruhan dari produk
makanan. Tekstur pada mi gandum utuh semakin besar penambahan tepung gandum utuh
teksturnya akan semakin kenyal, karena adanya gluten pada tepung gandum utuh. Tekstur
yang disukai oleh panelis adalah mi dengan konsentrasi 20% dengan skor 3,83 ± 0,2995.
Rasa pada mi gandum utuh tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%, namun
skor tertinggi adalah mi dengan konsentrasi 20% dengan skor 3,97 ± 0,2296. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan penambahan tepung gandum utuh tidak mempengaruhi
rasa pada mi. Keempat parameter tersebut menunjukkan bahwa mi gandum utuh yang
disukai adalah mi dengan penambahan tepung gandum utuh 10% dan 20%. Berdasarkan
hal tersebut, untuk pengukuran nilai indeks glikemik dan kadar gizi selanjutnya akan
menggunakan sampel mi gandum utuh 20% yang akan dibandingkan dengan mi tanpa
subtitusi gandum utuh 0% sebagai kontrol.
Mi gandum utuh yang dibuat memiliki kadar gizi yang lebih tinggi daripada mi
terigu. Perbedaan ini terlihat dengan adanya perbedaan kadar gizi pada tepung gandum
utuh dan terigu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan mi. Baik tepung dan mi
gandum utuh dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3751 : 2009
dan No. 01-2987-1992 Perbedaan kadar gizi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar Gizi Tepung dan Mi Gandum Utuh
PARAMETER SNI
TEPUNG
SNI
MI GANDUM UTUH
TERIGU GANDUM
UTUH
0 % 20 %
AIR (%) < 14,5 14,62 ± 0,61 9,37 ± 0,73 20-35 27,26 ± 0,51 27,69 ± 1,25
ABU (%) < 7 0,85 ± 0,31 2,14 ± 0,11 < 3 1,33 ± 0,19 2,69 ± 0,21
LEMAK (%) 2,06 ± 0,18 1,36 ± 0,26 3,05 ± 1,02 2,78 ± 0,61
PROTEIN
TERLARUT(%) > 7 12,91 ± 1,98 18,01 ± 1,43 > 10 12,45 ± 0,10 14,49 ± 0,36
KARBOHIDRAT
(%) 52,93 ± 1,25 65,93 ± 0,31 56,59 ± 2,70 62,12 ± 3,22
Tepung gandum utuh memiliki kadar gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung terigu. Kecuali lemak yang lebih rendah, kadar air, abu, protein terlarut dan
karbohidrat mengalami peningkatan dibanding tepung terigu. Hal ini dikarenakan
tepung gandum utuh tidak hanya bagian endosperm saja, namun ada bagian bran dan
germ gandum dimana bagian bran memiliki kandungan serat yang tinggi, vitamin B,
lemak, protein dan mineral (Fitriyanto, 2009). Pada hasil Tabel 5, jika dibandingkan
dengan SNI . 3751 : 2009 tentang tepung dan 01-2987-1992 tentang mi, baik tepung dan
mi gandum utuh masih memenuhi standar yang ditentukan, sehingga layak untuk
dikonsumsi.
Nilai Indeks Glikemik Mi Gandum Utuh
Nilai indeks glikemik pada mi gandum utuh lebih kecil dibandingkan dengan
indeks glikemik pada mi tanpa penambahan tepung gandum utuh. Nilai indeks glikemik
dapat dihitung melalui area di bawah kurva perubahan kadar glukosa darah. Kurva
perubahan kadar glukosa darah setelah mengkonsumsi mi terigu dan mi gandum utuh
ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Mi yang akan dianalisis indeks glikemik harus dianalisis proksimat terlebih dahulu
untuk mengetahui jumlah mi yang harus dikonsumsi oleh relawan atau panelis dalam uji
indeks glikemik, yaitu setara dengan 50 gram kandungan karbohidrat termasuk
polisakarida non pati (El 1999). Kadar karbohidrat mi terigu tanpa penambahan gandum
utuh diperoleh sebesar 56,59%, sehingga jumlah sampel yang harus ditimbang adalah
sebesar 88 g. Mi gandum utuh 20%, diperoleh kadar karbohidrat sebesar 62,12%, maka
jumlah sampel yang harus ditimbang adalah sebesar 80 g.
Comment [012]: Tambah satu garis lagi!!
Gambar 2. Kurva perubahan kadar glukosa darah rata-rata relawan setelah konsumsi mi terigu.
Gambar 3. Kurva perubahan kadar glukosa darah rata-rata relawan setelah konsumsi mi gandum
utuh.
Dari kurva di atas masing-masing dapat dihitung luas area di bawah kurva dengan
menggunakan perhitungan luas trapesium dan selanjutnya dibandingkan dengan standar
yaitu glukosa. Nilai indeks glikemik mi gandum utuh lebih rendah daripada nilai mi terigu
yaitu 66,23±6,14 dan 69,49±1,37. Hal ini disebabkan lebih tingginya kandungan serat dan
pati resisten, serta lebih rendahnya daya cerna mi gandum utuh dibandingkan dengan mi
terigu. Serat pangan dan RS merupakan komponen yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
pencernaan sekaligus dapat menghambat metabolisme karbohidrat dalam saluran
pencernaan (Gustiar, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung gandum utuh
dapat menurunkan nilai indeks glikemik suatu pangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kadar amilosa pada mi gandum utuh 30,85-39,18%, dimana semakin besar
jumlah penambahan tepung gandum utuh maka semakin besar kadar amilosa.
Daya cernanya sebesar 14,84-8,93%, semakin kecil dengan meningkatnya
penambahan tepung. Serat kasar mi adalah 11,37-17,71 dan pati resisten 1,99-
5,01%, dimana semakin meningkat dengan meningkatnya penambahan tepung
gandum utuh.
2. Mi gandum utuh 20% memiliki kadar gizi yang memenuhi SNI 01-2987- 1992.
Kadar gizi mi gandum utuh 20% lebih tinggi dibandingkan kadar gizi mi tanpa
penambahan tepung gandum utuh, selain kadar lemak yang mengalami
penurunan.
3. Indeks glikemik mi gandum utuh 20% adalah 66,23±6,14 lebih rendah
dibandingkan dengan mi terigu yaitu 69,49±1,37.
Saran
Penambahan konsentrasi tepung gandum utuh perlu ditingkatkan lagi untuk
mencapai nilai indeks glikemik yang lebih rendah, namun produk tetap disukai. Metode
pengukuran kadar serat kasar perlu dioptimalkan lebih lanjut. Selain itu perlu dilakukan
pengukuran kadar serat pangan untuk memperkuat nilai pati resisten.
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas terlaksananya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.
Djoko Murdono, M. P selaku sponsor dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aliawati G. 2003. Teknik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian. 8
(2) : 82-84.
AOAC, Official Methods of Analysis of the Associaion Analytical Chemist. Inc,
Washington D.C., 1995.
AOAC, Official Methods of Analysis of the Associaion Analytical Chemist. Inc,
Washington D.C., 1985.
Badan Standarisasi Nasional, SNI 01-2987-1992 tentang Mi Basah. Jakarta, 1992
Behall, K.M. and J. Hallfrisch. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction after
consumption of bread varying in amylose content. Eur. J. Clin. Nutr. 56(9):913-
920.
Comment [013]: Kepada Dikti melalui PROGRAM....... yang diketuai oleh
Brand-Miller J, Hayne S, Petocz P, dan Colagiuri S. 2003. Low-glycemic index diets in
the management of diabetes: A meta-analysis of randomized controlled trials.
Diabetes Care, 26, 2261–2267.
Carreira, M.C., F.M. Lajolo, and E.W. de Menezes. 2004. Glycemic index: effect of
food storage under low temperature. Brazilian Archives of Biology and Technology
47(4):569.
Erwidodo, H.P, Saliem, E. Ariningsih, Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan
Utama di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian : Bogor, 2004
Foster-Powell K dan Miller B. 1995. International tables of glicemic index. American
Journal of Clinical Nutrition. 62 : 871s-893s.
Frei, M., Siddhuraju, P. and Becker, K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility
and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the
Philippines. Food Chemistry 83 : 395-402.
Goni, I., L.G Diz, E. Manas, and F.S Calixto, “Analysis of Resistant Starch : a Method
for Foods and Food products,” Journal Food Chem, vol. 56, no.4, pp. 445-449,
1996.
Gustiar, Haris. 2009. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan
Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Bogor : IPB.
Idris, S. 1994. Metode Pengujian Bahan Pangan Sensoris. Fakultas Peternakan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Leach, H. W, Gelatinization of Starch, In : Goldsworth, R (Eds). Abundant of Plant
Varieties, New York : World Wide Inc, 1965
Ludwig DS. 2000. Dietary glycemic index and obesity. J Nutr Supl 130: 280S- 283S
Muchtadi D, Palupi NS, dan Astawan M. 1992. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi
dalam Evaluasi Nilai Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.
Muoma, Ike. 2013. Whole Grain Vs Whole Wheat Vs Whole Meal Vs GranaryRefined
Bread? Which is best? What to choose?. URL
www.iketrainer.co.uk/articles/breads.pdf . Diakses pada 15 September 2013.
Noda, T., Takigawa, S., Matsuura-Endo, C., Suzuki, T., Hashimoto, N., Kottearachchi,
N.S., Yamauchi, H. and Zaidul, I.S.M. 2008. Factors affecting the digestibility of
raw and gelatinized potato starches. Food Chemistry 110 : 465-470
Nursantiyah. 2009. Gambaran Umum Industri Tepung Terigu di Indonesia dan
Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Terkait. Jakarta : UI.
Praptini, P.E. 2011. Menu 30 Hari dan Resep untuk Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Umum
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2003. Trend Konsumsi
Pangan Produk Gandum di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Indonesia , 25, hal. 11-12.
Ratnaningsih. 2010. Pembuatan Tepung Komposit dari Jagung, Ubikayu, Ubijalar dan
Terigu (Lokal dan Impor) untuk Produk Mi. Bogor : Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks glikemik pangan. Penebar Swadaya. Jakarta
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK., “Resistant starch” –a review., Journal
Comprehensive review in food science and food safety, 2006
Schulz, A.G.M., J. M. M Van Amelsvoort, and A.C Beynen, “Dietary Native Resistant
Starch but Not Retrograded Resistant Starch Raises Magnesium and Calcium
Absorption in Rats,” Journal Nutrition, vol.123, pp.1724-1731
Shin S, Byun J, Park KW, and Moon TW, “Effect of partical acid and heat moisture
treatment of formation of resistant tuber starch,” Journal Ceral Chemistry, vol.81,
no.2, pp. 194-198, 2004
Simanjutak, B.H. 2002. Prospek Pengembangan Gandum (Triticum aestivum L) di
Indonesia. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.
Soto R.A., Acevedo E., Feria J., Villalobos R., Perez L.A., “Resistant starch made from
banana starch by autoclaving and debranching,” Journal starch, vol. 56, pp. 495-
499, 2004
Steel, R.G.D and Torrie, J.H, Principles and Procedure of Statistics : A Biometrical
Approach 2nd ed. McGraw-Hill, New York, 1980.
Suardi, Suarni, A. Prabowo. 2002. Prosesing Sorgum sebagai Bahan Pangan. Sulawesi
Selatan : Seminar Nasional Balai Pengkajian Pertanian