25
Oleh : Edi Suprapto | ARuPA Petani Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-Banten POLICY PAPER No 01/2014

No 01/2014 Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-Bantenarupa.or.id/sources/uploads/2014/07/Kemitraan-Jabar-Banten.pdf · Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten masing-masing adalah 816.602,70

Embed Size (px)

Citation preview

WORKING PAPER No. 01

Oleh :Edi Suprapto | ARuPA

Petani

Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-Banten

POLICY PAPERNo 01/2014

Oleh :Edi Suprapto | ARuPA

Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-Banten

POLICY PAPERNo 01/2014

Kemitraan Kehutanan di Jawa Barat-BantenOleh Edi Suprapto | ARuPA

1. Pengantar

Pola kemitraan atau kerjasama merupakan hal baru dalam pengelolaan hutan di Jawa. Istilah tersebut baru mulai dibicarakan pada era reformasi. Sebelumnya, pengelolaan hutan di Jawa bahkan secara lebih luas di Indonesia adalah model pengelolaan hutan dengan pelaku tunggal yang dominan baik pada level penyusunan rencana, pelaksanaan rencana, pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan. Di Jawa, aktor tunggal yang dominan tersebut adalah Perum Perhutani. Namun ternyata, model pengelolaan seperti tersebut terbukti gagal dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Potensi sumber daya hutan tergerus, konflik sosial tidak terkelola dengan baik dan kemiskinan tetap melanda masyarakat sekitar hutan.

Berdasar pada pengalaman kegagalan pengelolaan hutan Jawa di era sebelumnya, maka pengelolaan hutan bersama, pengelolaan kolaboratif ataupun kemitraan didudukan sebagai alternatif penyelesaian masalah pengelolaan hutan khususnya menyelesaikan konflik sosial. Ada harapan-harapan melalui kemitraan misalnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadi lebih nyata. Dalam kemitraan ada semangat kebersamaan, mengandung spirit berbagai baik peran, ruang maupun keuntungan. Pengelolaan hutan bukan menjadi domain satu stakeholder dalam hal ini pemerintah. Pengelolaan hutan tidak lagi bersumber pada sebuah perencanaan yang sudah matang akan tetapi berbicara bagaimana membangun kesepakatan-kesepakatan secara demokratis, yang outcomenya semata-mata demi kesejahteraan rakyat.

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Pag

e 1

Kemitraan harus melibatkan seluruh individu, organisasi atau lembaga-lembaga yang secara langsung tergantung pada sumber daya yang disebut Grimble et al. (1995) sebagai stakeholder tingkat mikro. Mitra-mitra lain mungkin termasuk stakeholder tingkat makro, seperti pejabat pemerintah, academia dan organisasi-organisasi nasional yang tidak secara langsung tergantung pada sumberdaya hutan tertentu. Suatu kemitraan yang efektif memberikan anggota dan konstituennya peluang untuk bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan baru pada pengelolaan sumberdaya, mengakui dan berbagi resiko kegagalan. Pada saat yang sama, untuk stakeholder individu, akan ada resiko yang menempel pada perubahan kekuasaan dan pengaruh, untuk menjadi lebih transparan dalam menegosiasikan atau menerima dan belajar dari kritik. Kemitraan ingin mengatasi resiko-resiko ini dengan mencobakan bentuk komunikasi, interaksi dan pengambilan keputusan yang baru di antara para stakeholder. Waktu dan proses pengembangan rasa saling percaya hingga bekerja sama selama bertahun-tahun

1menjadi faktor yang paling penting.

Dalam model kemitraan, pengelolaan bersama bukan berarti hak-hak individu, organisasi atau lembaga yang melekat sebelumnya dihilangkan atau dikurangi. Kemitraan harus dijadikan sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan hak-hak serta kewenangan para stakeholder. Identifikasi stakeholder beserta segala hak dan kewenangannya harus menjadi dasar bagi pengembangan atau implementasi kemitraan.

___________1 Ayling, Ron D (2005) Hutan Model: Pendekatan Berbasis Kemitraan untuk Pengelolaan Lanskap, dalam eva wollenberg et al (ed) Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor: Latin dan CIFOR.

Pag

e 2

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Di dalam kemitraan para stakeholder harus saling mendukung dan berkontribusi dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lebih baik. Atas kontribusi dan tanggung jawab yang diberikan tersebut masing-masing stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan benefit.

2. Regulasi Kemitraan Kehutanan

Peraturan dan kebijakan pertama kali mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat di Jawa adalah SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No.136 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Sebelumnya terdapat sejumlah peraturan atau kebijakan pengelolaan hutan tetapi terbatas pada kegiatan pemberdayaan dan tidak secara eksplisit mengatur pengelolaan hutan bersama atau kemitraan. Seperti dilaporkan dalam studi Arupa, peraturan mengenai PHBM di Perhutani mengalami beberapa kali perubahan.

PHBM merupakan keberlanjutan atau penyempurnaan program perhutanan sosial yang telah diterapkan sejak beberapa dekade sebelumnya. Terlepas dari bias kepentingan Perhutani bahwa program PHBM dilaksanakan untuk mendukung partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat dalam mencegah penebangan liar dan perambahan hutan, PHBM dapat dipandang sebagai sebuah peluang memperluas makna peran MDH dalam mengakses sumber daya hutan. Perhutani mengklaim PHBM dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya dan berbagi dengan prinsip saling menguntungkan serta berangkat atas kesadaran akan tanggung jawab sosial Perhutani.PHBM memberikan penegasan peran signifikan stakeholder dalam kerangka pengelolaan hutan. P

age 3

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Stakeholder tersebut adalah masyarakat desa hutan dan pihak lainnya dalam posisi sebagai mitra sejajar dalam hal dan kedudukannya dengan Perhutani. Di samping itu dalam bingkai kemitraan maka PHBM dilengkapi dengan mekanisme yang lebih dialogis ketimbang preferensi kepentingan sepihak Perhutani. Pendekatan konsultatif menjadi metode/cara yang digunakan dalam merumuskan

2hak, kewenangan tanggung jawab dan kewajiban para pihak.

Beberapa tahun setelah Perhutani menjalankan PHBM, kemudian terbitlah Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Menurut PP tersebut di pasal 84, pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil dapat dilakukan melalui kemitraan. Kemudian pada pasal 99 disebutkan pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan melalui kemitraan pada kawasan hutan yang telah diberikan izin pemanfaatn hutan atau pada hutan yang telah diberikan hak pengelolaannya kepadan BUMN bidang kehutanan. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, wajib memfasilitasi terbentuknya kemitraan antara masyarakat setempat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan. Kemitraan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan dengan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan tidak mengubah kewenangan dari pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan kepada masyarakat setempat.

__________2 Suprapto, E & Purwanto, AB (2013) Hutan Jawa: Kontestasi dan Kolaborasi. Yogyakarta: BP ARuPA, hal 78 – 81. P

age 4

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Tetapi sejumlah ketentuan dalam PP 6 tahun 2007 tersebut tidak segera dapat dilaksanakan karena belum ada aturan turunannya. Baru kemudian pada tahun 2013, Menteri Kehutanan menerbitkan PP no 39 tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Dalam peraturan menteri tersebut yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui Kemitraan Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangkan Kemitraan Kehutanan adalah kerjasama antara masyarakat setempat dengan Pemegang Izin pemanfaatan hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Dan tujuannya adalah terwujudnya masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat secara langsung, melalui penguatan kapasitas dan pemberian akses, ikut serta dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari, dan secara bertahap dapat berkembang menjadi pelaku ekonomi yang tangguh, mandiri, bertanggung jawab dan profesional. Ada sejumlah prinsip kemitraan yaitu kesepakatan, kesetaran, saling menguntungkan, lokal spesifik, kepercayaan, tranparansi dan partisipasi.

Meskipun sudah didukung dengan sejumlah peraturan dan kebijakan implementasi kemitraan kehutanan tentu akan menghadapi sejumlah persoalan sebagaimana halnya dengan du a m odel p em b erdaya a n la in nya ya i t u hu t a n kemasyrakatan dan hutan desa.

Pag

e 5

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Tidak adanya strategi implementasi dan pembiayaan adalah salah satu penyebabnya. Masalah lain adalah tidak adanya political will dari pemerintah daerah seperti yang dimandatkan dalam PP 6 tahun 2007 sebagai pihak yang harus memfasilitasi implementasi kemitraan kehutanan. Pembatasan kemitraan kehutanan pada kawasan hutan yang telah diberikan izin pemanfaatn hutan atau pada hutan yang telah diberikan hak pengelolaannya kepadan BUMN bidang kehutanan menyebabkan sejumlah prinsip kemitraan akan sulit terpenuhi.

3. Pola Kemitraan Kehutanan Di Jawa Barat dan Banten

Studi ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran model kemitraan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani Div. Reg Jawa Barat dan Banten. Luas hutan di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten masing-masing adalah 816.602,70 ha dan 201.787,00 ha. Sesuai Surat K e p u t u s a n m e n t e r i K e h u t a n a n N o m o r 195/Kpts/Menhut/2003, hutan di Provinsi Jawa Barat terdiri dari Hutan Produksi seluas 393.117 ha, Hutan Lindung seluas

3291.305 ha, dan Hutan Konservasi seluas 132.180 ha. Sedangkan hutan Provinsi Banten terdiri dari Hutan Produksi seluas 70.797 ha, Hutan Lindung seluas 9.471 ha dan Hutan

4Konservasi seluas 127.892 ha.

Sebagaimana halnya di provinsi lainnya di Pulau Jawa, hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Barat dan Banten hak pengelolaannya berada ditangan Perum Perhutani.

__________3.http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=334&idBerita=525. diacces tanggal 4 juni 2014 jam 2.05 AM4 Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten tahun 2011 P

age 6

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Karakteristik dan sejarah pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Jawa Barat dan Banten sedikit berbeda dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karakter yang paling menyolok adalah perbandingan luas hutan produksi dan hutan lindung. Jika di Jawa Tengah dan Jawa TImur dominan adalah hutan produksi, sedangkan di wilayah Jawa Barat dan Banten hampir setengah dari luas hutan yang dikelola Perhutani adalah hutan lindung. Hal inilah yang menjadikan produktivitas Perhutani Jawa Barat-Banten

5selalu lebih rendah dibandingkan daerah lain. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa pengelolaan hutan oleh Perhutani di wilayah Jawa Barat-Banten baru dimulai sejak tahun 1978 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978. Ini berbeda dengan daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana pengelolaan Perum Perhutani merupakan kelanjutan dari pengelolaan jaman kolonial Belanda.

Kajian singkat ini menemukan setidaknya dua pola kemitraan yang telah dijalankan di Perhutani Jawa Barat-Banten. Pertama adalah pola kemitraan dalam kerangka implementasi program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan yang kedua adalah pola kerjasama atau kemitraan dalam rangka reklamasi dan rehabilitasi hutan.

__________5 Produksi hasil hutan kayu Perum Perhutani tahun 2012 sebesar 928.921 m3. Perhutani Jawa Barat menyumbang 20 % dari angka tersebut. Sementara Jawa Timur 31% dan 49% diberikan oleh wilayah Jawa Tengah (AR 2012; 85). Sama halnya dengan produktivitas hasil hutan non kayu, misalnya getah. Produktivitas paling tinggi berada di Unit II Jawa Timur sebesar 12,09 gr/phn/hr, posisi kedua dipegang Unit I Jawa Tengah sebesar 10,48 gr/phn/hr dan terkecil dipegang Unit III Jawa Barat & Banten sebesar 8,19 gr/phn/hr. (AR 2012; 105) P

age 7

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Kemitraan Kehutanan dalam PHBM

Pola kemitraan di Perhutani mulai dijalankan sejak tahun 2001 berdasar pada Surat Keputusan Dewan Pengawas Perhutani No. 136 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. SK tersebut lahir sebagai respon peristiwa penjarahan yang sangat luar biasa yang hampir melanda seluruh hutan Perhutani. Sebelum SK tersebut, memang tidak ada pola kemitraan tetapi yang ada adalah program Pembinaan Masyarakat Desa HUtan (PMDH). Program tersebut tidak lagi sesuai dengan semangat jamannya, karena dari kata 'pembinaan' dapat dilihat kedudukan yang tidak setara antara masyarakat dengan

6Perhutani. Di sana ada pihak yang membina dan pihak yang dibina. Masyarakat diposisikan lebih rendah dari Perhutani. PHBM muncul untuk menggantikan itu semua dengan prinsip kesetaraan. Melalui PHBM, masyarakat yang semula hanya penonton kini dapat turut serta memanfaatkan hasil hutan melalui bagi hasil.

Sampai dengan April 2014, pelaksananaan PHBM di wilayah Perhutani Jawa Barat-Banten telah berhasil membentuk 1546 LMDH dari 1551 desa hutan yang ada. Dari jumlah LMDH tersebut 90% telah berakte notaris. Beberapa desa yang belum terbentuk LMDH adalah desa pemekaran dan

7berkonflik. Untuk mencapai tujuan PHBM yaitu pemberdayaan masyarakat dibuatlah perjanjian kerjasama berdasar pada komoditas. Ada beberapa komoditas, tetapi yang paling dominan adalah kopi.

__________6 Hasil wawancara dengan Pejabat Perhutani Divre Jabar Banten, di Bandung tanggal 26 Mei 20147 Hasil wawancara dengan Pejabat Perhutani Divre Jabar Banten, di Bandung tanggal 26 Mei 2014 P

age 8

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Awalnya dikembangkan di kawasan Bandung selatan yang merupakan hulu sungai Citarum yang kondisinya pasca penjarahan sangat parah. Tidak ada lagi hutan karena pasca penjarahan lahan hutan diduduki oleh masyarakat dan ditanami berbagai macam tanaman sayuran. Oleh karenanya implementasi PHBM di kawasan tersebut juga membawa misi penyelamatan DAS Citarum. Pertama kali yang dilakukan adalah melakukan PRA yang kemudian menetapkan 3 strategi pendekatan yaitu mendorong masyarakat untuk alih lokasi, alih komoditas dan alih profesi. Masyarakat yang sudah merasakan nikmatnya bertani sayur dialihkan untuk berganti komoditi kopi yang lebih sesuai denan tujuan konservasi tanah dan air. Setelah beberapa tahun upaya ini dinilai cukup berhasil walaupun masih ada beberapa orang yang belum mau meninggalkan kebiasaannya menanam sayuran. Tetapi lambat laun semakin berkurang setelah melihat nilai ekonomi komoditas kopi. Tantangan dalam mendorong masyarakat untuk beralih komoditas dalam pelaksanaan PHBM antara lain adalah besarnya tinggkat

8ketergantungan petani terhadap pemodal.

Pola kemitraan dalam rangka implementasi program PHBM dikembangkan dengan beberapa varian, ada yang berbasis pada komoditas, berbasis lahan dan non lahan, di dalam kawasan dan di luar kawasan. Tetapi jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat, pola kemitraan dalam PHBM ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu kemitraan antara masyarakat desa yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan Perhutani dan kemitraan antara LMDH dengan Perhutani dengan melibatkan investor (kerjasama tripartit).__________8 Hasil wawancara dengan Pejabat Perhutani Divre Jabar Banten, di Bandung tanggal 26 Mei 2014 P

age 9

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam melibatkan pihak investor antara lain adalah jenis komoditas, bidang usaha dan kesiapan kelembagaan LMDH. Jenis komoditas yang saat ini telah dimitrakan antara lain susu, sereh wangi, kopi, kapulaga, rumput gajah, lebah madu, dan porang. Sedangkan jenis kegiatan usaha di luar pengelolaan lahan yang telah dimitrakan secara tripartit adalah pengelolaan hutan wisata

9dan usaha air minum kemasan.

Dalam kerjasama tripartit berbasis pada komoditi ada pembagian peran yang cukup jelas antar pihak yang terlibat. Misalnya dalam komoditi susu, LMDH diberperan mengkoordinir kegiatan-kegiatan petani seperti menanam hijauan pakan ternak dan memelihara ternak. Sedangkan Perhutani menyediakan lahan (kawasan) hutan untuk ditanami hijauan pakan ternak. Investor berperan sebagai penampung dan pembeli susu sapi yang dihasilkan oleh petani yang tergabung dalam koperasi. Pihak investor juga

10berperan mendampingi koperasi petani sapi.

Begitu juga dalam hal bagi hasil. Seluruh pihak yang terlibat mendapatkan bagi hasil secara proporsional berdasarkan iput. Semuanya dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama. Misalnya dalam kerjasama tripartit untuk komoditi kopi, proporsi bagi hasilnya adalah 70% untuk petani, 20% untuk Perhutani, 3% untuk Desa dan 7% untuk LMDH. Sedangkan investor mendapatkan keuntungan dari jual komoditi.

__________9 Hasil wawancara dengan Pengurus Paguyuban LMDH Jabar, di Bandung tanggal 26 Mei 201410 Hasil wawancara dengan Pengurus Paguyuban LMDH Jabar, di Bandung tanggal 26 Mei 2014 P

age 10

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Selain itu, selain mendapatkan kepastian pemasaran hasil seperti kopi dan susu mereka juga mendapatkan keuntungan karena harga yang diberikan oleh investor selalu lebih tinggi

11dibandingkan dengan harga pasar lokal.

Pemerintah daerah belum terlibat secara optimal dalam kemitraan ini. LMDH sesungguhnya mempunyai harapan besar agar Pemerintah Daerah dapat berperan sebagai wasit yang netral, mengawasi jalannya kerjasama. Masyarakat juga mengharapkan Pemda dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan dapat terlibat secara lebih dalam kemitraan berbasis komoditas . Pemda dapat memberikan pendampingan teknis dan juga mengarahkan program kepada masyarakat desa di sekitar hutan. Ada beberapa masalah yang perlu diselesaikan dengan melibatkan Pemda. Misal dalam kerjasama komoditi kopi, masyarakat desa hutan sesungguhnya berharap mendapatkan bantuan bibit kopi yang bagus. Hal itu sepertinya sulit terwujud, karena kegiatan penanaman kopi yang sesungguhnya merupakan komoditas perkebunan tetapi karena ditanam di kawasan hutan, Dinas Perkebunan tidak dapat memberikan bantuan. Begitu juga dalam hal pemasaran komoditas seperti kopi, seharusnya bisa lewat satu pintu, sehingga harga kopi di petani bisa dijaga. Selama ini petani tidak bisa menjual kopi dengan

12harga yang bagus karena dimainkan oleh tengkulak.

Kemitraan dalam Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan

Awalnya tidak pernah terpikirkan oleh saya, selain kemitraan dalam PHBM di Perhutani juga ada kemitraan yang lainnya. __________11 Hasil wawancara dengan Pengurus Paguyuban LMDH Jabar, di Bandung tanggal 26 Mei 201412 Hasil wawancara dengan Pengurus Paguyuban LMDH Jabar, di Bandung tanggal 26 Mei 2014 P

age 11

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Kami mendapatkan informasi pola kemitraan yang berada di luar PHBM yaitu pola kemitraan dalam 'kedok' reklamasi dan rehabilitasi hutan ini dari teman-teman aktivis lingkungan di Jawa Barat. Jika kemitraan PHBM berdasar pada SK Dewan Pengawas 136/2001 Direksi Perhutani, KSO pertambangan di Perhutani ini berdasar pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/MENHUT-II/2006 tentang Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan. Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan Kerjasama usaha' adalah kerjasama antara Perum Perhutani dengan pihak lain atau badan usaha lain dalam melakukan suatu kegiatan usaha guna mencapai suatu tujuan tertentu yang saling menguntungkan. Maksud dari kerja sama usaha adalah dalam rangka mendukung pembiayaan perusahaan dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan dan usaha-usaha lain. Ruang lingkup kegiatan kerjasama usaha adalah penyelenggaraan pengelolaan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi yang meliputi pemanfaatan hutan,

13rehabilitasi dan reklamasi, dan perlindungan hutan.

Terkait dengan kegiatan penambangan di lahan hutan Perhutani, juga diatur dalam Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 400/Kpts/Dir/2007 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani.

__________13 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/MENHUT-II/2006 tentang Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan.

'

Pag

e 12

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Di dalam SK tersebut pada pasal 10 yang terdiri dari 11 ayat, yang isinya kurang lebih seperti berikut:

§ Kegiatan Pengembangan usaha melalui Kerjasama Usaha dalam rangka Reklamasi dan Rehabilitasi hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang harus dihutankan kembali, yaitu pada kelas hutan Tanah kosong (Tk), Tidak Produktif (TPr) dan Tanaman bertumbuhan kurang (Tbk) yang mengandung bahan galian untuk meningkatkan productivitas dan kelas hutannya. dengan terlebih dahulu dibuat Rencana Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan;

§ Kerjasama Usaha Reklamasi dan Rehabilitasi hutan sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan: Pengambilan bahan galian; Persiapan lapangan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi; Kegiatan reklamasi; dan Kegiatan rehabilitasi.

§ Kerjasama Usaha sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan cara pengambilan bahan galian yang merupakan salah satu komponen kegiatan persiapan lapangan untuk rehabilitasi lahan.

§ Pelaksanaan kegiatan pengambilan bahan galian dan reklamasi yang dilakukan oleh Pihak lain dibawah pengawasan dan pengendalian Perusahaan.

§ Kerjasama usaha sebagaimana dimaksud dilakukan dengan mengacu pada Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), sehingga tidak perlu dilakukan dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan.

§ Kegiatan pengambilan bahan galian dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan di bidang Pertambangan dan peraturan lainnya.

Pag

e 13

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah pelaksanaan kerjasama usaha tersebut berjalan di wilayah Perhutani Jawa Barat-Banten. Dalam sebuah rilis sejumlah aktivis lingkungan di Jawa Barat pada awal tahun 2013, kami mendapatkan informasi bahwa di Perum Perhutani Jawa Barat-Banten telah beroperasi sedikitnya 11 perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan galena secara terbuka di kawasan hutan lindung. Dalam rilis tersebut juga disebutkan Kerjasama Operasional (KSO) telah marak dijalankan sejak tahun 2007 di kawasan hutan di 14 Kabupaten atau 15 KPH di Jawa Barat Banten. Dan hal tersebut juga dibenarkan oleh salah satu pegawai Perhutani Jawa Barat-Banten yang mengatakan bahwa KSO tersebut dilaksanakan hampir di seluruh KPH yang ada diwilayah Perhutani Jawa Barat-Banten. Tetapi saat ini kontraknya sudah habis dan sebagian besar sudah tidak beroperasi lagi.

Selanjutnya untuk mendalami informasi tersebut, kami telah melakukan diskusi dan interview dengan sejumlah orang aktvis lingkungan di Jawa Barat. Dari diskusi tersebut kami mendapatkan sejumlah informasi. Pertama, kegiatan penambangan tidak hanya dilaksanakan pada kawasan hutan dengan status kawasan hutan produksi, tetapi juga pada kawasan lindung. Kegiatan pertambangan ini telah merusak sekitar 99 Ha kawasan hutan dan ekosistem di dalamnya.

Kedua, pelaksanaan kerjasama pertambangan di kawasan hutan Perhutani tidak dilakukan sesuai dengan system PHBM. Kesimpulan ini berdasar pada sejumlah kontrak dimana aktor yang terlibat dalam kegiatan tersebut adalah perusahaan swasta tanpa melibatkan LMDH sebagai representasi masyarakat desa hutan. Konon, hanya terdapat satu LMDH yang terlibat dalam kerjasama usaha penambangan di seluruh wilayah Jawa Barat-Banten. P

age 14

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Ketiga, dari bukti-bukti dan investigasi lapangan, aktivis lingkungan Jawa Barat menemukan indikasi kerjasama operasional (KSO) pertambangan galena di KPH Bogor adalah praktik pertambangan yang menyalahi aturan kehutanan sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan sejumlah peraturan terkait kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Sejumlah ketentuan dalam UU 41/1999 yang

14dilanggar antara lain : § Pasal 38 ayat 3: Penggunaan kawasan hutan untuk

kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

§ Pasal 38 ayat 4: Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

§ Pasal 50 ayat ayat 3 point (g): Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri

Keempat, meskipun tujuan dari kerjasama usaha penambangan tersebut adalah untuk reklamasi dan rehabilitasi hutan tetapi dalam prakteknya kegiatan penambangan yang dilakukan tidak merupakan salah satu komponen kegiatan persiapan lapangan untuk rehabilitasi lahan. Beberapa kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara menggali dan membuat lubang di bawah tanah. Dan pada beberapa pertambangan yang sudah ditutup sejak 2 atau 3 tahun lalu tidak segera dilakukan kegiatan rehabilitasi lahan. __________14 Sejumlah pelanggaran tersebut telah dilaporkan kepada kepolisian, tetapi kepolisian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dengan alasan setelah dilakukan penyidikan tidak ditemukan unsure pelanggaran.

Pag

e 15

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

4. Analisis

Bagian ini akan menyampaikan analisis terhadap implementasi kemitraan di wilayah Perhutani Jawa Barat-Banten dalam kaitannya Permenhut 39 tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kemitraan Kehutanan. Ada sejumlah point penting yang akan ditinjau yaitu konseptual, prinsip, maksud dan tujuan, fasilitasi kepada masyarakat dan perjanjian.

Konseptual

Dasar pemikiran Permenhut 39 tahun 2013 adalah kemitraan kehutanan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui kemitraan kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangan Kemitraan Kehutanan diartikan sebagai kerjasama antara masyarakat setempat dengan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pengelola hutan, pemegang izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam mengembangkan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Kata kuncinya adalah peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat.

Dengan demikian, dari dua praktek pola kemitraan yang dibahas di atas, dapat dikatakan program PHBM lebih memiliki semangat pemberdayaan dibandingkan dengan pola kemitraaan dalam rangka reklamasi dan rehabilitasi hutan. Pada pola yang pertama jelas sekali, aktor yang dilibatkan adalah LMDH sebagai representasi masyarakat desa hutan.

Pag

e 16

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Sebaliknya pada pola kedua, sama sekali tidak disinggung kedudukan dan peran masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, mengacu pada studi Arupa, meskipun LMDH didesain sebagai representasi masyarakat desa tetapi dalam banyak kasus kedudukan LMDH cenderung elitis karena proses pembentukan yang kurang demokratis. Perhutani cenderung berorientasi target pembentukan LMDH sebanyak-banyaknya dibandingkan menumbuhkan partisipasi masyarakat. Begitu juga halnya dalam pelibatan pihak ketiga (investor) dalam program PHBM cenderung

15membatasi/mengurangi partisipasi masyarakat.

Prinsip Kemitraan

Sejumlah prinsip kemitraan dalam P.39/2013 antara lain: Kesepakatan antar pihak, kesetaraan para pihak, saling menguntungkan, lokal spesifik, kepercayaan, transparansi dan partisipasi para pihak secara aktif. Dalam kerjasa sama PHBM tampaknya prinsip kesetaraan paling sulit terpenuhi. Meskipun Perhutani selalu menyatakan bahwa prinsip utama PHBM adalah kesetaraan, tetapi posisi Perhutani sebagai pemegang hak pengelolaan hutan di Jawa menjadikan posisinya selalu lebih dominan dalam berbagai proses kerjasama. Sebaliknya posisi masyarakat yang terbatas terhadap sumber daya modal maupun akses informasi juga memperburuk implementasi PHBM. Dalam program PHBM walaupun dengan prinsip kesetaraan dan berbagi nyatanya kedudukan masyarakat tidak lebih dari penyedia tenaga kerja bagi kegiatan produksi Perhutani.

__________15 Suprapto, Edi & Purwanto, Agus Budi (2013) op. cit. hlm 84. P

age 17

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Begitu juga halnya dalam kerjasama usaha penambangan untuk reklamasi dan rehabilitasi kedudukan Perhutani tidak lebih seperti pihak pemberi ijin kegiatan usaha. Dengan posisi seperti tersebut, Perhutani sepertinya merasa cukup puas dengan menerima dana hasil usaha kegiatan penambangan. Perhutani sering kali abai dengan kewajibannya menyusun rencana rehabilitasi dan melaksanakan kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan masyarakat. Perhutani juga tidak pernah secara transparan menyampaikan kepada publik berapa pendapatan yang diterima melalui kegiatan kerjasama usaha pertambangan. Di sisi lain, pihak kedua yang melaksanakan kegiatan penambangan juga tidak pernah menuntut kepada Perhutani untuk melaksanakan kewajibannya tersebut.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari kemitraan dalam P.39/2013 adalah mengembangkan kapasitas dan memberikan akses masyarakat setempat dalam rangka kerjasama untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangkan tujuannnya adalah terwujudnya masyarakat setempat mendapatkan manfaat secara langsung, melalui penguatan kapasitas, pemberian akses, ikut mewujudkan hutan lestari, menjadi pelaku ekonomi tangguh, mandiri, bertanggung, profesional. Dalam hal ini, kerjasama usaha penambangan untuk reklamasi dan rehabilitasi dapat dikatakan sangat jauh dari tujuan kemitraan. Dari sejumlah kontrak kerjasama usaha yang dilakukan di Perhutani Jawa Barat-Banten sebagian besar dilakukan dengan perusahaan swasta. Konon hanya ada satu kerjasama yang melibatkan LMDH.

Pag

e 18

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Kerjasama PHBM, tampaknya lebih dekat pada maksud dan tujuan dari kemitraan yang diatur dalam P.39/2013. Dalam PHBM, akses masyarakat terhadap hutan dibuka cukup luas melalui kerjasama dalam penanaman dan pengelolaan komuditas tertentu. Bahkan dalam beberapa hal juga dibuka kerjasama pengelolaan kawasan wisata. Namun demikian, upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat masih patut ditingkatkan. Dari beberapa studi yang ada, kontribusi PHBM dalam peningkatan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakt masih lebih rendah dibandingkan dengan pola pemberdayaan yang lain seperti HKM dan Hutan Desa. Bahkan ada kecenderungan dalam program PHBM sesungguhnya Perhutani mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari masyarakat baik melalui kontribusi masyarakat dalam kegiatan penanaman maupun pemeliharaan tanaman hutan.

Fasilitasi Kepada Masyarakat

Hal terpenting dalam suatu program pemberdayaan adalah sejauh mana pemilik program mampu memberikan fasilitasi kepada masyarakat. Fasilitasi mencakup banyak hal seperti fasilitasi penguatan kelembagaan, fasilitasi modal kerja, fasilitasi akses informasi dan pengetahuan. Terkait dengan hal tersebut, kerjasama usaha dalam reklamasi dan rehabilitasi lahan tidak memiliki komponen fasilitasi kepada masyarakat. Dalam PHBM, fasilitasi belum menyentuh pada beberapa hal yang substansial tersebut. Fasilitasi masih fokus pada sejumlah hal prosedural atau administratif misalnya pembentukan pengurus LMDH, pendaftaran akte notaris kelembagaan LMDH dan pelaksanaan MOU.

Pag

e 19

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Sedikit sekali kegiatan atau anggaran yang diarahkan untuk kegiatan-kegiatan bersifat substansial seperti fasilitasi penguatan kelembagaan, modal kerja, dan peningkatan pengurus maupun anggota LMDH.

5. Diskusi

Dari sejumlah bahan bacaan seperti laporan riset, buku dan studi kasus di Jawa Barat kami dapat menyimpulkan sejumlah permasalahan dalam implementasi kemitraan, yaitu:

§ Budaya perusahaan yang terlalu berorientasi kepada target-target yang sudah ditetapkan menyebabkan sebagian besar petugas Perhutani kurang mampu melakukan komunikasi keluar.

§ PHBM tidak dipandang sebagai sebuah sistem tetapi terbatas sebagai program atau proyek. Hal ini tercermin dari target-target yang ditetapkan sebagai ukuran keberhasilan program seperti jumlah LMDH yang terbentuk, jumlah MOU yang sudah ditanda tangani.

§ Salah satu kunci kemitraan adalah adanya keterbukaan para stakeholder. Dalam implementasi PHBM sering kali masyarakat kurang mendapatkan informasi memadai mengenai sumber daya, anggaran dan rencana kerja dari perusahaan.

Pag

e 20

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Ada cukup banya masukan ataupun saran untuk perbaikan impelementasi PHBM atau kemitraan kehutanan di Jawa. Ada masukan agar Perhutani melakukan revisi kebijakan PHBM dan menyesuaikan dengan P.39 tahun 2013 Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Ada pula yang mengharapkan agar Perhutani kembali fokus pada implementasi PHBM dengan memberdayakan LMDH. Dari sejumlah masukan tersebut menurut hemat kami sebaiknya Perhutani sungguh-sungguh membangun ruang dimana para stakeholder kehutanan di Jawa bisa saling setara dalam proses transaksi. Ibarat sebuah pasar, di ruang tersebut terbuka bagi siapa saja untuk melakukan proses transaksi tanpa ada rasa takut.

Pag

e 21

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Referensi Pustaka

Anonim (2012) Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Tahun 2011. Serang: Dishutbun Prov Banten.

Anonim (2013) Laporan Tahunan Perum Perhutani Tahun 2012. Jakarta: Perum Perhutani.

Ayling, Ron D (2005) Hutan Model: Pendekatan Berbasis Kemitraan untuk Pengelolaan Lanskap, dalam eva wollenberg et al (ed) Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor: Latin dan CIFOR

Grimble, R.; Chan, M.K.; Aglionby, J.; Quan, J. 1995. Trees and trade-offs: a stakeholder approach to natural resource management. International Institute for Environment and Development, London, UK. Gatekeeper Series 52.

Suprapto, E & Purwanto, AB (2013) Hutan Jawa: Kontestasi dan Kolaborasi. Yogyakarta: BP ARuPA.

http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=334&idBerita=525

Referensi Peraturan

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang KehutananUndang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

BatubaraPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/MENHUT-II/2006 tentang

Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan.Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/MENHUT-II/2013 tentang

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kemitraan KehutananKeputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani (Selaku Pengurus

Perusahaan) No: 136/Kpts/Dir/2001 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.

Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 400/Kpts/Dir/2007 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani

Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 682/Kpts/Dir/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.

Pag

e 22

| Policy Paper ARuPA - Juni 2014

Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-

rata permukaan bumi (atmosfer, laut, dan daratan).Dampak dari

pemanasan global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim

yang ekstrim, misalnya : sering terjadi banjir karena curah hujan

yang terlalu tinggi, kekeringan berkepanjangan karena musim

kemarau yang panjang, dan suhu permukaan bumi yang semakin

panas.

Buku ini diterbitkan sebagai panduan bagi para pendamping petani

hutan rakyat yang akan berguna pada saat mendampingi petani

hutan rakyat dalam menghitung cadangan karbon di hutan rakyat.

Selain itu, buku ini juga sebagai bahan bacaan untuk meningkatkan

pemahaman masyarakat mengenai pemanasan global dan

perubahan iklim.

Buku ini diterbitkan oleh ARuPA dengan dukungan dana dari ICCTF melalui kerjasama Small Grand Program (SGP) dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Atas terbitnya buku ini, diucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada rekan-rekan di ARuPA yang telah berkontribusi terhadap penulisan buku ini, serta Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc. yang telah banyak memberikan masukan. Semoga buku ini bermanfaat.

ARuPAKaranganyar 201 RT 10 RW 29Sinduadi Mlati Sleman YogyakartaT/F “ 0274 551571 E:

| f : lembaga arupa | t : @[email protected]

www.arupa.or.id