Opini Bahasa Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

OPINI BAHASA INDONESIA

WEDNESDAY, NOVEMBER 9, 2011 Diplomat Dan Sejarah Bangsa ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI Saya berangan-angan, mestinya salah satu tes untuk promosi jabatan adalah pengetahuan sejarah bangsa. Bagi saya, jika seorang pejabat tidak mempunyai pengetahuan sejarah bangsa yang memadai, sudah tentu akan mudah luntur nasionalismenya. Belum lama ini, dalam sebuah diskusi dengan sejumlah pemikir, saya kaget dan tersentak ketika mendapat informasi adanya pernyataan seorang diplomat senior Indonesia yang mengatakan bahwa peradaban Indonesia adalah sebuah kegagalan. Bangsa Indonesia, katanya, tidak pernah mencapai peradaban tinggi seperti bangsa Romawi, Mesir, Persia,Yunani, India, Cina, dan lain-lain. Merah muka saya mendengar pernyataan sembarangan dari kolega saya tersebut. Setelah emosi saya agak reda, saya mencoba mempelajari perjalanan karier dan pendidikan kolega saya itu, ternyata dia sekolahnya selalu di luar negeri. Bapaknya diplomat top, jadi dia bersekolah di tempat bapaknya bertugas, dari SD sampai doktor. Dia hampir tidak pernah mengenyam pendidikan nasional. Wajar saja kalau dia tidak mengenal kebudayaan dan peradaban nasional bangsanya. Ironisnya, dia sendiri saat ini salah seorang diplomat top yang harus memperkenalkan dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di forum internasional. Rupanya, meski kita sudah merdeka selama 66 tahun, dan Sumpah Pemuda dicetuskan sejak 83 tahun yang lalu, masih banyak di antara kita yang tidak kenal dengan dirinya sendiri. Lebih parah kalau yang tidak kenal itu adalah kalangan terpelajar dan diplomat top seperti kolega saya tersebut. Terus terang saja saya sangat marah, tetapi sekaligus gelisah, mengetahui betapa rendahnya pemahaman sebagian elite kita tentang sejarah peradaban bangsa Indonesia. Dalam berbagai kesempatan jika diminta berceramah tentang Indonesia, saya menguraikan bahwa bangsa Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun yang lampau. Bukan baru ada pada 1945. Memang bentuk modern kita sebagai bangsa diproklamasikan pada 1945, tetapi eksistensi bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lampau. Jadi, pernyataan kolega saya itu sangat menyesatkan dan berbahaya. Bangsa Indonesia jelas merupakan bangsa yang mempunyai peradaban tinggi sejak zaman dahulu

kala. Sejarawan Belanda, F. Brandeis, menyebutkan bahwa ratusan tahun silam bangsa Indonesia sudah mempunyai pengetahuan astronomi, matematika, fisika, atau kedokteran yang tinggi. Pendeta Buddha asal Cina, Fa Hien, menulis dalam laporan perjalanannya yang dilakukan pada abad VI Masehi yang menyebutkan bahwa setiap calon pelajar agama Buddha dari Asia Timur ke Universitas Nalanda di Bihar, India, harus melakukan studi pendahuluan dulu di Sriwijaya (Palembang) sedikitnya 6 bulan. Di bawah Raja Bala Putera Dewa, Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kemakmurannya, sehingga suatu massa sampai menarik Kerajaan Chola Mandhala di India untuk melakukan invasi dan serbuan habis-habisan. Kajian yang lebih komprehensif mengenai hubungan dagang internasional di masa lampau menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu sudah mampu melakukan perniagaan internasional yang canggih. Bahkan peradaban tinggi di Mesir dan Persia tidak akan berkembang tanpa hubungan dagang dengan Indonesia. Salah satu buktinya ia lah suplai rempah-rempah dan kapur Barus (kamper) yang sangat diperlukan untuk mengawetkan jenazah (mumi) para Firaun di Mesir dan Kisra di Persia. Kamper saat itu hanya bisa diperoleh dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara. Maka, terkenallah kapur Barus yang juga diekspor ke India, Cina, Jepang, dan lainlain. Kuatnya peradaban Indonesia ini bahkan diakui negara tetangga. Misalnya saja, dalam sejarah Kamboja ditulis bahwa Raja Jayavarman dan dinastinya yang mendirikan bangunan hebat Angkor Wat dan Angkor Thom berasal dari Jawa. Tidak dijelaskan dari bagian mana Pulau Jawa, tetapi jelas sejarah kuno menyebutkan adanya kaitan erat antara raja-raja di kepulauan Hubungan internasional pada waktu itu terbatas, Eropa, Timur Tengah, India, dan Timur Jauh. Karena perjalanan darat dari Cina ke Eropa tidak aman dan kurang lancar, umumnya para musafir seperti Ibnu Batutah, Marco Polo, I Tsing, para pedagang dan penjelajah lainnya menggunakan jalur laut. Karena itu, mau tidak mau para pengelana ini akan singgah di kepulauan Nusantara dan saat itu secara tradisional mereka akan mampir di Palembang, sebab Singapura belum dibangun oleh Raffles. Sebagai wilayah yang menjadi persilangan budaya internasional dan menerima kunjungan dari berbagai bangsa dunia, tidak mungkin bangsa Indonesia tidak memiliki peradaban yang tinggi. Sifat keterbukaan sejak zaman dulu itu pun terefleksikan dalam sikap kita yang sangat toleran terhadap berbagai agama dan ideologi yang berbeda. Bangsa Indonesia menerima Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, dan belakangan Islam dan Kristen dengan tangan terbuka. Karena itu, ideologi ekstremisme pada hakikatnya bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia yang sangat terbuka. Indonesia merupakan mozaik kebinekaan sejak zaman dahulu kala. Sifat terbuka dan toleran inilah yang menjadi kekuatan dan perekat di antara berbagai kelompok etnis, agama, dan entitas politik yang tinggal di

kepulauan Nusantara ini. Memang sekarang ada yang mulai lupa akan identitas keindonesiaan tersebut. Salah satu penyebabnya ialah makin sedikit di antara kita yang belajar sejarah. Banyak yang lupa akan anjuran Bung Karno agar kita tidak melupakan sejarah. Karena tidak pernah belajar sejarah bangsanya, wajar kalau ketika menjadi elite pimpinan mereka lupa akan siapa dirinya. Saya yakin, jika saat ini dilakukan tes pelajaran sejarah, sebagian pejabat dan pemimpin kita akan mengalami kegagalan. Bagi saya, ini sangat memprihatinkan. Saya berangan-angan, mestinya salah satu tes untuk promosi jabatan adalah pengetahuan sejarah bangsa. Bagi saya, jika seorang pejabat tidak mempunyai pengetahuan sejarah bangsa yang memadai, sudah tentu akan mudah luntur nasionalismenya.

Kalau sudah luntur nasionalismenya, jangan tanyakan lagi soal patriotisme, akan sangat mudah pejabat yang bersangkutan mengkhianati bangsa dan negaranya. *)

SUNDAY, NOVEMBER 6, 2011 Antara Nasionalisme Dan Komersialisme N7W Komodo ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI Ketika saya tiba di Switzerland dan memulai tugas sebagai duta besar RI, salah satu langkah pro aktif yang saya lakukan adalah mengunjungi dan menggalang dukungan media massa untuk Indonesia. Untuk itu, saya mengunjungi berbagai kantor media massa di negara akreditasi saya tersebut. Umumnya mereka terheran - heran ada duta besar Indonesia mau berkunjung ke kantor koran, sebab rupanya pejabat sebelum saya belum ada yang mengunjungi kantor media di Swiss. Salah satu pertanyaan saya jika ketemu rekan redaksi pemimpin koran atau TV di Swiss ialah apakah mereka mengetahui kegiatan yayasan New7 Wonders of the World yang bermarkas di Zurich. Ternyata tak seorang pun diantara para redaktur koran yang saya temui dari Tribune de Geneve di Jenewa sampai Basel Zeitung di Basel yang mengaku pernah mendengar dan apalagi mengakui kegiatan mereka. Bahkan para redaktur di TV SF1 dan koran Neu Zurich Zeitung (NZZ) yang merupakan media paling berpengaruh di Zurich mengaku tidak mengetahui apa dan dimana kantor, apalagi kegiatan N7W yang didirikan oleh Bernard Weber tersebut. Oleh karenanya , setelah beberapa bulan saya menyerahkan surat kepercayaan kepada presiden Doris Leuthard, saya sudah siap menerima sejumlah delegasi dari jakarta yang mencoba mencari informasi mengenai kegiatan N7W dan puncaknya bulan April yang lalu datang delegasi Kemenbudpar yang akhirnya muncul keputusan penarikan Indonesia dari ajang kontes N7W. KBRI sangat mendukung keputusan tersebut karena memang kegiatannya tidak jelas, manfaatnya untuk Indonesia, setidaknya di Swiss hampir tidak ada dan meminta fee yang cukup besar, sebesar 10 juta dollar, belum ongkos penyelenggaraan lainnya. Saya sangat lega dengan keputusan itu, tapi tiba - tiba saya kaget karena belangan di tanah air ada gerakan mengikuti voting komodo untuk N7W lewat sms. Ratusan juta orang kabarnya berhasil terbujuk untuk mengirimkan sms ke nomor tertentu. Hal ini sangat menggelisahkan saya. Sekali lagi saya mengerahkan tim untuk menyelidiki N7W yang bermarkas di Zurich., saya juga mencoba mencari informasi lengkap baik di antara para pejabat, pengusaha ataupun media massa di Swiss. Hasilnya tidak menggembirakan. Yayasan N7W itu kesimpulannya yayasan yang kredibilitasnya patut diragukan. Namun sejak KBRI Bern mengeluarkan penjelasan dan kronologi yang runtut yang intinya meragukan keabsahan voting model N7W, banyak komentar sinis ke saya. Diantaranya saya dianggap kurang nasionalis, tidak mau mendukuing promosi demi kepentingan nasional dan sebagainya. Dalam beberapa kesempatan, saya tegaskan bahwa mempromosikan komodo dan obyek wisata Indonesia adalah tugas nasional

tetapi tidak harus melalui N7W. N7W organisasi tidak bisa dipercaya dan kredibel untuk memberi gelar Tujuh Keajaiban Dunia Baru. Tertapi mereka sangat pandai memainkan emosi nasional kita. akibatnya kita terpancing untuk mengikuti permainan N7W Saya sering memberikan contoh permainan N7W ini dengan kegiatan sejumlah organisasi yang menawarkan berbagai macam gelar yang ditawarkan secara tidak jelas kriterianya kepada kita. Misalnya, banyak dinatara kita sering mendapat tawaran dianugerahi gelar 'eksekutif teladan', 'pengusaha berbusana terbaik', atau mendapat tawaran gelar doktor honoris causa, MBA, professor dan lain - lain asal membayar sekian puluh juta rupiah. modus operandi N7W sama saja. Kita akan diikutkan kontes N7W dengan membayar sejumlah uang dan dengan permainan ego nasionalisme kita, seolah kita sedang berkompetisi dengan bangsa lain, kita habis habisan mengerahkan daya dan dana untuk untuk memuaskasn emosi kita itu, diantaranya dengan mengirim sms seharga Rp.1000, Tampaknya uang seribu tidak banyak tetapi ketika yang dibakar emosi sampai mengirim sms sebanyak 100 juta, setidaknya 100 miliar uang melayang. Penelusuran tim KBRI kemarin menemukan dari pernyataan website N7W sendiri bahwa organisasi ini adalah yayasan yang mencari profit. Alias, organisasi N7W adalah organisasi yang mengejar keuntungan, bukan non profit seperti UNESCO. Dengan membakar emosi nasionalisme kita, maka pengelola N7W berhasil mengeruk devisa dan uang kita tanpa kita sadari. Bahkan hebatnya yang mempromosikan komersialisme Komodo itu adalah kita sendiri untuk kepentingan organisasi di Swiss ini. Didalam website mereka: http://world.n7w.com/interestingquestionsandanswer/ sangat jelas disebutkan : the new7wonders foundation whose original mission is to organize the global voting campaign and to ensure the objectives are met....as with foundations, who cannot themselves by statute operate commercially, New7Wonders has formally transferred the commercial operation to its licensing company, New Open World Corporation which then runs the commercial aspects to ensure the costs are covered and a surplus is generated by the end of the two campaigns. Dari keterangan tersebut sangat jelas, agar tidak melanggar hukum Swiss maka sebagai yayasan, organisasi N7W menyatakan diri sebagai non profit, tetapi mereka juga terang- terangan mengkomersialkan kegiatannya dengan tujuan mendapat keuntungan (surplus) melalui organisasi New Open World Corporation. Memang, ini sistem yang canggih untuk mengelabui masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Mereka juga tidak bisa menjelaskan kenapa kontes berlangsung selama 2 tahun dan

bahkan untuk Filipina kabarnya akan berlangsung sampai 2012. Luar biasa akal bulus yang dipakai. anehnya, banyak diantara kita yang malas membuka internet. dengan Google: scam N7Worlds, akan banyak diperoleh informasi mengenai ketidak beresan organisasi ini. Ketika saya disalahkan oleh seorang tokoh karena mencarim alamat N7W di Zurich seperti saya menanyakan warga kita lewat RT/RW dan saya diminta mengecek ke internet, kami di KBRI langsung bergerak meneliti website N7W. sebagaimana yang sudah dipublikasikan beberapa kawan lain, kesimpulan kami sangat jelas, website tersebut tidak bisa diopertanggung jawabkan. Hasil singkat openelusuran kami: alamat URL nya bolong-bolong, beberapa informasi blog foundernya kosong, alamat kontak organisasi dan websitenya kosong. aneh memang, organisasi besar tetapi tidak mencantumkan alamatnya. meski katanya berpusat di Zurich, Swiss, alamat domainnya terdaftar di Republik PANAMA. ada yang aneh lagi, meski domain website terdaftar di Panama, alamat administratif kontaknya di kampung bernama Drums, PA (Pennsylvania) di Amerika Serikat karena rupanya menyewa P.O.Box 459 disana. Soal alamat ini meski sudah di zaman dunia maya tetap menjadi pertanyaan. apa bedanya organisasi ini dengan tawaran bisnis investasi palsu dari sejumlah negara Afrika yang mensyaratkan membayar fee dalam jumlah tertentu yang nyatanya berujung pada sebuah penipuan saja. Dari data statistik, ternyata pengunjung ke website mereka ini paling banyak adalah mereka yang IP address nya Indonesia. alias kita ribut sendiri dan ramai ramai mengakses website N7W dan kita klaim Komodo paling populer padahal yang mengakses ya warga Indonesia sendiri. N7W sama sekali tidak melakukan apa-apa kecuali mengutip fee sebagaimana disyaratkan dalam websitenya. Tak diragukan lagi bahwa keguiatan N7W dengan mengirim sms meski hanya senilai Rp.1000,- atau berapapaun tetap merupakan kegiatan yang merugikan masyarakat. marilah kita promosikan komodo dan obyek wisata tanah air lainnya tanpa harus melalui organisasi seperti N7W yang tidak jelas kontribusinya untuk bangsa dan negara.

SUNDAY, NOVEMBER 6, 2011 Mengubah Wajah KBRI ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI Ketika saya tinggal di Washington DC sebagai koresponden Jawa Pos pada tahun 1988 sampai 1992, salah satu rasan-rasan paling populer yang beredar dari mulut ke mulut di antara expatriat Indonesia di Amerika Serikat ialah: jangan berurusan dengan KBRI kalau tidak sangat terpaksa. Pesan itu ternyata bukan hanya populer di Amerika, sebab ketika saya tinggal di Inggris antara tahun 1994 sampai 1998 pun keadaannya sama saja. Pendeknya, KBRI adalah lembaga yang tidak populer, sama tidak populernya orde baru saat itu. Bukan saja KBRI tidak populer, perilaku para diplomat RI pun sering jadi gunjingan. Yang pertama, tentu saja kemampuan bahasa asingnya yang dianggap lemah, kedua terlalu lebih banyak mengurus pejabat daripada masyarakat, ketiga bersikap sangat birokratis. dan masih banyak lagi lainnnya. Saya ingat pernah suatu saat saya ditegur seorang Mayor dari kantor atase pertahanan gara-gara saya membesuk Letjen Sarwo Edhi Wibowo (mertua presiden SBY) yang dirawat di rumah sakit Walter Reed. Saya dianggapnya lancang karena tidak minta izin kepada mereka. Apalagi ketika saya berkunjung kesana, ternyata tidak ada seorangpun penjaga dari KBRI. Rupanya pihak athan kena tegur dari Jakarta setelah saya menulis kunjungan itu dan dimuat di koran Jawa Pos. Oleh karenanya, begitu badai reformasi melanda Indon esia dan saya masuk Komisi I DPR RI, reformasi perwakilan diplomatik menjadi salah satu agenda. Beruntung di pihak kementerian luar negeri pun angin perubahan juga berhembus kencang, khususnya ketika DR Hassan Wirayudha menjadi orang nomor satu di Pejambon. Perombakan besar -besaran pun dilakukan. Dari segi organisasi, jenjang karier sampai urusan perekrutan diplomat dirombak total. Jika sewaktu zaman ,,jahiliyah'' di deplu dulu seorang pejabat tinggi bisa saja seenaknya menitipkan anak, keponakan atau siapa saja untuk menjadi diplomat atau malahan sekedar staf lokal di KBRI di berbagai penjuru dunia, oleh Hassan Wirayudha semuanya dibabat habis. Kalaupun saat ini kebetulan ada anak-anak mantan atau pejabat kemlu, termasuk putri mantan menlu Hassan Wirayudha, semuanya masuk karena tes bebas dan obyektif. Umumnya anak pejabat ini juga memiliki pendidikan yang hebat, misalnya anak mantan Menlu Hasssan Wirayudha yang jadi diplomat adalah lulusan Universitas Sorbonne, Paris. jelas bahasa Inggris dan Prancisnya sangat fasih. anak pejabat deplu lain yang mengikuti karier bapaknya umumnya juga lulusan luar negeri baik perguruan tinggi di Amerika Serikat, Eropa, Australia dan sebagainya. Pendeknya mereka adalah the best among the best generasi muda Indonesia.

Maklum saja, dari 11.000 pelamar hanya diambil sekitar 100 calon diplomat muda. Perubahan dalam pelayanan pun juga dilakukan habis habisan. Sewaktu di DPR saya minta kalau ada staf lokal atau diplomat yang sudah tidak bisa lagi tersenyum, jangan lagi ditugaskan dibagian konsuler yang merupakan ujung tombak pelayanan. Di KBRI Kuala Lumpur, dulu untuk memperpanjang paspor saja ongkosnya perlu 800 ringgit atau hampir sebulan gaji TKW dan waktu hampir 5 minggu, itupun lewat calo. Sekarang cukup 3 jam dengan beaya hanya 22 ringgit tanpa calo. Perubahan itu terjadi hampir di seluruh KBRI di manapun, termasuk KBRI Bern yang saya pimpin. Sayangnya selama ini masih banyak warga yang tidak tahu, khususnya LSM yang sering berteriak tanpa mengecek fakta. KBRI atau KJRI sekarang bukan sosok lembaga pemerintah yang menakutkan dan hanya bertugas melayani pejabat, tetapi melayani seluruh warga masyarakat. Tapi, masyarakat sendiri yang sering mempersulit. Misalnya, hal yang penting ialah ketentuan daftar diri. Banyak mahasiswa atau warga tinggal bertahun - tahun di suatu negara tetapi enggan mendaftarkan diri ke KBRI. akibatnya jika terjadi apa-apa, sangat sulit KBRI memberikan bantuan. Bahkan paling parah, sudah terjadi masalah tidak lapor juga ke KBRI. saya ambil contoh beberapa waktu lalu seorang turis asal Atambua, NTT kolaps di interlaken. Tur leader dari Indonesia ternyata hanya memanggil ambulans dan meninggalkan di sebuah rumah sakit ditemani istrinya yangs udah tua (sekitar 62 tahun). Tur leader ini tidak mau menelpon ke KBRI Bern yang jaraknya hanya sekitar 40 km. kedua turis ini ditinggalkan begitu saja, dan KBRI Bern baru tahu dua hari kemudian karena ada telpon dari keluarganya di jakarta. saat itu kondisi pasien sudah agak parah dan harus dikirim ke Rumah Sakit pusat di Bern dengan helikopter. Dengan bantuan KBRI Bern pula visanya yang nyaris expire bisa diperpanjang dan dua anaknya yang di jakarta bisa mendapatkan visa bilateral secara mendadak. setelah dua minggu dirawat dan keadaan stabil, KBRI membantu menyewakan pesawat untuk mengevakuasi pasien itu ke Kuala Lumpur. Awal tahun ini, seorang pelajar yang baru beberapa minggu tiba meningggal dunia. Untung sudah mendaftar sehingga dengan cepat bagian konsuler bertindak menanganinya. jenazah pelajar ini dengann cepat tertangani dan diantar pulang oleh staf diplomat KBRI Bern sampai di kampungnya sebuah desa di Magetan, Jatim. Memang prosedur tetap bagi KBRI ialah jika ada warga yang meninggal, harus diantar dan diserah terimakan ke keluarganya di Indonesia dimanapun. Soal beaya dan bagaimana urusannya, itu urusan duta besar seperti saya ini. Namun sekali lagi, amat sangat sulit mengimbau warga Indonesia untuk mendaftarkan diri ke KBRI agar memudahkan urusan jika ada sesuatu masalah. Selain mengubah pola pelayaanan yang pro masyarakat, saya juga mengubah penampilan. Jika dulu para diplomat ke kantor harus pakai stelan jas lengkap, kini

staf KBRI Bern saya minta pakai batik saja, kecuali ketemu presiden atau menteri. Malahan beberapa waktu lalu didepan beberapa teman wartawan yang kebetulan berkunjung ke Bern saya mendeklarasikan KBRI Bern adalah KBRI Batik. saya sendiri konsekwen mengenakan batiki kemana saja, termasuk menghadiri jamuan diplomatik dengan pighak lain. Bukannya dikecam, malahan sejumlah kolega saya , para duta besar negara sahabat malahan memuji batik saya, tercatat duta besar Belanda, duta besar Afrika Selatan, Colombia dan masih banyak lagi memuji baju batik saya. ''Pak Mandela sangat senang dengan batik Indonesia '' kata George Jones, dubes Afrika Selatan sahabat saya yang mengaku agak kecewa karena baju batik hadiah dari saya diminta oleh anaknya. Sikap ngotot saya pakai batik kadang-kadang mengherankan tamu-tamu yang datang dari Jakarta. Umumnya mereka menemui saya dengan stelan lengkap, ternyata dubes RI di Bern hanya memakai batik saja di kantornya. sikap keras berbatik ria ini rupanya sudah mulai menular diantara warga. Beberapa orang Swiss yang sering berinteraksi dengan Indonesia pun mulai bangga dengan memakai batik. sayangnya belum ada butik batik di Swiss. kalaupun ada yang jual batik, biasanya kualitasnya kurang bagus sesuai selera eksekutif di Swiss. Hal lain yang saya rombak ialah urusan perjalanan dinas. saya ngotot dalam melakukan perjalanan saya hanya mau pakai KELAS EKONOMI baik penerbangan internasional ataupun domestik. keputusan saya ini sempat dianggap aneh, seorang staf saya sempat ada yang nyeletuk, '' pak, ada kawan saya baru menjabat sebagai Kuasa usaha ad Interim (kepala perwakilan sementara)kemana mana sudah meminta fasilitas klas bisnis jika naik pesawat. bagi saya ini suatu pemborosan. Jika satu tahun dua kali saja saya pulang ke Jakarta dengan naik Singapore Airlines, negara harus mengeluarkan dana sekitar 13.000 CHF. Dana sebesar itu cukup untuk membeli 10 ticket ekonomi jakarta - Zurich untuk mendatangkan pemain tari, ustadz atau dosen yang bisa memberikan ceramah di Swiss dan kegiatan promosi lainnya. ''Biarlah saya naik klas ekonomi, toh juga aman dan selamat sampai tujuan, asal dana itu bisa dipakai kegiatan lain yang positif,, tekad saya. Sejak dulu saat menjadi wartawan Jawa Pos, di DPR atau menghadiri undangan seminar inbternasional pun sudah biasa naik pesawat di klas ekonomi. apa sih bedanya sebagai duta besar, apalagi ini uang negara yang harus saya hemat. Berkat penghematan ini, saya sudah bisa mengundang beberapa pakar dari Indonesia berkunjung ke Swiss, dan juga sedang kami proses mengirim wartawan Swiss ke Indonesia untuk membuat liputan tentang obyek turisme dan perdagangan yang memang perlu dipromosikan. Saya hanya ingin sedikit menyumbang dengan tidak bersikap boros.....

FRIDAY, JUNE 24, 2011 Pak De Karwo Dan Gelar ''Man Of Actions'' ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI Ada gelar baru bagi Gubernur Jawa Timur, Pak De Karwo seusai menandatangani MOU (Memorandum of Understanding) dengan PT Nestle Indonesia di Jenewa selasa yang lalu. Tentu saja gelar ini bukan resmi, tetapi gelar ''de facto'' yang dianugerahkan oleh para diplomat RI di Swiss, setidaknya mereka yang ikut menghadiri acara penandatanganan MOU di Berne Room, hotel Inter Continental Geneva, yang juga disaksikan oleh Presiden RI. Tentu gelar itu tidak sembarangan saja disampaikan oleh kalangan elite korps diplomatik, namun berdasar pengamatan atas kiprah nyata dalam usaha memajukan investasi, wisata dan perdagangan antara Jawa Timjur dan Swiss. Gubernur Soekarwo adalah pejabat yang paling inovatif, kreatif dan cepat mengambil keputusan dalam banyak hal yang menyangkut usaha memajukan daerahnya.

''MOU ini dirintis sejak pak de Karwo berkunjung ke Nestle bulan September tahun lalu, dan di follow up oleh Dubes RI untuk Swiss dalam pertemuan dengan pejabat tinggi Nestle bulan Januari yang lalu, dan sekarang menghasilkan kesepakatan yang kongkrit,, ujar Taufiq Rodhy, pejabat fungsi ekonomi KBRI Swiss yang menangani seluk beluk persiapan MOU tersebut. Taufiq menyebutkan, pak de Karwo adalah gubernur yang juga paling cepat menanggapi usulan dan saran saran untuk memajukan invetasi dan perdagangan antara Jatim dan Swiss. Jika gubernur lain membalas surat saja mungkin tidak, maka pak de Karwo malahan ''menantang'' KBRI untuk segera membuat ''plan of action'' yang nyata. ''Sekarang saatnya untuk action, bukan hanya sekedar berdiskusi saja. rakyat menunggu action yang nyata'' kata pak de Karwo dalam perbincangannya yang ''menantang'' KBRI Swiss. Tantangan orang nomor satu di Jatim ini mendapat sambutan hangat pihak KBRI Swiss. Dubes Djoko Susilo dengan cepat mengambil langkah follow up dengan melobby Mr.Frits van Dijk, wakil presiden Nestle, dalam pertemuannya di markas besar Nestle di Vevey pada tanggal 7 Januari yang lalu. Mr.van Dijk ini orang Belanda yang ternyata lahir di Bogor. Jadi, dia cukup mengenal dan bersimpati dengan Indonesia. Malahan, dalam berbagai kesempatan, dia sering mempromosikan agar perusahaan Swiss berinvestasi di Indonesia.

''Masa depan bisnis di Indonesia sangat cerah. Politik dan pmerintahannya stabil, negara ini merupakan negara demokrasi yang ketiga terbesar di dunia, dan mempunyai sumber daya alam dan manusia yang luar biasa banyaknya'' kata van Dijk sewaktu berceramah di depan KADIN Swiss - Asia beberapa waktu lalu. Oleh karena Mr.van Dijk sudah menunjukkan sikapnya yang sangat simpatik dengan Indonesia, saya memutuskan menemuinya awal tahun ini. Saya tahu Nestle sangat unggul dalam teknologi dairy productsdan aneka produk coklat. Maka saya merayu beliau agar bersedia menularkan ilmunya ke pihak Indonesia. Sebab, menurut van Dijk, kapasitas produksi susu Nestle dipabriknya di Kejayan, Pasuruan bisa ditingkatkan sampai 1,4 juta ton per hari. Hanya saja sayangnya karena mutu susu lokal masih kurang bagus, sebagian susu untuk bahan dasar produksi Nestle itu masih diimpor dari Australia dan New Zealand. ''Saya kira itu bukan tindakan yang bagus,. yang terbaik adalah menggunakan susu lokal 100 persen. jika masalahnya tingkat kualitas dan produktivitas, ya itu yang kita bereskan'' kata saya waktu melobby Nestle. Ternyata Mr.van Dijk sepakat dengan pemikiran saya. Jangka panjang Nestle juga lebih baik mengandalkan pasokan susu domestik, bukan makin meningkatkan impor dari Australia dan New Zealand. Hal yang sama juga berlaku untuk produk coklat, meski sebenarnya Nestle tidak langsung mengolah biji kakao menjadi produk akhir. Tetapi demi membantu petani dan peternak, Nestle menyanggupinya dengan langkah awal menggelar workshop di Surabaya dan Makasar. ''Syaratnya satu: harus didukung pemerintah pusat dan lokal agar program ini sukses. kami akan all outmembantu pelaksanaannya '' kata boss Nestle itu. Tanpa mohon ''petunjuk'' atau ''arahan'' dari pejabat manapun, saya menyanggupinya. saya yakin langkah saya pasti akan mendapat dukungan, setidaknya Gubernur Soekarwo saya yakin akan mendukung program ini. Maka, bulan Februari yang lalu, saya mengirim Taufiq Rodhy, Pejabat Fungsi Ekonomui KBRI Swiss untuk ke Surabaya. Disana dia menemui sejumlah Pejabat Jatim yang terkait dengan soal dairy products, dan seperti dugaan saya, Gubernur Soekarwo sangat mendukung program ini. ''Pak Gubernur sangat antusias mendukung program ini, malahan siap meneken MOU dengan Nestle ketika Presiden berkunjung ke Jenewa nanti. Beliau benar benar Man of Actions Pak Dubes'' lapor Taufiq setelah kembali dari pertemuan di Surabaya.

Sejak itu, KBRI Swiss mendeklarasikan Pak De Karwo itu sebagai man of Action.

Nyatanya apa yang kami gagas itu juga didukung kawan - kawan diplomat yang bertugas di Jenewa. Mereka melihat bahwa Pak De bukan hanya Man of Action, tetapi Man of Full Humor. Sikap Humoris ini terbukti manjur mencairkan suasana ketika ngobrol dengan para pejabat tinggi yang sedang berada di hotel Intercontinental hari Selasa lalu menjelang penanda tanganan MOU. Apalagi, dia dapat pasangan kawan saya Abdul Wachid Maktub, tokoh asal Bangkalan yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Qatar. Gubernur dan ex Dubes kawan saya itu ternyata mampu membuat suasana segar diantara para pejabat tinggi yang hadir, diantaranya Menkopolhukam Djoko Suyanto, MenteriPerindustrian MS.Hidayat, Menakertrans. Muhaimin Iskandar yang mendengar langsung ''humor asli Madura''-

Sebagai tokoh yang dapat gelar Man of Actions, hasil kunjungan Pak De Karwo ke Nestle tahun lalu memang kongkrit. Dalam MOU yang diteken tersebut disepakati bahwa pemprop Jatim akan melakukanmapping daerah pengembangan persusuan, Pemprop Jatim juga akan memanfaatkan dana murah untuk membantu pengadaan bibit ternak sapi perah yang berkualitas, meningkatkan mutu dan memfasilitasi pengembangan persusuan yang berwawasan lingkungan dan sebagainya. Sedang pihak Nestle akan memberikan bantuan teknis dan menampung hasil produksi susu yang dihasilkan petani di Jatim yang mutunya sudah ditingkatkan. Di masa depan, diharapkan Nestle tidak lagi mengimpor susu mentah dari Australia atau New Zealand lagi. Dengan demikian diharapkan kesejahteraan peternak sapi perah di Jatim akan meningkat. Saking bersemangatnya, sebenarnya Pak De Karwo tidak puas hanya dengan MOU di bidang susu yang resminya diberi judul ''Sustainable Dairy Development in East Java''. Dia sebenarnya juga ngotot untuk memajukan industri kakao di Jatim. diharapkan, publik juga mengetahui bahwa Jatim juga menghasilkan kakao, tidak kalah dengan Sulawesi Selatan. Yang jelas, memang berkat kengototan Pak De, kopi Bondowoso Jatim sekarang sudah masuk pasaran Swiss dengan ekspor perdana minggu lalu.

Saya sendiri terkadang merasa seolah olah menjadi ''Dubes Jatim''. Mengapa begitu? sebab dari berbagai program kegiatan yang saya kirimkan ke berbagai pemerintah propinsi, pemprop Jatim lah yang paling cepat menjawab dan merespons. Salah satunya, saya minta dikirimi baju pengantin adat daerah untuk promosi budaya. Hanya pemprop Jatim yang mengirim. Saya juga minta dikirim koki untuk promosi kuliner Indonesia, Pak De Karwo juga yang menyanggupi. Waktu saya katakan akan membawa buyer Swiss asal ada yang mengatur di daerah untuk mengunjungi beberapa sentra industri, Pak De juga yang siap in action. Bahkan waktu Presiden Swiss ke Surabaya tahun lalu, Pak De pun meminta saya meneken MOU antara pemprop Jatim dengan KBRI Swiss yang tujuannya mempermudah

investasi dan bisnis dari Swiss ke Jatim. Saya tidak tanya kanan dan kiri langsung setuju saja, meski ada juiga beberapa rekan Dubes yang tidak berani mengambil sikap. Saya sangat beruntung dengan sikap Gubernur Soekarwo yang menitik beratkan action dari pada berdiskusi. Mungkin karena tidak biasa menghadiri diplomatic functions atau lobbying seperti yang kami kerjakan, sehabis meneken MOU, saya lihat Pak De Karwo agak kelelahan. Akhirnya dia mengajak saya merokok, meski saya tidak pernah merokok, di teras hotel. saya pun hanya dengan tersenyum menemaninya sambil minum kopi. ''Pak De, congratulation, we declare you as a man of action. ini sikap bulat para diplomat'' kata saya sambil menyalaminya. Pak De hanya tersenyum sambil menyedot rokoknya dalam - dalam. (*)

WEDNESDAY, JUNE 1, 2011 Spirit Kertanegara Dan Surabaya ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI Beberapa waktu lalu ketika media masa dan politisi di Jakarta meributkan deficit perdagangan antara Indonesia dan China setelah berlakunya China Asean Free Trade Agreement (CAFTA), kami para diplomat agak resah. Mengapa demikian? Di sejumlah mailing list, media, talk show banyak orang yang merasa diri sebagai pakar menuduh kami para diplomat lembek, lemah diplomasinya, gagal mengamankan kepentingan nasional dan sebagainya. Bahkan belum lama ini seorang anggota DPR berkomentar SARA terhadap seorang menteri. Sungguh sangat memprihatinkan. Untuk menghibur teman teman yang sempat down dengan berbagai tuduhan ngawur itu saya sampaikan bahwa kita semua anak cucu Kertanegara. Hal yang sama juga saya sampaikan kepada para pengkritik diplomat Indonesia yang harus saya akui, kemampuannya rata rata jauh diatas para birokrat lain di tanah air. Bahkan jika dibandingkan dengan diplomat di kawasan Asia Pasifik, bukan hanya ASEAN, ketangguhan diplomat Indonesia sudah teruji. Layak kiranya, Pusdiklat deplu di Jakarta juga banyak dititipi Negara negara ASEAN lainnya untuk ikut mendidik diplomat mudanya. Saya selalu mengatakan bahwa kita ini semua anak cucu raja Kertanegara untuk mengingatkan bukan hanya pelajaran sejarah, tetapi juga fakta bahwa dari zaman dahulu bangsa Indonesia adalah bangsa pemberani, tegas dan tatag, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan nasional. Banyak yang lupa, bahkan juga sebagian diplomat kita, bahwa diplomasi kita tidak hanya dimulai pada tahun 1945 dengan pidato Bung Hatta berjudul mengayuh diantara dua karang yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Bagi saya eksistensi bangsa Indonesia ini kelanjutan dari kerajaan yang sudah pernah ada di bumi pertiwi ratusan tahun yang lampau, termasuk dari kerajaan Singasari. Keberanian dan ketegasan raja Kertanegara ini tercatat dengan rapi baik dalam sumber sumber sejarah China maupun Indonesia. Kitab Pararaton dan Kitab Negara Kertagama semuanya mendokumentasikan peristiwa yang mungkin di zaman modern pun tidak akan pernah terjadi: raja Kertanegara dan kerajaan Singasari berani menantang Kaisar Khubilai Khan dari kakaisaran Mongol dinasti Yuan yang berpusat di Tiongkok. Tantangan ini ibarat pemerintah Indonesia melawan Amerika Serikat dalam zaman modern. Peristiwanya terhadi pada tahun 1289, ketika suatu hari istana kerajaan Singasari kedatangan utusan khusus (semacam duta besar di zaman modern) bernama Meng Khi. Kehadiran utusan ini mula mula diterima dengan baik, sebagaimana misi

diplomatic lain yang tiba di istana. Maklum, meski kerajaan Singasari terletak di pedalaman pulau Jawa, tetapi alur pelayaran di selat Malaka berada dibawah kekuasaannya. Dengan demikian kekuatan besar dunia waktu itu, India, Persia, China, Siam, Khmer dan sebagainya semuanya memerlukan kontak diplomasi dengan Singasari. Normalnya seorang diplomat pada zaman itu ialah datang dengan membawa hadiah cendera mata berharga dan lalu menyampaikan surat dari rajanya, semacam letter of credential dalam tata hubungan diplomatic sekarang ini. Tetapi duta besar Meng Khi ini karena merasa utusan dari Negara super power, berlagak jumawa. Memang, misi yang dibawanya menunjukkan arogansi kekaisaran Mongol. Dalam surat yang disampaikannya, Kaisar Khubilai Khan menuntut raja Kertanegara dan kerajaan Singhasari agar tunduk dibawah kekuasaan dinasti Yuan. Mereka minta Kertanegara berangkat ke Tiongkok dengan membawa upeti dalam jumlah besar sebagai tanda ketundukan kerajaannya kepada negara super power ini. Pada zaman itu tak ada satu bangsa pun yang berani melawan pasukan Mongol. Pasukan kavalerinya sudah merambah dan menghancurkan bangsa- bangsa dari Hungaria dan Polandia, Russia, Baghdad dan seluruh Timur Tengah, sebagian India, seluruh Asia Tengah, Korea dan sebagian Asia Tenggara. Jepang terhindar dari kehancuran karena tertolong oleh angin topan Kamikaze yang menghancurkan armada Khubilai Khan dalam dua kali invasinya.. Mongol berhasil membangun kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia, melebihi Julius Caesar, Iskandar Agung, atau raja manapun baik dari eropa atau Asia. W.H.Barlett dalam bukunya yang berjudul Mongols, From Genghis Khan to Tamerlane, mengatakan bahwa dalam menanggapi ultimatum Meng Khi atas nama Khubilai Khan ini, raja Kertanegara adalah paling inovatif. Yakni dengan memotong kuping Meng Khi dan menulis jawaban sikapnya dengan mentato dahi utusan yang pongah itu. . Benar juga, tindakan raja Kertanegara mengundang kemurkaan luar biasa kaisar Khubilai Khan. Sebuah armada besar disiapkan untuk menghukum Singasari. Pasukan berkekuatan dua tumen (nama satuan setingkat divisi dalam pasukan Mongol) dikirim untuk memberi pelajaran raja Kertanegara atas sikapnya yang dianggap kurang sopan tersebut. Pasukan ini dipimpin oleh tiga jenderal senior yakni seorang Mongol Shih Pe, seorang jenderal suku Uighur Ikhe Mase dan seorang jenderal China bernama Kao Hsing. Kertanegara tidak tinggal diam setelah kepulangan Meng Khi. Dia sudah merasa sudah pasti akan ada pasukan invasi. Untuk itu, dia mengirimkan pasukan yang bernama Kespedisi Pamalayu yang dipimpin senopati Mahesa Anabrang yang mumpuni. Pasukan ini ditempatkan di kawasan Palembang, Bangka Belitung dan Jambi. Diperkirakan mereka akan transit dulu di daerah itu sebelum menyerbu Jawa.

Kertanegara ingin menghabisi pasukan Mongol dengan strategi apa yang kini terkenal dengan istilah forward defense. Ternyata, Kertanegara salah perhitungan. Pertama, ketika sebagian besar pasukan Singasari diberangkatkan untuk mencegat invasi pasukan Mongol, adipati Jayakatwang yang masih memendam dendam karena nenek moyangnya dikalahkan Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari, melakukan serbuan kudeta yang malahan juga menewaskan sang raja. Kedua, pasukan invasi Mongol ternyata tidak transit di Palembang atau daerah sekitarnya sebagaimana jalur laut kapal kapal dari Tiongkok waktu itu, tapi langsung menuju Tuban yang merupakan salah satu pelabuhan penting di laut Jawa saat itu. Sebagaimana sudah ditulis dalam buku sejarah, mereka gagal menghukum raja Kertanegara tetapi dimanfaatkan raden Wijaya untuk menumpas raja Jayakatwang. Pasukan Mongol yang berjumlah 20.000 orang itu kabarnya bisa mengalahkan 100.000 pasukan Daha dalam waktu satu hari saja. Maklum, meski jumlahnya sedikit, persenjataan nya sudah lebih maju, diantaranya sudah mengenal bom dan meriam meski dalam bentuk yang sederhana. Setelah sukses mengalahkan Daha, giliran pasukan raden Wijaya yang menghajar pasukan Mongol sehingga lari kocar kacir ke Ujung Galuh. Di kota yang kemudian berganti nama menjadi Surabaya inilah pada tanggal 31 Mei 1293, pasukan Mongol dibinasakan pasukan Majapahit. Sebagian menyerah dan sisanya yang bisa melarikan diri menuju kapalnya di Tuban buru buru kabur ke Tiongkok. Para komandan invasi ini mendapat hukuman dicambuk oleh kaisar Khubilai Khan. Hanya Ike Masu, jenderal asal Uighur yang tidak dihukum karena dia sudah memperingatkan dulu kemungkinan akan adanya serangan dari pasukan Majapahit. Entah karena taktik yang jitu atau keteledoran pasukan Mongol, nyatanya mereka terusir dari Ujung Galuh. Wajar kalau kemenangan penting ini dirayakan sebagai hari jadi Surabaya. Daniel Novotny, seorang ahli politik dari Ceko dalam bukunya berjudul Torn Between China and America memberikan gambaran yang sangat jelas, sebagian orang Indonesia sampai sekarang masih bangga dengan keberanian raja Kertanegara melawan kaisar Mongol itu. Intinya, sekalipun waktu itu dinasti Yuan merupakan Negara terkuat di dunia, tetapi jika sudah menyangkut harga diri dan kedaulatan Negara tidak sudi menyerahkan diri begitu saja. Semangat raja Kertanegara inilah yang kini saya mencoba ikut menanamkannya kepada generasi muda diplomat dan politisi Indonesia. Saya pernah secara acak mengetes beberapa pelajar dan mahasiswa Indonesia, nyatanya hanya sedikit yang mengetahui peristiwa ini. Jadi bagaimana mungkin akan mengambil pelajaran dan semangat Kertanegara jika diantara kita banyak yang tidak mengetahuinya.

Dalam arti praktis, semangat ini bisa diwujudkan dalam sikap untuk lebih memilih dan mendukung kepentingan nasional. Andaikata kita semua sepakat melaksanakan semangat Kertanegara makadeficit neraca perdagangan Indonesia dalam rangka CAFTA tidak akan terjadi. Kita tidak akan membeli barang barang produk asing yang murah tapi berkualitas jelek. Andaikata kualitasnya sama saja, kita tetap harus memilih produk domestik. Kita harus menjadi produsen bukan hanya konsumen yang menyebabkan devisa triliunan rupiah tiap tahun. Makanya dari sekarang, sikap boros dan kosumtif, suka ngelencer dan sebagainya kita hilangkan. Siapa yang harus mempelopori, yang terbaik tentu jika dimulai dari elite pemimpin kita (*)

FRIDAY, MAY 20, 2011 NASIONALISME YANG MEMBELA PETANI ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI

Wisma Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta besar RI untuk Swiss, terletak di desa (gemeinde) Gumligen, di pinggiran kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya penuh keheranan, bagaimana di negara maju seperti di Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan yang luas. Makanya, secara guyon sering saya sampaikan kepada teman-teman dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner.. Setiap pagi saya bangun tidur dan membuka pintu dan jendela wisma, hawa segar campur bau sapid an tanaman pasti menyapa. Karenanya, saya selalu memperingatkan teman teman dari Indonesia yang akan mampir ke wisma dan apalagi menginap, agar jangan kaget kalau bau sapi. Sapi sapi itu merumput bebas dari pagi sampai petang tanpa ada yang mengawasi. Pada jam jam tertentu mereka antri untuk diperah susunya yang langsung diproses ke pabrik, baik untuk dairy products maupun untuk produk lain, seperti cheese, fondue, raclet dan lain lain makanan Swiss. Lahan pertanian di depan wisma saya, selain untuk peternakan puluhan sapi, juga untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari dan sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang sama dalam lahan yang sama secara berturut turut. Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah 2 hektar. Biasanya lahan itu akan dibagi dalam empat bagian, satu bagian di tananami gandum, satu bagian jagung, satu bagian hortikultura dan bagian lainnya bunga matahari. Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam.

Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah menghindari terjadinya serangan hama. Untuk menjadi petani harus mengikuti semacam sekolah atau kursus tertentu. Saya punya kenalan, mbak Atik, asal Klaten yang kawin dengan petani Swiss di kanton Fribroug. Ketika tiba di Swiss, dia harus belajar dulu sekitar 2 tahun untuk mempelajari cara bertani yang benar. Suaminya memang anak petani dan memiliki tanah yang lumayan luas, sekitar 32 hektar. Tanah seluas itu hanya digarap mbak Atik dan suaminya, dibantu dua anaknya, dan kadang kadang saja mengupah tetangga. Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena lahannya sangat luas. Lahan pertanian di Swiss sangat luas karena memang terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang pertanian yang nyata. Ketentuan pertama ialah tidak boleh adanya petani berdasi. Yaitu orang orang kota yang memiliki duit dan membeli lahan untuk disewakan atau dikerjakan dengan mengupah orang lain. Dengan kata lain. Lahan pertanian hanya boleh dimiliki dan diusahakan oleh petani yang terjun sendiri mengolah tanahnya. Titik. Untuk menghindari penyusutan lahan, lahan pertanian juga dilarang dikapling kapling kecil. Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10 hektar dan anak saya 5 orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan mengkapling kapling masing masing 2 hektar untuk setiap anak. Tanah harus untuh 10 hektar agar efisien menggunakan mesin dan anggota keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual haknya kepada saudaranya yang bertani. Jika tidak ada diantara anak anak itu yang meneruskasn usaha pertanian bapaknya, maka tanah harus dijual secara keseluruhan kepada petani lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah pecah dan apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan dan lain lain kegiatan non pertanian. Bagi pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya dengan ketahanan militer yang mana produksi nasional harus dijaga dan dilindungi. Menurut pak Hans, petani Swiss kenalan saya, sebagai petani tugas dia hanya mengolah tanah, menanam , memelihara dan memanen. Soal penjualan sudah ada yang mengurusnya, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi) dimana seorang anggota hanya boleh punya satu saham. Kooperasi ini yang merk dagangnya Coop, berbisnis layaknya supermarket di Indonesia. Bukan hanya itu saja, mereka juga masuk bisnis perbankan, distribusi minyak, asuransi dan lain lain. Wajar ketika raja hypermarket Carrefour dari Prancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan raja retail dari Prancis itu kalah total. Sekarang tidak ada satu pun retail asing di Swiss, kalau pun ada sangat kecil seperti jaringan Aldi dari Jerman.

Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama karena kebijaksanaan pemerintah yang melindungi pertanian domestic, kedua adanya subsidi dalam bidang pertanian, ketiga juga sikap konsumen Swiss sendiri yang cenderung memilih produk domestic meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh telur dari Spanyol atau Italia, bisa 50 cent lebih murah, demikian juga strawberry, apple, wine , anggur dan produk pertanian lainnya. ,, Kami beli produk Swiss karena jelas akan lebih fresh, jarang pakai pestisida jadi lebih sehat dan itu membantu petani sendiri kata Bruno, teman saya. Memang pola konsumsi orang Swiss berbeda dengan Amerika atau Inggris yang suka berbelanja dengan menstok barang banyak-banyak. Jarang sekali orang Swiss beli telur sampai satu kilo, meskipoun untuk keluarga. Karenanya, di supermarket, dus telur paling banyak berisi 4 buah, bukan satu lusin seperti di Jakarta. Beli pisang hanya dua buah, bukan satu sisir atau apalagi sampai satu tandan. Artinya, mereka hanya beli barang yang diperlukan untuk satu dua hari saja. Oleh karenanya, hampir semua rumah tangga Swiss, kulkasnya sangat kecil, karena mereka tidak biasa menumpuk dan menstok makanan dalam jumlah besar. Ciri konsumsi orang Swiss lainnya ialah mereka akan mengkonsumsi barang yang diproduksinya, melebihi dari bangsa lainnya. Misalnya, Swiss terkenal karena produk coklat olahannya, dan mereka pun konsekwen mengkonsumsinya, sehingga orang Swiss salah satu pengkonsumsi coklat tertinggi di dunia dengan rata rata pertahun menghabiskan sekitar 7,6 kg coklat per orang. Begitu juga karena cheese produk Swiss telah mendunia, mereka mempunyai tingkat konsumsi yang lumayan tinggi yakni 20 kg per orang per tahun, sedang konsumsi milk rata rata 112,5 liter per orang per tahun. Wajar kalau warga Swiss sehat-sehat dan anak-anaknya juga tidak menderita obesitas. Peternak sapi perah pun hidup makmur, begitu juga pengusaha susu terkait. Mari kita tengok kondisi daerah penghasil susu di Indonesia. Daerah kelahiran saya, kabupaten Boyolali dikenal sebagai kota susu. Saking bangganya dengan sapi perah, di pintu gerbang memasuki kota Boyolali dipajang patung sapi perah. Begitu juga di daerah mertua saya, kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai daerah penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Bahkan Nestle, perusahaan Swiss, memiliki pabrik pengolahan susu terbesar di Indonesia di Kejayan dengan kapasitas produksi bisa mencapai 1,4 juta liter per hari. Sebagian dari susu yang diproses Nestle itu masih diimpor, karena susu local kualitasnya masih kurang memadai. Itulah sebabnya saya mendorong Nestle mengadakan workshop peningkatan kualitas mutu susu sapi di Jawa Timur. Baik Kami bersedia, asal ada dukungan dari pemerintah kata Mr.Van Dyk, wakil presiden Nestle, ketika saya temui awal Januari lalu.

KBRI Bern pun segera kontak Gubernur Soekarwo, dan sambutan positif pemprop Jatim yang memungkinkan akan digelarnya workshop peningkatan produksi mutu susu sapi di Sirabaya dalam waktu yang tidak lama lagi. Diharapkan semua stakeholders akan berperan aktif dalam program tersebut dengan tujuan utama meningkatkan kualitas susu peternak di Jatim.. Tapi workshop atau apapun kegiatan sejenis tidak akan mampu menyejahterakan peternak dan petani, jika pemerintah dan masyarakat tidak ikut mendukungnya. Saya tahu, meski daerah asal saya dan juga kabupaten mertua saya sama sama penghasil susu, konsumsi local sangat rendah. Selama saya sekolah di Boyolali dari SD sampai SMA, begitu juga selama anak-anak saya sekolah selama beberapa tahun di SD Muhammadiyah Pandaan, tidak pernah ada gerakan minum susu. Hal yang paling simple saja, yakni mengimbau anak-anak pelajar agar minum susu hasil petani setempat dan bukan mengkonsumsi soft drink bikinan Amerika, tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan dinas pendidikannya. Beberapa kali saya bertamu ke pendopo baik kabupaten Boyolali maupun ke kabupaten Pasuruan, tidak sekalipun kami disuguhi minuman susu segar hasil peternak setempat. Memang aneh, kita bisa beli minuman berkarbonasi yang seliternya bisa mencapai Rp.5.500, - tetapi enggan membeli susu yang harganya perliternya lebih murah. Juga ironi sekali, banyak orang, termasuk keluarga miskin, sehari bisa menghabiskan sebungkus rokok tetapi tidak mau membeli susu yang menyehatkan. Di tingkat nasional, beberapa tahun yang lalu, pemerintah pusat pernah menghapuskan bea masuk untuk susu import yang berakibat banyak peternak susu sapi kelimpungan karena tidak bisa bersaing dengan susu impor dari New Zealand dan Australia. Memang produksi susu per sapi di Indonesia masih rendah. Jika seekor sapi bisa menghasilkan 12 13 liter per hari saja sudah bagus. Bandingkan dengan sapi di Swiss yang rata rata menghasilkan 25 liter perhari. Lebih payah lagi, petani kita ada yang curang, misalnya mencampur susu dengan santan atau air, yang tentu saja merusak kualitas. Karena kesadaran ingin hidup sehat dan memakmurkan bangsa yang tinggi, maka minum susu dan makanan sehat sudah diajarkan sejak anak anak masih duduk di SD. Meski Swiss juga pusat industri rokok yakni Phillip Morris International yang memiliki PT Sampoerna dan British American Tobacco yang mempunyai PT Bentoel, tetapi untuk produk yang ini mereka mkonsumsinya sangat rendah. Karena warga Swiss tahu persis bahayanya merokok bagi kesehatan. Untuk makanan, selain mereka banyak mengkonsumsi sayuran dan buah hasil petani sendiri, makanan cepat saji ala Amerika semacam KFC, Pizza Huts dan sebagainya tidak laku. Kami orang Indonesia jika kangen KFC harus ke Mullhouse di wilayah Prancis yang jauhnya sekitar 2,5 jam perjalanan naik mobil dari Bern. KFC tidak laku di Swiss. Begitu juga minuman karbonasi seperti Coca Cola, Sprite kurang laku. Mereka lebih senang minum air mineral, susu atau jus aneka buah..

Kalau teringat dua daerah asal tersebut, saya hanya bisa mengelus dada. Mengapa pak bupati baik di Boyolali maupun Pasuruan tidak memprioritaskan susu hasil peternaknya sebagai minuman istimewa di kantornya. Andaikata sebagian dana APBD dialokasikan untuk mensubsidi pembelian susu, saya kira tidak akan ada yang keberatan. Lebih baik dana APBD dialokasikan untuk mensubsidi susu anak anak sekolah dari pada dihabiskan untuk nglencer atau studi banding dengan program yang kurang jelas. Dalam melindungi petaninya, para pejabat Swiss umumnya bersikap pantang mundur atau dalam bahasa Inggris sering disebut cross over my dead body, terjemahan bebasnya yakni ,,langkahi dulu mayat saya. Ini bukan hanya kalau menghadapi lawan seimbang seperti dari negara negara berkembang, tetapi bahkan juga jika melawan Negara Negara kuat seperti Amerika, China, Jepang, Russia atau Uni Eropa ( Swiss tidak menjadi anggota Uni Eropa)..Para negosiator Swiss akan mati matian memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Ini wajar saja karena memang pemerintah harus melindungi kepentingan rakyatnya. Jika kebetulan saya sedang jalan jalan ke super market, saya sering mengelus dada, sebab saya lantas teringat jika mampir di toko buah baik di Jakarta ataupun Surabaya, sungguh sangat sulit mencari buah local. Padahal di masa kecil banyak sekali buah local yang mudah ditemukan di pasar, sekarang bukan hanya mall, plaza dan pasar modern yang sudah diserbu buah dan sayur impor, bahkan sampai di pedagang buah kaki lima pun sudah menjajakan barang impor. Makanya kita selalu deficit dan ketahanan pangan bisa terancam. Secara kecil kecilan, meski di luar negeri, saya mencoba berbuat sesuatu: yakni mulai 1 Mei yang lalu saya mendeklarasikan KBRI Bern adalah KBRI Batik. Tiap hari baik dubes maupun staff local akan memakai baju batik, kecuali kalau ada acara resmi kenegaraan dan memasuki musim dingin.Harap dimaklumi, di waktu musim dingin, temperature bisa drop sampai minus 5 C, bahkan di beberapa daerah seperti Davos, bisa mencapai minus 20 derajat Celsius. Keputusan saya ini membikin heran beberapa tamu dari Indonesia yang biasanya datang ke KBRI dengan stelan resmi, jas rapi pakai dasi. Saya sendiri merasa tidak salah menerima tamu dengan baju batik. Bahkan beberapa kali saya menghadiri diplomatic parties, saya tetap pakai batik. Beberapa kolega dubes malahan memujinya, misal dubes Afrika Selatan, George Jones malahan menceriterakan mantan presiden Nelson Mandela sampai sekarang masih setia memakai batik asli Indonesia. Tidak kurang juga dubes Colombia Claudia, juga suka memuji baju batik saya . Sekarang saya hanya ingin membaca ada berita pak bupati Boyolali Seno Samodra dan pak bupati Pasuruan Dade Angga memerintahkan stafnya memulai minum

susu, dan anak anak sekolah juga disubsidi untuk mendapatkan minuman yang menyehatkan itu, setidaknya seminggu sekali.

TUESDAY, MAY 10, 2011 FIFA-PSSI Dan Masalahnya (1) ADDED JAN 6, 2010, UNDER: NASIONAL , OPINI Ketika saya masih jadi reporter Jawa Pos, sekitar 25 tahun lalu, ada satu kata yang atas perintah Bos Dahlan Iskan harus dihilangkan dari perbendaharaan kami, yaitu ''tidak bisa''. Saya ingat, waktu itu fasilitas di Jawa Pos masih sangat minim. Pun, di Surabaya saja, pamor Jawa Pos masih kalah oleh kompetitor, apalagi di luar Jatim. Kalau saya kembali ke kampus UGM, masih banyak yang terheran-heran karena saya bekerja di koran yang bernama Jawa Pos. Sering ada pertanyaan yang menjengkelkan. Misalnya, koran tempatmu bekerja itu berbahasa Jawa tah? Kalau ada pertanyaan itu, saya jawab sekenanya: Jawa Pos itu berbahasa Inggris, kok. Jelas mereka tidak akan percaya. Sebagai wartawan generasi awal, saya beruntung karena masih dididik dan diawasi langsung Big Boss Dahlan Iskan. Setiap sekian pekan, kami diajak berdiskusi dalam forum yang disebut Bengkel. Forum itu sebenarnya digunakan untuk transfer teknik reporting dari bos sendiri. Saya tak tahu, apa itu masih dilaksanakan untuk reporter generasi sekarang. Sebab, sejak masuk DPR dan sekarang jadi duta besar (Dubes), saya belum pernah diundang sharing dengan junior saya. Tapi, apapun proses yang kami ikuti saat itu, kata ''tidak bisa'' atas tugas yang sesulit apapun tak boleh hilang dari ingatan kami. Kata itu pula yang menghantui saya ketika ditugasi berurusan dengan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional). Terus terang, meski saya bertahun-tahun ditugaskan di luar negeri dan lama jadi reporter, penugasan saya sebagai wartawan Jawa Pos hampir tak pernah berurusan dengan olahraga, apalagi FIFA. Karena itu, ketika sahabat saya, Dr Andi Mallarangeng yang kini Menpora, menelepon saya dengan misi menjelaskan ke FIFA soal kisruh PSSI, saya sempat tercenung: Apa bisa? Untung, sikap bawah sadar saya yang mendarah daging sejak jadi reporter Jawa Pos segera menggerakkan hati saya: Tak ada kata ''tidak bisa'' bagi wartawan Jawa Pos dan itu juga berlaku bagi duta besar yang mengawali karirnya sebagai wartawan di koran ini. Terus terang, sebelumnya saya buta soal PSSI dan FIFA. Namun, akhirnya saya harus mengerti dan memahaminya dengan baik. Makin saya bongkar-bongkar, masalahnya makin menantang. Juga menjawab sebagian pertanyaan dalam hati saya selama ini:

Kenapa pengurus PSSI jika datang ke Zurich (kantor pusat FIFA) tak sekalipun mengontak KBRI? Mungkin mereka akan berurusan dengan KBRI kalau kehilangan paspor saja. Padahal, personel cabang olahraga lain, entah Percasi, PBSI, dan lain-lain, bila punya kegiatan di manapun di wilayah Swiss akan memberi tahu KBRI. Saya makin tertantang menguak misteri PSSI dan FIFA. Apalagi setelah cek dan ricek terhadap sejumlah teman di media menyatakan ada pejabat PSSI yang sering bohong belaka. Maka, saya bertekad melaksanakan misi dengan baik dan profesional. Apalagi, dari email, pesan facebook, ataupun SMS yang saya terima dari teman-teman di Surabaya, banyak yang mendukung. Saya yakin, pasti ada manfaat bagi masyarakat jika persekongkolan yang mengakibatkan prestasi sepakbola Indonesia terjerembab dan makin terpuruk ke posisi yang menyedihkan dibongkar. Sebagai Dubes, saya tak sulit minta waktu berkunjung ke FIFA. Apalagi, sesungguhnya gelar itu secara resmi sangat hebat: Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI. Artinya, saya membawa kuasa penuh atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia. Jelas FIFA pun tahu itu. Mereka juga tahu tata krama diplomatik. Kalau kirim surat pun, mereka takkan lupa menambahkan singkatan gelar HE atau his excellency (yang mulia). Saya sebenarnya risih, tapi ya mau bagaimana lagi. Itu sudah baku dalam tata pergaulan diplomatik. Yang pertama saya lakukan setelah dapat kontak dengan FIFA ialah memetakan masalah. Setelah saya urai benang kusut yang ada, ternyata memang yang jadi masalah adalah statuta PSSI. Orang di PSSI bersikeras sudah tak ada masalah pada statuta karena sudah disahkan FIFA. Namun, pihak penentang menganggap pengesahan itu penuh rekayasa. Setelah saya pelajari saksama, ada kecenderungan pengurus PSSI berlindung ke FIFA jika menguntungkannya dan mengabaikan FIFA bila tak sesuai dengan maunya. Pangkal kisruh pertama memang pasal 35 ayat 4, yang dalam bahasa Inggris berbunyi, ''The members of the executive committees must not found guilty of criminal offence''. Terjemahan wajarnya, ''Anggota komite eksekutif tak pernah terbukti melakukan tindakan pidana.'' Tapi, ayat yang mudah dimengerti itu dipelintir dengan adanya tambahan tidak sedang ditemukan melakukan kejahatan ketika kongres. Ya tentu saja jauh panggang dari api. Jadi, menurut statuta PSSI, asal selama kongres

yang normalnya berjalan tiga hari seorang calon tidak sedang diperiksa polisi atau jaksa karena suatu kejahatan, dia bisa jadi calon sekalipun pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Ketika menemui para petinggi FIFA, saya agak jengkel. Sebab, mereka sejak 2007 membiarkan terjemahan yang salah itu. ''You don't understand Indonesian language. Why do you in FIFA accept the wrong translation like that?'' protes saya pada seorang pejabat FIFA. Dengan enteng dia jawab, ''Sorry, Indonesian language is not the official language here.'' Belakangan, yang saya tahu, direktur FIFA itu sudah digarap orang-orang PSSI. Itu membuat saya makin kesal. Sebab, jutaan orang Indonesia yang paham bahasa Inggris dengan baik jadi tampak bodoh saat membaca terjemahan statuta FIFA versi PSSI itu. Saya sempat minta semua staf diplomat saya, yang umumnya bernilai TOEFL di atas 600, untuk menerjemahkan statuta FIFA. Hasilnya sama dengan saya dan menyalahkan versi PSSI. Tapi, memang orang PSSI bisa berjaya dengan pelintiran itu selama empat tahun karena ada orang-orang FIFA yang bisa digarap. Atas semua penyelewengan itu, tekad saya mengungkap borok-borok yang selama ini ada di PSSI makin kuat. Keyakinan saya terbukti juga ketika FIFA mengadakan jumpa pers mengenai berbagai masalah, termasuk PSSI, 3 Maret lalu. Saya sengaja mengirim dua warga melihat langsung dan memonitor apa yang terjadi di FIFA. Masalahnya, menurut laporan teman-teman wartawan, PSSI mengirim pengurusnya. Bahkan, pengurus itu pada seorang wartawan mengaku duduk persis di depan Presiden FIFA Sepp Blatter. Segera saya kontak dua warga untuk memastikan kebenaran itu. Salah seorang warga langsung melapor, ''Di ruang ini, orang Asia hanya tiga. Selain kami berdua, ada satu orang Jepang.'' Dia pun memotret suasana jumpa pers dan memastikan tak ada wajah Indonesia, selain keduanya. Besoknya, Jumat siang, masuk laporan dari kawan wartawan di Jakarta bahwa pengurus yang mengaku Kamis sore duduk di depan Sepp Blatter itu sudah ada di sekitar Senayan. Itu jelas tak masuk akal. Sebab, pesawat yang terbang malam dari Zurich adalah Emirates. Pun, pesawat itu tiba di Jakarta pukul enam sore. Bagaimana mungkin pengurus PSSI yang sering diwawancarai wartawan itu Jumat siang sudah ada di Jakarta? Apa dia punya ilmu sehingga bisa ada di banyak tempat dalam waktu sama? (http://riaupos.co.id/news/2011/03/fifa-pssi-dan-masalahnya-1-oleh-djoko-susilo/)

TUESDAY, MAY 10, 2011 FIFA-PSSI Dan Masalahnya (2) ADDED JAN 6, 2010, UNDER: NASIONAL , OPINI Sewaktu masih di SD, guru mengajarkan pepatah yang selalu saya ingat: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu saya coba gunakan memahami hubungan FIFA-PSSI.

Saya yang sebelumnya tak tahu apa-apa coba menggali seksama masalah itu sampai akarnya. Ada kemiripan antara pengurus FIFA dan PSSI: Mereka lama berkuasa dan tak mau turun-turun.Yang lebih penting, dalam urusan duit, FIFA ataupun PSSI dianggap tak transparan.

Di FIFA, nama wartawan Inggris Andrew Jennings masuk blacklist nomor 1. Alexander Koch, pejabat Bidang Humas FIFA, ketika saya tanya mengenai Jennings tak bisa menyembunyikan kejengkelan.

''Saya larang dia masuk di lingkungan FIFA. Sebab, sebagai wartawan, dia sangat tidak objektif,'' kata Herr Koch gusar. Baginya, apa saja yang ditulis Jennings hanya isapan jempol dan bohong belaka. Memang pantas Jennings buat marah pengurus FIFA. Sebab, dia satu-satunya wartawan yang mampu mendokumentasikan berbagai masalah di FIFA.

Dosa besar Jennings ialah menulis buku Foul! The Secret World of FIFA: Bribes Vote Rigging and Ticket Scandals. Buku itu mengupas habis skandal keuangan dan berbagai persoalan yang membelit FIFA. Dalam ulasan tentang karya Jennings itu, koran terkenal di Inggris The Daily Mail menulis, Explosive.. An astonishing story of bribery and vote rigging. Sedang Presiden FIFA Sepp Blatter berkomentar ke Jennings,You write fiction.

Buku Jennings itu di kalangan wartawan serta peminat dan pengamat bola di Inggris sangat berpengaruh. Akibatnya, media di Inggris dicap anti-FIFA.

Pun, hasilnya sangat jelas: Inggris gagal jadi tuan rumah Piala Dunia 2018, kalah oleh Rusia meski Pangeran Williams ikut melobi. Banyak yang heran, kenapa

Inggris. Juga banyak yang mempertanyakan, kenapa Qatar bisa jadi tuan rumah World Cup 2022.

Well, kami juga harus mempertimbangkan perkembangan bola di Eropa Timur. ''Tidak benar semua tuduhan koran Inggris mengenai adanya penyuapan atau permainan dalam penentuan,'' kata Koch. Memang tuduhan atau kritik yang ditulis Jennings tak main-main.

Masalahnya, beda dengan tradisi CEO perusahaan atau lembaga penting di Eropa yang selalu mengumumkan gaji pimpinan dan dewan direksi, gaji dan penghasilan presiden FIFA dinyatakan rahasia.

Hanya boleh diketahui komite keuangan organisasi. Tapi, dari berbagai sumber, Jennings menuliskan gaji Blatter 4 juta franc Swiss (CHF) atau hampir Rp38 miliar. Dalam kontrak juga disebut jika Blatter di-PHK, FIFA harus memberi kompensasi CHF 24 juta atau hampir Rp226 miliar.

Di luar gaji itu, Blatter masih memiliki sejumlah fasilitas dan pengeluaran yang dibayar FIFA. Tumpangannya saja Mercy terbaik di Swiss. Biaya sewa apartemennya di Zilikon, dekat Zurich, CHF 8.000 per bulan.

Jika pergi ke luar wilayah Swiss untuk urusan apapun, dia dapat sangu sehari 500 dolar AS plus uang makan, uang belanja, dan lain-lain. Bahkan, Jennings bisa menyebutkan, jas dan belanjaan Blatter di Coop (semacam supermarket Hero di Swiss) juga dibayari FIFA.

Masih menurut Jennings, tiket pelesir pacar presiden FIFA yang sudah lebih dari 75 tahun itu juga dibayari FIFA. Blatter jadi presiden FIFA sejak 1998. Tapi, belasan tahun sebelumnya dia sudah jadi Sekjen FIFA.

Sama dengan pengurus PSSI yang tak pernah berganti-ganti. Bisa dikatakan, orangnya ya itu-itu saja. Sepertinya, tak ada orang Indonesia lain yang bisa mengurus PSSI. Nurdin Halid berkuasa sejak 2003.

Sedang Sekum PSSI Nugraha Besoes ada di posisinya sejak lama. Seingat saya, sejak saya masih bercelana pendek, dia sudah jadi pengurus teras PSSI.

Dalam catatan Jennings, Blatter juga sering menyalahi aturan di Swiss. Meski dia tinggal di Kanton Zurich sejak 1975, KTP-nya masih terdaftar di Kanton Valais. Di Swiss, ada perbedaan yang mencolok dari segi perpajakan. Pajak penghasilan di Valais lebih rendah daripada di Zurich. Dengan ber-KTP Valais, pajak yang dibayar pun lebih sedikit. Lalu, masih menurut Jennings, Blatter pun memutuskan mendaftar urusan pajaknya di Kantor Appenzell, salah satu kanton terkecil di Swiss yang hanya berpenduduk 15.000 orang dengan pajak paling rendah. Dalam istilah lokal, status Blatter adalah wochenaufenthalter. Terjemahan gampangnya, penduduk Zurich yang hanya tinggal di kota itu selama hari kerja.

Suatu saat reporter tabloid Swiss, Blick, datang mengetuk pintu apartemen Blatter di Zurich. Dia menanyakan alamat rumah Blatter di Appenzell, sebagaimana tercatat dalam laporan pajaknya.

Ternyata, sampai tiga kali ditanya, presiden FIFA itu tak bisa menyampaikannya dengan benar sampai akhirnya reporter itulah yang memberi tahunya dengan tepat. Dengan kata lain, Blatter hanya pinjam alamat agar pajaknya lebih rendah.

Tentu saja laporan Blick itu mengagetkan banyak pihak. Kantor pajak Zurich akhirnya mengusut kebenaran laporan wartawan Blick. Sedang Blatter untuk mencari simpati memberi kesempatan wawancara khusus ke koran Walliser Bote, yakni koran lokal tempat kelahirannya di Kanton Valais. Intinya, isu pengusutan dinas pajak itu tak benar.

Dia juga membantah ia jadi sasaran pengusutan atas penyelewengan pembayaran pajak pendapatan. Bahkan, dia berusaha mencari simpati warga lokal.

Sebagai orang asli Valais yang berhasil masuk orbit internasional, wajar dia jadi sasaran tembak orang-orang di kota besar seperti Zurich.

Membaca bagian cerita itu, saya teringat sebagian usaha Nurdin mencari simpati lokal di Makassar dengan menyatakan berbagai macam kritik terhadapnya bermotif politik. Tak pernah diungkap proses yang terjadi selama ini di PSSI menyalahi aturan FIFA.

Juga, tak dijelaskan terjadi pelintiran terhadap statuta organisasi. Seolah-olah para pengurus PSSI sekarang menghadapi campur tangan pemerintah dan dizalimi. Anggapan dizalimi media dan pemerintah itu akan bisa jadi alat yang ampuh untuk membela diri. Penampilan memelas sampai menangis di depan Komisi X DPR juga merupakan drama yang sangat mencengangkan.(bersambung) (http://riaupos.co.id/news/2011/03/fifa-pssi-dan-masalahnya-2-oleh-djoko-susilo/)

WEDNESDAY, MAY 18, 2011 Mengapa Pejabat Swiss Tidak Banyak Fasilitas ADDED JAN 6, 2010, UNDER: OPINI

Saya sering mendapatkan pertanyaan dari kawan-kawan yang baru saja tiba mengunjungi Swiss: mengapa tiap tahun negara ini presidennya berganti. Uniknya lagi, mereka bergantian di antara anggota federal council yang hanya tujuh orang. Tidak perlu kampanye yang melelahkan dengan biaya besar seperti di Indonesia atau Amerika Serikat, juga tidak perlu harus gegeran bertahun-tahun seperti yang sekarang terjadi di Pantai Gading, Afrika. Semuanya berjalan lancar, tertib dan teratur sebagaimana teraturnya sistem kehidupan lain di Swiss. Yang juga mengherankan banyak di antara pejabat itu, dari tingkat menteri ke bawah, yang tidak mendapat fasilitas negara. Sejarah jabatan presiden bergantian tentunya tidak lepas dari sejarah berdirinya Swiss sendiri. Negara yang sekarang terdiri dari 26 kanton (semacam negara bagian), itu mula-mula didirikan oleh wakil-wakil masyarakat dari tiga kanton, Uri, Swhyz dan Unterwalden yang pada tahun 1291 bersekutu untuk melawan penjajahan kekaisaran Austria. Berkat persekutuan ini, mereka sukses menjaga kemerdekaannya dari penjajahan Austria. Keberhasilan mereka ini menarik kelompok masyarakat di sekitarnya yang secara bertahap lalu bergabung sehingga membentuk wilayah yang sekarang bernama Republik Konfederasi Switzerland. Kalau ketemu warga Swiss, saya sering juga bercerita ketika masyarakat tiga Kanton itu mulai meletakkan dasar-dasar negara konfederasi Swiss yang terus berkembang dan maju serta makmur seperti sekarang ini.

Leluhur kami waktu itu berhasil mengusir tentara Mongol dari dinasti Yuan yang dipimpin Khubilai Khan dan berdirilah kerajaan Majapahit yang sempat lama berjaya. Tetapi Majapahit kemudian runtuh dan penduduk kepulauan Nusantara pun harus rela dijajah Belanda selama hampir 3,5 abad lamanya. Maka, ketika merdeka pun kita memulainya nyaris dari nol. Sedangkan Swiss makin kokoh dengan sistem pemerintahan konfederasinya. Prinsip utama dari pemerintahan konfederasi ini ialah tidak ada orang yang sangat berkuasa, tetapi juga tidak ada orang yang paling berat menanggung tugas kewajiban. Semuanya ditanggung bersama sehingga kepemimpinan bersifat kolegial. Presiden Swiss bukanlah orang paling berkuasa sebagaimana dalam negara bersistem presidensial. Hanya saja dia yang menjadi semacam koordinator dan kalau bertemu dengan pihak lain, dia yang akan berada di depan dulu. Sistem demikian ini sudah berjalan sejak konstitusi Swiss modern disahkan tahun 1848. sistem ini untuk mencegah orang berkuasa terus, atau menjadi sangat berkuasa atau sok berkuasa. Jelas kediktatoran tidak akan laku. Juga sistem ini mencegah seorang tokoh mewariskan kekuasaan, misalnya setelah sang suami lengser, diganti istrinya, terus anaknya, terus cucunya atau keponakannya. Hal yang demikian tidak akan terjadi di Swiss. Ciri lain pemerintahan Swiss ialah amat efisien, efektif dan hemat dalam segala hal. Saya pernah berkunjung ke ruang kerja seorang menteri, kamar kerjanya itu sangat sederhana, hanya ada seperangkat sofa dan satu set komputer. Meski Swiss negara yang sangat kaya raya dengan APBN yang setiap tahun selalu surplus, pejabat tingginya biasa-biasa saja tanpa fasilitas mencolok. Jumlah menteri termasuk presiden dan wakil presiden hanya tujuh orang. Mereka inilah yang disebut sebagai Federal Council atau Dewan Federal. Untuk efisiensi, Presiden Calmy Rey merangkap menteri luar negeri, sedang wapres Eveline Widmer Schlumpf merangkap Menteri Kehakiman dan Kepolisian. Meski hanya punya tujuh menteri yang merangkap presiden dan wakil presiden, pemerintahan Swiss tidak banyak menghabiskan dana untuk memberikan fasilitas kepada para pejabat tersebut. Para menteri ini sangat mudah ditemui warga masyarakat sedang nunggu bus atau naik tram seperti warga masyarakat lain. Jika bepergian antarkota cukup naik kereta api, tidak perlu naik mobil disopiri dengan pengawalan vorijders yang panjang. Hanya kalau ada acara resmi saja, baru ada pengawalan resmi polisi. itupun karena terkait protokol. Jadi, ongkos membiayai pejabat tidak banyak menjadi beban rakyat.

Para menteri ini fasilitasnya tidak banyak. Mereka tidak dapat rumah dinas, tidak ada mobil dinas khusus, tidak ada pengawalan khusus, tidak ada tunjangan khusus. Karena itu istri atau suami menteri juga sama sekali tidak mendapat fasilitas apaapa, mereka rakyat biasa seperti warga Swiss lainnya. Satu-satunya fasilitas, para menteri ini mendapat gaji sebesar 400.000 CHF atau hampir sama dengan 405.000 dolar AS per tahun. jika bisa menjabat selama empat tahun penuh, mereka akan mendapat pensiun sebesar separuh jumlah tersebut. Gaji tersebut tampaknya sangat besar, tetapi jika dibanding dengan gaji terendah Swiss yang per tahunnya sekitar 70.000 - 80.000 CHF tidak terlalu mencolok. Bahkan jika dibanding sektor swasta, misal direktur bank yang malahan bisa bergaji jutaan dolar, maka tidak banyak yang mengeluh dengan gaji para pejabat di Swiss. Kabarnya ada mobil dinas, tetapi dipakai bergantian siapa yang memerlukan. jadi, sopir kantor tidak banyak di Swiss. Saya bolak-balik mengalami ketemuan dengan pejabat tinggi menyopir mobil sendiri, baik dari kalangan pemerintahan maupun swasta. Masa jabatan dewan federal selama empat tahun. Mereka dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan komposisi partai yang ada di parlemen. Dengan demikian, parlemen Swiss juga tidak mengenal sistem oposisi sebagaimana di parlemen negara Eropa lainnya. Biasanya jika seseorang sudah menjadi menteri atau anggota Federal Council, dia akan terus menerus dipilih sampai pensiun atau bosan jadi menteri. Biasanya ini berlangsung antara tiga sampai lima periode jabatan. Dalam sejarah Swiss sejak berlakunya konstitusi modern, hanya empat kali anggota dewan menteri dipecat dari jabatannya sebelum periodenya berakhir. Kasus terakhir terjadi tahun 2007 yang menimpa Christoph Blocher yang dianggap melakukan pelanggaran etika jabatan. Di Swiss etika jabatan sangat dijunjung tinggi. Tidak akan pernah terjadi seorang pejabat Swiss menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Pejabat Swiss juga tidak akan minta fasilitas berlebihan. Pernah seorang pejabat senior mundur hanya karena memberi tahu suaminya bahwa polisi akan menuju kantornya, padahal saat itu sang suami akan diminta keterangan dalam suatu perkara. Tindakan ini sudah dianggap melanggar tatanan sehingga pejabat tadi harus mundur. Tidak perlu sampai demo besar-besaran untuk menggusur pejabat yang curang atau melakukan tindakan tidak pantas. Lantaran tidak disediakan perumahan oleh pemerintah, umumnya para menteri di Swiss harus menyewa apartemen atau kamar hotel untuk tempat tinggalnya selama

di Bern, jika dia orang yang bukan berasal dari Bern atau daerah sekitarnya. Ongkos sewa itu dari kantongnya sendiri, bukan dari biaya dinas yang dikeluarkan departemen yang dipimpinnya. Moritz Leuenberger sewaktu menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Energi, dia nglaju tiap hari dari rumahnya di Zurich dengan naik KA ke Bern setiap hari. Meski menjabat menhub, dia juga bayar tiket abonemen KA tahunan yang mencapai hampir 3.000 CHF. Jadi, tidak ada yang aneh, kondektur KA SBB tiap hari ngecek tiket KA pak menteri. Biasa biasa saja. Kalau pak menteri lupa bawa tiket juga akan didenda seperti penumpang lainnya. Saya akan salut kalau itu juga terjadi di negara kita. Swiss yang membanggakan dirinya dengan sistem yang disebut consensus democracy politisinya tidak akan pernah ngotot-ngototan untuk memenangkan pendapatnya. Semua bisa dibicarakan, semua bisa dimusyawarahkan. Saya kira, dalam praktik, sesungguhnya Swiss itu mengamalkan demokrasi Pancasila, yang sarat musyawarah dan mufakat, yang sayangnya pada zaman Orde Baru banyak diselewengkan. Terkadang saya berpikir, tampaknya sistem consensus democracy ini sangat cocok dengan bangsa kita yang sedang membangun sistem demokrasi yang baik. Saya kira prinsip, menang - menangan tidak dikenal dalam sistem politik di Swiss. Dalam hal fasilitas, bukan hanya pihak eksekutif yang bersikap pragmatis dan apa adanya, pihak legislatif pun memberikan contoh yang baik, tanpa penuh keluhan. Tidak ada anggota dan apalagi pimpinan DPR yang berulang kali bicara di publik bahwa anggaran pihak eksekutif jauh lebih besar. Mereka maklum, pekerjaan DPR itu hanya legislasi, sedang eksekutif melaksanakan tugas kenegaraan. Wajar kalau anggarannya lebih banyak karena yang diurusi juga lebih banyak. Pemerintah pun jarang membangun gedung baru, begitu juga DPR-nya. Gedung DPR Swiss, meski negara kaya raya, juga sangat kuno. Sudah bertahuntahun mereka menempati gedung yang sama. Tidak ada ruang khusus bagi anggota DPR, artinya, anggota DPR hanya memiliki ruang sidang yang dipakai bersidang saja. Tidak ada kamar khusus untuk masing-masing anggota. Mereka juga tidak mempunyai sekretaris, sopir atau staf ahli. Satu-satunya fasilitas adalah laptop dengan koneksi internet via Swisscomm. Dengan laptop ini mereka sudah bisa bekerja dengan hasil yang maksimal. Memang anggota DPR Swiss tidak gaptek. Mereka memanfaatkan laptop dan internet dengan maksimal. Sebelum masuk sidang, mereka bisa merampungkan draft RUU atau mencari data via internet dalam perjalanan KA ke Bern dari rumah atau daerah asalnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Orang Swiss sejak kecil sudah dididik untuk efisien dan bekerja dengan benar. Sebab mereka tahu, negaranya tidak mempunyai kekayaan apapun, kecuali air, gunung dan sumber daya manusianya. Mereka sadar harus menggunakan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Mereka tahu betul dari sejarah, lima puluh tahun yang lalu Swiss masih miskin. Bahkan ratusan tahun yang lalu untuk bisa hidup layak banyak warga Swiss yang harus menjadi tentara bayaran di negara tetangga. Salah satunya yang sisa sisanya masih tertinggal ialah satuan Swiss Guard yang menjadi pengawal pribadi Paus di Vatican City. Sikap tidak sok berkuasa dan mabuk fasilitas bagi pejabat karena juga ada semacam "kontrak sosial" antara pejabat dan rakyatnya. Misalnya saja seorang anggota DPR, jika sebelumnya dikenal hidup bersahaja, tetapi begitu jadi pejabat mendadak kaya raya dan sering keluar negeri untuk ``studi banding``, hampir bisa dipastikan dia akan segera lengser dari jabatannya. Masyarakat Swiss tidak akan mentoleransi adanya pemborosan di kalangan pejabatnya, sebab mereka tidak sudi pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk hal yang tidak ada gunanya. Saya kira kita tidak perlu malu belajar dari mereka. (dimuat di Antaranews)

MONDAY, MAY 23, 2011 Examining The Idea Of House Of Aspiration ADDED JAN 6, 2010, UNDER: ENGLISH , OPINI The current members of the House of Representatives (DPR) seem to have many great ideas. After being publicly criticized for their laziness for skipping plenary meetings, and also after the failure to ask for the aspiration fund, they have now proposed a new idea called the House of Aspiration. It will cost the tax payer another Rp 209 billion (US$23.4 million), because each member will be given about Rp 374 million annually. Naturally, the public are shocked. People are wondering, what actually is in the minds of the legislators? Why do they have no sensitivity to public criticism? Instead of improving their performance, they demand more money, perks and facilities from the state. All shall be shouldered by the people as taxpayers. The public should know what facilities and financial rewards are enjoyed by the legislators. The supporters of the proposal said that the additional fund will help enhance relations between legislators and their constituents. However, my 10 year-experience as a House member tell me different stories. There is no direct relation between improvement of legislators performance with the state, and the money and other facilities provided by the state. I entered parliament in October 1999 with a basic salary of Rp 2 million, far below my salary as a journalist. Of course I was given additional income from various parliamentary activities. At the end of the month, my take home pay was about Rp 12 million. I know that each legislator now enjoys a monthly salary of more than Rp 70 million. The state also gives an additional fund of Rp 280 million annually for communication with the constituents. So, why do they ask more for the House of Aspiration? The fund for the House of Aspiration will only fatten the pockets of legislators. But before asking for more money, the leaders of the House should put it in order first. For example, the facilities of hiring a personal secretary and expert staff. In the past, some members have abused this facility by hiring their own son, daughter, husband or wife, and no disciplinary action was taken by the leaders of the House and their respective political party leaders. The constituent fund of Rp 280 million was given without proper monitoring. So, there is no obligation for the legislator to report all expenses given to them.

The House members should now begin full public disclosure of their income as legislators. This is normal practice in a democracy. Though a normal monthly salary for House members is now only about Rp 70 million, but I estimate their real income from the state is almost double at about Rp 130 million. So, their annual income would be about Rp 1,560 billion annually or about $160.000. This amount of salary is in a country where income per capita is about $2,200. Definitely our honourable members of parliament live above the average of the Indonesian people. To be fair, I would like to compare with Switzerland. Members of parliament in Switzerland receive no salary because they may keep their daily occupation. But for their service to the nation, they are entitled compensation of about CHF (Swiss Franc) 75,000 annually and an additional allowance of CHF 30,000 for secretarial service and other constituent related activities. So, in a year, the state paid about CHF 105.000 or about $100.000. This is in a country where annual income per capita is about $67,385. Swiss members of parliament do not receive a housing allowance, car or office facilities. Beside the compensation allowance, each member receives a laptop from the state. So, when they travel to their job in Bern from their house, for example from Zurich or Geneva, they can work on their laptop while on the train. They are very efficient and very productive. Even on the trains and trams, they work for their constituents. I rarely read or hear major complaints about the behavior of members of parliament in Switzerland. Productivity, as others in Swiss, is very important. Most members will participate in the debates. They behave like other normal people in Switzerland. If most the people take train, bus or tram to work, they do like their people. Only the president or vice president have drivers in Switzerland. Even ministers and other high-ranking officials take public transport. So, it is about time the House act and behave like normal people. They should not go above the people they say they represent. Dimuat di TheJakartaPost, 09.08.2010

Terjemahan dari opini di atas

Senin, 23 Mei, 2011 Meneliti Ide Dari 'House Of Aspirasi' TAMBAH 6 Januari 2010, BAWAH: INGGRIS, OPINI Para anggota saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampaknya memiliki banyak ide-ide besar''''. Setelah terbuka dikritik karena kemalasan mereka untuk melewatkan rapat pleno, dan juga setelah kegagalan untuk meminta "dana aspirasi", mereka kini mengusulkan ide baru yang disebut "Rumah Aspirasi". Ini akan biaya pembayar pajak lainnya Rp 209 miliar (US $ 23.400.000), karena setiap anggota akan diberikan sekitar Rp 374 juta per tahun. Tentu, masyarakat yang terkejut. Orang-orang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di benak para legislator? Mengapa mereka tidak memiliki kepekaan terhadap kritik publik? Alih-alih meningkatkan kinerja mereka, mereka menuntut lebih banyak uang, tunjangan dan fasilitas dari negara. Semua akan ditanggung oleh rakyat sebagai pembayar pajak. Masyarakat harus tahu apa fasilitas dan imbalan keuangan dinikmati oleh para legislator.Para pendukung proposal mengatakan bahwa dana tambahan akan membantu meningkatkan hubungan antara legislator dan konstituen mereka. Namun, saya 10 tahun pengalaman sebagai anggota DPR menceritakan cerita yang berbeda. Tidak ada hubungan langsung antara peningkatan kinerja legislator 'dengan negara, dan uang dan fasilitas lain yang disediakan oleh negara. Aku masuk parlemen pada bulan Oktober 1999 dengan gaji pokok Rp 2 juta, jauh di bawah gaji saya sebagai jurnalis. Tentu saja aku diberi penghasilan tambahan dari kegiatan berbagai parlemen.Pada akhir bulan, membayar rumah saya ambil sekitar Rp 12 juta. Saya tahu bahwa legislator masing-masing sekarang menikmati gaji bulanan lebih dari Rp 70 juta. Negara juga memberikan dana tambahan sebesar Rp 280 juta per tahun untuk komunikasi dengan konstituen. Jadi, mengapa mereka meminta lebih banyak untuk "Rumah Aspirasi"? Dana untuk''Rumah''Aspirasi hanya akan menggemukkan kantong legislator.Tapi sebelum meminta lebih banyak uang, para pemimpin DPR harus menempatkannya pada urutan pertama. Sebagai contoh, fasilitas mempekerjakan seorang sekretaris pribadi dan staf ahli. Di masa lalu, beberapa anggota telah menyalahgunakan fasilitas ini dengan "mempekerjakan''anak mereka sendiri, anak, suami atau istri, dan

tidak ada tindakan disipliner yang diambil oleh para pemimpin DPR dan pemimpin masing-masing partai politik. Dana konstituen sebesar Rp 280 juta diberikan tanpa pengawasan yang tepat.Jadi, tidak ada kewajiban bagi legislator untuk melaporkan semua biaya yang diberikan kepada mereka. Para anggota DPR kini harus memulai pengungkapan publik penuh dari pendapatan mereka sebagai legislator. Ini adalah praktek yang normal dalam demokrasi. Meskipun gaji bulanan normal untuk anggota DPR sekarang "hanya" sekitar Rp 70 juta, tapi saya memperkirakan pendapatan riil mereka dari negara hampir dua kali lipat sekitar Rp 130 juta. Jadi, penghasilan tahunan mereka akan sekitar Rp 1.560 miliar per tahun atau sekitar $ 160,000. Ini jumlah gaji adalah di sebuah negara dimana pendapatan per kapita adalah sekitar $ 2.200. Jelas anggota parlemen terhormat kami hidup di atas rata-rata rakyat Indonesia. Agar adil, saya ingin membandingkan dengan Swiss. Anggota parlemen di Swiss menerima gaji karena mereka terus pekerjaan mereka sehari-hari. Tapi untuk layanan mereka kepada bangsa, mereka berhak kompensasi dari sekitar CHF (Swiss Franc) per tahun dan 75.000 uang saku tambahan sebesar CHF 30.000 untuk layanan kesekretariatan dan kegiatan terkait konstituen. Jadi, dalam setahun, negara membayar sekitar USD 105,000 atau sekitar $ 100,000.Ini adalah di sebuah negara dimana pendapatan tahunan per kapita adalah sekitar $ 67.385. Anggota parlemen Swiss tidak menerima tunjangan fasilitas perumahan, mobil atau kantor. Selain tunjangan kompensasi, setiap anggota menerima laptop dari negara. Jadi, ketika mereka melakukan perjalanan ke pekerjaan mereka di Bern dari rumah mereka, misalnya dari Zurich atau Jenewa, mereka dapat bekerja pada laptop mereka, sementara di kereta. Mereka sangat efisien dan sangat produktif. Bahkan pada kereta api dan trem, mereka bekerja untuk konstituen mereka. Saya jarang membaca atau mendengar keluhan utama tentang perilaku anggota parlemen di Swiss. Produktivitas, yang lain di Swiss, adalah sangat penting. Kebanyakan anggota akan berpartisipasi dalam perdebatan. Mereka berperilaku seperti orang normal lainnya di Swiss. Jika kebanyakan orang naik kereta api, bus atau trem untuk bekerja, mereka seperti orang-orang mereka.Hanya presiden atau wakil presiden memiliki driver di Swiss. Bahkan menteri dan lain pejabat tinggi mengambil transportasi umum. Jadi, sudah saatnya DPR bertindak dan berperilaku seperti orang normal.Mereka tidak harus pergi di atas orang-orang yang mereka katakan mereka wakili.