Organisasi Pergerakan Masa Jepang

Embed Size (px)

Citation preview

Muhammad Samsuyono, 06406241042, Pendidikan Sejarah Reguler 2006,; Sopyan Badri, 07406241047, Pendidikan Sejarah Reguler 2007 Sejarah Indonesia masa Pergerakan Nasional. Diyah Kumala Sari, M. Pd.; Prof. Dr. Husein Haikal, M. Pd. PERGERAKAN NASIONAL PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG Awal masuknya Jepang ke Indonesia di sambut gembira karena selain sesame bangsa yang berasal dari asia yang berbeda dengan Belanda yang berasal dari Eropa, Jepang juga mengaku sebagai saudara tua di Indonesia. Selain hal tersebut factor lainnya adalah kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905.1 Guna merangsang kepercayaan rakyat Indonesia, Jepang membentuk Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Pelindung Asia, Pemimpin Asia). Jepang berjanji, jika Perang Pasifik dimenangkan, bangsa-bangsa di Asia akan mendapat kemerdekaannya. Selain itu, Jepang berjanji akan menciptakan kemakmuran bersama di antara bangsa-bangsa Asia. Namun, dalam kenyataannya perlakuan Jepang yang kejam menimbulkan perlawanan tokoh-tokoh nasionalis dan rakyat Indonesia terhadap Jepang. Bentuk perlawanan terhadap Jepang ini dilakukan dengan cara kooperatif, gerakan bawah tanah, dan angkat senjata. Namun berbeda hal dengan Yogyakarta ketika Jepang akan mengambil pemerintahan secara langsung dengan taktik yang baik sultan dapat mencegah keinginan Jepang. Dan akhirnya Jepang melegitimasi kekuasaannya Jepang mengakui secara penuh kuasa Sultan HB XI sebagai pemerintah di Yogyakarta, namun tetap dalam pengawasan Jepang secara ketat.2 Untuk mendirikan menarik simpati rakyat Indonesia, Jepang kemudian yang

organisasi-organisasi

semi-militer

seperti

Putera

beranggotakan rakyat pribumi yang dengan maksud dapat menguntungkan1 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta, Balai Pustaka. 1993. Hal. 14-15 2 Atmakusumah. Tahta untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta, Gramedia. 1982. Hal. 59

pihak Jepang. Karena kemudian Jepang menyadari bahwa organisasi Putera kemudian Jawa).3 1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama) Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Putera merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu. Melalui Putera, para pemimpin Indonesia dapat berhubungan dengan rakyat secara langsung, baik melalui rapat-rapat maupun media massa milik Jepang. itu harga Tokoh-tokoh Putera memanfaatkan mental Mereka dan selalu organisasi-organisasi percaya diri serta untuk diri menggembleng sebagai bangsa. menguntungkan pihak Indonesia lalu Jepang memodifikasi organisasi Putera menjadi Jawa Hokokai (perhimpunan kebaktian rakyat

membangkitkan semangat nasionalisme serta menumbuhkan rasa menekankan pentingnya persatuan, pentingnya memupuk

terusmenerus semangat cinta tanah air, dan harus lebih memperhebat semangat antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi Putera mendapat sambutan yang hangat dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera nyatanya bermanfaat bagi bangsa Indoensia, pemerintah Jepang akhirnya membubarkannya pada April 1944. Selain melalui Putera, para pemimpin pergerakan juga berjuang3 Sardiman. Guru Bangsa Sebuah Biografi Jendral Sudirman. Yogyakarta, Ombak. 2008. Hal. 104-105

melalui Badan Pertimbangan Pusat atau Cou Sangi In yang dibentuk Jepang pada 5 September 1943. Badan ini beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam sidangnya pada 20 Oktober 1943, Cuo Sangi In menetapkan bahwa agar Jepang menang dalam perang, perlu dikerahkan segala potensi dan produksi dari rakyat Indoensia. Untuk melaksanakan ketetapan itu dibentuklah berbagai kesatuan pemuda, sebagai wadah penggemblengan mental dan semangat juang agar mereka menjadi tenaga-tenaga pejuang yang militan. Berbagai kesatuan pemuda yang berhasil dibentuk antara lain: Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Seisyintai (Barisan Pelopor), Gakutotai (Barisan Pelajar), dan Fujinkai (Barisan Wanita). Pada saat penggemblengan mental itulah Ir. Soekarno selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi oleh Jepang. 2. Perjuangan Bawah Tanah Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka. Perjuangan bawah tanah ini tersebar di berbagai tempat : Jakarta,

Semarang, Bandung, Surabaya, serta Medan. Di Jakarta terdapat beberapa kelompok yang melakukan perjuangan model ini. Antara kelompok perjuangan yang satu dengan kelompok perjuangan yang lain, selalu terjadi kontak hubungan. Kelompokkelompok perjuang tersebut, antara lain : a. Kelompok Sukarni Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad Yamin. Sukarni menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang

dilakukan oleh Jepang. Sebagai pegawai Sendenbu, Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela Tanah Air) yang tersebar di seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui seberapa besar kekuatan revolusioner yang antiJepang. Untuk menutupi gerakannya, kelompok Sukarni mendirikan asrama politik, yang diberi nama Angkatan Baru Indonesia yang didukung Sendenbu. Di dalam asrama ini terkumpul para tokoh pergerakan antara lain: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya yang bertugas mendidik para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum. b. Kelompok Ahmad Subarjo Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat

sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun

tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama Asrama Indonesia Merdeka. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda Indonesia. c. Kelompok Sutan Syahrir Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diamdiam dengan cara menghimpun teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda. Terbentuklah satu kelompok rahasia, Kelompok Syahrir. Dalam perjuangannya, Syahrir juga menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Di samping itu, hubungan kelompok Syahrir dengan kelompok perjuangan yang lain berjalan cukup baik. Karena gerak langkah Syahrir dicurigai Jepang, untuk menghilangkan kecurigaan pihak Jepang Syahrir bersedia memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan Laut Jepang (Kaigun), bersama dengan Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Iwa Kusumasumantri. d. Kelompok Pemuda Kelompok Pemuda pada masa Jepang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang. Jepang berusaha memengaruhi para pemuda Indoensia dengan propaganda yang menarik. Dengan demikian, nantinya para pemuda Indonesia merupakan alat yang ampuh guna menjalankan kepentingan Jepang. Jepang menanamkan pengaruhnya pada para pemuda Indonesia melalui kursus-kursus dan lembaga-

lembaga yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Jepang mendukung berdirinya kursus-kursus yang diadakan dalam asramaasrama, misalnya di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang terdapat Sendenbu dan Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan Angkatan Laut Jepang. Namun, pemuda Indonesia baik pelajar maupun mahasiswa tidak gampang termakan oleh propaganda Jepang. Mereka menyadari bahwa imperialisme yang dilakukan oleh Jepang pada hakikatnya sama dengan imperialisme bangsa Barat. Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa. Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb. 3. Perlawanan Angkat Senjata Perlakuan Jepang yang tak berperikemanusian menimbulkan reaksi dan perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai wilayah. Kebencian ini bertambah ketika di beberapa tempat, Jepang menghina aspek-aspek keagamaan. Berikut ini beberapa perlawanan rakyat pada masa penjajahan Jepang.

a. Perlawanan di Cot Plieng, Aceh Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong. Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng. b. Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa. K.H. Zaenal Perlawanan Mustofa ini untuk itu terkait dengan tidak bersedianya Zaenal melakukan sama saja Seikeirei, dengan

memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Mustofa, membungkuk seperti memberikan penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut terkarang karena dianggap menyekutukan Tuhan. Pemerintahan menangkapnya. memberitahukan Jepang kemudian utusan mengutus tidak seseorang berhasil untuk karena di

Namun

tersebut

dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut peristiwa tersebut kepada pimpinannya Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran kemudian dikuburkan Tasikmalaya. tersebut di daerah Zaenal ke Ancol, Mustofa dan berhasil ditangkap dipindahkan dan ke diasingkan Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya

kemudian

c. Perlawanan Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah (Aceh), dan Cilacap Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Ia adalah seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini disebabkan karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat yang mati karena romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang. Perlawanan ini tampaknya tidak direncanakan dengan matang sehingga mudah untuk digagalkan. Akhirnya para anggota Peta yang terrlibat perlawanan diadili di Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil membunuh Jepang langsung dijatuhi hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Sudarmo.

Suparyono,

Halir

Mangkudidjaya,

Sunanto,

dan

Perlawanan PETA di Meureudu, Aceh (November 1944), Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun T. Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.

Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945), Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco) Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.

Pada bulan September 1944 ketika posisi militer Jepang mulai terdesak pihak sekutu, PM Koiso mengumumkan bahwa kelak Indonesia akan dimerdekakan dikemudian hari. Pada tanggal 1 maret 1945telah di umumkan adanya pembentukan BPUPKI (Dokurutsu Junbi

Cosakai) yang kemudian berganti namanya menjadi PPKI, yang merupakan salah satu tindakan konkrit tentang pelaksanaan janji Koiso.4

Dengan semakin terdesaknya posisi Jepang oleh tentara

sekutu maka secara tidak langsung semakin mendekatkan Indonesia kepada kemerdekaannya.

Sumber : Atmakusumah. Tahta untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta, Gramedia. 1982. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia VI. Jakarta, Balai Pustaka. 1993 Sardiman. Guru Bangsa Sebuah Biografi Jendral Sudirman. Yogyakarta, Ombak. 2008. Suwito, Triyono, 2009, Sejarah 2 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Program IPS Jilid 2 Kelas XI, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 178 183.

4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta,

Balai Pustaka. 1993. Hal. 66-67