5
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia Oleh : Taufik Nurhidayatulloh (170410120022) Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah mengalami pasang surut dalam perjalanan pembentukan Indonesia. Pada Zaman Majapahit yang singkap oleh Prof. Slamet Muljana dimana dikutip oleh Sujamto, pembesar ketika itu memberikan istilah pada struktur paling bawah sebagai buyut. Buyut adalah ketua Desa. Tiap-tiap desa mempunyai ketua, yang langsung bertanggungjawab tentang kesejahteraan desa. Di atasnya ialah akuwu atau kuwu. Akuwu adalah pembesar sekumpulan desa, sama kiranya dengan lurah zaman sekarang. Diatas Akuwu ialah Wadana (Wedana). Di atas wadana adalah Juru. Dalam masa pemerintahan kolonial, antara lurah dan wadana diciptakan jabatan baru yang diberi nama asisten wedana atau pembantu wedana. Dalam pemerintahan republik jabatan itu disebut camat. Selain itu tingkat pemerintahan mengambil pola susunan pemerintahan pusat, antara lain dikenalnya istilah Pancatanda dalam pemerintahan daerah yang mengambil pola dari Sang panca ring Wilwatika yang merupakan badan pelaksana pemerintahan yang terdiri dar Patih Amangku Bumi yang dijabat Gajah mada, Demung yang dijabat Empu Gasti, Kanuhuran oleh Empu turut, Rangga yang dijabat oleh Empu lurukan, dan Tumenggung yang dijabat oleh Empu Nala. Dimana kesemuanya itu berkumpul dan bekerja dalam satu kabinet yang bernama Patih Amangku Bumi. Bentuk pemerintahannya pun ada dua yakni yang merupakan negara

Otonomi Daerah

  • Upload
    pikpes

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tulisan ini menjelaskan mengenai fenomena Otonomi Daerah di Indonesia

Citation preview

Perkembangan Otonomi Daerah di IndonesiaOleh : Taufik Nurhidayatulloh (170410120022)

Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah mengalami pasang surut dalam perjalanan pembentukan Indonesia. Pada Zaman Majapahit yang singkap oleh Prof. Slamet Muljana dimana dikutip oleh Sujamto, pembesar ketika itu memberikan istilah pada struktur paling bawah sebagai buyut. Buyut adalah ketua Desa. Tiap-tiap desa mempunyai ketua, yang langsung bertanggungjawab tentang kesejahteraan desa. Di atasnya ialah akuwu atau kuwu. Akuwu adalah pembesar sekumpulan desa, sama kiranya dengan lurah zaman sekarang. Diatas Akuwu ialah Wadana (Wedana). Di atas wadana adalah Juru. Dalam masa pemerintahan kolonial, antara lurah dan wadana diciptakan jabatan baru yang diberi nama asisten wedana atau pembantu wedana. Dalam pemerintahan republik jabatan itu disebut camat. Selain itu tingkat pemerintahan mengambil pola susunan pemerintahan pusat, antara lain dikenalnya istilah Pancatanda dalam pemerintahan daerah yang mengambil pola dari Sang panca ring Wilwatika yang merupakan badan pelaksana pemerintahan yang terdiri dar Patih Amangku Bumi yang dijabat Gajah mada, Demung yang dijabat Empu Gasti, Kanuhuran oleh Empu turut, Rangga yang dijabat oleh Empu lurukan, dan Tumenggung yang dijabat oleh Empu Nala. Dimana kesemuanya itu berkumpul dan bekerja dalam satu kabinet yang bernama Patih Amangku Bumi. Bentuk pemerintahannya pun ada dua yakni yang merupakan negara bawahan dimana dikepalai oleh raja dan daerah semacam propinsi yang tidak dikepalai oleh seorang raja (Sujamto : 1990). Sedangkan pada Zaman penjajahan Belanda di masa-masa awal penjajahan, Belanda sampai tahun 1903 belum mengenal daerah otonom seperti pengertian hari ini. Pada masa ini pemerintah belanda menjalankan asas dekonsentrasi khususnya di Jawa dan Madura yang dibagi kedalam onderdistrict semacam kecamatan sebagai wilayah administrasi kecil. Meskipun pemerintah Hindia Belanda waktu itu baru menerapkan asas dekonsentrasi namun dapat ditemui otonomi asli pada kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu di daerah swapraja yang oleh pemerintah Hindia-Belanda diperbolehkan meneruskan penyelenggaraan pemerintahan di daerah masing-masing dengan batas-batas yang ditetapkan dalam perjanjian politik yang disebut kontrak panjang (long contact) seperti kesunanan Surakarta, Kesultananan Yogyakarta, Kesultanan Deli juga ada yang terbentuk berdasarkan pernyataan pendek (korieverklaring) seperti kesultanan Goa, Bone, dan lainnya (Sujamto : 1990). Disamping itu terdapat pula otonomi asli pada persekutuan persekutuan hukum adat yang di Jawa disebut desa dan diluar jawa dikenal dengan berbagai nama seperti marga, huta, kuria, nagari dimana diklasifikasikan sebagai Inlandse Rechtgemeenschappen. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka ketentuan pertama yang mengatur masalah-masalah pemerintahan Daerah adalah UUD 1945 itu sendiri; yaitu dalam pasal 18 yang berbunyi Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.Untuk membuat konfigurasi hubungan pusat-daerah dapat dikristalisasi dalam tiga pola hubungan yaitu Zero sum game yang mana derajat ketahanan daerah ditentukan oleh pusat dan sebaliknya, Positive sum game dimana diterapkan win-win solution karena pusat dan daerah berada dalam derajat yang sama dan cenderung memecahkan masalah pusat-daerah dengan dialog. Dan Negative sum game dimana pola yang terbangun karena menurunnya posisi tawar-menawar pusat seiring dengan menurunnya kapasitas dan legitimasi kekuasaan yang dimilikinya (Kaloh : 2007).Dalam masa kepemimpinan Soekarno berlangsung 16 kali pergantian kabinet. Ditengah upaya pembentukan stabilitas nasional, prioritas program "desentralisasi", "otonomi daerah" atau "memperbaiki hubungan Pusat-Daerah" (Sujamto : 1990). Di bawah undang-undang no. 1/1945 dilakukan pembentukan daerah-daerah otonom yang masih terbatas di Jawa. jangkauan undang-undang ini sangat terbatas, mengingat sebagai negara baru masih mencari-cari bentuk, termasuk susunan pemerintahan daerah yang yang pluralistik sebagai warisan penjajahan. Belanda menerapkan dua sistem yang berbeda, yaitu indirect rule untuk Jawa dan direct rule untuk luar Jawa. Dampak kedua sistem ini cukup besar dalam susunan pemerintahan lokal.Setelah tampuk kepemimpinan telah berpindah ke Soeharto, Koreksi total akan kebijakan Soekarno berlangsung. Namun walaupun semangat memberikan ruang pada daerah yang lebih luas digelorakan, namun nyatanya otonomi yang dirancang tidaklah substantif. Lebih pada didasarkan menempatkan perwakilan pusat di daerah untuk lebih mudah mengontrol. Namun sebagai tuntutan reformasi, maka munculah daerah-daerah otonom yang cenderung lebih dipersiapkan secara politik bukan secara birokrasi dan ekonomi. Namun lahirlah Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang memberikan ruang daerah dalam mengatur dan menentukan bentuk bentuk pembangunan. Walau pada pelaksanaannya baru dapat dijalankan pada 2001, luasnya kewenangan daerah ditambah kesiapan yang masih prematur mengakibatkan banyaknya penyalahgunaan. Maka dari itu dirubah menjadi Undang-Undang 32 Tahun 2004. Hingga akhirnya dirubah menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014.Salahsatu alasan dibalik kebijakan desentralisasi yang mengakibatkan adanya daerah otonom ini adalah sistem pemerintahan terpusat tidak dapat mengatur populasi yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa dan perbedaan sosial kultural serta latar belakang agama. Maka, kompetensi pemerintahan daerah dan perluasan otonomi menjadi persyaratan dasar untuk sebuah negara yang beragam sepert Indonesia. Tujuan mendasar dari adanya otonomi daerah ini adalah untuk menghadirkan pemerintah lebih dekat kepada konstituen agar pelayanan dan dijalankan lebih efektif dan efisien. Dengan asumsi bahwa daerah memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat

Referensi

Kaloh, J. 2007. Mencari Benuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.Sujamto. 1990. Otnomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab . Jakarta: Ghalia Indonesia.Widjaja. 1998. Percontohan otonomi daerah di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.