Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan, Dan Konflik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

otonomi daerah, pemberdayaan dan konflik

Citation preview

  • iOTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    OTONOMI DAERAH

    MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Oleh

    PHENI CHALID

    Adviserfor Decentralization and Regional Autonomy,

    Partnership for Governance Reform

    KemitraanAgustus 2005

  • ii

    Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Oleh

    PHENI CHALID

    ISBN : .....................

    Setting Layout/DesainStaf Penebar Swadaya

    Cetakan PertamaJakarta : Kemitraan, 2005

    Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan memperbanyak, mencetak,mengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

  • iii

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Kata PengantarDaftar Gambar dan TabelDaftar Isi

    BAB I. PENDAHULUAN

    A. Dilema Desentralisasi 1B. Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi

    dan Otonomi Daerah 6

    BAB II. OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHANNYA

    A. Beberapa Deskripsi Otonomi Daerah 15B. Pokok-pokok Pikiran Otonomi Daerah 21C. Reformasi Sistem 23D. Asumsi-asumsi Dasar Otonomi Daerah 28E. Pengembangan Wilayah Berdasarkan

    Potensi Lokal 32F. Kebijakan Fiskal 39

    BAB III. OTONOMI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

    A. Peran Negara Dalam Kerangka Welfare State 61B. Good Governance: Sistem Pemerintahan yang

    Mengikutsertakan Rakyat 65C. Pemberdayaan Masyarakat dan Kearifan Lokal 70D. Back to Nature: Bentuk Partisipasi

    Masyarakat Sipil 74E. Penggalian Potensi Sosial Budaya dan Alam:

    Pemberdayaan dari Dalam 78F. Masyarakat Sipil dalam Sistem Pemerintahan

    yang Manipulatif 83

    DAFTAR ISI

  • iv

    G. Sistem Partisipatif dan Penguatan PeranMasyarakat Sipil 87

    H. Politisasi Desa 89I. Pemberdayaan Masyarakat: Capacity from Within,

    Pressure from Without 93

    BAB IV. OTONOMI DAN KONFLIK 101

    A. Konflik: Kerangka Teori 103B. Pemahaman Konflik Dalam Otonomi Daerah 110C. Bentuk-Bentuk Konflik Dalam Otonomi Derah 114D. Konflik Pemilihan Kepala Daerah Langsung 142

    Kesimpulan 151Catatan 156Daftar Pustaka 159

  • vOTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesiadiyakini akan mampu mendekatkan pelayanan masyarakat,meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasilokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau,ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara.Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu makasangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akanmemberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembangsesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masingmasing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisiantar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

    Suasana kompetisi dan persaingan antar daerah di masa laluhampir tidak dikenal karena semua kebijakan fiskal, adminsitratif danpolitis diatur dari pusat, Jakarta. Hampir tidak ada ruang bagi eksekutifdi daerah untuk menentukan kebijakan sendiri. Bupati atau walikotayang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) didaerah akan dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengankepentingan politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, eksekutif danlegislatif daerah pada masa itu hanya jari jari kekuasaan pusat yangberada di daerah. Harapan normatif yang dilekaktkan kepada DPRDsebagai wakil rakyat kandas dilumat sistim yang memang dirancanguntuk melestarikan status quo autoritarian di bawah rejim Orde Baru,anggota dan badan legislatif dikooptasi.

    Perjuangan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkanrejim Orde Baru tahun 1997 sangat membuka perluang untukmerombak tata pemerintahan yang sentralisitik. Satu diantara pilarnyareformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagaikonsekuensi reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomidaerah lebih dilihat sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagikekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya, sebagai satukeharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat bagi Indone-

    PENGANTAR

  • vi

    sia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekara-gaman kukltur lokal.

    Kecurigaan terhadap adanya usaha usaha sengaja untuk kembalike sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukanrevisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU Otda No.32/2004, yang seringdikaitkan dengan bentuk ketidakrelaan pusat membiarkan daerahmengatur dirinya sendiri. Formula UU Pemda ini juga banyakmengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme pemilihankepala daerah yang tertuang dalam PP 06/2005.

    Penulis dalam buku ini mengemukakan tiga tema sentral yangberkaitan langsung dengan otonomi: pemahaman dasar tentangotonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik konflik di masadesentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan banyakmembantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami persoalanpersoalan otonomi yang semakin hari justru semakin komplek.

    Apapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaandesentralisasi dan otonomi daerah, maka perlu digarisbawahi bahwademokrasiti rakyat di daerah dan peningkatan kesejahteraanbukanlah sebuah proses instant seperti kita memesan makan cepatsaji. Demokrasi adalah proses yang panjang dan berkelanjutan. Dankita saat ini sedang melakukannya.

    Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada saudaraPheni Chalid, Adviser for Decentralization and Regional Autonomy,di Kemitraan, yang masih sempat meluangkan waktu untuk menulisdi sela sela kesibukan rutin. Semoga buku ini bermanfaat.

    Jakarta, Akhir Agustus 2005

    HS DillonDirektur Eksekutif, Kemitraan

  • 1OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    A. Dilema DesentralisasiPerjalanan sistem desentralisasi di Indonesia jika dirunut

    sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini cukup panjang dan berliku.Perubahan politik di tahun 1990-an menjadi arus balik perjalananbangsa Indonesia yang membawa beberapa dampak positif.Perubahan tersebut diantaranya mengubah tata hubungan antaraPemerintah Pusat dan Daerah ke arah yang lebih demokratis denganmemperbesar porsi desentralisasi. Dengan perubahan sistempemerintahan tersebut, otomatis berbagai pranata pendukung sistemyang selama ini bersifat sentralistik juga mengalami perubahan.

    Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagasoleh para pendiri negara ini dengan menempatkan satu pasal dalamUUD 1945 (pasal 18). Implementasi pasal tersebut selalu menimbul-kan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatanmencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitassekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer berupakuatnya solidaritas etnik, agama, adat dan bahasa serta tradisi lokal.Faktor-faktor ini pula yang menyebabkan timbulnya pemberontakankedaerahan selain faktor ketidakadilan dalam pembagiansumberdaya ekonomi antara Pusat dan Daerah (Maryanov,1958;Harvey, 1983). Sejak tahun 1945 itu pula, Pemerintah Pusat me-mandang pluralitas secara ambivalen. Di satu sisi mempromosikanBhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi negara, di sisi lainmenerapkan kebijakan sentralisasi karena kebhinekaan dilihatsebagai ancaman disintegrasi.

    Selama masa kepemimpinan Soekarno berlangsung 16 kalipergantian kabinet. Yang menarik dari proses tersebut adalah pro-

    BAB IPENDAHULUAN

  • 2gram-program kabinet yang menempatkan desentralisasi, otonomidaerah atau memperbaiki hubungan Pusat-Daerah sebagaiprioritas. Meskipun usaha tersebut mengalami kegagalan, tetapimenunjukkan betapa penting dan mendesak mewujudkan hubunganPusat-Daerah yang seimbang dan proporsional. Perpaduan antaratuntutan Daerah dan kehendak Pusat inilah yang terus menerusdicari. Oleh sebab itu sepanjang kepemimpinannya berlangsung 4kali perubahan undang-undang pemerintahan daerah. Di bawahundang-undang no. 1/1945 dilakukan pembentukan daerah-daerahotonom yang masih terbatas di Jawa. Jangkauan undang-undangini sangat terbatas, mengingat sebagai negara baru masih mencari-cari bentuk, termasuk susunan pemerintahan daerah yang pluralistiksebagai warisan penjajahan. Belanda menerapkan dua sistem yangberbeda, yaitu indirect rule untuk Jawa dan direct rule untuk luarJawa. Dampak kedua sistem ini cukup besar dalam susunanpemerintahan lokal. Jika di Jawa otoritas tradisional dalam batas-batas tertentu masih kuat, maka di luar jawa kesatuan sosial dalambentuk suku, wilayah, kepulauan saling memotong (cross cutting).Gejala ini di satu sisi menumbuhkan kuatnya identitas primer(primordialisme) di sisi lain berlangsung besaran (magnitude) olehproses ekonomi kapitalistik yang mengintegrasikan ekonomi luar jawasecara langsung dengan pasar internasional. Undang-undang No.22/1948 memberi ruang gerak daerah yang lebih luas dibandingsebelumnya. Guna menghidupkan pemerintahan lokal dan kesatuansosial, dibentuk daerah tingkat III yang satuannya dapat berupa desaatau satuan yang setingkat. Akibatnya kontrol Pusat terhadap Daerahberkurang tajam. Tidak mengherankan di bawah undang-undangtersebut berlangsung berbagai pemberontakan daerah (DI, TII,PERMESTA, RMS), selain pemberontakan PKI di Madiun.

    Guna mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme danmemperkuat kontrol Pusat, dikeluarkan undang-undang No. 1/1957.Di bawah undang-undang baru ini kandungan keseimbangan antaraPusat dan Daerah lebih mengemuka. Meskipun bukan produk DPRhasil pemilu 1955 secara penuh, hubungan Pusat-Daerah lebihdemokratis. Tetapi kemacetan-kemacetan segera terjadi, yangpenyebab utamanya adalah pembagian hasil hutan, pertambangan

  • 3OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    dan perkebunan yang lebih berpihak ke Pusat. Romantisme agamaturut mempengaruhi ketegangan Pusat-Daerah, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diimplementasikan secara optimal. Selainitu konflik ideologi partai dan politisasi massa untuk keperluan partai-partai, menguras energi dan tidak terdapat kesempatan untukmengoptimalkan undang-undang tersebut. Ketegangan antar partai,khususnya antara PKI dan kekuatan oponennya, melahirkan undang-undang No. 18/1965. Aturan ini tidak banyak mewarnai hubunganPusat-Daerah, sebab kekacauan segera terjadi.

    Di bawah kepemimpinan Soeharto, sentralisasi setengah hatinyaSoekarno dikonkritkan. Soeharto tanpa ragu-ragu melihatkeanekaragaman budaya, geopolitik kepulauan dan kemajemukanideologi sebagai ancaman persatuan dan kesatuan bangsa. Integrasinasional dalam visi Soeharto harus dimulai dari integrasi wilayah(keutuhan wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa (Soeharto,1989). Dalam visi demikian, perbedaan ideologi tidak dapatditoleransi. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan Soeharto antipartai, anti kemajemukan ideologi dan menyatukan ideologi dalamasas tunggal. Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme danprovinsialisme, dipertegas dengan membatasi masa jabatan kepaladaerah dan mekanisme pemilihan. Kepala Daerah tidak sepenuhnyadipilih oleh Dewan. Secara formal mekanismenya adalah perpaduanantara kehendak Daerah (mengusulkan tiga nama) dan kehendakPusat (menentukan/memilih satu dari tiga yang diusulkan Dewan).Tetapi secara substantif, Kepala Daerah adalah orang Pusat yangditempatkan di daerah. Selain didesain untuk mengendalikan Daerah,undang-undang No. 5/1974 tidak memberi ruang gerak yangmemadai bagi tokoh-tokoh Daerah untuk membangun kekuatandengan identitas Daerah. Pembunuhan massal yang berlangsungpertengahan tahun 1960-an, merupakan kendala struktural bagikekuatan masyarakat termasuk kekuatan-kekuatan di Daerah untukmelakukan tawar menawar dengan Pusat.

    Menguatnya sentralisasi di awal kepemimpinan Soehartosesungguhnya memiliki argumen empirik yang kuat, seperti konflikideologi global, geopolitik Indonesia yang berbentuk kepulauan danpluralitas kultural. Latar belakang sebagai seorang militer yang

  • 4sebelumnya terlibat secara aktif dalam memadamkanpemberontakan daerah dan sebagai orang Jawa yang tidakmenempuh pendidikan tinggi, tidak memiliki referensi lain selainkebudayaan jawa. Dalam konsep kebudayaan jawa, kekuasaan ituutuh dan konkrit (Anderson, 1985), sehingga menerapkandesentralisasi berarti mengurangi kekuasaan pemimpin Pusat.Pertimbangan empiris lainnya adalah kebutuhan akan kemajuanekonomi yang mendesak. Syarat untuk itu adalah stabilitas sosialpolitik yang dimaknai sebagai terwujudnya keamanan dan ketertibanmasyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,dilakukan penataan struktur politik di awal tahun 1970-an. Dalamhubungan Pusat-Daerah, penataan tersebut mengkristal padapembentukan sistem pemerintahan daerah yang tanggap terhadapkomando Pusat (Masoed, 1989). Jenjang pemerintahan didesainbertingkat dengan kepemimpinan berlatar belakang militer untukmemastikan dipatuhinya perintah Jenderal berbintang empat kepadajenderal berbintang dua di provinsi dan kepada para kolonel dikabupaten atau kota. Serentak dengan itu, birokrasi digunakansebagai kekuatan utama perencana dan pelaksana. Pilihan itu untukmenjamin rantai komando dari Jakarta ke pelosok tanah air,mengingat hanya birokrasi kekuatan yang tersebar ke pelosok tanahair.

    Tetapi, setelah pembangunan menunjukkan bukti-bukti konkritseperti meningkatnya usia harapan hidup dari 44 tahun (1965)menjadi 59 tahun (1995), meningkatnya angka partisipasi sekolahdasar yang mencapai 100 persen sejak tahun 1993, meningkatnyapendapatan perkapita masyarakat dari negara miskin (1965) kenegara berpendapatan menengah (1995) dan menurunnya angkakemiskinan dari 45 persen penduduk Indonesia (1965) menjadi 13,5persen (1995), ternyata format hubungan Pusat-Daerah tidakmengalami perubahan. Padahal dalam teori pembangunan,perubahan-perubahan yang mengarah ke semakin meningkatnyakesejahteraan masyarakat, diperlukan ruang yang lebih terbuka untukmemberi wadah partisipasi masyarakat (Huntington, 1968).Kegagalan membangun institusi yang mampu memberi tempatpartisipasi masyarakat, akan menghancurkan hasil-hasil

  • 5OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    pembangunan yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang dimaksudadalah partisipasi, transparansi, keadilan dan kompetisi. Singkatnya,demokratisasi.

    Secara politik, desentralisasi merupakan langkah menujudemokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat denganrakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyatdan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan danpengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata.Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arahswakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakansocial capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yangmereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanismepenyelesaian mereka pandang lebih efektif, efisien dan adil.Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegaheksploitasi Pusat terhadap daerah, menumbuhkan inovasimasyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebihproduktif. Secara administratif akan mampu meningkatkankemampuan daerah dalam melakukan perencanaan,pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik.

    Baik Undang-Undang No. 22/1999 maupun amandemennya UUNo. 32/2004 tentang Perintahan Daerah menganut pemikiran sepertiitu. Bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, kualitaspelayanan pemerintah dan optimalisasi peran serta masyarakatdalam pembangunan, merupakan trimatra yang mendasari lahirnyaUU No. 22/1999 dan amandemennya yaitu UU No. 32/2004.Gagasan pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunanmasyarakat, masih jauh dari harapan, jika memperhatikan kinerjabirokrasi selama beberapa tahun terakhir. Selain format ideal bagikeberadaan birokrasi di berbagai level pemerintahan belummenemukan bentuknya, tarik menarik antara pemerintah daerahpropinsi dengan kabupaten dan dengan Pusat, masih mewarnaipenyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Selain itukecenderungan semua level pemerintahan untuk menjalankan semuafungsi pelayanan juga masih dominan, sehingga kecenderunganmasyarakat sebagai obyek penerima pelayanan juga masih menonjol.

  • 6Intervensi pemerintah di masa yang lalu telah menimbulkanmasalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerahdalam mendorong proses pembangunan dan demokrasi. Arahan danstatutory requirement yang terlalu besar dari Pemerintah Pusatmenyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati, sehinggapemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturansebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkanpelayanan kepada masyarakat (Mardiasmo, 2002). Besarnya arahandari Pusat itu didasarkan atas pertimbangan menjamin stabilitasnasional dan kondisi sumberdaya manusia di daerah. Hal demikiandapat dipahami sebab konteks sosial dan politik dirumuskannya UUNo. 5/1974 adalah penegakan stabilitas nasional dan pemberantasankemiskinan serta keterbelakangan masyarakat. Tetapi dalam jangkapanjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan rendahnyaakuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial,rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, sertamemperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi didaerah (Bastin dan Smoke, 1992). Apalagi sejak tahun 1990-anberlangsung new game di fora internasional di mana negara tidakakan mampu lagi sebagai pemain tunggal dalam menghadapi hypercompetitive. Pemerintah akan terlalu besar untuk menyelesaikanmasalah kecil dan terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan masalahyang dihadapi oleh masyarakat.

    B. Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi danOtonomi Daerah

    Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasimasyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnyadalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasipembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikanruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratismengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-citasistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkantantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranyaadalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum

  • 7OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3)sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentinganyang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset danadanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapiaparat pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah untuk menjadikandesa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana desamemiliki tatanan sosial budaya yang otonom.

    Pada kenyataannya, mindset atau mentalitas menjadi kendalayang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baruini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000-2005), timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikirdan mentalitas yang belum berubah. Di masa lalu, sistem sentralistikmengebiri inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah pusat sebagaipenguasa yang memiliki wewenang sangat besar atas berbagaibentuk kebijakan pembangunan. Keseragaman dan kepatuhandaerah terhadap pusat menjadi kata kunci sekaligus sebagai main-stream dan ideologi pembangunan yang dijalankan. Karenanya, padamasa itu kritik menjadi sesuatu yang tabu dan jika terlontar akansangat mudah untuk dijerat secara hukum sebagai tindakan subversiatau anti pemerintah.

    Setidaknya, selama 32 tahun proses ini berlangsung secaraterus-menerus sehingga tidak mengherankan jika mentalitas birokrasipada akhirnya mengikuti pola tersebut. Terlebih lagi, konflik menjadisesuatu yang tabu dan keberagaman dipandang sebagai ancamandan sumber disintegrasi bangsa. Pada masa kepemimpinan Suharto,pola pemerintahan yang diterapkan dalam struktur kekuasaan dikenalsebagai pemerintahan yang harmoni tanpa gejolak denganmengembangkan ideologi Triple S yaitu Serasi, Selaras danSeimbang. Pada akhirnya terbentuklah subordinasi hubungan antarapemerintah pusat dan daerah dengan kekuasaan sepenuhnya beradadi pemerintah pusat.

    Subordinasi yang berlangsung lama menjadi penyebabketergantungan daerah sangat tinggi. Maka, pada saat terjadiperubahan sistem yang sentralistik menjadi desentralisasi, daerahkurang memiliki kesiapan terutama dalam hal mengambil inisiatif

  • 8dalam menentukan kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan otonomidaerah mengandung berbagai konsekuensi, diantaranya adalahmentalitas dan kapasitas pemerintah daerah yang harus memadaisehingga dapat menjamin pelaksanaan desentralisasi secaramaksimal. Dengan kewenangan yang cukup besar berada di tanganpemerintah daerah, berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaansekaligus tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yangberlangsung sebelumnya.

    Hanya saja, kendala sumber daya manusia hingga saat ini masihmembayangi-bayangi kinerja aparat pemerintah daerah. Maka, tidakmengherankan jika pada saat ini, muncul persoalan-persoalan sepertibatas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar institusi pusat-daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasietnis atau sentimen primordial dan berbagai kebijakan untukmeningkatkan pendapatan daerah yang cenderung memberatkanrakyat. Dalam situasi yang serba terkungkung selama lebih dari tigapuluh tahun, tiba-tiba daerah memiliki kewenangan yang sedemikianbesar. Implikasi dari pelimpahan wewenang tersebut di sebagiandaerah menimbulkan munculnya kembali chauvinisme kedaerahanseperti munculnya kekuatan-kekuatan kelompok aristokrasi dalampolitik lokal, kekuatan yang di masa Orde Baru ditekan.

    Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politis danpenguasaan aset daerah menjadi persoalan yang kerap mencuatdalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.Konflik kepentingan berupa penguasaan aset seringkali menjadikerikil dalam perjalanan proses desentralisasi. Gejala etno-sentrismemulai muncul pada saat meledaknya kerusuhan berlatar belakangetnis di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso, Ambon dan dibeberapa daerah pemekaran. Bahkan pada saat dipilihnya kepaladaerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun 2000, isu PAD (PutraAsli Daerah) merebak. Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati sertawalikota Putra Asli Daerah bahkan masuk ke dalam tata tertib DPRD.Ini menunjukkan bahwa isu putra daerah merupakan isu yang palingsentisitf dan berpotensi mengganggu hubungan baik antarapendatang tetapi telah lama berdomisili di tempat tersebut dan

  • 9OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-orang yang potensialdan berkualitas tetapi bukan putra daerah akan cenderung tersingkirdalam proses politik di daerah dan hanya akan mendapat peranpinggiran saja. Proses ini selanjutnya akan mengarah padapenurunan kualitas kepala daerah jika persyaratan utama menjadikepala daerah bertumpu pada kriteria putra asli daerah.

    Keinginan memiliki kepala daerah dengan kriteria putra aslidaerah bukanlah keinginan yang buruk. Terlebih lagi jika keinginantersebut didasari harapan bahwa putra daerah akan lebih sensitifterhadap kebutuhan daerah dan mampu mengamodasi kepentinganberbagai lapisan masyarakat. Tetapi, akan sangat berbahaya jikaternyata isu tersebut sengaja dihembuskan sekedar sebagai caramelicinkan jalan untuk meraih kekuasaan semata. Hal ini dapat sajaterjadi mengingat sepanjang Orde Baru pemerintah pusatmenentukan seluruh kebijakan di daerah. Penunjukan kepala daeraholeh pemerintah pusat dan penempatan PNS yang berasal dari or-ang luar daerah terutama Jawa setidaknya membangkitkankecemburuan sosial di kalangan elit daerah. Terlebih lagi, aparatpemda kerap menguasai akses yang ada di daerah denganmenempatkan kerabat dalam jajaran birokrasi, menguasaiperekonomian daerah dengan memberikan fasilitas dan kemudahanmenjadi rekanan pemda kepada kroni-kroninya, serta melakukankorupsi dengan leluasa. Sakit hati dan kecemburuan kolektif seolahmendapatkan penyalurannya dalam masa desentralisasi dan otonomidaerah. Isu putra asli daerah menjadi isu sentral sejak undang-undang otonomi daerah dikeluarkan tahun 1999.

    Pejabat pemerintah pusat di Jakarta pun memiliki kepentinganyang sangat besar terhadap kebijakan otonomi daerah. Selamapemerintahan Orde Baru pejabat pusat menikmati kekuasaan yangsangat besar dan hampir tanpa kontrol sama sekali karenadiuntungkan oleh situasi politik yang sangat sentralistik danotoritarian. Pandangannya terhadap daerah hampir sebagai objekyang dapat dibantu, dibina dan sekaligus diperas. Oleh karena itu,pejabat pusat biasanya diperlakukan dengan sangat istimewa danmendapatkan berbagai fasilitas dari daerah. Karenanya, hampir tidak

  • 10

    mungkin terjadi pejabat pemerintah daerah mengkritisi kebijakanpusat terhadap daerah. Konsekuensinya akan terlalu besar, baik bagidaerah itu sendiri maupun pejabat yang bersangkutan.

    Setelah desentralisasi sistem dilakukan, kebanyakan pejabat diJakarta berusaha melindungi semaksimal mungkin, agar kekuasaanyang dimiliki tidak dialihkan ke daerah, terutama yang berimplikasisecara finansial. Mereka pada umumnya berusaha mempertahankankewenangan yang ada. Departemen Kehutanan misalnya melakukanaksi mogok dalam perundingan dengan Menteri Negara OtonomiDaerah untuk merumuskan kewenangan kehutanan yang akandiserahkan kepada provinsi dan apa saja yang masih dilaksanakanoleh Kantor Departemen Kehutanan. Kepala Badan PertanahanNasional, yang dirangkap Menteri Dalam Negeri, bahkan berhasilmeyakinkan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden No.10/2001 yang mementahkan kembali penyerahan kewenangandalam bidang Pertanahan kepada Kabupaten dan Kota denganberbagai alasan.

    Selanjutnya, Departemen Dalam Negeri sebagai lembaga yangpaling memiliki wewenang dalam pelaksanaan desentralisasi danotonomi daerah. Padahal, kewenangan departemen ini juga termasukyang akan didesentralisasikan ke daerah. Besarnya kewenangan inidapat dilihat dari intervensi Depdagri dalam pilkada lewat PermendagriNo. 12/2005 yang dikeluarkan dalam pilkada yang baru berlangsung.Permendagri tersebut di tingkat daerah menimbulkan ambuiguitasdalam penggunaan dan pertangggungjawaban dana pilkada. Di satusisi, daerah telah menentukan anggaran yang disahkan dalam APBD,di sisi lain, peraturan tersebut tidak dapat diabaikan karena jika terdapatperbedaan satuan harga akan menimbulkan masalah dengan BPKdalam proses audit di kemudian hari.

    Secara psikologis, perubahan sistem pemerintahan denganmemberikan porsi wewenang yang lebih besar kepada daerahmenyebabkan gejala yang dapat dikatakan sebagai powershiftsyndrom. Pemerintah pusat yang di masa sebelum diberlakukannyaotonomi daerah memiliki wewenang yang sangat besar, terutamadalam UU No. 22/1999 menjadi powerless di hadapan pemerintah

  • 11

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    daerah. Pergeseran kewenangan ini pun berpotensi menimbulkankonflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pertama, konflik antaragubernur, bupati dan walikota dengan DPRD. Kedua, konflik antarapemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

    Di masa lalu, posisi lembaga legislasi hanya sebagai tukangstempel saja. Usaha sistematik tersebut menjadikan DPRD menjaditidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Hal itu dimulai denganUU No. 5/1974 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah adalahKepala Daerah dan DPRD. Akibat dari pemahaman seperti ini, KepalaDaerah yang sekaligus Bupati/Walikota yang menjadi aparatPemerintah Pusat di Daerah dengan mudah menempatkan DPRDdalam posisi yang sangat lemah, karena Gubernur/Bupati/Walikotadapat melakukan apa saja atas nama pemerintah pusat tanpa harusmendapatkan persetujuan dari DPRD. Hal ini merupakan kenyataanyang sangat menonjol pada masa berlakunya UU No. 5/1974(Syaukani, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2004).

    Hal lain yang umum dilakukan dalam rangka melemahkankedudukan DPRD melalui mekanisme kontrol terhadap lembagatersebut. Pejabat daerah dan Ketua DPRD akan memberi peringatankepada anggota legislatif yang bersikap kritis terhadap KepalaDaerah. Mekanisme ini lazim disebut sebagai mekanisme setengahkamar. Jika hal tersebut dilakukan lagi, maka anggota tersebut akandipanggil oleh Pimpinan DPRD bersama Ketua Fraksi, dan jugamelibatkan Fraksi ABRI. Mekanisme yang lengkap untuk menjadikananggota DPRD populer dikenal sebagai mekanisme satu kamar.Jalan terakhir untuk menyingkirkan anggota DPRD yang kritis adalahdengan cara yang populer pada masa Orde Baru yaitu recalling.Saat ini, DPRD memiliki kewenangan yang lebih besar karena dalampemerintahan daerah untuk mengkritisi berbagai kebijakanpembangunan dan Rancangan APBD. Jadi, kemungkinan terjadinyabalas dendam antar institusi ini bukan tidak mungkin dapat terjadi.Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa besarnya kewenanganDPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai akibat dariperubahan DPRD dari yang semula merupakan bagian daripemerintah daerah menjadi lembaga legislatif daerah, digunakan oleh

  • 12

    orang-orang tertentu untuk mengadakan tawar menawar dengankepala daerah untuk memperoleh uang (money politics).

    Hirarki hubungan antara pemerintah pusat dengan daerahberpotensi menimbulkan konflik akibat pelimpahan wewenang kedaerah. UU No. 22/1999 memberikan kewenangan yang besarkepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan wewenang yangsedemikian besar, timbul persepsi di kalangan pejabat pemerintahdaerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepadapemerintah pusat tingkat provinsi. Karenanya, sering terjadi bupati/walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke ibukota provinsidengan alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana. Padahal,dalam UU No. 22/1999 sebelum amandemennya keluar yaitu UUNo. 32/2004, gubernur masih memiliki fungsi koordinasi. Bagigubernur, tentu kewenangan yang dimilikinya sangat jauh bergeserpada saat diberlakukannya UU No. 5/1974 dimana gubernur memilikikewenangan yang sangat besar. Apalagi, di masa pemberlakuankonsep Gubernur Sebagai Penguasa Tunggal diberlakukan olehMenteri Dalam Negeri Amir Machmud (Syaukani, Gaffar dan Rasyid,2004) di mana kewenangan gubernur sangatlah besar. Situasi inisudah tentu akan mempengaruhi psikologis gubernur. Yang patutdikhawatirkan, akankah poweshift syndrom akan mengundangkemelut yang akhirnya akan memicu konflik horizontal di masyarakat.Karena, pada umumnya konflik di tingkat elit akan diturunkan kelapisan masyarakat.

    Kendala pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah seolahbelum selesai. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan politisasi desadengan cara PNS-sasi Sekretaris Desa. Dapat dibayangkanbagaimana hubungan antara kepala desa dengan sekretaris desanantinya. Kepala Desa yang legitimate akan berhadapan denganSekretaris Desa yang PNS. Tentu saja legitimasi berada di tanganKepala Desa, sementara Sekdes yang berhubungan langsung secarastruktural dengan pemerintah yang ada diatasnya akan lebih memilikiotoritas terhadap kebijakan anggaran desa. Dengan posisi sepertiini Kepala Desa seolah-olah menjadi penguasa boneka dengankewenangan berada di tangan Sekdes. Sekali lagi kenyataan ini

  • 13

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Skema Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

    menunjukkan bahwa otonomi daerah dan pelimpahan kewenangankepada daerah dilakukan setengah hati. Tidak terlalu berlebihan jikaotonomi daerah saat ini berada dipersimpangan jalan. Jikadigambarkan, mungkin akan sesuai dengan skema berikut.

    Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang setengahhati dan berada dipersimpangan jalan tentu saja harus dikembalikanke koridor yang sesungguhnya. Untuk inilah, peran lembaga mediasiseperti Partnership for Governance Reform (PGR) dapat mem-fasilitasi NGO dan CSO yang dibutuhkan untuk membangunkapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi secara nyata dalampembangunan. Selain itu, Partnership di samping sebagai mitrapemerintah juga dapat sekaligus memberi tekanan agar agendadesentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan sesuai dengan yangdiamanatkan. Intervensi yang bertujuan memperkuat masyarakat sipildilakukan melalui program yang berkesinambungan dan terukur sertabukan berorientasi pada proyek yang bersifat jangka pendek. Untukitu, Partnerhip for Governance Reform in Indonesia menjalinkerjasama dengan berbagai pihak yang berkomitmen untuk

  • 14

    memperkuat partisipasi untuk mewujudkan terbentuknya masyarakatyang mempromosikan pembaruan tata pemerintahan menuju Indo-nesia yang adil, demokratis dan sejahtera.

  • 15

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    A. Beberapa Deskripsi Otonomi DaerahDesentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem

    penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenangkepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalahhak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur danmengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Pada tingkat yang terendah,otonomi berarti mengacu pada perwujudan free will yang melekatpada diri-diri manusia sebagai satu anugerah paling berharga dariTuhan (Piliang, 2003). Free will inilah yang mendorong manusia untukmengaktualisasikan diri dan menggali seluruh potensi terbaik dirinyasecara maksimal. Berawal dari individu-individu yang otonom tersebutkemudian membentuk komunitas dan menjadi bangsa yang unggul.

    Otonomi individu menjadi modal dasar bagi terbentuknya otonomipada level yang lebih tinggi. Otonomi daerah adalah manifestasi darikeinginan untuk mengatur dan mengaktualisasikan seluruh potensidaerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerahdipandang penting karena otonomi merupakan kebutuhan hakikidimana daerah memiliki keinginan untuk mengatur rumah tangganyasendiri. Otonomi daerah memberikan peluang untuk bersaing secarasehat dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat dan jugaantardaerah. Untuk itu, otonomi daerah perlu diperkuat denganperaturan yang jelas dan rambu-rambu yang disepakati bersamauntuk menjamin keteraturan sosial dan mencegah timbulnyakerawanan sosial yang tidak perlu.

    BAB IIOTONOMI DAERAH DAN

    PERMASALAHANNYA

  • 16

    Ciri-ciri hakikat otonomi yang independen yaitu legal self suffi-ciency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politikatau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau theconditition of living under ones own laws (Sarundajang, 1999). Karenaitu, otonomi lebih menitikberatkan aspirasi daripada kondisi. Otonomidaerah menjamin setiap daerah memiliki peluang yang sama untukberkembang berdasarkan potensi yang ada. Potensi sumber dayaalam dan manusia menjadi akan dapat digali secara optimal jikamasing-masing daerah diberi keleluasaan dan jaminan untukmenentukan yang terbaik bagi dirinya.

    Otonomi daerah sebagai satu bentuk desentralisasi kebijakanpemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk mendekatkanpemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secarakeseluruhan. Dengan demikian, pelayanan yang diberikan cenderungakan lebih merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yangada di daerah bersangkutan. Otonomi daerah berupaya untuk lebihmendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untukmewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan makmur.Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas-tugaskepada pemerintah daerah.

    Otonomi daerah memiliki pijakan kuat dalam kerangka negarafederal. Dalam kerangka ini, daerah memiliki hak dan dijaminpelaksanaannya untuk dapat mengelola dan memaksimalkanpembangunan didaerahnya dengan keunikannya masing-masing.Bagi daerah yang daya saingnya belum memadai untuk berkompetisi,maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan dorongan dansuport agar daerah tersebut mampu berkembang sesuai dengankondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi hingga mampubersaing pada tingkatan persyaratan minimum.

    Desentralisasi muncul ke permukaan di tahun 1970-an sebagaikritik terhadap gagalnya perencanaan terpusat dan dominasiparadigma pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity).Tidak itu saja, desentralisasi juga sebagai manifestasi kesadaranbahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuhketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah direncanakan dari

  • 17

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    pusat. Karena itu, dengan penuh keyakinan para pelopordesentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumententang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan administrasidi negara Dunia Ketiga (Allen, 1990).

    Sejarah sistem pemerintahan di Indonesia mencatat pasang surutsentralisasi dan desentralisasi sebagai sistem administrasipemerintahan, tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan suatunegara. Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalamipasang surut seiring dengan perubahan konstelasi politik dalampemerintahan di Indonesia.

    Pada masa kolonialisme terutama fase pendudukan Belanda danJepang, pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi yangsentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan kolonial.Penjajah Belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputradan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk pada Gubernur Jenderal.Pemerintah kolonial Belanda menetapkan daerah untuk mengaturrumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonomyang dikuasai Belanda menjadi gewest (saat ini provinsi), regentschap(saat ini kabupaten) dan staatgemeente (saat ini kotamadya).Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan polapemerintahan dengan mengganti Bahasa Belanda menjadi BahasaJepang (Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002).

    Pada masa pemerintahan kolonial terdapat dua administrasipemerintahan yang ada di masyarakat yaitu administrasipemerintahan kolonial yang dipimpinan seorang Gubernur Jenderalyang merupakan wakil pemerintah Belanda dan administrasipemerintahan setempat yang berada di bawah pemerintah kerajaan(Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002). Warisan pemerintahan kolonialyang kemudian dipraktekkan dalam penyelenggaraan sistempemerintahan di Indonesia adalah sentralisasi kekuasaan pada pusatpemerintah, dan pola penyelenggaraan pemerintah daerahbertingkat.

  • 18

    Hirarki Administrasi di Masa Kolonial

    Sumber: Syaukani et. al., 2002 dikutip dalam Kuncoro, 2004.

    Pemerintah Hindia Belanda menjelang meletusnya Peran DuniaII, pernah mengembangkan ide sistem administrasi yangdesentralistis atas dasar federasi. Ide desentralisasi dan federasiingin dihidupkan kembali setelah perang usai untuk melegitimasipemerintahannya di Indonesia dan menghancurkan kekuatan-kekuatan pendukung Republik. Dapat dipahami mengapa konsepdesentralisasi dan federasi menjadi tidak populer. Citra federasi dandesentralisasi tidak dapat dilepaskan dari politik de vide et imperadan kekuatan-kekuatan pro-NICA dan anti revolusi kemerdekaan.

    Sejak pemerintahan Republik Indonesia, beberapa undang-undang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlakusilih berganti. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bentuk dan susunanpemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi, yang lebihcocok dan memenuhi harapan, serta sesuai dengan tuntutanpembangunan. Penerapan sistem sentralisasi dan desentralisasisaling bergantian menikuti konfigurasi kekuasaan saat itu. Sampaidengan tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnyakekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas

  • 19

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    kekuasaan pusat dan menjamurnya gerakan separatisme. Dekrit 5Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya di tangan pusat hinggatahun 1966 (Kuncoro, 2004).

    Sentralisasi sistem pemerintahan di masa Demokrasi Terpimpindilatarbelakangi kondisi keamanan negara yang semakin terganggu.Partai politik yang dalam penilaian Soekarno sangat mengedepankankepentingan kelompok, hingga diputuskan untuk mengubur partaipolitik dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin.Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin mendapat tantangan yang sangatbesar dari luar Jawa, terutama Sulawesi dan Sumatera.

    Konflik antara Jakarta dengan Daerah tidak dapat dihindarkanlagi. Daerah semakin kuat dengan tuntutannya, sementarapemerintah di Jakarta terpecah karena rapuhnya sistem kepartaiandan cara pandang dalam melihat hubungan dengan Jakarta. Konfliktidak dapat dihindari bahkan semakin parah, meskipun simbol DwiTunggal Soekarno-Hatta berusaha dimunculkan untuk meredamkonflik pusat-daerah. Tetapi, akhirnya pemerintahan Soekarnoberakhir dengan meletusnya G 30 S/PKI.

    Pemerintahan Orde Baru adalah fase pemerintahan otoritarianyang mendorong munculnya pemerintahan yang sentralistik.Pemerintahan yang bersifat sentralistik membawa implikasi yangtidak menguntungkan bagi perkembangan atau pembangunandaerah secara keseluruhan. Sentralisasi sistem cenderungmenempatkan daerah pada posisi yang kurang menguntungkan.Berbagai lembaga yang bertujuan mengontrol aktivitas di hampirseluruh lapisan masyarakat dibentuk. Berlatar belakang mencegahkembalinya kekuatan komunisme, pemerintahan Soeharto dengandukungan penuh dari militer membantuk KOPKAMTIB, OPSUS,BAKIN dan lain-lain untuk melakukan pengawasan terhadap berbagaijenis kegiatan di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut bersifatrepresif. Setelah KOPKAMTIB melakukan pembasmian instrumenkekuasaan yang sangat efektif untuk menghadapi individu yangmemiliki pemikiran kritis terhadap pemerintahan Orde Baru(Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002).

    KOMKAMTIB digunakan oleh Soeharto untuk menghadapi kaumkomunis. Lembaga ini melakukan kategorisasi terhadap anggota PKI

  • 20

    ke dalam kelompok A,B dan C. Kategorisasi tersebut dilakukantergantung pada tingkat keterlibatan dalam aktivitas PKI.

    OPSUS digunakan untuk kepentingan yang bersifat spesifik.Soeharto menggunakan lembaga ini dalam rangka pemulihanhubungan antara Malaysia. Pemerintah juga menggunakan OPSUSuntuk memenangkan jajak pendapat di Irian Jaya agar tetapmendukung untuk bergabung dalam negara Kesatuan Republik In-donesia. Selain itu Soeharto juga menggunakannya untukmenjinakkan berbagai kekuatan politik dalam negeri yangmenentangnya. Lembaga ini tidak berumur panjang seiringmemudarnya pengaruh Ali Murtopo. Tetapi, lembaga ini sangat efektifdalam upaya menyingkirkan orang-orang Soekarno dan kalanganIslam modernis.

    BAKIN juga merupakan instrumen kekuasaan Orde Baru danmenjadi kekuatan yang menakutkan. Lembaga ini beroperasi melaluipenyusupan ke setiap elemen masyarakat, mulai dari aktivismahasiswa atau tokoh aktivis tokoh partai organisasi kemasyarakatanyang tinggi. BAKIN sangat efektif memonitor dan melakukanidentifikasi terhadap individu dan organisasi yang tidak sejalandengan pemerintah.

    Sentralisasi pemerintahan yang dilakukan di masa Orde Barubertujuan untuk menekan gejolak sebagai prasyarat kondisi darikebijakan penerapan pembangunan ekonomi. Pembangunanekonomi membutuhkan kondisi politik yang stabil dan terkendali.Karenanya, pemerintahan yang sentralistis menjadi pilihan Orde Baruuntuk dapat memantau dan mengawasi daerah dari potensi yangdinilai mengganggu pembangunan.

    Sentralisasi pemerintahan selama tiga puluh tahun dapatmeredam gejolak dan konflik yang disebabkan tersumbatnya saluranaspirasi. Pemandulan lembaga negara dan pengebirian partai politiksecara sistematik dilakukan, dan depolitisasi masyarakat dilakukanyang ditandainya dengan diberlakukannya kebijakan massamengambang (floating mass). Akses hanya dapat dijangkau olehorang-orang lingkaran dalam pemerintahan, sehingga praktek kolusi,korupsi dan nepotisme tumbuh subur, sementara daerah dieksploitasidengan sewenang-wenang oleh pemerintah pusat. Akhir dari

  • 21

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    pemerintah Orde Baru adalah diturunkannya Soeharto melalui peoplepower, sebagai akumulasi dari ketidakpuasan rakyat. Darikeseluruhan kejadian tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan adilterhadap daerah dan pendelegasian wewenang adalah kebutuhanyang mendesak. Otonomi daerah merupakan jawaban atas tuntutantersebut, karena tidak mungkin pemerintah pusat mampu menanganiseluruh persoalan yang ada di daerah.

    B. Pokok-pokok Pikiran Otonomi DaerahOtonomi daerah adalah wacana yang hangat dibicarakan dan

    diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya negara untukmenyejahterakan rakyat. Di Indonesia, wacana otonomi daerahmenguat di tahun 1990-an. Dalam kurun waktu cukup lama, Indone-sia telah melaksanakan pemerintahan yang terpusat denganparadigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuankebijakan pemerintah. Sistem sentralistik yang mengakar kuat danmendarah daging membuat isu desentralisasi atau otonomi daerahmenjadi barang asing yang bahkan definisinya pun tidak mudahuntuk dipahami. Meskipun keluarnya Undang-undang No. 22 tahun1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun1999 tentang perimbangan hubungan keuangan pusat-daerah sudahcukup meredam tuntutan aspirasi daerah.

    Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang,dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriurusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuaidengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasiadalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepaladaerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahandalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Gagasan otonomi daerah merupakan konsep yang masih kabur.Para penggagas otonomi daerah tidak menjelaskan secara jernihkonsep yang ditawarkannya, bahkan sekedar mendefinisikan konsep-konsep tersebut. Misalnya, sampai sejauh mana atau sampai sebatasmana otonomi yang seluas-luasnya itu; apakah yang dimaksuddengan federalisme dalam kerangka negara kesatuan adalah konsep

  • 22

    yang dicampuradukkan atau penerapan konsep-konsep negarabagian untuk beberapa provinsi saja; apakah kekhususan dariotonomi khusus; apakah otonomi penuh berarti pemerintahan sendiridalam artian pemerintah daerah memiliki hak dan kekuasaan penuhdalam menentukan arah dan tindakannya sendiri. Semuanya serbatidak jelas dan memicu diskusi yang lebih bersifat debat kusir (Pilianget.al., 2003).

    Bagaimana pun juga, otonomi merupakan kebutuhan, karenatidak mungkin seluruh persoalan yang ada di satu negara di tanganioleh pemerintah pusat. Terlebih lagi, Indonesia adalah negarakepulauan yang terdiri dari wilayah yang dipisahkan oleh perairan.Masing-masing wilayah memiliki ciri khas berdasarkan letakgeografis, kondisi alam dan sosiokulturalnya. Persoalan yang timbuldari keberagaman wilayah dan sosiokultural masyarakat pun tentunyaakan sangat kompleks. Dari kenyataan ini saja dapat dinilai betapaotonomi daerah dan desentralisasi sistem pemerintah perlu dilakukanagar persoalan dan aneka kompleksitas yang muncul tidakmemberikan implikasi negatif terhadap integrasi.

    Otonomi daerah merupakan sistem yang memungkinkan daerahuntuk memiliki kemampuan mengoptimalisasi potensi terbaik yangdimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai dengankarakteristik ekonomi, geografis, dan sosial budayanya.Perkembangan daerah yang sesuai dengan karakteristiknya ini akanmengurangi kesenjangan antardaerah yang selama ini terakumulasi,dan pada akhirnya dapat mencegah disintegrasi bangsa. Ada duapendekatan yang didasarkan pada dua proposisi. Pertama, padadasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerahuntuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkanpersoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang tidak mungkindiselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhannegara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harusdiserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah. Yangpertama disebut sebagai pendekatan federalistik, sedangkan yangkedua sebagai pendekatan unitaristik.

    Pada dasarnya, otonomi daerah bertujuan untuk membangun

  • 23

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    partisipasi yang seluas-luasnya agar potensi yang ada dapatberkembang secara optimal. Hanya saja, otonomi harus dibarengidengan perbaikan-perbaikan yang mendasar, terutama pada sumberdaya manusianya. Masyarakat dari berbagai level pada umumnyatelah terbiasa pada sistem yang serba pasif dan hanya menunggukeputusan dari pemerintah pusat saja. Kebiasaan-kebiasaan yangdibangun sistem sentralistik yang telah mendarah-daging dalammasyarakat inilah yang merupakan tantangan terbesar dalampelaksanaan otonomi daerah.

    C. Reformasi SistemOtonomi Daerah merupakan isu yang mengemuka di tahun 1990-

    an dan pada akhirnya terealisasi pada tahun 1999 dengan terbitnyaUU No. 22 Tahun 1999. Peralihan sistem yang semula sentralistikmenjadi desentralistik idealnya dibarengi pula dengan perubahanpola pikir. Hal ini penting dilakukan karena sistem tersebut masing-masing memiliki filosofi dan logikanya sendiri. Indonesia telahberproses cukup panjang dalam hal upaya menata hubungan antarapemerintah pusat dan daerah. Tahap pertama masa sebelumkemerdekaan, dalam kurun waktu 1903-1922 pemerintah kolonialmengakui Pemerintahan Daerah dalam sistem Perintahan HindiaBelanda. Tahap kedua dalam kurun waktu 1922-1942 Desentralisasiversi kolonial. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dalamperiode 1945-1959 adalah upaya mencari bentuk desentralisasimenuju demokrasi. Selanjutnya, periode 1959-1974 desentralisasiyang dipaksakan. Pada masa Orde Baru, yaitu masa berlakunyaUU No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Terbatas, yangpelaksanaannya adalah sistem sentralisasi. Baru pada era reformasipada saat diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, desentralisasidilaksanakan dengan memisahkan secara tegas antara institusipemerintahan daerah dengan institusi DPRD (Sarundajang, 1999).

    Otonomi daerah berpijak pada prinsip-prinsip federalisme.Federalisme dapat dipahami sebagai mekanisme berbagi kekuasaansecara konstitusional di mana kombinasi dari berpemerintahansendiri dan berbagi kekuasaan dijamin dalam konstitusi tersebut.Dalam sistem federalistik, unit-unit politik memiliki otonomi secara

  • 24

    utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, legislatif danbahkan yudikatif. Dalam sistem ini diakui pula mekanisme berbagikekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Stuktur pemerintahfederal tidaklah bertingkat, karena hakikat otonomi antara NegaraBagian dengan Pemerintah Daerah pada dasarnya sama. Perbedaansecara mencolok antara pemerintahan yang federalistik denganpemerintahan yang unitaristik adalah menyangkut kedaulatan. Dalamfederalisme, kedaulatan diperoleh dari unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahanbersama. Sementara itu, di dalam pemerintahan yang unitaristikkedaulatan langsung bersumber dari seluruh penduduk negaratersebut (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2003 : 23).

    Undang-undang No. 22/1999 menyerahkan fungsi, personil, danaset dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten,dan kota. Hal ini berarti bahwa tambahan kekuasaan dan tanggungjawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, danmembentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkandengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif.1 Sistemdekonsentrasi adalah delegasi kewenangan dari pemerintah pusatkepada gubernur sebuah provinsi dan atau pejabat pemerintah pusatdi provinsi. Sedangkan koadministrasi adalah sistem yang memberiwewenang pada pemerintahan yang strukturnya berada di atas,mengarahkan bawahannya untuk mengambil alih tugas dan fungsipemerintah di tingkat yang lebih atas. Pemerintah yang berada padastruktur yang lebih tinggi menentukan tujuan, menyediakan biaya,infrastruktur, dan sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas.Pemerintah di tingkat yang lebih bawah berkewajiban untuk melaporkepada atasannya mengenai pelaksanaan tugas atau fungsi yangdiberikan.

    Di semua sektor administratif pemerintah, undang-undang telahmemindahkan fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,dengan pengecualian dalam hal pertahanan dan keamanan,kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, hukum dan urusanagama. Propinsi memiliki status ganda sebagai daerah yang otonomdan sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Sebagai daerahyang otonom, propinsi memiliki kewenangan mengatur urusan-urusan

  • 25

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    tertentu di mana administrasi dan kewenangan hubungan antarkabupaten dan kota tidak (belum tentu) diterapkan di kabupaten dankota. Sebagai perwakilan pemerintah pusat, pemerintah provinsimelaksanakan tugas administratif tertentu yang didelegasikan olehpresiden kepada gubernur. Kekuasaan kabupaten dan kota meliputiseluruh sektor kewenangan administratif selain kewenangan yangtelah dijalankan oleh pemerintah pusat dan provinsi, termasukpekerjaan publik, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,transportasi, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup,pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

    Wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kotaotonom. Secara teknis, kabupaten dan kota mempunyai level yangsama dalam pemerintahan. Pembagian tersebut berdasarkan atasapakah administrasi pemerintah berlokasi di wilayah pedesaan atauperkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yangmerupakan unit pemerintahan administratif yang lebih kecil. Setiapkecamatan dibagi menjadi desa. Desa di wilayah pedesaan disebutdesa, sedangkan di wilayah perkotaan disebut kelurahan. Karenaberagamnya daerah otonom di Indonesia, dibutuhkan adanya sistemyang mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar, dandaerah yang kaya membantu daerah yang miskin. Dalam sistem ini,penyerahan wewenang (desentralisasi) berbarengan denganpelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan tugas perbantuan.

    Perbedaan substansial antara tingkat desentralisasi kepadaDaerah Provinsi dengan tingkat desentralisasi kepada DaerahKabupaten dan Kota jelas terlihat. UU No. 22/1999 ini memperpendekjangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampaipemerintahan Propinsi. Perubahan yang dilakukan UU ini terhadapUU No. 5/1974 ditandai dengan (Pratikno, 1999):

    n Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan.Istilah Dati I dan Dati II yang dalam UU terdahulu digunakanuntuk menggambarkan pemerintahan daerah otonom (asasdesentralisasi), sekarang ini sudah tidak dipergunakan lagi.Istilah yang dipilih adalahistilah yang lebih netral, yaituPropinsi, Kabupaten dan Kota, untuk menghindari citra bahwatingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih berkuasa

  • 26

    daripada tingkatan lebih rendah (Dati II) . hal ini untukmenegaskan bahwa semua daerah otonom merupakanbadan hukum yang terpisah dan sejajar. Daerah OtonomProvinsi tidak mempunyai hubungan komando denganDaerah Otonom Kabupaten maupun Kota.

    n Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakanuntuk merujuk pada Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dariKepala Daerah dan perangkat Daerah Otonom. Hal iniberbeda dengan UU No. 5/1774 yang menggunakan istilahpemerintah daerah yang meliputi pula DPRD, danmenempatkan DPRD sebagai mitra eksekutif. Perubahanpengertian yang dilakukan UU No. 22/1999 ini membawaimplikasi pada keterpisahan secara tegas antara badaneksekutif dan legislatif, dan penempatan fungsi kontrol DPRDterhadap eksekutif daerah.

    n Pemerintahan di tingkat provinsi hampir tidak berubah.Gubernur tetap menjadi wakil pusat dan sekaligus KepalaDaerah, dan Kanwil (instrumen Menteri) tetap ada.

    n Namun, pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebasdari intervensi pusat yang dulu dilakukan melalui perangkapanjabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala Wilayah Admin-istratif (wakil pusat). Bupati dan Walikota adalah KepalaDaerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayahpada Kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidakdikenal lagi. Konsekuensinya, Kandep (bawahan Kanwil) tidakdikenal lagi, dan instansi teknis yang ada hanyalah Dinas-dinas Daerah Otonom. Bahkan, UU ini juga menempatkanpemerintahan kecamatan sebagai kepanjangan tanganpemerintahan daerah otonom Kabupaten/Kota (desen-tralisasi), dan bukan aparat Pusat/Provinsi (dekonsentrasi).

    Satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaituuntuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisiendan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupatendan kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhandan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat.

  • 27

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Walaupun hal ini sangat potensial bagi kabupaten dan kota untuklebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, namun sebelum haltersebut dapat terlaksana, partai politik dan kelompok masyarakatsipil yang ada didaerah perlu diperkuat untuk menjamin bahwa prosespemerintah yang bersih dapat terlaksana.

    Dalam sistem sentralisasi, kewenangan sepenuhnya berada ditangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat daerah hanyamelaksanakan kehendak pemerintah pusat. Di masa lalu, daerahmenjadi sumber eksploitasi pusat. Akhirnya, timbul berbagai gejolakdi tingkat lokal yang berimplikasi terhadap stabilitas politik secaranasional. Kenyataan membuktikan bahwa banyak negara mengalamigangguan politik karena adanya kecenderungan daerah tidakdiperlakukan secara adil. Perlakuan tidak adil terhadap daerahmemicu konflik vertikal seperti kasus Aceh dan kasus-kasus separatislainnya. Gejolak di daerah mengindikasikan adanya tuntutan atasperlakukan yang tidak adil dan tersumbatnya saluran aspirasi. Sistemyang sentralistik cenderung memusatkan seluruh urusan daerah dipusat. Konsekuensinya, penyelesaian masalah menjadi terhambat.Seiring dengan berjalanan waktu, persoalan semakin bertambah,sementara persoalan terdahulu belum terselesaikan. Akibatnya, pusatmenjadi terlalu kecil dan terlampau jauh untuk dapat menyelesaikanseluruh persoalan yang ada di daerah.

    Jalan yang terbaik untuk meminimalisasi persoalan yangbertumpuk di pusat adalah reformasi sistem. Dengan diberlakukannyaUU No. 22/1999 dan amandemennya UU No. 32/2004 Indonesiamemasuki tahapan baru kepemerintahan. Desentralisasi dan otonomidiharapkan menjadi solusi yang tepat untuk berbagai persoalan yangada di daerah. Asumsi dasar desentralisasi yaitu mendekatkanpelayanan dengan rakyat. Dengan sistem desentralisasi, pelayananpublik menjadi mudah direalisasikan mengingat adanya kedekatanantara penyedia layanan dan pengguna layanan. Terlebih lagimengingat bentuk negara Indonesia sebagai negara kepulauan yangsulit dijangkau dan setiap wilayah memiliki karakteristik yang sangatberbeda.

    Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama kuranglebih lima tahun mengalami berbagai tantangan yang seringkali

  • 28

    berasal dari birokrasi. Di masa sentralisasi, aparat birokrasimemposisikan diri sebagai pamongpraja. Mentalitas pamongprajaberakar pada kultur feodal. Pamongpraja atau birokrat bumiputeradi masa kolonialisme adalah pejabat yang tunduk kepada GubernurJenderal sebagai representatif pemerintah kolonial, sehingga merekajustru memiliki posisi berada di atas rakyat dari negara yang dijajahkarena fungsinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial.Sebaliknya, yang terjadi dengan sistem desentralisasi, di manabirokrasi justru berfungsi sebagai pelayan dari kepentingan rakyat.Pelayanan tersebut berupa pemenuhan hak publik dalam haladministrasi, hak ekonomi, politik, sosial, jaminan rasa aman dankepastian hukum.

    Fungsi ideal birokrat pada saat ini belum dapat dilaksanakan diIndonesia, meskipun sistem desentralisasi telah dilaksanakan. Periodeyang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/1999 yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secaraformal sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi.Tetapi, mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerahmasih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadikarena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumberdaya manusia yang menunjang sistem pemerintahan yang baru.Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnyamendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagaipengguna jasa- adalah pelayanan publik yang ideal. Untukmerealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asasdesentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dariaparat birokrasi.

    D. Asumsi-asumsi Dasar Otonomi DaerahTumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi merupakan reaksi

    atas gagalnya pembangunan sebagai ideologi dan acuan dasar olehpemerintah Orde Baru yang sentralistik. Kerapuhan ekonomi yangterutama dirasakan akibatnya oleh sebagian besar rakyat Indonesiapada saat krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997. Strategipembangunan yang memusatkan pada pembangunan fisik dankemajuan sektor ekonomi modern di perkotaan menyebabkan

  • 29

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Skema Perubahan Model Sistem Pemerintahan

    Sumber: Pheni Chalid (2004)

    ketimpangan di berbagai bidang. Ketimpangan tersebut dapat terlihatdari terpusatnya pembangunan di perkotaan, sedangkan pedesaanyang menjadi basis pertanian menjadi daerah miskin. Fenomenakonglomerasi yang menjadi simbol kebangkitan semu perekonomianIndonesia semakin menonjolkan pemihakan pemerintah terhadappengusaha besar, dan mengabaikan rakyat banyak. Kritik pada masaitu ditabukan, kebenaran hanya datang dari pemerintah pusat.Sedangkan, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusathanya berpihak kepada kelompok yang dapat melanggengkankekuasaan rezim yang berkuasa pada saat itu. Maka, dibuatkankebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan karakteristik

  • 30

    di tiap daerah. Berdasarkan situasi inilah, maka wacana desentralisasimencuat sejak tahun 1970-an dan menguat di tahun 1990-an.

    Pada masa Orde Baru, peraturan mengenai penyelenggaraanPemerintah Daerah diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1974yang mengatur Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Undang-undangNo. 5/1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip. Pertama, desentralisasiyang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan daripemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua,dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintahatau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal diatasnya kepadapejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebewind)yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dandekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi desentralisasidan dekonsentrasi oleh kepala daerah; fungsi ganda sebagaipenguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayahadministrasi (Kuncoro, 2004).

    Undang-undang No. 5/1974 meskipun merupakan suatu komitmenpolitik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi ataukontrol dari pusat yang dominan dalam perencanaan maupunimplementasi pembangunan Indonesia. Fenomena yang palingmenonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunanadalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.Ketergantungan ini sangat jelas terlihat terutama dalam aspekkeuangan. Pemda kehilangan keleluasaan bertindak (local discretion)untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan campur tanganpemerintah pusat sangat tinggi dalam pelaksanaannya.

    Desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya peren-canaan secara terpusat dan kesadaran bahwa pembangunanmerupakan suatu proses yang kompleks yang tidak dapatdirencanakan dan dikendalikan dengan mudah dari pusat.2 Adaberbagai pengertian desentralisasi. Leemans (1970), misalnya,membedakan dua macam desentralisasi: representative local gov-ernment dan field administration. Maddick (1983) mendefinisikandesentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Devolusi

  • 31

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    adalah pelaksanaan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsitertentu kepada pemerintah daerah; sedangkan dekonsentrasimerupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentukepada staf pemerintah pusat yang tinggal di luar kantor pusat. Daridua pengertian ini, terlihat bahwa pemerintah daerah pada umumnyadianggap sebagai manifestasi struktural dari desentralisasi (politicaldecentralization). Sementara itu, administrasi lapangan (field admin-istration) atau desentralisasi administratif adalah kata lain daridekonsentrasi.

    Asumsi dasar desentralisasi adalah membangun sistempemerintahan yang berdasarkan pada kemauan politik (political will)untuk menyerahkan pengelolaan daerah kepada pemerintah lokalatau daerah yang lebih memahami persoalan-persoalan, kebutuhandan karakter masyarakat yang berada di daerah tersebut. Upayamendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat yang dengandemikian menghasilkan kebijakan-kebijakan pro-rakyat merupakantujuan dari sistem desentralisasi. Selain itu, pelaksanaandesentralisasi juga merupakan prasyarat yang dibutuhkan untukmenyiapkan daerah-daerah agar dapat berkompetisi di pasar glo-bal. Pelaksanaan desentralisasi dalam praktek mengalami berbagaikendala diantaranya ketergantungan daerah terhadap pusat yangterutama terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pola-pola lamaseperti petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis)menjadi kendala bagi pelaksanaan otonomi daerah yang lebihmenekankan pada partisipasi dari bawah (bottom up).

    Desentralisasi sistem berarti pengakuan terhadap keberagamandan pluralitas masyarakat. Langkah yang perlu ditempuh olehpemerintah dalam merealisasikan sistem desentralisasi ini yaitupengembangan wilayah. Pengembangan wilayah di Indonesia bukanmerupakan usaha-usaha yang terbatas pada pemerataanpembangunan antara daerah dan wilayah dalam satu daerah. Namun,lebih dari itu ia merupakan suatu usaha pula untuk menciptakan danmelembagakan suatu budaya pembangunan baru di kalanganinstansi, aparat perencanaan, pelaksana pembangunan serta dikalangan masyarakat di daerah. Dengan demikian, secara konseptualpembangunan wilayah merupakan perpaduan dari dua usaha

  • 32

    pembangunan, yaitu perbaikan kehidupan perekonomian terutamarakyat miskin di suatu wilayah dengan usaha-usaha pembangunanyang bertujuan untuk mengubah budaya pembangunan di kalanganinstansi, aparat pemerintah daerah dan masyarakat (Soetrisno, 1997).

    Daerah otonom memiliki wewenang untuk mengatur kepentinganmasyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai berdasarkanaspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Otonomidaerah dilaksanakan dengan asumsi dasar memberikan hak kepadadaerah untuk mengatur daerah dalam wujud otonomi yang luas,nyata, dan bertanggung jawab. Berbeda dengan pelaksanaanotonomi daerah di masa lalu yang menekankan prinsip otonomi yangbertanggung jawab yang lebih bertitik tolak dari pelaksanaankewajiban daripada hak. Kewenangan otonomi luas adalahkeleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yangmencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecualikewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan dibidanglain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh danbulat dalam penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan,pengawasan, pengendalian dan evaluasi (Sarundajang, 1999).

    Otonomi secara nyata berarti keleluasaan daerah untukmenyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentuyang keberadaannya dapat dibuktikan secara nyata. Bidang tersebutjuga dibutuhkan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudanpertanggungjawaban atas konsekuensi pemberian hak danwewenang kepada daerah berupa peningkatan di bidang pelayanandan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupandemokrasi yang semakin berkembang, keadilan dan pemerataan,serta hubungan pusat-daerah yang serasi.

    E. Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi LokalPengembangan wilayah pada hakikatnya adalah pengembangan

    di daerah yang bersifat menyeluruh. Artinya, pembangunan tidak hanyamenyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi yang lebih prinsip adalah

  • 33

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapatmengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak.

    Pengembangan wilayah pada masa desentralisasi cenderungdiartikan sebagai pemekaran wilayah yang pada dasarnya memilikimuatan politis yang kental. Pemekaran wilayah lebih pada upayamengakomodasi elit-elit di daerah agar desentralisasi tidak terjebakpada disintegrasi.

    Hingga saat ini, asumsi pengembangan wilayah masih berkutatpada paradigma lama; pembangunan fisik sebagai indikator utamakeberhasilan pembangunan. Sementara itu, kemiskinan kerap kalimenjadi wajah dominan masyarakat Indonesia. Pembangunanmanusia hingga saat ini belum menjadi indikator yang utama dalammengukur keberhasilan pembangunan.

    Amartya Sen menyebutkan, kebebasan adalah inti pembangunandan karena itu masyarakat harus dibebaskan dari sumber ketidak-bebasan itu3. Sumber ketidakbebasan itu adalah kemiskinan (yangdapat menyebabkan orang tidak mendapat kesempatan memperolehgizi yang baik) dan tirani, rendahnya peluang ekonomi (antara lainpeluang bagi perempuan untuk mendapat kerja di luar rumah) danpemiskinan sosial sistematis, pengabaian fasilitas publik (misalnyapendidikan dan pelayanan kesehatan) dan intoleransi atau represioleh negara. Dengan demikian, pembangunan manusia sebenarnyabukan sesuatu yang abstrak dan tidak mungkin ditunda-tunda.

    Sekalipun terdapat kemajuan dalam hal pembangunan manusiadi Indonesia, namun perkembangan tersebut berjalan sangat lamban.Ada beragam faktor yang menunjukkan hal itu. UNDP, misalnya,setiap tahun memaparkan Indeks Pembangunan Manusia (HumanDevelopment Index/HDI) dari 177 negara di dunia. Dari jumlahtersebut, kondisi terakhir Indonesia berada di posisi ke 111. Posisidemikian menempatkan Indonesia satu tingkat di atas Vietnam,namun masih jauh di bawah beberapa negara negara tetanggasemacam Singapura, Malaysia, Filipina, maupun Thailand.4

    Kondisi sumber daya manusia yang berkualitas merupakanprasyarat utama dalam melakukan perbaikan dan pembangunan dibanyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan Otonomi

  • 34

    Daerah, di mana partisipasi dan kompetensi masyarakat sangatdibutuhkan dalam merancang, menentukan kebijakan danmelaksanakan pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyatbanyak.

    Persoalan kemiskinan dan ketertinggalan bukan merupakansatu-satunya masalah yang dihadapi dalam upaya pelaksanaanpengembangan wilayah. Partisipasi masyarakat dalam hal ini menjadipenting karena perubahan sistem yang sangat mendasar, yaitu darisentralistik ke desentralisasi. Tetapi, permasalahannya adalahpartisipasi merupakan hal baru dan asing bagi masyarakat, terutamabagi unit masyarakat terkecil di tingkat desa. Hampir tidak dapatdibayangkan bagaimana masyarakat desa berpartisipasi dalampembangunan seperti misalnya merencanakan pembangunanberdasarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.Jangankan untuk duduk satu meja dengan aparat pemerintah danberbagai kalangan dari strata yang beragam, urun rembug(musyawarah) di tingkat Rukun Tetangga (RT) saja masyarakat awamcenderung untuk menyerahkan yang terbaik kepada ketua RT atautokoh masyarakat lainnya.5

    Menilik dari kenyataan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwapartisipasi merupakan sesuatu yang mewah bagi masyarakat. Terlebihlagi, hubungan antara pemerintah dengan rakyat memiliki kesenjanganyang sangat jauh. Kesenjangan tersebut merupakan penghalangterbesar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Selainkesenjangan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, terdapatasumsi dasar masyarakat terhadap pemerintah yang juga belumberubah; pemerintah harus menyediakan kebutuhan rakyat, tanpa perluadanya tuntutan dari bawah. Pola hubungan dan asumsi yang terlanjurmelekat dalam benak masyarakat seperti inilah yang menjadi tantangansekaligus hambatan dalam membangun sistem pemerintahan yangpartisipatoris. Pembangunan yang bersifat bottom-up nyaris menjadiwacana yang sulit direalisasikan jika masyarakat masih berpikir denganpola yang sentralistis. Kalaupun masyarakat terlibat pada perencanaanpembangunan, biasanya yang dilakukan adalah pengajuan daftarkeinginan. Hal ini menyebabkan pembangunan yang diharapkan bot-tom up dari tingkat perencanaan hingga pelaksanaan menjadi bias.

  • 35

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Keinginan merupakan tuntutan yang muatan subjektifitasnya lebihtinggi daripada nilai objektifitasnya, karena keinginan seringkali jauhberada di atas kebutuhan objektif. Karenanya, pemerintah biasanyamengalami kebanjiran daftar keinginan yang sangat sulit untukdiakomodasi dan direalisasikan.

    Sebagai negara-bangsa yang memiliki tingkat kemajemukanyang sangat tinggi, kondisi sosial-ekonomi dan kultural masyarakatIndonesia otomatis menjadi sangat beragam pula. Selain itu, Indo-nesia juga mewarisi permasalahan yang rumit.6 Permasalahanpertama, menyangkut masalah jumlah penduduk miskin yang sangatbesar. Terbesar dari jumlah ini terpusat di pulau Jawa. Kedua,perkembangan yang berbeda antara daerah, khususnya antara Jawadan luar Jawa. Ketiga, kemampuan yang rendah dari aparat birokrasinasional Indonesia untuk merencanakan dan melaksanakanpembangunan.

    Ketiga permasalahan itu, khususnya permasalahan perbedaanperkembangan antara Jawa dan luar Jawa, karena tidak dapatdipecahkan oleh pemerintah pusat telah menyebabkan masalahtersebut menjadi sebab dari timbulnya gerakan-gerakan separatisdi Indonesia pada tahun 1950-an. Semua gerakan separatis inimenuntut pemerintah untuk lebih melaksanakan pemerataanpembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketika tuntutan tersebuttidak mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah pusat, dibeberapa daerah di Indonesia mulailah muncul gerakan-gerakanseparatis. Gerakan-gerakan tersebut sangat menonjolkan sifat-sifatkedaerahan.

    Ketika pengembangan wilayah dilaksanakan oleh pemerintah,terbukalah permasalahan baru, yaitu bahwa hampir di setiap daerah,Jawa maupun luar Jawa terdapat perbedaan antarwilayah yangmenonjol dalam perkembangannya. Di dalam satu provinsi, bahkandalam satu kabupaten, dapat ditemukan wilayah yang terbelakangberdampingan dengan wilayah maju. Pada saat pelaksanaanpembangunan, pemerintah dihadapkan pada persoalan lain yaituaparat pelaksana pembangunan. Ada tiga permasalahan pokok yangdihadapi oleh pemerintah dalam hal ini. Pertama, rendahnyakemampuan teknis para pelaksana pembangunan dalam me-

  • 36

    rencanakan dan melaksanakan program pembangunan wilayah.Kedua, wawasan sektoral yang masih kuat berakar dalam instansipemerintah yang melaksanakan pembangunan. Ketiga, sikappatronase yang masih kental dalam diri para aparat pemerintah dalamhubungan mereka dengan rakyat.

    Pada umumnya perencanaan program kerja pemerintah daerahmasih bersifat top down dan sektoral. Terlebih lagi, program kerjalebih dilekatkan pada pendekatan proyek, sehingga kesinambunganprogram tidak dapat dijaga dan manfaatnya belum tentu sesuaidengan kebutuhan masyarakat. Orientasi proyek dalam merancangpogram pembangunan seringkali terjebak pada upaya bagaimanaanggaran dapat direalisasikan dan dana dapat dicairkan.

    Pola pembangunan yang bersifat top down pada akhirnyamematikan kreativitas daerah dan menimbulkan ketergantunganterhadap pusat. Hampir sulit ditemui daerah yang berhasil melakukaninovasi-inovasi yang menyentuh kepentingan rakyat dan berhasilmeningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengubah situasiini, pemerintah daerah perlu membangun visi dan misi pembangunanagar sesuai dengan arah pembangunan daerah masing-masingdengan mempertimbangkan ciri-ciri khas daerah.

    Mentalitas birokrasi untuk menunjang pembangunan harusdiubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pe-ngembangan wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.Kendala yang disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranyaterjadinya hubungan kolusi antara birokrasi sebagai penyediapelayanan publik dengan pengguna jasa yang menyebabkandiskriminasi dalam pelayanan. Diskriminasi pelayanan publik diantaradipengaruhi oleh beberapa faktor. Laporan penelitian tentangReformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah oleh Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada me-ngungkapkan realitas bahwa birokrasi belum mampu memberikanpelayanan publik yang adil dan non partisan kepada semua lapisanmasyarakat7. Hal ini terlihat dari bagaimana hubungan pertemanan,afiliasi politik, etnis dan latar belakang agama merupakan variabelyang masih mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan publik yangdiberikan birokrasi kepada masyarakat. (lihat diagram 1).

  • 37

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Sumber: Data Governance and Decentralizatin Survey 2002,Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

    Diagram 1. Pertimbangan Pelayanan menurut Aparat Birokrasi

    Pengembangan wilayah (otonomi) juga memunculkan ke-khawatiran dari stakeholders, terutama dari kalangan LSM, tentangpeningkatan perilaku KKN diberbagai instansi pemerintahan, baiksecara kuantitas dan kualitas. (lihat diagram 2).

    Diagram 2. KKN Di Berbagai Instansi (Menurut LSM)

    Sumber: Data Governance and Decentralizatin Survey 2002, PusatStudi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

  • 38

    Pengembangan wilayah, lebih dari itu, menuntut pula usahapenciptaan dan pelembagaan suatu budaya pembangunan baru dikalangan instansi, aparat perencanaan, pelaksana pembangunanserta di kalangan masyarakat di daerah. Dengan demikian, secarakonseptual pengembangan wilayah merupakan perpaduan dari duausaha pembangunan, yaitu perbaikan kehidupan perekonomianrakyat miskin di suatu wilayah dengan usaha-usaha pembangunanyang bertujuan untuk mengubah budaya pembangunan di kalanganinstansi, aparat pemerintah daerah, serta kalangan masyarakat.

    Pengembangan wilayah di Indonesia selain mempertimbangkanberbagai potensi yang ada di setiap wilayah. Perbedaan laju pem-bangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangankemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawadengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) denganKawasan Timur Indonesia (KTI). Satu di antara kebijakan yang diambilpemerintah untuk mempersempit ketimpangan regional yaituditetapkannya kebijakan pembangunan daerah melalui konsepkawasan andalan, yang dilakukan berdasarkan potensi yang dimilikidaerah. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan akan terjadikeseimbangan tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapitaantarwilayah, sehingga dapat menutup atau paling tidak mem-persempit kesenjangan perkembangan ekonomi.

    Kriteria kawasan dipilih berdasarkan kawasan yang memilikipotensi ekonomi yang lebih cepat tumbuh dibandingkan daerahlainnya dalam suatu provinsi, memiliki sektor unggulan dan memilikiketerkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Kriteria inilahyang digunakan untuk menentukan pertumbuhan kawasan andalan.Pertumbuhan kawasan andalan diharapkan dapat memberikan imbaspositif bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekitar (hinterland), melaluipemberdayaan sektor/subsektor unggulan sebagai penggerakperekonomian daerah yang keterkaitan ekonomi antardaerah.Penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai arah kebijakanpenetapan kawasan andalan dengan mempertimbangkanpertumbuhan ekonomi sebagai indikator kunci dalam pembangunan(Kuncoro, 2004).

  • 39

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Penentuan lokasi pengembangan kawasan andalan mengacupada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), ditetapkandengan Peraturan Pemerintah 47/1997 (dalam tahap revisi) sebagaiaturan mengenai Kawasan Pengembangan Strategis. RTRWN dalamhal ini telah memilih 108 daerah prioritas di seluruh Indonesia (52diantaranya berlokasi di bagian timur). Daerah tersebut dibentuksebagai pusat pertumbuhan. 14 daerah dipilih sebagai KawasanPengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan daerahprioritas dan dianggap sebagai model pembangunan ekonomi re-gional utama untuk pusat pertumbuhan di Indonesia bagian timur.

    F. Kebijakan Fiskal1. Kebijakan Fiskal Sebelum Otonomi DaerahKeuangan daerah berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang

    Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa wewenangpengelolaan pemerintahan daerah dilakukan berdasarkan tiga asas,yaitu dekonsentrasi, pembantuan (medebewind) dan desentralisasi(Piliang, 2003). Asas dekonsentrasi adalah wewenang pengelolaanpembangunan daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapitelah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sedangkandesentralisasi pada dasarnya adalah wewenang pemerintah daerahdalam pengelolaan pembangunan di daerahnya sendiri. Sedangkanasas perbantuan adalah pemerintah daerah daerah membantumelakukan tugas-tugas yang dimiliki pemerintah pusat di daerah,tetapi pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah daerah.

    Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, berdasarkan pasal 55UU No. 5 tahun 1974, pemerintah daerah dibekali dengan beberapasumber pendapatan, yaitu:

    a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari hasil pajakdaerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah (BUMD),dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

    b. Pendapatan yang berasal dari pusat, yang terdiri darisumbangan dan sumbangan-sumbangan lain yang diaturdengan pengaturan perundang-undangan.

    c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

  • 40

    Di masa lalu, bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepadapemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok. Pertama, subsidi/perimbangan keuangan daerah otonom. Subsidi Daerah Otonom(SDO) merupakan satu kebijakan pemerintah yang dimaksudkanuntuk mengamankan pengeluaran rutin daerah. Distribusi subsiditersebut kepada daerah dilakukan berdasarkan kebijakan MenteriDalam Negeri yang diperhitungkan dari data pegawai daerah dimasing-masing daerah. SDO terdiri dari belanja pegawai, belanjanon pegawai yang diarahkan dan belanja non pegawai yangdiarahkan dan ditetapkan. Belanja non-pegawai yang ditetapkanterdiri dari dua kategori, yaitu, pertama subsidi/bantuan dan ganjaran.Kedua, bantuan yang dialokasikan untuk keperluan investasi didaerah. Di Indonesia, jenis investasi yang kedua ini dijalankan dibawah instruksi yang diberikan oleh presiden. Oleh karena itu seringdisebut dengan Bantuan Inpres (Instruksi Presiden).

    Bantuan Inpres terbagi dalam dua bentuk, yaitu bantuan khusus(spesific grant) dan bantuan umum (block grant). Bantuan khususdialokasikan berdasarkan tujuan khusus yang ditentukan olehpemerintah pusat, seperti bantuan penunjang jalan dan jembatankabupaten, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuanpembangunan sarana kesehatan, dan reboisasi. Oleh karenanya,pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengubahpenggunaan bantuan ini untuk tujuan lain. Bantuan tersebut terdiridari bantuan pembangunan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II danDesa.

    Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, proporsi trans-fer bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintahdaerah didominasi bentuk bentuan yan bersifat khusus. Hal itu terbuktimisalnya dari studi yang dilakukan oleh Mahi (2001). Transfer danadari pemerintah pusat yang tergolong bantuan umum diperkirakanhanya sebesar 20% dari keseluruhan transfer, sementarakebanyakan dari transfer tersebut digolongkan sebagai bantuankhusus.

    Di samping SDO dan Bantuan Inpres, terdapat juga bantuanyang berasal dari alokasi Daftar Isian Proyek (DIP) yang merupakanpengeluaran investasi langsung oleh pemerintah pusat. Di antara

  • 41

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    berbagai jenis bantuan tersebut, DIP merupakan sumber pendanaanterbesar, diikuti oleh SDO dan Inpres. Dengan demikian, secaraumum kondisi penerimaan pemerintah daerah pada umumnyadidominasi oleh penerimaan yang berasal dari subsidi dan bantuanyang diperoleh dari pemerintah pusat. Penerimaan Pandapatan AsliDaerah (PAD) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak meningkat danpenerimaan subsidi/bantuan menurun, sementara pinjaman daerahtidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hal tersebutmenunjukkan pula bahwa tingkat ketergantungan propinsi-propinsiterhadap sumbangan/bantuan masih cukup besar.

    Dalam penggunaan berbagai sumber penerimaan yang diperolehpemerintah daerah itu, pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh daerahpada umumnya dibiayai dari bantuan-bantuan inpres. Sedangkanpelaksanaan asas desentralisasi umumnya dibiayai melalui PAD.Dalam UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya hanya disebutkan bahwapengelolaan dana dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tersebuttanpa menyebutkan berapa besar persentase alokasi untuk masing-masing asas. Tetapi, dalam kenyataannya alokasi dana APBD untkmelaksanakan asas dekonsentrasi mencapai rata-rata 70% darijumlah keseluruhan alokasi pembangunan setiap tahun. Sedangkanalokasi dana untuk melaksanakan asas perbantuan dandesentralisasi hanya berkisar 30%.

    2. Kebijakan Fiskal Masa Otonomi DaerahPrinsip dasar yang sering dipergunakan dalam menentukan

    besarnya keuangan yang dibutuhkan oleh suatu daerah otonomadalah prinsip di mana fungsi-fungsi (urusan-urusan) ditentukanterlebih dahulu, baru kemudian ditetapkan besarnya kebutuhankeuangan bagi pelaksana urusan bersangkutan (money followsfunction). Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlaku, karena dinegara-negara Dunia Ketiga, pelaksanaan kebijakan distribusikeuangan dilakukan dengan mendahulukan pembagian keuangandan barulah diikuti oleh pembagian fungsi. Konsep money followsfunction tidak mudah untuk diaplikasikan terbukti dengan belumtuntasnya rumusan pembagian kewenangan antar pemerintah daerahdi Indonesia. Dalam lingkup UU No. 22 tahun 1999 inti otonomi daerah

  • 42

    meliputi dua hal. Pertama, pemberian kewenangan, dan bukansekedar pendistribusian otoritas seperti pada UU No. 5 tahun 1974.Kedua, sekaligus pemberian tanggung jawab. Daerah jugabertanggung jawab membina dan melayani masyarakat.

    Satu aspek yang perlu dicatat dalam desentralisasi yangdilakukan di Indonesia adalah kecepatan dan besaran dari perubahanyang dilakukan. Dalam UU No. 22/1999, seluruh fungsi pelayananpublik kecuali pertahanan, hubungan luar negeri, kebijakan moneterdan perdagangan, serta sistem hukum - akan didesentralisasikanpada tingkat kabupaten. Propinsi sebagai tingkat pemerintahan yanglebih tinggi tidak diberikan tanggung jawab yang besar, kecualimelakukan kebijakan yang lebih bersifat koordinasi dari kebijakanpemerintah di tingkat kabupaten.

    Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan,pemerintah daerah memerlukan sumber fiskal. UU No. 25/1999menyatakan bahwa untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harusmemiliki kekuatan untuk menarik pungutan dan pajak, dan pemerintahpusat harus mentransfer sebagian pendapatan dan atau membagisebagian pendapatan pajaknya dengan pemerintah daerah. Strukturpajak, setelah diterapkannya UU No. 25/1999, beserta basis pajaknyauntuk pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota dirangkumdalam tabel 1.

    Sumber pajak utama pemerintah propinsi berasal dari pajakkendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor, yangdapat dipandang sebagai variasi pajak kekayaan dan properti. Jenispajak daerah yang dapat diusahakan oleh pemerintah kabupatendan kota terbatas pada tujuh jenis pajak hotel dan restoran, pajakiklan, pajak atas bahan bangunan, pajak penggunaan air, pajakhiburan, pajak IMB, dan retribusi lain-lain. Pemerintah daerah tidakakan diperkenankan untuk meningkatkan pendapatan daerah lewatpajak selain pajak yang disebutkan di atas.

    Jenis-jenis pendanaan untuk membiayai pembangunan danaktivitas rutin. Jenis-jenis pendanaan tersebut yaitu:

  • 43

    OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

    Tabel. 1Struktur Pajak Setelah UU No. 25/1999

    Sumber: UU No. 25/1999; Brodjonegoro & Asanuma (2000: 6-8); Widjaja (2002),dikutip dalam Mudradjad Kuncoro (2004).

    Dana PerimbanganDana perimbangan adalah dana yang bersumber dari

    penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untukmembiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelak