163
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di Indonesia peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang dan jasa yang meliputi hajat hidup orang banyak tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan umum. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan modal BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN. Selain itu juga berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) UU BUMN. Pembinaan dan pengelolaaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, hal ini seperti yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN. Maksud dan tujuan BUMN dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UU BUMN adalah untuk: 1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; 2. mengejar keuntungan; 3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup rakyat banyak; 4. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi serta;

pAILIT 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pAILIT 2

 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang dan jasa yang meliputi hajat hidup orang banyak tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan umum. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Kekayaan yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan modal BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN. Selain itu juga berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) UU BUMN. Pembinaan dan pengelolaaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, hal ini seperti yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN.

Maksud dan tujuan BUMN dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UU BUMN adalah untuk:

1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

2. mengejar keuntungan;

3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup rakyat banyak;

4. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi serta;

5. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Pasal 9 UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum.

Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagai atas saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN. Selanjutnya mengenai perum ini diatur dalam Bab III, Pasal 35 sampai dengan Pasal 62 UU BUMN. Organ Perum ada 3 yaitu: menteri, direksi dan dewan pengawas, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UU BUMN.

Page 2: pAILIT 2

Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (limapuluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN.

Pembentukan Persero sebenarnya merupakan wujud keinginan negara untuk ikut campur dalam mengendalikan perekonomian nasional. Ini terbukti dari aturan-aturan hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatur persero, antara lain UU BUMN serta peraturan pelaksanaannya. Sehubungan dengan ini persero lebih merupakan instrumen pengendali perekonomian, seperti yang disebutkan dalam Pasal 12 UU BUMN.

Peranan pemerintah melalui BUMN dalam perekonomian negara adalah pemerintah tidak bertindak sebagai eigenaar tetapi sebagai bezitter untuk atas nama rakyat. Karena BUMN hanya merupakan pelaksana dari hak negara untuk menguasai, bukan untuk memiliki sumber ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, sedangkan pemilik atau eigenaar adalah rakyat karena kedaulatan ada di tangan rakyat .

Hal ini sesuai dengan pendapat Moh. Hatta dalam mengupas konsep kata “dikuasai negara” untuk Pasal 33 UUD 1945. menurut Moh Hatta, “dikuasai negara” tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer, tetapi cukup bila kekuasaan negara terdapat pada pembuatan peraturan guna melancarkan jalannya ekonomi . Penegasan ini penting terkait sementara pendapat yang menyatakan negara bisa menjadi pengusaha (enterpreneur) berdasarkan kata “dikuasai negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 .

Mimpi the founding fathers terhadap BUMN diletakkaan pada jiwa Pasal 33 UUD 1945. Belajar dari sejarah perjalanan BUMN, sejak kemerdekaan sampai sekarang dari generasi pertama sampai keempat (1945-1959, 1959-1974, 1974-1982, 1982-2020) tak kunjung menemukan grand unified design BUMN .

Negara pada prinsipnya dapat melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu demi kepentingan rakyat, baik dalam lingkup hukum publik maupun privat. Penggunaan sarana hukum privat dalam bentuk usaha negara ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 11 UU BUMN, terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas (PT).

Dipakainya konstruksi PT pada bentuk usaha negara Persero, tentu mempunyai alasan-alasan tertentu. Karakter yang menarik pada PT adalah statusnya sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah (separated legal entity) dan modal yang terbagi atas saham-saham (shares) .

Dalam perkembangannya, pengelolaan BUMN secara profesional belumlah maksimal, meskipun menurut Sofyan Djalil dalam Bisnis Indonesia menyatakan bahwa menjelang akhir tahun 2007 kinerja BUMN mengalami kenaikan antara lain dengan deviden sebesar Rp 23,8 triliun, tetapi dengan adanya ”perbedaan

Page 3: pAILIT 2

persepsi tentang BUMN” sepanjang tahun 2007 yang patut dicatat, terefleksi dalam dua kejadian penting, yaitu pertama berkaitan dengan ”isu korupsi” sehingga status BUMN perlu diubah dan kedua, perihal ”kepailitan” .

Dalam praktik hingga awal tahun 2009 ternyata di Indonesia belum ada satupun BUMN Persero yang pada akhirnya benar-benar diputus pailit oleh Pengadilan. Beberapa BUMN Persero pernah dimohonkan pailit ke Pengadilan Niaga, dan oleh Pengadilan Niaga diputuskan pailit dengan dasar pertimbangan telah memenuhi syarat pailit yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU), tetapi pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) . Meskipun menurut UUK dan PKPU, tidak ada larangan atau pembatasan bahwa BUMN Persero tidak bisa dipailitkan. Tetapi pernah juga terdapat beberapa BUMN yang dimohonkan pailit, dan pada akhirnya Pengadilan Niaga memutuskan bahwa permohonan pailit tersebut tidak dapat diterima atau ditolak . Barulah pada bulan Juli Tahun 2009 yang lalu pada akhirnya Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengabulkan permohonan pailit terhadap BUMN Persero dalam kasus kepailitan PT. Iglass (Persero) di Surabaya .

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam UUK dan PKPU (Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU).

Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary menyatakan ”Bankrupt is the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality), who is unable to pay its debts as they are, or become due” .

Untuk menetapkan keyakinan kreditur bahwa debitur secara nyata akan mengembalikan pinjaman atau membayar utang-utang tersebut, maka hukum kepailitan memberlakukan beberapa asas utama terkait dengan jaminan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1131 BW dan 1132 BW . Pasal 1131 BW menyatakan ”segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitur” .

Syarat untuk dapat dinyatakan pailit adalah diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU BUMN, bahwa persero identik dengan PT, maka berlaku segala ketentuan dari prinsip-prinsip yang berlaku untuk PT termasuk dalam hal kepailitan. Apabila persero mengalami kepailitan, maka berlakulah ketentuan UU PT.

Page 4: pAILIT 2

Akibat kepailitan terhadap debitor pailit ialah debitor tersebut demi hukum kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya. Seluruh kekayaaan perusahaan selanjutnya diambil alih oleh kurator, hal tersebut dilakukan karena pada dasarnya kepailitan adalah sita. Selanjutnya harta kekayaan yang disita tersebut akan dibagi kepada para kreditor sesuai dengan prosentase tagihannya. Penyitaan seluruh aset tersebut berpengaruh bagi perekonomian negara Indonesia. Oleh karena itu UUK dan PKPU memberikan syarat permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN harus diajukan oleh pihak yang memiliki kapasitas dalam pengelolaan keuangan negara, dalam hal ini Menteri Keuangan .

Sebagai perusahaan milik negara, perusahaan perseroan terus mengalami perkembangan. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa masih ada masalah yang masih belum “clear” terkait dengan adanya unsur kepemilikan negara terhadap aset atau kekayaan persero khususnya bila terjadi kepailitan terhadap persero. Hal ini apabila dikaji berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf (g) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU KN) jis. Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 11 UU BUMN.

Sebagaimana disebutkan dalam UU BUMN bahwa Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh negara RI yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas (PT) yang diatur oleh UU No. 1 tahun 1995. UU tersebut telah dicabut dan diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Kerancauan mulai timbul, bahwa konsep kepemilikan negara terhadap kekayaan negara yang dipisahkan yang terdapat dalam UU KN ini tidak sejalan atau tidak harmonis dengan konsep kekayaan yang dipisahkan merupakan kekayaan badan hukum sebagaimana diatur dalam UU BUMN dan UU PT yang mendasarkan pada teori badan hukum dan teori kuasa lingkungan . Mulai timbul “grey area” antara hukum publik dan hukum privat atas kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN yang menjadi penyertaan modal negara dalam BUMN Persero.

Disharmonisasi antara UU KN dengan UU BUMN, UU PT, dan UUK dan PKPU, UU Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU PBN) termasuk juga dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) pada akhirnya menimbulkan “kerancauan pemahaman” antara entitas hukum publik dengan entitas hukum privat, khususnya terkait dengan konsep “uang publik (negara)” dengan “uang privat (PT atau Persero)”, dan mengenai kapan terjadinya transformasi hukum dari “uang publik menjadi uang privat”, atau sebaliknya terhadap kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN yang menjadi penyertaan modal BUMN Persero. Mengenai hal ini masih ”debatable” oleh berbagai kalangan hingga sekarang, inilah grey area yang harus segera diperjelas/diluruskan untuk kedepan.

Page 5: pAILIT 2

Kekaburan pengertian keuangan negara dimulai oleh definisi keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1, UU KN yang menyatakan: “keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Selanjutnya Pasal 2 menyatakan “keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”.

Selain pada Pasal 2 huruf (g) UU KN, kesalahan juga terjadi dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/ Daerah. Pasal 19, menyatakan “Penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” . Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa “Tata cara dan penghapusan secara bersarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian peraturan ini tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan Negara sebagai pemegang saham” .

Adanya inkonsistensi mengenai konsep uang negara atau uang persero tersebut, pada akhirnya juga berpengaruh terhadap masalah permohonan kepailitan yang terjadi pada BUMN Persero. Karena apabila mengikuti pola pikir UU KN, maka terhadap BUMN Persero tidak dapat dipailitkan oleh siapapun karena menurut ketentuan Pasal 50 huruf a UU PBN, pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga . Padahal esensi dari kepailitan adalah adanya sita umum.

Tetapi berdasarkan UU BUMN, UU PT, UUK dan PKPU , demikian juga berdasarkan teori badan hukum serta teori kuasa lingkungan maka terhadap BUMN Persero dapat dipailitkan seperti layaknya PT biasa. Hal ini juga diperkuat oleh Fatwa MA No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 terkait dengan adanya kredit macet pada Bank-bank BUMN pada tahun 2006 tersebut.

Karena adanya ketidakjelasan konsep tentang keuangan negara/uang publik serta adanya inkonsistensi dalam aturan hukum tersebut maka mengakibatkan dalam praktik hukum timbul ketidakpastian hukum (uncertainty), multi tafsir, bahkan masih terjadi debatable. Meskipun sudah diatur dalam UUK dan PKPU, ternyata dalam praktik masih terjadi penyimpangan.

Sebagai contoh kasus, yang terjadi pada kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) (untuk selanjutnya disebut PT. DI (Persero) yang telah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Nomor: 41/Pailit/2007-PN. Niaga/Jkt. Pst, telah diputus pailit yang kemudian dibatalkan oleh MA dalam

Page 6: pAILIT 2

putusannya Nomor: 075 K/Pdt. Sus/2007. Berikutnya dalam kasus kepailitan atas PT. Iglass (Persero) dengan Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor: 01/Pailit/2009/ PN, yang menolak permohonan pailit atas PT Iglass Persero dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 397 K/Pdt.Sus/2009, mengabulkan PT. Iglass untuk dipailitkan oleh PT Intercheem Plasagro Jaya pada Juli 2009.

Pada dewasa ini, sepanjang pengetahuan saya, belum menemukan yang secara khusus meneliti tentang “Kepailitan BUMN Persero” dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh sarjana lain, tesis, dan disertasi akan diuraikan di bawah ini dimaksudkan sebagai titik tolak sekaligus bahan perbandingan.

Dalam bidang hukum Kepailitan, disertasi Sunarmi dengan Judul “Menuju Hukum Kepailitan Yang Melindungi Kreditor dan Debitor” . Penelitian dalam tesis saya yang berjudul “Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan Berklausula Arbitrase (Studi Kasus Putusan Pailit Antara PT. Environmental Network Indonesia Melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu . Disertasi M. Hadi Shubhan tentang “Prinsip-prinsip Hukum Kepailitan” . Penelitian/disertasi Siti Anisah yang berjudul “Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia” . Disertasi Tata Wijayanta, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang berjudul: “Penyelesaian Kes Kebankrapan Di Pengadilan Niaga Indonesia Dan Mahkamah Tinggi Malaysia, Suatu Kajian Perbandingan”.

Beberapa sarjana yang melakukan penelitian terkait dengan BUMN dan kekayaan Persero, antara lain: dalam Disertasi Aminuddin, dengan judul “Privatisasi BUMN (Persero)” . Penelitian/Tesis dari Syafardi, dengan judul “Status Hukum Keuangan Negara Yang Dipertanggungjawabkan Oleh BUMN: (Studi Kasus Kredit Bank Mandiri Kepada PT CGN PT. Tahta Medan)”. Tesis tersebut menyimpulkan bahwa, sampai saat ini belum ada ketegasan pengertian Keuangan Negara terutama terkait dengan salah satu unsur dari pasal-pasal UU PTPK, UUD 45 sebagaimana telah dilakukan 4 kali amandemen tidak menyebutkan secara apa yang dimaksud dengan keuangan negara. . Berikutnya Disertasi Wuri Adriyani, dengan judul “Kedudukan Persero Dalam Hubungan Dengan Hukum Publik Dan Hukum Privat”. Kesalahan dalam pengelolaan kekayaan persero dianggap merugikan negara .

Berdasarkan uraian beberapa penelitian tersebut bahwa sejauh yang dapat saya ketahui selama ini masih belum terdapat penelitian yang menggali dan menganalisis secara mendalam terhadap masalah-masalah BUMN Persero dalam Kepailitan. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut saya berkeyakinan bahwa substansi penelitian dan penulisan disertasi ini memiliki nilai orisinalitas maupun aktualitas sebagai sebuah karya penelitian dan penulisan akademik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi legal issue dalam penelitian ini adalah:

Page 7: pAILIT 2

1. Apakah kekayaan BUMN Persero merupakan kekayaan negara?

2. Apakah BUMN Persero dapat dipailitkan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

1. Menggali, menganalisis dan membangun argumentasi baru tentang kedudukan kekayaan BUMN Persero dalam hukum keuangan publik dan mengenai Perbendaharaan Negara, serta mempertegas kembali tentang konsep ”keuangan negara”, khususnya pada BUMN Persero.

2. Menggali, menganalisis dan membangun argumentasi baru mengenai esensi sita umum dalam kepailitan BUMN Persero serta proses dan pemberesan dalam kepailitan BUMN Persero.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dari disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau sumbangan berharga berupa:

1. Konsep pemikiran baik secara teoritikal maupun praktikal dalam pengembangan ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum kepailitan, Perseroan/PT, BUMN, hukum perbendaharaan negara, hukum keuangan publik, khususnya dalam mempertegas kembali konsep ”keuangan negara” atau/membangun argumentasi baru mengenai kedudukan kekayaan BUMN Persero dan konsep keuangan negara, serta esensi sita umum atas kekayaan BUMN Persero. Sehingga diharapkan konsep ini akan mengubah berbagai peraturan peruu-an di bidang Keuangan Negara (KN), Perbendaharaan Negara (PBN), dll.

2. Sebagai sumbangan pemikiran tentang kemungkinan bagi upaya untuk mereposisi kembali pada masa mendatang mengenai norma-norma tentang BUMN Persero serta adanya konsistensi dalam konsep kepemilikan BUMN Persero sebagai entitas privat yang harus dibedakan dengan konsep hukum publik sebagai bagian dari wilayah hukum administrasi negara.

3. Referensi bagi pemerintah dalam melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan antara bidang hukum keuangan publik dengan bidang hukum perseroan dan hukum kepailitan, khususnya revisi terhadap UU KN, UU PBN, khususnya yang berkaitan dengan pengertian/konsep keuangan negara, kekayaaan negara yang dipisahkan dari APBN, dan sita atas kekayaan BUMN Persero.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Pendekatan masalah

Page 8: pAILIT 2

Tipe penelitian ini adalah merupakan penelitian normatif, karena yang dikaji adalah filosofi dari norma-norma yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti, yaitu norma dalam bidang Hukum Keuangan Negara, bidang Perseroan dan bidang Kepailitan.

Pendekatan yang akan dilakukan untuk menganalisis kedua permasalahan hukum tersebut adalah pendekatan udang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach) .

1.5.2. Sumber bahan hukum

Bahan-bahan hukum yang dipergunakan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, di bidang Kepailitan dan PKPU serta peraturan perundang-undangan di bidang KN, PBN, BUMN, PT, KUHD, Putusan-putusan Kepailitan pada BUMN Persero oleh Pengadilan Niaga maupun oleh Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku teks/literatur yang membahas mengenai kekayaan negara sebagai entitas publik maupun entitas privat, perbendaharaan negara, keuangan negara, badan usaha milik negara perum dan persero. Dalam entitas privat, misalnya tentang PT, BUMN Persero, kepailitan, tulisan-tulisan hukum dan hasil-hasil penelitian hukum maupun bidang ekonomi yang membahas tentang BUMN dan kepailitan dalam bentuk artikel maupun jurnal. Selain itu publikasi hukum dan ekonomi tentang BUMN Persero dan kepailitan melalui situs-situs dan website pengadilan niaga, yakni http://www.pengadilan-niaga.go.id/, http://www.hukumonline.com/, serta kamus hukum juga akan dipergunakan untuk menterjemahkan terminologi-terminologi asing.

1.5.3. Prosedur pengumpulan bahan hukum

Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan di bidang BUMN dan kepailitan serta peraturan pelaksanaanya yang berkaitan dengan legal issue dikumpulkan melalui metode inventarisasi dan kategorisasi.

Inventarisasi bahan hukum ini dimulai dengan identifikasi bahan hukum dilanjutkan dengan klasifikasi atau pemilahan bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dan logis. Bahan hukum akan diperoleh dari peraturan-peraturan nasional. Disamping itu pula akan dikumpulkan putusan-putusan peradilan niaga baik putusan pengadilan niaga ataupun putusan majelis pernigaan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Termohon pailit atau Pemohon pailit adalah BUMN Persero. Pengumpulan putusan melalui buku himpunan putusan-putusan pailit baik yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung maupun oleh Tatanusa, melalui CD-Rom yang dikompilasi oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (selanjutnya disebut PSHK), melalui downloading pada internet.

Page 9: pAILIT 2

Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistem kartu catatan, baik dengan kartu ikhtisar yang memuat ringkasan tulisan sesuai dengan aslinya, dan secara garis besar, kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat pokok permasalahan yang diteliti, serta kartu ulasan yang berisi analisis atas masalah yang ditemukan.

1.5.4. Analisis bahan hukum

Bahan hukum primer dan sekunder yang telah terkumpul melalui inventarisasi tersebut, kemudian dikelompokkan dan dikaji dengan pendekatan undang-undang (statute approach) untuk memperoleh pengetahuan yang mendasar dari bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut bersifat preskriptif.

Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum .

Setelah itu bahan hukum yang telah diklasifikasikan tersebut kemudian dianalisis, dikaji dan dipelajari dengan membandingkan dengan doktrin, teori dan prinsip hukum yang dikemukakan para ahli, berdasarkan penalaran atau logika dalam argumentasi hukum. Analisis dilakukan untuk menemukan kebenaran pragmatis dan atau koherensi.

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Disertasi ini disusun menjadi beberapa bab. Diawali dengan Bab I, Pendahuluan. Pada bab I ini menjelaskan secara umum hal-hal yang menjadi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. Uraian Bab I ini merupakan landasan sekaligus sebagai penuntun dalam rangka untuk memahami substansi pada bab-bab selanjutnya.

Bab II, Prinsip dan Karakteristik BUMN Persero di Indonesia. Dalam Bab II ini diawali dengan uraian mengenai: Sejarah dan Bentuk BUMN, BUMN sebagai Badan hukum dan syarat badan hukum. Selanjutnya tentang Prinsip BUMN yang berisi pengertian, fungsi dan tujuan serta prinsip dasar BUMN. Berikutnya adalah tentang Karakteristik BUMN Persero. Pemaparan dimulai dari Pembentukan BUMN Persero melalui Penyertaan Modal Negara, Sumber-sumber penyertaan Modal Negara, Perbandingan antara BUMN Persero dengan Perseroan Terbatas, Modal, Prinsip kepengurusan satu organ, Berlakunya hukum privat pada Persero, Kekayaan BUMN Persero dalam separate legal entity, Pertanggungjawaban terbatas pada saham dan diakhiri dengan uraian mengenai Hak-hak negara sebagai pemegang saham.

Bab III, Hukum Keuangan BUMN Persero. Uraian pada Bab III ini diawali dengan Paradigma Keuangan Negara yang diurai dalam Ruang Lingkup

Page 10: pAILIT 2

Keuangan Negara dalam Undang-undang dan Keuangan Negara menurut doktrin/ahli hukum. Berikutnya adalah uraian mengenai Hak menguasai Negara dalam Keuangan Publik yang terdiri dari Konsep Hukum Keuangan Publik dan Status Hukum Kekayaan BUMN Persero.

Bab IV, BUMN Persero Dalam Kepailitan. Pembahasan ini diawali dengan Tinjauan umum tentang Kepailitan yang berisi syarat pailit, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, dan akibat hukum kepailitan. Berikutnya adalah membahas legal issue dalam disertasi ini yaitu mengenai Aspek Hukum BUMN Persero yang dipailitkan. Pembahasan ini diurai dalam BUMN Persero yang dapat dipailitkan, Pihak yang dapat mengajukan kepailitan BUMN Persero, Kedudukan Hukum Direksi BUMN Persero dalam kepailitan, Terhadap Kekayaan BUMN Persero dapat dilakukan Sita Umum dalam Kepailitan. Terakhir dalam bab IV ini adalah merupakan kajian terhadap putusan-putusan pailit atas BUMN Persero yaitu khususnya analisis terhadap kasus Kepailitan PT. DI Persero (2006-2007) dan terhadap putusan pailit atas PT. IGLASS (Persero) tahun 2009-2010, juga perbandingan antara kedua kasus kepailitan tersebut. Yang sebelumnya diawali dengan analisis secara umum terhadap permohonan pailit atas BUMN Persero sebelumnya (antara lain PT. Dok dan Kapal Kodja Bahari, PT. Hutama Karya Persero, PT. Asuransi Jiwa Indonesia (JASINDO).

Bab V. Merupakan bab Penutup, yang meliputi: Kesimpulan dan Saran/ rekomendasi atas masalah yang diteliti dalam disertasi ini. Kesimpulan merupakan intisari dari keseluruhan substansi disertasi yang dirumuskan dalam kalimat sederhana dan singkat, sedangkan saran/rekomendasi merupakan usulan peneliti yang bertitik tolak dari pokok-pokok kesimpulan.

II. PRINSIP DAN KARAKTERISTIK BUMN PERSERO DI INDONESIA

2.1. Sejarah dan Bentuk BUMN

2.1.1. Sejarah BUMN

Pengaturan BUMN sudah dilakukan sejak tahun 1960, yaitu Undang- undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dengan tujuan mengusahakan adanya keseragaman dalam cara mengurus dan menguasai serta bentuk hukum dari Badan Usaha Negara yang ada. Pada tahun 1969 ditetapkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969. Dalam Undang-undang ini BUMN disederhanakan menjadi tiga bentuk yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan) yang tunduk pada Indonesische Bedrijvenwet (Stbl 1927: 419), Perusahaan umum (Perum) yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960, Perusahaan Perseroan (Persero) yang tunduk pada KUHD (Stbl. 1847: 23) khususnya pasal-pasal yang mengatur perseroan terbatas yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan saat in telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Page 11: pAILIT 2

Sebagai peraturan pelaksana dari ditetapkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Persero, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perum dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perjan.

Ketentuan tersebut sekarang telah diperbaiki dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 No. 20, Tambahan Lembaran Negara 4297).

Sebelum ada Inpres No. 17 Tahun 1967 dan UU No. 9 Tahun 1969, hanya dikenal satu bentuk usaha negara yaitu perusahaan negara yang diatur oleh UU No. 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (UU Perusahaan Negara) .

Namun ada badan usaha negara yang karena fungsi dan sifatnya dianggap khusus maka tidaklah ditundukkan pada UU No. 19 Prp. Tahun 1960 , akan tetapi diatur tersendiri, misalnya Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA). Jadi bentuk Persero tidak dipakai pada PERTAMINA. PERTAMINA merupakan usaha negara yang khusus, dan didirikan berdasar UU No. 8 Tahun 1971. Kekhususan PERTAMINA adalah bahan galian strategis, yang dijadikan sumber income negara yang utama. PERTAMINA juga harus menjadi penyedia kebutuhan bahan bakar migas dalam negeri. Utnuk itu kegiatan usaha PERTAMINA diproteksi hanya untuk negara .

Pada tahun 1983 krisis harga minyak terjadi. Subsidi dari PERTAMINA berkurang, sementara keuntungan dari Persero belum dapat menggantikan PERTAMINA. Berdasarkan hal itu diterbitkan PP No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan Dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero jo. PP No. 28 Tahun 1983. Tujuan peraturan ini adalah peningkatan kinerja dengan mekanisme korporasi. Namun masih harus perlu diperhatikan terkait dengan PP ini karena ternyata dalam PP tersebut peran-peran BUMN masih saling bertentangan atau ada conflight of interest dan pengaturannya masih terlalu umum berlaku untuk ketiga bentuk badan usaha tidak hanya untuk Persero saja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2).

Hasil dari PP No. 3 Tahun 1983 jo. PP No. 28 Tahun 1983 cukup menggembirakan. Stuktur hukum dan permodalan Persero sedikit demi sedikit diubah dalam rangka kemandiriannya agar tidak membebani negara. Melalui PP No. 55 Tahun 1990 tentang Persero yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat melalui Pasar Modal jo. PP No. 59 Tahun 1996, khusus bagi Persero go public berlaku beberapa ketentuan yang dirasa mengikat Persero.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 14 tahun 1967 dicabut berlakunya dan semua bank milik negara ditetapkan menjadi Persero.

Perubahan besar terhadap Persero terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu keikut sertaan Indonesia dalam forum

Page 12: pAILIT 2

regional maupun multilateral terkait dengan adanya globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, telah merubah perspektif kebijakan negara terhadap perseroan.

Penyesuaian pengaturan Persero pertama kali dilakukan dengan PP No. 59 tahun 1996 tentang Perubahan PP No. 55 Tahun 1990. Perubahan yang dilakukan berdasarkan Pasal 1 PP No. 59 Tahun 1996 adalah dimungkinkannya bagi Persero go public, untuk memiliki jumlah direksi sesuai dengan kebutuhan, dan minimal dua orang. Ketentuan ini merupakan kelengkapan yang final untuk kemandirian persero.

Pada akhirnya seluruh penyesuaian untuk Persero disatukan dalam satu PP No. 3 tahun 1983 diubah dalam tiga buah Peraturan Pemerintah, yang memisahkan pengaturan untuk masing-masing bentuk usaha negara. Persero terkait dengan karakter khususnya sebagai PT yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki negara melalui penyertaan modal, secara khusus diatur dalam PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero. Perum diatur dalam PP No. 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum) dan Perjan diatur dalam PP No. 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan).

PP No. 12 tahun 1998 juga dapat dikatakan sebagai embrio reformasi untuk merubah Persero menjadi mandiri. PP ini juga merupakan dasar hukum bagi persero untuk melakukan efisiensi dengan cara go public sampai dengan jumah 49%.

Perubahan terhadap PP No. 12 tahun 1998 dilakukan dengan PP No. 41 Tahun 2001. Perubahan dilakukan dengan memberikan keleluasaan penuh pada RUPS terkait pemberhentian Direksi dan atau Komisaris sebelum selesai masa tugasnya . Perubahan lain melalui PP No. 64 tahun 2001, Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan selaku RUPS/Pemegang Saham dialihkan kepada Menteri BUMN. Bersamaan dengan itu Keppres No. 228/M tahun 2001, Kantor Menteri Negara BUMN dibentuk.

Perkembangan hukum pada persero dimulai kembali setelah terjadi krisis ekonomi dunia pada tahun 2002. Arahan IMF tercermin pada masterplan BUMN 2002 untuk melakukan privatisasi bagi Persero yang sehat. Efisiensi melalui privatisasi telah banyak dilakukan pada periode ini. Dasar hukum yang dipakai adalah tetap mengacu pada PP No. 55 Tahun 1990 jo. PPNo. 59 Tahun 1996 dan PP No. 12 tahun 1998 jo. PP No. 45 tahun 2001.

Kemudian pada tahun 2003, terbit 2 (dua) undang-undang yang saling terkait yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara). Dalam UU BUMN ini menghilangkan bentuk Perjan. Dengan demikian usaha negara hanya berbentuk Perum dan Persero. Untuk kategori Persero masih ditetapkan sama dengan Pasal 1 angka 2 PP No. 12 tahun 1998, sebagai usaha negara yang minimal modalnya dimiliki negara sebesar 51 % dengan bentuk PT.

Page 13: pAILIT 2

Bersamaan dengan ini, PERTAMINA diubah bentuknya menjadi Persero berdasarkan PP No. 31 tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA menjadi Persero PERTAMINA. PERTAMINA menjadi profit oriented dan berdasarkan Pasal 6 PP No. 31 tahun 2003, tetap harus menjalankan tugas menyediakan dan mendistribusikan BBM untuk kebutuhan dalam negeri .

Pada perkembangan berikutnya beberapa peraturan pelaksanaan UU BUMN diterbitkan, antara lain: PP No.41 tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Menneg BUMN, yang menggantikan PP No. 64 Tahun 2001; PP No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan PT.

2.1.1. Bentuk-bentuk BUMN

Bentuk BUMN mengalami perubahan. Pada awalnya ada banyak bentuk, kemudian di sederhanakan berdasarkan Pasal 1 UU No. 9 tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi 3 (tiga) buah bentuk Badan Hukum dalam Badan Usaha Milik Negara yaitu Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan).

Bentuk-bentuk badan hukum ini didasarkan pada sifat usaha dan maksud didirikannya BUMN tersebut. Khusus untuk Pertamina yang juga merupakan salah satu BUMN gabungan antara Permina, Permigan dan Pertamin diatur khusus dalam UU No. 8 tahun 1971 tentang Migas dan kemudian diganti dengan UU No. 22 tahun 2002.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Selanjutnya Persero dibedakan menjadi Persero (tertutup) dan Persero Terbuka.

Selanjutnya akan diuraikan bentuk-bentuk BUMN yang pernah ada di Indonesia sebagaimana berikut ini:

1. Perjan atau Perusahaan Jawatan

Perjan mempunyai makna sebagai public service yang berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memegang syarat-syarat efisiensi dan efektifitas. Perjan merupakan bagian dari departemen/ direktorat jendral/ direktorat/ pemerintahan daerah sehingga antara perjan dan publik terdapat suatu hubungan yang berupa layanan bagi publik karena sebagaimana Pasal 2 Ayat 1 PP No. 6 tahun 2000 dikatakan bahwa maksud dan tujuan dari Perjan adalah menyelenggarakan kegiatan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan masyarakat umum.

2. Perum atau Perusahaan Umum

Page 14: pAILIT 2

Perum digunakan untuk menjalankan usaha untuk kepentingan umum (kepentingan produksi, distribusi dan konsumsi secara keseluruhan) dan untuk memupuk keuntungan dan biasanya bergerak di bidang jasa vital (public utilities).

Perum pada dasarnya menyediakan jasa barang atau jasa vital untuk kepentingan umum. Namun pemerintah dimungkinkan untuk menetapkan beberapa usaha yang bersifat publik utility tanpa membentuk suatu perusahaan negara, misalnya dengan bantuan modal swasta. Dalam mewujudkan maksud dan tujuannya, Perum dapat memperoleh dana langsung dari APBN, dengan demikian Perum harus tunduk pada ketentuan mengenai pelaksanaan APBN. Namun, Perum dimungkinkan untuk menerima dana di luar APBN, seperti mengejar keuntungan. Mengejar keuntungan bagi Perum, seperti pada penjelasan umum UU BUMN angka VII, adalah untuk mempertahankan eksistensinya guna menjaga kemandiriannya dalam melaksanakan kemanfaatan umum, agar bisa hidup berkelanjutan.

3. Persero atau Perusahaan Perseroan

Perseroan pada hakekatnya adalah entitas usaha biasa yang kekayaannya (saham) terpisah dari kekayaan negara, dengan kepemilikan saham baik seluruhnya atau sebagian oleh Negara. Terhadap persero berlaku prinsip-prinsip yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian pelaksanaan penyertaan modal negara ke dalam Persero juga tunduk pada ketentuan UU No. 1 tahun 1995 yang sekarang telah diubah lagi menjadi UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pada UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, Persero sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di dalam Persero, yakni 1).Persero adalah badan usaha, (2). Persero adalah Persero Terbatas.

Mengingat persero adalah PT, pendiriannya dan pengelolaan Persero tunduk pada UU No. 1 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), dengan beberapa pengecualian. Pasal 3 UU BUMN dan penjelasannya menyebut kan bahwa BUMN, dalam hal ini Persero, tunduk pada UU No. 1 tahun 1995 termasuk perubahannya (jika ada) dan peraturan pelaksanaan. Salah satu pengecualian ketentuan UU No. 1 Tahun 1995 mensyaratkan minimal ada dua orang pemegang saham (Pasal 7 Ayat (1) UU PT).

Maksud dan tujuan pendirian Persero berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU BUMN adalah: menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan

Page 15: pAILIT 2

ketentuan Pasal 13 UU BUMN, organ Persero adalah RUPS, direksi, dan komisaris.

2.1.2. BUMN Sebagai Badan Hukum

Dalam teori hukum suatu organisasi atau lembaga dapat menjadi subyek hukum sama halnya seperti manusia, ketika ia memenuhi persyaratan tertentu baik yang ditetapkan secara formal dengan sistem tertutup oleh hukum positif atau peraturan perundang-undangan maupun sistem terbuka yang dianut oleh Pasal 1653 BW.

Dalam kaitan dengan konstruksi badan hukum, hubungan antara teori hukum dan hukum positif merupakan suatu hubungan dialektis. Teori hkum merupakan teori dari gejala hkum positif (positive rechtverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat yang tidak dapat dikesampingkan guna mencapai kesempurnaan pengertian suatu badan hukum. Oleh karena itu tinjauan mengenai badan hukum hendaknya tidak saja dilihat dari segi hukum positif, tetapi tinjauan tersebut harus pula melihat segi teoritisnya .

Apabila ditinjau dari sudut hukum yang menguasai dikenal ada 2 (dua) jenis badan hukum yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. Pertama, badan hukum publik, mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (misalnya undang-undang perpajakan) maupun yang tidak mengikat umum (misalnya Undang-undang APBN). Selanjutnya negara sebagai badan hukum publik tidak mungkin melaksanakan kewenangannya tanpa melalui organnya yang diwakili oleh pemerintah sebagai otoritas publik. Negara dapat mendirikan badan hukum publik (daerah) maupun mendirikan badan hukum perdata (Persero).

Kedua, badan hukum privat, tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat masyarakat umum. Badan hukum perdata/privat ini tidak mempunyai kewenangan membentuk badan hukum publik, maupun mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum.

2.1.2.1. Syarat badan hukum

Mengenai syarat badan hukum secara khusus tidak diatur, akan tetapi kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1653 BW (Bab kesembilan) tentang Perkumpulan .

Dalam pasal 1653 BW, yang merupakan peraturan umum menyebut adanya tiga (3) macam perkumpulan (badan hukum), ialah : yang diadakan oleh kekuasaan umum; perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum; perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak berlawanan dengan Undang-undang atau kesusilaan.

Pasal 1653 BW ini ternyata mengatur baik badan hukum publik maupun badan hukum privat . Akan tetapi tidak memberikan perbedaan antara korporasi dengan pemisahan kekayaan suatu tujuan tertentu, karena selainnya menyebut tentang pekumpulan dari orang-orang, juga tentang lembaga umum yang diadakan

Page 16: pAILIT 2

(ingesteld) oleh kekuasaan umum. Mengenai Yayasan, undang-undang sama sekali tidak menyebutnya dan demikian juga mengenai perseroan. Karena itu adalah berlebih-lebihan, jika terhadap pasal 1653 BW dikatakan sebagai peraturan dasar atau ketentuan umum bagi badan hukum . Lagi pula, lebih dari seratus tahun yurisprudensi dan literatur tidak memberikan pandangan dan pendapat yang jelas mengenai pertanyaan: sampai sejauhmana pengertian ”zedelijk lichaam” dengan ”rechtspersoon” itu jatuh bersamaan .

Menurut Ali Ridlo, ketentuan dalam Pasal 1653 BW yang diterjemahkan oleh Subekti ada satu yang salah dalam menerjemahkannya yaitu zedelijklichaam diterjemahkan menjadi badan susila, tetapi jelas yang dimaksud ialah badan hukum (recht person), bukan perkumpulan .

Arifin P. Soeria Atmadja , memaknai keberadaan Pasal 1653 BW tentang suatu badan hukum dengan bercirikan pada: (1) badan hukum didirikan atau diadakan oleh penguasa/pemerintah, sebagai contoh: daerah didirikan dengan UU, misalnya pendirian Kabupaten. (2). Badan hukum diakui oleh penguasa, contohnya Subak di Bali. (3). Badan hukum dengan konstruksi keperdataan, misalnya dengan perjanjian pasal 1320 BW.

Terkait dengan hak dan kewajiban anggota organ badan hukum, berdasarkan Pasal 1660 BW diatur menurut ketentuan yan diadakan oleh pemerintah atau reglemen atau oleh suatu badan hukum itu sendiri. Apabila aturan yang akan diberlakukan pemerintah/penguasa tidak ada, yang dipakai ialah yang ditentukan dalam Bab IX, Buku III KUH Perdata.

Pasal 1653 BW ini tidak secara tegas dan jelas bentuk yuridisnya landasan pendirian badan hukum yang khususnya dilakukan oleh pemerintah. Pasal 1653 ini bersifat open sistem, oleh karena itu landasan yuridis pendirian tersebut dapat saja dilakukan dengan atau dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Hal tersebut berlaku juga untuk penguasa di daerah tentunya.

Untuk badan hukum melalui konstruksi hukum perdata, telah ditetapkan dalam undang-undang tersendiri, misalnya perseroan terbatas dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007, badan hukum perkoperasian dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1993 dan lain sebagainya. BUMN dan BUMD diatur dalam undang-undang yang bersifat umum seperti Perjan dalam IBW maupun dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang secara khusus diterbitkan untuk menidirkan setiap masing-masing BUMN atau peraturan daerah untuk mendirikan BUMD .

2.1.2.2. Teori badan hukum

Untuk mencari dasar hukum dari badan hukum timbul beberapa teori mengenai badan hukum, antara lain :

1. Teori fictie dari von Savigny

Page 17: pAILIT 2

2. Teori harta kekayaan bertujuan (doelvermongens-theorie) dari Brinz.

3. Teori organ dari Otto von Gierke.

4. Teori propierete cellective dari Planiol (gezamenlijke vermongens – theori Molengraaf).

Secara ringkas dari keempat teori mengenai badan hukum tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa teori propiete collective berlaku untuk korporasi, badan hukum yang mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori ini tidak banyak artinya. Sebaliknya teori harta kekayaan bertujuan (doelvermongens-theorie) ini tepat untuk badan hukum Yayasan yang tidak mempunyai banyak anggota. Tetapi teori fictie yang memperumpamakan badan hukum seolah-olah sebagai manusia itu berarti sebenarnya tidak ada, sedangkan sebaliknya teori organ memandang badan hukum itu suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia.

Dalam doktrin badan hukum atau rechtpersoon (corpus habere) mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan subjek hukum lainnya seperti manusia atau natuurlijke persoon. Oleh karena itu, sangat tipis didepan hukum untuk membedakan hak dan kewajiban kedua subjek tersebut.. Meskipun badan hukum tidak dalam pengertian jus gentium, sebagaimana halnya subjek hukum manusia, diperlukan persyaratan tertentu untuk dapat dikatan memiliki rechtbevoegdheid atau kemampuan hukum (Pasal 29 KUH Perdata) .

Menurut doktrine syarat-syarat (unsur-unsur) yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum atau rechtpersoon agar memiliki kemampuan hukum selain memenuhi syarat formal yuridis juga memenuhi 4 syarat (materiil), yaitu: (1). memiliki kekayaan/ keuangan terpisah, (2). memiliki tujuan tertentu, (3). memiliki kepentingan tertentu, dan (4). mempunyai kepentingan tertentu

2.1. Karakteristik BUMN Persero

2.1.1. Pembentukan BUMN Persero Melalui Penyertaan Modal Negara

Dalam Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN disebutkan bahwa modal Persero berasal dari uang/kekayaan Negara yang dipisahkan. Dalam konsep hukum perseroan pemisahaan kekayaan Negara yang kemudian dimasukkan dalam modal Persero disebut sebagai penyertaan modal.

Dalam konsep hukum publik/hukum administrasi, penyertaan modal negara adalah pemisahaan kekayaan negara. Untuk itu diperlukan prosedur administrasi sesuai dengan aturan-aturan pengelolaan kekayaan negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas, bahwa “Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran

Page 18: pAILIT 2

Belanja dan Pendapatan Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi”.

Selanjutnya dalam Pasal 4 PP No. 44 Tahun 2005 menentukan bahwa, setiap penyertaan dari APBN dilaksanakan sesuai ketentuan bidang keuangan negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU BUMN penyertaan dari APBN harus digunakan Peraturan Pemerintah (PP) . Untuk penyertaan negara yang tidak berasal dari APBN, pada penjelasan Pasal 4 Ayat (5) UU BUMN ditegaskan dapat dilakukan dengan keputusan RUPS atau Menteri Negara BUMN dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan.

Penyertaan modal berdasarkan Pasal 5 PP No. 44 Tahun 2005 dapat dilakukan oleh negara antara lain dalam hal (a). pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas. Pendirian Persero adalah merupakan bagian dari penyertaan modal. Sebelum sebuah “penyertaan” menjadi modal Persero, diperlukan adanya syarat kajian yang mendalam tentang pentingnya “penyertaan” tersebut dilakukan. Kajian ini dilakukan 3 (tiga) menteri yakni oleh Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN dan Menteri Teknis. Secara rinci prosedur “penyertaan” diatur Pasal 10 Ayat (1) sampai Ayat (4) PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN Dan Perseroan Terbatas.

Proses berikutnya, adalah diatur dalam Pasal 12 PP Nomor 44 Tahun 2005 bahwa berdasar kajian yang layak tersebut kemudian Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendirian Persero, yang memuat pendirian, maksud dan tujuan, dan jumlah kekayaan yang dipisahkan untuk modal Persero. Jumlah antara “penyertaan negara” dengan modal harus sama. Dalam PP pendirian juga dimuat bahwa penyertaan modal Negara adalah kekayaan Negara yang dipisahkan yang berasal dari APBN Tahun Anggaran tertentu. Berdasarkan PP Pendirian ini, Menteri Negara BUMN mewakili Negara, menghadap notaris untuk memenuhi tata cara pendirian sebuah Perseroan Terbatas. Hal-hal yang termuat dalam PP Pendirian akan dimuat dalam Anggaran Dasar Persero.

Kedudukan Menteri Negara BUMN mewakili negara sebagai pemegang saham, merupakan delegasi kewenangan dari Presiden, namun proses peralihan kewenangan tidak terjadi langsung dari Presiden kepada Menteri Negara BUMN (Pasal 6 UU BUMN). Menteri Keuangan selanjutnya melimpahkan sebagian kekuasaan pada Menteri Negara BUMN, dan atau kuasa substitusinya, bertindak untuk dan atas nama negara sebagai pemegang saham. Pelimpahan ini diatur Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) Dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara “.

Setelah proses pemisahaan kekayaan negara melalui PP Pendirian selesai dilakukan, pendirian Persero selanjutnya dilakukan melalui prosedur hukum privat/hukum perseroan. Melalui prosedur hukum ini berubahlah penyertaan negara menjadi modal Persero yang berwujud saham-saham. Sejak Persero berdiri

Page 19: pAILIT 2

berdasarkan hukum privat/perseroan, Persero dianggap mempunyai hak dan kewajiban sendiri lepas dari negara. Tanggal pengesahan pendirian Persero oleh Menteri Hukum dan HAM RI, merupakan tanggal pemisahan tanggung jawab antara pemegang saham dengan Persero sebagai badan hukum (separate legal entity). Dalam hukum perseroan sebelum memperoleh status badan hukum, negara, direksi dan komisaris bertanggung jawab pribadi atas perbuatan hukum perseroan .

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja , bahwa telah terjadi transformasi hukum publik ke hukum privat yakni ketika terjadi transaksi, maksudnya adalah ketika telah ada akte pendirian PT maka sejak saat itulah telah dikuasai oleh hukum privat yakni hukum perseroan. Karena pembuatan akte pada hakekatnya adalah merupakan suatu kontrak/perjanjian, dan kontrak itu adalah merupakan suatu perbuatan hukum privat.

2.1.2. Sumber-sumber Penyertaan Modal Negara

Sumber utama penyertaan Negara adalah APBN, disamping sumber lainnya. Pada Pasal 1 angka 7 UU KN diatur bahwa yang dimaksud APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. APBN ditetapkan tiap tahun, yang berisi anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara adalah hak pemerintah, sedang belanja adalah kewajiban pemerintah .

Sumber-sumber dana untuk penyertaan negara pada BUMN diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sebagai berikut: bahwa penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: (a). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (b). kapitalisasi cadangan; (c). sumber lainnya, yaitu antara lain adalah keuntungan revalusai aset.

Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2005 memberikan pengaturan tambahan lebih luas bahwa sumber yang berasal dari APBN untuk BUMN meliputi: (a). dana segar; (b). proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN; (c). piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas , (d). aset-aset negara lainnya.

Berdasar pengaturan ini maka terdapat dua macam penggunaan “penyertaan modal negara”. Pertama, “penyertaan modal negara” yang digunakan pemerintah untuk mendirikan perusahaan, dan kedua “penyertaan modal negara” yang disebut hanya dengan penyertaan saja. Karena terkait APBN, maka semua penyertaan ini harus digunakan Peraturan Pemerintah (PP), kemudian untuk penyertaan yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya, dilakukan dengan RUPS atau oleh Menneg BUMN . Sumber-sumber lain yaitu keuntungan revaluasi aset; dan agio saham . Penjelasan Pasal 4 Ayat (5) UU BUMN menegaskan bahwa apabila sumber-sumber dana ini akan dijadikan penyertaan, tidak perlu dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, sebab berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Ayat (2) bahwa sumber dana ini telah terpisah dari APBN.

Page 20: pAILIT 2

Terkait sumber-sumber ini terdapat beberapa kemungkinan penggunaan. Secara tegas penggunaan sumber-sumber ini harus dibedakan, sebab akan terkait dengan pertanggungjawaban keuangan yang berbeda pula.

Perlu diketahui bahwa, fokus pengaturan UU BUMN dan peraturan pelaksanaannya adalah hanya pada tata cara penyertaan, sehingga diperlukan Peraturan Pemerintah (PP). Dalam penjelasan Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN menegaskan hal ini, bahwa sesudah proses penyertaan, pembinaan dan pengelolaan keuangan BUMN tidak lagi didasarkan pada mekanisme APBN, tetapi didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Batasan penggunaan mekanisme APBN adalah pada penggunaan dana tersebut. Apabila kemudian dana-dana tersebut di atas tidak dijadikan penyertaan modal, tetapi murni untuk membiayai proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan oleh BUMN, maka pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban sesuai asas-asas pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini kedudukan BUMN adalah sebagai pengguna anggaran/pengguna barang .

2.1.3. Perbandingan antara BUMN Persero dengan PT

Bahwa ada dua karakter utama yang terdapat dalam PT, yaitu (1). statusnya sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah (separate legal entity) dan (2). modal yang terbagi atas saham-saham (shares).

Pada karakter pertama, kekayaan terpisah atau separate legal entity, penting diadopsi untuk menghilangkan birokrasi dan rigiditas, yang menjadi problem pengembangan Perusahaan Negara. Dengan separate legal entity, Persero dapat memisahkan diri dari pengaruh negara, dapat melakukan tindakan hukum dalam lingkup hukum privat (privatrechthandeling) atau melakukan bisnis (bisniszakelijk) tanpa diganggu birokrasi.

Pada karakter kedua, adopsi bahwa modal Persero juga diinginkan terbagi atas saham seperti pada PT, merupakan solusi tepat dari permasalahan investasi negara pada usaha patungan atau joint venture. Dalam joint venture, jumlah modal yang diinvestasikan oleh para pihak dan kontribusi manajerial seringkali sulit dievaluasi, sehingga sering terjadi perselisihan. Dengan saham pembagian keuntungan menjadi jelas, sebab semua keuntungan dibagi secara jelas dalam bentuk deviden.

2.1.3.1. BUMN Persero Identik dengan PT

Apakah BUMN Persero itu sebenarnya suatu bentuk tersendiri yang sama dengan PT ataukah BUMN Persero itu “identik” dengan PT. Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya lihat kembali pada Lampiran Inpres No. 17 tahun 1967, khususnya pada poin 2 yang menyatakan bahwa “status hukumnya sebagai badan hukum perdata yang berbentuk Perseroan Terbatas”. Kemudian dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1969 dinyatakan bahwa “Persero” adalah perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas seperti diatur menurut ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD, Stb. 1847: 23, sebagaimana yang telah beberapa

Page 21: pAILIT 2

kali diubah dan ditambah), baik yang untuk saham-sahamnya untuk sebagian maupun seluruhnya dimiliki negara”. Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1969 dalam Pasal 1, menyebutkan bahwa bentuk Persero sebagai “Perseroan Terbatas”. PP tersebut melaksanakan UU No. 9 Tahun 1969 menyebutnya Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) dan Perseroan (Persero) tidak ada bedanya, hanya yang terakhir ini disebut dengan Perusahaan Perseroan (Persero) dikarenakan adanya uang negara yang telah disisihkan khusus untuk itu dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan umum PP No. 12 Tahun 1969, dinyatakan bahwa PP ini tidaklah dimaksudkan untuk dijadikan suatu peraturan perundang-undangan “suigeneris” bagi Persero disamping ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847: 23).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU PT disebutkan, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian tersebut, saya sependapat dengan Rudhi Prasetya dan Arifin P. Soeria Atmadja bahwa Persero itu tidak lain adalah identik dengan Perseroan Terbatas (PT). Apalagi dalam UU PT No. 40 tahun 2007 Pasal 1 angka 1 tersebut jelas-jelas menyebut Perseroan Terbatas dengan kata “Perseroan”, demikian juga dalam penjelasan umumnya.

Dalam Pasal 5 PP No. 12 tahun 1969, dinyatakan akta pendiriannya harus di buat di hadapan notaris. Dalam hubungan ini, Pasal 3 jo. Pasal 5 nya menunjuk Menteri Keuangan atau Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha Persero sebagai yang diserahi kekuasaan oleh Menteri Keuangan atau Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan lapangan usaha Persero sebagai yang diserahi kekuasaan oleh Menteri Keuangan mewakili negara sebagai pendiri.

Dalam praktik, bahkan diikuti pula prosedur dimintakan pengesahan Menteri Kehakiman, didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara sebagaimana PT biasa.

2.1.3.2. Tata cara pendirian BUMN Persero

Tata cara pendirian BUMN Persero pada dasarnya sama dengan tata cara pendirian sebuah PT. Hal ini merupakan konsekuensi hukum pengaturan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 11 UU BUMN, pada BUMN Persero berlaku prinsip-prinsip hukum PT. Persamaan tersebut, adalah mulai dari pembuatan akta notaris, pengesahan Menkum dan HAM RI, pendaftaran perusahaan dan pengumuman pada Tambahan Berita Negara.

Page 22: pAILIT 2

Kemudian di dalam Pasal 11 disebutkan, terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Berdasarkan Pasal 160 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka sejak tanggal 16 Agustus 2007 UU No. 1 Tahun 1995 mengenai PT sudah tidak berlaku lagi. Sehingga ketentuan Pasal 11 UU BUMN ini kemudian tentunya mengacu pada ketentuan yang baru yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 160 UU No. 40 tahun 2007, tentang PT maka untuk pendirian BUMN Persero berlakulah semua ketentuan yang ada dalam Bab II (Pasal 7-29) UU No. 40 tahun 2007, tentang PT. Tata cara pendirian PT yang diatur oleh UU PT merupakan standar yang harus diikuti bagi semua badan usaha yang akan mengambil karakter PT sebagai suatu badan hukum (legal entity). Oleh karena itu pendirian suatu perseroan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang telah ditetapkan, antara lain bahwa : ‘Perseroan didirikan dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”.

2.1.3.3. Ketentuan khusus atau Pengecualian dalam Pendirian BUMN Persero

Pada prinsipnya seluruh ketentuan yang mengatur mengenai pendirian Perseroan adalah sama dengan pendirian PT. Namun demikian bila dikaji lebih dalam memang ada satu ketentuan khusus yang merupakan pengecualian bagi Perseroan.

Perbedaan tersebut adalah terkait dengan jumlah pendiri atau pemegang saham dan dari mana asal modal tersebut atau siapa pemilik modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (7) poin (a) UU PT yang baru yakni Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Ketentuan ini lahir sebagai revisi terhadap UU PT No. 1 tahun 1995 yang sebelumnya tidak mengatur hal ini, jadi Pasal 7 Ayat (7) huruf (a) ini merupakan ketentuan baru yang telah disesuaikan dengan UU BUMN.

Di dalam UU PT terdapat beberapa ketentuan yang merupakan pengecualian atau dapat juga dikatakan sebagai penyimpangan. Khusus untuk pendirian Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara (selanjutnya dikategorikan PT Tertutup), dalam UU PT terdapat pengaturan khusus yang berbeda dengan UU PT tahun 1995 yang telah dicabut berlakunya dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang PT. Pengaturan ini merupakan pengaturan perkecualian yang hanya berlaku bagi PT-PT yang seluruh sahamnya dimiliki Negara, disamping PT-PT yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain yang diatur Undang-undang Pasar Modal. Di dalam Pasal 7 Ayat (7) UU PT ditentukan bahwa:

“Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi :

Page 23: pAILIT 2

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau

b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal”.

Berdasarkan pengaturan ini, dapat dikatakan bahwa pengaturan Pasal 7 Ayat (1) UU PT mengenai syarat pendirian PT “dua orang atau lebih” tidak diperlukan pada pendirian Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, tetapi tetap berlaku untuk Persero yang hanya sebagian saja modalnya dimiliki negara (selanjutnya dikategorikan menjadi PT Terbuka).

Pengaturan Pasal 7 Ayat (7) UU PT merupakan pengaturan perkecualian. Pengaturan demikian tentu menyimpangi konsep perseroan sebagai asosiasi modal. Berdasarkan pengaturan ini pula Pasal 7 Ayat (5) dan Ayat (6) UU PT menjadi tidak berlaku. Selain itu Pasal 7 Ayat (7) huruf (a) UU PT juga bertentangan dengan Pasal 36 Ayat (1) UU PT yang menentukan bahwa, “perseroan dilarang mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri”. Penerbitan saham adalah suatu upaya pengumpulan modal dimana dalam Pasal 1 angka 1 UU PT ditentukan dengan tegas bahwa “PT adalah badan hukum persekutuan modal”, dan oleh karena itu wajar apabila penyetoran saham-saham seharusnya dilakukan oleh banyak pihak. Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (7) UU PT ditegaskan bahwa pengaturan demikian berlatar belakang karena status dan karakteristik yang khusus dari PT yang akan didirikan.

Sebagai asumsi sementara dapat dikatakan bahwa pendirian Persero dengan seluruh saham milik negara, sengaja tidak didasari oleh alasan asosiasi modal, tetapi hanya mengambil manfaat dari karakter sebuah PT. Untuk itu tatacara pendiriannya persis sama dengan tatacara pendirian PT umumnya. Persero demikian dapat disejajarkan dengan pendirian PT Tertutup atau one man business, yang memang tidak berkehendak adanya partisipasi pihak luar. Hal inilah yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (7) UU PT dengan penyebutan mempunyai “status dan karakteristik yang khusus”. Karena kekhususan ini pulalah maka pendirian Persero dapat didirikan oleh Menteri Negara BUMN saja.

2.1.1. Modal BUMN Persero

Mengenai modal BUMN Persero seluruhnya atau minimal 51% merupakan milik negara yang berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan. Sebagai dasar hukum modal Persero adalah UU BUMN Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 4 dan penjelasannya serta Pasal 34 untuk Perseroan Terbuka berlaku UU No. 40 tahun 2007 tentang PT.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN disebutkan bahwa perusahaan perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 %

Page 24: pAILIT 2

sahamnya dimiliki Negara Republik Indonesia yang tujuannya mengejar keuntungan.

Selanjutnya Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Yang dimaksud dengan “kekayaan negara yang dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Mengenai penyertaan modal negara ke dalam BUMN diatur oleh Pasal 4 Ayat (2) UU BUMN jo. Pasal 1 angka 7 jis. Bab II (Pasal 10-13) PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: (a).Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (b).Kapitalisasi cadangan. (c). Sumber lainnya, antara lain adalah keuntungan revaluasi aset dan/atau agio saham.

Penyertaan Modal Negara (PMN) adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau PT lainnya, dan dikelola secara korporasi.

Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau PT yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan PP. Hal ini secara khusus diatur dalam Pasal 4 Ayat (3) UU BUMN. Pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke dalam modal BUMN tersebut, sehingga setiap penyertaan tersebut perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU BUMN, dibentuklah PP Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2005, dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4555.

Demikian juga, setiap ada perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau Perseroan Terbatas, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) .

Penambahan penyertaan dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya cukup dengan keputusan RUPS/ Menteri dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan karena pada prinsipnya kekayaan negara tersebut pada prinsipnya telah terpisah dari APBN .

Page 25: pAILIT 2

Selanjutnya, karena menurut Pasal 11 UU BUMN menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang PT yang telah di cabut berlakunya berdasarkan Pasal 160 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT, maka segala hal yang terkait dengan ketentuan mengenai modal BUMN selain berlaku ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 4 Ayat (1)-(6) UU BUMN juga berlaku semua ketentuan mengenai modal dalam UU PT No. 40 tahun 2007.

Dalam Bab III UU PT No. 40 tahun 2007 mengatur mengenai Modal dan Saham (Pasal 31-47 mengatur tentang Modal) dan (Pasal 48-62 tentang Saham).

Pasal 31 UU PT menyebutkan modal perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham, tetapi tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal mengatur modal perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.

Modal Perseroan paling sedikit berjumah Rp 50.000.000,-, tetapi dalam undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar tersebut sehingga pengaturan minimum dalam Undang-undang Perseroan ini merupakan bagian modal yang harus dimiliki oleh para pendiri.

Modal perseroan dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu : Modal dasar (Authorized Capital atau Equity), modal yang ditempatkan (Issued capital), modal yang disetor (Paid up Capital).

2.1.2. Kepengurusan Satu Organ Dalam BUMN Persero

Persero adalah badan hukum yang berbentuk PT. Kepengurusan PT dilakukan oleh suatu ‘organ’, yaitu lembaga tersendiri yang mempunyai kedudukan terpisah dari para pemegang saham . Demikian juga dengan Persero.

Berdasar Pasal 13 UU BUMN jo. Pasal 1 angka 2 UU PT, Organ Persero/ PT terdiri dari 1) RUPS; (2) Direksi; dan (3) Dewan Komisaris.

Kedudukan negara pada persero adalah pemegang saham. Sebagai pemegang saham, negara dapat menyalurkan kepentingannya melalui RUPS. Kedudukan negara terpisah dari direksi persero, yaitu sebagai organ yang menjalankan kepengurusan yang dilakukan direksi persero. Negara tidak dapat ikut campur dalam kepengurusan yang dilakukan direksi persero. Negara dapat ikut campur dalam persero, hanya dengan cara menggunakan hak-haknya sebagai pemegang saham dalam RUPS.

Pasal 1 Ayat (4)-Ayat (6) UU PT memberikan definisi tentang ketiga lembaga atau organ-organ ini sebagai berikut:

Page 26: pAILIT 2

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.

Dalam konsep hukum perseroan, hubungan hukum organ-organ Persero yaitu RUPS, direksi dan dewan komisaris berdiri sendiri-sendiri. Berhasil tidaknya suatu persero bergantung pada organ-organ ini. Masing-masing organ mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sendiri menurut dan dalam batas yang diatur dalam UU PT dan Anggaran Dasar. Kedudukan ketiganya adalah sejajar atau neben dan bukan untergeordnet . Pengaturan umum organ perseroan diatur dalam UU PT, sedangkan lebih detil diatur dalam Anggaran Dasar perseroan yang umumnya disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing usaha perseroan.

2.1.2.1. Kewenangan dan tanggung jawab direksi dalam hal kepailitan BUMN Persero

Khusus mengenai kedudukan direksi berdasarkan Pasal 92 Ayat (1) UU PT diatur bahwa, “direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”. Penjelasan Pasal 92 Ayat (1) UU PT menegaskan bahwa, “ketentuan ini menugaskan direksi untuk mengurus perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan”. Maksud pengurusan sehari-hari tidak dijelaskan oleh UU PT. Namun dalam Pasal 1 angka 12 PP No. 45 Tahun 2005 diatur bahwa, “Pengurusan adalah kegiatan yang dilakukan oleh direksi dalam upaya mencapai maksud dan tujuan perusahaan”.

Berdasar pengaturan-pengaturan di atas dapat dikatakan, mengurus perseroan semata-mata adalah kewenangan penuh direksi yang tidak dapat dicampuri organ lain. Pengaturan-pengaturan ini juga memberikan pedoman kepada direksi agar di dalam mengurus perseroan selalu berorientasi pada maksud dan tujuan perseroan.

Pada sisi lain kebebasan direksi dalam mengurus perseroan dijamin oleh Pasal 92 Ayat (2) UU PT yang menentukan bahwa, direksi dalam pengurusan perseroan dapat mengambil kebijakan yang dipandangnya tepat, yang dalam sistem common law hal ini dikenal dengan “duty to retain discretion ”. Kebijakan yang dipandang tepat berdasar Penjelasan Pasal 92 Ayat (2) UU PT adalah kebijakan yang didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. Pada Pasal 92 Ayat (3) UU PT ditentukan bahwa, direksi dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang. Dalam hal direksi terdiri atas

Page 27: pAILIT 2

lebih dari satu orang maka salah satu diangkat sebagai direktur utama, dan selebihnya sebagai wakil-wakil direktur .

Wewenang direksi dalam pengurusan atau day to day operation perseroan dapat dikategorikan dalam tiga hal yaitu mengatur dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan usaha perseroan; mengelola kekayaan perseroan; dan mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan .

Dari ketiga hal di atas dapat dikatakan bahwa direksi mempunyai 2 (dua) macam kewenangan yaitu pengurusan dan perwakilan . Sehubungan dengan hal ini perlu diketahui bahwa pengurusan perseroan pada dasarnya adalah kewajiban semua anggota direksi tanpa kecuali (collegiale bestuurs-verantwoordelij kheid). Termasuk sebagai kewajiban direksi dalam pengurusan atau day to day operation perseroan.

Sedangkan tanggung jawab direksi diatur dalam Pasal 97, 100, 101, dan 102 UU PT jo. Pasal 19, 21, 22, 23, 26 UU BUMN . Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan. Pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud, wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila antara lain: dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Dalam hukum perusahaan, dikenal adanya teori Business Judgment Rule, yaitu suatu doktrin yang menetapkan bahwa direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat kehati-hatian. Dengan prinsip ini, direksi mendapatkan perlindungan sehingga tidak perlu mendapat justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan UU PT ini pada dasarnya menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiasp-tiap anggota direksi berwenang mewakili perseroan. Namun, untuk kepentingan perseroan, anggaran dasar dapat menentukan bahwa perseroan diwakili oleh anggota direksi tertentu .

Business jugment rule ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan bagi direksi agar dalam melakukan tugasnya tidak perlu takut terhadap ancaman tanggung jawab pribadi. Dengan kata lain, business jugment rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu hati-hati . Menurut Taqyudin Kadir, direksi tidak perlu takut mengambil keputusan bisnis sepanjang keputusan yang diambil berdasarkan itikad baik dan tidak melanggar fiduciary duty serta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .

Prinsip tersebut juga mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bidang bisnis ketimbang direksi. Hal ini disebabkan para hakim pada umumnya tidak memiliki ketrampilan kegiatan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.

Page 28: pAILIT 2

Namun business jugment rule hanya berlaku terhadap pertimbangan atau keputusan bisnis, termasuk keputusan untuk tidak bertindak. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan ketika tidak ada keputusan bisnis yang diambil. Akan tetapi, sejauhmana business jugment rule dapat diterapkan oleh pengadilan di luar konteks pengambilan keputusan, hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan .

Selanjutnya mengenai tanggung jawab direksi dalam hal kepailitan perseroan sebagimana diatur dalam Pasal 104 Ayat (1)-(5) UU PT. Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (UUK dan PKPU). Permohonan kepailitan diajukan ke pengadilan niaga.

Dalam hal kepailitan terhadap perseroan karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila antara lain dapat membuktikan kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian direksi, gugatan diajukan ke pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU). Keseluruhan ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pailit pihak ketiga.

2.1.2.2. Kewenangan dan tanggung jawab komisaris dalam hal kepailitan Perseroan

Dalam Pasal 1 angka 7 UU BUMN menyebutkan, komisaris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan persero. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka 6 UU PT yang menyatakan bahwa dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar swerta memberi nasihat kepada direksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU PT dapat dikatakan bahwa adanya dewan komisaris merupakan keharusan .

Page 29: pAILIT 2

Selanjutnya tugas komisaris diatur dalam Pasal 31- 32 UU BUMN jo. Pasal 108 UU PT. Dalam Pasal 31 UU BUMN menyatakan bahwa komisaris bertugas mengawasi direksi dalam menjalankan kepengurusan Persero serta memberikan nasihat kepada direksi. Komisaris dalam melakukan tugasnya berkewajiban antara lain memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai rencana kerja dan anggaran perusahaan yang diusulkan direksi; mengikuti perkembangan kegiatan persero, memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan Persero;

Kewenangan komisaris yang diatur dalam UU PT adalah selaras dengan ketentuan dalam UU BUMN. Tugas utama dewan komisaris berdasar Pasal 108 Ayat (1) UUPT adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan yang dijalankan direksi, dan memberi nasihat kepada direksi. Menurut Fred Tumbuan, dewan komisaris tidak mempunyai peran dan fungsi executive.

Meskipun dalam anggaran dasar ditentukan bahwa dalam hal-hal tertentu direksi harus mendapat persetujuan dewan komisaris, namun persetujuan tersebut tidak termasuk pengurusan .

Dewan komisaris adalah organ pengawas mandiri yang tidak dikenal dalam sistem common law. Meskipun istilah Board of Directors pada sistem common law yang terbagi atas executive/managing directors dan non-executive directors memberi kesan bahwa badan tersebut mirip dewan komisaris, namun kemiripan tersebut semu karena pada hakikatnya Board of Directors dimaksud adalah organ executive.

Kewenangan pengawasan yang dipercayakan kepada dewan komisaris adalah demi kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 108 Ayat (2) UU PT bahwa pengawasan yang dilakukan dewan komisaris bukan pengawasan yang mewakili pemegang saham.

Dewan komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 Ayat (1) UU PT . Setiap anggota dewan komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 Ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (ayat 2).

Setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila dewan komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian pada perseroan karena pengurusan yang dilakukan oleh direksi, anggota dewan komisaris tersebut ikut bertanggung jawab sebatas dengan kesalahanatau kelalaiannya. Dalam hal dewan komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota dewan komisaris atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris .

Page 30: pAILIT 2

Akan tetapi anggota dewan komisaris tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 3 apabila dapat membuktikan anatara lain telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Selanjutnya mengenai tanggung jawab komisaris dalam hal kepailitan diatur dalam Pasal 115 Ayat (1)-(3) UU PT. Bahwa dalam hal terjadi kepailitan yang disebabkan oleh adanya kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

Pasal 115 Ayat (3) UU PT menyebutkan, anggota dewan komisaris tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan antara lain: kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik, kehati-hatian, untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

2.3.5.3. Kewenangan RUPS dalam kepailitan BUMN Persero

RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam UU PT dan/atau anggaran dasar .

Kewenangan RUPS adalam BUMN Persero diatur dalam Pasal 14 UU BUMN. Dalam Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan bahwa Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki negara.

Bagi Persero yang seluruh modalnya (100%) dimiliki oleh negara, Menteri yang ditunjuk mewakili negara selaku pemegang saham dalam setiap keputusan tertulis yang berhubungan dengan Persero adalah merupakan keputusan RUPS. Bagi Persero dan perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki negara kurang dari 100%, Menteri berkedudukan selaku pemegang saham dan keputusannya diambil bersama-sama dengan pemegang saham lainnya dalam RUPS.

Selanjutnya Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Yang dimaksud ”perorangan” adalah seseorang yang menduduki jabatan di bawah Menteri yang secara teknis bertugas membantu Menteri selaku pemegang saham pada Persero yang bersangkutan. Namun demikian, dalam hal dipandang perlu, tidak menutup kemungkinan kuasa juga dapat diberikan kepada badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan .

Page 31: pAILIT 2

Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai:(a). perubahan jumlah modal; (b). perubahan anggaran dasar, (c). rencana penggunaan laba, (d). penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran, (e). investasi dan pembiayaan, (f). kerja sama Persero, (g). pembentukan anak perusahaan, dan (h). pengalihan aktiva.

Meskipun kedudukan Menteri selaku wakil pemerintah telah dikuasakan kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, untuk hal-hal tertentu penerima kuasa wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri sebelum hal-hal dimaksud diputuskan dalam RUPS. Hal ini perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Meneteri mengingat sifatnya yang sangat sytrategis bagi kelangsungan persero.

Dalam UU PT, RUPS diatur dalam Bab VI, Pasal 75- Pasal 91. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) UU PT dapat dikatakan bahwa RUPS atau General Meeting of Shareholders mempunyai kekuasaan yang tidak dimiliki oleh direksi dan komisaris. Hal ini tampak pada kewenangan-kewenangan RUPS yang memang tidak dapat diserahkan pada direksi dan komisaris antara lain: mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris; memperoleh semua keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan atau komisaris; menetapkan perubahan anggaran dasar; dan menyetujui atau menolak konsolidasi, merger, akuisisi, kepailitan dan pembubaran perusahaan. Kewenangan-kewenangan RUPS tersebut adalah kewenang an berdasarkan UU PT. Seperti diketahui, selain berdasarkan UU PT, kewenangan-kewenangan organ perseroan juga diatur dalam anggaran dasar.

RUPS merupakan tempat para pemegang saham menyalurkan kepentingannya. Oleh karena itu keputusan-keputusan penting terkait “kepentingan pemegang saham” harus melalui mekanisme RUPS. Fred Tumbuan menyatakan bahwa, RUPS adalah tempat para pemilik modal menentukan orang yang akan dipercaya mengurus perseroan yaitu direksi dan dewan komisaris . Pada sisi yang lain konstruksi RUPS adalah sesuai dengan karakteristik PT sebagai asosiasi modal, yang memungkinkan saham dimiliki orang banyak. RUPS merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan agar pemegang saham tidak ikut campur secara langsung dalam kepengurusan PT. Selain itu RUPS juga merupakan penghalang direksi agar direksi tidak bertindak sewenang-wenang.

Kewajiban menyelenggarakan RUPS ada pada direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan Pasal 80 Ayat (1) UU PT, apabila direksi dan atau dewan komisaris menolak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu yang ditentukan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS.

RUPS berwujud rapat pemegang saham. Namun khusus untuk Persero Tertutup, yang seluruh sahamnya dimiliki negara, wujud RUPS tidak selalu dalam bentuk rapat pemegang saham. Organ RUPS digantikan oleh Menteri Negara BUMN.

Page 32: pAILIT 2

Penggantian ini tidak bersifat prinsipiil, artinya bahwa penggantian ini tidak bertentangan dengan konsep RUPS dalam hukum perseroan. Hal ini dilakukan untuk efisiensi .

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya RUPS mempunyai dua fungsi yaitu : (1). sebagai lembaga kontrol dalam wujud menerima pertanggung jawaban direksi dan dewan komisaris; dan (2). sebagai tempat pemegang saham menyalurkan kepentingannya.

2.1.3. Berlakunya Hukum Privat pada BUMN Persero

Untuk menjawab pertanyaan sesungguhnya sampai sejauh mana berlakunya hukum privat pada Persero, bahwa memang ada beberapa hal atau aspek yang perlu dikemukakan terkait dengan keberlakuan hukum privat pada Persero, yaitu antara lain mengenai: (1) pendirian persero, itu harus melalui akte notaris, (2) dengan kepengurusan satu organ, yang terdiri dari 3 organ yakni RUPS, direksi dan dewan komisaris, dan (3) konsep negara sebagai pemegang saham.

Karena poin 1 dan 2 tersebut telah saya bahas sebelumnya pada poin 2.3.3.2. dan poin 2.3.5, maka disini saya langsung pada poin 3 (ketiga), tentang konsep negara sebagai pemegang saham. Mengenai keberlakuan hukum privat pada Persero adalah pada konsep negara sebagai pemegang saham. Bahwa dalam konsep Negara sebagai pemegang saham, ini terkait dengan 3 hal yaitu bahwa : (1). Kekayaan Persero dalam separate legal entity, (2). Pertanggungjawaban terbatas pada saham, (3). Hak-hak negara sebagai pemegang saham.

‘2.1.1. Kekayaan BUMN Persero dalam separate legal entity

Pada Persero berlaku prinsip-prinsip hukum PT (Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 11 UU BUMN). Untuk itu seluruh sifat dan karakter PT sudah “seharusnya” menjadi sifat dan karakter Persero. Kemandirian PT yang tidak lain juga kemandirian Persero sebagai separate legal entity, memberi pemahaman bahwa “penyertaan modal negara” dalam Persero merupakan kekayaan Persero, dan bukan lagi kekayaan Negara.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU PT, PT ditentukan sebagai badan hukum atau legal entity atau rechtspersoon yang dibedakan dari natural person. Ketentuan ini penting sebab tidak semua badan usaha merupakan badan hukum. Sebagai contoh Maatschap, perseroan Firma dan Commanditaire Venootschap (CV) adalah bukan badan hukum. Status badan hukum diperoleh bila undang-undang tegas menetapkan tentang hal itu.

Oleh karena itu sebagai badan hukum PT dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya manusia dan dapat mempunyai harta kekayaan sendiri. Untuk memperjelas hal ini, akan saya uraikan sedikit tentang teori badan hukum. Bahwa badan hukum adalah segala sesuatu berdasarkan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum. Teori-teori hukum tentang badan hukum berusaha memberikan rasionalisasi yang mensejajarkan kedudukan badan

Page 33: pAILIT 2

hukum dengan manusia. Tujuannya adalah agar “hak-hak dan kewajiban” yang dimiliki, atau “perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dilakukan” atau “tanggung jawabnya” sama dengan manusia.

Beberapa teori tentang badan hukum, misalnya oleh Von Savigny dengan teori fiksi bahwa badan hukum adalah suatu fiksi, buatan pemerintah, tidak riil. Oleh karena itu dalam melakukan perbuatan hukum harus diwakili manusia . Van Praag, menyatakan bahwa sesungguhnya dalam sistem hukum modern, badan hukum itu adalah suatu pengertian yuridis tertentu, yaitu adanya suatu badan yang diakui sebagai persoon yang dapat menjalankan tindakan hukum, terlepas dari manusia orang perorangannya .

Rudhi Prasetya membedakan badan hukum publik (publiekrechtelijke rechtspersoon) dan badan hukum privat (privatrechtelijke rechtspersoon) . Pembedaan ini tidak penting, tetapi sangat bermanfaat untuk mengetahui batas-batas keberlakuan antara hukum privat dan hukum publik. Dikatakan bahwa dalam badan hukum privat secara otomatis hanya berlaku hukum privat, tetapi dalam badan hukum publik tidak berarti hanya berlaku hukum publik, sebagaimana dijelaskan van Praag dalam bukunya Rudhi Prasetya tentang Kedudukan Mandiri PT.

Konsekuensi PT adalah badan hukum, membawa dampak yang sangat kuat. PT harus dianggap sebagai subyek hukum yang mandiri (persona standi in judicio). Kedudukan ini berakibat bahwa PT mempunyai kewenangan sama seperti manusia atau “have same powers as an individual to do all things necessary or convinient to carry on business or affairs” . PT mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah (separate) dari para pendirinya. Kedudukan pendiri adalah pemegang saham. Hutang PT adalah bukan hutang para pemegang saham. Tanggung jawab PT hanya terbatas pada jumlah saham yang ditanamkan pada PT.

Awal mula pengakuan kemandirian PT atau a new legal entity seperate from its shareholders, digambarkan oleh Philip N. Pilai mengacu putusan hakim tahun 1897 di Inggris pada kasus “Salomon v. Salomon & Co Ltd” . Dalam kasus ini Salomon, a boot shoe manufacturer adalah sebuah firma dan Salomon & Co Ltd adalah PT (limited). Penjualan atau pengalihan (conversion) bentuk firma menjadi perseroan terbatas merupakan dasar (foundation) hukum perusahaan modern (modern company law) . Melalui kasus ini dapat dipelajari bahwa ‘satu orang’ saja cukup untuk mengambil manfaat dari karakter separate legal entity dan sistem pertanggungan jawab terbatas (limited liabilty) yang dimiliki sebuah PT.

2.1.2. Pertanggungjawaban Terbatas pada Saham

Sistem pertanggungjawaban terbatas hanya sampai harta PT, diatur Pasal 3 Ayat (1) UU PT bahwa: “Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya”. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa, “ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (1) mempertegas ciri perseroan terbatas, bahwa pemegang saham hanya

Page 34: pAILIT 2

bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya”.

Yang menjadi kunci pokok dalam sistem pertanggungjawaban terbatas (limited liability) adalah memperkecil resiko kerugian pribadi yang mungkin timbul dari suatu jenis usaha. Karena sistem inilah kemudian bentuk PT. banyak dipilih bahkan pemerintah pun memilih bentuk PT ini untuk PERTAMINA misalnya. Bahkan dapat saja seorang pemegang saham juga berkedudukan sebagai pemegang saham dari PT-PT lain. Seorang pendiri, dalam hal ini negara dapat saja mendirikan dua, tiga atau lebih PT untuk satu jenis usahanya.

Setelah kasus Salomon, para hakim baik di Amerika maupun di beberapa negara common law system lain mengijinkan membuka sistem pertanggung jawaban terbatas yang dikenal dengan “cadar perseroan” atau ‘corporate veil’ dalam kondisi tertentu. Sebab dari kasus Salomon dipelajari bahwa telah terjadi penyalahgunaan konsep separate legal entity dan prinsip pertanggungan jawab terbatas (limited liability) dalam PT. Piercing the corporate veil tumbuh untuk mengantisipasi penyalahgunaan badan hukum yang dalam konsep hukum perseroan Belanda disebut dengan misbruik van rechtpersonnen.

Piercing the corpoorate veil telah diadopsi oleh Pasal 3 UU PT Tahun 1995 yang telah dicabut dan juga Pasal 3 Ayat (2) UU PT yang baru No. 40 Tahun 2007. Ketentuan Pasal 3 Ayat (2) tersebut dimaksudkan bahwa, pertanggungjawaban terbatas tidak berlaku apabila pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan PT untuk kepentingan pribadi, dan atau pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT dan atau pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan PT yang mengakibatkan kekayan PT menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang PT.

Pengaturan Pasal 3 UU PT merupakan pengaturan yang bersifat preventif terhadap penyalahgunaan bentuk PT atau misbruik van rechtpersonen. Dalam keadaan demikian apabila kekayaan PT atau Persero tidak cukup untuk membayar utang-utangnya, maka sudah sewajarnya bila pemegang saham/negara harus trurut dipertanggungjawabkan secara pribadi. Di Amerika Serikat, bila terjadi penyalah gunaan korporasi (abuse atau fraud of the limited liabilty corporatie), maka veil piercing berlaku, yang dengan kata lain tidak berlaku lagi pertanggungjawaban terbatas .

Dalam hal kepailitan di Belanda diterbitkan undang-undang yang dikenal Wet op Misbruik van Rechtpersonen. Dalam undang-undang ini diatur tentang tanggung jawab pengurus secara pribadi bila kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar utang-utangnya, tetapi harus dibuktikan hal-hal berikut : pengurus nyata-nyata tidak melaksanakan tugasnya secara pantas (wanneer het bestuur zijn taak kennelijk onbehoorlijk heeft vervuld), dapat diperkirakan penyebab utama dari kepailitan adalah ketidak pantasan pengurus dalam menjalankan tugasnya (en aanemelijk is dat dit een belangrijke oorzaak is van het failisement).

Page 35: pAILIT 2

Pada sisi lain secara ekonomis sistem pertanggungjawaban terbatas PT merupakan stimulan untuk mendorong kesediaan seseorang menanamkan modalnya dalam PT . Karena makna “terbatas” mangandung arti dua keterbatasan yaitu pada pada PT terbatas hanya sampai pada harta kekayaan PT, dan pada pemegang saham, terbatas pada sahamnya saja. Keuntungan lain dari sisi pertanggungjawaban terbatas PT, adalah bahwa pemegang saham pada saat menanamkan sahamnya pada sebuah PT, dapat memperhitungkan terlebih dahulu maksimal resiko kerugian yang mungkin terjadi. Untuk itu Rudhi Prasetya menuliskan bahwa pertanggung jawaban terbatas adalah mutlak dilekatkan pada PT terkait dengan sifat PT sebagai asosiasi modal.

2.1.3. Hak-hak Negara sebagai Pemegang Saham

Penyetoran modal baik pada saat pendirian maupun saat penambahan modal PT merupakan suatu penyertaan yang hanya dapat dilakukan dalam bentuk pembelian saham-saham. Konsekuensi dari adanya lembaga saham ini, maka ketika negara menyertakan modalnya dalam Persero, harus pula dilakukan melalui “pembelian saham-saham”. Demi hukum kekayaan negara yang dipisahkan itu menjadi kekayaan Persero, bukan lagi menjadi kekayaan negara. Kedudukan negara sejak saat itu berubah menjadi pemegang saham yang kedudukannya sejajar dengan pemegang saham lain.

Dalam kedudukan sebagai pemegang saham, negara dapat menggunakan hak-haknya seperti pemegang saham umumnya. Hal tersebut diatur dalam UU PT dan anggaran dasar perseroan. Untuk Persero, maka negara sebagai pemegang saham diatur dalam UU PT dan anggaran dasar Persero. Isi anggaran dasar Persero sama dengan anggaran dasar PT umumnya, karena Depkum dan HAM menetapkan acuan standar pembuatan anggaran dasar PT yang berlaku untuk semua jenis PT.

Hak-hak pemegang saham terkait dengan kewenangan-kewenangan yang dimiki RUPS, deviden dan hak lain. Kewenangan RUPS pada umumnya terkait pada keberlangsungan perseroan. Deviden merupakan hak pemegang saham terkait keuntungan perseroan. Hak lain terkait hak gugat pemegang saham perseroan.

Dalam Pasal 52 Ayat (1) UU PT ditentukan bahwa saham memberikan hak-hak mendasar terkait kepentingan pemegang saham pada perseroan yaitu, penggunaan hak suara, dividen dan hak lain sebagai berikut: menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang.

Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS adalah hak pemegang saham terkait dengan kewenangan RUPS yang tidak diberikan pada direksi dan komisaris. Kewenangan-kewenangan ini terkait dengan keberlangsungan perseroan antara lain: mengubah anggaran dasar (Pasal 19 Ayat (1) dan Pasal 88 UU PT), menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perseroan (Pasal 89 Ayat (1) UU PT), mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris (Pasal 94 Ayat 91 jo. Pasal 111 Ayat (1) UU PT); dan mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS. (Pasal 91 UU PT dan penjelasannya).

Page 36: pAILIT 2

Perubahan anggaran dasar merupakan hal penting terkait dengan tata organisasi perseroan. Oleh karena itu selain harus ditetapkan oleh RUPS, perubahan anggaran dasar berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU PT harus mendapatkan persetujuan Menkum dan HAM dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara.

Penggunaan hak suara dalam RUPS dipengaruhi oleh klasifikasi saham. Artinya bahwa saham dengan klasifikasi berbeda memberikan hak yang berbeda pula pada pemegangnya. PT dapat mengeluarkan satu atau lebih klasifikasi saham. Bila anggaran dasar tidak menentukan lain, dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara atau one share one vote (Pasal 84 Ayat (1) UU PT).

Selain hak suara dalam RUPS, hak-hak penting lain pemegang saham adalah keuntungan. Ada tiga macam keuntungan yang dapat diharapkan oleh para pemegang saham yaitu (a). pembagian keuntungan tahunan yang disebut dividen, (b). keuntungan dari capital gain, khusus untuk PT terbuka, (c). pembagian sisa harta kekayaan PT dalam hal PT bubar.

Deviden merupakan hak pemegang saham atas bagian keuntungan dari perseroan yang setiap akhir tahun dibagikan kepada para pemegang saham, namun demikian dividen tidak selalu dapat dibagikan setiap tahun. Dalam Pasal 71 Ayat (2) UU PT ditentukan bahwa dividen merupakan keseluruhan laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana yang dibagikan kepada pemegang saham. Pembagian sebagian atau seluruh laba bersih untuk dividen, cadangan, dan/atau pembagian lain seperti tantiem (tantieme) untuk anggota direksi dan dewan komisaris, serta bonus untuk karyawan, harus mendapatkan persetujuan RUPS. Bila laba bersih perseroan tidak cukup menutup kerugian tahun buku sebelumnya, perseroan tidak dapat membagi dividen.

III. HUKUM KEUANGAN BUMN PERSERO

3.1. Paradigma Keuangan Negara

Untuk menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud dengan istilah keuangan negara, dan dimanakah hal keuangan negara ini diatur, kita dapat merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Mengenai keuangan negara dalam UUD 1945 diatur dalam Bab VIII, tentang hal “Keuangan”, Pasal 23 sebagai berikut :

1. APBN ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-undang. Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu;

2. segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang;

3. macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang;

4. hal keuangan negara selajutnya diatur dengan undang-undang;

Page 37: pAILIT 2

5. untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara tidak pernah secara tegas mendefinisikan dan memberikan batas hukum keuangan negara. Sebelum ditetapkannya paket peraturan perundang-undangan keuangan negara pada medio 2003-2006 , Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK) sebagai lembaga pemeriksa eksternal pemerintah, mendefinisikan keuangan negara sebagai seluruh objek pemeriksaan BPK sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK). Dengan kata lain, rumusan normatif mengenai keuangan negara tidak pernah ditentukan dalam ketentuan batang tubuhnya, tetapi terdapat pada penjelasannya .

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja bahwa;

“peranan hukum keuangan negara pada saat ini tengah diuji untuk memberikan pemahaman yang komprehensif-teoritis-praktis dalam proses pendewasaan sistem keuangan negara di Indonesia, khususnya dalam meneguhkan pengertian keuangan negara yang memihak pada konsepsi kemandirian badan hukum dan kebijakan otonomi daerah. Perubahan ketentuan dalam UUD 1945 dan peranan peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak memberikan kepekaan pada realitas tuntutan kemandirian badan hukum dan otonomi daerah sebagai suatu bentuk hasrat politik (political will) yang diperlukan untuk menjalankan perubahan kebijakan keuangan negara yang berorientasi pada kemajuan dalam sistem keuangan negara” .

Selama ini terdapat pemahaman yang kurang tepat terhadap keuangan negara yang mengandung potensi mengurangi konsepsi berpikir atas manfaat dan hakikat keuangan negara. Bahkan hukum keuangan negara dalam tataran praktik menurut Arifin, mengalami kemunduran (set back), yang menunjukkan terjadinya gejala konservatisme dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara yang dikhawatirkan akan membawa akibat goyahnya pondasi keuangan negara sebagai tiang penyangga penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik .

Ruang lingkup keuangan negara ini diafirmasi secara normatif dalam UU KN, khususnya dalam Pasal 2. Ruang lingkup keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2 UU KN tidak lagi bersifat interpretasi ekstensif , tetapi justru merupakan ketentuan yang bersifat ekstensif, yang dalam tataran rasional yuridis menjadi tidak logis dan mengandung paradoks di dalamnya. Ruang lingkup tersebut pada hakikatnya menunjukkan batas hukum keuangan negara yang justru menjadi tanpa batas dan mengesampingkan pembedaan antara hukum keuangan negara (publik), baik yang diatur oleh negara maupun daerah, dan hukum keuangan privat.

Bahkan, Pasal 2 UU KN yang merumuskan secara lengkap keuangan negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan negara.

Page 38: pAILIT 2

Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf (i) UU KN, yang menyatakan salah satu arti keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan rumusan ketentuan tersebut, negara akan turut bertanggung jawab terhadap kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah. Pasal 2 huruf (i) ini tidak membedakan dengan secara tegas uang publik dan uang privat sehingga akan menyebabkan keuangan/kekayaan pemerintah tdak berbeda dengan uang keuangan/ kekayaan pihak lain, contohnya Pertamina.

Dengan demikian, apabila pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah dalam keadaan insolvensi, dan dinyatakan pailit, negara harus turut bertanggung jawab atas utang swasta. Hal ini disebabkan kekayaan pihak lain yang dimilikinya itu diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Situasi seperti ini pernah dihadapi pemerintah dalam kasus PT. Karaha Bodas (KBC), dimana Pertamina dituntut untuk membayar ganti rugi US$ 261 juta oleh KBC atas proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berdasarkan Energy Sales Contract (ESC) yang ditunda salah satu proyeknya oleh pemerintah karena akan berpotensi negara menanggung kerugian yang diderita oleh perusahaan tersebut, termasuk uang 95% milik pemerintah yang berada di negara Amerika Serikat . Oleh sebab itu, perlu segera dilakukan penelaahan kembali terhadap keuangan negara yang proporsional.

Saya sependapat dengan Arifin P. Soeria Atmadja yang mengkritik ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 UU KN sebagai konsep hukum yang mencampuraduk kan definisi keuangan negara, keuangan daerah, keuangan BUMN, keuangan BUMD, bahkan keuangan badan-badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, di mana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Oleh karena itu untuk menunjukkan adanya batas yang tegas antara hukum keuangan negara (publik), dan hukum keuangan privat bisa dibuktikan apabila BUMN Persero itu dalam kepailitan, karena pada prinsipnya yang mengalami kepailitan itu adalah badan hukum perseroan (negara sebagai badan hukum privat dengan menyertakan modalnya sebagai saham dalam perseroan minimal 51 % atau seluruh sahamnya) bukan negara sebagai badan hukum publik.

3.1.1. Ruang lingkup keuangan negara dalam Undang-undang

Sebelum lahirnya paket UU KN tahun 2003, rumusan normatif mengenai keuangan negara terdapat dalam Penjelasan Pasal 2 UU BPK, yaitu sebagai seluruh objek pemeriksaan BPK. Dengan kata lain, rumusan normatif mengenai keuangan negara tidak pernah ditentukan dalam ketentuan batang tubuhnya, tetapi terdapat pada penjelasannya. BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal pemerintah, juga menyatakan ruang lingkup keuangan negara dapat dilihat pada praktik pemeriksaan yang selalu dilakukannya.

Page 39: pAILIT 2

Berdasarkan pengertian Keuangan Negara menurut UU Nomor 5 Tahun 1973 tersebut, BPK menetapkan luas lingkup pemeriksaan tanggung jawab Keuangan Negara oleh BPK mencakup seluruh kekayaan negara dengan tanpa membedakan aturan pengelolaan dan pertanggungjawaban masing-masing obyek pemeriksaan. Padahal, Pasal 23 Ayat (5) UUD 1945 jelas menyatakan BPK melakukan pemeriksaan terhadap tanggung jawab keuangan negara.

Dalam praktiknya, BPK sebagai lembaga eksternal keuangan negara lebih berpendapat bahwa maksud keuangan negara ialah seluruh penerimaan dan pengeluaran negara secara keseluruhan, kekayaan harta negara seluruhnya, kebijakan sektor anggaran, fiskal moneter, dan akibatnya, serta keuangan lainnya. Perluasan lingkup keuangan negara dalam penjelasan Pasal 2 UU BPK jelas membebani kewenangan BPK yang tidak hanya melakukan pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara yang menjadi tugas lembaga internal keuangan negara.

Rezim perluasan ruang lingkup keuangan negara berdasarkan ketentuan UU BPK ini kemudian dijadikan norma imperatif dalam Pasal 2 UU KN sekaligus menegaskan nya sebagai obyek pemeriksan BPK. Dengan kata lain, sebagai lembaga audit negara tertinggi, kewenangan pemeriksaan BPK meluas tidak hanya pada ruang lingkup keuangan negara pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) .

Pengertian Keuangan Negara menurut UU KN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanan hak dan kewajiban tersebut.

Pendekatan yang dipergunakan untuk merumuskan definisi stipulatif keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan .

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal atau pajak, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan .

Menurut Pasal 2 UU KN, ruang lingkup keuangan negara meliputi 9 (sembilan) kelompok pengertian kekayaan negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 huruf (a) – 2 huruf (i) . Kesembilan kelompok pengertian kekayaan negara tersebut menyebabkan pengertian kekayaan negara yang harus diperiksa oleh BPK berkembang menjadi sangat luas, termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh oleh pihak yang bersangkutan dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (Pasal 2 huruf i). Bahkan, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau kepentingan umum dikategorikan pula sebagai kekayaan pemerintah yang harus diperiksa BPK .

Pasal 2 huruf (g) UU KN yang mengelompokkan kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah ke dalam pengertian

Page 40: pAILIT 2

keuangan negara telah memperluas pengertian keuangan negara. Hal ini disebabkan keuangan negara yang sudah dipisahkan terutama ke dalam bentuk saham, status hukum uang tersebut bukan lagi merupakan keuangan negara. Akan tetapi telah terjadi transformasi hukum dari status hukum keuangan publik menjadi status hukum keuangan privat. Dengan demikian negara/daerah pada saat bersamaan dengan pemisahan kekayaan tersebut, tidak lagi memiliki imunitas publik sehingga kedudukan negara/daerah dari segi hukum, sama halnya dengan kedudukan hukum pemegang saham swasta lainnya karena perseroan terbatas yang sahamnya, baik dibawah 51 % maupun 100 % dimilik negara/daerah, wajib tunduk pada UU PT yang berada dalam domain hukum perdata, dan bukan masuk dalam domein hukum publik berdasarkan lingkungan kuasa hukum yang berlaku (gebeidsleer) .

Ruang lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 2 huruf (g) UU KN menimbulkan kerancauan dari aspek yuridis. UU KN ini telah mencampur adukkan hukum publik dan hukum perdata/privat, sementara antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam dengan segala implikasinya.

Kerancauan itu dapat dikategorikan sebagai suatu hal yang menyimpang apabila dilakukan pengkajian dan penelusuran peraturan perundang-undangan lainnya. Ketentuan Pasal 2 huruf (g) ini tidak mengikat secara yuridis tatkala dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 UU BUMN bahwa Persero, yang selanjutnya disebut PERSERO adalah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Kemudian Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN yang menegaskan modal badan usaha milik negara merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu penjelasannya menentukan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada badan usaha milik negara untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Di lain pihak, Pasal 1 angka 1 UU PT, menegaskan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian Pasal 7 Ayat (4) UU PT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan.

Berdasarkan ketentuan, baik dalam UU BUMN maupun UU PT, BUMN merupakan badan hukum perseroan yang pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta tunduk pada hukum privat. Disamping itu, badan usaha milik negara memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara maupun pemegang saham (pemilik), direksi

Page 41: pAILIT 2

(pengurus), dan komisaris (pengawas). Meskipun negara memiliki saham paling sedikit 51% ketika terdapat piutang pada badan usaha milik negara karena akibat dari perjanjian yang dilakukan selaku entitas perusahaan, hak tersebut tidak boleh dikelompokkan sebagai piutang negara sebagai konsekuensi pemisahan kekayaan negara mengingat badan usaha milik negara tersebut telah memiliki kekayaan tersendiri bukan merupakan kekayaan negara dalam kategori sebagai keuangan negara. Hal ini dimaksudkan agar mekanisme pengelolaan, termasuk pengurusan piutang badan usaha milik negara, dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan tidak boleh mengesampingkan peraturan perundangan yang berlaku .

Badan hukum publik dan privat memiliki perbedaan secara prinsipil dalam pengelolaan keuangannya. Badan hukum publik dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum publik, sedangkan badan hukum privat dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum privat. Sebagai contoh, negara sebagai badan hukum publik dalam mengelola keuangannya tunduk pada peraturan yang terkait dengan keuangan negara. Sementara itu, badan usaha milik negara sebagai persero dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum perdata yang terkait dengan hata kekayaan yang dimilikanya .

Substansi Pasal 2 UU KN mendapat banyak kritik dari para ahli hukum seperti Arifin P. Soeria Atmadja dan Jusuf Indradewa, khususnya terhadap rumusan Pasal 2 huruf (g) dan Pasal 2 huruf (i) yang memberikan rumusan yang begitu luas seolah-olah tanpa batas terhadap pengertian kekayaan atau aset negara.

Dalam Pasal 2 huruf (i) UU KN ditegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh negara. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta, tatkala memperoleh fasilitas dari negara dalam pergaulan hukum menimbulkan kerugian dan bahkan dinyatakan pailit, berarti negara wajib bertanggung jawab atas beban yang dipikul oleh pihak swasta tersebut. Pada akhirnya, suatu saat negara mengalami kepailitan karena beban yang dipikul terlalu berat, baik terhadap keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah sebagai badan hukum publik maupun terhadap badan hukum privat .

Kritik Arifin P. Soeria Atmadja terhadap UU KN, adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dapat diartikan undang-undang tersebut merupakan undang-undang organik dari Pasal 23 C UUD 1945. Namun, ternyata substansi yang diatur dalam undang-undang tersebut bukan mengenai hal-hal lain Keuangan Negara, melainkan antara lain mengenai penyusunan APBN, APBD, hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, serta badan pengelola dana masyarakat di luar domein hukum keuangan negara. Rupanya pembuat undang-undang tidak memahami perbedaan prinsipiil antara keuangan negara, keuangan daerah, keuangan perusahaan negara maupun perusahaan daerah. Bahkan keuangan swasta pun diatur dalam undang-undang keuangan negara ini .

Page 42: pAILIT 2

Jusuf Indradewa menyatakan kritik atas rumusan Pasal 2 UU KN sebagai perumusan keuangan negara yang mengaburkan esensi otonomi daerah dan kemandirian suatu perseroan terbatas. Hal ini disebabkan definisi tersebut memasukkan keuangan daerah dan keuangan BUMN yang berbentuk persero ke dalam keuangan negara dengan menyamakan status hukum uang keduanya sebagai uang negara.

Dalam konsep hukum keuangan publik, seharusnya yang termasuk dalam keuangan negara ialah segala sesuatu yang diatur dan dipertanggung jawabkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan yang termasuk dalam keuangan daerah ialah yang diatur dan dipertanggung jawabkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), begitu pula dengan BUMN yang berbentuk persero sudah termasuk dalam status hukum privat.

Dalam konsep hukum yang responsif, negara memfasilitasi dan melindungi hukum yang terkait dengan hak perdata (privat rights) dalam bentuk pembentukan hukum privat. Sementara itu, hak negara (state rights) terformulasikan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dengan menitikberatkan pada sanksi. Konsep ini tentu tidak bisa dicampuradukkan, sehingga menimbulkan kesan negara berperan ganda dalam melaksanakan fungsi secara bersamaan, yaitu sebagai yang memiliki hak dan hak menjalankan fungsi kenegaraan. Oleh sebab itu, hak milik negara harus diterjemahkan sebagai hak publik negara jika terkait dengan fungsi kenegaraan dan kepemerintahan. Namun, definisi keuangan negara dalam Pasal 1 UU KN menentukan hak publik negara adalah juga hak milik negara, sehingga ada penerapan definisi metaforis dalam memahami pengertian keuangan negara dengan memperkuat semua struktur kekuasaan negara sebagai kepemilikan negara . Dalam hal ini rumusan definisi keuangan negara sebagai, “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”, mencampuradukkan hak dan kewajiban negara (publik) dan kepemilikan negara (privat).

Kritik atas definisi metaforis dalam memahami keuangan negara adalah terletak pada dua dimensi tersebut, yang menimbulkan paradoks dalam ketentuan ruang lingkup keuangan negara, sehingga bersifat ekstensif. Paradoks rasionalitas keuangan negara dengan menggunakan definisi metaforis terletak pada rumusan pengertian keuangan negara dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan yang menurut penjelasan umum UU KN.

Penjelasan keuangan negara tersebut dilekatkan pada definisi metaforis yang memperluas konsep keuangan negara yang tidak memiliki batasan pasti dan jangkauan yang tidak lagi mencakup negara, tetapi kesemua yang bersifat publik yang dikuasai negara, dan tidak lagi hanya “dimiliki negara”.

Ada paradoks dalam penjelasan keuangan negara tersebut, yaitu pemahaman yang keliru atas keuangan negara yang dikuasai dan yang dimiliki negara. Dalam ilmu hukum, pengertian hak menguasai negara dalam keuangan negara, jika ditafsirkan

Page 43: pAILIT 2

secara sistematis-logis dengan Pasal 33 UUD 1945, secara yuridis mengarah pada fungsi regulasi negara. Dengan demikian, menurut konsep UUD 1945 hubungan negara dalam kaitannya dengan keuangan yang dikuasainya mengandung hubungan penguasaan publik negara. Dengan dasar penguasaan negara, pendayagunaan, pengelolaan, dan pemanfaatan semua keuangan yang dikuasai negara oleh negara berdasarkan kewenangan publiknya. Hal ini berarti negara menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang menentukan mekanisme aturan keuangan yang dikuasainya tersebut.

Apabila yang dimaksudkan keuangan yang dikuasai negara, ruang lingkupnya bukanlah keuangan negara, tetapi keuangan publik yang meliputi keuangan negara, keuangan daerah, keuangan BUMN dan keuangan BUMD, dan keuangan badan hukum perdata lainnya. Dengan mendasarkan pada pengertian yuridis-normatif makna menguasai negara menggunakan penafsiran teleologis .

Keuangan negara yang dikuasai negara memiliki preferensi negara sebagai badan hukum publik atau organisasi kekuasaan yang memiliki kekuasaan memaksa. Dengan kata lain, negara sebagai pemilik keuangan atau saham di beberapa perusahaan bukanlah keuangan negara, tetapi keuangan perdata yang dimiliki negara sebagai subyek hukum perdata. Oleh sebab itulah, dalam konsep yuridis, hak menguasai negara dalam keuangan negara tidak mungkin dijalankan oleh negara dengan kapasitasnya sebagai subyek hukum perdata, atau dengan menjalankan praktik usaha langsung karena statusnya sebagai badan hukum publik dan organisasi kekuasaan. Oleh sebab pembedaan itulah, negara harus terlepas dari kegiatan usaha yang dilakukan langsung, sehingga negara membentuk badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang mandiri, yang terlepas dari tanggung jawab negara sebagai badan hukum publik.

Secara terstruktur, pembedaan keuangan publik yang dikuasai negara dan keuangan negara yang dimiliki negara tergambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Secara prinsip UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak

Secara prinsip UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak membedakan status hukum uang dan kepemilikan kekayaan dalam suatu badan, apakah itu milik negara, milik daerah, milik badan usaha milik daerah, atau milik swasta atau perseorangan. Pada dasarnya pengaturan demikian justru menyalahi konsep hukum keuangan publik yang secara tegas membedakan antara milik publik (public domain) dan milik privat (priva domain).

3.1.2. Keuangan negara menurut doktrin/pandangan ahli hukum

Pembatasan atas pengertian keuangan negara dimaksudkan tidak untuk membatasi atau meminimalisasi hak kepunyaan negara dalam keuangan yang dimilikinya, justru dimaksudkan mengatur hak dan kewajiban negara, khususnya yang paling krusial menjaga negara untuk tidak menanggung risiko yang terjadi pada keuangan badan lain yang bukan merupakan tanggungan kewajiban negara.

Page 44: pAILIT 2

Ada kecenderungan bahwa perluasan keuangan negara hanya dimaksudkan untuk memperluas kepemilikan negara, tanpa disadari kepemilikan tersebut berindikasi pada beban risiko yang harus ditanggung negara jika keuangan dalam badan tersebut mengalami kerugian atau kepailitan. Perluasan definisi keuangan negara cenderung menimbulkan inkonsistensi dalam aturan pengelolaan dan pertanggungjawabannya.

M. Ichwan berpendapat bahwa keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka di antaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang .

Menurut Goedhart, keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut .

Pendapat van der Kemp, keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. Pengertian keuangan negara dari van der Kemp ini dinilai mendekati dengan pengertian keuangan negara yang pernah direkomendasikan dalam Seminar ICW di Jakarta pada tanggal 30 Agustus-5 September 1970. Berdasarkan rekomendasi Seminar ICW bahwa pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut .

Harun Alrasid menyatakan maksud keuangan negara adalah APBN berdasarkan konstruksi hukum Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”. Selain itu, didasarkan atas Pasal 23 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang”. Dengan menafsirkan dari keuangan negara yang disetujui oleh DPR adalah Undang-undang, pengertian terhadap keuangan negara adalah APBN. Pengertian keuangan negara menurut Harun Alrasid merupakan pengertian keuangan negara yang sempit dengan meletakkan keuangan negara yang hanya disetujui oleh DPR.

Pendapat Hamid S. Attamimi terhadap definisi keuangan negara berbeda dengan Harun Alrasid. Menurut Hamid S. Attamimi keuangan Negara tidak hanya apa yang diatur APBN saja, tetapi secara meluas yang mencakup di dalamnya keuangan daerah, BUMN, dan BUMD. Dengan demikian, pengertian keuangan negara yang didefinisikan oleh Hamid S. Attamimi merupakan keuangan negara yang diperluas terhadap obyek maupun sumber asal keuangan negara tersebut. Pada dasarnya BPK sangat menyetujui dan sependapat dengan pendapat Hamid S. Attamimi ini, tetapi justru menimbulkan permasalahan hukum terhadap status

Page 45: pAILIT 2

hukum uang adalah milik publik atau privat. Jika keuangan negara dan keuangan daerah dikatagorikan sebagai uang publik, seharusnya keuangan dalam BUMN dan BUMD menjadi uang privat. Namun pembedaan tersebut tidak dianut oleh Hamid S. Attamimi maupun BPK.

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja untuk memahami definisi keuangan negara harus melihat tiga interpertasi atau penafsiran dari Pasal 23 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional keuangan negara. Penafsiran pertama adalah: “…pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit”.

Pada rumusan di atas, terlihat yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan demikian, dapat dikatakan APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit yang menyebabkan pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.

Penafsiran kedua Pasal 23 UUD 1945 menurut Arifin P. Soeria Atmadja berkaitan dengan metode sistematik dan historis yang menyatakan: “… keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara…”

Jika didasarkan pada rumusan sebelumnya tersebut, dapat dilihat arti keuangan negara dalam arti luas. Dalam pemahaman ini makna keuangan negara merupakan segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu kepada hak dan kewajiban negara yang timbul dari makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud dengan hak dalam hal ini ialah hak menciptakan uang; hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa. Sementara itu, yang dimaksud dengan kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.

Penafsiran ketiga menurut Arifin P. Soeria Atmadja dilakukan melalui pendekatan sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya. Maksudnya ialah:

“Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teleologis uantuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan

Page 46: pAILIT 2

pertanggung jawaban, maka pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan”.

Penafsiran ketiga ini tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Penafsiran ini akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya dari pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandeling) maupun yang berdasarkan atas fakta (fietelijke handeling). Dapat dilihat juga dalam penafsiran ketiga ini betapa ketat perumusan keuangan negara dalam aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.

3.3. Status Hukum Kekayaan BUMN Persero

Apabila kita merujuk pada ketentuan tentang konsep badan hukum maka kekayaan BUMN itu “bukan merupakan aset negara” karena kekayaan negara tersebut pada prinsipnya telah dipisahkan dari harta kekayaan negara menjadi harta perusahaan dalam hal ini adalah BUMN sejak saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang adanya pemisahan kekayaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (6) UU BUMN. Sejak saat itulah berlaku adanya Transformasi hukum status hukum dari uang negara menjadi uang privat .

Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau PERUM serta Perseroan Terbatas lainnya (Pasal 1 angka 10) UU BUMN. Demikian juga dalam penjelasan Pasal 4 Ayat (1). Yang untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1), (3), dan (5) serta Pasal 1 angka 10 UU BUMN tersebut jelaslah, bahwa batas hukum kekayaan negara sebagai badan hukum publik adalah pada adanya atau terjadinya pemisahan kekayaan negara untuk kemudian menjadi modal penyertaan dalam berdirinya BUMN baik yang berbentuk Perum ataupun yang berbentuk Persero yaitu dengan adanya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang adanya pemisahan kekayaan negara ke dalam modal BUMN dalam bentuk penyertaan langsung .

Sejak saat itulah terjadi perubahan kepemilikan atas kekayaan negara dari yang semula kapasitasnya sebagai badan hukum publik yang mengelola uang publik yang mengacu pada adanya ketentuan-ketentuan untuk berlakunya ketentuan hukum publik menjadi badan hukum privat yang harus mengelola uang privat dengan mendasarkan kepada aturan atau ketentuan mengenai badan hukum privat

Page 47: pAILIT 2

dalam hal ini adalah UU PT Tahun 1995 sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU BUMN beserta penjelasannya. Mengingat Persero pada dasarnya merupakan Perseroan Terbatas, semua ketentuan UU PT Tahun 1995, sekarang telah diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk pula segala peraturan pelaksanaannya berlaku juga bagi Persero.

Arifin P. Soeria Atmadja dengan tegas menyatakan hal ini dengan menggunakan teorinya tentang adanya Transformasi Uang Publik ke dalam Uang privat . Saya sependapat dengan Arifin, karena hal ini sangat sesuai dengan masing-masing konsep hukum yang berlaku yaitu konsep hukum publik dan konsep hukum privat, yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak sama satu dengan lainnya. Dengan adanya batas atau pembedaan yang tegas dalam konsep yang kemudian diterapkan dalam bentuk produk peraturan perundangan yang pada akhirnya akan dijadikan dasar rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, menurut saya akan menjadi lebih baik karena tidak akan muncul adanya kerancauan dalam penerapan hukumnya. Sehingga tidak akan menimbulkan ditariknya permasalahan di ranah privat dengan penyelesaiannya menggunakan aturan pada ranah publik. Jadi pada prinsipnya hal ini dikembalikan pada ranah hukum masing-masing, masalah pada ranah hukum privat dengan konsep dan kerangka aturan hukum privat, sedangkan masalah pada ranah hukum publik dengan menggunakan kerangka konsep dan aturan pada hukum publik atau istilahnya kembali pada khitah masing-masing.

Dalam Pasal 1 Ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Pasal 11 UU BUMN mengatakan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tetang Perseroan Terbatas.

Untuk BUMN yang berbentuk Persero, pendiriannya diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Pengkajian ini dilaksanakan untuk menentukan layak tidaknya Persero tersebut didirikan melalui pengkajian atas perencanaan bisnis dan kemampuan untuk mandiri serta mengembangkan usaha dimasa mendatang. Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini mengingat Menteri merupakan wakil negara selaku pemegang saham pada Persero dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan .

Ada satu hal lagi yang mesti diperhatikan dalam pendirian BUMN yaitu mengenai maksud dan tujuannya, karena antara Persero dan Perum itu berbeda sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 12 UU BUMN untuk Persero dan Pasal 36 untuk Perum.

Page 48: pAILIT 2

Dalam Pasal 12 UU BUMN mengatur tentang maksud dan tujuan pendirian Persero adalah:

1. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat;

2. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut untuk dapat memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan dan nilai Persero yang bersangkutan sehingga akan memberikan manfaat yang optimal bagi pihak-pihak yang terkait. Paling tidak inilah yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang ketika negara memisahkan harta kekayaannya untuk kemudian didirikan BUMN Persero dengan tujuan utama untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dengan cara mampu menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi agar punya daya saing yang kuat di pasar.

Lain halnya dengan Perum, maksud dan tujuan pendiriannya lebih kepada untuk pelayanan publik (public service) bukan untuk mencari keuntungan sebagaimana halnya Persero, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU BUMN.

Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan direksi (sebagai pengurus), komisaris (sebagai pengawas), dan pemegang saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai badan hukum terpisah dari kekayaan pengurus yayasan dan anggota yayasan, serta pendiri yayasan. Selanjutnya kekayaan koperasi sebagai badan hukum terpisah dari kekayaan pengurus dan anggota koperasi .

BUMN yang berbentuk Perum juga adalah badan hukum. Pasal 35 Ayat (2) UU BUMN menyatakan, PERUM memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya peraturan pemerintah tentang pendiriannya.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai Badan Hukum bukanlah kekayaan negara atau bukanlah merupakan aset negara.

Kekaburan pengertian Keuangan Negara sebenarnya dimulai oleh definisi tentang Keuangan Negara dalam Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).

Pasal 2 menyatakan bahwa Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi antara lain: kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

Page 49: pAILIT 2

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lainnya yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.

Erman Rajagukguk berpendapat bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan merupakan kekayaan negara tetapi merupakan harta kekayaan BUMN tersebut. Saya sangat sependapat dengan Arifin maupun Erman mengenai hal ini, tentunya juga dengan merujuk adanya teori mengenai Badan Hukum khususnya teori propierete cellective dari Planiol yang menyatakan hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Dan teori ini berlaku untuk badan hukum korporasi sebagaimana telah saya uraikan pada bab 2 (2.1.3.1) mengenai Syarat tentang Badan Hukum. Selain itu di dalam Pasal 1653 BW juga disebutkan mengenai syarat-syarat atau unsur sebagai badan hukum antara lain adalah adanya kekayaan/ keuangan terpisah. Oleh karena itu dalam BUMN karena sebagai badan hukum maka pada BUMN tersebut memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan milik negara.

Akan tetapi ada yang mengartikan kakayaan negara yang dipisahkan tersebut tetap milik negara, bukan milik BUMN sebagai badan hukum. Pendapat ini keliru, sebagai contoh, andaikata kita memasukkan tanah Hak Milik sendiri sebagai modal PT, Hak Milik tadi berubah menjadi HGB atau HGU atas nama PT, bukan atas nama kita lagi. Kekayaan kita hanya saham sebagai bukti modal yang kita setor dan sebagai pemilik perusahaan.

Kerancauan terjadi dalam penjelasan dalam UU KN yang menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Demikian juga dalam Pasal 2 huruf (g), yang menyatakan ”kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Kesalahan terjadi lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam pasal 19 menyebutkan bahwa penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian peraturan ini “tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham”.

Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) Bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kemudian pemerintah merencanakan penghapusan Pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14 tahun 2005 ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :

”Selanjutnya pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara

Page 50: pAILIT 2

(BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU BUMN”.

Mengenai adanya usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf (g) UU KN. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 14 Tahun 2005 ini perlu meminta Fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang berpendapat, pemerintah harus membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) untuk membatalkan Pasal 2 huruf (g) UU KN.

Menteri Keuangan melalui surat Nomor 5324/MK/01/2006 tanggal 26 Juli 2006 meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan bahwa “tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena Bank BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Dengan demikian dapat diartikan Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara.

Menurut saya sebenarnya tidak diperlukan adanya Fatwa atau meminta Fatwa Mahkamah Agung mengenai hal ini, karena sudah jelas di dalam UU BUMN mengatur bahwa pada BUMN Persero karena merupakan Perseroan Terbatas maka berlaku dan tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang sekarang telah diubah dengan UU No. 40 tahun 2007 yang diatur dalam Pasal 160. Tentunya sebagai BUMN Persero, maka kekayaan atau aset yang ada adalah merupakan kekayaan atau aset BUMN itu sendiri sebagai badan hukum sudah bukan aset milik negara lagi.

Meskipun demikian fatwa MA tersebut adalah merupakan sesuatu hal yang baik karena isinya menguatkan tentang adanya kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Jadi Fatwa Mahkamah Agung ini menegaskan lagi keberadaan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas dan mengesampingkan ketentuan Pasal 2 huruf (g) tentang UU KN. Ini memang terkesan rancu, karena keberadaan UU dikuatkan atau ditegaskan oleh sebuah Fatwa MA. Padahal keberadaan Fatwa itu secara teori adalah tidak mengikat secara hukum artinya boleh diikuti, boleh juga tidak diikuti karena tidak akan ada sanksi hukum ketika dilanggar.

Hanya kemudian dalam perjalanan waktunya Fatwa MA WKMA/Yud/20/VIII/ 2006, tanggal 16 Agustus 2006 tentang ”Piutang BUMN Bukan Merupakan Piutang Negara” ini juga tidak secara konsisten diikuti bahkan oleh si penanda tangan Fatwa itu sendiri ”Marianna Sutadi” ketika harus memutuskan kasus Kepailitan PT. DI (Persero) dalam Kasasi tahun 2007, Nomor: 075 K/Pdt. Sus/ 2007.

Berdasarkan Fatwa MA No:WKMA/Yud/20/VIII/2006, Mahkamah Agung telah mengeluarkan fatwa mengenai pemisahan aset negara dan aset perusahaan milik negara yang dikhawatirkan berdampak pada penanganan perkara korupsi . Kekhawatiran tersebut jelas merefleksikan paham tiadanya imunitas negara sebagai badan hukum privat dan badan hukum publik.

Page 51: pAILIT 2

Lahirnya Fatwa MA Nomor:WKMA/Yud/20/VIII/2006, Tanggal 16 Agustus 2006 tersebut terkait dengan adanya kasus kredit macet pada segenap bank-bank BUMN antara lain pada Bank Mandiri, yang dikhawatirkan akan berdampak pada adanya indikasi korupsi apabila merujuk pada ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 mengenai Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UU TPK) yang mana Undang-undang tersebut juga mendasarkan pada UU KN khususnya pada Pasal 2 hururf (g) dan Pasal 2 huruf (i). Karena menurut kedua UU tersebut, bahwa kerugian yang ditimbulkan terhadap BUMN itu merupakan kerugian negara. Karena dalam Pasal 2 huruf (g) bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah merupakan kekayaan negara, oleh karena itu kekayaan yang ada pada BUMN Persero itu menurut konsep UU Keuangan Negara adalah merupakan kekayaan negara sehingga apabila BUMN mengalami kerugian maka negaralah yang harus menanggung kerugian, sehingga negara perlu menalangi kerugian yang terjadi.

Dalam Pasal 2 huruf (i) UU KN, menyebutkan kekayaan pihak lain yang di peroleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementrian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah .

Fakta yang terjadi terhadap munculnya fatwa MA tersebut adalah kekhawatiran dampaknya terhadap penanganan korupsi. Kekhawatiran demikian menimbulkan pemahaman aset yang dipisahkan dan pemberantasan korupsi merupakan tindakan yang tunduk pada satu sistem hukum. Dengan demikian, jelas tidak memberikan kriteria yang efektif guna membedakan kedudukan badan hukum publik dan badan hukum privat.

Berdasarkan adanya kekhawatiran mengenai hal tersebut maka dalam kasus macetnya kredit yang ada pada Bank-bank BUMN ketika itu, kemudian Menteri Keuangan Republik Indonesia pada tanggal 26 Juli 2006 meminta fatwa kepada Mahkamah Agung.

Sebenarnya kekhawatiran sementara pihak terhadap fatwa MA akan berdampak pada penanganan perkara korupsi cenderung dilatarbelakangi pemahaman hukum yang tidak tepat mengenai status hukum keuangan/kekayaan negara. Oleh sebab itu, kecenderungan perluasan objek pemeriksaan pengelolaan keuangan yang diindikasikan sebagai korupsi ke sektor privat, khususnya perusahan negara, tidak memiliki kadar kualitas teori hukum yang memadai.

Apabila perluasan pemeriksaan tersebut dilakukan ke sektor privat, khususnya di lingkungan perusahaan negara, fakta yang terjadi adalah ”negara memonopoli kewenangannya, baik sebagai badan hukum publik sekaligus badan hukum privat”. Hal ini berarti negara adalah pihak dan hakim sekaligus dalam menghadapi penyimpangan keuangan dalam perusahaan negara. Akibatnya justru tidak menguntungkan negara, yaitu pertama menunjukkan tidak adanya prioritas negara dalam mengkonstruksikan pemberantasan korupsi. Kedua, tidak ada

Page 52: pAILIT 2

strategi negara yang komprehensif dalam mewujudkan kebijakan anti-korupsi. Ketiga, aparat hukum negara tidak memahami masalah mendasar dalam hal terjadinya penyimpangan keuangan disebabkan dasar utamanya adalah kewenangan dan kekuasaan untuk memperluas identifikasi korupsi .

Oleh sebab itu, fatwa MA yang menyatakan penyertaan modal negara dalam perusahaan negara tidak dikatagorikan sebagai keuangan negara merupakan kebijakan hukum yang menerapkan prinsip kehati-hatian. Untuk kepentingan jangka pendek, fatwa MA merupakan alternatif taktis untuk membangun kepercayaan publik dan kepastian hukum di kalangan sektor privat. Di sisi lain, untuk jangka panjang, fatwa MA strategis dalam merumuskan kebijakan anti-korupsi yang digagas negara agar konsentrasi dan fokus pada tindakan aparatur penyelenggara negara. Di samping itu, fatwa MA akan mendorong negara untuk menentukan kriteria yang objektif dalam menentukan aspek kerugian keuangan negara secara rasional oleh pihak yang berwenang dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara.

Dalam kontekstualisasi seperti itu, tidak diragukan lagi rasionalitas dalam pengaturan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan dalam praktiknya akan menguntungkan semua pihak, khususnya pihak yang terkait dalam sektor privat sebagai domain yang berbeda dengan sektor publik. Hal ini terjadi karena MA telah menentukan batas-batas yuridis dalam menentukan kerugian keuangan negara sebagai kerugian negara dan kerugian keuangan sektor privat sebagai kerugian sektor privat, sehingga negara tidak perlu menanggung risiko apapun dalam hal terjadinya masalah hukum dalam sektor privat.

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan luasnya cakupan obyek kekayaan negara menurut UU KN adalah menurut kabarnya juga disebabkan oleh pembuatan UU Keuangan Negara yang konseptornya mendasarkan pada sistem atau standar akuntansi akrual (acrual basis) bukan melandaskan pada “konsep hukum” tentang keuangan negara. Apalagi UU KN ini belum pernah ditanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tetapi tetap berlaku karena berdasarkan ketentuan dalam hasil amandemen UUD 1945 Pasal 20 Ayat (5) yang pada intinya setelah satu bulan mendapat persetujuan DPR secara otomatis UU akan berlaku. Jadi meski tidak ditanda tangani Presiden berlaku sebagai dokumen resmi negara. Ini artinya secara hukum administratif kenegaraan tidak ada yang bertanggung jawab atas berlakunya UU KN karena Presiden tidak pernah menanda tangani UU tersebut.

Mengenai sebuah Undang-undang tanpa pengesahan atau memperoleh tanda tangan Presiden, memang ada persoalan yuridis yang muncul ketika sebuah Undang-undang tersebut sebelum diundangkan tidak mendapat pengesahan Presiden. Secara hukum, Presiden berhak untuk tidak menandatangani atau tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan Pemerintah; dan RUU itu sah secara hukum sebagai UU. Namun, tidak adanya pengesahan Presiden menyisakan banyak masalah dan pertanyaan. Mengenai hal ini sempat timbul pro-kontra.

Page 53: pAILIT 2

Arifin P. Soeria Atmadja berpendapat bahwa berdasarkan sudut Hukum Tata negara (Staat in rust, Oppenheim) atau negara dalam keadaan ‘diam”, berdasarkan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, Undang-undang No. 17 Tahun 2003 sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Akan tetapi, berdasarkan sudut Hukum Administrasi Negara (Staat in beweging, Oppenheim) atau negara dalam keadaan “bergerak” keabsahannya secara yuridis tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Hal ini mengingat UU No. 17 Tahun 2003 yang merupakan dokumen resmi negara dengan lambang negara Garuda Pancasila dan berkepala Presiden Republik Indonesia, tetapi tidak di tanda tangani oleh Presiden . Berdasarkan sudut pandang Hukum Administrasi Negara, jelas dokumen negara yang tidak ditanda tangani oleh yang berhak adalah tidak sah dan belum mempunyai kekuatan mengikat umum atau anggota masyarakat. Berdasarkan teori hukum konstitusi, UUD hanya merupakan lingkungan kompetensi (competentie afbakening dan competntie tokeninning) pada organ negara. Untuk melaksanakannya, diperlukan Hukum Administrasi Negara agar tindakan organnya dapat mengikat anggota masyarakat . Tindakan Presiden dengan tidak menandatangani UU No. 17 tahun 2003 ini, maka secara moral maupun yuridis-politis Presiden tidak dapat dikatakan ikut bertanggung jawab dalam carut marutnya UU ini.

Mengenai hal ini M. Hadi Shubhan kurang sependapat, karena tidak ditandatanganinya suatu UU itu dimungkinkan secara konstitusi Dalam tulisannya di harian Kompas, tanggal 17 Juli 2003 dengan judul “Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden” . Ada 3 alasan menurut Hadi, terutama pada alasan ”moral” yang paling nampak dalam praktiknya. Bahwa jika nanti di kemudian hari terjadi sesuatu karena RUU yang tidak ditanda tangani itu, maka Presiden tidak disalahkan karena UUD membolehkan demikian, di mana sampai batas 30 hari tidak ditandatangani Presiden, UU itu sudah berlaku.

Demikian juga bila kita mau cermati, pada UU KN di mana terjadi benturan kepentingan antar-intern lembaga pemerintah, seperti Bapenas dengan Departemen Keuangan. Dalam kondisi yang demikian, hal yang mungkin dilakukan Presiden adalah tetap mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan pemerintah, kendati Presiden tidak berkenan atas RUU itu. Jika di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diprediksikan seperti semula, UU itu bisa diamandemen lagi. Namun ternyata hingga saat ini UU KN belum pernah direvisi/amandemen meskipun ada banyak kritik dari ahli keuangan negara dan bahkan sempat masuk Prolegnas tahun 2006-2009

3.4. BUMN Persero Tbk.

Dalam UU PT No. 40 Tahun 2007, Pasal 1 angka 7 juga kita temui kata “Perseroan Terbuka”, bahwa Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dalam Bab II, khususnya pada poin 2.3.3.1. bahwa BUMN Persero identik dengan PT, maka segala hal menyangkut BUMN Persero Terbuka (yang selanjutnya disebut BUMN Persero Tbk.) adalah

Page 54: pAILIT 2

mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai PT Terbuka atau PT Tbk. sebagaimana di atur dalam UU PT jo. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dan untuk selanjutnya BUMN Persero Tbk. saya sebut dengan PT. Tbk.

Kenyataan bahwa PT. Tbk. bersifat khusus terbukti dengan ketentuan UU PT lebih lanjut. Hal ini dapat dilihat darai adanya rumusan lainnya yang diatur oleh UU PT, yang memberikan perlakuan khusus bagi PT Tbk., yaitu berupa, antara lain dalam Pasal 16 Ayat (3), tentang nama Tbk., Pasal 31 Ayat (2): mengenai besarnya modal dasar minimum, dan kewajiban untuk memiliki sekurang-kurangnya dua orang Direksi (Pasal 92 Ayat (4), dan dua orang Komisaris (Pasal 108 Ayat (5).

Selanjunya untuk hal-hal lainnya berlakulah ketentuan umum yang sama dengan ketentuan yang diberlakukan untuk PT Tertutup. Kriteria selanjutnya mengenai PT. Tbk. atau Perusahan Publik akan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan Pasar Modal, yang dalam hal ini adalah UU No. 8 Tahun 1995 (selanjutnya disebut UU PM).

Apabila dibaca secara menyeluruh dalam UU PM, tidak akan kita temukan satu patah katapun yang menyebutkan tentang ”Perseroan Terbatas Terbuka”, termasuk dalam ketentuan Umum Bab 1 Pasal 1 UU PM yang mengatur mengenai pengertian dan definisi dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam UU PM tersebut .

Meskipun demikian dapat kita rujuk beberapa Pasal yang dapat menjelaskan atau mengindikasikan bahwa PT Terbuka menurut UU PM adalah Emiten dan atau Perusahaan Publik. Pengertian atau definisi tersebut dapat ditemukan dalam UU PM: Pasal 1 angka 6, angka 13, angka 15, angka 20 dan angka 22.

Selain UU PT, aturan main mengenai PT. Tbk. dapat ditemukan dalam UU PM, yang memberikan aturan yang lebih ketat dan terperinci bagi PT. Tbk. dibandingkan dengan UU PT.

Setelah mengetahui dengan jelas tentang BUMN Persero Tbk. bahwa segala hal ketentuan yang mengaturnya sama dengan yang berlaku pada PT. Tbk., maka selanjutnya akan menguraikan mengenai status kekayaan BUMN Persero Tbk.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa BUMN Persero identik dengan PT, maka kekayaan atau aset yang terdapat dalam BUMN Persero merupakan aset atau kekayaan Persero sebagai badan hukum privat. Bukan kekayaan negara lagi, karena kekayaan tersebut merupakan kekayaan yang telah dipisahkan dari sistem APBN dan menjadi modal penyertaan negara pada BUMN Persero yang selanjutnya mengacu kepada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 11 UU BUMN yang dalam hal ini menunjuk kepada UU PT dan dalam pelaksanaanya juga mendasarkan kepada prinsip Good Coorporate Gouvernance (GCG) khususnya bagi BUMN.

Page 55: pAILIT 2

Jadi jelas dalam hal ini bahwa negara sebagai salah satu pemegang saham dalam BUMN Persero tersebut, sebesar minimal 51 %. Dalam hal ini Negara berposisi sebagai pengusaha dengan ikut menanamkan modalnya dalam BUMN Persero, dalam kedudukan seperti ini negara melakukan tindakan hukum privat yang harus mendasarkan pada segala ketentuan yang berlaku pada ranah hukum privat. Dengan ciri yang menonjol adalah pada tindakan hukum privat adalah adanya hak dan kewajiban sebagai badan hukum privat.

Demikian juga kedudukan Negara dalam BUMN Persero Tbk. barangkali yang membedakan disini adalah gradasi atau tingkatan tentang jumlah atau prosentase tentang kepemilikan saham saja. Bahwa BUMN Persereo Tbk., ini artinya saham-saham yang ada selain merupakan saham milik negara sebagian (minimal 51 % atau lebih) dan sebagiannya yang lebih tersebut (maksimal 49 %) adalah milik publik (publik tersebut bisa investor dalam negeri maupun investor asing).

Barangkali pertanyaan yang kemudian menggelitik dan pantas kita renungkan bersama adalah, bagaimana bila BUMN Persero Tbk. Tersebut, saham milik negara adalah 51 % dan selebihnya 49 % semuanya adalah dimiliki oleh investor asing? Mungkinkah, dan bagaimana dengan kekayaan yang terdapat dalam BUMN Persero Tbk. tersebut? Bagaimana implikasinya kedepan? Hal inilah barangkali yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama. Apabila hal ini tidak segera diatur dengan jelas dengan tetap mengedepankan kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa kedepan menurut saya sungguh akan sangat membahayakan dan memprihatinkan tentunya.

Sebagai gambaran mengenai BUMN Persero Tbk. yang terdapat di Indonesia pada saat ini antara lain adalah; PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. dan PT. Bank BNI (Persero) Tbk.

PT. Jasa Marga (Persero) dibentuk tanggal 1 Maret 1978 dengan tujuan menyelenggarakan jalan tol Indonesia. Tahun 2003 bekerjasama dengan investror asing dari Malaysia melalui Net One Solution Ltd., telah memberikan jasa manajemen pengoperasian Jalan Tol Jamuna di bangladesh selama lima tahun. Pada tanggal 12 November 2007, status berubah jadi Perusahaan terbuka dengan melepas 30% sahamnya kepada publik melalui Bursa Efek Indonesia.

PT. Bank BNI Persero Tbk. , pada tahun 1992 status hukum dan nama Bank BNI berubah menjadi PT Bank Nasional Indonesia (Persero) sementara keputusan untuk menjadi Perusahaan Publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di Pasar Modal pada tahun 1996. Keputusan Bank BNI untuk mewujudkan perusahaan public diwujudkan mlalui penawaran saham perdana kepada masyarakat melalui pasar modal. Bank BNI merupakan bank pemerintah pertama yang ,mecatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Nama bbank Bni mendapat tambahan menjadi ”PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang menandakan statusnya sebagai Perusahaan Publik/Terbuka

Page 56: pAILIT 2

IV.  BUMN PERSERO DALAM KEPAILITAN

4.1. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

Di dalam UUK dan PKPU Tahun 1998 jo. FV tidak pernah mendefinisikan mengenai pengertian “pailit”. Di dalam UUK dan PKPU ini disebutkan mengenai syarat pailit yaitu dalam Pasal 1 Ayat (1) jo. FV, bahwa pailit adalah “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak mem¬bayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di¬tagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sen¬diri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”.

Sementara pada UUK dan PKPU yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini .

Retnowulan menyatakan Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.

Dari pengertian kepailitan seperti disebutkan diatas, dapat disimpulkan:

a. Kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.

b. Kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi, ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan.

Sitaan terhadap seluruh harta kekayaan debitur disebut pula sebagai eksekusi kolektif (collective execution) . Suatu proses khusus dari eksekusi kolektif dilakukan secara langsung terhadap semua kekayaan yang dimiliki oleh debitur untuk manfaat semua kreditur .

Tujuan kepailitan menurut Faillissementsverordening adalah melindungi kreditor konkuren untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang berutang (debitor) . Tujuan ini sesuai dengan asas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW. Hukum memberlakukan asas tersebut untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa debitur akan melunasi utang-utangnya .

Tujuan lain UUK dan PKPU adalah untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh para kreditur. UUK dan PKPU juga berupaya untuk melindungi kreditor dan

Page 57: pAILIT 2

debitornya, dengan cara mencegah kecurangan yang dilakukan debitor untuk melindungi para kreditor dengan membuat suatu pembagian yang seimbang terhadap harta kekayaan debitor.

UUK dan PKPU juga menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para krediturnya sesuai dengan asas pari passu pro rata parte, sesuai dengan asas yang tercantum dalam Pasal 1132 BW.

4.1.1.Syarat pengajuan pailit

Tentang syarat untuk dapat dipailitkan sebelumnya diatur dalam Pasal 1 UUK dan PKPU Tahun 1998 yang telah diubah dengan UUK dan PKPU yang baru yakni UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 2 Ayat (1). Pada prinsipnya keduanya mengatur hal yang sama, hanya berbeda penempatan pasal saja. Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan ”debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permintaan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka untuk dapat dinyatakan pailit seorang debitur harus memenuhi syarat- syarat berikut ini:

a. debitur mempunyai dua atau lebih kreditor

b. tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat di tagih

c. atas permohonanya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.

Pernyataan pailit diperiksa secara sederhana (sumir), ialah bila dalam mengambil keputusan tidak diperlukan alat-alat pembuktian seperti diatur dalam buku ke IV KUH Perdata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat pembuktian yang sederhana.

Pernyataan pailit dapat dimohon oleh seorang atau lebih kreditor, debitor, atau jaksa penuntut umum untuk kepentingan umum. Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-untangnya.

4.1.2. Pihak yang dapat mengajukan pailit

Dalam UUK dan PKPU terdapat perubahan tentang siapa saja pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan. Pasal 2 Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) UUK dan PKPU Tahun 2004 (yang baru) mengatur hal ini. Pihak-pihak yang mengajukan pailit adalah :

1. Debitor sen¬diri,

2. Seorang atau lebih kreditornya,

Page 58: pAILIT 2

3. Kejaksaan untuk ke¬pentingan umum,

4. Bank Indonesia (BI)

5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) atau

6. Menteri Keuangan

Selanjutnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga tersebut dapat dijelaskan seperti berikut:

4.1.3.Akibat Hukum Kepailitan

Setelah putusan permohonan pernyataan pailit diucapkan oleh hakim pengadilan niaga, maka timbulah sejumlah akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor. Mengenai akibat kepailitan telah diatur dalam Bab II, bagian Kedua, Pasal 21- Pasal 65 UUK dan PKPU.

Akibat-akibat kepailitan tersebut antara lain terhadap debitor, harta kekayaan debitor, perikatan debitor, perjanjian timbal balik, perjanjian sewa, perjanjian kerja, penerimaan warisan oleh debitor pailit, hak jaminan, dan hak retensi .

Akibat hukum kepailitan terhadap : harta kekayaan debitor pailit (Pasal 21 Jo. Pasal 22), Debitor Pailit (Pasal 24 Jo. Pasal 26), Semua perikatan yang di buat Debitor pailit (Pasal 25), Perjanjian-perjanjian tertentu (Pasal 36-40), Perjanjian kerja (Pasal 39), Warisan(Pasal 40), Hibah (Pasal 43-44), Kreditor Pemegang Hak Jaminan (Pasal 55-58), Hak Retensi Kreditor (Pasal 61), Transfer dana dan transaksi efek (Pasal 24 Ayat (3) dan (4)

4.1. Aspek Hukum Kepailitan BUMN Persero

Kegagalan suatu perusahaan yang pada akhirnya menuju pada kepailitan, bukanlah sesuatu yang luar biasa yang jarang terjadi, akan tetapi merupakan hal yang biasa dan bahkan sering terjadi dalam dunia usaha. Suatu perusahaan yang pada mulanya merupakan perusahaan yang sehat namun pada akhirnya menjadi bangkrut atau pailit adalah fenomena yang banyak terjadi baik perusahaan yang tergolong kecil sampai perusahaan raksasa. Dunia sempat terperangah dengan bangkrutnya perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat, yakni ENRON, di Indonesia misalnya Kasogi dan Bakri Group .

Kasus Enron dan Lehmon Brothers merupakan bagian dari keterkejutan dunia terhadap fakta bagaimana suatu korporasi yang kelihatan begitu besar, sehat dan powerful tiba-tiba begitu saja dipailitkan. Istilah transparansi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin good corporate governance hanya merupakan debat atau tudingan-tudingan pelipur lara setelahnya. Situasi yang sangat sulit yang merupakan bola panas perekonomian global saat ini suka atau tidak suka telah bergulir masuk pada wilayah perekonomian Indonesia, yang sangat

Page 59: pAILIT 2

memungkinkan mendorong peningkatan konflik utang piutang di kalangan pelaku usaha .

Demikian juga Indonesia sempat heboh bahkan terjadi demo dimana-mana ketika PT. DI (Persero) yang merupakan salah satu BUMN yang sempat mengedepan masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun 2007. Tak kurang para birokrat termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika itu turut angkat bicara. Hal ini dikarenakan BUMN tersebut adalah perusahaan milik negara sehingga kalau sampai dipailitkan maka “seolah-olah negaralah yang akan bangkrut sehingga tidak mungkin dan tidak layak apabila negara itu pailit atau bangkrut. Tetapi mereka semua lupa barangkali bahwa kegagalan perusahaan bukanlah cacat bagi seorang pengusaha akan tetapi merupakan salah satu dimensi dari resiko usaha. Negara dalam hal melalui Menteri Keuangan untuk ikut dalam dunia usaha dengan mendirikan perusahaan yang disebut BUMN (khususnya Persero). Sehingga kedudukan negara adalah sebagai pengusaha yang memiliki saham di Persero tadi. Sebagai konsekuensi yuridisnya dari melaksanakan kegiatan usaha tersebut maka negara bisa memperoleh keuntungan atau sebaliknya akan menanggung kerugian. Dan pada akhirnya adanya kerugian tersebut sewaktu-waktu bisa mengarah pada kebangkrutan atau kepailitan. Mestinya filosofi inilah yang harus dipegang kuat oleh kita semua masyarakat Indonesia, termasuk oleh pemerintah dan terlebih lagi para aparat penegak hukum di Indonesia.

Ada banyak teori tentang sebab-sebab kepailitan suatu perusahaan, misalnya dari Mark Ingebretsen menyebutkan ada sepuluh alasan besar mengapa suatu perusahaan akan bangkrut, yakni:

“membiarkan harga saham mendikte strategi, perusahaan yang tumbuh terlalu cepat, mengabaikan konsumen, mengabaikan pergeseran paradigma, melibatkan diri dalam perang harga berkepanjangan, mengabaikan kewajiban-ancaman-krisis, berinovasi terlalu sering, perencanaan suksesi yang buruk, sinergi-sinergi yang gagal, serta arogansi dari perusahaan”.

Namun dari sekian banyak teori sebab-sebab kepailitan yang ada dua penyebab utama kepailitan yaitu: pertama, sebab internal perusahaan yang lebih disebabkan oleh salah urus pihak direksi dan manajemen. Kedua, sebab eksternal perusahaan yang lebih disebabkan karena berubahnya lingkungan bisnis .

BUMN Persero adalah merupakan badan hukum. Badan hukum sebagai subyek hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan perseronya juga dapat dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan harta kekayaan badan hukum yang dinyatakan pailit beralih pada kuratornya. Oleh karena itu maka gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan pada kuratornya.

Dalam UU BUMN, Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya

Page 60: pAILIT 2

atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi atas saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki negara RI yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang sekarang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 160 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU serta UU PT dan UU BUMN, maka terhadap BUMN juga dapat dikenai kepailitan. Akan tetapi harus diperhatikan adalah apakah BUMN sebagai badan hukum tersebut berbentuk Perum ataukah Persero, karena apabila berbentuk Perum maka seperti ketentuan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU bahwa yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan adalah Menteri Keuangan, tetapi apabila berbentuk Persero berdasarkan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU jo. UU PT dan UU BUMN maka yang mengajukan kepailitan sama seperti ketika suatu PT mengalami pailit artinya dapat diajukan oleh debitur, kreditur atau para krediturnya.

Sebelumnya pada Bab II, Nomor 2.3.3.1 telah saya bahas bahwa Persero itu identik atau sama dengan PT, maka untuk menjawab permasalahan ini tentunya kita harus mendasarkan pada ketentuan UU PT Tahun 2007 dan UUK dan PKPU.

4.2.1.BUMN Persero dapat dipailitkan

Perseroan adalah asosiasi modal yang oleh UU PT diberi status sebagai badan hukum. Oleh karena Perseroan adalah badan hukum (rechtperson) maka Perseroan adalah subyek hukum mandiri atau persona standi in judicio. Sejauh menyangkut kedudukannya dimuka hukum, Perseroan seperti halnya orang perseorangan (manusia) adalah pengemban hak dan kewajiban (drager van rechten en verplichtingen). Akan tetapi berbeda dari perseorangan, sekalipun Perseroan adalah subyek hukum yang mandiri, pada hakikatnya Perseroan adalah suatu ”artificial person” karena merupakan produk kreasi hukum .

Hal inilah yang menjadi sebab mengapa Perseroan memerlukan organ-organ tertentu seperti RUPS, direksi, dan komisaris untuk dapat melakukan perbuatan hukum . Karena untuk melakukan perbuatan hukum mutlak memerlukan jasa manusia sebagai wakilnya maka sudah tepatlah apa yang dinyatakan oleh UU PT Pasal 93 Ayat (1), yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah ”orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, …..”. Ketentuan serupa juga berlaku bagi anggota dewan komisaris yang diatur dalam Pasal 110 Ayat (1) UU PT.

Page 61: pAILIT 2

Sebagai legal entity, PT dapat mengajukan permohonan pailit ataupun dimohonkan pailit. Sebagaimana hal ini telah secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka (2) dan angka (3) UUK dan PKPU, bahwa yang dapat menjadi kreditur ataupun debitur adalah ”orang”. Pengertian kata ”orang” dalam pengertian kreditur dan debitur dalam UUK dan PKPU tersebut meliputi orang pribadi (personal entity) ataupun badan hukum (legal entity). Perseroan Terbatas atau PT adalah ”orang” dalam bentuk badan hukum (legal entity) . Sebagai suatu legal entity, PT merupakan pribadi hukum yang mandiri yang secara tegas mempunyai keterpisahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dengan masing-masing pribadi pemegang saham ataupun pengurusnya (separate entity separate liability) .

Walaupun PT merupakan wadah persekutuan modal dari para pemodalnya, akan tetapi, pada saat PT disahkan menjadi suatu badan hukum oleh Depkum dan HAM berdasarkan Pasal 7 Ayat (4) jo. Pasal 1 Ayat (1) UU PT, maka sejak saat itulah PT. lahir menjadi ”orang” yang memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari masing-masing pemegang sahamnya yang secara mandiri dapat dipergunakan untuk melaksanakan aktivitas bisnisnya denngan pihak lain, begitu pula penyelesaian kewajibannya ataupun utang-utangnya kepada krediturnya dengan menggunakan hartanya berdasarkan Pasal 1131 BW dan Pasal 1 angka (6) UUK dan PKPU .

Hal tersebutlah yang menjadi dasar, bahwa dalam UUK dan PKPU, PT dapat dikategorkan sebagai kreditor ataupun debitor, sehingga sebagai kreditur PT mempunyai kewenangan (presona in standi judicio) untuk mengajukan permohonan pernytaan pailit terhadap debitornya ataupun sebaliknya dimohonkan pailit oleh kreditornya ataupun secara volunter oleh dirinya senidri atas terpenuhinya bukti bahwa PT tersebut memenuhi syarat untuk dapat dimohonkan pailit .

Demikian juga menurut Fred BG. Tumbuan, bahwa perseroan sebagai subyek hukum mandiri cakap dan berwenang atas namanya dan untuk kepentingannya sendiri mengadakan aneka ragam hubungan hukum mengenai harta kekayaan (vermongensrechtelijke rechstbetrekkingen) dalam upayanya melaksanakan maksud dan tujuannya. Konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah bahwa terhadap Perseroan dapat dimohonkan pernyataan pailit oleh kreditornya . Bilamana permohonan pernyataan pailit diputuskan maka karena hukum kewenangan pengurusan dan pemberesan atas seluruh kekayaan Perseroan yang tercakup dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit secara eklusif diberikan kepada kurator .

Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur daam UUK dan PKPU . Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Page 62: pAILIT 2

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Persero itu sama dengan PT, maka terhadap Perseroan juga tentunya dapat dipailitkan, dengan catatan apabila telah terpenuhi syarat-syarat untuk dapat dipailitkan seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 UUK dan PKPU. Sampai disini memang ada hal yang harus diperhatikan dengan cermat, khususnya ketika terkait dengan siapa yang berwenang untuk dapat mengajukan permohonan kepailitan (legal standing) nya ketika menyangkut debitornya tersebut adalah BUMN.

Dalam Pasal 2 UUK dan PKPU dinyatakan bahwa pihak-pihak yang mengajukan permohonan kepailitan atas debitor yang tidak membayar utang-utangnya adalah: (1). Debitor sendiri, (2). Seorang atau lebih kreditor; (3). Kejaksaan ;(4). Bank Indonesia; dan (5). Menteri Keuangan.

4.2.2.Pihak Yang Dapat Mengajukan permohona pailit BUMN Persero

Menurut Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU, dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik , permohonan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU dinyatakan, yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah BUMN yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Lebih lanjut dengan merefer pada UU BUMN Pasal 1 angka 4, bahwa BUMN yang modalnya tidak terbagi dalam saham adalah Perusahaan Umum (Perum). BUMN yang berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero) tidak termasuk dalam kategori ini karena seluruh modal Persero terbagi dalam saham yang seluruhnya atau sebagian besar dimiliki Negara .

Saya kurang sependapat mengenai contoh yang diberikan oleh Sutan Remy Sjahdeini, terkait dengan ”badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”. Remy memberi contoh bahwa ”BUMN yang dimaksud, misalnya Pertamina, PLN, PT KAI, dan Jasa Marga” . Alasannya, karena pada faktanya contoh-contoh yang disebutkan tersebut adalah merupakan badan usaha milik negara yang berbentuk PERSERO. Sementara bila mendasarkan pada ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU dan lebih lanjut dihubungkan dengan UU BUMN Pasal 1 angka 4, jelas-jelas bahwa yang dimaksudkan adalah BUMN Perum bukan Persero. Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU tersebut yang membedakan adalah mengenai modalnya, seluruhnya dimiliki oleh negara dan ”terbagi atas saham” atau ”tidak terbagi atas saham”. Artinya Bila BUMN tersebut modalnya ”tidak terbagi atas saham” dengan kata lain BUMN Perum, maka permohonan kepailitan diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam hal ini Menteri Keuangan sebagai representasi negara sebagai pemilik modal.

Apabila BUMN tersebut modalnya ”terbagi atas saham”, itu artinya BUMN Persero maka seharusnya menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU yaitu permohononan kepailitan boleh diajukan oleh kreditur atau debitur itu sendiri. Sehingga tidak harus diajukan oleh Menteri Keuangan. Mengapa demikian, karena filosofinya Persero adalah sebagai suatu legal entity, identik dengan PT. yang merupakan pribadi hukum yang mandiri yang secara tegas

Page 63: pAILIT 2

mempunyai keterpisahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dengan masing-masing pribadi pemegang saham ataupun pengurusnya (separate entity separate liability). Sementara dalam Persero, Menteri Keuangan berkedudukan sebagai pemegang saham, sehingga hak dan kewajiban yang ada sama seperti pemegang saham biasa yang lainnya.

Pasal 1 UU BUMN menentukan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki Negara melalui penyertaan langsung berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. UU BUMN mengenal dua bentuk BUMN, yakni Perusahaan perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum).

Kewenangan Menteri Keuangan RI untuk mengajukan pernyataan kepailitan hanya untuk BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik. Penjelasan Pasal 2 UUK dan PKPU menyatakan, BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Dengan penjelasan diatas tentunya mudah difahami apabila ada BUMN Persero atau saya sebut dengan Persero saja apabila telah memenuhi syarat untuk dipailitkan maka bukan merupakan kewenangan atau tidak harus Menteri Keuangan yang mengajukan kepailitan seperti yang terjadi pada contoh kasus kepailitan PT DI (Persero) pada tahun 2007.

Karena apabila mendasarkan pada ketentuan-ketentuan UUK dan PKPU dan UU BUMN seperti yang telah diuraikan tadi maka sebagai Persero, pengajuan pailit PT. DI (Persero) tidak harus diajukan oleh Menteri Keuangan, akan tetapi dapat secara langsung diajukan oleh kreditornya, sepanjang persyaratan untuk memohonkan pailit sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi. Inilah yang dijadikan dasar pertimbangan oleh majelis hakim dalam putusannya No. 41/Pailit/2007/PN. Niaga/Jkt. Pst tanggal 4 September 2007 atas PT. Dirgantara Indonesia (Persero) , yang antara lain berbunyi seperti berikut:

”menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka majleis hakim sependapat dengan Pemohon bahwa Termohon Pailit PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tidak termasuk dalam kategori BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU sehingga dengan demikian Pemohon Pailit mempunyai kapasitas hukum untuk mengajukan Permohonan pailit terhadap Termohon Pailit, PT. Dirgantara Indonesia (Persero)”.

Sesungguhnya status PT. DI (Persero) tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN yang bergerak dalam bidang publik sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 1 angka 4 UU BUMN. Karena dalam PT. DI (Persero) seluruh modalnya terbagi dalam saham. Mengenai status hukum PT. DI (Persero) dapat dilihat dalam Berita Negara mengenai persetujuan akte perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas Tanggal 25 Oktober 2005 No. 85 oleh Depkum dan HAM RI. Sesuai dengan Keputusan Menkum dan HAM RI No.C-04670.HT.01.04 tahun 2005 dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan

Page 64: pAILIT 2

(Persero) PT. Dirgantara Indonesia disingkat PT. DI (Persero). Kemudian dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) disebutkan pemegang saham dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara RI cq. Negara Republik Indonesia dan Menteri Keuangan RI cq. Negara Republik Indonesia .

Pada dasarnya, permohonan pailit kepada BUMN Persero, bukan baru pertama kali diajukan ke Pengadilan Niaga. Sebelumnya, pengajuan pailit telah pernah diajukan kepda PT. Hutama Karya (Persero) yang pada tingkat kasasi telah diputuskan pailit. Akan tetapi kemudian putusan kasasi tersebut dibatalkan Majelis H akim PK MA. Tidak dengan menggunakan alasan hukum seperti yang diajukan dalam putusan PT. DI (Persero), akan tetapi dengan membuktikan fakta bahwa kewajiban PT. Persero tersebut kepada kreditur lainnya, ternyata telah dilunasi, sehingga terbukti mempunyai kreditur lainnya seperti yang dipersyaratkan oleh Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU. Demikian juga terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh The Vietnam Frontier Fund terhadap PT. DOK dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) yang ditolak oleh Pengadilan Niaga hingga pada tahap kasasi, tidak didasarkan oleh adanya hak khusus terhadap Persero .

Pertimbangan yang dipergunakan hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi dalam membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas putusan pailit PT. DI (Persero), antara lain seperti dikutip berikut:

” bahwa oleh karena itu, Pemohon kasasi I/Termohon sebagai Badan Usaha Milik Negara yang keseluruhan modalnya dimiliki negara dan merupakan obyek vital industri, adalah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik yang hanya dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 Ayat (5) UU No. 37 / 2004”.

Saya sependapat dengan Ricardo Simanjuntak dalam hal ini, bahwa Pengadilan Niaga harus secara berani mengambil sikap yang tegas dan berkepastian hukum sehubungan dengan kedudukan BUMN dalam hal permohonan pailit yang tetap akan memungkinkan diajukan kepadanya sebagai badan hukum pendukung hak dan kewajiban. MA tidak dapat dengan begitu saja mengesampingkan ketentuan yang telah ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU dan dalam penjelasannya serta dalam UU BUMN yang secara jelas dimaksudkan dalam hal BUMN tersebut adalah Persero, maka permohonan pailit terhadapnya dapat diajukan secara langsung oleh krediturnya .

4.2.3.Kedudukan hukum direksi BUMN Persero dalam kepailitan

Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar UU PT. mewajibkan pada setiap anggota direksi untuk beritikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan usaha perseroan.

Page 65: pAILIT 2

Artinya direksi harus bertanggung jawab atas setiap pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Demikian juga mestinya di dalam menjalankan BUMN yang berbentuk Persero, karena pada prinsipnya pengelolaan untuk BUMN Persero itu sama dengan pengelolaan dalam Perseroan Terbatas.

Sehingga direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma perseroan terbatas. Karena pentingnya fungsi dan kedudukan direksi, Nindyo Pramono menyitir teori organisme dari Otto Von Gierke dan teori perwakilan dari Paul Scholten dan Bregstein. Menurut teori organisme, pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ seperti: kaki, tangan, panca indera, dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktivitas pengurus badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri sehingga pengurus adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya menurut Paul Scolten dan Bregstein, bahwa pengurus mewakili badan hukum. Analog dengan pendapat Gierke dan Paul Scholten, maka direksi PT. bertindak mewakili PT. sebagai badan hukum. Hakekat dari perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab orang itu . Dari ketentuan normatif dalam UU PT dan teori dari Gierke- Scholten-Bregstein maka fungsi direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan .

Sehubungan dengan kepailitan perseroan perlu diperhatikan bahwa selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 jo. Pasal 122 UUK dan PKPU, yang secara khusus berlaku bagi pengurus/direksi dan komisaris prseroan dan badan hukum lainnya.

Bahwa pernyataan pailit tidak dengan sendirinya mengakibatkan perseroan menjadi bubar. Karena berkenaan dengan kepailitan Persero bisa bubar, hanya apabila terjadi salah satu dari dua kejadian berkenaan dengan kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 Ayat (1) huruf d dan e UU PT, bahwa pembubaran perseroan terjadi:

(d).dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

(e).karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Oleh karena itu, perseroan pailit kecuali dibubarkan sebagaimana disebut di atas, tetap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum. Yang kemudian perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana selanjutnya kewenangan organ-organ Perseroan pailit.

Page 66: pAILIT 2

Kepailitan tidak menyentuh status badan hukum, mengingat bahwa kepailitan berkaitan dengan dan hanya mencakup harta kekayaan badan hukum. Badan hukum sebagai subyek hukum mandiri tetap cakap bertindak dan oleh karena itu, pada dasarnya organ-organ badan hukum tersebut mempunyai kewenangannya berdasarkan hukum (rechpersonenrechtelijke bevoegdheden) .

Oleh karena itu apabila Persero tadi mengalami kepailitan, maka direksi BUMN Persero tersebut tetap berwenang mewakili perseroan secara sah dalam melakukan setiap perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan hak dan kewajibannya, sejauh perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pengurusan (beheersdaden) dan perbuatan pengalihan (beschikkingsdaden) berkenaan dengan kekayaan perseroan yang tercakup dalam harta pailit .

Akan tetapi Remi Sjahdeini berpendapat lain, menurutnya Kurator berkedudukan sama dengan direksi perseroan karena kurator menggantikan kedudukan direksi perseroan setelah perseroan dinyatakan pailit.

Saya sependapat dengan Fred BG.Tumbuan , bahwa kepailitan sebuah perseroan tidak berarti status badan hukum suatu PT. menjadi hilang. Eksisnya badan hukum PT. berarti organ-organ perseroan juga harus tetap eksis. Status badan hukum suatu perseroan yang pailit, tetap eksis sebelum perseroan tersebut dibubarkan yang dilanjutkan dengan likuidasi. Karena status badan hukum BUMN Persero sebagai badan hukum privat itu sama dengan PT. maka apabila terjadi kepailitan pada BUMN Persero sama perlakuannya dengan kepailitan yang terjadi pada sebuah PT.

Kepailitan perseroan berakibat bahwa Perseroan (cq. Organ-organnya) tidak lagi secara sah dapat melakukan perbuatan hukum yang mengikat harta pailit Perseroan, karena kewenangan tersebut secara ekslusif ada pada kurator. Hal ini tidak berarti bahwa kurator selanjutnya menggantikan kedudukan organ-organ Perseroan. Pada dasarnya organ-organ Perseroan tetap berfungsi sesuai dengan UU PT dan anggaran dasarnya.

Khusus berkenaan dengan tugas kurator, perlu diperhatikan bahwa baik direksi maupun dewan komisaris wajib memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dan Pasal 124 UUK dan PKPU 2004. Bahwa dalam kepailitan suatu badan hukum, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93–Pasal 97 hanya berlaku terhadap pengurus badan hukum tersebut, dan ketentuan Pasal 110 Ayat (1) berlaku terhadap pengurus dan komisaris . Pasal 110 Ayat (1) menyatakan, debitor pailit wajib menghadap hakim Pengawas, Kurator atau panitia kreditor apabila dipanggil untuk memberi keterangan.

Sementara M. Hadi Shubhan berpendapat bahwa, yang berwenang melakukan pengurusan dan pemilikan adalah kurator, dan demi hukum usaha PT tersebut harus berhenti. Jika mau melanjutkan usaha (on going concern) harus ijin hakim pengawas, akan tetapi dalam praktik, tenaga direksi masih diperlukan oleh kurator sehingga direksi dapat membantu kurator. Jadi harus ada pelimpahan wewenang atau perintah dari kurator.

Page 67: pAILIT 2

Amir Abadi Jusuf , sejalan dengan pendapat Fred bahwa kurator tidak menggantikan kedudukan direksi/komisaris sehubungan dengan pengurusan kekayaan perusahaan pailit. Kurator hanya bertanggung jawab atas pengurusan dan pemberesan kekayaan perusahaan. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai pengurus perusahaan, di luar pengurusan kekayaan perusahaan, tetap berada di tangan direksi dan komisaris. Meskipun ada kesan bahwa dengan kewenangan tanggung jawab yang dimilikinya, kurator menggantikan kedudukan direksi/ komisaris, termasuk pemenuhan kewajiban perusahaan sebagai suatu badan usaha atau badan hukum.

Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 143 Ayat (1) jo. Pasal 142 Ayat (2) UU PT. Dalam Pasal 143 Ayat (1) UU PT menyatakan dengan tegas bahwa: ”pembubaran perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan”.

4.2.4.Tanggung jawab direksi BUMN Persero dalam kepailitan

Untuk membahas mengenai tanggung jawab direksi BUMN Persero atas kepailitan tersebut, ada dua doktrin yang penting untuk dikemukakan yaitu: fiduciary duty dan business judgement rule .

Dalam teori tentang perseroan terbatas yang mutakhir mengenai kewajiban pengurus perseroan memiliki 2 macam kewajiban menurut Sutan Remi Sjahdeini , yaitu:

1. Statutory duties, yaitu kewajiban yang secara tegas ditentukan oleh undang-undang.

Mengenai statutory duty sebagaimana diatur dalam UU PT Pasal 92 Ayat (1), Pasal 97 Ayat (1) dan Pasal 98 Ayat (1), yang pada intinya bahwa tugas utama pengurus perseroan (direksi) adalah melaksanakan pengurusan perseroan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan, sehingga maksud dan tujuan perseroan akan tercapai. Tugas kepengurusan direksi tidak terbatas pada kegiatan rutin, melainkan juga berwenang dan wajib mengambil inisiatif membuat rencana dan perkiraan mengenai perkembangan perusahaan untuk masa mendatang dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan.

2. Fiduciary duties direksi terhadap perseroan tercermin dalam dua macam kewajiban yaitu (1) duty of loyalty and good faith dan (2) duty of care and diligence . Dalam konteks duty of loyalty and good faith, direksi tidak semata-mata hanya melaksanakan tugas untuk dan bagi kepentingan perseroan, melainkan juga para stakeholders perseroan yang didalamnya juga meliputi kepentingan dari para pemegang saham perseroan, kreditor perseroan dalam arti luas, yang meliputi juga para pemasok, rekanan kerja, juga konsumen. Berdasarkan duty of care atau kewajiban untuk berhati-hati, anggota direksi dan pegawai suatu perseroan harus

Page 68: pAILIT 2

bersikap dan berbuat: ”They must exercise that degree of skill, diligence, and care that a reasonably prudent person would exercise in similar circumstances” .

Menurut Remy, bahwa di negara-negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah standard of care atau ”standar kehati-hatian”. Apabila direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standar of care, direksi tersebut dianggap telah melanggar duty off care-nya.

Sementara menurut Munir Fuady menyatakan adanya doktrin putusan bisnis (business judgement rule), ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:

1. putusan sesuai hukum yang berlaku

2. dilakukan dengan itikad baik

3. dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose)

4. putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational basis)

5. dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa

6. dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.

Gunawan Widjaya menyatakan bahwa dalam konsepsi business judgement rule seorang anggota direksi tidak dengan mudah dianggap telah melakukan pelanggaran atas duty of care and skill, selama ia dalam mengambil suatu tindakana telah didasarkan pada itikad baik, kecuali jika terdapat kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum (illegality). Business judgement rule secara tradisional juga dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota direksi dari pertanggungjawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan . Jadi sebenarnya dengan diberlakukannya prinsip judgement rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga bahwa direksi (dan/atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan wajib membuktikan adanya dugaan tersebut .

Dari uraian tersebut diatas, seolah-olah kedua doktrin tersebut ”fiduciary duty” dan ”business judgement rule” saling bertolak belakang. Menurut Robert Charles Clark agar kedua doktrin ini tidak saling berbenturan, tetapi dapat sejalan satu dengan yang lainnya perlu dijadikan pegangan formulasi berikut: ”the directors business judgement can not be attacked unless their judgement was arrived at in negligent manner, or was tainted by fraud, conflict of interest, or illegality” atau

Page 69: pAILIT 2

secara lain dirumuskan bahwa ”the business judgement rule presupposes that reasonable deligence lies behind teh judgement in question”. Clark mengakui bahwa untuk membuat kedua konsep tersebut konsisten satu sama lain tidaklah mudah karena memisahkan antara apa yang disebut a honest dan a negligent mistake sangat sulit dilakukan.

Dalam UU PT. yang baru ini rupanya telah menganut prinsip ”business judgement rule” sebagaimana dituangkan dalam Pasal 92 Ayat (2), yaitu: direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijaksanaan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar. Dalam penjelasan pasal tersebut dibatasi definisi kebijakan yang dipandang tepat yaitu kebijakan yang didasarkan pada: (1). keahlian, (2). peluang yang tersedia, dan (3). kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.

Di dalam Undang-undang, mengenai tanggung jawab direksi dalam hal terjadi kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU PT, adalah:

1. direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

2. dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut,

3. tanggung jawab sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu 5 tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan,

4. anggota direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan, dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

Page 70: pAILIT 2

5. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.

Berdasarkan Pasal 104 khususnya Ayat (4), memberi kesempatan pada direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila direksi dapat membuktikan 4 hal sebagaimana disebutkan dalam ayat (4). Dengan demikian, beban pembuktian berada pada direksi yang bersangkutan. Mengenai pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalaian ini menjadi kunci utama dalam menuntut pertanggung jawaban anggota direksi.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksudkan dengan ”kesalahan” dalam Pasal 90 Ayat (2) UU PT yang lama adalah ”kesengajaan”, karena dalam Pasal 90 Ayat (2) UU PT lama disebut pula secara tersendiri unsur ”kelalaian” .

Remy sependapat dengan sikap pengadilan-pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat (gross negligence) .

Dalam UUK dan PKPU, ada 2 pasal yang dapat diterapkan terhadap pengurus perseroan baik direksi maupun komisaris, yaitu Pasal 111 dan Pasal 122.

Di dalam UU PT yang baru yakni UU No. 40 Tahun 2007 juga telah mengatur tentang tanggung jawab yang seimbang dan adil antara direksi dan dewan komisaris dalam hal terjadi kepailitan suatu perseroan, yang mana sebelumnya dalam UU PT yang lama yaitu UU No. 1 tahun 1995 tidak dibebankan kepada dewan komisaris.

4.2.5.Terhadap kekayaan BUMN Persero dapat dilakukan sita umum dalam kepailitan

Terhadap kekayaan BUMN yang berbentuk Persero maupun Perum dapat saja dilakukan sita umum dalam kepailitan. Karena status harta kekayaan yang ada pada BUMN yang berbentuk Persero maupun Perum, keduanya adalah merupakan harta kekayaan negara yang telah dipisahkan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU BUMN.

Oleh karena itu berdasarkan PP tersebut harta kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut dengan mengacu pada doktrin mengenai badan hukum, sudah bukan merupakan aset negara atau milik negara lagi tetapi telah menjadi harta kekayaan BUMN baik itu yang berbentuk Perum apalagi BUMN yang berbentuk Persero maka sejak adanya akte notaris tentang pendirian persero, jelas-jelas merupakan badan hukum privat. Karena BUMN sebagai sebuah badan usaha yang berbadan hukum maka sebagai konsekwensi yuridisnya adalah dapat mempunyai hak dan kewajiban layaknya subyek hukum pribadi atau person. Oleh karena itu sudah tidak ada aset negara atau modal milik negara lagi tetapi yang ada adalah modal atau saham milik perseroan itu sendiri sebagai badan hukum.

Page 71: pAILIT 2

Sehingga aset BUMN Perum dan Persero tidak termasuk dalam pengertian atau kategori ketentuan Pasal 50 khususnya huruf (a) dan (d) UU PBN . Oleh karena itu terhadap aset BUMN Persero tersebut karena tidak masuk dalam pengertian aset milik negara maka tentunya dapat dilakukan sita.

Dalam UU PBN, pada Bab VIII mengatur mengenai Larangan Penyitaan Uang dan Barang Milik Negara/ Daerah dan/ atau Yang Dikuasai Negara/ Daerah.

Pasal 50, menyebutkan “pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:

a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;

Karena bukan merupakan uang dan/atau barang milik negara (tidak memenuhi rumusan Pasal 50 huruf (a) dan (d) UU PBN, maka menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 Ayat (5) dan penjelasannya UUK dan PKPU, aset BUMN termasuk obyek dalam kepailitan artinya terhadap aset BUMN dapat diajukan untuk dimohonkan pailit. Hanya memang ada ketentuan yang berbeda terkait dengan siapa pihak yang dapat mengajukan pailit ke pengadilan niaga antara BUMN yang berbentuk Perum dengan yang berbentuk Persero. Karena menurut UUK dan PKPU apabila terkait dengan kepailitan BUMN Perum yang harus mengajukan adalah Menteri Keuangan sebagaimana penjelasan Pasal 2 Ayat (5), lain halnya dengan BUMN Persero maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU.

Dalam Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU menyebutkan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Kemudian terkait dengan syarat dan putusan untuk pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1), bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Ayat (5), dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan pulik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Khusus mengenai kepailitan terhadap Badan Usaha Milik Negara maka dapat dirujuk penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU seperti berikut:

”Yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik” adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan permohonan pailit untuk instansi yang berada dibawah pengawasannya seperti

Page 72: pAILIT 2

kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan badan pengawas pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”.

Dari penjelasan Pasal 2 Ayat (5) tersebut diatas maka dapat dimaknai bahwa bila BUMN itu modal seluruhnya berasal dari negara dan tidak terbagi atas saham berarti bukan BUMN Persero. Karena apabila Persero maka terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang sekarang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 160 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 7 Ayat (1) UU PT yang baru disebutkan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dan modalnya terbagi atas saham (ayat 2).

Karena bukan Persero berarti Perum karena menurut UU BUMN, bentuk BUMN hanya ada dua yaitu Perum dan Persero. Sehingga untuk BUMN Persero berlaku ketentuan Pasal 2 Ayat (1) artinya untuk dapat mempailitkan BUMN Persero bukan kewenangan Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan kepailitan tersebut, dan apabila BUMN dalam bentuk Perum maka yang berwenang untuk mengajukan permohonan kepailitan adalah Menteri Keuangan.

Ini artinya terhadap BUMN pun dapat dimohonkan untuk dipailitkan bukan kebal pailit, hanya pihak yang mengajukan permohonan kepailitan saja yang berbeda, bila Perum oleh Menteri Keuangan sebagai pihak yang mewakili pemerintah pada Perum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1998 yang merujuk pada penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU. Untuk Persero diajukan oleh debitur itu sendiri, kreditur atau para krediturnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU

4.3. Kajian Terhadap Putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung RI atas Kepailitan BUMN Persero

Selama kurun waktu berlakunya UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 (1998-2004) dan UU No. 37 tahun 2004 (2004-2010/sekarang), tidak banyak kita temukan permohonan pernyataan pailit yang menyangkut debitor atau kreditor BUMN Persero. Beberapa permohonan kepailitan atas BUMN Persero memang kita temukan, yakni selama kurun waktu berjalannya kedua UUK dan PKPU tersebut (periode 1998-2007) sekitar 4 kasus saja, itupun pada akhirnya tidak ada satu pun BUMN Persero yang betul-betul berakhir dengan dipailitkan sampai tahun 2007. Barulah kemudian di Tahun 2007 pada kasus PT DI (Persero) dinyatakan pailit oleh PN Niaga Jakarta Pusat, akan tetapi Mahkamah Agung RI dalam kasasi mengabulkan permohonan kasasi sehingga PT DI (Persero TIDASK PAILIT. Berikutnya tahun 2009, Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi, PT. IGLAS (Persero) dinyatakan pailit pada tanggal 30 Juli 2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Surabaya. Inilah menurut saya, yang menjadikan suatu hal yang menarik untuk dikaji pada BUMN Persero.

Beberapa kasus terkait dengan permohonan pailit yang menyangkut BUMN Persero yang berhasil saya telusuri adalah seperti diuraikan dalam tabel 1 berikut:

Page 73: pAILIT 2

Tabel 4.3.1.

Permohonan pailit yang berkaitan dengan BUMN Persero (1998-2010)

No. Pemohon Pailit/ Debitur Termohon Pailit/ Kreditur No. Putusan Amar Putusan

1 Canadian Imperial Bank of Commerce PT. HUTAMA KARYA (PERSERO) P Niaga: Putusan No. 43/Pailit/1999 /PN.Niaga/Jkt.Pst, Tanggal 3 Agst 1999 Permohonan tidak dapat diterima

MA/Kasasi: Putusan No. 29/K/ N/1999, Tanggal 4 Okt 1999 Menolak Permohonan Kasasi

MA/PK: Putusan No. 26/PK/ N /1999, tanggal 8 Des 1999 Menolak Permohonan PK

2. Chinatrust Commercials Bank PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) P Niaga: Putusan No. 55/Pailit/1999 /PN. Niaga/ Jkt.Pst., tanggal 20 Sept 1999 Menolak permohonan pemohon

MA/Kss:Putusan No. 033/ K/N /1999, 1 Nov1999 Menolak Permohonan kasasi

3. The Hongkong Chinesse Bank LTD. PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) P Niaga: Putusan No. 81/Pailit /1999/ PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal 25 Nov 1999 Permohonan tidak dapat diterima

P Niaga: Putusan No. 06/Pailit /2000/ PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal 25 Feb. 2000 Permohonan tidak dapat diterima

P Niaga: Putusan No. 32/Pailit /2000/ PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal 14 Juni 2000 Menolak Permohonan Pailit

MA/Kasasi: Putusan No. 21/K/ N/2000, Tanggal 6 Juli 2000 Menolak Permohonan Kasasi

4. Suryono, Nugroho, Sayudi (3 orang mantan pekerja PT. DI Persero) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) P Niaga: Putusan No. 41/Pailit/ 2007/ PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal, 3 Sept 2007 Mengabulkan Permohonan Pailit, (PT. DI. (Persero) PAILIT

PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dan PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Suryono, Nugroho, Sayudi (3 orang mantan pekerja PT DI) MA/Kasasi:Putusan No. 075/K/ N/2007, tanggal, 22 Okt 2007 Menolak Permohonan pemohon, (PT. DI (Persero) TIDAK PAILIT

Page 74: pAILIT 2

5. PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA PT. IGLAS (Persero) P Niaga: Putusan No. 01/Pailit/ 2009/ PN. Niaga. Sby, Tanggal 03 April 2009 Menolak Permohonan pemohon, (PT. IGLAS (Persero) TIDAK PAILIT

PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA PT. IGLAS (Persero) Putusan No. 397 K/Pdt. Sus/ 2009, Tanggal 30 Juli 2009. Mengabulkan permohonan pemohon,PT. IGLAS (Persero) PAILIT

Dua contoh kasus kepailitan atas BUMN Persero yang terakhir (yaitu Putusan pailit atas Termohon pailit PT. DI (Persero) dan PT. IGLAS (Persero) inilah yang kemudian dikaji dan pembahasan secara khusus dan mendalam untuk Disertasi ini.

Untuk lebih jelasnya, maka terhadap putusan-putusan pailit PT. DI (Persero) serta PT. IGLAS (Persero) sebagai BUMN Persero yang berposisi sebagai pihak Termohon pailit dilakukan analisis/pembahasan secara mendalam dan rinci terhadap ptutusan-putusan Pengadilan Niaga dan putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht vangewijsde) akan dibahas dalam uraian tersendiri dalam bab ini

4.3.1.Kasus Kepailitan PT. DI (Persero)

4.3.1.1.Kasus Posisi

Secara ringkas kasus posisi kepailitan PT. DI (Persero) dapat dideskripsikan seperti berikut:

Permohonan pailit ini diajukan oleh 3 orang mantan pekerja PT. DI (Persero), yaitu Heryono, Nugroho, dan Sayudi. Kasus ini bermula dari adanya PHK terhadap 6.561 orang pekerja PT. DI (Persero) pada tahun 2003. Permohonan kepailitan diajukan antara lain berdasarkan: adanya utang (Pasal 1 Ayat (6) UUK) yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dimana utang ini timbul berdasarkan adanya Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4 Pusat) No.: 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap dengan nomor urut 332, 1724 dan 2082. Dalam amar III dari Putusan P4P antara lain memutuskan: mewajibkan kepada Pengusaha PT. DI (Persero) memberikan kompensasi pensiun dengan mendasarkan besarnya upah pekerja terakhir dan Jaminan Hari Tua sesuai UU No. 3 tahun 1992 tentang Ketenagakerjaan. Perhitungan dana pensiun yang menjadi kewajiban Termohon untuk membayar kepada Pemohona adalah masing-masing sebagai berikut: Heryono, sebesar Rp 83.347.862,82, Nugroho sebesar Rp 69.958.079,22, dan Sayudi, sebesar Rp 74.040.827,91.

4.3.1.2.Putusan Pengadilan

4.3.1.2.1.Pengadilan Niaga

Page 75: pAILIT 2

Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 41/Pailit /2007-PN. Niaga/ Jkt. Pst , yang diucapkan dalam sidang terbuka pada hari Selasa, tanggal 4 September 2007, bahwa PT. DI (Persero) dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya oleh Hakim Majelis yang dipimpin oleh Andriana Nurdin, dengan hakim anggota Makassau, dan Heru Pramono.

4.3.1.2.2. Mahkamah Agung

PT. DI (Persero) sebagai pihak yang dikalahkan kemudian mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi tersebut diajukan selain oleh PT. DI (Persero) juga dimohonkan oleh PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor:075K/Pdt.Sus/2007 memutuskan: mengabulkan permohonan Kasasi dari para Pemohon Kasasi: (1) PT. Dirgantara Indonesia (Persero), (2) PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Serta membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor:41/Pailit /2007 PN.Niaga/Jkt.Pst. Tanggal 4 September 2007. Yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 2007, dipimpin Ketua Majelis Hakim Mariana Sutadi, beranggotakan Abdul Kadir Moppong dan Atja Sandjaya.

4.3.1.3.Analisis

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyatakan pailit PT. DI (Persero) karena dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun serta jaminan hari tua kepada eks pekerjanya sejak 2003. Ini lebih mengedepankan tentang batas hukum kekayaan negara sebagai badan hukum publik.

Reaksi yang ditunjukkan pemerintah selaku pemegang saham PT DI (Persero), melalui Menteri Negara BUMN, yang dalam memori kasasi dengan menyampaikan argumen aset negara tidak dapat disita berdasarkan Undang-undang Keuangan Negara cenderung menguatkan negara memiliki preferensi untuk meniadakan batasan hukum kekayaan negara.

Apabila mendasarkan pada reaksi pemerintah dan paket peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara, pengertian aset negara memang mencakup arti yang seluas-luasnya. Kekayaan negara dapat berbentuk uang, benda tidak bergerak dan benda bergerak, termasuk di dalamnya kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana BUMN. Dengan demikian, kekayaan negara tidak lagi memiliki preferensi batasan kekayaan yang dimiliki negara sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, kedudukan negara sebagai badan hukum privat melalui kepemilikan sahamnya di BUMN juga dikatagorikan sebagai kekayaan negara.

Dengan demikian, secara normatif BUMN merupakan kekayaan negara dan dikatagorikan sebagai Keuangan Negara berdasarkan Pasal 2 huruf (g) UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Ketentuan inilah yang telah digunakan pemerintah sebagai bahan memori kasasi atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Page 76: pAILIT 2

Pusat dan alasan ini pula yang kemudian dijadikan pertimbangan hukum oleh Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Kasasi PT. DI (Persero).

Di samping itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dinilai mengesampinkan Pasal 50 huruf d Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang melarang pihak manapun melakukan penyitaan terhadap benda tidak bergerak dan hak kebendaan milik negara, termasuk di dalamnya kekayaan BUMN.

Berdasarkan teori hukum keuangan negara, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat justru dapat dibenarkan karena BUMN tidak dapat dikatagorikan sebagai kekayaan negara dan bahkan tidak dapat dimasukkan dalam ruang lingkup keuangan negara. Sistem pengelolaan dan pertanggung jawaban PT. DI (Persero) sebagai sebuah korporasi dan perseroan yang tunduk pada ketentuan hukum privat, tidak dapat dikesampingkan karena pemilik sahamnya adalah negara. Hal ini disebabkan kedudukan negara dalam PT. DI (Persero) berada dalam kapasitas sebagai badan hukum privat yang sama dengan subyek hukum lainnya dalam lapangan aktivitas keperdataan.

Dengan demikian, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan dasar justifikasi hukum yang menegaskan ”tiadanya pembedaan status hukum BUMN dalam menghadapi tuntutan kepailitan”. Majelis hakim telah menerapkan asas avoidable consequences atau asas akibat yang tidak dapat dihindari di mana pihak yang merugikan harus membayar kerugian.

Dengan asas ini, status hukum BUMN sebagai bagian dari ruang lingkup keuangan negara dan kekayaan negara telah dikesampingkan. Dengan demikian, PT. DI (Persero) sebagai suatu korporasi atau perseroan dinyatakan telah merugikan kepentingan eks karyawannya, sehingga harus membayar kerugian tersebut. Namun, putusan ini membuktikan bahwa putusan pailit yang ditujukan kepada PT. DI (Persero) secara tegas tidak menjadikan negara sebagai badan hukum publik ikut pailit karena secara teori hukum keuangan publik, kepailitan hanya ditujukan pada persona privat perusahaan tersebut, dan bukan pada persona negara sebagai organisasi kekuasaan penyelenggara negara.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tampaknya menguatkan Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 pada tahun 2006, tentang penyelesaian utang terkait dengan kredit macet pada Bank-bank BUMN (Bank Mandiri) yang menyatakan kekayaan yang dipisahkan tidak dapat dikatagorikan sebagai keuangan negara.

Sikap badan peradilan ini justru memberikan penyadaran hukum mengenai batas-batas kedudukan negara dalam lapangan kekayaan negara yang telah dipisahkan. Dalam hal ini, pemerintah dan aparatur negara lainnya perlu merekonstruksi kembali batasan hukum tanggung jawab dan risiko negara dalam hal kekayaan negara yang telah dipisahkan.

Page 77: pAILIT 2

Dalam teori hukum, pembedaan kedudukan negara tersebut menjadi dasar sistematisasi hukum. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik, negara merupakan pihak yang memiliki kemampuan memaksa dalam bentuk pengambilan keputusan (regeringsbesluit) yang bersifat strategi atau tindakan pemerintahan (regeringsmaatregelen) yang bersifat menegakkan hukum dan wibawa negara. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik, hukum yang berlaku adalah hukum publik.

Sebaliknya, dalam kedudukannya sebagai badan hukum privat, negara memiliki hak atas kebendaan (jus in rem) dan hak atas orang (jus in personam) yang wujud pelaksanaannya tunduk dan ditetapkan berdasarkan hukum privat. Dengan demikian, dalam menjalankan aktivitas keperdataan, norma-norma dalam hukum perdata berlaku bagi negara.

Berdasarkan dari segi teori hukum dan kontekstualisasi ilmu hukum tersebut, sangat tepat Fatwa Mahkamah Agung yang menyatakan kekayaan negara yang dipisahkan dari dalam APBN dan APBD sebagai penyertaan modal dalam perusahaan negara tidak diklasifikasikan sebagai keuangan negara. Hal ini berarti Fatwa Mahkamah Agung secara tegas telah mengesampingkan pengertian keuangan negara dalam Pasal 2 huruf (g) UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan, “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”.

Aset negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal dalam perusahaan negara menjadikan kedudukan negara dalam perusahaan tersebut sebagai badan hukum privat. Negara memposisikan diri sebagai subyek hukum privat yang kedudukannya sama dan sederajat dengan pihak yang lainnya dalam perusahaan tersebut.

Pemahaman hukum tersebut menjadi dasar relevansibilitas fatwa MA di mana tindakan yang berbeda, meskipun keduanya dilakukan oleh negara, ditundukkan sistem hukum yang berbeda, yaitu hukum publik atau hukum privat. Fatwa MA menegaskan pembedaan posisi negara sebagai badan hukum privat dalam perusahaan negara, sehingga negara tidak berperilaku sebagai badan hukum publik pada saat melakukan hubungan keperdataan yang akhirnya dapat merusak kepribadian hukum negara .

Dengan demikian, jelas penyertaan modal negara dalam perusahaan negara tidak dapat dikatagorikan sebagai keuangan negara. Dalam perspektif hukum, keuangan/kepunyaan negara adalah yang ditentukan sebagai milik negara dan disediakan (oleh negara) untuk dipergunakan dalam rangka kepentingan pelayanan fungsi pemerintahan negara dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik. Dengan demikian, keuangan/ kekayaan negara yang tidak ditujukan pada kepentingan pelayanan fungsi pemerintahan negara tidak dapat dikatagorikan sebagai kekayaan/keuangan negara.

Page 78: pAILIT 2

Hal ini berarti hukum telah menentukan pembedaan kedudukan negara sebagai badan hukum publik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dan negara sebagai badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum privat. Negara tidak memiliki keleluasan untuk mengeluarkan wewenang yang bersifat publik dalam pengelolaan sektor privat yang tata kelola dan tata tanggung jawabnya tunduk pada ketentuan privat. Pembedaan ini merupakan konsep hukum modern yang sangat membedakan imunitas publik dan imunitas privat dengan maksud menjelaskan batas-batas keuangan/kekayaan yang dimiliki setiap badan hukum.

Dalam kasus ini, pemerintah sebagai representasi pemilik saham PT. DI (Persero) diminta menyadari tanggung jawab atas risiko kepemilikan saham yang diakui sebagai kekayaan negara. Kecenderungan yang terjadi selama ini, pengakuan atas penguasaan kekayaan negara, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan, hanya ditujukan pada pengakuan keuntungan dan asetnya. Akan tetapi, risiko dan tanggung jawab atas kerugian yang dialami pihak lain (actual damages), negara seakan lepas tangan. Dalam hal ini, negara perlu diberikan pembelajaran hukum kekayaaan negara yang memadai, sehingga persepsi atas penguasaan semua aset kekayaan negara di manapun mengandung risiko kewajiban dan tanggung jawab, bukan sekadar pengakuan atas hak kepemilikannya saja.

Selanjutnya dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung dengan hakim ketua Majelis Mariana Sutadi membatalkan Putusan pailit atas kasus PT. DI (Persero) pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 2007 melalaui Putusan Nomor: 075 K/Pdt. Sus/2007.

Menurut saya, dalam memutuskan Kasus kepailitan PT. DI (Persero) ini majelis hakim masih kurang cermat atau tidak tepat dalam mempergunakan dasar hukum dan dasar pertimbangannya. Sehingga berakibat pada keliru dalam menarik kesimpulan yang mengakibatkan pada salahnya dalam penerapan hukum untuk memutuskan kepailitan PT. DI (Persero) yang semestinya benar-benar telah memenuhi syarat untuk dapat dipailitkan sebuah BUMN Persero menjadi “seolah-olah” syarat tersebut tidak terpenuhi. Demikian juga dalam penggunaan dasar hukum mestinya mengacu atau mengedepankan pada berlakunya asas hukum “lex specialist derogat legi generali” terhadap UUK dan PKPU, UU BUMN dan UU PT sebagai lex specialist dan UU KN sebagai legi generali mestinya, bukan sebaliknya. Sementara dalam putusan kasasi ini Mahkamah Agung lebih mendasarkan pada keberadaan Pasal 2 huruf (g) UU KN dan Pasal 50 poin d UU PBN (hukum publik), bukan mendasarkan kepada hukum privat terlebih dahulu (UUK dan PKPU, UU PT dan UU BUMN).

Demikian juga apabila kita kembali merujuk pada Fatwa Mahkamah Agung tahun 2006 yang pada intinya atau mengesampingkan keberadaan Pasal 2 huruf (g) UU KN dan menegaskan kembali ketentuan dalam UU BUMN dan ketentuan mengenai BUMN Persero sebagaimana diatur dalam UU PT tahun 1995 dan telah diubah Tahun 2007, akan tetapi dalam putusan kasasi atas kasus PT. DI (Persero) ini ternyata mendasarkan pada Pasal 2 huruf (g) UU KN dan Pasal 50 UU PBN. Ini artinya fatwa Mahkamah Agung tersebut diingkari oleh Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung, apalagi yang menanda tangani fatwa tersebut adalah Mariana

Page 79: pAILIT 2

Sutadi sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung (Waka MA) yang juga menjadi hakim ketua majelis dalam memutuskan perkara kepailitan PT. DI (Persero) dalam tingkat Kasasi. Jadi Mahkamah Agung bersikap tidak konsisten terhadap fatwanya sendiri, meskipun memang berdasarkan teori ilmu hukum hal ini sah-sah saja karena tidak ada sanksi yang mengikat ketika sebuah fatwa itu dilanggar namun secara etika moral menurut saya hal ini sangat tidak layak untuk dicontoh.

Saya berpendapat bahwa putusan majelis hakim pada Pengadilan Niaga tingkat pertama adalah sudah tepat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek hukum kepailitan maupun dari aspek hukum keuangan publik dibandingkan dengan putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi atas kasus kepailitan PT. DI (Persero) ini. Dari aspek hukum kepailitan, maka telah memenuhi rumusan Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 2 Ayat (5) dan lebih khusus pada penjelasan Pasal 2 Ayat (5) bagian BUMN. Berdasarkan ketentuan ini maka dapat disimpulkan bahwa terhadap BUMN yang modal seluruhnya berasal dari kekayaan negara dan terbagi atas saham berarti maksudnya adalah BUMN Persero maka dapat diajukan kepailitan oleh Kreditornya bukan oleh Menteri Keuangan. Karena BUMN Persero sebagai badan hukum privat maka asetnya adalah aset milik BUMN Persero itu sendiri sebagai Badan Hukum bukan merupakan aset atau kekayaan milik negara sehingga hal ini tidak memenuhi rumusan Pasal 50 huruf (d) UU PBN. Oleh karena itu terhadap BUMN Persero dapat dikenai kepailitan, karena kepailitan adalah merupakan sita umum. Jadi terhadap aset BUMN Persero dapat dilakukan disita. Apabila BUMN Persero sampai jatuh pailit ini tidak berarti negara ikut pailit, karena yang pailit hanyalah “BUMN Persero” nya saja artinya negara hanya akan menderita kerugian sebatas besarnya modal yang ditanamkan dalam BUMN Persero tersebut.

Oleh sebab itu, jalan penyelesaian yang terbaik atas kasus PT. DI (Persero) ini adalah negara melalui pemerintah memberikan pinjaman atau penyertaan modal tambahan kepada PT. DI (Persero) untuk menyelesaikan kewajiban kepada eks pekerja PT. DI (Persero). Solusi ini dimungkinkan secara hukum berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UU KN, yang pada hakikatnya memperjelas konsep hubungan negara sebagai pemilik saham dan PT. DI (Persero) sebagai salah satu BUMN. Selengkapnya bunyi Pasal 24 Ayat (1) UU KN adalah:“Pemerintah dapat memberikan pinjaman/ hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/ daerah”.

Tindakan demikian menunjukkan negara mengutamakan hak menguasai negara sebagai badan hukum publik yang memberikan pelayanan umum dan menjaga hak kesejahteraan rakyatnya, khususnya eks karyawan PT. DI (Persero). Dibandingkan menonjolkan hak memiliki negara yang mengesankan negara melalaikan tanggung jawab publiknya terhadap eks pekerja yang merupakan warga negara yang harus pula dilindungi

4.3.2.Kasus Kepailitan PT. IGLAS (Persero)

4.3.2.1.Kasus Posisi

Page 80: pAILIT 2

PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA/Pemohon pailit, mempunyai tagihan kepada PT. IGLAS (Persero)/ Termohon pailit yang bersumber pada adanya kesepakatan mengadakan kerjasama pembelian Chemical. Termohon/PT. IGLAS (Persero) sebagai pemesan Chemical dan Pemohon/PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA yang mengadakan dan mengirimkan Chemical, harga Chemical telah disepakati berdasarkan Purchase order dan Chemical yang telah dipesan sudah dikirimkan, pembayaran harga yang telah disepakati tersebut dalam rupiah sebesar Rp 102.531.936.000,- dan dalam dollar sebesar US$ 165,816.38. Utang tersebut diakui dengan tegas oleh termohon.

Telah dilakukan berbagai upaya agar termohon dapat menyelesaikan pembayaran hutangnya kepada Pemohon, dengan jalan musyawarah mufakat, baik melalui pertemuan langsung dengan Termohon maupun kuasa hukum Pemohon melalui surat Somasi tanggal 22 Desember 2008, namun hingga tanggal 9 Februari 2009 ketika permohonan didaftarkan belum ada itikad baik dari termohon untuk membayar hutang tersebut.

4.3.2.2.Putusan Pengadilan

4.3.2.2.1.Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga Surabaya telah memutuskan dalam Putusan Nomor 01/Pailit/ 2009/PN. Niaga Sby. , menyatakan eksepsi dari Termohon tidak dapat diterima, dan dalam Pokok Perkara: Menolak permohonan pemohon pailit PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA.

Majelis Hakim yang memutuskan perkara tersebut terdiri dari Hj. Rr. Suryadani (Ketua Majelis), Mulyanto dan H. Ali Makki sebagai hakim anggota, dibantu panitera pengganti H. Muhammad Isa, pada tanggal 30 Maret 2009 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon pailit dan Kuasa Termohon pailit.

4.3.1.2.1.Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung RI dalam Kasasi:

- mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA tersebut;

- membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Suarabaya Nomor. 01/pailit/2009/PN. Niaga. Sby, tanggal 31 Maret 2009

Mengadili sendiri:

Dalam eksepsi: Menyatakan bahwa eksepsi dari termohon tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara:

Page 81: pAILIT 2

- mengabulkan permohonan pernyataan pailit Pemohon Kasasi/ pemohon untuk sebagian

- menyatakan Termohon/PT. IGLAS (Persero) berkantor pusat di Jl. Ngagel 153, Surabaya, dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya

- menunjuk dan mengangkat saudara Binsar Pamopo Pakpahan, hakim niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya sebagai Hakim Pengawas, dst..

Majelis Hakim yang memutuskan PT. IGLAS (Persero) tersebut pailit adalah H. Mohammad Saleh, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis dan hakim anggota terdiri dari Takdir Rahmadi dan Syamsul Ma’arif, panitera pengganti Reza Fauzi dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 30 Juli 2009, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

4.3.2.3.Analisis

Terhadap putusan Pengadilan Niaga Surabaya, dengan Hakim majelis yang beranggotakan Mulyanto dan H. Ali Makki, dengan Ketua Majelis Rr. Suryadani, telah menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon pailit PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA melawan PT. IGLAS (Persero) pada 31 Maret 2009.

Yang menjadi dasar pertimbangan (ratio decidendi) majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut yaitu karena seluruh asset/harta kekayaan dari Termohon (dalam hal ini PT. IGLAS (Persero) adalah “milik negara” dan sesuai dengan ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Karena Pemohon dalam mengajukan permohonan pailit tersebut tidak memiliki kuasa dari Menteri Keuangan, maka menurut majelis tidak ada dasar hukum dari Pemohon untuk memohon agar pihak Termohon dinyatakan pailit . Sekalipun permohonan Pemohon pailit telah nyata dan terbukti memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU 2004 . Selain itu majelis hakim juga berpedoman pada adanya Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22 Oktober 2007.

Majelis Hakim juga menyimpulkan yang alur pikirnya adalah bahwa PT. IGLAS (Persero) merupakan BUMN yang bergerak di bidang publik, yang berarti sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004, maka Pemohon pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan dan tidak dapat diajukan oleh pihak lain atau siapapun juga. Dan kenyataan yang ada melarang adanya penyitaan terhadap aset/harta kekayaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara menunjuk kepada UUK dan PKPU Pasal 1 angka 1 bahwa kepailitan semua kekayaan debitur pailit harus dilakukan sita umum, maka apabila debitor pailit (in cassu/ dalam perkara ini), maka seluruh harta kekayaannya milik negara akan terbentur pada Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004, kecuali permohonan pailit diajukan oleh

Page 82: pAILIT 2

Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah dalam otoritas sebagai pemilik kekayaan negara yang dipisahkan dari Bendahara Umum Negara .

Saya tidak sependapat dengan dasar pertimbangan yang dipergunakan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Surabaya untuk memutusakan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. INTERCHEM terhadap PT. IGLAS Persero ini.

Menurut saya, majelis hakim tidak cermat, kurang runtut kerangka alur berpikirnya serta kurang memahami kandungan makna dalam Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004 dan penjelasannya. Apalagi bila dihubungkan dengan UU BUMN, Pasal 1 angka 4.

Kembali kepada kesimpulan majelis hakim yang dijadikan dasar pertimbangan bahwa PT. IGLAS (Persero) adalah “BUMN yang bergerak di bidang publik”, kesimpulan ini menurut saya sudah keliru karena PT. IGLAS Persero adalah bukan BUMN yang bergerak di bidang publik. Alasanya:

1. merujuk pada penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004, bahwa modal PT IGLAS seluruhnya memang berasal dari kekayaan negara “yang dipisahkan”, namun jelas terbagi ke dalam saham dan terbukti dimiliki oleh Menteri BUMN qq negara RI sebesar 63, 82%, dan oleh PT Bank BNI, Tbk. sebesar 36,18%.

2. karena BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik menurut Pasal 1 angka 4 UU BUMN jelas menunjuk pada PERUM, sementara PT. IGLAS (Persero) adalah PERSERO bukan PERUM. Hal ini dapat diketahui dari adanya frase “Perseroan Terbatas” yang disingkat “PT” didepan nama IGLAS dan kata “Persero” dibelakang nama IGLAS, maka hal ini telah menunjukkan adanya karakter Pesero sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Ayat (2) UU PT jis. Pasal 1 angka 2, Pasal 9 dan Bab II UU BUMN.

Pasal 16 Ayat (2) UU PT, menyatakan: “Nama perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”.

3. apabila dikaitkan dengan tujuan pendirian BUMN, maka jelas ada perbedaan yang mendasar, bahwa PERUM bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa barang dan/jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (Pasal 1 angka 4 UU BUMN), sementara PERSERO tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1 angka 2 UU BUMN).

Selanjutnya mengenai kesimpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa “PT. IGLAS (Persero) merupakan BUMN yang bergerak di bidang publik, yang berarti sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004, maka Pemohon pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan dan tidak dapat diajukan oleh pihak lain atau siapapun juga, menurut pandangan saya ini juga keliru dalam memahami maksud Pasal 2 Ayat 5 dan penjelasannya.

Page 83: pAILIT 2

Maksud dari penjelasan Pasal 2 Ayat (5), bahwa BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik adalah BUMN seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham itu maksudnya bukankah itu adalah PERUM.

Menurut pendapat saya, antara isi Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU dengan penjelasannya memang agak kabur (vage norm), karena dalam Pasal 2 Ayat (5) menyatakan tentang BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik, sementara dalam penjelasan pasalnya menyebutkan tentang modal BUMN yang dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Norma yang kabur/tidak jelas dapat menimbulkan adanya penafsiran yang berbeda dalam praktik pengadilan kepailitan.

Maka apabila yang mau dimohonkan untuk dipailitkan adalah PERUM harus diajukan oleh Menteri Keuangan, hal ini oleh Undang-undang dipersamakan dengan BI dan Bapepam yaitu untuk kepentingan institusi dibawah binaannya. Logikanya ketika bukan BUMN Perum maka pastilah BUMN Persero . Dan karena Persero yang juga identik dengan PT maka jelas Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU berlaku. Sehingga untuk mengajukan pailit tidak harus atau bukanlah oleh Menteri Keuangan, tetapi bisa oleh debitor itu sendiri atau kreditor atau para kreditor. Maka permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon pailit dalam hal ini PT. INTERCHEM terhadap PT. IGLAS (Persero) adalah benar dan sudah tepat, bukan harus oleh Menteri Keuangan, dasar hukumnya jelas yaitu Pasal 2 Ayat (5) jo. Pasal 2 Ayat (1) sehingga tidak perlu diinterpretasikan.

Berikutnya, kesimpulan majelis hakim terkait dengan adanya kenyataan yang melarang untuk “menyita aset milik negara”. Memang benar terhadap aset/harta kekayaan milik negara tidak dapat dilakukan penyitaan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagai berikut: “Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: (a). uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; (b).barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah”.

Sementara itu kepailitan pada hakekatnya adalah merupakan sita umum (Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU). Sehingga terhadap harta kekayaan negara/aset negara tidak bisa di pailitkan. Namun pertanyaan mendasar yang harus dijawab disini adalah, apakah kekayaan atau aset yang terdapat pada PT. IGLAS (Persero) merupakan kekayaan negara ataukah kekayaan PT. IGLAS (Persero) sebagai badan hukum.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan penjelasannnya jis. Pasal 1 angka 2 dan Pasal 11 UU BUMN serta doktrin badan hukum dalam perseroan maka kekayaan Persero bukanlah merupakan kekayaan negara lagi akan tetapi merupakan kekayaan Perseroan itu sebagai badan hukum. Sehingga terhadap kekayaan PT. IGLAS (Persero) bukanlah merupakan kekayaan negara lagi tetapi merupakan kekayaan PT. IGLAS (Persero) itu sebagai sebuah badan hukum perseroan.

Page 84: pAILIT 2

Karena terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas, maka dapat saya katakan bahwa Perseroan itu identik dengan Perseroan Terbatas (PT) . Sehingga semua karakteristik yang ada dalam perseroan terbatas juga berlaku untuk Persero (BUMN Persero).

Oleh karena Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum maka sesuai dengan adanya doktrin mengenai badan hukum bahwa sebagai sebuah badan hukum melekat atau mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Maka terhadap badan hukum tersebut dalam hal ini Perseroan juga bisa memiliki harta kekayaan sendiri. Sehingga dalam hal ini, kekayaan yang terdapat dalam PT. IGLAS (Persero) bukanlah kekayaan atau asset milik negara lagi akan tetapi merupakan aset atau aan PT. IGLAS (Persero) itu sebagai sebuah badan hukum yang mandiri.

Lebih lanjut hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori “Transformasi Hukum uang publik ke uang privat” dari Arifin P. Soeria Atmadja, sebagaimana telah diuraikan pada bab III.

Berikutnya masih terkait dengan kesimpulan hakim yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan, yakni terkait dengan adanya ketentuan dalam penyitaan aset negara. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum yang ada, maka harta kekayaan yang ada dalam PT. IGLAS (Persero) bukanlah merupakan kekayaan negara akan tetapi merupakan kekayaan PT. IGLAS (Persero) sebagai sebuah badan hukum. Maka terhadap kenyataan ini tentunya dapatlah dilakukan sita atau dikenai kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU. Sehingga dasar pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa aset yang ada pada PT. IGLAS (Persero) adalah merupakan aset negara sehingga tidak boleh disita/tidak bisa dipailitkan berdasarkan Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah salah besar. Menurut pandangan saya, ada kekeliruan yang nyata dari majelis hakim dalam menggunakan dasar hukum dalam memutuskan kasus ini. Karena aset/harta kekayaan yang ada dalam PT. IGLAS (Pesero) bukanlah aset negara, sehingga terhadapnya dapat di sita.

Ada satu hal lagi yang merupakan kekeliruan majelis hakim dalam memahami masalah sita terhadap kekayaan negara, yang dicantumkan sebagai dasar pertimbangan yang berbunyi berikut ini :

“Menimbang, bahwa disamping itu dari kenyataan yang ada dan berdasarkan Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU: “Kepailitan semua kekayaan debitor pailit harus dilakukan sita umum, maka apabila debitor pailit tersebut (in cassu/ dalam perkara ini) yang seluruh harta kekayaannya milik Negara, jelas menurut hukum tidak dapat dilakukan sita, kecuali permohonan pailit diajukan Menteri Keuangan, …. (Pasal 6 Ayat (2) jo. Pasal 8 UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Kata “kecuali” disini dapat diartikan bahwa terhadap harta kekayaan negara tetap dapat dilakukan sita atau dinyatakan pailit asalkan permohon pailit diajukan oleh Menteri Keuangan. Artinya ini masih ada peluang untuk dapat dipailitkan, asalkan Menteri Keuangan yang mengajukan permohonan pailit. Kalau memang benar

Page 85: pAILIT 2

demikian, apakah ini justru tidak malah bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004 itu sendiri, yang jelas-jelas menyatakan bahwa “pihak manapun di larang melakukan penyitaan terhadap barang milik negara”. Yang harus dingat dan perhatikan kembali adalah sebenarnya apa filosofi dari penyitaan itu sendiri.

Yang terakhir, saya tidak sependapat dengan majelis hakim yang berpedoman kepada Putusan Mahkamah Agung RI No.075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22 Oktober 2007. Putusan tersebut adalah merupakan Putusan Mahkamah Agung yang pada intinya membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas pailitnya PT. DI (Persero).

Alasan saya adalah:

Putusan Mahkamah Agung RI No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22 Oktober 2007, merupakan perkara antara PT. DI (Persero) melawan Heryono, Nugroho, Sayudi (mantan pekerja PT. DI (Persero), dan pertimbangan hukumnya dikutip dan dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam putusan Judex Factie Perkara No. 01/Pailit/2009/PN. Niaga. Sby., tanggal 31 Maret 2009.

Putusan Mahkamah Agung RI No.075K/Pdt.Sus/2007 ini kurang tepat dijadikan acuan oleh Judex Factie, karena masih terjadi kontroversi, karena putusan tersebut inkonsisten dengan fatwa yang pernah dikeluarkan MA, yang dalam fatwa MA berpandangan: “Bahwa piutang BUMN bukan merupakan piutang negara begitupun terhadap utangnya dan menyatakan pengelolaan modal BUMN tidak lagi didasarkan sistem APBN melainkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”. Sehingga putusan ini menurut saya juga masih belum layak untuk dijadikan yurisprudensi, meskipun untuk menjadi sebuah yurisprudensi tidak ada ukurannya yang pasti harus berapa jumlahnya. Tetapi yang pasti saya berpandangan bahwa belum atau tidak layak sebagai yurisprudensi lebih berkaitan dengan substansi putusan yang masih ada “kontroversi dan inkonsisten”.

Selain itu, dalam pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim terkesan “asal ambil“ dan “asal kutip” saja terhadap adanya Putusan Mahkamah Agung RI No. 075 K/Pdt.Sus/2007, tertanggal 22 Oktober 2007 yang dicantumkan sebagai dasar pertimbangan putusan yang digunakan sebagai ratio decidendi atas kasus ini. Sementara terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara ke dua kasus kepailitan PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) , dalam pertimbangan hukumnya hanya mengutip mudahnya saja tanpa dilandasi dengan ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan konteks permasalahannya.

Sungguh ini mencerminkan (maaf) adanya ketidak siapan dan ketidakfahaman atau ketidak mengertian apalagi menguasai akan substansi materi atas permasalahan kasus yang diajukan ke hadapan hakim dan harus diputuskan oleh majelis hakim dalam waktu yang cukup singkat yakni paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan . Sebagai contoh, salah satu anngota majelis hakim tidak bisa membedakan antara BUMN yang berbentuk Perum maupun yang disebut dengan Persero.Pokoknya, yang penting BUMN itu

Page 86: pAILIT 2

adalah perusahaannya negara, maka kekayaan yang ada pun juga milik negara. Dan karena merupakan aset milik negara, ya tidak dapat dipailitkan. Apalagi ada putusan pailit yang menyangkut BUMN Persero yaitu pailitnya PT. DI (Persero) pada tahun 2007.

Semula PT. DI (Persero) di putus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam Kasasi yang diajukan oleh PT. DI (Persero) yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, sehingga PT. DI (Persero) tidak pailit lagi. Putusan Ma inilah yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan majelis hakim pemutus pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Surabaya. Yang kemudian dijadikan yurisprudensi dengan memasukkannya kedalam dasar pertimbangan bahkan dengan tanpa menguraikan substansinya sama sekali. Sehingga hanya mengutip mudahnya saja tanpa dilandasi dengan ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan konteks permasalahannya.

Antara kepailitan PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) memang ada persamaanya yaitu sama-sama merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero.Namun meskipun sama-sama Persero tetap ada perbedaannya. PT. DI (Persero) itu BUMN yang bergerak dalam bidang publik, dalam jasa vital, untuk kepentingan masyarakat banyak, dan modalnya semua milik negara. Akan tetapi kalau PT. IGLAS (Pesero) berbeda, modalnya tidak sepenuhnya milik negara karena ada unsur masyarakat/swastanya dan kegiatan usaha bisnis murni .

Selanjutnya adalah analisis/pembahasan terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 397K/Pdt.Sus/2009. Bahwa Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2009, telah mengabulkan permohonan Kasasi dari Pemohon PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA, dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya No. 01/Pailit/2009/PN. Melalui Putusan MA RI No. 397 K/Pdt. Sus/2009, majelis hakim yang terdiri dari H. Mohammad Saleh (Ketua Majelis), dengan Hakim-hakim Agung sebagai anggota: Takdir Rahmadi dan Syamsul Ma’arif serta dibantu panitera pengganti Reza Fauzi, dalam sidang terbuka unytuk umum dengan tidak dihadiri oleh para pihak, menyatakan bahwa Termohon/PT. IGLAS (Persero), yang berkantor pusat di Jl. Ngagel 153, Surabaya, dalam keadaan PAILIT dengan segala akibat hukumnya.

Meskipun begitu dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat (disenting opinion) dari Ketua Majelis yang berpendapat; bahwa “Alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan karena:

- bahwa judex factie tidak salah menerapkan hukum dan pertimbangannya sudah tepat dan benar sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt. Sus/2007 tanggal 22 Oktober 2007;

- kesimpulan: judex factie tidak salah dalam menilai dan memberi pertimbangan serta menerapkan hukum;

- dan mengusulkan agar menolak permohonan kasasi;

Page 87: pAILIT 2

Menurut pandangan saya, kali ini Mahkamah Agung sudah tepat dalam memutuskan permohonan pailit PT. INTERCHEM terhadap PT. IGLAS (Persero). Dasar pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi yang pada akhirnya digunakan untuk mengambil keputusan cukup bagus, lengkap dan sangat layak.

Dalam memutuskan perkara ini, majelis hakim dalam kasasi pada prinsipnya berpendapat sama atau membenarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon pailit dan menyatakan bahwa Judex Factie/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya telah salah menerapkan hukum. Alasan-alasan kasasi atau keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi itulah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan (ratio decidendi) majelis hakim.

Dalam hal ini saya lebih apresiatif lagi terhadap Pemohon pailit yang sudah mampu membuat memori kasasinya yang begitu lengkap terutama dari aspek hukumnya dengan menggunakan dasar hukum serta pendapat para ahli hukum/praktisi cukup lengkap dan sangat komprehensif, sehingga terlihat menguasai betul pokok permasalahan dari kasus yang sedang di hadapi dan perjuangkan. Mungkin sadar bahwa pemohon pailit lagi berhadapan dengan siapa, “BUMN Persero” yang selama ini direpresentasikan sebagai “negara”. Dan negara dalam sejarahnya selama ini tidak pernah “keliru” apalagi “salah”. Negara juga tidak pernah pailit atau bangkrut karena memang negara sebagai badan hukum publik tidak bisa dipailitkan. Sebagai contoh kasus, hal ini pernah ditunjukkan dengan adanya putusan pailit atas PT. DI (Persero) oleh Pengadilan Niaga Jakarta, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam kasasi.

Akan tetapi negara ketika ikut berbisnis dengan mendirikan BUMN Persero, tentunya akan beresiko, yaitu kalau tidak “untung” ya “rugi”. Itu sebagai konsekuensi apabila negara ikut berbisnis atau masuk dalam dunia usaha. Kalau untung itu memang yang diharap-harapkan, tetapi ketika mengalami kerugian, mungkin saja sampai pada peristiwa yang disebut “pailit”. Meskipun begitu negara tidak akan pailit, karena kalaupun perusahaan negara tersebut mengalami pailit, maka negara hanya akan menanggung kerugian sebesar “saham” yang dimilikinya. Ini tidak akan menyebabkan negara benar-benar bangkrut. Hal inilah yang belum pernah dialami oleh Indonesia, negeri kita tercinta.

Tapi apapun itu, saya tetap proficiat pada majelis hakim dalam kasasi, yang telah mampu memutus dengan argumentasi hukum yang sebenar-benarnya sesuai dengan teori-teori hukum yang selama ini diajarkan di negeri tercinta ini. Karena sayang sekali ketika di kampus-kampus atau di tempat-tempat pendidikan diajarkan ilmu khususnya ilmu hukum yang bagus dan benar, ketika harus berhadapan dengan permasalahan yang semestinya dapat diselesaikan dengan ilmu yang dimiliki sebagai pisau analisis, kemudian menjadi tumpul dengan segala negosiasi yang ada serta seribu satu macam alasan dan kepentingan.

Alasan-alasan yang dikemukan dan menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dalam kasasi sudah tepat, yaitu:

Page 88: pAILIT 2

Termohon Kasasi merupakan BUMN yang modalnya terbagi dalam saham, dimana kepemilikan sahamnya tidak seluruhnya dikuasai/dimiliki negara, tetapi terbagi dua yaitu: 63, 82% milik Menteri BUMN qq Negara RI dan 36,18 % milik PT. BNI Tbk. Di mana saham PT. BNI Tbk. juga sahamnya dimiliki masyarakat/swasta;

Tujuan Termohon Kasasi adalah untuk mencari keuntungan; karenanya Pemohon dapat langsung mengajukan permohonan pailit tanpa harus mendapat izin dan kuasa dari Menteri Keuangan, karena Termohon bukanlah BUMN sesuai dengan pengertian seperti tercermin di dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004.

Selain itu bidang kegiatan Termohon Kasasi tidak secara langsung dimanfaatkan oleh publik seperti halnya PT. Garuda, PLN, dan Pertamina. Dengan dicantumkannya klausula “yang bergerak di bidang kepentingan publik”, mengandung arti bahwa tidak semua BUMN permohonan pailitnya hanya ditujukan oleh Menteri Keuangan.

Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh Syamsul Ma’arif , bahwa kasus kepailitan yang terjadi pada PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero), meskipun sama-sama sebagai BUMN Persero, ini lain. Karena kalau dalam PT. DI (Persero) itu merupakan BUMN yang bergerak di bidang publik, dan juga obyek vital, sehingga kalau dipailitkan masyarakat yang akan dirugikan. Sementara PT. IGLAS (Persero) itu adalah bergerak bukan dalam bidang publik. Selain itu dalam PT. IGLAS (Persero) sahamnya tidak semua dipegang negara dalam hal ini Menteri BUMN, tetapi juga dimiliki swasta. Jadi swasta ada masuk disitu. PT. IGLAS ini betul-betul murni bisnis, untuk mencari untung. Jadi yang paling membedakan antara PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) adalah pada “Perusahaan yang bergerak di bidang publik”.

Mengenai pengertian atau apa yang dimaksud dengan BUMN “yang bergerak di bidang kepentingan publik”, ini menurut saya masih ada yang perlu dijelaskan atau sinkronisasi. Dari hasil kajian yang saya lakukan, ditemukan adanya perbedaan pengertian/ pemahaman yang terdapat dalam peraturan perundangan (UUK dan PKPU, UU BUMN) dengan pemahaman hakim dalam praktik peradilan niaga terhadap apa yang dimaksud dengan BUMN “yang bergerak di bidang kepentingan publik”.

Karena saya menemukan beberapa penjelasan yang berbeda antara UUK dan PKU dengan UU BUMN maupun dasar pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan masalah kepailitan dalam praktik peradilan. Sehingga bila dicermati hal ini dapat menimbulkan pengertian yang berbeda, karena istilah yang dipergunakan berbeda-beda, dikhawatirkan maknanyapun akan bebeda pula. Apakah perlu ada penyamaan istilah yang dipakai atau paling tidak ada sinkronisasi sehingga jelas ada kesamaan arti dan maksud dari BUMN “yang bergerak di bidang kepentingan publik”.

Page 89: pAILIT 2

Beberapa pengertian tentang BUMN “di bidang kepentingan publik” saya temukan dalam :

1. Dalam UUK dan PKPU Pasal 2 Ayat (5) dan penjelasannya;

“…., atau Badan Usaha Milik Negara “yang bergerak dibidang kepentingan publik”, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (5):

Badan Usaha Milik Negara “yang bergerak dibidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.

Menurut UU BUMN Pasal 1 angka 4;

bahwa Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham itu adalah PERUM. Perum, bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa……”.

Jadi berdasarkan UUK dan PKPU Pasal 2 Ayat (5) dan penjelasannya jo. Pasal 1 angka 4 UU BUMN, yang dimaksud dengan BUMN “yang bergerak dibidang kepentingan publik” adalah PERUM.

2. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI. No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 Oktober 2007;

“.. disebutkan PT DI (Persero) sebagai perusahaan BUMN pemegang sahamnya adalah Menteri BUMN qq Negara RI dan Menteri Keuangan qq Negara RI, “yang bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”, karena itu MA membatalkan putusan pailit PN Jakarta Pusat.

Jadi menurut Putusan Mahkamah Agung RI. No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 Oktober 2007; pengertian BUMN “yang bergerak dibidang kepentingan publik”, maksudnya adalah BUMN “yang bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”.

Apakah Perum itu merupakan BUMN “yang bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis?”. Jawabnya ya, apabila merujuk pada Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 36 Ayat (1) UU BUMN.

Di dalam UU BUMN dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4, PERUM adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

Page 90: pAILIT 2

dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 36 Ayat (1) UU BUMN, bahwa maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Tetapi, apakah PT. D I (Persero) itu merupakan Perum, yang memenuhi rumusan Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 36 Ayat (1) UU BUMN? Jelas bukan Perum. PT. DI (Persero) jelas-jelas merupakan Perseroan, karena modalnya terbagi atas saham meskipun 100% atau seluruhnya dimiliki oleh negara dan tujuannya mencari untung, meskipun memang “bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”. Sehingga menjadi tidak jelas, ukurannya apa? Bentuk dari BUMN nyakah atau penekannya lebih kepada “jenis usaha atau tujuan dari kegiatan usahanya”? karena pada faktanya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam kasasi untuk membatalkan putusan pailitnya PT. DI (Persero) adalah pada makna usahanya yaitu karena PT. DI (Persero) “bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”, meskipun jelas-jelas PT. DI (Persero) adalah sebuah Persero bukan Perum. Bahkan dari sebutan namanyapun sudah jelas dengan kata “Persero” sebagaimana disyaratkan oleh UU PT.

3. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI. No. 397 K/Pdt.Sus/2009, tanggal 31 Juli 2009;

“…BUMN yang modalnya terbagi dalam saham, dimiliki negara dan swasta/ masyarakat, tujuannya mencari keuntungan; bidang kegiatannya “tidak secara langsung dimanfaatkan oleh Publik” seperti halnya PT. Garuda, PLN, dan Pertamina. Dengan dicantumkannya klausula “yang bergerak di bidang kepentingan publik”, mengandung arti bahwa tidak semua BUMN permohonan pailitnya hanya ditujukan oleh Menteri Keuangan”.

Jadi menurut Putusan Mahkamah Agung RI. No. 397 K/Pdt. Sus/2009, tanggal 31 Juli 2009; bahwa BUMN “di bidang kepentingan publik” adalah BUMN yang modalnya terbagi dalam saham, dimiliki negara dan swasta/masyarakat, tujuannya mencari keuntungan; bidang kegiatannya “tidak secara langsung dimanfaatkan oleh Publik”.

Menurut hemat saya, dalam putusan pailit atas PT. IGLAS (Persero) ini, lebih menekankan pada alasan “sifat kegiatan usaha” atau “tujuan” dari BUMN itu sendiri, apakah secara langsung dimanfaatkan oleh publik ataukah tidak. Bila “secara langsung dimanfaatkan oleh publik”, maka BUMN tidak dapat dipailitkan kecuali diajukan hanya oleh Menteri Keuangan (seperti PT. DI (Persero) artinya mestinya berlaku untuk “Perum”, meskipun PT. DI (Persero) sekali lagi bukanlah Perum. Namun, apabila “secara langsung tidak dapat dimanfaatkan oleh publik”,

Page 91: pAILIT 2

maka BUMN itu dapat dipailitkan bukan oleh Menteri Kuangan Negara tetapi oleh Debitor itu sendiri atau Kreditornya, dan ini adalah Persero. Jadi bukan pada bentuk dari BUMN itu sendiri.

Menurut hemat saya akan lebih mudah dan jelas, apabila menggunakan pengertian BUMN “yang bergerak dibidang kepentingan publik” itu sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang kepailitan dan UU BUMN, yakni dengan lebih menekankan kepada pengertian bentuk dari BUMN itu sendiri yang terdiri dari 2 jenis yaitu PERUM dan PERSERO. Sebab bila yang menjadi penekanan arti lebih kepada sifat kegiatan usahanya akan terjebak seperti pada kasus pailitnya PT. DI (Persero), yang kemudian seolah-olah PT. DI (Persero) itu dipersamakan dengan ketentuan yang ada pada PERUM.

Terakhir, mengenai adanya disenting opinion/perbedaan pendapat dari ketua majelis hakim dalam memutuskan perkara ini, hal ini memang dibenarkan oleh UUK dan PKPU tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (6) huruf b yang di muat dalam putusan kasasi Mahkamah Agung. Meskipun di dalam ketentuan UUK dan PKPU ini sendiri antara isi pasal dengan penjelasannya terasa “kontradiktif”, karena menurut Pasal 8 Ayat (6) huruf b, pendapat yang berbeda tersebut “wajib dimuat dalam putusan pengadilan”, sedangkan di dalam penjelasan Pasal 8 Ayat (6) huruf b, pendapat yang berbeda itu dimuat “sebagai lampiran dari putusan pengadilan” tersebut. Meskipun demikian, menurut saya dengan adanya dissenting opinion dari ketua majelis kasasi, paling tidak ini menunjukkan adanya perdebatan atau adu argumentasi, dan terdapat olah pikir diantara anggota majelis hakim sehingga diharapkan seorang hakim memang bukan hanya sebagai “corong undang-undang”. Sehingga betul-betul diharapkan mampu melahirkan “keadilan” dan “kepastian hukum”, yang nampak bertentangan atau saling menjauh untuk kemudian dipertemukan. Itulah tugas seorang hakim, tidak ringan memang.

Hanya sayang, alasan-alasan Ketua Majelis Kasasi dalam disenting opinion nya, menurut saya justru jauh dari yang semestinya. Saya tidak setuju dengan alasan yang dikemukakan, karena menurut saya justru putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 Oktober 2007, itu yang tidak tepat, kenapa harus diikuti. Apalagi alasan yang dikemukakan tanpa disertai dengan uraian dasar hukum yang jelas dan lengkap, sehingga terkesan maaf, “yang penting punya pendapat yang berbeda”.

Dari contoh 2 kasus kepailitan yakni PT. DI (Persero) yang telah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan No.: 41/PAILIT/2007/PN.Niaga Jkt Pst., tertanggal 3 Sept. 2007 yang kemudian dibatalkan melalui Kasasi Mahkamah Agung dalam Putusan No.: 075 K/Pdt.Sus/2007 tanggal 22 Oktober 2007, sehingga PT. DI (Persero) tidak pailit lagi karena merupakan perusahaan milik negara yang “bergerak pada obyek industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”.

Page 92: pAILIT 2

Selanjutnya pada tahun 2009 terjadi lagi permohonan kepailitan yang ditujukan kepada PT. IGLAS (Persero) yang juga merupakan sebuah BUMN Persero, oleh Pengadilan Niaga Surabaya permohonan pailit Tidak dikabulkan dengan dasar pertimbangan hukum yang dipakai antara lain karena PT. DI (Persero) Tidak dapat dipailitkan selain oleh Menteri Keuangan karena perusahaan milik negara yang asetnya pun juga merupakan aset negara sehingga ini akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Tetapi justru sebaliknya Mahkamah Agung dalam Kasasi membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Surabaya itu, dengan dasar pertimbangan hakim antara lain adalah bahwa modal PT. IGLAS (Persero) terbagi dalam saham dan kepemilikan sahamnya tidak seluruhnya dikuasai/dimiliki negara, tetapi juga dimiliki oleh PT. Bank BNI Tbk. yang nota bene sahamnya milik masyarakat/swasta, serta bidang kegiatan PT. IGLAS (Persero) “tidak secara langsung dimanfaatkan oleh publik”, tujuannya mencari untung, maka meskipun PT. IGLAS (Persero) adalah sebuah perseroan milik Menteri BUMN qq. Negara dapat dipailitkan.

Dari kedua peristiwa yang menyangkut kepailitan atas BUMN Persero itu dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa aset yang ada dalam BUMN Persero adalah bukan aset negara lagi, dan ketika negara ikut masuk ke dalam duania usaha atau negara ikut berbisnis, harus siap mengahadapi resiko, baik keuntungan yang akan diterima maupun kerugian yang mungkin timbul, sehingga ketika benar-benar menderita kerugian yang kemudian bisa menjurus pada terjadinya pailit, maka negara pun harus bisa menerima. Karena meskipun begitu negara tidak akan pailit, karena apabila benar-benar sampai terjadi pailit atas kegiatan bisnis yang dimiliki oleh negara (BUMN Persero) pada prinsipnya negara hanya akan menderita kerugian sebesar saham yang dimilikinya, tidak lebih. Sehingga negara tidak akan pailit atau bangkrut karena hal ini juga tidak dimungkinkan oleh Pasal 50 khusunya huruf (d) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa “pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah”. Sementara esensi dari “kepailitan” adalah merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit, dst..sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU. Maka terbukti bahwa negara Indonesia tercinta ini tidak mengalami kepailitan meskipun PT. IGLAS (Persero) telah diputus pailit oleh Mahkamah Agung pada 31 Juli 2009.

Sehingga yang menarik untuk diperhatikan dan dipertanyakan kemudian adalah, mengapa ketika PT. DI (Persero) diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 4 September 2007, menjadi perhatian yang amat sangat dari semua kalangan masyarakat di Indonesia dari mulai dari pejabat, birokrat, praktisi, kalangan buruh/karyawan sampai ke masyarakat yang awam akan hukum sekalipun, sementara ketika PT. IGLAS (Persero) dipailitkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi pada Juli 2009, semua kalangan masyarakat Indonesia “adem ayem” alias tidak ada yang mempermasalahkannya.

4.3.2.4.Perdamaian dalam kepailitan PT. IGLAS (Persero)

Page 93: pAILIT 2

Di dalam UUK dan PKPU dikenal adanya perdamaian, ada 2 macam yakni perdamaian dalam rangka PKPU, yaitu pertama sebelum debitur dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 265-Pasal 294 dan yang kedua adalah perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam UUK dan PKPU, Bagian Keenam Bab I, Pasal 144-Pasal 177 .

Di dalam kasus kepailitan PT. IGLAS (Persero), pada akhirnya terjadi perdamaian setelah PT. IGLAS (Persero) dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi Nomor: 397 K/Pdt.Sus/2009, tanggal 30 Juli 2009. Hal ini memang dimungkinkan oleh Undang-undang meskipun sekali lagi bahwa menurut UUK dan PKPU tawaran perdamaian itu mestinya dilakukan setelah debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Karena dalam kasus kepailitan PT. IGLAS (Persero), Pengadilan Niaga tidak menyatakan pailit barulah kemudian ketika dimohonkan Kasasi oleh PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA, Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan PT. IGLAS (Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya.

Dalam proses kepailitan PT. IGLAS (Persero), Debitor pailit dalam hal ini PT. IGLAS (Persero) kemudian menawarkan adanya rencana perdamaian kepada para debitor sebagamana hal ini diperbolehkan menurut ketentuan Pasal 144 UUK dan PKPU. Meskipun ketentuan ini tidak lazim apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, karena di negara lain tersebut biasanya diberlakukan ketentuan bahwa kesempatan untuk mengajukan perdamaian (di negara lain tersebut disebut dengan istilah reorganization/ rehabilitation/ restructuring) diajukan sebelum permohonan pernyatan pailit diajukan kepada pengadilan atau diajukan sebelum pengadilan memutuskan debitor dinyatakan pailit. Pada umumnya Undang-undang Kepailitan di negara lain menentukan bahwa setelah debitor dinyatakan pailit, debitor tidak lagi berhak mengajukan permohonan atau penawaran perdamaian kepada para kreditornya. Justru putusan pailit adalah sebagai konsekwensi rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor atau Kreditor tidak berhasil disepakati oleh Debitor dan para Kreditornya . Berbeda dengan ketentuan UUK dan PKU kita yang mengambil sikap memberikan keleluasaan pada Debitor.

Menurut pandangan saya, akan lebih baik apabila penawaran perdamaian dilakukan sebelum adanya pernyatan pailit. Sehingga kepailitan, memang benar-benar merupakan upaya yang terakhir di lakukan, atau dapat dikatakan bahwa pailit merupakan sebuah punishment bagi si Debitor karena tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada si kerditor dalam membayar kewajiban atau hutang-hutangnya. Sehingga sebagai konsekwensi yuridis Debitor harus menerima segala akibat hukum dari pernyataan pailit tersebut. Apabila Debitor tidak mau menerima resiko tersebut maka sebaiknya melakukan upaya perdamaian dengan para Kreditor dengan harapan Kreditor akan memperoleh pelunasan atau pembayaran dengan lebih baik dibandingkan bila terjadi kepailitan dan sebaliknya bagi Debitor, dia akan dapat melunasi kewajiban/hutang-hutangnya atau memberikan pembayaran yang lebih dibandingkan apabila Debitor dinyatakan pailit. Sehingga hal ini akan lebih berdampak positif bagi kedua belah pihak, dkreditor maupun Debitor.

Page 94: pAILIT 2

Selanjutnya akan saya uraikan secara ringkas mengenai terjadinya Perdamaian dalam Kasus Kepailitan PT. IGLAS (Persero), berdasarkan adanya perjanjian perdamaian dengan para Kreditornya tanggal 16 Desember 2009.

Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Hakim Pengawas Pengadilan Niaga yang diangkat dan di tunjuk sebagai Hakim Pengawas berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Juli 2009, No. 397 K/Pdt.Sus/2009 Jo. No. Pailit /2009/PN. Niaga Sby. tanggal 31 Maret 2009 dalam kasus kepailitan PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit).

Bahwa proses pengajuan dam pembahasan rencana perdamaian yang diajukan oleh PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit) telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan menurut UUK dan PKPU, dan karena itu Rencana Perdamaian patut untuk disahkan (homologasi).

Berdasarkan hal itu, maka Hakim Pengawas berpendapat bahwa majelis Hakim Pemutus untuk mengesahkan Pembahasan Rencana perdamaian PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit) tersebut dalam perkara No. 397 K/Pdt. Sus/2009 Jo. No.01/Pailit/2009/ PN. Niaga. Sby.

Pengesahan rencana perdamaian dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2010 di kantor Pengadlan Niaga Surabaya, para pihak yang hadir dalam Rapat Pembahasan Rencana Perdamaian hadir juga dalam rapat pengesahan Perdamaian tersebut.

Laporan ini dibuat untuk memenuhi ketentuan Pasal 284 Ayat (1) UUK dan PKPU, yang ditetapkan di Surabaya pada tanggal 05 Januari 2010 oleh Hakim Pengawas, Binsar Pamopo Pakpahan, S.H., M.H.

Berdasarkan atas laporan dari Hakim Pengawas terhadap kepailitan PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit) tersebut, selanjutnya majelis Hakim Pemutus Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, pada tanggal 13 Januari 2010 menyelenggarakan sidang untuk mengesahkan Perjanjian Perdamaian yang telah disepakati PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit) dengan para Kreditor pada 16 Desember 2009.

Dasar pertimbangan yang dikemukaan oleh Majelis Hakim Pemutus adalah: karena antara Pemohon Pailit (Debitor pailit) dan Termohon Pailit (Kreditor Pailit) telah dapat tercapai perdamaian dalam rangka pemberesan kepailitan debitor Pailit PT. (Persero), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 159 Ayat (1) UUK dan PKPU tidak terdapat adanya alasan Pengadilan untuk menolak melakukan pengesahan perdamaian, oleh karena itu Pengadilan memberikan pengesahan Perdamaian tersebut.

Mengingat Pasa 158 dan pasal 159 Ayat (1) UUK dan PKPU, serta pasal-pasal lain dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Page 95: pAILIT 2

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, maka Majelis Hakim Pemutus Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, yang terdiri dari Mulyanto (Ketua Majelis), dengan anggota H. Ali Makki dan Siti Jamzanah, yang dibantu oleh panitera pengganti Muhammad Isa, telah mengadili:

1. Menyatakan sah Perjanjian perdamaian tertanggal 16 Desember 2009.

2. Menghukum PT. IGLAS (Persero) selaku debitor pailit dan Para Kreditor untuk mentaati Perjanjian Perdamaian tertanggal 16 Desember 2009 yang telah disahkan tersebut.

3. Menghukum PT. IGLAS (Persero) untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.000,-

4.3.2.5.Rehabilitasi

Akibat adanya perdamaian dalam PT. IGLAS (Persero) (dalam pailit) maka kepailitan akan berakhir. Yang sebelumnya didahului dengan adanya Rehabilitasi. Yang dimaksud ’rehabilitasi’ adalah pemulihan nama baik Debitor yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitor telah memenhi kewajibannya . Ketentuan mengenai rehabilitasi sebagai mana diatur dalam Bab II, Bagian Kesebelas, Pasal 215-221 UUK dan PKPU.

Pasal 215 UUK dan PKPU menyatakan, setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit.

Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kreditor yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan. Yang dimaksud dengan ‘pembayaran secara memuaskan’ adalah bahwa Kreditor yang diakui tidak akan mengajukan tagihan lagi terhadap Debitor, sekalipun mereka mungkin tidak menerima pembayaran atas seluruh tagihannya. Permohonan rehabilitasi harus diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk oleh Pengadilan (Pasal 216 dan Pasal 217 UUK dan PKPU).

Ketika rehabilitasi sudah dilaksanakan, maka untuk selanjutnya berakhirlah kepailitan PT. IGLAS (Persero). Karena kepailitan sudah berakhir maka tentunya tidak akan terjadi adanya sita/eksekusi dalam kasus kepailitan PT. IGLAS (Persero) ini.

Apabila perdamaian tersebut ternyata tidak dapat dilaksanakan, maka terhadap Debitor pailit, misalnya PT. IGLAS (Persero) dapat diajukan untuk dipailitkan lagi dengan cara Kreditor menyampaikan kepada Pengadilan tentang tidak dapat dilaksanakannya Perjanjian Perdamaian oleh Debitor (dalam pailit) tersebut, dan begitu seterusnya.

Page 96: pAILIT 2

4.3.3.Perbandingan Pailit PT.DI (Persero) dengan PT.IGLAS (Persero)

Apabila kita bandingkan mengenai kepailitan PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) adalah ada persamanaan dan perbedaannya.

Persamaannya adalah, keduanya sama-sama merupakan BUMN Persero, yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan untuk kemudian ditanamkan sebagai penyertaan negara dalam Persero. Sebagaimana memenuhi ketentuan UU BUMN (Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 10, Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2, Pasal 11).

Karena merupakan BUMN Persero maka berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU BUMN, untuk selanjutnya dalam pengelolaannya berdasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan Perseroan Terbatas yang diatur oleh UU PT. Sebagai sebuah Perseroan, tentunya juga mengenal adanya kepailitan sebagaimana ditentukan oleh UUK dan PKPU.

Maka BUMN Persero sebagai suatu Badan Usaha yang berbentuk Persero identik dengan PT, untuk dapat dipailitkan dapat diajukan oleh Debitor itu sendiri, Kreditor atau para Kreditor, Jaksa demi kepentingan umum, Bank Indonesia apabila terkait dengan lembaga perbankan, Bapepam bila terkait dengan Pasar Modal serta oleh Menteri Keuangan apaibila menyangkut Dana Pensiun, Asuransi, Reasuransi. Apabila BUMN Persero tersebut memenuhi syarat-syarat untuk dapat dinyatakan pailit. Yang kesemuanya tersebut telah diatur atau ditentukan di dalam UUK dan PKPU.

Perbedaannya antara PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) adalah pada besarnya (prosentase) nilai saham, kepemilikan saham/siapa pemegang saham yang ada serta bidang kegiatan usaha tersebut ditujukan untuk apa atau kepada siapa. Hal inilah yang kemudian menjadikan 2 kasus kepailitan ini putusannya menjadi berbeda meskipun sama-sama merupakan BUMN yang berbentuk Persero.

Menurut pertimbangan hukum MA RI bahwa PT. DI (Persero), keseluruhan modalnya (100 %) dimiliki oleh negara yang pemegang sahamnya adalah Menteri Negara BUMN qq Negara Republik Indonesia dan Menteri Keuangan RI qq Negara Republik Indonesia. Terbaginya modal PT. DI (Persero) atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN qq Negara RI dan Menteri Keuangan RI qq. Negara RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (3) UU No. 1 tahun 1995 tentang PT, yang mewajibkan pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang.

PT. DI (Persero) adalah BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan publik, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03/M-IND/PER/4/ 2005, tanggal 19 April 2005, disebutkan PT. DI (Persero) adalah obyek vital industri. Yang dimaksud dengan obyek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan/instalasi dan atau usaha industri yang

Page 97: pAILIT 2

menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.

Sementara PT. IGLAS (Persero), modal berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan, dengan komposisi pemegang saham seperti berikut: saham 63,82% saham milik Menteri BUMN dan 36,18 % milik PT. Bank BNI Tbk.

Dengan komposisi pemegang saham sebagaimana tersebut diatas maka PT. IGLAS (Persero) di nyatakan sebagai BUMN Persero yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik karena ada unsur swasta masuk, bukan seratus persen dimiliki oleh negara tetapi juga dimiliki oleh swasta/masyarakat (PT. Bank BNI Tbk.) dan tujuannya murni untuk kegiatan bisnis alias mencari untung saja. Inilah perbedaan yang utama menurut Majelis Hakim pada Mahkamah Agung sehingga antara PT. DI (Persero) dengan PT. IGLAS (Persero) berbeda meskipun keduanya merupakan BUMN dengan sebutan yang sama ”Persero”.

Keberadaan Pasal 66 UU BUMN yang memberikan tugas tambahan kepada Persero tertentu untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum seperti pada PT. DI (Persero) ini pada akhirnya mengaburkan eksistensi Persero dengan Perum, sehingga dalam praktik sulit dicapai adanya kepastian hukum dan keadilan. Sehingga ketika BUMN dalam bentuk Persero diberi tugas Public Service Obligation (PSO), maka dalam praktik Persero yang demikian disamakan dengan Perum dan semua ketentuan mengenai Perum yang diberlakukan meskipun BUMN tersebut masih tetap berlabel ”Persero”. Sehingga seolah-olah tidak ada perbedaan antara Perum dengan Persero, yang ada hanya BUMN yang merupakan perusahaan milik negara karena modal penyertaan yang ada berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN.

V. PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan dalam disertasi ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Kekayaan yang ada pada BUMN Persero adalah merupakan kekayaan negara yang telah dipisahkan dari sistem APBN sebagai penyertaan modal dalam pendirian BUMN Persero, yang berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip PT sebagai badan hukum privat yang tujuan pendiriannya untuk mencari keuntungan. Kekayaan yang ada dalam BUMN Persero adalah merupakan Kekayaan Persero sebagai badan hukum privat. Dalam hal negara melakukan tindakan hukum privat (privaat rechtelijk handeling) maka berlaku ketentuan hukum privat dan dalam hal negara melakukan tindakan hukum publik (publiek rechtelijk handeling) maka berlaku ketentuan hukum publik. Ketika negara menanamkan modal penyertaan pada BUMN Persero, maka kekayaan BUMN Persero merupakan kekayaan BUMN Persero sebagai badan hukum privat, dan dalam hal ini negara sebagai salah satu pemegang saham dalam BUMN Persero berkedudukan sebagai badan hukum privat, negara memiliki hak atas kebendaan (jus in rem) dan hak atas orang

Page 98: pAILIT 2

(jus in personam) yang wujud pelaksanaannya tunduk dan ditetapkan berdasarkan hukum privat. Hal ini juga dikuatkan oleh Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 dalam kasus kredit macet pada Bank BUMN Persero (Bank Mandiri), bahwa aset BUMN Persero merupakan aset/kekayaan Perseroan sebagai badan hukum, bukan merupakan aset/kekayaan negara. Dalam hal negara sebagai badan hukum publik, memiliki kemampuan memaksa dalam bentuk pengambilan keputusan (regeringsbesluit) yang bersifat strategi atau tindakan pemerintahan (regeringsmaatregelen) yang bersifat menegak kan hukum dan wibawa negara.

2. Karena kekayaan yang terdapat pada BUMN Persero adalah merupakan kekayaan PT. Persero bukan merupakan kekayaan negara, maka terhadap PT. Persero dapat dipailitkan. Karena kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam hal kepailitan terhadap BUMN Persero, Pasal 50 UU PBN (hukum publik) yang mengatur adanya larangan sita terhadap aset/kekayaan negara tidak dapat diberlakukan, karena negara melakukan tindakan hukum privat (privaat rechtelijk handeling) maka UUK dan PKPU yang berlaku. Sebagaimana terjadi dalam kasus pailitnya PT. IGLAS (Persero) yang di diajukan oleh PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA, meskipun pada akhirnya terjadi “PERDAMAIAN” yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga pada PN Surabaya 13 Januari 2010. Putusan Pailit terhadap PT. IGLAS (Persero) ini menjadi bukti sekaligus menegaskan bahwa Negara tidak pailit meskipun Perusahaan Negara (BUMN Persero/PT. IGLAS (Persero) itu pailit. Hal ini menunjukkan bahwa ketika negara melakukan tindakan hukum privat berlaku ketentuan hukum privat (privaat rechtelijk handeling), meskipun dalam waktu yang bersamaan negara juga dapat melakukan tindakan hukum publik. Maka tindakan MA yang membatalkan putusan PN. Niaga Jakarta Pusat atas pailit PT. DI (Persero) menunjukkan adanya ”inkonsistensi MA” terhadap Fatwa MA No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang mengesampingkan Pasal 2 huruf (g) UU KN dan menegaskan kembali ketentuan dalam UU BUMN dan UU PT sebagai dasar pelaksanaan operasional BUMN Persero serta UUK dan PKPU bila berkaitan dengan kepailitan. Meskipun dalam kasus kepailitan PT. DI. (Persero), MA membatalkan putusan PN. Niaga Jakarta Pusat dengan menggunakan dasar pertimbangan bahwa yang harus mengajukan pailit adalah Menteri Keuangan karena PT. DI (Persero) bergerak di bidang kepentingan publik. Sampai sekarang pengertian bergerak di bidang “kepentingan publik” belum ada kesamaan makna baik dalam tataran teoritik (dalam UU) maupun praktik (dalam putusan pengadilan).

1. Saran/Rekomendasi

Saran yang dapat disampaikan dalam disertasi ini adalah;

1. Perlu dilakukan harmonisasi Undang-undang di bidang Keuangan Negara (UU KN, UU PBN) dengan UU yang terkait dengan pengaturan BUMN (UU BUMN, UU PT, UUK dan PKPU) dengan memposisikan UU BUMN sebagai Undang-undang payung yang merupakan Undang-undang organik dari Pasal 33 UUD

Page 99: pAILIT 2

1945, sehingga perlu membatasi terhadap pengertian “keuangan negara” yang terlalu luas cakupannya khususnya terhadap ketentuan Pasal 2 huruf (g) UU KN yang sangat berpotensi ‘merugikan keuangan negara’, karena kekayaan negara yang telah dipisahkan termasuk kategori keuangan negara. Seyogyanya kekayaan negara yang telah dipisahkan tidak lagi masuk dalam kategori keuangan negara, tetapi mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat seperti diatur dalam UU PT, penerapan prinsip GCG dalam BUMN. Maka seharusnya dilakukan perubahan perumusan/ redefinisi pengertian “kekayaan negara” dalam UU No. 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara. Selain itu sebaiknya negara dengan tegas mengatur bentuk BUMN antara Perum dan Persero, agar tidak terjadi konflik kepentingan dengan tidak memberikan lagi tugas Public Service Obligation (PSO) kepada Persero (Pasal 66 UU BUMN seyogyanga dihapus). Negara semestinya lebih mengutamakan “hak menguasai negara” sebagai badan hukum publik dengan memberikan pelayanan umum, menjaga kesejahteraan rakyat, dari pada lebih menonjolkan “hak memiliki negara”, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

2. Perlu adanya pengertian/makna yang sama mengenai apa yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang “kepentingan publik”. Karena antara Ketentuan Pasal 2 Ayat (5) dengan penjelasannya tidak sejalan (norma kabur/ vagen norm) (Pasal 2 Ayat (5) menyebut tentang BUMN di bidang kepentingan publik, sementara dalam penjelasannya menyatakan BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham). Antara isi pasal dan penjelasannya tidak sinkron, maka seyogya ketentuan Pasal 2 Ayat (5) dengan penjelasannya selaras, misalnya dengan langsung menyebut Perum. Demikan juga hendaknya hakim hati-hati dalam memutuskan, apabila undang-undang sudah mengatur dengan jelas maka tidak perlu menafsirkan lagi, agar dapat dicapai adanya kepastian hukum sekaligus yang berkeadilan bagi para pihak yang berperkara

Tentang Penulis:Dr Hj Rahayu Hartini SH MSi MHum, dosen Kopertis Wilayah VII, DPK pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Kontak person: 081 233 746640. Email: [email protected]

 

 

DAFTAR BACAAN

BUKU:

Page 100: pAILIT 2

Adriyani, Wuri, Kedudukan Persero dalam Hubungan Dengan Hukum Publik Dan Badan Hukum Privat, Disertasi, Naskah Ujian Tahap II, PPS Unair, 2009.

——————, Kedudukan Persero dalam Hubungan Dengan Hukum Publik Dan Badan Hukum Privat, Ringkasan Disertasi, PPS Unair, 2009.

Aminuddin, Privatisasi BUMN Persero, Disertasi, PPS Unair, Surabaya, 1999.

Anisah, Siti, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008.

Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Pers, Jakarta, Ed 1, 2010.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Utang, Cetakan pertama, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Campbell Black, Henry, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, Six Edition, 1991.

Chidir, Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999. Djafar Saidi, Muhammad, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Press, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2008. Djumhana, Muhammad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, Cetakan I

2007, Citra Aditya Bakti, Bandung. Emirzon, Joni, Prinsip-prinsip Good Coorporate Governance, Paradigma

Baru Dalam Praktik Bisnis Indonesia, Genta Pers, Yogyakarta, 2007. Fuady, Munir, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori Dan Praktek, Cet. 1, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1999. ——————, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Edisi Revisi

(Disesuaikan dengan UU No. 37 tahun 2004), Cetakan Ketiga, 2005, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

——————, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung, Cetakan Pertama, 2002.

Ginting, Jamin, Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), Cetakan 2007, Citra Aditya Bakti, Bandung.

——————-, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU No. 37 tahun 2004), Cetakan Ketiga, 2005, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

——————-, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Cetakan ke 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Dengan Klausul Arbitrase Di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, Januari, 2009.

——————–, Penyelesaian Sengketa Kepailitan dengan Klausul Arbitrase Di Indonesia: Dualisme Hukum kepailtan dan Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan Pertama, Januari 2009.

——————–, Hukum Kepailitan, Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, UMM Press, Malang, Cetakan Kedua, Maret 2008.

Page 101: pAILIT 2

——————-, Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan Berklausula Arbitrase (Studi Kasus Putusan Pailit Antara PT. Environmental Network Indonesia Melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu), Tesis, PPS Universitas Muhammadiyah Malang, 2006.

Huizink, J.B., Insolventie, alih bahasa Linus Doludjawa, Cet. 1, Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Ibrahim, R. 1997, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Khairandy, Ridwan, Editor, Masalah-masalah Hukum Ekonomi

Kontemporer, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 2006.

——————-, Good Corporate Governance, Edisi Revisi, Cetakan kedua, Total Media, Yogyakarta, 2009.

Khairandy, Ridwan, dan Malik, Camelia, Good Coorporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Total Media, Yogayakarta, 2007.

Marzuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Prenada Media Group, 2006.

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan Kedua, 1996.

——————-, Hamilton, Neil, The Regulation of Indonesia State Enterprises, Law Public Enterprise In Asia, International Legal center, Praeger Publisher, New York, 1976.

——————-, Bahan Ajar Program S3 Ilmu Hukum, Mata Kuliah Hukum Dan Pengembangan Ekonomi, PPS Unair, Surabaya, 2008.

——————–, Bahan Ajar Program S3 Ilmu Hukum, Mata Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) ”Karakteristik persero”, PPS Unair, Surabaya, 2009.

Program Pascasarjana, Peraturan Pendidikan Program Doktor, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2008.

Remi Sjahdeini, Sutan, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 tahun 1998, Grafiti, Jakarta, Cetakan pertama, Desember 2002.

—————–, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta, Grafiti, Jakarta, Edisi Baru, Januari 2009.

Rido, Ali R., Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, bandung, 1981.

Shubhan, M. Hadi, Prinsip-prinsip Hukum Kepailitan, Disertasi, Program Pascasarjana Unair, 2006.

—————-, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana, Prenada Media, Jakarta, 2008.

Soebekti, R., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ke-12, 1980.

Page 102: pAILIT 2

Soeria Atmadja, Arifin, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

—————–, Hukum Keuangan Publik, Bahan Kuliah Program Magister Ilmu hukum, MK: Hukum Keuangan Publik, FH UI Program Pascasarjana, 2002.

—————–, Kapita Selekta Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, Universitas Tarumanegara, UPT Penerbitan, 1996.

——————, Bahan Ajar mata Kuliah Penunjang Diserytasi (MKPD) ”Hukum Keuangan Publik”, PPS Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

——————, Hukum Keuangan Negara Suatu Tinjauan Yuridis Historis, Gramedia, Jakarta, 1986.

Sri Djatmiati, Tatik, Prinsip Izin Usaha Industri Indonesia, Disertasi, PPS Unair, 2004.

Syafardi, Status Hukum Keuangan Negara Yang Dipertanggungjawabkan Oleh BUMN: (Studi Kasus Kredit Bank Mandiri Kepada PT CGN/ PT. Tahta Medan), Tesis, FH UI, PPS, Jakarta, 2009.

Pringgodigdo, A.K., Tiga Undang-undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1989.

Riawan W, Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008.

Rido, Ali R., Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 1981.

Simanjuntak, Ricardo, 2005, Esensi Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan: Memahami Faillisements verordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998, Grafiti, Jakarta, 2002.

———————-, Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan ; Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Edsisi Baru, Grafiti, Jakarta, 2009.

Soebekti R., Tjitrosudibio R., Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ke- 23, 1997.

——————, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ke-12, 1980.

Sri Djatmiati, Tatik, Prinsip Izin Usaha Industri Indonesia, Disertasi, PPS Unair, 2004.

Soemantri, Priambodo, Dibyo, Perjalanan Panjang Dan Berliku, Refleksi BUMN 1993-2003: Sebuah Catatan Tentang Peristiwa, Pandangan Dan Renungan Dalam Satu Dasawarsa, Media Pressindo, 2004.

Subhan, M. Hadi, Prinsip-prinsip Hukum Kepailitan, Disertasi, Program Pascasarjana Unair, 2006.

——————, Prinsip-prinsip Hukum Kepailitan, Kencana, Prenada Media, Jakarta, 2008.

Sugiharto, Laksamana Sukardi, dkk, BUMN Indonesia Isu, Kebijakan, dan Strategi, Elex Media Cumputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2005.

Page 103: pAILIT 2

Suhardi, Gunarto, Revitalisasi BUMN, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2007.

Sutedi, Adrian, Prinsip Ketrbuakaan dalam Pasar Modal, Restrukturisasi Perusahaan dan Good Coorporate Governance, BP. Cipta Jaya, Jakarta, 2006.

Tjager, I. Nyoman dkk, 2003, Corporate Governance : Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT. Prehailindo, Jakarta.

Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

Tjokromidjojo, Bintoro. 1994. Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta.

Urger M, Roberto, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusa Media, Cetakan Kedua, Novemer 2008.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, , Cetakan Kedua, Juli 2004.

Yani, Ahmad & Widjaya, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Cet. 2, Rajawali Press, Jakarta, 2000.

——————–, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, Rajawali Press, Raja Grafindo, Jakarta, 1999.

ARTIKEL, MAKALAH, JURNAL:

Anisah, Siti, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam UU Kepailitan: Studi Putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 28- No.1- Tahun 2009, Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002, hal. 14-23.

Djajanto, Pandu, BUMN Dan Kedudukan Hukumnya Terkait Dengan Keuangan Negara, Makalah Dalam Seminar Fakultas Hukum Unieversitas airlangga, Surabaya, 1 November 2008.

Harjono, Badan Usaha Mlik Negara dan Tindak Pidana Korupsi, Panitia Pringatan Pendidikan Tinggi Hukum di Surabaya, Alumni Fakultas Hukum UNAIR, 1 November 2008.

Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26- No.1- Tahun 2007, Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002, hal. 5-14.

Indrawati, Yuli, Kedudukan badan Hukum/Non-Badan Hukum dalam Pengelolaan Keuangan Secara Otonom dalam Peraturan Perundang-undangan, Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 9 Agustus 2008.

——————, Good Governance Pengelolaan Keuangan Negara, Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, PPLIH-Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 9 Agustus 2008.

Khairandy, Ridwan, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26- No.1- Tahun 2007, Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002, hal. 32- 39.

——————–, Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Kepailitan PT Dirgantara Indonesia (Persero), Jurnal Hukum Bisnis,

Page 104: pAILIT 2

Volume 28- No.1- Tahun 2009, Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002, hal. 30-36.

Kholil, Munawar, Hukum Perseroan Terbatas (Berdasar UU No. 37 Tahun 2004 tentang Perseroan Terbatas), P. Poin, (Dosen FH UNS).

P. Soeria, Arifin, Atmadja, Hukum Keuangan Negraa pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka,

——————–, Undang-undang Keuangan negara perlu diamandemen, www.google.co.id, diakses pada tanggal 4 maret 2009.

Patriadi, Pandu, Manfaat Konsep Good Governance Bagi Institusi Pemerintah dan BUMN Dalam Kebijakan Privatisasi BUMN, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 8, no. 3, September 2004.

Pramono, Nindyo, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007.

Prasetya, Rudhi, Pertanggungjawaban Direksi Dalam Perseroan Terbatas, Makalah dalam Seminar tentang ”Korupsi di BUMN/BUMD”, Panitia Peringatan Pendidikan Tinggi Hukum di Surabaya, Alumni Fakultas Hukum UNAIR, 1 November 2008.

Puji N. Dian, Simatupang, Hak Menguasasi Negara Dalam Keuangan Publik, Konsep, Teori, Dan Praktek, Bahan Perkuliahan Hukum Administrasi Negara, FH UI, 2007.

——————-, Inkonsistensi Dan Upaya Harmonisasi Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan Keuangan Negara Indonesia, Materi Pendidikan dan Pelatihan Hukum Keuangan negara Kerja sama Departemen Pekerjaan Umum RI Dan Fakultas Hukum Universitas indonesia, jakarta, 8 Agustus 2008.

——————–, KRITIK Yuridis Terhadap paket UU Keuangan Negara Dan BPK, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia.

Rajagukguk, Erman, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara: Lahirnya PP 33 Tahun 2006 Dan Implikasinya bagi Pembarantasan Korupsi.

Sidik, Machfud, Revitalisasi Organisasi Pengelola Kekayaan Negara Sebagai Wujud Good Governance manajemen Keuangan Negara, Jurnal Keuangan Publik, Vol.4, No.1, April 2006, hal 1-23.

Simanjuntak, Ricardo, Hukum Komersial dan Pengadilan Niaga (Komersial) Indonesia, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, No. 1, 2002, hal.108-120.

Shubhan, M. Hadi, Tanggung Jawab Organ-organ Perseroan terbatas (PT) atas Kepailitan PT, dalam Majalah Ilmu Hukum YURIDIKA, Volume 21, No. 1, Januari 2006, ISSN 0215-849X, hal 34-59.

Soeria P., Arifin, Atmadja, Hukum Keuangan Negraa pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka, www.pemantauperadilan.com

——————-, Undang-undang Keuangan negara perlu diamandemen, www.google.co.id, diakses pada tanggal 4 maret 2009.

Soepomo, Pemahaman Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Download Internet, Rabu 22 Agustus 2007, internet.

Page 105: pAILIT 2

Sri Nurbayanti, Herni, Reformasi Hukum Kepailitan Di Indonesia, dalam Jurnal Hukum JENTERA, April- Juni 2007, Edisis 16 tahun IV, hal. 58-86.

Sunarmi, Menuju Hukum Kepailitan Yang Melindungi Kreditor dan Debitor, dalam buku kumpulan Disertasi tentang Masalah-masalah Hukum Ekonomi Kontemporer, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum Dan Ekonomi, 2006, hal. 341-392.

——————–, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law system) Dengan Amerika Serikat (Common Law System), FH, USU, e-USU Resipository @ 2004 Universitas Sumatra Utara.

Trisnawan, Hilman, Resensi Buku: Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktk, dan Kritik, Badan penerbit fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005, uletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 3, Nomor 3, Desember 2005 , hal 42-45.

Tumbuhan, Fred, Pandangan Yuridis T entang PT dan Organ-organnya, Tanggal 27 September 2001, www.hukumonline.com

Wahyudi, Ari, Hertanto, Aspek-aspek Penting Untuk Dipahami Oleh para Ahli/ Praktisi Hukum Terhadap Penyusunan Laporan Keuangan Pada Suatu Perseroan Terbatas (Suatu Pendekatan GOOD Corporate Governance) Jurnal Hukum Dan Pembangunan, tahun ke 38 No.1 Januari 2008, ISSN 0215 9687, hal 301-315.

Widjaya, Gunawan, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke 2, Juli 2004.

Jurnal:

Jurnal Hukum Bisnis, Sepuluh Tahun UU Kepailitan Dan Efektivitasnya, Volume 28-No.1-Tahun 2009, ISSN: 0852/4912, Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002.

Jurnal Ilmu Hukum ”Amanna Gappa” Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, ISSN: 0853-1609, Akreditasi B No. 108/DIKTI/KEP /2007, Volume 16 Nomor 2, Juni 2008.

Jurnal Hukum Bisnis, BUMN: Masih Perlukah Dipertahankan?, Volume 26-No.1-Tahun 2007, ISSN: 0852/4912.

Jurnal Hukum Bisnis, Permasalahan Utang dan RUU Kepailitan Baru, Volume 17 Januari 2002, ISSN: 0852/4912.

Jurnal Hukum Bisnis, Sepuluh Tahun UU Kepailitan Dan Efektivitasnya, Volume 28-No.1-Tahun 2009, ISSN: 0852/4912.

INTERNET:

Effnu Subiyanto, Tak Sah, Putusan Pailit Untuk PT DI, Opini, Jawa Pos, Kamis, 6 September 2007, diakses 7 September 2008.

Errwid, Fatwa MA, Piutang BUMN adalah BUKAN MILIK PEMERINTAH, Koran Tempo, 26 September 2006.

Page 106: pAILIT 2

Kelik Pramudya, Kepailitan BUMN, http://click-gtg.blogspot.com/2008/10/ kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html, Rabu, 2008 Seprtember 17, diakses 9 Januari 2009.

Komisi Hukum Nasional, Pengertian Keuangan Negara dalam Tindak Pidanan Korupsi, ,opini, Http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=opini, diakses Rabu, tanggal 30 Desemeber 2008.

M. Hadi Shubhan, Eks Pekerja PT DI Kian Menderita, http:// opinibebas. epajak.org/ blog/page /2/, October 29th, 2007, diakses 9 Januari 2009.

Zen Umar Purba, Achmad, “Kalau Negara Berniaga….”, 9 April, 2008, http://www.madani-ri.com. , diakses Rabu, 30 Desember 2008.

www.hukumonline, Aturan Penyelesian NPL Terkendala Fatwa MA, berita, 2/8/06, diakses 5 November 2008.

www.hukumonline, Fatwa MA yang Menjadi Kontroversi, berita, 3/10/06, diakses 5 November 2008.

www.hukumonline, PT DI Dimohonkan Pailit, berita, 10/7/07, diakses 5 November 2008.

www.hukumonline, PT Dirgantara Indonesia Dinyatakan Pailit, berita, 4/9/07, diakses 5 November 2008.

http://www.kompas.com., PT DI Batal Pailit, 4 September 2007, diakses 7 September 2008.

ttp://www.detikfinace.com, Sofyan Perjuangkan Pembatalan Putusan Pailit PT DI, 04/09/2007, diakses 7 September 2008.

http://www.seputar-indonesia.com., PT DI Divonis Pailit, 05/09/2007, diakses 7 September 2008.

http://www.kompas.com, PT DI Dipailitkan Pemerintah Kasasi. Menneg BUMN: Kinerja Perusahaan Sedang Bagus, Rabu, 05 September 2007, diakses 5 November 2008.

http://www.antara.co.id, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Pailitkan PT DI, diakses 7 September 2008.

http://www.kompas.com, Pemerintah Diminta Tak Intervensi Putusan Pailit PT DI, berita, 12 September 2007, diakses 5 November 2008.

www.hukumonline, BUMN Cuma Bisa Dipailitkan Menkeu, MA Batalkan Pailit PT DI, berita, 25/10/07, diakses 5 November 2008.

http://www.kompas.com, PT DI Batal Pailit, Rabu, 24 Oktober 2007, diakses 5 November 2008.

www.hukumonline, Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang Pailit: Sepuluh Tahun Pengadilan Niaga, Fokus, 3/11/08, diakses 4 November 2008, jam 09.42.

http://click-gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html, Rabu, 2008 Seprtember 17, diakses 9 Januari 2009.

http://www.hukumonline . http://www.pemantauperadilan.com http://rechtheory.blogspot.com/2008/11/badan-hukum-dalam-perseroan-

terbatas.html.

KORAN/MAJALAH:

Bisnis Indonesia, Edisi: 02-April-2008.

Page 107: pAILIT 2

Tempo, 26 September 2006, Fatwa MA, Piutang BUMN adalah Bukan Milik Pemerintah’