Upload
crystal-palmer
View
7
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-
NYA kami bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Penyimpangan Pemungutan
Pajak di Bea Cukai”
Tak lupa kami ucapkan kepada junjungan kami Nabi Besar Muhammad SAW, serta
pihak-pihak yang terkait dan telah membantu serta berkontribusi dalam penyelesaian tugas
makalah kami.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
kami, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini bisa memberi manfaat positif bagi kita semu
Jatinangor, 2 Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG
Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan
dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat. Penerimaan pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan cukai, pencairan
tunggakan pajak, maupun pajak-pajak lainnya.
Pajak dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang
dapat dipaksakan penagihannya. Sistem perpajakan Indonesia mengalami perubahan pada
tahun 1983 dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Self
Assessment System adalah suatu sistem dimana pemerintah memberikan kepercayaan penuh
kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban.
Direktorat Jenderal Pajak (fiskus) melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi
penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan
mencari wajib pajak yang baru, karena sebenarnya potensi pajak di Indonesia masih cukup
besar. Sedangkan upaya intensifikasi dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas aparatur
perpajakan, pelayanan prima terhadap wajib pajak dan pembinaan kepada para wajib pajak,
pengawasan administratif, pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan aktif serta penegakan
hukum atau law enforcement. Upaya intensifikasilah yang sebenarnya sering mengalami
kendala berarti dan sering terjadi penyelewengan maupun penyimpangan didalamnya.
Terutama pada pelaksanaan peningkatan kualitas aparatur perpajakan serta penegakkan
hukum atau law enforcement.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak praktek penyimpangan dalam bentuk
“pungutan liar” yang dilakukan oleh aparatur pajak. Penyimpangan ini hampir terjadi pada
semua jenis pajak. Salah satu yang menjadi lahan empuk untuk melakukan penyimpangan ini
adalah di bea cukai. Bertitik pada latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis
mengambil judul makalah “
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik permasalahan
1. Apa yang menyebabkan aparatur perpajakan leluasa melakukan
penyimpangan dalam bentuk “pungutan liar” ?
2. Apa yang menyebabkan wajib pajak
Definisi Administrasi Perpajakan
Administrasi Pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan
manajemen publik.
Administrasi Pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap
kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut
dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan
penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying)
dan penyimpanan (filing).
Administrasi Pajak menurut Djoned Gunadi M. adalah administrasi hukum atau legal
administration, artinya administrasi yang harus dijalankan adalah bagaimana ketentuan
hukum menghendaki khususnya ketentuan hukum formal perpajakan, disini administrasi
pajak adalah merupakan instrument dari ketentuan formal perpajakan yang ada. Hal yang
demikian ini administrasi pajak memiliki posisi yang sangat penting, tidak hanya pada
pelayanan, pengawasan, dan pembinaan namun juga menyangkut hak-hak wajib yang yakin
benar bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakannya dilindungi dengan administrasi yang
baik.
Bea Masuk Dan Pajak Dalam Rangka Impor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) salah satu tugasnya adalah memungut bea masuk
dan pajak dalam rangka impor yang meliputi :
Bea Masuk
Cukai
PPN Impor
PPnBM
PPh Impor
Dalam Pasal 1 butir 20 UU PPN No 42 Tahun 2009 dikatakan bahwa Nilai Impor adalah nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan
cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
Pada aturan yang sama butir 17 ; dikatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang.
Dan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diubah atau ditambah dengan UU No. 17 Tahun 2006 yang dikenakan terhadap barang
impor, disebutkan bahwa Bea Masuk adalah pungutan Negara.
Dalam kegiatan perdagangan internasional kita mengenal banyak cara yang digunakan untuk
menentukan harga dan penyerahan barang misalnya : door to door, port to port, cost and
freight, cost insurance and freight, dan freight on board. Namun yang sering dipakai dan
diterima untuk kegiatan ekspor dan impor adalah system Freight on Board (FOB) dan Cost
Insurance Freight (CIF).
FOB (Free On Board), artinya pihak eksportir hanya bertanggung jawab sampai barang
berada di atas kapal (vessel). CIF (Cost Insurance and Freight) yaitu harga barang sampai
pelabuhan tujuan dan kondisi dimana penjual atau eksportir menanggung semua biaya
pengapalan sampai ke pelabuhan tujuan dan ekpsortir wajib menutup asuransinya.
Dalam menghitung Bea Masuk jika masih FOB berarti masih harus ditambah dengan
Insurance, kalo sudah dengan CIF maka langsung bisa dihitung bea masuk dan pajaknya.
Untuk menghitung Bea Masuk diperlukan juga kurs yang berlaku pada saat itu biasanya
nggak beda jauh dengan kurs harian, untuk penghitungan pajak, kurs ditetapkan setiap
minggu oleh menteri keuangan.
Tentang cara menghitung Bea Masuk dibagi menjadi :
Bea Masuk Advalorum, yaitu tarif Bea Masuk yang dikenakan berdasarkan persentase
tertentu. Besarnya Bea Masuk terutang dihitung dengan cara mengalikan persentase dengan
harga barang (nilai pabean). Contoh Bea Masuk = Tarif X Nilai Pabean/CIF X NDPBM
((Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan setiap minggu sekali).
Bea Masuk Spesifik, yaitu tarif Bea Masuk yang dikenakan berdasarkan nilai rupiah tertentu
dari satuan jumlah barang. Besarnya Bea Masuk terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif Bea Masuk dengan jumlah barang yang diimpor. Saat ini hanya dikenakan untuk gula
dan beras. Contoh Bea Masuk = Tarif X Jumlah Barang.
Contoh Nilai Impor, misalkan PT. Remapra Mengucap Syukur mengimport Spare Part dari
negara Jerman dengan CIF USD 500.000,-, Diketahui berdasarkan Pos tarif dan
pembebananan menurut Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) besar tarif bea masuk
adalah 10% dan NDPBM yang berlaku adalah USD 1.- = Rp. 9.500 maka nilai Impor adalah
sebagai berikut :
CIF (Cost + Insurance + Freight) Rp. 4.750.000.000,-
Bea Masuk Rp. 475.000.000,-
Nilai Impor Rp. 5.225.000.000,-
PPN Rp. 522.500.000,-
Menghitung Bea Masuk:
((Nilai Barang FOB – USD 50) + Asuransi + Freight) x kurs x tariff bea masuk
Menghitung Pajak dalam rangka impor (PDRI):
((((Nilai Barang FOB – USD 50) + Asuransi + Freight) x kurs) + (bea masuk)) x tariff PDRI
Contoh kasus sebagai berikut: Muhammad Isa membeli barang berupa sebuah Hand Phone di
Amerika via Ebay dengan harga FOB US $250, ongkos kirim (freight) US $5, asuransi US
$5, misal kurs pada tanggal tersebut sebesar Rp. 10.000, dengan demikian Muhammad Isa
akan dikenakan pungutan Bea Masuk dan PDRI sebagai berikut:
Untuk HP menurut penulis masuk ke pos tariff 8517.12.00.00, BM: 0%, PPN=10%, PPnBM=
- , PPh=7,5%.
Bea Masuk: (($250-$50)+5+5) x Rp.10.000 x 0% = Rp. 0
PPN : (((($250-$50)+5+5) x Rp.10.000) + (0)) x 10% = Rp. 210.000
PPh : (((($250-$50)+5+5) x Rp.10.000) + (0)) x 7,5% = Rp. 157.500
Total pungutan : BM+PPN+PPh= Rp. 367.500
Definisi Barang Kiriman dari Luar Negeri (Impor)
Barang kiriman dari luar negeri adalah barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar
negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri.
Untuk barang kiriman atau paket yang dikirim dari luar negeri sebenarnya sudah diatur sejak
dulu, yaitu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 490/KMK.05/1996
Tentang Tatalaksana Impor Barang Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas,
Kiriman Pos dan Barang Kiriman Melalui Perusahaan Jasa Titipan, yang kemudian diatur
lebih lanjut oleh Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-78/BC/1997
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Barang Penumpang, Awak Sarana Pengangkut,
Pelintas Batas, Kiriman Melalui Jasa Titipan dan Kiriman Pos yang terakhir kali diubah
dengan KEP-83/BC/2002.
Kemudian keputusan Menteri Keuangan tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 89/PMK.04/2007 Tentang Impor Barang Penumpang, Awak Sarana
Pengangkut, Pelintas Batas dan Barang Kiriman. Peraturan ini hanya berlangsung tiga tahun
dan digantikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 Tentang
Impor Barang yang DIbawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas dan
Barang Kiriman.
Pada BAB VI peraturan Menkeu tersebut dijelaskan mengenai Barang Kiriman, diantaranya:
Barang kiriman diberikan pembebasan bea masuk dengan nilai pabean FOB 50 US
Dollar (Mata Uang Amerika) untuk setiap orang perkiriman;
Apabila barang kiriman tersebut melebihi batas pembebasan nilai pabean diatas, maka
atas kelebihan nilai pabean tersebut dikenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor
(PPN, PPnBM dan PPh);
Barang kiriman tersebut wajib diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai;
Atas pemberitahuan tersebut diatas, Pejabat Bea dan Cukai akan melakukan penelitian
dokumen dan pemeriksaan fisik barang secara selektif yang disaksikan oleh Petugas Kantor
Pos atau Petugas Perusahaan Jasa Titipan;
Barang kiriman dapat dikeluarkan setelah dipenuhi kewajiban pabean (membayar
pungutan) dan telah mendapatkan persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai;
Khusus untuk barang kiriman yang melalui Perusahaan Jasa Titipan beratnya tidak
boleh lebih dari 100 kg untuk setiap House Airway Bill (AwB) atau Bill of Lading (B/L) ,
kecuali untuk barang yang akan dikirim ke Tempat Penimbunan Berikat atau barang kiriman
lainnya yang telah mendapatkan ijin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan apabila tidak
memenuhi ketentuan ini akan diperlakukan sesuai dengan ketentuan umum dibidang impor;
Penetapan tariff atas barang tersebut dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan
apabila barang kiriman tersebut terdapat lebih dari 3 jenis barang, maka Pejabat Bea dan
Cukai akan menetapkan satu tariff bea masuk tertinggi dari beberapa barang tersebut.
Dan seterusnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menkeu tersebut
di samping ketentuan di atas, juga diatur tentang pembebasan cukai terhadap barang kiriman
sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2010 Tentang Tata Cara
Pembebasan Cukai, diantaranya:
Minuman mengandung etil alcohol paling banyak 350 mililiter untuk setiap alamat
penerima kiriman, selebihnya akan dimusnahkan petugas Bea dan Cukai;
Cukai hasil tembakau, dengan ketentuan paling banyak 40 batang Sigaret, atau 10
batang Cerutu atau 40 gram tembakau iris dan hasil tembakau lainnya untuk setiap alamat
penerima kiriman, apabila terdapat lebih dari satu jenis hasil tembakau maka diperlakukan
perbandingan yang setara dengan komposisi diatas, selebihnya akan dimusnahkan petugas
Bea dan Cukai.
Yang perlu digarisbawahi adalah; pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor
disini memakai pola Official Assessment, dimana Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan
perhitungan dan pemungutan atas barang kiriman tersebut. Lain halnya dengan barang impor
pada umumnya, dimana importir melakukan kegiatan menghitung,memberitahukan dan
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impornya sendiri (Self Assessment).
Kemudian untuk penentuan nilai pabean barang kiriman tetap berdasar pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 Tentang Nilai Pabean untuk Perhitungan Bea
Masuk, dimana nilai pabean yang dimaksud sesuai International Commercial Term
(Incoterms), yaitu dengan menggunakan terminologi penyerahan barang Cost, Insurance and
Freight (CIF), biaya-biaya transportasi dan asuransi harus ditambahkan kedalam biaya yang
sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.