6
Pengertian Pancasila Secara Etimologis Pancasila berasal dari Bahasa India yakni Bahasa Sansekerta, bahasa kasta b Sedang bahasa rakyat jelata adalah prakerta. Menurut Prof. H. Moh. Yamin Pancasila ada dua macam arti yaitu : Panca : artinya lima Syila : dengan satu i, artinya batu sendi, alas atau dasar Syiila : dengan dua i, artinya peraturan yang penting, baik, atu senonoh Dari kata syiila ini dalam Bahasa Indonesia menjadi susila artinya hal yang baik. Den demikian maka perkataan Pancasyila berarti batu sendi yang lima, berdasarkan yang lim lima dasar Sedang Pancasyiila berarti lima aturan hal yang penting, baik atau senonoh Secara Historis Secara historis istilah Pancasila mula-mula dipergunakan oleh masyarakat India yang m Agama Budha. Pancasila berarti lima aturan (Five moral principles) yang harus ditaati dan dilaksan para penganut biasa/awam Agama Budha, yang dalam bahasa aslinya yaitu Bahas Pancasila yang berisikan lima pantangan yang bunyinya menurut ensiklopedia a Budhisme : 1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup. Maksudnya dilarang membunuh. 2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah mengambil barang yang tidak diberikan. Maksudnya dilarang mencuri 3. Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah berhubungan kelamin yang tidak sah dengan perempuan. Maksudnya dilarang berzina. 4. Musawada veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah berkata palsu. Maksudnya dilarang berdusta. 5. Sura meraya-majja pamadattha veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah meminum minuman yang menghilangkan pikiran. Maksudnya dilarang minum minuman keras. Selanjutnya istilah Pancasila masuk dalam kasanah kesusastraan Jawa kuno pad Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Istilah pancasila terdapat dalam keropak Negara Kertagama yang berupa syair pujian ditulis oleh pujangga istana bernam Prapanca selesai pada tahun 1365, yakni pada sarga 53 bait 2 yang berbunyi sebagai be Yatnanggegwani pancasyila kertasangska rabhisakakakrama artinya : Raja menjalankan

Pancasila Final

Embed Size (px)

Citation preview

Pengertian Pancasila Secara Etimologis Pancasila berasal dari Bahasa India yakni Bahasa Sansekerta, bahasa kasta brahmana. Sedang bahasa rakyat jelata adalah prakerta. Menurut Prof. H. Moh. Yamin Pancasila ada dua macam arti yaitu : Panca : artinya lima Syila : dengan satu i, artinya batu sendi, alas atau dasar Syiila : dengan dua i, artinya peraturan yang penting, baik, atu senonoh Dari kata syiila ini dalam Bahasa Indonesia menjadi susila artinya hal yang baik. Dengan demikian maka perkataan Pancasyila berarti batu sendi yang lima, berdasarkan yang lima, atau lima dasar Sedang Pancasyiila berarti lima aturan hal yang penting, baik atau senonoh. Secara Historis Secara historis istilah Pancasila mula-mula dipergunakan oleh masyarakat India yang memeluk Agama Budha. Pancasila berarti lima aturan (Five moral principles) yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa/awam Agama Budha, yang dalam bahasa aslinya yaitu Bahasa Pali. Pancasila yang berisikan lima pantangan yang bunyinya menurut ensiklopedia atau kamus Budhisme : 1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup. Maksudnya dilarang membunuh. 2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah mengambil barang yang tidak diberikan. Maksudnya dilarang mencuri 3. Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah berhubungan kelamin yang tidak sah dengan perempuan. Maksudnya dilarang berzina. 4. Musawada veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah berkata palsu. Maksudnya dilarang berdusta. 5. Sura meraya-majja pamadattha veramani sikkhapadam samadiyami Janganlah meminum minuman yang menghilangkan pikiran. Maksudnya dilarang minum minuman keras. Selanjutnya istilah Pancasila masuk dalam kasanah kesusastraan Jawa kuno pada zaman Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Istilah pancasila terdapat dalam buku keropak Negara Kertagama yang berupa syair pujian ditulis oleh pujangga istana bernama Mpu Prapanca selesai pada tahun 1365, yakni pada sarga 53 bait 2 yang berbunyi sebagai berikut : Yatnanggegwani pancasyila kertasangska rabhi sakakakrama artinya : Raja menjalankan

dengan setia kelima pantangan (pancasila) itu begitu pula upacara-upacara adat dan penobatan-penobatan. Selain terdapat dalam buku Negara Kertagama yang masih dalam jaman Majapahit istilah pancasila juga terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini istilah pancasila disamping mempunyai arti berbatu sendi yang lima (dalam bahasa sansekerta) juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, pancasila krama, yaitu : 1. Tidak boleh melakukan kekerasan 2. Tidak boleh mencuri 3. Tidak boleh berjiwa dengki 4. Tidak boleh berbohong 5. Tidak boleh mabuk minum minuman keras Demikianlah perkembangan istilah Pancasila dari bahasa sansekerta menjadi Bahas Jawa kuno yang artinya tetap sama dengan yang terdapat di jaman Majapahit. Pada jaman Majapahit hidup berdampingan secara damai kepercayaan tradisi Agama Hindu Syiwa dengan Agama Budha Mahayana dan campuranya, Tantrayana. Sedang Mpu Prapanca sendiri kemudian menjabat dharmadyaksa ring kasogatan yaitu penghulu (kepala urusan) Agama Budha. Sesudah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke seluruh Indonesia maka sisa-sisa dari pengaruh ajaran moral Budha yaitu pancasila masih terdapat juga dan dikenal masyarakat Jawa sibagai lima larangan (pantangan, wewaler, pamali) dan isinya agak lain yaitu yang disebut " Ma Lima" yaitu lima larangan yang dimulai dari kata "ma". Larangan tersebut adalah :

1. Mateni : artinya membunuh 2. Maleng : artinya mencuri 3. Madon : artinya berzina 4. Madat : artinya menghisap candu 5. Maen : artinya berjudi Lima larangan moral atau "Ma Lima" ini dalam masyarakat Jawa masih dikenal dan masih juga menjadi pedoman moral, tetapi namanya bukan Pancasila, tetapi tetap "Ma Lima". Secara Terminologis (mengistilah) Secara terminologis, yaitu dimulai sejang sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Pancasila dipergunakan oleh Bung Karno untuk memberi nama pada lima prinsip dasar Negara Indonesia yang diusulkanya. Sedang istilah tersebut diberikan dari temanya yang pada waktu itu duduk di samping Bung Karno. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD '45 yang sebelumnya masih merupakan rencana di mana dalam pembukaanya memuat rumusan lima Dasar Negara Republik Indonesia yang diberi nama

Pancasila. Artinya lima dasar yang dimaksud ialah dasar falsafah Negara Republik Indonesia yang isinya sebagaimana tertera dalam alinea IV bagian akhir pembukaan UUD '45. Selanjutnya istilah Pancasila dalam Bahasa Indonesia dan secara yuridis yang dimaksudkan adalah 5 sila Pancasila yang kita anut saat ini. Penggunaan Terakhir Istilah Pancasila Pancasila yang semula berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima aturan hal yang penting, dan selanjutnya "Ma Lima" dalam bahasa Jawa kuno berarti lima pantangan yang kesemuanya itu dipergunakan dalam Agama Budha, yang akhirnya Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai istilah untuk nama dasar filsafat negara Republik Indonesia samapai sekarang. Di samping perkembangan arti istilahnya, penulisanya pun mengalami proses perkembangan. Menurut ejaan aslinya ditulis huruf latin pertama-tama, ditulis dengan " Panca-Syila". Kemudian disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia lama menjadi Pantja-Sila. Karena istilah Pancasila dipakai nama dasar filsafat negara yang isinya merupakan satu kesatuan, maka menurut Prof. Notonagoro penulisanya tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dirangkai jadi satu yaitu "Pantjasila". Dan selanjutnya menurut ejaan yang disempurnakan penulisanya menjadi "Pancasila". Terseret pada new liberalisme global, sistem pendidikan di Indonesia telah terperangkap pada paradigma tersebut yang menyebabkan pula jatidiri bangsa ditinggalkan dengan menanggalkan matapelajaran dan matakuliah Pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional Kegalauan masih terasakan menyelimuti komunitas stakeholder dari puluhan para pengajar dan pemerhati Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang hadir dari Perguruan Tinggi (PT) Negeri/Swasta berbagai propinsi dan daerah di tanah air dalam Simposium Nasional III di Universitas Diponegoro Semarang pada 22-24 Mei 2006. Kegalauan itu bersumber utama dari rendahnya respons dan apalagi komitmen Depdiknas/Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).Lima Profesor Doktor yang dihadirkan sebagai keynote speaker dan pembicara, yakni Prof. DR. Bambang Sudibyo (Mendiknas), Prof. DR. Koento Wibisono (UGM dan mantan Rektor UNS), Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. (Rektor UNDIP), Prof. Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Yogyakarta), dan Prof. DR. Suharsimi Arikunto (UN Yogyakarta).Mendiknas/Dirjen Dikti yang diundangmeskipun panitia telah dengan menghadap langsung di kantornyauntuk berbicara dengan topik Peran Pendidikan Pengembangan Kepribadian dalam Penguatan Jatidiri Bangsa dan Nilai-nilai Kepemimpinan menyatakan berhalangan hadir pada dua hari sebelum pelaksanaan acara (H-2). Mendiknas/Dirjen Dikti yang tidak hadir juga tidak mewakilkan serta tidak mengirimkan makalahnya. Implikasinya, dalam simposium ini tidak dapat mengklarifikasi berbagai hal yang prinsip berkaitan dengan kebijakan nasional terbaru tentang kurikulum di PT. Karenanya tidak heran apabila masih terjadi multi tafsir atas kejanggalan yuridis dalam kurikulum wajib di PT pasca penetapan UU no. 20/2003 tentang Sisdiknas.Yang disesalkandan menjadi kekecewaan para peserta, yang sempat juga dicuatkan secara vokalsampai saat-saat berakhirnya pelaksanaan simposium ini adalah nihilnya komitmen dari kalangan Diknas/Dirjen Dikti. Seakan MPK ini dibiarkan begitu saja berlalu.

PP 19 Tahun 2005 Sampai pada akhir sidang pleno dan acara penutupan simposium ini, suasana galau masih mengaromai terutama saat penyusunan naskah akademik untuk memantapkan matakuliah Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari MPK dalam struktur yuridis nasional. Isi rekomendasi masih merujuk pada SK (Surat Keputusan) Dirjen Dikti nomor 038/U/2002 tentang MPK, bahwa MPK di PT mencakup Matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ditambahkan bahasa saat mengacu pada UU no. 20/2003 tentang Sisdiknas.Kekeliruan yang cukup fatal dari para elit nasionalterutama keynote speakers dan narasumberyang terlibat dalam simposium ini adalah bahwa tidak satupun dari mereka yang merujuk kepada kebijakan baru pasca penetapan UU no. 20/2003. Yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 (PP 19) Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan pada bulan Meigenap berumur satu tahun saat simposium ini dilaksanakan.Adalah sudara Herry P dari ITS Surabaya salah seorang peserta yang dengan teguh mengangkat PP 19/2005 pada acara tersebut baik dalam sesi ceramah-dialog dan menegaskannya kembali pada Sidang Pleno saat penyusunan rekomendasi. Pada PP 19 pasal 9 ayat 1-4 ini diuraikan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum PT dikembangkan oleh PT yang bersangkutan untuk setiap program studi; (2) Kurikulum tingkat satuan PT wajib memuat matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris; (3) selain ketentuan tersebut, kurikulum tingkat satuan PT Program Sarjana dan Diploma wajib memuat matakuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta matakuliah statistik dan atau matematika.Mendasarkan pada ketentuan yuridis yang ditetapkan pada tahun 2003 dan 2005 ini dapatlah dipahami jika muatan wajib nasional dan institusional (lokal) MPK adalah (1) Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesiameskipun dalam kedua ketentuan di atas tidak disebutkan lagi konsep MPK namundalam konteks pengembangan kepribadian atau jatidiri bangsa Indonesia, maka urgensinya terdapat pada keberadaannya dengan penekanan pada upaya menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, serta pengkajian hasil-hasil karya sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa. SK Dirjen Dikti Simposium yang diselenggarakan dua tahunanyang kali ke-3nyaini mengusung tema Pendidikan Pengembangan Kepribadian: Mencermati berbagai Persoalan Kebangsaan dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif Pendidikan Pengembangan Kepribadian ini terasa kurang gregetnya karena nyaris sama sekali tidak mengacu kepada ketentuan actual yang berlaku.Kekeliruan mendasarnya terdapat pada nihilnya sosialisasi yang selayaknya dilakukan oleh Diknas/Dikti sendiri. Betapa PP 19/2005 itu telah ditetapkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 41 tanggal 16 Mei ini telah berumur satu tahun. Meskipun demikian, para petinggi di berbagai PT se-Indonesiayang berkumpul di Semarang itunyaris belum mengetahui keberadaannya. Buktinya, para narasumberbegitu pula panitia pengarahpun tidak tanggap ing sasmito untuk segera mengimplementasikannya sesuai dengan tema simposium.Sekiranya telah tanggap, merupakan peluang yang tinggi dan signifikan apabilastakeholder utama para pengelola MPK yang hadir dalam simposium itu juga membahas dan menjabarkan PP 19/2005 pasal 9 ayat 3 tentang kurikulum dan matakuliah wajib yang bermuatan kepribadian dan kebudayaan. Sesungguhnya, merekalah stakeholders pengajar dan pengelola MPK yang memiliki kompetensi yang tinggi untuk menjabarkannya. Muatan Wajib Institusional Desas-desus yang berkembangyang juga beredar dalam simposium initidak lama lagi akan ditetapkan SK Dirjen Dikti sebagai kelanjutan UU nomor 20/2003 dan PP 19/2005. Diktum yang

tidak boleh dilupakan adalah penetapan kurikulum dan matakuliah wajib baik yang bersifat nasional maupun institusional (lokal). Hendaknya secara eksplisit disebutkan antara lain Pendidikan Pancasila sebagai kurikulum wajib muatan institusional. Mengingat sejumlah tuntutan dari para stakeholders MPK dalam berbagai pertemuan nasional terus-menerus dinyatakan. Sejak Deklarasi Simpang di Surabaya bulan Agustus tahun 2003, Deklarasi Padanaran di Semarang bulan Februari 2004 dan dilanjutkan dengan seminar dan lokakarnya nasional di berbagai wilayah misalnya LP3JATIM (Lembaga Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur) tahun 2004, FKDP (Forum Komunikasi Dosen Pancasila) Jawa Tengah (2005) yang menegaskan kembali urgensi pencatuman Pendidikan Pancasila dalam sistem perundang-undangan nasional. Di Jawa Timur sendiri telah tegas dinyatakan oleh para rektor PTN dalam paguyuban mereka bahwa Pendidikan Pancasila merupakan bagian dari PULSE (Public University Link Service at East Java) sebagai matakuliah wajib institusional bersamaan dengan Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sampai ditulisnya artikel ini, di Universitas Airlangga sendiri masih menetapkan policynya tentang Pendidikan Pancasila sebagai muatan lokal yang harus diprogram di semua jurusan/program studi.Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan PTN/PTS besar lainnya juga masih menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib institusional. Rekomendasi yang dihasilkan dalam Simposium nasional III ini juga menegaskan lagi tentang hal tersebut. Yang pembobotannya setara dengan MPK lainnya. Telah sedemikian tegas dan berulang-ulang rekomendasi itu dikemukakan oleh stakeholder para pengampu MPK di tanah air ini yang hasilnya juga secara formal disampaikan ke Depdiknas dan pihak terkait. Tidak kurang juga telah disampaikan naskah akademik (academic reasoning)nya yang memuat landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kurang apa lagi dachJika saja SK Dirjen Dikti yang segera akan ditetapkan masih juga tidak mengeksplisitkan Pendidikan Pancasila dalam kurikulum muatan wajib institusionalnya, sungguh perluasan bebalisme bangsa ini justru menggaung di pusat Depdiknas RI. Negara kita tercinta sedang teracuni krisis moral mematikan. Ideologi pancasila seakan tenggelam, tak lagi menjadi akar pedoman bagi bangsa dan negara ini. Simbol garuda sebagai simbol usungan ideologi ini hanya tergantung di dinding sekedar simbol syarat tanpa dimaknai dengan benar dan tepat. Terkuaknya borok pada sistem pemerintahan, para wakil rakyat, serta tak ketinggalan pula rakyat yang bersikap minim akan moral. Korupsi merajalela, konflik agama, penindasan bahkan pelanggaran HAM kian marak menandai lunturnya nilai-nilai Pancasila. Sehingga, pemerintah merasa perlu menghidupkan kembali Pancasila di lingkungan pendidikan. Memangnya sejak kapan Pancasila sudah mati? Kurang peka akan hidupnya Pancasila merupakan hal yang harus ditingkatkan pada setiap individu. Bukan dengan cara paksaan, tapi melalui proses alami agar mencapai suatu pemaknaan yang sesuai. Mengapa baru sekarang Pancasila kembali naik daun untuk diperbincangkan bahkan pihak pemerintah telah mengancang-ancang akan memasukan kembali pelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Dekade lalu, pelajaran moral Pancasila sudah diperkenalkan. Akan tetapi hal tersebut sempat berubah-ubah hingga sekarang nama itu menjadi pelajaran kewarganegaraan. Pelajaran ini pun

seharusnya dapat menjawab permasalahan bila sekedar hanya sebagai syarat agar Pancasila dipelajari di dunia pendidikan. Tak perlu pelajaran khusus berbasis Pancasila. Secara tidak sadar, sejak di sekolah dasar kita wajib mengumandangkan lima nilai Pancasila dengan suara sekeras-kerasnya satu kali dalam seminggu di lapangan sekolah. Dihafalkan tanpa diresapi langsung akan maknanya. Saat ini bukan lagi bicara soal teori namun praktek (percontohan) langsung akan lebih terasa. Seperti halnya saja, para politisi atau wakil rakyat yang makin bersikap amoral tentu bukanlah contoh penerapan Pancasila yang benar dan tepat. Sehingga bagaimana bisa berharap kaum muda tak menirunya? Mata kuliah Pancasila perlu diterapkan kembali agar mahasiswa sebagaipenerus bangsa tetap mengingat, mengetahui, paham, dan memperjuangkan bangsa Indonesia. Jika tidak ada mata kuliah tersebut, akan memungkinkan para generasi muda melupakan falsafah negara, sejarah, budaya Indonesia. Mata kuliah Pancasila biasanya terdapat di semester-semester awal perkuliahan untuk memperkokoh rasa nasionalispara penerus bangsa, sehingga tidak ada lagi anak cucu kita yang tidak tahu hal-hal umum yang berkaitan denganNegara Indonesia, misalnya, lupa sila-sila Pancasila.