Upload
phamthien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PANDANGAN MUI JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ABDURRAHMAN SALEH BUGIS
NIM: 1111044100021
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2014 M
iv
ABSTRAK
Abdurrahman Saleh Bugis. NIM 1111044100021. PANDANGAN ULAMA
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI. Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. X + 72 halaman + lampiran-
lampiran.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sebenarnya Pandangan
Ulama Jakarta Utara Tentang Poligami? Skripsi ini bertujuan mendeskripsikan dan
menganalisa Pengetahuan Hukum, Pemahaman Hukum, Sikap Hukum dan
Pandangan Hukum Pengurus.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana penyusun
berpijak dari peristiwa yang berlangsung, sumber data diperoleh melalui wawancara.
Dari ketiga ulama yang penyusun wawancarai kesemuanya memiliki
pengetahuan yang sama, tetapi memiliki pemahaman yang berbeda yaitu dua
diantaranya menyebutkan bahwa hukum poligami adalah Rukhsah, dan satu orang
ulama lagi menyebutkan Azimah, hal ini berakibat pada pemahaman dari dua ulama
bahwa poligami itu hanya bisa dilakukan pada kondisi darurat atau adanya alasan
saja. Sedangkan yang satu ulama lagi membolehkan poligami tanpa ada alasan atau
kondisi darurat apapun.
Begitu juga, pemahaman tentang syarat adil sebagai syarat hukum atau syarat
agama, dua di antara mereka memahami bahwa syarat adil adalah syarat hukum dan
satu diantara mereka memahaminya sebagai syarat agama. Perbedaan pemahaman itu
berakibat pada sah atau tidak perkawinan poligami. Jika orang yang berpoligami itu
tidak adil, bagi ulama yang menyatakan adil itu sebagai syarat hukum, maka poligami
tidak sah jika suami tidak adil.Sedangkan bagi ulama yang menyatakan adil itu
sebagai syarat agama, maka suami hanya berdosa jika tidak berlaku adil. Tidak
berpengaruh pada sah atau tidak sah nya hukum perkawinan poligami tersebut.
Terkait izin poligami dari Pengadilan Agama dan Istri dua diantaranya
menyatakan setuju dengan peraturan tersebut dan satu diantaranya menyatakan tidak
setuju. Ulama yang menyatakan tidak setuju dengan peraturan bahwa poligami baru
dapat dilakukan apabila telah ada izin dari Pengadilan Agama, beralasan bahwa
aturan yang demikian tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.Dari perbedaan
pemahaman inilah yang berakibat pada prilaku ketiga ulama tersebut yaitu dua
diantaranya tidak melakukan poligami dan satu diantaranya melakukan poligami.
Ketiga ulama tersebut menyatakan bahwa urusan perkawinan adalah urusan
pribadi jadi tidak masalah bila dalam kepengurusan MUI kota administrasi Jakarta
utara melakukan perkawinan poligami tanpa melalui proses izin terlebih dahulu
melalui pengadilan agama.
Kata Kunci : Pengetahuan Hukum, Pemahaman Hukum, Sikap Hukum
dan Pandangan Hukum, MUI Jakarta Utara.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini. MAg.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2012.
v
KATA PENGANTAR
بسن الله الرحوي الرحين
يا والديي، والصالة والسالم عل ى أشرف الورسليي، بيا الحود هلل رب العالويي، وبه ستعيي على أهىر الد
آله وأصحابه والتابعيي وهي تبعهن بإحساى إلى يىم الدييهحود صلى اهلل عليه وسلن وعلى
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon
pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para
sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
pembalasan.
Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “PANDANGAN MUI
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI” telah selesai disusun guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.sy) strata satu dalam Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih dan
jazakumullah khoirujaza kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik
bapak/ibu dosen yang telah membekali penyusun dengan ilmu pengetahuan, maupun para
staff yang telah membantu kelancaran administrasi.
vi
2. Kamarusdiana, S.Ag., M.H selaku Ketua Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah dan
Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah.
3. Dr. Hj. Mesraini, MAg selaku Dosen Pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di
tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penyusun dalam pembuatan
skripsi.
4. Dr. H. M. Supriyadi Ahmad selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak
memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.
5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menyediakan berbagai macam literature dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syaruf Hidayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.
6. Kepala seluruh Ulama dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi
Jakarta Utara yang telah meluangkan waktu dan bersedia diwawancara sebagai
narasumber dalam penelitian ini.
7. Orang tua saya, Drs. Muhammad Basri Ghazali, Nur Barokah, Kakak dan adik saya, dan
semua keluarga baik yang dari suku Jawa maupun dari suku Bugis yang telah
memberikan semangat dan motivasi.
8. Kepada seluruh teman-teman di organisasi HMI ciputat baik cabang maupun di
komisariat, yang selalu mendoakan.
9. Sahabat-sahabat dari HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Hukum Keluarga,
Terima kasih atas kebersamaan selama penyusun menuntut ilmu di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
10. Kepada seluruh teman-teman di LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum
Mahasiswa Islam) yang telah memberikan motivasi dan mendukung kelancaran dalam
menyusun skripsi.
11. Serta berbagai pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan seluruhnya, semoga amal baik
mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini dan wawasan ilmu penyusun. Besar harapan penyusun, skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 20 Maret 2015
Abdurrahman Saleh Bugis
NIM : 1111044100021
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………….i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI………………………………………………………….ii
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI………………………………………………………………iii
ABSTRAK……………………………………………………………………………………….iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan masalah .................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
D. Review Studi Terdahulu ................................................................................... 9
E. Metode Penelitian ........................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 15
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pengertian Poligami dan Sejarahnya .............................................................. 18
B. Poligami dalam Pandangan Fuqaha
1. Hukum Melakukan Poligami .................................................................... 26
2. Jumlah Istri dalam Poligami …………………………………………….27
3. Syarat Boleh Melakukan Poligami ........................................................... 29
C. Poligami Menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia
1. Hukum Melakukan Poligami…………………………………………….31
2. Jumlah Istri dalam Poligami ………………………………………….…33
3. Tata Cara dan Prosedur Poligami …………………………………….....34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum tentang Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta
Utara
1. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia ..................................... 37
2. Sruktur Organisasi………………………………………………….…....40
B. Poligami Menurut Pandangan Pengurus MUI Kota Administrasi Jakarta Utara
Periode 2015-2020
ix
1. Pengetahuan Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara tentang Syarat dan
Prosedur Poligami di Indonesia ................................................................ 43
2. Pemahaman Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara Tentang Syarat dan
Prosedur Poligami di Indonesia ................................................................ 45
3. Sikap Hukum atau Prilaku Pengurus MUI Jakarta Utara Tentang
Poligami.. .................................................................................................. 50
4. Pandangan atau Sikap Pengurus MUI Jakarta Utara Jika Ada Pengurus
MUI Jakarta Utara Yang Melakukan Poligami Tanpa Memenuhi
Persyaratan dan Prosedur Yang Sudah Diatur dalam Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia……………………………………………………...53
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Terhadap Pengetahuan Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara tentang
Syarat dan Prosedur Poligami ......................................................................... 57
B. Analisis Terahadap Pemahaman Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara tentang
Syarat dan Prosedur Poligami ......................................................................... 57
C. Analisis Terhadap Sikap Hukum atau Prilaku Pengurus MUI Jakarta Utara
tentang Poligami ............................................................................................. 63
D. Analisis Terhadap Pandangan atau Sikap Pengurus MUI Jakarta Utara Jika
Ada Pengurus MUI Jakarta Utara Yang Melakukan Poligami Tanpa
Memenuhi Persyaratan dan Prosedur Yang Sudah diatur Dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia ................................................................. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 69
B. Saran-saran ...................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1
Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis
yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.2 Sedangkan
tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mempunyai kehidupan yang
bahagia dunia dan akhirat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.
Perkawinan merupakan sunnatullah yamg umum dan berlaku pada semua
makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia
adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT., sebagai jalan bagi makhluk-
Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.3
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam
masyarakat adalah poligami. Poligami adalah system perkawinan si suami
1 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet, ke-1 hal, 1. 2 Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka Raya,
2007) set, hal. 4. 3 Slamet Abidin dan Aminuddin, fiqh munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 9;
2
yang memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam satu kurun waktu.4
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih
dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti
banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang
mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata
Polus yang berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.5 Akan tetapi yang
dimaksud dengan poligami dalam skripsi ini adalah dalam arti poligini.
(seorang suami memiliki lebih dari sorang istri pada waktu yang bersamaan).
Keberadaaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam
lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam
kehidupan manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat
diberbagai kawasan dunia. Orang-orang arab telah berpoligami jauh sebelum
kedatangan Islam. Demikian pula masyarakat di luar Bangsa Arab, bahkan di
Arab sebelum Islam telah dipraktekan poligami yang tanpa batas. Bentuk
poligami ini dikenal pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.6
Terkait dengan hal tersebut di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai Negara Hukum yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Pancasila, sebagaimana tercantum dalam konstitusi
4 Tim Reality, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Surabaya: Reality Publisher, 2008) Cet. I hal.
525. 5 Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) hal.
17. 6 Titik Triwulan tutik, Poligami Perspektif Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), cet. 1.
hal. 57.
3
Indonesia, Indonesia bukanlah Negara Islam, namun sebuah Negara yang
dihuni umat Islam terbesar di dunia yang menetapkan Pancasila sebagai dasar
Negara, hukum Islam secara tidak langsung mempunyai posisi yang penting.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sejalan dengan ajaran tauhid sebagai
sendi pokok ajaran Islam dan hukum Islam telah memberikan landasan dasar
yang cukup kokoh untuk melaksanakan ketentuan hukum Islam dalam negara
hukum yang berdasarkan Pancasila. Dalam Pasal 29 UUD 1945 ditegaskan
pula bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Landasan konstitusional ini adalah merupakan jaminan
formal dari setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam kehidupannya di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa Indonesia serta dalam kehidupan bernegara.7
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjamin bagi umat Islam untuk melakukan
atau menjalankan ibadah menurut syariatnya sepanjang menurut aturan yang
ditetapkan oleh undang-undang.Salah satu dari hukum Islam yang
ditransformasikan ke dalam hukum nasional tersebut adalah tentang
Perkawinan yaitu diatur dalam UU. NO.1 Tahun 1974, termasuk dalam hal
poligami pun sudah diatur dalam Undang-Undang tersebut.
7 Yayan sopyan, Islam dan Negara “transformasi hukum perkawinan islam dalam hukum
nasional”, (Jakarta : wahana semesta intermedia, 2012), cet . 2. Hal. 66.
4
Bila ditinjau dari segi ayat Al-Quran, Allah SWT membolehkan
berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka.
yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian,
giliran dan segala hal yang bersifat lahiriyah dan bathiniyah sebagaimana
yang tertera di dalam surah an nissa ayat 3.
Tetapi tidaklah cukup dengan hal tersebut, rupanya peraturan
Perundang-undangan di Indonesia melakukan pembatasan ketat terhadap
poligami. Diantaranya yang diatur di dalam Pasal 4 UU. No.1 Tahun 1974,
dengan memberlakukan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh
seseorang ketika hendak berpoligami, yaitu dengan mengajukan permohonan
kepada pengadilan, diantaranya adalah:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.8
Selain itu, suami juga harus memenuhi beberapa persyaratan lain yang
disebutkan dalam pasal 5 UU. No.1 Tahun 1974 diantaranya adalah :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.9
Tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari ternyata ketentuan dalam
pasal 4 dan 5 UU. No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur
8 Pasal 4 UU. No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
9 Pasal 5 UU. No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
5
tentang persyaratan poligami tersebut sering tidak dijalankan atau boleh jadi
hampir sudah tidak dihiraukan, baik dari kalangan awam maupun dari
kalangan intelektual Islam sekalipun, yang melakukan poligami tanpa
meminta izin pengadilan. Hal ini dibuktikan dengan sangat rendahnya
permohonan izin poligami yang diproses oleh pengadilan-pengadilan. Sebut
saja misalnya Pengadilan Agama Jakarta Utara selama tahun 2014 hanya
memutus perkara izin poligami sebanyak1 Permohonan.10
Dalam realita atau kehidupan sehari-hari penyusun melihat praktik-
praktik poligami dalam kota administrasi Jakarta Utara yang tidak tercatat
atau meminta izin terlebih dahulu melalui Pengadilan Agama, hal ini bukan
saja dilakukan oleh masyarakat awam melainkan dari kalangan intelektual
islam termasuk intelektual islam dalam kepengurusan MUI Jakarta Utara.
Menurut Bapak KH. Ahmad Munir. BA (Dewan Penasehat Majelis
Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara) mengatakan, sering sekali
orang yang telah mempunyai istri dan dia ingin menikah lagi tetapi tidak mau
meminta izin dari pengadilan, akhirya orang tersebut menggunakan cara
dengan berkata bohong atau berpura-pura dengan mengakui statusnya masih
bujangan lalu ia menggunakan cara lain untuk memperkuat pengakuannya
atau mempertajam bukti dengan mengubah KTP nya dengan Status „Belum
10
Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Utara, diakses pada tanggal 12 February 2015
http:// www.infoperkara.badilag.net
6
Menikah‟ alias bujangan padahal sudah menikah. Perbuatan tersebut dapat
dikatakan pula melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia sekaligus masuk dalam kategori tindak kriminal penipuan
identitas,sehingga perlu diberikan arahan yang tepat agar pembentukan
keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah dapat berjalan dengan baik dan tidak
menimbulkan masalah yang cukup rumit.11
Pernikahan tersebut yang di paparkan oleh Bapak KH. Ahmad Munir
BA (Dewan Penasehat MUI Jakarta Utara) akan mendapatkan sangsi
administrative oleh Negara yaitu tidak diakui keabsahan pernikahannya atau
tidak mempunyai kekuatan hokum. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pasal 56 ayat 2 sebagai berikut : “Perkawinan yang dilakukan dengan istri
kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Dari hasil pengamatan sementara penulis di masayarakat khususnya
masyarakat dalam kota administrasi Jakarta utara, terkesan bahwa praktik
poligami tanpa melalui proses izin pengadilan tersebut, tidak hanya dilakukan
oleh masyarakat awam, tetapi juga banyak dilakukan oleh ulama sebagai
uswatun hasanah bagi masyarakat awam. Apakah penyebab banyaknya
11
Wawancara pribadi dengan KH. Ahmad Munir, BA selaku Penasehat MUI Kota
Administrasi Jakarta Utara pada tanggal 17 Desember 2014
7
praktik poligami yang demikian? Dan bagaimana sebenarnya pandangan MUI
Jakarta Utara terhadap aturan poligami di Indonesia?
Atas dasar itulah penulis merasa tertarik untuk membahas dan
mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Pandangan MUI
Jakarta Utara Tentang Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian terdahulu, maka masalah dalam penelitian ini
dibatasi sebagai berikut :
a. Poligami dibatasi pada pengertian seorang suami memiliki istri
lebih dari satu orang
b. Ulama Jakarta Utara dibatasi pada para ulama dalam
Struktural Organisasi Majelis Ulama Indonesia Kota
Administrasi Jakarta Utara Periode 2015–2020
2. Perumusan Masalah
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, masyarakat Indonesia yang ingin melakukan poligami harus
meminta izin terlebih dahulu kepada Pengadilan dalam hal ini untuk
umat islam adalah Pengadilan Agama. Suami yang mengajukan izin
poligami tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi dalam
8
prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran, diantaranya orang
yang ingin melakukan poligami tidak meminta izin terlebih dahulu
kepada pengadilan, tidak jarang juga para ulama atau intelektual Islam
yang melakukan hal tersebut. Dari masalah itulah Penulis tertarik
melakukan Penelitian ini. Adapun rumusan masalah ini dapat dirinci
kedalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengetahuan hukum Pengurus Majelis Ulama
Indonesia Jakarta Utara tentang syarat dan prosedur poligami
di Indonesia?
2. Bagaimana pemahaman hukum Pengurus Majelis Ulama
Indonesia Jakarta Utara tentang syarat dan prosedur poligami
di Indonesia?
3. Bagaimana perilaku hukum Pengurus Majelis Ulama
Indonesia Jakarta Utara tentang poligami?
4. Bagaimana pandangan/sikap pengurus Majelis Ulama
Indonesia Jakarta Utara jika ada pengurus MUI Jakarta Utara
yang melakukan poligami tanpa memenuhi persyaratan dan
prosedur yang sudah diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan menganalisa latar belakang dan perumusan masalah tersebut
maka penelitian ini bertujuan:
9
1. Menjelaskan pengetahuan hukum pengurus Majelis Ulama Indonesia Kota
Administrasi Jakarta Utara tentang syarat dan prosedur Poligami.
2. Menjelaskan pemahamanhukum pengurus Majelis Ulama Indonesia
Jakarta Utara tentang syarat dan prosedur poligami di Indonesia.
3. Menjelaskan prilaku hukum pengurus Majelis Ulama Indonesia Jakarta
Utara tentang poligami.
4. Menjelaskan pandangan/sikap pengurus Majelis Ulama Indonesia Jakarta
Utara jika ada pengurus MUI Jakarta Utara yang melakukan poligami
tanpa memenuhi persyaratan dan prosedur yang sudah diatur dalam
Perundang-undangan di Indonesia.
Adapun manfaat atau kegunaannya adalah :
1. Secara akademis
Yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar
kesarjanaan srata satu pada fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah jakarta
2. Secara ilmiah
a. Bagi fakultas Syariah dan Hukum, memberikan sumbangan
kepustakaan dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada
umumnya.
b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat
selama belajar di Fakulas Syariah dan Hukum.
10
c. Bagi Ulama Jakarta Utara dapat memberikan informasi yang Objektif
dan Akurat.
d. Bagi masyarakat dapat memahami atau menambah wawasan seputar
permasalahan poligami yang terjadi dimasyarakat.
D. Review Studi Terdahulu
Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dan sesuai dengan aspek-
aspek dalam penelitian tentang poligami iniyaitu:
Karya Idi Sugandi dengan judul “Dampak Positif Poligami dalam
Perspektif Hukum Islam” (Studi Kasus Desa Saninten Kecamatan Kadu Hejo
Kabupaten Pandeglang)” Tahun 2011 M/1432 H. Di dalam skripsi tersebut
menjelaskan tentang faktor dan dampak terhadap poligami. Faktor terssebut
diantaranya: Faktor Agama, Faktor Social Ekonomi, Faktor Pendidikan,
Faktor Sosial Budaya, Faktor Biologis. Adapun dampak positif poligami
diantaranya: terhindar dari maksiat, memperbanyak keturunan, melindungi
para janda, dan kelebihan perempuan, melatih kesabaran dan egoisme, status
yang jelas bagi perempuan yang dinikahinya.
Karya Abdul Khoir yang berjudul “Konsep Adil dalam Poligami”
(Analisis Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
Tahun 2010 M/1431 H. dalam Skripsi tersebut menjelaskan mengenai: makna
adil dalam poligami perspektif Hukum Islam dan makna adil menurut
perspektif UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu poligami merupakan solusi yang
ditawarkan Islam terhadap masyarakat jahiliyah pada waktu itu yang ingin
11
merendahkan harkat wanita. Untuk itu dalam dalam UU. No. 1 Tahun 1974
melakukan pembatasan ketat terhadap poligami, agar tidak sang suami tidak
sewenang-wenang terhadap perempuan.
Karya Ahmad Fauzi dengan judul “Pengaruh Poligami Terhadap
Ketidakharmonisan Rumah Tangga” (Pandangan istri yang dipoligami di
kecamatan Karang Tengah)Tahun 2010 M/1431 H dalam skripsi tersebut
menjelaskan: pandangan responden tersebut yang menyebabkan
ketidakharmonisan rumah tangga yaitu kebanyakan seorang suami yang
melakukan poligami hanya karena hawa nafsu atau kebutuhan biologis,
sehingga kerugiannya lebih besar dibandingkan dengan keuntungan.
Dari ketiga tinjauan kepustakaan tersebut, penulis melihat bahwa
terdapat perbedaan pembahasan skripsi ini dengan skripsi-skripsi terdahulu
yakni, selain dari lokasi penelitian yang berbeda penulis juga lebih
menitikberatkan kepada pendapat ulama dalam hal ini Majelis Ulama
Indonesia khususnya Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta
Utara sebagai objek bahasannya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atau
peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang dihadapi dalam
penelitian adalah dunia sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti ini
12
berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan
melekatkan temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya. Oleh karena itu,
apa yang dilakukan oleh peneliti selama dilapangan termasuk dalam suatu
posisi yang berdasar kasus, yang mengarahkan perhatian pada spesifikasi
kasus-kasus tertentu.12
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pendekatan
hukum sosiologi atau penelitian hukum empirik, yaitu penelitian yang
berdasarkan bukti kenyataan di lapangan atau realitas sosial. Metode
penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan
analisis kualitatif yaitu pendekatan yang ditujukan untuk meneliti pada
hasil wawancara mendalam (deep interview) , kemudian menganalisis
hasil data yang diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan penelitian.
Pendekatan ini dimaksud untuk mengetahui Pandangan MUI Jakarta Utara
Tentang Poligami
3. Sumber data
a. Sumber Primer
Dalam penelitian hukum empiric, data primer diperoleh dari Pengurus
MUI Jakarta Utara yang berupa hasil wawancara dengan subjek
penelitian.
12
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2001), cet. 3. hal. 82
13
b. Di dalam penelitian ini, digunakan pula data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat yang dibedakan dalam beberapa macam:
1) Bahan hukum primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam buku ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2) Bahan hukum sekunder yaitu: berupa buku-buku, makalah
seminar, jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, situs,
testimony, koran maupun blog.
3) Bahan hukum tersier yaitu: berupa kamus hukum, ensiklopedia,
dan sebagainya.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Untuk lebih fokusnya penelitian ini, lokasi yang akan digunakan
adalah Kantor Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara
dan Objek yang dituju adalah Pengurus Majelis Ulama Indonesia Kota
Administrasi Jakarta Utara masa tugas 2015–2020.Oleh karena tidak
mungkin mewawancarai seluruh pengurus tersebut, penulis hanya bisa
mewawancarai sebanyak 3 orang pengurus saja. Penunjukan 3 orang yang
diwawancarai itu ditentukan langsung oleh ketua MUI Jakarta Utara.
14
Adapun Subjek dalam penelitian ini adalah penulis sendiri yang
berkeinginan untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama perihal
poligami, khususnya pandangan pengurus Majelis Ulama Indonesia Kota
Administrasi Jakarta Utara masa tugas tahun 2015–2020.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empirik ini, teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah sebagai berikut :
a. Wawancara : dilakukan dengan pengurus atau struktur keorganisasian
Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara untuk
mendapatkan data mengenai pendapat mereka tentang poligami.
Wawancara dilakukan dengan cara terstruktur yaitu wawancara yang
pewawancaranya menerapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang
akan diajukan.13
b. Studi Pustaka : dilakukan untuk mendapatkan data tentang teori-teori
tentang poligami baik Hukum Islam maupun peraturan perundang-
undangandiIndonesia.
6. Pedoman Penulisan Laporan
Teknik penulisan skripsi ini memiliki dasar acuan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”
yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press tahun 2012.
13
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004),
cet. 3 hal. 109.
15
7. Metode Analisis Data
Tahap terakhir dalam sebuah penelitian setelah data dikumpulkan
adalah analisis data. Tahapan tersebut dilakukan dengan menganalisis data
yang telah terkumpul dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan dalam
penelitian. Sedangkan kesimpulan ditarik dari metode induktif, yaitu
dengan menghimpun data dari konsep-konsep Al-Qur‟an dan Hadist, serta
ditunjang dalam Perundang-undangan yang telah diberlakukan dan hasil
wawancara dari Ulama dalam structural/pengurus Majelis Ulama
Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara. Data yang telah terkumpul
tersebut dianalisis dan ditarik kesimpulan sehingga dapat menjawab inti
batasan dan rumusan masalah penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Skripsi yang berjudul “PANDANGAN MUI
JAKARTA UTARA TENTANG POLIGAMI” ini dibagi menjadi lima Subab
dan susunan pembahasannya sebagai berikut :
BAB I, Pendahuluan, Mengenai uraian masalah tekhnis penulisan yakni :
Latar Belakang, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, Riview Studi Terdahulu, Sistematika
Penulisan.
BAB II, Kerangka Teoritis, A. Pengertian Poligami, B. Poligami Dalam
Pandangan Fukaha: 1. Hokum melakukan poligami. 2. Jumlah istri dalam
poligami. 3. Syarat melakukan poligami. C. Poligami Menurut Peraturan
16
Perkawinan di Indonesia: 1. Hukum melakukan poligami 2. Jumlah istri
dalam poligami 3. Tata cara dan prosedur poligami.
BAB III, Metodologi Penelitian A. Gambaran umum tentang Majelis Ulama
Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara:1. Sejarah Terbentuknya Majelis
Ulama Indonesia.2. Struktur Organisasi.3. Tugas Pokok dan Fungsi.B.
Poligami menurut pengurus Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi
Jakarta Utara periode 2015– 2020: 1. Pengetahuan hukum pengurus MUI
Jakarta utara tentang syarat dan prosedur poligami di Indonesia. 2.
Pemahaman hukum pengurus MUI Jakarta utara tentang syarat dan prosedur
poligami di Indonesia. 3. Sikap Hukum atau Prilaku pengurus MUI Jakarta
utara tentang poligami. 4. Pandangan/sikap pengurus MUI Jakarta utara jika
ada pengurus MUI Jakarta utara yang melakukan poligami tanpa memenuhi
persyaratan dan prosedur yang sudah diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia.
BAB IV, Analisis Data A. Analisis terhadap pengetahuan hukum pengurus
MUI Jakarta utara tentang syarat dan prosedur poligami. B. analisis terhadap
pemahaman hukum pengurus MUI Jakarta utara tentang persyaratan dan
prosedur poligami di Indonesia. C. Analisis terhadap sikap hukum atau
prilaku pengurus MUI Jakarta utara tentang poligami. D. Analisis terhadap
Pandangan/sikap pengurus MUI Jakarta utara yang melakukan poligami tanpa
memenuhii persyaratan dan prosedur yang sudah diatur dalam perundang-
undangan di Indonesia
17
BAB V, Penutup, Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran.
18
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Poligami dan Sejarahnya
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami
merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang
berarti istri atau pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri
lebih dari satu orang secara bersamaan.1 Adapun secara terminologis,
poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana seorang suami
memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami yang berpoligami dapat
saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau bahkan lebih, dalam
waktu bersamaan.
Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta‟addud al-Zaujat, sedangkan
dalam bahasa Indonesia disebut “madu”.2 Menurut Arij Abdurrahman al-
sanan dalam bukunya Al-„adl Baina Al-Zaujat, yang dimaksud dengan
Ta‟addud Al-Zaujat adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam
tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak lebih darinya.3 Seseorang
1 Nashruddin Baidan, Tafsir Bial-Ra‟yi, Upaya Penggalian Konsep Perempuan dalam Al-
quran (Mencermati Konsep Kesejajaran Perempuan dalam Al-quran), Cet. I, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 1999, 94. 2 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaa Marwa,
2007) Cet 1, h. 29. 3 Arij Abdurrahman al-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global
Media Cipra Publishing, 2003), h. 25.
19
dikatakan melakukan poligami berdasarkan jumlah istri yang dimilikinya pada
saat yang bersamaan, dan bukan jumlah perkawinan yang pernah dilakukan.
Suami yang ditinggal mati istri pertamanya, kemudian menikah lagi tidak
dapat dikatakan berpoligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri pada
satu waktu. Sehingga apabila seseorang melakukan pernikahan sebanyak
empat kali atau lebih, tetapi istri yang terakhir berjumlah satu orang, maka dia
tidak dapat dikatakan poligami.
Penjelasan di atas berbeda dengan pendapat Henry Pratt Farchild, yang
mengatakan bahwa uraian tentang poligami tersebut tidak tepat bila dikatakan
sebagai poligami, tetapi lebih tepat disebut poligini. Sebab istilah poligami
dapat diartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang istri, atau antara seorang perempuan dengan lebih dari seorang suami.
Istilah poligami dapat dilakukan oleh suami dan juga istri, sedangkan istilah
poligini hanya untuk seorang suami.4
Menurut Islah Gusman, ia mengartikan poligami adalah banyak nikah.
Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktik perkawinan lebih dari satu
suami atau istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia
berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini
menurutnya adalah banyak perempuan, istilah ini digunakan untk menunjuk
4 Henry Pratt Fairchild, Dictionary of Sosiology, dikutip oleh J.N.D. Anderson, Hukum Islam
di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Cet. I, Surabaya: Amarpress, 1991, 45.
20
pada seorang pria yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak
perempuan (pada masa yang sama, dan bukan karena kawin cerai).5
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan poligami
adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan dan berpoligini berarti
menjalankan poligami.6
Namun perbedaan pemaknaan istilah tersebut tidak menjadi
permasalahan dalam pemaknaan terhadap perilaku suami yang memiliki lebih
dari satu istri. Sebab pada perkembangan selanjutnya, istilah poligami
dihadapkan pada istilah poliandri, yaitu seorang istri yang memiliki lebih dari
satu suami dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, dengan sendirinya
istilah poligami menjadi bersifat khusus, yaitu seorang lelaki yang
mempunyai lebih dari satu isteri secara bersamaan.
Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu agama
pembawa kesejahteraan bagi seluruh alam. Salah satu yang diperkenalkan
islam untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan perkawinan, yang
bertujuan membangun keluarga yang tentram dan penuh cinta kasih antara
orang yang ada di dalamnya. Hal ini ditunjukan dalam firman Allah dalam
Surah ar-Ruum (30): 21 sebagai berikut:
5 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa,
2007) h. 26. 6 Depdikbud, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), Cet. Ke-7, h.
21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.7
Menurut Islam, perkawinan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan tanpa mengabaikan hak dan kewajiban suami dan istri dalam
posisinya sebagai makhluk yang sama, baik di mata masyarakat ataupun di
mata Allah SWT. Terdapat satu jenis perkawinan yang dibolehkan oleh islam
untuk dilakukan umat Islam. Bentuk perkawinan itu ialah poligami,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah an-Nisaa‟ (4): 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.8
7 Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989, 644
8 Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989., 115
22
Perhatian penuh islam terhadap poligami sebagaimana ayat di atas ini
tidak semata-mata tanpa syarat. Islam menetapkannya dengan syarat, yaitu
keadilan dan pembatasan jumlah. Keadilan menjadi syarat karena istri
mempunyai hak untuk hidup dan bahagia. Adapun pembatasan jumlah
menjadi syarat karena jika tidak dibatasi maka keadilan akan sulit ditegakkan.
Pembatasan ini juga memberikan toleransi yang tinggi baik kepada laki-laki
maupun perempuan. Seorang laki-laki dengan segala kelebihannya dapat saja
beristri lebih dari empat, tetapi Islam memberikan jalan tengah dengan beristri
maksimal empat orang. Bagi perempuan pun, persyaratan tersebut dapat
membuat lebih terjaganya kehidupan dan kebahagiaan, dibandingkan dengan
tanpa pembatasan jumlah.
Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligini. Karena
sejarah membuktikan bahwa poligini sudah umum dilakukan sebelum
datangnya Islam oleh berbagai suku bangsa. Diantaranya bangsa Ebre dan
arab pada zaman Jahiliyah, juga terdapat pada suku bangsa „salafiyun‟ yaitu
Negara-negara yang sekarang disebut Rusia, letonia, Cekoslawakia dan
Yugoslavia juga terdapat disebagian Negara jerman dan inggris. Tidak hanya
hal itu, rupanya Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi-
nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa
pengecualian. Ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS
23
mempunyai tujuh ratus orang isteri yang merdeka dan tiga ratus isteri yang
berasal dari budak.9
Meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak
menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi dengan berapa saja banyaknya
isteri, namun pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu. Lalu mereka
berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan
banyaknya isteri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor-faktor
pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki-laki menikah
dengan isteri baru.10
Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena
larangan itu tidak ditentukan dalam injil maupun dalam surat-surat para Rasul
(Sahabat-sahabat Yesus) yang dikenal dengan kitab Perjanjian Baru. Dalam
kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Dr.
Kahfi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa
kebiasaan poligami itu sudah ada pada Bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus,
ia kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa
mewajibkan seseorang untuk mengawini janda saudara laki-laki sendiri yang
meninggal dan tidak memiliki anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga.
Apa yang diperbolehkan dalam taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam
9 Musthafa as Siba‟I, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1997), cet. 1. h. 100. 10
Abdul Nasir Taufiq al-„Atthar, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet. 1. H. 80.
24
Injil yang melarangnya, maka diperbolehkan juga dalam agama Kristen,
termasuk di dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang
melarang poligami dalam injil. Sejarah membuktikan bahwa umat-umat
Kristen terdahulu dan para pemuka agama banyak melakukan poligami.11
George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al-Siba‟I berkata bahwa tidak ada
keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya
berpoligami dengan dua orang isteri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang-
orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Sebaliknya
terjadi bagi bapak-bapak gereja itu yang mencukupkan seorang isteri saja, hal
itu demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti terdahulu
yang terjadi di kalangan Romawi. Kemudian mereka membawa idenya itu
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka,
seperti yang sudah kita ketahui secara popular.12
Sekarang kita lihat gereja-gereja di Afrika mengakui bolehnya
poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri
mereka berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu
di kalangan bangsa-bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak-bapak
gereja berpendapat bahwa kalau mereka terus-menerus melarang poligami,
maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa-
11
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami dalam Islam VS
Monogami Barat, (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1. H. 49. 12
Mustafa al-Siba‟I, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1997), h. 104.
25
bangsa Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu
mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat
tradisional Afrika, banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri,
lambang kesuksesan dan status social tinggi serta menandakan kesejahteraan.
Poligami merupakan adat warisan leluhur orang-orang Afrika, buka saja
dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.13
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah
mempraktikan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata-rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit
kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.14
Nabi Muhammad SAW
melakukan poligami diantara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktikan
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa-bangsa lain. Bahkan seorang istri
bukan hanya dapat dipertukarkan, tetapi juga bisa diperjualbelikan secara
lazim antara mereka.15
Dalam konteks perkawinan, kedatangan islam jelas
memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi
kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha-usaha pembelan dan
sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena
perempuan sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak
13
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. H. 120. 14
Musdah Mulia, Islam menggugat poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007). 15
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka,
2007), cet. 1. H. 57.
26
dihargai dan bahkan dilecehkan. Lalu perempuan diangkat martabatnya oleh
Islam menjadi subjek yang bermanfaat.16
Dalam analisa Rahmat Hakim, kedatangan Islam sekedar membatasi
jumlah wanita yang dapat dimiliki pria dalam berpoligami agar tidak
terjadinya kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita. Jadi, kalau diteliti
lebih jauh, lahirnya syariat ini adalah dalam upaya mengangkat derajat wanita,
seperti apa yang diharapkan dalam hakikat perkawinan itu sendiri.17
B. Poligami Dalam Pandangan Fuqoha
1. Hukum Melakukan Poligami
Para ulama sepakat menyatakan bahwa poligami adalah
diperbolehkan, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban
bagi kaum muslimin.
Adapun dasar hukumnya dalam Surah An-Nisa ayat 3 dan 4 sebagai
berikut :
16
Islah Gusmian, Mengapa Muhammad berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007), h.
38. 17
Ibid.
27
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.18
Perbedaan pendapat dikalangan mereka terjadi berkenaan dengan
status hokum kebolehan tersebut, azimah dan rukhsah dan Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang dimaksud dengan adil
di sini adalah adil secara lahir, yakni keadilan yang dapat dilakukan
manusia seperti adil dalam masalah tempat tinggal, pakaian, dan
sebagainya. Bukan adil secara bathin seperti kecenderungan hati kepada
salah seorang istri, karena adil secara batin tidak dapat disanggupi oleh
manusia sebagaimana diketahui dari ayat tersebut.19
2. Jumlah istri dalam poligami
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebolehan berpoligami terbatas
sampai empat wanita, pendapat jumhur ulama mengacu kepada Surah An-
Nissa ayat 3 :
18
Al-quran dan terjemahnya, semarang: CV. Toha Putra, 1989, 644 19
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), cet 1.
28
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.20
Dan juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Ibnu Majah:
ي ثما ن وسىة. فا تيت الىبي عه قيش به الحارث قال: اسلمت وعىد
صل اهلل علي وسلم: فقلت ذ لك , فقال: اختر مىهه اربعا. رواي ابه ماج
“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: ketika masuk islam saya memiliki
delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya,
lalu beliau bersabda: “pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah).21
Jadi penulis menyimpulkan jumlah batasan berpoligami dalam islam
hanya diperbolehkan hingga 4 (empat orang istri saja) dan selebihnya
tidak boleh atau bisa dikatakan haram
.
20
Badran Abu al-‘Ainain Badran, az-Zawaj wa at-Talaq fi al-Islam, hal, 88-92; asy-Syaukani, Nail al-Autar, juz VI, hal. 289-290 dan 320; Rasyid Rida, Tafsir Al-Manar, juz IV. Hal. 374-375; Fakhr ar-Razi, Tafsir Fakhir ar-Razi, jilid III, hal. 137-138; Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz II, hal. 40.
21 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), cet 1.
29
3. Syarat dibolehkan melakukan Poligami
Syarat dibolehkan poligami menimbulkan perbedaan pendapat,
Perbedaan pendapat di sini adalah antara kalangan Ulama Fiqh dengan
Ulama Tafsir terkait memahami ayat 3 surat An-Nisa‟ yang menjadi dasar
kebolehan poligami menurut mereka. Karena cara mereka memahami,
mengonsep dan memberikan solusi berbeda, menurut Ulama Fiqh syarat
berpoligami adalah syarat agama sedangkan menurut Ulama Tafsir syarat
berpoligami adalah syarat hukum.22
Berikut adalah pendapat mereka
masing-masing:
a. Menurut Ulama Tafsir
Syarat adil bagi kebolehan berpoligami dipandang oleh mereka
selaku syarat hukum, dengan arti kata ketika terdapat keadilan
maka terdapatlah hukum kebolehan berpoligami dan ketika tidak
terdapat keadilan maka terdapatlah hukum larangan berpoligami.
Larangan membawa kepada batalnya pekerjaan yang dilarang.
Mereka menggunakan kaidah yang berbunyi ‘annahyu yadullu
‘alalfasaadi’ larangan itu menunjukan fasadnya hukum.
b. Menurut Ulama Fiqh
Syarat adil bagi kebolehan berpoligami bukanlah syarat hukum
sebagaimana menurut jalan fikir kalangan Ulama Tafsir, akan
22
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), cet 1
30
tetapi ia adalah syarat Agama dengan pengertian bahwa agama
yang menghendakinya. Karena yang dikatakan syarat hukum itu
adalah yang dituntut adalah sebelum adanya hukum, dengan
pengertian bahwa syarat seperti itu tidak dapat berpisah dari
hokum. Contohnya wudhu‟ selaku syarat hukum syahnya dalam
menunaikan shalat, dituntut untuk dilakukan sebelum shalat,
karena shalat tidak akan sah dilakukan kecuali dengan wudhu‟
terlebih dahulu. Maka shalat dengan wudhu‟ tidak dapat
dipisahkan. Sama halnya adil tidak dapat dijadikan syarat hukum
sahnya poligami karena adil itu belum dapat diwujudkan sebelum
terwujudnya poligami. Oleh karena itulah syarat adil dalam
melakukan poligami tidak dapat dikatakan syarat hukum, akan
tetapi ialah syarat agama yang oleh karenannya ia menjadi salah
satu kewajiban si suami setelah melakukan poligami. Selain dari
pada itu syarat hokum itu mengakibatkan batalnya hukum ketika
batal syaratnya, tetapi syarat agama tidak demikian halnya,
melainkan ia hanya mengakibatkan dosa kepada tuhan. Jadi suami
yang tidak berlaku adil dia berdosa dan dapat diajukan kepada
hakim perkaranya dan hakim pun dapat menjatuhkan kepadanya
hukuman. Akan tetapi jikalau adil menjadi syarat hukum bagi
31
kebolehan berpoligami, maka jika suami tidak berlaku adil
nikahnya menjadi batal.23
C. Poligami Menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia
1. Hukum Melakukan Poligami
Penulis sudah menjelaskan di atas mengenai hukum melakukan
poligami, dalam Hukum Islam seorang suami boleh berpoligami atau
memiliki isteri lebih dari satu sampai empat, tetapi di dalam Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia Poligami dilakukan pembatasan secara
ketat.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional kita UU. Nomor.1
Tahun 1974 yaitu pasal 3 ayat 1 dikatakan „Pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami‟.24
Dari penjabaran pasal
tersebut diketahui bahwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
menganut asas Monogami.
Tetapi walaupun dinyatakan bahwa pada prinsipmya dasar perkawinan
adalah seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri/monogamy
[Lex Generalis], namun dalam kondisi-kondisi tertentu pria tersebut
diperbolehkan untuk menikah dengan beberapa isteri dengan syarat-syarat
tertentu [Lex Spesialis]. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2 dijelaskan
23
https://rahmatyudistiawan.worpress.com/2013/01/page/2/ 24
UU. No. 1 Tahun 1974 : Tentang Perkawinan.
32
tentang pengecualian dari pasal 3 ayat 1 yakni „Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan‟.25
Alasan-alasan tersebut tercantum di dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5
yaitu :
Pasal 4 ayat 2
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.26
Dalam Pasal 57 KHI pun mengaturnya:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan berkewajiban sebagi isteri
b. Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.27
Adapun poligami khusus untuk Pegawai Negeri Sipil yang di atur
dalam PP. No. 10 Tahun 1983 yaitu :
25
UU. No 1 Tahun 1974 : Tentang Perkawinan. 26
UU. No. 1 Tahun 1974 : Tentang Perkawinan 27
Inpres No. 1 Tahun 1991 : Kompilasi Hukum Islam
33
Pasal 4
a. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat
b. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil
c. Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
d. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3)
diajukan secara tertulis.
e. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk
menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.28
2. Jumlah Isteri Dalam Poligami
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengatur
secara jelas berapa jumlah isteri yang diperbolehkan oleh suami dalam
melakukan poligami, tetapi secara eksplisit kita bisa menjumpai ketentuan
tersebut.
Di dalam pasal 2 ayat 1 UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
disebutkan: „Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu‟.29
Dalam hal ini umat islam di Indonesia perkawinannya berpedoman
kepada Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam yang diatur dalam Pasal 55 yaitu : „Beristeri lebih dari satu orang
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang‟.
28
PP. No. 45 Tahun 1983 : Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil 29
UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
34
Jadi penulis menyimpulkan bahwa jumlah istri dalam berpoligami
dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia khususnya untuk umat
islam berjumlah hingga 4 (empat) orang istri.
3. Tata Cara dan Prosedur Poligami
Mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan poligami diatur didalam
Pasal 40, 41, 43 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alsan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan;
c. Ada atau tida adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandtangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keteragan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataaan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat, bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, oleh
Menteri Agama RI mengeluarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaanya
35
yang dituangkan dalam peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 3
Tahun 1975. Ketentuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang
harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan
putusan/penetapan Izin Berpoligami, maupun oleh Pejabat Pencatat Nikah
dalam penyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.30
Ketentuan-ketentuan dari Permenag No. 3 Tahun 1975 antara lain :
Pasal 8 ayat 2
Bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang, harus membawa
surat izin dari Pengadilan Agama.
Pasal 1 ayat 2h
Izin beristeri lebih dari seorang dari pengadilan Agama ialah
penetapan yang berupa izin beristeri lebih dari seorang.
Pasal 14 ayat 1
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-
alasannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya
dengan membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain
yang diperlukan; (Permenag No. 3/1975 pasal14 (1) ).
Yang dimaksud oleh permenag pasal 1 ayat 1 di atas adalah atau
syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 UUP,
sebagaimana pula dalam PP pasal 41. Selanjutnya Permenag No. 3 Tahun
1975 tadi, menentukan:
Pasal 15 ayat 4
Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristeri lebih dari
seorang kepada pemohon yang bersangkutan.31
Dapat ditambahkan, bahwa dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 5 ayat 2
menentukan: Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
30
Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama (Bandung:
CV. ARMICO, 1984). Cet. 1. Hal. 67 31
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975
36
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa suami yang ingin melakukan
poligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pengadilan Agama,
dan surat izin dari Pengadilan Agama tersebut harus dibawa ketika
mendaftarkan perkawinan poligaminya di KUA, surat tersebut akan
dijadikan bukti untuk dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh atau dilarang mencatatkan
perkawinan poligami seorang suami, jika sang suami tersebut tidak
mempunyai atau mendapatkan surat izin tertulis dari Pengadilan Agama,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 44 PP. No. 9. Tahun 1975.32
32
Tim Citra Umbara, UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung : Citra
Umbara), cet. IV, hal. 59
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum tentang Majelis Ulama Indonesia Kota Administasi
Jakarta Utara.
1. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia
Peristiwa terbentuknya Majelis Ulama Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari kondisi pasang-surutnya peran ulama di tengah
masyarakat, baik sebelum maupun sesudah kolonialisme. Peran
tersebut, tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah dan agama
saja, melainkan juga menyangkut persoalan-persoalan politik.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Cirebon
dan Banten pada abad keenam belas tidak dapat dilepaskan sebagai
hasil dari perjuangan dan peran serta para ulama.1 Ini tentunya
merupakan bukti kongkrit di mana peran ulama mencakup dari
keseluruhan aspek social dan politik di masyarakat.
Pada tanggal 1 juli 1975, Departemen Agama mengumumkan
penunjukan sebuah panitia pembentukan majelis ulama tingkat
nasional. Panitia waktu itu terdiri dari : H. Sudirman, pensiunan
Jenderal Angkatan Darat, selaku ketua, serta Tiga orang ulama
terkenal selaku penasehat : Dr. Hamka, K.H Syukri Ghozali dan K.H
1 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 53.
38
Abdullah Syafi’i. tiga minggu kemudian muktamar nasional
dilangsungkan sejak tanggal 21 hingga 27 juli 1975, yang dihadiri oleh
para wakil majelis-majelis ulama daerah, para wali pengurus pusat
sepuluh organisasi islam, sejumlah ulama bebas dan empat
cendikiawan Islam dari ABRI. Pada akhir muktmar dibuat suatu
deklarasi yang ditandatangani oleh 53 orang peserta, yang
mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) degan
ketua terpilih, Dr. Hamka.2
Lahirya Majelis Ulama Indonesia memang melalui perjalanan
yang cukup panjang dan ini tidak dapat dilepaskan dari kekecewaan
yang menyelimuti umat islam terhadap pemerintah yang dianggap
merugikan umat di massa sebelumnya kekecewaan yang berujung
pada kecurigaan ini sangat beralasan. Atho Mudhzar mencatat tiga hal
mengapa umat islam kurang respon atas usul pemerintah tentang
pembentukan majelis ulama ini. Pertama adalah pemilihan umum
tahun 1971, yang dimenangkan oleh Golkar (sebuah organisasi
konfederasi golongan-golongan karya), telah mengecewakan umat
islam. Apalagi partai islam terbesar, masyumi tidak diperkenankan
oleh pemerintah untuk dihidupkan kembali. Pemilih yang curang
merupakan pukulan yang telak bagi partai-partai islam waktu itu.
2 M. Atho Mudzhar, fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 56
39
Mereka hanya memperoleh 26% suara dari 360% kursi yang
diperebutkan. Sedang Golkar memenangkan 65% suara. Angka yang
diperoleh partai Islam saat itu jauh sekali bila dibandingkan dengan
pemilu pertama 1955, yakni memperoleh 45% dari jumlah kursi yang
diperebutkan.3
Kedua, adanya upaya-upaya depolitisasi umat islam melalui
fraksi sejumlah partai-partai politik yang berhaluan sama pada tahun
1973. Melalui undang-undang ditetapkan bahwa hanya dua partai
politik dan satu golongan karyalah yang akan menjadi kontestan
pemilu pada masa-masa yang akan datang. Bagi umat islam sendiri
ketetapan ini tentunya amat mengecewakan. Sebab bagaimanapun bagi
umat, partai islam itu identik dengan Islam itu sendiri.4
Terakhir adalah rancangan undang-undang perkawinan yang
bersifat sekular, yang diajukan pemerintah kepada parlemen tanggal
31 juli 1973. Ada beberapa pasal oleh umat Islam dianggap tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Misalnya, tentang sahnya suatu
pernikahan hanya jika telah terdaftar oleh badan-badan pemerintah
yang bersangkutan tanpa menyebutkan segi keagamaan dari keabsahan
itu. Rancangan undang-undang itu menimbulkan kemarahan yang luar
3 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993), h. 58-59 4 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993). H. 59-60
40
biasa dari umat Islam. Demonstrasi-demonstrasi pun digelar sembari
meneriakan yel-yel “Allahu Akbar”.5
Demikianlah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang,
dibentuknya majelis ulama oleh pemerintah. Dengan mengikuti
peristiwa-peristiwa yang mengiringi kemunculan majelis ulama itu
dapat dimaklumi jika kemudian penolakan dan kecurigaan menjadi
sebab kenapa umat sulit menerima kehadiran majelis tersebut.
2. Struktur Organisasi
SURAT KEPUTUSAN DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Nomor : 01.B-SK/MUI-DKI/I/2015
Tentang
PENGUKUHAN DEWAN PENASEHAT MAJELIS ULAMA
INDONESIA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA MASA
KHIDMAT : 2015-2020
Ketua : KH. Zulfa Mustofa MY
Wakil Ketua : 1. Walikota Administrasi Jakarta Utara
2. Asisten Kesmas Setko. Adm. Jakarta Utara
3. Ka.Kantor Kemenag Kota Adm. Jakarta Utara
4. H. Bambang Sugiyono, SE, M.Si
5. DR.KH. Nur Alam Bakhtiar
6. Drs. KH. Oman Syahroni
7. Drs. KH. Musytari A. Gani
8. H. Abdul Halim, SE
Sekretaris Ex. Officio. Sekretaris Umum MUI Kota Administrasi
Jakarta Utara
5 Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993). H. 60-61
41
Anggota-anggota : 1. Habib Abdullah Al-Atthos
2. KH. Achmad Munir
3. KH. Ihsanudin
4. KH. Sfafi’I Al-Fudhola
5. KH. Mulki bin H. Dali
6. DR. H. Nasir Hartono, M.Pd
7. KH. A. Madjazi
8. KH. M. Faizin
9. Habib Yusuf As-Syatiry
10. Drs. H. Mansyur Syape’I, HS
11. H. Ramly Hi Muhammad, M. Si
12. Capt. H. Subandi
13. H. Tubagus Arif, S. Ag
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 06 Januari 2015 M
15 Rabiul Awwal 1436 H
SURAT KEPUTUSAN DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Nomor : 01.A-SK/MUI-DKI/I/2015
Tentang
PENGUKUHAN DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA
INDONESIA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA MASA
KHIDMAT : 2015-2020
Ketua Umum : KH. A. Ibnu Abidin, Lc
Sekertaris Umum : Drs. KH. Wirta Amin Assalaf, M.Si
Bendahara Umum : Hj. Yusriyah Dzinnun
Komisi Fatwa
Ketua : Drs. KH. Sodikin Maksudi
Sekretaris : Drs. KH Misbahul Munir
Komisi Pendidikan
Ketua : Drs. KH.Masyuf Sudarto
Sekretaris : A. Chalabi, MA
Komisi Ukhuwah
Ketua : Drs. Abi Ichwanuddin, M.Si
Sekretaris : Drs. KH. Ade Purnama Hadi, Lc
Komisi Dakwah
42
Ketua : Drs. KH. Wahid Sya’roni
Sekretaris : DR. KH. Masruhin
Komisi Sosial Politik
Ketua : KH. Angku Safdinal
Sekretaris : Drs. H. Asep Lukman Hamzah, M,Ag
Komisi Informasi dan Komunikasi
Ketua : Drs. H. M. Thoif A. Manan, MM
Sekretaris : Drs. A. Toyib
Komisi Litbang
Ketua : Drs. H. Makmun Al-Ayyubi
Sekretaris : Drs. Daloh Abdaloh, M.Kom.I
Komisi Perempuan dan PA
Ketua : Hj. Ummu Kalsum
Sekretaris : Hj. Khulwatin Syafi’ah, S,Th.I
Di tetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 06 januari 2015 M
15 Robiul Awwal 1436 H
3. Peran dan Fungsi
a. Komisi Fatwa : Memberikan solusi tentang problem-problem sosial
kemasyarakatan mengenai penetapan hukum agama.
b. Komisi Pendidikan : Mengelola PDU (pendidikan dasar ulama) yang
diselengarakan oleh MUI untuk penerimaan anggota MUI yang baru
c. Komisi Ukhuwah : Memberikan pengarahan guna memperkecil
kesenjangan antar umat beragama agar tidak ada perselisihan yang
berada dimasyarakat.
d. Komisi Dakwah : Memberikan atau melaksanakan program-program
dakwah yang diselenggarakan dimasjid-masjid pada umumnya.
e. Komisi Sospolek : Memberikan pengarahan kepada masyarakat
mengenai masalah-masalah sosial maupun politik.
43
f. Komisi Infokom : Memberikan informasi dan komunikasi terkait
kepengurusan pada MUI Kota Administrasi Jakarta Utara.
g. Komisi Litbang : Menyelenggarakan penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh pengurus MUI guna menghasilkan penemuan-
penemuan yang digunakan sebagai bahan pengembangan.
B. Poligami Menurut Pandangan Pengurus MUI Kota Administrasi Jakarta
Utara Periode 2015-2020
Poligami adalah salah satu hal dalam perkawinan yang kerap menjadi
persoalan yang sudah lama terjadi. Poligami pun biasanya dipandang oleh
masyarakat dengan sangat kontroversi, ada yang memandangnya sebagai
suatu hal yang biasa dan ada juga yang memandangnya sebagai suatu
masalah. Bagi mereka yang Pro terhadap poligami biasanya menanggapi
poligami merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW yang memiliki esensi
ibadah, lain halnya bagi mereka yang kontra biasanya beranggapan poligami
merupakan hal yang dianggap diskriminatif dan melecehkan perempuan.
Berikut adalah Pandangan Pengurus MUI Jakarta Utara terhadap Poligami:
1. Pengetahuan Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara tentang Syarat
dan Prosedur Poligami di Indonesia
Menurut pandangan Bapak Drs. KH. Sodikin Maksudi (ketua komisi
fatwa) MUI Jakut, poligami bukan sesuatu yang wajib melainkan hanya
kebolehan saja(halal) tetapi dengan atau melalui proses ridha atau izin dari
44
sang istri tidak serta merta sang suami begitu saja meninggalkan sang istri
pertama sebagaimana dalam surat An-Nissa ayat 3 :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Adapun proses melalui peraturan perundang-undangan beliau
mengetahui tentang syarat dan prosedur poligami yang di atur di dalam
UU. No. 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 2 dan 5 ayat 1 yaitu sebagai berikut :
pasal 4 ayat 2; pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila, a. isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yng tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.6
Begitu pula sama hal nya dengan pendapat Bapak KH. Drs. Misbahul
Munir (sekretaris bidang fatwa) beliau pun mengetahui syarat dan
prosedur poligami yang diatur didalam peratuan perundang-undangan di
6 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015.
45
Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 dan Komilasi Hukum Islam bahwa
syarat dan prosedur poligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu
melalui pengadilan agama.7
Kemudian menurut Pandangan Drs. KH. Masryuf Sudarto (ketua
komisi pendidikan) sama pula halnya dengan kedua pendapat diatas
bahwa syarat dan prosedur polgami di Indonesia yang diatur didalam UU.
No. 1 Tahun 1974 harus melalui proses izin dari pengadilan agama dan
memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku.8
2. Pemahaman Hukum Pengurus MUI Jakut tentang syarat dan
prosedur poligami di Indonesia
Menurut Bapak Drs. KH. Masyruf Sudarto (ketua komisi pendidikan)
mengenai pemahaman syarat dan prosedur poligami adalah beliau lebih
mengedepankan pendapat syarat adil dalam berpoligami adalah syarat
hukum jika suami berlaku adil dalam berpoligami, maka hukum
poligaminya itu sah dan jika ternyata sang suami tidak dapat berlaku adil
maka hukum perkawinannya adalah fasid.9
Mengenai persyaratan dan prosedur poligami dalam Perundang-
undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 beliau sangat setuju
sekali dengan diberlakukan peraturan seperti itu (kebetulan beliau adalah
7 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015. 8 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015. 9 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015.
46
kepala KUA dalam daerah kota Administrasi Jakarta Utara) yang diatur
didalam pasal 4 ayat 2 dan 5 ayat 1 yang berisikan : pengadilan dapat
memberikan izin kepada sang suami yang akan beristeri lebih dari satu
jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syaratnya dalam pasal 5 ayat 1 sebagai berikut: 1. Adanya
persetujuan isteri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
Adapun tata cara menurut beliau yaitu dengan melapor ke KUA,
kemudian KUA membuat berkas, meminta izin dari isterinya lalu datang
ke pengadilan agama untuk meminta izin dari pengadilan, lalu diperiksa
oleh hakim tentang ketentuan yang berlaku, lalu setelah mendapatkan
penetapan oleh hakim berkas dari pengadilan dibawa ke KUA lalu
pegawai pencatat nikah langsung menikahkan sang suami tersebut.10
Menurut Bapak Drs. KH. Sodikin Maksudi (ketua komisi fatwa)
mengenai pemahaman syarat dan prosedur poligami adalah bila sang
suami ingin menikah lebih dari satu orang atau lebih harus melalui proses
10
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015.
47
izin dari istri tidak serta merta istri dibiarkan tetapi harus melalui proses
musyawarah dan harus mempunyai sifat adil. Dalam hal ini adil secara
keseluruhan yang meliputi segi ekonomi, biologis dan kasih sayang. Yang
terpenting mengharapkan ridho dari sang istri karena bagaimana pun
manusia tidak akan bisa berlaku adil. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam surah An-Nissa ayat 3 : “Fankihu maa thabalakhum minannissai,
mattsna, wasullasa, waruba”. “Fainkhifthum alla ta’dilu
fawwaakhidataan au maamalakat aimaanukum”. (maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.11
Adapun persyaratan berpoligami dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 4 ayat 2
dan 5 ayat 1 hanya sebatas untuk melakukan perlindungan terhadap kaum
perempuan karena orang yang melakukan poligami tidak semua berlatar
belakang baik/sama, ada orang yang melakukan poligami hanya karena
hawa nafsu, adapula karena sudah banyak uang atau merasa mampu
membiayainya.12
11
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 12
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015.
48
Beliau berpendapat bahwa syarat bolehnya berpoligami dalam Al-
Quran tidak ada larangan atau anjuran untuk meminta izin terlebih dahulu
kepada pengadilan, tetapi hanya saja pemerintah melakukan hal tersebut
untuk melindungi kaum perempuan dari kesewenang-wenangan pria.13
Tetapi tidak dengan pendapat Bapak Drs KH. Misbahul
Munir(sekretaris komisi fatwa) menurutnya beliau memandang syarat
untuk berpoligami hanya sebatas tidak melanggar rukun nikah, baik itu
yang sharih atau kinayat, tidak perlu meminta izin dari Pengadilan.
Menurut pemikiran beliau tidak ada kalimat yang mengatakan harus
meminta izin terlebih dahulu dengan istri untuk mendapatkan keabsahan
dalam nikah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalan surah An-Nissa ayat 3 :
“Fankihu maa thabalakhum minnanisa’I, matsna, wasullasa, waruba”
(maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat.14
Beliau memandang dari ayat tersebut perintah awalnya sebetulnya
bukan satu (monogami) tetapi langsung dua (asas poligami), lalu ada
pengecualian “Fainkhiftum alla ta’dillu fawwa hidattan au mmaa
mallakat aiimaanukum” (kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja).
13
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 14
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
49
Dan menurutnya perintah dalam A-Quran tidak harus bermakna wajib
tetapi bisa bermakna mubah(boleh). Kemudian syarat berpoligami
menurut beliau adalah adil, dan adil menurutnya adalah hanya sebatas
persoalan zhahir saja seperti (nafkah, tempat tinggal, waktu). Tidak
dengan kasih sayang sebab menurutnya pada dasarnya manusia tidak akan
mampu berbuat adil dalam hal kasih saying. Kata beliau akan repot dan
Al-Quran pun tahu bahwa manusia walau bagaimana pun tidak akan
mampu berlaku adil dalam hal kasih sayang. Tetapi jangan pula
keterlaluan cueknya, karena hati itu tidak bisa diukur untuk lebih
mencintai siapa, tetapi yang dituntut adalah “Fainkhiftum alla ta’dillu
(berbuat adil). Dan beliau memandang syarat adil dalam poligami adalah
syarat agama bukan syarat hokum, suami berlaku adil atau tidak, tidak
menjadi batalnya pernikahan tetapi hanya mendapatkan dosa saja.
Adapun persyaratan Poligami dalam Perundang-undangan di
Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 4
ayat 2 dan 5 ayat 1 menurut kacamata beliau, beliau tidak
sependapat/setuju dengan Peraturan perundang-undangan tersebut tetapi
beliau tidak mau membenturkannya, itu hanya syarat administrative dan
tidak mungkin syariat diatur-atur oleh pemerintah sebab menurutnya
syariat itu sudah ada koridornya yaitu A-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas.15
15
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
50
Asal hokum poligami adalah boleh, kalau misalnya asalnya halal lalu
diharamkan maka orang yang mengharamkan tersebut sudah murtad,
tetapi ini dipahami upaya pemerintah untuk optimalisasi kinerja PNS,
menurutnya apapun peraturan pemerintah tidak boleh melebihi peraturan
yang lebih tinggi yaitu Hukum Agama.16
Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Bapak Drs. KH. Sodikin
Maksudi dan Bapak Drs. KH. Masryuf Sudarto yang menyatakan bahwa
syarat untuk melakukan poligami adalah harus melalui izin dari istri atau
meminta ridha nya. Baik menurut hukum Islam maupun Peraturan
Perundang_undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 dan beliau
pun sepakat dengan aturan tersebut.
3. Sikap Hukum atau Perilaku Pengurus MUI Jakarta Utara tentang
Poligami
Mengenai sikap hokum atau prilaku pengurus MUI Jakarta utara
masing-masing bisa kita lihat sebagai berikut.
Pertama yaitu oleh Bapak Drs. KH.Masryuf Sudarto (ketua komisi
pendidikan) beliau tidak melakukan Poligami, dengan alasan, beliau
belum mampu untuk mempunyai istri lebih dari dua dan beliau pun takut
tidak akan mampu berlaku adil. Beliau menegaskan bahwa beliau
menganut monogamy tetapi tidak menutup kemungkinan beliau untuk
16
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
51
mempunyai istri lagi atau berpoligami jika beliau menyatakan mampu,
mampu dalam bidang lahiriyah maupun bathiniyah.17
Hal ini bisa kita lihat dari pengetahuan dan pemahaman beliau terkait
permasalahan syarat dan prosedur poligami yakni beliau lebih
mengedepankan peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam pasal 3 ayat 1 yang
menegaskan bahwa: pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
Sehingga beliau sangat menghargai kaum wanita atau menyayanginya
seorang. Dan menurutnya bahwa poligami hanyalah solusi terhadap
manusia dalam keadaan yang darurat. Beliau mengibaratkan poligami
sebagai pintu darurat jika pintu utamanya masih baik dan layak untuk
dilalui maka pintu darurat dilarang dibuka tetapi jika kondisi keadaan yang
mendesak dan pintu utamanya rusak maka poligami adalah pintu darurat
tersebut.18
Kedua, Bapak Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa) beliau
pun tidak melakukan poligami sama seperti Bapak KH. Masryuf Sudarto.
Alasan beliau adalah istrinya masih sehat dan mampu melaksanakan
17
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015. 18
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015.
52
kewajiban sebagaimana mestinya seorang istri, dan menurut pemikiran
beliau poligami bukanlah hal yang wajib tetapi hanya dibolehkan
saja(halal). Sebagaimana pengetahuan dan pemahaman beliau diatas
bahwa dalam Islam poligami hanyalah pintu darurat atau keadaan genting
dan untuk melakukan poligami harus mendapatkan ridha dari sang istri
tidak serta merta istri ditinggalkan begitu saja tetapi harus
dimusyawarahkan bersama atau mendapatkan izin darinya dan harus
mempunyai sifat adil, dalam hal ini adil secara keseluruhan yang meliputi
segi ekonomi, biologis dan kasih sayang.19
Kemudian yang ketiga, berbeda hal nya dengan Drs. KH. Misbahul
Munir (sekretaris komisi fatwa), beliau mempunyai pandangan tersendiri.
Beliau adalah pelaku poligami, dengan alasan ingin memperbanyak
keturunan Menurutnya banyak keluarga adalah bagus dan indah, banyak
keturunan itu baik. Yang terbangun dalam pemikiran beliau adalah ingin
memperbanyak umat muslim sebagaimana kata Rasulullah berbangga-
bangga dengan banyak umatku yang baik dan berkualitas.20
Pernikahan beliau yang kedua ini tidak tercatat pada Kantor Urusan
Agama atau tidak meminta izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana
telah penulis jelaskan diatas tentang pengetahuan dan pemahaman beliau
19
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 20
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
53
bahwa beliau tidak setuju dengan adanya Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia yang menyatakan harus meminta izin terlebih
dahulu kepada pengadilan terkait pernikahan yang kedua atau
berpoligami. Menurut beliau, meminta izin Pengadilan Agama untuk
menikah lebih dari satu atau berpoligami bukanlah menjadi rukun nikah.
Kemudian beliau pun mengatakan bahwa dalam Al-Quran sebetulnya
tidak menganut asas monogamy tetapi asas poligami sebagaimana dalam
surat An-Nissa ayat 3 tersebut: “Fankihu maa thabalakhum minnanisa’I,
matsna, wasullasa, waruba” (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat). Dan beliau mengatakan bahwa tidak
ada dalil yang mengatakan bahwa harus meminta izin terlebih dahulu dari
istri untuk mendapatkan keabsahan berpoligami.21
Dari pendapat inilah yang menyebabkan beliau melakukan poligami
yang tidak melalui izin dari istri maupun pengadilan agama.
4. Pandangan Atau Sikap Pengurus MUI Jakarta Utara Jika Ada
Pengurus MUI Jakarta Utara Yang Melakukan Poligami Tanpa
Memenuhi Persyaratan dan Prosedur Yang Sudah Diatur dalam
Perundang-Undangan Indonesia.
Dari ketiga ulama di atas berpendapat sama, bahwa tidak ada larangan
atau sanksi di dalam structural organisasi MUI Jakarta Utara mengenai
21
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
54
poligami yang tanpa memenuhi persyaratan dan prosedur yang sudah
diatur dalam perundang-undangan indonesia. Berikut adalah uraiannya:
Bapak Drs. KH. Masryuf Sudarto (ketua komisi pendidikan)
berpandangan bahwa bila ada pengurus MUI Jakarta Utara yang
melakukan poligami tanpa memenuhi syarat dan prosedur yang sudah
diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, maka tidak apa-apa.
Beliau berpendapat bahwa yang namanya pernikahan, termasuk poligami
itu menyangkut kekeluargaan itu adalah urusan privat, selagi dia tidak
melanggar syariat agama dan aturan.
Dan di MUI Jakarta utara sendiri tidak ada sanksi atau larangan untuk
berpoligami. Meskipun ia menikah secara sirri tetapi dia memenuhi syarat
fiqh ya tidak bermasalah, kecuali dia melakukan perbuatan zina atau
melakukan pelecehan sexual.22
Kemudian menurut pandangan Bapak Drs KH. Sodikin Mursidi(ketua
komisi fatwa) pun sama soal pernikahan, poligami dan kekeluargaan
urusan privat(pribadi). Selagi tidak melanggar syariat kecuali timbul
masalah dalam keluarganya, misalnya ada sang sitri yang tidak terima
dengan perlakuan suaminya yang nikah lagi lalu sang istri tersebut
mengadu kepada MUI dimana sang suami tersebut bekerja, nah itu yang
akan dikenakan sanksi oleh Pengurus MUI. Dan selagi keluarganya
22
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015.
55
berjalan aman-tentram, damai, tidak ada larangan atau sanksi apapun dari
kepengurusan MUI tersebut.23
Dan sama pula dengan pendapat Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris
komisi fatwa) tidak ada larangan yang dalam structural organisasi MUI
Jakarta Utara terkait masalah poligami tanpa memenuhi persyaratan yang
berlaku dalam Perundang-undangan Indonesia. Dan urusan seperti
pernikahan, poligami, kekeluargaan dsb tersebut menjadi urusan privat
(pribadi).24
23
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 24
Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
57
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Analisis Pengetahuan Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara Tentang
Syarat Dan Prosedur Poligami Di Indonesia
Dari ketiga ulama yang telah diwawancarai oleh penulis, tampak
bahwa pengetahuan mereka sejalan dengan syarat dan prosedur poligami yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu UU. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan harus ada izin
dari Pengadilan Agama bila ingin melakukan poligami dan izin dari istri
disertai alasan-alasan seperti yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yaitu : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa dari ketiga ulama tersebut memiliki
pengetahuan tentang syarat dan prosedur poligami yang diatur didalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
B. Analisis Pemahaman Hukum Pengurus MUI Jakarta Utara Tentang
Syarat Dan Prosedur Poligami Di Indonesia
Menurut Bapak Drs. KH. Masyruf Sudarto (ketua komisi pendidikan)
mengenai pemahaman syarat dan prosedur poligami adalah beliau lebih
mengedepankan pendapat syarat adil dalam berpoligami adalah syarat
58
hukum jika suami berlaku adil dalam berpoligami, maka hukum
poligaminya itu sah dan jika ternyata sang suami tidak dapat berlaku adil
maka hukum perkawinannya adalah fasid.1
Mengenai persyaratan dan prosedur poligami dalam Perundang-
undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 beliau sangat setuju
sekali dengan diberlakukan peraturan seperti itu (kebetulan beliau adalah
kepala KUA dalam daerah kota Administrasi Jakarta Utara) yang diatur
didalam pasal 4 ayat 2 dan 5 ayat 1 yang berisikan : pengadilan dapat
memberikan izin kepada sang suami yang akan beristeri lebih dari satu
jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syaratnya dalam pasal 5 ayat 1 sebagai berikut: 1. Adanya
persetujuan isteri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
Adapun tata cara menurut beliau yaitu dengan melapor ke KUA,
kemudian KUA membuat berkas, meminta izin dari isterinya lalu datang
ke pengadilan agama untuk meminta izin dari pengadilan, lalu diperiksa
1 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015.
59
oleh hakim tentang ketentuan yang berlaku, lalu setelah mendapatkan
penetapan oleh hakim berkas dari pengadilan dibawa ke KUA lalu
pegawai pencatat nikah langsung menikahkan sang suami tersebut.2
Menurut Bapak Drs. KH. Sodikin Maksudi (ketua komisi fatwa)
mengenai pemahaman syarat dan prosedur poligami adalah bila sang
suami ingin menikah lebih dari satu orang atau lebih harus melalui proses
izin dari istri tidak serta merta istri dibiarkan tetapi harus melalui proses
musyawarah dan harus mempunyai sifat adil. Dalam hal ini adil secara
keseluruhan yang meliputi segi ekonomi, biologis dan kasih sayang. Yang
terpenting mengharapkan ridho dari sang istri karena bagaimana pun
manusia tidak akan bisa berlaku adil. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam surah An-Nissa ayat 3 : “Fankihu maa thabalakhum minannissai,
mattsna, wasullasa, waruba”. “Fainkhifthum alla ta’dilu
fawwaakhidataan au maamalakat aimaanukum”. (maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.3
Adapun persyaratan berpoligami dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 4 ayat 2
2 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Masryuf sudarto(ketua komisi pendidikan), kantor
MUI Jakarta utara, jl. Yos sudarto, 11 february 2015. 3 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015.
60
dan 5 ayat 1 hanya sebatas untuk melakukan perlindungan terhadap kaum
perempuan karena orang yang melakukan poligami tidak semua berlatar
belakang baik/sama, ada orang yang melakukan poligami hanya karena
hawa nafsu, adapula karena sudah banyak uang atau merasa mampu
membiayainya.4
Beliau berpendapat bahwa syarat bolehnya berpoligami dalam Al-
Quran tidak ada larangan atau anjuran untuk meminta izin terlebih dahulu
kepada pengadilan, tetapi hanya saja pemerintah melakukan hal tersebut
untuk melindungi kaum perempuan dari kesewenang-wenangan pria.5
Tetapi tidak dengan pendapat Bapak Drs KH. Misbahul Munir
(sekretaris komisi fatwa) menurutnya beliau memandang syarat untuk
berpoligami hanya sebatas tidak melanggar rukun nikah, baik itu yang
sharih atau kinayat, tidak perlu meminta izin dari Pengadilan. Menurut
pemikiran beliau tidak ada kalimat yang mengatakan harus meminta izin
terlebih dahulu dengan istri untuk mendapatkan keabsahan dalam nikah.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalan surah An-Nissa ayat 3 : “Fankihu
maa thabalakhum minnanisa’I, matsna, wasullasa, waruba” (maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.6
4 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 5 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Sodikin Marsudi (ketua komisi fatwa), jl. Kp Bahari 2
tg. Priuk Jakarta utara 6 february 2015. 6 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
61
Beliau memandang dari ayat tersebut perintah awalnya sebetulnya
bukan satu (monogami) tetapi langsung dua (asas poligami), lalu ada
pengecualian “Fainkhiftum alla ta’dillu fawwa hidattan au mmaa
mallakat aiimaanukum” (kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja).
Dan menurutnya perintah dalam Al-Quran tidak harus bermakna wajib
tetapi bisa bermakna mubah(boleh). Kemudian syarat berpoligami
menurut beliau adalah adil, dan adil menurutnya adalah hanya sebatas
persoalan zhahir saja seperti (nafkah, tempat tinggal, waktu). Tidak
dengan kasih sayang sebab menurutnya pada dasarnya manusia tidak akan
mampu berbuat adil dalam hal kasih saying. Kata beliau akan repot dan
Al-Quran pun tahu bahwa manusia walau bagaimana pun tidak akan
mampu berlaku adil dalam hal kasih sayang. Tetapi jangan pula
keterlaluan cueknya, karena hati itu tidak bisa diukur untuk lebih
mencintai siapa, tetapi yang dituntut adalah “Fainkhiftum alla ta’dillu
(berbuat adil). Dan beliau memandang syarat adil dalam poligami adalah
syarat agama bukan syarat hokum, suami berlaku adil atau tidak, tidak
menjadi batalnya pernikahan tetapi hanya mendapatkan dosa saja.
Adapun persyaratan Poligami dalam Perundang-undangan di
Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 4
ayat 2 dan 5 ayat 1 menurut kacamata beliau, beliau tidak
sependapat/setuju dengan Peraturan perundang-undangan tersebut tetapi
62
beliau tidak mau membenturkannya, itu hanya syarat administrative dan
tidak mungkin syariat diatur-atur oleh pemerintah sebab menurutnya
syariat itu sudah ada koridornya yaitu A-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas.7
Asal hokum poligami adalah boleh, kalau misalnya asalnya halal lalu
diharamkan maka orang yang mengharamkan tersebut sudah murtad,
tetapi ini dipahami upaya pemerintah untuk optimalisasi kinerja PNS,
menurutnya apapun peraturan pemerintah tidak boleh melebihi peraturan
yang lebih tinggi yaitu Hukum Agama.8
Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Bapak Drs. KH. Sodikin
Maksudi dan Bapak Drs. KH. Masryuf Sudarto yang menyatakan bahwa
syarat untuk melakukan poligami adalah harus melalui izin dari istri atau
meminta ridha nya. Baik menurut hukum Islam maupun Peraturan
Perundang_undangan di Indonesia yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 dan beliau
pun sepakat dengan aturan tersebut.
Dari ketiga ulama yang tersebut ternyata memiliki pemahaman yang
berbeda yaitu dua diantaranya menyebutkan bahwa hukum poligami adalah
Rukhsah, dan satu orang ulama lagi menyebutkan Azimah, hal ini berakibat
pada pemahaman dari dua ulama bahwa poligami itu hanya bisa dilakukan
7 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015. 8 Wawancara pribadi dengan Drs. KH. Misbahul Munir (sekretaris komisi fatwa), PBNU
jl.salemba, Jakarta pusat 18 february 2015.
63
pada kondisi darurat atau adanya alasan saja. Sedangkan yang satu ulama lagi
membolehkan poligami tanpa ada alasan atau kondisi darurat apapun.
Begitu juga, pemahaman tentang syarat adil sebagai syarat hukum atau
syarat agama, dua di antara mereka memahami bahwa syarat adil adalah
syarat hukum dan satu diantara mereka memahaminya sebagai syarat agama.
Perbedaan pemahaman itu berakibat pada sah atau tidak perkawinan poligami.
Jika orang yang berpoligami itu tidak adil, bagi ulama yang menyatakan adil
itu sebagai syarat hukum, maka poligami tidak sah jika suami tidak adil.
Sedangkan bagi ulama yang menyatakan adil itu sebagai syarat agama, maka
suami hanya berdosa jika tidak berlaku adil. Tidak berpengaruh pada sah atau
tidak sah nya hukum perkawinan poligami tersebut.
Terkait izin poligami dari Pengadilan Agama dan Istri dua diantaranya
menyatakan setuju dengan peraturan tersebut dan satu diantaranya
menyatakan tidak setuju. Ulama yang menyatakan tidak setuju dengan
peraturan bahwa poligami baru dapat dilakukan apabila telah ada izin dari
Pengadilan Agama, beralasan bahwa aturan yang demikian tidak terdapat
dalam Al-Quran dan Hadits.
C. Analisis Sikap Hukum atau Prilaku Pengurus MUI Jakarta Utara
Tentang Poligami
Dari ketiga ulama tersebut yang melakukan poligami hanya Bapak
Drs. KH. Misbahul Munir. Hal ini sejalan dengan pengetahuan dan
pemahaman ketiga ulama tersebut. Dua pengurus MUI Jakarta Utara yaitu
64
Bapak Drs. KH. Masyruf Sudarto dan Bapak Drs. KH. Sodikin Marsyudi
tidak melakukan perkawinan poligami. Perilaku mereka berdua yang tidak
melakukan perkawinan poligami ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pemahaman mereka tentang poligami.
Mereka berpendapat bahwa hukum poligami itu hanyalah rukhsah,
bukan azimah. Begitu juga poligami harus didasarkan atas izin istri dan izin
Pengadilan Agama, sehingga mereka tidak melakukan poligami karena
pemahaman tersebut. Sedangkan menurut pemhaman Bapak Drs. KH.
Misbahul Munir, poligami tidaklah harus meminta izin terlebih dahulu kepada
pengadilan, dan tidak ada dalil yang mengatakan bahwa harus ada izin
terlebih dahulu kepada sang istri. Pemahaman itulah yang membuat beliau
melakukan poligami tanpa proses ke pengadilan.
Menurut penulis, pemahaman dan prilaku ulama yang melakukan
poligami tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia yaitu Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 1 yang menyatakan
sebagai berikut : pasal 4 ayat 2 : pengadilan dapat memberikan izin kepada
sang suami yang akan beristeri lebih dari satu jika memenuhi syarat sebagai
berikut: 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. 2. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syaratnya dalam pasal 5 ayat 1
disebutkan sebagai berikut: 1. Adanya persetujuan isteri. 2. Adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
65
anak-anak mereka; 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Penulis juga berpendapat bahwa Pemahaman Pengurus MUI yang
menyatakan bahwa tidak ada dalil yang mengatakan bahwa harus meminta
izin terlebih dahulu dari istri atau Pengadilan Agama untuk mendapatkan
keabsahan berpoligami itu hanya lah alasan pembenaran ulama itu saja, agar
beliau bisa melakukan poligami tanpa seizin Pengadilan Agama atau sang istri
terlebih dahulu. Menurut penulis sebagai umat islam dan warga negara yang
baik, Allah SWT sudah memerintahkan kita untuk mematuhi peraturan yang
dibuat oleh negara atau ulil amri. Dalam Al-Quran Surat An-nisa ayat 59 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa umat islam tidak hanya harus
mentaati Al_Quran dan Hadits semata tetapi juga produk hukum yang sudah
ditentukan oleh pemerintah atau ulil amri. Dalam poligami pemerintah sudah
66
mengatur bahwa poligami dapat dilakukan jika sudah ada izin dari istri dan
Pengadilan Agama. Dengan demikian, semestinya aturan tentang poligami ini
juga harus dipatuhi oleh warga Negara Indonesia yang beragama Islam,
sebagai wujud kepatuhannya kepada ayat Al-Quran itu sendiri.
Kemudian dalam kaidah fiqh juga dijelaskan :
د رء المفـاسـد مـقـدم على جلـب المـصا لح
Bahwa semua warga negara wajib mentaati atau menjalankan
peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menolak kemudharatan.
D. Analisis Pandangan Atau Sikap Pengurus MUI Jakarta Utara Jika Ada
Pengurus MUI Jakarta Utara yang Melakukan Poligami Tanpa
Memenuhi Persyaratan dan Prosedur Yang Sudah Diatur Dalam
Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam BAB 3 penulis sudah jelaskan dari keterangan ketiga ulama
tersebut bahwa urusan perkawinan adalah urusan pribadi jadi tidak masalah
bila dalam kepengurusan MUI kota administrasi Jakarta utara itu melakukan
perkawinan poligami tanpa melalui proses izin terlebih dahulu melalui
pengadilan agama dan tidak ada sanksi di dalam structural/organisasi MUI
Jakarta utara yang melakukan poligami tanpa memenuhi persyaratan yang
sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menurut penulis harus ada peraturan yang mengatur tentang wajibnya
para ulama dalam structural/kepengurusan MUI untuk melakukan/mentaati
67
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebab MUI di mata
masayarakat adalah sebagai contoh tauladan dan pemberi pencerahan
mengenai Hukum Agama, baik yang ada didalam Al-Quran dan Hadist
maupun didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penulis berpendapat bahwa bilamana kepengurusan MUI Jakarta Utara
tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di
khawatirkan akan menjadi citra buruk di mata masyarakat, sebab bagaimana
masyarakat akan mematuhi peraturan perundang-undangan juga apabila ulama
sebagai suri tauladan mereka juga tidak mematuhi peraturan perundang-
undangan yang ada.
Untuk itu penulis menyarankan agar segera dilahirkan peraturan
mengenai wajibnya kepengurusan pada Majelis Ulama Indonesia khususnya
Kota Administrasi Jakarta Utara untuk mentaati segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
Agar sejalan dengan hadits Nabi SAW sebagai berikut :
العـلماء ورثة اآلنبيا
Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-
Darda radhiallahu „anhu).
Penulis menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW sebagai suri tauladan
yang baik dan selalu mencontohkan perbuatan-perbuatan yang mulia,
semestinya ulama sebagai penerus perjuangan dan pelanjut tauladan nabi juga
harus bisa memberikan contoh dan tauladan tersebut pada masyarakat,
68
termasuk dalam hal ini kepatuhan ulama untuk mematuhi segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan mengemas beberapa kesimpulan dari
perumusan masalah pada bab bab terdahulu yaitu sebagai berikut :
1. Dari ketiga ulama yang diwawancarai dalam penelitian ini, tampak bahwa
mereka memiliki pengetahuan yang benar dan sejalan dengan peraturan
perundang-undangan tentang syarat dan prosedur poligami yang berlaku
di Indonesia yaitu harus meminta izin terlebih dahulu kepada Pengadilan
Agama dengan beberapa syarat dan ketentuan sebagai syarat boleh
melakukan poligami di Indonesia.
2. Ketiga ulama tersebut memiliki pemahaman yang berbeda, dua
diantaranya menyebutkan bahwa hukum poligami adalah Rukhsah yaitu
poligami hanya diperbolehkan bilamana dalam keadaan darurat, dan satu
orang ulama lagi menyebutkan Azimah yaitu poligami bisa dilakukan
kapan pun walaupun tidak dalam kondisi darurat atau rumah taangga
dalam keadaan baik-baik saja, hal ini berakibat pada pemahaman dari dua
ulama bahwa poligami itu hanya bisa dilakukan pada kondisi darurat atau
alasan saja. Sedangkan yang satu ulama lagi membolehkan poligami tanpa
ada alasan atau kondisi darurat apapun. Begitu juga, pemahaman tentang
syarat adil sebagai syarat hukum atau syarat agama, dua di antara mereka
70
memahami bahwa syarat adil adalah syarat hukum dan satu diantara
mereka memahaminya sebagai syarat agama, syarat adil sebagai syarat
hukum atau syarat agama, perbedaan pemahaman itu berakibat pada sah
atau tidak perkawinan poligami, jika orang yang berpoligami itu tidak
adil, bagi ulama yang menyatakan syarat hukum, poligami tidak sah jika
suami tidak adil, dan suami hanya berdosa bagi yang memahami sebagai
syarat agama. Sedangkan terkait izin poligami dari Pengadilan Agama dan
Istri dua diantaranya menyatakan setuju dengan peraturan tersebut dan
satu diantaranya menyatakan tidak setuju. Ulama yang menyatakan tidak
setuju dengan peraturan bahwa poligami baru dapat dilakukan apabila
telah ada izin dari Pengadilan Agama, beralasan bahwa aturan yang
demikian tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.
3. Tiga ulama yang diwawancarai Dua diantaranya tidak melakukan
poligami dan satunya lagi melakukan poligami. sikap ulama yang
melakukan poligami ini di dasarkan atas pemahaman yang berbeda yang
mengakibatkan beliau tidak mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Karena beliau memahami bahwa tidak ada ayat
atau hadist yang menyuruh meminta izin pada istri dan Pengadilan Agama
sebelum poligami, maka beliaupun melakukan poligami tanpa izin istri
dan Pengadilan Agama.
4. Ketiga ulama tersebut menyatakan bahwa urusan perkawinan adalah
urusan pribadi jadi tidak masalah bila dalam kepengurusan MUI kota
71
administrasi Jakarta utara itu melakukan perkawinan poligami tanpa
melalui proses izin terlebih dahulu melalui pengadilan agama.
B. Saran
Dari uraian yang telah penulis jabarkan dalam bab-bab skripsi
tersebut, penulis mengemukakan saran kepada para ulama se Indonesia
khususnya pada kepengurusan dalam struktural MUI Jakarta Utara agar selalu
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebab MUI di mata masyarakat adalah sebagai contoh tauladan dan
pemberi pencerahan mengenai hukum agama, baik yang ada di Al-Quran dan
Hadist maupun dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Untuk itu penyusun juga memberikan saran kepada MUI Jakarta Utara
agar memberikan aturan mengenai wajibnya para pengurus untuk mentaati
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan aturan
tersebut juga memuat sangsi bagi pengurus yang melanggarnya.
Lalu kepada masyarakat agar selalu mematuhi peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik mengenai peraturan
tentang perkawinan maupun peratura-peraturan yang lainnya.
Dan kepada praktisi hukum agar selalu diperhatikan mengenai
penegakan hokum di Indonesia atau lebih bekerja secara profesionalitas agar
tidak terjadi lagi bentuk penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh
masyarakat luas.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin, fiqh munakahat I (Bandung : Pustaka Setia, 1999),
hlm 9; Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), cet ke-3,
Arij, Al sanan Abdurrahman, memahami keadilan dalam berpoligami, (Jakarta : PT.
Gobal Media Cipra Publishing, 2003),
As Siba’I, Musthafa, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1997), cet. 1.
Baidan, Nashruddin, Tafsir Bial-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Perempuan
Dalam Al-Quran (mencermati konsep kesejajaran perempuan dalam al-
quran), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), cet. 1
Boland, BJ, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta : Grafitti, 1985), cet.
I,
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2004). Cet 3
Darajat, Zakiyah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang,
1985)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), cet. 7,
Fairchild, Henry Pratt, Dictionary Of Sosiology, dikutip oleh J.N.D. Anderson,
Hukum Islam di Dunia Modern, (Surabaya : Amarpress, 1991), cet 1.
Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka
Marwa, 2007)
Haikal, Abduttawab, rahasia perkawinan rasulullah SAW. Poligami dalam islam VS
Monogami Barat, (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1.
Hosen, Ibrahim, fiqh masalah perbandingan pernikahan, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), cet. 1.
Majelis Ulama Indonesia, Muqadimah Pedoman Dasar Pedoman Rumah Tangga,
(Jakarta : MUI, tt),
73
Mudzhar, M Atho, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah Studi tentang
pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta : INIS, 1993).
Mulia, Musdah, Islam menggugat poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2007).
Noer, Deliar, Administrasi Islma di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 1983), cet, I,
Sitompul, Anwar, kewenangan dan tata cara berperkara di Peradilan Agama
(Bandung : CV.ARMICO, 1984). Cet. 1.
Sopyan, Yayan, Islam dan Negara “ Transformasi hokum perkawinan islam dalm
hokum nasional”, (Jakarta : Wahana semesta intermedia, 2012), cet. 2.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian :Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Gadjah Mada Universitas Press, 2004), cet. 2
Taufiq, Nasir Abdul Al-‘atthar, Poligami ditinjau Dari Agama, Sosial dan Perundang-
undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), cet 1.
Tim Reality, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Surabaya: Reality Publhiser, 2008)
cet. I
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang
Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet, ke-1
Tutik, Titik Triwulan, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi
Pustaka raya, 2007) set,