14
Pantaskah Perkara Dr Ayu Dkk Di Terima Kasasi Nya? saya baru saja mendaftar menjadi anggota kompasiana, di sebabkan karena banyak nya perbincangan masalah dr. ayu dkk. untuk mengetahui secara pasti tentu mencari informasi yang benar dan di percaya. maka mulai lah saya browsing browsing di internet untuk mencari fakta yang ada. yang paling menarik ialah mengenai pengabulan kasasi dari kasus dr. ayu dkk ini. maka dimulai lah pencarian itu dan di temukan beberapa tulisan mengenai masalah kasasi ini. saya melihat di http://lintas- tulisan.blogspot.com/2013/06/perbedaan-banding-dan-kasasi.html di sini di jelaskan mengenai kasasi dan di sana tertulis "Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung." wah jangan jangan penulis ini cuma menulis untuk membenar kan dr ayu dkk saja, maka saya menelusuri satu per satu UU yang di sebut kan di atas.. "Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 Mahkamah Agung dapat melakukan kasasi, yaitu pembatalan atas putusan pengadilan- pengadilan lain dalam tingkatan peradilan yang terakhir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para Hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali putusan pengadilan dalam perkara. pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan. "

Pantaskah Perkara Dr Ayu Dkk Di Terima Kasasi Nya

  • Upload
    hahahae

  • View
    34

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kj

Citation preview

Pantaskah Perkara Dr Ayu Dkk Di Terima Kasasi Nya?

saya baru saja mendaftar menjadi anggota kompasiana, di sebabkan karena banyak nya perbincangan masalah dr. ayu dkk. untuk mengetahui secara pasti tentu mencari informasi yang benar dan di percaya. maka mulai lah saya browsing browsing di internet untuk mencari fakta yang ada. yang paling menarik ialah mengenai pengabulan kasasi dari kasus dr. ayu dkk ini.

maka dimulai lah pencarian itu dan di temukan beberapa tulisan mengenai masalah kasasi ini. saya melihat di http://lintas-tulisan.blogspot.com/2013/06/perbedaan-banding-dan-kasasi.html di sini di jelaskan mengenai kasasi dan di sana tertulis "Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung."

wah jangan jangan penulis ini cuma menulis untuk membenar kan dr ayu dkk saja, maka saya menelusuri satu per satu UU yang di sebut kan di atas..

"Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950

Mahkamah Agung dapat melakukan kasasi, yaitu pembatalan atas putusan pengadilan- pengadilan lain dalam tingkatan peradilan yang terakhir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para Hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali putusan pengadilan dalam perkara. pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan. "

wah jangan-jangan UU ini sudah di batalkan atau ada revisi dari UU No. 1 Tahun 1950 ini maka di mulai lah pencarian ke UU yang di sebut kan di atas..

Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981

"BAB XVII

UPAYA HUKUM BIASA

Bagian Kedua

Pemeriksaan Untuk KasasiPasal 244

Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas."

wah di undang undang ini ada penguatan bahwa putusan bebas tidak dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi. wah mungkin ada yang membatal kan dua UU di atas. pencarian pun berlanjut untuk UU selanjutnya

UU No. 14 Tahun 1985

"Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG.Bagian Kedua Pemeriksaan KasasiParagraf 1 UmumPasal 43 (1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. (2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.Pasal 44 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat diajukan oleh: a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer. (2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung karena jabatannya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.Pasal 45

(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata atau tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf a. (2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara."

dalam UU ini di beritahukan jika tidak ada pembatalan 2 UU di atas dan di jelaskan kalau kasasi boleh di lakukan jika telah dilakukan banding. setahu saya sebagai orang awam hukum PN adalah pengadilan umum dasar di kota atau kabupaten, setelah itu PT di provinsi. dan kembali lagi saya bertanya apakah ada pembatalan ketiga UU di atas. maka di telusuri lah UU terkahir

UU No. 5 Tahun 2004

"Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG

Diantara Pasal 45 dan Paragraf 2 tentang Peradilan Umum disisipkan 1 (satu) pasal baru yakni

Pasal 45A yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 45A (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.

(2) Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. putusan tentang praperadilan; b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. (3) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung. (4) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum. (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.”

wah ternyata juga tidak ada pembatalan di sana, bahkan ada penambahan pengecualian nya malahan ada penambahan pengecualian kasasi seperti :

a. putusan tentang praperadilan;

b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;

c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

di UU ini dikatan perkara pidana penjara paling lama 1 tahun saja di kecualikan untuk pembatasan pengajuan nya. dan di UU ini sekali lagi tidak ada pembatalan 2 UU pertama.

jadi masih berlakukah UU di atas?????

atau masih ada pembaharuan UU mengenai kasasi???

Jika UU di atas masih berlaku di akui kah keputusan MA???

Jika UU salah kah dokter melakukan aksi solidaritas??

ini hanya opini seorang yg awam hukum

Dibaca : 187 kaliPenulis : fadly asril

Hukum Vonis MA Terhadap Dokter Ayu

Setelah banyak dikupas secara hukum oleh para pakar hukum di Indonesia dalam forum ILC (Indonesia Lion Club) di TVone (3/12/2013) ternyata mengungkapkan banyak kejanggalan di bidang hukum. Sebenarnya dasar permasalahan kontroversi kasus  dokter Ayu adalah persepsi awam khususnya keluarga pasien dan persepsi hakim dengan keterbatasan pengetahuan medis dengan berlebihan menganggap bahwa terjadi kelalaian dan malpraktek. Padahal secara medis penyebab kematian adalah karena emboli adalah kondisi medis yang sulit dihindari dokter sehebat apapun. MKEK telah memastikan bahwa tidak ada kesalahan prosedur dan kelalaian. Hal inilah yang memastikan bahwa kasus ini bukan kasus pidana karena penilaian profesi menunjukkan tidak ada kelalaian dan bukan malpraktek. Saat ini permasalahan digiring dan dipaksakan ke arah pidana untuk membuat bahwa dokter tidak kebal hukum harus dipidana hanya karena masalah  SIP, dan alasan medis yang tidak dipahami Hakim seperti kelalaian tentang pembiaran dan tidak diperiksa rontgen sebagai kelalaian penyebab kematian. Menurut beberapa pakar hukum pidana, kasus tersebut sebenarnya adalah kasus perdata bukan kasus pidana yang tidak harus memenjarakan dokter Ayu.

Mahkamah Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey.  Dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari Dr Artidjo Alkostar, Dr Dudu Duswara dan Dr Sofyan Sitompul dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluhkan putusan hakim agung Artidjo Alkotsar kepada dr Ayu dkk. Tiga dokter yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Sebenarnya masalah utama kasus tersebut bahwa Dokter Ayu sedang menolong penderita yang sedang dalam keadaan gawat yang menimbulkan dampak kematian pasien yang disebabkan karena emboli. Sehingga beberapa pakar hukum baik dari komisi  atau  menurut ahli hukum pidana Profesor Andi Hamzah  menilai justru kasus dokter Ayu bukan ranah kasus pidana tetapi kasus perdata.

Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Namun MA tidak berkopeten dan bukan ahlinya dalam menilai kasus kedokteran. Jangankan orang awam, bahkan dokter umum, dokter spesialis anak atau dokter ahli forensikpun tidak berkopeten menilai salah benarnya tindakan dokter Ayu karena yang berkopeten menilai adalah dokter spesialis obsetri gineloogi yang ahli di bidangnya. Idealnya malpraktek harus diadili di  Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Namun sayangnya banyak orang mencurigai bahwa dokter akan selalu melindungi sejawatnya. Saat ini masyarakat, keluarga, media dan hakim dengan keterbatasan penegetahuan medis selalu saja di otaknya tertanam bahwa dokter Ayu membunuh pasien karena lalai. Hal ini terjadi karena pemahaman medis yang terbatas sulit memhamai kasus dan masalah yang ada. Mungkin sedikit ilustrasi dapat lebih menjernihkan dalam menilai masalah.

Kejanggalan Hukum Kontroversi Vonis MA Terhadap Dokter Ayu

Kasus ini adalah kasus perdata bukan pidana. Menurut ahli hukum pidana Profesor Andi Hamzah dalam ILC (3/12/2013) menilai justru kasus dokter Ayu bukan ranah kasus pidana tetapi kasus perdata. Dasarnya jaksa mengajukan kasasi karena surat visum dan surat keterangan ahli yang menunjukkan penyebab kematian karena emboli. Dasar kasasi yang dibawa jaksa terjadi missing link karena justru keterangan visum tersebut menunjukkan bahwa penyebab kematian adalah karena emboli bukan karena kelalaian dokter Ayu. Sehingga dalam hal ini menurut pakar hukum pidana tersebut yang benar seharusnya dituntut kasus perdata dengan menuntut ganti rugi seperti tidak adanya surat ijin praktek, masalah pelayanan perawat anestesi dll, bukan dituntut hukum pidana yang harus dipenjarakan.

Dasar Hukum Gugatan tidak Fokus dan tidak logis sebagai kelalaian dan mempunyai kontribusi sebagai penyebab kematian Sebenarnya dasar permasalahan kontroversi kasus dokter Ayu adalah persepsi awam khususnya keluarga dan hakim dengan keterbatan pengetahuan medis sehingga secara berlebihan menganggap bahwa terjadi kelalaian dan malpraktek. Padahal secara medis penyebab kematian adalah karena emboli adalah kondisi medis yang sulit dihindari dokter sehebat apapun. MKEK telah memastikan bahwa tidak ada kesalahan prosedur dan kelalaian. Saat ini permasalahan digiring dan dipaksakan untuk membuat bahwa dokter tidak kebal hukum harus dipidana hanya karena masalah SIP, dan alasan medis yang tidak dipahami Hakim seperti kelalaian tentang pembiaran dan tidak diperiksa rontgen sebagai kelalaian penyebab kematian. Sehingga dalam gugtan jaksa dan hakim selalu berubah-ubah seakan dipaksakan sebagai penyebab. Ketika yang dicurigai sebagai kelalaian tersebut tidak terbukti secara medis di pengadilan dan tidak benar secara medis maka pengalihan penyebab kelalaian dialihkan pada masalah administrasi dan masalah tanda tangan palsu.

Dasar Kasasi Ke Mahkamah Agung Keterangan Ahli. Menurut jaksa yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung justru karena hasil visum dan keterangan saksi ahli bahwa penyebab kematian ahli adalah karena emboli. Kalau problema penyebab kematian emboli maka apapun yang dianggap bentuk kesalahan sebenarnya bukan penyebab kelalaian dan penyebab kematian. Karena emboli sebagai penbyebab kematian adalah bukan kesalahan dokter dan bukan kesalahan prosedur medis. Dasar pengajuan kasasi justru karena dasar keterangan ahli bahwa penyebab kematian ibu adalah kematian ibu karena kejadian medis yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dicegah. Justru hal inilah yang menggugurkan semua alasan adanya tuduhaan dan gugatan adanya kelalaian yang dilakukan dokter secara pidana karena dokter tidak terbukti melanggar sop dan melakukan malpraktek. Kalaupun ada kesalahan adminstrisi adalah bukan kelalaian serhingga menyebabkan kematian. Kesalahan itu tidak pada tempatnya harus dituntut pada pasal 259. sebagai sebuah pelanggaran kelalaian yang menyebabkan kematian.

Tidak menjelaskan kepada keluarga. Alasan hakim MA menjatuhkan pidana yaitu dokter tidak menerangkan kemungkinan kematian dan tidak adanya pemeriksaan penunjang. Dasar putusan yang lemah karena faktanya sendiri telah gugur karena kondisi operasi CIT. Apalagi orangtua penderita telah mengungkapkan telah menandatangani persetujuan operasi yang didalam tertulis bahwa yang bertanda tangan dibawah ini telah mendapat penjelasan tentang segala resiko yang didapai saat tindakan medis. Secara hukum apapun alasan orangtua yang mengatakan bahwa telah menandatangani tanpa pejelasan dan dalam keadaan ruangan yang gelap dan tidak bisa membaca surat persetujuan operasi tampaknya tidak bisa dijadikan alasan hukum. Karena sebagai manusia dewasa yang sehat maka tanda tangan adalah mempunyai

kekuatan hukum yang kuat bahwa orangtua telah mengetahui dan memahami tindakan yang akan dilakukan seperti yang tertulis lengkap diinformed concern.

Ribuan Dokter peserta PPDS Tidak ada SIP Dasar dakwaan MA salah satunya adalah terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP) Vonis MA sabagai dasar tuntutannya adalah masalah SIP sebagai dasar kelalaian dan malpraktek dokter. Seorang peserta PPDS adalah posisi medis yang unik. Sudah dokter tetapi belum spesialis tetapi mempunyai kopetenmsi sebagai dokter spesialis dalam meraih brevet spesialisnya. Padahal masalah SIP adalah masalah administrasi bukan masalah kelaialaian yang mengakibatkan kematian pasien. Belum dicermati Tetapi mahkamah Konstitusi (MK) mencabut ancaman pidana paling lama tiga tahun bagi dokter yang melakukan praktik tanpa izin. Majelis hakim konstitusi yang diketuai Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan ancaman pidana yang termuat dalam pasal 76 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran itu tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana. Selain mencabut hukuman pidana bagi dokter praktik tanpa izin, MK juga meniadakan ancaman hukuman pidana tiga tahun bagi dokter yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan ancaman pidana satu tahun karena tidak memasang papan nama. MK berpendapat ketentuan hukuman pidana dalam pasal 75 ayat 1 dan pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran itu tidak tepat dan tidak proporsional. Karena MK membatalkan hukuman pidana tersebut dan tidak ndapat dituntut sesuai Undang-undang kesehatan maka tuntutan hukum dialihkan pada pelanggarann pasal 359. Pasal 359 KUHP “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” Penerapan Pasal 359 KUHP Semua tindakan kelalaian yang bisa menyebabkan orang terluka ataupun meninggal dasarnya bisa dijerat dengan pasal 359 KUHP. Hakim harus menyadari bahwa selama ini ribuan dokter PPDS di seluruh Indonesia sama dengan dokter Ayu masih belum mempunyai SIP spesialis tetapi sudah mempunyai kopetensi dan kelayakan untuk melakukan tindakan medis. Selama ini masyarakat tidak memahami bahwa RSUP RSCM, RSUD dokter Soetomo dan berbagai RSU Daerah lainnya sebagian besar aktifitas medisnya dilakukan oleh dokter peserta PPDS tanpa SIP dokter spesialis seperti yang terjadi dokter Ayu. Maka nantinya ribuan dokter tersebut juga harus dipidana penjara maka akan membuat kacau dan malapetaka pelayanan medis di Indonesia khususnya pelayanan bagi rakyat miskin di RSUD dan RSUP.

Dokter Asisten juga dibui dengan tuntutan sama. Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian yang juga peserta PPDS yang hanya melakukan asistensi atau membantu operasi juga didakwa dengan dakwaan yang sama. Padahal di ruangan operasi banyak tenaga medis yang sama. Kalau memang dakwaannnya seperti itu seharusnya seluruh tenaga medis termasuk perawat juga harus masuk penjara dengan dakwaan yang sama. MA juga menuntut hak yang sama terhadap 2 dokter.

Putusan bebas Murni tidak dapat dikasasi. Sebenarnya sebelumnya saat di pengadilan negeri kasus dokter Ayu diputus bebas murni yang tidak harus dilakukan kasasi. Setiap putusan bebas murni pada perkara pidana di Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan upaya hukum lagi, meski dalam prakteknya Jaksa Penuntut Umum sering mengajukan kasasi demi hukum kepada Mahkamah Agung. Menurut ahli hukum pidana Profesor Andi Hamzah di Indonesia dan di negara Belanda seharusnya putusan bebas tidak bisa di kasasi. Ketentuan limitatif tentang permintaan kasasi diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Pasal 244 KUHAP menegaskan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Namun tanggal 28 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa,

“kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini berbunyi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat adanya praktik pengajuan kasasi atas putusan bebas yang diajukan Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah Agung sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang menjadi salah satu hak konstitusional yang dimiliki setiap warga negara. Pendapat berbeda (dissenting opinion) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono. Ia mengemukakan bahwa dengan dihilangkannya frasa “kecuali putusan bebas” Pasal 244 KUHAP akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar konstitusionalnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan justru pengujian undang-undang seringkali dimaksudkan untuk mengoreksi apakah praktik yang berlaku telah sesuai dengan konstitusi. Namun dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya )Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”. Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan

Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Memahami Vonis dr. Ayu Cs

Foto: tempo

Hakim kamar pidana Mahkamah Agung (MA) Dr Artidjo Alkostar Cs akhirnya memvonis bersalah drDewa Ayu Sasiary Prawarni Sp OG, dr Hendry Simanjuntak Sp OG, dan dr Hendy Siagian Sp OG. Ketiganya divonis 10 bulan penjara karena kealpaannya mengakibatkan meninggalnya orang lain dalam operasi caesar, vide Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Dakwaan kesatu alternatif).

Vonis MA itu membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No 90/Pid.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011, setebal 95 halaman, yang membebaskan dr Ayu Cs.

Saya mencoba mencari putusan dr Ayu Cs tersebut di situs Mahkamah Agung RI. Akhirnya Putusan MA No 365 K/Pid/2012 tanggal 22 September 2012 tersebut saya temukan (putusan lengkapnya sila lihat di sini). Dalam pertimbangannya (hlm 24-25) majelis hakim berpendapat sebagai berikut:

1. Judex factie (PN Manado) salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis yaitu berdasarkan hasil rekam medis No 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr Erwin Gidion Kristanto SH SpF bahwa pada saat korban masuk RSU Prof Dr Kondou Manado, keadaan keadaan umum korban lemah dan status penyakit korban berat.2. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban.3. Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makelty yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.4.

Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausul dengan meninggalnya Siska sesuai surat keterangan dari RSU Prof Dr Kondou Manado No 161/VER/I/KF/FK/K/VI/2010 tanggal 26 April 2010.

Dari 4 poin pendapat majelis hakim Altidjo Alkostar Cs tersebut di atas, intinya: para terdakwa tidak menyampaikan penjelasan kepada keluarga korban tentang kemungkinan resiko yang dapat terjadi terhadap diri korban akibat operasi dengan kondisi fisik yang lemah. Dokter langsung saja lakukan operasi sehingga menimbulkan emboli udara dst itu. Bagaimana korelasinya dengan UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU PK)?

Pasal 45 UU PK mengatur setiap tindakan medik terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien atau keluarganya mendapatkan penjelasan secara lengkap. Penjelasan itu sekurang-kurangnya meliputi: a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan resikonya; d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Dr. Ayu Cs tidak menyampaikan penjelasan poin huruf c dan d Pasal 45 UU PK: resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi akibat operasi dalam kondisi fisik pasien yang lemah. Menurut majelis hakim, kondisi fisik pasien yang lemah, tidak adanya penjelasan terhadap resiko operasi dalam kondisi fisik demikian, memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan kematian korban berdasarkan alat bukti yang ada.

Kealpaan/kelalaian tidak menjelaskan kemungkinan resiko dari tindakan medis yang dilakukan berpengaruh terhadap pertimbangan pasien dan keluarganya dalam memberikan persetujuan atas tindakan medis (informed consent), apakah akan menyetujui atau tidak tindakan medis bersangkutan.

Dalam konteks kasus dr Ayu Cs ini, ternyata, kealpaan tersebut berakibat fatal, yakni kematian pasien Siska Makatey. Karena itu, peristiwa ini memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP yang berbunyi, "Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."

Untuk kasus yang menyebabkan matinya orang lain, pidana 10 bulan dari maksimal 5 tahun (60 bulan) bukanlah vonis yang buruk bagi para terdakwa. Para terdakwa sulit mengelak karena jelas dan gamblang telah melanggar ketentuan undang-undang, baik UU Praktik Kedokteran maupun KUHP. Substansi pertimbangan vonis demikian tentunya telah mempertimbangkan sisi meringankan pada diri para terdakwa.

Andai kata kealpaan memberi penjelasan resiko tindakan medis tersebut tidak mengakibatkan matinya orang lain tentu tak akan sampai seperti kasus ini. Namun kenyataan berkata lain, korban meninggal dunia. Tentu harus ada yang bertanggung jawab atas meninggalnya pasien akibat tak dilaksanakannya standar minimal praktik kedokteran.

Kasus ini bisa jadi pelajaran berharga bagi dr Ayu cs dan seluruh dokter di Indonesia. Bahwa, sangat penting melaksanakan standar minimal yang ditetapkan undang-undang, syukur-syukur lebih dari yang diminta undang-undang. Tentu, tidak adil apabila standar minimal tidak terpenuhi, namun risikonya dibebankan sepenuhnya pada pasien.

Giliran pasien meninggal dunia akibat kealpaan melaksanakan standar minimal praktik kedokteran, dengan ringannya dokter menyebut hal itu sebagai takdir Ilahi. Tidak pas. Boleh menyebut takdir Ilahi bila standar minimal terpenuhi namun pasien tetap meninggal dunia. Pasalnya, kategori pelayanan dokter memang perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis), bukan hasil (resultaat verbintenis).

Walau bagaimana pun vonis MA tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Puas atau tidak puas vonis itu harus dijalankan sebagai wujud kepatuhan terhadap hukum. Adalah bijaksana peristiwa yang bersifat kasuistis ini tidak ditarik menjadi seolah isu umum seluruh dokter Indonesia sehingga mempengaruhi stabilitas nasional.

Sutomo Paguci