42
Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) : Perspektif Institusi Finansial Islam, Customer, dan Stakeholder Oleh: Saebani Hardjono Pendahuluan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008, merupakan respon terhadap perkembangan praktek hukum muamalat (ekonomi Islam) di Indonesia. Praktek hukum muamalat secara institusional di Indonesia itu sudah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, kemudian disusul oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) lainnya. Kita melihat cerahnya prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI ketika melewati krisis ekonomi nasional sekitar tahun 1998. Perkembangan LKS tersebut semakin pesat yang tentu akan meningkatkan intensitas praktek hukum muamalat di kalangan umat Islam. Maraknya praktek hukum muamalah memunculkan berbagai permasalahan sebagai akibat adanya berbagai kepentingan para pihak pelaku ekonomi. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu. Selama ini, jika terjadi sengketa menyangkut permasalahan ekonomi syariah maka diselesaikan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang bertindak sebagai mediator dan tidak mengikat secara hukum. Peraturan yang diterapkan juga mengacu pada peraturan Bank Indonesia (BI)

Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisis Kompilasi Business Syariah; School paper work

Citation preview

Page 1: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) :

Perspektif Institusi Finansial Islam, Customer, dan Stakeholder

Oleh: Saebani Hardjono

Pendahuluan

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008, merupakan respon

terhadap perkembangan praktek hukum muamalat (ekonomi Islam) di Indonesia. Praktek

hukum muamalat secara institusional di Indonesia itu sudah dimulai sejak berdirinya Bank

Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, kemudian disusul oleh lembaga keuangan

syari’ah (LKS) lainnya. Kita melihat cerahnya prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI

ketika melewati krisis ekonomi nasional sekitar tahun 1998. Perkembangan LKS tersebut

semakin pesat yang tentu akan meningkatkan intensitas praktek hukum muamalat di kalangan

umat Islam.

Maraknya praktek hukum muamalah memunculkan berbagai permasalahan sebagai

akibat adanya berbagai kepentingan para pihak pelaku ekonomi. Hingga saat ini belum ada

peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu.

Selama ini, jika terjadi sengketa menyangkut permasalahan ekonomi syariah maka

diselesaikan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang bertindak sebagai

mediator dan tidak mengikat secara hukum. Peraturan yang diterapkan juga mengacu pada

peraturan Bank Indonesia (BI) dengan merujuk kepada fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional

Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam

hukum Islam, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam.

Upaya menjadikan hukum perdata Islam sebagai hukum positif pernah dilakukan

oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam memberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam:

Majalah al-Ahkam a’-’Adliyyah, yang terdiri dari 1851 pasal.

Menjadikan hukum perdata Islam sebagai hukum positif merupakan impian umat

Islam sejak zaman dulu, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih diterapkan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang notebene adalah terjemahan dari

Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan Kolonial Belanda.

Dengan perkembangan ekonomi Islam yang semakin meningkat, positifisasi hukum

muamalat merupakan keharusan bagi umat Islam, mengingat praktek ekonomi syari’ah sudah

Page 2: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

semakin semarak melalui LKS-LKS. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dapat dijadikan

acuan sementara sebelum terbitnya undang-undang, dalam penyelesaian perkara-perkara

ekonomi syari’ah yang semakin hari semakin bertambah intensitasnya.

Kita ketahui bahwa lembaga peradilan yang berwenang menangani perselisihan dalam

penyelenggaraan ekonomi syari’ah adalah Peradilan Agama (PA). Oleh karena itu, Peradialan

Agama akan berpegang pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) tersebut di dalam

penyelesaian persengketaan dalam penyelenggaraan ekonomi syari’ah, sebagaimana

wewenang PA dalam pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebelumnya melalui Inpres

Nomor 1 tahun 1991.

Sekilas tentang Penyusunan KHES

Lahirnya KHES tersebut berawal dari terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). UU No.3 Tahun

2006 ini memperluas kewenangan PA sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan

umat Islam Indonesia saat ini. Dengan perluasan kewenangan tersebut, kini PA tidak hanya

berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan

sadaqah saja, melainkan juga menyelesaikan sengketa dalam zakat, infaq, serta sengketa hak

milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, dan menyangkut masalah ekonomi

syari’ah.

Kaitannya dengan wewenang baru PA ini, dalam Pasal 49 UUPA diubah menjadi:

”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari’ah.”

Page 3: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Penjelasan untuk huruf (i), ekonomi syari’ah, sebagaimana berikut:

”Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

a. bank syari’ah;

b. lembaga keuangan mikro syari’ah;

c. asuransi syari’ah;

d. reasuransi syari’ah;

e. reksadana syari’ah;

f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

g. sekuritas syari’ah;

h. pembiayaan syari’ah;

i. pegadaian syari’ah;

j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan

k. bisnis syari’ah.”

Setelah UU No. 3/2006 tersebut diundangkan maka Ketua MA membentuk Tim Penyusunan

KHES berdasarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006

yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M. Hum. Tugas dari Tim tersebut

secara umum adalah: menghimpun dan mengolah materi yang diperlukan, menyusun draft

naskah, menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan

lembaga, ulama, dan para pakar, menyempurnakan naskah, dan melaporkan hasil penyusunan

tersebut kepada Ketua MA RI.

Langkah-langkah atau tahapan yang telah ditempuh oleh Tim tersebut adalah:

1. Menyesuaikan pola pikir melalui penyelenggaraan seminar ekonomi syari’ah. Seminar

diselenggarakan di Solo, bertempat di hotel Sahid Kusuma, pada tanggal 21-23 April

2006 dan di Jogya, bertempat di hotel Sahid Yogyakarta pada tanggal 4-6 Juni 2006.

Pembicara dalam dua seminar tersebut adalah para pakar ekonomi syariah, baik dari

perguruan tinggi, DSN/MUI, Basyarnas, dan para praktisi perbankan syariah serta para

hakim dari lingkungan peradilan umum dan PA.

Page 4: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

2. Mencari format yang ideal (united legal frame work) melalui penyelenggaraan pertemuan

dengan BI dalam rangka mencari masukan tentang segala hal yang berlaku pada BI

terhadap ekonomi syariah dan sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan oleh BI

terhadap perbankan syariah. Acara tersebut dilaksanakan di Jakarta, bertempat di hotel

Bidakara pada tanggal 7 Juni 2006. Selain itu juga telah dilaksanakan Semiloka tentang

ekonomi syariah di hotel Grand Alia Cikini Jakarta tanggal 20 November 2006.

Pembicara dalam acara tersebut adalah para pakar ekonomi syariah dari BI, Pusat

Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES), MUI, Ikatan Para Ahli Ekonomi Syariah, dan

para praktisi hukum.

3. Melaksanakan kajian pustaka dan studi banding ke Pusat Kajian Ekonomi Islam

Universitas Islam Internasional Kuala Lumpur, Pusat Takaful Malaysia Kuala Lumpur,

Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan di Kuala

Lumpur pada tanggal 16-20 November 2006. Studi banding juga dilaksanakan ke Pusat

Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional Islamabad, Shariah

Court Pakistan, Mizan Bank Islamabad Pakistan, Bank Islam Pakistan dan beberapa

lembaga keuangan shariah di Pakistan.

Implikasi KHES Terhadap Institusi Finansial Syariah, Investor, dan Customer

Azhari Achmad Tarigan, Dekan Fak Syariah UIN Sumatra Utara – Medan, mengatakan

bahwa jika diruntut ke belakang, adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama paling

tidak disebabkan oleh dua hal:

Pertama, adanya perubahan di tingkat Konstitusi (amandemen UUD 1945) yang

berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4 Tahun

2004), yang menempatkan Peradilan Agama menjadi salah satu lingkungan kekuasaan

kehakiman MA. Selanjutnya, perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan Undang-

Undang Peradilan Agama. Di dalam undang-undang yang baru dijelaskan bahwa sengketa

ekonomi syari'ah menjadi salah satu dari kompetensi Pengadilan Agama, selain kewenangan

yang selama ini telah dijalankan. Untuk itu para pelaku dan praktisi perekonomian Islam

termasuk institusi finansial Islam, investor, dan customer perlu menyesuaikan diri dengan

ketentuan yang baru tersebut.

Page 5: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Kedua, penambahan kewenangan tersebut lebih dilatarbelakangi oleh pesatnya

perkembangan ekonomi syari'ah yang terlihat dari peningkatan intensitas kegiatan institusi

finansial syariah. Ekonomi syari'ah tidak hanya menyangkut lembaga perbankan saja, tetapi

juga menyangkut institusi lain, seperti lembaga keuangana mikro syari'ah, asuransi syari’ah,

reasuransi syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah (sukuk), pegadaian syari'ah, dan

sebagainya.

Perkembangan praktek ekonomi syari'ah dan perubahan-perubahannya ternyata tidak

diikuti dengan perkembangan perangkat hukumnya. Perangkat hukum ekonomi syari'ah kalah

cepat dibandingkan dengan perkembangan dinamika ekonomi syari'ah itu sendiri. Perlu untuk

diperhatikan, kendatipun ekonomi syari'ah secara normatif bersandarkan pada nilai-nilai dan

norma-norma syari'ah, namun dalam aplikasinya tidak semulus yang dibayangkan.

Sebagaimana yang terdapat di dalam praktek ekonomi konvensional, potensi konflik dan

ketegangan cukup terbuka lebar di dalam pelaksanaan ekonomi syari'ah. Adakalanya konflik

terjadi pada masalah pelaksanaan akad, penafsiran isi suatu akad, atau juga dapat disebabkan

oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pihak terkait.

Selama ini penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari'ah berlangsung di pengadilan

niaga atau terkadang ditangani pengadilan negeri. Sedangkan sengketa Perbankan Syari'ah

diselesaikan melalui Basyarnas (Badan Arbitrase Nasional). Sebabnya adalah fatwa-fatwa

DSN selalu menyebutkan penyelesaian sengketa perbankan syari'ah, asuransi syari'ah dan

beberapa bidang lain dilakukan Basyarnas.

Dua hal di atas menyemangati diperluasnya kewenangan Peradilan Agama, yang

dengan disyahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Peradilan Agama telah diberi

amanah untuk "memeriksa, memutus dan menyelesaikan” perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam, di bidang ekonomi syari'ah (pasal 49). Tentu saja amanah

undang-undang tersebut menuntut kesiapan Peradilan Agama dari berbagai sisi. Paling tidak

ada tiga aspek yang perlu diperhatikan; (1) aspek sumber daya manusia, (2) aspek sarana dan

prasarana, dan (3) aspek hukum materiil. Di antara tiga aspek tersebut, aspek hukum materiil

dipandang sangat mendesak.

Sampai hari ini, agaknya baru perbankan syari'ah yang telah memiliki landasan

hukum berupa undang-undang dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang

diperbaruhi dengan undang-undng No. 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah.

Sedangkan masalah asuransi syari'ah, reasuransi syari’ah, pegadaian syari'ah, reksadana

Page 6: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

syari'ah, obligasi syari'ah, pasar modal syari'ah, dan berbagai institusi lainnya belum memiliki

payung hukum yang kuat. Kalaupun ada, aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke dalam

berbagai tempat. Ada yang dalam bentuk Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, regulasi BI, kitab-

kitab fikih, dan fatwa-fatwa ulama klasik dan kotemporer. Jadi belum terkumpul menjadi

satu. Kenyataan inilah yang dijawab Mahkamah Agung dengan menghadirkan Kompilasi

Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES).

Problem regulasi ini sangat disadari oleh Mahkamah Agung. Melalui SK Mahkamah

Agung Nomor 097/SK/X/2006 telah ditunjuk sebuah tim (Kelompok Kerja) yang bertugas

menyusun "Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES)”. Tentu saja upaya MA melahirkan

KHES ini layak diapresiasi, direspons dan disambut dengan gembira.

Salah satu bentuk apresiasi dan respons konstruktif yang dapat diberikan adalah

melakukan telaah dan kritisi terhadap materi yang ada di dalam KHES tersebut. Di antara

hal-hal yang perlu ditelaah adalah:

Pertama, bagaimanakah posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional.

Ke dua, apa paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES.

Ke tiga, bagaimana pendekatan dan metode istinbath yang dilakukan dalam melahirkan

hukum ekonomi syari'ah.

Ke empat, bagaimanakah hubungan KHES dengan undang-undang terkait.

Ke lima, bagaimana kedudukan dan kewenangan Dewan Syari'ah Nasional (DSN) pasca

lahirnya KHES.

Ke enam, apakah aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam KHES, memberikan ruang

yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syari'ah atau malah sebaliknya akan

membatasi ruang gerak ekonomi syari'ah.

Selain masalah-masalah fundamental di atas, kehadiran KHES juga berimplikasi pada

lembaga-lembaga terkait lainnya, seperti Fakultas Syari'ah dan Peradilan Agama sendiri.

Implikasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, bagaimanakah kesiapan Fakultas Syari'ah menyongsong perubahan Undang-

Undang Peradilan Agama dan lahirnya KHES. Persoalan ini menjadi penting, karena Fak.

Page 7: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Syari'ah adalah dapur yang melahirkan sumber daya manusia (SDM) peradilan agama yang

berkualitas.

Ke dua, bagaimana pula kesiapan para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa

ekonomi syari'ah. Pertanyaan ini penting mengingat amanah pasal 16 Undang-Undang No. 4

tahun 2004 yang menegaskan bahwa "hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”. Menjadi pertanyaan kita,

apakah para hakim kita telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ekonomi syariah

guna menjalankan amanah hukum ekonomi syariah ini.

Hukum Materiil Yang Berlaku Pada Pengadilan Agama

Di samping berpedoman kepada Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, para hakim

pengadilan agama di dalam menangani kasus-kasus menyangkut ekonomi syariah perlu pula

memperhatikan hukum materiil yang ada dan berkaitan dengan persoalan ekonomi syari’ah.

Para hakim pengadilan agama wajib menggali, mengikuti, dan memahami aturan yang ada

pada hukum materiil tersebut sepanjang berkaitan dengan upaya memenuhi rasa keadilan

bagi masyarakat yang mencari keadilan. Hukum materiil dimaksud adalah sebagai berikut:

( a ). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

( b ). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

( c ). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

( d ). Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

( e ). Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat.

( f ). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

( g ). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional.

( h ). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

( i ). Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

( j ). Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syariah

Page 8: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

( k ). Yurisprudensi Mahkamah Agung

( l ). Qanun Aceh

( m ). Fatwa Dewan Syariah Nasional

( n ). Akad-akad ekonomi syariah

Koleksi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sendiri sebagai produk hukum yang masih baru,

masih sarat dengan kekurangsempurnaan. Drs. Iri Hermansyah, SH., mengatakan bahwa para

pelaku penyusunan KHES itu sendiri, menyampaikan kritikkan-kritikkan pribadinya terhadap

KHES. Bapak H. Andi Syamsu Alam, Bapak Abdul Rahman, Bapak Habiburrahman, Ibu

Mariana Sutadi, dan lain-lain, mengkritisi tentang usia dewasa yang tercantum pada pasal 2

ayat (1) KHES dan beberapa pasal yang menurut beliau terkesan kontradiktif. Beliau-beliau

tersebut mengemukakan antara lain : “Kegiatan ekonomi/bisnis syari’ah ini adalah perbuatan

perdata, sedangkan usia dewasa/kecakapan hukum menurut hukum perdata maupun menurut

Yurisprudensi adalah 21 tahun. Tetapi, kenapa KHES menetapkan 18 tahun sebagai batas

umur terrendah memiliki kecakapan hukum”. Prof DR. Jaih Mubarok mengkritisi bahwa

nama Kompilasi itu sendiri, sesungguhnya kurang cocok kalau hanya diberi nama Ekonomi

saja, karena di dalamnya mengatur bukan hanya Ekonomi tetapi juga Bisnis syari’ah.

Beliau mengemukakan bahwa Ekonomi berbeda dengan Bisnis. Berikut ini skema perbedaan

di antara keduanya:

EKONOMI BISNISIlmu tentang produksi dan distribusi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Ilmu tentang suatu usaha bagaimana dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.

Prinsip dasarnya : Bagaimana dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Prinsip dasarnya : Bagaimana dapat meraih keuntungan.

Perhitungannya: Pendapatan dikurangi pengeluaran = hasil (bisa untung bisa rugi).

Perhitungannya: Pendapatan dikurangi biaya operasional (pengeluaran+biaya peluang) = hasil (harus selalu untung).

Seorang Ekonom selalu berfikir bagaimana dapat memproduksi sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat saat itu. Ia yakin bahwa suatu produk akan bernilai ekonomi tinggi jika permintaan/kebutuhan lebih besar dari ketersediaan. 

Seorang Businismen selalu berfikir linier.

 

 

Page 9: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Terlepas dari kekurang sempurnaannya, KHES itu setidaknya untuk sementara ini resmi

menjadi pedoman bagi Hakim Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi /

bisnis syari’ah yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan

Agama sebagai proses penyelesaian secara litigasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam

PERMA nomor : 02 tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam materi mediasi bahwa sebelum sengketa

diajukan di Pengadilan Agama, ada beberapa langkah sebagai alternatif penyelesaian secara

non litigasi atau yang lebih di kenal dengan ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang dalam

bahasa Indonesia disebut APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa), yang dalam syari’ah

disebut sulh. Penyelesaian non litigasi itu sendiri bisa melalui beberapa cara seperti:

Negosiasi, Konsultasi, Konsiliasi dan Mediasi. Atau diselesaikan melalui lembaga Arbitrase.

Jika penyelesaisn sengketa tidak dapat dicapai dengan cara-cara tersebut di atas, maka

jalan terakhir melalui jalan penyelesaian secara litigasi yaitu melalui Pengadilan yang dalam

hal ini Pengadilan Agama. Di sinilah yang menjadi tugas para Hakim Pengadilan Agama

yang diberi kewenangan berdasarkan pasal 49 UU No. 7 Thn. 1989 yang telah dirubah dan

disempurnakan dengan UU No. 3 Thn 2006 Tentang Peradilan Agama.

Tetapi dalam menyikapi kewenangan tersebut di atas, diperlukan kecermatan Hakim

dalam mendudukan kewenangan tersebut di dalam pertimbangan hukumnya, terutama dalam

hal menyangkut obyek sengketa yang mengandung peluang untuk eksepsi. Ibu Mariana

Sutadi, SH dan Bapak Drs. H. Muchtar Zamzani, SH. MH. Mengingatkan sebagai berikut :

- Ibu Mariana Sutadi, SH. mengingatkan agar kewenangan Pengadilan Agama itu

dirumuskan dengan jelas dan cermat didalam pertimbangan hukum, hal ini mengingat

adanya ketentuan dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) huruf d UU No. 21 tahun 2008

Tentang Perbankan Syari’ah yang memungkinkan penyelesaian sengketa syari’ah di

Peradilan Umum.

- Bapak Drs. H. Muchtar Zamzani, SH. MH juga mengingatkan hal yang sama terutama

dalam hal objek sengketa menyangkut kegiatan BMT, sebab BMT tidak secara tegas

disebut dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 Thn 2006 sebagai kewenangan Pengadilan

Agama. Untung saja ada poin terakhir dalam penjelasan pasal tersebut yang berbunyi

“Bisnis Syari’ah” sebagai keranjang sampahnya, sehingga segala kegiatan

ekonomi/bisnis yang dijalankan dengan prinsip syari’ah bisa masuk dalam kategori ini.

Page 10: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Diberikannya kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa

ekonomi / bisnis syari’ah adalah suatu pilihan tepat dan bijaksana, karena akan mencapai

keselarasan antara hukum materiil yang berdasarkan prinsip-prinsip islam dengan lembaga

Peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, juga selaras dengan

para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam.

Namun demikian masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan penyelesaian

sengketa bisnis / ekonomi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syari’ah ini antara lain

belum tersedianya hukum materiil yang secara resmi ditetapkan berdasarkan undang-undang,

masih banyaknya aparat hukum yang belum memahami Ekonomi Syari’ah / Bisnis Islam dan

belum adanya penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syari’ah.

Oleh karena itu Prof. Dr. H.Abdul Manan, SH. SIP. M.Hum selalu berpesan kepada

para Hakim agar dengan seksama mempelajari dan memahami berbagai sumber hukum yang

berkaitan dengan kewenangan tersebut untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara

ekonomi syari’ah, baik mengenai sumber hukum formil maupun hukum materiil.

Mengenai sumber hukum formil tentu saja kita berpegang kepada ketentuan pasal 54

UU No. 7 Thn 1989 jo. UU No. 3 Thn 2006. disamping itu diberlakukan juga BW, Wv.K dan

aturan kepailitan (stb. 1906 No. 348).

Sedangkan sumber hukum materiilnya, oleh karena belum ada sumber hukum yang

secara resmi ditetapkan berdasarkan perundang-undangan sebagai hukum materiil ekonomi /

bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari’ah, maka sebagai sumber utama kita

adalah nash Al-Qur’an, nash Al-Hadits serta segala aturan hukum dan perundang-undangan

yang mempunyai titik singgung / keterkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama

berdasarkan UU No. 3 Thn 2006. seperti antara lain :

- UU No. 7 Thn 1992 tentang Perbankan.

- UU No. 10 Thn 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Thn 1992 tentang Perbankan.

- UU No. 21 Thn 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

- UU No. 6 Thn 1969 tentang BUMN.

- UU No. 2 Thn 1992 tentang Usaha Perasuransian.

- UU No. 25 Thn 1992 tentang Perkoperasian.

- UU No. 1 Thn 1995 tentang Perusahaan Terbatas.

Page 11: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

- UU No. 1 Thn 1998 tentang Kepailitan.

- UU No. 8 thn 1995 tentang Pasar Modal.

- UU No. 5 Thn 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan tidak sehat.

- UU No. 8 Thn 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

- UU No. 30 Thn 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dan masih banyak lagi UU lainnya.

Selain itu perlu juga dipelajari berbagai Peraturan BI, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Keputusan Direksi BI, fatwa-fatwa DSN yang sampai saat ini telah

mengeluarkan lebih kurang 61 fatwa dalam kaitannya dengan ekonomi syari’ah, Fiqh dan

ushul Fiqh, dan adat kebiasaan. Yang penting lagi serta harus dicermati dalam proses

penyelesaian suatu sengketa ekonomi / bisnis syari’ah adalah akad perjanjian (kontrak) itu

sendiri. Segala sesuatunya selalu akan dikaitkan atau disandarkan pada isi akad yang

bersangkutan. Bahkan terdapat pandangan bahwa dalam mengadili perkara sengketa

menyangkut ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian itu sendiri, sedangkan

yang lain hanya merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu Hakim harus memahami apakah

suatu akad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya perjanjian, serta

memenuhi azas sebagaimana berikut:.

- Azas kebebasan berkontrak.

- Azas persamaan dan kesetaraan.

- Azas Keadilan

- Azas Kejujuran dan Kebenaran, serta

- Azas Tertulis.

Hakim juga harus meneliti apakah akad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh

Syari’ah Islam, seperti : mengandung unsur Maghrib, Dlarar, Dhulm. Jika unsur-unsur

tersebut terdapat dalam akad perjanjian itu, maka Hakim dapat menyimpang dari akad itu.

Agustianto, dosen pasca sarjana Universitas Indonesia mengutarakan pendapatnya

atas urgensi kodifikasi hukum ekonomi syari’ah berkaitan UU No 3 tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang telah disahkan oleh Presiden

Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap

perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.

Page 12: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Pada pasal 49 point (i) disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang- orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi

syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah,

antara lain meliputi : (a). Bank syariah, (b). lembaga keuangan mikro syari’ah, (c). asuransi

syari’ah, (d). reasurasi syari’ah, (e). reksadana syari’ah, (f). obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah, (g). sekuritas syariah, (h). pembiayaan syari’ah, (i).

pegadaian syari’ah, (j). dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan (k). bisnis syari’ah.

Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di

Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang

ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap

sebagai hukum syari’ah.

Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum

kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syari’ah tersebut mengacu pada ketentuan KUH

Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). BW atau kitab Undang-

undang hukum sipil Belanda diberlakuan di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854.

Sehingga, konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek

formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan

(transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah

yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia

Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya,

sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah

diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syari’ah tanpa pedoman teknis

yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

KHES adalah jalan menuju Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah

Dengan pemberian wewenang penuh untuk mengadili sengketa hukum ekonomi

syari’ah kepada hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum

ekonomi syariah yang lengkap, tidak sekedar Kompilasi, agar hukum ekonomi syariah

memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan

kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf,

Page 13: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi

syariah kita sebelumnya tidak memilikinya, sampai kemudian diterbitkannya Peraturan

Mahkamah Agung RI No.2 mengenai KHES pada tahun 2008.

Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya

hanyalah sebagai inpres, begitu pula KHES yang merupakan Peraturan MA. Karena itu

dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat berupa undang-undang yang dapat menjadi

rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum, yang kemudian disusun

ke dalam Kodifikasi Hukum .

Untuk itulah kita nantinya perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam

(Syari’ah), yang merupakan peningkatan dari KHES, sebagaimana yang dibuat pemerintahan

Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal.

Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal

penyusunan kitab perundang-undangan. Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau

peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya

lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus

juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah

kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para

ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar

mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah

masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan..

Berdasarkan pemikiran itu, maka hukum ekonomi syari’ah yang berasal dari fiqh

muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syari’ah,

memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan

usaha di lembaga-lembaga keuangan syari’ah tersebut.

Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syari’ah

dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum

sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik

bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan bervariasinya

putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa

keadilan. Dengan demikian cita-cita untuk melahirkan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah

dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) adalah jalan menuju lahirnya kodifikasi

dimaksud.

Page 14: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi

Syari’ah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia.

Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak

bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syari’ah. Artinya, keputusan hukum masa

lampau itu difiqhkan, karena dinilai sesuai dengan syari’ah.

Jadi, pekerjaan para mujtahid ekonomi syari’ah Indonesia, bukan saja merumuskan

hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fiqh/syari’ah, tetapi bagaimana bisa

memfiqhkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH

Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syari’ah, maka materi dan keputusan

hukumnya dalam bentuk yurisprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi.

KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam

pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab

Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH

Perdata dengan ketentuan fiqh muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.

Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi syari’ah, mungkin juga bisa dicari dari

penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit

banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan

Turki Usmani yang disebut “Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah”. KUH Perdata Islam ini dapat

dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas

perekonomian di zaman modern ini.

Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah atau Hukum Perdata

Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi

yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid

syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan

pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan,

selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat,

Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social

enginering) masyarakat muslim Indonesia.

Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat

terwujud melalui peran penting pemerintah ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah

diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi

Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting,

Page 15: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai

perguruan tinggi terkemuka.

Achmad Fauzi (2009), mengemukakan: stigma bahwa para hakim Peradilan Agama

hanya bisa memutus kasus-kasus perceraian saja dan kurang kompeten dalam menangani

sengketa ekonomi syariah, ditepis oleh Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama

(Tuada Uldilag) Mahkamah Agung RI, Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Dalam

sebuah lokakarya tentang Ekonomi Syari’ah di Tarakan, Kamis (21/5), beliau mengatakan

bahwa Peradilan Agama sekarang sudah berubah. Dalam merespon yurisdiksi baru tentang

ekonomi syari’ah, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag) Mahkamah

Agung Republik Indonesia telah mempersiapkan banyak hal, seperti membuka kesempatan

bagi hakim-hakim peradilan agama untuk melanjutkan studi untuk konsentrasi hukum bisnis

syari’ah, penyempurnaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan penataran

kepada hakim-hakim peradilan agama menyangkut hal tekhnis penyelesaian perkara ekonomi

dan perbankan syariah.

Lokakarya berkat kerjasama Pemerintah Kota Tarakan dengan Peradilan Agama

tersebut bertemakan “Dengan Sistem Syari’ah, Kita Tingkatkan Ketahanan Perekonomian

Masyarakat Indonesia”. Hadir dalam acara tersebut para pelaku ekonomi syari’ah, Ketua dan

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Samarinda, para Hakim Tinggi dan Pansek

PTA Samarinda, Ketua dan Wakil Ketua serta Pansek seluruh Pengadilan Agama se-

Kalimantan Timur. Bertindak sebagai pembicara dari MA-RI, Drs. H. Andi Syamsu Alam,

S.H.,M.H. (Tuada Uldilag) dan Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H.S.IP. (Ketua Pokja Perdata

Agama), Hj. Siti Nurbani, Pemimpin Unit Usaha Syari’ah Bankaltim Samarinda serta M.Nur

Utomo, SE, pakar Ekonomi Syari’ah Tarakan.

Walikota Tarakan, H.Udin Hianggio yang hadir dalam acara tersebut memberikan

sambutan yang intinya sangat menaruh perhatian pada pelaksanaan ekonomi umat di

daerahnya. Walikota mengharapkan agar lokakarya-lokakarya sejenis dapat ditingkatkan lagi

di masa mendatang, sehingga masyarakat luas dapat faham dan mengambil manfaat besar

dari sistem ekonomi syari’ah yang dikenal keberhasilannya di dunia ini.

Polemik Kompetensi

Memang, dahulu kompetensi penanganan sengketa ekonomi syariah sempat menjadi

perdebatan politis di DPR. Dalam pembahasan RUU Perbankan Syari’ah yang sekarang

disahkan menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, ada

Page 16: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

rencana tambahan satu pasal pada bab IX, yakni pasal 52 yang menyatakan bahwa

penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dan bidang ekonomi syari’ah lainnya seperti

sekuritas syari’ah, asuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah, bisnis syari’ah,

pembiayaan syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, dan lain-lain ditangani oleh

peradilan umum. Upaya pengambil-alihan wewenang mengadili tersebut secara

konstitusional ambivalen dengan UU No.3 tahun 2006. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan

dengan sengketa telah diatur secara organik dalam undang-undang peradilan terkait. Pasal 49

UU No.3 tahun 2006 secara tegas menyebut bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan

absolut mengadili perkara antara orang-orang Islam di bidang ekonomi syari’ah.

Hakim PA lebih Familiar

Banyak kalangan yang cenderung meremehkan kualitas hakim-hakim di Peradilan Agama.

Betapapun derasnya opini publik yang memvonis peradilan agama sebagai lembaga yang

kurang familiar dalam menangani sengketa perbankan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa

secara filosofis hukum-hukum keuangan dan perbankan syari’ah sarat dengan muatan

substantif serta terminologi yang justru familiar bagi hakim peradilan agama, seperti

mudharabah, musyarakah, murabahah, wadhiah, hawalah, kafalah, qard, ijarah, dan lainnya.

Hakim peradilan agama juga pernah menekuni disiplin ilmu fiqh mu’amalah ketika di bangku

kuliah. Jadi secara keilmuan, hakim-hakim peradilan agama sangat siap menangani sengketa

ekonomi syari’ah. Apalagi, perkara tersebut di mata hakim-hakim PA bukanlah makhluk

langka.

KHES menekanan pada aspek Muamalah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri atas 4 (empat) buku sebagaimana berikut:

Buku I : Subyek Hukum dan Amwal (benda), terdiri atas pasal 1 s.d 19 (3 bab, 19 pasal);

Buku II : Tentang Akad, tediri atas pasal 20 s.d 674 (29 bab, 655 pasal);

Buku III : Zakat dan Hibah, terdiri atas pasal 675 s.d 734 (4 bab, 60 pasal);

Buku IV : Akuntansi Syariah, terdiri atas pasal 735 s.d 796 (7 bab, 62 pasal).

Page 17: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Materi yang paling banyak diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah

tentang akad, yang terdapat dalam buku II, yang mana terdiri atas 655 pasal dari total

keseluruhan 796 pasal, yaitu pasal 20 hingga passal 674. Hal ini sesuai dengan maksud dan

tujuan dikeluarkannya KHES dimaksud. Seperti dapat kita baca dalam Surat Keputusan

Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2008, KHES dimaksudkan sebagai pedoman bagi hakim

mengenai hukum ekonomi syari’ah, dalam pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi

syari’ah.

Mengingat pentingnya buku II Tentang Akad, berikut kami sajikan bab-bab yang merupakan

isi Buku II, yang terdiri atas 29 bab, dari pasal 20 hingga pasal 674.

Isi Buku II Tentang Akad adalah sebagai berikut:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 20

BAB II

ASAS AKAD

Pasal 21

BAB III

RUKUN, SYARAT, KATEGORI HUKUM, ‘AIB, AKIBAT, DAN

PENAFSIRAN AKAD

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Akad

Pasal 22 - 55

BAB IV

BAI’

Bagian Pertama

Unsur Bai’

Pasal 56 - 90

Page 18: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

BAB V

AKIBAT BAI’

Bagian Pertama

Akibat Bai’

Pasal 91 - 133

BAB VI

SYIRKAH

Bagian Pertama

Ketentuan Umum Syirkah

Pasal 134 - 186

BAB VII

MUDHARABAH

Bagian Pertama

Syarat Mudharabah

Pasal 187 - 210

BAB VIII

MUZARA’AH DAN MUSAQAH

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Muzara’ah

Pasal 211 - 226

BAB IX

KHIYAR

Bagian Pertama

Khiyar Syarth

Pasal 227 - 250

Page 19: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

BAB X

IJARAH

Bagian Pertama

Rukun Ijarah

Pasal 251 - 290

BAB XI

KAFALAH

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Kafalah

Pasal 291 - 317

BAB XII

HAWALAH

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Hawalah

Pasal 318 - 328

BAB XIII

RAHN

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Rahn

Pasal 329 - 369

BAB XIV

WADI’AH

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Wadi’ah

Pasal 370 - 390

Page 20: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

BAB XV

GASHB DAN ITLAF

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Gashb

Pasal 391 - 412

BAB XVI

SYIRKAH

Bagian Pertama

Syirkah Milk

Pasal 413 - 456

BAB XVII

WAKALAH

Bagian Pertama

Rukun dan Macam Wakalah

Pasal 457 - 525

BAB XVIII

SHULH

Bagian Pertama

Ketentuan Umum Shulh

Pasal 526 - 544

BAB XIX

PELEPASAN HAK

Pasal 545 - 553

BAB XX

TA’MIN

Page 21: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Bagian Pertama

Ta’min dan I’adah Ta’min

Pasal 554 - 574

BAB XXI

OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH

Pasal 575 - 580

BAB XXII

PASAR MODAL

Bagian Pertama

Prinsip Pasar Modal Syariah

Pasal 581 - 584

BAB XXIII

REKSADANA SYARIAH

Bagian Pertama

Mekanisme Kegiatan Reksadana Syariah

Pasal 585 - 599

BAB XXIV

SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARI’AH

(SBI SYARI’AH)

Pasal 600 - 604

BAB XXV

OBLIGASI SYARIAH

Pasal 605 - 608

Page 22: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

BAB XXVI

PEMBIAYAAN MULTI JASA

Pasal 609 - 611

BAB XXVII

QARDH

Bagian Pertama

Ketentuan Umum Qardh

Pasal 612 - 617

BAB XXVIII

PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH

Pasal 618 - 626

BAB XXIX

DANA PENSIUN SYARIAH

Bagian Pertama

Jenis dan Status Hukum Dana Pensiun Syari'ah

Pasal 627 - 674

Dalam Kompilasi ini, yang dimaksud dengan Akad adalah: kesepakatan dalam suatu

perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan

hukum tertentu.

Akad dilakukan berdasarkan azas sebagai berikut:

a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari

keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

Page 23: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan

kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar

dari cidera-janji.

c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan

dilaksanakan secara tepat dan cermat.

d. luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan

yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak

sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara,

dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara

terbuka.

h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga

tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan

kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung

unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan

tidak haram.

Urgensi KHES dalam Perkembangan Perekonomian Islam

Perkembangan ekonomi Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di

panggung internasional maupun di Indonesia. Dalam praktik operasioanal, perkembangan

tersebut dapat dilihat seperti yang terjadi di lembaga-lembaga perekonomian Islam seperti:

Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi

Syariah, Leasing Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil,

Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik

Islam seperti Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai

bentuk bisnis syariah lainnya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi

aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah

Page 24: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta

pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah

dan perburuhan dan sebagainya.

Dalam perkembangan di bidang lembaga perekonomian agar mampu bersaing

dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, diperlukan inovasi-inovasi produk

dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya. Perkembangan tersebut

juga berimplikasi kepada banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi

Islam, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi Islam. Oleh

karena itu, dibutuhkan aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia.

Dalam merespon pertumbuhan lembaga dan regulasi perekonomian Islam di Indonesia,

terdapat beberapa masalah yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Permasalahan

tersebut adalah pertama, bagaimana praktik ekonomi Islam di Indonesia. Kedua, bagaimana

formalisasi hukum ekonomi Islam merespon kemajuan ekonomi Islam di Indonesia.

Ketiga ,bagaimana aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia.

Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang

signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah

sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di

negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran jaringan kantor

perbankan syariah di Indonesia saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006

jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440.

Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah

menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Pada tahun 2009,

diharapkan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi

12 buah.

Sedangkan praktik ekonomi Islam dalam aspek asuransi syariah di Indonesia dimulai

sejak tahun 1994. Perkembangan industri ini pun sangat pesat, sampai akhir 2007 terdapat 37

perusahaan asuransi syariah, 3 reasuransi syariah, 5 broker asuransi dan reasuransi syariah.

Hingga tahun 2009 ini asuransi syari’ah masih akan bergerak tumbuh. Pertumbuhan ini

dialami juga oleh perusahaan asuransi syariah lainnya seperti, Allianz Life Indonesia Divisi

Syariah, BNI Life Divisi Syariah, MEGA Life Unit Syariah dan lain-lain.

Praktik ekonomi Islam di Indonesia selanjutnya dapat dijumpai pada lembaga perekonomian

Islam lainnya dan lembaga bisnis syariah seperti lembaga pembiayaan syariah dan lembaga

keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga wakaf.

Page 25: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Dengan kewenangan absolut hakim pengadilan agama mengadili sengketa hukum

ekonomi syariah maka formalisasi hukum ekonomi Islam dalam bentuk KHES (Kompilasi

Hukum Ekonomi Syari’ah) yang komprehensip menjadi urgen. Seperti yang dibuat

pemerintahan Turki Usmani dengan nama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri

dari 1851 pasal, dimaksudkan agar kegiatan ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan

para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam

bisnis syari’ah. Hal ini juga menjadi signifikan manakala masalah asuransi syari’ah,

reasuransi, pegadaian syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah, pasar modal syariah,

dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat.

Aplikasi Hukum Islam Dalam Lembaga Perekonomian Islam Di Indonesia

Pada beberapa tahun belakangan, telah terjadi gejala baru dalam politik hukum

nasional di mana hukum Islam semakin mendapatkan tempat yang sangat luas dalam sistem

hukum dan perundang-undangan nasional. Keadaannya jauh berbeda pada saat dilahirkannya

Undang-undang No. I tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No. 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama (PA) yang sarat dengan pro kontra. Hal ini tidak terjadi ketika MA

mengeluarkan keputusan tentang KHES pada tahun 2008, Padahal wewenang PA di dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) jauh lebih luas wilayahnya dan lebih bersifat

keduniawian. Ini memberi pertanda bahwa penerimaan masyarakat Indonesia terhadap

kehadiran hukum Islam, termasuk di bidang ekonomi Islam sudah semakin baik.

Realitasnya praktik hukum keluarga dengan hukum ekonomi Islam dalam kehidupan

umat Islam memang ada perbedaan; hukum keluarga telah dipraktikkan oleh umat Islam

sejak lama dengan kesadarannya sendiri, sehingga telah menjadi bagian dari adat-istiadat

umat Islam. Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-

benar adat adalah syara’ itu sendiri.

Sedangkan hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum

banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara

kelembagaan masih sebatas dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum

memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak

pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi

terhadap perbedaan proses positifisasinya.

Page 26: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Dalam hukum Islam dikenal teori ’urf atau adat, sebagai salah satu metode istinbat

hukum. Dalam teori ini hukum dirumuskan dengan mempertimbangkan adat istiadat

masyarakat. Apalagi dalam konteks hukum ekonomi Islam sangat berkaitan dengan

masyarakat secara langsung yang sarat dimensi sosialnya. Sehingga diperlukan fleksibilitas

dalam hukum ekonomi Islam yang dikenal dengan kaidah, ”Al-Asl fi al-Muamalah al-Ibahah

Illa ay-Yadulla Dalilan ’ala Tahrimih” (Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah

boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Maksud kaidah ini bahwa semua

transaksi dalam bidang muamalah adalah dibolehkan seperti jual-beli, sewa menyewa, kerja

sama (Mudharabah atau Musyarakah) dan sebagainya, bahkan untuk transaksi yang mungkin

akan tercipta di kemudian hari, selama tidak ada nash yang melarang transaksi tersebut.

Mengingat KHES banyak mengatur menyangkut masalah muamalah, maka semestinyalah

memperhatikan hal ini.

Oleh karena itu, akomodasi terhadap realitas sosial umat Islam yang berkaitan dengan

praktik hukum ekonomi Islam sangat diperlukan, karena hal tersebut akan berimplikasi pada

efektifitas dan respon di masyarakat serta prospek hukum ekonomi Islam itu sendiri. Di

sinilah perlunya pendekatan sosiologis dalam legislasi hukum untuk masyarakat dengan pola

buttom-up.

Secara historis, pemberlakuan hukum dengan pola normatif dan top-down hanya akan

menimbulkan kesulitan dalam penegakannya, karena tidak akomodatif dan komunikatif

dengan kebutuhan sosiologis masyarakat, dan cenderung menjauhi rasa keadilan masyarakat.

Pengalaman bangsa Indonesia dengan pemberlakuan BW dan WvS produk Belanda secara

paksa sudah cukup menjadi pelajaran.

Sehubungan dengan aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia

belakangan ini, terasa bahwa penyusunan KHES nampak ’keburu-buru’, terlihat dari waktu

yang begitu pendek dalam mempersiapkannya. Sebagai konsekuensinya, kurang banyak

menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar, ulama,

pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam

konteks ini tidak bermaksud negatif, dan nampaknya lebih mengutamakan studi banding ke

luar negeri yang kemungkinan memiliki adat kebiasaan yang berbeda. Lain halnya ketika

penyusunan KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebelumnya yang banyak melibatkan para ulama

(kiai), pesantren, akademisi fakultas syari’ah beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan

praktisi.

Page 27: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Untuk itu, kiranya peran Fatwa dari DSN-MUI masih tetap akan kita butuhkan bila

dijumpai persoalan yang tidak bisa diperoleh jawabannya melalui KHES. Fatwa merupakan

salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap

problem yang dihadapi umat. Kehadiran fatwa-fatwa ini merupakan aspek organik dari

bangunan ekonomi Islam yang sedang berkembang, sekaligus merupakan salah satu indikator

bagi kemajuan ekonomi Islam di Indonesia. Fatwa ekonomi Islam yang telah hadir tersebut

secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah

maliyah (fiqh ekonomi).

Secara fungsional, fatwa DSN menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis

bagi lembaga perekonomian Islam, khususnya yang diminta praktisi ekonomi Islam ke DSN

dan memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang

norma ekonomi Islam.

Penutup

Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi

yang luarbiasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang

mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah

terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam

dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan

terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka

itulah hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) memberikan terobosan baru

dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Menyadari masih terdapat

kekurang-sempurnaan di dalam KHES, maka para praktisi ekonomi Islam, masyarakat, dan

pemerintah (regulator), masih membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik

dan produk lembaga perekonomian Islam.

KHES telah melingkupi kepentingan praktik operasional, khususnya yang

menyangkut akad, atas lembaga-lembaga perekonomian Islam, institusi finansial Islam

seperti: Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah,

Obligasi Syariah, Leasing Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat

Tamwil, Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan

publik Islam seperti Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta

berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.

Page 28: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'_14102009SDN

Bagi para investor dan customer, mereka harus menyesuaikan diri dan

mempersiapkan diri dengan adanya ketentuan baru di mana penyelesaian perselisihan hukum

menyangkut kegiatan ekonomi syari’ah tidak lagi ada di tangan peradilan umum atau niaga,

melainkan ada pada peradilan agama.

Dunia pendidikan yang berperan sebagai lembaga yang mempersiapkan SDM untuk

hakim-hakim Peradilan Agama juga perlu mengantisipasi untuk memberikan bekal yang

memadai bagi calon hakim PA dengan pengetahuan mengenai ekonomi syari’ah di samping

pengetahuan agama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badilag dan Pokja Perdata Agama, (2009), Kajian buku Kompilasi Hukum Ekonomi

Syari’ah, http://www.badilag.net. 6/5, 2009.

2. Hermansyah, Iri, Drs., SH., (2009), Sosialisasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, PA

sewilayah PTA Maluku Utara, 2009.

3. Mahkamah Agung RI, (2008), Peraturan MA RI No. 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta, 2008.

4. Rifyal Ka’bah, (2006), Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah

Kewenangan Baru Peradilan Agama, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXI No.

245, IKAHI, Jakarta, April 2006, hal. 12.

5. Rusydi, M., (2007), Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang danTantangan, Al-

Mawarid Edisi XVII Tahun 2007.

6. Suharso, Yudi, (2009), Pegadaian Syari’ah: Kinerja Bagus Ekspansi Jalan Terus, Majalah

Ekonomi dan Bisnis Syari’ah Sharing, Edisi 25 Th III, Januari 2009, hal. 41.

7. Sumanto, Agus Edi, (2008), Asuransi Syari’ah Masih Tumbuh 50–60 Persen, Majalah

Ekonomi dan Bisnis Shari”ah Sharing, Edisi 24 Th III, Desember 2008, hal. 20.

8. Tarigan, Azhari Akmal “Marhaban Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah” diakses dalam

http://www.waspada online/go.id/detil.

9. Yulianti, Rahmani Timorita, (2009), Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktek Ekonomi

Islam di Indonesia, Seminar Kajian Hukum Islam, Program Pasca Sarjana Universitas

Islam Indonesia, 27 Mei 2009, Yogyakarta.

Fname: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’_14102009SDN