127
DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI 2013 DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI 2013 Paper Kebijakan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Terpusat Pada BPN RI Sebagai Alternatif Optimalisasi Penyerapan Anggaran

Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANBADAN PERTANAHAN NASIONAL RI2013

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANBADAN PERTANAHAN NASIONAL RI2013

Paper KebijakanPengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Terpusat Pada BPN RISebagai Alternatif Optimalisasi Penyerapan Anggaran

Page 2: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA BADAN

PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI

PENYERAPAN ANGGARAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2013

PAPER KEBIJAKAN

Page 3: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

ii Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Page 4: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN iii

Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada: tahun anggaran 2009 (71.79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran 2011 (84,42%), begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan anggaran/realisasi belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM)

maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010 (72,80%) dan tahun 2011 (71,47%), atau rata-rata hanya sebesar 46,90% (Puslitbang BPN RI, 2012), dimana semakin tinggi tingkat pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan PNBP, maka yang terjadi adalah semakin rendah penyerapan PNBP pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah tersebut akan mengurangi pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Berkaitan dengan latar belakang masalah tersebut, maka bilamana optimalisasi pengelolaan PNBP BPN RI dilaksanakan secara terpusat dalam usaha mengoptimalkan peng gunaan, peningkatan kinerja pelayanan per tanahan dan bagaimana mekanisme penyem pur naan pengelolaan PNBP BPN RI yang dilaksanakan secara terpusat.

Sisa maksimal pencairan PNBP BPN RI hasil rekonsiliasi pada tahun 2011 sebesar 524.260.633.871 (47,14%) dan pada tahun 2012 481.384. 349.217 (36,70%). Sedangkan menurut sistem perencanaan penganggaran dari tahun 2006-2012 rata realisasi sisa PNBP yang disetorkan Rp.4.137.182.852.491 (55,59%), terjadi sisa anggaran yang rata-rata setiap tahun dikarenakan: Pertama, mekanisme penganggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran antar satuan kerja. Kondisi ini secara nasional menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP sehingg menyebabkan proses pelayanan tidak dapat mem berikan kelancaran dan kepastian waktu yang dapat dipertanggung jawabkan. Kedua, pelayanan pertanahan yang dilaksanakan tidak men capai tingkat yang optimal, sehingga menye babkan hak pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir tahun (bulan November dan Desember). Ketiga, kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan keuangan bagi SDM bidang teknis dalam penyusunan perencanaan dalam mengestimasi penerimaan PNBP. Keem pat, tidak dapat terpenuhinya peningkatan dan pengadaan fasilitas sarana dan prasarana fisik yang sebagaian besar sangat memprihatinkan, dimana kondisi asset BPN RI di seluruh Indonesia untuk kantor 30 unit masih milik Pemda dan 32 unit sewa/pinjam bahkan belum memiliki kantor, kondisi kantor 69 rusak ringan dan 27 rusak berat. Status tanah kantor 378 milik sendiri, 81 milik Pemda, dan 18 sewa/pinjam. Rumah dinas baru ada 41 unit sisanya 361 unit masih sewa/pinjam, dengan kondisi 13 unit rusak ringan dan 14 unit rusak berat.

Dalam meminimalisir sisa anggaran PNBP pada BPN RI regulasi kebijakan adalah sebagai berikut: Pertama, kegiatan pelayanan pertanahan harus memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk memberikan kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan yang dapat dipertanggung jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara terpusat dengan alokasi penggunaan yang tepat terutama untuk peningkatan kualitas pelayanan pertanahan secara nasional. Kedua, regulasi penggunaan anggaran PNBP secara subsidi silang antar satker yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke wilayah Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana fisik pendukung pelayanan pertanahannya sangat tidak memadai.

ABSTRAK

Page 5: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

iv Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

ABSTRAK iiiDAFTAR ISI ivDAFTAR TABEL viDAFTAR GAMBAR viBAB I PENDAHULUANA. Latar belakang 2B. Identifikasi Masalah 4C. Tujuan dan Kegunaan 4

1. Tujuan 42. Kegunaan 3

D. Metoda 41. Pendekatan Penelitian 42. Teknik Pengumpulan Data 5

a. Metode Kajian Kepustakaan 5b. Metode Studi Dokumen 6c. Konsinyering penyusunan konsep Paper Kebijakan 7d. Focus Group Discution Penyusunan draft Paper Kebijakan 7

E. Definisi Operasional 7F. Tim Penyusun 9

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

A. Keuangan Negara 12B. Asas-Asas Keuangan Negara 14C. Ruang Lingkup Keuangan Negara 15D. Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara 17

1. Hak-hak Negara dalam pengertian keuangan negara 172. Hak negara mengedarkan uang 193. Hak negara melakukan pinjaman 204. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga 205. Penerimaan/Pendapatan Negara 206. Pengeluaran negara 207. Penerimaan daerah 218. Pengeluaran daerah 219. Kekayaan negara/daerah 21

E. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara 22F. Perumusan Keuangan Negara 23G. Pengelolaan Keuangan Negara 24H. Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation) 26I. Penerimaan Negara Bukan Pajak 29J. Pendekatan Konsepsional Keuangan Negara 30

1. Prinsip keadilan 302. Mengandung hak dan kewajiban Negara 313. Pengeluaran merupakan fungsi penerimaan 32

K. Pendekatan Praktis 321. Aspek yuridis-administratif 322. Aspek implementatif 333. Harga Pelayanan Publik yang Dibebankan Masyarakat 334. Penentuan Harga dan Pasar yang Kompetitif untuk Barang dan Jasa Sektor Publik 345. Pentingnya Kebijakan Netralitas Kompetisi yang Sehat 346. Argumen terhadap Pembebanan Tarif Pelayanan 35

a. Kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan 35b. Yang miskin tidak mampu membayar pelayanan 35c. Adanya eksternalitas, merit good, dan persyaratan legal. 35

7. Prinsip dan Praktik Pembebanan 368. Kegunaan Pembebanan dalam Praktik 36

Daftar Isi

Page 6: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN v

9. Pelayanan Publik yang dapat dijual 3710. Efisiensi Ekonomi 3811. Prinsip Keuntungan 38

L. Teknik Dasar Penilaian Inventasi Publik 391. Identifikasi kebutuhan investasi yang mungkin dilakukan 392. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan (cost/benefit relationship). 403. Menghitung manfaat dan biaya dalan rupiah 404. Memilih proyek yang memiliki manfaat terbesar dan efektivitas biaya yang tinggi 40

a. Net present benefit (NPB) 40b. Analisis Payback Period 40c. Anlisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis) 41d. Analisis efektivitas biaya (cost-effectiviness analysis) 41

M. Dasar Hukum Pengolaan Keuangan Negara 421. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 422. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara 433. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak 444. Analisis Kebijakan Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 44

N. Anggaran Berbasis Kinerja 461. Manfaat Pengukuran Kinerja 482. Rencana Pembangunan Nasional 493. Rencana Kerja Pemerintah 514. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional 535. Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Tahun 2010-2014 536. Sasaran Strategis Pengelolaan Pertanahan 557. Arah Kebijakan dan Strategis Pengelolaan Pertanahan Nasional 578. Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara 59

O. Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja 691. Tingkatan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja 692. Sumber Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 69

BAB III PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKA. Gambaran Umum Penerimaan dan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional republik Indonesia 91B. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia 91a. Analisis Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri 91b. Analisis Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran 92c. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Analisis Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan pada Focus Group Discution 94d. Implikasi Penerapan Mekanisme Subsidi Silang pada Badan Pengawas Obat dan

Makanan 94e. Analisis Permasalahan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan 94f. Kompetensi Sumberdaya Manusia Perencana dan Pengelola Keuangan Hasil Penelitian Puslitbang BPN RI 99

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran 1011. Perencanaan Anggaran Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak 1012. Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 ttg Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak 102

D. Saran Pelaksanaan Kegiatan 103

Page 7: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

vi Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

BAB IV FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARANA. Sistem Perencanaan Kegiatan dan Pengelolaan Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak 106B. Strategi Perencanaan Kegiatan dan Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak 107

1. Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak 112

BAB V PENUTUPA. Kesimpulan 116B. Rekomendasi 117

DAFTAR PUSTAKA 119

Daftar Tabel

Tabel 1 Perencanaan Laporan Realisasi PNBP 73 Tabel 2 Pengaturan Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang 75Tabel 3 Perolehan Hak-hak Penyetor PNBP 76Tabel 4 Simulasi Perencanaan anggaran PNBP BPN RI Berdasarkan Perauran Pemerintah

Nomor 13 Tahun 2010 93Tabel 5 Realisasi PNBP BPN RI Pertahun Pendapatan Pelayanan Pertanahan/Fungsional 95Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Penggunaan PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 96Tabel 7. Kondisi Asset Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dalam Status

Kepemilikan dan Kelayakan 98Tabel 8 Kompetensi Perencana Kegiatan dan Pengelola Keuangan di Lokasi Penelitian 100Tabel 9. Model Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI 107

Tabel 10 . Model Perencanaan Alokasi Biaya Operasional Pelayanan Pertanahan dari Pagu Belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak 108

Daftar GambarGambar 1 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak 46Gambar 2 Hirarki Perencanaan Pembangunan Nasional 50Gambar 3 Alur Perencanaan Kegiatan Kementrian/Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah 51Gambar 4 Penyusunan Pagu Indikatif 62Gambar 5 Penyusunan Pagu Anggaran 64Gambar 6 Penyusunan Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga (Pagu Definitif) 66 Gambar 7 Tingkatan Penerapan Anggaran berbasis Kinerja 69Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun anggaran 2009-2011 90Gambar 9 Relisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 97Gambar 10 Sisa PNBP BPN RI Tahun 2006 sampai dengan 2012 98Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun Anggaran 2012 106Gambar 12 Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak 109Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI 110

Page 8: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 11BAB I

Pendahuluan

Page 9: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

2 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan memperhitungkan ketersediaan anggaran.

A. LATAR BELAKANGRencana Kerja Pemerintah merupakan pen jabaran dari RPJM Nasional yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, kewilayahan da lam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Rencana Kerja Pemerintah kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Rencana Kerja K/L (Renja K/L). Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai lembaga pelayanan di bidang pertanahan, dalam menyusun Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA K/L) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah untuk sumber dana Rupiah Murni (RM) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu sum ber penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan pelayanan kepada masyarakat, untuk melak sanakan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada: tahun anggaran 2009 (71. 79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran 2011 (84,42%), begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan anggaran/realisasi belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM) maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010 (72,80%) dan tahun 2011 (71,47%). Rendahnya penyerapan anggaran disebabkan antara lain adanya pemblokiran1, hal ini dikarenakan belum mendapat persetujuan DPR RI, belum adanya pembahasan dengan kementerian keuangan RI dan atau kurang lengkapnya data pendukung2 yang diperlukan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia3.

1. Tahun Anggaran 2012 berdasarkan data Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran blokir belanja pada BPN RI sebesar Rp. 2. 625,9 Milyar (66,3%) diantaranya RP. 44. 327,37 Juta (1,12%) untuk pengadaan tanah dan gedung.

2. Dokumen/data Pendukung sekurang-kurangnya: 1) TOR dan RAB setiap Output Kegiatan yang ditandatangani oleh penanggung jawab Kegiatan atau pejabat lain yang berwenang; 2) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani oleh KPA (sebagaimana lampiran Bab ini) apabila rincian biaya yang tercantum dalam KK RKA-KL tidak terdapat dalam Standar Biaya; 3) Arsip data komputer (ADK) RKA-KL dan KK RKA-KL Satuan kerja; 4) Hasil kesepakatan dengan DPR; 5) Daftar alokasi Pagu masing-masing Unit Eselon I yang dirinci berdasarkan Program, Satuan kerja dan Sumber Pendanaan;

3. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2011.

Page 10: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

3PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Menurut beberapa ahli, rendahnya penyerap an APBN 2011 ini ditenggarai karena perumusan APBN-Perubahan yang memakan waktu cukup lama, buruknya perencanaan anggaran sehingga gagap dalam pelaksanaan, terlalu berhati-hatinya birokrasi dalam mengeksekusi proyek tertentu4, prosedur yang sulit dalam proses pengadaan barang dan jasa dengan nilai yang besar5, dimutasikanya pegawai yang mempunyai sertifikat pengadaan barang dan beberapa kendala teknis lainnya.

Menurut Tim Evaluasi dan Pengawasan Pe nyerapan Anggaran, beberapa perma sa lah an dalam penyerapan anggaran diantaranya:1. Uang persediaan di awal tahun pengajuannya menunggu penyelesaian pertanggungjawaban

tahun sebelumnya sampai dengan proses rekonsiliasi dengan KPKN, yang paling cepat dapat diselesaikan pada minggu kedua, sehingga dana kegiatan tahun berjalan baru dapat dibiayai pada minggu kedua bulan Januari, meskipun DIPA diterima bulan Desember;

2. Proses revolving uang persediaan bari dapat dilaksanakan setelah pertanggung jawaban mencapai nilai minimal 75% dari Uang Persediaan yang diterima;

3. Adanya kebijakan clesarence untuk pengadaan tanah dan bangunan yang harus disetujui oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PAN dan RB, serta BPKP yang menyebabkan masih terdaoatnya beberapa K/L yang belum mendapatkan persetujuan clesarence sehing ga anggarannya (DIPA) masih diblokir;

4. Pemblokiran anggaran pada K/L karena memerlukan persetujuan komisi terkait di DPR yang harus ditandatangani oelh ktua dan semua wakil ketua komisi;

5. Belum adanya aplikasi perbendaharaan yang seragan di seluruh K/L dan terintegrasi dengan aplikasi yang dibuat oleh Kementerian Keuangan (seperti aplikasi SAI, Gaji, DIPA, RAKA-KL, dan SPM);

6. Kompleksitas kebijakan realokasi anggaran diantaranya berasal dari penghematan dan proses on top dari BA 999 ke BA sektoral K/L;

Kendala dan hambatan tersebut mengakibatkan penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI pada lokasi penelitian rata-ata hanya sebesar 46,90%, dimana semakin tinggi tingkat pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka yang terjadi adalah semakin rendah penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah tersebut akan mengurangi pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Walaupun dalam Pasal 119 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, dimana dalam perhitungan batas maksimum pencairan dana, setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya DIPA, hal ini berlawanan dengan Pasal 162 ayat (1), dimana sisa pagu DIPA yang tidak terealisasi sampai akhir tahun anggaran berakhir tidak dapat digunakan pada periode tahun anggaran berikutnya.

Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun anggaranpun sangat terbatas, sepaerti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK. 05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan

4. Menteri Keuangan, Martowardoyo dalam www. mediaindonesia. com, 21 Desember 2011. 5. 21 Desember 2011, Doddy Arifianto, Ekonom Universitas Ma Chung Malang, Kabarbisnis. com, 21 Desember 2011.

Page 11: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

4 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN

(MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabelas) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200. 000. 000,- (dua ratus juta rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, untuk mengoptimalkan peng gu naan, peningkatan kinerja pelayanan per tanahan, dan administrasi diperlukan peninjauan dan penyempurnaan peraturan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI.

B. IDENTIFIKASI MASALAH1. Bilamana optimalisasi pengelolaan Pene ri maan Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan secara

terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, pe ning katan kinerja pelayanan pertanahan?2. Bagaimana mekanisme penyempurnaan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI

yang dilaksanakan secara terpusat?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN1. Tujuan

a) Mengetahui sistem dan persyaratan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan se cara terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, peningkatan kinerja pelayanan pertanahan.

b) Mengetahui mekanisme penyempur naan pengelolaan Penerima an Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan secara terpusat.

2. Kegunaan a) Menemukenali sistem dan persyarat an pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN

RI yang dapat dilaksanakan secara terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, pe ning -katan kinerja pelayanan pertanahan.

b) Membuat suatu mekanisme penyem pur naan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan secara terpusat.

D. METODA 1. Pendekatan PenelitianMetodelogi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang yang ada. Penelitian ilimah sendiri adalah6 penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomena-fenomena itu.

Metode penelitian dalam penelitian kualitatif cenderung bersifat deskriptif, naturalistik, dan berhubungan dengan ”sifat data” yang murni kualitatif, metode penelitian kualitatif tersebut juga metode fenomenologis karena lebih berdasarkan pada filsafat fenomelogis yang mengutamakan penghayatan atau pemahaman yang mendalam (verstehen) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas. Peneliti berorientasi kepada fenomenologis yang menekankan kepada aspek subyektif dari tingkah laku manusia7. Pendapat lain mengatakan

6. Fred N Kerlinger, dalam andung R Simatupang, Asas-asas penelitian behavioral, hal 177. Geertz,1973 Thick Description, Toward and Interpretive Theory odf Culture. In the Interpretation of Culture, Basic Book, New York yang

dikutip pada buku Penelitian Kualitatitif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial, Dr Prasetya Irawan, MSc,2007, hal 11

Page 12: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

5PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati8.

Pendekatan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Responden dalam metode penelitian kualitatif berkembang terus secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan dari hasil Focus Group Discution, Konsinayering, dan Seminar. Alat pengumpul data atau instrumen penelitian merupakan instrument pokok dan dalam pengumpulan datanya, peneliti akan terlibat secara aktif dalam kegiatan pengumpulan data tersebut. Instrumen pengumpulan data dalam metodelogi penelitian kualitatif tidak bersifat terstruktur, terfokus, kaku atau rigid, dan spesifik seperti dalam penelitian kuantitatif tetapi bersifat lebih longgar, fleksibel dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kebutuhan. pendekatan terhadap obyek penelitian ini dengan terfokus pada:a. Besaran penyerapan anggaran pada tahun berjalan pada periode 3-5 tahun, hal ini

berkenaan dengan trend besaran penyerapan pada sumber penerimaan Rupiah Murni (RM) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak kegiatan pengelolaan pertanahan di daerah.

b. Pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keuangan dan teknis pelaksanaan kegiatan pada masing-masing satuan kerja. Kebijakan tersbut sesuai dengan paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia.

c. Mekanisme dan penyusunan anggaran berbasis kinerja, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara (RKA-KL) sampai dengan penetapannya oleh lembaga legislatif.

d. Kendala-kendala dan masalah yang mungkin timbul dalam penyerapan anggaran pada masing-masing satuan kerja dan teknis pelaksanaan kegiatannya.

e. Strategi dan model kegiatan guna memberikan solusi dalam meningkatkan penyerapan anggaran yang berbasis kinerja. Berkenaan dengan penyusunan strategis dan model ini dilakukan penelitian kebijakan empiris dan studi pustaka terhadap penyerapan anggaran berbasis kinerja.

2. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang akan dilakukan peneliti terdiri dari empat macam, yaitu observasi langsung terhadap objek penelitian, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan kesan visual (visual image). Dalam memperoleh hasil yang diinginkan dalam penelitian ini akan menggunakan keempat metode tersebut dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Metode Kajian Kepustakaan, Kajian kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara menganalisis

isi (content analysis) yaitu suatu teknik analisis terhadap berbagai sumber informasi

8. Bogdan dan Taylor yang dikutip dalam buku Moleong, Alex J, 2000, Metodelogi Penelitian Kualitiatif, hal 3.

Page 13: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

6 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN

termasuk bahan cetak/bacaan seperti buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang terkait dengan permasalahan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian. Prosedur menganalisa isi tersebut dengan melaksanakan langkah-langkah diantaranya adalah: 1) menentukan tujuan analisis dengan mengidentifikasi dengan cara menurunkannya dari

fokus penelitian 2) mengumpulkan data dengan mem baca, mengkaji dan mencatat data-data yang diambil

dari berbagai sumber; 3) mengidentifikasian bukti-bukti kons tek tual yang memulainya dengan mencari hubungan

antara data dengan realitas; 4) mereduksi data dengan melakukan sortiran terhadap data yang dikumpulkan yang akan

digunakan dan yang tidak digunakan; 5) memberi kode pada data; 6) menganalisis dan menafsirkan data.

b. Metode Studi Dokumen, Studi dokumen adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan kajian terhadap

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian diantaranya:1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;2) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;3) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;4) Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan;5) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara;6) Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional, 7) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Penyetoran Penerimaan Negara

Bukan Pajak;8) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP);9) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan

Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, serta peraturan/dokumen lainnya yang dinilai relevansi dengan penelitian;

10) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

11) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu;

12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;

13) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak;

14) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

Page 14: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

7PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

15) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Taris atas Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN RI;

16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK. 05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan APBN;

17) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per. 17/PB/2013 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Beban APBN;

18) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

19) Referensi Buku, Laporan Hasil Penelitian, Majalah, Surat Kabar Harian, dan Jurnal Ilmiah, internet, media cetak dan elektronik yang berkaitan dengan topik kajian.

c. Konsinyering penyusunan konsep Paper Kebijakan Konsinyering adalah diskusi dalam rangka pengumpulan, pengolahan, dan penyusunan

data yang bersifat mendesak dengan mengundang beberapa nara sumber, para pakar, dan undangan lainnya di suatu tempat selama 3 (tiga) hari untuk bekerja secara intensif yang sifatnya dan tidak dapat dikerjakan di kantor.

d. Focus Group Discution Penyusunan draft Paper Kebijakan Focus Group Discussion (FGD) adalah suatu kegiatan pengumpulan data kualitatif melalui

dalam memberikan kemudahan dan peluang bagi peneliti untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki informan. FGD memungkinkan peneliti dan informan berdiskusi intensif dan tidak kaku dalam membahas isu-isu yang sangat spesifik. FGD juga memungkinkan peneliti mengumpulkan informasi secara cepat dan konstruktif dari peserta yang memiliki latar belakang berbeda-beda dan memberikan informasi yang penting, menarik.

E. Definisi Operasional1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana

keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Anggaran terpadu adalah anggaran yang terintegrasi seluruh proses perencanaan dan

penganggaran di lingkungan kementerian negara/lembaga untuk menghasilkan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran KementerianNegara/Lembaga (RKA-KL) dengan klasifikasi anggaran belanja menurut visi dan misi organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

3. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.

4. Berbasis kinerja adalah kegiatan dengan menggunakan tolok ukur untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Pendekatan ini sangat menekankan pada konsep dan kinerja berdasakan keluaran hasil (output).

5. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/L per program dalam suatu K/L yang telah ditetapkan dari proses penelaahan.

Page 15: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

8 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN

6. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA) adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau Satuan Kerja yang disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPb atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan pembiayaan kegiatan.

7. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemeritahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

8. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.

9. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan dalam satu program.

10. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dengan mengerahkan segala sumber daya (personil, teknologi, dana, dll) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang dan jasa.

11. Kementerian Negara yang selanjutnya disingkat Kementerian, adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

12. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara.

13. Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kualitas dan kualitas terukur.

14. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

15. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.

16. Optimalisasi anggaran adalah penggunaan anggaran untuk kegiatan pembangunan dengan melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender.

17. Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada K/L sebagai pedoman dalam penyusunan Renja-K/L.

18. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada K/L dalam rangka penyusunan RKA-K/L

19. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaanPemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Pasal 1angka 1 UU No. 20 Tahun 1997).

20. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) adalah Menteri/Pimpinan Lembaga atau kuasanya yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada K/L yang bersangkutan.

21. Penyerapan adalah pengeluaran keuangan untuk digunakan kegiatan dalam rangka mendukung tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja.

Page 16: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

9PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

22. Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga atau masyarakat yang dikordinasikan oleh instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran.

23. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-K/L, adalah dokumen rencana keuangan tahunan K/L yang disusun menurut Bagian Anggaran K/L

24. Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RDP-BUN adalah rencana kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara

25. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, yang selanjutnya disingkat SPAN adalah sistem informasi manajemen keuangan yang terintegrasi dari mulai perencanaan sampai dengan pelaporan, terotomasi secara penuh, serta menggunakan data base yang terpusat.

26. Satuan Kerja adalah adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program, kegiatan, dan jenis belanja

27. Strategi adalah langkah-langkah yang berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.

28. Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan, timbulnya sub kegiatan ini sebagi kosekuensi adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran.

29. Unit Organisasi adalah bagian dari suatu K/L negara yang bertanggung jawab terhadap pengkoordinasian dan/atau pelaksanaan suatu program.

F. Tim Penyusun terdiri dari, yaitu: Nara Sumber:

1. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI2. Kepala Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI;3. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Anggaran;4. Direktur Sistem Perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan;5. Kepala Biro Keuangan dan Perencanaan Badan POM;6. Kepala Biro Keuangan dan Barang Milik Negara Sekretarat Jenderal Kementerian Agama RI. Koordinator :Munsyarief, A. Ptnh. , M. Si. Anggota :1. Umiyati, S. SiT. 2. Melia Yusri , S. P. 3. Dwi Prasetyo, S. P.

Page 17: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

10 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Page 18: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

11PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN2BAB II

Kajian Teoritis dan Praktek Empiris

Penerimaan Bukan Pajak Pada Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Page 19: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

12 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Menurut Geodhart, keuangan Negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut.

A. KEUANGAN NEGARAUnsur-unsur keuangan Negara menurut Geodhart meliputi:1) Periodik2) Pemerintah sebagai pelaksana anggaran3) Pelaksanaan anggaran mencakup dua we wenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang

untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan

4) Bentuk anggaran Negara adalah berupa suatu undang-undangMenurut John F. Due, budget keuangan negara adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode waktu tertentu. Government budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode mendatang dan periode yang telah lampau. John F. Due menyamakan pengertian keuangan negara dengan anggaran (budget negara). Mengenai hubungan antara keuangan negara dengan anggaran negara, Muchsan9 menyatakan bahwa anggaran negara merupakan inti dari keuangan negara sebab anggaran negara merupakan alat penggerak untuk melaksanakan keuangan negara.

Menurut Gilldenhuys, anggaran memiliki enam fungsi, yaitu 10:1) Sebagai kebijakan yang menggambarkan tujuan dan sasaran khusus yang hendak capai

melalui suatu pengeluaran dalam anggaran (a policy statement declaring the goals and specific objectives an authority wishes to achieve by means of the expenditure concorned);

2) Sebagai sarana redistribusi kekayaan sebagai salah satu fungsi publik yang paling utama dari anggaran (redistribution of wealth is one of the most important function of a public budget);

3) Sebagai program kerja pemerintah (a work program);4) Sebagai sumber informasi (as a source of information);5) Sebagai sarana koordinasi kegiatan pemerintahan (as a coordinating instrument);6) Sebagai alat pengawasan legislatif terhadap eksekutif (acontrol instrument to be used the

legislative authority over the executive authority and by the executive authority and even for internal control within a single component of the administrative authority).

9. W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT Grasindo, Tahun 2006, hlm. 1-210. Penelitian dan Pengkajian Mahklamah Konstitusi Republik Indonesia, Teori Mengenai Anggaran Negara, Sekretariat Jenderal MK-RI, Jakarta,

2005, hlm. 7

Page 20: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

13PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Keuangan Negara adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu baik berupa uang maupun barang dapat dijadikan “hak milik negara”. Keuangan Negara dapat diartikan juga sebagai suatu bentuk kekayaan pemerintah yang diperoleh dari penerimaan, hutang, pinjaman pemerintah, atau bisa berupa pengeluaran pemerintah, kebijakan fiscal, dan kebijakan moneter. Ruang lingkup keuangan Negara meliputi:1) Penerimaan negara 2) Pengeluaran negara3) Hutang dan pinjaman negara4) Kebijakan keuangan yang terdiri dari kebijakan moneter, kebijakan fiscal dan kebijakan

keuangan internasional dan mengelola hutang pemerintah

Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam: subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan anggaran, pe ngawasan anggaran, penyusunan per hi tung an anggaran negara (PAN) sampai

Page 21: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

14 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang. Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sektor perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri.

Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja. Pembahasan lebih lanjut dalam modul ini dibatasi hanya pada pengertian keuangan negara dalam arti sempit saja yaitu subbidang pengelolaan fiskal atau secara lebih spesifik pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

B. ASAS-ASAS KEUANGAN NEGARADalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari asas tersebut adalah sebagai berikut: 1) Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan yang

harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR). 2) Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya

percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara. 3) Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua

pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.

4) Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.

5) Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.

6) Asas Profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional.

Page 22: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

15PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

7) Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.

8) Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen.

9) Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARARuang lingkup keuangan negara meliputi: hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; penerimaan negara; pengeluaran negara; penerimaan daerah; pengeluaran daerah; kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan j. kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.

Pengertian Perbendaharaan Negara menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah “pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah; pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan; pencarian sumber pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam pengelolaan keuangan pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat (welfare state).

Page 23: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

16 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang selama ini menggunakan pendekatan superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah yang mengelola keuangan sektor publik tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan; pencarian sumber pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam pengelolaan keuangan pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya, negara tunduk pada tatanan hukum publik.

Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat (welfare state). Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang selama ini menggunakan pendekatan superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah yang mengelola keuangan sektor publik tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pe me rintah dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang (APBN/APBD)”. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan penge lolaan keuangan negara, dirasakan semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien.

Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam pelaksana an nya, kekuasaan presiden tersebut tidak dilaksanakan sendiri oleh presiden. Pengelolaan keuangan negara secara teknis dilaksanakan melalui dua pengurusan, yaitu pengurusan umum/administrasi yang mengandung unsur penguasaan dan pengurusan khusus yang mengandung unsur kewajiban. Pengurusan umum erat hubungannya dengan penyelenggaraan tugas pemerintah di segala bidang dan tindakannya dapat membawa akibat pengeluaran dan atau menimbulkan penerimaan negara. Sedangkan pengurusan khusus atau pengurusan kompatabel mempunyai kewajiban melaksanakan perintah-perintah yang datangnya dari pengurusan umum.

Dikuasakan kepada menteri keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; kepada menteri/pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintah non kementerian negara, selaku pengguna anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; dan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pelaksanaan dan mewakili kekayaan daerahPelimpahan kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan di antara lain mengeluarkan rupiah, moneter serta kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral. Menteri keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang hakikatnya Pemerintah Republik tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balance, untuk pemerintahan daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi, untuk mengelola keuangan daerah pemerintah daerah dalam kepemilikan yang dipisahkan. bidang moneter, yang meliputi dan mengedarkan uang,

Page 24: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

17PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang. Untuk mencapai kestabilan nilai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengatur dan menjaga keuangan pada adalah Chief Financial Officer (CFO) Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan serta mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Menteri keuangan selaku pengelola fiskal bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi: pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Kewenangan presiden terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan kepada pejabat negara, meliputi kewenangan yang bersifat umum yang timbul dari pengurusan umum, dan kewenangan yang bersifat khusus yang timbul dari pengurusan khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi kewenangan untuk: Menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU); Menetapkan strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain menetapkan: pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, gaji dan tunjangan, pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus meliputi kewenangan membuat keputusan/kebijakan teknis berkaitan pengelolaan APBN, antara lain menetapkan: keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

D. PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARASebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara. Disamping itu dalam diktum menimbang undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara dalam perspektif Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1) yaitu: ”Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”

Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang adalah sebagai berikut:

1. Hak-hak negara dalam pengertian keuangan negaraHak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Sistem pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem Self Assessment, yaitu adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar serta melaporkan sendiri jumlah pajak terutangnya pada negara. Tetapi penerapan sistem ini di Indonesia masih mengalami

Page 25: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

18 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

berbagai hambatan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengerti tata cara perpajakan secara menyeluruh.

Selain itu, kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak masih kurang. Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, diperlukan beberapa asas pemungutan pajak yaitu asas equality, certainty, convinience of payment , dan efficiency (Tjahjono & Husein, 2000). Keempat asas ini sangat penting terutama asas equality (asas keadilan) yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan Wajib Pajak.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:a. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu

rakyat harus membayar pajak diibaratkan sebagai seuatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

b. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan (Misalnya perlindungan)

masing-masing orang. Sema kin kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayarkan.

c. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan

daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu: Unsur objektif yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang dan Unsur subjektif yaitu memperlihatkan besarnya kebutuhan materil harus dipenuhi.

d. Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya Sebagai

warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

e. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti

menarik daya beli dan rumah tangga mayarakat untuk rumah tanggan negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

Menurut pendapat beberapa ahli, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan, pemungutan pajak harus memenuhi syarat agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan), sesuai dengan tujuan hukum, yakni

mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutan haruslah adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta

Page 26: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

19PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis, dasar hukum pemungutan pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis), pemungutan pajak tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil), sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana, dimana pemungutan akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

2. Hak negara mengedarkan uangMencetak dan mengedarkan uang adalah salah satu hak pemerintah yang paling penting. Pelaksanaannya diselenggarakan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. Sedangkan proses percetakan uangnya dilaksanakan oleh Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri). Menurut Undang-undang Bank Sentral Nomor 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang logam dan kertas. Hak tunggal untuk mengeluarkan uang yang dimiliki Bank Indonesia tersebut disebut hak oktroi atau uang bank.

Uang logam biasanya terbuat dari emas atau perak karena emas dan perak memenuhi syarat-syarat uang yang efesien. Karena harga emas dan perak yang cenderung tinggi dan stabil, emas dan perak mudah dikenali dan diterima orang. Di samping itu, emas dan perak tidak mudah musnah. Emas dan perak juga mudah dibagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil. Di zaman sekarang, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal itu merupakan pernyataan bahwa sejumlah emas dengan berat tertentu terkandung di dalamnya, dimana Nilai Nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), stau lima ratus rupiah (Rp. 500,00). Nilai Tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang).

Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).

Uang kertas mempunyai nilai karena nominalnya. Oleh karena itu, uang kertas hanya memiliki dua macam nilai, yaitu nilai nominal dan nilai tukar. Ada 2(dua) macam uang kertas :a. Uang Kertas Negara (sudah tidak diedarkan lagi), yaitu uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah

dan alat pembayaran yang sah dengan jumlah yang terbatas dan ditandatangani mentri keuangan.b. Uang Kertas Bank, yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank sentral,

Page 27: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

20 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

3. Hak negara melakukan pinjamanHak negara untuk mengadakan pinjaman meliputi pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Pinjaman dalam negeri dalam hal ini dapat dibedakan atas pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek. Pinjaman jangka pendek diperoleh dengan mengambil uang muka pada Bank Indonesia. Sedangkan pinjaman jangka panjang dilakukan dengan menerbitkan kertas-kertas berharga seperti obligasi, dan menjualnya kepada masyarakat.

4. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

5. Penerimaan/Pendapatan Negara;Penerimaan atau pendapatan negara dan hibah didapat dari dua sektor yaitu penerimaan dalam negri dan hibah. Di penerimaan dalam negri masih dibagi lagi menjadi dua sektor yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Sedangkan penerimaan perpajakan masih dibagi menjadi dua sektor lagi yaitu pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak, penerimaan perpajakan memiliki jumlah yang lebih besar. Hal ini menandakan bahwa pajak merupakan pendapatan terpenting dari pemerintah. Besar kecilnya pajak yang ditentukan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Karena besarnya pendapatan baik dari pajak atau bukan, secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang juga akan meningkat.

6. Pengeluaran negara;Pengeluaran negara adalah pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai program-program dimana pengeluaran itu ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat digolongkan sebagai berikut: (Boediono,1999):a. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa. b. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai. Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi, di mana

perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara tidak langsung. c. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.

Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar barang melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada warganya yang meliputi misalnya pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayar an bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan pos gaji pegawai meskipun secara administrasi keduanya berbeda.

Page 28: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

21PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

7. Penerimaan daerah;Penerimaan atau pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melaluim rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan asli daearah terdiri dari:a. Pendapatan Asli Daerah;

1) Hasil pajak Daerah, seperti : pajak hotel, restoran, hiburan, kendaraan bermotor2) Hasil Retribusi Daerah, seperti: parkir, kebersihan, izin usaha, jasa pariwisata, pasar,

terminal3) Hasil perusahaan milik Daerah, seperti: dividen, laba dan penjualan saham milik daerah4) hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;

b. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. 1) Dana Perimbangan, yaitu dana yang dialokasikan ke daerah untuk pembiayaan keperluan

daerah, seperti untuk: DAU (Dana Alokasi Umum), Dana Bagi Hasil, DAK (Dana Alokasi Khusus), dan dana kontijensi.

2) Pinjaman Daerah bisa bersumber dari pinjaman dalam negeri, luar negeri; 3) Lain-lain Penerimaan yang sah seperti penjualan aset tetap daerah, jasa giro;

8. Pengeluaran daerah;a. Belanja administrasi umum, adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap.

Misalnya belanja gaji pegawai, listrik, air, telepon, dan pemeliharaan kendaraan. b. Belanja operasional dan pemeliharaan, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi

oleh adanya kegiatan tetapi tidak menambah aset. Misalnya operasi penertiban pedagang kaki lima.

c. Belanja modal, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi oleh adanya kegiatan secara langsung dan menambah aset. Misalnya pembangunan gedung, pembelian kendaraan bermotor, dan pembangunan jalan.

d. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja ini bersifat langsung tanpa indikator kinerja. Misalnya belanja provinsi untuk alokasi bagi hasil. Alokasi tersebut bisa berupa pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor ke kabupaten atau kota, bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, olahraga, profesi, dan pengeluaran ke desa yang berasal dari pendapatan bukan pajak..

e. Belanja tidak disangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak untuk dilaksanakan tetapi belum ada anggarannya.

9. Kekayaan negara/kekayaan daerah Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara;a. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran tugas

pemerintahan dan atau kepentingan umum;b. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan

pemerintah.

Page 29: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

22 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

E. ASAS-ASAS UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARAPeranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Sektor Publik menjadi semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah menjadi instrumen kebijakan multi fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama terlihat dari komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.

Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami banyak perkembangan. Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah- kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari asas tersebut adalah sebagai berikut:1) Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan yang

harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR);2) Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan

terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara;3) Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua

pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya;

4) Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggara kan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui.

Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.

5) Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.

6) Asas Profesionalitas mengharuskan pe nge lolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional.

Page 30: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

23PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

7) Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi kemen terian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.

8) Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen.

9) Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen. Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah.

Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di UU No 17 Tahun 2003, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

F. PERUMUSAN KEUANGAN NEGARAPendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengna pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung jawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

Page 31: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

24 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: 1. akuntabilitas berorientasi hasil,2. profesionalitas,3. proporsionalitas,4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara,pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

G. PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARASejak kemerdekaan dilontarkan para pendiri republik telah memikirkan kemerdekaan secara utuh. Bukan saja kemerdekaan dari segi fisik, politis, ekonomis, tetapi juga kemerdekaan dalam mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, mereka pun telah memikirkan bagaimana mengelola keuangan Negara yang merupakan darah kehidupan suatu Negara.

Beranjak dari pemikiran tersebut, pada tahun 1945 lahirlah Tim pertama di bawah Achmad Natanegara yang menggagas perlunya Undang-undang Keuangan Negara. Dari situlah lahir suatu keinginan untuk mengelola keuangan negara republik yang masih muda pada saat itu dalam kerangka suatu negara merdeka dengan kelengkapan kelembagaan politisnya, satu konsep undang-undang pun kemudian dilahirkan oleh suatu Tim di bawah pimpinan Herman pada tahun 1946. Namun sayang, konsep undang-undang tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk dibahas di lembaga legislatif, sudah belasan Tim berganti hingga akhir tahun 90-an ternyata tidak semua mampu menghasilkan konsep undang-undang, hal ini menunjukkan bahwa masalah keuangan Negara merupakan sesuatu yang sangat rumit. Bahkan dalam suatu periode sebelum lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, tercetus suatu ikrar antara pemerintah dan pihak tertentu (Badan Pemeriksa Keuangan), yaitu ‘bersepakat untuk tidak sepakat’ tentang definisi dan konsep keuangan Negara.

Sementara itu, acuan penyusunan Undang-undang keuangan Negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, mengatur masalah keuangan (Negara) dengan sangat idealis dan prinsipil dan hampir tidak memberikan ruang untuk berpikir secara teknis-operasional. Hal ini dapat diperhatikan makna yang terkandung dalam pasal 23 yang hanya menyatakan kewenangan lembaga legislatif dan interaksinya dengan pemerintah dalam penyusunan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kebutuhan terhadap aturan pengelolaan keuangan semakin hari terasa semakin mendesak. Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang digagas oleh pemerintahan kolonial pada tahun 1864 dan

Page 32: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

25PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

diundangkan pada 1925, peraturan ini pertama diawalai dengan Algemene Rekenkamer (ARK), yaitu Regeling van dewijze van beheer en verantwoording der geldmiddelen van Nederlandsch Indie. Peraturan ini ditandatangani oleh Raja Willem III pada 23 April 1864. Dikemudian hari, dengan berbagai perubahan, peraturan ini diundangkan kembali dengan lembaran negara atau Staatsblad 1925 No. 448, atau dikenal dengan nama Indische Comptabiliteitswet (ICW).

Raja Willem III wafat pada 23 November 1890. Calon penggantinya Wilhelmina. Hanya saja Wilhelmina ini belum dewasa. Sambil menunggu calon pengganti dewasa, roda kerajaan dipegang terlebih dahulu oleh istri dari Raja Willem III, Putri Emma. Putri Emma ini yang menjadi Wali kerajaan Belanda. Semasa menjadi Wali kerajaan, pada 15 Maret 1898, Putri Emma menandatangani peraturan perundang-undangan baru yang mendukung tugas aRk. Peraturan tersebut yaitu Instructie en verdure bepalingen voor de Algemene Rekenkamer in Nederlandsche Indie (IAR). Peraturan ini dimasukkan dalam staatsblad 1898 No. 164. Inilah yang kemudian dikenal sebagai IaR. IaR inilah yang menjadi undang-undangnya Algemene Rekenkamer. kalau saat ini sama seperti Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara ICW lebih dulu diterbitkan, merupakan peraturan mengenai penguasaan, pengurus an, dan pertanggungjawaban keuang an Hindia Belanda. Setelah Wilhelmina dewasa dan dinobatkan menjadi Ratu Belanda, emasanya, IAR ini kemudian disempurnakan lagi dengan peraturan yang dimasukkan dalam staatsblad 1933 No. 320. Selain itu, pada masa Wilhelmina diberlakukan pula peraturan Indische Bedrijvenwet yang tertuang di dalam staatsblad 1927 No. 419, peraturan ini dikenal dengan singkatan IBW.

Peraturan ini mengatur tentang perusahaan-per usah aan berbadan hukum. Akhirnya ARK dalam menjalankan tugasnya berpatokan pada ketiga peraturan tersebut yaitu ICW, IAR, dan IBW. Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, tugas Algemene Rekenkamer, secara umum, yaitu:1. Melakukan pengawasan atas pengurusan keuangan, baik pengeluaran maupun penerimaan

negara. 2. Melakukan toezicht atau pengawasan atas pengurusan barang negara, baik dalam gudang-

gudang negara maupun di tempat-tempat lainnya. 3. Melakukan pemeriksaan terhadap perhitungan anggaran dan perhitungan bendaharawan. Sementara, berdasarkan ketiga peraturan itu, secara umum, fungsi ARK, yaitu:1. Melakukan pemeriksaan terhadap pengurusan (penguasaan, penggunaan, pembukuan) dan

pertanggungjawaban keuangan negara. 2. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah. 3. Menetapkan tuntutan terhadap para bendaharawan yang salah, lalai atau alpa yang melanggar

ICW dan ketentuan lainnya.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, di masa awal BPK, ketiga peraturan ini pula yang digunakan untuk menjalankan tugasnya. Bahkan, ketiga peraturan produk kolonial Belanda tersebut digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama.

Lahirnya ICW memang bukan dirancang untuk mengelola keuangan Negara, melainkan untuk mengelola keuangan sebuah wilayah tanpa pemerintahan (Hindia Belanda) yang dikendalikan

Page 33: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

26 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

oleh negeri penjajah di Eropa. Wilayah tersebut pada saat itu menghadapi dua masalah besar. Pertama, masalah eksternal dalam hubungannya dengan masyarakat internasional dalam bidang perdagangan, yaitu dalam bentuk ketiadaan status hukum; kedua, masalah internal, yaitu maraknya kasus korupsi di tubuh pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Sementara di sisi teknis operasional, karena berbagai situasi dan kelembagaan pemerintah sudah tidak lagi sesuai dengan masa penjajahan, ICW sehari-hari digantikan oleh keputusan presiden yang mengatur bukan saja ketentuan tentang kebendaharaan, melainkan juga berbagai ketentuan yang dahulunya diatur oleh Regelen voor het Administratief Beheer (RAB), yang ditetapkan pada tahun 1933, yang mengatur aspek administratif pengelolaan keuangan yang mencakup kewenangan otorisasi dan kewenangan ordonansering.

ICW telah mengalami suatu ‘erosi’ substansi. Konsep pengelolaan keuangan Negara (baca: pelaksanaan anggaran Negara) di Indonesia menjadi rancu dan bias dilihat dari sudut teori. Berbagai pihak berusaha menyusun konsep terkait dengan masalah pengelolaan keuangan negara sesuai kebutuhan masing-masing. Pilar-pilar yang menyangga terselenggaranya good governance dalam pengelolaan keuangan Negara, antara lain prinsip pemisahan kewenangan, terabaikan. Kurangnya pemahaman berbagai pihak terhadap konsep dasar yang terkandung dalam ICW dan RAB justru melahirkan sikap bahwa pemikiran yang ada dalam ke dua ketentuan perundang-undangan tersebut merupakan suatu konsep berpikir yang harus ditinggalkan.

Sementara itu, terjadi kondisi paradoksal. Dalam kondisi yang hampir tidak memiliki nilai substantif, adalah suatu fakta hukum ICW tetap merupakan hukum positif dalam pengelolaan keuangan Negara di Indonesia. Oleh karena itu, ICW tetap dijadikan acuan formal dalam berbagai penyusunan ketentuan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan anggaran Negara di republik tercinta ini.

H. KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK (PUBLIC SERVICE OBLIGATION)Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Pemerintah mempunyai kewajiban, dimana kewajiban pelayanan publik (public service obligation) adalah kewajiban Pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tarif yang terjangkau, penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik tersebut harus memenuhi standar pelayanan minimum dan dilokasikan anggaran penyelenggaraannya dalam APBN.

Berkaitan dengan pelayanan masyarakat, dalam menyongsong era globalisasi, pemerintah harus mempersiapkan seluruh aparatnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan sopan santun dalam melayani masyarakat. Kemampuan aparat pelayanan dalam menghayati sopan santun ini merupakan syarat mutlak untuk menjaga citra instansinya. Oleh karena itu perlu dijaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang bisa menyinggung perasaan masyarakat yang dilayaninya.

Setiap orang menginginkan jasa pelayanan yang diterima dan yang dirasakan sesuai dengan harapannya. Secara umum masyarakat menginginkan pelayanan yang sama dari aparatur pemerintah, sebab warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum

Page 34: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

27PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Pelayanan yang bersahabat dan profesional sudah menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara pekerjaan administrasi negara (Waworuntu, 1997:18).

Sianipar (1998:4), mengatakan bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan atau mengurus keperluan seseorang atau kelompok orang. Melayani adalah meladeni/membantu mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan sampai penyampaian atau penyerahannya. Menurut Moenir (1998:26), pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.

Pelayanan umum adalah segala bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan (Anonim, 1993:21). Sedangkan Kottler (dalam Supranto, 2001:227) mengatakan bahwa jasa/pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak terwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berperan aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Yoeti (2000:9), mengemukakan bahwa pelayanan itu diberikan kepada dua macam pelanggan, yaitu internal customer (orang yang terlibat dalam proses produksi produk dan jasa yang kita hasilkan) dan external customer (mereka yang berada di luar organisasi yang menerima barang atau jasa dari pemberi pelayanan).

Dalam memberikan layanan sangat terkait kepada siapa yang kita berikan layanan tersebut, dalam hal ini adalah pelanggan. Menurut Wijono (2000:17), pelanggan adalah seorang yang terkena dampak produk atau proses, dimana pelanggan dapat dilihat dari dua aspek yaitu pelanggan internal adalah mereka yang terkena dampak produk dan anggota perusahaan yang disebut pelanggan tetapi bukan pembeli, tetapi bukan anggota dari perusahaan yang menghasilkan produk tersebut, dan pelanggan external meliputi para pembeli dan yang berkepentingan lainnya, dapat perusahaan lain, instansi pemerintah, masyarakat dan lain-lain.

Pelayanan pada hakekatnya berkaitan dengan perwujudan fungsi negara/pemerintahan untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi, membina serta mengarahkan setiap aspek kehidupan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang aman tertib, dinamis dan sejahtera dalam bernegara dan berbangsa (Trenggono, 1997:38). Dengan demikian pelayanan merupakan implementasi dari pada hak dan kewajiban antara negara/pemerintah dan masyarakat yang harus diwujudkan secara berimbang dalam penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparatur negara/pemerintahan.

Pelayanan dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur dasar, sebagai berikut:a. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui

secara pasti oleh masing-masing pihak.

Page 35: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

28 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

b. Mutu proses dari hasil pelayanan harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. (Menpan, 1993:4).

Untuk dapat melihat dan merasakan baik tidaknya layanan yang diberikan kepada pelanggan, maka sangat terkait penilaian atau perasaan pelanggan yang biasa disebut kepuasan pelanggan. Menurut Irawan (2002:2), kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapan, pelanggan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan. Disini terlihat bahwa kepuasan adalah respon permulaan dari konsumen, hasil penilaian dari konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkatan kenikmatan dimana tingkat pemenuhannya bisa lebih atau kurang.

Sedangkan menurut Gerson (2002:5), kepuasan pelanggan adalah sebuah produk/jasa memenuhi atau melampaui harapannya. Selanjutnya Kottler (dalam Supranto, 2001:230), mengemukakan bahwa kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi (kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya). Menurut Supriyanto dan Sugiyanti (2001:38), pelayanan sebagai upaya untuk membantu, menyediakan atau mengurus keperluan orang lain. Keperluan atau sesuatu yang disampaikan, disajikan atau dlakukan oleh pihak yang melayani kepada pihak yang dilayani dinamakan layanan. Layanan yang diberikan pelanggan dapat berupa:a. Barang-barang nyata (tangible), misalnya: buku, komputer, kendaraan, dan sebagainya. b. Barang-barang tak nyata (intangible) seperti informasi, misalnya: keterangan cuaca, daftar

menu makanan di restaurant, dan sebagainya. c. Jasa dalam bentuk keahlian atau ketrampilan untuk mengurus keperluan dari pihak yang

dilayani, misalnya: layanan yang diberikan seorang teknisi, dosen, pengemudi, konsultan, pelawak, penyiar radio, pengacara, notaris, dan lain-lain.

Pelanggan yakni pihak-pihak yang dilayani didalam kegiatan pelayanan dan menurut status keterlibatan dengan lembaga yang melayani, pelanggan dibedakan 2 golongan: Pelanggan eksternal yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi bukan warga organisasi. Pelanggan internal yaitu para karyawan atau unit-unit lain di dalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unitnya. (Supriyanto dan Sugiyanti, 2001:39)Sesuai SK Menpan Nomor 61 Tahun 1993 memuat pedoman dasar bagi tata laksana pelayanan umum oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat. Semua layanan umum diharapkan dapat mengandung unsur-unsur:a. Kesederhanaan: pelayanan umum harus mudah, cepat, lancar, tidak berbelit-belit, mudah

dipahami, dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan dan kepastian: dalam hal prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, unit dan

pejabat yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban petugas maupun pelanggan, dan pejabat yang menangani keluhan.

c. Keamanan: proses dan hasil pelayanan harus aman dan nyaman, serta memberikan kepastian hukum.

Page 36: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

29PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

d. Keterbukaan: segala sesuatu tentang proses pelayanan harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat, diminta atau tidak diminta.

e. Efisien:tidak perlu terjadi duplikasi persyaratan oleh beberapa pelayanan sekaligus. f. Ekonomis: biaya pelayanan ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan nilai

layanan, daya beli masyarakat, dan peraturan perundangan lainnya. g. Keadilan:pelayanan harus merata dalam hal jangkauan dan pemanfaatannya. h. Ketepatan waktu: tidak perlu berlama-lama.

Pelayanan publik adalah dapat diartikan melayani kepentingan masyarakat umum dalam sebuah negara. Pelayanan publik artinya memberikan pelayanan (melayani) keperluan masyarakata umum dalam sebuah negara (The Liang Gie 1997: 15). Menurut Moenir (2000: 26) pelayanan publik adalah seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu melalui kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Sedangkan Islamy (2002: 4) mengemukakan bahwa pemberian pelayanan harus berlandaskan pada beberapa prinsip pelayanan prima sebagai berikut di bawah ini meliputi:a. Appropriateness, setiap jenis, produk, dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus

relevan dan signifikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat;b. Accesibility, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan harus dapat di

akseskan sedekat dan sebanyak mungkin oleh pengguna pelayanan;c. Continuity, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah

harus secara terus-menerus tersedia bagi masyarakat pengguna jasa layanan;d. Tehnicality, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan perintah harus

ditangani oleh petugas yang benar-benar memiliki kecakapan teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan aturan, sistem, prosedur dan instrumen pelayanan yang baku;

e. Profittability, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus benar-benar dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial dan masyarakat;

f. Equitabily, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus tersedia dan dapat diakses dan diberikan secara adil dan merata kepada segenap anggota masyarakat tampa kecuali;

g. Transprancy, setiap, jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah dilakukan secara transparan sehingga masyarakat pegguna jasa layanan dapat menggunakan hak dan kewajiban atas pelayanan tersebut dengan baik dan benar;

h. Accountabiliy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus dilaksanankan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan biaya dan mamfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;

i. Effictiveness, and Efficienciy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan oleh pemerintah harus dilaksanakan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan biaya dan manfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;

I. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKLuasnya penerapan lingkup penerimaan bukan pajak pada saat ini di Indonesia serta pola penggunaannya yang tampaknya sangat bervariasi telah menimbulkan pertanyaan pada setiap

Page 37: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

30 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

orang tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan penerimaan negara bukan pajak. Mengapa penerimaan negara jenis itu diadakan? Dan bagaimana pengelolaannya?

Untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar dimaksud, tampaknya kita harus kembali mencermati pemikiran yang terkandung dalam teori Ilmu Keuangan Negara. Uraian yang disajikan di bawah ini akan difokuskan pada masalah penerimaan bukan pajak (PNBP), khususnya yang berasal dari pemberian fasilitas tertentu kepada kelompok tertentu. Untuk memudahkan pemahaman terhadap praktek yang ditrapkan dalam sistem pengelolaan keuangan negara di Indonesia, penyajian dilakukan melalui pendekatan konsepsional (conceptional approach) dan pendekatan praktis (practical aprroach) sebagai dasar acuan sebelum dilakukan analisis terhadap implementasinya di Indonesia.

J. PENDEKATAN KONSEPSIONAL KEUANGAN NEGARABila kita mengamati teori keuangan negara, akan terlihat beberapa pola klasifikasi, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan negara. Khusus di sisi penerimaan negara dapat dilihat antara lain pengklasifikasian dalam penerimaan negara dari sektor perpajakan dan dari sektor bukan perpajakan. Secara historis, klasifikasi penerimaan negara dimaksud merupakan klasifikasi yang paling awal ketika gagasan tentang pengelolaan keuangan negara mulai dikembangkan. Klasifikasi ini semula diilhami oleh perdebatan di dalam lembaga perwakilan rakyat tentang besaran kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat, dalam bentuk kewajiban perpajakan dan kewajiban lainnya yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu dalam rangka pelaksanaan pembiayaan kegiatan pemerintahan negara.

Sektor penerimaan negara yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu yang menjadi tanggungjawab pemerintah, menurut kepustakaan, semula dikenal dengan istilah revenue domanial, yaitu merupakan pendapatan negara yang pada hakekatnya bersumber dari semua milik negara, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan tertentu yang dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan penerimaan negara. Secara konkrit, penerimaan dimaksud berasal dari penjualan hasil kekayaan alam dan kekayaan yang menjadi milik negara. Disamping itu, penerimaan ini juga berasal dari hasil pemberian fasilitas atau ijin kepada kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu. Oleh karena itu, bila diperhatikan, penerimaan jenis ini terserak di berbagai kementrian tergantung pada tugas dan fungsi kementrian yang bersangkutan.

Dari segi gagasan, munculnya penerimaan negara bukan pajak jenis ini ditopang oleh tiga pertimbangan, yaitu: pertama, pertimbangan keadilan; kedua, pertimbangan bahwa dalam pemungutan tersebut terkandung hak dan kewajiban pemerintah yang terkait secara langsung; dan ketiga, pertimbangan bahwa pengeluaran yang dilakukan pemerintah merupakan fungsi dari penerimaannya.

1. Prinsip keadilanPenyediaan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, yang dikenal dengan istilah public goods, pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah yang harus disediakan secara cuma-cuma (free of charge). Layanan dasar tersebut, menurut berbagai

Page 38: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

31PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

kepustakaan, berupa keamanan dan ketertiban, kesehatan, pendidikan, keadilan, dan semua layanan yang tergabung dalam kelompok pekerjaan umum pemerintah.

Kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan darimana pendanaan untuk pembiayaan penyediaan layanan tersebut dapat diperoleh. Respon yang kemudian lahir adalah diciptakannya berbagai pungutan pemerintah yang bersifat memaksa dan tanpa diberikan imbalan, yang selanjutnya kita kenal dengan pungutan pajak. Pungutan yang bersifat memaksa tersebut dirasakan wajar. Hal ini mengingat public goods memiliki ciri utama yang berupa non excludability, yang artinya tidak seorangpun dapat dikecualikan untuk menikmati layanan tersebut. Oleh sebab itulah pungutan pajak itupun secara prinsip bersifat non excludable, artinya tidak seorang pun dapat dikecualikan dari pungutan pajak.

Disamping layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, terdapat pula layanan semi dasar yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sebagaimana halnya layanan dasar, penyediaan layanan semi dasar ini pun pada hakekatnya merupakan kewajiban pemerintah. Hanya karena sifatnya yang agak eksklusif, sehingga tidak semua masyarakat membutuhkannya, secara teori, dipandang tidak adil bila layanan semi dasar ini harus dibiayai melalui penerimaan perpajakan yang ditanggung oleh seluruh masyarakat.

Atas dasar pemikiran di atas, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui pola cost sharing. Artinya, masyarakat pengguna layanan semi dasar pemerintah tersebut diwajibkan membiayai sebagian dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan dimaksud.

Dalam beberapa jenis layanan tertentu yang sifatnya lebih eksklusif, masyarakat diwajibkan membayar sebagian besar biaya layanan diterimanya. Dalam hal yang demikian, pungutan terhadap masyarakat atas layanan tersebut bukan hanya untuk membiayai proses produksi jasa dalam penyediaan layanan itu sendiri, tetapi juga merupakan penerimaan Negara dalam arti sebenarnya yang dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dikenal sebagai administrative tax. Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah bahwa penerimaan dimaksud tetap merupakan earmarked revenue, yaitu sejenis penerimaan yang dikaitkan dengan suatu pengeluaran tertentu.

2. Mengandung hak dan kewajiban NegaraBila dicermati konsep pemikiran tersebut di atas, kendati tidak harus menanggung pembiayaan secara keseluruhan, pada hakekatnya, kewajiban menjamin tersedianya layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut ada di tangan Pemerintah. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan peran pemerintah sebagai otoritas. Oleh karena itu, dengan mengacu pada prinsip cost sharing dalam penyediaan layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut hak Pemerintah untuk memungut penerimaan dari masyarakat tersebut, di satu sisi, diikuti oleh kewajiban, di sisi lainnya. Kewajiban dimaksud dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu kewajiban substantif dan kewajiban teknis atau kewajiban operasional.

Kewajiban substantif adalah kewajiban pemerintah terkait dengan kompetensinya selaku pemegang otoritas dalam pemerintahan. Kewajiban ini melekat pada pemerintah dan tidak

Page 39: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

32 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dapat didelegasikan kepada siapa pun. Secara konkrit, kewajiban substantif ini dilaksanakan oleh kementrian/ lembaga beserta jajarannya dalam bentuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Sementara itu, kewajiban teknis merupakan kewajiban pemerintah untuk mendukung terwujudnya layanan yang dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tersebut. Kewajiban ini dapat berupa kegiatan, penyediaan sarana maupun prasarana yang memungkinkan proses penyediaan layanan pemerintah dimaksud menjadi lebih mudah. Kewajiban ini, karena sifatnya merupakan pemberian dukungan (supportive activity), dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri atau dilakukan oleh pihak-pihak lain, sepanjang pemerintah, karena alasan tertentu, misalnya: ketersediaan alokasi anggaran, teknologi, ataupun alasan efisiensi, belum dapat melaksanakan sendiri. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa produk yang mendukung jasa layanan pemerintah tersebut harus sesuai dengan standard, norma, maupun kebutuhan pemerintah dalam pemberian layanan, dan juga yang lebih penting harus mampu mendukung peningkatan kualitas layanan itu sendiri.

3. Pengeluaran merupakan fungsi penerimaanSebagai earmarked revenue penerimaan negara ini memiliki ciri khusus dibandingkan dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Terkaitnya penerimaan jenis ini dengan pengeluarannya membawa konsekuensi bahwa setiap terjadi peningkatan dalam penerimaan akan sekaligus mempengaruhi besaran pengeluaran yang bersangkutan. Hal ini tentunya dapat dipahami, karena semakin tinggi penerimaan menunjukkan telah terjadi peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan tertentu dimaksud. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pemerintah harus menambah produksi layanan yang dibutuhkan. Dan konsekuensinya, kebutuhan anggaran untuk kegiatan tersebut secara otomatis akan meningkat.

Hal ini berbeda dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Meningkatnya penerimaan negara dari sektor perpajakan belum pasti disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan pemerintah yang dibiayai dari sektor ini, karena penerimaan dari sektor perpajakan tidak dikaitkan secara langsung dengan pengeluaran tertentu. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan di sektor perpajakan mungkin saja akan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada umumnya, atau kemungkinan akan meningkatkan saldo lebih pada akhir tahun anggaran.

K. PENDEKATAN PRAKTISPenerapan konsep tersebut di atas dalam pelaksanaan dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu aspek yuridis-administratif dan aspek implementatif.

1. Aspek yuridis-administratif Seperti pula halnya semua penerimaan dan pengeluaran negara pada umumnya, penerimaan negara bukan pajak dan juga pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan tersebut, pada prinsipnya, harus dicatat secara teratur dalam tata pembukuan pemerintah yang dilakukan di masing-masing kementrian. Disamping itu, penerimaan ini pun harus tunduk pada aturan baku tentang pengelolaan Keuangan Negara.

Page 40: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

33PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Oleh karena itu, walaupun penerimaan negara bukan pajak dikecualikan dari prinsip non-affectation, sesuai dengan sifat penerimaan dan pengeluarannya, berbagai prinsip utama dalam pengelolaan keuangan negara seperti prinsip-prinsip periodisitas, spesialitas, universalitas, dan prinsip pencatatan secara bruto harus tetap dipertahankan.

Dengan mengacu pada prinsip-prinsip di atas, penerimaan negara bukan pajak wajib disetorkan ke Kas Negara tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang diterima, dan hanya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah ditentukan dalam periode tahun anggaran yang sama.

2. Aspek implementatifBeberapa kritik yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak ini antara lain adalah bahwa penggunaan dana yang diterima dari masyarakat pengguna layanan tertentu tersebut sering terkendala aturan birokratis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kualitas layanan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Rendahnya kualitas layanan pemerintah tersebut bukan saja diwujudkan dalam norma waktu yang relatif lama, tetapi juga dalam kualitas layanan dalam arti yang sebenarnya.

Hal yang demikian dapat dipahami, mengingat penggunaan penerimaan negara bukan pajak tetap terikat pada sistem dan prosedur umum yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara. Ketentuan yang mengharuskan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara tercatat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan baru dapat dipergunakan setelah diotorisasikan oleh lembaga legislatif membuat penerimaan maupun pengeluaran jenis ini tidak memiliki perbedaan maupun fleksibilitas sebagaimana diharapkan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan prosedur pengeluaran negara yang seringkali cukup berbelit.

3. Harga Pelayanan Publik yang Dibebankan MasyarakatJika pemerintah membebankan biaya pelayanan pada masyarakat, maka pemerintah dituntut menentukan harga pelayanan publik yang tepat. Aturan yang biasa dipakai adalah beban (charge) dihitung sebesar total biaya untuk menyediakan pelayanan tersebut (full cost recovery). Dalam menghitung besarnya biaya total terdapat beberapa kesulitan seperti:a. Sulitnya menentukan biaya total (full cost) dalam menyediakan suatu pelayananb. Sulitnya menentukan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsic. Pembebanan tidak memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayard. Menentukan biaya apa saja yang patut untuk diperhitungkan sebagai total biaya

Ahli ekonomi biasanya menyarankan untuk menggunakan marginal cost pricing, yaitu tarif yang dipungut sama dengan biaya untuk melayani konsumen. Marginal cost pricing mengacu pada harga pasar yang seimbang (ceteris paribus) sehingga lebieh efisien dan meningkatkan output sampai titik dimana marginal cost sama dengan harga jual.

Dalam praktiknya, penerapan pembebanan dengan marginal cost pricing harus memperhatikan hal-hal seperti:

Page 41: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

34 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

– Biaya operasional variable (variable operating cost)– Biaya modal atas aktiva yang digunakan untuk memberi pelayanan (semi variable overhead

cost)– Biaya penggantian atas asset modal yang digunakan dalam penyediaan pelayanan– Biaya penambahan asset modal yang digunakan untuk penyediaan pelayanan Pembebanan biaya untuk penyediaan pelayanan publik memiliki kesulitan dalam menetapkan

tariff. Pemerintah di tuntut untuk tepat dan efektif dalam menentukan tarif. Penetapan harga didasari pada penyediaan barang dan jasa yang akan diberi, tetapi sangat sulit untuk menentukan harga yang tepat. Maka dari itu harus ada perhitungan yang tepat dalam menentukan harga tersebut, bisa melalui biaya produksi, biaya overhead, atau biaya tenaga kerja langsung.

Meskipun sangat sulit mengukur jumlah tarif pelayanan yang dikonsumsi masyarakat namun pada prinsipnya pembebanan harus merefleksikan biaya total (fullcost) untuk menyediakan pelayanan tersebut. Sehingga tidak terlihat tindak ketidak adilan dalam pembebanan tarif pelayanan pada masyarakat.

Dalam pembebanan penetapan harga pelayanan publik tidak memperhitungkan mampu atau tidaknya masyarakat membayar barang atau jasa dari pelayanan tersebut. Sehingga masyarakat yang kurang mampu, tidak bisa menggunakan pelayanan tersebut. Oleh karena itu pemerintah seharusnya memberikan subsidi sehingga masyarakat yang kurang mampu juga bisa merasakan pelayanan tersebut dalam pemenuhan kebutuhannya. 4. Penentuan Harga dan Pasar yang Kompetitif untuk Barang dan Jasa Sektor PublikPasaran bagi barang dan jasa sektor publik tercipta lewat aturan maupun mekanisme yang diatur Negara, sehingga pelayanan publick tidak beroperasi sebagaimana layaknya barang dan jasa dipasar umum. Dalam pasar umum, struktur dan operasinya ditentukan oleh teknologi dan tingkat inovasi, pengetahuan dan pengembangan intelektual, serta penjual dan konsumen dapat leluasa untuk masuk dan keluar dari pasar. Dalam situasi seperti itu harga merupakan instrument memaksimalkan keuntungan. Sementara harga barang dan jasa dalam pelayanan sektor publik bukan untuk mencapai hal yang sama.

Pemerintah tidak bisa berasumsi bahwa penentuan harga untuk pelayanan barang dan jasa sektor publik akan menciptakan suatu pasar yang kompetitif atas aktivitasnya. Hanya dalam situasi tertentu harga barang dan jasa pelayanan sektor publik mencerminkan permintaan yang ada, dikarenakan harga yang dibayar konsumen tidak melebihi seluruh biaya untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut.

5. Pentingnya Kebijakan Netralitas Kompetisi yang SehatPenggunaan mekanisme kerjasama maupun kontrak pekerjaan pelayanan kepada pihak swasta yang selama ini dilakukan sendiri oleh pemerintah, dalam suatu pelelangan yang kompetitif-pemerintah mendorong pihak swasta untuk ikut serta dalam tender-tender pekerjaan sektor publik . Dengan cara pelelangan seperti ini pemerintah mengharapkan agen-agen sektor publik , seperti badan-badan usaha public misalnya BUMN berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan swasta agar tercapai penghematan biaya dan perbaikan dalam memberikan pelayanan.

Page 42: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

35PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Agar pihak swasta juga berkompetensi secara sederajat berdasarkan basis yang sama, setiap keunggulan sektor pemerintah atas swasta perlu dinetralisasi berdasarkan kebijakan netralitas dalam berkompetisi yang dijamin oleh Negara. Menurut Robinson, ada dua alasan penting mengapa kebijakan netralitas berkompetisi itu penting ;a. Tidak adil untuk mengharapkan perusahaan–perusahaan swasta berkom petisi dengan

badan-badan pemerintah yang secara artificial menikmati keuntungan kompetitif. b. Suatu keuntungan kompetitif entitas bisnis yang dimiliki pemerintah akibat adanya subsidi

silang pasti bertentangan dengan penyediaan pelayanan oleh sector swasta yang lebih kompetitif. Jika suatu perusahaan milik pemerintah menawarkan biaya yang lebih murah dalam penyediaan pelayanan tertentu-pemerintah harus memerhatikan apakah kompetisi biaya yang ditawarkan lebih rendah itu akibat subsidi atau tidak.

Tujuan kebijakan netralitas adalah untuk menjamin sumber-sumber ekonomi langka yang dapat dipakai sehingga dapat menghasilkan efek penggunaan terbaik. Oleh karena itu, kebijakan kompetisi nasional bukan merupakan akhir, melainkan cara yang merupakan patokan dan harus dipatuhi untuk mencapai tujuan akhir melalui penyediaan pelayanan yang optimal secara efektif dan efisien.

6. Argumen terhadap Pembebanan Tarif PelayananDalam praktiknya, terdapat argument-argument yang menentang pembebanan tarif pelayanan, disini kami mencatat ada 3 argument yang paling sering dikeluhkan oleh sebagian masyarakat, seperti:a. Kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan Tarif Pelayanan mensyaratkan adanya pencatatan dan penghitungan handal (misal:

meteran air). Hal tersebut membuat adanya penambahan dalam penyediaan pelayanan. padahal sesungguhnya penghitungan ini lebih mudah dari penghitungan pajak penghasilan karena hasilnya telah diketahui dengan meteran

b. Yang miskin tidak mampu membayar pelayanan Kesenjangan ekonomi dan pendapatan lebar menyebabkan orang miskin tidak mampu

membayar pelayanan dasar yang utama seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi umum bahkan makanan sehat.

c. Adanya eksternalitas, merit good, dan persyaratan legal. Eksternalitas positif (spillover effects) misalnya tarif pelayanan yang terlalu tinggi

membuat masyarakat tidak terdorong untuk menggunakannya (misal:imunisasi). Barang yang dianggap merit good diisyaratkan untuk diberi secara gratis contohnya pendidikan. sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan peme rintah untuk menyediakan pelayanan tertentu misalnya wajib blajar 9 tahun. Itu termasuk persyaratan yang legal sesuai peraturan pemerintah yaitu bebas biaya sekolah selama wajib belajar 9 tahun sampai pada tingkat SMP.

Pembebanan tarif pelayanan memang memiliki banyak kontroversi, dipihak masyarakat golongan menengah kebawah merata tarif yang di bebankan terasa berat. Dan ingin pelayanan itu dibebankan pada simpanan negara, sedangkan dari pemerintah bila biaya pelayanan publik sepenuhnya dibebankan pada simpanan Negara, bila Negara tersebut termasuk Negara berkembang maka akan terjadi deficit keuangan Negara.

Page 43: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

36 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Cara yang telah dilakukan Negara dengan subsidi telah membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehingga dapat dirasakan masyarakat golongan menengah ke bawah walaupun tidak sepenuhnya bisa dirasakan oleh masyarakat golongan menengah kebawah.

7. Prinsip dan Praktik PembebananSebagian barang dan jasa yang disediakan pemerintah lebih sesuai dibiayai secara pembebanan tarif. Semakin dekat hubungan suatu pelayanan publik dengan barang privat, maka lebih tepat bila barang tersebut dikenakan tarif. Tetapi terkadang penentuan barang tersebut termasuk jenis privat atau publik.

Kegagalan dalam menentukan biaya akan membuat masyarakat menjadi bingung dalam memilih barang publik yang ingin digunakan. Sedangkan Dalam praktiknya permasalahan administrasi dan pertimbangan social politik lebih diutamakan daripada ke-efisiensi ekonomi, namun perlu diwaspadai bahwa kesalahan dalam menetapkan tarif pelayanan publik merupakan penyebab utama deficit anggaran di Negara berkembang. (Devas, 1989)

Sebagian barang dan jasa ada yang dibebankan langsung pada konsumen dan ada juga yang disediakan oleh pemerintah. Bila barang tersebut termasuk barang privat maka pengenaan tarif pada konsumen dinilai tepat guna, sedangkan bila barang yang digunakan termasuk barang publik maka pengenaan tarif pada konsumen dinilai kurang tepat. Maka dari itu barang yang akan digunakan harusnya diklasifikasikan terlebih dahulu apakah termasuk barang privat atau barang publik.

Penerapan harga pada suatu barang dan jasa yang termasuk pelayanan publik diharuskan menerapkan ke-”efisiensi ekonomi” sehingga dapat menentukan harga yang tepat dalam penyaluran barang dan jasa kepada masyarakat, sehingga pemerintah dapat menentukan harga dan tidak menebabkan deficit simpanan Negara.

Tetapi dalam praktiknya terdapat penyimpangan. Pelayanan yang gratis seringkali mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. Maka dari itu, pemerintah dapat mingkatkan pelayanan dengan meningkatkan juga kesejahteraan para pegawai.

8. Kegunaan Pembebanan dalam PraktikPraktik pembebanan pelayanan publik berbeda-beda di tiap Negara dan pembebanan itu sebagai penerimaan negara, salah satu penerimaan negara adalah charging for service. Penerimaan-penerimaan Negara berasal dari: Pajak, Pembebanan langsung pada masyarakat (charging for service), Laba BUMN/BUMD, Penjualan asset milik pemerintah, Utang, dan Pembiayaan deficit anggaran (mencetak uang).

Pembebanan membantu pemerintah dalam menentukan berapa besarnya anggaran yang dikeluarkan Negara sebagai subsidi dari simpanan pemerintah yang berasal dari penerimaan-penerimaan diatas. Pada umumnya hal-hal yang bersifat publik seperti pertahanan, kesehatan publik, dan jasa kepolisian dibiayai oleh pajak.

Page 44: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

37PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Sedangkan hal-hal yang bersifat privat (individual) seperti listrik, biaya telepon, air, transportasi umum ditarik tarif sebesar harga total pemulihan biaya (full cost recovery prices). Lalu untuk barang yang bersifat campuran (merit good) seperti pendidikan menengah atas, penyembuhan kesehatan, penjagaan kesehatan (sanitasi) disediakan sebagian melalui pajak dan sebagian lagi melalui tarif.

Pembebanan dalam pelayanan publik memang membuat beberapa golongan masyarakat merasa terbebani akan pembebanan tersebut. Padahal pembebanan terhadap pelayanan tersebut membantu pemerintah dalam menambah pendapatan Negara sehingga bila dikelola dengan baik dan benar maka dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri.

Hanya saja perlu dilakukan managerial yang baik sehingga penerapan pembebanan tepat guna atau tidak salah dalam meletakkan tingkat harga seperti pengelompokan barang dan jasa yang termasuk barang privat, barang publik, atau barang merit good. Bila pemerintah dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan dapat melakukan efisiensi ekonomi yang tepat maka dapat mengurangi pengeluaran dan meningkatkan pelayanan publik serta tidak menutup kemungkinan dapat mengurangi pembebanan masyarakat terhadap pembebanan tarif.

9. Pelayanan Publik yang dapat dijualDalam memberikan pelayanan publik, pemerintah dapat dibenarkan menarik tarif untuk pelayanan tertentu baik secara langsung maupun tidak melalui perusahaan milik pemerintah. Beberapa Pelayanan Publik yang dapat dibebankan tarif pelayanan misalnya: Penyediaan air bersih, Transportasi publik, Jasa pos dan telekomunikasi, Energi dan listrik, Perumahan rakyat, Fasilitas rekreasi (pariwisata), Pendidikan, Jalan tol, Irigasi, Jasa pemadam kebakaran, Pelayanan kesehatan, Pengolahan sampah dan limbah, Pelayanan Listrik (PLN), dan lain-lainPembebanan tarif pelayanan public kepada konsumen dapat dibenarkan karena beberapa alasan, yaitu:a. Adanya Barang Privat vs Barang Publik Terdapat 3 jenis barang yang menjadi kebutuhan masayarakat, yaitu:1) Barang privat adalah barang kebutuhan masayarakat yang manfaat barang atau jasa hanya

dinikmati secara individual oleh yang membelinya, sedangkan yang tidak mengkonsumsinya tidak dapat menikmati barang atau jasa tersebut. Contohnya;makanan listrik, telepon, dll.

2) Barang publik adalah barang-barang kebutuhan masyarakat yang manfaat barang dan atau jasa trersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat secara bersama sama. Contohnya: pertahanan nasional, pengen dalian penyakit, jasa polisi, dan sebagainya.

3) Campuran antara barang privat dan barang publik: Dalam praktiknya, terdapat beberapa barang dan jasa yang merupakan campuran antara barang privat dan publik. Karena, meski dikonsumsi secara individual, seringkali masyarakat secara umum juga membutuhkan barang atau jas tersebut. Contohnya adalah pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi publik, dan persediaan air bersih.

Barang-barang tersebut sering disebut juga merit good yaitu barang yang semua orang membutuhkannya tetapi tidak semua orang dapat menikmati barang dan jasa tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut peme rin tah biasanya menyediakannya secara lang sung (direct public provision), memberi subsidi, atau mengontrakkannya pada pihak swasta.

Page 45: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

38 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Contohnya pendidikan, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan, bisa disubsidi dengan bantuan BOS sampai pada tingkat Sekolah menengah pertama, atau bisa juga sektor swasta dapat terlibat dalam penyediaan pelayanan pendidikan tersebut. Jika manfaat dirasakan secara perorangan, seperti listrik, telpon, dan air bersih, maka untuk memperoleh barang-barang tersebut masyarakat biasanya dibebani dengan tarif tertentu, sehingga pemerintah dapat menarik sejumlah tarif untuk penyediaan barang dan jasa tersebut. Sedangkan jika barang yang dibutuhkan tersebut dirasakan secara umum yang tidak bisa dihilangkan dan pasti ada seperti pertahanan dan pengendalian kesehatan, maka pendanaan tersebut lebih tepat bila didanai oleh Pajak. Dalam penyediaan pelayanan publik, hal-hal yang perlu diperhatikan seperti:1) Indentifikasi barang dan atau jasa (termasuk privat atau publik). 2) Sektor yang lebih berkompeten dalam penyediaan pelayanan publik. 3) Bisa atau tidaknya pelayanan publik tersebut diserahkan pada sektor publik atau sektor ketiga4) Mengidentifikasi pelayan publik apa saja yang dapat ditangani oleh pihak swasta

10. Efisiensi EkonomiKetika individu bebas menentukan berapa banyak barang/jasa yang mereka konsumsi, mekanisme harga membantu mengalokasikan sumber daya melalui:a. Pendistribusian permintaan:siapa yang mendapat manfaat lebih banyak maka dia akan

membayar lebih banyak. b. Pemberian insentif untuk menghindari pemborosanc. Pemberian insentif pada supplier berkaitan dengan skala produksid. Penyediaan sumber daya pada supplier untuk mempertahankan dan meningkatkan persediaan

jasa (suplly of sevice)

Tanpa adanya suatu mekanisme harga, permintaan dan penawaran tidak mungkin menuju titik keseimbangan sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Akan tetapi, dalam kenyataannya pasar sering kali tidak sempurna. Dalam banyak hal pemerintah mungkin menjadi supplier namun tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk memaksimalkan keuntungan, seperti penyediaan air dan obat-obatan.

Dalam kondisi tertentu ketika barang dan jasa bersifat public goods (eksternalitas positif) pemerintah lebih baik menetapkan harganya dibawah harga normal (full price) atau bahkan tidak dipungut biaya. Pemerintah juga dihadapkan pada masalah pendistribusian pen dapatan yang tidak seimbang, artinya golong an kaya mampu membayar lebih di banding yang miskin sehingga mendapat pela yanan yan lebih baik dari yang kurang mampu.

Pembebanan tarif pelayanan akan mendorong efisiensi ekonomi karena setiap orang akan dihadapkan pada masalah pilihan karena kelangkaan sumber daya Jadi jika diberlakukan tarif, maka setiap orang dipaksa berfikir ekonomis dan tidak boros.

11. Prinsip KeuntunganPembebanan tarif pada dasarnya menguntungkan juga pemerintah karena dapat digunakan sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah. Tetapi pemerintah tidak diijinkan untuk

Page 46: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

39PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

menarik terlalu banyak, bahkan harus dibawah harga full cost, memberi subsidi, atau memberi secara gratis.

Charging for service berbeda dengan fee. Fee adalah biaya atas perijinan atau lisensi yang memberikan pemerintah. Biaya perijinan/lisensi relatip kecil yang meliputi biaya administrasi dan pengawasan serta pembiayaannya didasari pada kategori perijinan yang diajukan dan ada tidaknya keuntungan financial yang diperoleh pemegang ijin (lisensi).

Pelayanan publik dapat di jual memiliki 3 jenis barang yaitu barang privat, barang publick dan campuran (merit good). Barang privat dikenakan tarif, barang publik tidak dikenakan tarif karena pembayarannya berasal dari pajak, sedangkan merit good tidak dibebankan secara langsung kepada konsumen tetapi terdapat subsidi dari pemerintah.

Dalam menentukan tarif merit good yang berasal dari bantuan pemerintah, biasanya pemerintah membagi sepertiga ataupun setengah dari biaya pelayanan public seperti pendidikan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Cara ini memang baik dan membantu, tetapi memiliki kelemahan dalam kinerjanya karena masih seringnya pengaduan dalam penyelewengan dana BOS. Tapi permasalahan yang lebih besar adalah pelayanan publik merit good tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat golongan bawah.

Cara yang terbaik dalam penarikan biaya adalah dengan pendataan dengan akurat pada masyarakat sehingga dapat ditentukan apakah konsumen bisa dikenakan tarif atau tidak.

Kebebasan setiap individu untuk menentukan konsumsi barang dan jasa membuat penentuan harga dapat memberikan batasan dalam menentukan banyaknya barang dan jasa yang digunakan. Efisiensi Ekonomi memberi mekanisme penditribusian yang tepat dan merupakan cara yang baik untuk mengurangi tingkat konsumenisme karena tiap individu dihadapkan dengan masalah berupa kelangkaan sumber daya membuat individu untuk lebih ekonomis dan tidak boros.

Pembebanan dalam pelayanan public memang ada juga menguntungkan pemerintah. Pembebanan tarif ini juga bisa menambah pendapatan Negara, tetapi baiknya penetapan harga pelayanan publik tidak didasari pada keuntungan semata, tetapi lebih mengutamakan pelayanan publik daripada keuntungan pemerintah itu sendiri.

L. TEKNIK DASAR PENILAIAN INVENTASI PUBLIKTerdapat empat langkah utama untuk mengevaluasi suatu proyek investai, yaitu:1. Identifikasi kebutuhan investasi yang mungkin dilakukan Organisasi sektor publik seringkali dihadapkan pada banyak alternatif inves tasi untuk

mencapai tujuan orga nisasinya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut. Keterkaitan antara satu proyek dengan proyek yang lain perlu dipertimbangkan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan atau penolakan suatu investasi akan dipengaruhi investasi yang lain.

Page 47: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

40 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan (cost/benefit relationship).

Perhitungan manfaat dan biaya harus pula memasukkan analisis manfaat dan biaya sosial yang di timbulkan dari investasi publik yang akan dilakukan. Pada organisasi sektor publik biaya dan manfaat seringkali tidaj dapat secara langsung diukur dengan satuan uang, sehingga teknik-teknik analisis biaya manfaat sangat cocok untuk diterapkan. Dalam analisis biaya-manfaat ini, benefit (manfaat) ditekankan pada semua keunggulan ekonomi dan sosial yang diperoleh, sedangkan untuk cost (biaya) ditekankan pada kelemahan-kelemahan proyek yang dikuantifikasikan dalam bentuk uang.

3. Menghitung manfaat dan biaya dalam rupiah Langkah kedua adalah menghitung manfaat dan biaya investasi dalam rupiah. Terkadang

terdapat kesulitan da lam langkah kedua ini. Kesulitan yang dihadapi adalah apabila biaya dan manfaat dari suatu proyek tidak dapat diukur dalam bentuk rupiah, misalnya manfaat dan biaya sosial. Dalam kondisi tersebut, yang dapat dilakukan adalah menghitung nilai manfaat dari proyek secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan analisis efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis).

4. Memilih proyek yang memiliki manfaat terbesar dan efektivitas biaya yang tinggi Rasio biaya dan manfaat atau efektivitas biaya merupakan titik awal penentuan penerimaan

proyek, ada banyak ketidak pas tian yang dapat mempengaruhi per hitungan. Tidak smua biaya dan manfaat sosial dapat dimasukkan dalam perhitungan.

a. Net present benefit (NPB) NPB merupakan nilai bersih suatu proyek setelah dikurangi seluruh biaya pada satu tahun

tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku.

NPB= Mо-Cо + M-C + M2 + M3 + Mn-Cn (1+t) (1+t)² (1+t)³ (1+t)ⁿ NPB= nilai bersih, yaitu manfaat dikurangi dengan biaya pada tahun ke-n i = tingkat bunga n = 1,……50th. (umur proyek) M = manfaat C = biaya Catatan: proyek yang dipilih adalah jenis proyek yang memiliki nilai NPB tertinggi.

b. Analisis Payback Period APP digunakan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian investasi. payback period=investasi awal keuntungan tahunan Kelemahan payback period, yaitu:

1) Metode ini mengabaikan penerimaan-menerimaan investasi atau proceeds yang diperoleh setelah payback period tercapai.

2) Metode payback period mengabaikan nilai waktu uang. 3) Metode payback period tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan investasi

yang bersifat mutually exclusive.

Page 48: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

41PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

c. Anlisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis) CBA merupakan cara mengevaluasi suatu proyek dengan membandingkan nilai sekarang

(present value) dari seluruh manfaat/keuntungan yang diperoleh dengan nilai sekarang dari seluruh biaya proyek tersebut. Proyek yang diterima adalah proyek yang memiliki keuntungan sosial yang didiskontokan yang lebih besar dari nilai biaya sosial yang didiskontokan .

M= Mо + M1 + M2 + … + Mn (1-i) (1-i)² (1-i)ⁿ

Menurut dixon, terdapat 3 langkah dalam melakukan analisis biaya-manfaat, diantaranya yaitu:1) memutuskan biaya dan manfaat apa saja yang akan dimasukkan. Hal ini dimaksudkan untuk meng hin dari kemungkinan terjadinya double counting, yaitu

satu manfaat atau biaya yang menyebabkan manfaat atau biaya yang lain dimasukkan secara bersama-sama. Misalnya, jika dengan teknik pencegahan kebakaran tertentu dapat menyebabkan pengurang an staf yang dibutuhkan tetapi dinas pemadam kebakaran memutuskan untuk menggunakan penghematan waktu tersebut untuk pelatihan staf tambahan, maka dalam analisis biaya-manfaat tidak dapat menhitung kedua-duanya sebagai manfaat.

2) mengukur dan mengevaluasi biaya dan manfaat. Manfaat dan biaya yang berwujud lebih mudah untuk dihitung, akan tetapi yang bersifat

tidak berwujud relatif sulit untuk dihitung. Masih dengan menggunakan contoh dinas pemadam kebakaran diatas, cost of time yang dihabiskan oleh petugas pemadam kebakaran dan penyediaan alarm kebakaran merupakan bentuk biaya yang sifatnya berwujud. Namun demikian, jika teknik pemadaman dinilai misalnya dengan jumlah orang yang terselamatkan dari kebakaran, bagaimanakah kita menilai intangible benefit tersebut secara kuantitatif? Biasanya untuk mengukurnya digunakan harga bayangan, misalnya biaya nasional untuk merawat sejumlah x orang yang menjadi korban kebakaran dan kehilangan pendapatan dan harta benda karena peristiwa tersebut.

3) timing dalam aliran biaya dan manfaat. Tahap ketiga terkait dengan masalah waktu pengakuan biaya atau manfaat yang terjadi.

Biasanya nilai yang tertinggi dimasukkan dalam biaya atau manfaat yang terjadi lebih awal. Untuk menyesuaikan nilai biaya dan manfaat yang berbeda karena waktu, maka digunakan tingkat diskonto (discount rate).

d. Analisis efektivitas biaya (cost-effectiviness analysis) Dilakukan karena kesulitan dalam meng hitung biaya dan manfaat sosial secara kuantitatif.

Analisis cost-effectiveness meliputi penilaian terhadap biaya dan manfaat yang dapat dikuantifikasi, baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang atas suatu proyek dengan pengaruh atau dampak yang tidak dapat dikuatifikasikan, namun tidak dinilai. Dengan kata lain, analisa cost-efectiveness memusatkan pada pengukuran suatu yang dapat diukur.

Page 49: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

42 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Langkah-langkah dalam melakukan analisis efektivitas biaya adalah sebagai berikut:1) menentukan jumlah dan waktu atas semua biaya modal. Hal tersebut meliputi pula

penentuan biaya bangunan, peralatan, dan tanah. Hal ini penting karena sumber daya yang diperlukan oleh sebuah proyek harus dinilai pada opportunity cost penuhnya. Dengan demikian, jika organisasi menggunakan tanahnya sendiri yang mana sebuah bangunan akan didirikan di atasnya, maka biaya yang dipakai harus dinilai berdasarkan harga pasar pada saat itu (current market value).

2) membuat estimasi biaya yang akan terjadi (running cost) selama umur yang diharapkan dari suatu proyek.

3) membuat estimasi output terukur selama umur yang diharapkan dari suatu proyek. 4) membuat estimasi pengaruh biaya dan pendapatan atas aktivitas yang dilakukan. 5) mendiskontokan biaya dan man faat yang dapat diukur untuk me mung kinkan melakukan

perban ding an. Pro se dur yang bisa dipakai adalah meng hitung nilai sekarang (present value) tetapi proyek-proyek yang memiliki umur yang berbeda mungkin lebih tepat dibandingkan dengan menggunakan biaya tahunan ekuivalen (equivalent annual cost).

6) menjelaskan secara realistis mengenai kemungkinan adanya biaya-biaya dan manfaat yang tidak dapat dikuantifikasi yang akan muncul dari proyek yang akan dijalankan.

Dalam praktiknya, terdapat beberapa kesulitan dalam melakukan analisis efektivitas biaya. Kesulitan tersebut terjadi pada waktu membuat estimasi atau perkiraan mengenai waktu dan besarnya jumlah biaya dan manfaat dimasa datang. Kesulitan juga dialami pada saat tingkat diskonto yang tepat atau penyesuaian untuk tingkat resiko dan ketidakpastian, sebagai gambaran dalam seksi pendahuluan pada analisa cost-benefit. Namun demikian, mekanisme oendiskontoan pada dasarnya tidak berbeda dari yang biasa diterapkan pada sektor swasta.

M. DASAR HUKUM PENGOLAAN KEUANGAN NEGARADalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII hal keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tuntutan pembahasan sistem keuangan publik merupakan suatu keharusan,agar pengelolaan uang rakyat secara transparan, sehingga tercipta akuntabilitas publik. Mengantisipasi tuntutan tersebut pemerintah dalam pengelolaan keuangan publik mengeluarkan paket undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan publik, yaitu:

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan NegaraPerubahan mendasar dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan. Ruang lingkup keuangan negara antara lain: sumber dan lingkup pendapatan negara; penegasan kewenangan Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga;

Page 50: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

43PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

penekanan konsep penyetoran, pencatatan, pengelolaan, pelaporan dan pertanggungjawaban yang harus dikelola secara profesional, akuntabel, kredibel dan transparan. Perubahan-perubah-an konsep mendasar di bidang pengelolaan keuangan negara tersebut dapat mengantisipasi per ubah an standar akuntansi di liingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.

Prinsip ini perlu dilaksanakan secara kon sis ten agar terdapat kejelasan dalam pem ba gian wewenang dan tanggung jawab, ter laksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penye lenggaraan tugas pemerintahan sebagai salah satu amanah yang juga harus dijalankan dalam pengelolaan keuangan Negara. Begitu juga sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pe merintahan negara se bagian kekuasaan Pre siden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/ Wali kota selaku Pengelola keuangan daerah. Demikian Pula untuk men capai kestabilan nilai rupiah tugas mene tapkan dan melaksanakan kebijakan mone ter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan NegaraUndang-undang tentang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. Dalam, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditetapkan bahwa Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Sesuai dengan pengertian tersebut, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pe jabat perbendaharaan negara, pelak sa naan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang negara/ daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/ APBD, pengen dalian intern pemerintah, penyelesaian ke rugian negara/ daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas

Page 51: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

44 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran. Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Demikian pula Undang-undang ini memuat ketentuan yang mendorong profesionalitas serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran serta system pelaporan keuangan pemerintah menghasilkan statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan Analisis Perbandingan Antarnegara (Cross Country Studies), kegiatan pemerintahan, dan penyajian diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan PajakUndang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan salah satu Undang-undang di bidang keuangan negara khususnya pendapatan negara yang ditetapkan dan masih mengacu pada Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448)11. Konsep kebijakan ini merupakan peninggalan colonial dimana ICW merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata pembukuan yang harus dilakukan oleh pejabat yang melakukan pengurusan keuangan baik di tingkat Departemen Keuangan maupun di Departemen teknis, dan secara khusus mengatur kewenangan di sisi kebendaharaan. Pencatatan dan pembukuan yang didasarkan pada ketentuan ICW diharapkan akan menghindari penggelapan yang berhubungan dengan keuangan (financial fraud) yang mungkin dilakukan oleh pajabat pada saat itu. Sedangkan RAB yang konsepsi pengelolaan keuangan ini dikenal pada tahun 1933, yang mengatur sebagian kewenangan pengelolaan keuangan di tangan administrator atau elbih dikenal dengan kewenangan otorisasi12 dan ordonansering. dan Regelen voor he Administratief Beheer (RAB) sebagaimana hasil perubahan dari Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968. Padahal saat ini, Indische Comptabiliteitswet telah digantikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

4. Analisis Kebijakan Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pertanahan Nasional Republik IndonesiaKetentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, merupakan penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, peran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas

11. Reformasi Sistem Pengenggaran, Konsep dan Omplementasi 2005-2007, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Jakarta, 2008.

12. Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448) . Yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1884 dan mulai diperbaharui pada tahun 1867, Indische Bedkrijvenwek (IBW) staatblad 1927 No. 419 juncto Staatblad 1936 No. 381. Pemerintah Belanda pada saat itu tampaknya memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya pengelolaan penerimaan dan pengeluaran di Hindia Belanda, hal tersebut dipicu terutama oleh maraknya korupsi di lingkaran pejabat-pejabat Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC). Sementara itu, dalam pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan Negara digunakan Instructie ‘en Verdehe Bepalingen voor de Algemeene Rekenmaker (IAR) Staatblad 1933 No. 320, selanjutnya Indische Comptabiliteitswet (ICW) digunakan sebagai Undang Undang Perbendaharaan Indonesia dan telah diubah dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1968 dan terakhir diubah menjadi Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Page 52: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

45PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka jangka menengah dalam penyusunan anggaran.

Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-Undang pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam Keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam Undang-Undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penguangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.

Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti apa yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, terdapat beberapa kendala dalam perencanaan dan penyerapannya, diantaranya adalah:a. Kesulitan satuan kerja terutama komponen teknis yang mempunyai mata anggaran

dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk mengestimasi penerimaan dari tarif dan pelayanan;

b. Jika pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai dilaksanakan walaupun ada sisa SSBP tahun lalu, karena realisasi penerimaan telah melampaui target dan tidak melakukan Revisi Penambahan Pagu DIPA maka tidak dapat digunakan pada tahun anggaran berjalan karena periode APBN hanya untuk satu tahun anggaran;

c. Kebijakan pemerintah untuk penggunaan sisa SSB Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun sebelum sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor 11/PB/2011 tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaqan Negara Nomor PER-66/PB/2005 tentang Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi mendapat persepsi lain dari Direktorat Jenderal Anggaran cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pengajuan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun sebelumnya tidak dapat dibayarkan, akibatnya sisa pekerjaan tahun lalu membebani anggaran tahun berikutnya, dan akibat pembebanan anggaran tersebut hendak direvisi maka harus memenuhi persyaratan.

Page 53: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

46 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

N. ANGGARAN BERBASIS KINERJA Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehuBendahara Umum Negaragan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1). Kinerja mengacu pada suatu hasil yang dicapai atas kerja atau kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks pemerintahan, kinerja akan dinilai sebagai suatu prestasi manakala dalam melaksanakan suatu kegiatan dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Yusriati, 2008). Dengan demikian, ukuran kinerja dalam anggaran memberikan dorongan kepada para pelaksana anggaran untuk dapat mencapai hasil yang maksimal sesuai ukuran kinerja yang ditetapkan. Kegagalan dalam pencapaian kinerja menjadi satu ukuran untuk melakukan perbaikan pada masa yang akan datang. Sementara keberhasilan atas kinerja membutuhkan suatu penghargaan untuk dapat meningkatkan produktivitas serta untuk mendapatkan dukungan publik terhadap pemerintah.

Definisi yang dirumuskan oleh beberapa peneliti mengenai pengukuran kinerja cukup beragam, namun tetap bermuara pada satu kesepakatan bahwa dengan mengukur kinerja maka proses pertanggungjawaban pengelola atas segala kegiatannya kepada stakeholders dapat lebih obyektif. Hatry (1999) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai pengukuran hasil dan efisiensi

Gambar 1. Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak

PENGELOLAAN PNBP BPN RI

Perdirjen PB No. Per-17/PB/2013 tentang

Ketentuan lebih lanjut Tatacara Pembayaran

PNBP atas beban APBN

PMK_No.190/PMK.05/2012 tentang Tatacara Pembayaran

dalam Rangka Pelaksanaan APBN

Pp No 22/2007 tentang PP No. 73/1999 tentang Tatacara

Penggunaan PNBP yg bersumber dari Kegiatan tertentu

Pp No 71/ 2010 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan

Pp No 13/ 2010 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penyetoran

yang berlaku pada BPN

UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan

Negara

Pp No 22/ 2005 tentang

Pemeriksaan PNBP

Pp No 29/ 2009 tentang Tata cara

Penentuan Jumlah, Pembayaran dan Penyetoran BPN

UU No.20/1997 tentang PNBP

UU No.17/2003 tentang Keuangan

Negara

Pp No 52/ 1998 tentang

Penyetoran PNBP

Pp No 15/2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggungjawab

Keuangan Negara

Page 54: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

47PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

jasa atau program berdasarkan basis regular (tetap, teratur). Dalam konteks pengukuran kinerja untuk instansi pemerintah, Whittaker (1995) mendefinisikan sebagai suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Sejalan dengan itu, Smith (1996) menyatakan bahwa system pengukuran kinerja dapat membantu pengelola dalam memonitor implementasi strategi organisasi dengan cara membandingkan antara hasil (output) aktual dengan sasaran dan tujuan strategis.

Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Flynn (1997) manfaat pengukuran dan manajemen kinerja terutama adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan untuk menyediakan jasa publik secara lebih baik. Pengertian akuntabilitas lebih luas dari proses untuk menunjukkan bagaimana penggunaan dana publik. Konsep akuntabilitas mencakup juga proses untuk menunjukkan apakah dana publik telah digunakan secara efisien dan efektif.

Penyusunan APBN berbasis kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasi an huBendahara Umum Negaragan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat (Mardiasmo, 2006).

Anggaran Berbasis Kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat terhadap Visi, Misi dan Rencana Strategis organisasi. Anggaran Berbasis Kinerja mengalokasikan sumberdaya pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi (Bastian, 2006). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, maka penyusunan APBN dilakukan dengan mengintegrasikan program dan kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian tercipta sinergi dan rasionalitas yang tinggi dengan mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Hal tersebut juga untuk menghindari duplikasi rencana kerja serta bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan antara target dengan hasil yang dicapai berdasarkan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan.

Penganggaran berbasis kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas atau kegiatan. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan terukur juga penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif.

Page 55: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

48 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada “apa yang ingin dicapai”. Kalau fokus ke “output”, berarti pemikiran tentang “tujuan” kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan.

Indikator kinerja yang ditetapkan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi masukan (input), keluaran (output) dan (outcome). Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan pro gram atau kegiatan. Dengan meninjau dis tri busi sumber daya, suatu organisasi dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategik yang telah ditetapkan.

Keluaran (output) adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik. Dengan membandingkan indikator keluaran organisasi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan instansi.

Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pada umumnya para pembuat kebijakan paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan dengan tolok ukur lainnya. Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap organisasi perlu mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur hasil dari keluaran suatu kegiatan.

1. Manfaat Pengukuran KinerjaPada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.

Page 56: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

49PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Wayne C. Parker (1996) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: (1) Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal, (3) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik, (4) Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan, dan (5) Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif.

Fokus pengukuran kinerja pada awalnya adalah pada pengukuran tingkat efisiensi. Hal tersebut berhubungan erat dengan obyek pembahasan pada awalnya yaitu pengukuran kinerja kegiatan usaha swasta. Ketika kesadaran para pegambil kebijakan muncul bahwa kegiatan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya juga dapat diukur efisiensi dan efektivitasnya, maka pembahasan yang intensif mengenai pengukuran kinerja pemerintah dimulai. Meskipun demikian, masalah muncul ketika disadari bahwa untuk pelayanan publik banyak sekali hal-hal yang bersifat kualitatif.

Mengukur kinerja kegiatan suatu organisasi dapat mencerminkan baik tidaknya pengelolaan organisasi yang bersangkutan. Pengelola suatu organisasi perlu mengetahui apakah kegiatan pelayanan yang mereka berikan sudah memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Hal ini merupakan wujud pertanggungjawaban pengelola kepada para stakeholders. Pengelola bertanggung jawab tidak hanya sebatas pelayanan fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu pada pengelolaan usaha yang baik.

Selanjutnya, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa kinerja mencerminkan ekonomis, efisiensi dan efektifnya suatu pelayanan publik. Pengertian ekonomis adalah perbandingan input dengan output value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya. Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan huBendahara Umum Negaragan antara keluaran dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dapat dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.

2. Rencana Pembangunan NasionalBerdasarkan kondisi saat ini serta tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi selama 20 tahun mendatang, Visi dari Pembangunan Jangka Panjang 2005-2024 yang dicanangkan adalah untuk “Mewujudkan Masyarakat Indo nesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Visi pembangunan nasional tersebut dijabarkan ke dalam 8 (delapan) misi pembangunan nasional, yaitu: (i) Mewu judkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (ii) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (iii) Mewujudkan

Page 57: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

50 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (iv) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (v) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (vi) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (vii) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (viii) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

Pencapaian visi Pembangunan Jangka Panjang 2005-2024 diukur dari pencapaian sasaran-sasaran pokok selama 20 tahun mendatang. Untuk mencapai sasaran pokok, maka perlu ditetapkannya tahapan dan skala prioritas yang dijabarkan dalam agenda pembangunan jangka menengah. Pembangunan jangka menengah dalam kurun waktu 2010-2014 yang dituangkan ke dalam RPJMN, Visi pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan”, dalam rangka mewujudkan visi Indonesia 2014, maka disusunlah Misi Pembangunan 2010-2014 yang memuat rumusan dari usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai visi Indonesia 2014, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi pemerintah dalam periode 2009-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai dan meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis. Usaha-usaha perwujudan visi Indonesia 2014 yang dijabarkan dalam misi pemerintah tahun 2010-2014, dimana Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera, Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi, dan Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang.

Gambar 2. Hirarki Perencanaan Pembangunan Nasional

APBN

RPJPNASIONAL

RPJMNASIONAL

RKP

APBD

RPJPD

RENSTRASKPD

RKPD &RK SKPD

APBN KL

RPJPKL

RENSTRAKL

RK KL

NASIONAL

20THN

5THN

1THN

HIRARKI PERENCANAANKEMENTERIAN DAERAH

Page 58: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

51PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Gambar 3. Alur Perencanaan Kegiatan Kementrian/Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah

Telaah buku I, II, III RPJMN 2012--2014 dalam tahun 2012

Temu KonsultasiTriwulan I- 2011

Forum Konsultasi PublikRakorbanggus RKP 2012

Trilateral Meeting

27 Des 2010 - 1 Jan 2011

1-23 Januari

2-23 Februari

10 MaretPra

RakernasRenja K/L

Raker BappenasTema RKP

2012

PenyusunanAwal UPPD

PROSES DAN JADUAL PENYUSUNAN RKP2012 (TENTATIVE)

Penyusunan Ranc. Awal RKP 2012

Sidkab dan Finalisasi Ranc. RKP 2012

Menghasilkan Ranc Awal Pagu Indikatif per K/L

15 Maret

16-25 Maret

25 Maret

6 Mei5 Mei3 Mei27-28 April

30 Maret - 11 April

2

3

76

4Musrenbang Provinsi

Rakernas K/L

30 Maret - 11 April

30 Maret - 11 April

PenetapanRKP 2012

Sidkab Rancangan Akhir RKP 2012

Pasca Musrenbang Nasional

Musrenbang Nasional RKP 2012

15-26 April

Perundingan UP-PD Renja K/L

13 - 15 April

5Pra Musrenbangnas

Penyusunan Ranc. Final UP-PD 2012

Penyusunan Ranc. Final Renja K/L 2012

30 Maret - 11 April

30 Maret - 11 April

3. Rencana Kerja PemerintahDasar Hukum Rencana Kerja Pemerintah di K/L Pemerintah disesuaikan dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (psl 12 ayat 1), dimana Penyusunan Rancangan APBN berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara, Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (pasal 6 ayat 2) yaitu Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang tersebut, peraturan pelaksana yang mendasari perencanaan kerja pada K/L adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah yang termuat dalam Pasal 2 ayat 1 dimana Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan memperhitungkan ketersediaan anggaran, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, dimana Pasal 26 ayat 4, dimana Renca Kerja K/L digunakan sebagai pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah nasional, memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, sebagaimana terlihat dalam bagan matrik Gambar 3.

Page 59: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

52 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Renja-K/L merupakan dokumen perencanaan yang berisi program dan kegiatan suatu K/L sebagai penjabaran dari Renstra K/L yang ber sangkutan dalam satu tahun ang gar an. Pe nyusunan Renja-K/L oleh K/L dilak sa na kan setelah dikeluarkannya surat yang ditan da tangani oleh BPPN/Ka. Bappenas bersama Menteri Keuangan tentang Pagu Indikatif K/L yang merupakan pagu anggaran yang didasarkan atas kebijakan umum serta tema dan prio ritas pembangunan nasional. Pagu Indikatif ter sebut merupakan batas tertinggi alokasi anggar an yang dirinci menurut program dan ke giat an prioritas yang pendanaannya terdiri atas rupiah murni (RM), Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Berkenaan dengan telah dilakukannya penerapan PBK dan KPJM secara penuh yang menggunakan struktur program dan kegiatan hasil restrukturisasi maka mekanisme penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L Tahun 2012 memerlukan pemahaman terhadap hal-hal sebagai berikut: 1. Target kinerja yang ditetapkan merupakan rencana kinerja dari suatu K/L dalam rangka

melaksanakan tugas dan fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional. 2. Informasi kinerja yang ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran K/L meliputi:

a. Visi dan misi Kementerian/Lembaga, sasaran strategis Kepala Kemen terian/Lembaga, visi dan misi unit eselon I;

b. Program, Outcome Program, Indikator Kinerja Utama Program; c. Kegiatan, Sasaran Kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan. d. Perkiraan alokasi pendanaan baik untuk tahun yang direncanakan ramaupun p kiraan

majunya. e. Informasi kinerja terkait Inisiatif Baru yang telah mendapat persetujuan baik dalam hal

target pencapaiannya maupun kebutuhan pendanaannya. 3. Informasi tersebut merupakan kebijakan kinerja yang ditetapkan dan bersifat baku serta menjadi

referensi dalam menentukan lokasi pendanaannya. Informasi tersebut juga telah tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga.

4. Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh K/L seluruhnya dalam kerangka pelaksanaan tugas-fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu peruntukkan alokasi anggaran harus memperhatikan urutan prioritas sebagai berikut: a. Program dan kegiatan yang men dukung pencapaian prioritas pem ba ngunan nasional,

prioritas pem ba ngunan bidang, prioritas pem bangunan K/L dan/atau prioritas pem-bangunan daerah (dimensi kewilayahan) yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014, Renstra Kementerian/Lembaga, Awal Perencanaan;

b. Kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang anggarannya bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri;

c. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multiyears); d. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan inpres-inpres yang ber kaitan dengan

percepatan percepatan pembangunan wilayah tertinggal, pemulihan pasca konflik dan pasca bencana di berbagai daerah;

e. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan yang sesuai dengan peraturan per undang an.

Selanjutnya dalam hal pengimplementasikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun

Page 60: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

53PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara, maka dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara harus didasarkan atas hasil kesepakatan dalam pertemuan 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) yang dilaksanakan sebelumnya. Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara yang telah disusun K/L Negara. Selajutnya disampaikan oleh Kepala BPN RI/Pimpinan lembaga kepada Kepala Kementerian PPN/Ka. Bappenas dan Kepala BPN RI Keuangan sebagai bahan penyempurnaan rencanngan awal RKP dan penyusunan rincian pagu.

4. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan NasionalBadan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perpres Nomor 6 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dimana Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi:a) perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;b) perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;c) koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;d) pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;e) penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;f) pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;g) pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;h) pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;i) penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah be ker ja sama

dengan Departemen Keuangan;j) pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;k) kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;l) penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang

pertanahan;m) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;n) pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;o) pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;p) penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;q) pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;r) pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;s) pembinaan fungsional lembaga-lem ba ga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;t) pembatalan dan penghentian huBendahara Umum Negaragan hukum antara orang, dan/

atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

u) fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Tahun 2010-2014Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014 merupakan pedoman sekaligus kendali dan acuan koordinasi, bagi setiap unit kerja pada semua tingkatan organisasi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia serta sebagai instrumen dalam rangka melanjutkan, meningkatkan dan mengembangkan pembangunan pertanahan yang telah

Page 61: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

54 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dilaksanakan pada periode sebelumnya. Rencana Strategis BPN-RI 2010 -2014 juga digunakan sebagai pedoman sekaligus kendali dan acuan koordinasi bagi setiap unit kerja pada semua tingkatan organisasi BPN-RI. Sebagai komitmen perencanaan, Renstra Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia juga berfungsi sebagai alat bantu dan tolok ukur dalam menjalankan misi, kebijakan serta program nasional untuk mencapai sasaran - sasaran strategis yang telah ditetapkan. Berkenaan dengan upaya untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan visi dan pelaksanaan agenda pembangunan nasional, maka dalam rangka pembangunan pertanahan telah ditetapkan visi pembangunan pertanahan 2010 - 2014 yang merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan Badan Pertanahan Nasional, maka sasaran strategis yang diharapkan adalah sebagai berikut: a) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan

sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta peningkatan ketahanan pangan (Prosperity).

b) Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (Equity).

c) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air serta melakukan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (Social Welfare).

d) Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat (Sustainability).

Keempat prinsip pengelolaan pertanahan tersebut diatas, diturunkan dari Pancasila, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, Pasal 1 sampai dengan Pasal Undang-Undang Pokok Agraria, dan peraturan perundang-undangan lain yang langsung mengatur pertanahan. Dengan terwujudnya kebijakan dan strategi Pengelolaan Pertanahan sebagaimana di uraikan dalam keempat prinsip tersebut di atas, pada gilirannya akan menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPdan aspirasi rakyat secara luas.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pertanahan tersebut, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, telah menetapkan 11 agenda prioritas dalam menangani persoalan pertanahan yang meliputi:a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

(trust building);b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara

menyeluruh di seluruh Indonesia;c) Memastikan penguatan hakhak rakyat atas tanah;d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-

daerah konflik di seluruh Indonesia;e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara

sistimatik;

Page 62: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

55PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

f) Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Pengamanan Dokumen Pertanahan di seluruh Indonesia;

g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pember dayaan masyarakat;h) Membangun data base penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan per tanah an yang

telah ditetapkan;j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ; dank) Membangun dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.

Tujuan pembangunan bidang pertanahan yang akan dicapai tahun 2010-2014 pada dasarnya adalah “Mengelola Tanah Seoptimal Mungkin Untuk Mewujudkan Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat”. Rincian tujuan pembangunan pertanahan tersebut menunjukkan kondisi yang harus dilanjutkan di tahun 2010-2014, yaitu: a) Melanjutkan Pengembangan infrastruktur pertanahan secara nasional, regional dan sektoral,

yang diperlukan bagi seluruh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional RI dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;

b) Tetap berupaya mewujudkan suatu kondisi yang mampu menstimulasi, mendinamisasi dan memfasilitasi terselenggaranya survei dan pemetaan tanah secara cepat, modern dan lengkap serta tetap menjamin akurasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya wilayah yang memiliki potensi ekonomi tinggi serta rawan masalah pertanahan;

c) Melanjutkan percepatan pendaftaran tanah dan penguatan hak atas tanah melalui program legalisasi aset pertanahan dengan biaya yang lebih murah, dengan waktu yang terukur;

d) Melanjutkan Penataan dan mengendalikan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah dan mengokohkan keadilan di bidang sumber daya agraria, mengurangi kemiskinan, serta membuka lapangan kerja melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (Reforma Agraria);

e) Tetap Mengupayakan pengurangan jumlah konflik, sengketa dan perkara pertanahan serta mencegah terciptanya konflik, sengketa dan perkara pertanahan baru;

f) Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas pada semua unit kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;

g) Melanjutkan peningkatan mutu pelayanan publik di bidang pertanahan agar lebih berkualitas, terukur, akurat, tepat, transparan dan akuntabel, dengan tetap menjaga kepastian hukum.

6. Sasaran Strategis Pengelolaan Pertanahan Sasaran pembangunan pertanahan yang akan dicapai dalam tahun 2010 - 2014 pada dasarnya adalah terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta terlaksananya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerap¬kan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi. Penjabaran dari masing-masing tujuan pembangunan pertanahan yang akan dicapai dalam tahun 2010 -2014 mengacu pada beberapa isu strategis pengelolaan pertanahan terdiri dari:a) Masih terbatasnya cakupan wilayah yang telah dipetakan kedalam peta dasar, peta tematik,

dan peta nilai tanah sehingga berdampak dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan percepatan karena masih terbatasnya peta dasar, dalam konteks

Page 63: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

56 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

peta tematik belum dapat memberikan akses informasi yang lebih luas terutama untuk kepentingan investasi, seperti belum jelasnya batas administrasi wilayah, belum dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan kemampuan tanah, ketersediaan lahan dan nilai tanah.

b) Masih rendahnya jumlah bidang tanah yang terdaftar atau yang sudah diberikan legalitas sehingga belum memberikan kepastian hukum atas aset masyarakat, aset pemerintah dan aset badan hukum yang berdampak rentan terjadinya sengketa pertanahan serta tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi terutama dalam rangka penguatan modal usaha sehingga belum maksimal memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

c) Terjadinya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berakibat pada terkonsentrasinya aset yang dikuasai oleh pemilik modal sehingga para petani tidak memiliki lahan untuk kegiatan usahanya, petani hanya menjadi buruh tani sekalipun petani memiliki tanah, tetapi sangat terbatas sehingga tidak mencukupi untuk kehidupan keluarganya.

d) Harmonisasi Penataan Ruang Dan Perizinan(1) Harmonisasi kebijakan penataan ruang di daerah, pulau/kepulauan, kawasan-kawasan

srategis dan penataan ruang nasional agar memberikan misi keadilan spasial bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan menyediakan ruang yang tepat dan layak, serta memastikan adanya partisipasi masyarakat pada proses penataan ruang dan perencanaan wilayah dan koordinasi penataan ruang antar wilayah. Sebagai bagian pula dari strategi ini adalah evaluasi kebijakan penataan ruang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Disamping itu diperlukan koordinasi untuk penyediaan peta pembangunan fungsi kawasan serta terpadu. Disamping itu diperlukan koordinasi untuk penyediaan serta penggunaan fungsi kawasan serta terpadu.

(2) Perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan melalui pendataan perizinan yang dilakukan dengan menghormati prinsip-prinsip keadilan bagi semua pihak.

e) Banyaknya bidang-bidang tanah hak dengan sekala besar (luas) yang tidak dimanfaatkan (terlantar), sehingga membatasi akses masyarakat atas tanah dan tanah yang diterlantarkan tersebut tidak dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

f) Banyaknya kasus-kasus pertanahan akibat sengketa dan konflik berpotensi terhadap timbulnya gejolak/kerawanan sosial sehingga menggangu pertumbuhan iklim investasi, disisi lain bahwa lahan tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi karena tanah tersebut tidak produktif.

g) Kurang harmoninya beberapa peraturan perundangan di bidang pertanahan yang juga dimandatkan sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengamanatkan untuk melakukan pengkajian peraturan di bidang pertanahan gunanya untuk memberikan kemudahan di bidang pelayanan pertanahan, jaminan kepastian berinvestasi dan jaminan kelestarian lingkungan.

h) Masih sulitnya masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan di bidang pertanahan yang disebabkan oleh kondisi geografis, sarana transportasi, kemampuan ekonomi masyarakat,

Page 64: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

57PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

dan minimnya informasi tentang pelayanan pertanahan, sehingga pemerintah melakukan pembangunan LARASITA sebagai kantor yang bergerak yang didukung dengan penerapan Teknologi Informasi untuk mendekatkan pusat-pusat layanan pertanahan kepada masyarakat termasuk pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.

i) Rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pertanahan yang berdampak pada masih rendahnya kinerja pengelolaan pertanahan karena pertumbuhan jumlah kantor sesuai dengan pertumbuhan wilayah administrasi kabupaten/kota yang jauh melebihi pertumbuhan jumlah pegawai sehingga pada beberapa kantor kekurangan staf dan terdapat jabatanjabatan kosong.

j) Peningkatan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Fisik, karena masih terbatasnya prasarana fisik sebagai penunjang kegiatan. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi dalam bekerja mengingat sangat terbatas sarana dan prasarana kantor, bahkan masih banyak Satuan Kerja yang tidak memiliki kantor.

7. Arah Kebijakan dan Strategis Pengelolaan Pertanahan NasionalVisi dan Misi pemerintah 2009-2014 perlu dirumuskan dan dijabarkan lebih operasional ke dalam sejumlah program aksi prioritas sehingga lebih mudah diimplementasikan dan diukur tingkat keberhasilannya. Sebelas Program aksi di bawah ini dipandang mampu menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara di masa mendatang. Sebagian besar sumber daya dan kebijakan akan diprioritaskan untuk menjamin implementasi dari 11 prioritas nasional yaitu: Prioritas 1: Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, Prioritas 2: Pendidikan, Prioritas 3: Kesehatan, Prioritas 4: Penanggulangan Kemiskinan, Prioritas5: Ketahanan Pangan, Prioritas 6: Infrastruktur, Prioritas 7: Iklim Investasi dan Iklim Usaha, Prioritas 8: Energi, Prioritas 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, Prioritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik, Prioritas 11: Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi.

Berdasarkan 11 prioritas nasional tersebut di atas, secara rinci telah dibagi bidang penugasan kepada masingmasing Kementrian/Lembaga, termasuk tugas-tugas bidang pertanahan yang akan dilaksanakan oleh jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penjabaran prioritas-prioritas nasional yang salah satunya menjadi penugasan kepada Badan Pertanahan Nasional RI adalah sebagai berikut:a) PrIoritas 4: Penanggulangan Kemiskinan Dalam usaha penanggulangan kemiskinan tema prioritas pembangunannya adalah:

Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,1% pada 2009 menjadi 8-10% pada 2014 dan perbaikan distribusi pendapatan dengan pelindungan sosial yang berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan ekonomi masyarakat yang berpendapatan rendah. (1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan provinsi melalui

pelaksanaan redistribusi tanah. (2) Indikator, terlaksananya redistribusi tanah sebanyak 1. 050. 000 bidang

b) PrIoritas 5: Ketahanan Pangan Dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan tema prioritas peningkatan ketahanan

pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan,

Page 65: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

58 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan Indeks Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada 2014(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengembangan Peraturan Perundang-

Undangan Bidang Per tanah an dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat. (2) Indikator keberhasilan jumlah paket rancangan peraturan perundang-undangan dan

kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang Per lindung an Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebanyak 5 paket.

c) Prioritas 6: Infrastruktur Dalam mendukung tema prioritas pembangunan infrastruktur nasional yang memiliki

daya dukung dan daya gerak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dan mengutamakan kepentingan masyarakat umum di seluruh bagian negara kepulauan Republik Indonesia dengan mendorong partisipasi masyarakat. (1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan pro vinsi melalui

pelaksanaan Neraca Penatagunaan Tanah dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) dan pengembangan peraturan perundang-undangan Bidang Per tanahan dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

(2) Indikator keberhasilannya:(a). Tersusunnya Neraca Penata gunaan Tanah di daerah sebanyak 500 kabupatan/kota(b). Terlaksananya Inventarisasi P4T 1. 678. 350 bidang(c). Tersusunnya peraturan per undang an pengadaan tanah untuk kepentingan umum

sebanyak 5 paket.

d) PrIoritas 7: Iklim Investasi dan Iklim Usaha Dalam mendukung iklim investasi dan iklim usaha. tema Prioritas: Peningkatan investasi

melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur, per baikan sistem informasi, dan pengem bangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). (1) Substansi Kegiatan,

(a). Pengelolaan Pertanahan Propinsi melalui peningkatan penyediaan peta pertanahan, legalisasi aset tanah dan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan

(b). Pengelolaan Data dan Informasi Pertanahan melalui peningkatan akses layanan pertanahan dan LARASITA

(2) Indikator keberhasilannya:(a). Cakupan Peta Pertanahan sebanyak 10. 500. 000 ha(b). Terlaksananya legalisasi aset tanah sebanyak 4. 063. 430 bidang(c). Penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan serta mencegah timbulnya

kasus pertanahan baru 13. 955 kasus(d). Peningkatan akses layanan pertanahan melalui LARASITA sebanyak 1. 832 unit

e) Prioritas 8: Energi Dalam mendukung ketahanan energi, tema prioritas pencapaian ketahanan energi nasional

Page 66: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

59PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

yang menjamin kelang sung an pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi kelembagaan dan optimasi pemanfaatan energi alternatif seluas luasnya. (1) Substansi Kegiatan pengelolaan per tanahan, melalui Inventarisasi dan identifikasi tanah

terindikasi terlantar. (2) Indikator, keberhasilannya terlak sananya Identifikasi dan Penertiban Tanah Terindikasi

Terlantar seluas 379. 500 hektar

f) PrIoritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik Dala mendukung pembangunan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik tema

prioritas pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pasca-konflik. (1) Substansi Kegiatan pengelolaan pertanahan, melalui kegiatan inventarisasi Wilayah

Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan Dan Wilayah Tertentu (WP3WT)(2) Indikator keberhasilannya:

(a). Tersedianya Data hasil inven tarisasi Wilayah Perbatasan, Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Terpencil (WP3WT) sebanyak 885 SP.

(b). Tersusunnya kebijakan pengelola an Wilayah Perbatasan, Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Terpencil di bidang pertanahan sebanyak 5 paket.

8. Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara a. Sistem Perencanaan Kegiatan Badan Pertanahan Nasional Republik IndonesiaUndang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan Pemerintah untuk menyusun anggaran dengan pendekatan anggaran terpadu (unified budget), kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan Penganggaran Berbasis Kinerja (Perfomance Based Budgeting). Penyusunan anggaran ini dilakukan dengan menyusun dokumen anggaran yang disebut “Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL)”. Penganggaran terpadu merupakan unsur yang paling rnendasar bagi pelaksanaan elemen reformasi penganggaran lainnya, yaitu Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Dengan kata lain bahwa pendekatan anggaran terpadu merupakan kondisi yang harus terwujud terlebih dahulu. Dalam penysusunan anggaran terpadu dalam RKA-KL berdasarkan:(1) Penyusunan rencana kegiatan dilakukan pada sekitar bulan Januari hingga bulan April. Satuan

Kerja, penetapan satuan kerja sebagai kuasa pengguna anggaran untuk melaksanakan semua kegiatan yang ditetapkan Kementerian/pimpinan lembaga. Satuan kerja ini menyusun Rencana Kerja dan Anggaran K/L (Renja-Kementerian/Lembaga) dengan mengacu pada prioritas pembagunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan sebelumnya dalam Surat Edaran Bersama Kementerian Perencanaan dan Menteri Keuangan. Rencana kerja tersebut memuat kebijakan, program dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang berlangsung/disusun dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya.

(2) Kegiatan, setiap satuan kerja minimal mempunyai satu kegiatan dalam rangka mewujudkan sebagian sasaran program dari unit organisasi, keluaran kegiatan yang dilaksanakan satuan kerja mempunyai keluaran yang jelas & tidak tumpang tindih dengan keluaran dari kegiatan

Page 67: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

60 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

lain, dan jenis belanja dengan kriteria yang sama untuk semua kegiata dalam satu dokumen perencanaan, satu dokumen penganggaran dan satu dokumen pelaksanaan anggaran untuk semua jenis Satuan Kerja dan kegiatan

(3) Pada pertengahan bulan Juni, Menteri Keuangan memberikan Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu anggaran bagi masing-masing program yang ditetapkan dalam Renja-K/L kepada Kementerian/Pimpinan Lembaga untuk kemudian disusun Rencana Kerja dan Anggaran K/L dengan menyesuaikan antara Renja-K/L dengan pagu sementara tersebut.

(4) selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober Menteri Keuangan menghimpun RKA-K/L yang telah ditelaah untuk selanjutnya bersama-sama dengan nota keuangan dan Rancangan APBN dibahas dalam Sidang Kabinet. Setelah nota keuangan, Rancangan APBN beserta himpunan RKA-K/L telah dibahas maka Pemerintah menyampaikannya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan lalu ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN.

(5) selambat-lambatnya tanggal 31 Desember RKA-K/L yang telah disepakati DPR tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November. Keppres iini lantas menjadi dasar bagi tiap-tiap K/L untuk menyusun konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara paling lambat minggu kedua bulan Desember. Dokumen Pelaksanaan Anggaran ini lantas disahkan oleh Kementerian Keuangan.

b. Proses Penetapan Pagu Belanja Kementerian/LembagaDalam rangka penyusunan APBN, seperti telah diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, terdapat tiga kali penetapan pagu dana untuk K/L yaitu pagu indikatif, pagu anggaran, dan alokasi anggaran. Angka yang tercantum dalam ketiga ketentuan tersebut merupakan angka tertinggi yang tidak boleh dilampaui oleh K/L sebagi acuan dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga-nya. Secara garis besar penjelasan tentang ketiga pagu akan dijelaskan sebagai berikut: (1) Pagu Indikatif Mulai tahun 2012, angka yang tercantum dalam prakiraan maju untuk tahun anggaran

2013 yang dicantumkan pada saat penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun anggaran 2012 akan dijadikan sebagai angka dasar, sebagai salah satu variabel yang menentukan besarnya pagu indikatif tahun anggaran 2013. Dalam rangka menyusun pagu indikatif untuk tahun yang direncanakan, melalui proses sebagai berikut: (a). Presiden menetapkan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional Setiap awal tahun, Presiden mene tap kan arah kebijakan yang akan dilakukan pada tahun

yang direncanakan, disini Presiden menetapkan prioritas pembangunan nasional yang akan dilakukan pada tahun yang akan direncanakan. Selain itu Presiden juga menetapkan prioritas pengalokasian dari anggaran yang dimiliki pemerintah. Arah kebijakan dan prioritas anggaran ini akan dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah.

(b). K/L mengevaluasi baseline (angka dasar) Prakiraan maju yang telah dicantumkan pada dokumen perencanaan dan penganggaran

Page 68: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

61PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

tahun sebelumnya akan dijadikan angka dasar untuk perencanaan dan penganggaran tahun anggaran yang direncanakan. Namun demikian, angka yang tercantum dalam prakiraan maju tersebut harus disesuaikan/direviu terlebih dahulu untuk mendapatkan angka yang betul dan akan digunakan. Dalam proses reviu tersebut, akan fokus pada penetapan berlanjut atau berhenti dari suatu output, besarnya volume output, penetapan sifat dari komponen output (utama atau pendukung), serta evaluasi komponen input dari output yang dibutuhkan pada tahun yang direncanakan.

(c). K/L dapat menyusun rencana inisiatif baru Apabila terdapat Program/Kegiatan/Output yang akan dilakukan dan belum dilakukan

pada tahun sebe lum nya, K/L dapat mengajukan rencana tersebut dengan mekanisme inisiatif baru. Inisiatif baru dapat diajukan dalam tiga kali kesempatan, yaitu kesempatan pertama sebelum penetapan pagu indikatif, kesempatan kedua sebelum penetapan pagu anggaran, dan kesempatan ketiga se belum penetapan alokasi anggar an. Hal-hal terkait dengan mekanisme pengajuan usul inisiatif baru ber pe doman pada Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pem-bangunan Nasional nomor 1 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru.

(d). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan mengevaluasi baseline dan mengkaji usulan inisiatif baru.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dan Kementerian Keuangan akan melakukan evaluasi terhadap hasil reviu angka dasar yang telah dilakukan oleh Kementerian/Lembaga. Evaluasi ini untuk memastikan bahwa angka dasar yang telah direviu sudah benar. Selain itu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan juga mengevaluasi atas usulan inisiatif baru yang diajukan Kementerian/Lembaga. Evaluasi untuk menentukan apakah suatu inisiatif baru layak untuk disetujui untuk dilaksanakan atau tidak. Disamping itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan juga melakukan evaluasi pelaksanaan Program dan Kegiatan yang sedang berjalan, sebagai pertimbangan dalam penyusunan Program dan Kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun yang direncanakan yang nantinya akan tertuang dalam pagu indikatif yang akan ditetapkan.

(e). Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal Kementerian Keuangan menyusun per kiraan kapasitas fiskal untuk penyusun an Pagu

Indikatif tahun anggar an yang direncanakan, termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran jangka me nengah paling lambat pertengah an bulan Februari.

(f). Menteri Keuangan dan Menteri Peren cana an Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas menyusun Pagu Indikatif

Pagu Indikatif untuk tahun yang direncanakan disusun dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan dalam rangka pemenuhan prioritas pembangunan nasional. Pagu Indikatif dimaksud dirinci menurut unit organisasi, program, kegiatan, dan indikasi pendanaan untuk mendukung Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden. Pagu Indikatif yang sudah ditetapkan beserta prioritas pembangunan nasional yang dituangkan dalam rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disampaikan kepada K/L dengan Surat Edaran Bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan pada bulan Maret. Pagu indikatif dirinci menurut unit organisasi, Program dan Kegiatan.

Page 69: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

62 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Angka yang tercantum dalam pagu indikatif diperoleh dari angka prakiraan maju yang sudah dicantumkan tahun sebelumnya yang telah melalui proses penyesuaian ditambah dengan inisiatif baru pada kesempatan pertama yang diakomodir/disetujui.

Dalam bentuk gambar, proses sampai dengan penetapan pagu indikatif diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 4 Penyusunan Pagu Indikatif

Pagu Indikatif

1 2 3 4+ + =

Penyusunan Pagu IndikatifPresiden

Kapasitas Fiskal

Arah Kebijakan

Prioritas PembNasional

1. Unit Organisasi2. Program3. Kegiatan

Dirincimenurut

1. Mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang sedang berjalan

2. Mengkaji usulan inisiatif baru3. Penyesuaian baseline4. Memperhatikan kapasitas fiskal

Kemkeu

Bappenas

Catatan:1. Angka prakiraan maju tahun sebelumnya2. Penyesuaian Angka Dasar3. Inisiatif Baru Kesempatan-14. Pagu Indikatif

2) Pagu Anggaran a). Menteri/Pimpinan Lembaga menyu sun Rencana Kerja K/L (Renja-K/L) Dalam menyusun Renja-Kementerian/Lembaga, K/L berpedoman pada surat mengenai

Pagu Indikatif dan hasil kesepakatan trilateral meeting. Renja-K/L dimaksud disusun dengan pendekatan berbasis Kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan.

b). Trilateral Meeting Proses penyusunan Renja-K/L dilakukan pertemuan 3 (tiga) pihak antara Kementerian/

Lembaga, Ke men teri an Perencanaan, dan Ke men terian Keuangan. Pertemuan ini dilakukan dimulai setelah ditetap kannya Pagu Indikatif sampai dengan sebelum batas akhir penyampaian Renja K/L ke Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini dilakukan dengan tujuan:(1) Meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara K/L, Kementerian Perencanaan,

dan Kementerian Keuangan, terkait dengan pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah;

(2) Menjaga konsistensi kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJMN, Rencana Kerja Pemerintah, Renja K/L

Page 70: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

63PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga; (3) Mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan

terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah, yaitu kepastian mengenai: kegiatan prioritas; jumlah PHLN; dukungan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS); Anggaran Responsif Gender (ARG); anggaran pendidikan; Penerimaan Negara Bukan Pajak/BLU; inisiatif baru; belanja operasional; kebutuhan tambahan rupiah murni; dan pengaliham Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

c). K/L menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan

Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan untuk bahan penyempurnaan Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah dan penyusunan rincian pagu menurut unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan sebagai bagian dari bahan pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN.

d). Pemerintah menetapkan Rencana Kerja Pemerintah e). Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan RAPBN yang meliputi:

(1) Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal; (2) Rencana Kerja Pemerintah; (3) Rincian unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan.

f). Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran K/L Dalam rangka penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,

Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran K/L dengan berpedoman pada kapasitas fiskal, besaran Pagu Indikatif, Renja-Kementerian/Lembaga, dan mem per hatikan hasil evaluasi Kinerja Ke menterian/Lembaga. Pagu Anggar an K/L dimaksud meng gam barkan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden yang dirinci menurut unit organisasi dan program. Angka yang tercantum dalam pagu anggaran adalah angka di pagu indikatif, penye suaian angka dasar (jika diperlukan lagi) ditambah dengan inisiatif baru pada kesempatan ke-2 yang diakomodir/disetujui. Pagu Anggaran K/L disampaikan kepada setiap K/L paling lambat pada akhir bulan Juni.

Dalam bentuk gambar, proses penetapan pagu anggaran diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Page 71: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

64 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

3) Alokasi Anggaran a) Menteri/Pimpinan Lembaga menyu sun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian

Negara/Lembaga, di ma na Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan: (1) Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga; (2) Renja-Kementerian/Lembaga; (3) Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam

pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN; dan (4) Standar biaya. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dimaksud

termasuk menampung usulan Inisiatif Baru. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga me ru pakan bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang ten tang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pe ren canaan. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga menjadi bahan penyusunan RUU APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.

b) K/L melakukan pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan DPR

Gambar 5 Penyusunan Pagu Anggaran

Penyusunan Pagu Anggaran

DPR-RI

Berpedoman

Kemenkeu

1. Unit Organisasi2. Program3. Kegiatan

Pembicaraan Pendahuluan Ranc APBN:1. KEM dan PPKF2. RKP3. Rincian Pagu menurut Organisasi,

Fungi, Program dan Kegiatan

Pagu Indikatif

1 2 3 4+ + =Dirincimenurut

Catatan:1. Pagu Indikatif2. Penyesuaian Angka Dasar3. Inisiatif Baru Kesempatan-24. Pagu Anggaran K/L

1. Kapasitas Fiskal2. Pagu Indikatif3. Renja K/L4. Hasil Evaluasi Kinerja K/L5. Direktif Presiden

Page 72: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

65PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Dalam rangka pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN, K/L melakukan pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan DPR. Pembahasan tersebut difokuskan atas usulan Inisiatif Baru.

c) Penyesuaian atas usulan inisiatif baru Dalam pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan

DPR, dapat dilakukan penyesuaian atas usulan inisiatif baru sepanjang: (1) Sesuai Rencana Kerja Pemerintah; (2) Pencapaian sasaran kinerja Kemen terian/Lembaga; (3) Tidak melampaui Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga.

d) Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tersebut

diselesaikan paling lambat akhir bulan Juli. Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi: (1) Kelayakan anggaran terhadap sasaran kinerja; (2) Konsistensi sasaran kinerja K/L dengan Rencana Kerja Pemerintah.

e) Kementerian Keuangan menghimpun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga hasil penelaahan untuk digunakan sebagai: (1) Bahan penyusunan Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan RUU APBN; (2) Dokumen pendukung pembahasan RAPBN.

Setelah dibahas dalam sidang kabinet, Nota Keuangan, RAPBN dan RUU APBN disampaikan pemerintah kepada DPR paling lambat bulan Agustus. Hasil pembahasan RAPBN dan RUU APBN dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan RAPBN dan RUU APBN dan bersifat final. Berita acara hasil kesepakatan pembahasan tersebut disampaikan Menteri Keuangan kepada Kementerian/Lembaga, untuk dijadikan dasar melakukan penyesuaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

f) Hasil penyesuaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tersebut disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk ditelaah dan kemudian dijadikan dasar menyusun Keputusan Presiden mengenai Alokasi Anggaran K/L dan Bendahara Umum Negara. Alokasi Anggaran K/L dirinci menurut klasifikasi anggaran. Sedangkan Alokasi Anggaran Bendahara Umum Negara dirinci menurut: (1) Kebutuhan Pemerintah Pusat; dan (2) Transfer kepada daerah.

g) Pemerintah menetapkan Alokasi Anggaran K/L dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.

Angka yang tercantum dalam Alokasi Anggaran adalah angka yang tertuang dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan RUU APBN, penyesuaian angka dasar (jika diperlukan lagi), ditambah dengan inisiatif baru pada kesempatan ke-3 yang diakomodir/disetujui

Page 73: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

66 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Selanjutnya Menteri/pimpinan Lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dengan berpedoman pada alokasi anggaran yang telah ditetapkan dalam Keppres RABPP, dan kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk disahkan. Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran paling lambat tanggal 31 Desember. Dalam bentuk gambar, proses penetapan alokasi anggaran diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 6 Penyusunan Alokasi Anggaran K/L (Pagu Definitif)

Penyusunan Alokasi Anggaran K/L(Pagu Definitif)

PenyesuaianRKA K/L

DPR-RI

Kemenkeu

K/L

BUN

RUU APBN

KeppresAlokasi

Anggaran

1. Berita Acara Hasil Kesepakatan Pembahasan RUU APBN

2. Penyesuaian Angka Dasar3. Inisiatif Baru Kesempatan Ke-34. Alokasi Anggaran K/L

Dirinci menurut:1. Kebutuhan Pemerintah Pusat2. Transfer ke Daerah

Dirinci menurut klasifikasi Anggaran

Pagu Indikatif

1 2 3 4+ + =

K/L

Tahap selanjutnya adalah Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling lambat tanggal 31 Desember.

c. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara dan Proses Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara merupakan dokumen penganggaran yang khusus disusun oleh Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal dan secara operasional dilaksanakan oleh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.

Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara juga menggunakan pendekatan penyusunan anggaran dan klasifikasi anggaran sebagaimana digunakan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan beberapa pengecualian/kekhususan. Pengecualian/kekhususan ini berkenaan dengan klasifikasi anggaran, terutama klasifikasi organisasi dan fungsi.

Berkenaan dengan klasifikasi organisasi, BA Bendahara Umum Negara yang terdapat dalam dokumen Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dibagi dalam bagian-bagian

Page 74: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

67PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

anggaran. Penanggung jawab masing-masing BA tersebut di atas disebut Pembantu Pengguna Anggaran (PPA) yang merupakan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas-fungsinya. Sedangkan satuan kerja pada masing-masing Pembantu Pengguna Anggaran adalah Satuan Kerja baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja yang memperoleh penugasan dari Pembantu Pengguna Anggaran sebagai kepanjangan tangan Menteri Keuangan. Suatu Pembantu Pengguna Anggaran dalam rangka pengelolaan anggaran dapat mengusulkan Satuan Kerja baru sebagai KPA untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA Bendahara Umum Negara apabila terdapat penugasan secara khusus dari Pembantu Pengguna Anggaran.

Pembantu Pengguna Anggaran dapat mengusulkan adanya Satuan Kerja baru dalam rangka pengelolaan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara kepada Direktorat Jenderal Anggaran c. q. Direktorat Anggaran III. Selanjutnya Direktorat Jenderal Anggaran memberitahukan persetujuan/penolakan atas usulan dimaksud kepada Pembantu Pengguna Anggaran yang bersangkutan.

Berkenaan dengan klasifikasi fungsi, penerapan fungsi dan subfungsi dalam kerangka Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara mengacu pada tugas-fungsi Kementerian Keuangan: fungsi 01 (pelayanan umum) dan subfungsi 0101 (Lembaga Eksekutif dan Legislatif, Masalah Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri). Dalam proses penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara, penerapan fungsi dan sub-fungsi dimaksud Bendahara Umum Negara dengan kegiatan.

Proses penganggaran Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dimulai satu tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan, tepatnya pada awal tahun. Alur proses penganggarannya meliputi 5 (lima) tahap utama: a. Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait menyusun indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun. Indikasi kebutuhan dana merupakan indikasi dana dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Kementerian Keuangan. Kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dimaksud antara lain: 1) transfer ke daerah; 2) Bendahara Umum Negara utang; 3) subsidi; 4) hibah (dan penerusan hibah); 5) kontribusi sosial; 6) dana darurat/penanggulangan bencana alam; 7) kebutuhan mendesak (emergency),8) cadangan untuk mengantisipasi perubahan kebijakan (policy measures);

Page 75: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

68 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

9) dana transito; 10) cicilan utang; 11) dana investasi Pemerintah; 12) penyertaan modal negara; 13) dana bergulir; 14) dana kontinjensi; 15) penerusan pinjaman (on-lending); dan 16) kebutuhan lain-lain yang tidak dapat direncanakan.

Sedangkan “pihak lain terkait” tersebut di atas yaitu Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Lembaga Non-Kementerian yang terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

b. Penetapan Pagu Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara Menteri Keuangan menetapkan pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dengan berpedoman pada: 1) arah kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden; 2) prioritas anggaran; 3) Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan

pendahuluan pembahasan Rancangan APBN; 4) indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara; dan 5) evaluasi Kinerja penggunaan dana Bendahara Umum Negara.

c. Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara Pembantu Pengguna Anggaran-Bendahara Umum Negara yang telah ditunjuk Menteri Keuangan menyusun Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara berdasarkan pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dimaksud. Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dapat dilakukan dengan berkoordinasi dengan K/L atau pihak lain yang terkait.

d. Pengusulan Alokasi Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara mengusulkan alokasi dana pengeluaran Bendahara Umum Negara kepada Menteri Keuangan dengan berpedoman pada Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara yang telah disesuaikan dengan berita acara hasil kesepakatan pembahasan APBN.

e. Penetapan Alokasi Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara Menteri Keuangan menetapkan alokasi dana pengeluaran Bendahara Umum Negara berdasarkan Keputusan Presiden yang ditetapkan paling lambat tanggal 30 November dan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran dana pengeluaran Bendahara Umum Negara sebelum dimulainya tahun anggaran paling lambat akhir bulan Desember. Penetapan alokasi dana pengeluaran Bendahara Umum Negara tertentu yang alokasi dananya belum dapat ditetapkan pada saat ditetapkannya APBN dapat dilakukan pada tahun anggaran berjalan.

Page 76: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

69PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

O. PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA1. Tingkatan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja mengacu pada struktur organisasi Kementerian/Lembaga. Hubungan antara struktur organisasi dan kinerja yang akan dicapai merupakan kerangka Penganggaran Berbasis Kinerja sebagaimana Diagram berikut ini:

Gambar 7 Tingkatan Penerapan Anggaran berbasis Kinerja

Jumlah Rupiah

Jumlah Rupiah

Indikator Kinerja

Indikator Kinerja

Outputdan

Volume Output

Outputdan

Volume Output

LevelNasional

Target Kinerja

Target Kinerja

Indikator KinerjaNasional

Indikator KinerjaNasional

Total Rupiah

Total Rupiah

Kementerian/Lembaga

Kegiatan PrioritasKegiatan Prioritas

Kegiatan Tupoksi

PRIORITAS ESSELON I

ESSELON II/SATKERFokus Prioritas

2. Sumber Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraPelaksanaan APBN dilaksanakan oleh K/L Negara berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran yaitu DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) dalam satu tahun anggaran yakni dari Januari s.d. Desember. Sumber dana APBN dalam DIPA terdiri atas 3 (tiga) sumber yaitu Rupiah Murni (RM), Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Pembahasan teknis pencairan dana APBN yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pengalokasian anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang dananya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak, tata cara penuangan ke dalam RKA-KL mengacu pada:− Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Pemerimaan Negara

Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

− Nomenklatur kegiatan yang ada pada tabel referensi aplikasi RKA-KL;− Rekapitulasi target penerimaan dan pagu penggunaan;− Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak masing-

masing Kementerian/Lembaga;− KMK/Surat Menteri Keuangan tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana yang

berasal dari Pemerimaan Negara Bukan Pajak. − Ketentuan akun untuk pembayaran honor bagi para pengelola Penerimaan Negara Bukan

Pajak (terkait dengan operasional Satuan Kerja menggunakan akun 521115 sedangkan Non operasional Satuan Kerja menggunakan akun 521213)

Page 77: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

70 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang merupakan salah satu sumber dana dalam DIPA dibedakan atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat dan PNPB yang setorannya secara Tidak Terpusat. a. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat

1) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh Kantor Pusat suatu K/L Negara. Penggunaan dana dialokasikan pada kantor-kantor daerah.

2) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat Setor Bukan Pajak.

b. Pengelolaan Pemerimaan Negara Bukan Pajak (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang setorannya secara Tidak Terpusat.

PNPB yang setorannya secara Tidak Ter pusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilak sana kan oleh masing-masing instansi/kantor dan tidak dapat langsung dipergunakan. Tahap awal dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagaimana pengelolaan dana APBN pada umumnya, adalah perencanaan yang dituangkan dalam bentuk Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL). Penyusunan RKAKL dilakukan oleh seluruh satuan kerja yang berada di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga. Penyusunan RKA-KL Badan Pertanahan Nasional dilaku kan oleh seluruh satuan kerja yang berada di lingkungan BPN. Seluruh satuan kerja yang berada di Kantor Pusat BPN, kantor-kantor wilayah BPN di propinsi, maupun kantor-kantor Pertanahan di kabupaten/kota melakukan perencanaan dan penganggaran untuk selanjutnya dikonsolidasikan (bottom up system) menjadi dokumen RKA-KL.

Dalam menyusun RKA-KL, BPN memprediksi target penerimaan yang akan diperoleh selama satu tahun anggaran dan pagu belanja untuk membiayai rencana kerja yang akan dilakukan. Target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat fungsional diperoleh dari target fisik pertanahan yang akan dilayani dikalikan dengan tarif pelayanan, sedangkan pagu belanja berkenaan dengan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat fungsional adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132 Tahun 2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, untuk masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:1) Pelayanan Pendaftaran Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81,54%

(delapan puluh satu koma lima puluh empat persen),2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81, 67%

delapan puluh satu koma enam puluh tujuh persen),3) Pelayanan Informasi Pertanahan, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 82,35%

(delapan puluh dua koma tiga puluh lima persen),4) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, dengan izin penggunaan paling tinggi

sebesar 80,50% (delapan puluh koma lima puluh persen),

Page 78: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

71PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

5) Pelayanan Redistribusi Tanah Secara Swadaya, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 95% (sembilan puluh lima persen), dan

6) Penyelenggaraan Pendidikan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadasteral, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 86% (delapan puluh enam persen).

Seiring dengan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 dan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, dimana terdapat perubahan atas jenis-jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN, Menteri Keuangan mengatur kembali penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN dengan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010, izin penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI adalah sebagai berikut:1) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal

dari: a). pelayanan survei, pengukuran dan pemetaan;b). pelayanan pemeriksaan tanah;c). pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya;d). pelayanan pertimbangan teknis pertanahan;e). pelayanan pendaftaran tanah;f). pelayanan informasi pertanahan;g). pelayanan lisensi;h). pelayanan kerjasama di bidang pertanahan yang berasal dari kerjasama dengan

pihak lain; Untuk kegiatan Pelayanan Pertanahan, dengan izin penggu naan paling tinggi sebesar

85,54% (delapan puluh lima koma lima puluh empat persen). 2) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal dari

Pelayanan Pendidikan untuk kegiatan pelayanan pendidikan dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 90,11% (sembilan puluh koma sebelas persen).

c. Pelaksanaan dalam Rangka Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak1) Pemberian Pelayanan dan Pemungut an/Penyetoran Penerima an Negara Bukan Pajak Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPN memberikan berbagai jenis pelayanan di bidang

pertanahan. Jenis-jenis pelayan yang diberikan oleh BPN menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 dikelompokkan ke dalam sepuluh jenis kegiatan pelayanan pertanahan sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Dari berbagai jenis pelayanan di bidang pertanahan tersebut BPN mengenakan tarif pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian pelayanan oleh Kantor Pertanahan secara garis besar diawali dengan adanya surat permohonan dari pemegang hak atau kuasanya disertai dengan dokumen pendukungnya. Atas dasar surat permohonan

Page 79: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

72 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

tersebut, Kantor Pertanahan memperhitungkan tarif nya sesuai dengan ketentuan tarif yang berlaku untuk jenis pelayanan yang diminta dan selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Setor (SPS) kepada pemohon/wajib bayar. Wajib bayar melakukan penyetoran sebesar jumlah yang tercantum dalam SPS yang harus dibayarkan. Penyetoran oleh wajib bayar dapat dilakukan melalui dua cara, yakni penyetoran langsung ke rekening Kas Negara13 melalui bank/pos persepsi14 atau penyetoran melalui Bendahara Penerimaan pada Kantor Pertanahan untuk selanjutnya disetorkan ke rekening Kas Negara melalui bank/pos persepsi. Penyetoran ke bank/pos persepsi menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (Surat Setor Bukan Pajak)15.

Setelah pemohon melunasi pemba yar an sesuai dengan SPS serta sejak berkas diterima lengkap oleh Kantor Pertanahan, penyelesaian pelayanan pertanahan berpedoman pada Peratur-an Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu16. Persyaratan dan jangka waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis pelayanan pertanahan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008.

Sesuai dengan ketentuan dalam per aturan perundang-undangan, se lu ruh penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Per tanahan Nasional wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.17 Dalam praktiknya, dengan mem pertimbangkan kendala jarak maupun efisiensi dan efektivitas, penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan ke Kas Negara melalui bank/pos persepsi tidak dilakukan setiap hari kerja. Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah disetorkan ke rekening Kas Negara, baik disetor langsung oleh wajib bayar maupun yang dipungut oleh Bendahara Penerimaan, dicatat sebagai realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak. Selain itu juga terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipotong langsung melalui penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)18.

13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar pengeluaran negara. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 2. 12.

14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Ibid. , Pasal 1 butir 13 dan 15.

15. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara ke rekening Kas Negara, bank/pos persepsi menerbitkan Bukti Peneriman Negara (BPN) yang salah satu lembarnya diserahkan kepada penyetor. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP) dan dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM dengan teraan NTPN dan Nomor Potongan Penerimaan (NPP). NTPN dan NTB/NTP yang terdapat pada BPN merupakan pengesahan atas penerimaan negara melalui Bank/Pos. Ibid. , Pasal 2 butir 9, Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4).

16 Pelayanan pertanahan untuk jenis pelayanan pertanahan tertentu meliputi: (a) Pemeriksaan (pengecekan) sertipikat, (b) Peralihan hak – Jual beli, (c) Peralihan hak – Pewarisan, (d) Peralihan hak – Hibah, (e) Peralihan hak – Tukar Menukar, (f) Peralihan hak – Pembagian hak bersama, (g) Hak tanggungan, (h) Hapusnya hak tanggungan – roya, (i) Pemecahan sertipikat –Perorangan, (j) Pemisahan sertipikat – Perorangan, (k) PenggaBendahara Umum Negaragan sertipikat – Perorangan, (l) Perubahan hak milik untuk rumah tinggal dengan ganti blanko, (m) Perubahan hak milik untuk rumah tinggal tanpa ganti blanko, dan (n) Ganti nama. Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala BPN RI tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008, Pasal 1 ayat (2).

17. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, op. cit. , Pasal 26. Ketentuan ini sama dengan ketentuan pada PP Nomor 46 Tahun 2002 yang berlaku sebelumnya,yaitu pada Pasal 24.

18.Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 12.

Page 80: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

73PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

TABEL 1. PERENCANAAN LAPORAN REALISASI PNBP21

NO. PERIODE JANGKA WAKTU BATAS WAKTU PENYERAHAN

1

2

3

4

Triwulan I

Triwulan II

Triwulan III

Triwulan IV

Jan-Maret

April-Juni

Juli-September

Oktober-Desember

30 April

31 Juli

31 Oktober

31 Januari

Sumber: Hasil Pengumpulan Data di Lapangan, 2013

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipotong melalui SPM biasanya merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat umum, seperti: pendapatan sewa rumah dinas, penerimaan kembali belanja pegawai pusat tahun anggaran yang lalu, pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan sebagainya.

Atas realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut, sebagian dananya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pelayanan pertanahan atau pendidikan. Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan adalah dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat fungsional atau yang berasal dari pelayanan yang diberikan oleh BPN sesuai dengan tugas dan fungsinya di bidang pertanahan. Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan setelah men dapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.

d. Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah

(Departemen dan Lembaga Non Departemen) sesuai dengan perintah UU atau PP atau penunjukan dari Kementerian Keuangan, berdasarkan Rencana Pene rimaan Negara Bukan Pajak 19 yang dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah20 ter sebut. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah dipungut atau ditagih ter se but wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Triwulan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan tersebut berakhir, dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

19. Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah hasil penghitungan/penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diperkirakan akan diterima dalam 1(satu) tahun yang akan datang (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak), memuat sekurang-kurangnya mengenai jenis, tarif, periode dan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak dan disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Juli Tahun Anggaran berjalan

20. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara Pejabat Instansi Pemerintah adalah Sekretaris Jenderal atau pemegang jabatan setingkat yang berfungsi sebagai Sekretaris Jenderal pada Instansi Pemerintah (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).

21. Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah daftar yang memuat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah dicapai/diproleh dalam periode tertentu (Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).

Namun dalam perkembangan selanjutnya, menurut Surat Edaran Sekretaris Jenderal Depkeu RI Nomor: S-389/SJ/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, Instansi Pemerintah me miliki kewajiban untuk menyampaikan Laporan Bulanan realisasi

Page 81: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

74 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Penerimaan Negara Bukan Pajak setiap tanggal 10 bulan berikutnya kepada Sekretaris Jenderal u. p. Biro Perencanaan dan Keuangan serta tembusan disampaikan ke pada Sekretaris Dirjen Pajak u. p. Kepala Bagian Keuangan22. Walaupun Penerimaan Negara Bukan Pajak memiliki sifat segera harus di setorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu23 oleh instansi yang bersangkutan.

Pemberian ijin penggunaan dan besaran jumlah ditentukan oleh Menteri Keuangan melalui Keputusan Kementerian Keuangan, setelah Pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan yang sedikitnya dilengkapi dengan: 1) tujuan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak antara lain untuk me ning kat kan

pelayanan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mening katkan produktivitas kerja serta meningkat kan efisiensi perekonomian;

2) rincian kegiatan pokok instansi dan kegiatan yang akan dibiayai Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3) jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak beserta tarif yang berlaku; dan 4) laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan untuk 2 (dua) tahun

anggaran mendatang. Kegiatan penatausahaan sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pa jak ini dilakukan oleh

pimpinan ins tan si/bendaharawan penerima dan benda ha rawan pengguna, yang ditunjuk setiap awal tahun anggaran. Apabila terdapat saldo lebih maka pada akhir tahun anggaran wajib disetor seluruhnya ke Kas Negara.

5) Penerimaan Negara Bukan Pajak Terutang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat atau dalam suatu periode

tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku disebut Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Ter utang. Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang ditentukan dengan cara:

a). ditetapkan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian paten, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penjualan karcis masuk; atau

b). dihitung sendiri oleh Wajib Bayar24, antara lain pemanfaatan sumber daya alam. Juklak Penerimaan Negara Bukan Pajak terutang terdapat dalam Peraturan Peme rintah Nomor

29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, dihitung dengan menggunakan tarif: a). spesifik25; b). advalorem26 ; atau c). ketentuan perundang-undangan27.

22. Format Laporan terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak.

23. Yang dimaksud dengan kegiatan tertentu meliputi bidang-bidang kegiatan: penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, pelestarian sumber daya alam (Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu).

24. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundan-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak juncto Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang)

25. Tarif spesifik adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009) 26. Tarif advalorem adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan satuan nilai (berupa Harga Patokan, indeks harga, kurs,

pendapatan kotor, atau penjualan bersih) yang digunakan sebagai dasar perhitungan. 27. Dalam hal ini penetapan berdasarkan formula, kontrak, putusan pengadilan, dan hasil lelang.

Page 82: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

75PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

TABEL 2 PENGATURAN PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PNBP TERUTANG

NO. INSTANSI PEMERINTAH WAJIB BAYAR

1

2

3

pembayaran dilakukan oleh wajib bayar paling lambat pada saat jatuh tempo

apabila belum dibayar, penagihan wajib dilakukan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah

mekanisme:a. Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan Surat

Tagihan Pertama;b. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat

Tagihan Pertama, belum dilunasi, Instansi Pemer-intah menerbitkan Surat Tagihan Kedua;

c. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan Kedua, belum dilunasi, Instansi Pemerin-tah menerbitkan Surat Tagihan Ketiga;

d. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga, belum dilunasi, Instansi Pemerin-tah menerbitkan Surat Penyerahan. Tagihan ke-pada instansi yang berwenang mengurus piutang Negara tersebut

pembayaran dilakukan oleh instansi pemerintah pada waktu yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah pembayaran dilakukan oleh wajib bayar paling lambat pada saat jatuh tempo

apabila belum dibayar, penagihan dilakukan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah (Kementerian atau Pim-pinan Lembaga Non Depar te men) selaku Pengguna Anggaran apabila belum dibayar, penagihan wajib di-la kukan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah

mekanisme penagihan dan/atau pemungutan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan mekanisme:

Sementara pengaturan Pembayaran dan Penye tor an Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dapat digambarkan sebagai berikut:

Untuk pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak, penyetoran dilakukan menggunakan formulir SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dan disampaikan kepada Bendahara Penerimaan Satuan Kerja28. Wajib bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang harus menyampaikan surat tanda bukti pembayaran yang sah kepada Menteri Keuangan c. q. Dirjen Anggaran. Apabila Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran sampai melampaui jatuh tempo, maka akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh29. Pemberian denda ini juga berlaku dalam hal terjadi keter lambatan kekurangan pembayaran Pene rimaan Negara Bukan Pajak keterlam bat an kekurangan30 pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan hanya dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain memiliki kewajiban untuk menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak, Wajib Bayar juga memperoleh hak-hak sebagai berikut:

28. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK. 05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja.

29. Metode perhitungan sanksi administrasi dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang, dan dapat diformulasikan sebagai berikut: (2%x nilai PNBP yang terutang)+akumulasi denda. Keterlambatan 1 hari tetap diperhitungkan sebagai keterlambatan 1(satu) bulan penuh

30. Kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak terjadi karena kesalahan penghitungan tarif, volume, dasar pengenaan tertentu, atau kesalahan administrasi.

Page 83: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

76 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

a. usaha Wajib Bayar masih berjalan

b. usaha Wajib Bayar berakhir

3

a) Wajib Bayar mengajukan permohonan untuk dilakukan peninjauan kembali dari kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan/atau sanksi administrasi berupa denda, diajukan secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah disertai penjelasan, dokumen, dan data pendukung;

b) permohonan tersebut kemudian diajukan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah kepada Kepala BPN RI dilengkapi dengan rekomendasi tertulis;

dalam hal berkaitan dengan kegiatan sosial, kepentingan keagamaan, kepentingan nasional, huBendahara Umum Negaragan internasional, Wajib Bayar tidak mampu membayar kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, mengalami kerugian, yang dibuktikan dengan rekomendasi dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan.

TABEL 3 PEROLEHAN HAK-HAK PENYETOR PNBP

NO. BERKAITAN MEKANISME PEMBERIAN HAK BAGI WAJIB BAYAR

31. Rekomendasi tertulis adalah surat Kepala BPN RI yang menjelaskan bahwa pengakhiran kegiatan usaha karena izin usaha berakhir yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang; atau pailit (dibuktikan dengan putusan pengadilan).

32.Permohonan juga dapat ditolak, dalam hal perusahaan mempunyai tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, dan setelah ditolak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dikembalikan ke Pimpinan Instansi Pemerintah.

33. Permohonan disertai alasan, data pendukung (berupa laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun buku berturut-turut serta data penunjang keuangan lainnya) serta dokumen lainnya berupa surat keterangan dari instansi yang berwenang.

34. Apabila disetujui oleh Kepala BPN RI, maka dalam Surat Persetujuan Kepala BPN RI akan terdapat jumlah dan jangka waktu angsuran atau penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Sementara jika ditolak, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menagih Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Surat Penolakan diterima Wajib Bayar.

dalam kondisi keuangan perusahaan kurang mendukung atau terjadi force majeur (bencana alam)

dalam hal terdapat kelebihan perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang 1

2

1) Wajib Bayar mengajukan permohonan mengangsur dan/atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 20 (dua puluh hari) sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang33; Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan per-mohon an tersebut beserta rekomendasi tertulis kepada Menteri Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan tersebut diterima secara lengkap;

2) Setelah melalui pertimbangan tertentu, Kepala BPN RI menerbitkan per­setujuan atau penolakan permohonan dan menyampai kannya kepada Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak surat permohonan dari Pimpinan Instansi Pemerintah diterima;

3) Setelah diterima, Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan persetujuan atau penolakan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari setelah persetujuan atau penolakan dari Kepala BPN RI34;

1) Wajib Bayar mengajukan permohonan pengembalian kelebihan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah disertai dokumen pendukung lengkap;

2) Setelah melalui pertimbangan yang ada, jika disetujui, kelebihan pembayar­an diperhitung kan sebagai pembayaran dimuka atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang pada periode berikutnya.

1) Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan permohonan pengem ba li an kelebihan pembayaran kepada Menteri Keuangan disertai rekomendasi tertulis31;

2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, jika disetujui Kepala BPN RI akan menerbitkan penetapan persetujuan pengembalian kelebihan pembayaran secara tunai32;

3) Pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penetapan persetujuan Kepala BPN RI;

4) Apabila melampaui batas waktu, Wajib Bayar juga memperoleh imbalan Bendahara Umum Negara 2% per bulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Page 84: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

77PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

4

Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan penetapan atas kelebihan tersebut yang kemudian diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang dari Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang

Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dilakukan pemeriksaan oleh instansi berwenang untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Instansi yang berwenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya kekurangan penerimaan ini, berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Pimpinan Instansi Pemerintah akan menerbitkan penetapan atas kekurangan tersebut, dan wajib untuk dilunasi dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang wajib untuk dilunasi dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang.

6) Pencairan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Mekanisme pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak di lingkungan BPN RI dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut. a) Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)35 pada Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM), dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Uang Persediaan (UP)36 /Tambahan Uang Persediaan (TUP)37 untuk Penerimaan Negara Bukan

Pajak diajukan terpisah dari Uang Persedia an (UP)/Tambahan Uang Persediaan (TUP) lainnya mengguna kan akun 825113;

35. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan disampaikan kepada Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk selaku pemberi kerja untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat penerbit SPM berkenaan. Ibid. , Pasal 1 butir 11.

36. Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Ibid. , Pasal 1 butir 14

37. Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah uang yang diberikan kepada Satuan Kerja untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan melebihi pagu UP yang ditetapkan. Ibid. ,Pasal 1 butir 15.

NO. BERKAITAN MEKANISME PEMBERIAN HAK BAGI WAJIB BAYAR

c) Kepala BPN RI kemudian dapat menerbitkan surat persetujuan atau surat penolakan dan menyampaikan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah yang bersifat final;

d) Oleh Pimpinan Instansi Pemerintah, diberikan persetujuan atau penolakan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja;

e) Ketentuan mengenai tata cara peninjauan kembali diatur dengan Peraturan Kepala BPN RI.

Page 85: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

78 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

(2) Uang Persediaan (UP) dapat diberikan kepada satuan kerja (Satuan Kerja) pengguna sebesar 20% dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA maksimal sebesar Rp. 500. 000. 000,- (lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (Penerimaan Negara Bukan Pajak) tahun anggaran sebelumnya. Apabila Uang Persediaan (UP) tidak mencukupi dapat mengajukan Tambahan Uang Persediaan (TUP) sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan dana (MP).

(3) Dana yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat dicairkan maksimal sesuai formula sebagai berikut:

MP = (PPP x JS) – JPS; Keterangan: MP = maksimum pencairan dana; PPP = proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan; JS = jumlah setoran; JPS=jumlah pencairan dana sebelum nya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan. Dalam pengajuan SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/GUP/LS Pene rimaan Negara

Bukan Pajak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)38, Satuan Kerja peng guna harus melampirkan Daftar Per hitungan Jumlah Maksimum Pencairan Dana.

(4) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat Setor Bukan Pajak.

(5) Satuan Kerja pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (Surat Setor Bukan Pajak) yang telah dikonfirmasi oleh KPPN.

(6) Besaran PPP untuk masing-masing Satuan Kerja pengguna diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.

(7) Besarnya pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Kerja yang bersangkutan dalam DIPA.

(8) Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP) Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Kuasa PA, dilakukan dengan mengajukan SPM ke KPPN setempat cukup dengan melampirkan SPTB.

(9) Khusus STPN selaku pengguna Penerimaan Negara Bukan Pajak, sisa dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening Kas Negara dapat dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.

b). Sisa dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Satuan Kerja pengguna di luar butir i), yang disetorkan ke rekening kas negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.

38. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. kerja lainnya. Ibid. ,Pasal 1 butir 4.

Page 86: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

79PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

c). Sisa Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan (TUP) dana Penerimaan Negara Bukan Pajak sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan ke rekening kas negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP tahun anggaran berikutnya.

d). Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP) Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Kuasa Pengguna Anggaran, dilakukan dengan mengajukan Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM-GUP) ISI atau SPM-GUP NIHIL ke KPPN.

e). Persyaratan Surat Perintah Membayar. (1) Surat Perintah Membayar (SPM UP) (menggunakan akun 825113), disertai Arsip

Dokumen Kantor SPM(2) Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ISI, menggunakan

akun-akun yang diperbolehkan, dengan disertai: − Arsip Dokumen Kantor SPM;

− SPTB khusus Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ;− Copy Faktur Pajak/Surat Setor Pajak yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh

KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);− Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;− Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

a) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM TUP), menggunakan akun-akun yang diperbolehkan dan pada potongan SPM menggunakan akun 825113 dengan disertai:(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;(2) Surat Pernyataan Tambahan Uang Persediaan (TUP);(3) Rincian Rencana Penggunaan Dana beserta Sisa Dana atas akun yang digunakan. (4) Rekening Koran Bendahara Pengeluaran;(5) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;(6) Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak

b) Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) NIHIL:(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;(2) SPTB khusus Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ;(3) Copy Faktur Pajak/Surat Setor Pajak yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh

KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);(4) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;

− Surat Setoran Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;− Surat Setor Bukan Pajak atas penyetoran ke rekening Kas Negara yang telah

divalidasi KPPN bila Tambahan Uang Persediaan (TUP) tidak habis dipergunakan;c) Surat Perintah Membayar Langsung (SPM LS):

(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;(2) SPTB khusus Surat Perintah Membayar Langsung (SPM LS);(3) Resume Kontrak, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas, Daftar Penerima Honor dan Surat

Keputusan Pemberian Honor (tergantung jenis transaksinya). (4) Faktur Pajak/Surat Setor Pajak (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak)(5) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;(6) Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Page 87: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

80 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2) Setelah menerima SPP, Pejabat Pengujian dan Penandatangan SPM menerbitkan SPM dengan mekanisme sebagai berikut:a) Penerimaan dan pengujian SPP Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas

SPP, mengisi check list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP dan membuat/menandatangani tanda terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat penerbit SPM.

b) Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:(1) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. (2) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh keyakinan

bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran. (3) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja yang dicapai

dengan indikator keluaran. (4) Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:

− Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan, alamat, nomor rekening dan nama bank);

− Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak);

− Jadual waktu pembayaran. c) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator

keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan/atau spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan dalam kontrak.

3) Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-Uang Persediaan (UP)/SPP-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/SPP-GUP (UP)/SPPLS, Pejabat Penguji SPP dan penandatangan SPM menerbitkan SPM Uang Persediaan (UP)/SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/SPM-GUP(UP)/SPM-LS39 dalam rangkap 4 (empat):a) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN;b) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada Satuan Kerja yang bersangkutan;c) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada penerbitan SPM. Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna

Anggaran/ Penanggung jawab Kegiatan/ Pembuat Komitmen beserta dokumen pendukung40 dan disertai Arsip Data Komputer (ADK)41 berupa soft copy (disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi Satuan Kerja yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu Arsip Dokumen Kantor.

39. Terdapat beberapa jenis Surat Perintah Membayar (SPM), di antaranya adalah (1) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk pekerjaan yang akan dilaksanakan dan membebani Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) transito. (2) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi pagu uang persediaan dan membebani MAK transito. (3) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-GUP adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai. (4) Surat Perintah Membayar Langsung (SPMLS) adalah surat perintah membayar langsung kepada pihak ketiga yang diterbitkan Oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah Kerja lainnya. Ibid. , Pasal 1 butir 16--19.

40. Ketentuan selengkapnya mengenai dokumen pendukung untuk masing-masing jenis SPM dapat dibaca pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 9.

41. Arsip Data Komputer (Arsip Dokumen Kantor) adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit, Pasal 1 butir 19

Page 88: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

81PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

4) SPM yang diajukan ke KPPN dijadikan dasar untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)42.

Sebelum menerbitkan SP2D, KPPN melakukan pengujian SPM yang mencakup pengujian yang bersifat substansif dan formal. Pengujian substantif dilakukan untuk: a). menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;b). menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam

SPM tersebut;c). menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar

Nominatif Perjalanan Dinas);d). menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/Satuan Kerja atau pejabat

lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran; e). menguji faktur pajak beserta Surat Setor Pajaknya; Sedangkan pengujian SPM yang men cakup pengujian yang bersifat formal dilakukan untuk:

a) mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesi men tandatangan; b) memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf; c) memeriksa kebenaran dalam penulis an, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam

penulisan.

Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana SPM yang diajukan memenuhi syarat yang ditentukan atau pengembaliaan SPM.43 Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas be ban APBN berdasarkan SPM. Direktorat Jen deral Perbendaharaan, Peraturan Direk tur Jenderal Perbendaharaan tentang Me kanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13. kepada penerbit SPM, apabila tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SP2D. Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara:a) SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi

Bendum. b) SP2D ditebitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul Seksi Bank/Giro

Pos atau Seksi Bendum yang disampaikan kepada:− Lembar 1: Kepada Bank Operasional. − Lembar 2: Kepada penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang telah dibubuhi Cap “

Telah diterbitkan SP2D tanggal …. Nomor . − Lembar 3: Sebagai pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi), dilengkapi

lembar ke-1 SPM dan dokumen pendukungnya.

Dengan diterbitkannya SP2D, bank operasional akan mengkredit sejumlah uang ke nomor dan nama rekening sesuai yang tertera dalam SP2D.

42. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13.

43. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op. cit. , Pasal 8 ayat (1).

Page 89: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

82 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

e. Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Sebagaimana telah diuraikan sebelum nya, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan

Pajak tersebut dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu pada Instansi yang mengelolanya dalam rangka pembiayaan operasional dana pemeliharaan dan/atau investasi, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia44. Sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan tersebut ditetapkan oleh Kementerian Keuangan45.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK. 06/2003 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak diizinkan oleh Menteri Keuangan untuk digunakan membiayai masing-masing kegiatan. Izin penggunaan paling tinggi adalah sebesar persentase tertentu dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Ini berarti bahwa sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pendaftaran Tanah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka pelayanan pendaftaran tanah, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Informasi Pertanahan hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka pelayanan informasi pertanahan, dan seterusnya.

Sementara dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, yang mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK. 06/2003, sebesar 85,54% dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari berbagai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN, kecuali Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal dari Pelayanan Pendidikan, dapat digunakan untuk membiayai pelayanan pertanahan secara fleksibel, yaitu untuk membiayai kegiatan operasional, pemeliharaan, dan investasi (infrastruktur) dalam rangka:1) peningkatan pelayanan di bidang pertanahan yang melibatkan kemampuan intelektual

tertentu, yang meliputi survei, pengukuran dan pemetaan, pemeriksaan tanah, konsolidasi tanah secara swadaya, pertimbangan teknis pertanahan, pendaftaran tanah, informasi pertanahan, lisensi, dan kerja sama dengan pihak lain;

2) penegakan hukum di bidang pertanahan; serta3) pendidikan dan pelatihan di bidang pertanahan. Khusus dana Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pendidikan, sebesar 90,11% dapat digunakan untuk kegiatan pelayanan pendidikan, yaitu untuk membiayai kegiatan operasional, pemeliharaan, dan investasi dalam rangka peningkatan pelayanan di bidang pendidikan pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

f. Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan suatu

44. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op. cit. , Pasal 8 ayat (1). 166

45. Ibid. , Pasal 4 ayat (2).

Page 90: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

83PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

hal yang semestinya dilakukan dalam tahun anggaran berjalan untuk mengukurefektifitas kinerja yang telah dilakukan. Evaluasi dilakukan terhadap capaian kinerja realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, apakah target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dialokasikan dalam DIPA akan dapat terpenuhi atau bahkan terlampaui. Evaluasi juga dilakukan terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mencapai target Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Dalam buku Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan BPN RI, Kepala Satuan Kerja diminta untuk melakukan evaluasi secara periodik terhadap penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Apabila telah atau diperkirakan akan melampaui pagu yang tersedia dalam DIPA, Kepala Satuan Kerja segera mengajukan usul revisi penambahan pagu secara berjenjang kepada BPN Pusat dengan melampirkan:1) Rincian Penerimaan dan Pengeluaran yang dituangkan dalam aplikasi RKA-KL;2) Bukti-bukti pendukung, antara lain: Surat Setor Bukan Pajak/rekap Surat Setor Bukan

Pajak yang sudah disahkan oleh KPPN setempat;3) SPK/Kontrak Kerja/Surat Permohonan dari pihak ketiga yang disertai perhitungan

setoran.

Dalam upaya pencapaian target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPN menghadapi hambatan-hambatan sehingga realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak sesuai dengan target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diharapkan. Tidak tercapainya target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dialokasikan pada BPN RI tahun anggaran 2009 disebabkan antara lain46: 1) terdapat beberapa pihak yang belum/tidak menyetor angsuran tuntutan ganti rugi

sebagaimana seharusnya;2) realisasi pada pendapatan penjualan, sewa, jasa, dan Bendahara Umum Negaraga pada

periode ini tidak sesuai dengan target anggarannya;3) di beberapa daerah, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengurusan hak atas

tanah yang dikuasainya masih rendah; dan4) kondisi sosial ekonomi mayarakat yang belum mendukung. Apabila terdapat satuan kerja yang realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan

Pajak-nya melampaui target penerimaan, satuan kerja tersebut dapat mengajukan revisi penambahan pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Revisi penambahan pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan agar sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berhasil direalisasi dapat dimanfaatkan untuk memberikan dan meningkatkan pelayanan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, telah menyetujui sebesar persentase tertentu dari realisasi dana Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk digunakan, namun penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak boleh melebihi pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah ditetapkan. Realisasi penerimaan Penerimaan Negara

46. Dalam Laporan Realisasi Anggaran Kementerian/Lembaga untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2009 terungkap bahwa BPN tidak mampu memenuhi target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran 2008 dan 2009. Pada tahun anggaran 2008, dari target penerimaan sebesar Rp. 1. 375. 968. 231. 664,- yang terealisasi sebesar 918. 323. 461. 350,- (66,74%). Sementara pada tahun anggaran 2009, dari terget penerimaan sebesar RP 1. 392. 973. 187. 105,- yang terealisasi sebesar Rp. 1. 000. 093. 464. 379,- (71. 80%). Badan Pertanahan Nasional, Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2009 Tahun Anggaran 2009, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 28.

Page 91: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

84 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Bukan Pajak yang melampaui target penerimaan tidak serta merta menambah pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jika tidak terdapat revisi penambahan pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak padahal realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak melampaui target, selisih lebih realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diperhitungkan sebagai realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya.

g. Pembukuan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Semua transaksi mengenai dana Penerimaan Negara Bukan Pajak, baik penerimaan maupun

pengeluaran, harus dicatat dan dibukukan sedemikian rupa oleh bendahara. Terdapat dua macam bendahara berkenaan dengan pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak, yakni bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. Masing-masing bendahara mempunyai tugas yang berbeda dan kedua jabatan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh satu orang (rangkap jabatan). 1) Bendahara Penerimaan Uraian tugas Bendahara Penerimaan berkenaan dengan pembukuan dana Penerimaan

Negara Bukan Pajak sebagai berikut47. a) Bendahara Penerimaan wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh

penerimaan dan pengeluaran/penyetoran atas penerimaan, meliputi seluruh transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja yang berada di bawah pengelolaannya.

b) Dalam rangka menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bendahara Penerimaan wajib menyelenggarakan pembukuan dalam Buku Kas Umum, buku-buku pembantu, dan Buku Pengawasan Anggaran.

c) Bendahara Penerimaan membukukan seluruh penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, baik yang disetor langsung oleh wajib setor ke Kas Negara maupun yang dipungutnya.

d) Buku Pembantu Bendahara Penerimaan terdiri dari Buku Pembantu Kas dan buku pembantu lainnya sesuai kebutuhan.

2) Bendahara Pengeluaran Uraian tugas Bendahara Pengeluaran berkenaan dengan pembukuan dana Penerimaan

Negara Bukan Pajak sebagai berikut48. a) Bendahara Pengeluaran wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh

penerimaan dan pengeluaran meliputi seluruh transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja satuan kerja yang berada di bawah pengelolaannya.

b) Dalam rangka menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bendahara Pengeluaraan wajib menyelenggarakan pembukuan dalam Buku Kas Umum, buku-buku pembantu, dan Buku Pengawasan Anggaran.

c) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat menentukan buku-buku pembantu/register-register di samping Buku Kas Umum.

47. Badan Pertanahan Nasional, Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan BPN RI, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 2348. Ibid. , hal. 24 dan 25

Page 92: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

85PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

d) Buku pembantu Bendahara Pengeluaran sekurang-kurangnya terdiri dari Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP), Buku Pembantu LS-Bendahara, Buku Pembantu Pajak, dan Buku Pembantu Lain-lain.

e) Pembukuan yang dilakukan oleh bendahara harus dimulai dari Buku Kas Umum, selanjutnya pada buku-buku pembantu.

f) Setiap transaksi penerimaan dan pengeluaraan harus segera dicatat dalam Buku Kas Umum sebelum dibukukan dalam buku-buku pembantu/register-register.

g) Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Bendahara Pengeluaran dapat dibantu oleh satu atau lebih Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP).

h) Dalam hal Bendahara Pengeluaran dibantu oleh BPP, Bendahara Pengeluaran wajib menyampaikan daftar rincian jumlah Uang Persediaan (UP) yang dikelola oleh masingmasing BPP pada saat pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM UP)/Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM TUP) ke KPPN.

i) Bendahara Pengeluaran dapat membukukan transaksi atas dasar nilai yang tertuang dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) BPP.

h. Pertanggungjawaban Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan bagian dari pelaksaanaan

dana APBN yang harus dipertanggungjawabkan. Tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah pertanggungjawaban dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dituangkan dalam laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan BPN dilakukan secara berjenjang dari semua unit akuntansi kuasa pengguna anggaran di lingkungan BPN sampai unit akuntansi pengguna anggaran. Kuasa Pengguna Anggaran harus membuat dan menyampaikan dua jenis laporan keuangan, yaitu secara manual dan secara aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI). 1) Laporan Keuangan Secara Manual Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk membuat dan menyampaikan

laporan keuangan sebagai berikut:a) Laporan Keadaan Kredit Anggaran (LKKA) dan Laporan Keadaan Kas (LKK). b) Laporan Keadaan Kas Uang Penerimaan (LKKUP). c) Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengeluaran dan Laporan

Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Penerimaan disertai salinan rekening koran dari bank/pos bulan berkenaan.

d) Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengguna Lainnya (seiring dengan ditiadakannya Dana Bantuan Pengelolaan dan pengadministrasian biaya transportasi pelayanan pertanah an, mulai tahun anggaran 2010 BPN tidak menunjuk Bendahara Pengguna Lainnya).

e) Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak triwulanan dan Laporan perkiraan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak sampai dengan triwulan IV.

2) Laporan Keuangan Secara Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK. 05/2007 tentang Sistem

Akuntansi Instansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat serta Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan Laporan

Page 93: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

86 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Keuangan dengan Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI) setiap Kepala Kantor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran wajib membentuk:a) Kantor Pertanahan membentuk Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA)

yang mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:b) memproses dokumen sumber berupa RKA-KL, Surat Setor Pajak (SSP), Surat Setor

Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB), DIPA, Revisi DIPA, SPM, SP2D, dan dokumen lain yang dipersamakan untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan;

c) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor (ADK) setiap bulan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan;

d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor hasil rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan kepada Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W) dan Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat Eselon I (UAPPA-E1/UAPA); dan

e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan disertai dengan Catatan atas Laporan Keuangan dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Satuan Kerja.

2) Kantor Wilayah BPN di samping sebagai Satuan Kerja (UAKPA) juga wajib membentuk Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPAW) yang mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:a) melakukan proses pengga Bendahara Umum Negaragan laporan keuangan yang

berasal dari UAKPA di wilayah kerjanya termasuk laporan realisasi anggaran pembiayaan dan perhitungan (bila ada);

b) menyusun laporan keuangan tingkat UAPPA-W berdasarkan hasil penggaBendahara Umum Negaragan laporan keuangan dari tingkat UAKPA di wilayah kerjanya.

c) menyampaikan laporan keuangan tingkat UAPPA-W beserta Arsip Dokumen Kantor kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayahnya masingmasing setiiap bulan dan melakukan rekonsiliasi setiap triwulan;

d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor setiap bulan ke UAPPAE1/UAPA setiap bulan; dan

e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan secara lengkap (disertai Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Kantor Wilayah masing-masing).

Laporan keuangan seluruh entitas akuntansi yang berada di bawah BPN RI selanjutnya dikompilasi menjadi Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Berdasarkan Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember Tahun Anggaran berjalan (Final).

3) Membuat Maksimal Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak melalui Aplikasi SPM. Aplikasi SPM telah menyediakan fasilitas untuk merekam dan mencetak Maksimal

Page 94: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

87PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak terpusat sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005 pada Menu Karwas MP Penerimaan Negara Bukan Pajak.

4) Proses perekaman. a) Melakukan perekaman besaran prosentase MP berdasar surat Keputusan

Kementerian Keuangan;b) Melakukan perekaman Surat Setor Bukan Pajak, setelah mendapat validasi di KPPN;c) Melakukan pencetakan jumlah rincian MP;d) Melakukan pencetakan daftar lampiran Surat Setor Bukan Pajak;e) Melakukan pencetakan rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN.

5) Output yang dihasilkan. a). Daftar perhitungan jumlah MPb). Daftar lampiran Surat Setor Bukan Pajakc). Daftar rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN

Page 95: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

88 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Page 96: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

89PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN3BAB III

Praktek Empiris Penerimaan Negara

Bukan Pajak

Page 97: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

90 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Penyerapan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak pada lokasi penelitian rata-ata hanya sebesar 46,90%, dimana semakin tinggi tingkat pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka semakin rendah penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan pertanahan.

Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun Anggaran 2009-2011

n PENERIMAANn PENYERAPANn SISA PNBP

Rupiah

PROV. JABAR421.424.853.035347.342.967.846

74.081.885.188

700.000.000.000

600.000.000.000

500.000.000.000

400.000.000.000

300.000.000.000

200.000.000.000

100.000.000.000

0 PROV. JATENG653.090.322.686622.973.359.278

30.215.963.408

PROV. SULTRA172.958.645.961170.916.642.327

2.042.003.634

PROV. KALTENG30.919.784.33421.550.167.395

9.369.616.938

PROV. BENGKULU10.707.044.054

7.098.140.4212.808.903.633

Page 98: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

91PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

A. GAMBARAN UMUM PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Estimasi perencanaan anggaran dan realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Tahun Anggaran 2009-2011 pada seluruh sampel penelitian Kantor Wilayah Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dengan sampel penelitian Kanwil BPN Provinsi dan 8 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 421. 424. 853. 035,- realisasi penggunaan sebesar Rp. 347. 342. 967. 846,- (82,42%), sehingga ada sisa anggaran penerimaan sebesar Rp. 74. 081. 886. 189, untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi jawa Tengah dan dan 8 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 653. 090. 322. 686,- realisasi penggunaan Rp. 622. 873. 359. 278,- (95,37%),- sisa anggaran penerimaan sebesar Rp. 30. 216. 963. 408,- untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara dan 3 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 172. 958. 645. 961,- realisasi penggunaan Rp. 6170. 916. 642. 327 (98,82%), sisa penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 2. 042. 003. 634, untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah dan 4 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 30. 919. 784. 334, realisasi penggunaan Rp. 21. 550. 167. 395 (69,70%), sisa penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar RP. 9. 369. 616. 939,- dan untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu dan dan 3 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 10. 707. 044. 054,- realisasi penggunaan Rp. 7. 898. 140. 421,- (73,77%), sisa penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 2. 809. 903. 633,

B. PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIAa. Analisis Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Rendahnya penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak karena lemahnya perencanaan,

disebabkan angka yang dimasukkan dalam perencanaan Target dan Realisasi kurang akurat, hal ini dikarenakan hampir estimasi perencanaan target dilakukan oleh Bagian atau Sub Bagian Tata Usaha, dimana komponen teknis kurang memahami tentang perancanaan keuangan sedangkan Bagian Tata Usaha atau Sub Tata Usaha kurang juga memahami kegiatan teknis.

Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 ada penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak besar tetapi penggunaannya hanya Rp. 42.000,- (85,54% x Rp. 50.000,) karena bersifat administrasi biasa, contohnya adalah Pendaftaran Hak Tanggungan. Begitu pula adanya penumpukkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan penyerapan anggaran yang terjadi pada akhir tahun anggaran (antara Agustus dan Oktober), sehingga terjadi penggunaan anggaran di akhir tahun.

Saat ini sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang sudah di Surat Setor Bukan Pajak (SSBP) hanya bisa digunakan atas saldo pada tahun anggaran berikutnya, tetapi hal ini juga

Page 99: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

92 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

tidak mudah dikarenakan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun anggaranpun sangat terbatas, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200. 000. 000,- (dua ratus juta rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya.

Seperti kebanyakan kantor pertanahan di kota-kota, sangat tinggi volume pelayanan pertanahan dan signifikan dengan penerimaan PNBP, tatapi kesulitan dalam penggunaan penerimaan tersebut, dikarenakan sudah lengkapnya sarana dan prasaran, sangat tingginya penggunaan untuk pembayaran honor, dan padatnya kinerja sehingga tidak mempunyai waktu untuk kegiatan yang bersifat pendidikan pelatihan dan penelitian. Oleh karena itu akan lebih efektif pengelolaan PNBP dilaksanakan secara terpusat, dengan asumsi akan lebih mengoptimalkan penggunaan PNBP dan memperbaiki kinerja serta dapat menglokasikan dana PNBP tersbut pada kantor-kantor wilayah dan kantor pertanahan yang sangat minim sarana dan prasarana fisik serta kesejahteraannya.

Berdasarkan data dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, saat ini Jika Penerimaan Negara Bukan Pajak terpusat, maka diperlukan;1) Sosialisasi penyusunan perencanaan kegiatan penggunaan untuk mendapatkan angka

yang tepat;2) Penunjukkan Bank Persepsi dan diperlukan disiplin dan komunikasi penerimaan dan

penggunaan setiap saat;3) Pengadaan Sarana dan Prasarana secara teknis diatur secara terpusat namun masuk dlm

DIPA Satuan kerja;4) Menyiapkan dan menggunakan Sistem Aplikasi pengelolaan keuangan Penerimaan

Negara Bukan Pajak terpusat yang dapat dimonitor setiap saat;5) Alokasi penggunaan setiap bulan secara terbatas, seperti halnya pada lembaga Kepolisian

Repunlik Indonesia yang mengalokasikan penggunaan 1/12 setiap sebulannya.

b. Analisis Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran 1) Belum maksimalnya penyerapan anggaran yang bersumber dari Penerimaan Negara

Bukan Pajak Pelayanan Pertanahan dikarenakan antara lain:a) Sampai akhir tahun anggaran masih terdapat dana yang diblokir. b) Penetapan target/estimasi penerimaan terlalu tinggi, sehingga Maksimum Pencairan

dana Penerimaan Negara Bukan Pajak kurang dari Pagu DIPA, akibatnya realisasi belanja dibandingkan dengan Pagu DIPA rendah.

c) Kesalahan prediksi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan khususnya pada kegiatan Non Operasional, akibatnya dana menumpuk/melebihi pagu dan tidak mampu menyerap.

d) Penerimaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak antar Satuan kerja tidak merata dan tidak bisa subsidi silang antar Satuan kerja. Ada Satuan kerja yang penerimaannya

Page 100: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

93PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

melebihi target penerimaan, ada Satuan kerja yang penerimaannya tidak mencapai target penerimaan, akibatnya yang penerimaannya melebihi target perlu revisi penambahan pagu DIPA dan tidak mampu menyerap anggaran, sedangkan yang penerimaannya tidak mencapai target, kemampuan belanjanya di bawah pagu DIPA.

e) Revisi anggaran perlu waktu lama (Revisi antar program, Revisi antar satuan kerja, Revisi penambahan pagu).

f) Prosedur penghapusan BMN mem pengaruhi pelaksanaan peng a daan barang/jasa, sehing ga belanjanya tidak bisa direalisasikan.

g) Belum semua jenis pelayanan pertanahan mempunyai tamplate/ rincian biaya, sehingga tidak bisa membelanjakan.

h) Masih terdapat sisa pekerjaan di akhir tahun, sehingga masih terdapat sisa dana.

TABEL 4 SIMULASI PERENCANAAN ANGGARAN PNBP BPNRI BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 13 TAHUN 2010

KEGIATAN PELAYANAN VOL TARIF TARGET PAGU DIPAMP OPR NON OPR

LAPANGAN

ADMIN

UKUR

RIK TNH

PTP

PENDF HAK

HAK

TANGGUNGAN

PERALIHAN

INFORMASI

J U M L A H

1

1

1

1

1

1

1

1

1

9

180.000

370.000

430.000

50.000

50.000

200.000

2. 500.000

550.000

50.000

180.000

370.000

430.000

50.000

50.000

200.000

2. 500.000

550.000

50.000

4. 380.000

153. 972

316. 498

367. 822

42. 770

42. 770

171. 080

2. 138. 500

470. 470

42. 770

3. 746. 652

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

85,54 %

123.177

253.198

294.258

42.000

42.000

42.000

42.000

42.000

42.000

922.633

30.795

63.300

73.564

770

770

129.080

2. 096.500

428.470

770

2.824.019

Sumber: Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI, 2013

2) Alternatif penyelesaian masalah agar pemanfaatan Penerimaan Negara Bukan Pajak efektif:a) Perencanaan Estimasi penerima an, alokasi anggaran dan peman faatan anggaran

harus riil dan tepat. b) Tata kelola pemanfaatan dana Non Operasional kegiatan pelayanan yang bersifat

administrasi kantor perlu disempurnakan. c) Aturan penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak bisa subsidi silang

antar Satuan kerja dg cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Terpusat, paling tidak pada kegiatan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Operasional

d) Sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak dikompensasi ke dalam DIPA Rupiah Murni untuk Program Peningkatan Sarana dan Prasarana.

Page 101: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

94 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

c. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Analisis Kan tor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan pada Focus Group Discution. 1) Kanwil Prov DKI: PNBP pelayanan di DKI sangat tinggi tetapi karena penerimaannya lebih

besar pada pertengahan tahun sehingga ada penumpukkan dan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada akhir tahun, selain daripada itu adanya Kegiatan yang diblokir dan dibuka pada akhir tahun anggaran sulit digunakan karena melalui proses lelang;

2) Kanwil Prov Jabar: Penerimaan Negara Bukan Pajak dr Pelayanan Pendaftaran Hak Tanggungan mempunyai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besar dari Rp. 50.000,- sd Rp. 2.5000.000,- tetapi penggunaannya hanya Rp. 43.500,- karena kegiatan tsb bersifat administrasi, sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut tidak dapat digunakan secara optimal;

3) Kanwil Prov Jabar: PMK No. 134/PMK. 06/2005 dg Juknis Perdirjen Perbendaharaan No. 66/PB/2005 dipandang lebih fleksibel dalam penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibanding dg PMK No. 190/PMK. 05/2012 ttg Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN jo Perdirjen PB No. Per-17/PB/2013 ttg Ketentuan Lebih Lanjut Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Beban APBN;

4) Kondisi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pd Satuan kerja BPN permasalahannya hampir sama, yaitu satu sisi ada Satuan kerja Kantah dg Penerimaan Negara Bukan Pajak tinggi dan satu sisi ada satu sisi Satuan kerja Kantah yang Penerimaan Negara Bukan Pajak rendah, diharapkan ada subsidi silang untuk penggunaan antar Satuan kerja;

d. Implikasi Penerapan Mekanisme Subsidi Silang pada Badan Pengawas Obat dan Makanan1) Mulai terjadi peningkatan realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

melebihi target penerimaan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan;2) Penambahan dan penajaman Catchment Area kegiatan yang didanai dari Penerimaan

Negara Bukan Pajak sehingga meningkatkan mobilitas dan kinerja padar pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan pelaksana kegiatan;

3) Terpenuhinya kebutuhan minimal pembiayaan kegiatan yang didanai dari Penerimaan Negara Bukan Pajak, selebihnya berdasarkan pertimbangan prioritas kegiatan yang memang harus dipenuhi dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti untuk pembiayaan Diklat dan pengadaan belanja modal;

4) Mulai terwujudnya tertib administrasi penglolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dimana ketersediaan alokasi dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak menimbulkan fleksibelitas pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mampu mencegah timbulnya masalah-masalah internal stuan kerja, seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak terlambat/belum disetor ke Kas Negara, pungutan tanpa dasar hukum dan penggunaan langsung setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.

e. Analisis Permasalahan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan1) Mengoptimalkan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak karena beberapa

tahun terakhir penyerapan Tahun 2011 (22%), Tahun 2012 (55%), dan 2013 (Mei 6%), alternatif lainnya persentase Ijin Penggunaan yang ada selama ini (85,54%). Karena Ijin penggunaan dapat dilokasikan (%) berbeda pada masing-masing penggunaan kegiatan.

Page 102: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

95PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

2) Alokasi DIPA di BPN RI dalam RM dan APBN terjadi juga alokasi Peningkatan Sarana dan Prasarana, seharusnya Pembangunan Kantor dlm pembahasan APBN menjadi Prioritas yang perlu dikomunikasikan dg BAPPENAS.

3) Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI sebagai Pembiayaan Penunjang dengan sistem pengelolaan terpusat pada Penggunaan Dana Non Operasional perlu menjadi perhatian, sbg pembanding Perdirjen PB No. 66/PB/2005 yang dirubah dg Perdirjen PB No. Per-11/PB/2011 ttg Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran APBN;

4) Mengkaji kembali sistem pengelolaan penggunaan pada Peningkatan Prasarana dan Prasarana, penerimaan yang meningkat drastis setelah Triwulan Kedua (Bulan Juni), dan percepatan revisi DIPA.

5) Mengkaji kembali jika pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak terpusat tentang kesiapan Monitoring penerimaan pada Rekening Tunggal Bank Persepsi dengan 477 Satuan kerja seluruh Indonesia.

TABEL. 5 REALISASI PNBP BPN RI PERTAHUN PENDAPATAN PELAYANAN PERTANAHAN/FUNGSIONAL

PENGANGGARAN KETERANGANTARGET/ PAGU DIPA PENGELOLAAN PERSENTASE (%)2011 20112012 2012

1.534.345.190.000

1.312.478.875.000

Realisasi Penerimaan:

SSBP:

MP:

Blokir:

Realisasi Belanja:

Sisa MP PNBP:

Sisa Belum Setor:

Target (%):

Pagu DIPA (%):

Pagu DIPA (%):

Pagu DIPA (%):

Dari MP (%):

1.302.028.822.134

1. 300.122.081.828

1.112.124.428.796

-

587.863.794.925

524.260.633.871

1.534.001.314.440

1.533.405.333.476

1.311.674.922.255

126.748.629.473

830.290.573.038

481.384.349.217

595.980.964

99,94%

99,94%

0,097

63,26%

36,70%

1.906.740.306

84,73%

84,73%

0

44,79%

47,14%

Sumber: Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dari Hasil Rekonsiliasi Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, 2012.

Belum maksimalnya penyerapan anggaran yang bersumber dari PNBP Pelayanan Pertanahan dikarenakan antara lain49:1) Sampai akhir tahun anggaran masih terdapat dana yang diblokir. 2) Penetapan target/estimasi penerimaan terlalu tinggi, sehingga Maksimum Pencairan dana PNBP

kurang dari Pagu DIPA, akibatnya realisasi belanja dibandingkan dengan Pagu DIPA rendah. 3) Kesalahan prediksi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan khususnya pada kegiatan

Non Operasional, akibatnya dana menumpuk/melebihi pagu dan tidak mampu menyerap.

Penerimaan dana PNBP antar Satuan Kerja tidak merata dan tidak bisa subsidi silang antar Satuan Kerja. Ada Satuan Kerja yang penerimaannya melebihi target penerimaan, ada Satuan Kerja yang

49. Makalah Kepala Biro keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dalam Focus Group Discution di Hotel Akmani Jakarta, 29 Oktober 2013.

Page 103: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

96 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

penerimaannya tidak mencapai target penerimaan, akibatnya yang penerimaannya melebihi target perlu revisi penambahan pagu DIPA dan tidak mampu menyerap anggaran, sedangkan yang penerimaannya tidak mencapai target, kemampuan belanjanya di bawah pagu DIPA.

Faktor Penyebab Tidak Optimalnya pemanfaatan dana PNBP BPN RI menurut Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, diantaranya adalah:1) Terdapat kesulitan dalam menetapkan besaran alokasi penggunaan dana tiap satker, karena

kondisi di lapangan yang dinamis, sehingga dalam pelaksanaannya sering ditemui kondisi pagu penggunaan dan target penerimaan PNBP yang terlalu rendah ataupun terlalu besar. Untuk mengakomodasi kondisi pagu penggunaan dan target penerimaan yang terlalu rendah harus dilakukan revisi penambahan target penerimaan dan pagu penggunaan pada setiap satuan kerja yang memerlukan waktu yang cukup lama.

2) Mekanisme penanggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker yang bersangkut an. Sehingga pada pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran anggaran antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih dan di satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP

3) Penerimaan yang diterima di akhir tahun tidak dapat diggunakan mengingat batas waktu pencairan anggaran. Penerimaan PNBP tersebut dapat disetorkan pada tahun anggaran berikutnya, tetapi penggunaannya tidak dapat dilaksanakan pencairan anggaran.

TABEL 6. REALISASI PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN PNBP BPN RI TAHUN 2006 S/D 2012

PENERIMAAN BELANJA SISA PNBPT.A.PAGU PAGU % % %REALISASI REALISASI SISA

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

JUMLAH

999.997.977.000

1.210.483.583.000

1.375.968.231.664

1.392.973.187.105

1.434.996.710.872

1.540.328.409.432

1.700.000.000.000

9.654.748.099.073

569.206.683.000

683.256.334.000

582.080.135.000

857.394.856.000

894.941.793.000

1.340.136.897.000

1.452.874.333.000

6.379.891.031.000

67,17

65,89

67,35

71,8

83,72

84,42

90,88

75,89

57,33

46,66

62,03

46,64

53,81

43,86

57,15

52,50

57,33

46,66

62,03

46,64

53,81

43,86

57,15

52,50

671.714.165.319

797.647.526.886

926.782.044.167

1.000.104.152.879

1.201.372.234.603

1.300.389.275.753

1.544.997.000.000

7.443.006.399.607

326.347.932.195

318.828.476.195

361.092.705.749

399.871.363.769

481.587.510.075

587.805.004.095

830.290.555.038

3.305.823.547.116

345. 366. 233. 124

478. 819. 050. 691

565. 689. 338. 418

600. 232. 789. 110

719. 784. 724. 528

712. 584. 271. 658

714. 706. 444. 962

4. 137. 182. 852. 491 Sumber data: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, 2013.

Page 104: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

97PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat bahwa setiap tahun terjadi peningkatan dalam sisa penerimaan yang rata-rata setiap tahun 55,58% dari realisasi penerimaan. Tetapi di sisi lain kondisi umum Kantor-Kantor Pertanahan di beberapa daerah masih memprihatinkan sehingga memerlukan biaya untuk pembangunan dan rehabilitsai sarana dan prasarana fisik.

Gambar 9 Realisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012

1.800.000.000.000

1.600.000.000.000

1.400.000.000.000

1.200.000.000.000

1.000.000.000.000

800.000.000.000

600.000.000.000

400.000.000.000

200.000.000.000

0

n PENERIMAAN REALISASI

n BELANJA PAGU

n BELANJA REALISASI

n PENERIMAAN PAGU

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sisi Realisasi Penerimaan PNBP BPN RI terdapat peningkatan yang cukup siginifikan dari tahun 2011 mencapai Rp. 1,3 Trilyun dibandingkan realisasi tahun 2006 sebesar Rp. 671 Milyar meningkat dua kali lipat, begitu juga dalam penggunaan PNBP terjadi penurunan nilai riil kemampuan penyerapan penggunaan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.

Page 105: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

98 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Dengan keterbatasan anggaran di badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, banyak fasilitas pelayanan pertanahan di satuan kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak terawat dan meminjam dari pemerintah daerah, bahkan ada kantor gedungnya menyewa (32 unit), begitu juga kendaran dinas dan rumah dinas. Sebagian besar rumah dinas dan kendaran dinas yang baik dan layak ada di beberapa kantor di Pulau jawa dan Pulau Sumatera, sedangkan di luar kedua pulau tersebut banyak kantor yang kondisi fisiknya sangat memprihatinkan.

Gambar 10 Sisa PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d2012

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

345.366.233.124

478.819.050.691

565.689.338.418

600.232.489.110

719.714.724.528

712.584.271.668

714.706.444.962

TABEL 7. KONDISI ASSET BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DALAM STATUS KEPEMILIKAN DAN KELAYAKAN

STATUS KEPEMILIKAN STATUS KELAYAKANJENIS ASSET

SENDIRI BAIKPEMDASEWA/

PINJAM/TIDAK ADA

RUSAK BERAT

RUSAK RINGAN

698

334

31

41

378

8

32

1

361

18

35

30

2

1

81

254

238

22

15

-

337

69

9

13

-

150

27

2

14

-

Kendaran Roda 4

Kantor

Rumah Dinas Kakanwil

Rumah Dinas Kakantah

Tanah Kantor

Sumber data: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, 2013.

Page 106: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

99PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Dengan sistem pengelolaan PNBP terpusat diharapkan akan terjadi subsidi silang dalam pengadaan saran dan prasaran fisik, sehingga akan memberikan pelayanan pertanahan yang optimal untuk pelanggan dan memberikan rasa nyaman dan aman bagi pelaksana pelayanan.

f. Kompetensi Sumberdaya Manusia Perencana dan Pengelola Keuangan Hasil Penelitian Puslitbang BPN RI

Pengelola keuangan adalah tenaga administrasi keuangan yang melaksanakan fungsi pengelolaan keuangan di institusi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki kompetensi menguasai konsep dan praktek pengelolaan keuangan serta mampu menjalankan tata aturan yang berlaku guna mewujudkan kinerja yang akuntabel dan transparan. Kompetensi sumberdaya manusia dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan meliputi pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan perencanaan atas mekanisme penyusunan kegiatan pada tahun yang akan datang sampai dengan kegiatan pelaksanaan keuangan negara, pengetahuan tersebut diantaranya:1) pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan dan perundang-undangan,

kebijakan, prosedur, serta mekanisme pengelolaan keuangan negara yang tertuang dalam (tiga) paket Undang-Undang bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

2) pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan dan perundang-undangan, kebijakan, prosedur, serta mekanisme pengelolaan keuangan negara, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban pada bi dang fiskal, moneter, serta pe nge lolaan kekayaan negara yang dipisahkan;

3) pengetahuan dan pemahaman mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional;

4) pengetahuan dan pemahaman mengenai penyusunan Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA K/L) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah untuk sumber dana Rupiah Murni (RM) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

Ketersediaan sumberdaya manusia pelaksana kegiatan di bidang pertanahan pada lokasi sampel penelitian sebagai Perencana dan Pengelola Keuangan, dimana perencana kegiatan dan pengelola Keuangan bertugas melaksanakan fungsi administratif seperti pemasok data untuk perencanaan, pelaksanakan dan pengendalian anggaran, pengelolaan data keuangan, pelaporan serta pengadministrasian kegiatan pendukungnya. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Subbagian, Seksi dan Subbidang di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia merupakan tugas pokok dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri terdiri dan Biro Keuangan dan Pelaksana Anggaran, sedangkan di untuk perencanaan kegiatan dan pengelola keuangan di daerah di atur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Page 107: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

100 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

TABEL 8. KOMPETENSI PERENCANA KEGIATAN DAN PENGELOLA KEUANGAN DI LOKASI PENELITIAN

KONDISI SAAT INI STATUS KELAYAKAN STATUS KELAYAKANNO

KEU KEU KEUDIKLAT BEND

SERTPBJ

SERTPBJ

SERTPBJ

JURU UKUR

JURU UKUR

JURU UKUR

Kanwil Prov. Jabar Kota Bandung Kota Cimahi Kab. Bandung Barat Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bogor

Rata-rata Kanwil Prov. Jateng Kab. Magelang Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Magelang Kab. Kendal Kab. Tegal

Rata-rata Kanwil Prov. Bengkulu Kota Bengkulu Kab. Bengkulu Kab. Kapahiang

Rata-rata Kanwil Prov. Sultra Kota Kendari Kab. Konawe Kab. Konsel

Rata-rata Kanwil Prov. Kalteng Kota P. Raya Kab. Pulang Pisau Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas

Rata-rataRata-rata Kanwil/Kantah

12345678

1234567

1234

1234

12345

334343464

14475444675525573356225234

112223273

10130034351313251126213233

2235324637113130241222101116000112

1010888

1012191115161682

14131215104695573587665BB

5565556

126

146

10868786

18649

107768

103563B5

363333494

1033334343242353534

1033535B

151512101015154017152530104

201317102010101310121012132010586

1314

22221226B02332432

-113124504334131122

-540

-2010

344

-1722021

130

-7120

-1-634214335232

5542253

21609

1422605

-51064457394

123

-12145

RESPONDEN

Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

Page 108: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

101PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Berdasarkan kondisi sumberdaya manusia saat ini dan kebutuhan ideal masing-masing kantor wilayah dan kantor pertanahan masih memerlukan sumberdaya manusia yang berkompeten sesuai dengan kebutuhan kaitannya dengan penyerapan anggaran yaitu: bidang keuangan sebanyak 2 orang, bersertipikat pengadaan barang/jasa sebanyak 2 orang dan juru ukur sebanyak 5 orang.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran1. Perencanaan Anggaran Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKNO PROVINSI

1. Pada tahun 2010 ada beberapa kegiatan yang masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak dapat dilaksanakan diakrenakan setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tanggal 22 Januari 2010 dan KMK No. 237/KMK. 022/2010 tanggal 19 Mei 2010 yang penetapan PP dan KMK tersebut pada saat berjalannya tahun anggran, maka terkendala dalam pelakasnaan kegiatan karena pemberlakuannya setelah dikeluarkannya KMK tersebut.

2. Pada Tahun 2011 ada kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pertimbangan Teknis Pertanahan dimana petunjuk teknis dalam Perkaban No. 2 Tahun 2011 ttg Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah tanggal 4 Februari 2011 tidak sinkron antara Petunjuk Teknis tersebut dengan mekanisme penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak.

1. Kurang koordinasi dan komunikasi antar seksi dan tata usaha, sehingga kesulitan dalam penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran.

2. Tidak adanya parameter atau indikator sebagai penentu besaran anggaran PNB dalam pelayanan pertanahan

3. Kurangnya data awal dalam menentukan prakiraan penerimaan bukan pajak dari pelayanan pertanahan.

1. Keterbatasan Sumberdaya Manusia yang kompeten di bidang pengelolaan keuangan2. Belum tersedianya petunjuk teknik pemetaan tematik3. Peratuan pengelolaan keuangan yang sering berganti,terutama perubahan kode Mata

Anggaran Kegiatan4. Perpindahan pegawai antar seksi ataupun antar kabupaten/provinsi

1. Kegiatan sekoper yang tidak dapat ditentukan karena jadwal persidangan yang diberitahu sewaktu-waktu;

2. Seringnya perubahan aturan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kantor Perbendaharaan dan belum disosialiasikan ke pengguna anggaran.

3. Kurangnya sosialisasi dalam penyusunan dan perencanaan anggaran antara BPN RI, Kanwil BPN Provinsi dengan Kantah Kab/Kota.

1. Adanya perbedaan harga satuan dalam penggunaan anggaran pengukuran dan pemetaan, dimana jika satuan Orang Kegiatan (OK) penyerapannya lebih kecil dibandingkan Orang Bidang (OB).

2. Ketidakpahaman dari masing-masing seksi,khususnya seksi SPP dalam menentukan harga satuan pengukuran bidang tanah.

3. Revisi DIPA yng diajukan ke BPN Pusat tidak keluar sampai akhir tahun anggaran. 4. Aplikasi dalam SIMAK BMN yang sering tidak sinkron antara Kantah dengan Kantor Pelayanan

Perbencaharaan Negara;5. Usulan kegiatan komponen teknis untuk tahun anggaran yang akan datang tidak diajukan

pada awal tahun, sehingga kesulitan dalam penyusunan rencana kegiatan untuk tahun anggaran yang akan datang;

Jawa Barat

Jawa Tengah

Bengkulu

Sulawesi Tenggara

Kalimantan Tengah

1

2

3

4

5

Page 109: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

102 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

2. Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 ttg Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKNO PROVINSI

1. Juknis jika ada perubahan pelaksanaan kegiatan pada tahun berjalan2. Juknis untuk masing-masing kegiatan komponen teknis dan tata usaha3. Juknis penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan Pendaftaran Hak

Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)] dengan Nilai Hak Tanggungan, dimana besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Rp. 50. 000,- sampai dengan Rp. 50. 000. 000,- tetapi penggunaannya hanya pekerjaan administrasi (Honor Terkait Output Kegiatan MAK 521213) atau hanya berkisar Rp. 50. 000,­ sehingga banyak sedikitnya dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan (terserap).

4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan pada Komponen Teknis yang bersangkutan.

5. Juknis Pertimbangan Teknis Perkaban No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah;

6. Juknis Penyuluhan lapang untuk semua kegiatan;7. Juknis Pembinaan PPAT;8. Petunjuk teknis kegiatan dari masing-masing komponen teknis yang berkaitan dengan

penggunaan anggaran;9. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan.

1. Tidak optimalnya penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pelayanan pengukuran karena harga satuan kegiatan pengukuran (OK) yang tidak optimal dalam penyerapan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak.

2. Tidak adanya alur kegiatan atau petunjuk pelaksanaan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan pertimbangan teknis pertanahan.

1. Sering perubahan mata anggaran penggunaan 2. Kurang menegertinya pertanggungjawaban pengguna anggaran dalam membantu

adiministrasi pengelolaan keuangan;3. Tidak dapat dilaksanakannya kegiatan pengadaan karena di blokir (bintang)

1. Adanya perubahan struktur anggaran kegiatan operasional dan dukungan operasional. 2. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seharusnya diperlukan petunjuk teknis diantaranya

pengukuran bidang tanah, permberdayaan masyarakat, identifikasi tanah terlantar dan penyusunan RKAK/L.

3. Karena kekurangan juru ukur, apa dimungkinkan kakantah yang sebelumnya menjadi juru ukur dapat sebagai koordinator pengukuran serta koordinator kegiatan lainnya.

1. Banyaknya anggaran yang dibintang (blokir)2. Kurangnya SDM dalam pengelolaan keuangan3. Tidak adanya sosialisasi untuk merevisi DIPA atao POK4. Tidak adanya sosialisasi tentang mekanisme belanja modal terutama utnuk pengadaan

kendaraan, renovasi bangunan, pembangunan gedung baru dsb.

Jawa Barat

Jawa Tengah

Bengkulu

Sulawesi Tenggara

Kalimantan Tengah

1

2

3

4

5

Page 110: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

103PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

D. Saran Pelaksanaan Kegiatan

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKNO PROVINSI

1. Adanya blokir (pemberian bintang dalam DIPA) dalam kegiatan Belanja Barang2. Pelaksanaan pembayaran struktur kegiatan di akhir tahun (penerimaan Penerimaan Negara

Bukan Pajak Bulan Nopember dan Desember). 3. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuangan. 4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk

tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan pada Komponen Teknis yang bersangkutan.

5. Perjalanan Dinas kegiatan pengukuran dalam satuan OH (Orang per­Hari) tidak bisa dilaksanakan atau akuisisi dalam satuan bidang, seharusnya dalam satuan Orang per-Bidang (OB).

6. Dalam isian DIPA terutama dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak terlalu detail dalam rincian kegiatannya.

7. Kontinyunitas pembinaan tentang DIPA dan RKAKL, terutama dalam hal: a. Jadwal penyusunan anggaran tahun yang akan datang;b. Penyusunan TOR, merinci biaya per sub kegiatan dan serta kelengkapan dokumen usulan

kegiatan tahun yang akan datangl;c. Jenis usulan kegiatan dan mekanisme pencairan kegiatan;

8. Merespon usulan-usulan dari daerah. 9. Kendala dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran

a. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuanganb. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA

untuk tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan pada Komponen Teknis yang bersangkutan.

10. Saran dalam perencanaan dan pelaksanaan anggarana. Menambah SDM dalam bidang pengelolaan keuangan atau diperbantukannya SDM dari

komponen teknis untuk sama-sama menyusun RKAKL sehingga APBN untuk tahun depan dapat sesuai dengan keinginan dari komponen teknis.

b. Komponen teknis untuk segera menyiapkan pencairan dan luncuran Penerimaan Negara Bukan Pajak pada bulan Januari dan Februari pada penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak bulan Nopember dan Desember tahun sebelumnya, jika ada estimasi penerimaan dan pengeluaran agar cepat diketahui dan direvisi DIPA yang bersumber dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak.

c. Sosialisasi bersama teknis perencanaan atau penyusunan RKAKL dari Biro Perendanaan dan Kerjasama Luar Negeri dengan Biro Keuangan dari BPN RI pada kantor-kantor pertanahan.

d. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan, karena sebagian besar blokir tersebut merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa dan pembukaan blokir terjadi pada bulan-bulan Oktober sehingga Pejabat ataupun Panitia Pengadaan Barang dan Jasa tidak dapat melaksanakan kegiatan tersebut karena pendeknya waktu antara buka blokir dengan pelaksanaan kegiatan

e. Perlunya kebijakan tentang penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan Pendaftaran Hak Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)], sehingga dapat memperbesar penggunaan dari penerimaan pelayanan tersebut

f. Perlunya sinkronisasi antara petunjuk teknis kegiatan dengan kegiatan yang tersedia dalam nomenklatur Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) dan Pera turan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Tahun Anggaran.

g. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya secara Terpusat sehingga pada kantah dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besar dapat di serap atau di alokasikan pada kantah-kantah yang penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak-nya kecil.

Jawa Barat1

Page 111: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

104 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKNO PROVINSI

1. Dilakukan sosialisasi dan pembelajaran dalam perencanaan kegiatan dan perencanaan anggaran;

2. Mengalokasikan kegiatan yang dibiayai oleh Rupiah Murni pada kantor pertanahan yang volume pelayanannya rendah.

3. Menambah tenaga ukur dan membuat satuan biaya pengukuran yang dapat mengoptimalkan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

4. Menyederhanakan sistem pertanggung jawaban penggunaan anggaran, karena dengan banyaknya kegiatan tidak mempunyai waktu untuk membuat pertanggung jawaban administrasi.

5. Penglokasian anggaran dari pelayanan pertanahan dapat juga dipergunakan oleh tenaga honorer, tata usaha, komponen teknis lainnya.

1. Satuan kerja bekerja sesuai dengan jadawal perencanaan yang sudah dibuat dan disepakati. 2. Adanya on job trainig dan pelatihan untuk penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran;

1. Diperlukan On Job Training (OJT) untuk penyusunan RKAK/L dan alokasi anggaran kegiatan dalam perencanaan;

2. Kegiatan yang penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dan RM sebaiknya disediakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan penggunaan anggaran;

3. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya secara Terpusat.

4. Sinkronisasi data antara KKP dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13Tahun 2012, diantaranya pemetaan tematik, pertimbangan teknis dan lainnya.

1. Perlunya sosialisasi tentang mekanis revisi DIPA dan POK;2. Perlunya pembekalan bagi komponen teknis untuk membuat perencanaan anggaran dan

pelaksanaan anggaran;3. Pembinaan berkala tentang perencanaan dan pelaksanaan anggara ke tiap-tiap kantor

pertanahan pada awal tahun anggaran. 4. Diperlukan petunjuk teknis penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari.

untuk kegiatan potensi tanah, tematik dan pertimbangan teknis pertanahan5. Sosialisasi perubahan pagu anggaran saat perubahan dari pagu indikatif ke pagu sementara

dan dari pagu sementara ke pagu definitif.

Jawa Tengah

Bengkulu

Sulawesi Tenggara

Kalimantan Tengah

2

3

4

5

Page 112: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

105PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN4BAB IV

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Penyerapan Anggaran

Page 113: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

106 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN

Mekanisme penggunaan kembali PNBP, sebenarnya ini adalah mengenai insentif, yang salah satu bentuknya berupa izin untuk menggunakan kembali sebagian PNBP.

A. SISTEM PERENCANAAN KEGIATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKKami menekankan bahwa pada prinsipnya apabila sebagian PNBP digunakan kembali maka penggunannya harus betul-betul tepat, yaitu dalam rangka mendukung tugas-tugas pokok kementerian/lembaga dalam rangka pelayanan publik dan juga untuk menghasilkan PNBP yang optimal. Permasalahan utama dalam pengelolaan PNBP BPN RI adalah penumpukkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan penyerapan anggaran yang terjadi pada akhir tahun anggaran (antara Agustus dan Oktober), sehingga terjadi penggunaan anggaran di akhir tahun, tetapi pada Saat ini sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang sudah di Surat Setor Bukan Pajak (SSBP) hanya bisa digunakan atas saldo pada tahun anggaran berikutnya, tetapi hal ini juga tidak mudah dikarenakan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun anggaranpun sangat terbatas, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya (lihat Gambar .10

Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun anggaran 2012

n SSBP PNBPn PENGGUNAAN

700.000.000.000

800.000.000.000

900.000.000.000

1000.000.000.000

600.000.000.000

500.000.000.000

400.000.000.000

300.000.000.000

200.000.000.000

100.000.000.000

0P. Jawa P. Sumatera P. Kalimantan P. Sulawesi P. Bali dan

NusatenggaraP. Papua dan

Maluku

RATA-RATA REALISASI DAN PENGGUNAAN PNBP BPN RITAHUN ANGGARAN 2012

Page 114: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

107PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

B. STRATEGI PERENCANAAN KEGIATAN DAN PENGGUNAAN ANGGARAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK1. Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Perencanaan Jenis Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak, adalah untuk merencanakan

kegiatan penerimaan negara yang bersumber dari tarif dan jenis pelayanan pertanahan berdasarkan Peraruran Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional.

Dalam pengalokasian penggunaan penerimaan negara bukan pajak berdasarkan Maksimal Pencairan sebesar 85,54% dari Surat Setor Bukan Pajak (SSBP) maka perencanaan penggunaannya adalah sebagai berikut:

PELAYANAN LAPANGANESTIMASI PENERIMAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK:LUAS (M2) NO.

TARIF(RP)

TARIF(RP)

RUMUS PORSI PENGGUNAAN80 % X 85,54 % X SSBP

RUMUS PORSI PENGGUNAAN100% X 85,54% X RP. 50. 000

RENCANAPAGU DIPA (RP)

RENCANAPAGU DIPA (RP)

RUMUS (Rp. 900. 000 X 85,54 %) – Rp. 615. 888 = Rp. 769. 860 – Rp. 615. 888 = Rp. 153. 972,-AtauRUMUS 20 % X 85,54 % X SSBP = 20 % X 85,54 % X Rp. 900. 000 = Rp. 153. 972,-AtauRUMUS

= (MP – P3) = (85,54% X Rp. 900.000) – Rp. 615.888 = Rp. 153.972,-

SSBP = Rp. 900.000,-MP = 85,54% x Rp. 900.000

= Rp. 769.860,00Terdiri dari P3= Rp. 615.888,00 PDPS= Rp. 153.972,00

RUMUS (Rp. 3. 000. 000 X 85,54 %) – Rp. 213. 850 = Rp. 2. 566. 200 – Rp. 213 850 = Rp. 2. 352. 350,-AtauRUMUS

= 85,54 % X {SSBP – (Rp. 50. 000 x Jml Perm) = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – (Rp. 50. 000 X 5)} = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – Rp. 250. 000} = 85,54 % X Rp. 2. 750. 000 = Rp. 2. 352. 350,-

SSBP= Rp. 3. 000. 000,-MP = 85,54 % x Rp. 3. 000. 000

= Rp. 2. 566. 200,00Terdiri dari: P3 (5 permohonan)= Rp. 213. 850,00PDPS= Rp. 2. 352. 350,00

1. Operasional Pelayanan dan

2. Program Pengelolaan Pertanahan (P3)

3. Pegakkan Hukum,

4. Pogram Dukungan Manajemen dan

5. Program Peningkatan Sarana Prasarana (PDPS)

Rekapitulasi

PERLAYANAN ADMINISTRASIESTIMASI PENERIMAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK:

100

300

500

600

1000

JML

1

2

3

4

5

5

79. 381,12

101. 279,36

123. 177,60

134. 126,72

177. 923,20

615. 888,00

42.770

42.770

42.770

42.770

42.770

213.850

116. 000

148. 000

180. 000

196. 000

260. 000

900. 000

50.000

50.000

200 000

200.000

2.500.000

3.000.000

80% x 85,54% x 116.000

80% x 85,54% x 148.000

80% x 85,54% x 180.000

80 % x 85,54 % x 196.000

80% x 85,54% x 260.000

80% x 85,54% x 900.000

100% x 85,54%x 50.000

100% x 85,54% x 50.000

100% x 85,54% x 50.000

100% x 85,54% x 50.000

100% x 85,54% x 50.000

100% x 85,54% x 250.000

Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

TABEL 9. MODEL ALOKASI PENGGUNAAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/KMK. 02/2010 TENTANG PERSETUJUAN PENGGUNAAN SEBAGIAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PADA BPN RI

Page 115: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

108 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN

Alokasi perencanaan estimasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebesar 85,54%, estimasi penerimaan yang akan disetorkan pada Bank Persepsi dengan bukti penerimaan Surat Setor Bukan Pajak (SSBP). Rincian rencana pembiayaan pelayanan operasional lapangan maksimal 80% x (85,54%xSSBP)) sedangkan untuk rencana peningkatan sarana dan prasarana sebesar 20% x (85,54%xSSBP)). Sedangkan rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pelayanan administrasi sebesar 100% x (85,54% x Rp. 50. 000 x Jml Permohonan)), jika ada kelebihan dari penerimaan tersebut dapat dipergunakan untuk rencana kegiatan peningkatan sarana dan prasarana, mekanisme perancanaan tersebut dapat di lihat dalam Tabel 3. di atas. 2. Akurasi Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Masing-Masing Kegiatan

2973 Dukungan Manajemen - - - 2.716.609.000 -

2975 Pengelolaan Sarana dan Prasarana - - - 1.697.881.000 -

2999 Penegakkan Hukum - - - 2.367.306.000 -

Sub Total Unit Pengguna 6.781.796.000 51,11

2999 Survey, Pengukuran Batas Kawasan/

Wilayah, Pemetaan V -

2999 Pengukuran & Pemetaan Bid Tanah V 3.066.069.000 2.622.715.423 2.098.172.000 80,00

2999 Pemeriksaan Tanah V 1.451.410.000 1.241.536.114 993.228.000 80,00

2999 Pertimbangan Teknis Pertanahan V 598.716.600 512. 142. 180 409.713.000 80,00

2999 Konsolidasi Tanah Swadaya - - - - -

2999 Pendaftaran Tanah Pertama Kali V 2.275.200.000 1.946.206.080 - -

2999 Pemeliharaan Data V 7.020.570.000 6.005.395.578 2.121.734.000 -

2999 Hak Tanggungan 0 - - -

2999 Lisensi V 13.750.000 11.761.750 12.082.000 -

2999 Informasi Pertanahan V 1.085.375.450 928.430.160 851.461.000 91,71

Sub Total Unit Penghasil 15.511.091.050 13.268.187.284 6.486.390.000 48,89

Jumlah Total 15.511.091.050 13.268.187.284 13.268.186.000

KODE MAP VOL JUMLAH

TARGET PENERIMAANURAIAN KEGIATAN

MAKSIMUM PENCAIRAN

(85. 54%)

PAGUBELANJA

(PAGU DIPA)

BESARAN DARI MAKSIMUM

PENCAIRAN (%)

Sumber: Simulasi Hasil Olahan, 2013.

TABEL 10 . MODEL PERENCANAAN ALOKASI BIAYA OPERASIONAL PELAYANAN PERTANAHAN DARI PAGU BELANJA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Page 116: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

109PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Dalam upaya melaksanakan APBN secara optimal, ada beberapa langkah-langkah awal yang harus dilakukan yaitu:a. Optimalisasi Penyerapan Anggaran DIPA Penerimaan Negara Bukan Pajak Terdapat perubahan Struktur Penganggaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2002, dimana pengelolaan sebagai berikut:1) Setiap jenis kegiatan pelayanan berdiri sendiri-sendiri, biaya operasional pelayanan

sebesar Ijin Penggunaan (MP) dengan porsi penggunaan dana untuk Lapangan 60 %, Pengolahan 20 % dan Pengelolaan 20 %;

2) Revisi penambahan pagu dapat dilakukan untuk masing-masing jenis kegiatan pelayanan apabila penerimaannya telah melampaui target;

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010, pengelolaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah sebagai berikut:1) Semua jenis kegiatan pelayanan merupakan satu kesatuan dalam DIPA, setiap

jenis kegiatan pelayanan untuk kegiatan yang sifatnya lapang boleh menggunakan biaya operasional maksimum 80 % dari Ijin Penggunaan (MP), sedangkan yang sifat pekerjaannya administrasi di kantor biaya operasional maksimum 60 % dari tarif Rp. 50. 000,- setiap permohonan. Sisanya (MP – biaya operasional) digunakan untuk membiayai kegiatan Penegakan Hukum, Program Dukungan Manajemen, dan Program Peningkatan Sarana dan Prasarana;

2) Revisi penambahan pagu DIPA dapat dilakukan apabila total penerimaan dari setiap jenis kegiatan telah melampauai target DIPA. Apabila suatu jenis kegiatan pelayanan penerimaannya telah melampaui target kegiatan yang bersangkutan, tetapi secara keseluruhan penerimaannya belum melampaui target dalam DIPA, cukup melakukan revisi penambahan pagu dengan cara pergeseran antar kegiatan;

Gambar 12. Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan PajakSumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

Maksimum100%xMP

Maksimum100%xMP

Penerimaan Negara Bukan PajakPP No. 13 Tahun 2010

PROGRAM PENGELOLAAN PERTANAHAN 1. Operasional Pelayanan 2. Penegakan Hukum

PROGRAM PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA 1. Rehab/Pembangunan Gedung/Instalasi 2. Pengadaan Alat dan Mesin 3. Investasi/Modal Lainnya

PROGRAM DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS TEKNIS LAINNYA

1. Tata Kelola Pertanahan 2. Peningkatan SDM3. Sosialisasi Peraturan4. Lain-lain Kegiatan Dukungan Manajemen

BELANJA/PENGELUARANSSBP/TARIF Rp50.000 Rp50.000 +

Pelayanan Kantor Administrasi1. Pendaftaran Tanah2. Informasi Pertanahan3. Pemberian Lisensi

Pelayanan Lapangan1. Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah2. Pemeriksaan Tanah3. Pertimbangan Teknis Pertanahan4. Konsolidasi Tanah Swadaya

Maksimum25%xSisa

Maksimum40%xSisa

Maksimum35%xSisa

Maksimum80%xMP

Maksimum25%xSisa

Maksimum40%xSisa

Maksimum35%xSisa

Page 117: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

110 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN

b. Penetapan Pejabat Perbendaharaan Satuan Kerja Keterlambatan penetapan Pejabat Perbendaharaan Satuan kerja adalah merupakan awal

terlambatnya penyerapan anggaran dalam DIPA. Hal ini selalu terulang dari tahun ke tahun. Satuan kerja yang telah menerima DIPA Tahun Anggaran Berjalan, Kepala Kantor/Pejabat Berwenang selaku Kuasa Pengguna Anggaran pada tahun anggaran yang lalu harus segera Pro Aktiv menanyakan kepada Pejabat yang berwenang menetapkan Pejabat Pengelola Keuangan/Perbendaharaan Satuan kerja (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA, Pejabat Penandatangan SPM/PPSPM dan Bendahara Pengeluaran) baik itu Unit Eselon I K/L maupun Pejabat Pemerintah Daerah agar segera menerbitkan surat keputusan penetapan pejabat/pengelola perbendaharaan.

SK penetapan/penunjukan pejabat perbendaharaan satuan kerja yang telah diterbitkan, segera dikirimkan kepada KPPN setempat beserta contoh specimen tanda tangan pejabat perbendaharaan. Format surat pemberitahuan yang berisi nama-nama pejabat beserta specimen tanda tangannya mengikuti format yang ditentukan oleh KPPN setempat. Nama-nama pejabat dan specimen tersebut menjadi dasar KPPN untuk memproses SPM dari Satuan kerja, bila tidak sesuai maka SPM akan dikembalikan yang berakibat pada terhambatnya penyerapan anggaran.

Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI

Penggunaan Realisasi Nov & Des Penerimaan Negara Bukan Pajak

Tahun Lalu70% Target Penerimaan Negara

Bukan Pajak TA Berjalan

Wajib Bayar/Pemohon

Sisa pekerjaandan Sisa SSBP

TARGET/DIPATAHUN ANGGARAN

OperasionalPelayanan

Dukungan Manajemen

KPPN

HUTANG NEGARA

Pagu DIPA/DIPA RevisiSSBP ≤Target

PENGELUARAN

KasNegara

85.54%x SSBPSPM

SP2D- SSBP- Ijin MP

Penerimaan

SSBP

PP No. 13 Tahun 2010

Pelaporan SSBP Nov&Des Ke KPPN

HUTANG NEGARA

SSBP > Target = Revisi Pagu

Page 118: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

111PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

c. Penetapan Petugas Satuan Kerja yang berhubungan dengan KPPN Kuasa Pengguna Anggaran yang telah ditunjuk oleh pejabat berwenang harus menunjuk

petugas yang akan berhubungan dengan KPPN sesuai dengan persyaratan dalam PER-41/PB/2011 untuk mendapatkan Kartu Identitas Petugas Satuan kerja (KIPS). Format surat penunjukan petugas satuan kerja juga telah ditentukan oleh KPPN. Persyaratannya adalah:1) Maksimal 3 orang (melampirkan fotokopi Identitas & Foto terbaru ukuran 4 X 6);

2) Petugas yang ditunjuk adalah PNS/CPNS (bisa pejabat perbendaharaan ataupun staf) Satuan kerja bersangkutan yang memahami teknis perbendaharaan baik peraturan-peraturan maupun aplikasi terkait. Pegawai Satuan kerja yang bukan merupakan PNS/CPNS (tenaga Honorer) tidak dapat diajukan menjadi Petugas Satuan kerja kecuali mendapatkan dispensasi dari Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai prosedur yang diatur dalam PER-41/PB/2011.

KPPN tidak akan melayani SPM Satuan kerja yang dibawa oleh Petugas yang tidak terdaftar sebagai petugas satuan kerja di KPPN ataupun Petugas Satuan kerja yang telah terdaftar namun tidak dapat menunjukkan KIPS yang diterbitkan KPPN.

3. Mengecek kesesuaian POK dengan DIPA dan Peraturan-peraturan perbendaharaan DIPA yang telah diterima bisa jadi memiliki kekeliruan yang dapat menghambat

pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran Satuan kerja. Satuan kerja agar meneliti DIPA dimaksud untuk memastikan tidak adanya kendala/kesalahan/ kekeliruan. Kendala/kesalahan/ke ke li ruan yang sering terjadi antara lain: perbedaan antara data-data/kode-kode dalam DIPA dengan ADK Pagu, kesalahan pembebanan akun (sering terjadi pada akun 521213, 521115), anggaran yang diblokir, dan lain sebagainya. Satuan kerja dapat membandingkannya dengan POK dan peraturan-peraturan perbendaharaan (pembayaran kegiatan-kegiatan ter ten tu dan akun-akun tertentu.

Akun Baru dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja harus memperhatikan bahwa terjadi beberapa perubahan akun yang cukup penting dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja agar memperhatikan PER-80/PB/2011 tanggal 30 November 2011 tentang Penambahan dan Perubahan Akun pada Bagan Akun Standard

4. Segera Melakukan Revisi DIPA/POK bila ditemui kesalahan/ketidaksesuaian Bila menemui kendala/kesalahan/ketidak sesuaian yang dapat menghambat

pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran, segera lakukan revisi dan berkoordinasi dengan KPPN maupun Kanwil DJPB Provinsi setempat.

5. Mempelajari dan menguasai Aplikasi-Aplikasi Perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan Secara umum aplikasi-aplikasi perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan tidak jauh

berbeda dengan tahun anggaran yang lalu. Namun dengan adanya beberapa perubahan dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan mengakibatkan terjadinya perubahan dalam aplikasi-aplikasi perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan. Tidak perlu kuatir terhadap

Page 119: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

112 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN

permasalahan aplikasi. Satuan kerja dapat menghubungi KPPN setempat untuk meminta bantuan teknis terkait aplikasi-aplikasi. KPPN telah menyediakan petugas yang ditunjuk untuk menangani permasalah aplikasi-aplikasi Tahun Anggaran Berjalan. Selain itu KPPN akan mengadakan sosialisasi dan bimbingan teknis terkait penggunaan aplikasi-aplikasi Tahun Anggaran Berjalan khususnya aplikasi SPM Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja agar menunjuk Petugas Satuan kerja yang menangani/menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut agar dapat lebih menguasai dan memahami teknis penggunaannya.

6. Mengajukan Uang Persediaan Setelah Pejabat Perbendaharaan, Petugas Satuan kerja memiliki KIPS, Aplikasi SPM

dan aplikasi-aplikasi lainnya telah siap, maka Satuan kerja dapat mulai mengajukan pencairan dana berdasarkan DIPA Tahun Anggaran Berjalan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Hal yang lumrah dalam awal tahun anggaran biasanya adalah Satuan kerja mengajukan SPM Uang Persediaan (UP) kepada KPPN sebagai penyediaan uang di kas bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan satuan kerja yang tidak dapat dilaksanakan/tidak memungkinkan dengan SPM LS (Langsung).

Besarnya Uang Persediaan masing-masing satuan kerja telah ditetapkan dalam peraturan direktur jenderal perbendaharaan (PER-11/PB/2011) berdasarkan pagu DIPA Satuan kerja. Sistem dalam Aplikasi SPM juga telah membatasi maksimal UP yang bisa diambil oleh masing-masing satuan kerja. UP yang cair belum membebani APBN, dan akan membebani APBN saat satuan kerja mengajukan SPM-GUP (Ganti Uang Persediaan/GU Isi). Pengajuan SPM-GUP yang mensyaratkan 75% penggunaan UP bukan berarti satuan kerja boleh tidak menggunakan UP tersebut. Satuan kerja tetap berkewajiban menggunakan UP tersebut seoptimal/secepat mungkin agar terjadi realisasi anggaran, bila tidak maka keuangan Negara berpotensi mengalami kerugian karena adanya uang mengangur di kas bendahara pengeluaran.

Selain uang persediaan, satuan kerja sangat dianjurkan untuk melakukan pencairan dana DIPA melalui SPM-LS untuk mempercepat realiasi anggaran.

7. Membuat Perencanaan Anggaran Salah satu fungsi keuangan/perbendaharaan negara yang akan mendapat perhatian

penting dalam Tahun Anggaran Berjalan adalah pelaksanaan perencanaan kas. Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan No. PMK-192/PMK. 05/2009 Satuan kerja wajib mengajukan perencanaan kas ke KPPN sebelum melakukan pencairan dana/mengajukan SPM ke KPPN. Perencanaan Kas ini dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi perencanaan kas (aplikasi forecasting satuan kerja/afs). KPPN akan memberikan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis bagi petugas satuan kerja agar terampil dalam membuat perencanaan kas.

Agar perencanaan kas dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu ditingkatkan komunikasi antara KPA cq PPK selaku pelaksana kegiatan dengan pejabat penanda

Page 120: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

113PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

tangan SPM dan bendahara pengeluaran yang mengatur lalu lintas kebutuhan dana satuan kerja. Perencanaan kas diajukan dalam waktu-waktu yang ditentukan yang diatur tidak akan menghambat penyerapan anggaran satuan kerja. Namun kuncinya adalah kemauan/kedisiplinan satuan kerja dalam melaksanakan perencanaan kas sesuai dengan peraturan perbendaharaan. Bagi satuan kerja yang tidak mematuhi perencanaan kas maka pencairan dananya akan tertunda untuk bulan bersangkutan, namun bisa diajukan lebih cepat dan lebih banyak dibulan selanjutnya setelah melakukan update perencanaan kas.

8. Melaksanakan Anggaran/Pencairan dana DIPA Tahun Anggaran Berjalan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku

Satuan kerja agar menginventarisir kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan baik berhubungan dengan belanja barang maupun belanja modal. Kegiatan-kegiatan yang bisa dilaksanakan lebih cepat diawal tahun anggaran agar jangan ditunda-tunda, terutama kegiatan pembangunan fisik yang memerlukan waktu lebih panjang dalam persiapan berupa pelelangan barang/jasa hingga pelaksanaan pekerjaan. Waktu satu Tahun Anggaran seharusnya cukup untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan sejak tahun anggaran yang lalu. Kemauan, komunikasi dan koordinasi adalah hal-hal yang wajib dilaksanakan demi terlaksananya pelaksanaan anggaran yang optimal, tepat waktu, efektif dan efisien.

9. Monitoring Pelaksanaan/Penyerapan Anggaran Idealnya penyerapan anggaran adalah kecil di awal tahun makin membesar hingga

mencapai puncaknya di triwulan III karena pekerjaan banyak yang telah mulai selesai dan mengecil kembali di triwulan IV hingga akhir tahun anggaran karena semua kegiatan telah dilaksanakan. Bagi Satuan kerja yang sampai triwulan I penyerapan anggarannya belum mencapi 20-25% perlu mengambil langkah-langkah lebih serius dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya agar penyerapan anggaran dapat dilakukan merata sepanjang tahun anggaran. Dengan demikian diharapkan APBN dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menggerakkan perekonomian dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Presiden RI di awal tahun anggaran saat menyerahkan DIPA kepada Menteri, Pimpinan Lembaga dan Gubernur se-Indonesia.

Page 121: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

114 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN

Page 122: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

115PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN5BAB V

Penutup

Page 123: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

116 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PENUTUP

Pengelolaan PNBP BPN RI dari Tahun 2006 sampai dengan 2012 terjadi peningkatan sisa anggaran yang rata-rata setiap tahunnya Rp. 591.026. 121.784,- (56,21%) dari realisasi penerimaan PNBP yang sudah disetorkan (SSBP)

A. KESIMPULANSedangkan menurut sistem perencanaan penganggaran dan realisasi selama 7 (tujuh) tahun terkahir dari tahun 2006-2012 rata realisasi penerimaan Rp.7.443.006.399.607 (78,5%) dan realisasi belanja Rp.3.305.823.547.116 (52,50%), dan sisa PNBP yang disetorkan Rp.4.137.182.852.491 (55,59%). Terjadintya peningkatan sisa anggaran setiap tahun dikarenakan:a. Mekanisme penganggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan

dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker yang bersangkutan. Dimana pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih dan di satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP, dengan kondisi sistem pengganggaran seperti itu proses dari hasil pelayanan tidak dapat memberikan kelancaran dan kepastian waktu yang dapat dipertanggung jawabkan.

b. Pelayanan yang dilaksanakan tidak mencapai tingkat yang optimal (43,79%), dikarenakan hak dari pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir tahun (bulan november dan desember) yang sudah disetorkan (SSBP) tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pelayanan pertanahan, seperti diketahui bahwa beberapa pelayanan pertanahan menurut Standar Operasional Pelayanan Pertanahan (SOPP) memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan, karena untuk penerimaan yang pada akhir tahun tidak dapat diggunakan mengingat batas waktu penggunaan DIPA sampai dengan 31 Desember. Sehingga hak dari pelanggan sebagai penerima pelayanan umum tidak jelas dan tidak pasti, walaupun penggunaannya dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran namun sangat terbatas, karena:1) penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar

20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;2) jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak

hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp.200. 000. 000,- (dua ratus juta rupiah); atau

3) memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya;

2. Kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan keuangan bagi SDM bidang teknis dalam penyusunan perencanaan untuk mendapatkan angka yang tepat dalam mengestimasi penerimaan PNBP, dengan memberikan pelatihan perencanaan dan

Page 124: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

117PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

penyusunan RKA-KL. Sehingga diperlukan optimalisasi penggunaan PNBP dengan jenis kegiatan Penegakkan Hukum, Program Dukungan Manajemen, dan Program Peningkatan Sarana dan Prasana (PDPS), dengan cara penyempuranaan aturan penggunaan anggaran PNBP agar dapat disubsidi silang antar Satker atau PNBP dapat dikompensasi ke dalam DIPA Rupiah Murni untuk pengadaan Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, pelatihan sumberdaya manusia, penelitian, penegakkan hukum, dan dukungan manajemen. Selain daripada itu fasilitas sarana dan prasarana fisik sebagaian besar sangat memprihatinkan, dimana kondisi asset BPN RI di seluruh Indonesia untuk kantor 30 unit masih pinjam Pemda dan 32 unit sewa/pinjam bahkan belum memiliki kantor dengan kondisi 69 rusak ringan dan 27 rusak berat. Status tanah kantor 378 milik sendiri, 81 milik Pemda, dan 18 sewa/pinjam. Rumah dinas baru ada 41 unit sisanya 361 unit masih sewa/pinjam, dengan kondisi 13 unit rusak ringan dan 14 unit rusak berat.

B. REKOMENDASI1. Baik tidaknya pengelolaan organisasi perlu diketahui kegiatan pelayanan yang sudah

memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk memberikan kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan yang dapat dipertanggung jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara terpusat dengan alokasi penggunaan yang tepat terutama untuik peningkatan pelayanan

2. Mengkaji kembali sistem pengelolaan penerimaan dan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, terutama dalam hal;a. Perbaikan estimasi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan pada

pertengahan dan akhir tahun dan penggunaan utnuk Non Operasional, yang mengakibatkan penumpukkan dana penerimaan menjelang akhir tahun sehingga tidak terserap atau melebihi pagu dan tidak ada waktu untuk merevisi sehingga tidak optimal dalam penggunaan, akibatnya pelayanan pertanahan akan mengalami hambatan dan kevakuman menjelang akhir tahun;

b. Mengkaji aturan penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak secara subsidi silang antar Satuan Kerja yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke Pulau Kalimantan, Pulau Silawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana pendukung pelayanan pertanahannya sangat tidak memadai.

Page 125: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

118 Pusat Penelitian dan PengembanganBADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Page 126: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADABADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 119

Peraturan Perundangan-Undangan:1. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;2. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;3. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan

Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementeriaan Negara/Lembaga;5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara

Bukan Pajak;6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaa Penerimaan Negara

Bukan Pajak Yang Bersumber Dari Kegiatan Tertentu;7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan

Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan

Pajak;9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;10. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional;11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan

Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran;12. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah dan Penyetoran

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terhutang;13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian

Keberatan Atas Penetapan PNBP Yang Terhutang;14. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga;15. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.

Daftar Pustaka

Page 127: Paper Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara

MELIA YUSRI, SP DWI SUPRASTYO, SPUMIYATI, S.SIT

KetuaMUNSYARIEF, A.PTNH, M.SI

AnggotaSekretaris