11
POLA ALIRAN LIMPASAN PERMUKAAN DAN IMPLIKASINYA PADA RENCANA REGULASI PENATAAN WILAYAH (Studi Kota Malang) Atika Lubis, Dra. M.S. 2 , Faisal Sunarto 1 1 KK Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB 2 Program Studi Meteorologi ITB Abstrak Perkembangan wilayah Kota Malang tidak lepas dari terjadinya perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi lahan terbangun terutama untuk kawasan pemukiman. Banjir dan genangan air hujan merupakan masalah yang timbul akibat perubahan penggunaan lahan yang tidak diatur dengan baik. Lahan terbangun memiliki daya resap air hujan yang lebih kecil dari lahan terbuka. Ketika lahan terbangun semakin luas maka akan semakin banyak air hujan yang berubah menjadi limpasan permukaan. Ketika kemampuan suatu wilayah untuk mengalirkan limpasan permukaan sudah tidak memenuhi maka akan terjadi genangan air hujan dan banjir. Curah hujan, topografi dan tata guna lahan merupakan faktor yang sangat menentukan pola aliran limpasan permukaan. Metode SCS (Soil Conservation System) digunakan untuk menentukan perubahan besar limpasan permukaan sebagai efek dari perubahan tata guna lahan. Curah hujan wilayah yang digunakan didapat dari perhitungan metode isohiet dari 6 stasiun data (Karangploso, Brawijaya, Sumberasin, A.R Saleh, Selorejo dan Karangkates). Perhitungan water balance menggunakan metode F.J Mock dengan evapotanspirasi dihitung dengan persamaan Penman. Topografi wilayah didapat dari 520 titik sampel ketinggian, yang kemudian diinterpolasi untuk memperoleh kondisi 3D. Dari topografi wilayah kemudian diketahui arah dan potensi kecepatan aliran limapasan permukaan wilayah Kota Malang. Untuk periode 2001-2008 pertambahan kawasan lahan terbangun di Kota Malang sebesar 20.92% telah meningkatkan besarnya limpasan permukaan 8.6%. Regulasi penataan wilayah didasarkan pada pola aliran limpasan permukaan, curah hujan wilayah, dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang 2008-2028. Wilayah selatan Kota Malang dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2123,04 mm/tahun merupakan kawasan yang direncanakan sebagai daerah hijau atau daerah pertanian. Terutama difokuskan kawasan Buring yang memiliki potensi kecepatan aliran limpasan tinggi pada kelerengan 9-13.5%. Perbaikan sarana drainase dan pembangunan kolam tampung merupakan beberapa alternatif yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah banjir dan genangan air hujan. DAS Bango, DAS Sukun dan DAS Brantas merupakan prioritas karena berada pada kawasan yang relatif datar sehingga aliran limpasan permukaan akan lebih mudah terhambat. 1

Paper Sunarto

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper Sunarto

POLA ALIRAN LIMPASAN PERMUKAANDAN IMPLIKASINYA PADA

RENCANA REGULASI PENATAAN WILAYAH(Studi Kota Malang)

Atika Lubis, Dra. M.S.2, Faisal Sunarto1

1KK Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB2Program Studi Meteorologi ITB

Abstrak

Perkembangan wilayah Kota Malang tidak lepas dari terjadinya perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi lahan terbangun terutama untuk kawasan pemukiman. Banjir dan genangan air hujan merupakan masalah yang timbul akibat perubahan penggunaan lahan yang tidak diatur dengan baik. Lahan terbangun memiliki daya resap air hujan yang lebih kecil dari lahan terbuka. Ketika lahan terbangun semakin luas maka akan semakin banyak air hujan yang berubah menjadi limpasan permukaan. Ketika kemampuan suatu wilayah untuk mengalirkan limpasan permukaan sudah tidak memenuhi maka akan terjadi genangan air hujan dan banjir.

Curah hujan, topografi dan tata guna lahan merupakan faktor yang sangat menentukan pola aliran limpasan permukaan. Metode SCS (Soil Conservation System) digunakan untuk menentukan perubahan besar limpasan permukaan sebagai efek dari perubahan tata guna lahan. Curah hujan wilayah yang digunakan didapat dari perhitungan metode isohiet dari 6 stasiun data (Karangploso, Brawijaya, Sumberasin, A.R Saleh, Selorejo dan Karangkates). Perhitungan water balance menggunakan metode F.J Mock dengan evapotanspirasi dihitung dengan persamaan Penman. Topografi wilayah didapat dari 520 titik sampel ketinggian, yang kemudian diinterpolasi untuk memperoleh kondisi 3D. Dari topografi wilayah kemudian diketahui arah dan potensi kecepatan aliran limapasan permukaan wilayah Kota Malang.

Untuk periode 2001-2008 pertambahan kawasan lahan terbangun di Kota Malang sebesar 20.92% telah meningkatkan besarnya limpasan permukaan 8.6%. Regulasi penataan wilayah didasarkan pada pola aliran limpasan permukaan, curah hujan wilayah, dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang 2008-2028. Wilayah selatan Kota Malang dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2123,04 mm/tahun merupakan kawasan yang direncanakan sebagai daerah hijau atau daerah pertanian. Terutama difokuskan kawasan Buring yang memiliki potensi kecepatan aliran limpasan tinggi pada kelerengan 9-13.5%. Perbaikan sarana drainase dan pembangunan kolam tampung merupakan beberapa alternatif yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah banjir dan genangan air hujan. DAS Bango, DAS Sukun dan DAS Brantas merupakan prioritas karena berada pada kawasan yang relatif datar sehingga aliran limpasan permukaan akan lebih mudah terhambat.

Kata Kunci: Limpasan Permukaan, Pola Aliran, Zoning Regulation

1. Pendahuluan

Limpasan permukaan merupakan salah satu elemen

daur hidrologi yang sangat penting. Besarnya

limpasan permukaan dapat menunjukkan berapa

banyak air yang tidak terinfiltrasi kedalam tanah dan

yang mengalir di permukaan. Besarnya limpasan

permukaan tergantung pada beberapa faktor. Salah

satunya adalah berubahnya penggunaan lahan.

Sebagai konsekuensi dari pembangunan perkotaan

adalah meluasnya area terbangun. Padatnya bangunan

menyebabkan semakin luasnya penutupan tanah yang

mengakibatkan ketidakseimbangan lingkungan,

misalnya proses-proses yang melibatkan pergerakan

air seperti limpasan permukaan, erosi dan resapan air

kedalam lapisan kedap air. (Maulidi, Anjarwati S.,

Ameliya S., 2006)

1

Page 2: Paper Sunarto

Ketika kemampuan wilayah untuk menampung atau

mengalirkan limpasan permukaan sudah tidak

mencukupi, akan terjadi kelebihan aliran permukaan.

Pada kondisi curah hujan yang ekstrim dapat

mengakibatkan banjir. Upaya yang harus dilakukan

adalah penataan wilayah yang baik dan tidak

memperburuk kondisi yang sudah ada. Salah satunya

adalah adanya rencana regulasi penataan wilayah

(zoning regulation).

Perkembangan pembangunan perkotaan secara umum

di Indonesia sebagaimana terjadi di kota-kota lain

dunia, sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi

(manusia) akibat urbanisasi, terutama para pendatang

yang akhirnya menetap. Kondisi tersebut menjadi

salah satu pemicu terjadinya peralihan fungsi lahan

Kota Malang, yang sebelumnya merupakan ruang

terbuka hijau menjadi pemukiman dan fasilitas

umum. Pembangunan kota yang tidak

mempertimbangkan pengelolaan lingkungan dapat

mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota.

Pada penelitian tugas akhir ini akan digambarkan pola

aliran limpasan permukaan dan upaya untuk

mengintegrasikannya dengan rencana regulasi

penataan wilayah (zoning regulation) Kota Malang.

Tugas akhir ini menekankan pada perubahan besar

limpasan permukaan sebagai akibat perubahan tata

guna lahan dan perkiraan arah pergerakan aliran

berdasarkan topografi wilayah Kota Malang. Asumsi

yang dipakai adalah sebagai berikut:

Aliran permukaan Kota Malang tidak mendapat

imbuhan dari wilayah lain.

Penentuan arah aliran hanya memperhitungkan

topografi wilayah.

Data-data parameter iklim diperhitungkan

sebagai nilai rata-rata bulanan.

Curah hujan wilayah Kota Malang diwakili

dengan data 6 stasiun di Malang Raya

(Brawijaya, Karangploso, A.R. Saleh,

Karangkates, Sumberasin dan Selorejo).

Batas wilayah Kota Malang dianggap tetap (tidak

ada pemekaran wilayah).

2. Metodologi

Data yang digunakan merupakan data klimatologi

dari 6 stasiun terlengkap di wilayah Malang Raya dari

tahun 1998-2007, dan merupakan data rata-rata

bulanan. Peta penggunan lahan mengunakan peta

Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk 2001 dan

dari RTRW Kota Malang 2008-2028. Peta topografi

wilayah dibuat dengan program menggunakan 520

titik sampel ketinggian yang masing-masing mewakili

satu blok wilayah.

Air permukaan ataupun air tanah akan mengalir dari

tempat yang lebih tinggi (disebut daerah tadah untuk

air permukaan dan disebut daerah imbuh untuk air

tanah) menuju ke tempat yang lebih rendah. (Said,

2005). Arah aliran dan potensi kecepatan didapat

sebagai hasil keluaran program dan dihitung

berdasarkan pada kondisi topografi dan kelerengan

wilayah.Daerah akumulasi aliran dihitung sebagai

akumulasi banyak sel-sel yang mengalir menuju tiap

sel yang paling rendah ketinggiannya. (Putra, 2007)

Perhitungan evapotranspirasi sebagai masukan dari

persamaan dalam Metode F.J. Mock dilakukan

dengan rumus Penman. Curah hujan wilayah didapat

dari penggunaan program ArcGIS untuk melakukan

metode isohyet. Perhitungan dengan Metode

SCS(Soil Conservation Service) digunakan untuk

menentukan besarnya perubahan limpasan permukaan

akibat berubahnya penggunaan lahan di wilayah Kota

2

Page 3: Paper Sunarto

Malang. Regulasi perencanaan wilayah didasarkan

pada hasil pengerjaan dan dibandingkan dengan

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Malang

2008-2028.

DataKlimatologi

Peta Garis/Peta Blok(Tata Guna Lahan dan Topografi)

PetaPenggunaan Lahan

- Metode Isohyet- Metode Pennman

Macam Tanah

Overlay- Plot Titik Ketinggian (Excel)

520 Titik Sampel- Permukaan 3D (Surfer)

Water Balance

Start

Metode SCS

-CH Wilayah-PET

Curve Number(CN)

Direct Runoff(DRO)

- Arah Aliran Limpasan- Daerah Akumulasi- Potensi Kecepatan

Direct Runoff(2001 dan 2008)

Analisa Wilayah

PerencanaanWilayah

End

Gambar 1. Alur Pengerjaan Tugas Akhir.

3. Hasil dan Pembahasan

Data curah hujan merupakan rata-rata bulanan dari 6

stasiun data yang digunakan. Dari tiap stasiun

diketahui pola atau distribusi curah hujan bulanan

adalah berbentuk “U” menandakan bahwa daerah

studi memiliki tipe iklim monsunal. Dengan curah

hujan minimum terjadi pada bulan juni, juli dan

September sedangkan curah hujan tinggi terjadi pada

bulan desember, januari dan februari. (Tjasyono,

2008)

Curah Hujan (CH) Rata-Rata Bulanan

0.000

100.000

200.000

300.000

400.000

500.000

600.000

700.000

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Ch

(m

m/b

ula

n)

Karangkates CH

Selorejo CH

Sumberasin CH

Brawijaya CH

AR Saleh CH

Karangploso CH

Gambar 2. Grafik Distribusi Curah Hujan Bulanan

Curah hujan wilayah hasil dari perhitungan metode

isohyet adalah sebagai berikut:

Curah Hujan Wilayah Kota Malang

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des

CH

Gambar 3. Curah Hujan Wilayah Kota Malang

Perhitungan water balance dilakukan untuk

menunjukkan bahwa pada bulan-bulan basah akan

terjadi kelebihan air hujan yang berubah menjadi

limpasan permukaan. Limpasan permukaan (surface

runoff) atau biasa juga disebut dengan limpasan

langsung (direct runoff) adalah water surplus yang

telah mengalami infiltrasi. Jadi direct runoff dihitung

dengan persamaan: (Bappenas, 2007)

DRO=WS – I ………………..……..... (3.1)

Water Balance (P)

0.000

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Month

mm

Curah Hujan (mm)

PET (cm)

Limited ET

Water Surplus

Infiltrasi (i)

DRO

Gambar 4. Waterbalance Wilayah Kota Malang

Faktor limpasan dan genangan air hujan dipengaruhi

lima hal yaitu intensitas curah hujan, jenis tutupan

3

Page 4: Paper Sunarto

lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan

sedimentasi. (Idris dan Sukojo, 2008). Faktor

limpasan dan genangan air hujan dipengaruhi lima hal

yaitu intensitas curah hujan, jenis tutupan lahan,

kemiringan lereng, jenis tanah, dan sedimentasi. (Idris

dan Sukojo, 2008). Perubahan penggunaan lahan

wilayah Kota Malang dari lahan terbuka (sawah dan

tegal) menjadi lahan terbangun (kampung, jasa dan

industri) sebesar 20.39% telah menyebabkan

peningkatan besarnya limpasan permukaan secara

rata-rata dalam 1 tahun sebesar 8,6%.

Perubahan Besar Limpasan Permukaan (DRO)

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

mm

CH

DRO 2001

DRO 2008

Gambar 5. Grafik Perubahan Besar Limpasan

Permukaan

Pola aliran limpasan permukaan didapat dari

pengolahan peta topografi wilayah Kota Malang. Pola

aliran dibagi menjadi dua bagian analisa, yaitu: arah

aliran dan daerah akumulasi limpasan permukaan

serta potensi kecepatannya.

Gambar 6. Arah Aliran Limpasan Permukaan

Pergerakan aliran di wilayah Kota Malang bermula di

daerah Dinoyo (A) di bagian barat laut Kota Malang

menuju ke timur dan tenggara. Pada bagian tenggara

Kota malang terdapat Bukit Buring,(B) daerah yang

cukup tinggi dari wilayah-wilayah disekitarnya

menyebabkan pergerakan aliran limpasan di wilayah

selatan Kota Malang berasal dari daerah tersebut.

Wilayah selatan Kota Malang merupakan daerah

paling rendah, sehingga merupakan daerah dimana

aliran limpasan Kota Malang berujung.

Gambar 7. Daerah Rawan Bencana Banjir

Potensi kecepatan aliran limpasan permukaan hanya

didasarkan pada kondisi kelerengan wilayah Kota

Malang. Kelerengan tertinggi berada pada wilayah

Bukit Buring yang berkisar antara 9-13,5%. Wilayah

rawan bencana pada gambar 7. berada pada lereng

utara dari Bukit Buring yang merupakan daerah

akumulasi dan juga potensi kecepatan aliran yang

tinggi. Kondisi tersebut membuat wilayah tersebut

menjadi daerah rawan bencana.

4

Page 5: Paper Sunarto

Gambar 8. Potensi Kecepatan Aliran Limpasan

Kecepatan aliran juga berhubungan dengan terjadinya

genangan di wilayah Kota Malang. Daerah genangan

sebagaian besar (79,77%) berada pada daerah dengan

kelerengan yang kecil atau relatif datar.

Gambar 9. Daerah Genangan Tahun 2005

Kondisi tersebut diperparah dengan tekstur tanah

wilayah Kota Malang yang berupa lempung dan liat

sehingga air hujan tidak mudah terinfiltrasi kedalam

tanah.

Pengembangan wilayah kota Malang yang diarahkan

menuju ke wilayah selatan (Kelurahan Gadang,

Kecamatan Kedungkandang) tidak sesuai jika dilihat

dari kondisi daerah tersebut. Wilayah selatan Kota

Malang merupakan daerah akumulasi aliran limpasan

permukaan dan berada pada wilayah yang memiliki

potensi aliran limpasan permukaan dengan kecepatan

yang cukup tinggi dan juga akumulasi aliran.

Gambar 10. Penggunaan Lahan 2001 dan Rencana

2008

Pengembangan wilayah (gambar 10.) pada daerah

akumulasi (kotak merah) seperti Kelurahan Gadang

dan Merjosari sebaiknya dihindari, pengembangan

pemukiman dapat dilakukan kearah utara (lingkaran

biru) pada wilayah kecamatan Tasikmadu dan

Tunggulwulung. Namun mengingat di wilayah DAS

Bango tersebut sering terjadi genangan maka

pembangunan sarana drainase harus direncanakan

dengan baik.

5

Page 6: Paper Sunarto

Gambar 11. Alternatif Rencana Pengembangan

Wilayah

Untuk wilayah rawan bencana yang meliputi wilayah

Kelurahan Mergosono, Madyopuro, Lesanpuro,

Kedungkandang dan Kotalama solusi jangka panjang

untuk mengatasi banjir adalah harus segera diadakan

penataan kembali, sesuai dengan tata guna lahan yang

baru. Adapun alternatif -alternatif yang dapat

dikembangkan, antara lain :

Lokasi bekas permukiman tersebut dibersihkan

dari bangunan-bangunan fisik, ditata kembali

sebagai daerah hijau atau daerah konservasi

sungai (hutan kota).

Lokasi bekas permukiman tersebut

dikembangkan dengan daerah sekitarnya sebagai

kawasan peremajaan.

Lokasi tersebut dikembangkan sebagai daerah

rekreasi dan daerah hijau kota (taman kota).

Sedangkan untuk permasalahan genangan pada

wilayah Kota Malang yang merata di semua DAS

(Amprong, Sukun, Brantas, Metro dan Bango), dapat

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Tabel 1. Alternatif Penanganan Genangan

Wilayah Kota Malang

No Alternatif Penanganan Masalah

Genangan

1Memperbesar dimensi saluran untuk

meningkatkan kapasitasnya

2Melakukan pengerukan sedimen yang ada di

saluran

3Melakukan pembersihan sampah-sampah

yang ada di saluran

4Melakukan rehabilitasi saluran secara

umum

5 Melakukan perbaikan inlet drainase

6 Menambah jumlah inlet drainase

7Membuat inlet drainase menuju saluran dan

membuat shortcut ke saluran drainase utama

8

Dibuat tampungan sementara, saluran

pengumpul, pembuatan hutan kota,

kombinasi pompa

9Perbaikan kemiringan saluran menuju

saluran drainase utama

(Sumber: BAPPEKO, 2005)

Wilayah diatas daerah dengan potensi aliran limpasan

permukaan dengan kecepatan alir tinggi harus

diupayakan menjadi lahan hijau ataupun lahan

pertanian karena memiliki koefisien infiltrasi yang

lebih besar. Sehingga air akan banyak terserap dan

tidak terjadi limpasan permukaan yang besar. Upaya

penghijauan ini juga solusi untuk mengurangi aliran

air dari Perbukitan Buring yang berada di DAS

Amprong yang rawan bencana (Kelurahan

Mergosono, Madyopuro, Lesanpuro, Kedungkandang

dan Kotalama).

4. Kesimpulan

Wilayah selatan Kota Malang memiliki curah

hujan tahunan (1998-2007) yang lebih tinggi

(2123,04 mm/tahun) jika dibandingkan dengan

wilayah utara (1787,00 mm/tahun).

Terjadi peningkatan besarnya limpasan

permukaan di wilayah Kota Malang sebesar

8.6%, akibat berubahnya luas penggunaan lahan

dari ruang terbuka menjadi lahan terbangun

sebesar 20.39%.

Aliran limpasan permukaan wilayah Kota

Malang bergerak dari bagian barat (Kelurahan

Dinoyo) ke arah timur dan selatan dan dari

6

Page 7: Paper Sunarto

Perbukitan Buring Kecamatan Kedungkandang

menuju wilayah disekitarnya yang lebih rendah.

Akumulasi aliran belum tentu menyebabkan

terjadinya genangan namun lebih dikarenakan

buruknya sarana drainase wilayah Kota Malang.

Potensi kecepatan aliran limpasan yang tinggi

terjadi di bagian tenggara Kota Malang pada

perbukitan Buring pada kelerengan antara 9%

hingga 13.5%. Daerah potensi aliran dengan

kecepatan tinggi merupakan daerah akumulasi

aliran satu arah.

Daerah akumulasi dengan kondisi yang buruk

perlu segera dilakukan relokasi (Kelurahan

Mergosono, Madyopuro, Lesanpuro,

Kedungkandang dan Kotalama). Perbaikan

sarana drainase dan pembangunan kolam

tampung harus segera dilakukan untuk mengatasi

masalah genangan. Penghijauan dan terrasering

pada bukit Buring dapat dilakukan untuk

mengurangi kecepatan aliran limpasan

permukaan.

Arah pengembangan pemukiman Kota Malang

diarahkan menuju wilayah Selatan Kota Malang

seperti Kelurahan Gadang kurang tepat

mengingat daerah selatan merupakan salah satu

wilayah yang menjadi akumulasi aliran pada

lereng Bukit Buring sehingga rawan terjadi

bencana banjir. Dan RTRW Kota Malang pada

regulasi penataan wilayahnya telah menetapkan

daerah perbukitan Buring menjadi lahan

pertanian dan ruang terbuka hijau.

5. Daftar Pustaka

BAPPENAS., (2007), LAPORAN AKHIR Prakarsa

Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk

Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa.

(http://air.bappenas.go.id/modules/doc/pdf_download

.php)

BAPPEKO Kota Malang, (2006), LAPORAN AKHIR

Masterplan Drainase Kota Malang 2006-2011,

Pemerintah Kota Malang.

Chairul Maulidi, Anjarwati S, Asia Ameliya S.

(2006), Dampak Pembangunan Mal Olympic Garden

Terhadap Resapan dan Limpasan, Universitas

Brawijaya, Malang.

Idris, Mirzanul. Bangun Muljo Sukojo, (2009),

Analisis limpasan dan genangan air hujan dengan

Digital Elevation Model menggunakan Software

ArcGIS 9.2, Program Studi Teknik Geomatika ITS,

Surabaya.

(http://crs.itb.ac.id/media/mapin/pdf/

mirzanur_idris.pdf)

Putra, Erwin Hardika. (2007), Menentukan Lokasi

Daerah Rawan Banjir (Studi Kasus Propinsi

Sulawesi Utara) menggunakan metode TWI. PEH

(http://rimbawan.org/peh/index.php?

option=com_weblinks&Itemid=29)

Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota

Malang 2008-2028.

Said, Hadi Darmawan. (2005), Hidrogeologi,

Politeknik Indonesia Jepang, Bandung.

Tjasyono, Bayong, HK., H., Sri Woro (2008),

Meteorologi Indonesia 2, BMKG, Jakarta.

7