18
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat. 1 Di negara-negara berkembang seperti contohnya Indonesia, masih sering dijumpai tetanus. Penyakit ini dapat memperngaruhi berbagai kelompok usia, dan angka mortalitas kasus ini tergolong tinggi yaitu 10-80% meskipun perawatan intensif modern tersedia. Tetanus dapat ditemukan diseluruh dunia, terjadi secara sporadis atau secara "outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara maju sudah jarang ditemukan, sedangkan di negara agraris dimana kontak dengan kotoran hewan masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa, rasio insiden pada laki-laki lebih sering daripada wanita yaitu 2,5:1 dan kebayakan ditemukan pada usia produktif. 1 Tingginya angka ini akibat kurang memadainya program imunisasi, juga berkaitan dengan kebiasaan sosial dan kesehatan masyarakat yang tidak memadai, padahal di negara-negara maju semakin jarang. Untuk menurunkan angka kematian tetanus dan lamanya rawat tinggal dirumah sakit telah dilakukan berbagai usaha seperti hiperbaric, oksigenasi, pemakian respirator, pemberian anti tetanus serum kuda (ATS) atau tetanus immonoglobulin human (TIGH), diazepam dosis tinggi dan penggunaan antibiotika, namun angka kematiannya masih tetap tinggi. 1 Sehingga, tetanus masih merupakan masalah kesehatan penting. Tidak terdapat imunitas alami terhadap tetanus, sehingga proteksi didapat dari imunisasi aktif. 1 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat. 2 Oleh

Paper Tetanus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

m

Citation preview

Page 1: Paper Tetanus

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok

neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan

kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman

tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi

telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat.1

Di negara-negara berkembang seperti contohnya Indonesia, masih sering

dijumpai tetanus. Penyakit ini dapat memperngaruhi berbagai kelompok usia, dan

angka mortalitas kasus ini tergolong tinggi yaitu 10-80% meskipun perawatan

intensif modern tersedia. Tetanus dapat ditemukan diseluruh dunia, terjadi secara

sporadis atau secara "outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara

maju sudah jarang ditemukan, sedangkan di negara agraris dimana kontak dengan

kotoran hewan masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa, rasio

insiden pada laki-laki lebih sering daripada wanita yaitu 2,5:1 dan kebayakan

ditemukan pada usia produktif.1 Tingginya angka ini akibat kurang memadainya

program imunisasi, juga berkaitan dengan kebiasaan sosial dan kesehatan masyarakat

yang tidak memadai, padahal di negara-negara maju semakin jarang.

Untuk menurunkan angka kematian tetanus dan lamanya rawat tinggal

dirumah sakit telah dilakukan berbagai usaha seperti hiperbaric, oksigenasi, pemakian

respirator, pemberian anti tetanus serum kuda (ATS) atau tetanus immonoglobulin

human (TIGH), diazepam dosis tinggi dan penggunaan antibiotika, namun angka

kematiannya masih tetap tinggi.1

Sehingga, tetanus masih merupakan masalah

kesehatan penting.

Tidak terdapat imunitas alami terhadap tetanus, sehingga proteksi didapat dari

imunisasi aktif.1 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid,

higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.2 Oleh

Page 2: Paper Tetanus

2

karena itu, kombinasi dari pencegahan, diagnosis, serta penatalaksaan tetanus yang

adekuat sangat diperlukan agar mampu menurunkan angka mortalitas pada pasien

tetanus.

Page 3: Paper Tetanus

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok

neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan

kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman

tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi

telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat.1

2.2. ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani. Bakteri ini

berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan

juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa

tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau

bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita

tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Pada negara belum

berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat

sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini kenal dengan nama tetanus

neonatorum.3

2.3. PATOGENESIS

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada

beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

pelepasan asetilkolin dari terminal nerve di otot.

b. Karekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin

mengganggu fungsi dari refleks sinaptik di spinal cord.

Page 4: Paper Tetanus

4

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh

cerebral ganglioside.

d. Gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS) dengan gejala : berkeringat,

hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian

katekolamin dalam urin.3,4

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi

fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi

terhadap batang otak.3 Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal

menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter

sehingga terjadi trismus. Hal ini disebabkan karena otot masetter adalah otot yang

paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya

menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan

antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada 2 mekanisme yang dapat

menerangkan penyebaran toksin kesusunan saraf pusat yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada pertemuan otot saraf, kemudian migrasi melalui

jaringan perineural urat saraf kesusunan saraf pusat.

2. Toksin melalui rongga ke pembuluh limfe dan darah kesusunan saraf pusat.

Masih belum jelas jalan mana yang lebih penting, kemungkinan keduanya

terlibat.

Manisfestasi klinis tetanus yang timbul adalah sebagai akibat pengaruh toksin

pada susunan saraf pusat, toksin menghambat synapsis kolinergik perifer,

menurunkan pengeluaran asetilkolin dan mengganggu saraf simpatis. Bila sembuh

tetanus tidak meninggalkan kelainan neurologis.4

2.4. GEJALA KLINIS

Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot

yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot bertambah secara progresif

dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada

minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir minggu pertama.5

Secara umum, terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu:

Page 5: Paper Tetanus

5

1. Kekakuan Otot dan Rigiditas

Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring, dan juga seluruh

otot ekstremitas dan batang tubuh. Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter,

menyebabkan kesulitan membuka mulut trismus atau lock jaw. Kekakuan otot

tersebut terjadi karena arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di

medulla dan batang otak yang menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang

menyerupai kejang. Tonus otot meningkat diselingi dengan spasme otot secara

episodik. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis menjadi hilang dan kelompok

otot agonis serta antagonis berkontraksi secara simultan.5 Kekakuan otot tersebut

tampak dalam bentuk: 5

a. Rigiditas abdomen yang sering disebut perut papan

b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas disebut dengan

rhisus sardonicus atau rhisus smile

c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala. Otot-otot

rahang, wajah, dan kepala pada banyak kasus terpengaruh pertama kali karena

jaras aksonalnya lebih pendek

d. Trismus atau lock jaw, disebabkan oleh kontraksi yang berat dari otot maseter

e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia

f. Spasme berat pada otot batang tubuh (punggung) disebut opistotonus dapat

menyebabkan kesulitan bernapas akibat berkurangnya komplians otot dinding

dada

g. Otot ekstremitas terpengaruh paling terakhir, namun biasanya tidak

melibatkan otot tangan dan kaki

h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan

spasme laring dan berkurangnya komplians dinding otot dada dapat

menyebabkan gagal napas.

2. Spasme Otot

Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang

telah mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-

Page 6: Paper Tetanus

6

otot agonis dan antagonisnya sehingga terjadi gerakan seperti bangkitan tonik.

Retraksi kepala akan tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus

makin jelas terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan

dengan rangsang raba juga oleh rangsang auditori, visual, atau emosional. Frekuensi

dan beratnya spasme sangat bervariasi. Biasanya spasme terjadi dalam beberapa

detik, secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.5

3. Gangguan Saraf Otonom

Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan

bukan merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan komponen simpatis

maupun parasimpatis. Pasien dapat mengalami takikardia, hiperhidrosis, peningkatan

tekanan darah, aritmia, hipersalivasi, serta peningkatan refleks vagal yang berakibat

buruk pada sistem kardiovaskuler. Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat

menyebabkan miokarditis yang ditandai dengan demam, ruam, eosinofilia perifer,

dan peningkatan biomarker nekrosis.5

Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap

selama 1-2 minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah

(hipertensi yang diselingi dengan hipotensi) takikardia diselingi bradikardia, cardiac

arrest atau asistol berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas vagus,

vasokonstriksi, dan pireksia, hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial, stasis

gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal dengan output yang meningkat, diaphoresis,

disritmia jantung dan hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kadar katekolamin

hingga 10 kali lipat pada pemeriksaan plasma basal menyerupai kadar pada keadaan

phaeochromocytoma. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali

akson terminal dan proses kerusakan toksin.5

Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe: 5

a. Tetanus Lokal

Tetanus ini terjadi secara lokal (misalnya terjadi pada satu tungkai bawah

saja). Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di area

Page 7: Paper Tetanus

7

tertentu dan pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan mengikat

toksin didalam darah sehingga penyebaran lebih luas dapat dihindari.

b. Tetanus Sefalik

Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka didaerah kepala atau

dengan riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat adalah

otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan segmen

servikal.

c. Tetanus Generalisata

Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%). Gejala klinis biasanya

dimulai dengan trismus atau lock jaw diikuti dengan kekakuan pada otot leher,

kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdomen. Gejala lain bisa berupa

keringat berlebihan, demam, penigkatan tekanan darah, takikardia episodik.

Spasme terjadi cukup sering dan berlangsung beberapa menit.

2.5. DIAGNOSIS

Grading Tetanus5

Grading tetanus dilakukan menggumakan kriteria Patel Joag, yaitu:

Kriteria 1 : Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang

belakang

Kriteria 2 : Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3 : Inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4 : Waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria 5 : Kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila sampai 99

oF (=

37,6oC)

Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat tetanus sebagai berikut:

Derajat 1 : Kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%

Derajat 2 : Kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1 + K2), biasanya inkubasi lebih

dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %

Page 8: Paper Tetanus

8

Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang

dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%

Derajat 4 : Kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5 : Bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus

puerperium, mortalitas 84%

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan bagi kuman Clostridium tetani

dari mulai terjadinya luka sehingga menimbulkan gejala klinis yang pertama berkisar

antara 7-14 hari (1-2 hari sampai beberapa bulan). Periode onset adalah waktu yang

dibutuhkan dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama hingga timbulnya spasme

otot berkisar antara 1-7 hari. Pada tetanus yang fulminant pada masa ini memendek

hingga 1-2 jam. Semakin panjang periode onsetnya maka pasien memiliki prognosis

yang lebih baik.5

Kriteria beratnya tetanus dapat pula ditentukan dengan klasifikasi Ablett’s:5

Grade I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak

ada gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak

ada/sedikit ada disfagia

Grade II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan

sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan

dengan takipnea.

Grade III (berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan

seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan

napas dengan sesak dan terengah-engah (apnoeic spells),

disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas saraf

otonom sedang.

Grade IV (sangat berat) : Seperti grade III ditambah gangguan autonomik hebat

yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai

autonom.

Page 9: Paper Tetanus

9

2.6. DIAGNOSIS BANDING

1. Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya

menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana

adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar

protein meningkat dan glukosa menurun.4,6

2. Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio

diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat. 4,6

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat klonik. 4,6

4. Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. 4,

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan

fosfat dalam serum rendah. bentuk spasme otot yang khas yaitu karpopedal

spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus. 4,6

6. Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada. 4

7. Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.4

8. Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom

ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,.4

9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher.4

Page 10: Paper Tetanus

10

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar spesifik untuk

menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun

untuk pemeriksaan rutin yang dapat dilakukan: 5,7

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang bisa dikerjakan seperti pemeriksaan darah

rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, myoglobin urin, analisis gas darah, dan

kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih bersifat tambahan akibat

adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama

pada pasien.

Tes Spatula

Tes spatula adalah tes diagnostik sederhana yang dilakukan dengan

menyentuh orofaring menggunakan spatula atau tongue spatula. Dalam

keadaan normal, akan muncul refleks muntah, dan pasien mencoba untuk

mengeluarkan spatula (yaitu menunjukkan hasil tes negatif). Jika terdapat

tetanus, pasien mengalami refleks spasme pada masseter dan menggigit

spatula (yaitu menunjukkan hasil tes positif).

Pada 400 pasien, tes ini memiliki sensitivitas 94% dan spesifisitas 100%.

Tidak ada gejala sisa yang merugikan dilaporkan (misalnya, spasme laring).

Pemeriksaan Lainnya

Pemeriksaan lainnya yang bisa dilakukan seperti elektromiografi (EMG),

elektrokardiografi (EKG), dan pemeriksaan imaging. Elektromiografi (EMG)

mungkin menunjukkan aliran yang terus menerus dari subunit motorik dan

pemendekan atau tidak adanya interval diam yang biasanya diamati setelah

potensial aksi. Perubahan spesifik mungkin jelas pada elektrokardiografi

(EKG). Pencitraan dari pemeriksaan imaging pada kepala dan tulang belakang

mengungkapkan tidak ada kelainan.

Page 11: Paper Tetanus

11

2.8. PENATALAKSANAAN

2.6.1. Penatalaksanaan Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan

peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai

pulih. Tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara: 1,4

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),

membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini

penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan

pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan

personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap

penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trakiostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

2.6.2. Penatalaksanaan Khusus

2.6.2.1 Antibiotik

Antibiotik diperlukan untuk eradikasi bakteri kausatif. Kuman tetanus pada

umumnya sensitif terhadap penicillin, oleh karena clostridium tetani berada pada

daerah anaerob dimana perfusi jaringan jelek, maka diperlukan antibiotika dosis

tinggi untuk memcapai daerah tersebut. Akan tetapi dengan adanya infeksi campuran

dengan kuman-kuman penghasil betalaktamase maka pinicillin menjadi kurang

efektif. Akhir-akhir ini diketahui bahwa Metronidazol dapat mencegah tetanus dan

terbukti lebih efektif dibanding dengan penicillin. Alternatif lain bila penderita tidak

tahan terhadap penicillin, juga boleh diberikan tetracyiclin. Antibiotik digunakan

untuk membunuh bakteri anaerob yang berkembang dari luka yang merupakan pintu

masuk bakteri dan untuk membunuh clostridium tetani.1,5,8

Page 12: Paper Tetanus

12

2.6.2.2 Manajemen luka

Semua luka harus dibersihkan dan sebaiknya dilakukan debridement untuk

membuang jaringan nekrotik atau benda asing pada luka. Luka dapat digolongkan

menjadi luka yang rentan mengalami tetanus dan luka yang tidak rentan tetanus.

Setelah menentukan jenis luka, pastikan riwayat imunisasi pasien. Tetanus toksoid

diberikan pada pasien dengan imunisasi booster berakhir tidak lebih dari 10 tahun.

Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu diberikan pula TIG (Tetanus Immune

Globulin).5,6

Dosis tetanus toxoid (TT) 5

- Usia ≥ 7 tahun : 0,5 ml (5 IU) intramuskuler

- Usia < 7 tahun : Gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika

kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dosis 0,5 ml

intramuskuler

Dosis TIG 5

- Profilaksis dewasa : 250-500 U intramuskuler pada ekstremitas kontralateral

lokasi penyuntikan TT

- Profilaksis anak : 250 U intramuskuler pada ekstremitas kontralateral

lokasi penyuntikan TT

Table 2.1 Kriteria jenis luka 5

Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus

> 6-8 jam

Kedalaman > 1 cm

Terkontaminasi

Bentuk stelat, avulse atau hancur

(ireguler)

Denervasi, iskemik

Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)

< 6 jam

Superfisial (< 1 cm)

Bersih

Bentuk linier, tepi tajam

Neuro/vaskuler intak

Tidak terinfeksi

Page 13: Paper Tetanus

13

2.6.2.3 Anti Toxin

Imunisasi pasif dengan Human Anti Tetanus Gamma-glubumin (HTIG) dapat

digunakan untuk memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan

angka keselamatan. Namun imunisasi pasif ini hanya dapat menetralisir toksin yang

tidak terikat saja. HTIG 3000-10.000 unit, diberikan secara intra muskuler dan dapat

diulang bila diperlukan. Tetanus anti toksin tidak akan menetralisir toksin yang sudah

terikat pada susunan saraf pusat, tetapi hanya menetralisir toksin yang masih beredar.

Bila HTIG tidak tersedia maka diberikan ATS (Anti Tetanus Serum) dengan dosis

100.000 - 200.000 unit, diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 intravena

pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-

masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah

sakit harus diberikan immunisasi aktif dengan toksoid, oleh karena seseorang yang

sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.5,6

2.6.2.4 Terapi Suportif

a. Kekakuan otot dan rigiditas / spasme otot

Terapi utama untuk spasme otot adalah benzodiaepine. Benzodiaepine akan

memperbesar GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor endogen direseptor

GABA. Diazepam dilaporkan memiliki efektifitas yang baik dengan efek depresi

yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan barbiturat. Diazepam juga

memiliki efek antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif, dan anxiolytic. Efek

maskimal dalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan

adalan 0,5-10 mg/kg untuk dewasa. Sedasi lain adalah dengan fenobarbital,

klorpromazine, dan propofol. 1,5,8

Apabila efek sedasi tidak cukup untuk menghentikan spasme maka perlu

diberikan neuromuscular blocking agent (pacuronioum, vecuronium) dan ventilator

dengan mode intermitent positive pressure (IPPV). Namun pemberian neuromuscular

blocking agent yang terlalu lama dihubungkan dengan kejadian neuropati dan

miopati.5

Page 14: Paper Tetanus

14

Baclofen interektal (GABA agonis) dapat diberikan dengan dosis 500-2000

μg/ hari, diberikan bolus atau infus. 1,5

Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70

mg/kgBB dalam bentuk larutan dekstrose 5% 100 ml secara intravena melalui infus

selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 gram/jam (< 60 tahun) dan

1 gram/jam (≥ 60 tahun) dalam larutan dekstrose 5% 500 ml, diberikan selama 6 jam.

Kemudian dititrasi setiap 6 jam sampai spasme umum terkontrol. Kurangi dosis 0,25

gram/jam sampai terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Untuk menjegah

overdosis diperlukan pemantauan yang ketat dari tanda vital, gejala klinis, EKG,

kadar magnesium setiap 3 hari atau setiap hari bila ada tanda toksisitas, tanda

hipokalsemia dan kadar kalsium setiap 3 hari. 1,5,8

b. Kontrol disfungsi otonom

Disfungsi otonom dapat diatasi dengan pemberian cairan 8 liter per hari dan

pemberian sedasi. Obat yang dapat digunakan yaitu benzodiazepine, antikonvulsan,

dan morfin. Morfin merupakan pilihan yang sering digunakan karena memiliki efek

stabilitas kardiovaskular dengan dosis pemberian 20-180 mg/ hari. Klorpromazine,

antikolinergik dan alfa adrenergik antagonis juga memiliki efek stabilitas

kardiovalskular. 5,8

Propanolol (β-adrenergic bloking agent) digunakan untuk mengontol

hipertensi episodik dan takikardi. Dosis yang digunakan 5-10 mg, dapat dinaikkan

hingga 40 mg 3 kali sehari.5

Atropin hingga dosis 100 mg/hari dapat diberikan pada kasus diaforesis,

bradiaritermia dan hipersekresi. Diharapkan dengan dosis besar akan memblok efek

muskarinik dan nikotinik, sedasi sentral, dan blok neuromuskuler.5

Klonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk mengurangi efek

simpatis sehingga mengurangi tekanan arterial, denyut jantung dan pelepasan

ketokolamin dari medula adrenal. 5,8

Page 15: Paper Tetanus

15

2.9. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit tetanus yaitu :

1. Respirasi

Komplikasi ini sangat jarang terjadi namun sangat mempengaruhi morbiditas

dan mortalitas. Hipoksia dan gagal nafas sering terjadi pada tetanus yang

berat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh spasme otot–otot pernapasan dan

spasme otot laring. Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan

sedasi menyebabkan atelektasis dan meningkatkan risiko pneumonia.

Ketidakmampuan menelan saliva, sekresi saliva yang masif, spasme faring,

peningkatan tekanan intraabdomen dan statis gaster secara keseluruhan

menyebabkan peningkatan risiko aspirasi. Pneumotoraks dan mediastinal

emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. 5

2. Miokarditis dan ganguan kardiovaskuler lain

Miokarditis merupakan respon infeksi terhadap otot jantung yang dapat

menyebabkan kerusakan otot jantung yang akan menyebabkan dilated

cardiomyopati. Gejala klinis berupa mudah lelah, demam, dyspnue d’effort,

takikardi, takipneu, dan lain-lain. Miokarditis juga dapat ditandai dengan

pemanjangan segmen QTc pada pemeriksaan EKG. 5

3. Pada tulang dan otot

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam

otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang

terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa.6

4. Gangguan gastrointestinal

Pendarahan lambung sering terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian

antasida secara teratur pada semua pasien tetanus berat.5

5. Gangguan renal dan elektrolit

Gangguan ginjal sering disebabkan oleh kondisi hipovolemia dan kehilangan

darah yang dapat dikoreksi dengan infus intravena atau tranfusi darah.

Ganguan elektrolit yang dapat terjadi yaitu hipokalemia, hipernatremia

ataupun hiponatremia.5

Page 16: Paper Tetanus

16

6. Komplikasi yang lain: 6

- Infeksi nosokomial (dapat berupa sepsis dari penggunaan kateter, hospital-

acquired pneumonias, ulkus dekubitus)

- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas

dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Page 17: Paper Tetanus

17

BAB III

RINGKASAN

Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok

neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan

kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman

tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi

telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat

Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot

yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot bertambah secara progresif

dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada

minggu kedua. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar spesifik untuk

menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Tujuan

terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,

mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.

Pencegahan tetanus dapat dilakuakan dengan pemberian imunisasi baik imunisasi

aktif ataupun pasif.

Page 18: Paper Tetanus

18

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Technical Note. Current recommendations for treatment of tetanus

during humanitarian emergencies. 2010: 1-6.

2. Cook T., Protheroe, Handel. Tetanus: a review of the literature. British Journal

of Anaesthesia. 2001 (87): 477-87.

3. Adams. R.D, et al. Tetanus in: Principles of New'ology, McGraw-Hill,ed 1997,

1205 - 1207.

4. Ritarwan, Kiking. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU

H. Adam Malik. USU Digital Library. 2004: 1-12.

5. Raka. Sudewi, dkk. Infeksi pada Sistem Saraf. Kelompok Studi Neuro Infeksi.

2011: 135-139

6. CDC. Tetanus. MMWR 2013; 21:341-352. diakses tanggal 22 Juni 2015.

tersedia di http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf

7. Tetanus: Background, Patophysiology, Etiology. diakses tanggal 25 Juli 2015.

tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.

8. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of

tetanus: an evidence-based review. Rodrigo et al. Critical Care 2014, 18:217