Upload
cystanarisa
View
15
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman
tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat.1
Di negara-negara berkembang seperti contohnya Indonesia, masih sering
dijumpai tetanus. Penyakit ini dapat memperngaruhi berbagai kelompok usia, dan
angka mortalitas kasus ini tergolong tinggi yaitu 10-80% meskipun perawatan
intensif modern tersedia. Tetanus dapat ditemukan diseluruh dunia, terjadi secara
sporadis atau secara "outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara
maju sudah jarang ditemukan, sedangkan di negara agraris dimana kontak dengan
kotoran hewan masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa, rasio
insiden pada laki-laki lebih sering daripada wanita yaitu 2,5:1 dan kebayakan
ditemukan pada usia produktif.1 Tingginya angka ini akibat kurang memadainya
program imunisasi, juga berkaitan dengan kebiasaan sosial dan kesehatan masyarakat
yang tidak memadai, padahal di negara-negara maju semakin jarang.
Untuk menurunkan angka kematian tetanus dan lamanya rawat tinggal
dirumah sakit telah dilakukan berbagai usaha seperti hiperbaric, oksigenasi, pemakian
respirator, pemberian anti tetanus serum kuda (ATS) atau tetanus immonoglobulin
human (TIGH), diazepam dosis tinggi dan penggunaan antibiotika, namun angka
kematiannya masih tetap tinggi.1
Sehingga, tetanus masih merupakan masalah
kesehatan penting.
Tidak terdapat imunitas alami terhadap tetanus, sehingga proteksi didapat dari
imunisasi aktif.1 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid,
higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.2 Oleh
2
karena itu, kombinasi dari pencegahan, diagnosis, serta penatalaksaan tetanus yang
adekuat sangat diperlukan agar mampu menurunkan angka mortalitas pada pasien
tetanus.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman
tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat.1
2.2. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Pada negara belum
berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat
sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini kenal dengan nama tetanus
neonatorum.3
2.3. PATOGENESIS
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan asetilkolin dari terminal nerve di otot.
b. Karekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks sinaptik di spinal cord.
4
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
d. Gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS) dengan gejala : berkeringat,
hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian
katekolamin dalam urin.3,4
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi
terhadap batang otak.3 Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Hal ini disebabkan karena otot masetter adalah otot yang
paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan
antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada 2 mekanisme yang dapat
menerangkan penyebaran toksin kesusunan saraf pusat yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada pertemuan otot saraf, kemudian migrasi melalui
jaringan perineural urat saraf kesusunan saraf pusat.
2. Toksin melalui rongga ke pembuluh limfe dan darah kesusunan saraf pusat.
Masih belum jelas jalan mana yang lebih penting, kemungkinan keduanya
terlibat.
Manisfestasi klinis tetanus yang timbul adalah sebagai akibat pengaruh toksin
pada susunan saraf pusat, toksin menghambat synapsis kolinergik perifer,
menurunkan pengeluaran asetilkolin dan mengganggu saraf simpatis. Bila sembuh
tetanus tidak meninggalkan kelainan neurologis.4
2.4. GEJALA KLINIS
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot
yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir minggu pertama.5
Secara umum, terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu:
5
1. Kekakuan Otot dan Rigiditas
Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring, dan juga seluruh
otot ekstremitas dan batang tubuh. Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter,
menyebabkan kesulitan membuka mulut trismus atau lock jaw. Kekakuan otot
tersebut terjadi karena arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di
medulla dan batang otak yang menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang
menyerupai kejang. Tonus otot meningkat diselingi dengan spasme otot secara
episodik. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis menjadi hilang dan kelompok
otot agonis serta antagonis berkontraksi secara simultan.5 Kekakuan otot tersebut
tampak dalam bentuk: 5
a. Rigiditas abdomen yang sering disebut perut papan
b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas disebut dengan
rhisus sardonicus atau rhisus smile
c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala. Otot-otot
rahang, wajah, dan kepala pada banyak kasus terpengaruh pertama kali karena
jaras aksonalnya lebih pendek
d. Trismus atau lock jaw, disebabkan oleh kontraksi yang berat dari otot maseter
e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
f. Spasme berat pada otot batang tubuh (punggung) disebut opistotonus dapat
menyebabkan kesulitan bernapas akibat berkurangnya komplians otot dinding
dada
g. Otot ekstremitas terpengaruh paling terakhir, namun biasanya tidak
melibatkan otot tangan dan kaki
h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan
spasme laring dan berkurangnya komplians dinding otot dada dapat
menyebabkan gagal napas.
2. Spasme Otot
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang
telah mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-
6
otot agonis dan antagonisnya sehingga terjadi gerakan seperti bangkitan tonik.
Retraksi kepala akan tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus
makin jelas terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan
dengan rangsang raba juga oleh rangsang auditori, visual, atau emosional. Frekuensi
dan beratnya spasme sangat bervariasi. Biasanya spasme terjadi dalam beberapa
detik, secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.5
3. Gangguan Saraf Otonom
Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan
bukan merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan komponen simpatis
maupun parasimpatis. Pasien dapat mengalami takikardia, hiperhidrosis, peningkatan
tekanan darah, aritmia, hipersalivasi, serta peningkatan refleks vagal yang berakibat
buruk pada sistem kardiovaskuler. Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat
menyebabkan miokarditis yang ditandai dengan demam, ruam, eosinofilia perifer,
dan peningkatan biomarker nekrosis.5
Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap
selama 1-2 minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah
(hipertensi yang diselingi dengan hipotensi) takikardia diselingi bradikardia, cardiac
arrest atau asistol berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas vagus,
vasokonstriksi, dan pireksia, hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial, stasis
gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal dengan output yang meningkat, diaphoresis,
disritmia jantung dan hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kadar katekolamin
hingga 10 kali lipat pada pemeriksaan plasma basal menyerupai kadar pada keadaan
phaeochromocytoma. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali
akson terminal dan proses kerusakan toksin.5
Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe: 5
a. Tetanus Lokal
Tetanus ini terjadi secara lokal (misalnya terjadi pada satu tungkai bawah
saja). Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di area
7
tertentu dan pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan mengikat
toksin didalam darah sehingga penyebaran lebih luas dapat dihindari.
b. Tetanus Sefalik
Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka didaerah kepala atau
dengan riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat adalah
otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan segmen
servikal.
c. Tetanus Generalisata
Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%). Gejala klinis biasanya
dimulai dengan trismus atau lock jaw diikuti dengan kekakuan pada otot leher,
kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdomen. Gejala lain bisa berupa
keringat berlebihan, demam, penigkatan tekanan darah, takikardia episodik.
Spasme terjadi cukup sering dan berlangsung beberapa menit.
2.5. DIAGNOSIS
Grading Tetanus5
Grading tetanus dilakukan menggumakan kriteria Patel Joag, yaitu:
Kriteria 1 : Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang
belakang
Kriteria 2 : Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : Kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila sampai 99
oF (=
37,6oC)
Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat tetanus sebagai berikut:
Derajat 1 : Kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%
Derajat 2 : Kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1 + K2), biasanya inkubasi lebih
dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %
8
Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang
dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
Derajat 4 : Kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : Bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus
puerperium, mortalitas 84%
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan bagi kuman Clostridium tetani
dari mulai terjadinya luka sehingga menimbulkan gejala klinis yang pertama berkisar
antara 7-14 hari (1-2 hari sampai beberapa bulan). Periode onset adalah waktu yang
dibutuhkan dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama hingga timbulnya spasme
otot berkisar antara 1-7 hari. Pada tetanus yang fulminant pada masa ini memendek
hingga 1-2 jam. Semakin panjang periode onsetnya maka pasien memiliki prognosis
yang lebih baik.5
Kriteria beratnya tetanus dapat pula ditentukan dengan klasifikasi Ablett’s:5
Grade I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak
ada gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak
ada/sedikit ada disfagia
Grade II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan
sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan
dengan takipnea.
Grade III (berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan
seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan
napas dengan sesak dan terengah-engah (apnoeic spells),
disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas saraf
otonom sedang.
Grade IV (sangat berat) : Seperti grade III ditambah gangguan autonomik hebat
yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai
autonom.
9
2.6. DIAGNOSIS BANDING
1. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana
adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.4,6
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat. 4,6
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik. 4,6
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. 4,
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah. bentuk spasme otot yang khas yaitu karpopedal
spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus. 4,6
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada. 4
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.4
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,.4
9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.4
10
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar spesifik untuk
menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun
untuk pemeriksaan rutin yang dapat dilakukan: 5,7
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dikerjakan seperti pemeriksaan darah
rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, myoglobin urin, analisis gas darah, dan
kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih bersifat tambahan akibat
adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama
pada pasien.
Tes Spatula
Tes spatula adalah tes diagnostik sederhana yang dilakukan dengan
menyentuh orofaring menggunakan spatula atau tongue spatula. Dalam
keadaan normal, akan muncul refleks muntah, dan pasien mencoba untuk
mengeluarkan spatula (yaitu menunjukkan hasil tes negatif). Jika terdapat
tetanus, pasien mengalami refleks spasme pada masseter dan menggigit
spatula (yaitu menunjukkan hasil tes positif).
Pada 400 pasien, tes ini memiliki sensitivitas 94% dan spesifisitas 100%.
Tidak ada gejala sisa yang merugikan dilaporkan (misalnya, spasme laring).
Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan lainnya yang bisa dilakukan seperti elektromiografi (EMG),
elektrokardiografi (EKG), dan pemeriksaan imaging. Elektromiografi (EMG)
mungkin menunjukkan aliran yang terus menerus dari subunit motorik dan
pemendekan atau tidak adanya interval diam yang biasanya diamati setelah
potensial aksi. Perubahan spesifik mungkin jelas pada elektrokardiografi
(EKG). Pencitraan dari pemeriksaan imaging pada kepala dan tulang belakang
mengungkapkan tidak ada kelainan.
11
2.8. PENATALAKSANAAN
2.6.1. Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai
pulih. Tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara: 1,4
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan
pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trakiostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2.6.2. Penatalaksanaan Khusus
2.6.2.1 Antibiotik
Antibiotik diperlukan untuk eradikasi bakteri kausatif. Kuman tetanus pada
umumnya sensitif terhadap penicillin, oleh karena clostridium tetani berada pada
daerah anaerob dimana perfusi jaringan jelek, maka diperlukan antibiotika dosis
tinggi untuk memcapai daerah tersebut. Akan tetapi dengan adanya infeksi campuran
dengan kuman-kuman penghasil betalaktamase maka pinicillin menjadi kurang
efektif. Akhir-akhir ini diketahui bahwa Metronidazol dapat mencegah tetanus dan
terbukti lebih efektif dibanding dengan penicillin. Alternatif lain bila penderita tidak
tahan terhadap penicillin, juga boleh diberikan tetracyiclin. Antibiotik digunakan
untuk membunuh bakteri anaerob yang berkembang dari luka yang merupakan pintu
masuk bakteri dan untuk membunuh clostridium tetani.1,5,8
12
2.6.2.2 Manajemen luka
Semua luka harus dibersihkan dan sebaiknya dilakukan debridement untuk
membuang jaringan nekrotik atau benda asing pada luka. Luka dapat digolongkan
menjadi luka yang rentan mengalami tetanus dan luka yang tidak rentan tetanus.
Setelah menentukan jenis luka, pastikan riwayat imunisasi pasien. Tetanus toksoid
diberikan pada pasien dengan imunisasi booster berakhir tidak lebih dari 10 tahun.
Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu diberikan pula TIG (Tetanus Immune
Globulin).5,6
Dosis tetanus toxoid (TT) 5
- Usia ≥ 7 tahun : 0,5 ml (5 IU) intramuskuler
- Usia < 7 tahun : Gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dosis 0,5 ml
intramuskuler
Dosis TIG 5
- Profilaksis dewasa : 250-500 U intramuskuler pada ekstremitas kontralateral
lokasi penyuntikan TT
- Profilaksis anak : 250 U intramuskuler pada ekstremitas kontralateral
lokasi penyuntikan TT
Table 2.1 Kriteria jenis luka 5
Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus
> 6-8 jam
Kedalaman > 1 cm
Terkontaminasi
Bentuk stelat, avulse atau hancur
(ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
< 6 jam
Superfisial (< 1 cm)
Bersih
Bentuk linier, tepi tajam
Neuro/vaskuler intak
Tidak terinfeksi
13
2.6.2.3 Anti Toxin
Imunisasi pasif dengan Human Anti Tetanus Gamma-glubumin (HTIG) dapat
digunakan untuk memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan
angka keselamatan. Namun imunisasi pasif ini hanya dapat menetralisir toksin yang
tidak terikat saja. HTIG 3000-10.000 unit, diberikan secara intra muskuler dan dapat
diulang bila diperlukan. Tetanus anti toksin tidak akan menetralisir toksin yang sudah
terikat pada susunan saraf pusat, tetapi hanya menetralisir toksin yang masih beredar.
Bila HTIG tidak tersedia maka diberikan ATS (Anti Tetanus Serum) dengan dosis
100.000 - 200.000 unit, diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 intravena
pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-
masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah
sakit harus diberikan immunisasi aktif dengan toksoid, oleh karena seseorang yang
sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.5,6
2.6.2.4 Terapi Suportif
a. Kekakuan otot dan rigiditas / spasme otot
Terapi utama untuk spasme otot adalah benzodiaepine. Benzodiaepine akan
memperbesar GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor endogen direseptor
GABA. Diazepam dilaporkan memiliki efektifitas yang baik dengan efek depresi
yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan barbiturat. Diazepam juga
memiliki efek antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif, dan anxiolytic. Efek
maskimal dalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan
adalan 0,5-10 mg/kg untuk dewasa. Sedasi lain adalah dengan fenobarbital,
klorpromazine, dan propofol. 1,5,8
Apabila efek sedasi tidak cukup untuk menghentikan spasme maka perlu
diberikan neuromuscular blocking agent (pacuronioum, vecuronium) dan ventilator
dengan mode intermitent positive pressure (IPPV). Namun pemberian neuromuscular
blocking agent yang terlalu lama dihubungkan dengan kejadian neuropati dan
miopati.5
14
Baclofen interektal (GABA agonis) dapat diberikan dengan dosis 500-2000
μg/ hari, diberikan bolus atau infus. 1,5
Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70
mg/kgBB dalam bentuk larutan dekstrose 5% 100 ml secara intravena melalui infus
selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 gram/jam (< 60 tahun) dan
1 gram/jam (≥ 60 tahun) dalam larutan dekstrose 5% 500 ml, diberikan selama 6 jam.
Kemudian dititrasi setiap 6 jam sampai spasme umum terkontrol. Kurangi dosis 0,25
gram/jam sampai terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Untuk menjegah
overdosis diperlukan pemantauan yang ketat dari tanda vital, gejala klinis, EKG,
kadar magnesium setiap 3 hari atau setiap hari bila ada tanda toksisitas, tanda
hipokalsemia dan kadar kalsium setiap 3 hari. 1,5,8
b. Kontrol disfungsi otonom
Disfungsi otonom dapat diatasi dengan pemberian cairan 8 liter per hari dan
pemberian sedasi. Obat yang dapat digunakan yaitu benzodiazepine, antikonvulsan,
dan morfin. Morfin merupakan pilihan yang sering digunakan karena memiliki efek
stabilitas kardiovaskular dengan dosis pemberian 20-180 mg/ hari. Klorpromazine,
antikolinergik dan alfa adrenergik antagonis juga memiliki efek stabilitas
kardiovalskular. 5,8
Propanolol (β-adrenergic bloking agent) digunakan untuk mengontol
hipertensi episodik dan takikardi. Dosis yang digunakan 5-10 mg, dapat dinaikkan
hingga 40 mg 3 kali sehari.5
Atropin hingga dosis 100 mg/hari dapat diberikan pada kasus diaforesis,
bradiaritermia dan hipersekresi. Diharapkan dengan dosis besar akan memblok efek
muskarinik dan nikotinik, sedasi sentral, dan blok neuromuskuler.5
Klonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk mengurangi efek
simpatis sehingga mengurangi tekanan arterial, denyut jantung dan pelepasan
ketokolamin dari medula adrenal. 5,8
15
2.9. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit tetanus yaitu :
1. Respirasi
Komplikasi ini sangat jarang terjadi namun sangat mempengaruhi morbiditas
dan mortalitas. Hipoksia dan gagal nafas sering terjadi pada tetanus yang
berat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh spasme otot–otot pernapasan dan
spasme otot laring. Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan
sedasi menyebabkan atelektasis dan meningkatkan risiko pneumonia.
Ketidakmampuan menelan saliva, sekresi saliva yang masif, spasme faring,
peningkatan tekanan intraabdomen dan statis gaster secara keseluruhan
menyebabkan peningkatan risiko aspirasi. Pneumotoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. 5
2. Miokarditis dan ganguan kardiovaskuler lain
Miokarditis merupakan respon infeksi terhadap otot jantung yang dapat
menyebabkan kerusakan otot jantung yang akan menyebabkan dilated
cardiomyopati. Gejala klinis berupa mudah lelah, demam, dyspnue d’effort,
takikardi, takipneu, dan lain-lain. Miokarditis juga dapat ditandai dengan
pemanjangan segmen QTc pada pemeriksaan EKG. 5
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang
terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa.6
4. Gangguan gastrointestinal
Pendarahan lambung sering terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian
antasida secara teratur pada semua pasien tetanus berat.5
5. Gangguan renal dan elektrolit
Gangguan ginjal sering disebabkan oleh kondisi hipovolemia dan kehilangan
darah yang dapat dikoreksi dengan infus intravena atau tranfusi darah.
Ganguan elektrolit yang dapat terjadi yaitu hipokalemia, hipernatremia
ataupun hiponatremia.5
16
6. Komplikasi yang lain: 6
- Infeksi nosokomial (dapat berupa sepsis dari penggunaan kateter, hospital-
acquired pneumonias, ulkus dekubitus)
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu.
17
BAB III
RINGKASAN
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman
tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot
yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar spesifik untuk
menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Tujuan
terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.
Pencegahan tetanus dapat dilakuakan dengan pemberian imunisasi baik imunisasi
aktif ataupun pasif.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Technical Note. Current recommendations for treatment of tetanus
during humanitarian emergencies. 2010: 1-6.
2. Cook T., Protheroe, Handel. Tetanus: a review of the literature. British Journal
of Anaesthesia. 2001 (87): 477-87.
3. Adams. R.D, et al. Tetanus in: Principles of New'ology, McGraw-Hill,ed 1997,
1205 - 1207.
4. Ritarwan, Kiking. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU
H. Adam Malik. USU Digital Library. 2004: 1-12.
5. Raka. Sudewi, dkk. Infeksi pada Sistem Saraf. Kelompok Studi Neuro Infeksi.
2011: 135-139
6. CDC. Tetanus. MMWR 2013; 21:341-352. diakses tanggal 22 Juni 2015.
tersedia di http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
7. Tetanus: Background, Patophysiology, Etiology. diakses tanggal 25 Juli 2015.
tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
8. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of
tetanus: an evidence-based review. Rodrigo et al. Critical Care 2014, 18:217