6

Click here to load reader

Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

TUGAS

Mata KuliahTEKNOLOGI DAN INDUSTRI KOMUNIKASI

Week 13

DosenProf. Dr. Alwi Dahlan, Ph. D

Muhammad Qurrota Ayun0806440223

MKOM Kelas B

MAGISTER MANAJEMEN KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIAJAKARTA

Page 2: Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

Teknologi dan Industri KomunikasiDampak Teknologi, Etika, dan Hukum Media

Hadirnya media massa dalam berbagai bentuk, mulai dari media konvensional hingga media baru yang kental dipengaruhi kemajuan teknologi berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat, baik dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang paling terasa adalah kemudahan penyebaran dan akses informasi serta banyaknya mode komunikasi yang seakan menjadi perpanjangan tangan manusia, seperti yang dikatakan McLuhan.

Berbanding lurus dengan dampak positif yang dihadirkan teknologi, dampak negatifnya pun terbilang sangat banyak. Terutama terkait dengan kehidupan sosial masyarakat, etika dan norma-norma serta masalah hukum. Pada makalah ini akan dielaborasikan hal-hal yang merupakan dampak dari teknologi terkait etika dan hukum.

Kontrol Formal – Regulasi Pada masa awal eksistensi media yang diawali dengan media cetak dimulai, regulasi mulai diciptakan oleh pemerintah terutama di Inggris. Hal ini terkait dengan ketidaksetujuan pemerintah untuk terlalu membebaskan pers dalam menyiarkan informasi. Saat itu diberlakukan First Amendment pada konstitusi dimana salah satu poinnya adalah membatasi kebabasan pers.

Aksi pemerintah dalam melakukan penyensoran materi pers dengan menahannya dari upaya publikasi atau penyiaran kepada masyarakat disebut dengan Prior Restraint. Ada beberapa contoh bagaimana kontrol ini dilakukan oleh pemerintah, diantaranya sepanjang masa perang, suratkabar dibatasi untuk tidak mempublikasikan jadwal keberangkatan tentara dan juga lokasi serta jumlah tentara pada garda depan.

Dari sisi media, wartawan juga mengalami kontrol formal regulasi, misalnya dalam hal identitas sumber berita atau narasumber. Idealnya, wartawan berhak untuk tidak mempublikasikan dengan jelas siapa narasumber yang memberikan ia informasi karena dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak dinginkan terhadap narasumber itu. Tapi kontrol terhadap watrawan terlalu ketat sehingga wartawan harus memberitahukan kepada pihak pemerintah segala hal tentang narasumbernya.

Hal ini mencederai kode etik wartawan dalam menjalankan tugasnya untuk tidak membeberkan identitas narasumbernya, seperti yang dialami oleh Paul Branzburg. Ia menulis berita tentang pembuatan mariyuana dimana ia berjanji untuk tidak mempublikasikan identitas dua orang warga lokal sebagai narasumbernya. Tapi ia dihadapkan pada pilihan agar membeberkan informasi mengenai narasumbernya oleh pengadilan atau menerima konsekuensi tertentu. Dalam hal ini tentu etika wartawan sulit diterapkan.

Page 3: Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

Hak untuk berbicara dan hak kebebasan pers kadang membuat suatu konflik tersendiri dengan hak seseorang dalam menjaga nama baik dan reputasinya. Hal ini dikenal dengan istilah defamation, yaitu suatu pernyataan kepada seseorang atau grup dengan menyebabkan orang atau grup itu mendapat citra negatif. Ada beberapa jenis defamation. Yang pertama, Libel, suatu pernyataan tertulis yang ditujukan kepada seseorang untuk merusak nama baik atau reputasi dari orang tersebut. Yang kedua, Slander, suatu pernyataan lisan yang juga dimaksudkan untuk membuat citra orang lain tampak negatif. Ketiga, Libel per se, yaitu suatu kesalahan penulisan yang menyebabkan rusaknya reputasi seseorang. Keempat, Libel per quod, yaitu suatu pernyataan yang sebenarnya terlihat biasa-biasa saja, namun pada suatu keadaan tertentu maknanya bisa saja berubah terkait reputasi dari subjek yang diberitakan.

Permasalahan lain yang terjadi dari perkembangan media dan teknologi adalah hak privasi. Hal ini diistilahkan dengan penjajahan privasi, yakni suatu kondisi dimana seakan-akan seseorang sudah tak memiliki privasi lagi karena informasi tentang orang itu tersiar luas ke publik. Ada empat cara berbeda dari media yang dapat menimbulkan terjadinya penjajahan hak privasi itu. Pertama, penggunaan teknologi semacam mikrofon atau kamera tersembunyi tanpa sepengetahuan subjek atau narasumber lalu ditayangkan di media massa. Hal ini jelas mengganggu privasi seseorang ketika aktivitasnya direkam tanpa sepengetahuannya. Kedua, merilis informasi pribadi terutama tanpa persetujuan dari subjek atau narasumbernya. Ketiga, menciptakan kesan berbeda dari yang sebenarnya pada materi yang disiarkan / ditayangkan. Misalnya memberi narasi / parodi tertentu pada sebuah rekaman video yang dibuat seakan-akan memberi kesan negatif pada subjek yang ditayangkan itu. Keempat, penyalahgunaan identitas sehingga tercipta kesan seakan-akan subjek mendapatkan kesan negatif. Misalnya dengan menggunakan foto pribadi seseorang untuk kemudian dijadikan komoditi informasi tanpa pengetahuan dan persetujuan subjek.

Industri kreatif juga mengalami permasalahan terkait kemajuan media dan teknologi ini. Terutama masalah hak cipta, satu hal yang merupakan titik nadi industri kreatif seperti musik, film, buku dan lain sebagainya. Di era informasi yang ditandai dengan hadirnya teknologi digital sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran hak cipta. Jal ini dikarenakan mudahnya materi-materi kreatif tersebut untuk dibuat versi digitalnya lalu didistribusikan secara luas melalui jaringan Internet. Hal ini sulit diatasi secara teknis maupun secara kontrol formal dengan regulasi karena cepat dan luasnya arus informasi pada jagad maya. Misalnya saja kasus Napster memfasilitasi distribusi musik digital secara ilegal. Saat ini aplikasi online file sharing sudah makin menjamur meski napster sendiri sudah tak eksis lagi. Lebarnya bandwidth membuat file sharing makin populer terutama setelah memungkinkan munculnya video sharing yang diawali oleh Youtube. Pada 2007 Viacom dan NBC menuntut Youtube akan pelanggaran hak cipta akan materi-materi mereka yang juga dimuat pada Youtube. Meski regulasi yang terkait pelanggaran hak cipta ini sudah dibuat, namun memang sulit untuk mengawalnya pada level operasional seperti yang terjadi pada beberapa contoh di atas.

Page 4: Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

Kontrol formal pada media juga giat dilakukan, terutama regulasi yang dibuat spesifik terhadap media tertentu. Misalnya dalam hal industri penyiaran, terdapat FCC (The Federal Communications Commissio) yang bertugas sebagai regulator industri penyiaran di Amerika. FCC memang tidak membuat hukum, namun lebih menginterpretasikan hukum lalu mengimplementasikannya secara operasional. Cakupan industri penyiaran dalam hal ini cukup luas, termasuk industri periklanan dimana materinya dimuat pada media penyiaran juga.

Kontrol Informal – EtikaSelain terdapat kontrol formal berupa regulasi, pada prakteknya media dan teknologi juga terikat pada aspek kontrol non formal dalam bentuk etika, biasa dioperasionalisasikan dalam bentuk kode etik media. Misalnya pada media cetak, The Society of Professional Journalist (SPJ) mengadaptasi kode etik dari The American Society of Newspaper Editors (ASNE) yang mengalami revisi sesuai perkembangan jaman. Berikut empat prinsip utama kode etik media cetak :

Jurnalis harus jujur dan adil serta berada dalam posisi yang netral terkait berbagai hal dalam pemberitaan.

Jurnalis harus memperlakukan narasumber, subjek berita dan kolega-kolega mereka dengan penuh respek dan manusiawi.

Jurnalis harus independen, tak membawa kepentingan apapun selain kepentingan publik dalam mengakses informasi.

Jurnalis harus dapat mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya kepada publik.

Pada media penyiaran juga berlaku beberapa kode etik bagi pelaku industrinya, diantaranya diterapkannya sistem rating yang bertujuan menyaring informasi yang tak sesuai dengan karakteristik khalayaknya. Hal ini selain memberi kebabasan pada media untuk berkreasi juga sekaligus melindungi khalayak dari materi yang tak selayaknya mereka tonton. Hal yang serupa juga berlaku pada industri film dan video, meski teknisnya berbeda namun pada prinsipnya terdapat kode etik yang dapat mengakomodir kepentingan industri maupun kepentingan masyarakat sebagai khalayak dari industri itu sendiri.

Selain adanya kode etik pada media-media, juga diperlukan adanya kontrol dari publik. Biasanya berupa semacam pressure group, yakni suatu asosiasi atau sekelompok orang yang berasal dari pihak khalayak media yang merasa berkepentingan untuk memberi tekanan pada media agar tak keluar jalur dalam melaksanakannya kepentingannya. Misalnya dengan melakukan tekanan kepada media agar meniadakan adegan-adegan yang mengeksploitasi anak-anak, pemakaian obat terlarang hingga pornografi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemangku tanggung jawab akan dampak kemajuan media dan teknologi selain berasal dari kontrol formal melalui regulasi dan kontrol informal dengan kode etik, juga merupakan tanggung jawab publik melalui pressure group untuk terus mengawal eksistensi media dalam masyarakat.

Page 5: Paper Week 13 - Dampak Teknologi, Etika dan Hukum Media

Daftar Pustaka

Dominick, Joseph R, 2009. The Dynamic of Mass Communication, Media in the Digital Age. USA. 10th edition: McGraw-Hill.