Upload
ngonhi
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PARTISIPASI & KEBIJAKAN:
STUDI ATAS PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA
(PHDI) DALAM PERUMUSAN PERATURAN DAERAH NO. 2
TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Much. Sulthon
1111112000008
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
“PARTISIPASI & KEBIJAKAN: STUDI ATAS PARISADA HINDU
DHARMA INDONESIA (PHDI) DALAM PERUMUSAN PERATURAN
DAERAH NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA
BALI”
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiblakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah
Jakarta.
Tangerang Selatan, 14 Mei 2018
Much. Sulthon
NIM 1111112000008
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Much. Sulthon
NIM : 1111112000003
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul:
“PARTISIPASI & KEBIJAKAN: STUDI ATAS PARISADA HINDU
DHARMA INDONESIA (PHDI) DALAM PERUMUSAN PERATURAN
DAERAH NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA
BALI”
dan telah diujikan.
Tangerang Selatan, 14 Mei 2018
Mengetahui Menyetujui
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rosyidin, M.Si Dr. Haniah Hanafie, M.Si
NIP. 19701013 200501 1 003 NIP. 19610524 200003 2
002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
“PARTISIPASI & KEBIJAKAN: STUDI ATAS PARISADA HINDU
DHARMA INDONESIA (PHDI) DALAM PERUMUSAN PERATURAN
DAERAH NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA
BALI”
Oleh
Much. Sulthon
NIM 1111112000008
Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Mei 2018. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si Suryani, M.Si
NIP. 19701013 200501 1 003 NIP. 19770424 200710 2
003
Penguji I, Penguji II,
Dr. Idris Thaha, M.Si Ana Sabhana Azmy, M.Ip
NIP. 19660805 200112 1 001 NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 14 Mei 2018.
Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
NIP. 19701013 200501 1 003
i
ABSTRAK
Much. Sulthon (1111112000008), “Partisipasi & Kebijakan: Studi Atas Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Dalam Perumusan Peraturan Daerah No. 2
Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali”
Penelitian ini bertujuan mengetahui partisipasi Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) dalam perumusan kebijakan (Perda) No. 2 Tahun 2012 tentang
Kepariwisataan Budaya Bali. Pendekatan penelitian ini bersifat kualitatif. Adapun
teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan studi
dokumentasi. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis data deskriptif.
Pendekatan teori yang digunakan adalah teori civil society, teori partisipasi politik,
dan teori kebijakan. PHDI sebagai ormas terbesar di Bali ikut berpartisipasi (teori
partisipasi politik) dalam menentukan perumusan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.
2 Tahun 2012. PHDI yang sebagai civil society, juga punya andil dalam penyusunan
kebijakan di tingkat penyusunan agenda, formulasi kebijakan dan implementasi (teori
kebijakan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi PHDI mengupayakan
perumusan kebijakan Perda No. 2 Tahun 2012. Adapun bentuk partisipasi yang
dilakukan PHDI seperti; audensi, diskusi, lokakarya, seminar, pembentukan opini
melalui media cetak dan media elektronik.
Kata Kunci: Partisipasi Politik, Civil Society, Kebijakan Politik
ii
KATA PENGANTAR
الّرحيم الّرحمن هللا بسم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat serta karunia, hidayah dan inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas
penyusunan skripsi ini.
Shalawat beserta salam semoga Allah senantiasa melimpahkannya kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga dan sahabatnya yang telah
memberikan tuntunan bagi kita semua kejalan yang diridhoi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan
rintangan serta kesulitan yang dihadapi. Namun berkat bantuan dan motivasi serta
bimbingan yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
meyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zulkifli, MA, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Iding Rosyidin, M. Si, Ketua Prodi Ilmu Politik dan Ibu Suryani, M. Si,
Sekertaris Prodi Ilmu Politik. Serta staf administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
4. Dosen pembimbing skripsi, Dr. Haniah Hanafie, M.Si selaku pembimbing
skripsi yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi
kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulisan skripsi ini dapat
selesai dengan baik.
iii
5. Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis.
6. Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang
dibutuhkan.
7. Ayahanda Much. Romli dan Ibunda Ma’rufa tercinta yang selalu memberikan
limpahan kasih dan sayang yang tak terhingga, yang tidak bisa dibalas dengan
apapun, dan selalu mendo’akan serta memberi dukungan dengan segala
pengorbanan dan keikhlasan. (semoga Allah membalas segala pengorbanan
mereka). Tak lupa pula keluaga saya Much. Muchlis, S.H Abd. Ghofur,
Kholifah, Zaina, Fatimatuzzahro dan Khoirunnisa yang telah memberikan
dukungan serta do’a untuk penulis.
8. Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Mayjen TNI (Purn)
Sang Nyoman Suwisma dan Dr. I Gusti Ngurah Sudiana Ketua Harian PHDI
Bali, serta keluarga besar Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi.
9. Yani Rufaida yang selalu menginspirasi, memberikan dukungan dan motivasi,
bimbingan serta bantuan kepada penulis.
10. Sahabat tercinta satu perjuangan, Soghi Muhammad, Ismadani R.A.S.H dan
Yasser adnan S.H yang selalu menginspirasi, memberikan motivasi, bimbingan
dan bantuan kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan Komisariat PMII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik yang selalu menemani penulis dalam keadaan susah maupun senang.
12. Teman-teman ilmu politik angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan namanya
satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling
membantu dalam proses belajar dikampus UIN Jakarta tercinta.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa kehadirat
Allah SWT. Semoga amal baik semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan,
memperhatikan dan membantu penulis dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh dan
dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan apa yang penulis
usahakan dapat bermanfaat. Amiin…
Jakarta, 14 April 2018
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .............................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka ……………………………. ..................................... 6
E. Metodologi peneltian ............................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ……………………………. .............................. 10
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Civil Society ................................. ......................................................... 13
B. Partisipasi Politik ……………………………. ..................................... 22
C. Kebijakan Publik ................................................................................ 32
BAB III GAMBARAN UMUM PHDI DAN PARIWISATA DI BALI
A. Sejarah Tebentuknya PHDI ......................………… ........................... 43
B. Pengertian Tri Harta Karana................................. ............................... 49
C. Sekilas Pariwisata di Bali ................................. ................................... 52
v
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana......................…………. ...... 57
B. Munculnya Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Pariwisata Budaya ....... 62
C. Partisipasi PHDI Dalam Perumusan Kebijakan Perda No. 2 Tahun 2012
Tentang Pariwisata Budaya di Bali ......................………….................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................. .............................. 78
B. Saran ………………………........................................................ ......... 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... ................. 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia dengan Ibu Kota Provinsi Denpasar.
Provinsi Bali adalah provinsi yang paling berbeda dari seluruh provinsi-provinsi yang
berada di Indonesia. Provinsi Bali sangat dikenal dengan sebutan pulau dewata. Salah
satu keunikan Bali adalah mayoritas penduduk beragama Hindu dan Bali terkenal
dengan begitu banyak ragam keunikan berbagai hasil seni-budaya dan tradisinya
sebagai tujuan pariwisata dengan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para
wisatawan baik domestik maupun manca negara.
Terhitung jumlah wisatawan dari 2010-2016 peningkatannya sangat bagus
atau pesat, melalui jumlah kunjungan wisatawan dari data statistik yang
diberitahukan oleh Dinas Pariwisata Pemerintahan Provinsi Bali dengan data
kunjungan wisatawan mancanegara dan dalam negeri yaitu dari 2,576,142 orang
wisatawan pada tahun 2010 menjadi 4,927,937 orang wisatawan mancanegara pada
tahun 2016.1
1 Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Website https://bali.bps.go.id dilihat pada tanggal 20
Agustus 2017.
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Wisatawan
Jumlah Wisatawan
2,576,142
2,826,709
2,949,332 3,278,598
3,766,638
4,001,835
4,927,937
Grafik I.I
Perkembangan Wisatawan Mancanegara Dari Tahun 2010-2016
di Bali
Sumber dari badan statistik Bali pada tahun 2017
Bali memiliki banyak ciri khas, seperti tarian kecak, arsitektur tempat-tempat
pariwisatanya bercorak agama Hindu: tanah lot dan bedugul serta gedung-gedung
perkantorannya bercirikan khas agama Hindu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Bali memiliki budaya dan tradisi
yang tertanam sangat erat di masyarakatnya. Budaya dan tradisinya yang sangat unik
dan elok dipandang. Budaya dan tradisi di Bali memiliki ciri khas tersendiri dari pada
daerah-daerah yang lain. Budaya dan tradisi yang memiliki ciri khas nan elok inilah
yang membuat Bali selalu diminati oleh wisatawan dari berbagai daerah termasuk
mancanegara. Hal ini dikarenakan kebanyakan budaya dan keseniannya bercorak
3
agama Hindu dan sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Bali No. 2 Tahun 2012
tentang Kepariwisataan Budaya Bali bab 2 pasal 2 yaitu: “Penyelenggaraan
Kepariwisataan Budaya Bali dilaksanakan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan,
kemandirian, keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata,
demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu dengan
menerapkan falsafah Tri Hita Karana.”
Adanya aturan tersebut tidak lepas dengan adanya Organisasi kemasyarakatan
agama Hindu. Organisasi yang berperan penting untuk mengurusi kepentingan
keagamaan maupun sosial seperti menjaga nilai-nilai ajaran agama Hindu, adat
istiadat, keragaman budaya, teradisi dan ciri khas Bali yaitu Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI).2
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang awalnya bernama Parisada
Hindu Dharma Bali ini berdiri pada tanggal 23 Februari 1959 dikarenakan umat
Hindu tidak hanya di Bali saja tapi di berbagai daerah juga ada. akhirnya Parisada
Hindu Dharma Bali diubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pada tanggal
7-10 Oktober 1964.3
Tri Hita Karana yang dimaksud dalam Peraturan Daerah Bali No. 2 Tahun
2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali bab 2 pasal 2 artiya Tiga Penyebab
Keharmonisan yang selalu dijalankan setiap hari oleh masyarakat Bali. Tri Hita
Karana mengajarkan kepada umatnya untuk menjalankan ketiga hubungan manusia
2 Http://phdi.or.id/page/anggaran (AD/ART Parisada Hindu Darma Indonesia) dilihat pada
tanggal 14 April 2018. 3 Kompilasi dokumen literer 45 tahun parisada, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia,
2005), h. 18.
4
dalam kehidupan di dunia yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa , hubungan sesama manusia, dan termasuk hubungan manusia dengan alam
lingkungan.4
Pada hakekat Tri Hita Karana merupakan ajaran atau tatacara sikap hidup
umat yang seimbang antara menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan berbakti
kepada sesama mahluk hidup serta bemberikan kasih sayang kepada alam lingkungan
yang sudah dijalani oleh masyarakat hindu di Bali.
Adanya Peraturan Daerah Bali No. 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan
Budaya Bali bab 2 pasal 2 tersebut disebabkan karena banyak masyarakat yang tidak
mengamalkan ajaran Tri Hita Karana dan berkurangnya pariwisata yang menjunjung
adat istiadat dan budaya masyarakat Hindu di Bali. Dikarenakan pertama,
dikarenakan banyaknya wisatawan yang datang ke Bali sehingga ditakutkan merubah
atau mempengaruhi tradisi dan budaya yang ada di Bali. Kedua, banyaknya investor
industri produksi maupun industri pariwisata dari luar yang banyak mempengaruhi
moralitas masyarakat Bali dan dikhawatirkan akan melunturkan nilai-nilai ajaran
agama Hindu.
Oleh karena itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengupayakan
Tri Hita Karana sebagai ajaran agama Hindu masuk dalam peraturan daerah di Bali
dan penulis ingin melihat bagaimana Partisipasi Politik Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) dalam mengupayakan ajaran agama masuk dalam peraturan daerah
4 Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI I Ketut Pasek Swastika pada tanggal 27
Oktober 2016 di Bali.
5
Provinsi Bali, sehingga pemerintahan di Bali menjadikan kehidupan masyarakat yang
harmonis, makmur, aman, dan sejahtra. dan menentukan arah kedepannya agar
mampu mencapai kebahagiaan lahir batin, bagi seluruh rakyat masyarakat Hindu di
Bali.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya mengenai peraturan daerah
provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang kepariwisataan budaya Bali bab 2 pasal 2,
Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali dilaksanakan berdasarkan pada asas
manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian, partisipatif,
berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana.
C. Pertanyaan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah
bagaimana partisipasi politik Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dalam
perumusan kebijakan (Peraturan Daerah) Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang
kepariwisataan budaya Bali?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuannya adalah untuk mempelajari dan mengetahui bagaimana partisipasi
politik Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dalam perumusan kebijakan
6
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya
Bali.
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah wawasan keilmuan dan pengalaman penulis dalam peroses
berpartisipasi dalam Perumusan Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2
Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
b. Agar masyarakat lebih mengetahui tentang kepariwisataan budaya Bali yang
mencirikan agama Hindu yang diterapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
c. Untuk pengembangan ilmu politik khususnya kajian tentang partisipasi.
E. Tinjauan Pustaka
Saya sebagai penulis melakukan tinjauan pustaka dari hasil penelitian yang
berbentuk skripsi dan tesis:
1. Judul skripsi “Partisipasi politik umat kristen Indonesia; Studi Kasus Partai
Damai Sejahtera” yang disusun oleh M. Imaduddin Nasution dari Program studi
ilmu politik fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menitikberatkan kepada partisipasi politik umat keristen khususnya
PDS untuk memperjuangkan pluralisme dan kepentingan masyarakat yang
memeluk agama kristen di Indonesia.
2. Judul tesis “Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah”
yang disusun oleh Didi Prayitno dari program studi magister ilmu administrasi
7
yang berkonsentrasi manajemen publik pascasarjana universitas diponegoro
semarang. Tesis ini menitik beratkan kepada rendahnya partisipasi masyarakat
yang dikarenakan tingkat pendidikannya hanya sampai tingkat dasar.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penulis menilai saat ini belum ada karya
ilmiah yang mengkaji secara khusus partisipasi politik Hindu dan kebijakan.
Khususnya Partisipasi Politik Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Dalam
Perumusan Kebijakan di Bali. Di sini penulis mengkhususkan dalam Peraturan
Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam kajian ini adalah kualitatif deskriptif, metode penelitian
yang berlandaskan pada pemikiran rasional yang menekankan obyektivitas dan
dipaparkan secara deskriptif analisis. Dan menganggap bahwa realita sosial bercorak
banyak (multy-facet), holistik, kompleks, dinamis, penuh makna dan memiliki
hubungan interaktif. Pengamatan kualitatif cenderung mengandalkan kekuatan indera
untuk merefleksikan fenomena budaya.5
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemaparan tentang representasi
agama Hindu dalam strategi kebijakan di Bali. Penelitian kualitatif juga merupakan
suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari responden. Adapun metode deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
5 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan R&,.
(Bandung: Alfabeta, 2012), h. 15.
8
membuat penjabaran dan menganalisis data mengenai situasi-situasi atau kejadian-
kejadian populasi atau kelompok tertentu dengan apa adanya.6
2. Teknik Pengumpulan Data
Salah satu tahapan yang penting dalam penelitian adalah pengumpulan data.
Data merupakan segala bentuk informasi atau keterangan yang berhubungan dengan
tujuan pokok penelitian. Apa yang diperlukan pada tahapan ini adalah memperoleh
data yang valid dari berbagai sumber yaitu buku-buku, artikel, jurnal, atau internet
yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Oleh karenanya, penulis akan
menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara (interview),
dan dokumentasi.
a. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah pertemuan atau komunikasi antara periset dan responden.
Pihak periset berfungsi sebagai penanya, sedang pihak responden berfungsi sebagai
pemberi jawaban yang menjadi data mentah. 7 Teknik ini melakukan tanya jawab
secara langsung dengan narasumber yang tepat atau pihak-pihak yang bersangkutan
dengan penelitian penulis demi mendapatkan data yang valid. Dalam hal ini, penulis
melakukan wawancara dengan juru bicara Ketua Umum Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua 1 PHDI Bali Drs. I
Ketut Pasek Swastika, DPRD Komisi 2 A.A. Ngurah Adhi Ardhana. ST, Ketua kuta
Wayan Suwarse..
6 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 207.
7 Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 104.
9
b. Observasi
Jika menurut Sutrisno Hadi di dalam bukunya, observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan
psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan.8
Tehnik ini menggunakan cara melihat, mengamati, dan mencermati serta
merekam secara sistematis untuk mendapatkan informasi mendalam dan memberikan
suatu kesimpulan atau diagnosis.9
Dalam hal ini penulis melakukan pengamatan secara langsung di Provinsi Bali
yang berhubungan dengan objek partisipasi politik PHDI dalam perumusan Perda No.
2 tahun 2012.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan cara mencari data mengenai sesuatu yang berupa
catatan, foto, rekaman, transkip, buku, jurnal, dan sebagainya.10
Atau dapat dikatakan
juga sebagai laporan tertulis dari suatu peristiwa mengenai Strategi dan kegiatan-
kegiatan agama Hindu. Dan ditulis dengan sengaja untuk menyimpan dan
mneneruskan mengenai peristiwa tersebut.
8 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 203.
9 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 203.
10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010), Cet. 14, h.274.
10
3. Sumber dan Jenis Data
a. Data primer, teknik pengambilan data langsung kepada pihak yang bersangkutan
berupa wawancara langsung dengan informan utama
b. Data sekunder, teknik pengambilan data berupa artikel, jurnal yang terkait dengan
kajian penelitian
4. Teknik Analisis data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, perlu segera dikerjakan
oleh peneliti yaitu menganalisis semua data yang sudah terkumpul.11
Jika menurut
Bogdan analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, observasi, dokumentasi dan
bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan
data menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang
dapat diceritakan kepada orang lain.12
G. Sistematika Penulisan
Penulis membagi menjadi lima bab dalam penyusunan penulisan skripsi ini,
dengan rincian sebagai berikut:
Bab pertama yang berisikan tentang hal yang menjadi latar belakang masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan, dan metodologi penelitian.
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010), Cet. 14, h.278. 12
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h. 334.
11
Bab kedua. Membahas masalah kajian teoritis seperti halnya:
1. Teori Civil society sebagai kelompok penyeimbang sekaligus pula kelompok yang
mengontrol kekuatan negara dan dianggap kekuatan otonom dalam percaturan
politik negara yang kekuatannya mampu menyeimbangi kekuatan negara.
Pandangan ini menjadi sebuah model civil society yang tidak individualistik,
melainkan memiliki komitmen terhadap kepentingan-kepentingan yang lebih
umum.
2. Teori Partisipasi yang merupakan keikutsertaan warga masyarakat dalam politik,
keikutsertaan warga dalam politik tidaklah berarti bahwa warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin suatu Negara.
3. Teori Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan
hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai seseuatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.
Bab ketiga. penulis akan mencoba menguraikan fenomena-fenomena yang
terjadi dalam agama Hindu. Di antaranya, Sejarah berdirinya PHDI, doktrin
keagamaan Tri Hita Karana, dan Sekilas Pariwisata di Bali.
Bab keempat. Merupakan analisis atas beberapa data yang diperoleh dalam
penelitian. Penulis berupaya memaparkan mengenai bagaimana Pariwisata
12
Berwawasan Tri Hita Karana, Munculnya Perda No. 2 Tahun 2012, dan Partisipasi
PHDI Dalam Perumusan Kebijakan Perda No. 2 Tahun 2012.
Bab kelima, merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan uraian-uraian
yang dapat dipaparkan pada bab-bab sebelumnya bagaimana partisipasi PHDI Dalam
Perumusan Kebijakan Perda No. 2 Tahun 2012 dan saran untuk PHDI dan
pemerintah setempat, dan kemudian ditutup dengan daftar pustaka sebagai referensi
dalam penulisan skripsi ini.
13
BAB II
KERANGKA TEORI
CIVIL SOCIETY, PARTISIPASI, DAN KEBIJAKAN
A. Teori Civil Society
Pemikiran civil society telah memberikan sumbangan tidak kecil terhadap arah
berlangsungnya demokrasi serta menjadi sumber inspirasi bagi pemberdayaan di
berbagai negara yang menganut syistem demokrasi, termasuk di Indonesia. Dalam
menjelaskan teori civil society penulis menjelaskan sejarah, pengertian dan
karaktristik civil society.
1. Pengertian dan Sejarah Civil Society
Kajian civil society dewasa ini, sebagaimana yang digambarkan oleh Samuel
Huntington, diberbagai negara, civil society dianggap sebagai aktor sentral dalam
proses demokratisasi gelombang ketiga.1 Pengalaman demokratisasi Eropa Timur
telah menjebak pakar politik untuk menaruh civil society di tempat yang sakral dalam
berbagai analisis politik.
Sedangkan Mary Kaldor menyatakan bahwa civil society adalah sebuah
entitas etis dimana kelompok-kelompok yang patuh hukum, menghargai hak
manusia, memiliki sikap toleran, dan anti kekerasan. Sedangkan civil society menurut
1 Bob Sugeng Hadiwinata, “Pembangun Sekaligus Perusak Demokrasi”, Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Vol. 1 No. 9 (Juli 2005): h. 2.
14
Robert Putnam merupakan segala bentuk kehidupan sosial yang terorganisir dan
terbuka bagi semua kalangan, menganut prinsip sukarela, dan tumbuh secara mandiri
yaitu merupakan inti dari demokrasi. Tanpa civil society tumbuk dengan subur maka
demokrasi tidak bakal dapat bertahan.2
Civil society ada yang mengartikannya dengan sebutan masyarakat
kewargaan, ada yang menyebut masyarakat warga, masyarakat utama, masyarakat
madani, dan ada pula yang menyebut masyarakat sipil.3
Beberapa tokoh membangun teori civil society dalam beberapa bagian.4
Aristoteles memulai bagian pertama tentang civil society pada tradisi filsafat Yunani
klasik. Aristoteles mengartikan civil society (masyarakat sipil) sebagai sistem
kenegaraan. civil society juga dikenal dengan istilah lainnya ’koinonia politike’
merupakan sebuah konsep sistem kenegaraan yang mengandaikan komunitas politik
di dalamnya sebagai wahana bagi masyarakat untuk melibatkan diri dalam konteks
ekonomi-politik suatu negara guna mempengaruhi dan mengambil keputusan.
Konsep ini sebetulnya dibangun dalam tradisi Yunani klasik untuk memotret kondisi
masyarakat yang kedudukannya terhadap hukum adalah sama.
Bagian berikutnya, teori civil society dikembangkan oleh Adam Ferguson
(1767) di Skotlandia. Teori civil society dibangun pada konteks sosologi-politik di
sana. Dalam perkembangannya, Ferguson lebih memfokuskan etika pada civil society
2 Bob Sugeng Hadiwinata, “Pembangun Sekaligus: h. 3.
3 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), h. 240. 4 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 242.
15
dalam kehidupan sosial-politik. Basis dari konsep yang dibangun Ferguson berangkat
dari perubahan struktur sosial masyarakat yang mencolok dampak dari revolusi
industri. Dampaknya terlihat dari jurang ketimpangan sosial masyarakat yang lebar.5
Tahun 1792, konsep civil society mendapatkan titik pengembangannya
kembali. Kali ini tokohnya ialah Thomas Paine yang mengembangkan konsep civil
society sebagai sebuah kelompok yang posisi politiknya berbeda dari negara, jauh
daripada itu, civil society dianggap sebagai anti-tesis posisi politiknya dengan negara.
Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut
pandangan ini, negara tidak lain hanyalah tampilan dari keburukan belaka. Paine
menduga bahwa terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara
tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, civil society menjadi
ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi
pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan.6
Hegel, Karl Marx, dan Antonio Gramsci merupakan tokoh yang
mengembangkan diskursus civil society pada fase keempat. Menurut mereka, civil
society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini merupakan
antitesa atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara.
Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif (bagian yang
tidak bisa dipisahkan) terhadap negara. Marx memandang civil society sebagai
masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil
5 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 243.
6 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 244.
16
society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
kelas pemilik modal.7 Demi terciptanya proses pembebasan itu, civil society harus
dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Antonio Gramsci
tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada
sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material,
Gramsci meletakannya pada superstruktur yang posisinya setara dengan posisi
negara. Gagasan Gramsci telah membongkar cara pandang marxist klasik dan
menempatkan kalangan intelektual sebagai agen tunggal sebagai penentu perubahan
sosial dan politik.8
Bagian terakhir, ialah Alexis de Tocqueville yang memberikan reaksi
terhadap pandangan mazhab Hegelian. Tocqueville memahami bahwa civil society
sebagai kelompok penyeimbang sekaligus pula kelompok yang mengontrol kekuatan
negara. Dua gerak check and balance. Menurutnya Tocqueville, dalam masyarakat
Amerika, penopang utama dalam masyarakat ialah civil society. Pandangan ini lebih
netral dalam memandang posisi civil society dalam konteks kenegaraan. Civil society
dianggap kekuatan otonom dalam percaturan politik negara yang kekuatannya
mampu menyeimbangi kekuatan negara. Pandangan ini menjadi sebuah model civil
society yang tidak individualistik, melainkan memiliki komitmen terhadap
kepentingan-kepentingan yang lebih umum.9
7 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 244.
8 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 246.
9 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak, h. 248-249.
17
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas melahirkan tipologi-tipologi civil
society, yakni tipologi vertikal, tipologi horizontal (kebudayaan), dan tipologi
diagonal (moderat). Tipologi vertikal bermakna hubungan yang berkaitan dengan
politik antara civil society dengan negara, yang mana civil society berjuang untuk
memperbaiki sistem politik, sehingga menjadikannya lebih demokratis. Ini
merupakan sebuah konsep politik yang berkaitan secara struktural dengan negara.
Salah satu tokoh pemikir yang mengungkapkan konsep civil society ini adalah
Antonio Gramsci (1891-1937) yang erat dengan konsep hegemoninya.10
Gramsci menganalisis civil society dengan menggunakan konsep hegemoni.
Hegomoni adalah lokus (kedudukan) dari civil society, dan ini merupakan sebuah
karakteristik bagi civil society selain konflik politis dan pergulatan sosio-ekonomi.
Meski hegemoni terkesan mengakomodir kepentingan-kepentingan ekonomi kelas
penguasa, namun yang dimaksud hegemoni oleh Gramsci justru kebalikannya,
menolak manifestasi langsung kepentingan ekonomi mereka dalam sebuah tatanan
kehidupan masyarakat. Ia dengan sadar mengemukakan bahwa pembentukan sebuah
hegemoni terdapat pada area civil society bukan negara. Negara hanyalah sebuah alat
bagi suatu kelompok yang dominan untuk mengkooptasi kelompok lain dalam civil
10
Ozi Setiadi, “Islam dan Pergerakan Civil Society Kebudayaan Transnasional Hizmet Di
Indonesia”, KORDINAT, Vol. XVI No. 1 (April 2017): h. 132.
18
society, meski ia juga tidak menafikan bahwa antara negara dan civil society terdapat
keterikatan yang membawa keduanya pada hubungan timbal-balik.11
Civil society merupakan pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai
warga negara yang mandiri dapat dengan bebas dan bertindak secara aktif dalam
tataran wacana maupun praktiknya mengenai segala hal yang berkaitan dengan
masalah kemasyarakatan. Pada masa ini, maka artikulasi kepentingan dapat
disalurkan baik melalui individu ataupun kelompok tanpa ada tekanan dari pemegang
kekuasaan. Manajemen negosiasi akan mewujudkan rekonsiliasi nasional sebab
kekuatan oposisi dapat ikut berperan dalam pemerintahan. Bila ini mampu terwujud,
pemerintahan akan tumbuh kembali dan secara otomatis akan memperbaiki kondisi
ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan disertai dengan
pemerataan kesejahteraan sehingga dimensi keadilan mewarnai dalam setiap fase
pembangunan masyarakat. Itulah manfaat dari penguatan civil society dalam negara.
Menurut Dawam, ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan
sebagai strategi dalam memberdayakan Civil society di Indonesia.12
1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini
berpandangan bahwa system demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan
11
Ozi Setiadi, “Islam dan Pergerakan Civil Society Kebudayaan Transnasional Hizmet Di
Indonesia”, KORDINAT, Vol. XVI No. 1 (April 2017): h. 133. 12
TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, h. 258.
19
konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang
diperlukan adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena
pembangunan lebih-lebih yang terbuka terhadap perekonomian global
membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan
kesatuan bangsa lebih diutamakan dari demokrasi.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi system politik demokrasi. Strategi
ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu
rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama
diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah memperkuat
partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan
sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap Negara.
3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke
arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari
strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan
pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang
makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas
Hikam,13
bahwa di era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan
dengan cara memahami target-target grup yang paling strategis serta penciptaan
pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu,
13
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Indonesia, 1996), h. 55.
20
maka keterlibatan kaum cendikiawan, LSM, ormas sosial dan keagamaan dan
mahasiswa adalah mutlak adanya, karena merekalah yang memiliki kemampuan dan
sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.
2. Karakteristik Civil society
Civil society lahir, tumbuh, dan berkembang tidak dengan sendirinya. Namun
ada syarat-syarat sosial yang dibutuhkan, untuk terwujudnya tatanan civil society.
Syarat tersebut yang harus dimiliki dalam pembentukan civil society antara lain
meliputi: wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan, dan
keadilan sosial, antara lain:14
a. Wilayah Publik yang bebas
Wilayah publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat
warga masyarakat. Diharapkan dengan adanya ruang publik yang bebas masyarakat
atau warga Negara memiliki hak dan posisi serta kebebasan yang sama dalam
berpendapat untuk melakukan aktivitas sosial dan politik tanpa rasa takut dan
terancam.15
b. Toleran
Toleran dapat diartikan sebagai sikap yang harus ada dalam konsep civil
society untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan antar
14
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 225. 15
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, h. 225.
21
individu. Toleransi merupakan suatu pergaulan atau sikap bermasyarakat yang baik
dan menyenangkan antara berbagai individu maupun antar kelompok.16
c. Kemajemukan
Prasyarat penegakan civil society lainnya ialah kemajmukan atau plularisme.
Dengan beragamnya, bahasa, suku, budaya, agama maupun sikap masyarakat,
mayarakat harus membuat sebuah aturan kehidupan yang saling menghormati,
menghargai dan menerima dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya sikap dan
mengakui tetapi harus saling menerima kenyataan dengan ikhlas. Adanya perbedaan
merupakan suatu rahmat tuhan.17
d. Demokratis
Demokrasi merupakan suatu syarat yang penting dan wajib bagi
keberadaannya civil society, tanpa adanya Negara yang bersistem demokrasi, civil
society tidak bakal ada dan terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu sistem
kenegaraan yang bersumber dan dilakukan sendiri oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk
rakyat dalam suatu negara.18
e. Keadilan Sosial
Keadilan yang dimaksudnya di sini tidak merugikan orang lain, pembagian
yang sama dan seimbang terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal tersebut memungkinkan tidak adanya
diskriminasi atau memonopoli dalam salah satu golongan atau individu tertentu.
16
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, h. 226. 17
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, h. 227. 18
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, h. 226.
22
Dalam pembahasan skripsi saya, kerangka ini akan melihat bagaimana peran
yang dijalankan oleh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI). Dalam krangka ini
PHDI merupakan organisasi keagamaan yang berada di luar pemerintah, namun
memiliki kapabilitas untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan, yakni Peraturan
Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
B. Partisipasi Politik
1. Pengertian Partisipasi
Secara etimologis, konsep partisipasi dapat ditelusuri akar katanya dari bahasa
Inggris, yaitu kata part yang berarti bagian. Jika kata part dikembangkan menjadi kata
kerja, maka kata ini menjadi to participate, yang bermakna turut ambil bagian.
Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan warga masyarakat dalam
politik, keikutsertaan warga dalam politik tidaklah berarti bahwa warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin suatu Negara. Partisipasi politik
bermaksud untuk mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kebijakan mulai dari
pembuatan agenda sampai dengan pembuatan kebijakan sehingga menjadi kebijakan,
termasuk juga ikut serta dalam pelaksanaan kebijakan.
Beberapa ilmuan politik mendefinisikan partisipasi politik berbeda-beda,
seperti Samuel P. Hantington dan Joan M. Nelson yang mendefinisikan partisipasi
23
politik sebagai kegiatan warga Negara yang bertindak untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah.19
Herbert mengartikan partisipasi sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari
masyarakat melalui mereka yang mengambil bagian dalam proses pembentukan
kebijakan umum terutama tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi
keputusan-keputusan pemerintah.20
Menurut Budiardjo menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak
langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan
seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi
anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan
pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.21
Menurut Surbakti mendefinisikan partisipasi politik sebagai keterlibatan
warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau
memengaruhi hidupnya. Sedangkan Rush dan Althop berpendapat tentang partisipasi
politik yakni keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam
sistem politik. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan
partisipasi politik, seperti pemilihan umum, penyampaian pendapat, baik secara
19
Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politk, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013), h.368. 20
Miriam Budihardjo, Dasar-dasar, h. 368. 21
Miriam Budihardjo, Dasar-dasar, h. 368.
24
langsung maupun tidak langsung, serta partisipasi melalui masyarakat di lingkungan
keluarga dan kemasyarakatan.22
Partisipasi dilakukan menurut kemampuan, kesiapan, dan kesempatan
masing-masing. Setiap warga negara perlu memersiapkan diri agar mampu
berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang ada. Partisipasi politik bukanlah
dominasi setiap warga negara. Partisipasi politik berhaluan kepada kehendak untuk
memengaruhi pemerintah yang sedang berkuasa.
Partisipasi rakyat sangat penting dalam perpolitikan disuatu negara, karena
baik buruknya seseorang bagi dia yang tahu hanya dia sendiri. Suatu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, sehingga warga
masyarakat berhak ikut serta menentukan suatu kebijakan. Oleh karena itu,
pentingnya keikut sertaan warga negara dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi kehidupan kehidupan seseorang.23
2. Tipologi Partisipasi Politik
Menurut Surbakti menyatakan bahwa secara umum tipologi partisipasi
sebagai kegiatan dibedakan menjadi:24
a. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output.
22
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), h.180. 23
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.180. 24
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.185.
25
b. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti
hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap
keputusan pemerintah.
c. Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menggapsistem politik
yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi politik aktif
terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi pasif terletak pada
outputnya saja. Selain itu juga ada anggapan masyarakat dari sistem politik yang ada
dinilai menyimpang dari apa yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam
partisipasi politik yang apatis.
Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud partisipasi dalam
politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya pemberian suara, namun juga
menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu
pemilihan, membantu tempat pemungutan suara dan lain-lain.
Sedangkan Gel Olsen memandang partisipasi sebagai dimensi utama
startifikasi sosial. Ia membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin
politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-
ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain), warga masyarakat, kelompok
26
marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan
kelompok yang terisolasin (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).25
Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku yaitu
individual dan kolektif. individual yakni seseorang yang menulis surat berisi tuntutan
atau keluhan kepada pemerintah. Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah
kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan
dalam proses pemilihan umum.26
Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi kolektif yang
konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam proses pemilihan umum dan
partisipasi politik kolektif nonkonvensional (agresif) seperti pemogokan yang tidak
sah, melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi politik kolektif
agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif yang kuat dan aksi agresif
yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat
anti rezim (melanggar peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal),
mengganggu fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang
dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif yang lemah
adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas.27
Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung digerakan secara
meluas dan diarahkan untuk kepentingan pembangunan. Orang-orang yang
25
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.183. 26
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.183. 27
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.183.
27
melakukan demonstrasi atau memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya
merupakan wujud nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang
perhataian dari berbagai kalangan.
3. Faktor-faktor Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Ramlan Surbakti menyebutkan dua variable penting yang
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek
kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud dalam
kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Misalnya hak
politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum, kewajiban ekonomi, kewajiban sosial
dll. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan
pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya.28
Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable independen). Artinya
bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status
sosial, afiliasi politik orang tua, dan pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status
sosial yaitu kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan
lain-lain.
Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan
masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang mempunyai status
28
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.185.
28
sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik,
akan tetapi memiliki minat serta perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap
pemerintah.29
4. Bentuk Partisipasi Politik
Paige merujuk pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan
pemerintah (sistem politik menjadi empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif
tertekan (apatis), partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif.30
Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politiknya cenderung pasif-
tertekan (apatis). Partisipasi militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi
tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran politik
sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat tinggi maka partisipasi
ini disebut tidak aktif (pasif).
Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi diberbagai Negara
dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan
nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (petisi) maupun ilegal (cara
kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat
29
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.185. 30
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h.184.
29
dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan
politik, kepuasan atau ketidak puasan warga negara.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond yang
terbagai dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi
politik non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi politik konvensional dan
non konvensional.31
a. Partisipasi politik konvensional
1) Pemberian suara atau voting
2) Diskusi politik
3) Kegiatan kampanye
4) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
5) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif
b. Partisipasi politik nonkonvensional
1) Pengajuan petisi
2) Berdemonstrasi
3) Konfrontasi
4) Mogok
5) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda : pengrusakan, pemboman,
pembakaran
31
Mohtar Mile Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006), h. 57-58.
30
6) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang
gerilya, revolusi.
Dalam ikut serta berpartisipasi pembentukan undang-undang masyarakat
diberikan jaminan yang dijelaskan pada Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan sebagaimana berikut:32
1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Masukan secara lisan dan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a. Rapat dengar pendapat umum
b. Kunjungan kerja
c. Sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan atau diskusi.
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
4. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
Sebagaiman yang sudah dijelaskan dalam UU No. 12 tahun 2011. Masyarakat
memiliki hak untuk memberikan masukan atau tulisan Masyarakat dapat
berpartisipasi dalam proses pembentukan undang-undang. Pada dasarnya proses
pembuatan undang-undang dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: tahap ante
legislative, tahap legislative dan tahap post legislative. Sebagaimana berikut:33
a. Masyarakat dapat berpartisipasi pada tahap ante legislative yang terdiri dari:
1) Dalam bentuk penelitian masyarakat dapat ikut berpatisipasi
32
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan 33
Putera Astomo, “Pembentukan Undang-Undang dalam Rangka Pembaharuan Hukum
Nasional Di Era Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 11. No. 3 (September, 2014), h. 592-595.
31
2) Dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar masyarakat juga dapat
berpartisipasi
3) Dalam bentuk pengajuan usul inisiatif, masyarakat berhak mengajukan usulan
atau pendapat, tentunya lebih baiknya kalau sudah memiliki data atau sudah
menjalankan penelitian diskusi dan sebagainya.
4) Dalam bentuk perancangan terhadap suatu undang-undang masyarakat juga dapat
turutserta ikut berpartisipasi.
b. Pada tahap legislative masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai cara yaitu
terdiri dari:
1) Dalam bentuk audensi/RDPU di DPR dapat dilakukan masyarakat atau ikut serta
dalam melakukan partisipasi ini.
2) Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan udang-undang alternatif
3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak
4) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik
5) Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa
6) Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar
c. Partisipasi masyarakat pada tahap post legislative terdiri dari:
1) Unjuk rasa terhadap undang-undang baru
2) Tuntutan pengujian terhadap undang-undang
3) Sosialisasi undang-undang
32
Dalam hal ini, saya akan melihat keterlibatan PHDI dalam perumusan
kebijakan Peraturan Daerah (Perda) dari awal sampai akhir. Adapun prosesnya
meliputi audensi bersama DPRD dan masyarakat, Diskusi, lokakarya, dan seminar
bersama masayarakat, para ahli, dan ketua adat. Pembentukan Opini Melalui Media
Cetak dan Media Elektronik.
C. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Charles O.Jones mengemukakan bahwa istilah kebijakan ini sering digunakan
dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau
keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini dipertukarkan dengan tujuan (goals),
program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan
grand design. Namun demikian, meskipun kebijakan publik mungkin kelihatannya
sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu yang terjadi terhadap
seseorang. Namun sebenarnya sebagaimana beberapa contoh di atas, pada dasarnya
kita telah dipengaruhi secara mendalam oleh banyak kebijakan publik dalam
kehidupan sehari-hari.34
Robert Eyeston mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.35
Jika
menurut Thomas R. Dye kebijakan adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun definisi Dye ini agak tepat, namun
34
Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan studi kasus, (Yogyakarta: CAPS,
2011), H. 19 35
Budi Winarno, Kebijakan Publik, H. 20.
33
sebenarnya belum cukup memadai untuk mendeskripsikan kebijakan publik sebab
kemungkinan masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang ingin
dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang sebenarnya dilakukan.36
Sedangkan menurut Carl Friedrich kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai
seseuatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.37
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Sedangkan aktifitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan,
monitoring, dan evaluasi kebijakan adaalaah aktivitas yang lebih bersifat intektual.38
Sementara itu dalam pandangan Ripley, tahapan kebijakan publik
digambarkan sebagai berikut:39
36
Budi Winarno, Kebijakan Publik, H. 20. 37
Budi Winarno, Kebijakan Publik, H. 21. 38
Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Kionsep, Teori, dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2013) h. 6-8. 39
Subarsono, Analisis Kebijakan, h. 11.
34
Gambar II.1 Tahapan Kebijakan Publik
Sumber: Subarsono, Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan
Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 11
Pakar kebijakan publik, James Anderson menetapkan proses kebijakan publik
sebagai berikut:40
a. Formulasi masalah (problem formulation) Apa masalahnya? Apa yang membuat
hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat
masuk dalam agenda pemerintah.
b. Formulasi kebijakan (formulation) Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan
atau alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang
berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?
40
Subarsono, Analisis Kebijakan, h. 12.
Penyusunan Agenda
Formulasi dan legitimasi
Implementasi kebijakan
Evaluasi terhadap
implementasi, kinerja dan
dampak
Kebijakan baru
Agenda pemerintah
Kebijakan
Tindakan kebijakan
Kinerja dan dampak kebijakan
35
c. Penentuan kebijakan (adaption)
d. Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus
dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau
strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah
ditetapkan?
e. Implementasi (implementation) Siapa yamg terlibat dalam implementasi
kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?
f. Evaluasi (evaluation) Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan
diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari evaluasi
kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?
Michael Howlet dan M. Ramesh sebagaimana menyatakan bahwa proses
kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:41
a. Penyusunan Agenda
Agenda kebijakan adalah suatu proses agar suatu masalah bisa mendapatkan
perhatian dari pemerintah. Tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam
agenda kebijaka. Isu-isu atau masalah-masalah tersebut harus berkompetisi antara
satu dengan yang lain dan akhirnya hanya masalah-masalah tertentu saja yang akan
menang dan masuk ke dalam agenda kebijakan.
b. Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan mengisyaratkan diperlukannya proses perumusan
pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah. tindakan yang lebih teknis ini cara
41
Subarsono, Analisis Kebijakan, h. 13-14.
36
menerapkan metode penelitian guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
merumuskan permasalahan kebijakan dan mencari berbagai alternatif solusi
kebijakan.
c. Legitimasi Kebijakan
Dari sekian banyak anternatif kebijakan yang ditawarkan , akhirnya menuju
proses ketika pemerintah meilih atau mengadopsi untuk melakukan suatu tindakan
atau tidak melakukan sesuatu keputusan.
d. Implementation
Implementasi merupakan tahab pelaksanaan keputusan supaya apa yang
direcanakan berjalan dengan baik. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan
instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,
e. Evaluasi Kebijakan Publik
Pada dasarnya setiap kebijakan negara perlu mengevaluasi suatu kebijakan,
kareana apakah kebijakan tersebut masih sesuai di terapkan atau malah tidak sesuai
dengan apa yang diterapkan . Sehingga perlunya untuk mengevaluasi, melihat dan
menilai hasil suatu kebijakan yang sudah dibuat.
2. Urgensi Kebijakan Publik
Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi yang bermaksud
untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab
37
dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah. Studi kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye, sebagaimana dikutip Sholichin Abdul Wahab sebagai berikut:42
“Studi kebijakan publik mencakup menggambarkan upaya kebijakan
publik, penilaian mengenai dampak dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari
lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai
pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik;
penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik
pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik
berupa dampak yang diharapkan (direncanakan) maupun dampak yang tidak
diharapkan.”
Sholichin Abdul Wahab mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye
(1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa kebijakan publik penting atau urgen
untuk dipelajari, yaitu:43
a. Alasan Ilmiah
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan
yang luas tentang asal-muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensi-
konsekuensinya bagi masyarakat. Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai
variabel terikat (dependent variable) maupun sebagai variabel independen
(independent variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian
akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan
substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan
dipandang sebagai variabel independen jika focus perhatian tertuju pada dampak
42
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, (Yogyakarta: UNY Press, 2010), h. 14. 43
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, h. 16-19.
38
kebijakan tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadapo
kebijakan publik.
b. Alasan professional
Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan
pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah
sosial sehari-hari.
c. Alasan Politik
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah
dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan kebijakan
Proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks
dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para adsministrator
sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan
kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan
resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended
risks).44
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang
turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan
44
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, h. 52.
39
kebijakan sering terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan adalah:
a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau
membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan
dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini
belum professional dan terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan
itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak
tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama
tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu
kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para pembuat
keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi
merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.
40
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan
besar.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman
sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan.
Misalnya,orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada
orang lain karena khawatir disalahgunakan.45
4. Kerangka Kerja Kebijakan Publik
Menurut Suharno kerangka kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa
variabel dibawah ini, yaitu:46
a. Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akanm
dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit
mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin
sederhana, maka untuk mencapainya juga semakin mudah.
b. Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kabijakan yang
mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding
dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai.
45
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, h. 52-53. 46
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik,, h. 31.
41
c. Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan
ditentukan oleh sumber daya finansial, material, dan infrastruktur lainnya.
d. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari suatu
kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas aktor kebijakan yang terlibat dalam
proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan,
kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja dan integritas moralnya.
e. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi,
maupun politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
f. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja suatu
kebijakan. Stretegi yang digunakan dapat bersifat top/down approach atau bottom
approach, otoriter atau demokratis.
Dalam pembahasan skripsi saya, kerangka ini akan melihat bagaimana peran
yang dijalankan oleh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI). Dalam krangka ini
PHDI sebagai organisasi keagamaan yang berada di luar pemerintah yang ikut serta
dalam perumusan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2012 tentang
Kepariwisataan Budaya Bali. Mulai dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan,
dan implementasi kebijakan.
PHDI melihat urgensi kebijakan ini, karena sudah banyaknya tempar
pariwisata yang dikuasai pihak asing sehingga penduduk lokal tertinggalkan. dan
42
kebudayaan bali sendiri terlupan karena foktor tersebut. Oleh karena itu kebijakan
tersebut harus dibikin.
43
BAB III
GAMBARAN UMUM PHDI DAN
PARIWISATA DI BALI
A. Sejarah Terbentuknya PHDI
Hindu sebagai agama pertama yang berkembang di Indonesia. Perkembangan
agama Hindu mengalami naik dan turun, terutama dari segi kuantitas. Masa kejayaan
Kerajaan Majapahit sekaligus dipandang sebagai masa kemakmuran agama Hindu di
Indonesia dan Sandyakalaning Majapahit, runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus
pula merupakan runtuhnya perkembangan agama Hindu di Indonesia sampai titik
terendah. Namun, demikian sisa-sisa kejayaan agama Hindu di Indonesia
dipertahankan dengan taat hingga oleh sebagian masyarakat di Pulau Bali, Lombok,
Jawa, Sumbawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Irian, dan daerah lainnya. Awalnya,
dipertahankan oleh masyarakat dengan sistem kerajaan dan keompok masyarakat
Hinduistis, kemudian juga masih dipertahankan oleh masyarakat pasca kemerdekaan
Republik Indonesia.1
Ketika bangsa Indonesia melakukan perjuangan untuk merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah, banyak putra Bali yang ikut berjuang sampai titik darah
penghabisan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak jaman
kerajaan terbukti I Gusti Agung Jelantik memimpin perjuangan masyarakat Bali dan
1Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI I Ketut Pasek Swastika pada tanggal 27
Oktober 2016 di kantor PHDI Bali.
44
melakukan “Perang Jagaraga” untuk menentang pendudukan Pemerintah Hindia
Belanda di Bali. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana memimpin rakyat Kerajaan Badung,
melakukan “Perang Puputan Badung”, Ida Cokorda Istri Kania bersama rakyat
Kerajaan Klungkung melakukan “Perang Puputan Klungkung” dan masih banyak
lagi peristiwa bersejarah perlu mendapat catatan emas tinta sejarah bangsa Indonesia
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula pada masa pergerakan, I Gusti
Ngurah Rai telah melakukan peperangan tiada akhir melawan usaha invasi Belanda
ke Bali. Setelah pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dan
meskipun heruisme masyarakat Bali yang beragama Hindu diakui partisipasinya
dalam perang kemerdekaan, namun secara formal, agama Hindu yang dipeluk oleh
mayoritas masyarakat Bali belum diakui oleh pemerintah.
Perjuangan pemeluk agama Hindu agar eksistensinya sebagai agama negara
diakui atau lebih tepatnya secara eksplisit mendapat perhatian sebagai mana mestinya
oleh pemerintah. Memang suatu agama tidak perlu pengakuan pemerintah karena
suatu agama lahir atas wahyu Tuhan yang diterima para resi atau nabi masing-masing
agama. Namun demikian, oleh karena pemeluk suatu agama berhimpun dalam suatu
wilayah tertentu dalam suatu negara sehingga disebut suatu bangsa, maka pengakuan
tersebut menjadi penting.
Pada tanggal 26 Juni 1958 delapan organisasi keagamaan di Bali mengadakan
pertemuan membahas usulan kepada pemerintah. Organisasi tersebut yakni2:
2Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI I Ketut Pasek Swastika pada tanggal 27
Oktober 2016 di kantor PHDI Bali.
45
1. Satya Hindu Dharma (I Gusti Ananda Kusuma)
2. Yayasan Dwijendra (Ida Bagus Wayan Gede)
3. Partai Nasional Agama Hindu (Ida I Dewa Agung Geg)
4. Majelis Hinduisme (Ida Bagus Tugur)
5. Paruman Para Pandita (Pedanda Made Kemenuh)
6. Panti Agama Hindu Bali (I Ketut Kandia)
7. Angkatan Muda Hindu Bali (Ida Bagus Gede Doster)
8. Eka Adnyana (Ida Bagus Gede Manuaba)
Hasil pertemuan tersebut adalah kepada pemerintah Indonesia yang berisikan :
1. Tetap menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendudukkan
agama Hindu Bali sejajar dengan agama-agama lainnya dalam struktur
kementrian Agama Republik Indonesia
2. Menuntut agar diadakan perubahan dalam peraturan mentri Agama Republik
Indonesia N0. 9 th. 1952, yaitu agar Agama Hindu Bali dimasukkan dalam pasal
III sebagai bagian.
3. Mendesak kepada pemerintah Daerah Bali agar tetap mempertahankan Dinas
Agama Otonom Daerah Bali yang dibentuk dengan surat Keputusan DPR Daerah
Bali tanggal 24 Maret 1953, N0.2/S.K./DPRD.
Usulan ini disampaikan kepada Presiden RI, Perdana mentri, Mentri Agama,
Mentri Dalam Negeri, Ketua Parlemen, Ketua Dewan Nasional, Penguasa Perang
Pusat, Penguasa Perang Daswati I NusaTenggara di Denpasar, Gubernur Provinsi
Nusa Tenggara, Kepala Daerah Bali, Ketua DPRD Bali, Anggota Parlemen yang
berasal dari Bali, Anggota Dewan Nasional dari Bali (I Gusti Bagus Sugriwa) dan
pers.
46
Tanggal 29 Juni 1958, lima orang utusan organisasi agama menghadap
Presiden RI di Tampaksiring. Diantar oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peralihan Bali, I Gusti Putu Mertha. Kelima perwakilan tersebut adalah:3
1. Ida Pedanda Made Kemenuh
2. I Gusti Ananda Kusuma
3. Ida Bagus Wayan Gede
4. Ida Bagus Dosther
5. I Ketut Kandia.
Mengusulkan agar Kementrian Agama RI ada bagian Agama Hindu Bali,
sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam, Katolik, dan Kristen. Permohonan itu
dikabulkan dan tanggal 5 September 1958 dibentuk Bagian Agama Hindu Bali pada
Kementrian Agama Republik Indonesia, dengan ketua I Gusti Gede Raka.
Perjuangan dilanjutkan membentuk Dewan Agama Hindu Bali atau badan
Keagamaan Hindu Bali. Karena keluarnya Undang-Undang tentang penghapusan
Swapraja di Indonesia, dan dipecahnya Propinsi Administrasi Nusa Tenggara menjadi
tiga propinsi yang otonom yakni Bali, NTB, dan NTT. Swapraja yang dulunya
dikepala oleh raja dan sekaligus sebagai pimpinan agama Hindu Bali dan adat, maka
kini dihapuskan. Maka timbul keinginan membentuk badan keagamaan yang dapat
menggantikan peran raja.
Tanggal 7 Oktober 1958 di Balai Masyarakat Denpasar diadakan pertemuan
Pemerintah Daerah Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan Bali. Dibentuklah
panitia untuk persiapan pembentukan Dewan Agama Hindu Bali. Panitianya adalah4
3Kompilasi dokumen literer 45 tahun parisada, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia,
2005), h. 13.
47
1. Paruman Para Pandita
2. Panti Agama Hindu Bali
3. Dr. Ida Bagus Mantra
4. I Gusti Bagus Sugriwa)
Tanggal 6 Desember 1958 panitia mengadakan rapat di Pesanggrahan
Bedugul dengan hasil bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan di Denpasar bulan
Januari 1959.
Hindu Bali Sabha (Pesamuhan Agung Hindu Bali) yang kemudian dikenal
dengan Sidang Pembukaan Parisada Dharma Hindu Bali, 21-23 Februari 1959 di
Fakultas Sastra Denpasar. Sidang ini melahirkan Piagam Parisada. Ditandatangani
oleh 20 orang. Delapan dari delegasi pemerintah dan 12 dari organisasi keagamaan
Bali seperti5
1. Perhimpunan Buddhis Indonesia Bali Dharma Yadnya
2. Partai Nasional Agama Hindu Bali
3. Majelis Hinduisme
4. Wiwada Sastra
5. Sabha Satya Hindu Dharma
6. Perhimpunan Hidup Ketuhanan
7. Angkatan Muda Hindu Bali Kumara Bhuwana
8. Yayasan Dwijendra
9. Eka Adnyana Dharma
10. Persatuan Keluarga Bujangga Waisanawa
11. Paruman Pandita
Sidang tersebut juga menetapkan personalia Pesamuhan Sulinggih (11 orang)
Pesamuhan Walaka (22 orang) dan pengurus harian terdiri atas ketua Ida Pedanda
Wayan Sidemen, Wakil ketua I Gusti Bagus Oka, dan sekretaris Dr. Ida Bagus
Mantra.
4Kompilasi dokumen literer 45 tahun parisada, h.13.
5Kompilasi dokumen literer 45 tahun parisada, h.14.
48
Piagam Parisada berisikan: Bentuk lembaga ini adalah Parisada, bersifat
keagamaan Hindu Bali, berkedudukan di mana pimpinan berada. Fungsi lembaga ini
adalah koordinasi segala kegiatan keagamaan Umat Hindu Bali dengan tugas,
mengatur, memupuk dan memperkembangkan Agama Hindu Bali. Tujuannya adalah
mempertinggi kesadaran hidup keagamaan dan kemasyarakatan Umat Hindu Bali.
Keanggotaan terdiri dari para sulinggih dan walaka yang dipandang ahli atau
mempunyai pengetahuan mendalam soal keagamaan Hindu Bali, sehingga susunan
Parisada terdiri dari Pasamuhan Para Sulinggih dan Pasamuhan Para Walaka, yang
keduanya dalam kepaniteraan bersama. Usaha lembaga ini meliputi penelitian,
pendidikan, penerangan, dan kesejahteraan masyarakat.6
Tanggal 17-23 Nop. 1961 di Campuhan Ubud diadakan paruman (dharma
asrama) para pandita dan walaka yang diprakarsai Parisada Dharma Hindu Bali.
Ketika itu dibicarakan mengenai dharma agama dan dharma negara. Dharma agama
adalah bagaimana umat Hindu bisa menjalankan ajaran dharma lewat kerangka dasar
agama yakni tattwa, susila, dan upacara. Dharma negara lebih menitikberatkan
hubungan umat sebagai warga negara NKRI dalam memposisikan diri untuk berperan
aktif dalam kegiatan kebangsaan /kenegaraan serta selalu menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD 1945.7
6Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI I Ketut Pasek Swastika pada tanggal 27
Oktober 2016 di kantor PHDI Bali. 7Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI I Ketut Pasek Swastika pada tanggal 27
Oktober 2016 di kantor PHDI Bali.
49
Piagam Parisada 23 Februari 1959 hanya menjangkau wilayah Bali, karena
namanya Parisada Dharma Hindu Bali. Sabha Hindu Bali I, 7-10 Oktober 1964
menetapkan anggaran Dasar Parisada dengan Piagam Parisada terdahulu sebagai
dasarnya, dengan perubahan yakni mengganti nama menjadi Parisada Hindu
Dharma. Sabha Hindu Bali II (mahasabha II) 2-5 Desember 1968 di Denpasar, resmi
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Parisade Hindu Darma Indonesia ini adalah Majelis Tertinggi Agama Hindu
di Indonesia, bersifat keagamaan, dan independen. Parisade Hindu Darma Indonesia
sebagai Organisasi Kemasyarakatan berbentuk Badan Hukum Perkumpulan.8
Parisada Hindu Dharma Indonesia berasaskan Dharma yang bersumber pada
pustaka suci Veda dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Parisada Hindu
Dharma Indonesia berasaskan Pancasila.9
B. Pengertian Tri Hita Karana
Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, di mana kata Tri artinya
tiga, Hita artinya harmonis atau kesejahtraan dan Karana artinya sebab atau
penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga buah unsur penyebab keharmonisan atau
kesejahtraan dan kebahagiaan bagi semua masyarakat. Dari ketiga unsur tersebuat
8 Http://phdi.or.id/page/anggaran (AD/ART Parisada Hindu Darma Indonesia) dilihat pada
tanggal 14 April 2018. 9 Http://phdi.or.id/page/anggaran (AD/ART Parisada Hindu Darma Indonesia) dilihat pada
tanggal 14 April 2018.
50
saling mengikat, tidak hanya satu unsur saja. Untuk itu ketiga unsur tersebut harus
dijaga dan dijalankan agar mencapai hubungan yang baik dan sejahtra.10
Dalam ajaran Tri Hita Karana yang artinya tiga penyebab kesejahtraan. Tri
Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara menyembah kepada Tuhan
dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi setiap larangannya serta hidup yang
harmonis sesama manusia serta menjaga kelestarian alam lingkungan. Ajaran tersebut
sangat penting dan wajib dijalankan oleh masyarakat yang beragama Hindu. Ajaran
yang seimbang menuntun hidup dan menata manusia agar memperoleh kehidupan
yang aman, damai dan sejahtera. baik untuk menata kehidupan sekarang maupun
untuk menata kehidupan yang akan datang.
Konsep Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan
yaitu antara lain:11
1. Prahyangan (Manusia dengan Tuhannya)
Kata Parahyangan berasal dari bahasa sansekerta, dari kata ”Hyang”, yang
berarti Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi, kata parahyangan berarti hubungan yang
harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan YME. Dengan demikian
kita harus menjalin hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atau Tuhan YME, dengan cara menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
10
I Gede Jaman, Tri Hita Karana Dalam Konsep Hindu, (Denpasar: Pustaka Bali Pos), h. 18. 11
Wawancara dengan Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa pada tanggal 29 Oktober 2016 di
Bali.
51
2. Pawongan (Manusia dengan sesamanya)
Kata Pawongan berasal dari bahasa sansekerta, dari kata ”Wong”, yang berarti
orang atau manusia. Jadi, kata pawongan berarti hubungan yang harmonis antara
manusia dengan sesama manusia. Dengan demikian kita harus menjalin hubungan
yang baik dengan sesama manusia, dengan cara saling menghormati dan saling
menghargai dan saling tolong menolong satu sama lain.
3. Palemahan (Manusia dengan alam lingkungan)
Kata Palemahan berasal dari bahasa sansekerta, dari kata ”Lemah”, yang
berarti lingkungan sekitar atau alam semesta. Jadi, kata palemahan berarti hubungan
yang harmonis antara manusia dengan lingkungan sekitar atau alam semesta. oleh
karena itu manusia harus selalu memperhatikan lingkungannya, lingkungan harus
terjaga dan terpelihara, tidak boleh dirusak, hutan tidak boleh ditebang semuanya
karena dapat merusak keseimbangan alam. Hutan yang rapi, tenang akan
menyebabkan rasa tenang, tentram dalam diri manusia.
Kita sebagai manusia berusaha untuk menjalankan ajaran Tri Hita Karana
yaitu Hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam lingkungan. Jika hubungan yang harmonis antar
ketiga konsep tersebut dijalankan semua, maka akan tercipta kebahagiaan dalam
hidup setiap masyarakat. Oleh sebab itu dapat dikatakan Jika tidak dijalankan,
manusia akan semakin jauh dari tujuan yang dicita-citakan atau sebaliknya ia akan
menemukan kesengsaraan.
52
C. Sekilas Pariwisata di Bali
Bali adalah salah satu dari 34 provinsi yang terletak di bagian tengah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Bali terdiri atas 8 kabupaten yaitu kabupaten
Gianyar, Tabanan, Badung, Karangasem, Jembrana, Buleleng, Klungkung, Bangli
dan 1 kota, yaitu kota Denpasar. Pulau Bali luasnya 5.636,66 Km2 terletak di antara
08º03'40" - 08º50'48" Lintang Selatan (LS) dan antara 114º25'53" - 115º42'40" Bujur
Timur (BT) (sumber: Badan Pusat Statistik). Bali terletak di daerah khatulistiwa yaitu
213/2° Lintang Utara (LU) dan 231/2° Lintang Selatan (LS), tergolong daerah tropis
dengan temperatur pantai dan pegunungan berkisar 5°C (Swarsi, 1997:14). Bagian
utara Pulau Bali berbatasan dengan Laut Bali, bagian timur dengan Selat Lombok,
bagian selatan dengan Samudera Indonesia dan bagian barat dengan Selat Bali.12
Pulau Bali terbelah oleh pegunungan yang memanjang dari barat ke timur,
seperti Gunung Merbuk, Gunung Batukaru, Gunung Batur, dan Gunung Agung. Dari
keseluruhan gunung tersebut Gunung Batur dan Gunung Agung merupakan gunung
berapi. Pegunungan ini membentuk dataran yang lebih sempit di sebelah utara
dibandingkan dataran di sebelah selatan. Bagi masyarakat Bali, pegunungan tersebut
mempunyai arti penting. Di wilayah pegunungan itulah terdapat banyak pura yang
memiliki nilai historis yang tinggi, seperti Pura Pulaki, Pura Batukaru, dan pura
terbesar di Bali yang terletak di kaki Gunung Agung Pura Besakih.
Bali yang dikenal juga sebagai pulau dewata merupakan salah satu destinasi
wisata menarik yang memiliki banyak pengunjung baik domestik maupun
12
http://www.baliprov.go.id/v1/geographi dilihat pada tanggal 20 Agustus 2017.
53
mancanegara dikarenakan keindahan pantai dan kebudayaan serta adat istiadat dan
keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Bali memiliki banyak sekali hotel
maupun resort dari bintang lima hingga hotel-hotel melati, dan banyaknya restoran
yang sangat menarik untuk dikunjungi, berbagai pertunjukkan budaya seperti rumah
makan pinggir pantai, tari kecak atau tari legong, serta berbagai destinasi wisata
selain pantai seperti kebun binatang ataupun permainan air.
Dengan fasilitas dan wisata dan panorama yang bagus, Bali akan membuat
wisatawan datang kembali dan bisa dikatakan sering untuk benkunjung di Bali.
banyak hotel bertaraf internasional sekitar tempat wisata bergengsi seperti: Tanah
Lot, Kuta, Seminyak, Candi Dasa, Lovina, Nusa Dua, Jimbaran, Sanur, Ubud, dan
kota-kota lain atau kabupaten di Bali.
Bukti kongkrit perkembangan pariwisata nasional salah satunya dapat kita
lihat perkembangan kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali dalam waktu 2010-
2016 mengalami peningkatan yang derastis, melalui jumlah kunjungan wisatawan
dari data statistic yang diberitahukan oleh Dinas Pariwisata Pemerintahan Provinsi
Bali dengan data kunjungan wisatawan mancanegara dan dalam negri yaitu dari
2,576,142 orang wisatawan pada tahun 2010 menjadi 4,927,937 orang wisatawan
mancanegara pada tahun 201613
.
13
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Website https://bali.bps.go.id dilihat pada tanggal 20
Agustus 2017.
54
0
2
4
6
8
10
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Wisatawan
Jumlah Wisatawan2,576,142
2,826,709 2,949,332
3,278,598
3,766,638
4,001,835
4,927,937
Melihat banyaknya jumlah kunjungan wisatawan ke provinsi Bali dapat
menyimpulkan bahwa provinsi Bali merupakan salah satu tujuan wisata yang paling
diminati di Indonesia,
Sedangkan secara kumulatif, pada periode Januari-Juni 2017 ini wisatawan
mancanegara yang datang langsung ke Bali mencapai 2.811.289 orang. Angka ini
tercatat lebih tinggi dibanding periode tahun sebelumnya di mana kedatangan
wisatawan mancanegara baru mencapai 2.271.608 orang, atau naik sebesar 23,76
persen.
Grafik III.I
Perkembangan Wisatawan Mancanegara Dari Tahun 2010-2016
di Bali
Sumber dari badan statistic Bali pada tahun 2017
Salah satu tempat yang selalu ramai dikunjungi wisatawan mancanegara yaitu
daerah legian Di jalan yang dulu sempat terkenal karena peristiwa Bom Bali ini
suasananya sangat hiruk pikuk. Semakin malam, justru semakin ramai karena
55
memang Legian ini terkenal dengan berbagai hiburan malamnya. Hal ini dapat dilihat
di bawah:
Gambar III.I
Sumber dari hasil observasi penulis pada tanggal 29 Oktober 2016
Bali terkenal juga banyaknya wisata pantai, Pantai yang paling sering
dikunjungi oleh wisatawan berikutnya seperti pantai Kuta, Tanah lot, Pantai Pandawa
dan banyak lagi pantai yang sering dikunjungin. Hal ini dapat dilihat di bawah:
Gambar III.II
Pantai Kuta
56
Tanah Lot
Sumber dari hasil observasi penulis pada tanggal 29 Oktober 2016
Rata-rata dari seluruh tempat wisata di Bali selalu memiliki ciri khas
kebudayaan Bali yang bersumber dari agama Hindu. Hal ini menjadi hal yang menari
dan khas dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya khususnya di Indonesia. Salah
satu yang menarik dari seluruh tempat wisata yaitu gapura yang selalu berukir-ukir
dengan ciri khas budaya bali, selain itu selalu ada Pure di tempat wisata dan yang
kalah bagusnya lagi yaitu budaya tarian-tarian yang selalu ditampilkan yaitu tarian
kecak dan tarian pendet. Hal ini dapat dilihat di bawah ini:
Gambar III.III
Kebudayaan seni ukir (corak Hindu Bali) dan tari kecak
Sumber dari hasil observasi penulis pada tanggal 30 Oktober 2016
57
BAB IV
PARTISIPASI PHDI DALAM PERUMUSAN PERDA
NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI
Wisata di Bali tidak terlepas dari pengaruh budaya Hindu. Oleh karena itu
Pemerintah Provinsi Bali mencoba untuk mengintegrasikan antara wisata dengan
budaya Hindu. Dalam mengintegrasikan hal tersebut, pemerintah mencoba membuat
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya di Bali. PHDI
adalah salah satu ormas agama Hindu yang ada di Bali yang mencoba untuk
berpartisipasi dalam mempengaruhi proses perumusan Perda No. 2 Tahun 2012
tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang dikenal dengan nama ajaran Tri Hita
Karana.
Selanjutnya dalam Bab ini dijelaskan, pertama, Pariwisata berwawasan Tri
Hita Karana. Kedua, munculnya Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan
Budaya Bali, dan ketiga, partisipasi PHDI dalam perumusan Perda No. 2 Tahun 2012.
Keempat, bentuk-bentuk partisipasi PHDI dalam perumusan Perda No. 2 Tahun 2012.
A. Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana
Tri Hita Karana sebagai nilai-nilai yang mengandung tiga ajaran yang dianut
di dalam agama Hindu yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
58
termasuk dalam pariwisata.1 Tri Hita Karana menjadi dasar pembangunan
kepariwisataan Bali sehingga menjadi unik. Oleh karena itu keunikannya harus tetap
dijaga. Tri Hita Karana dapat memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan
kepariwisataan di Bali dan tidak menyebabkan masyarakat berubah dari akar budaya
yang ada. Selain dasar yang kuat, pembangunan pariwisata juga membutuhkan tiang-
tiang penyangga yang kokoh, sesuai dengan karakteritik produk pariwisata tersebut.
Jika dilihat dari pemikiran Tocqueville bahwa PHDI merupakan civil society,
yakni sebagai kelompok penyeimbang sekaligus pula kelompok yang mengontrol
kekuatan negara.2 Dua gerak check and balance, penopang utamanya dalam
masyarakat yaitu PHDI. Jika dilihat dari pemikiran Antonio Gramsci, PHDI
merupakan kelompok yang dominan di Bali.3 Sehingga upaya memasukkan ajaran
Tri Hita Karana dalam Peraturan Daerah bisa tercapai.
Berikut konsep pariwisata berwawasan Tri Hita Karana dijelaskan pada tiga
hal, yaitu pertama, konsep pariwisata parahyangan, kedua, konsep pariwisata
pawongan, dan ketiga, konsep pariwisata palemahan.
1. Konsep Parahyangan dalam Pariwisata
Parahyangan adalah harmonisasi antara manusia dengan dengan sang
pencipta (Tuhan). Artinya bahwa masyarakat (umat Hindu) harus menjalankan ibadah
1 Hasil wawancara dengan Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27 Oktober
2016 di kantor PHDI Bali. 2 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), h. 248-249. 3 Ozi Setiadi, “Islam dan Pergerakan Civil Society Kebudayaan Transnasional Hizmet Di
Indonesia”, KORDINAT, Vol. XVI No. 1 (April 2017): h. 132.
59
kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan). Namun ibadah tersebut harus direalisasikan
dalam setiap kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali dalam pariwisata. Oleh karena
itu banyak dijumpai tempat-tempat peribadatan di setiap tempat pariwisata di Bali.4
Bentuk pure tersebut biasanya berada di lokasi pantai, pemukiman, dan hutan.
Hal ini didukung pula oleh I Gusti Ngurah Sudiana. Dia mengatakan, “kalau ada
tempat pasti ada purenya untuk manusianya untuk lingkungannya. Selalu ada. Pantai
pasti ada purenya, ada tempat manusianya dan ada pantainya. Hutan juga sama ada
purenya, ada lingkungannya untuk manusianya”.5
Hal tersebut menunjukkan bahwa terciptanya hubungan antara manusia
dengan Tuhan sang pencipta selalu dekat di mana saja. Karena itu pure harus ada
dalam lingkungan masyarakat dan alam di Bali yang dijadikan tempat pariwisata di
Bali.
Selain I Gusti Ngurah Sudiana, Wayan Suwarsa Ketua Adat Kuta juga
mengemukakan bahwa Pantai Kuta juga terkadang dibuat acara ritual keagamaan dan
terdapat pure. Dia mengatakan, “pertama kawasan pantai kuta ini sepanjang 4 ½ kilo
dalam bentangan hari-hari tertentu ada upacara plastian (acara iring-iringan kelaut)
ini aspek parahyangan dan ada pure.”6
Hal tersebut menunjukkan bahwa di setiap tempat pariwisata di Bali terdapat
pure yang menjadi tempat pribadatan umat Hindu. Dari hasil observasi penulis
4 Hasil wawancara dengan Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27 Oktober
2016 di kantor PHDI Bali. 5Wawancara dengan Ketua PHDI Provinsi Bali. I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27
Oktober 2016 di Bali. 6 Wawancara dengan Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa pada tanggal 29 Oktober 2016 di Bali.
60
memang terdapat pure di setiap tempat pariwisata. Hal ini dapat dilihat dalam gambar
di bawah ini:
Gambar IV. I
Pantai Kute
Sumber dari hasil observasi penulis pada tanggal 29 Oktober 2016
2. Konsep Pawongan dalam Pariwisata
Pawongan adalah harmonisasi antara manusia dengan manusia yang lain.
Artinya setiap masyarakat harus memiliki sikap, sifat, dan perbuatan yang baik
dengan masyarakat yang lain. Dalam pengelolaan pariwisata harus menjalankan
aspek Pawongan sehingga tercipta hubungan baik antar sesama pelaku pariwisata
maupun pariwisatawan dengan lingkungan masyarakat setempat. Perwujudan dari
aspek Pawongan antara lain: sikab baik, sopan santun, sikap ramah dan tolong
menolong..7
Setiap masyarakat di Bali harus baik sesama manusia. Seperti halnya
masyarakat Kuta. Antara penduduk Kuta dan para wisatawan, harus menjalin
hubungan yang baik, dengan cara sopan santun, saling menghormati dan harus
memiliki rasa saling menghargai satu sama lain dan tentunya saling tolong menolong.
7 Hasil wawancara dengan Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27 Oktober
2016 di kantor PHDI Bali.
61
Seperti yang dikemukakan oleh Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa para
pedagang kaki lima dan para pengunjung saling ngobrol ada keakraban antara
wisatawan dan dan pedangang kaki lima. Dia menyatakan, “ada orang yang berjualan
dan ada pengunjung di sana ada keakraban, pertemana dan persahabatan. Di situ tidak
hanya beli aja. Tetapi ada saling ngobrol panjang dan cerita-cerita. Ini disebut
Pawongan.”8
Hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Bali hidup sangat rukun
dengan sesame, meski pun wisatawan itu orang yang mereka baru kenal. Penulis juga
melihat banyaknya pedangang kaki lima di pantai kuta tidak hanya focus jualan saja
melainkan mereka saling ngobrol panjang dan cerita-cerita. Mereka sangat harmonis
sekali dalam hubungan bersosial tanpa melihat ras, suka dan agama.
3. Konsep Palemahan dalam Pariwisata
Palemahan adalah harmonisasi antara manusia dengan alam. Artinya
masyarakat harus selalu menjaga lingkungan, harus melestarikan lingkungan dan
tidak boleh lingkungan sampai dirusak. Perwujutan dari aspek Palemahan dalam
pengelolaan pariwisata menjunjung tinggi kearifan-kearifan antara masyarakat
dengan alam setempat. Menjaga tumbuhan, tanaman, hewan dan lingkungan.9
Seperti yang dikemukakan oleh Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa di Pantai
Kuta sangat menjaga kelestarian lingkungan, termasuk tumbuhan, tanaman dan
8 Wawancara dengan Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa pada tanggal 29 Oktober 2016 di Bali.
9 Hasil wawancara dengan Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27 Oktober
2016 di kantor PHDI Bali.
62
hewan, tentunya menjunjung tinggi kebersihan lingkungan. Dia berkata, “kita
bersihkan pantai, kita punya 60 orang pekerja kebersihan, para pedagang juga wajib
menjaga kebersihan dan menjaga pohon dan hewan yang ada lingkungan kuta. Ini
adalah aspek palemahan.”10
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat harus dan wajib menjaga lingkungan
sekitar. Seperti sampah, hewan dan tumbuhan. Dari hasil observasi penulis di
lapangan, memang benar pantai kuta ada pekerja kebersihanya, bukan hanya pekerja
kebersihan yang harus menjaga lingkungan tapi masyarakat dan wisatawan turut
menjaga kebersihan lingkungan, termasuk hewan dan tumbuhan di sekitar pantai
kuta.
Menurut pengamatan peneliti, terwujutnya landasan hukum untuk penataan
pariwisata dari konsep Tri Hita Karana sudah sangat bangus untuk kemajuan
pariwisata di Bali dengan kearifan lokalnya. Dari contoh di atas peneliti melihat
sendiri di tempat-tempat wisata sudah sesuai dan terlaksana konsep Tri Hita Karana
dari prahyangan, Pawongan dan Palemahan.
B. Munculnya Perda No. 2 Tahun 2012
Munculnya Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali,
disebabkan karena: Pertama, Bali merupakan kota wisata yang digemari oleh wisata
lokan dan internasional. Kedua, kebanyakan masyarakat di Bali murupakan
masyarakat yang menganut agama Hindu termasuk dalam unsur kebudayaannya.
10
Wawancara dengan Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa pada tanggal 29 Oktober 2016 di
Bali.
63
Ketiga, Ajaran agama Hindu yaitu nilai-nilai ajaran Tri Hita Karana telah
terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Hal ini dibenarkan oleh
Ketua Adat Kuta Wayan Suwarsa. Dia menyatakan, “sebelum adanya Peraturan
Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali pada
bab 2 pasal 2 nilai-nilai ajaran Tri Hita Karana sudah ada dan kami selaku Desa Adat
atau Desa Pakraman di Bali, ya memang harus menjaga konseptual Tri Hita Karana
itu.
Hal di atas sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Tri Hita Karana sebelum
diterapkan sebagai landasan Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya
sudah diamalkan oleh masyarakat di Bali khususnya yang beragama Hindu.
Keempat, merujuk pada Pasal 236 Ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa suatu Perda dapat berisikan materi
muatan lokal, dalam hal ini juga local wisdom di dalamnya. Kemudian disebutkan
pula dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa
kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi kearifan lokal.
Kelima, pengaturan kepariwisataan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan dikaitkan dengan isi Pasal 18 b Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, salah satunya
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, pada dasarnya juga disebut budaya
masyarakat. Hal ini selaras dengan pernyataan “tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki kebudayaan begitupun sebaliknya”.11
Dengan demikian budaya di Bali di
mana budaya yang dimaksud dalam kepariwisataan budaya Bali adalah kebudayaan
11
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 154.
64
yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan di dalamnya mengandung unsur kearifan
lokal, yaitu Tri Hita Karana adalah potensi utamanya.
Dari penjelasan di atas, Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini DPRD
membuat peraturan daerah agar agama Hindu dan budaya di Bali menjadi nilai-nilai
yang harus masuk ke tempat-tempat pariwisata. Ngurah Adhi Pradana (Anggota
DPRD) mengatakan:
“Pariwisata Bali dengan terbitnya Peraturan Daerah no. 2 Tahun 2012
memiliki komitmen kesepakatan bersama pariwisata di Bali adalah Kepariwisataan
Budaya, itu dulu. Kenapa kita bilang kepariwisataan budaya yang jadi komitmen
bukan pariwisata pada umumnya. Karena kita memandang masyarakat yang ada di
Bali dan daya tarik yang ada di Bali adalah daya tarik budaya bukan hanya sumber
daya alam misalnya kayak panorama dan sebagainya. Jadi untuk wisata dan budaya
yang hidup dan berkembang di Bali. Kenapa demikan yaitu sekaligus untuk
melindungi pariwisata ini agar selalu berpihak kepada masyarakat asli Bali. Itulah
sebenarnya pemikiran ini. Lalu baru muncul setetmennya. Apa yang disebut
kepariwisataan budaya? Kepariwisataan budaya adalah pariwisata yang berdasarkan
Tri Hita Karana dan agama Hindu. Kenapa Tri Hita Karana dan agama Hindu.
Karena di Bali berkembang lah masyarakat yang berdasarkan agama Hindu. Namun
diisi dengan Tri Hita Karana adalah bagian dari umat Hindu yaitu parayangan,
Palemahan dan Pawongan. Jadi hal ini melingkupi kehidupan kita secara pribadi,
kehidupan kita dalam berkeluarga dan kehidupan kita dengan masyarakat. Jadi di
situlah muncul yang namanya toleransi. Menjadikan kepariwisataan budaya ini betul-
betul dimanfaatkan masyarakat yang beragama Hindu. Budaya Bali yang
berdasarkan agama Hindu lah yang dijadikan dasar pariwisata.”12
Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa alasan utama dari Perda No. 2
Tahun 2012 adalah untuk menjaga dan melestarikan budaya Hindu di Bali. Dengan
konsep ini, Bali dapat dijadikan rule model sebagai wilayah pariwisata dengan
menjunjung budaya dan toleransi
12
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
65
Ajaran Hindu di Bali yang dimasukan kedalam peraturan daerah tidak akan
memunculkan diskriminasi terhadap agama lain yang menjadi minoritas di Bali.
Ajaran Hindu mengajarkan hubungan baik antar sesama manusia, jadi toleransi antar
agama secara tidak langsung akan terbentuk dengan sendirinya di Provinsi Bali.
Pemerintah Bali mewajibkan semua pariwisata di Bali bernuansa Hindu,
karena ciri khas Bali adalah Hindu, maka keberadaan budaya Hindu adalah bentuk
eksistensi pariwisata di Bali. Jakarta yang memiliki kebudayaan Betawi tidak
memasukan kebudayaan Betawi kedalam peraturan daerah, sehingga bagi Ngurah
Adhi Ardhana (DPRD Bali) bahwa Jakarta masih ada namun Betawi sudah hilang
dari Jakarta. Berikut wawancara penulis dengan Ngurah Adhi Ardhana. Dia berkata,
“iya harus berbudaya Hindu. Kenapa? Ya itu jualannya. Kalau sampek budaya Hindu
hilang atau konsep Tri Hita Karana luntur, tidak ada lagi kepariwisataan budaya Bali,
dengan sendirinya Bali itu tidak ada. Karena orangnya bukan orang Bali lagi. Sama
lah seperti di Jakarta, betawi sekarang tidak ada, wisata di Jakarta iya ada tapi wisata
betawi tidak ada.”13
Pernyataan Ngurah Adhi Wardhana tersebut di atas menunjukkan bahwa
budaya sangat erat dengan pariwisata. Oleh karena itu pula dilestarikan, agar dapat
menunjukkan ciri khasnya, terutama budaya Hindu di Bali.
Ngurah Adhi Wardhana selaku anggota DPRD mengatakan pula bahwa
peraturan daerah ini berdasarkan kesepakatan bersama untuk membangun pariwisata
13
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
66
di Bali. Elemen masyarakat yang diajak untuk melakukan kesepakatan bersama di
antaranya adalah para akademisi, lembaga adat misalnya desa adat, MUDP (Majelis
Utama Desa Pertama), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia yang sebagai pelopor
terbentuknya Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali.14
Jadi
masuknya ajaran Hindu di Peraturan Daerah Provinsi Bali adalah berdasarkan
konsesus dari kepala adat, para akademisi, dan PHDI sebagai pelopor yang kemudian
diperjuangkan oleh pemerintah daerah untuk dimasukan ke dalam peraturan daerah.
Penting diperjuangkannya Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan
Budaya Bali agar spiritualitas ajaran Tri Hita Karana seperti parahyangan
(ketuhanan) tidak dilupakan. Berkembangnya pariwisata yang semakin pesat, tanpa
melihat aturan kebudayaan yang ada di Bali. Maka dapat meluntukan moralitas
masyarakat, sebagaimana dikatakan Ngurah Adhi Pradana di bawah:
“Ya disini kita bisa lihat Tri Hita Karana yang terjadi di pariwisata Bali saat
ini mungkin berjalan terlalu sangat baik, dari sudut toleransi sudah terlalu sangat
baik. Namun yang dilupakan akibat dari perkembangan pariwisata yaitu
priyangannya (sudut ketenangannya) banyak dilupakan. Toleransi terjadi untuk
pemanfaatan budaya. Tetapi dari sudut ketuhanannya agak meluntur. Moralitas
terjadi konsekuensi dari perkembangan industri baik industri produksi biasa maupun
industri pariwisata. Paling tidak dari konsep Tri Hita Karana sangat mengurangi
konsekuensi itu. Seandainya kita bangun pabrik di suatu tempat dengan kecepatan
pembangunan pariwisata di Bali. Kita bandingkan di situ pabrik dengan kecepatan
yang sama, apa yang terjadi di sana dan apa yang terjadi di sini. Pasti jauh
perbedaannya, karena kalau kita di sini masih bisa menahan dikit demi sedikit. Tetapi
walaupun memang tetep juga terkikis mau tidak mau kita bikin peraturan bagaimana
bisa mengontrol mengurangi paling tidak laju pengikisan. Ya kalau mau dilihat dari
data statistik misalnya.”15
14
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali. 15
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
67
Dari hasil wawancara di atas bahwa banyaknya perkembangan industri baik
industri produksi biasa maupun industri pariwisata justru membuat menurunnya
spritualitas masyarakat dari konsep Tri Hita Karana. Oleh karena itu pentingnya
dibuat peraturan daerah yang membuat Tri Hita Karana tetap terjaga dan diamalkan
oleh masyarakat di Bali.
Peraturan Daerah itu juga untuk menjaga pelanggaran yang dilakukan oleh
pihak pengusaha pariwisata di Bali. Masih banyak hotel dan pengelola tempat
pariwisata yang melakukan pelanggaran terhadap konsep Tri Hita Karana. Para
pendatang yang bekerja di Bali dan para pengusaha pariwisata yang menanam modal
di Bali diharapkan pemerintah daerah bukan hanya sekedar mencari keuntungan, tapi
juga harus menghormati dan menjaga budaya dari masyarakat Hindu Bali. Hal ini
dikatakan Ngurah Adhi Ardhana sebagai berikut:
“Banyak pelanggaran yang terjadi. Ini lah Bali di dalam persimpangan. Yang
bikin rusaknya Bali godaan industri yang menghasilkan keuntungan dengan
kepariwisataan budaya yang kita jadikan komitmen. Banyak sekali sebenarnya yang
terjadi kalau boleh kita jujur banyak sekali baik dari bentuk bangunan, baik dari
tingkah laku karyawannya dan pelakunya. Kalau kita ngomong pariwisata kan tidak
hanya hotel dan restoran, guide misalnya. Guide tidak hanya dijalanin oleh orang
pribumi aja, orang surabaya bisa, orang batak bisa tanpa dibatasi konsep-konsep
kepariwisataan budaya. Sehingga dia tidak tau budaya hanya sekedar mencari uang
apa saja yang membuat para wisatawan senang. Padahal seharusnya juga diikuti
dengan misalnya dia harus berpakaian ini ke pure. Sama di Thailan juga begitu.
Padahal hal yang seperti itu yang dicari. Sebaliknya guide melakukan yang sama
seperti di negaranya. Implikasinya adalah lama-lama jadi negaranya, negara orang
luar. Penting lah ini dilakukan.”16
16
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
68
Dari hasil wawancara di atas, Munculnya perda ini saya melihat dari urgensi
kebijakan ini. Jika dilihat dari pemikiran Anderson dan Dye.17
Mengapa kebijakan ini
penting dibuat? Karena alasan profesional, banyak pelanggaran yang terjadi dan
rusaknya pariwisata di Bali adalah godaan industri yang menghasilkan keuntungan
dengan kepariwisataan budaya yang tidak sesuai dengan aturan budaya di Bali.
Seperti halnya dari bentuk bangunan yang tidak sesuai, perilaku karyawan dan
wisatawan. Oleh karena itu hotel dan restoran, termasuk guide juga harus menjaga
dan menerapkan nilai-nilai ajaran Tri Hita Karana.
Ada beberapa hal yang harus dicermati untuk masa depan kepariwisataan
budaya Bali dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 201218
Pertama, pembangunan
pariwisata harus memberikan manfaat bagi masyarakat Bali, bukan Bali
dimanfaatkan untuk kemajuan kepariwisataan yang kemanfaatannya tidak dinikmati
oleh masyarakat Bali. Pembangunan yang berbasis masyarakat adalah pembangunan
untuk membangun kemampuan masyarakat dalam menentukan masa depannya
sendiri.
Kedua, setiap pembangunan wisata harus mencerminkan kepariwisataan
budaya, artinya pariwisata pembangunannya harus menggunakan ciri khas
kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Itu berarti pembangunan
kepariwisataan Bali tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan yang
dijiwai dengan ajaran agama Hindu.
17
Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, (Yogyakarta: UNY Press, 2010), h. 16-19. 18
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
69
Ketiga, Tri Hita Karana adalah falsafah yang harus ada dan dijalankan di
setiap pembangunan. Kegiatan kepariwisataan Bali tidak boleh melanggar nilai dasar
yang dikandung falsafah Tri Hita Karana.
C. Partisipasi PHDI Dalam Perumusan Kebijakan Perda No. 2 Tahun 2012
Samuel P. Huntington yang mendefinisikan partisipasi politik sebagai
kegiatan warga Negara yang bertindak untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah.19
Seperti halnya Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai warga
Negara yang tergabung dalam ormas terbesar di Bali juga ingin mempengaruhi
kebijakan pemerintah Provinsi Bali.
Salah satu keinginan Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah membuat
sebuah aturan dalam melaksanakan Tri Hita Karana di Bali. Ternyata Parisada
Hindu Dharma Indonesia telah berhasil menyalurkan aspirasinya sehingga disetujui
Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang berisi tentang
pelaksanaan Tri Hita Karana dalam Kepariwisataan Bali. Berikut isi Perda No. 2
tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, Khusus tentang pelaksanaan Tri
Hita Karana dalam Bab 1 dan Bab 2, yakni:
Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1520
Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga
unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang
menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan
manusia.
19
Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politk, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013), h.368. 20
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali
Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 15.
70
Bab 2 Asas dan Tujuan pasal 221
Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali dilaksanakan berdasarkan
pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian,
partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang
dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana.
Dalam perumusan Tri Hita Karana di dalam Perda, Parisada Hindu Dharma
Indonesia melakukan berbagai upaya, sehingga berhasil mewujudkan keinginannya.
Adapun bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan Parisada Hindu Dharma Indonesia
yaitu audiensi, diskusi,lokakarya, seminar, dan pembentukan opini.
1. Audensi
Dalam perumusan Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya
Bali, Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai salah satu civil society di Indonesia,
khususnya di Bali, memiliki kepentingan, untuk menggolkan Tri Hita Karana
menjadi sebuah Perda Oleh karena itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia berupaya
untuk memberikan kontribusi dalam bentuk partisipasi untuk perumusan Perda
tersebut, agar kebijakan-kebijakan Pariwisata di Bali teratur, tertata dan tertib sesuai
dengan nilai-nilai Tri Hita Karana yang dianut para pemeluk agama Hindu di Bali.
Audiensi salah satu bentuk partisipasi yang dilakukan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia dengan para ketua adat di seluruh Bali. Hal ini, sebagaimana
diungkapkan oleh I Gusti Ngurah Sudiana. Dia berkata, “kalau masalah Tri Hita
Karana yang mau dijadikan Perda, kita dorong supaya itu sampai jadi. Caranya kita
adakan ketemuan dengan ketua-ketua adat yang ada di Bali sini, supaya mereka ikut
21
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali
Bab 2 Asas dan Tujuan pasal 2.
71
dukung. Kan Tri Hita Karana itu juga ajaran kita agama Hindu yang sudah lama kita
pakai sehari-hari”22
Selain I Gusti Ngurah Sudiana, I Ketut Pasek Swastika Wakil Ketua Parisada
Hindu Dharma Indonesia juga mengemukakan bahwa Parisada Hindu Dharma
Indonesia melakukan audiensi dengan para ketua adat di Bali. Dia menuturkan, “iya
benar kami melakukan audiensi dengan ketua-ketua adat seluruh Bali, guna
mendapatkan dukungan dalam pengajuan kami tentang Tri Hita Karana dalam Perda,
supaya hotel-hotel di Bali juga patuh pada aturan itu. Soalnya itu kan adat kami”23
.
Dari hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa Parisada Hindu Dharma
Indonesia telah berpartisipasi dalam persiapan awal perumusan Peraturan Daerah No.
2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali dalam bentuk audiensi. Audensi
yang dilakukan berikut dengan internal dan juga eksternal. Secara internal audensi
dilakukan dengan masyarakt, pengurus dan juga ketua-ketua adat sedangkan yang
eksternal dengan legislatif dan eksekutif yaitu pemerinta Provinsi Bali. Hal ini
sebagaimana diungkap oleh anggota DPRD Bali Ngurah Adhi Wardhana.24
Dia
berkata, “berdasarkan kesepakatan bersama untuk membangun pariwisata di Bali.
Elemen masyarakat yang diajak untuk melakukan kesepakatan bersama di antaranya
adalah para akademisi, lembaga adat misalnya desa adat, MUDP (Majelis Utama
22
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Sudiana, Kaetua Parisada Hindu Dharma
Indonesia Bali pada tanggal 27 Oktober 2016 di Bali. 23
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali I Ketut Pasek Swastika pada
tanggal 27 Oktober 2016 di Bali. 24
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (Anggota DPRD) pada tanggal 29 Oktober 2016
di kantor DPRD Provinsi Bali.
72
Desa Pertama), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia yang sebagai pelopor
terbentuknya Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali”.
2. Diskusi, Lokakarya dan Seminar
Diskusi, lokakarya dan seminar merupakan bentuk partisipasi lain yang
dilakukan Parisada Hindu Dharma Indonesia. Diskusi, lokakarya dan seminar ini
dilakukan dalam rangka memperoleh kejelasan tentang pembahasan peraturan daerah
oleh legislatif. Seperti yang dikemukakan oleh I Gusti Ngurah Sudiana:
“Mengenai diskusi, lokakarya dan seminar dilakukan ketika sebelum dan
sesudah proses pembentukan peraturan daerah, jadi kami menghadirkan narasumber
yang dari kalangan para ahli, akademisi, pakar maupun pengamat saja, kami juga
mendatangkan politisi ataupun pemerintah daerah yang berkaitan langsung dalam
pembahasan/penyusunan suatu peraturan daerah. Jadi dengan begitu, diskusi,
lokakarya dan seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh terhadap persoalan
yang tengah dibahas. Acara-acara tersebut kami laksanakan di aula PHDI, dan
kadang kami diminta sebagai narasumber dalam acara yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau mahasiswa, tentunya yang berkaitan tentang agama”.25
Selain I Gusti Ngurah Sudiana, I Ketut Pasek Swastika Wakil Ketua PHDI
juga mengemukakan bahwa PHDI melakukan Diskusi, Lokakarya dan Seminar
dengan ketua-ketua adat, masyarakat, perguruan tinggi maupun pihak legislatif di
Bali . Hal ini berkata, “iya jadi kami dalam proses pembentukan daerah tidak
sembarangan membuat aturan, kami melihat dari berbagai sisi keagamaan juga dari
25
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Sudiana, Kaetua PHDI Bali pada tanggal 27
Oktober 2016 di Bali.
73
sisi politik. Oleh karena itu kami menghadirkan para ahlinya dalam penyusunan
peraturan daerah”.26
Hal di atas menunjukkan bahwa PHDI telah berpartisipasi dalam persiapan
awal perumusan Perda dengan mengundang ketua-ketua adat, masyarakat, perguruan
tinggi maupun pihak legislatif untuk diajak Berdiskusi, Lokakarya, dan Seminar
untuk membicarakan perlunya Tri Hita Karana diimplementasikan dalam
kepariwisataan di Bali.
3. Pembentukan Opini Melalui Media Cetak dan Media Elektronik
Upaya Partisipasi Parisada Hindu Dharma Indonesia tidak hanya melalui
audensi, diskusi, lokakarya dan seminar, tetapi juga melalui media cetak dan media
elektronik. Hal ini dilakukan untuk membentuk opini masyarakat tentang Tri Hita
Karana yang dibahas oleh legislatif. Opini ini berupa wawancara, pernyataan-
pernyataan, artikel, maupun berupa tajuk-tajuk berita dari surat kabar, majalah, dan
jumpa pers. Dalam hal ini I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, “partisipasi melalui
media cetak dan elektronik ini dilakukan, karena caranya yang relatif praktis bila
dibandingkan dengan bentuk partisipasi lainnya. Karena melalui media cetak dan
elektronik dapat membuka pikiran masyarakat lebih luas dalam memahami Tri Hita
Karana.”27
26
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali I Ketut Pasek Swastika pada
tanggal 27 Oktober 2016 di Bali. 27
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Sudiana, Kaetua PHDI Bali pada tanggal 27
Oktober 2016 di Bali.
74
Selain I Gusti Ngurah Sudiana, I Ketut Pasek Swastika Wakil Ketua PHDI
juga mengemukakan bahwa PHDI melakukan partisipasi melalui media cetak dan
media elektronik di Bali . Dia berkata, “jadi dengan adanya media cetak seperti
koran, majalah, artikel dan lain sebagainya itu dan media elektronik, menambah
wawasan masyarakat tentang apa saja yang sedang dibahas. Sehingga seandainya
masyarakat ingin membuat sesuatu mereka menjadikan Tri Hita Karana sebagai
acuan”.28
Hal di atas menunjukkan bahwa PHDI telah berupaya berpartisipasi dalam
persiapan awal perumusan Perda dalam pembentukan opini melalui media cetak dan
media eloktronik. Pembentukan opini melalui media dilakukan mulai awal
pembuatan Perda sampai dengan implementasi agar seluruh masyarakat tahu dengan
adanya Perda ini.
Dari bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan Parisada Hindu Dharma
Indonesia yang telah dijelaskan di atas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Samuel P. Huntington, yaitu kegiatan warga Negara yang bertindak untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.29
Selain itu, partisipasi yang
dilakukan Parisada Hindu Dharma Indonesia juga sesuai dengan ketentuan dalam UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan Bab XI tentang
Partisipasi Masyarakat Pasal 96, yakni:
28
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali I Ketut Pasek Swastika pada
tanggal 27 Oktober 2016 di Bali. 29
Miriam Budihardjo, Dasar-dasar, h.368.
75
1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Masukan secara lisan dan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. Rapat dengar pendapat umum
b. Kunjungan kerja
c. Sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan atau diskusi.
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
4. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan
atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Parisada Hindu Dharma Indonesia sama dengan yang dikemukakan oleh
Antonio Gramsci bahwa civil society adalah bagian ideologis dari kelompok
dominan.30
Dari pandangan Gramsci sangat sesuai dengan keberadaan Parisada
Hindu Dharma Indonesia itu sendiri yaitu sebuah organisasi bersifat keagamaan
(beridiologis) yang paling dominan di Provinsi Bali yang merupakan mayoritas
penduduknya menganut agama Hindu. Jika dilihat dari teori partisipasi saya memakai
pemikiran dari dan jika dilihat dari pemikiran subakti, Parisada Hindu Dharma
30
TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani,h. 243.
76
Indonesia masuk golongang partisipasi aktif yaitu partisipasi yang berorientasi pada
proses input dan output.
Jika dilihat dari pemikiran Paige yang merujuk pada tinggi rendahnya
kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah.31
Parisada Hindu Dharma Indonesia
sebagai organisasi selalu aktif memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah tinggi. Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai organisasi panutan bagi
masyarakat Hindu di Bali dan juga sebagai organisasi yang diperhatikan oleh
pemerintah Bali.
Oleh karena itu dalam penyusunan Perda di Bali Parisada Hindu Dharma
Indonesia selalu diminta merumuskan lokal jenius (kearifan-kearifan lokal) baik yang
bersumber dari agama maupun dari adat untuk dipakai acuan dalam menyusun
peraturan daerah yaitu meliputi:
1. Memberikan usulan kebijakan kepada pemerintah atau legislatif untuk
melestarikan ajaran Hindu berupa Tri Hita Karana dalam setiap kebijakan.
2. Ikut serta dalam pembahasan kebijakan peraturan perundang-undangan.
3. Menjadi pengawas terhadap implementasi kebijakan pemerintah.32
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Parisada Hindu Dharma
Indonesia sebagai civil society punya andil dalam penyusunan kebijakan ditingkat
penyusunan agenda, formulasi kebijakan dan implementasi sebagaimana yang
31
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), h.185. 32
Wawancara dengan Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana pada tanggal 27
Oktober 2016 di Bali.
77
dikemukakan oleh Michael Howlet dan M. Ramesh.33
Dari proses berpartisipasi di
atas dalam pembuatan kebijakan secara teoritik sudah dilaksanakan oleh Parisada
Hindu Dharma Indonesia.
33
Subarsono, Analisis Kebijakan, h. 13-14.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kearifan lokal sebagai identitas suatu daerah sekiranya penting untuk
digali, dikaji dan ditempatkan pada posisi strategis untuk dikembangkan. Generasi
mendatang harus tetap bisa mengaktualisasi nilai kearifan lokal, agar
berlangsungnya suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berlandaskan
karakteristik atau ciri khas suatu daerah.
Kebudayaan Bali sangat menentukan dan mempunyai pengaruh penting
dalam kesuksesan kepariwisataanya. Kebiasaan atau rutinitas budaya masyarakat
Bali dalam keluarga, masyarakat, pemerintah dapat langsung dirasakan juga oleh
seluruh wisatawan. budaya yang diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan
merupakan tanggung jawab bersama.
Oleh karena itu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai ormas
terbesar di Bali ikut berpartisipasi dalam menentukan Kebijakan peraturan daerah
provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali bab 1 pasal
1dan bab 2 pasal 2.
Langkah-langkah yang dilakukan PHDI tentunya sangat mudah dilihat dari
satu sisi penduduk Bali kebanyakan beragama Hindu dan ajaran Tri Hita Karana
sangat melekat. Sehinggan partisipasi PHDI tidak sulit dan sangat mudah dalam
mengupayakan aspirasinya untuk dijadikan peraturan daerah. Seperti halnya
79
audensi, diskusi, lokakarya, seminar, pembentukan opini melalui media cetak dan
media elektronik.
Parisada Hindu Dharma Indonesia yang sebagai civil society, juga punya
andil dalam penyusunan kebijakan ditingkat penyusunan agenda, formulasi
kebijakan dan implementasi.
B. Saran
1. Saran bagi yang ingin melakuan penelitian lebih mendalam terkait
partisipasi suatu organisasi keagaman dalam perumusan kebijakan Perda
pada suatu daerah, supaya membandingkan suatu daerah dengan daerah
yang lain seperti Aceh dengan perda islam atau Papua dengan Perda
kritennya (Protestan) dan apakah hanya daerah itu aja yang bisa membuat
Perdanya sesuai mayoritas penduduk yang menganut agama tertentu.
2. Saran untuk Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Prov. Bali agar dapat
menjaga dan mempertahankan kearifan local yang sudah ada dan
meningkatkan citra Kepariwisataan Budaya di Bali.
3. Untuk pemerintah Prov. Bali supaya meningkatkan sarana prasarana serta
akomodasi dan tranfortasi umum yang lebih baik.
4. Menyediakan atraksi atau kegiatan budaya yang menarik minimal 1 bulan
sekali diadakan di tempat wisata yang ramai pengujung dengan gratis.
80
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010. Cet. 14.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Websate https://bali.bps.go.id dilihat
pada tanggal 20 agustus 2017.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Depatemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2007.
Hasil pengamatan penulis tanggal 29 Oktober 2016 di Bali.
Jaman, I Gede. Tri Hita Karana Dalam Konsep Hindu. Denpasar: Pustaka
Bali Pos, 2007.
Kompilasi dokumen literer 45 tahun parisada. Jakarta: parisada hindu
dharma indonesia, 2005.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Kepariwisataan Budaya Bali.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Kepariwisataan Budaya Bali Bab 2 Asas dan Tujuan pasal 2.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali, 1987.
Subarsono. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 2010.
TIM ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Ubaidillah dan Rozak, Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan Bab
XI Partisipasi Masyarakat Pasal 96.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan studi kasus.
Yogyakarta: CAPS, 2011.
81
Jurnal
Astomo, Putera. “Pembentukan Undang-Undang dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Nasional Di Era Demokrasi”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 11. No. 3 (September, 2014), 577-599.
Hadiwinata, Bob Sugeng. “Pembangun Sekaligus Perusak Demokrasi”,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 1 No. 9 (Juli 2005), 1-22.
J, Hasse. “Kebijakan Negara Terhadap Agama Lokal “Towani Tolotang”
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Jurnal Studi Pemerintahan,
Vol. I No. 1 (Agustus 2010): h. 145-164.
Setiadi, Ozi. “Islam dan Pergerakan Civil Society Kebudayaan
Transnasional Hizmet Di Indonesia”, KORDINAT, Vol. XVI No. 1
(April 2017), 127-158.
Wawancara
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Sudiana Ketua PHDI Bali pada
tanggal 27 Oktober 2016
Hasil wawancara dengan I Ketut Pasek Swastika Wakil Ketua PHDI Bali
pada tanggal 27 Oktober 2016
Hasil wawancara dengan Ketua Adat kute Wayan Suwarsepada tanggal 27
Oktober 2016
Wawancara dengan Ngurah Adhi Ardhana (AnggotaDPRD) pada tanggal
29 Oktober 2016 di kantor DPRD Provinsi Bali.
Sumber Dari Internet
Http://phdi.or.id/page/anggaran (AD/ART Parisada Hindu Darma
Indonesia) di lihat pada tanggal 14 April 2018.
http://www.baliprov.go.id/v1/geographi dilihat pada tanggal 20 Agustus
2017.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 dilihat pada tanggal
16 April 2018.
Situs Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI): http://www.parisada.org
vi
Lampiran I
Wawancara A.A. Ngurah Ardhana DPRD Bali
S : Kalau pandangan bapak tentang apa yang melatar belakangi peraturan daerah
No. 2 tahun 2012
DPRD : Pariwisata Bali dengan terbitnya peraturan daerah No. 2 tahun 2012
memiliki komitmen kesepakatan bersama pariwisata di Bali adalah
pariwisata budaya, itu dulu. Kenapa kita bilang pariwisata budaya yang jadi
komitmen bukan pariwisata pada umumnya. Karena kita memandang
masyarakat yang ada di Bali dan daya tarik yang ada di Bali adalah daya
tarik budaya bukan hanya sumber daya alam misalnya kayak panorama dan
sebagainya. jadi untuk wisata dan budaya yang hidup dan berkembang di
Bali. Kenapa demikan yaitu sekaligus untuk melindungi pariwisata ini agar
selalu berpihak kepada masyarakat asli Bali. Itulah sebenarnya pemikiran
ini. Lalu baru muncul setetmennya. Apa yang disebut pariwisata budaya?
Pariwisata budaya adalah pariwisata yang berdasarkan Tri Hita Karana dan
agama Hindu. Kenapa Tri Hita Karana dan agama Hindu. Karena di Bali
berkembang lah masyarakat yang berdasarkan agama Hindu. Namun diisi
dengan Tri Hita Karana adalah bagian dari umat Hindu yaitu parayangan,
palemahan dan pawongan. Jadi hal ini melingkupi kehidupan kita secara
pribadi, kehidupan kita dalam berkeluarga dan kehidupan kita dengan
masyarakat. Jadi di situlah muncul yang muncul namanya toleransi.
Menjadikan pariwisata budaya ini betul-betul dimanfaatkan masyarakat yang
beragama Hindu. Budaya Bali yang berdasarkan agama Hindu lah yang
dijadikan dasar pariwisata.
S : Apakah itu harus berbudaya Hindu?
DPRD : Iya harus berbudaya Hindu. Kenapa? ya itu jualannya. Kalau sampek budaya
Hindu hilang atau luntur konsep Tri Hita Karana luntur. Tidak ada lagi
pariwisata budaya Bali, tidak ada pariwisata budaya Bali dengan sendirinya
Bali itu tidak ada. Karena orangnya bukan orang Bali lagi. Sama lah seperti
jakarta betawi sekarang tidak ada, wisata jakarta iya ada tapi wisata betawi
tidak ada.
S : Apa pentingnya peraturan daerah ini diterapkan?
DPRD : Peraturan daerah ini dibuat sebagai suatu kesepakatan sehingga bisa
mengarahkan perkembangan pariwisata yang ada di Bali. Pertama,
pembangunan pariwisata harus memberikan manfaat bagi masyarakat Bali,
bukan Bali dimanfaatkan untuk kemajuan kepariwisataan yang
kemanfaatannya tidak dinikmati oleh masyarakat Bali. Pembangunan yang
berbasis masyarakat adalah pembangunan untuk membangun kemampuan
masyarakat dalam menentukan masa depannya sendiri. Kedua, setiap
pembangunan wisata harus mencerminkan kepariwisataan budaya, artinya
pariwisata pembangunannya harus menggunakan ciri khas kebudayaan Bali
vii
yang dijiwai oleh agama Hindu. Itu berarti pembangunan kepariwisataan
Bali tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan yang dijiwai
dengan ajaran agama Hindu. Ketiga, Tri Hita Karana adalah falsafah yang
harus ada dan dijalankan di setiap pembangunan. Kegiatan kepariwisataan
Bali tidak boleh melanggar nilai dasar yang dikandung falsafah Tri Hita
Karana.
S : Lembaga atau elemen-elemen manasaja yang diajak untuk diskusi atau rapat
untuk terbentuknya peratudan daerah ini?
DPRD : Pertama yaitu standatnya akademisi, lembaga adat misalnya desa adat,
MUDP (majelis utama desa pertama), PHDI
S : Bagaimana implementasi dari perda no 2 tahun 2012?
DPRD : Ya di sini kita bisa lihat Tri Hita Karana yang terjadi di pariwisata Bali saat
ini mungkin berjalan terlalu sangat baik, dari sudut toleransi sudah terlalu
sangat baik. Namun yang dilupakan akibat dari perkembangan pariwisata
yaitu priyangannya (sudut ketenangannya) banyak dilupakan. Toleransi
terjadi untuk pemanfaatan budaya. Tetapi dari sudut ketuhanannya agak
meluntur. Moralitas terjadi konsekwensi dari perkembangan industri baik
industri produksi biasa maupun industri pariwisata. Paling tidak dari konsep
Tri Hita Karana sangat mengurangi konsekuensi itu. Seandainya kita
bangun pabrik di suatu tempat dengan kecepatan pembangunan pariwisata di
Bali. Kita bandingkan di situ pabrik dengan kecepatan yang sama, apa yang
terjadi di sana dan apa yang terjadi di sini. Pasti jauh perbedaannya. Karena
kalau kita di sini masih bisa menahan dikit demi sedikit. Tetapi walaupun
memang tetep juga terkikis mau tidak mau tidak mau kita bikin peraturan
bagaimana bisa mengontrol mengurangi paling tidak laju pengikisan. Ya
kalau mau dilihat dari data statistik misalnya
S : Apakah ada yang melanggar?
DPRD : Banyak pelanggaran yang terjadi. Ini lah Bali di dalam persimpangan. Yang
bikin rusaknya Bali godaan industri yang menghasilkan keuntungan dengan
pariwisata budaya yang kita jadikan komitmen. Banyak sekali sebenarnya
yang terjadi kalau boleh kita jujur banyak sekali baik dari bentuk bangunan,
baik dari tingkah laku karyawannya dan pelakunya. Kalau kita ngomong
pariwisata kan tidak hanya hotel dan restoran, gaet misalnya. Gaet tidak
hanya dijalanin oleh orang pribumi aja, orang surabaya bisa, orang batak
bisa tanpa dibatasi konsep-konsep pariwisata budaya. Sehingga dia tidak tau
budaya hanya sekedar mencari uang apa saja yang membuat para wisatawan
senang. Padahal seharusnya juga diikuti dengan misalnya dia harus
berpakaian ini ke pure. Sama di Thailan juga begitu. Padahal hal yang
seperti itu yang dicari. SeBaliknya gaet melakukan yang sama seperti di
negaranya. Implikasinya adalah lama-lama jadi negaranya, negara orang
luar. Penting lah ini dilakukan.
S : Apa tujuannya?
viii
DPRD : Tujuannya untuk mengontrol dan mengurangi terjadinya pelanggaran-
pelanggaran itu.
S : Tindakan apa jika kalau ada tempat pariwisata yang melanggar?
DPRD : Kalau sekarang dinas perizinan yang melakukan sidak yang berusaha
mengoreksi kesalahan-kesalah dari pelaku pelanggar dengan pelaksana
satpol PP. Jika benar bersalah maka dicabut izinnya.
ix
Lampiran II
Wawancara Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana Ketua PHDI Bali
S : Apakah PHDI selalu dilibatkan dalam merumuskan kebijakan publik di
Bali?
Prof : PHDI selalu dilibatkan di dalam merumuskan kebijakan public, apalagi
kebijakan public itu yang berkaitan dengan agama Hindu, budaya dan adat
Bali. Budaya dan adat Bali inikan dijiwai agama Hindu. Setiap kebijakan
public, apalagi menjadi peraturan daerah selalu PHDI terlibat di dalamnya.
Jangan sampai perda ini tidak menjangkau atau salah dalam menafsirkan
tentang masyarakat Hindu di Bali.
S : Apa yang melatar belakangi berdirinya PHDI?
Prof : Itu kebutuhan dari umat untuk menjembatani umat Hindu agar bisa
berkomunikasi dengan pemerintah dan juga berkomunikasi antra umat
Hindu dan umat Hindu lainnya dibidang keagamaan.
S : Bagaimana proses berjalannya PHDI mulai awal sampai sekarang sehingga
dapat ikut serta berpartisipasi dalam menentukan kebijakan?
Prof : Kalau dari awal PHDI pembentukannya melibatkan pemerintah provinsi
Bali.terutama kantor agama. Karena selalu dilibatkan oleh pemerintah dan
kantor agama maka sudah jadi kebiasan PHDI itu setiap ada kegiatan yang
ada di pemerintahan, PHDI diundang dan dimintai pendapatnya
S : Kalau partisipasi dalam peraturan daerah No. 2 tahun 2012 tentang
pariwisata budaya Bali bab 1 pasal 1 ayat 13. Tri Hita Karana?
Prof : PHDI selalu dimintak merumuskan local jinius (kearifan-kearifan local) baik
yang bersumber dari agama maupun dari adat untuk dipakai acuan dalam
menyusun peraturan daerah. Tidak saja peraturan nomer 2 tahun 2012 tapi
perda nomer 16 tahun 2009 juga PHDI ikut serta dalam berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan di Bali. Termasuk Tri Hita Karana, satkerti dan lain
sebagainya.
S : Bentuk partisipasi apa saja yang dilakukan PHDI dalam perumusan
kebijakan?
Prof : Ya audiensi, diskusi, seminar dan tentunya dari semua itu untuk memberikan
masukan dan memberitahukan kepada masyarakat, pemerintahan bahwa
pentingnya permasalahan ini dan ketua adat yang berada di Bali.
S : Melalui apa itu prof?
Prof : Bisa ketemu langsung, pidato acara keagamaan maupun media.
S : PHDI ikut juga dalam penyusunan agenda formulasi kebijakan, menjadi
x
kebijakan, implementasi, sampai evaluasi?
Prof : Semuanya, mulai dari pembahasan, rancangan sampai keputusan terakhir
selalu dilibatkan.
S : Arti Tri Hita Karana sendiri apa pak?
Prof : Tiga penyebab keharmonisan. Tri artinya tiga Hita penyebab Karana
keharmonisan. Jadi tiga penyebab hubungan keharmonisan. Keharmonisan
antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan tuhan, antara
manusia dengan lingkungan. Itu kalau Tri Hita Karana.
S : Hubungan antara Tri Hita Karana dengan pariwisata itu apa pak?
Prof :`Sangat jelas hubungannya. Karena masyarakat Bali berhungan antara
manusia dengan tuhan sangat baik, melalui pure-pure dan upacaranya maka
pariwisata itu sangat maju. Itu yang dicari oleh orang luar negri. Karena
manusia Bali berhubungan antara manusia dengan manusia baik maka ada
bangunan-bangunan adat. Ada upacara-upacara untuk manusia yang dicari
juga oleh pariwisatawan. Ada tarian-tarian dan sebagainya itu dicari oleh
pariwisatawan. Masyarakat Bali juga memelihara lingkungan. Hubungan
manusia dengan lingkungan. Hutan dilestarikan dan sebagainya sehingga air
bagus. Memelihara lingkungan dengan baik sehingga wisatawan suka kesini.
Jadi lingkungan Bali yang dimaksud setiap lingkungan disakralkan sehingga
wisatawan betul-betul merasa ramah.
S :`Berarti di tempat pariwisata contoh kayak p-antai-pantai yang didatengin
sama masyarakat berarti harus ada dari tiga komponen itu jadi ada pure dan
sebagainya.
Prof : Selalu begitu. Kalau ada tempat pasti ada purenya untuk manusianya untuk
lingkungannya. Selalu ada. Pantai pasti ada purenya, ada tempat manusianya
dan ada pantainya. Hutan juga sama ada purenya, ada lingkungannya untuk
manusianya
S : Apakah mulai 2012 didirikan kebijakan ini sampai sekarang PHDI
memantau terus
Prof : Ada. Berkali-kali kita adakan di Bali trisen word pada tanggal 17 September
2016. Kita adakan evaluasi di Bali trisen word. Kemana arah pariwisata
budaya Bali. Kenapa pariwisata Bali ini sudah mulai bergeser tidak
pariwisata budaya tapi banyak pariwisata yang lain. Jadi mau dikemanakan
pariwisata ini. Wah banyak kita didiskusikan. Kenapa ada pariwisata di sini
maju tapi ada desa yang miskin di Bali. Kita bicarakan itu. Jadi pembagian
kuwe pariwisata tidak merata. Kenapa, yaitu banyak ceritanya.
S : Mungkin bisa diceritakan pak
xi
Prof : Banyak ceritanya, karena menejemen, karena sirkulasi pariwisata itu hanya
berkonsentrasi di Badung, Denpasar, Ubud itu aja.
S : Pembagian dari provinsi tidak merata
Prof : Pembagian kuwe pariwisatanya tidak sama.
S : Adakah tempat yang membangkang, tempat pariwisata yang tidak ada
menkup dari Tri Hita Karana
Prof : Tidak ada. Semuanya ada
S : Kalau seumpamanya tidak ada. Apa tindakan dari PHDI?
Prof : Ada pengarahan, seperti di hotel-hotel ada Tri Hita Karana Word ada
semacam pembinaan. Di sini tidak digusur. Ada pembinaan
S : Kalau ada pembangunan seperti hotel dan lainnya apakah harus izin ke
PHDI terlebih dahulu atau
Prof : Ada rekomendasi izinnya di pemerintahan, di kota atau provinsi
S : Berarti PHDI ini ada sinergi dengan DPRD gitu pak?
Prof : Bukan senergi dengan DPRD. PHDI wajib berkomunikasi dengan seluruh
instansi. Kalau berkaitan dengan keagamaan seluruh instansi non PHDI
berkomunikasi dengan PHDI
xii
Lampiran III
Wawancara Drs. I Ketut Pasek Swastika Wakil Ketua PHDI Bali
S : Bagaimana sejarah Hindu diakui oleh pemerintahan Indonesia?
Pasek : Begitu Indonesia merdeka, inventerisasi keyakinan beragama. Waktu itu
Indonesia ada beberapa keyakinan dan kepercayaan di Bali khususnya
sebelum menjadi Hindu namanya Agama Tirta, Agama Budi, dan Agama
Cana. Kalau itu disebutkan belum diakui oleh pemerintahan soekarno.
Pada tanggal 26 Juni 1958 delapan organisasi keagamaan di Bali
mengadakan pertemuan membahas usulan kepada pemerintah. Seperti Satya
Hindu Dharma I Gusti Ananda Kusuma, Yayasan Dwijendra Ida Bagus
Wayan Gede, Partai Nasional Agama Hindu Ida I Dewa Agung Geg, Majelis
Hinduisme Ida Bagus Tugur, Paruman Para Pandita Pedanda Made
Kemenuh, Panti Agama Hindu Bali I Ketut Kandia, Angkatan Muda Hindu
Bali Ida Bagus Gede Doster, dan Eka Adnyana Ida Bagus Gede Manuaba.
Dari hasil pertemuan tersebut berisikan: Tetap menuntut kepada
Pemerintah Republik Indonesia untuk mendudukkan agama Hindu Bali
sejajar dengan agama-agama lainnya dalam struktur Kementrian Agama
Republik Indonesia, Menuntut agar diadakan perubahan dalam peraturan
kementrian Agama Republik Indonesia N0. 9 th. 1952, yaitu agar Agama
Hindu Bali dimasukkan dalam pasal III sebagai bagian, dan Mendesak
kepada pemerintah Daerah Bali agar tetap mempertahankan Dinas Agama
Otonom Daerah Bali yang dibentuk dengan surat Keputusan DPR Daerah
Bali tanggal 24 Maret 1953, N0.2/S.K./DPRD.
Dari hasil pertemuan tersebut disampaikanlah kepada Presiden RI,
perdana mentri, Mentri Agama, Mentri Dalam Negeri, Ketua Parlemen,
Ketua Dewan Nasional, Penguasa Perang Pusat, Penguasa Perang Daswati I
NusaTenggara di Denpasar, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara, Kepala
Daerah Bali, Ketua DPRD Bali, Anggota Parlemen yang berasal dari Bali,
Anggota Dewan Nasional dari Bali I Gusti Bagus Sugriwa dan pers.
Tanggal 29 Juni 1958, lima orang utusan organisasi agama menghadap
Presiden RI di Tampaksiring. Diantar oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Peralihan Bali, I Gusti Putu Mertha. Kelima perwakilan tersebut
yaitu Ida Pedanda Made Kemenuh, I Gusti Ananda Kusuma, Ida Bagus
Wayan Gede, Ida Bagus Dosther, dan I Ketut Kandia.
Mengusulkan agar Kementrian Agama RI ada bagian agama Hindu
Bali, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam, Katolik, dan Kristen.
Permohonan itu dikabulkan dan tanggal 5 September 1958 dibentuk Bagian
agama Hindu Bali pada Kementrian Agama Republik Indonesia, dengan
ketua I Gusti Gede Raka
S : Bagaimana awal dari terbentuknya PHDI?
Pasek : Pertama yaitu ingin membentuk dewan agama Hindu atau badan keagamaan
xiii
Hindu di Bali. Karena keluarnya Undang-Undang tentang penghapusan
Swapraja di Indonesia, dan dipecahnya Propinsi Administrasi Nusa
Tenggara menjadi tiga propinsi yang otonom yakni Bali, NTB, dan NTT.
Swapraja yang dulunya dikepala oleh raja dan sekaligus sebagai pimpinan
agama Hindu Bali dan adat, maka kini dihapuskan. Maka timbul keinginan
membentuk badan keagamaan yang dapat menggantikan peran raja.
Tanggal 7 Oktober 1958 di Balai Masyarakat Denpasar diadakan
pertemuan Pemerintah Daerah Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan
Bali. Dibentuklah panitia untuk persiapan pembentukan Dewan Agama
Hindu Bali. Panitianya yaitu Paruman Para Pandita, Panti Agama Hindu
Bali, Angkatan Muda Hindu Bali Dr. Ida Bagus Mantra dan I Gusti Bagus
Sugriwa.
Hindu Bali Sabha Pesamuhan Agung Hindu Bali yang kemudian
dikenal dengan Sidang Pembukaan Parisada Dharma Hindu Bali, 21-23
Februari 1959 di Fakultas Sastra Denpasar. Sidang ini melahirkan Piagam
Parisada. Ditandatangani oleh 20 orang. Delapan dari delegasi pemerintah
dan 12 dari organisasi keagamaan Bali seperti Perhimpunan Buddhis
Indonesia Bali Dharma Yadnya, Partai Nasional Agama Hindu Bali, Majelis
Hinduisme, Wiwada Sastra, Sabha Satya Hindu Dharma, Perhimpunan
Hidup Ketuhanan, Angkatan Muda Hindu Bali Kumara Bhuwana, Yayasan
Dwijendra, Eka Adnyana Dharma, Persatuan Keluarga Bujangga
Waisanawa, dan Paruman Pandita.
Sidang tersebut juga menetapkan personalia Pesamuhan Sulinggih 11
orang Pesamuhan Walaka 22 orang dan pengurus harian terdiri atas ketua
Ida Pedanda Wayan Sidemen, Wakil ketua I Gusti Bagus Oka, dan sekretaris
Dr. Ida Bagus Mantra.
Piagam Parisada berisikan: Bentuk lembaga ini adalah Parisada,
bersifat keagamaan Hindu Bali, berkedudukan di mana pimpinan berada.
Fungsi lembaga ini adalah koordinasi segala kegiatan keagamaan Umat
Hindu Bali dengan tugas, mengatur, memupuk dan memperkembangkan
agama Hindu Bali. Tujuannya adalah mempertinggi kesadaran hidup
keagamaan dan kemasyarakatan Umat Hindu Bali. Keanggotaan terdiri dari
para sulinggih dan walaka yang dipandang ahli atau mempunyai
pengetahuan mendalam soal keagamaan Hindu Bali, sehingga susunan
Parisada terdiri dari Pasamuhan Para Sulinggih dan Pasamuhan Para
Walaka, yang keduanya dalam kepaniteraan bersama. Usaha lembaga ini
meliputi penelitian, pendidikan, penerangan, dan kesejahteraan masyarakat.
Tanggal 17-23 Nop. 1961 di Campuhan Ubud diadakan paruman
dharma asrama para pandita dan walaka yang diprakarsai Parisada Dharma
Hindu Bali. Ketika itu dibicarakan mengenai dharma agama dan dharma
negara. Dharma agama adalah bagaimana umat Hindu bisa menjalankan
ajaran dharma lewat kerangka dasar agama yakni tattwa, susila, dan upacara.
xiv
Dharma negara lebih menitikberatkan hubungan umat sebagai warga negara
NKRI dalam memposisikan diri untuk berperan aktif dalam kegiatan
kebangsaan /kenegaraan serta selalu menjunjung tinggi Pancasila dan UUD
1945.
Piagam Parisada 23 Februari 1959 hanya menjangkau wilayah Bali,
karena namanya Parisada Dharma Hindu Bali. Sabha Hindu Bali I, 7-10
Oktober 1964 menetapkan anggaran Dasar Parisada dengan Piagam Parisada
terdahulu sebagai dasarnya, dengan perubahan yakni mengganti nama
menjadi Parisada Hindu Dharma. Sabha Hindu Bali II (mahasabha II) 2-5
Desember 1968 di Denpasar, resmi menjadi Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
S : Apa partisipasi PHDI dalam peraturan daerah No. 2 tahun 2012 tentang
pariwisata budaya Bali bab 1 pasal 1 ayat 13. Tri Hita Karana?
Pasek : PHDI merupakan suatu organisasi agama Hindu tentunya selalu dimintak
merumuskan local jinius (kearifan-kearifan local) baik yang bersumber dari
agama maupun dari adat untuk dipakai acuan dalam menyusun peraturan
daerah. Dari peraturan apa sajayang menyangkut agama termasuk Tri Hita
Karana.
S : Apa yang dilakukan PHDI dalam berpartisipasi dalam peraturan daerah No.
2 tahun 2012 tentang pariwisata budaya Bali bab 1 pasal 1 ayat 13?
Pasek : Dialog, seminar, audiensi dan tentunya dari semua itu untuk memberikan
masukan dan memberitahukan kepada masyarakat dan pemerintahan bahwa
pentingnya permasalahan ini untuk Masyarakat Hindu kedepannya. Kami
slalu bekerjasama dan diskusi dengan ketua adat.
S : Melalui apa saja?
Pasek : Bisa pidato acara keagamaan atau ketemu langsung, maupun penyebaran
melalui media.
xv
Lampiran IV
Wawancara Wayan Suwarsa Ketua Adat Kuta
S : Bagaimana implementasi Tri Hita Karana di lingkungan pariwisata
khususnya pantai kute?
Ketua : Sebelum adanya peraturan daerah provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang
kepariwisataan budaya Bali bab 2 pasal 2 nilai-nilai ajaran Tri Hita
Karananya udah ada dan kami selaku desa adat atau desa pakraman di Bali.
Ya memang harus menjaga konseptual Tri Hita Karana. Kecuali desa
adatnya dibubarkan atau tidak ada. Mungkin Tri Hita Karana di daerah
yang ada objek wisata akan hilang. Seperti halnya pantai kute ini. Pantai
kute dikelola oleh desa adat. Otomatis selama desa adat itu ada selama itu
pula Tri Hita Karananya itu ada. Dan sekarang implementasinya saja
apakah sudah maksimal, optimal atau memang kurang. Artinya saya
menjelaskan bahwa konseptual Tri Hita Karana tidak akan hilang di tanah
Bali selama desa adat atau desa pakraman ada di Bali. Sekarang apakah
peraturan daerah itu efektif atau tidak? Tidak adanya peraturan daerah itu
konseptual Tri Hita Karana udah berjalan. Artinya sebelum dibentuknya
peraturan daerah provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang kepariwisataan
budaya Bali bab 2 pasal 2 Tri Hita Karana sudah berjalan sejak dahulu.
Pemerintah melegitimasi dalam bentuk peraturan-peraturan positif salah
satunya peraturan daerah No. 2 tahun 2012 tentang pariwisata budaya.
S : Siapa saja yang menjalankan aturan tersebut?
Ketua : Pemerintah dan pengelola, pengelola tempat pariwisata yaitu desa adat.
Seluruh wilayah yang ada di Bali wilayah-wilahyahnya memiliki desa adat.
Sehingga otomatis di mana ada tempat pariwisata di situ juga terdapat desa
adat atau desa pakraman.
S : Bagaimana ajaran korelasi antar manusia yang dimaksud dalam Tri Hita
Karana?
Ketua : Ajaran tawamasi, ajaran pesedikaran, penyama braye
S : Apa maksud ajaran Tri Hita Karana?
Ketua : Tri yaitu tiga sedangkan Hita yaitu kesejahtraan atau kemakmuran Karana
yaitu penyebab. Jadi arti dari Tri Hita Karana adalah tiga penyebab
kemakmuran atau kesejahtraan. Subjeknya itu manusia semua, yang
melakukan manusia semua. Harmonisasi antara manusia dengan sang
pencipta (Tuhan), sang pencipta ini adalah alam semesta. Semesta dengan
alam yang tidak terbatas ini yang kita pahami dengan pikiran manusia,
pikiran manusia adalah terbatas pada saat pikiran terbatas memikirkan alam
yang tidak terbatas ini selalu ada bentuk- bentuk atau wujud-wujud
dikenallah sebagai tuhan. Manusia dengan tuhan berasal dari kata
parahyangan dari bahasa sansekerta, dari kata ”Hyang”, yang berarti Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi, kata parahyangan berarti hubungan yang
xvi
harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian kita harus
menjalin hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
dengan cara menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Manusia dengan alam lingkungan bersal dari kata palemahan dari bahasa
sansekerta, dari kata ”Lemah”, yang berarti lingkungan sekitar atau alam
semesta. Jadi, kata palemahan berarti hubungan yang harmonis antara
manusia dengan lingkungan sekitar atau alam semesta. Dengan demikian
selain menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan sesama manusia
kita juga harus menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar
atau alam semesta dengan cara menjaga lingkungan sekitar dari kerusakan.
Manusia dengan sesamanya merasal dari kata Pawongan berasal dari bahasa
sansekerta, dari kata ”Wong”, yang berarti orang atau manusia. Jadi, kata
pawongan berarti hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama
manusia. Dengan demikian kita harus menjalin hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia, dengan cara saling menghormati dan saling
menghargai satu sama lain.
S : Apakah pantai kuta ini menjalankan Tri Hita Karana tidak?
Ketua : Menjalankan, pertama kawasan pantai kuta ini sepanjang 4 ½ kilo dalam
bentangan hari-hari tertentu ada upacara plastian (acara iring-iringan kelaut)
ini aspek parahyangan. Yang kedua aspek manusia, ada orang jualan dan ada
pengunjung di sana ada keakraban, pertemana dan persahabatan. Di situ
tidak hanya beli aja. Tetapi ada saling ngobrol panjang dan cerita-cerita. Ini
disebut pawongan. Kita bersihkan pantai, kita punya 60 orang pekerja
kebersihan, para pedanga juga wajib menjaga kebersihan dan menjaga pohon
dan hewan yang ada lingkungan kuta. Ini adalah aspek palemahan. Jadi
sebelum adanya peraturan daerah ini sudah berjalan.
S : Apakah hasil dari terbentuknya peraturan No. 2 tahun2012?
Ketua : Dengan hasil terbentuknya perda ini semakin kuat lah dengan sangsi-sangsi
hukum positif
S : Kira-kira pernahkah ada sangsi yang dijalankan
Ketua : Pada saat pedangan melakukan kriminal ada sangsi hukum adat disebut
tridane. Tiga sangsi hukum adat. Kalau pendekatannya dengan hukum
negara ya kita laporin kepihak yang berwajib dia akan kenak pidana. Kalau
hukum adat bermaen misalnya pedangang yang berantem sesama pedagang
ya harus diselesaikan dengan hukum adat Bali yang kita kenal dengan
jiwodane. Yaitu harus saling memaafkan. Jika tidak mau ya kita rapat kan
dan dikasih hukuman yang bikin malu.