92
PARTISIPA PENGEL Kasus di Hutan M IN ASI KELOMPOK MASYARAKAT D LOLAAN KAWASAN HUTAN LIND Lindung Gunung Nona kota Ambon Propi MESSALINA. L. SALAMPESSY SEKOLAH PASCASARJANA NSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 DALAM DUNG insi Maluku

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56973/2010mls.pdfpartisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan ... Pemahaman

Embed Size (px)

Citation preview

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon

MESSALINA. L. SALAMPESSY

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku

MESSALINA. L. SALAMPESSY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

Propinsi Maluku

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Messalina.L.Salampessy

NIM E051060021

ABSTRACT MESSALINA.L.SALAMPESSY. Public group participation in managemen of forest protected area case in forest protected Gunung Nona Ambon city Moluccas Province). Under direction of BRAMASTO NUGROHO and HERRY PURNOMO.

Management of forest protected area be often confronted at dilemma between importance of conservation with importance and requirement of public to the area. Effectivity management of the area would annoyed because the low of its public participation and interaction unable to support. Various factor public heterogenity will influence form of interaction. The aim of this study was to : know and measure participation public in management of forest protected area and analyses characteristic factor (Individual and Organisation) influencing level participation in realizing collective action at management of Protected forest area. This research be design as an research of survey having the character of descriptive corelation where there are variable dependen research that is public participation and variable consists of individual character and organizational character which is heterogenity factor be in public nature. This research population is active public group in management of land (dusung) around forest protect area in Gunung Nona (HLGN) Ambon city. Data analysis applies will test technical Chi square (Chi Square) and its the participation level and be applied will test coefficient of contingency. The result showed that : character factor (Individual and Organisation) having connection tightly and influential to participation public in management of HLGN area is knowledge about protected forest, wide acquisition of area of dusung, status ownership of dusung, old of involvement in organization and official member connection and member of public in organization. Public shows participation calkulatif in role of they as HLGN organizer and shows participation with characteristic compliance of morale in role of they as dusung activity. Keyword : Participation, heterogenity, collective action, dusung.

RINGKASAN MESSALINA.L.SALAMPESSY. Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan HERRY PURNOMO.

Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara

kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan interaksinya yang kurang mendukung. Berbagai faktor heterogenitas masyarakat akan mempengaruhi bentuk interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan kawasan tersebut

Semenjak Hutan Lindung Gunung Nona ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430/Kpts-II/1996 tentang kawasan hutan Gunung Sirimau dan hutan Gunung Nona, program reboisasi giat dilakukan oleh berbagai pihak dimana hal ini mengambarkan adanya keikutsertaan masyarakat baik secara kelembagaan maupun personal terhadap kelestarian hutan lindung ini. Namun demikian hingga saat ini pemerintah menemui kendala untuk mengendalikan perambahan dan meningkatnya penebangan liar. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) masih memiliki ketergantungan erat dengan kawasan ini dan berhubungan dengan mata pencaharian mereka dari pengelolaan dusungnya. Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak.

Faktor heterogenitas dan karakteristik (Individu dan Organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi. Melalui berorganisasi dan berpartisipasi, upaya membangun koordinasi termasuk pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai pihak.

Analisa penggunaan tangga partisipasi seperti yang diungkapkan Arnstein (1995) memperlihatkan bahwa tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan tangga kemitraan. Tingkatan Partisipasi masih tergolong rendah dan belumlah optimal seperti yang diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi (proyek jangka pendek).

Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan HLGN dan juga menggambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain : 1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai

peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat.

2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh pengelolaan kawasan.

3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan, pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik.

4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan, hubungan social serta partisipasi dan aksi bersama yang terbangun. Pemahaman dan aplikasi yang tepat tentang variabel ini akan sangat

membantu pengelolaan kawasan HLGN dengan baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Kata kunci: partisipasi, heterogenitas, aksi bersama dan dusung

Ⓒ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku

MESSALINA L SALAMPESSY

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2 01 0

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S.

Judul Penelitian : Partisipasi Kelompok Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku

Nama : Messalina.L.Salampessy NIM : E051060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S.

Ketua

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 14 Juni 2010 Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TuhanYesusku yang Maha Baik atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah partisipasi kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, kasus di hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya terutama kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mamaku, suami dan anakku Daniella tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan terutama Arie, Ratih, Fenti, abang Iskar dan john serta Dini yang telah banyak membantuku serta rekan-rekan lainnya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi setiap pembaca.

Bogor, 30 Juli 2010

Messalina L Salampessy

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 24 September 1976 dari ayah Adolf E Salampessy (Almarhum) dan ibu Selvia Pieter. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Tommy Pesiwarissa, pada tanggal 1 September 2007 dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Daniella V Pesiwarissa.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Pattimura (UNPATTI) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk UNPATTI. Selanjutnya penulis memilih Jurusan Manajemen Hasil Hutan Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Penulis bekerja sebagai staf asisten pengajar di Jurusan Kehutanan Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura sejak tahun 2001 hingga tahun 2003 diangkat sebagai Dosen Tetap pada program studi tersebut. Sebelumnya penulis pernah bekerja juga sebagai Program Manager Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pada tahun 2001-2002 pada Yayasan Diakonia Maluku, Program Officer dan sekretaris eksekutif Yayasan Diakonia pada tahun 2002 - 2005.

Pada tahun 2006 penulis mendapatkan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii

PENDAHULUAN .................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................... 2 Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5

Hutan Lindung ................................................................................. 5 Pengertian Partisipasi....................................................................... 7 Faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi............................. 8 Kelembagaan.................................................................................... 9 Heterogenitas/Homogenitas dan Partisipasi..................................... 12

METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 16

Desain Penelitian ............................................................................. 16 Populasi dan Sampel ........................................................................ 16 Teknik Penarikan Sampel ............................................................... 16 Defenisi operasional variabel penelitian........................................... 17 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 21 Metode Pengumpulan Data.............................................................. 22 Metode Analisis Data ...................................................................... 22

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................ 23

Letak dan Luas ................................................................................ 23 Topografi dan Iklim ........................................................................ 24 Penggunaan Lahan .......................................................................... 26 Komposisi Penduduk ...................................................................... 27 Tingkat Pendidikan ......................................................................... 29 Sarana dan Prasarana....................................................................... 30 Sejarah Pengelolaan Dusung ........................................................... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 37

Karakteristik Responden .................................................................. 37 Partisipasi Responden ...................................................................... 46 Hubungan antara faktor karakteristik responden dengan Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan HLGN... ......... 49 Pembahasan Umum ......................................................................... 58 Analisis Stakeholder………………………………………………. 60

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 69

Kesimpulan ...................................................................................... 69 Saran ................................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 71

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria penilaian partisipasi masyarakat........................................... 18 2 Variabel, defenisi dan parameter pengukurannya ............................. 19

3 Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan ............... 23 4 Jenis penggunaan lahan desa Urimesing ........................................... 26 5 Jenis penggunaan lahan desa Amahusu ............................................ 26 6 Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon ..................... 27 7 Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan kelompok umur ...... 27 8 Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan kelompok umur ....... 28 9 Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian............................................................................. . 28 10 Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian.............................................................................. 29 11 Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan ............................................................................. 29 12 Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan......................................................... 29 13 Sarana dan prasarana desa Urimesing ............................................... 30 14 Sarana dan prasarana desa Amahusu.. .............................................. 30

15 Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung ..... 37

16 Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung ... 44

17 Partisipasi responden dalam pengelolaan hutan lindung ................... 47

18 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Amahusu .......................................................................... 50

19 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Urimesing ......................................................................... 50

20 Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa ............... 51 21 Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa................................................................................... 52 22 Matriks identifikasi pihak terkait dalam kawasan Kawasan Hutan lindung gunung nona Ambon ................................... 61

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Lokasi penelitian.............................................. 25

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan dan manusia sejak awal peradaban ditandai dengan adanya

hubungan saling ketergantungan, karena hutan merupakan sumber kehidupan

mendasar yang diperlukan manusia seperti air, energi, udara bersih dan

perlindungan. Hubungan ketergantungan secara tradisional ini berlangsung di

berbagai kawasan hutan termasuk hutan lindung dan dirasakan makin meningkat

sesuai dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk di sekitarnya.

Pada beberapa kawasan hutan lindung, interaksi antar masyarakat local

dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa lokasi, pola

interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian

hutan (Wiratno et al.2004). Upaya untuk berpartisipasi senantiasa diinginkan oleh

masyarakat namun demikian, hingga saat ini peran partisipasi belum sepenuhnya

optimal masih pada tahapan menginformasikan dari tahapan tangga partisipasi

yang diharapkan (Arnstein 1995). Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang

memberi kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok untuk

mempengaruhi keputusan public termasuk didalamnya kesempatan berpartisipasi

dalam pengelolaan hutan ( Cohan dan Sharp 1995).

Seperti halnya kawasan hutan lindung lainnnya, Hutan Lindung Gunung

Nona (HLGN) di kota Ambon menghadapi tekanan populasi penduduk yang terus

bertambah dan persoalan social-ekonomi yang harus dipenuhi dan cenderung

meningkat. Di sisi lain, pemerintah menetapkan konsep hutan lindung yang pada

prinsipnya memiliki perbedaan dengan konsep pengelolaan sumberdaya alam

masyarakat pada kedua desa (desa Amahusu dan Urimesing) yang tepat berada di

kawasan ini yakni perbedaan yang pertama system dusung dan perbedaan yang

kedua terletak pada defenisi tentang hak penguasaan (property right), yang

menyebabkan lebih dari 80% wilayah pengelolaan dusung ditetapkan oleh

pemerintah sebagai kawasan hutan lindung.

Permasalahan yang dialami oleh HLGN terjadi pula dibeberapa lokasi

kawasan konservasi dan hutan lindung sebagai contoh, konflik antara masyarakat

local dengan taman nasional di TN Komodo, TN Siberut dan TN Lauser

2

(Iskandar, 1992 dan Wiratno et al.2004). Permasalahan yang terjadi di HLGN

maupun di tempat lain merupakan masalah kelembagaan terutama menyangkut

hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah dan

masyarakat local dimana aspek partisipasi diupayakan sebagai salah satu jalan

keluar dari persoalan ini. Banyak factor mempengaruhi bentuk partisipasi

masyarakat, dimana salah satunya adalah aspek heterogenitas dan karakteristik

masyarakat itu sendiri.

Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang factor heterogenitas yang

mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan

dengan focus dan tujuan yang beragam. Gibson (200), Gibson dan Becker (2000),

Gibson dan Koontz (1998), Varughese (1999,2000) dan Varughese dan Ostrom

(2001), membuktikan bahwa heterogenitas berpengaruh pada bentuk pengelolaan

dan ketertarikan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Selain itu, terdapat pula

kajian yang mempertanyakan perihal kemampuan masyarakat local dalam

mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya alam, diantaranya

Maertens et al. 2002 dan Sitorus 2004.

Kajian-kajian tersebut di atas telah menjelaskan tentang partisipasi dengan

berbagai factor yang mempengaruhi aktivitas keterlibatan masyarakat. Namun

demikian, kajian-kajian tersebut belum mampu menjelaskan bagaimana peran

partisipasi masyarakat, heterogenitas serta karakteristik individu dan organisasi itu

terhadap efektivitas pencapaian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

kawasan tersebut. Untuk itu penelitian ini dilakukan.

Perumusan Masalah

Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema

antara kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan

kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan

kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan

interaksinya yang kurang mendukung. Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan

tersebut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat akan mempengaruhi bentuk

interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini

dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi

3

efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai

pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan

kawasan tersebut.

Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat. Keberhasilan

pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang

diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila

masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi,

masyarakat dapat mengagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap

sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat dan berbagai stakeholder

lainnya akan bekerjasama dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang

membahayakan.

Upaya ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam rangka

mengakomodasi kepentingan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan

mereka. Tujuan ini akan tercapai apabila tindakan yang dilakukan oleh individu-

individu dalam kelompok masyarakat sejalan dengan tujuan kelompok, dalam

bentuk partisipasi.

Pada konteks apa efektivitas partisipasi dapat dilaksanakan oleh sebuah

kelompok yang terdiri dari individu-individu? Ini terjadi ketika mereka akan

mengelola sumberdaya bersama (commonpool resource) seperti HLGN yang

dijadikan objek studi kasus ini. Jika mereka egois atau tidak ada partisipasi maka

individu tertentu akan beruntung sedangkan yang lain tidak akan memperoleh

bagiannya. Jika semua keuntungan ini dijumlahkan maka hasilnya akan lebih

kecil dibandingkan jika mereka bekerja bersama.

Dari uraian diatas, maka timbul pertanyaan yang perlu dijawab dalam

penelitian ini yaitu :

(1) Bagaimana peran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN?

(2) Mengetahui heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya HLGN?

4

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengatahui dan mengukur partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

kawasan Hutan Lindung?

(2) Menganalisis heterogenitas dan karakteristik individu dan organisasi

masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi dalam pengelolaan

kawasan Hutan Lindung?

Pengetahuan dan pemahaman tentang partisipasi ini akan bermanfaat bagi

berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan, Universitas, Lembaga swadaya

masyarakat dan berbagai pihak terkait, untuk meningkatkan peran serta dan

merumuskan kebijakan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut diatas maka

hipotesis penelitian yang akan diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut : Tingkat partisipasi dan heterogenitas mempengaruhi

keberhasilan aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Lindung

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

kesuburan tanah (UU No. 41 tahun 1999). Sebagaimana fungsinya maka hutan

lindung memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan ini

perlu dilakukan dengan bijaksana dan melibatkan para pihak yang berkepentingan

terhadap kawasan tersebut. Pengelolaan hutan lindung diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.

Pengelolaan hutan lindung dimaksudkan meliputi kegiatan: tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan

kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung dan perlindungan

hutan dan konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan

kawasan lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk:

a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa

serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan

keunikan alam.

Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari

total luas areal hutan di Indonesia, yaitu 130,85 juta hektar (Kompas 17 Juni

2007) atau ± 23 % dari luas kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2007).

Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006, terdapat 24,78 persen dari

total luas hutan lindung atau 6,27 juta hektar areal hutan lindung rusak parah,

khususnya yang berbatasan atau berdekatan dengan permukiman atau lahan

masyarakat. Hal ini terjadi akibat tekanan pertambahan jumlah penduduk dan

rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung.

Kondisi ini menyebabkan degradasi lingkungan dan terancamnya fungsi hutan

lindung.

6

Hutan lindung dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dengan persyaratan

memperoleh izin pemanfaatan antaralain: izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Sebagai kawasan yang dilindungi, pemerintah mengatur criteria penetapan

suatu kawasan sebagai kawasan lindung yakni melalui Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan,

dimana kriteria penetapan hutan lindung adalah dengan memenuhi salah satu

persyaratan berikut ini:

1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas

hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai

jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;

2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per

seratus) atau lebih;

3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih

di atas permukaan laut;

4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan

lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas per seratus);

5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;

6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

Di Maluku, lebih khusus kota Ambon memiliki 2 (dua) hutan lindung

yaitu Hutan Lindung Gunung Sirimau dan Hutan Lindung Gunung Nona. Kedua

hutan ini memiliki arti penting bagi lingkungan dan masyarakat kota Ambon

karena merupakan daerah resapan air yang berfungsi mengatur penyediaan

kebutuhan air bagi kehidupan masyarakat. HLGN ditetapkan oleh Pemerintah

sebagai kawasan lindung pada tahun 1996 berdasarkan keputusan Menteri

Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan

lindung, HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang tanpa status namun

kemudian karena memiliki arti penting sebagai daerah resapan air dan memenuhi

kriteria sebagai kawasan lindung maka ditetapkan sebagai kawasan hutan

lindung. Pada kawasan ini, terdapat 2 (dua) desa yaitu desa Amahusu dan

Urimesing dimana masyarakatnya memiliki dusung-dusung sebagai bagian dari

kawasan hutan yang mereka kelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

7

Keberadaan masyarakat pada kedua desa ini memiliki arti penting bagi

keberadaan kawasan HLGN ini.

Pengertian Partisipasi

Di dalam masyarakat terjadi kontrol sosial yang bertujuan untuk mencapai

keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Suatu proses kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada

pokoknya berkisar pada perilaku yang terbentuk dari tiap masyarakat antara lain :

a. Persuasive : cara-cara tanpa kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam

mencapai tujuan tertentu. Suatu masyarakat yang tidak terjadi banyak konflik

maka cara-cara persuasif mungkin akan lebih efektif karena pada masyarakat

itu sebagian besar kaidah dan nilai-nilai telah melembaga dalam diri para

warga masyarakat sehingga pencapaian tujuan tertentu dilakukan secara

persuasif.

b. Coersive : cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dengan paksaan. Cara ini

lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah dimana kontrol

sosial berfungsi untuk membentuk kaidah lama yang telah goyah. Namun

cara-cara kekerasan ada batasnya karena akan melahirkan reaksi yang negatif .

c. Partisipatif : Jika dicermati, makna partisipatif berbeda-beda menurut mereka

yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan

masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan

tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan

Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu

(pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation).

Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi

definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra

punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ”pembangunan”,

termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini

membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat pemberdayaan.

Secara lebih spesifik, FAO (1975) mengemukan bahwa partisipasi merupakan

suatu proses kegiatan bersama, termasuk didalamnya keikutsertaan setiap

individu dalam kelompok, tentang tanggungjawab serta konsekuensi dari

8

setiap tugas-tugas, baik yang sifatnya umum sampai kepada tugas-tugas yang

sifatnya khusus.

Arnstein (1995) mendefenisikan partisipasi masyarakat adalah proses yang

memberikan kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok,

untuk mempengaruhi keputusan public, ia juga menekankan bahwa tingkat

partisipasi sangat bervariasi mulai tahap manipulasi, terapi,

menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi

kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan

istilah tangga partisipasi. Dalam implementasi pendekatan partisipatif, tangga

partisipasi seringkali dipandang sebagai sebuah kontinum untuk mewujudkan

tingkat partisipasi yang diharapkan.

Sebagai kawasan Lindung, HLGN memiliki sumber daya hutan yang

potensial dengan berbagai manfaatnya baik langsung dan tidak langsung serta

melibatkan para pihak (Stakeholder) yang melaksanakan perannya terhadap

kawasan tersebut. Persoalan dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini adalah

bagaimana mengatur atau memanipulasi perilaku para pihak itu melalui berbagai

bentuk institusi yang akan menghasilkan tujuan bersama melalui partisipasi

tersebut.

Kemitraan, kolaborasi atau koalisi merupakan konsep yang saling terkait

namun masing-masing digunakan untuk menggambarkan salah satu tingkat

tertentu dalam konsep partisipasi

Faktor - faktor yang berpengaruh pada partisipasi

Berbagai kegiatan yang mencerminkan partisipasi seseorang dalam

organisasi dipengaruhi oleh factor individu dan factor organisasi. Segala aktivitas

manusia dalam kehidupan bermasyarakat, organisasi maupun kelompok timbul

sebagai resultan dari factor individu dan factor organisasi, walaupun secara pasti

kekuatan kedua factor tersebut tidak dapat diketahui tanpa melalui suatu

penelahan empiric yang seksama. Faktor individu sering disebut sebagai factor

internal yaitu factor yang terdapat pada diri individu yang bersangkutan dan factor

organisasi atau factor eksternal dapat berupa lingkungan fisik dan non fisik yang

merupakan kendala maksimalitas dari segala aktivitas manusia (Tenang, 1993).

9

Berdasarkan tinjauan factor-faktor peubah tingkat partisipasi anggota

organisasi maka factor individu yang dianggap dominan adalah (1) tingkat

pengetahuannya dan (2) kondisi kehidupan masyarakat (tingkat social

ekonominya). Faktor organisasi dimaksudkan sebagai karakteristik yang melekat

pada organisasi tersebut antaralain : tujuan organisasi, upaya-upaya pelayanannya

dan juga tingkat kemampuan anggota memahami organisasi itu (Nasoetion,

1990).

Menurut Ostrom, untuk mempertahankan sumberdaya alam menurut

tekanan demografi dan ekonomi tergantung pada keberhasilan koordinasi dan

partisipasi yang dilakukan.

Eksistensi individu dengan kepentingan kuat pada aksi bersama dan

partisipasi akan meningkatkan harapan setiap orang untuk tingkat kerjasama yang

diharapkan (Hardin, 1982 dan Olson, 1965)

Kedekatan kelompok masyarakat dengan hutan merupakan factor penting

yang mempengaruhi partisipasi yang dilakukan karena hal ini berhubungan

dengan pertimbangan disribusi tanggungjawab dan tipe produk hutan yang

dihasilkan (Chertri dan Pandey, 1992).

Kelembagaan/Institusi

Setiap masyarakat punya institusi sendiri, baik karena kekerabatan,

persamaan kepentingan, pekerjaan maupun prinsip-prinsip organisasi lainnya.

Dalam suatu masyarakat, orang melakukan banyak hal bersama-sama, atas dasar

ikatan yang mereka anggap penting. Bagian dari riset ini adalah menemukan

institusi- institusi yang ada di masyarakat. Institusi tersebut berupa kumpulan

modal sosial, rasa saling percaya, pola komunikasi dan persahabatan.

Untuk itulah maka perlu kita ketahui defenisi dari kelembagaan itu.

Kelembagaan atau institusi adalah aturan main (formal dan informal) yang

mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi

Schmid (1987) mengartikan kelembagaan sebagai berikut : “Institutions

are sets of ordered relationships among people that define their rights, their

exposure to the rights of others, their privileges, and their responsibilities”.

Common (1950) dalam Schmid (1987) mengartikan kelembagaan : “ An

10

institution is collective action in control, liberation, and expansion of individual

action”.

Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol

masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Dalam hal ini Randall (1981)

memberikan batasan mengenai kelembagaan : “Institutions include laws,

constitutions (which have been called “laws about making laws”), traditions,

moral and ethical structures, and “customary and accepted ways of doing

things”.

Untuk merubah prilaku (behavior) masing-masing para pihak

(stakeholder) sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu

dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur kelembagaan seperti yang dinyatakan

oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: 1) batas yurisdiksi

(jurisdictional boundry); 2) hak kepemilikan (property rights); dan 3) aturan

representasi (rules of representation). Batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan

apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti

batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga,

atau mengandung makna kedua-duanya. Selanjutnya konsep property atau

pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang

didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang

mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap

sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang

berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Kartodiharjo (2006), institusi adalah perangkat lunak, aturan

main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di

dalammnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan

kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hukum yang berlaku dan

instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat

tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan

rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk

komunikasi serta keterbukaan informasi.

Peters (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat aliran pemikiran

mengenai institusi. Pertama institusi dirumuskan dengan pendekatan normatif.

11

Dalam pendekatan ini logika kesesuaian dianggap menjadi dasar perilaku individu

sebagai anggota dari institusi. Yang berlawanan dengan logika kesesuain tersebut

adalah logika konsekuensi yang menjadi dasar teori pilihan rasional. Berdasarkan

pendekatan normatif, individu-individu sebagai anggota dari suatu institusi

mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar normatif dan tidak

menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan diri sendiri. Standar

perilaku normatif ini kemudian dijadikan pegangan oleh institusi yang menjadi

landasan nilai-nilai sosial yang berlaku untuk anggota-anggotanya.

Kedua, insitusi dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini,

institusi mengatur dan menetapkan insentif bagi anggota-anggotanya dan perilaku

anggotanya tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Dalam

pendekatan ini nilai dan sikap anggota-anggotanya yang didasarkan atas

rasionalitas tersebut dianggap tidak pernah berubah.

Ketiga, pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di

dalam institusi yang ditetapkan dianggap selalu memberi pengaruh anggota-

anggotanya dalam jangka panjang. Dalam kondisi ini dianggap terdapat

ketergantungan antar waktu yang pada gilirannya institusi saat ini tetap akan

memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dikemudian hari.

Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan ini.

Keempat, pendekatan empiris. Dalam pendekatan ini biasanya pertanyaan

yang dijawab adalah apakah bentuk institusi yang berbeda akan dikeluarkan

kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menganalisis

lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang dianggap sebagai

institusi.

Berdasarkan keempat tersebut, dalam setiap analisis mengenai institusi,

yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan digunakan.

Untuk itulah penelitian ini menganalisis institusi berdasarkan pendekatan normatif

dimana berbagai individu yang menjalankan perannya pada kawasan HLGN

dianalisis perilaku dan tingkatan partisipasinya.

12

Heterogenitas/homogenitas dan Partisipasi

Masalah partisipasi dan aksi bersama berasal dari beberapa sumber

termasuk informasi yang tidak sempurna, konflik kepentingan atau sifat itu

sendiri. Saat masyarakat memiliki kelemahan informasi, koordinasi yang sulit

akan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai. (Amy dan Ostrom, 2004).

Pengaturan partisipasi dan aksi bersama meliputi ukuran beberapa potensi dimensi

dari aspek heterogen termasuk etnik, kasta, agama, kekayaan, penduduk, lokasi

hutan, model hutan dan model penggunaan sumber daya.

Ostrom,(2004) mengungkapkan bahwa untuk mempertahankan

pembaharuan system sumber daya dalam jangka panjang seperti hutan, tindakan

pengaturan aksi bersama dibutuhkan untuk membatasi penggunaan sumber daya

dan melakukan berbagai macam bentuk pengelolaan sumber daya secara aktif.

Heterogenitas sangat diharapkan mempengaruhi prospek kepercayaan dan tingkat

divergensi kepentingan dan dengan demikian mempengaruhi prospek upaya

pengumpulan data yang perlukan bagi aksi bersama dan partisipasi tersebut.

Velded (2000) secara spesifik menjelaskan lima wujud heterogenitas: (1)

heterogenitas di dalam pemberian kontribusi; (2) heterogenitas politik; (3)

kekayaan dan hak; (4) heterogenitas budaya; dan (5) minat ekonomi.

Baland dan Platteau (2000) memfokuskan pada sumber utama

heterogenitas yang berasal dari ras, etnik atau jenis pembagian budaya dan

perbedaan menurut sifat kepentingan ekonomi di antara individu.

Homogenitas juga mengikat aksi bersama dan partisipasinya. Pentingnya

pembagian karakteristik social, budaya atau ekonomi dapat meningkatkan

pendugaan/prediksi interaksi yang terjadi (Fearon dan Laitin, 1996). Prediksi

tersebut dapat menyediakan kepercayaan dimana homogenitas dapat memfasilitasi

aksi bersama yang diinginkan.

Homogenitas di beberapa dimensi sering kali bertepatan dengan

heterogenitas yang lain, sebagai contoh para anggota suatu kelompok mungkin

punya minat ekonomi yang sama walau berbeda secara budaya. Perbedaan budaya

akan menghalangi pengembangan tingkat kepercayaan, atau dihubungkan dengan

pemahaman-pemahaman yang berbeda dari isu manajemen yang ada. Individu

kadang-kadang menggunakan perbedaan-perbedaan budaya sebagai dasar untuk

13

tidak masuk anggota tertentu untuk berbagi manfaat terhadap sumber daya

tersebut meskipun terlihat membagi bersama minat ekonominya (Baland dan

Platteau, 1998, 2000).

Konflik dapat memperlemah efektivitas kelompok yang mengorganisir

sendiri namun hubungan antara heterogenitas dan aksi bersama serta peran

partisipasinya adalah non linear dan kontingen atas factor lain. Ketidakadilan

dalam kekayaan, contohnya : ketidakadilan dalam pembagian kekayaan yang

berinteraksi dengan biaya dan keuntungan relative yang digabungkan dengan

kerjasama dalam pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan enam situasi

berbeda (1) penggunaan terus menerus untuk kepentingan setiap orang namun

tidak ada masalah, partisipasi dan aksi bersama terjadi; (2) penggunaan terus

menerus untuk kepentingan tiap orang namun masalah partisipasi dan aksi

bersama terjadi; (3) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tidak

seorangpun dan kerusakan bersama terjadi; (4) keuntungan terus menerus dari

pengunaan yang meningkat dengan tingkat kecukupan yang tinggi oleh kaum

kaya akan memaksa kaum miskin untuk mempraktekkan tindakan konservatif; (5)

penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum

miskin namun partisipasi dan aksi bersama tidak dapat dilakukan dan (6)

penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum

miskin namun partisipasi dan aksi bersama dapat dilakukan karena pengelolaan

kekayaan tersebut membutuhkan hubungan kerjasama dengan kaum miskin

dengan melibatkan aspek interaksi social atau karena institusi yang memberikan

kekuatan bagi kaum miskin tersebut (Amy dan Ostrom,2004).

Bagaimana heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi

berpengaruh terhadap kinerja partisipasi tersebut? tentunya merupakan argumen

yang menarik untuk di telusuri melalui penelitian ini.

16

METODOLOGI PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survai yang bersifat

deskriptif korelasional. Variabel dependen penelitian adalah partisipasi

masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat

serta monitoring dan evaluasi terhadap kawasan hutan lindung , Sedangkan

variabel independennya terdiri dari kelompok variabel faktor individu dan faktor

organisasi yang merupakan karakteristik masyarakat. Faktor individu terdiri dari

variabel: (1) pengetahuan tentang hutan lindung, (2) luas penguasaan lahan hutan,

(3) status pemilikan lahan hutan, (4) pendapatan dari pengusahaan dusun, (5) nilai

aset (6) identitas daerah asal responden, (7) tingkat pendidikan, (8) umur, (9) jumlah

tanggungan, (10) lama keterlibatan dalam organisasi. Sedangkan faktor organisasi

terdiri dari variabel: (1) Presepsi tentang organisasi (komunikasi dan informasi,

Pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah), (2)

hubungan pengurus dan anggota organisasi.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam

pengelolaan lahan (dusung) di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona

Kota Ambon dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan yang

akan diidentifikasi dengan cara analisis stakeholder.

Teknik Penarikan Sampel

Proses penarikan sampel pada penelitian dilakukan melalui dua tahap,

yaitu: (1) tahap pertama adalah penentuan sampel desa yang pada akhirnya dipilih

kedua desa yang tepat berada di dalam kawasan HLGN, (2) tahap kedua adalah

penentuan sampel masyarakat pengelola dusung. Unit analisis penelitian ini adalah

individu yaitu masyarakat pengelola dusung dan untuk memahami faktor-faktor

yang mempengaruhi tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pengelolaan

kawasan. Jumlah sampel masyarakat pada setiap desa sampel sebanyak 30

17

orang untuk tiap desa yang mana didasari pada jumlah pemilik dusung

pada tiap desa ± 50 orang dan dipilih secara sengaja (purposive sampling).

Definisi operasional Variabel Penelitian

Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di

sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan

kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat

kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan

perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan

monitoring terhadap kawasan HLGN. Partisipasi masyarakat dalam

kegiatan-kegiatan kawasan tersebut ditinjau secara keseluruhan, artinya

semua bentuk kegiatan dipandang sebagai satu kesatuan. Partisipasi masyarakat

dalam kegiatan kawasan HLGN dan benar-benar sebagai manifestasi perilaku

masyarakat pada kawasan HLGN.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan kawasan

HLGN adalah peran serta masyarakat yang diukur dari indikator

keterlibatan masyarakat dalam kegiatan survei, pemberian informasi dan

pengajuan usul dan saran terhadap aktivitas pengelolaan kawasan.

Part isipasi dalam pelaksanaan berkaitan dengan aktivitas pemberian

sumbangan pikiran, tenaga dan materi dalam aktivitas pengelolaan kawasan.

Partisipasi dalam penerimaan manfaat berkaitan dengan upaya

peningkatan pendapatan, kesadaran terhadap manfaat hutan terhadap

lingkungannya dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Partisipasi

dalam monitoring dan evaluasi kawasan diukur dari keikutsertaan dalam

kegiatan monitoring, mengawasi dan mengevaluasi hutan lindung.

Klasifikasi partisipasi dibedakan atas partisipasi tinggi, sedang

dan rendah, dimana kriterianya sebagai berikut :

18

Tabel 1. Kriteria penilaian partisipasi masyarakat

Kriteria tingkatan

No

Indikator Penilaian

Tinggi sedang Rendah

A Perencanaan

1 Kegiatan survey Keterlibatan pada semua proses kegiatan survey

Keterlibatan hanya pada tahap pelaksanaan survey

Keterlibatan hanya pada tahap diskusi perencanaan survey

2 Pemberian informasi Informasi tentang hutan lindung dikuasai dengan baik

Informasi tentang hutan lindung terbatas pada sumberdaya tertentu

Informasi tentang hutan terbatas pada dusungnya

3 Pengajuan usul dan saran Aktif mengajukan usul dan saran pada berbagai pihak

Mengajukan usul dan saran apabila diminta

Tidak mengajukan usul dan saran

B Pelaksanaan 1 Pemberian sumbangan pikiran Aktif

menyampaikan sumbangan pikiran

Jarang menyampaikan sumbangan pikiran

Tidak pernah menyampaikan sumbangan pikiran

2 Pemberian sumbangan tenaga Aktif memberikan sumbangan tenaga

Jarang memberikan sumbangan tenaga

Tidak pernah memberikan sumbangan tenaga

3 Pemberian sumbangan materi Aktif

menyampaikan sumbangan materi

Jarang menyampaikan sumbangan materi

Tidak pernah menyampaikan sumbangan materi

C Penerima Manfaat 1 Peningkatan pendapatan Hasil hutan sebagai

sumber utama pendapatannya

Hasil hutan sebagai pendapatan tambahannya

Baginya hasil hutan hanya memberikan jasa lingkungan

2 Manfaat hutan Merasakan manfaat hasil hutan kayu dan non kayu

Merasakan manfaat hasil hutan berupa kayu saja

Merasakan manfaat hasil hutan non kayu saja

3 Ketergantungan terhadap hutan Bergantung sepenuhnya pada hasil-hasil hutan

Ketergantungan terbatas pada produk tertentu

Tidak bergantung pada hasil-hasil hutan

D Monitoring dan evaluasi 1 Monitoring hutan lindung Aktif dalam

pelaksanaan monitoring hutan

Terlibat apabila di butuhkan

Tidak aktif

2 Mengawasi hutan lindung Aktif dalam pengawasan hutan

Terlibat apabila di butuhkan

Tidak aktif

3 Mengevaluasi hutan lindung Aktif dalam kegiatan evaluasi hutan

Terlibat apabila di butuhkan

Tidak aktif

19

0leh karena partisipasi masyarakat dalam kegiatan kawasan HLGN

merupakan variabel dependen maka nilai skornya tergantung kepada variabel

independennya.

Adapun variabel, defenisi dan parameter pengukuran variabel independen

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Variabel, definisi dan Parameter pengukurannya

Variabel Defenisi Operasional Parameter Pengukuran Pengetahuan

Luas penguasaan lahan Status pemilikan lahan dusung

Pendapatan masyarakat

Pengetahuan masyarakat tentang kawasan hutan lindung, tujuan dan manfaatnya bagi masyarakat pedesaan, peraturan tentang hak dan kewajiban masyarakat di sekitar kawasan HLGN. Luas penguasaan lahan sekitar hutan adalah luas lahan yang digarap oleh masyarakat disekitar kawasan dan benar-benar diusahakan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan (dusung). Tingkatan status masyarakat anggota kawasan HLGN atas hak pemilikan lahan yang diga-rap dan d iusahakann ya. Tingkat pendapatan yang diperoleh masyarakat dari usaha dusungnya yaitu penerimaan yang diperoleh masyarakat dari nilai hasil dusungnya setelah dikurangi segala biaya riil yang dikeluarkan oleh masyarakat tersebut, sedangkan nilai nominal penerimaan usaha dusungnya didasarkan kepada nilai konversi jumlah

Klasifikasi tingkat pengetahuan tentang kawasan HLGN dibedakan atas berpengetahuan : a. Sangat kurang memahami

tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya

b. Kurang memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya

c. Cukup baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya.

d. Sangat baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya

Luas penguasaan lahan tersebut diukur dalam satuan hektar : Luas lahan di dalam kawasan Hutan : a. > 5 ha (tidak baik) b. > 2,5 – 5 ha (kurang baik) c. 1-2,5 ha (cukup baik) d. < 1 ha (baik) S ta tus pemi l i kan dusung dibedakan atas : a.dusung adat b.dusung mil ik sendiri

dengan sertifikat c. dusung disewa. d. Tanpa status Pendapatan usaha dusung diukur dalam satuan rupiah per tahun. Penggolongan pendapatan ini berdasarkan rata-rata pendapatan dusungnya perkepala keluarga hingga diperoleh klasifikasi berikut : a. < Rp 1.000.000,- b. Rp 1.000.000 - 5.000.000,- c. Rp 5.000.000, – 10.000.000,- d. > Rp 10.000.000,-

20

Variabel Kekayaan Identitas asal responden

Jumlah tanggungan

Pendidikan Umur Lama keterlibatan dalam organisasi Presepsi tentang organisasi

Defenisi Operasional Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden Identitas daerah asal dari responden Jumlah tanggungan keluarga adalah istri, anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden Usia responden Jangka waktu keterlibatan responden didalam organisasi masyarakat Pandangan responden terhadap aktivitas berorganisasi.

Parameter pengukuran Diukur dalam satuan rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki dibedakan atas : a. < Rp 5.000.000,- b. Rp 5.000.000 – 10.000.000 c. Rp 10.000.000 – 20.000.000 d. Rp > 20.000.000

a. Masyarakat asli b. Pendatang c. Perkawinan dengan

masyarakat asli d. Tanpa identitas yang jelas a.1-4 orang b.5-8 orang c. > 8 orang a. SD b. SMP c. SMA d. Universitas e. a. Muda (30-45 tahun) b. Tua (46-72 tahun)

a. Keanggotaan baru (1-4 tahun) b. Keanggotaan lama (4-6 tahun) Diukur melalui 4 (empat) indikator yaitu :

1). Komunikasi dan informasi. a. kurang baik : berpura-pura

tidak tahu terhadap informasi dan komunikasi yang terjalin.

b. cukup baik : informasi dan komunikasi di simpan sendiri oleh anggota tertentu

c. Baik : informasi dan komunikasi diketahui dan direspon baik semua anggota.

d. Sangat baik : informasi dan komunikasi disebarkan dengan baik ke semua anggota dan direspon baik

2). Pemahaman aturan organisasi

a. Tidak paham : tujuan dan visi organisasi tidak diketahui

b. sedikit paham : memahami tujuan berorganisasi saja

21

Variabel

Hubungan Pengurus dan anggota organisasi

Defenisi operasional

Bagaimana hubungan yang terjalin antara pengurus dan anggota organisasi tersebut

Parameter pengukuran

c. cukup paham : sedikit memahami tujuan dan visi organisasi

d. Sangat paham: sangat memahami visi dan tujuan organisasi

3). Pengambilan keputusan

a. kurang baik : tidak adanya partisipasi pada proses pengambilan dan penerapan keputusan.

b. cukup baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saja

c. Baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya.

d. Sangat baik : partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya.

4). Penyelesaian masalah

a. Kurang baik : proses dan keterlibatan individu tidak terkontrol baik.

b. Cukup baik ; proses melibatkan pihak terkait tanpa aturan yang berlaku

c. Baik : proses melibatkan pihak yang terkait dengan aturan yang diberlakukan

d. Sangat baik : proses berdasarkan aturan yang berlaku dan melibatkan pihak-pihak yang terkait.

a. kurang baik : kerjasama

terjalin bila terpenuhi keinginan anggota tertentu

b. cukup baik : kerjasama terjalin bila ada insiatif anggota tertentu

c. Baik : kerjasama terbangun dengan baik tanpa melihat situasi & kondisi

d. Sangat baik : ada motivasi bersama untuk senantiasa bekerjasama.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada kawasan Hutan Lindung Gunung

Nona di Kota Ambon, Provinsi Maluku dari Oktober sampai dengan

22

Desember 2009. Responden penelitian ini adalah masyarakat di sekitar

kawasan yang memiliki aktivitas pengelolaan dusung. Sedangkan unit

analisisnya adalah individu masyarakat. Sumber data penelitian ini adalah (1)

masyarakat pada desa di sekitar kawasan dan (2) pengelola kawasan antara

lain Dinas Kehutanan Kota Ambon dan berbagai pihak yang terkait.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu:

Wawancara dan kuesioner

Wawancara dilakukan terhadap tiap responden dan dilengkapi dengan

kuesioner yang berguna untuk melengkapi data karakteristik individu dan

organisasi.

Observasi partisipan

Observasi partisipan merupakan suatu bentuk observasi khusus dimana

peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil

berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa

yang akan diteliti. Observasi partisipan memberikan peluang kepada peneliti

untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok

yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang

lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang

dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006).

Metode Analisis Data

Analisis data dengan mengunakan metode analisis kuantitatif yaitu

menyusun hasil dari kompilasi data yang diperoleh dalam bentuk tabulasi

kemudian dianalisis.

Untuk mengambarkan hubungan antara karakteristik responden

(heterogenitas) dan tingkat partisipasinya digunakan analisis distribusi frekuensi

dengan tabulasi silang yang kemudian di uji dengan teknik Chi kuadrat (Chi

Square) dengan rumus sebagai berikut (Djarwanto dan Sudjana, 1996) :

23

X2 = (fo – fh)2 dimana : X2 = uji chi kuadrat

fh fo = nilai yang diamati (nilai observasi) fh = nilai yang diharapkan (nilai harapan) Pengujian signifikansi antara tingkat partisipasi dengan faktor

heterogenitas dilakukan dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2 tabel

dengan kriteria sebagai berikut :

a. Jika X2 hitung > X2 tabel berarti variabel heterogenitas mempunyai hubungan

dengan tingkat partisipasinya.

b. Jika X2 hitung < X2 tabel berarti variabel heterogenitas tidak mempunyai

hubungan dengan tingkat partisipasinya.

Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara variabel bebas

(heterogenitas) dengan variabel terikat (tingkat partisipasi) maka digunakan uji

koefisien kontingensi dengan rumus (Sudjana, 1996) :

x2

C = ---------- dimana :C = koefisien kontingensi

x2+n x2 = nilai x2 hitung

n = jumlah responden

Nilai C berkisar antara 0-1,00 makin besar nilai C berarti hubungan antara 2

variabel makin erat. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontigensi

digunakan batasan yang dikemukan oleh Sugiyono (2007) seperti disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan

Interval koefisien Tingkat hubungan

0,00 – 0,199 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1.00 Sangat kuat

Sumber : Sugiyono, 2007

24

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas

Secara astronomi HLGN terletak di antara 128º11’12” – 128º12’52” BT

dan 3º41’31” – 3º40’45” BT dengan kawasan seluas 877,78 ha yang secara

administratif termasuk pada dua daerah kecamatan yakni kecamatan Sirimau dan

kecamatan Nusaniwe di pulau Ambon dan secara geografis pada bagian utara

berbatasan dengan teluk Ambon Baguala, sebelah selatan berbatasan dengan laut

Banda, Sebelah timur berbatasan dengan desa Kilang, kelurahan Honipopu dan

kelurahan Ahusen dan sebelah barat berbatasan dengan laut Banda. Lokasi

kawasan hutan lindung ini berbatasan langsung dengan kota Ambon, berakibat

pada tingginya kerentanan konversi lahan oleh masyarakat.

Pada Kawasan HLGN ini terdapat 2 (dua) desa yang berada di dalam

kawasan yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu. Desa Urimesing berada dalam

wilayah Kecamatan Sirimau - Kota Ambon, Propinsi Maluku. Luas desa adalah

sekitar 46,16 Km2, yang terdiri dari 4 dusun yaitu Kusu-kusu, Tuni, Mahia dan

Seri. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 4 km2, yang dapat ditempuh dalam

waktu 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun

roda empat. Desa Urimesing merupakan daerah perbukitan dan daerah pantai.

Secara administratif desa Urimesing memiliki batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah timur berbatasan dengan desa Hatalai dan Soya.

• Sebelah barat berbatasan dengan desa Nusaniwe (Amahusu, Latuhalat).

• Sebelah utara berbatasan dengan teluk Ambon/kota Ambon.

• Sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda.

Desa Amahusu berada pada wilayah kecamatan Nusaniwe – kota Ambon.

Luas desa adalah sekitar 4 Km2, yang terdiri dari 3 dusun antara lain dusun

Wakkang, Westapong dan Nahel. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 2 km, yang

dapat ditempuh dalam waktu 10 menit perjalanan dengan menggunakan

kendaraan roda dua maupun roda empat. Secara administrative batas-batas

wilayah terdiri dari :

• Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Ambon

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Urimesing

24

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Ambon

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nusaniwe

Topografi dan Iklim

Desa Urimesing 2000 meter di atas permukaan laut sedangkan desa

Amahusu berada di ketinggian 3 – 8 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi

topografi yang berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 50-80%. Kondisi

inilah yang merupakan salah satu kriteria mengapa kawasan ini ditetapkan sebagai

kawasan lindung. Jenis tanahnya adalah latosol dengan warna merah kehitam-

hitaman dan sebagian lainnya podsolid merah kuning dengan tekstur liat berpasir

dan pH berkisar 5-7.

Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun dengan musim hujan

pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-September,

sedangkan suhu udara berkisar antara 30-36oC dan kelembaban udara berkisar

antara 80-85%. Kawasan hutan Gunung Nona tertutup vegetasi yang

bertipe sangat spesifik. Spesifikasinya adalah pada aspek komposisi,

yakni komposisi vegetasi campuran antara hutan alam dengan upaya budidaya

manusia, sehingga bentuk penutup lahan yang dijumpai merupakan

perpaduan antara tipe vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah yang dipengaruhi

oleh iklim laut (Marine climate) dan bentuk lahan pekarangan (dusung) dengan

vegetasi campuran.

25

Gambar 1 Lokasi penelitian.

26

Pada peta tergambar jelas bahwa kedua desa tepat berada pada kawasan

HLGN.

Penggunaan Lahan

Pada desa Urimesing dari total luas lahan (46,16 km), sekitar 32,15 km

(69,65%) digunakan sebagai lahan kebun campuran. Untuk desa Amahusu

dari total luas 4 km, sekitar 2 km (50%) juga digunakan sebagai kebun

campuran. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati.

Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan

sedarah dari beberapa keluarga.

Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini

yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil

buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan

ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala

(Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim).

Tabel 4. Jenis penggunaan lahan desa Urimesing

Jenis penggunaan lahan Luas lahan (km2) Persentase (%) Pemukiman penduduk 11.36 24,61 Kebun Campuran 32,15 69.65 Lahan peternakan 0,15 0,32 Perkantoran 1,5 3,25 Lain-lain 1 2,2

Jumlah 46,16 100,00

Sumber: BPS Maluku (2006)

Tabel 5. Jenis penggunaan lahan desa Amahusu

Jenis penggunaan lahan Luas lahan (km2) Persentase (%) Pemukiman penduduk 1,8 45 Kebun Campuran 1,2 30 Perkantoran 0,5 12,5 Lain-lain 0,5 12,5

Jumlah 4 100,00

Sumber: BPS Maluku (2006)

27

Tabel 6. Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon

Luas lahan (ha) Persentase (%) Pemukiman penduduk 164,58 18,75 Kebun Campuran (dusung) 474,77 54,02 Semak belukar/lahan kosong Hutan Primer

147,12 65,31

16,76 7,44

Lain-lain 26,60 3,03 877,78 100,00

Sumber : BAPEDA Maluku (2008)

Dari tabel 6 tergambar kondisi hutan lindung di kota Ambon didominasi

oleh dusung (54,02%) dan pemukiman penduduk (18,75%). Perkembangan

keberadaan pemukiman penduduk sangat penting menjadi perhatian pemerintah

agar tidak bertambah luasannya mengingat pentingnya fungsi kawasan HLGN.

Komposisi Penduduk

Jumlah penduduk desa Urimesing pada tahun 2008 adalah 6.823 jiwa yang

terdiri dari 2.481 jiwa laki-laki (36,36%) dan 4.342 jiwa perempuan (63,63 %).

Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang

berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 68,57% (Tabel

4). Sebagian besar kaum perempuan di desa ini ikut terlibat secara aktif

membantu bekerja dan biasanya pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-

sama oleh seluruh anggota keluarga.

Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Urimesing berdasarkan kelompok umur

Kelompok umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) <10

10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57

1076 489 513 781

1326 1570 1068

15,77 7,16 7,52

11,45 19,43 23,01 15.65

Jumlah 6823 100,00

Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)

Sedangkan jumlah penduduk desa Amahusu pada tahun 2008 adalah 2.484

jiwa yang terdiri dari 1.481 jiwa laki-laki (59,62%) dan 1003 jiwa perempuan

(40,37%). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif

28

yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 84,33%

(Tabel 7.).

Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Amahusu berdasarkan kelompok umur

Kelompok umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) <10

10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57

296 303 242 501 502 249 391

11,92 12,19 9,74

40,46 10,02 15,66

Jumlah 2484 100,00

Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)

Sebagian besar penduduk desa Urimesing bermata pencaharian sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 874 orang atau 38,74% (Tabel 7).

Ketersediaan lahan bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk

memperoleh pendapatan tambahan.

Sedangkan untuk penduduk Desa Amahusu sebagian besar juga bermata

pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 243 orang atau

28,12 % (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian

Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) PNS Swasta Wiraswasta/pedagang Petani pengolah dusung Pertukangan Pensiunan Peternak Jasa Nelayan

874 516 415 225 36 44 4

94 48

38,74 22,87 18,39 9,97 1,59 1,95 0,17 4,16 2,12

Jumlah 2256 100,00

Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)

29

Tabel 10. Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian

Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) PNS Swasta Wiraswasta Petani pengolah dusung Nelayan Pertukangan Pensiunan Jasa TNI/POLRI

243 131 118 68 43 37 94

111 19

28,12 15,16 13,65 7,87 4,97 4,28

10.87 12,84 2,19

Jumlah 864 100,00

Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Urimesing pada

tahun 2008 masih tergolong rendah. Sebagian kepala keluarga hanya menamatkan

pendidikannya sampai tingkat SD/SLTP, yaitu sebesar 71,37.% (Tabel 9). Tetapi

dalam kegiatan mengolah dusung, pemahaman mereka terhadap pengetahuan

budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun

orang lain cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam

membudidayakan tanaman cengkeh, kakao dan pala serta jenis buah-buahan yang

tiap tahun rutin dipasarkan. Sedangkan tingkat pendidikan kepala keluarga

masyarakat desa Amahusu pada tahun 2008 tergolong tinggi 63,85 % adalah

lulusan SLTA/sarjana.

Tabel 11. Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas

22 4391 1739

0,35 71,37 28,26

Jumlah 6152 100,00

Sumber: BPS Maluku (2008)

Tabel 12. Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas

359 271

1113

20,59 15,72 63,85

Jumlah 1743 100,00

Sumber: BPS Maluku (2008)

30

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang cukup baik di Desa Urimesing dan Amahusu,

terutama prasarana jalan, yang memungkinkan akses ke ibukota Provinsi berjalan

lancar. Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota

kecamatan dan propinsi membuat upaya menjalurkan hasil-hasil olahan dusung

berjalan baik. Bahkan beberapa penduduk menjual langsung hasil dusungnya ke

beberapa pasar yang berada di ibukota propinsi (Tabel 13).

Tabel 13. Sarana dan prasarana desa Urimesing

Sarana/prasarana Jenis Jumlah (unit) Perhubungan Jalan aspal

Jalan batu Jalan tanah

5 km 0,7 km

2 km Pendidikan TK

SD SMP

3 buah 4 buah 1 buah

Tempat ibadah Gereja 7 buah Sosial Balai desa

Poskamling 1 buah

19 buah

Sumber: BPS Maluku (2008)

Tabel 14. Sarana dan prasarana desa Amahusu

Sarana/prasarana Jenis Jumlah (unit) Perhubungan Jalan aspal

Jalan batu Jalan tanah

4 km 0,5 km

4 km Pendidikan TK

SD SMP

1 buah 1 buah 1 buah

Tempat ibadah Gereja 1 buah Sosial Balai desa

Poskamling 1 buah 4 buah

Sumber: BPS Maluku (2008)

Belum adanya SMA di desa ini membuat sebagian masyarakat berupaya

menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah yang berada di Ibukota provinsi.

Kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah-ibadah unit gereja, arisan, koperasi

dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu

proses terjadinya tukar menukar pengalaman pengelolaan dusung di masyarakat.

31

Sejarah Pengelolaan Dusung

Keberadaan keragaman vegetasi di sekitar kawasan hutan lindung,

disebabkan oleh keberadaan interaksi antara kawasan ini dengan

beragam jenis vegetasi dalam daerah penyangga. Daerah ini merupakan satuan

ruang yang dapat menghasilkan buah maupun kayu serta hasil hutan

lainnya. Kondisi ini tetap dijaga untuk kelangsungan hidup masyarakat

yang ada di sekitar hutan lindung. Kondisi seperti ini telah tertanam lama

dalam budaya masyarakat setempat, yakni suatu s ist im sosial

dalam mengant isipasi sumber daya alam baik vegetasi darat

maupun komponen biotik lautnya (aspek konservasi) yang dikenal

dengan petuanan dusun dati. Keberadaan petuanan dusun dati ini

membentuk suatu kondisi yang memungkinkan terbentuknya daerah-

daerah penyangga bayangan terhadap daerah-daerah kritis lingkungan

yang dikelola secara tradisional.

Beberapa bagian kawasan lindung yang telah dikonversi menjadi kebun

campuran (untuk permukiman), bukan saja di daerah perbatasan kawasan

hutan lindung, tetapi juga ditemukan hingga daerah hulu DAS dalam kawasan

inti lindung. Kawasan termodifikasi ditemukan yaitu di petuanan Desa Soya,

Desa Urimessing (Mahia, Kusu-kusu, Seri), Desa Ema dan Desa Naku dan

petuanan Kilang. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati.

Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan

sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara

alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu

vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga

terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih

(Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun

zeylannicim). Vegetasi semak belukar ditemukan terutama di bagian tengah

DAS terutama di DAS Air Besar, Batu Gajah sampai daerah Kudamati,

jumlahnya ± 10% dengan pertumbuhan jelek. Tumbuhanya semak belukar ini

akibat penebangan hutan dengan sistim perladangan berpindah-pindah

pada masa lalu. Di samping itu terbakarnya semak belukar dari tahun ke

tahun (sengaja atau bencana alam) tidak memberi kesempatan untuk

32

tumbuhnya tanaman pohon-pohon, melainkan semakin memberi

kesempatan meluasnya semak belukar. Pada umumnya bentuk vegetasi yang

ditemukan pada bentuk penggunaan lahan ini, adalah paku kawat

(Equistentum debile), kayu bunga (Melastoma, sp), kayu putih (Melaleuca

lecadendron), alang-alang (Impreta cilindria) dan beberapa jenis rumput-

rumputan yang tidak merambat.

Desa Urimesing

Desa Urimesing memiliki 192 buah dusung dati dan pusaka berdasarkan

register dati tanggal 26 Mei 1814. Rincian hak pemilik dusung dati sesuai dengan

register 26 Mei 1814 adalah 65 dusung negeri, 29 dusung dati perintah/raja dan

127 dusung dati yang dikuasai oleh 7 kepala dati masing-masing :

1. Jacob Wattimena 14 dusung dati

2. Marthen Janaren 9 dusung dati

3. Zadrach Wattimena 11 dusung dati

4. Corneles Samaleleway 11 dusung dati

5. Paulus Matiluseny 15 dusung dati

6. Amos Salakay 16 dusung dati

7. Stevanus Wattimena 30 dusung dati

Ditambah dengan sejumlah dusung pusaka yang telah menjadi milik warga

tertentu. Dusung pusaka adalah dusung yang merupakan hak bersama dari

kelompok ahli waris yang mereka peroleh melalui warisan. Hak pemilikan dusung

dati ini ada sebelum tahun 1814. Kemudian pada masa peralihan Pemerintah

Inggris dirasa perlu untuk menata kelompok kerja dengan hak-hak pemilikannya

agar dengan mudah dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah pada waktu

itu. Kemudian oleh pemerintah Belanda dilakukan registrasi di Pulau-pulau Lease

dan pulau Ambon tahun 1883 dengan batas-batas yang jelas tetapi tidak tuntas

(Godlief pada artikel Ziwar Effendi,1997).

Valentyn F. dalam bukunya ”Oud en nieuw India II” hal 184 : Dati adalah

Hoofdienst dimana pada bulan dilaksanakan pelayaran Hongi (Hongi Tohten)

setiap tumah tangga diwajibkan menyerahkan seorang laki-laki untuk selama

lebih kurang 1 (satu) bulan kepada VOC untuk melaksanakan tugas pelayaran

33

Hongi tanpa usaha (imbalan). Sedangkan menurut Reidel G.E.F mengartikan

sebagai petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang kuat kerja (weebaar) atau

kepala rumah tangga dengan syarat harus hongi. Sehingga menurut G.A.Adries

(2009) yang dimaksud dengan tanah dati adalah sebidang tanah negeri yang

diberikan negeri kepada salah satu cabang keluarga yang pernah berjasa bagi

negeri sebagai suatu unit produksi yang berfungsi menjamin keberlangsungan

kehidupan ekonomi dari cabang keluarga tersebut menurut garis keturunan

bapanya, dengan ketentuan bahwa anak perempuan yang tidak menikah juga

berhak ”Makan Dati” (menikmati hasilnya juga) oleh karena anak wanita masih

memikul nama keluarga ayah (Holleman 1923,12.70).

Hak pemilikan dusun dati adalah hak kelompok (dati artinya kelompok

kerja), bukan perorangan. Dusung dati memiliki 2 (dua) hak kepemilikan yaitu

hak penguasaan tanaman (usaha) adalah pemegang dusung dati dan hak petuanan

adalah hak saniri negeri/desa. Pada tanggal 1 Juni 1923 hak dati dihapuskan. Hak

dati atas dusung-dusung dati tidak lagi diatur secara jelas sehingga dusung

tersebut dimiliki oleh dati yang kemudian menjadi persoalan negeri/desa dengan

pemilik dati-dati tersebut. Hingga saat ini, penguasaan lahan dusung di desa ini

tetap dikuasai oleh keluarga-keluarga pemegang hak dati tersebut dan diakui oleh

Pemerintah Desa.

Desa Amahusu

Hingga era tahun 1970-an, dalam melaksanakan pemerintahan desa istilah-

istilah adat masih digunakan. Misalnya pemimpin pemerintahan adalah Raja

(Kepala Desa) dan dibantu oleh staf pemerintahan seperti Kapitang, Kepala

kewang, Marinyo kemudian perkumpulan pemuda-pemudi yang disebut Jujaro-

mungare yang dipimpin oleh Kepala Jujaro-mungare. Selain itu terdapat juga

lembaga musyawarah desa yang disebut Saniri Negeri.

Sejak tahun 1980-an, Desa Amahusu memiliki sistem Pemerintahan yang

telah menyesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dimana

istilah-istilah seperti Raja (Kepala Pemerintahan Desa/Negeri), Saniri Negeri

(Lembaga Musyawarah Desa/Negeri) beserta staf desa/negeri antara lain

Kapitang, Marinyo, Kepala Kewang yang sudah tidak dipergunakan.

34

Sebagai desa adat, masyarakat Desa Amahusu juga memiliki kemiripan

dengan desa-desa adat yang terdapat di Kota Ambon. Hal ini dapat dilihat dari

istilah kemasyarakatan seperti soa, marga (asli dan pendatang) dan dusun dati

seperti halnya desa Urimesing.

Istilah Soa diartikan sebagai bentuk kekerabatan genealogis dalam batas

territorial tertentu. Pada masyarakat Desa Amahusu terdapat tiga soa yaitu : Soa

Wakkang, Soa Westopong dan Soa Nahel dimana saat ini ketiga soa tersebut telah

berubah nama menjadi dusun yaitu dusun Wakkang, dusun Westopong dan dusun

Nahel. Marga asli desa Amahusu antara lain Silooy, de Costa, Matitaputi,

Mainake, Soplanit, Tomasila, Akioar, Tahalele, Nussy dan Pupela yang memiliki

hak atas beberapa dusung dati.

Masyarakat masih memiliki ketergantung pada HLGN, penggarapan

kawasan hutan berdasarkan sistem dusung tetap diberlakukan dan diakui oleh

Pemerintah. Secara de jure adalah hak pemerintah namun secara de facto adalah

hak masyarakat. Untuk itulah maka sangat diperlukan aspek partisipasi dalam

pengelolaan kawasan ini.

Sebelum tahun 1996, kawasan HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang

sebagai besar (18,75%) telah dijadikan pemukiman dimana terdapat 2 desa di

dalamnya yaitu desa Amahusu dan Urimesing dengan sejumlah dusung yang telah

dikelola secara bertahun-tahun oleh masyarakat. Tidak semua kawasan hutan

lindung di kota Ambon dimanfaatkan sebagai dusung hanya 54,02 % dari

keseluruhan luas kawasan hutan (BAPEDA kota Ambon, 2007). Kemudian pada

tahun 1996 kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan keputusan

Menteri Kehutanan Nomor : 430/KPTS-II/1996 tentang Penetapan kelompok

hutan lindung gunung Sirimau seluas 3.449 hektar dan kelompok hutan Gunung

Nona seluas 877,78 hektar yang terletak di Kotamadya Ambon, Provinsi Daerah

Tingkat I Maluku, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung.

Penetapan ini diberlakukan karena HLGN memiliki fungsi sebagai daerah resapan

air bagi masyarakat kota Ambon.

Banyak kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, makanan ternak,

terutama air bersih dan lain-lain yang berasal dari hutan tersebut. Pemerintah telah

berupaya menegakkan hukum dengan mengosongkan hutan tersebut dari aktivitas

35

masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam aktivitas pengelolaan kawasan

seperti kegiatan reboisasi namun peran aktif masyarakat masih sebatas

keterlibatan dalam proyek tertentu dan perlindungan mereka terhadap kawasan

dusungnya. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan

dengan membentuk Kelompok tani yang dikhususkan untuk memelihara berbagai

jenis tanaman reboisasi.

Keberadaan HLGN seluas sekitar 877,78 ha di Provinsi Maluku ini

memiliki arti yang sangat penting dan strategis ditinjau dari aspek ekologi dan

lingkungan hidup serta aspek pembangunan sosial ekonomi Provinsi Maluku,

antara lain: (1) sebagai kawasan pelestarian alam yang diperlukan untuk

perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk pengawetan keanekaragaman

jenis tumbuhan dan satwa (plasma nutfah) serta pemanfaatan sumberdaya hayati

dan ekosistemnya secara lestari, (2) sebagai daerah tangkapan air bagi Kota

Ambon, yang dalam hal ini sangat penting artinya dalam menjaga siklus tata air,

menangkap, menyimpan dan menyediakan air permukaan dan air bawah tanah,

serta menjaga kestabilan lingkungan dari bahaya kekeringan, banjir dan tanah

longsor; dan (3) sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah di

sekitarnya, serta menunjang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, dan

perikanan (Dinas Kehutanan Propinsi Maluku, 2006).

Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan

kota Ambon bersama BAPEDA kota Ambon serta dikoordinasikan dengan Dinas

Kehutanan Provinsi Maluku serta BPDAS Waihapu Batumerah. Berbagai pihak

pun dilibatkan dalam pengelolaan kawasan HLGN ini antaralain berbagai

lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional dan beberapa

universitas di kota Ambon, dengan tujuan meningkatkan fungsi kawasan dan

kelestariannya serta peningkatan peran serta masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan uraian diatas maka terurai beberapa pembelajaran (lesson

learn) bagi pengembangan penelitian ini yaitu :

1. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan peran partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan dusung saat ini yang akan berguna mendukung upaya

perlindungan kawasan HLGN.

36

2. Mendiskripsikan pembelajaran dari kerjasama yang diperlihatkan oleh

berbagai pihak (stakeholder) dalam pengelolaan kawasan HLGN.

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik Individu

Karakteristik individu sebagai kelompok variabel independen dalam

penelitian ini terdiri dari: (1) pengetahuan tentang HLGN, (2) luas lahan dusung

garapan, (3) status pemilikan lahan dusung, (4) pendapatan per tahun responden,

(5) umur responden, (6) lama keterlibatan dalam organisasi masyarakat, (7)

pendidikan Responden, (8) nilai aset/kekayaan, (9) jumlah tanggungan keluarga

dan (10) identitas asal responden. Keragaman setiap variabel tersebut secara

deskriptif dipaparkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung

Uraian karakteristik individu Desa Amahusu

Desa Urimesing

Total Jumlah (Orang)

Presentase (%)

Pengetahuan tentang HLGN Sangat kurang memahami 5 8 13 21.67 Kurang memahami 6 5 11 18.33 Cukup baik memahami 5 7 12 20.00 Sangat baik memahami 14 10 24 40.00 Luas Penguasaan dusung

a. Penggolongan berdasarkan standar luas dusung

Dusung luas (2,5-5 ha) 5 7 12 20 Dusung sedang (1-2,5 ha) 12 5 17 28.33 Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67

b. Penggolongan berdasarkan kelompok responden

Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67 Dusung Luas (1 – 5 ha) 17 12 29 48.33 Status Pemilikan lahan dusung Dusung adat 11 9 20 33.33 Dusung milik sendiri dengan sertifikat 2 5 7 11.67 Dusung disewa. 0 0 0 0.00 Tanpa status 16 16 32 53.33

Pendapatan dari dusung rendah (1 - 5 juta) 12 14 26 43.33 tinggi (5- 10 juta) 18 16 34 56.67 Umur Muda (30-45) 3 5 8 13.33 Tua (47-72) 27 25 52 86.67

38

Uraian karakteristik individu Desa Amahusu

Desa Urimesing

Total Jumlah (Orang)

Presentase (%)

Keterlibatan dalam organisasi Keanggotaan baru (1-4 thn)

3

2

5

8.33

Keanggotaan lama (4-6 thn) 27 28 55 91.67

Tingkat pendidikan SD 4 4 8 13.33 SMP 8 9 17 28.33 SMU 18 16 34 56.67 Univ/akademi 0 1 1 1.67

Nilai asset 5 - 10 jt 13 11 24 40.00 10 - 20 jt 10 15 25 41.67 > 20 jt 7 4 11 18.33

Jumlah tanggungan 1 - 4 org 8 5 13 21.67 5 - 8 org 22 23 45 75.00 > 8 org 0 2 2 3.33

Identitas asal Masyarakat Asli 28 28 56 93.33 Pendatang (telah menetap lama) 1 2 3 5.00 Pengungsi (menetap karena konflik) 1 0 1 1.67

Pengetahuan Masyarakat tentang HLGN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang

HLGN ternyata 21.63 persen sangat kurang memahami dan 40 persen sangat

memahami tentang HLGN tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat

telah memahami, bagaimana fungsi dan tujuan dari hutan lindung tersebut dan

mengakibatkan timbulnya aktivitas yang sesuai dengan perilakunya dalam

berbagai aktivitas pengelolaan hutan terutama aktivitasnya mengelola dusung.

Walaupun faktor yang mempengaruhi tidak hanya pengetahuan tentang

HLGN, tetapi melalui pengetahuan dan pemahamannya tentang HLGN yang

telah dimiliki, masyarakat pengelola dusung akan dapat memberikan respon yang

sesuai bagi kondisi HLGN dalam bentuk perilakunya yang sekaligus

menggambarkan partisipasinya dalam kegiatan pengelolaan hutan tersebut sesuai

aturan yang berlaku. Hal ini nampak dengan difungsikan lagi kewang (polisi

hutan) pada masing-masing desa. Fungsi kewang dalam melaksanakan fungsi

pengawasan terhadap pengelolaan hutan antaralain : 1). Mengawasi batas-batas

negeri, 2). Memeriksa jenis-jenis tanaman yang sudah atau belum dipanen serta

39

menentukan kapan pemberlakuan sasi 3). Menindak para pelanggar sasi, 4)

menentukan area yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang, 5) melakukan

penghijuan pada Daerah aliran Sungai, serta 6) pengawasan galian C (batu dan

pasir) ini merupakan tugas baru dari kewang.

Sasi adalah larangan untuk mengambil (mengelola dan mamanfaatkan)

hasil sumberdaya alam tertentu, selama periode tertentu (biasanya tiga bulan,

enam bulan, bahkan lebih dari satu tahun) tergantung jenis dan perkembangan

populasinya sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi

sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Jenis sasi antaralain

sasi laut, sasi kali, sasi hutan, sasi dalam negeri/desa.

Saat ini pada masing-masing desa ditugaskan 2 – 3 orang kewang dimana

penunjukan perwakilan kewang ditentukan oleh kepala dusun dengan persetujuan

masyarakat. Pada tahun 2009, petugas kewang diangkat dan telah digaji oleh

Pemerintah kota Ambon, khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota

Ambon atas persetujuan masyarakat setempat. Masyarakat sangat menghargai

fungsi kewang ini dan sangat terbantu oleh tugasnya karena secara tidak

langsung, kewang setiap hari bertugas di hutan dan mengawasi dusung-dusung

yang ada dan segera bertindak serta melakukan kerjasama dengan pihak

kepolisian bila terjadi persoalan tindak pidana (Illegal logging dan lain-lain).

Masyarakat memahami hak individu yang dimilikinya atas pengelolaan

dusung yaitu memelihara, memungut, memanfaatkan, mentransfer atau

memindahtangankan hak ke pihak lain atas dusungnya. Hak-hak tersebut

dipegang oleh individu pengelola dan diakui oleh anggota masyarakat. Meskipun

individu mempunyai hak penguasaan secara penuh atas dusung dan hasil yang

diperolehnya, namun secara satuan kolektif masih mempunyai kewenangan-

kewenangan untuk mengatur penggunaan dan alokasi kembali lahan tersebut

dalam batas teritorial tertentu yang diakui sebagai haknya berdasarkan ketentuan

adat. Sebagai contoh untuk memanen hasil hutan dalam jumlah besar terutama

hasil kayu dan pemanfaatan kawasan di sekitar dusung dati, diwajibkan

menyampaikan pemberitahuan kepada kewang dan memperoleh ijin dari kepala

desa setempat. Masyarakatpun memahami fungsi HLGN ini, sehingga

pengetahuan lokal yang dimiliki berorientasi pada pengaturan dan pembatasan

40

pengambilan dan pemanfaatan sumberdaya baik dusung maupun hutannya.

Dalam kondisi demikian, maka pola pengelolaan dusung diharapkan membantu

mempertahankan fungsi kawasan HLGN agar tetap lestari.

Luas Penguasaan Dusung

Luas penguasaan lahan dusung oleh masyarakat adalah luas lahan hutan

yang digarapnya tanpa memandang tingkatan haknya atas hutan yang digarap.

Luas lahan dusung berkisar antara 1 – 2,5 hektar. Berdasarkan luas dusung yang

digarap, penguasaan dusung dapat dibedakan atas dua katagori yaitu (1)

pengelola dusung sempit dengan penguasaan < 1 hektar dan (2) pengelola dusung

luas dengan penguasaan 1 - 5 hektar. Para pemilik dusung didominasi oleh

pemilik dusung dengan lahan sempit (51,67 %) dan hanya 48,33 persen saja yang

mengarap dusung dengan luas antara 1 – 5 hektar.

Luas Penguasaan dusung ini telah ada secara turun temurun dan di

usahakan oleh keluarga-keluarga yang memiliki hak tersebut khususnya dusung

dati dan hal ini diakui oleh pemerintahan desa setempat, pemerintah kota Ambon

serta pemerintah provinsi. Namun untuk pemerintah pusat belum ada pengakuan

resmi tentang status dusung ini.

Status Pemilikan lahan dusung

Status pemilikan lahan dusung merupakan tingkatan hak masyarakat atas

dusung yang digarapnya. Berdasarkan pemilikan dusung yang diusahakan, status

pemilikan dusung dibedakan atas dusung adat (33,33%), dusung milik sendiri

dengan sertifikat (11,67%), dusung disewakan (0%) dan tanpa status (53,33%).

Terlihat bahwa sebagian besar lahan dusung yang digarap (53,33%) adalah

dusung yang tanpa status. Oleh pemiliknya diklaim sebagai haknya (menurut

warisan orangtunya) namun secara tertulis tidak dapat dibuktikan. Hal inilah yang

sering menimbulkan masalah di masyarakat karena sering terjadi upaya saling

mengklaim dari masing-masing keluarga terhadap dusung tersebut. Status

pemilikan inipun berimplikasi dengan pendapatan mereka karena harus membagi

hasilnya dengan keseluruhan keluarganya yang merasa juga memiliki hak atas

dusung tersebut. Status penguasaan inipun berkaitan erat dengan pola pengelolaan

dusung yang dijalani artinya tidak ada jaminan bahwa pengelola dusung tersebut

41

akan secara leluasa merencanakan pengembangan usahanya dalam jangka panjang

karena sewaktu-waktu dapat diklaim oleh keluarga yang lain.

Pendapatan dari dusung

Pendapatan pengelola dusung yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah pendapatan bersih yang diperoleh dari usaha pengelolaan dusung selama 1

(satu) bulan. Pendapatan usaha dusung masyarakat kedua desa berkisar antara Rp

1.000.000,- sampai dengan Rp 7.000.000,- per bulan. Penggolongan pemilik

dusun berdasarkan pendapatan, ternyata 34% mempunyai pendapatan yang tinggi.

Pendapatan usaha dusung yang tinggi ini berkaitan erat dengan luas lahan

yang digarap, status pemilikan dan tentunya manajemen usahanya. Saat ini

banyak kawasan dusun dimanfaatkan sebagai usaha peternakan dan tanaman

sayur-sayuran yang cukup produktif sehingga berimplikasi terhadap pendapatan

yang diperoleh walau luas lahan sempit dan tanpa status yang jelas.

Umur responden

Mendiskripsikan tingkatan umur pengelola dusun pada prinsipnya untuk

mengetahui tingkatan usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebaran umur tua (47 - 72 tahun) dan umur muda (30-45) adalah 86,67% berada

pada umur tua. Hal ini menunjukan bahwa gambaran responden kebanyakan

tergolong usia tua dalam mengupayakan lahan hutan lindung sebagai mata

pencaharian mereka karena yang usia muda tidak lagi beraktivitas sebagai

pengelola dusung, mereka telah memiliki pekerjaan tetap dimana sebagian besar

sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mempekerjakan orang lain dalam pengelolaan

dusungnya. Walau dikelola oleh para orangtua namun generasi penerus tetap

menghargai keberadaan dusungnya sebagai warisan yang perlu senantiasa dijaga

kelestarianya.

Lama keterlibatan dalam organisasi

Adapun organisasi yang dimaksudkan dalam riset ini adalah organisasi

yang dibentuk oleh gereja (unit) dimana pada kedua desa masyarakat terlibat aktif

didalamnya dan memiliki peran dalam pengelolaan dusung terutama sebagai

media komunikasi dan informasi masyarakat.

Lama keterlibatan menjadi anggota organisasi di masyarakat berimplikasi

luas, terutama dari segi pengalaman pengelola dusung dalam berorganisasi secara

42

partisipasif dengan suatu asumsi bahwa praktek organisasi masyarakat

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang benar, artinya dalam

menyelenggarakan tatahubungan kerja dalam organisasi benar-benar

mencerminkan ciri-ciri kerjasama yang terbangun dengan baik. Berdasarkan hasil

penelitian pada kedua desa, keterlibatan masyarakat pengelola dusung berkisar 1-

6 tahun. Sebagian besar (91,67%) termasuk dalam keanggotaan lama dan 8,33 %

keanggotaan baru.

Masyarakat memiliki kesadaran tinggi pentingnya berorganisasi. Mereka

menyadari dengan berorganisasi senantiasa dapat membangun pola kerjasama

untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang dialami dan

terbangunnya komunikasi yang baik terutama dalam menunjang aktivitas

pengelolaan dusungnya.

Tingkat pendidikan

Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti

oleh responden. Pentingnya pendidikan formal bagi responden, agar dapat

mengukur pengetahuan dalam memahami aspek pengelolaan hutan lindung di

wilayahnya.

Dari tabel 15 menunjukkan bahwa responden 56,67 % memiliki strata

pendidikan SMU. Tingkat pendidikan ini tergolong cukup tinggi dari kedua

masyarakat desa tersebut, sehingga Pemerintah sangat terbantu dalam menjalin

kerjasama dengan masyarakat kedua desa karena pemahaman yang tinggi dan

mudah membangun komunikasi.

Nilai aset/kekayaan

Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden dan diukur dalam satuan

rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki. Aset yang dimiliki

responden berdasarkan penelitian 41,67% berkisar Rp 10.000.000,- – Rp

20.000.000,- . Nilai aset atau kekayaan ini sangat mempengaruhi strata

sosial di dalam masyarakat dan pada kedua desa ini, masyarakat yang

memiliki aset terutama luas dusung yang cukup besar sangat berpengaruh

dan dihormati oleh masyarakat lainnya.

43

Jumlah Tanggungan Keluarga

Yang dimaksudkan dengan jumlah tanggungan keluarga adalah

istri,anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jumlah tanggungan

keluarga responden berkisar antara 1 sampai 8 orang, dengan rata-rata

jumlah tanggungan keluarga responden 3 sampai 8 orang.

Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga

responden yang paling banyak berjumlah 5 sampai 8 orang yaitu sebesar

45 orang atau 75 %. Jumlah tanggungan ini mencerminkan akan jumlah

kebutuhan sandang, perumahan dan makan bagi seluruh anggota

keluarganya. Pada kedua desa, sebagian besar masyarakatnya memanfaat

hasil dusung yang berupa sayur-sayuran sebagai makanannya sehari-hari

sedangkan hasil buah-buahannya yang dipasarkan.

Identitas Asal Responden

Merupakan identitas asal daerah dari responden ini. Berdasarkan hasil

penelitian, 93.33% adalah penduduk asli dari kedua desa tersebut dimana secara

turun temurun telah menetap pada masing-masing desa. Namun demikian nampak

juga 5 % pendatang dan 1,67% pengungsi karena konflik yang juga telah

menetap.

Saat ini, pada ± 8% arael di sekitar kawasan HLGN telah dibangun

pemukiman baru masyarakat yang terkena imbas konflik dan dibangun atas

persetujuan pemilik tanah masyarakat kedua desa dan Pemerintah setempat.

Keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaan kawasan karena selain

ditempati sebagai tempat tinggal, ada sebagian arealpun dimanfaatkan mereka

sebagai lahan bercocok tanam sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari dan aktivitas penambangan pasir dan batukarang yang diperjualbelikan.

Sistem bagi hasilpun diberlakukan oleh pemilik dusung dengan masyarakat

pekerja penambangan pasir dan batu yang berada di sekitar dusung miliknya. Hal

ini semakin memperparah keberadaan kawasan HLGN. Pemerintahpun hingga

saat ini, tidak bertindak untuk aktivitas penambangan ini dan terkesan

membiarkan.

44

Interaksi masyarakat asli dan pendatang ini cukup baik dan terjalin lebih

baik karena keterlibatan bersama dalam berorganisasi terutama organisasi

keagamaan.

Karakteristik Organisasi

Variabel yang dikelompokkan ke dalam kelompok variabel karakteristik

organisasi terdiri dari : (1) presepsi tentang organisasi yang meliputi komunikasi

dan informasi, pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan,

penyelesaian masalah, (2) hubungan pengurus dengan anggota. Keragaan setiap

variabel tersebut tertera pada Tabel 16.

Tabel 16. Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung

Uraian karakteristik Organisasi Desa Amahusu

Desa Urimesing

Total Jumlah (Orang)

Presentase (%)

Presepsi tentang organisasi a.Komunikasi & informasi

kurang baik 0 0 0 0.00 cukup baik 0 8 8 13.33 Baik 24 22 46 76.67 sangat baik 0 0 0 0.00

b.Pemahaman aturan organisasi

tidak paham 0 2 2 3.33 sedikit paham 1 7 8 13.33 cukup paham 10 11 21 35.00 sangat paham 11 10 21 35.00

c. Pengambilan keputusan

kurang baik 0 2 2 3.33 cukup baik 0 1 1 1.67 Baik 20 26 46 76.67 sangat baik 4 1 5 8.33

d.Penyelesaian masalah

kurang baik 0 0 0 0.00 cukup baik 16 9 25 41.67 Baik 2 21 23 38.33

Hubungan pengurus dengan anggota

kurang baik 0 7 7 11.67 cukup baik 11 4 15 25.00 Baik 12 14 26 43.33

Presepsi responden terhadap organisasi

Pada bagian presepsi ini dijabarkan lagi dalam 4 (empat) indikator yaitu :

45

(1) Komunikasi dan informasi dimana melalui penelitian ini tergambar bahwa 46

orang atau 76,67 % responden menyatakan bahwa jalinan komunikasi dan

informasi mereka dalam berorganisasi dikatagorikan baik. Hal inipun tercermin

pada pola komunikasi yang dibangun didalam masyarakat dimana hingga saat ini

pada desa Urimesing masih memanfaatkan fungsi Marinyo (salah satu perangkat

desa adat) yaitu pesuruh desa/negeri yang bertugas menyampaikan perintah dan

pemberitahuan dari pemerintah kepada masyarakat Urimesing dengan istilah

”bataria tita” atau tabaos (membacakan pengumuman di hadapan masyarakat).

Kata marinyo berasal dari bahasa Portugis merincho artinya pesuruh. Selain itu

pada berbagai organisasi terutama organisasi keagamaan dijadikan sarana

komunikasi dan informasi diantara masyarakat sehingga di dalam

mengorganisasikan aktivitas partisipasi masyarakat untuk partisipasi tidaklah sulit

dilakukan. Di sini tergambar bahwa adanya sistim informasi yang terbuka yang

akan menjadi kontrol masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan

kebijakan maupun pengelolaan hutan di lapangan yang senantiasa dapat terjadi.

(2) Pemahaman aturan organisasi, melalui penelitian ini tergambar 35%

responden sangat dan cukup paham memahami aturan organisasi yang ia jalani.

Pemahaman ini sangat membantu masyarakat melakukan peranannya sesuai

dengan tujuan organisasi dan tentunya sangat membantu mengarahkan aktivitas

partisipasi yang dilakukan di dalam masyarakat. Saat ini, dalam penerapan salah

satu kebijakan Pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan, telah

dimulai pemberlakuan sistem insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam

kelompok pemeliharaan tanaman reboisasi pada lokasi HLGN. Kelompok ini

telah menjalankan fungsi selama setahun dan senantiasa di evaluasi peranannya

oleh Pemerintah.

(3) Pengambilan keputusan, melalui penelitian ini tergambar 76,67% responden

memberikan penilaian ”baik” tiap proses dan keputusan yang diambil dalam

aktivitas berorganisasi selama ini. Saat ini bagi masyarakat kedua desa,

pengambilan keputusan diambil melalui pertemuan bersama yang melibatkan

semua pihak terkait. Sebagai contoh keterlibatan masyarakat dalam aktivitas

reboisasi HLGN dimana keikutsertaan masyarakat secara berkelompok dan

46

penentuan lokasi pemeliharaan tanaman reboisasi ditentukan berdasarkan

pertemuan bersama semua pihak.

(4) Penyelesaian masalah, melalui penelitian ini tergambar 41,67% responden

memberikan penilaian cukup baik terhadap upaya penyelesaian berbagai masalah

di dalam berorganisasi di masyarakat. Upaya penyelesaian masalah selama ini

diberlakukan secara bertahap dimana dimulai dengan pelaporan dan penyelesaian

yang diupayakan oleh kepala dusun atau ketua RT, apabila tidak terselesaikan di

lanjutkan ke tingkat desa/negeri dan lebih lanjut diupayakan ke tingkat

pengadilan. Untuk persoalan dusung, upaya penyelesaian diupayakan terlebih

dahulu oleh kedua pihak yang bertikai dan difasilitasi oleh kewang.

Hubungan Pengurus dan Anggota

Dari hasil penelitian ini menilai bahwa hubungan pengurus dan anggota di

dalam berorganisasi selama ini dikatagorikan baik (43,33%) dan kurang baik

(11,67%). Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi kesesuaian hubungan

sebagaimana yang diharapkan oleh anggota masyarakat.

Kawasan HLGN adalah sumberdaya yang dikuasai oleh kelompok

masyarakat tertentu yaitu sumberdaya yang dikuasai dan dikelola berdasarkan

tata aturan kelompok masyarakat tersebut. Hal ini nampak pada sistem

pengelolaan dusung yang berlaku dimana akses tiap individu anggota kelompok

terhadap sumberdaya yang dikuasai bersama menghasilkan pendapatan yang

cukup nyata. Seringkali tambahan manfaat ini tidak menguntungkan apabila harus

disediakan oleh individu pengelola dusung secara sendiri-sendiri (Kartodihardjo,

2006) untuk itulah diperlukan partisipasi yang dikoordinasi oleh pengurus

organisasi di masyarakat, misalnya untuk memanen hasil cengkeh dari pemilik

dusung yang memiliki luas dusung yang besar, ia membutuhkan partisipasi

masyarakat yang lain untuk membantunya. Begitupun Dinas Kehutanan kota

Ambon sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk memelihara tanaman-

tanaman reboisasi pada kawasan HLGN yang telah ditanam.

Partisipasi Responden

Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di

sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan

47

kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat

kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan

perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan

monitoring terhadap kawasan HLGN. Adapun hasilnya tercantum pada

tabel 17 berikut ini :

Tabel 17. Partisipasi responden dalam pengelolaan Hutan Lindung

No

Indikator Penilaian

Desa Amahusu Desa Urimesing Total Presentase

T S R T S R T S R T S R

Perencanaan Kegiatan survey 3 12 15 4 12 14 7 24 29 11.67 40.00 48.33

2 Pemberian informasi 1 8 21 1 8 21 2 16 42 3.33 26.67 70.00

3 Pengajuan usul & Saran 3 13 14 4 10 16 7 23 30 11.67 38.33 50.00

Pelaksanaan

1 Pemberian sumbangan pikiran 1 17 12 1 11 18 2 28 30 3.33 46.67 50.00

2 Pemberian sumbangan tenaga 6 16 8 2 11 17 8 27 25 13.33 45.00 41.67

3 Pemberian sumbangan materi 0 4 26 2 2 26 2 6 52 3.33 10.00 86.67

Penerimaan Manfaat

1 Peningkatan pendapatan 10 18 2 12 13 5 22 31 7 36.67 51.67 11.67

2 Manfaat hutan 1 18 11 0 30 0 1 48 11 1.67 80.00 18.33

3

Ketergantungan terhadap hutan 0 28 2 1 27 2 1 55 4 1.67 91.67 6.67

Monitoring dan Evaluasi

1 Monitoring Hutan lindung 3 8 19 2 6 22 5 14 41 8.33 23.33 68.33

2 Mengawasi hutan lindung 2 10 18 1 3 26 3 13 44 5.00 21.67 73.33

3 Mengevaluasi hutan lindung 1 4 25 1 4 25 2 8 50 3.33 13.33 83.33

Ket : T = tinggi, S = Sedang dan R= rendah

48

Partisipasi masyarakat ini di nilai melalui 4 (empat) indikator yaitu :

1). Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi

masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti keterlibatan

dalam kegiatan survei lapangan, pemberian informasi, dan mengajukan

usul/saran. Lebih jelas tertera pada tabel 17.

Dari tabel tersebut menunjukan bahwa masyarakat sekitarnya belum

dilibatkan untuk melakukan kegiatan perencanaan terhadap pelestarian hutan

lindung. Untuk kegiatan survei, hanya 7 responden atau 11,67% yang pernah

melakukan bersama dengan petugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kota Ambon. Masyarakat yang aktif memberikan informasi kepada petugas

untuk pengelolaan kawasan hanya 2 responden atau 3,33% dan yang pernah

mengajukan usul, saran atau pendapat hanya sebesar 7 responden atau

11,67%.

2). Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan

Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi

masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti pemberian

sumbangan pikiran, tenaga dan materi. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17

di atas.

Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat setempat dalam

memberikan sumbangan saran masih rendah dan hanya beberapa anggota

masyarakat yang memberikan sumbangan pikiran,tenaga maupun materi

untuk pengelolaan HLGN yaitu sebesar 3,33% untuk sumbangan pikiran,

untuk sumbangan tenaga 13,33% dan sumbangan materi sebesar 3,33%.

3). Partisipasi Masyarakat dalam Penerimaan Manfaat

Dalam kegiatan penerimaan manfaat dari pengelolaan HLGN,

partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti

peningkatan pendapatan, pengertian manfaat hutan terhadap lingkungannya

dan ketergantungan terhadap hutan. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di

atas.

49

Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat berpartisipasi tinggi

tethadap pengelolaan kawasan HLGN apabila ada motivasi untuk keuntungan

mereka yaitu peningkatan pendapatannya yaitu sebesar 36,67 %. Tetapi

mereka mengabaikan manfaat hutan terhadap kelestarian lingkungan

terutama dapat mencegah erosi dan tanah longsor serta sumber air bersih.

Ketergantungan hidup terhadap hutan rendah sebesar 1,67 %, hal ini karena

mereka juga mengusahakan dusung di dalam kawasan hutan.

4). Partisipasi Masyarakat dalam Monitoring Dan Evaluasi

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan HLGN,

partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti

memonitor hutan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pada

hutan lindung. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih

rendah tingkat partisipasinya terhadap kegiatan monitoring, mengawasi dan

mengevaluasi hutan lindung yaitu sebesar 8,33%, 5% dan 3,33%.

Hubungan antara Karakteristik Responden

dengan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan HLGN

Hubungan karakteristik responden dengan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan kawasan HLGN dikaji berdasarkan analisis Chi Square (X2) dan

digunakan uji Koefisien Kontigensi (C). Nilai X2 dan koefisien keeratan

hubungan dari masing-masing variabel heterogenitas dari kedua desa dapat

dilihat pada tabel 18.

50

Tabel 18 Hubungan berbagai karakteristik responden dengan partisipasi, nilai

X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Amahusu

No Hubungan partisipasi

dengan karakteristik..........

Nilai X2 Nilai C Hubungan

1 Umur 3,600 0,327 Tidak ada

2 Pendidikan 0,764 0,158 Tidak ada

3 Jumlah tanggungan keluarga 1,765 0,236 Tidak ada

4 Pengetahuan 25,378 0,677 Ada hubungan/kuat

5 Luas dusun 12,573 0,543 Ada hubungan/sedang

6 Status pemilikan 16,223 0,592 Ada hubungan/sedang

7 Pendapatan 1,536 0,221 Tidak ada

8 Nilai aset 9,143 0,483 Tidak ada

9 Lama keterlibatan dalam organisasi 17,400 0,648 Ada hubungan/kuat

10 Hubungan didalam organisasi 13,010 0,593 Ada hubungan/sedang

11 Komunikasi dan Informasi 0 0 Responden menilai baik

12

13

Pemahaman aturan organisasi Pangambilan keputusan

3,152

3,000

0,341

0,333

Tidak ada

Tidak ada

14 Penyelesaian masalah 9,611 0,535 Ada hubungan/sedang

Tabel 19. Hubungan berbagai karakteristik dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Urimesing

No Hubungan partisipasi

dengan karakteristik..........

Nilai X2 Nilai C Hubungan dan tingkat hubungan

1 Umur 5,250 0,386 Tidak ada

2 Pendidikan 8,125 0,462 Tidak ada

3 Jumlah tanggungan keluarga 2,689 0,287 Tidak ada

4 Pengetahuan 15,910 0,589 Ada hubungan/sedang

5 Luas dusun 14,820 0,575 Ada hubungan/sedang

6 Status pemilikan 16,207 0,592 Ada hubungan/sedang

7 Pendapatan 8,693 0,474 Ada hubungan/sedang

8 Nilai aset 22,033 0,651 Ada hubungan/kuat

9 Lama Keterlibatan dalam organisasi 6,562 0,424 Ada hubungan/sedang

10 Hubungan didalam organisasi 19,890 0,631 Ada hubungan/kuat

11 Komunikasi dan Informasi 1,643 0,228 Tidak ada

12 Pemahaman aturan organisasi 7,710 0,452 Tidak ada

13 Pengambilan keputusan 4,038 0,344 Tidak ada

14 Penyelesaian masalah 0,067 0,047 Tidak ada

51

Hubungan Luas Dusun dengan Partisipasi Masyarakat

Khusus untuk data luas dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui

tabel 20 sebagai berikut :

Tabel 20. Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa

Partisipasi

Luas dusung

Total 2,5-5 ha 1-2,5 ha < 1 ha

Tinggi 4 2 0 6

Sedang 14 8 10 32

Rendah 0 2 20 22

Total 18 12 30 60

Dari tabel diatas tergambar bahwa pada luas dusung 2,5-5 ha, 14

responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan 20 responden pada luas dusung

< 1 ha memiliki tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa semakin

luas penguasaan lahan maka semakin tinggi tingkat partisipasi. Pada masyarakat,

pemilik dusung dengan luas penguasaan lahan yang besar memiliki pengaruh

kekuasaan yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan dihormati serta cenderung

berperan lebih aktif dalam suatu partisipasi. Selain itu tingkat partisipasi sedang

hingga rendah menggambarkan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan

berpartisipasi hanya pada upayanya memelihara dusung yang berada di dalam

kawasan hutan lindung dan belum dapat berpartisipasi lebih tinggi bagi

kelestarian hutan secara menyeluruh.

Hubungan Status Pemilikan dengan Partisipasi Masyarakat

Khusus untuk data status pemilikan dusung ini, memiliki penjelasan

tambahan melalui tabel 21 sebagai berikut :

52

Tabel 21. Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa

Partisipasi

Status pemilikan dusung

Total Dusung

adat

Dusung milik

sendiri

Tanpa

status

Tinggi 5 1 0 6

Sedang 15 6 11 32

Rendah 0 0 22 22

Total 20 7 33 60

Dari tabel diatas tergambar bahwa pada status pemilikan dusung adat, 15

responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan pada dusung tanpa status 22

responden berada pada tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa

status pemilikan yang dikelompokkan menjadi dusung adat, dusung milik sendiri

dengan sertifikat, dusung disewakan dan dusung tanpa status, dapat dikatakan

memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dapat dikatakan

ditentukan oleh status pemilikan atas lahan dusung yang diusahakannya.

Masyarakat dengan dusung yang telah disertifikasi lebih aktif dan berwenang

menjalankan peran partisipasi dibandingkan masyarakat yang memiliki dusung

tanpa status. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan dan kewenangan (hak

yang disepakati bersama untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut

keberadaan hutan dan dusungnya) lebih tinggi dimiliki oleh pemilik dusung yang

telah disertifikasi tersebut (Kepala desa Urimesing, 2009).

Hubungan umur dengan partisipasi masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa umur masyarakat pada kedua

desa tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menggambarkan tidak

terdapat hubungan antara umur dan partisipasi dimana aktivitas pengelolaan suatu

kawasan hutan tidak memberikan batasan umur bagi tiap masyarakat. Tiap

masyarakat baik berumur muda dan berumur tua diberikan kesempatan untuk

berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang ada.

53

Hubungan Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat pada

desa Amahusu dan desa Urimesing tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal

ini menjelaskan pada kasus penelitian ini bahwa tidak benar apabila pendidikan

yang tinggi akan berimplikasi pada tingginya tingkat partisipasi tersebut. Baik

masyarakat berpendidikan tinggi ataupun rendah dapat ikut serta berpartisipasi

aktif dalam berbagai aktivitas pengelolaan kawasan hutan lindung dan faktor

motivasilah yang berperan utama bagi upaya partisipasi yang dijalankan.

Hubungan Jumlah tanggungan keluarga dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga

responden pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi

Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya jumlah tanggungan keluarga tidak

berhubungan dengan aktivitas partisipasi yang dilakukan. Masyarakat tanpa

melihat jumlah tanggungan keluarganya dapat selalu berpartisipasi aktif.

Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Masyarakat

Pengetahuan masyarakat pengelola dusun merupakan pencerminan

kemampuan kognitif tentang berbagai aspek pengelolaan hutan, khususnya

dusun. Hasil analisis hubungan antara pengetahuan tentang hutan lindung dan

partisipasinya menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat pada kedua desa

memiliki hubungan erat dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya

(Koefisien C) sedang hingga kuat. Desa Amahusu sebesar 0,677 dan untuk desa

Urimesing sebesar 0,589. Hal ini menunjukan bahwa dalam berpartisipasi,

pengetahuan masyarakat menjadi syarat mutlak keberhasilan aktivitasnya dimana

pengetahuan sangat menunjang terhadap kegiatan-kegiatan yang harus

dilaksanakan oleh masyarakat dalam aktivitasnya sebagai masyarakat di sekitar

kawasan hutan lindung. Perilaku partisipatifnya akan terlihat lebih baik apabila

masyarakat memiliki pemahaman tentang hutan lindung, fungsi dan manfaatnya.

Pengetahuan tentang hutan lindung akan mempengaruhi dan menentukan

perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN artinya apa yang harus

dilakukan oleh pengelola dusung akan sangat ditunjang oleh pengetahuannya

tentang berbagai aspek hutan lindung tersebut dan bentuk peran sertanya dalam

54

suatu partisipasi. Dengan demikian maka terbukti hipotesis ini bahwa semakin

tinggi pengetahuan semakin baik tingkat partisipasi yang dilakukan.

Selain itu, pada suatu masyarakat ketika pengetahuannya dipandang

memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri

mereka akan semakin kuat, hal ini tentunya akan mendorong partisipasi yang

lebih efektif, khususnya ketika penduduk desa harus berurusan dengan orang-

orang luar (Carol J.P Colfer, 1999).

Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat pada

kedua desa memiliki hubungan dengan partisipasi.

Tujuan utama pengelolaan dusung adalah untuk meningkatkan

produktivitas lahan usahanya agar pendapatan meningkat. Keeratan hubungan

yang tergambar menunjukan tidak terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin

tinggi pendapatan dusung maka semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam

pengelolaan kawasan. Namun demikian hubungan yang tergambar tersebut

mengemukan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar

kesempatan ataupun peluang untuk berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan temuan

Agrawal,(2000) bahwa salah satu kriteria penting yang dijadikan patokan

keberhasilan performance institusi masyarakat untuk pengelolaan lingkungan

adalah keadilan pada distribusi biaya dan manfaat yang diperoleh. Masyarakat

mengelola dusung karena meyakini manfaat dan konsekuensi biaya yang ia

peroleh dan hal ini berimplikasi pada bentuk partisipasi yang ia lakukan.

Hubungan Nilai Aset/kekayaan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa nilai aset masyarakat pada

kedua desa berbeda. Untuk desa Amahusu nilai aset tidak memiliki hubungan

dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah

sebesar 0,483, sedangkan untuk desa Urimesing memiliki hubungan dengan

tingkat hubungan kuat sebesar 0,651. Hal ini menggambarkan bahwa nilai aset

tidak dapat dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi

masyarakat namun hubungan rendah dan kuat tersebut menjelaskan nilai aset ini

menciptakan gambaran pengaruh individu masyarakat tersebut yang dipandang

lebih berkuasa dan dihormati di masyarakat kedua desa tersebut. Pemilik dusung

55

dengan nilai aset yang besar lebih berpengaruh memainkan perannya pada

partisipasi di dalam masyarakat.

Hubungan Lama Keterlibatan dalam Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa lama keterlibatan

masyarakat dalam berorganisasi pada kedua desa memiliki hubungan dengan

aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga

kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,648 dan desa Urimesing sebesar

0,424. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara

lamanya keterlibatan pemilik dusung dalam berorganisasi dengan partisipasi

yang dijalankannya. Melalui aktivitas berorganisasi masyarakat dapat mengelola

kapasitas peran yang dilakukan dan menunjukan ketertarikannya dalam

partisipasi pada pengelolaan sumberdaya hutan tersebut. Aktivitas

berorganisasipun membantu mereka menemukan dan mengembangkan institusi

yang mereka miliki yaitu rasa saling percaya, jalinan informasi dan komunikasi

serta persahabatan yang terbina. Lama keterlibatan berorganisasi yang dimiliki

menjadi salah satu faktor keberhasilan partisipasi yang mereka lakukan.

Hubungan antara Anggota dan Pengurus Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pengurus

dan anggota pada organisasi masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan

terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang

hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,593 dan desa Urimesing

sebesar 0,631. Hal ini menggambarkan bahwa semakin baik hubungan pengurus

dan anggota maka makin tinggi partisipasinya. Selain itu hubungan ini

menjelaskan kesesuaian hubungan kerja yang dilakukan dimana kedua belah

pihak harus berupaya menempatkan dirinya sesuai peranan yang harus dilakukan.

Keberhasilan kerjasama yang baik antar pengurus dan anggota akan sangat

membantu mengelola partisipasi yang dijalankan.

Hubungan Komunikasi dan Informasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dan informasi

masyarakat pada desa Urimesing tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas

partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah yaitu sebesar 0,228

dan untuk desa Amahusu nilai X2 dan C tidak dapat dianalisis karena 76%

56

mengkatagorikan baik. Hal ini menggambarkan bahwa hipotesis penelitian yang

menyatakan bahwa semakin baik komunikasi dan informasi maka semakin tinggi

tingkat partisipasinya tidak terbukti. Namun tidak demikian pada situasi dan

kondisi masyarakat tertentu sebagai contoh desa Amahusu, masyarakat

memberikan penilaian bahwa aspek komunikasi dan informasi merupakan hal

penting dalam tiap interaksi mereka.

Komunikasi merupakan proses yang merekatkan semua interaksi sosial.

Semua proses sosial, struktur sosial dan jaringan sosial diwujudkan dalam proses

komunikasi. Kekuasaan dijalankan dan diekspresikan melalui proses komunikasi.

Semua komunikasi adalah proses transfer informasi. Pada proses komunikasi,

informasi dipertukarkan dalam bentuk simbol. Pada kedua desa ini, salah satu

simbol yaitu suara tifa masih dipakai sebagai media penyebaran informasi dan

pengumpulan masyarakat yang dilakukan oleh marinyo atas perintah Kepala

Dusun atau Kepala Desa. Masyarakat kedua desa melakukan banyak aktivitas

bersama yang membutuhkan informasi dan komunikasi yang baik misalnya

aktivitas Pameri hutan (kegiatan penjarangan tegakan pada lahan dusun

tertentu), olahraga bersama, serta ibadah bersama. Hal ini secara tidak langsung

mengurangi konflik dibandingkan desa lain yang kurang memiliki wadah

tersebut. Melalui jalinan komunikasi dan informasi yang baik, partisipasi dapat

dikelola dengan lebih baik bagi keberhasilan partisipasi tersebut.

Hubungan Pemahaman Aturan organisasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pemahaman aturan

organisasi di masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan

aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap pernyataan

hipotesis bahwa semakin paham aturan berorganisasi maka semakin tinggi

partisipasinya. Masyarakat memahami aktivitas berorganisasi adalah sebagai

wujud motivasi pribadi, keterpanggilan bagi kepentingan bersama serta motivasi

altruistik (semangat pengabdian bagi sesama) (Chitambar, 1973). Kurangnya

pemahaman terhadap performance organisasi yang ia jalani masih dapat teratasi

melalui peningkatan jalinan komunikasi dan informasi serta peran aktif melalui

partisipasi yang dikelola oleh organisasi tersebut.

57

Hubungan Pengambilan Keputusan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di

dalam masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas

partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap hipotesis yang

menyatakan bahwa semakin baik upaya pengambilan keputusan yang dilakukan

maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.

Upaya pengambilan keputusan senantiasa membutuhkan kepemimpinan.

Partisipasipun memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan formal selalu

mempunyai peran dalam partisipasi, tetapi pemimpin informal seringkali lebih

penting. Hal ini nampak pada masyarakat dimana peran tokoh masyarakat yang

lebih tua masih mendominasi proses ini.

Pada kedua desa, pertemuan bersama selalu berlangsung seminggu sekali

melalui wadah organisasi keagamaan dan sebulan sekali bagi aktivitas kewang.

Pengambilan keputusan difasilitasi melalui Lembaga Pemerintah Desa yang

dimulai secara bertahap dari tingkatan dusun hingga tingkat desa. Hingga saat

ini, jabatan Kepala Desa untuk desa Amahusu di tetapkan kriteria penduduk asli

yang memiliki marga tertentu (marga Silooy dan da Costa) sedangkan untuk desa

Urimesing lebih fleksibel dimana memberikan kesempatan siapa saja asalkan

memenuhi kriteria yang mendasar sebagai Kepala Desa.

Hingga saat ini tiap kebijakan Pemerintah Kota Ambon yang

berhubungan dengan pengelolaan kawasan HLGN senantiasa membutuhkan

persetujuan bersama dari masyarakat pada kedua desa. Sebagai contoh

penempatan sebagian kawasan untuk areal pemukiman pengungsi membutuhkan

persetujuan bersama dengan pemilik lahan pada kawasan tersebut.

Hubungan Penyelesaian masalah dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian masalah pada

desa Amahusu memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat

hubungannya (Koefisien C) sedang sebesar 0,535 dan tidak memiliki hubungan

untuk desa Urimesing dengan tingkat hubungannya rendah sebesar 0,047. Hal ini

menggambarkan adanya penerimaan dan penolakan terhadap hipotesis tersebut

bahwa semakin baik upaya penyelesaian masalah maka semakin tinggi tingkat

partisipasinya.

58

Namun berdasarkan hubungan keeratannya, faktor ini lebih berpengaruh

pada bentuk partisipasinya, seperti yang diungkapkan oleh Etzioni (1982).

Menurutnya berdasarkan upaya pengendalian organisasi maka ada tiga macam

bentuk partisipasi yaitu (1) partisipasi dengan ciri kepatuhan (keterlibatan

terpaksa), (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan dengan

pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh

organisasi), (3) Partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan

dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi). Pada

masyarakat kedua desa, bentuk partisipasi yang nampak adalah pada partisipasi

kalkulatif dan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral. Sebagai contoh : Aktivitas

penghijauan kawasan HLGN masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif

dimana mereka terlibat aktif bila diberikan insentif yang sesuai namun dalam

peran mereka sebagai pengelola dusung dimana kelestarian kawasan hutan

dijunjung tinggi, masyarakat menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan.

Gambaran bentuk partisipasi ini sangat membantu menentukan bagaimana

mengarahkan efektivitas partisipasi yang diterapkan.

Pembahasan Umum

Pada tabel 18 dan 19 terlihat bahwa karakteristik individu dan organisasi

yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang

hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama

keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat

dalam organisasi. Seperti halnya institusi lokal, seperti harta karun yang

potensinya belum termanfaatkan, demikian juga pengetahuan masyarakat.

Masyarakat setempat seringkali punya pengetahuan yang luas tentang hutan itu

sendiri (terutama dusung dengan kawasan hutan disekitarnya) karena

pengalaman pribadi dan pengamatan jangka panjang dan juga pelajaran-pelajaran

nyata dari orangtua dan nenek moyang mereka. Pengetahuannya itu tidak selalu

nyata dan merata diantara kelompok masyarakat yang hidup pada hutan lindung

itu. Memahami potensi pengetahuan setempat; pemahaman mereka tentang

hutan; dari siapa diperolehnya dan mengetahui cara untuk mengaksesnya

59

merupakan tugas penting untuk mengkatalisator partisipasi. Penyatuan

pengetahuan setempat dan luar penting dilakukan. Pertukaran berbagai jenis

pengetahuan sangat produktif bagi berbagai pihak yang berkepentingan bagi

kawasan HLGN tersebut.

Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal

kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman

berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian

dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan

ternak. Status pemilikannya adalah perorangan dan memiliki fungsi produksi

untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat telah mempertahankan fungsi

dusung ini dari generasi ke generasi.

Status pemilikannya perorangan dan keluarga, dimana ada yang telah

disertifikasi dan ada yang tanpa status. Tidak mudah mengatasi persoalan ini,

upaya penyelesaian yang diusahakan oleh masyarakat adalah dengan

mengeratkan hubungan kekerabatan (antar marga yang diberi hak penguasaan

dusun) sehingga dengan demikian ada institusi (hubungan kekerabatan itu) yang

mengatur hak-hak individu, hak-hak bersama dan mengatur fungsinya. Sistem

pengelolaan hutan seperti ini bukan hanya mewujudkan orientasi keuntungan

individu pengelola, melainkan juga memperhatikan kepentingan bersama dan

fungsi kawasan hutan itu sendiri. Luas penguasaan dusung dan status

pemilikannya tidak akan menjadi hambatan bagi upaya membangun partisipasi

yang ada, justru, Partisipasi akan membantu mengatur mekanisme institusi lokal

tersebut. Institusi lokal membantu mewujudkan keadilan dimana disamping

memegang hak, individu memegang tanggungjawab. Hak individu diperoleh dan

diakui oleh anggota masyarakat sehingga dipegang secara aman, karena individu

juga diberi tanggung jawab untuk kepentingan bersama (menjaga kondisi hutan

sekitarnya). Mekanisme keadilan mendorong masyarakat membantu

mengamankan dan menuntut keberadaan sumberdaya hutan lindung tersebut

tetap terjaga.

Aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat

munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan (free riding, rent seeking

dan asimetrik informasi) selalu berusaha diatasi antar pemilik dusung. Salah satu

60

cara mengatasinya adalah membangun keterlibatan tiap individu dalam

berorganisasi dan menciptakan hubungan kerja yang sesuai kepentingan bersama

sehingga upaya untuk memaksimumkan kesejahteraan individu lebih dapat

diprediksikan. Melalui berorganisasi, upaya membangun koordinasi termasuk

pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini

sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih

seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana

membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka

partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat

mempengaruhi kebijakan yang dibuat.

Analisis Stakeholder

Kemampuan bekerja secara kolektif menjadi aspek yang penting bagi

manusia. Masyarakat sudah melakukan partisipasi untuk mencapai tujuan

bersama. Saat ini, semakin penting artinya masyarakat setempat punya hubungan

dengan dunia luar. Hampir semua masyarakat terkait dengan dunia luar, terlepas

dari mereka menghargai keterkaitan tersebut atau tidak. Adanya sumberdaya

didunia luar yang cukup berguna bagi masyarakat setempat tentunya dapat

diproses untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut dan dapat

dikelola oleh masyarakat untuk kepentingan bersama. Salah satu proses

mengkatalisasi partisipasi adalah dengan memulai proses pembuatan mata rantai

semua stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut.

Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai

stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan

kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai

pihak.

Untuk itulah penelitian ini mencoba menganalisis sejumlah stakeholder

yang terkait dengan pengelolaan kawasan HLGN seperti yang diuraikan pada

tabel 22. sebagai berikut :

61

Tabel 22. Matriks identifikasi Stakeholder dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Ambon

Daftar Pihak terkait Peran yang diharapkan Dampak Hipotetik

Kekuatan Pengaruh

Prioritas Keterlibatan

Pihak Terkait utama (+) (-) (+/-) 1 sd 5 1 sd 5

1. Dinas Kehutanan dan Pertanian kota Ambon

Mengelola kawasan dgn bijak

+,- 1 1

2. Dinas Kehutanan Provinsi Maluku

Mengelola kawasan dgn bijak

+ 1 3

3. BP DAS Waihapu Batu merah

Perencanaan Kawasan bagi ketersediaan debit air yang terjamin

+,- 2 2

4. BPTH Penyediaan bibit reboisasi

+, - 2 2

5. BAPEDA Kota Ambon Perencanaan Kawasan ini dengan bijak

+ 1 1

6. Masyarakat Desa Urimesing dan Urimesing

Perlindungan kawasan ini

+, - 1 1

7. Petugas Kewang desa/dusun

Perlindungan kawasan ini

+ 2 1

8. Para penambang Batukarang & Pasir

Pemanfaatan SDA dgn lebih bijak

- 1 1

Pihak terkait Pemungkin

1. Kelompok tani binaan Dinas kehutanan

Memelihara tanaman reboisasi dgn baik

+ 3 3

2. Bank mandiri dan Bank BNI, Dinas Beacukai

Sponsor dana reboisasi dan pemberdayaan masyrakat sekitar kawasan

+ 3 3

3. UNDP/PTD (Peace Throug for Development)

Mengaktifkan kewang + 3 3

4. HMI, Universitas Kristen Maluku, Unpatti, Organisasi pemuda gereja, Yayasan Arman

Pelaksana reboisasi + 3 3

Ket : Kekuatan Pengaruh ; 1. Sangat berpengaruh, 2. berpengaruh, 3. cukup berpengaruh, 4. kurang berpengaruh, 5. tidak berpengaruh. Prioritas Keterlibatan : 1. sangat aktif, 2. aktif, 3. cukup aktif, 4. kurang aktif 5. tidak aktif

Dari tabel diatas terurai berbagai pihak dan untuk memudahkan analisis

perannya digunakan metode seperti yang diungkapkan oleh Bramasto, 2000

62

dimana peran stakeholder dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok peran yang

tergambar sebagai berikut :

a. Sponsor : Pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin

jalannya perubahan, menjamin komitmen public dan politik serta memecahkan

masalah dan yang termasuk pada peran ini adalah Dinas kehutanan Provinsi

Maluku, Dinas Kehutanan & Pertanian kota ambon, BAPEDA (Badan

Perencanaan Daerah) Kota Ambon, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai) Waihapu Batu merah, dan BPTH (Balai Pembibitan Tanaman Hutan).

Stakeholder yang termasuk pada peran sponsor ini, diharapkan

menggunakan peran dan tanggungjawabnya terhadap pengelolaan kawasan

hutan secara bijak. Namun peran tersebut belum dilaksanakan dengan baik

dan memiliki kelemahan. Contohnya Dinas Partanian dan Kehutanan untuk

program Gerhan (Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan) sering melakukan

penetapan areal yang tumpang tindih dan terkesan tanpa perencanaan yang

baik. Pemilihan lahan yang tidak sesuai dengan tujuan reboisasi sebagai tujuan

utama yaitu untuk peresapan sumber air bagi kawasan HLGN tetapi

menggunakan jenis-jenis tanaman yang tidak sesuai dengan criteria tersebut.

Untuk BAPEDA, Perencanaan pemetaan lahan yang tidak parsipatif dan

Button Up tetapi topdown. BPTH dimana institusi ini bertugas untuk

menyediakan bibit tanaman Reboisasi, namun terkadang masih dipengaruhi

oleh kegiatan dunia usaha (pihak ketiga) sehingga bibit yang disediakan

kurang berkualitas dan hanya sekedar label sertifikat bibit unggul.

b. Change participant : setiap orang yang dipengaruhi oleh perubahan dengan

tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi dan yang termasuk dalam peran ini

adalah masyarakat Desa Amahusu dan Urimesing, Petugas Kewang tiap desa

serta Kelompok tani binaan dinas Kehutanan dan Pertanian Kota Ambon.

Perlindungan kawasan ini menjadi tekad utama masyarakat Desa

Urimesing dan Amahusu, namun karena kebutuhan sehari-hari dan lebih

mudah itu diperoleh dari kawasan hutan, maka seringkali fungsi ekologis

kawasan ini diabaikan demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tersebut.

Upaya memfungsikan kembali salah satu struktur Pemerintahan Desa/Negeri

yaitu kewang/jagawana sangat membantu masyarakat untuk mengatasi

63

kerusakan oleh orang-orang/masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar

kawasan hutan di kedua desa.

Kewang belum dapat berfungsi dengan baik karena jumlah

Kewang/Jagawana tidak sebanding dengan luas wilayah dan masih ada dusun

yang belum memiliki kewang. Upaya memberikan insentif bulanan oleh

Pemerintah diharapkan meningkatkan fungsi dan peranannya terutama

mengawasi dan mencegah kegiatan-kegiatan yang merusak hutan dengan lebih

baik dan pemberian sanksi bagi pelakunya.

Kelompok Tani Binaan Dinas Kehutanan dan Pertanian dibentuk

dengan fungsi mengelola dan memelihara bibit reboisasi bagi kawasan HLGN.

Kelompok ini sebagian besar adalah masyarakat sekitar kawasan dari kedua

desa. Mereka diberikan insentif bulanan untuk menjalankan perannya namun

belum terpikirkan oleh pemerintah bagaimana kelanjutan peran ini setelah

pembiayaannya proyek ini selesai.

c. Change agent : Individu/kel/organisasi yang mengelola implementasi program-

program perubahan dan yang termasuk dalam peran ini adalah Bank Mandiri,

Bank BNI, Dinas Beacukai, HMI, Unpatti, UKIM, Yayasan Arman,

UNDP/PTD (United Nation Development Program/Peace Thourgh

development).

Peran yang dilakukan oleh kelompok ini adalah bentuk kepeduliaan untuk

menjaga kelestarian kawasan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dengan

cara pemberian modal usaha kecil dan penanaman berbagai tanaman reboisasi.

Namun Peran yang dijalankan belum terlaksana dengan baik : lemahnya

koordinasi, belum terjalin kerjasama yang baik dengan stakeholder lain serta

perencanaan, monitoring dan evaluasi yang terabaikan sehingga hasilnya tidak

seperti yang diharapkan dan terkesan program dengan jangka pendek.

d. Oposisi : berperan diantara 3 peran tersebut.(sumber resiko kegagalan proyek

yang harus ditangani) dan yang termasuk dalam peran ini adalah Masyarakat

eks pengungsi dan Para pekerja penambang Pasir dan Batukarang disekitar

kawasan HLGN.

Para penambang batu karang dan pasir, tidak mengetahui dampak yang

ditimbulkan dari aktifitas mereka. Sehingga kurang bijak dalam memanfaatkan

64

sumber daya alam yang tersedia dan terkesan merusak. Pemerintah perlu

menindak tegas dan memberikan pemahaman tentang fungsi dan manfaat hutan

lindung dan bagaimana dampak dari aktivitas mereka itu. Begitupun

masyarakat eks-pengungsi, Mereka ini terkesan sangat eksploitatif terhadap

kondisi sumberdaya hutan yang ada sehingga menyebabkan kerusakan

sumberdaya alam sekitarnya, Namun disisi lain, ini merupakan bentuk upaya

pemenuhan kebutuhan hidup. Pemerintah dan berbagai stakeholder yang ada

diharapkan memberi pemahaman bagi mereka fungsi hutan lindung tersebut

dan menentukan kebijakan yang tepat bagi keberadaan mereka terhadap fungsi

kawasan serta lebih aktif melibatkan mereka dalam pengelolaan kawasan.

Kelemahan utama dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah

ketidaksempurnaan dalam penguasaan informasi dan belum terbangun

kerjasama yang baik dari tiap stakeholder yang berkepentingan terhadap

kawasan ini. Kelemahan informasi tentang kepastiaan hak dan batas-batas

hutan lindung serta isi yang terkandung didalamnya. Tanpa adanya

kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat

berjalan namun tanpa objek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan

dari tiap stakeholder tidak efektif (Kartodihardjo,1998).

Stakeholder secara keseluruhan telah kehilangan respect satu terhadap

yang lain, tidak terjadi dialog meskipun ada pertemuan. Peran sebagai sponsor

ataupun change participant tidak optimal sebagaimana yang diharapkan.

Pemerintah dan masyarakat dalam arti luas, seperti kehilangan common

interest untuk mempertahankan fungsi HLGN ini, meski semua tahu dan mulai

timbul kesadaran akan kepentingannya.

Melalui partisipasi upaya untuk mengenali kebutuhan koordinasi

diantara stakeholder dan pengaturan perilaku tiap individunya yaitu

menghindari terjadinya free riders (penunggang gratis) dapat dilakukan dan ada

upaya untuk menyepakati aturan main serta monitoring terhadap perilaku

menyimpang serta pengenaan sangsi yang telah ditetapkan dalam aturan main.

Untuk itulah maka perlu diciptakan mata rantai partisipasi berbagai stakeholder

dimana kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap stakeholder dapat

65

saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan kesejahteraan

bersama.

Untuk mendukung tujuan jangka panjang dari sistem sumberdaya

terbaharui seperti hutan, partisipasi diperlukan untuk membatasi penggunaan

sumber daya itu dan untuk melakukan berbagai wujud dari aktivitas manajemen.

Aktivitas partisipasi memerlukan visi yang jelas karena aksi ini memiliki

konsekuensi terhadap berbagai pihak yang terlibat dan dapat berubah karena

pengaruh kepemimpinan yang mengelola aksi tersebut. Partisipasi tidak selalu

mengharuskan adanya partisipasi namun akan lebih efektif bila ditunjang oleh

partisipasi tersebut karena dengan adanya partisipasi, partisipasi akan lebih terarah

dengan baik karena tersedianya koordinasi, pengaturan perilaku berbagai pihak

yang terkait serta adanya kesepakatan aturan main yang di tetapkan secara

bersama sehingga masalah distribusi biayapun dapat dibagikan dengan adil

diantara berbagai pihak. Hal ini tergambar pada pengelolaan kawasan HLGN.

Arnstein (1995) menyatakan bahwa tingkat partisipasi sangat bervariasi

mulai tahap manipulasi, terapi, menginformasikan, konsultasi, menentramkan

(placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan

tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Tangga partisipasi ini akan

sangat membantu mempelajari sejauhmana tingkat peran partisipasi yang

dimainkan oleh masyarakat dan bagaimana membuatnya lebih baik. Untuk

tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam

pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan

tangga kemitraan dimana masyarakat disosialisasikan dan diinformasikan tentang

fungsi dan manfaat kawasan HLGN dengan harapan mereka memahami dan

berpartisipasi menjaga kelestarian kawasan dan sebagai mitra kerja dalam

pengelolaan kawasan ini. Tingkatan Partisipasi ini belumlah optimal seperti yang

diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin

mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek

penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi.

66

Kinerja pengelolaan kawasan masih terlihat beberapa kelemahan sehingga

performancenyapun terganggu dan saat ini beberapa bagian hutan telah

mengalami kerusakan. Adapun beberapa kelemahan kinerja antaralain :

1. Kelemahan aspek koordinasi, dimana belum terjalin kerjasama yang baik antar

pengelola dengan berbagai pihak lain terutama pada aspek perencanaan,

monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan.

2. Masyarakat memiliki kemudahan akses pemanfaatan kawasan (karena hak

kepemilikan dusung) sehingga penambangan batu karang dan pasir semakin

meningkat dan mengakibatkan terjadinya degradasi tanah.

3. Terjadinya degradasi karena seringnya terjadi kebakaran hutan (baik sengaja

maupun tidak sengaja) dan penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya

debit mata air hingga hilangnya beberapa sumber mata air.

4. Tidak termanfaatkan modal social dengan baik (kewang dan marinyo).

5. Belum terwujudnya partisipasi sebagai modal utama masyarakat membangun

tujuan bersama bagi pengelolaan kawasan.

Kawasan HLGN yang sangat dekat dengan kota Ambon secara tidak

langsung mengakibatkan kawasan ini mengalami tekanan sebagai implikasi dari

tergangunya performance tersebut. Gambaran terjadinya degradasi terhadap

sumberdaya yang ada tentunya mengakibatkan fungsi hidrologi HLGN tergangu.

Upaya mengatasinya dilakukan oleh pemerintah kota Ambon khususnya dinas

kehutanan dengan memfungsikan kembali kewang pada masing-masing dusung.

Masyarakat kedua desa memiliki homogenitas pada aspek budaya (adat

Maluku) dan minat ekonomi (system pengelolaan dusungnya), hal ini

memudahkan menjalankan partisipasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan kawasan HLGN.

Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN

maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan

HLGN dan juga mengambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain :

1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai

peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan

lahan dusung oleh masyarakat. Pada HLGN kedua peraturan ini tidak

dapat dilepas pisahkan dan sangat dibutuhkan untuk manajemen kawasan.

67

Adapun peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan

lindung tercantum jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dimana pada peraturan ini

bahwa pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk a. Meningkatkan

fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai

sejarah dan budaya bangsa; b. Mempertahankan keanekaragaman

tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam, sehingga upaya

pengelolaan perlu diatur oleh pengelola (Dinas kehutanan Provinsi dan

kota setempat) dengan baik dan perlu bertindak tegas terhadap pihak-pihak

yang menyalahgunakan pemanfaatan kawasan ini. Melalui keputusan

Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996, tercantum secara jelas

pengaturan kawasan ini sebagai kawasan lindung sedangkan peraturan

tentang lahan dusung masyarakat diatur melalui register 26 Mei 1814

warisan pemerintah Belanda dan dilakukan registrasi kembali di Pulau-

pulau Lease dan pulau Ambon pada tahun 1883. Penetapan lahan dusung

ini telah berlaku secara turun temurun dan dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai sumber ekonomi keluarga. Keberadaan dusung ini sangat

menunjang keberadaan fungsi kawasan lindung karena lahan hutannya

tetap terjaga dengan baik oleh pemiliknya, hal ini terlihat pada banyaknya

tegakan yang besar. Kedua peraturan ini saling menunjang dalam

pengelolaan kawasan HLGN. Hal ini menggambarkan bahwa secara de

facto masyarakat memiliki hak dan secara de jure adalah kewenangan

pemerintah, untuk itulah maka sangat dibutuhkan partisipasi dan

kerjasama antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan

ini.

2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari

sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh

pengelolaan kawasan.

Kawasan HLGN ini memiliki ciri khusus sebagai kawasan dengan

tingkat kelerengan yang tinggi 50-80% dengan didominasi tegakan pinus,

pala dan cengkih serta merupakan daerah tangkapan air yang sangat

berguna untuk masyarakat kota Ambon dan tepat berada diantara kedua

68

desa yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu dimana masyarakat

memiliki sejumlah dusung yang berada pada kawasan HLGN tersebut.

Pengelolaan kawasan ini diatur secara khusus oleh Dinas Pertanian dan

Kehutanan kota Ambon dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.

Sedangkan pengelolaan dusung, penguasaan lahan dan hasil dusung

dikuasaai secara individu (keluarga) dengan oreintasi subsisten dimana

50% hasilnya untuk konsumsi langsung kelaurga pengelola dan

beroreintasi komersial dimana sebagian besar tegakan buahnya hasil

produknya dipasarkan. Sedangkan struktur hutan dusungnya agroforest

kompleks. Dusung telah diusahakan bertahun-tahun, melampaui beberapa

generasi. Pada tingkat produktivitas yang ada, ia menjadi penopang utama

pendapatan rumahtangga pemiliknya. Keberlanjutannya mengalami

tantangan sehubungan dengan peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan

kebutuhan hidup.

Pemahaman akan karakteristik kawasan HLGN dengan dusung-dusung

yang ada mengharuskan pengelolaan kawasan ini memiliki kerjasama dan

partisipasi aktif dari masyarakat setempat agar pengelolaannya dapat

berjalan dengan baik dan berkesinambungan.

3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan,

pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang

terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik.

Untuk variabel ini mencoba menjelaskan efisiensi dilakukan dengan

pendekatan kelembagaan. Untuk hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan,

penguasaan, pengelolaannya terdefenisi secara baik pada komponen property

right ini. Pemerintah memiliki hak penuh terhadap pengelolaan kawasan

HLGN dimana tujuan pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak dari

pemerintah namun yang menarik pada disisi lain masyarakat memiliki hak

atas kepemilikan lahan dusung yang telah ada sebelum kawasan ini ditetapkan

sebagai kawasan lindung. Kepemilikan pemerintah atas kawasan HLGN dan

kepemilikan masyarakat atas lahan dusung tidak akan menjadi masalah

apabila masing-masing pihak memahami dengan baik haknya tersebut dan

mengatur mekanisme penggunaannya. Property right ini merupakan institusi

69

karena didalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatan

atas lahan hutan ini dan merupakan alat yang mengatur hubungan antar

individu (North, 1990).

Adanya pengetahuan yang tepat tentang fungsi dan manfaat kawasan

HLGN oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas kawasan ini haruslah

menjadi pemahaman bersama dan penentuan aturan main yang disepakati

bersama; terlebih khusus aturan main tentang interdependencies antar berbagai

pihak tersebut dengan sumberdaya hutan itu.

Pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun antar berbagai

pihak serta mekanisme penyelesaian konflik yang ada, akan membantu

menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir

interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan

sumberdaya HLGN tersebut agar tidak saling merugikan melalui partisipasi.

Pentingnya penegakan sanksi-sanksi (formal-informal) yang telah disepakati.

4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan,

hubungan social serta partisipasi dan partisipasi yang terbangun.

Pentingnya pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu

yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya akan membantu mengidentifikasi

peran yang tepat bagi individu/organisasi tersebut. Pada masyarakat jelas

memiliki heterogenitas (individu dan organisasi sebagaimana diuraikan pada

riset ini) yang sangat berpengaruh terhadap bentuk partisipasinya dalam

pengelolaan kawasan HLGN.

Tingkat kepercayaan dan hubungan sosial merupakan modal sosial

dimana untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah harus

berbagi peran dengan masyarakat dalam arti harus bergeser dari yang semula

sebagai pengontrol, regulator dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator,

penyelenggara dan fasilitator (Rustiadi, 2007). Inilah bentuk peran yang

diharapkan dalam pengelolaan kawasan HLGN.

69

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi hasil analisis data

penelitian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN, Kota

Ambon, dapat dikemukan beberapa kesimpulan penelitian sekaligus sebagai

jawaban terhadap hipotesis penelitian yang telah dirumuskan, yaitu :

(1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan,

penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan

HLGN masih tergolong rendah.

(2) Faktor karakteristik individu dan organisasi yang mempunyai hubungan erat

dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan

HLGN adalah pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan

dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta

hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi.

(3) Masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif dalam peran mereka sebagai

pengelola HLGN dan menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral

dalam peran mereka sebagai penggelola dusung.

(4) Pentingnya diciptakan partisipasi dan mata rantai aksi bersama berbagai

stakeholder sehingga kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap

stakeholder dapat saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan

kesejahteraan bersama.

(5) Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan hutan

lindung maka pentingnya mengidentifikasi beberapa variabel yang

mempengaruhi dan sekaligus merupakan institusi yang ada pada kedua

masyarakat tersebut antaralain : Pengaturan kebijakan formal, pemahaman

karakteristik sumberdaya, pengaturan efektivitas kelembagaan, pemahaman

karakteristik actor.

70

Saran

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian :

(1) Tingkatkan pengetahuan masyarakat dan stakeholder lainnya tentang hutan

lindung karena dengan pengetahuan yang baik akan memberi pengaruh dan

menentukan perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN.

(2) Pentingnya upaya meningkatkan partisipasi masyarakat yang dilakukan

melalui indentifikasi dan pengembangan berbagai insitusi lokal yang ada

dimasyarakat.

(3) Mata rantai stakeholder perlu dibangun dan ditingkatkan peranannya.

71

DAFTAR PUSTAKA

Ambika P Gautama and Ganesh P Shivakoti. 2005. Condition for Successful

Local Collective Action in Forestry : Some Evidence From the Hills of Nepal. Society and Natural Resource, Vol.18, pp 153-171

Budi Rahardjo., 2003. Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat. Makalah yang disampaikan pada PIKNAS di IPB. Bogor.

Bramasto Nugroho. 2000. Lesson Learnt study for WWF Indonesia Freshwater

Projects. Work Plan, Schedule dan Report Outline Bungin B. 2006. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bina Agrawal. 2000. Conceptualising Environment Collective Action : Why

Gender matters. Cambridge Journal of Economics Vol.24, pp 283-310. Carol J Pierce Colfer. Aturan-aturan sederhana Katalisasi Aksi Kolektif dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam C. Yudilastiantoro. 2005. Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan

Lindung Di Das Palu (Hulu), Sulawesi Tengah. Info sosial Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.Bogor

Didik Suharjito et all. Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka

Kehutanan Masyarakat,2000 Departemen Kehutanan Republik Indonesia,. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990

Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Evans Kristen, et All. 2006. Guide to Participatory Tools for Forest Communities.

CIFOR. Bogor Finlay. Agresi A dan B. Statistical Methods for the Social Science. Prentice

Hal,Inc.

Goerge Varughese and Elinor Ostrom. 2001. The Contested Role of

Heterogeneity in Collective Action: Some Evidence from Community Forestry in Nepal. World Development Vol.29, No. 5,pp 747-765.

72

Godlief A.A. 2009. Mengenal Urimessing Sebuah Negeri Adat Di Jazirah Leitimor. Assau Majalah PIKOM GPM. Ambon

Gland.Y.N. 2004. Ketimpangan Pelaksanaan Kebijakan Hutan Lindung Gunung

Nona di kota Ambon Pasca Konflik Sosial (tesis). Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

Jane Ritchie and Jane Lewis. 2002. Qualitative Research Practice, A Guide for

Social Science Student and Researchers. SAGE Publications. Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Telaah lanjut

analisis kebijakan usaha kehutanan. IDEALS. Gedung Alumni IPB Lantai 2. Bogor

Kartodihardjo, H. 2006. Bahan Kuliah Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

MacKinnon, J. K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan

yang dilindungi di daerah tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Manulang, S., 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan

Kawasan Konservasi. Environmental Policy and Institutional Stregthening IQC.

Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Permodelan dan Simulasi untuk

Pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Poteete Amy R dan Ostrom Elinor, 2004. Heterogeneity, Group Size dan

Colective Action : The Role of Institutions in Forest Management, Ford Foundation and National Science.

Springate-Baginski, O.et al, 2003. Institutional Development of Forest User

Group in Nepal : Processes and Indicators. Jurnal of Forest and Livelihood Sugiono. 2007. Statistika untuk penelitian. Penerbit Alfabeta Bandung.

Silooy. A, 2002, Problematika Pembangunan Desa (Studi kasus : Desa Amahusu – Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon) (Paper)

Soetrisno. L., 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yokyakarta

Selener. D, 1997. Participatory action Research and Social Change. Cornel University, Ithaca, New York, USA

Tenang. 1993.Partisipasi Petani dalam Kegiatan Koperasi Unit Desa (KUD) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Tesis) Institut Pertanian Bogor.

73

Tim Editor. 2003. Sosiologi Umum, Institut Pertanian Bogor.