Upload
niki-agustin
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial,
rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan
yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal.
Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian
yang berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana
dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang
1
muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan
bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan
kajian yang lebih mendalam.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman
epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya
dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk membahas asuhan
keperawatan pada klien dengan epilepsy.
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan epilepsi dan dapat
merancang berbagai cara untuk mengantisipasi masalah serta dapat melakukan
asuhan keperawatan pada kasus epilepsi.
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Neurobehaviour.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1.1 EPIDEMIOLOGI EPILEPSI
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah
50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di
negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat
8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999)
menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi
adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah
sebesar 6,23 per 1000 penyandang.
2.1.2 PENGERTIAN EPILEPSI
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara
berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan
mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan muatan listrik
yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif Mansjoer , 2000 :27).
Epilepsi adalah serangan kehilangan atau gangguan kesadaran rekuren dan
paroksimal, biasanya dengan spasme otot tonik-klonik bergantian atau tingkah laku
abnormal lainnya (Helson, 2000 : 339-345).
3
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan dan berkala
(Harsono, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang terjadi
dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Judit M
Wilkinson, 2002 : 576).
2.1.3 KLASIFIKASI EPILEPSI
1. Berdasarkan penyebabnya
a. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya.
b. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya.
2. Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap
normal.
Dengan gejala motorik :
Fokal motorik tidak menjalar : epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh
saja.
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu.
4
Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
Visual : terlihat cahaya.
Auditoris : terdengar sesuatu.
Olfaktoris : terhidu sesuatu.
Gustatoris : terkecap sesuatu.
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
5
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran.
Dengan automatisme
3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya
dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran.
6
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat,
dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
7
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda
yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot
seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.
2.1.4 ETIOLOGI EPILEPSI
1. Menurut Pincus Catzel halaman 216-226, penyebab epilepsi yaitu:
a. Pra Lahir-genetika
Kesalahan metabolisme herediter seperti penyakit penimbunan glikogen dan
fenilketonuria. Anomali otak kongenital seperti porensefali, infeksi dalam
rahim seperti rubella, penyakit cytomegalo virus, meningoensefalolitis dan
toksoplasmosis.
b. Perinatal
8
Trauma kelahiran, infeksi, hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan hipokalsemia.
c. Pasca Lahir
Termasuk meningitis, trauma, ensefalitis, ensefalopati (misalnya keracunan
timah hitam, gangguan elektrolit berat, neoplasma dan kelainan degeneratif
SSP.
2. Menurut Arif Mansjoer halaman 27, penyebab epilepsi yaitu :
a. Idiopatik
Sebagian epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
b. Faktor Herediter
Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang
seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
c. Faktor Genetik
Pada kejang demam dan breath holding spell.
d. Kelainan Kongenital Otak
Atrofi, porensefali
e. Gangguan Metabolik
Penurunan konsentrasi glukosa darah (Hipoglikemia), hipokalsemia,
hiponatremia, hipernatremia.
1) Glukosa digunakan dalam metabolisme dari otak. Kekurangan glukosa sama
merusak seperti kekurangan oksigen.
2) Air dan elektrolit sepanjang membrane sel bertanggungjawab bagi keadaan
terangsang (eksitabilitas) neuron dan karena setiap gangguan elektrolit dapat
mencetuskan konvulsi.
f. Infeksi
Radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplamosis.
g. Trauma
Cedera kepala, kontusio cerebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
9
h. Neoplasma dan selaputnya
Tumor otak yang jinak (benigna) lebih sering mengakibatkan epilepsy
dibanding tumor ganas. Hal ini didapatkan pada sekitar 25-40 % penderita
tumor otak.
i. Keracunan
Timbal (Pb), kamper (kapur barus), air.
3. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu :
a. Faktor sensori
Cahaya, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
b. Faktor sistenis
Demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (misal fenotiazin), hipoglikemia
dan kelelahan fisik.
c. Faktor mental
Stress, gangguan emosi.
d. Haid
Penelitian menduga bahwa perubahan keseimbangan hormon semasa haid ikut
berperan dalam mencetuskan serangan.
Tabel 01. Penyebab-penyebab kejang pada epilepsy
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia prenatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
10
Trauma
Kejang demam
Remaja (12-18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alkohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18-35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35 th) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
2.1.5 PATOFISIOLOGI EPILEPSI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/ anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
11
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membran sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
12
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang
nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
Pathways epilepsi
13
Faktor predisposisi: Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak Adanya riwayat keracunan, riwayat gangguan sirkulasi serebral Riwayat demam tinggi, riwayat gangguan metabolisme, dan nutrisi/gizi Riwayat tumor otak, abses, kelainan bawaan, dan keturunan epilepsi
2.1.6 MANIFESTASI KLINIS EPILEPSI
14
Gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol
Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkanAktivitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan
Status epileptikus
Gangguan pernapasan
Kerusakan otak permanen
Kebutuhan metabolic besar
Hipoksia otak
Edema serebral
Kejang parsial
Peka rangsang
Kejang berulang
1. Risiko tinggi cedera
Penurunan kesadaran
Kejang umum
Respons pascakejang(postikal)
Respons fisik: Konfusi dan sulit
bangun Keluhan sakit
kepala atau sakit otot
4. Nyeri akut5. Deficit
perawatan diri
Gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi
Respons psikologis: Ketakutan Respons penolakan Penurunan nafsu makan Depresi Menarik diri
2. Ketakutan3. Koping individu tidak
efektif
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan.
2. Kelainan gambaran EEG.
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya).
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal.
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba.
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang.
11. Gigi geliginya terkancing.
12. Hitam bola matanya berputar- putar.
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba.
Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun
rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya
kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam
bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
15
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa
dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan
biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya
perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada
otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah
atau adanya pendesakan/ rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi
diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.1.7 KOMPLIKASI EPILEPSI
Menurut Yuda Turana, 2006 :
1. Gangguan Memori
a) Fenomena “tip of tounge” yaitu penderita tahu kata yang ingin diucapkan,
tapi tidak terpikir olehnya.
b) Checking, yaitu harus kembali memerikasa hal-hal yang dilakukan.
c) Sering lupa dimana meletakkan barang
Lesi pada otak adalah penyebab utama gangguan memori pada epilepsi,
karena lesi pada lobus temporal mempunyai hubungan dengan fungsi
belajar.
2. Gangguan Kognitif
Pada anak, gangguan berbahasa lebih sering terjadi pada anak. Kejang berulang
pada anak berhubungan dengan penurunan fungsi intelek. Dapat juga
disebabkan oleh obat antiepilepsi.
3. Penurunan Fungsi Memori Verbal
Disebabkan oleh operasi yaitu paska operasi epilepsi.
4. Keterbatasan Interaksi Sosial
16
Hal itu terjadi pada epilepsi lobus frontal, karena peranan korteks prefrontal
yang berperan dalam fungsi emosi, perilaku hubungan interpersonal. Apabila
terganggu dapat mengakibatkan keterbatasan interaksi sosial.
5. Status Epileptikus
6. Kematian
2.1.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK EPILEPSI
1. Elektroensefalogram (EEG)
a) Tujuan : dapat membuktikan fokal atau gangguan disfungsi otak akibat lesi
organik melalui pengukuran aktivitas listrik dalam otak.
b) Pada epilepsy pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi
bangkitan. Didapatkan hasil berupa gelombang epilepsy form discharge
sharp wave spike and wave.
c) Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara berkala karena kira-kira 8-12 %
pasien epilepsi mempuntai rekaman EEG yang normal.
2. Pemeriksaan Radiologis
a) Foto tengkorak : untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi
tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal (yang disebabkan oleh
penyakit dan kelainan), juga tanda peningkatan TIK seperti pelebaran sutura,
erosi sela tursika, dan sebagainya.
b) Pneumoensefalografi dan ventrikulografi.
Dilakukan atas indikasi tertentu untuk melihat gambaran system ventrikel,
sisterna, rongga subaraknoid serta gambaran otak.
c) Arteriografi
Untuk mengetahui pembuluh darah di otak; apakah ada peranjakan
(neoplasma, hematom abses), penyumbatan (thrombosis, peregangan,
hidrosefalus) atau anomali pembuluh darah.
d) Pemeriksaan Pencitraan Otak
17
MRI bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Yang
berguna untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri dan mendeteksi
kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil.
e) Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti
hipoglikemi dan hiponatremia.
2.1.9 PENATALAKSANAAN EPILEPSI
1. Penataksanaan Medikamentosa Menurut Arif Mansjoer, 2000 :
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya epilepsi tanpa mengganggu
kapasitas fisik dan intelek pasien.
Obat pilihan berdasarkan jenis epilepsi :
N
O
BANGKITAN JENIS OBAT
1. Fokal / Parsal
Sederhana
Kompleks
Tonik-klonik Umum
CBZ, PB, PTH
CBZ, PB, PTH, VAL
CBZ, PB, PTH, VAL
2. Umum
Tonik-klonik
Mioklonik
Absena / Petit mal
CBZ, PB, PTH, VAL
CLON, VAL
CLON, VAL
Keterangan : CBZ : karbamazepin
CLON : klonazepan
VAL : asam valproat
PHT : fenitol
PB : fenobarbital
18
Nama Generik Efek samping atau berkaitan dengan dosis
Karbamazepin (tegretol) Pusing, mengantuk, keadaan tidak mantap, mual,
muntah, diplopia, lekopenia ringan.
Klonazepan Mengantuk, ataksi, hipotensi, depresi respirasi.
Fenitol Masalah penglihatan, hirsutisma, hyperplasia gusi,
distritmia.
Fenobarbital Sedasi, peka rangsang, diplopia, ataksia.
Jenis Obat Dosis (mg/KgBB/Hr) Cara pemberian
Fenobarbital 1-5 1x / hari
Fenitol 4-20 1-2x / hari
Karbamazepin 4-20 3x / hari
Asam valproat 10-60 3x / hari
Kloazepam 0,05-0,2 3x / hari
Diazepam 0,05-0,015
0,4-0,6
IV
per rectal
2. Terapi Bedah Menurut Lumbantobing (1996)
Tujuan operasi adalah meningkatkan kualitas hidup, dan bukan hanya
menghilangkan kambuhnya serangan. Berbagai jenis operasi yang dapat dilakukan,
diantaranya angkat jaringan sakit di lobus frontal dan tempat lain. Ada pula jenis
operasi untuk menghilangkan atau mencegah kambuhnya serangan misalnya
memotong korpus kolosom.
3. Terapi Keperawatan Menurut Rosa Sachorin (1997)
Selama kejang, tujuan perawat adalah untuk mencegah cedera pada pasien.
Cakupan perawat bukan hanya mencegah atau meminimukan cedera terhadap pasien,
antara lain :
a. Selama Kejang
19
1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu (pasien yang mempunyai aura atau penanda ancaman kejang).
2) Tidak boleh menginggalkan pasien sendirian.
3) Mengamankan pasien di lantai, jika memungkinkan.
4) Melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera kepala (dari
membentur permukaan keras).
5) Lepaskan pakaian yang ketat.
6) Singkirkan semua perabot yang dapat mencederai pasien selama kejang.
7) Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar di tempat
tidur.
8) Jika aura mendahului kejang, masukan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
9) Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan
spasme untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera pada bibir dan
lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
10) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang, karena
kontraksi otot dan restrein dapat menimbulkan cedera.
11) Jika mungkin, tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi ke depan, yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran saliva dam mukus. Jika disediakan penghisap, gunakan jika
perlu untuk membersihkan secret.
12) Pasang penghalang tempat tidur yang memakai pelunak, bila harus berada
terus di tempat tidur, atau terjadi kejang sewaktu tidur. Bantal jangan
dipakai pelunak, karena bahaya bias terjadi tercekik.
13) Observasi secara akurat dan dicatat.
14) Masase
b. Setelah Kejang
1) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan
bahwa jalan nafas paten.
20
2) Biasanya terjadi periode ekonfusi setelah kejang grandmal.
3) Periode apneu pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah
kejang.
4) Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan.
5) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang, coba untuk
menangani situasi dnegan pendekatan yang lembut dan memberi restrein
yang lembut.
c. Konsultasi dan penyuluhan
Penyuluhan merupakan bagian yang penting dari keperawatan pasien dengan
kejang. Yang harus mendapat penyuluhan termasuk pasien serta keluarga pasien yang
merawat pada saat serangan. Melibatkan keluarga pasien dan orang lain yang
berkepentingan selama pasien masih dirawat di rumah sakit dan dapat menerima
anggota keluarga yang kejang.
Penyuluhan pasien dengan kejang :
1) Pemakaian obat, efek samping, dosis, waktu, laporkan efek samping kepada
dokter.
2) Langkah-langkah menghindari cedera pada saat kejang.
3) Utamakan cukup istirahat dan diet.
4) Utamakan memakai obat walaupun sedang bebas kejang.
5) Memanfaatkan sumber-sumber di masyarakat.
6) Utamakan perawatan lanjutan.
7) Penting untuk mengungkapkan perasaan.
8) Kebutuhan untuk mencegah stress hebat.
9) Penting memakai tanda pengenal medis
10) Penting untuk tidak terlalu melindungi anak.
21
Pengobatan Psikososial
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya bahaya akibat
bangkitan epilepsi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi gangguan
psikososial, kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian
besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya
sehingga dapat terbebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarakat
secara normal.
Dalam hal ini selain peran dokter juga pembinaan penderita dalam keluarga dan
suasana di lingkungan sekolah, pekerjaan dan sebagainya sangat penting.
a) Peran dokter
Memang benar, bahwa pengobatan dengan obat-obat yang dapat mencegah
serangan epilepsi merupakan bagian terpenting dalam penanggulangan epilepsi,
namun tugas para dokter tidak hanya memberi pengobatan, akan tetapi dokter
juga senantiasa harus memberi bimbingan kepada penderita dan keluarganya.
b) Pembinaan penderita dalam keluarga
Salah satu unsur penting dalam pembinaan kehidupan penderita epilepsi ialah
keluarganya. Oleh karena itu, dalam pembicaraan dengan penderita mengenai
penyakitnya, dokter harus mengikutsertakan keluarga penderita, yakni kedua
orang tua pabila yang menderita epilepsi adalah anaknya atau suami istri
apabila salah seorang dari pasangan suami istri menderita epilepsi. Masalah
yang biasanya dihadapi oleh anak yang menderita epilepsi ialah penolakan atau
pengucilan oleh keluarganya atau justru sebaliknya, yakni orang tua melindungi
secara berlebihan inilah yang merupakan bahaya terbesar bagi perkembangan
watak si penderita. Ia akan merasa rendah diri, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya ia tidak akan dapat hidup mandiri.
c) Pendidikan lingkungan sekolah
Dari penderita epilepsi ada yang kepandaiannya kurang dari normal atau yang
menderita retardasi mental. Keadaan demikian bukan disebabkan oleh
epilepsinya, akan tetapi oleh kerusakan pada sel-sel otak yang juga menjadi
22
penyebab timbulnya serangan epilepsi. Anak-anak tersebut tentu tidak bisa
sekolah di sekolahan biasa akan tetapi harus mendapat pendidikan luar biasa.
Apabila ada keragu-raguan tentang intelegensi penderita, maka sebaiknya
diminta bantuan seorang psikolog untuk menilai kepandaian dan bakat
penderita.
2.1.10 PROGNOSIS
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.
23
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI
2.2.1 PENGKAJIAN
Dasar Data Pengkajian Pasien
A. Menurut Doengoes, 2000 :
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan umum. Keterbatasan dalam beraktivitas/
bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri/ orang terdekat/ pemberi asuhan
kesehatan atau orang lain.
Tanda : perubahan tonus/kekuatan otot. Gerakan involunter otot ataupun
sekelompok otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Iktal : hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Posiktal : tanda vital normal atau deperesi dengan penurunan nadi dan
pernapasan.
3. Integritas Ego
Gejala : stressor eksternal/internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan. Peka rangsangan : perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya.
Perubahan dalam berhubungan.
Tanda : pelebaran tentang respons emosional.
4. Eliminasi
Gejala : inkontinensia episodic.
Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik
urine/fekal ).
5. Makanan/Cairan
Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual/ muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang.
Tanda : kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang). Hiperplasi
gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
24
6. Neurosensori
Gejala : riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang pingsang, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebal. Adanya aura ( rangsangan
visual, auditorius, area halusinogenik ).
Posiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese/paralisis.
Tanda : karakteristik kejang: Fase prodormal : adanya perubahan pada reaksi
emosi atau respons afektif yang tidak menentu yang mengarah pada fase aura
dalam beberapa kasus dan berakhir beberapa menit sampai beberapa jam.
a) Kejang umum :
Tonik-tonik (grand mal): kekakuan dan postur menjejak, mengerang,
penurunan kesadaran, pupil dilatasi, inkontinensia urine/ fekal, pernapasan stridor
(ngorok ), saliva keluar secara berlebihan, dan mungkin juga lidahnya tergigit. Absen
(petit mal) : periode gangguan kesadaran dan atau melamun (tak sadar lingkungan)
yang diawali pandangan mata menerawang sekitar 5-30 detik saja, yang dapat terjadi
100 kali setiap harinya, terjadinya kejang pada motorik minor mungkin bersifat
akinetik hilang gerakan, mioklonik (kontraksi otot secara berulang), atau atonik
(hilangnya tonus otot).
b) Posiktal :
Amnesia terhadap peristiwa kejang, tidak bingung, dapat melakukan kembali
aktivitas.
c) Kejang parsial (kompleks) :
Lobus psikomotor/ temporal : pasien umumnya tetap sadar, dengan reaksi
seperti bermimpi, melamun, berjalan-jalan, peka rangsang, halusinasi, bermusuhan
atau takut. Dapat menunjukan gejala motorik involunter (seperti merasakan bibir) dan
tingkah laku yang tampak bertujuan tetapi tidak sesuai (involunter/ automatisme) dan
termasuk kerusakan penyesuaian, dan pada pekerjaan, kegiatan bersifat antisosial.
d) Postikal :
Hilangnya memori terhadap peristiwa yang terjadi, kekacauan mental ringan
sampai sedang.
25
e) Kejang parsial (sederhana) :
Jacksonian/ motorik fokal ; sering didahului oleh aura, sekitar 2-15 menit.
Tidak ada konvulsif dan terjadi gangguan sementara pada bagian tertentu yang
dikendalikan oleh bagian otak yang terkena seperti lobus frontal (disfungsi motorik);
parietal (terasa baal, kesemutan), lobus oksipital (cahaya terang, sinar lampu), lobus
posterotemporal (kesulitan dalam berbicara). Konvulsi (kejang) dapat mengenai
seluruh tubuh atau bagian tubuh yang mengalami gangguan yang terus berkembang.
Jika dilakukan restrein selama kejang, pasien mungkin akan melawan dan
memperlihatkan tingkah laku yang tidak kooperatif.
f) Status epileptikus :
Aktivitas kejang yang terjadi terus-menerus dengan spontan atau berhubungan
dengan gejala putus antikonvulsan tiba-tiba dan fenomena metabolik lain.
Catatan : jika hilangnya kejang mengikuti pola tertentu, masalah dapat
menghilang tidak terdeteksi selama periode waktu tertentu, sehingga pasien tidak
kehilangan kesadarannya.
7. Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri otot/punggung pada periode posiktal. Nyeri
abnormal paroksismal selama fase iktal (mungkin terjadi selama kejang
fokal/parsial tanpa mengalami penurunan kesadaran).
Tanda : sikap/tingkah laku yang berhati-hati. Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi atau gelisah.
8. Pernapasan
Gejala : fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun/ cepat:
peningkatan sekresi mucus. Fase posiktal : apnea.
9. Keamanan
Gejala : riwayat terjatuh/ trauma, fraktur. Adanya alergi.
Tanda : trauma pada jaringan lunak/ekimosis. Penurunan kekuatan/ tonus otot
secara menyeluruh.
10. Interaksi Sosial
26
Gejala : masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau
lingkungan sosialnya. Pembatasan/ penghindaran terhadap kontak sosial.
11. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : adanya riwayat epilepsy pada keluarga. Penggunaan/ ketergantungan
obat ( termasuk alkohol ).
Pertimbangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat : 3,5 hari.
Rencana pemulangan : mungkin memerlukan perubahan dalam pengobatan,
bantuan pada beberapa pekerjaan rumah / mempertahankan tugas-tugas yang
tetap menjaga keamanan dan transportsi.
B. Menurut Wong, Donna L. 2004, pengkajian pada pasien epilepsi adalah :
1. Dapatkan riwayat kesehatan terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal,
perinatal, dan neonatal; adanya contoh infeksi, apnea, kolik, atau menyusu yang
buruk; informasi mengenai kecelakaan atau penyakit serius sebelumnya.
2. Observasi kejang
a. Jelaskan hal-hal berikut :
1) Hanya hal-hal yang harus diobservasi dengan benar.
2) Urutan kejadian (sebelum, selama, dan setelah kejang).
3) Durasi kejang.
4) Tonik-tonik : dari tanda-tanda pertama kejadian kejang sampai sentakan-
sentakannya berhenti.
5) Tanpa kejang dari kehilangan kesadaran sampai pasien sadar kembali.
6) Parsial kompleks : dari aura sampai berhenti secara otomatis atau
menunjukkan responsivitas pada lingkungan.
b. Awitan
1) Waktu awitan.
2) Kejadian pra-kejang yang signifikan (sinar terang, bising, kegirangan,
emosi berlebihan).
3) Perilaku
Perubahan pada ekspresi wajah, seperti pada rasa takut.
27
Menangis atau bunyi lain.
Gerakan sterotip atau otomatis.
Aktivitas acak (mengeluyur).
4) Posis kepala, tubuh, ekstremitas :
Postur unilateral atau bilateral dari salah satu atau lebih ekstremitas.
Deviasi tubuh ke samping.
c. Gerakan
1) Perubahan posisi (bila ada).
2) Sisi permulaan (tangan, ibu jari, mulut, seluruh tubuh).
3) Fase tonik (bila ada dapat lama, melibatkan beberapa bagian tubuh).
4) Fase klonik (kedutan atau gerakan menyentak, melibatkan beberapa
bagian tubuh, urutan bagian yang terkena, umum, perubahan dalam
karakteristik gerakan.
5) Kurang gerakan atau tonus otot pada bagian-bagian tubuh seluruh tubuh.
d. Wajah
1) Perubahan warna (pucat, sianosis, wajah kemerahan).
2) Keringat.
3) Mulut (posisi, menyimpang ke salah satu sisi, gigi mengatup, lidah
tergigit, mulut berbusa, flek darah atau perdarahan).
4) Kurang dalam ekspresi
e. Mata
1) Posisi (lurus, menyimpang ke atas, menyimpang keluar, konjugasi atau
divergen).
2) Pupil (bila mampu untuk mengkaji). Terjadi perubahan pada ukuran,
kesamaan reaksi terhadap sinar dan akomodasi.
f. Observasi paska-kejang
1) Masa paska-kejang.
2) Metode terminasi.
3) Status kesadaran (tidak responsive, mengantuk, konfusi).
4) Orientasi terhadap waktu dan orang.
28
5) Tidur tetapi mampu untuk bangun.
6) Kemampuan motorik
Adanya perubahan pada kekuatan motorik.
Kemampuan untuk menggerakkan semua ekstermitas.
Adanya paresis atau kelemahan
Kemampuan untuk bersiul (biasa sesuai dengan usia).
7) Bicara (berubah, aneh, jenis dan luasnya kesulitan).
8) Sensasi
Keluhan tidak nyaman atau nyeri.
Adanya kerusakan sensori dari pendengaran, penglihatan.
Pengumpulan kembali sensasi pra-kejang, peringatan serangan.
Kesadaran bahwa serangan sudah mulai terjadi.
2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang, berulang, ketidaktahuan
tentang epilepsy dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat
kesadaran.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons
pascakejang (postikal).
3. Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun
sekunder respons pascakejang (postikal).
4. Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat epilepsi.
2.2.3 INTERVENSI
N
O
DIAGNOSA NIC NOC
1. Risiko tinggi
cedera yang
berhubungan
1. Manajemen lingkungan
Buat sebuah
lingkungan yang aman
Kontrol risiko
Deteksi risiko
Pengetahuan:
29
dengan kejang
berulang,
ketidaktahuan
tentang epilepsy
dan cara
penanganan saat
kejang, serta
penurunan tingkat
kesadaran.
bagi pasien.
Identifikasi kebutuhan
keamanan pasien,
berdasarkan level fisik
dan fungsi kognitif dan
kebiasaan lalu.
Sediakan tempat tidur
dan lingkungan yang
aman.
Buang bahaya
lingkungan.
Buang objek yang
membahayakan dari
lingkungan.
2. Pendidikan kesehatan
Bantu individu,
keluarga, dan
komunitas dalam
mengklarifikasi nilai
kesehatan.
Identifikasi sumber
yang dibutuhkan untuk
membangun program.
Hindari penggunaan
teknik menakutkan
sebagai strategi untuk
memotivasi seseorang
merubahan kebiasaan
kesehatan atau gaya
hidup.
pencegahan jatuh
Pengetahuan:
keamanan diri
30
Formulasikan objek
program pendidikan
kesehatan.
Tetap fokuskan
presentasi awal dan
akhir dalam poin
utama.
3. Pengawasan
Tentukan risiko
kesehatan pasien.
Jelaskan hasil tes
diagnostic pada pasien
dan keluarga.
Monitor status
neurologi.
Monitor kemampuan
pasien untuk
melakukan aktivitas
perawatan diri.
Monitor level
kenyamanan.
2. Nyeri akut yang
berhubungan
dengan nyeri
kepala sekunder
respons
pascakejang
(postikal).
1. Administrasi analgesik
Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas,
dan intensitas sebelum
mengobati pasien.
Cek riwayat alergi
obat.
Tentukan pilihan
analgesic berdasarkan
Status kenyamanan:
fisik
Level
ketidaknyamanan
Kontrol nyeri
Level nyeri
Tanda-tanda vital
31
tipe dan intensitas
nyeri.
Tentukan kelebihan
analgesic, rute, dan
dosis untuk
keoptimalan analgesic.
Monitor tanda vital
sebelum dan setelah
pemberian analgesic.
2. Penurunan kecemasan
Jelaskan semua
prosedur.
Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi.
3. Manajemen nyeri
Lakukan penilaian
komprehensif terhadap
nyeri meliputi lokasi,
karakteristik,durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas dan faktor
presipitasi.
Gali pengetahuan
pasien tentang nyeri.
Tentukan dampak nyeri
terhadap kualitas
kehidupan.
Gali faktor yang
meningkatkan nyeri.
32
Buang atau eliminasi
faktor-faktor yang
meningkatkan nyeri.
3. Defisit perawatan
diri yang
berhubungan
dengan
kebingungan,
malas bangun
sekunder respons
pascakejang
(postikal).
1. Mandi
Cuci rambut sesuai
kebutuhan.
Mandi dengan air
bertemperatur yang
nyaman.
Gunakan teknik mandi
yang menyenangkan
dengan anak-anak.
Monitor kondisi kulit
ketika mandi.
Bantu dengan tindakan
hygiene.
2. Pertolongan perawatan
diri
Pertimbangkan budaya
pasien ketika
melakukan aktivitas
perawatan diri.
Monitor kemampuan
pasien untuk perawatan
diri mandiri.
Monitor kebutuhan
pasien untuk peralatan
adaptif untuk
kebersihan diri,
pakaian, perawatan,
Perawatan diri:
aktivitas hidup
sehari-hari
33
toileting, dan makan.
Anjurkan pasien untuk
melakukan aktivitas
normal di kehiduoan
sehari-hari sesuai
kemampuan.
Tetapkan sebuah
aktivitas perawatan diri
rutin.
3. Fasilitas responsibilitas
diri
Diskusi dengan pasien
kelanjutan
responsibilitas dari
status kesehatan
sekarang.
Tentukan yang mana
pasien mempunyai
pengetahuan yang
adekuat tentang kondisi
perawatan kesehatan.
Monitor level
responsibilitas yang
pasien terima.
Anjurkan
mengungkapkan
perasaan, persepsi dan
ketakutan tentang
penerimaan
responsibilitas.
34
Anjurkan kemandirian.
4. Ketakutan yang
berhubungan
dengan kejang
berulang.
1. Pengurangan kecemasan
Tetap bersama pasien
untuk memberikan
keamanan dan
mengurangi ketakutan.
Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien.
Anjurkan aktivitas
nonkompetitif.
Anjurkan pernyataan
dari perasaan, persepsi
dan ketakutan.
Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi.
2. Penyusunan kembali
kognitif
Bantu pasien merubah
statement irasional diri
ke statement rasional
diri.
Buat statement yang
menggambarkan jalan
alternative untuk
melihat situasi.
Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
system kepercayaan
Level ketakutan
Kontrol ketakutan
diri
Penghargaan diri
Tanda-tanda vital
35
yang mempengaruhi
status kesehatan.
Buat pasien
menggunakan
kepercayaan lain untuk
melihat sebuah situasi
dalam pandangan
berbeda.
Bantu pasien
menggungkapkan
emosi yang dia
rasakan.
3. Konseling
Identifikasi tujuan dari
konsultasi.
Kumpulkan data dan
identifikasi masalah
yang berfokus pada
konsultasi.
Tentukan model
konsultasi yang sesuai
untuk digunakan.
5. Koping individu
tidak efektif yang
berhubungan
dengan depresi
akibat epilepsi.
1. Manajemen mood
Evaluasi mood awal
dan dasar regular
sebagai proses
pengobatan.
Monitor kemampuan
perawatan diri.
Monitor status fisik
Penerimaan : status
kesehatan
Adaptasi
ketidakmampuan
fisik
Koping
Membuat keputusan
Kontrol impuls diri
36
pasien.
Bantu pasien
memonitor mood terus-
menerus.
Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
pikiran dan perasaan
yang mendasari
disfungsi mood.
2. Perbaikan koping
Nilai penyesuaian diri
pasien untuk perubahan
body image.
Nilai dampak situasi
hidup pasien dalam
peran dan hubungan.
Anjurkan pasien untuk
mengidentifikasi
sebuah deskripsi nyata
dari perubahan
peranan.
Nilai ketidakpahaman
pasien dalam proses
penyakit.
Nilai dan diskusikan
respon alternative
untuk situasi.
3. Support emosi
Diskusikan dengan
pasien pengalaman
Pengetahuan:
sumber kesehatan
Penyesuaian fisik:
perubahan hidup
Performen peranan
Level stress
37
emosional.
Buat statement support
atau empati.
Bantu pasien
mengungkapkan
perasaan.
Anjurkan pasien untuk
mengekspresikan
perasaan cemas, marah
atau sedih.
Anjurkan berbicara
atau menangis yang
berarti mengurangi
respon emosi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara
38
berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan
mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi
yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi
parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi
parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi
tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana
keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah
epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan
epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah
kejang otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
3.2 SARAN
Setelah penulisan makalah ini, diharapkan masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan
penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi.
Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah
psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi
pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien
tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan
masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
39