Upload
alfrida-ade-bunapa
View
30
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
patofisiologi pasien peritonitis
2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan
curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
2.6 Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa
menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus
menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk,
atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu
jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas
lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama
dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa
menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari
palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk
membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-
pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita
geriatric.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Test laboratorium
1. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
1. Hematokrit meningkat
2. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
3. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran
kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.
2.8 Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir
semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan
(laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas,
nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :
1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe
dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi a.l:
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal,
peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang
sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan
intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-
tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik,
dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan,
karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal
digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan
diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk
mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis
dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum
yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi
penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan
dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi
yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi
darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang
mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang
tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien
digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan
kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga
melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika
pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase
ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV),
memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan
pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada
menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak
dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam
mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan
prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan
kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus
terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital
serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus
pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan
rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail
lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses
keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi
diuraikan.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,
dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan
lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren