19
Infeksi dan Imunitas SANTY 10.2012.074 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email: [email protected] Pendahuluan Manusia secara terus-menerus berkontak dengan agen eksternal yang mungkin dapat membahayakan apabila agen tersebut masuk ke dalam tubuh, yang paling serius adalah mikroorganisme penyebab penyakit. Apabila bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh, tubuh memiliki sistem pertahanan yang kompleks dan berlapis-lapis sistem imun yang memberikan proteksi terhadap invasi oleh agen- agen asing. Permukaan tubuh yang terpajan ke lingkungan eksternal, misalnya kulit, berfungsi sebagai lini pertama sistem pertahanan untuk menahan penetrasi mikroorganisme asing. Imunitas mengacu kepada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya. Aktivitas-aktivitas berikut berkaitan dengan sistem sistem pertahanan imun, yang berperan penting dalam mengenali dan 1

pbl (2) Santy BL 12

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Enjoy

Citation preview

Infeksi dan ImunitasSANTY10.2012.074Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: [email protected]

Manusia secara terus-menerus berkontak dengan agen eksternal yang mungkin dapat membahayakan apabila agen tersebut masuk ke dalam tubuh, yang paling serius adalah mikroorganisme penyebab penyakit. Apabila bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh, tubuh memiliki sistem pertahanan yang kompleks dan berlapis-lapis sistem imun yang memberikan proteksi terhadap invasi oleh agen-agen asing. Permukaan tubuh yang terpajan ke lingkungan eksternal, misalnya kulit, berfungsi sebagai lini pertama sistem pertahanan untuk menahan penetrasi mikroorganisme asing.

Imunitas mengacu kepada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya. Aktivitas-aktivitas berikut berkaitan dengan sistem sistem pertahanan imun, yang berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan atau mentralisasi benda-benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh diri normal.1

Skenario 10Seorang laki-laki, usia 52 tahun datang ke poliklinik karena batuk-batuk disertai dengan sesak napas sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengalami demam dan nyeri tenggorok sejak 3 minggu yang lalu, sering gatalgatal di seluruh badan serta mencret 3-4 kali/hari sejak dua bulan terakhir. Berat badan turun ( 9 kg dalam 2 bulan terakhir.Pada pemeriksaan fisik: pasien tampak sesak napas, berperawakan kurus, kesadaran CM. Suhu 37.9(C, denyut nadi 96x/menit, napas 30x/menit. Tampak bercak putih di seluruh rongga mulut hingga ternggorokan dan teraba pembesaran kelenjar limfe pada leher dan aksilla. Kedua lengan pasien bertato.

PembahasanAnamnesa

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yuang profesional dan optimal.2

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:

1. Identitas pasien,2. Riwayat penyakit sekarang,3. Riwayat penyakit dahulu,4. Riwayat kesehatan keluarga,5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya,

Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.2

Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya diteluskan secara singkat berserta lamanya, seperti menuliskan judul berita utama surat kabar. Misalnya batuk-batuk disertai sesak napas sejak 3 hari yang lalu.2

Pada penderita AIDS tentukan sebab imunosupresi, bagaimana tingkat keparahan dan durasi keadaan imunosupresi (misalnya jumlah sel T tak terdeteksi atau kortikosteroid dosis rendah), adakah vaksinasi, adakah riwayat infeksi atau keganasan sebelumnya, apakah sebelumnya melakukan transfusi darah, apakah sebelumnya melakukan perjalanan ke luar negeri, hewan peliharaan dan kemungkinan kontak dengan penyakit infeksi.2Pemeriksaan Fisik

Penderita yang datang dengan gejala imunosupresi maka dilakukan pemeriksaan fisik sebagai berikut:

Pemeriksaan tanda-tanda vital (TD, Nadi, RR, suhu). Periksa dengan teliti mulut, lidah, tenggorokan dan mata. Periksa kulit dan abdomen. Palpasi kelenjar limfe..2Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk memastikan HIV adalah pemeriksaan laboratorium yang dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus dalam tubuh yang dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang meliputi Hb, Hematokrit, Leukosit dan Trombosit.2Pemeriksaan laboratorium: Hb 12.8 g/dL, Ht 38 vol%, leukosit 6200/(L, Trombosit 128000/(L.2

Pemeriksaaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (Enzyme-Linked Immmunosorbent Assay), aglutinasi. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan test terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah infeksi. Jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan permeriksaan ulangan 3 bulan demikian.3

WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagansia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).3

Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama memberikan hasil yang non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan kedua ini dipakai reagansia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.3

Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan yang menggunakan reagansia yang berbeda asal antigen, tekniknya, dan memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Bila hasil pemeriksaan sampai metode ke-3 ini reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV.3

Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah tekhnik Western Blot.3Diferential Diagnosis Infeksi virus lainnya: influenza, hepatitis

Keadaan penurunan imun lainnya: kongenital, diinduksi obat

Infeksi oportunistik (biasanya jamur, parasit, virus, dan bakteri) Keganasan (sarkoma kaposi, limfoma, kanker anal dan servikal)Limfoma merupakan kanker pada kelenjar limfe yang biasa menyerang dewasa muda. Limfoma juga menyebabkan pembesaran kelenjar limfe tanpa disertai rasa nyeri di daerah leher dan lengan bawah dan berat bada turun pada stadium lanjut. Depresi.4Kemungkinan dari penyakitnya adalah TB, Pneumonia, kanker rongga mulut, HIV.

Gejala klinis TB

1. BB turun tanpa sebab yang jelas,

2. Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas

3. Muntah

4. Penurunan nafsu makan

5. Pembesaran kelenjar limfe

6. Batuk lama lebih dari 30 hari

7. Adanya diare persistern yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. 5Gejala klinis Pneumonia

1. Batuk dan napas yang cepat

2. Tenggorokan merah, hidung tersumbat pada stadium ringan

3. Adanya faringitis purulen dengan perbesaran kelenjar limfe dan terasa nyeri bila ditekan

4. Gejala intestinal : mual, muntah, diare dan nyeri abdomen

5. Sakit kepala.6Gejala klinis kanker rongga mulut

1. Adanya bintik putih atau merah :leukoplakia, eritroplakia, eritroleukoplakia di dalam rongga mulut atau bibir

2. Luka pada bibir atau rongga mulut yang sulit sembuh

3. Pengerasan pada leher serta rasa sakit pada tangan.7Gejala Klinis HIV

Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan Kandidiasis orofaringeal Dermatitis pruritis Limfadenopati generalisata Mayor BB ( > 10 % dalam 1 bulan diare kronis yang berlangsung > 1 bulan Demam kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan Demam > 38 o C dan lebih dari 1 bulan Penurunan kesadaran dan gangguan neurologisnya Bercak putih/ luka dalam mulut.4Working Diagnosis

Berdasarkan WHO, diagnosis HIV dapat ditegakkan apabila terdapat gejala mayor dan minor. Gejala minor atau ringan antara lain : batuk menetap lebih dari 1 bulan kandidiasis orofaringeal, dermatitis pruritis, limfadenopati generalisata. Mayor : berat badan turun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung > 1 bulan, demam > 38 o C dan lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan neurologisnya, bercak putih/ luka dalam mulut.4Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelainan yang kompleks dari sistem pertahanan seluler tubuh dan menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme.8

AIDS disebabkan oleh suatu virus yang disebut virus HIV (Human immunodeficiency Virus). Penyakit ini ditandai oleh supresi yang mencolok pada imunitas yang dimediasi sel T, berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan penyakit neurologi.9Patofisiologi Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit (makula / ruam), demam pembengkakan kelenjar getah bening. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.3Sistem imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya. Ketika sistem imun melemah atau rusak oleh virus seperti virus HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik. System imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, thymus, nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid, appendix, darah, dan limfa. Manifestasi awal dari penurunan sistem imun pada kerusakan kelenjar limfe.3Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari. Tetapi ternyata tubuh tidak mampu untuk mengkompensasi virus yang begitu banyak.3Etiologi

HIV-I merupakan human retrovirus tipe C di dalam famili yang sama seperti famili lentivirus binatang. Virus ini juga berhubungan erat dengan HIV-II yang menyebabkan penyakit serupa, terutama di Afrika Barat. HIV merupakan retrovirus sitopatik nontransforming yang menimbulkan imunodefisiensi lewat dekstruksi sel-sel T yang menjadi target. Selubung lipid HIV-I, yang berasal dari membran sel hospes-terinfeksi dan terbentuk pada saat bertunas, tertanam dengan dua buah glikoprotein virus, yaitu gp120 dan gp41, yang sangat penting untuk infeksi HIV pada sel-sel manusia. Inti virus tersebut mengandung protein kapsid utama p24, protein nukleokapsid, RNA genomik, dan 3 enzim virus, yaitu protease, integrase, serta reverse transcriptase. Tetapi antivirus ditujukan terhadap enzim reverse transcriptase dan protease. HIV memiliki beberapa gen yang tidak terdapat dalam retrovirus lainnya. Gen-gen ini meliputi TAT,VPU, VIF, NEV, dan REV. Banyak gen seperti TAT dan REV mengatur transkripsi HIV dan karenanya dijadikan target bagi terapi.9

Kebanyakan retrovirus mengadakan reproduksi tanpa mematikan sel hospesnya. Retrovirus juga sangat dikenal karena kemampuannya untuk menginduksi terjadinya tumor. Enzim reverse transcriptase membantu retrovirus untuk membuat DNA dari RNA yang kemudian disisipkan dalam DNA sel hospes sebagai mesin genetik. Dengan demikian virus mampu menggunakan mesin replikatif sel hospes untuk memproduksi, baik dirinya, maupun berbagai zat yang ternyata dapat mentransformasikan sel hospes menjadi sel maligna.

Sifat-sifat khusu HIV secara morfologi membentuk tonjolan pada permukaan sel, partikel virus dewasa mempunyai inti ekstrinsik berbentuk batang. Struktur antigeniknya ada dua, yaitu HIV-I dan HIV-II yang mempunyai persamaan dalam tropisma spesifiknya terhadap limfosit T4.9

Gambar 2. Struktur RetrovirusSumber : http://science.howstuffworks.comEpidemiologi

Penyebaran HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana.3

Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual masa kini telah terjadi pergeseran dimana presentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Kemudian meningkat tajam pada tahun 1999 disebabkan penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dengan jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.3

Sebuah survey dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersial yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta utara, dan 5,5% di Jawa Barat.3

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan kaya juga tampaknya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya tampaknya lebih menonjol.3

Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular HIV atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999 menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001.3

Surveylens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat umum. Presentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, dan 0,016 pada tahun 2000.3

Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor darah berasal dari tahanan di lembaga permasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara.3Komplikasi

Pada sejumlah kecil penderita, demensia merupakan satu-satunya gejala klinis infeksi HIV sebelum meninggal. Beberapa gangguan pada sistem saraf lain juga dapat terjadi, seperti kelemahan motorik, tremor, refleks hisap, refleks genggam,ensefalitis,meningitis aseptik, dan lain-lain. Toksoplasmosis serebral juga sering merupakan komplikasi dari AIDS.9

Infeksi oportunitik seperti pneumonia oleh Pneumocystis jiroveci (carinii) ditemukan pada 50% pasien. Terjadi spektrum luas infeksi bakteri piogenik Cryptosporidium yang mencerminkan perubahan imunitas humoral. Terjadi berbagai neoplasma ganas, seperti sarkoma kaposi yang agresif dan lebih sering terdapat pada homoseksual. Lesi sarkoma kaposi tersusun dari sel-sel kumparan yang membentuk pembuluh darah yang merupakan neoplasma monoklonal yang berikatan erat dengan human herpesvirus-8 (HHV-8) yang juga disebut herpesvirus sarkoma kaposi. Sarkoma kaposi juga dapat terjadi tanpa harus terinfeksi HIV.9Penatalaksanaan

Medikamentosa Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan. Pengobatan profilaktik pascapajanan dengan jarum suntik atau berhubungan kelamin dapat menurunkan keganjilan infeksi HIV primer yang didapat. HIV diobati dengan mengikuti program pengobatan yang dikenal dengan terapi retrovirus sangat aktif (Highly Active Retroviral Therapy, HAART). HAART meliputi kombinasi obat-obat yang termasuk satu atau lebih obat berikut ini: Nucleoside reverse transcription inhibitor (NRTI). Obat ini misalnya azidotimidin, mengganggu transkripsi virus ke dalam DNA pejamu dengan menghambat kerja enzim reverse transcriptase dengan mengganggu ketersediaan nukleosida (timidin).11 Non nucleoside reverse transcription inhibitor. Obat ini bekerja melalui pengikatan non-kompetitif untuk menghambat tempat aktif pada enzim reverse transcriptase. Obat ini bekerja lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti NRTI.11 Inhibitor protease, yang menghambat kerja protease yang diperlukan untuk pembentukan partikel virus matang.

Terapi HAART tidak menyembuhkan AIDS, tetapi dapat secara dramatis memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita AIDS. HAART aman dan efektif diberikan kepada wanita hamil, meski efek teratogenesis masih dipertanyakan. HAART aman digunakan pada bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.Terapi untuk kanker dan infeksi spesifik apabila penyakit tersebut muncul.10Non Medicamentosa

Untuk mencegah terpajan HIV, seseorang harus: Diperiksa ada atau tidaknya virus paling sedikit 6 bulan setelah hubungan kelamin terakhir yang tidak terlindung, karena pembentukan antibodi mungkin memerlukan waktu paling sedikit 6 bulan setelah pajanan ke virus untuk membentuk antibody. Seks oral juga dapat menularkan virus.11 Menggunakan kondom lateks apabila terjadi hubungan kelamin dengan orang yang status HIVnya tidak diketahui.

Tidak melakukan tukar-menukar jarum dengan siapapun untuk alasan apapun.

Mencegah infeksi ke janin atau bayi baru lahir. Seorang wanita haraus mengetahui status HIVnya dan pasangannya sebelum hamil.

Pompa payudara untuk ibu menyusui jangan ditukarpakaikan.10Pencegahan

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di beberapa negara dan sangat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara skaligus, yaitu pendidikan kesehatan reproduksi untukk remaja dan dewasa muda, program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran, program kerjasama dengan media cetak dan elektronik, paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaan jarum suntik steril, program pendidikan agama, program layanan pengobatan infeksi menular seksual, program promosi kondom di lokasi pelacuran dan panti pijat, pelatihan keterampilan hidup, program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling, dukungan untuk anak-anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak, integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk penderita, dan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV.3

Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di Indonesia tetapi belum dilaksanakan secara berkesinambungan dan belum merata di seluruh Indonesia. Perbaikan juga masih harus dilakukan, baik menyangkut program serta perluasan cakupan penerima program.3Prognosis Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan. Walaupun terdapat pengobatannya, tapi belum maksimal. Pengobatan dan pencegahan dilakukan dengan upaya meningkatkan usia hidup penderita.10Kesimpulan

Seorang laki-laki, usia 52 tahun menderita HIV dikarenakan gejala klinis yang dipaparkan memiliki kemiripan yang sangat dekat dengan gejala klinis pada HIV. Selain itu juga terdapat faktor penularan HIV salah satunya adalah HIV/AIDS dapat ditularkan melalui jarum yang tidak steril ini, dan dalam kasus diperkuat dengan keadaan pada tubuh laki-laki tersebut yang bertato.Daftar Pustaka1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC; 2011.h.366-7.2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga ; 2007.h.206-9;102-4.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.h.2861-8.4. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.h. 391-2.5. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo ;2007.h. 154.

6. Misnadiarly.Pneumonia.Jakarta : Pustaka Obor Populer;2008.h.15.

7. Swatz MH. Buku ajar diagnostik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.144.

8. Syahrurachman A, Chatim A, Soebandrio A, Karuniawati A, Santoso AUS, editors. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara; 2010.h.465.

9. Robins, Cotran. Buku saku dasar penyakit patologis. Jakarta: EGC; 2009.h.157.10. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC;2009.h.176-8.1