20
Kejadian Malpraktek dalam Tindakan Pembedahan Usus Buntu Elsinda Eka Sari 102010165 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana [email protected] Pendahuluan Pada problem based learning (PBL) blok 27 didapatkan skenario: “Dr. A adalah seorang dokter spesialis bedah umum. Pada suatu ketika ia mendapatkan seorang pasien B yang menderita radang usus buntu. Dr. A menyarankan agar pasien B segera dioperasi dan pasien B menyetujui. Setelah 3 hari post operasi, pasien B menderita demam tinggi, kesadarannya menurun dan pada bekas luka operasinya tampak keluar nanah. Melihat kondisi pasien, keluarga pasien tidak terima dan berniat menuntut dr. A”. Berdasarkan skenario tersebut, dibuat hipotesa bahwa dr. A tidak melakukan malpraktek dalam tindakan yang dilakukannya. Untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, maka haruslah terlebih dahulu dibahas mengenai definisi malpraktek, jenis-jenisnya, dan hukum yang mengaturnya. 1 | Malpraktek

PBL 27 Eka

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PBL 27 Eka

Kejadian Malpraktek dalam Tindakan Pembedahan Usus Buntu

Elsinda Eka Sari

102010165

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

[email protected]

Pendahuluan

Pada problem based learning (PBL) blok 27 didapatkan skenario: “Dr. A adalah seorang

dokter spesialis bedah umum. Pada suatu ketika ia mendapatkan seorang pasien B yang

menderita radang usus buntu. Dr. A menyarankan agar pasien B segera dioperasi dan pasien B

menyetujui. Setelah 3 hari post operasi, pasien B menderita demam tinggi, kesadarannya

menurun dan pada bekas luka operasinya tampak keluar nanah. Melihat kondisi pasien, keluarga

pasien tidak terima dan berniat menuntut dr. A”. Berdasarkan skenario tersebut, dibuat hipotesa

bahwa dr. A tidak melakukan malpraktek dalam tindakan yang dilakukannya. Untuk

membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, maka haruslah terlebih dahulu dibahas mengenai

definisi malpraktek, jenis-jenisnya, dan hukum yang mengaturnya.

PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN

Prinsip-prinsip etika profesi :

1. Tanggung jawab

Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.

Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada

umumnya.

2. Keadilan untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.

1 | M a l p r a k t e k

Page 2: PBL 27 Eka

3. Otonomi menuntut agar setiap kaum profesional diberi kebebasan menjalankan

profesinya.1

Peranan etika dalam profesi:

1. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama

kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja,

tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga

sampai pada suatu bangsa.

2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam

pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama

anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian

karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi)

dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.

3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para

anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati

bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada

masyarakat profesi tersebut.

HUBUNGAN DOKTER-PASIEN

Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika

kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan

kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis Internasional pula

menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan terbaik sesuai sarana yang

tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien kepadanya. Prinsip utama moral

profesi adalah autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula

adalah veracity (memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan

confidentiality (menjaga kerahasiaan).

Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan

memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan

mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social

contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam

2 | M a l p r a k t e k

Page 3: PBL 27 Eka

membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan

pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan

gaya hidup pasien.

Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka, dengan memegang

pada dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh

menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat.1

Definisi Malpraktek

Malpraktek atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal

berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik, berdasarkan kamus umum bahasa

indonesia berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan

(profesi).1 Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege

artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam

profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik dan wartawan. Black’s Law dictionary

mendefinisikan malpraktik sebagai “malpractice is a professional misconduct or unreasonable

lack of skill or failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and

learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent

reputable member of the profession with the result of injury, loss, or damage to the recipient of

those services or to those entitled to rely upon them”.1,2

Menurut WHO (1992),” medical malpractice involves the physician’s failure to conform

to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence ini

providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” Sedangkan

Longman dictionary of contempory English mendefinisikannya sebagai “failure to carry out

one’s professional duty properly or honestly, often resulting ini injury, loss, or damage to

someone”. Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan

seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran dilingkungan yang

sama.1 Apapun definisi malpraktik medik pada intinya mengandung salah satu unsur berikut:1

3 | M a l p r a k t e k

Page 4: PBL 27 Eka

1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan yang sudah

berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.

2. Dokter memberikan pelayanan medik di bawah standar (tidak lege artis)

3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat mencakup:

a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau

b. Melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah

diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi

yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis

obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan

pasien, kegagalan komunikasi dan kegagalan peralatan.1

Yang dimaksud dengan kelalaian dalam malpraktik medik adalah sikap kurang hati-hati,

yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar,

atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya

dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan keokteran di bawah

standar pelayanan medik.1

Walaupun UU no.6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan sudah dicabut oleh UU no.23

tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan malpraktik/kelalaian medik yang tercantum

pada pasal 11b masih dapat dipergunakan yaitu: Dengan tidak mengurangi ketentuan di dalam

KUHP dan peraturan perundang-undangan lain, terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan

tindakan administratif dalam hal sebagai berikut.1,3,4

a. Melalaikan kewajiban

b. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga

kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat sumpah sebagai

tenaga kesehatan.

Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a) melalaikan kewajiban, yang

berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sedangkan pada butir (b) berarti

melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Kelalaian bukanlah suatu

4 | M a l p r a k t e k

Page 5: PBL 27 Eka

pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau

cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de

minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.

Akan tetapi, jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut

nyawa orang lain, diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.1

Macam-Macam Malpraktek

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugas profesinya

yang menimbulkan kerugian bagi orang lain pada umumnya disebut dengan istilah malpraktik.

Malpraktik medik ditinjau dari segi etika profesi dan hukum dapat dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu

1. Malpraktik etika: dikatakan sebagai malpraktik etik yaitu apabila dokter melakukan tindakan

yang bertentangan dengan etika kedokteran sebagaimana yang terdapat pada Kode Etik

Kedokteran Indonesia (Kodeki).4,5

2. Malpraktik yuridis (secara hukum) dibagi menjadi 3 bagian:4

a. Malpraktik perdata: terjadi apabila terdapat ha-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya

isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga medis

lainnya. Selain itu terjadinya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian

terhadap pasien;

b. Malpraktik pidana: terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat, akibat

dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam

melakukan upaya medis;

c. Malpraktik administratif: terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan

pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku. Misalnya, menjalankan

praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai

dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktik dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan

menjalankan praktik tanpa membuat catatan medis.4,5

Pada umumnya, selain pembagian di atas malpraktik juga dapat dibagi berdasarkan Black’s law

dictionary menjadi beberapa macam, yaitu malpraktik yang terjadi karena tindakan yang

disengaja (intensional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun

5 | M a l p r a k t e k

Page 6: PBL 27 Eka

suatu kekurang-mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.Lack of Skill yaitu seorang

dokter yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya.2

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk

pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana

dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien,

pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,

misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima,

berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja melanggar standar, dll. Selain

itu, malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian.2,5 Sementara itu ketidak-kompetenan

dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian. Kelalaian dapat terjadi

dalam tiga bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance,dan nonfeasance.2,5 Malfeasance berarti

melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper),

misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis

tersebut improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan

medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang

merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian diatas sejalan dengan bentuk-bentuk

error (mistakes, slips, and lapses).2

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur dibawah

ini, yaitu:2

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan suatu tindakan medis atau untuk tidak

melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang

tertentu.

2. Direction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang

dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang

diberikan oleh pemberi layanan.

6 | M a l p r a k t e k

Page 7: PBL 27 Eka

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus

terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang

setidaknya merupakan “proximate cause”.2

Pembuktian dalam Malpraktek

Dalam kasus malpraktek, untuk memastikan apakah benar kesalahan terdapat pada

petugas kesehatan, dan bagaimana sanksinya dll, harus dilakukan pembuktian, yang mencakup

pembuktian adanya kewajiban dan pelanggarannya, serta pembuktian kerugian dan hubungan

kausalnya.2 Pembuktian-pembuktian yang dilakukan dalam malpraktek ini terutama menjadi

bagian dan tanggung jawab dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),

dimana sesuai dengan UU RI No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, menyatakan harapan

bahwa setiap orang yang merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dapat

mengadukan kasusnya ke MKDKI secara tertulis, atau lisan jika tidak mampu secara tertulis.

Pengaduan ini tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak

pidana kepada pihak berwenang dan atau menggugat kerugian perdata kepada pengadilan.

Setelah MKDKI memeriksa dan memberi keputusan terdahap pengaduan tersebut, apabila

ditemukan pelanggaran etik, MKDKI akan meneruskan pengaduan kepada Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran (MKEK) IDI, jika terdapat pelanggaran disiplin, MKDKI dapat memberi sanksi

disiplin, dan jika terdapat bukti-bukti awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI dapat

meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang, atau pengadu menggugat

kerugian perdata ke pengadilan.1

Pembuktian adanya kewajiban dan pelanggarannya. Dasar adanya kewajiban dokter

adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang

menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional

bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik

profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban

tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai

perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan. Dalam kaitannya

dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk

7 | M a l p r a k t e k

Page 8: PBL 27 Eka

melakukan suatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu

terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Untuk dapat memperoleh

kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harys memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang

medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya

selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat

terendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan

kompetensi yang rata-rata dalam populasi dokter. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktek

medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di

bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. 2

Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat penugasan”, sedangkan

kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek. Seseorang yang memiliki

kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan yang sesuai

dengan surat penugasannya di bawah supervise pimpinan sarana kesehatan tersebut. 2

Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar.

Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI.

Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana

diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. Sementara itu dalam menilai

kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan minimal (SPM), haruslah kita tentukan terlebih

dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan, pada situasi seperti apa dan pada kondisi yang

bagaimana. Suatu standar pelayanan minimal umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang

harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan

apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen).2

Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang situasi dan keadaan yang

“normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan

kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini, seperti bagaimana keadaan umum

pasien dan faktor-faktor lain yang “memberatkannya”, adakah situasi kedaruratan tertentu,

adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu, dll.

Dengan melihat uraian tentang kewajiban tersebut, maka mudah untuk memahami apakah arti

penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya golden rule yang menyatakan

8 | M a l p r a k t e k

Page 9: PBL 27 Eka

“what is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any

other in an identical situation”.2

Pembuktian kerugian dan hubungan kausalnya. Pada prinsipnya suatu kerugian

adalah sejumlah uang tertentu yang harus diteruma oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat

kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal ini sukar

dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu

kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak

(reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa

sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang

hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis. Selanjutnya, sebagaimana telah

diuraikan diatas, kerugian atau damages (cedera) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:2

1. Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses)

2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses):

a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan

b. Kerugian nyata:

i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan

ii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan

Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:2

1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian yang

bersifat immateriel).

a. Sakit dan penderitaan

b. Kehilangan kesenangan / kenikmatan

c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris

2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real cost)

a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit

b. Pengeluaran untuk biaya medis lain

c. Pengeluaran untuk perawatan

3. Kompensasi untuk kerugian lain yang dapat diduga (compensation for other foreseeable loss,

yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)

9 | M a l p r a k t e k

Page 10: PBL 27 Eka

a. Kehilangan penghasilan

b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Kerugian-kerugian diatas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya

gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali.

Oleh karena itu, penggugat haru menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang

akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat

pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak. Pembayaran berjangka

tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan kepada kerugian yang akan

datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi termasuk kerugian yang non pecuniary dapat

diberi bunga yang besarnya reasonable.2

Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat

dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu lintas,

maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut: biaya

perawatan medis sejak masuk RS hingga selesainya terapi pasca operasi termasuk biaya non

medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan RS (transport, peralatan khusus, perawat pada

home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih akan dibutuhkan

(fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja,

kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaannya “secara umum”

membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit dan

penderitaannya.2

Semua biaya nyata mudah dihitung, baik yang telah dikeluarkan maupun yang akan

dikeluarkan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan agak lebih sulit dihitungnya, karena

kerugian tersebut sebenarnya bersifat “prediktif” dengan tidak pasti atau dengan tingkat

ketepatan yang tidak dapat ditentukan. Selain itu juga tidak dapat diperkirakan sampai berapa

lama kehilangan kesempatan tersebut dapat diperhitungkan (berkaitan dengan panjang usia yang

akan dicapai dan kemampuan bekerjanya secara umum). Lebih sulit lagi dihitungnya adalah

kerugian immateriel.2

Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370

dan 1371 KUHP, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan, dan keadaan kedua

10 | M a l p r a k t e k

Page 11: PBL 27 Eka

belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan

kedudukan, kemampuan, dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu

sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar

tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim

pada akhirnya akan mengambul keputusan jumlah ganti rugi tersebutm dengan

mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.2

Tidak semua kerugian yang dialami pasien dapat digugatkan, karena kerugian dapat saja

timbul sebagai akibat dari perjalanan penyakit; atau dapat juga disebabkan oleh resiko atau

komplikasi tindakan medik tersebut yang tak dapat dihindari – namun bukan karena kelalaian,

sehingga tidak dianggap sebagai kesalahan pemberi layanan. Dalam gugatan ganti rugi, besarnya

gugatan yang diajukan ke pengadilan dapat melonjak jauh dari besarnya ganti rugi sebenarnya

yang diminta oleh pasien, hal itu disebabkan adanya legal cost (lawyer’s fee, proceeding’s fee,

other expenses, dan success fee), yang besarnya seringkali jauh lebih besar dari besarnya

kerugian. Legal cost akan banyak berkurang apabila perkara diselesaikan dengan cara di luar

pengadilan.2

Kelalaian medik juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, dengan memanfaatkan

pasal 359-361 KUHP. Pada dasarnya pembelaan kelalaian medik dilakukan dengan cara

pembuktian yang sama, baik di lingkungan peradilan perdata (ganti rugi) maupun di lingkungan

peradilan pidana. Perbedaannya hanyalah siapa yang dibebani pembuktian dan seberapa tingkat

kepastian yang dibutuhkan untuk membuat putusan. Pada peradilan pidana, beban pembuktian

diletakkan pada jaksa penuntut umum dan terdakwa terbebani untuk membuktikan sebaliknya,

sedangkan pada peradilan perdata beban pembuktian terletak pada penggugat (sesuai KUH

Perdata). Tingkat kepastian yang harus dicapai pada peradilan perdata cukup dengan

preponderance of evidence (bukti yang lebih kuat yang menang, cukup dengan 51 banding 49),

sedangkan pada peradilan pidana harus mencapai kepastian yang mendekati sempurna (kurang

lebih mendekati 95%).1

Sanksi Tindakan Malpraktek

Pada kasus malpraktik, sanksi yang biasa muncul adalah seperti yang sudah dibahas

diatas, yaitu membayar ganti rugi terhadap pasien/keluarga pasien yang mengalami kerugian.

11 | M a l p r a k t e k

Page 12: PBL 27 Eka

Kelalaian medik juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, yang mengancam terdakwa

dengan sanksi pidana apabila melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan seseorang lain luka,

luka berat atau mati. Ancaman pidana yang lebih berat diberikan kepada orang yang

melakukannya dalam rangka melakukan pekerjaan / pencahariannya. Bahkan orang tersebut

dapat dicabut haknya dalam melakukan aktivitasnya tersebut. Berbagai tindakan medik lain yang

bukan kelalaian medik juga dapat diancam dengan pidana, seperti berpraktek tanpa kompetensi

dan/atau kewenangan, aborsi, menyelenggarakan reproduksi buatan tidak sesuai peraturan,

melakukan tindakan medik tanpa persetujuan, membuat keterangan palsu, euthanasia, membantu

pasien bunuh diri dll.2

Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya sehingga terhadap

pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal mungkun MKEK memberi

usul ke Kanwil Depkes Provinsi atau Depkes untuk memberikan tindakan administratif, sebagai

langkah pencegahan terhadap kemungkinan pengulangan pelanggaran yang sama di kemudian

hari, atau makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut. Sanksi yang diberikan terhadap

pelanggaran etika kedokteran bergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang

terbaik tentulah upaya pencegahan pelanggaran etik, yaitu dengan cara terus menerus

memberikan penyuluhan kepada anggota IDI, tentang etika kedokteran dan hukum kesehatan.

Namun, jika terjadi pelanggaran, sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik sehingga

pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran

bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:1

1. Teguran atau tuntutan secara lisan atau tulisan

2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat

3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah

4. Dicabut izin praktik dokter untuk sementara atau selama-lamanya

5. Pada kasus pelanggaran etikolegal diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang

berlaku dan diproses ke pengadilan.1

Jika ditemukan adanya pelanggaran disiplin, maka pihak MKDKI akan memutuskan dan

memberikan sanksi disiplin kepada dokter yang melakukan malpraktek.1

12 | M a l p r a k t e k

Page 13: PBL 27 Eka

Kesimpulan

Hipotesis belum bisa diterima, karena belum ada bukti lanjut dan keterangan yang

jelas apakah ini merupakan kelalaian dari dokter atau dari pihak pasien sendiri. Sehingga, masih

harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut dari kedua belah pihak. Tindakan malpraktek

merupakan hal yang sering terjadi, dan karena itu harus ditanggapi dengan serius. Setiap jenis

malpraktek yang terjadi harus diberikan sanksi yang sesuai, agar ke depannya dokter yang

terlibat tidak lagi mengulang kesalahan yang sama, serta dapat menjadi contoh bagi dokter-

dokter yang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Daftar Pustaka

1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;

2009.h.96-182.

2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi

mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.h.90-110.

3. Bagian kedokteran forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.

Jakarta:Balai penerbit FKUI; 1994.h.27.

4. Zen APM, Hutagalung D. Panduan bantuan hukum di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia; 2007.h. 85-6.

5. USU. Penyelesaian tindak pidana malpraktek. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id, 14

September 2013.

13 | M a l p r a k t e k