Upload
vanque
View
380
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa
KAJIAN KRITIK SENI PADA LUKISAN POTRET DIRI RADI ARWINDA DAN
AMALIA KARTIKA SARI
Astrini Isfandiari Adisoma Nuning Y. Damayanti
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB
Email: [email protected]
Kata Kunci : Amalia Kartika Sari, Chibi, Kritik Seni, Potret Diri, Radi Arwinda
Abstrak Penelitian ini membandingkan lukisan potret diri dua seniman muda Bandung yaitu Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mencari tahu faktor yang mempengaruhi visualisasi karya serta mencari persamaan serta perbedaan dari karya kedua seniman. Metode
yang digunakan untuk menganalisa karya adalah kritik seni Terry Barret. Data-data dikumpulkan dengan kaji pustaka, dokumentasi data gambar serta
wawancara. Kesimpulan yang didapat adalah karya kedua seniman memiliki persamaan, yaitu gaya dan visualisasi yang terpengaruh budaya pop
Jepang yang kuat, yang terlihat dari penggunaan gaya gambar chibi, dan pewarnaan blok yang cerah dan datar. Namun karya kedua seniman juga
memiliki perbedaan yang cukup signifikan pada segi konsep. Radi menggunakan konsep Neo Genre of Pop and Tradition (N. G. P. T) serta
melakukan kritik diri, sedangkan karya Amalia lebih merujuk kepada ekspresi diri dengan gaya naratif yang ilustratif. Perbedaan tersebut
dimungkinkan karena latar belakang pendidikan dan keluarga kedua seniman yang cukup berbeda.
Abstract This research is to compare the self-portrait paintings of Radi Arwinda and Amalia Kartika Sari, two young artists from Bandung. The purpose of
this research is to find out the factors that influence the visualization of their artwork, and well as finding the similarit ies and differences of both
artists’ artworks. The method used to analyze the artworks is Terry Barret’s method of art criticism. The data is collected by literature study, image
data documentation and interviews. The conclusion is that both artists’ artworks have a similarity which is from the strong influence of Japanese pop
culture. It can be seen from the usage of chibi style in their self-portraits and block coloring that is bright and flat. But both artists’ artworks have a
significant difference in the concept of their artworks; Radi uses the concept of Neo Genre of Pop and Tradition (N. G. P. T) while performing self-
critique, while Amalia’s artwork refers more to self-expression with a narrative and illustrative style. The reason behind these differences are their
different backgrounds involving family and education.
1. Pendahuluan
Seni rupa digunakan sebagai media untuk memenuhi kebutuhan individual yaitu sebagai ekspresi pribadi. (Feldman,
1969: 4) Penting halnya untuk membedakan antara berkomunikasi dan berekspresi karena seni juga melibatkan hal-hal
seperti pembentukan unsur-unsur rupa berupa garis, bentuk, warna dan volume, yang dapat memiliki artian spesifik
bagi seniman, karena hal tersebut merepresentasikan maksud sang seniman dan membantu proses penciptaan karya
seni.
Salah satu cara bentuk seorang seniman berekspresi berupa lukisan potret. Potret merupakan representasi visual dari
seorang individu yang dapat mencerminkan sifat sang subjek, kedudukan sosial, kekayaan, atau profesinya. Lukisan
potret sudah berkembang dari awal abad ke-15. Fungsi dari lukisan potret pada masa itu adalah untuk mengabadikan
sosok dari figur-figur penting pada masa tersebut, terutama agar sosoknya tetap diingat bahkan ketika subjek lukisan
tersebut sudah tiada. Seniman-seniman pun mengabadikan dirinya sendiri ke dalam karya yang disebut dengan potret
diri. Seorang seniman dapat melakukan banyak hal dengan potret diri, antara lain meninggalkan identitasnya sebagai
seorang seniman di atas karya, mengeksplorasi teknik berkarya dengan memakai diri sendiri sebagai model, mendalami
pemahaman mengenai dirinya sendiri baik secara fisik ataupun psikologis, serta mengekspresikan pemikiran-pemikiran
atau masalah serta perasaan yang terjadi dalam dirinya. (http://www.artistdaily.com/blogs/artistdaily/archive/2013/
05/10/what-artists-reveal-with-self-portraits.aspx)
Pop Art, yang berkembang pada tahun 1950an mulai menggunakan aspek-aspek dari budaya masal seperti iklan, komik,
dan objek sehari-hari. Karakter-karakter ikonik dari manga (komik) dan anime (kartun animasi) Jepang seperti Speed
Racer dan Astro Boy juga telah digunakan dalam Pop Art. Manga dan anime Jepang juga mempengaruhi seniman Pop
Art Jepang seperti Takashi Murakami. Sejumlah seniman muda seperti Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari memiliki
ciri khas pada karya mereka yaitu subjek utama potret diri yang tidak foto realis, namun diekspresikan melalui gaya
kartun dengan penyederhanaan bentuk seperti bentuk chibi khas gaya kartun Jepang. Hal ini menarik untuk diteliti
karena penulis melihat bahwa kedua seniman tersebut memiliki latar belakang yang sangat berbeda, terutama dari segi
latar belakang pendidikan. Namun, mereka memiliki kemiripan ciri khas dalam karya-karya mereka, yaitu membuat
potret diri berbentuk chibi dengan unsur dekoratif tradisional khas Indonesia di dalamnya.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 2
Berikut alur kerja penelitian.
Gambar 1. Alur Kerja Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dangan pendekatan kritik seni dan estetika. Penulis mencari sumber
pustaka tentang sejarah perkembangan dan teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian, contohnya portrait,
potret diri, pop culture, dan kritik seni. Sampel karya yang dipilih akan diurai menggunakan metode kritik seni Terry
Barret. Kajian pustaka seperti buku-buku, penelitian, artikel ataupun essay mengenai karya seniman, biografi seniman,
dan hasil wawancara akan dijadikan acuan untuk menganalisa pengaruh-pengaruh pada karya. Setelah itu penulis akan
Rumusan Masalah
- Bagaimana visualisasi karya potret diri
Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari?
- Apa saja perbedaan dan persamaan potret
diri kedua seniman?
- Bagaimana latar belakang kedua seniman
mempengaruhi karya seni mereka?
Batasan masalah
- Mengkaji potret diri dengan unsur chibi.
- Visualisasi potret diri dan unsur-unsur rupa dalam
karya kedua seniman.
- Karya yang dibuat pada periode 2009 – 2011
- Lukisan dengan medium acrylic.
- Hanya mengkaji karya yang dipadukan dengan
unsur dekoratif Indonesia.
Pengumpulan data visual dan pustaka
Kajian Kritik Seni Pada Lukisan Portret Diri Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari
Media cetak Internet
Analisa
Kesimpulan
Data karya seniman
Wawancara
Data biografi seniman
Teori:
Kritik Seni Barret
Hipotesis
Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari memiliki pengaruh animasi dan komik
Jepang yang terlihat dari penyederhanaan bentuk potret diri mereka menjadi chibi
dan warna yang cerah dan flat. Kedua seniman melakukan ekspresi diri melalui
potret diri dengan gaya gambar pop Jepang, namun dipadukan dengan unsur
dekoratif lokal untuk merefleksikan identitas mereka sebagai seniman Indonesia.
Latar belakang kedua seniman membuat karya mereka memiliki perbedaan dari
segi konsep, namun memiliki visualisasi karya yang cukup mirip dikarenakan
ketertarikan keduanya terhadap budaya pop Jepang serta DKV.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3
membandingkan karya kedua seniman untuk menemukan persamaan serta perbedaan diantaranya, sehingga ditemukan
sebuah kesimpulan yang dapat membuktikan hipotesa yang sudah dibuat.
2. Tinjauan Teori
Potret
Karya potret adalah penciptaan sebuah representasi visual yang memiliki kemiripan dengan manusia sesungguhnya
dalam media yang beragam, termasuk didalamnya lukisan, drawing dan patung. Sejarawan seni rupa dari Barat
menganggap masa Renaissans merupakan fase utama yang memiliki perkembangan portraiture dengan pesat. Contoh
lukisan potret dalam masyarakat Inggris, Perancis dan Spanyol pada periode abad ke-16 – abad ke-18 hampir
seluruhnya merupakan sebuah proses penghormatan yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan individu-individu
yang berkuasa, kaya raya atau penting secara simbolis. Diantaranya adalah raja-raja dan bangsawan, tentara berpangkat
tinggi, pegawai negri sipil, politikus, filsuf, paus dan uskup, pedagang, bankir, serta istri mereka.
Potret Diri
Gambar 2. Self-Portrait, Jean Fouquet, 1450
emas pada enamel
Sumber: http://userpages.umbc.edu/~ivy/selfportrait/back.html
Potret diri Jean Fouquet (c. 1450), merupakan sebuah gambar kecil yang dibuat dengan emas pada enamel hitam. Karya
ini dipandang sebagai potret diri paling awal yang teridentifikasi dengan jelas dan merupakan karya tersendiri, bukan
merupakan sebuah bagian dari karya lukis yang lebih besar. Sebuah potret diri sebagai proyeksi diri, mungkin telah
dimulai dengan potret Fouquet, tapi seniman seperti Albrecht Dürer dan Parmigianino dikenal untuk eksplorasi rinci
pencitraan mereka sendiri. Rembrandt menciptakan sejumlah besar potret diri melalui studi yang intensif tentang
dirinya. Salah satu contoh terbesar dari potret diri sebagai studi tentang diri dapat dilihat dalam karya Frida Kahlo. Ia
menggunakan medium lukis sebagai semacam terapi karena berbagai peristiwa yang terjadi di kehidupannya, seperti
kecelakaan yang dialami semasa muda, perselingkuhan suami, dan ketika keguguran. Seniman menatap cermin dan
berusaha untuk memahami identitas mereka. Mereka berusaha untuk menggambarkan citra masing-masing, baik itu
untuk menunjukkan representasi fitur mereka yang jelas, sebuah perjalanan melalui masa lalu, atau sebuah alat untuk
mengekspresikan emosi.
Pop Art adalah gerakan seni yang muncul pada pertengahan 1950-an di Inggris dan di akhir 1950-an di Amerika
Serikat. Pop art menyajikan sebuah tantangan untuk tradisi-tradisi seni rupa yaitu dengan menggunakan citra dari
budaya populer dan budaya masal, seperti iklan, komik dan benda-benda keseharian. Dengan menciptakan lukisan atau
patung dengan objek berupa benda-benda budaya masal dan bintang serta selebriti yang ada di media, gerakan Pop Art
bertujuan untuk mengaburkan batas-batas antara seni tinggi dan rendah. Pop Art memberikan pengaruh bagi seniman-
seniman di dekade-dekade seterusnya, dan budaya populer merupakan materi yang mudah untuk diidentifikasi dan
dipahami bagi pengamat dan masyarakat. (http://www.theartstory.org/movement-pop-art.htm) Animasi serta komik
Jepang pun merupakan salah satu budaya populer yang telah menjadi konsumsi global yang sangat luas, serta menjadi
ikon dari karya-karya seni seniman seperti Takashi Murakami.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 4
Gambar 3. Self-Portrait Of The Manifold Worries Of A Manifoldly Distressed Artist karya Takashi Murakami, 2012
Sumber: http://www.cavetocanvas.com/post/46037912446/takashi-murakami-self-portrait-of-the-manifold
Chibi
Chibi adalah sebuah istilah dalam bahasa slang Jepang yang dapat diartikan sebagai "orang yang pendek", “kerdil”, atau
"anak kecil". Kata chibi telah memperoleh kepopuleran diantara penggemar manga (komik) dan anime (animasi)
Jepang. Chibi biasanya digunakan dalam konteks yang lebih menekankan lucu atau imut. Pada berbagai anime dan
manga, karakter chibi biasanya digunakan untuk menyampaikan humor, emosi yang ekstrim atau keimutan. Ini adalah
gaya gambar di mana karakter menjadi seperti anak kecil, karena proporsi mereka lebih dekat dengan proporsi anak-
anak. Pada beberapa penggemar anime dan manga berbahasa Inggris, istilah lain yang umum digunakan untuk jenis
karakter ini adalah Super Deformed, sebuah bentuk karikatur Jepang dimana proporsi dan fitur karakter didistorsi secara
berlebihan.
Gambar 4. Gambar Chibi
Sumber: http://img1.wikia.nocookie.net/__cb20110118115939/fruitsbasket/images/d/dd/Bleach-chibi-chibi-8861572-
351-500.jpg
Kritik Seni
Kritik seni adalah proses analisa dan evaluasi karya-karya seni rupa dan seringkali dikaitkan dengan teori. Sifat kritik
seni adalah dapat diinterpretasi, menyangkut usaha untuk memahami sebuah karya seni dari perspektif teoritis, dan
menetapkan kepentingan karya tersebut dalam sejarah seni. Kritikus seni biasanya mengkritik seni dalam konteks
estetika atau teori-teori keindahan. Tujuan dari kritik seni adalah mengincar sebuah dasar yang rasional untuk
mengapresiasi seni. Terry Barrett, penulis Criticizing Art: Understanding the Contemporary, mendasarkan pendekatan
kepada kritik seni pada beberapa kegiatan, yaitu deskripsi, interpretasi dan penilaian.
- Deskripsi
Dalam deskripsi, tujuan kritikus adalah untuk menyediakan informasi bagi pembaca mengenai karya seni dengan cara
mendeskripsikan karya tersebut. Deskripsi dapat dibilang suatu kegiatan penjabaran secara lisan yang dilakukan oleh
seorang kritikus agar fitur-fitur pada suatu karya dapat diperhatikan dan diapresiasi oleh pengamat. Melalui pengamatan
yang hati-hati, informasi deskriptif dapat dikumpulkan dari dalam karya. Hal tersebut disebut informasi internal. Untuk
tujuan pembelajaran, informasi deskriptif internal dapat dikelompokkan menjadi tiga topik yaitu subject matter,
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5
medium, dan form. Kritikus juga menyediakan informasi deskriptif emengenai aspek-aspek yang tak terlihat dalam
karya, yaitu termasuk informasi seperti fakta-fakta mengenai sang seniman atau waktu-waktu ketika karya tersebut
dibuat. Hal ini disebut informasi eksternal.
Interpretasi
Barrett memberi kesan bahwa, meskipun semua saling tumpang tindih, "Interpretasi adalah kegiatan yang paling
penting dari kritik, dan mungkin yang paling kompleks." (Barret, 2000: 87) Meskipun terjalin dengan deskripsi dan
penilaian, interpretasi terhadap makna karya seni individual menjadi perhatian utama dalam kritik seni rupa
kontemporer. Membuat interpretasi dengan penilaian keduanya merupakan kegiatan membuat keputusan, menyediakan
alasan dan bukti atas keputusan-keputusan tersebut, dan memforulasikan argumen untuk suatu kesimpulan. Ketika
kritikus menginterpretasi karya seni, mereka mencari cara untuk menentukan karya tersebut tentang apa.
Penilaian
Penilaian dan interpretasi merupakan dua kegiatan yang yang serupa namun membuahkan hasil yang berbeda. Penilaian
merupakan argumen kritis mengenai nilai sebuah karya seni, dan selalu dibuat berdasarkan alasan-alasan yang
berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat diuraikan. Kritikus menilai sebuah karya seni untuk para pengamat dan
pembaca, bukan untuk seniman yang menciptakan karya tersebut. Kritikus mencoba untuk membujuk pembaca untuk
mengapresiasi, atau bahkan tidak mengapresiasi karya sebagaimana mereka melakukannya, dengan alasan-alasan
tertentu.
3. Radi Arwinda, Amalia Kartika Sari dan Karyanya
Radi Arwinda
Radi Arwinda lahir di Bandung pada tanggal 24 Juli 1983. Ayahnya, Haryadi Suadi, adalah seorang seniman asal
Cirebon yang juga merupakan staf pengajar di FSRD ITB. Radi menekuni Sekolah Dasar di Priangan, lalu menempuh
SMP dan SMA di Taruna Bakti. Selama masa sekolahnya, Radi banyak menggemari budaya visual populer seperti
komik-komik Jepang dan Amerika. Radi lalu menempuh pendidikan seni rupa di FSRD ITB pada tahun 2001. Radi
mengeksplor idiom potret diri ketika belajar tentang simbolisme di jurusan seni lukis. Pada saat itu Radi mengaku
sedang tertarik pada karya-karya potret diri Agus Suwage. Sejak saat itu Radi pun melukiskan potret diri sebagai subjek
utama dalam sebagian besar karya-karyanya. Dalam karya potret dirinya itu Radi selalu menggabungkan unsur
tradisional yang terinspirasi oleh lukisan kaca Cirebon dalam karya-karyanya. Radi sudah banyak mengikuti pameran
bersama maupun pameran tunggal di dalam dan di luar negeri.
Hal-hal serta tema yang dilukiskan Radi selalu mengenai hal-hal yang dekat dengan kehidupannya, contohnya budaya
pop dan budaya tradisional Cirebon. Kedua unsur tersebut digabungkan menjadi karya dengan visualisasi yang menarik;
komposisi lukisan yang berdasarkan lukisan kaca Cirebon, motif mega mendung dan wadasan di latar belakang lukisan,
warna-warna cerah yang menyerupai baik lukisan kaca maupun visual pop Jepang, gaya yang imut dan bernuansa
kartun, seperti bentuk subjek yang sederhana, outline hitam yang tegas, warna yang flat dan cerah, serta ekspresi wajah
yang ceria.
Latar belakang seni rupa dari keluarganya serta pendidikan formal yang ia tempuh mempengaruhi konsep berkarya Radi
secara signifikan. Selain sebagai media untuk berekspresi, Radi menggunakan seni rupa sebagai alat untuk
menyampaikan pemikiran kritisnya mengenai budaya. Radi menciptakan sebuah istilah untuk mendeskripsikan
karyanya yaitu N. G. P. T., sebuah singkatan dari Neo Genre of Pop and Tradition, dimana budaya Barat dan Timur
merupakan satu kesatuan, bukannya dua hal yang bertolak belakang. Salah satu tema yang sering diangkat Radi dalam
karya-karyanya adalah mengenai budaya instan. Radi sendiri melakukan kritik diri melalui karya-karyanya dengan
mengangkat budaya instan yang ada dalam hidupnya sendiri. Radi lalu mencari idiom budaya instan tersebut dari ranah
tradisi dan menggunakan tema ritual pesugihan dalam karya-karyanya.
Amalia Kartika Sari
Amalia Kartika Sari lahir di Bandung, 17 April 1987. Sedari kecil, Amalia mengaku sudah suka menggambar walaupun
tidak ada anggota keluarganya yang berkecimpung dalam dunia seni rupa. Sewaktu kecil, Amalia banyak membaca
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 6
komik-komik Jepang mulai dari komik Doraemon, Dragon Ball, hingga Miiko. Amalia menempuh Sekolah Dasar di SD
Tunas Jaka Sampurna, SMP Al-Azhar Kemang Pratama, SMA 81 Jakarta Timur, dan SMA 22 Bandung. Amalia masuk
FSRD ITB pada tahun 2005 dan mengambil jurusan Desain Grafis di Departemen Desain Komunikasi Visual ITB.
Menurut dosen-dosennya, Amalia merupakan mahasiswa yang rajin dan memiliki ciri khas yang kuat di bidang
layouting dan ilustrasi, terutama dalam character design. Amalia telah menyelenggarakan pameran tunggalnya, Happily
(N) ever After pada tahun 2010 yang diadakan di Jakarta, diikuti dengan pameran tunggal selanjutnya yaitu “Just
Married” pada tahun 2011. Pameran “Just Married” diselenggarakan setelah pernikahannya dengan kekasihnya, Yurra
Yudhistira.
Amalia menggunakan potret dirinya dan kekasihnya di sebagian besar karyanya.s Karya-karya Amalia terlihat seperti
‘lukisan digital’ berbentuk vector namun sebenarnya merupakan lukisan dengan medium akrilik yang dibingkai dengan
pigura ukiran kayu ataupun laser cut detail yang dibuat satu tema dengan lukisannya. Ciri khas karya Amalia adalah
warna-warna yang cerah, gaya gambar sederhana yang menyerupai kartun chibi Jepang dengan wajah ekspresif dan
detail ornamen yang banyak pada latar belakang. Konsep karya Amalia berkisar pada kehidupan pribadi dan
kesehariannya. Sebagai lulusan DKV, Amalia mengaku terbiasa menggambar dengan objek yang lucu, menarik, dan
selalu berusaha membuat karya yang komunikatif dengan cara menggunakan gaya gambar yang imut, warna yang
cerah, serta atribut-atribut yang menggambarkan tema lukisan tersebut dengan jelas. Hal itu dapat terlihat dari karya-
karya Amalia yang sangat ilustratif, naratif, dan gampang dimengerti oleh pengamat melalui subject matter yang
dilukiskan serta judul yang menarik dan provokatif yang biasanya menjelaskan secara detail tema yang diangkat dalam
karya.
4. Analisa Karya Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari
Dalam analisa karya Radi, penulis akan memilih dua set karya dari seri Sugih. Yang pertama adalah 5 karya yaitu
“Lolo”, “Lengleng”, “Ranran”, “Tektek”, dan “Juljul”. Yang kedua juga terdiri dari 5 buah karya yang identik yaitu
“Maneki Lolo”, “Maneki Lengleng”, “Maneki Ranran”, “Maneki Tektek”, dan “Maneki Juljul”.
Gambar 5. “Lengleng”, “Tektek”, “Lolo”, “Ranran”, dan “Juljul” dari seri Sugih oleh Radi Arwinda
170 x 120 cm, akrilik di atas kanvas
Sumber: http://radiarwinda.com
Gambar 6. “Maneki Lengleng”, “Maneki Tektek”, “Maneki Lolo”, “Maneki Ranran”, dan “Maneki Juljul” oleh Radi
Arwinda
170 x 120 cm, akrilik di atas kanvas
Sumber: http://radiarwinda.com
Seluruh lukisan Radi Arwinda memiliki sebuah kesamaan yaitu pada format dan layout lukisan. Dalam semua
lukisannya, latar belakang dihiasi oleh motif mega mendung dan wadasan serta border yang memiliki ornamen. Motif
tersebut merupakan unsur dekoratif yang banyak terdapat pada lukisan kaca Cirebon. Selain dari lukisan kaca, border
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 7
yang digambarkan Radi juga terinspirasi dari action figure yang digemarinya. Oleh karena itu, untuk ‘menyempunakan’
dan menambah nilai estetis pada lukisannya, Radi membuat sebuah border di setiap lukisannya yang berhiaskan
ornamen serta bunga yang sederhana. Radi sebagai subjek dalam tiap lukisan memegang sebuah koin emas. Koin emas
yang ia pegang merupakan simbolisasi dari inti ritual pesugihan, yaitu untuk mendapatkan harta atau uang dengan cara
instan. Semua kostum hewan yang dipakai oleh Radi memiliki mata putih yang kosong dikarenakan subjek utama
adalah Radi sendiri, dan kostum tersebut hanya merupakan atribut. Kostum yang dipakai oleh Radi menganalogikan
budaya instan yang ada dalam hidupnya untuk menunjukkan bahwa hal instan itu menjadi suatu yang sudah mendarah
daging dan ia gunakan setiap hari, seperti sudah membaju. Dalam setiap lukisan, Radi tersenyum dan menunjukkan
ekspresi yang ceria. Hal itu melambangkan bahwa ia menerima dan merayakan budaya instan tersebut, bukannya
menolaknya.
Lukisan-lukisan Radi merupakan sebuah contoh yang baik akan karya seni yang mengangkat budaya modern dan tradisi
pada saat yang bersamaan. Radi melalui karya-karyanya dapat menarik minat masyarakat modern dan anak muda akan
nilai-nilai tradisi yang sudah mulai dilupakan dengan mengambil bentuk budaya pop yang sudah sangat akrab di
kehidupan mereka dan mengaitkannya dengan budaya tradisi Indonesia. Karya-karya Radi mengingatkan kita bahwa
tidak hanya dirinya saja yang tumbuh dengan dua jenis budaya yang saling terjalin, namun kita semua juga hidup
dengan dua kebudayaan atau lebih, baik itu tradisi dari negara sendiri, tradisi dari negara lain, ataupun budaya modern.
Dalam analisa karya Amalia, penulis memilih karya “Srikandi & Arjuna”, “Roro Jonggrang”, “Reog”, “Tricky Timun
Mas”, “Hanomanohara”, dan “Handcuff Me, Secure Me (Loro Blonyo)”.
Gambar 7. “Srikandi & Arjuna”
100 x 150 cm, akrilik di atas kanvas + laser cut acrylic frame
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Gambar 8. “Roro Jonggrang”
200 x 150 cm, akrilik di atas kanvas + laser cut stainless frame
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 8
Gambar 9. “Reog”
200 x 150 cm, akrilik di atas kanvas + carved wooden frame
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Gambar 10. “Tricky Timun Mas”
200 x 150 cm, akrilik di atas kanvas + carved wooden frame
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Gambar 11. “Hanomanohara”
130 x 130 cm, akrilik di atas kanvas + carved wooden frame
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 9
Gambar 12. “Handcuff Me, Secure Me (Loro Blonyo)”
100 cm x 100 cm, akrilik di atas kanvas
Sumber: http://amaliakartika.tumblr.com/
Pendidikan yang ditempuh oleh Amalia yaitu Desain Komunikasi Visual memberi pengaruh besar terutama pada
visualisasi dan konsep karya-karyanya. Lukisan yang diciptakan Amalia sangat naratif dan ilustratif, yang digambarkan
dengan visualisasi yang menarik mata seperti bentuk chibi yang imut, unsur dekoratif yang mendetail, serta
menggunakan warna-warna yang cerah. Tema yang diangkat oleh Amalia juga direfleksikan oleh judul-judul karyanya
yang cukup provokatif dan komunikatif, serta memberikan pemahaman lebih mendalam akan tema karya yang dibuat.
Dengan atribut-atribut itu, karya Amalia menarik untuk dilihat serta mudah untuk dimengerti bagi pengamat. Lukisan
Amalia memiliki daya tarik yaitu pada detail hiasan yang begitu kompleks dan rapi yang menunjukkan skill melukis
Amalia yang cukup mengesankan. Meskipun begitu, banyaknya detail menjadikan visualisasi lukisan Amalia cukup
ramai, dan dapat membuat pengamat dapat melewatkan beberapa detail penting. Hal tersebut dikarenakan oleh gaya
gambar yang flat serta tidak adanya outline yang membatasi objek sehingga bidang gambar dan warna-warnanya
terlihat menyatu.
Pada setiap lukisan, Amalia tidak hanya melukiskan dirinya sendiri, namun ia selalu menempatkan sosok Yurra di
sampingnya. Ia mengeksplorasi hubungannya dengan Yurra dan mengekspresikan perasaan yang ia alami ketika
bersama kekasihnya itu. Namun dengan begitu pengamat belum tentu dapat merenung, berempati atau menghubungkan
diri mereka dengan karya-karya Amalia dikarenakan tema-tema karya Amalia yang sangat personal. Meskipun begitu,
salah satu daya tarik dari lukisan Amalia adalah tema yang diangkat untuk karya dapat diterima dan dipahami dengan
mudah oleh pengamat, seperti folklore. Folklore yang ia pilih untuk dibahas di dalam karyanya merupakan cerita-cerita
yang cukup populer dan mainstream, contohnya Legenda Candi Prambanan, Mahabarata, Timun Mas, dan lain
sebagainya. Dari visualisasi lukisan serta judul karya yang menarik dan komunikatif, pengamat dapat dengan mudah
memahami tema-tema yang dibahas oleh Amalia.
Tabel 1. Perbandingan visual karya Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 10
Penulis menganalisa perbedaan dan persamaan antara kedua seniman. Pertama adalah persamaan antara ciri khas visual
karya kedua seniman.
Radi dan Amalia menggunakan bentuk kartun chibi khas Jepang untuk menggambar potret diri mereka.
Baik Radi dan Amalia menggunakan cat akrilik untuk membuat warna-warna blok yang cerah, dan tidak
menggunakan teknik gradasi pada warna, tekstur, ataupun brushstroke dalam lukisan mereka.
Karya kedua seniman memiliki kesan yang flat dan tidak menggunakan shading ataupun pencahayaan yang
signifikan dalam lukisannya yang menyebabkan tidak adanya kesan dimensi.
Tema karya kedua seniman ini cenderung personal. Tema karya Radi tentang hal-hal mistis dan tema karya Amalia
mengenai folklore, keduanya merupakan cerita-cerita yang mereka nikmati sewaktu kecil.
Kedua seniman selalu menggambarkan ekspresi yang ceria pada potret diri mereka. Keduanya ingin agar karya
mereka komunikatif dan dapat diterima dengan mudah oleh para pengamatnya.
Potret diri mereka selalu memakai sebuah kostum. Hal ini merupakan sebuah simbolisasi dimana kostum yang
mereka pakai melambangkan hal-hal, sifat-sifat, atau atribut- atribut yang mencerminkan diri mereka masing-
masing.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada karya kedua seniman pun banyak yang ditemukan oleh penulis.
Lukisan Radi menggunakan outline hitam yang cukup tegas pada pembentukan objek-objeknya, sedangkan Amalia
hampir tidak menggunakan outline sama sekali.
Lukisan-lukisan Radi terlihat lebih sederhana, yaitu dengan menggunakan satu warna yang polos untuk latar
belakangnya, disertai sedikit motif dan sebuah border yang berwarna polos. Sedangkan dalam lukisan Amalia, latar
belakang dipenuhi dengan berbagai ornamen yang penuh dengan detail dan warna-warni.
Bingkai lukisan Radi merupakan bingkai sederhana yang tipis dan tidak mempengaruhi visualisasi lukisan secara
signifikan. Sedangkan pada karya Amalia, bingkai-bingkai Amalia penuh dengan ornamen dan dibuat secara
custom oleh pemahat di sebuah workshop.
Ciri khas unsur dekoratif tradisional Indonesia yang terdapat pada karya Radi adalah budaya Cirebon, namun unsur
dekoratif tradisional Indonesia yang terdapat pada karya Amalia tidak merepresentasikan daerah tertentu dan
bervariasi. Jenis motif yang terdapat pada karya Amalia tergantung pada tema dari karyanya saja.
Karya Radi memiliki suatu komposisi yang sama dalam setiap lukisannya. Dalam karya-karya Amalia, setiap karya
memiliki komposisi yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tema karyanya.
Radi hanya melukiskan dirinya sendiri, sedangkan Amalia kerap kali melukiskan dirinya dengan kekasihnya,
Yurra.
Selain aspek visual, Radi dan Amalia juga memiliki beberapa persamaan dan perbedaan aspek dari latar belakang
kehidupan mereka. Berikut adalah persamaan latar belakang kedua seniman.
Kedua seniman lahir dan tumbuh di Bandung.
Keduanya lahir pada era 80an dan banyak mengkonsumsi budaya pop Jepang yang sedang marak sewaktu mereka
kecil pada masa 80an dan 90an, khususnya komik Jepang yang disebut dengan manga.
Keduanya mengaku dipengaruhi oleh komik Dragon Ball dan juga oleh seniman Jepang Takashi Murakami. Oleh
karena itu gaya gambar mereka memiliki ciri khas manga Jepang yang kuat.
Keduanya memilih untuk berkarya dengan gaya chibi dikarenakan bagi mereka chibi merupakan gaya gambar yang
paling nyaman untuk digunakan serta lebih mudah untuk membantu mengekspresikan pemikiran serta perasaan
mereka.
Kedua seniman juga memiliki ketertarikan terhadap bidang Desain Komunikasi Visual. Amalia merupakan lulusan
DKV sedangkan sebelum masuk seni lukis, pilihan pertama Radi ketika penjurusan kuliah adalah DKV. Agus
Suwage, seniman yang karyanya digemari oleh Radi, juga merupakan seniman dengan latar belakang desain grafis.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 11
Dalam eksekusi karya, baik Radi maupun Amalia terlebih dulu membuat sketsa dengan bantuan software program
komputer yaitu Corel Draw. Sketsa tersebut kemudian dipindahkan ke kanvas untuk eksekusi dengan cat akrilik.
Kedua seniman juga memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Latar belakang pendidikan serta keluarga menjadi
aspek yang membedakan karya Radi dan Amalia secara signifikan.
Radi yang berasal dari keluarga yang kuat akan seni rupa dan tradisi Cirebon memberikan pengaruh yaitu pada
kepekaan Radi yang cukup tinggi terhadap isu-isu budaya di sekitarnya yang kemudian diangkatnya menjadi karya
seni. Namun sebagai anak yang tumbuh di era yang modern, tradisi yang didapatnya dari rumah serta budaya
modern yang ada di lingkungannya menjadi sama pentingnya dan melebur menjadi budaya baru yang menjadi
identitas bagi Radi dan juga menjadi konsep berkaryanya yaitu Neo Genre of Pop and Tradition (N. G. P. T.). Radi
yang memiliki pendidikan seni rupa juga melakukan kritik diri, pencampuran budaya serta penggunaan simbol
yang kuat dalam karya-karyanya. Lukisan-lukisan Radi memiliki visualisasi yang lebih sederhana ketimbang
Amalia, dikarenakan oleh konsep karya-karyanya yaitu fokus kepada pembahasan mengenai budaya.
Amalia di lain pihak, tidak memiliki anggota keluarga yang berkiprah di dunia kesenian. Pendidikannya di Desain
Komunikasi Visual memberi pengaruh yaitu karyanya menjadi sangat komunikatif dan memiliki ciri khas ilustrasi
yang sangat kuat. Walaupun tidak memiliki konsep karya yang melakukan kritik diri atau kritik sosial seperti karya
Radi, namun Amalia dapat mengkomunikasikan maksudnya dengan sangat baik melalui karya-karyanya serta dapat
menarik minat pengamat melalui tema-tema yang dekat dengan masyarakat seperti dongeng dan folklore yang
dikenal secara luas. Amalia juga memiliki kecenderungan untuk menghias dan memenuhi bidang gambar dengan
ornamen yang detail, yang selain berguna untuk memperindah karya, juga berguna untuk menarik pengamat serta
menunjukkan ciri khas dari karya-karya Amalia.
5. Penutup / Kesimpulan
Radi Arwinda dan Amalia Kartika Sari keduanya memiliki banyak kesamaan dari segi latar belakang kehidupan
masing-masing maupun dari segi karya yang dihasilkan. Radi dan Amalia keduanya lahir di Bandung, pada era 80an,
dimana budaya pop Jepang sedang marak di Indonesia dan menjadi sesuatu yang banyak dikonsumsi oleh keduanya
semasa mereka tumbuh, terutama lewat media cetak seperti komik Jepang atau yang disebut dengan manga. Secara
visual, karya mereka menunjukkan pengaruh budaya pop Jepang yang sangat kuat, yaitu dari penggambaran potret diri
mereka menggunakan bentuk kartun chibi Jepang, dengan warna-warna cerah yang flat serta detail-detail seperti
ekspresi yang ceria, dan bentuk keseluruhan visual yang imut dan juga menarik mata.
Meskipun memiliki beberapa kesamaan dari segi latar belakang dan visualisasi karya, kedua seniman juga memiliki
perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan paling besar antara kedua seniman adalah keluaga masing-masing dan
pendidikan yang ditempuh. Radi merupakan putra dari seniman dan dosen Haryadi Suadi, dan sudah terekspos oleh seni
rupa serta budaya tradisional sedari kecil, yang memberikan pengaruh yang kuat dalam visualisasi karya-karyanya.
Pendidikannya di program Sarjana dan Magister seni rupa pun mempengaruhi karya-karya Radi terutama pada segi
konsep. Radi memiliki konsep meleburkan dua budaya yang ia beri nama N. G. P. T. atau Neo Genre of Pop and
Tradition. Selain ekspresi diri, Radi juga melakukan kritik diri dan sosial khususnya mengenai budaya instan dan mass
culture. Di lain pihak, Amalia berasal dari keluarga yang tidak berkecimpung dalam bidang seni atau desain. Konsep
karya Amalia kebanyakan berkisar antara kesehariannya dan mengekspresikan hubungannya dengan kekasihnya, Yurra.
Pendidikan DKV Amalia juga memberikan pengaruh yaitu karya-karya seninya yang sangat ilustratif dan komunikatif.
Hal tersebut membeikan kemudahan bagi pengamat untuk mengerti dan menerima karya-karya Amalia.
Ucapan Terima Kasih
Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK Pra TA/Kolokium/Tugas Akhir*
Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Pra TA/Kolokium/Tugas Akhir* ini disupervisi oleh
pembimbing Nuning Y. Damayanti.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 12
Daftar Pustaka
Barret, T. 1994. Criticizing Art Understanding The Contemporary. California: Mayfield Publishing Company.
Harris, J. 2006. Art History The Key Concepts. New York: Routledge.
Feldman, E. B. 1967. Art As Image And Idea. New Jersey Prentice-Hall Incorporation.
Schneider, N. 2002. The Art Of The Portrait. Italy: Taschen.
Setiawan, H. 2011. Kajian Kritik Seni Pada Karya Radi Arwinda. Program Studi Seni Rupa FSRD ITB.
Irianto, A. J. 2010. Katalog “Pameran Tunggal Radi Arwinda: Sugih”. Jakarta: SIGIarts Gallery.
Supangkat, J. 2011. Katalog “Just Married”. Jakarta: Artworks Management-Puri Art Gallery.
Astrini Isfandiari Adisoma
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 13
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING TA Bersama surat ini saya sebagai pembimbing menyatakan telah memeriksa dan menyetujui Artikel
yang ditulis oleh mahasiswa di bawah ini untuk diserahkan dan dipublikasikan sebagai syarat
wisuda mahasiswa yang bersangkutan.
Bandung, ......./......./ .............
Tanda Tangan Pembimbing : _______________________
Nama Jelas Pembimbing : _______________________
diisi oleh mahasiswa
Nama Mahasiswa
NIM
Judul Artikel
diisi oleh pembimbing
Nama Pembimbing
Rekomendasi Lingkari salah satu
1. Dikirim ke Jurnal Internal FSRD
2. Dikirim ke Jurnal Nasional Terakreditasi
3. Dikirim ke Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi
4. Dikirim ke Seminar Nasional
5. Dikirim ke Jurnal Internasional Terindex Scopus
6. Dikirim ke Jurnal Internasional Tidak Terindex Scopus
7. Dikirim ke Seminar Internasional
8. Disimpan dalam bentuk Repositori