Upload
voltvoltics
View
41
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kesehatan
Citation preview
Status Pasien
Evaluasi Nasional
Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelarDokter Spesialis Anak
Melanie Widjaja
KOLEGIUM ILMU KESEHATAN ANAK INDONESIABANDUNG
AGUSTUS 2014
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
DIAGRAM WAKTU PEMERIKSAAN
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Anak mulai dirawat di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo
Pemeriksaan pertama oleh
peserta ujian danPemantauan dimulai
Pelaporan
07 Juli 2014 14 Juli 2014 23 Juli 2014
STATUS PASIEN EVALUASI NASIONALSenin, 11 Agustus 2014
Nama peserta ujian: Melanie WidjajaNPM 0906646965
Identitas PasienNama : An. AZ Nama ayah : Tn.YJenis kelamin : Perempuan Usia ayah : 39 tahunUsia : 1 tahun Pendidikan : SMATanggal lahir : 2 Juli 2013 Pekerjaan : WiraswastaAlamat : Pasir Eurih, Bogor Nama ibu : Ny. HRekam medis : 393-60 -XX Usia ibu : 26 tahunTanggal masuk RS : 7 Juli 2013 Pendidikan : SMALama rawat : 22 hari Pekerjaan : IRT
Pasien diterima oleh peserta tanggal 14 Juli 2014
ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan ibu pasien), 14 Juli 2014
Keluhan Utama
Sesak yang memberat sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami batuk berdahak, berbunyi
grok-grok, batuk tidak memberat pada malam hari, namun kadang disertai sesak terutama
setelah batuk. Pada pasien terdapat keluhan pilek dengan sekret jernih, tidak disertai demam
dan tidak keluar cairan dari telinga. Sejak sakit, asupan pasien mulai berkurang. Pasien
minum susu formula (Neosure®) 8 x 75 mL (100 kkal/kg/hari), namun seringkali tidak habis.
Pasien rata-rata menghabiskan ±50-60 ml dalam waktu 30 menit–1 jam. Terdapat riwayat
muntah 2-3 kali/hari @ 3-4 sendok makan, terutama setelah minum susu dan diawali dengan
batuk. Riwayat tersedak tidak ada. Pasien buang air besar (BAB) setiap 4-5 hari, konsistensi
keras, tidak terdapat darah, berbentuk bulat seperti kotoran kambing. Buang air kecil (BAK)
tidak ada kelainan, berwarna kuning. Pasien dibawa berobat ke RSUD C, dikatakan pasien
menderita infeksi paru-paru dan dirawat selama 4 hari. Selama perawatan pasien mendapat
terapi oksigen, obat batuk, obat intravena (tidak diketahui nama obat) dan inhalasi 3 kali/hari.
Saat pulang, pasien masih batuk dan pilek namun sudah perbaikan. Pasien pulang dengan
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
pipa nasogastrik (nasogastric tube, NGT) untuk pemberian susu. Pasien juga mendapat obat
pulang berupa obat batuk puyer dan sirup multivitamin.
Dua hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan batuk pada pasien memberat disertai pilek
dengan sekret jernih. Napas pasien tampak lebih cepat dan setelah batuk, pasien tampak lebih
sesak namun tidak terdapat napas berbunyi. Pada pasien tidak terdapat demam, dan pola BAB
serta BAK masih seperti sebelumnya. Pasien masih mendapat nutrisi berupa susu formula
Neosure® 8 x 75 mL melalui pipa nasogastrik (NGT) dan tidak terdapat muntah.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien masih batuk yang disertai sesak, tidak
terdapat napas berbunyi, namun terdapat demam subfebris dengan suhu tertinggi 37,90C.
Asupan pasien mulai berkurang karena NGT terlepas, pasien hanya dapat minum 40 mL
setiap kali melalui mulut (dengan botol susu) dan diperlukan waktu kurang lebih satu jam.
Tidak terdapat riwayat tersedak. Pasien belum BAB selama berada di rumah, tetapi BAK
tidak ada kelainan.
Duabelas jam sebelum masuk rumah sakit, sesak semakin memberat. Pasien terlihat biru
pada daerah mulut sehingga pasien diberikan oksigen dengan nasal kanul 1 L/ menit.
Orangtua pasien memang memiliki tabung oksigen di rumah karena memiliki usaha bengkel.
Setelah mendapat oksigen, biru pada mulut menghilang. Pasien demam subfebris (suhu 37,5 -
37,9oC) ibu mengukur suhu dengan termometer digital, dan tidak terdapat riwayat tersedak
atau muntah. Buang air besar masih belum didapatkan pada pasien, sementara BAK seperti
biasa berwarna kuning. Orangtua membawa pasien ke unit gawat darurat (UGD) Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak usia 2 bulan, lidah pasien tampak besar dan menjulur, perut terlihat membesar dan
pusar menonjol. Pasien mulai terlihat tidak aktif, lemas, dan lebih banyak tidur. Pasien
malas minum ASI dan hisapan kurang kuat. Tubuh pasien seringkali terasa dingin,
terutama pada tangan dan kaki. Buang air besar setiap 4-5 hari sekali dengan konsistensi
keras.
Saat usia 6 bulan 2 minggu, pasien mengalami demam, batuk, sesak, dan penurunan
kesadaran. Saat tiba di rumah sakit P, pasien dikatakan mengalami henti napas dan henti
jantung, dilakukan resusitasi jantung paru, kemudian dirawat di ruang rawat intensif
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
selama 24 hari dengan penggunaan ventilator selama 14 hari. Pasien didiagnosis dengan
meningoensefalitis. Pasien juga mengalami penurunan berat badan (BB) yaitu sebesar 2
kg setelah pulang dari perawatan rumah sakit.
Saat usia 8 bulan, pasien mengalami batuk, pilek, disertai sesak, namun tidak terdapat
demam. Riwayat tersedak disangkal. Pasien dirawat selama 1 minggu di RS C dikatakan
radang paru dan mendapat terapi oksigen, serta antibiotik intravena.
Saat usia 9 bulan, pasien batuk, pilek, sesak kembali, namun tidak terdapat demam.
Pasien kembali dirawat di RS C selama 10 hari, dan didiagnosis dengan radang paru.
Selama perawatan pasien mendapat terapi oksigen, antibiotik intravena, dan inhalasi 3
kali perhari.
Usia 11 bulan 1 minggu, pasien kontrol rutin ke poli spesialis anak dan saat itu pasien
terlihat pucat. Tidak terdapat sesak, batuk, pilek, maupun demam. Pasien dirawat selama
2 hari dan mendapat transfusi darah merah sebanyak 1 kali (nilai hemoglobin sebelum
transfusi tidak diketahui). Ibu pasien mengeluhkan lidah pasien sejak usia 2 bulan yang
semakin besar dan makin sering menjulur keluar. Perut pasien semakin besar dan pusar
terlihat menonjol. Pasien dikatakan menderita hipotiroid dengan pemeriksaan TSH dan
FT4 dan dirujuk ke RSCM karena obat tidak tersedia di RS C.
Usia 11 bulan 2 minggu, pasien kontrol poli endokrinologi RSCM, didiagnosis sebagai
hipotiroid kongenital dengan hasil TSH 60 µIU/mL (0,25-5 µIU/mL) dan T4 0,47 µg/dL
(4,66-9,32 µg/dL). Pasien diberikan terapi levotiroksin 1 x 25 µg (6,25 µg/kg). Obat
dimakan rutin hingga pasien masuk UGD RSCM.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit tiroid disangkal.
Riwayat diabetes melitus tipe 1 dan sistemik lupus eritematosus (SLE) disangkal.
Riwayat kelainan darah dan transfusi berulang disangkal.
Riwayat alergi dan atopi disangkal.
Kesan: riwayat penyakit autoimun, tiroid, dan kelainan darah tidak ditemukan.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien melakukan pemeriksaan kehamilan teratur di bidan, dan tidak pernah mendapat
paparan radiasi, bahan kimia, maupun obat-obatan selama kehamilan, selain vitamin yang
diberikan bidan. Riwayat merokok dan menderita penyakit berat disangkal. Asupan nutrisi
selama kehamilan terkesan cukup. Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pasien lahir
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
spontan, cukup bulan, ditolong bidan, langsung menangis dengan berat lahir 2800 gram,
panjang lahir 49 cm. Saat dan setelah lahir pasien tidak tampak sesak atau biru. Usia 4 hari
pasien terlihat kuning dan dijemur dibawah sinar matahari pagi. Kuning menghilang pada
usia 7 hari.
Kesan: riwayat kelahiran dan persalinan dalam batas normal, serta tidak terdapat
kelainan pasca-natal.
Riwayat Imunisasi
Pasien belum mendapatkan imunisasi campak, sedangkan imunisasi lain sudah diberikan
sesuai jadwal.
Vaksin I II IIIBCG
DPT
Polio
Campak -Hepatitis B
Kesan: imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI esklusif sampai usia 6 bulan dengan frekuensi 8-12 kali perhari dan
lama pemberian antara 10-20 menit perminum. Menurut ibu, refleks hisap pasien kurang kuat
jika dibandingkan dengan kakak pasien. Makanan semi-padat (bubur susu) mulai diberikan
sejak usia 5 bulan, dengan frekuensi 3 kali perhari dan hanya 2-3 sendok makan. Pada usia 6
bulan, ASI diganti dengan susu formula karena produksi ASI ibu sedikit. Susu formula
(SGM®) diberikan sebanyak 8 kali per hari @ 60 mL, namun pasien memerlukan waktu 30-1
jam untuk menghabiskan susu karena reflek hisap yang kurang baik. Sejak pertama kali
pasien dirawat di rumah sakit P, susu diganti menjadi susu formula (Neosure®) 8x75 mL (100
kkal/kg/hari). Berat badan tertinggi sebelum pasien sakit pertama kali adalah 6 kg dan berat
badan pasien pada saat masuk ke UGD RSCM adalah 4,8 kg.
Kesan: asupan nutrisi kurang secara kualitas dan kuantitas
Riwayat Tumbuh Kembang
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pertumbuhan
Ibu mengatakan saat bayi, pasien tampak cukup gemuk hingga usia 6 bulan, namun setelah
pasien sakit dan mendapat perawatan pertama kali di rumah sakit pasien mengalami
penurunan berat badan. Berat badan tertinggi sebelum sakit adalah 6 kg dan mengalami
penurunan berat badan menjadi 4 kg saat usia tujuh bulan. Berat badan pasien turun naik
berkisar antara 4-4,8 kg, namun tidak pernah mengalami kenaikan yang adekuat. Tidak ada
data mengenai tinggi badan dan lingkar kepala sebelum perawatan di RSCM.
Perkembangan
Saat ini pasien hanya bisa senyum sosial dan babbling. Pasien belum dapat mengangkat
kepala, miring kiri-kanan atau tengkurap sendiri.
Kesan: pertumbuhan mengalami gangguan dan perkembangan mengalami keterlambatan
di semua ranah.
Corak Reproduksi dan Sosial Ekonomi Keluarga
Ibu berusia 26 tahun, beragama Islam, suku Sunda, berpendidikan sekolah menengah atas
(SMA), dan seorang ibu rumah tangga. Ayah berusia 39 tahun, beragama Islam, suku Sunda,
berpendidikan SMA, dan bekerja sebagai montir dengan penghasilan Rp 1.500.000 perbulan.
Kakak pasien seorang anak lelaki berusia 7 tahun dan dalam keadaan sehat dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang baik sesuai dengan usianya. Keluarga pasien tinggal di
Pasir Eurih, Bogor. Rumah pasien merupakan perumahan padat dan ditempati oleh 4 keluarga
(total 14 orang). Tempat tinggal keluarga pasien berupa bangunan permanen yang terdiri dari
dua lantai, berukuran sekitar 150 m2, dan terdiri atas empat kamar, dua kamar mandi, dan satu
dapur. Lantai terbuat dari ubin, dinding tembok, atap genteng, memiliki ventilasi, dan sanitasi
yang cukup memadai. Fasilitas listrik berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN),
sedangkan sumber air menggunakan sumur pompa dengan kualitas air cukup bersih. Fasilitas
umum termasuk fasilitas ibadah, kesehatan, dan sekolah tersedia di sekitar rumah pasien.
Hubungan dengan tetangga terjalin dengan baik. Fasilitas kesehatan terdekat dari rumah
pasien adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), tempat praktik bidan, dan klinik
dokter umum Biaya kehidupan sehari-hari keluarga ditanggung oleh ayah pasien, biaya
pengobatan pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kesan: sosial ekonomi menengah ke bawah
Ringkasan Perawatan di RSCM sebelum Pasien Diterima (7-13 Juli 2014)
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pasien masuk perawatan di RSCM pada tanggal 7 Juli 2014 dengan diagnosis kerja
pneumonia terkait komunitas dan hipotiroid kongenital. Terdapat keluhan batuk pilek dengan
demam subfebris yang berlangsung selama 2 hari. Berat badan (BB) pasien 4,8 kg (z-score
< -3 kurva WHO 2006), tinggi badan (TB) 56 cm (z-score < -3 SD kurva WHO 2006),
BB/TB berada (z score -1 < SD < 0 kurva WHO 2006), kesan berdasarkan antropometris gizi
baik namun perawakan pendek. Pada pemeriksaan fisis saat masuk, pasien sadar, laju nadi
142 kali/ menit, regular, isi cukup, laju napas 50 kali/ menit, regular, kedalaman cukup, suhu
36,80C, saturasi perifer tanpa suplementasi O2 88% dan dengan O2 2 L/menit sebesar 96-
97%. Terdapat kutis mamorata. Ubun-ubun besar terbuka, ukuran 6x5 cm, mikrosefali.
Konjungtiva tidak tampak pucat. Terdapat flat nasal bridge, terdapat napas cuping hidung.
Terdapat makroglosi. Pergerakan dada simetris, terdapat retraksi subkostal dan epigastrium.
Terdengar ronki basah pada daerah basal kedua lapangan paru dan banyak slem, namun tidak
terdapat mengi. Bunyi jantung normal, tidak ada bising dan bunyi jantung tambahan. Perut
terlihat buncit, supel, tidak terdapat organomegali, bising usus positif, namun terdapat hernia
umbilikalis. Tonus otot hipotoni, hiporefleks, akral teraba hangat, perfusi baik. Hasil
pemeriksaan darah tepi rutin dalam batas normal (Hb 12,3 g/dL, leukosit 12.500/ µL,
trombosit 314.000/µL, dan hitung jenis normal). Pemeriksaan elektrolit dalam batas normal
(Na 136 mEq/L, K 4,5 mEq/L, Cl 101,2 mEq/L). Analisa gas darah menunjukkan adanya
asidosis metabolik yang terkompensasi (pH 7,41, PCO2 15,4 mmHg, PO2 177,5 mmHg, SaO2
98,5%, BE -12,5 mmol/L, HCO3 9,8 mmol/L) dengan O2 nasal 2 L/menit. Pemeriksaan TSH
110 µIU/mL dan FT4 0,3 ng/dL menunjukkan hasil yang belum mencapai target yang
diinginkan, sehingga dosis levotiroksin dinaikkan menjadi 1x 50 µg peroral (PO) (10 µg/kg).
Pasien dipuasakan sementara dan mendapat cairan intravena Dextrose 10% 1/5 normal saline
dengan tetesan 17 mL/jam, terapi koreksi bikarbonat 15 mEq, sefotaksim 3x100 mg intravena
(IV), dan levotiroksin 1x 50 µg PO. Pada pemeriksaan Rontgen toraks didapatkan infiltrat di
perihiler dan parakardial bilateral, sesuai dengan pneumonia.
Pada perawatan hari ke-2 sampai ke-3, pasien mengalami perbaikan klinis ditandai dengan
sesak berkurang dan tidak terdapat demam. Tanda vital dalam batas normal. Suplementasi
oksigen diturunkan menjadi 1 L/menit dan saturasi yang terpantau adalah 95-99%. Cairan
infus dihentikan dan pasien mendapat diet makan cair (MC) 8 x 75 mL/NGT (120
kkal/kg/hari), toleransi diet baik, tidak terdapat muntah.
Pada perawatan hari ke-4 sampai ke-7, sesak semakin berkurang sehingga suplementasi
oksigen diturunkan menjadi 0,5 L/menit, dan saturasi oksigen terpantau berkisar antara 97-
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
99%. Selama perawatan tidak terdapat demam dan kultur darah menunjukkan hasil tidak
ditemukan kuman. Pasien belum buang air besar sejak masuk rumah sakit, sehingga diberikan
1 kali mikroenema (microlax®) dan laktulosa 3x5 mL peroral. Setelah mendapat mikroenema,
pasien BAB 1 kali, konsistensi keras, dan tidak terdapat darah. Toleransi minum baik melalui
NGT dan tidak ada muntah. Berat badan mengalami kenaikan menjadi 5,025 kg.
PEMERIKSAAN FISIS SAAT PASIEN DITERIMA (Senin, 14 Juli 2014)
Keadaan umum: tampak sakit sedang, tidak sesak, dan tidak sianosis
Tanda vital
Kesadaran : compos mentis
Frekuensi nadi: 120x/menit, regular, isi cukup
Pernapasan : 38 x/menit, regular, kedalaman cukup
Suhu : 36,70C
Saturasi : 98-99% dengan oksigen 0,5 L/menit.
Tekanan darah: 90/60 mmHg (P50 83/38 mmHg; P95 100/56 mmHg; P99 108/64 mmHg)
Status gizi & antropometri
BB : 5,05 kg
PB : 56 cm
BB/U : z score < -3 SD kurva WHO 2006, severely underweight
TB/U : z score < -3 SD kurva WHO 2006, severely stunted
BB/TB : z score -1 < SD < 0 kurva WHO 2006, normal
Kesan: klinis dan antropometris sesuai dengan gizi cukup dan perawakan pendek
TB ayah : 168 cm
TB ibu : 160 cm
Tinggi potensi genetik: 149 – 166 cm
LK : 41 cm (< -3 SD kurva Nellhaus)
Kesan : mikrosefali
Pemeriksaan fisis per sistem
Sistem Deskripsi
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Kulit Tidak kering, terdapat kutis mamorataKepala Tidak didapatkan deformitas, ubun-ubun besar terbuka, datar berukuran 6x5 cm,
lingkar kepala 41 cm (mikrosefali)Rambut Hitam, tipis, dan tidak mudah dicabutWajah Simetris, kasar, tidak dismorfik, tidak tampak paresis saraf kranialis, flat nasal
bridgeMata Konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik, tidak terdapat edema palpebra. Pupil bulat
isokor dengan diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung baik, gerak bola mata baik, kontak mata baik, dolls eye movement (+)
Hidung Tidak tampak napas cuping, tidak terdapat deviasi septum, tidak terdapat sekret, lubang hidung kanan dilewati selang NGT
Telinga Terdapat serumen pada kedua liang telinga, membran timpani sulit dinilai, , low set ear tidak ada
Mulut Tidak didapatkan sianosis sentral, mukosa mulut lembab, makroglosia, mukosa mulut lembab, tonsil ukuran T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, belum terdapat gigi
Leher Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba kelenjar tiroidDada Simetris pada keadaan statis maupun dinamis. Tidak tampak iga gambang, tidak
tampak retraksi Paru Bunyi napas vesikuler di kedua lapang paru, tidak terdengar ronki maupun mengi,
slem +/+Jantung Iktus kordis tidak tampak. Bunyi jantung (BJ) I dan II normal, tidak terdengar
bising maupun irama derapAbdomen Tampak buncit dan lemas. Hati dan limpa tidak teraba. Bising usus positif normal.
Lingkar perut 43 cm, terdapat hernia umbilikalis, tidak terdapat venektasiPunggung Tidak tampak penonjolan tulang-tulang vertebra. Tidak didapatkan sacral dimple
maupun hair tuftBokong Jaringan lemak dan otot cukup, tidak tampak baggy pantsPerianal Tidak didapatkan kelainanGenitalia eksterna
Perempuan, labia mayora menutupi labia minora
Ekstremitas Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik. Edema tungkai tidak ada. Refleks fisiologis menurun pada keempat ekstremitas, refleks patologis tidak ada, keempat ekstremitas aktif, tonus otot hipotoni. Terdapat parut BCG pada lengan kanan atas. Tidak terdapat simian crease.
KGB Tidak ditemukan pembesaran KGB
Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pemeriksaan 7 Juli 2014 Nilai normal
Hb (g/dL) 12,3 11-14 Ht (%) 35,5 32-42Leukosit (µL) 12.500 6.000-14.000 Trombosit (µL) 281.000 150.000-400.000 MCV (fL) 85 72-88 MCH (pg) 30 24-30 MCHC (g/dL) 34,7 31-36 Hitung jenis 0/0/10/40/40/10 0-1/1-3/52-76/20-40/2-8TSH (ng/dL) 110 0,54-4,53 T4 bebas (ng/dL) 0,30 0,85-1,75
Rontgen toraks
7 Juli 2014 Terdapat infiltrat parakardial dan perhiler bilateral, kesan sesuai dengan pneumonia
DAFTAR MASALAH
1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus
2. Hipotiroid kongenital
3. Perawakan pendek
4. Konstipasi
5. Hernia umbilikalis
6. Keterlambatan perkembangan global, mikrosefali, gagal tumbuh et causa hipotiroid
kongenital
7. Imunisasi tidak lengkap
DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus
2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek, mikrosefali,
gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global)
TATA LAKSANA
Rawat inap
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus
Diagnostik
Pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis, analisa gas darah, foto Rontgen
toraks, kultur darah
Terapeutik
Pemberian oksigen disesuaikan dengan klinis dan saturasi perifer pasien
Sefotaksim 3x 100 mg IV
Pemantauan tanda vital, sesak, dan sianosis
Edukasi
Mengenai penyakit dan komplikasi serta rencana pengobatan selanjutnya
2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek, mikrosefali,
gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global)
Diagnostik
Pemeriksaan TSH, FT4, pengukuran antropometri
Terapeutik
Diet : MC 8x75 mL/ NGT (120 kkal/kg/hari)
Levotiroksin 1x 50 µg PO
Laktulosa 3 x 5 mL PO
Mikroenema jika diperlukan
Mengatasi penyakit dasar dan rehabilitasi medik (fisioterapi)
Pemantauan klinis, efek samping obat
Pemantauan tumbuh kembang
Edukasi
Rencana pemeriksaan dan edukasi mengenai keteraturan minum obat
Mengenai penyakit, komplikasi, rencana pengobatan selanjutnya, serta evaluasi
keberhasilan terapi.
Perkembangan anak yang relatif terlambat dibanding anak seusianya dan rencana
stimulasi
3. Imunisasi tidak lengkap
Diagnostik (-)
Terapeutik
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Imunisasi setelah kondisi stabil sesuai jadwal imunisasi
Edukasi
Pentingnya imunisasi, termasuk manfaat jangka panjang
Jenis-jenis imunisasi yang diperlukan, jadwal imunisasi, dan pentingnya mematuhi
jadwal imunisasi
Pemantauan
Selasa-Rabu, 15-16 Juli 2014 (hari rawat ke 9 dan 10)S Tidak terdapat demam, tidak sesak, tidak terdapat muntah
Buang air besar 1x, konsistensi keras, buang air kecil biasa, berwarna kuning Terdapat batuk berdahak dan slem
O Sadar, tidak sesak, tidak sianosis, tidak ada napas cuping hidungFN 100-120x/menit, reguler, isi cukupFP 30-36x/menit, regular, kedalaman cukupS 36,50-37,20CSaturasi O2 : 97-99% dengan O2 nasal kanul ½ L/ menitStatus generalis :Dada : tidak terdapat retraksiMata : palpebral tidak edema, konjungtiva tidak pucatMulut : mukosa lembab, tidak ditemukan oral trushParu : Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, terdapat slem pada kedua lapangan paru Jantung : BJ I normal dan II mengeras, tidak terdapat bising dan irama derap.Abdomen : buncit, lemas, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba, tidak terlihat venektasi, terdapat hernia umbilikalis, lingkar perut 41-42 cmAkral hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari dua detikPemeriksaan lain masih sama seperti sebelumnya.Balans cairan + 10-50 mL, diuresis 2,2-2,6 mL/kg/jam.Berat badan 4,95-5,1 kg
A 1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek,
mikrosefali, gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global) P 1. Oksigenasi adekuat : O2 nasal kanul ½ L/menit
2. Diet: MC 8x75 mL (120 kkal/kg/hari) 3. Sefotaksim 3x 100 mg IV (hari 9-10)4. Levotiroksin 1x 50 µg PO (hari 14-15)5. Laktulosa 3 x 5 mL PO6. Inhalasi salbutamol 2,5 mL + NaCl 0,9% 2 mL, 3 kali per hari7. Microlax® bila perlu8. Rencana konsul Departemen Ilmu Kesehatan Fisik dan Rehabilitasi untuk
fisioterapi 9. Terapi antibiotik Sefotaksim dihentikan pada hari ke-1010. Rencana untuk weaning oksigen
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
11. Evaluasi TSH dan T4 bebas (tgl 21/7/14)
Kamis-Jumat, 17-18 Juli 2014 (hari rawat ke 11 dan 12)S Tidak terdapat demam, tidak sesak
Masih terdapat batuk berdahak. Batuk menjadi lebih sering dan panjang Terdapat muntah 1 kali, diawali oleh batuk. Toleransi minum 75 mL baik. Buang air besar 2x, konsistensi biasa Dicoba untuk weaning oksigen, namun saturasi perifer turun menjadi 85% saat
oksigen dilepas konsul Divisi Kardiologi untuk ekokardiografi karena pasien tidak dapat lepas dari suplementasi O2 dan evaluasi darah perifer lengkap dan Rontgen toraks
O Sadar, tidak sesak, tidak sianosis, tidak ada napas cuping hidungFN 100-115x/menit, reguler, isi cukupFP 28-35x/menit, regular, kedalaman cukupS 36,50-36,90CSaturasi O2 : 85-88% tanpa O2 97-99% dengan O2 nasal kanul ½ L/menitStatus generalis :Mata : palpebral tidak edema, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterikMulut : mukosa lembab, tidak ditemukan oral trushParu : Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, terdapat slem pada kedua lapangan paruJantung : BJ I normal dan II mengeras, tidak terdapat bising maupun irama derapAbdomen : buncit, lemas, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba, tidak terlihat venektasi, terdapat hernia umbilikalis, lingkar perut 40-41 cmAkral hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari dua detikPemeriksaan lain masih sama seperti sebelumnya.Balans cairan + 50-200 mL, diuresis 1,9-2,8 mL/kg/jam.Berat badan 5,06- 5,1 kg
Pemeriksaan 18 Juli 2014 Nilai normal
Hb (g/dL) 10,1 11-14 Ht (%) 32 32-42Leukosit (µL) 6.550 6.000-14.000Trombosit (µL) 275.000 150.000-400.000 MCV (fL) 84 72-88 fLMCH (pg) 28,7 24-30 MCHC (g/dL) 31,6 31-36 Hitung jenis 0/0/0/33/42/12 0-1/1-3/52-76/20-40/2-8
Gambaran darah tepi (18/7/14)Eritrosit : Normositik normokrom, anisositosisLeukosit : Kesan jumlah cukup, morfologi normal, 0/0/0/33/42/12Trombosit : Kesan jumlah cukup, morfologi normal
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Kesan : Gambaran darah tepi dalam batas normal
Ekokardiografi 18 Juli 2014 Moderate to severe tricuspid regurgitation (PG 55-60 mmHg) PFO R-L shunt dominant, minimal pericardial effusionKesimpulan : Moderate to severe pulmonary hypertension, minimal pericardial effusion Review echo in 1 monthFoto Rontgen toraks18 Juli 2014 Infiltrat di parahilar dan parakardial bilateral berkurang dibandingkan pemeriksaan sebelumnya. Kesan pneumonia perbaikan
A 1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek,
mikrosefali, gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global) 3. Hipertensi pulmonal sedang-berat et causa hipotiroid dan pneumonia4. Anemia normositik normokrom et causa infeksi berulang dan hipotiroid
P 1. Oksigenasi adekuat : O2 nasal kanul ½ L/menit2. Diet: MC 8x75 mL (120 kkal/kg/hari) 3. Levotiroksin 1x 50 µg PO (16-17)4. Laktulosa 3 x 5 mL PO5. Sildenafil 4x 5 mg PO6. Inhalasi iloprost 0,25 µg setiap 4 jam7. Inhalasi salbutamol 2,5 mL + NaCl 0,9% 2 mL, 3 kali per hari8. Microlax® bila perlu9. Terapi ditambahkan dengan klaritromisin 2x 1,5 mL PO (15 mg/kg/hari)10. Fisioterapi11. Evaluasi DPL, TSH, T4 bebas dan Rontgen toraks (tgl 18/7/14)12. Rencana pemeriksaan retikulosit, serum iron, TIBC, feritin, dan saturasi
transferrin (tgl 19 Juli 2014)
Sabtu-Senin, 19-21 Juli 2014 (hari rawat ke 13-15)S Tidak terdapat demam, tidak terlihat sesak, tidak terdapat muntah, frekuensi batuk
mulai berkurang pada hari ke-4 terapi klaritromisin Toleransi minum 75 ml baik. Buang air besar mulai lancar setiap hari sekali, jumlah
sedikit @ 1 sendok makan, konsistensi padat, buang air kecil biasa, berwarna kuning O Sadar, tidak sesak, tidak sianosis, tidak ada napas cuping hidung
FN 90-120x/menit, reguler, isi cukupFP 30-40x/menit, regular, kedalaman cukupS 36,50-36,90CSaturasi O2 : 88% tanpa O2 98-99% dengan O2 nasal kanul ½ L/ menit
Status generalis :Mata : sklera tidak ikterik, konjungtiva pucat
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Mulut : mukosa lembab, tidak ditemukan oral trushParu : Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, terdapat slem pada kedua lapangan paru berkurangJantung : BJ I normal dan II mengeras, tidak terdapat bising maupun irama derap.Abdomen : buncit, lemas, bising usus positif , hepar dan lien tidak teraba, tidak terlihat venektasi, terdapat hernia umbilikalis, lingkar perut 40 cmAkral hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari dua detikPemeriksaan lain masih sama seperti sebelumnya.Balans cairan + 80-200 mL, diuresis 1,2-1,6 mL/kg/jam.Berat badan 5,1- 5,25 kg
Pemeriksaan 19 Juli 2014 Nilai normalSerum Iron (g/dL) 128 (25-101)TIBC (g/dL) 241 (228-428)Saturasi transferin (%) 53 (15-45)Feritin (ng/ml) RDW (%)Retikulosit Absolut (l)Relatif (%)
1.44518,3
77.1002,1
(13-150)(11,5-14,5)
24.000-95.0000,5-2,0
Pemeriksaan 21 Juli 2014 Nilai normalTSH (ng/dL) 6,99 0,54-4,53 T4 bebas (ng/dL) 1,57 0,85-1,75
A 1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek,
mikrosefali, gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global) 3. Hipertensi pulmonal et causa hipotiroid dan pneumonia4. Anemia normositik normokrom et causa infeksi berulang dan hipotiroid
P 1. Oksigenasi adekuat : O2 nasal kanul ½ L/menit2. Diet: MC 8x75 mL (120 kkal/kg/hari)3. Klaritromisin 2x 1,5 mL PO (15 mg/kg/hari) (hari 2-4)4. Levotiroksin 1x 50 µg PO (hari 18-20)5. Laktulosa 3 x 5 mL PO6. Sildenafil 4x 5 mg PO7. Inhalasi iloprost 0,25 µg setiap 4 jam8. Inhalasi salbutamol 2,5 mL + NaCl 0,9% 2 mL, 3 kali per hari9. Rencana untuk weaning oksigen10. Fisioterapi
Selasa-Rabu, 22-23 Juli 2014 (hari rawat ke 16-17)S Anak terlihat lebih aktif, tidak terdapat demam, tidak terlihat sesak, batuk perbaikan
Belum dapat lepas oksigen, saturasi perifer turun menjadi 88-90% tanpa oksigen Toleransi minum 75 mL baik dan tidak terdapat muntah. Buang air besar 1 kali,
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
konsistensi lunak.O Sadar, tidak sesak, tidak sianosis, tidak ada napas cuping hidung
FN 90-110x/menit, reguler, isi cukupFP 28-35x/menit, regular, kedalaman cukupS 36,40-37,30CSaturasi O2 : 88-90% tanpa O2 98-99% dengan O2 nasal kanul ½ L per menit
Status generalis :Mata : konjungtiva pucat, sklera tidak ikterikParu : Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronki maupun mengi, terdapat slem pada kedua lapangan paru minimalJantung : BJ I normal dan II mengeras, tidak terdapat bising maupun irama derap.Abdomen : buncit, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus positif, tidak terlihat venektasi, terdapat hernia umbilikalis, lingkar perut 38-40 cmAkral hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari dua detikPemeriksaan lain masih sama seperti sebelumnya.Balans cairan + 150-300 ml, diuresis 2,2-3,1 ml/kg/jam.Berat badan 5,25- 5,5 kg
Rontgen toraks (23/7/14)Infiltrat minimal, kesan pneumonia perbaikan.
A 1. Pneumonia terkait komunitas et causa bakteri dd/ virus2. Hipotiroid kongenital (konstipasi, hernia umbilikalis, perawakan pendek,
mikrosefali, gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan global)3. Hipertensi pulmonal et causa hipotiroid dan pneumonia4. Anemia normositik normokrom et causa infeksi berulang dd/ hipotiroid
P 1. Oksigenasi adekuat : O2 nasal kanul ½ L/per menit2. Diet: MC 8x75 mL (120 kkal/kg/hari)3. Klaritromisin 2x 1,5 mL PO (15 mg/kg/hari) (hari 5-6)4. Levotiroksin 1x 50 µg PO (hari 21-22)5. Laktulosa 3 x 5 mL PO6. Sildenafil 4x 5 mg PO 7. Inhalasi iloprost 0,25 µg setiap 4 jam setiap 6 jam8. Rencana untuk weaning oksigen9. Evaluasi Rontgen toraks (23/7/14)10. Rencana menurunkan frekuensi iloprost bila sesak berkurang11. Rencana pemberian klaritromisin selama 10 hari12. Fisioterapi13. Pemantauan balans dan diuresis berkala14. Slem minimal inhalasi salbutamol dihentikan
DISKUSI
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Seorang anak perempuan usia 1 tahun datang dengan keluhan utama sesak yang memberat
sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak didefinisikan sebagai pengalaman subjektif
ketidaknyamanan dalam bernapas, meliputi perasaan yang berbeda secara kualitiatif dan
dengan intensitas yang beragam.1 Hal ini terlihat dari meningkatnya penggunaan kerja otot
pernapasan, stimulasi neuroreseptor sepanjang saluran pernapasan, atau stimulasi
kemoreseptor perifer dan sentral. Pengalaman ini muncul akibat interaksi dari berbagai
faktor, antara lain fisiologi, psikologi, sosial, dan lingkungan. Penyebab sesak menurut
patofisiologinya dibedakan menjadi gangguan aliran dan gangguan volume. Pembagian
berdasarkan anatomi dapat dibedakan menjadi intra-torakal dan ekstra-torakal.2 Gangguan
pada intra-torakal dapat disebabkan oleh obstruksi pada jalan napas distal, kelainan pada
parenkim paru, dan kelainan ekstra-pulmonal. Gangguan ekstra-torakal dapat disebabkan
obstruksi pada jalan napas proksimal, gangguan compliance paru, dan gangguan pusat
pernapasan.2 Saat pasien datang, terlihat gejala sesak yang dominan dengan usaha napas yang
bertambah disertai otot-otot pernapasan tambahan. Berdasarkan anamnesis keluhan pasien
bersifat akut, ditemukan riwayat batuk dan pilek sebelumnya dan pemeriksaan fisis
didapatkan retraksi dan ronki. Tidak didapatkan mengi. Gangguan pada pasien berupa
gangguan pada intra-torakal dengan gangguan volume paru, yang dapat berupa gangguan
pada parekim paru atau gangguan ekstrapulmonal. Pemeriksaan penunjang analisa gas darah
menunjukkan adanya hipoksemia dan Rontgen toraks menunjukkan kesan pneumonia.
Diagnosis pneumonia terkait komunitas pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Pneumonia adalah penyakit pernapasan akut akibat infeksi dan inflamasi pada parenkim
paru.3,4 Pada umumnya pasien memiliki gejala, antara lain batuk, sesak napas, demam, ronki
basah, dengan gambaran infiltrat pada Rontgen toraks. Pada kasus ini, pasien mendapat
pneumonia saat berada di rumah, sehingga dikategorikan sebagai pneumonia terkait
komunitas. Kejadian pneumonia terkait komunitas (community acquired pneumonia/
CAP) pada anak-anak kurang lebih sebesar 156 juta anak-anak per tahun dan menyebabkan
kematian hingga 4 juta orang per tahun.5 Angka kematian anak usia di bawah 5 tahun akibat
CAP di seluruh dunia adalah sebesar 18-34%.5,6 Sebanyak 95% kejadian pneumonia berada di
negara berkembang dan merupakan penyebab terbanyak kematian pada anak di negara
berkembang. Lebih dari setengah angka kejadian pneumonia di seluruh dunia terkonsentrasi
hanya di beberapa negara, yaitu India (43 juta), RRC (21 juta), Pakistan (10 juta),
Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria (masing-masing 6 juta).5 Terdapat beberapa faktor risiko
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
terhadap kejadian CAP, antara lain orangtua merokok, malnutrisi dan tidak mendapat
imunisasi (Tabel 1).
Tabel 1. Faktor risiko yang berhubungan dengan pejamu dan lingkungan yang memengaruhi insidens pneumonia terkait komunitas pada anak-anak5
Pasti Malnutrisi Berat badan lahir rendah Tidak mendapat ASI esklusif (selama 4 bulan
pertama kehidupan) Tidak mendapat imunisasi campak (dalam waktu 12
bulan kehidupan) Polusi udara ruangan Tempat tinggal yang padat
Kemungkinan besar Orangtua yang merokok Defisiensi seng Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung, asma)
Mungkin Tingkat pendidikan ibu Musim hujan (kelembaban) Dataran tinggi (udara dingin) Defisiensi vitamin A Polusi udara lingkungan
Faktor etiologi bervariasi sesuai dengan usia, sumber infeksi (komunitas atau rumah sakit),
dan kelainan pejamu yang mendasari (misalnya imunodefisiensi).6 Sebagian besar pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal
lain (aspirasi, radiasi, dan lain-lain).4 Penyebab tersering adalah bakteri, namun seringkali
diawali oleh virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.4 Bakteri tersering
penyebab CAP adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Staphylococcus
aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.4,7 Setidaknya 30%
kasus CAP pada anak berupa infeksi campuran yang disebabkan oleh virus dan
pneumokokus, atau oleh bakteri atipik dan pneumokokus.8 Studi di Brazil mendapatkan
sebesar 52% kasus CAP akibat koinfeksi M. pneumonia dengan virus atau bakteri lainnya.7
Studi lainnya mendapatkan adanya etiologi campuran terhadap kejadian pneumonia pada
anak sebesar 25-60%.9 Salah satu alasan yang dapat menyebabkan lambatnya perbaikan klinis
pada pneumonia adalah adanya infeksi virus atau mikoplasma yang mendasari.8 Kuman M.
pneumoniae memberikan kontribusi sebesar 20%-40% terhadap kejadian CAP.7
Gejala dan tanda klinis CAP bervariasi tergantung dari usia, kuman penyebab, status
imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Pada umumnya manifestasi yang dapat terjadi,
antara lain batuk, sesak, sianosis, napas cuping hidung, demam, menggigil, atau gejala tidak
terlihat jelas seperti pada neonatus. Pada kasus ini, pasien berusia 12 bulan dengan sesak,
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
takipneu, dan saturasi perifer tanpa suplementasi O2 adalah 88%, sehingga merupakan
indikasi rawat rumah sakit (level of evidence 1).10 Diagnosis pneumonia berdasarkan
kriteria World Health Organization (WHO) ditegakkan apabila terdapat takipneu sesuai
dengan usia (Tabel 2) atau dinding dada bawah tertarik (retraksi) ke dalam pada saat inhalasi,
disertai dengan batuk dan/atau kesulitan bernapas, dengan atau tanpa demam.11,12
Tabel 2. Kriteria takipneu berdasarkan World Health Organization12
UsiaFrekuensi napas normal
(napas per menit)Batas takipneu
(napas per menit)2-12 bulan 25-40 50
1-5 tahun 20-30 40
Diatas 5 tahun 15-25 20
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap
(level of evidence 3)13 dan hitung jenis, analisa gas darah, dan biakan darah (level of evidence 4)13. Laju endap darah dan CRP merupakan indikator inflamasi yang tidak
khas sehingga tidak banyak membantu. Pemeriksaan C-reactive protein, prokalsitonin, dan
laju endap darah (LED) memiliki kegunaan yang terbatas dan tidak dapat digunakan untuk
membedakan etiologi viral atau bakteri pneumonia (level of evidence 1).10,13,14
Lekositosis hingga >15.000/µL seringkali dijumpai dan dominasi neutrophil pada hitung jenis
atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab.4 Biakan darah
merupakan cara yang spesifik untuk diagnosis, namun hanya didapatkan positif pada 10-15%
kasus.4,6
Diagnosis pneumonia terutama didasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan Rontgen
toraks dibuat untuk menunjang diagnosis dan melihat luasnya kelainan patologi secara
akurat.4 Banyak studi yang menggunakan Rontgen toraks sebagai modalitas diagnostik,
namun penemuan positif pada Rontgen toraks tidak memberikan memberikan kontribusi
terhadap perbaikan klinis atau perubahan terapi yang signifikan.12 Rontgen toraks bermanfaat
saat diagnosis tidak jelas atau penemuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis tidak
konsisten.12 Pemeriksaan Rontgen toraks antero-posterior dan lateral dianjurkan untuk
dilakukan pada pasien rawat inap untuk melihat adanya infiltrat, bentuk dan karakter infiltrat
parenkim, serta mengindentifikasi adanya komplikasi pneumonia (level of evidence 2).10 Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumonia, antara lain efusi pleura, pleuritis,
empiema, pneumotoraks, bronkiektasis, abses paru, dan gagal napas.15 Pada kasus ini,
pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis pneumonia adalah pada hasil analisa gas
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
darah didapatkan adanya hipoksia dan pada Rontgen toraks didapatkan infiltrat di kedua
lapangan paru.
Tata laksana pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologi. Terapi suportif
pemberian makanan atau cairan sesuai kebutuhan serta koreksi asam-basa dan elektrolit
sesuai kebutuhan. Terapi oksigen diberikan secara rutin. Bagian yang sangat penting dari tata
laksana pneumonia adalah pemberian antibiotik. Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan
antibiotik, namun pasien tetap diberi antibiotik karena terdapat kesulitan membedakan infeksi
virus dengan bakteri; selain itu kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat
disingkirkan. Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun
karena berbagai kendala diagnostik etiologi, maka semua pasien dengan klinis pneumonia
yang tidak dapat dibedakan penyebabnya mendapat antibiotik secara empiris (level of evidence 4).4,9,13
Terdapat berbagai pilihan antibiotik yang digunakan sebagai terapi pneumonia pada anak.
Pemberian antibiotik ampisilin atau penisilin G dianjurkan pada anak yang telah mendapat
imunisasi lengkap atau usia sekolah (level of evidence 2), sedangkan generasi ketiga
golongan sefalosporin dianjurkan pada pasien yang tidak mendapat imunisasi lengkap atau
sakit berat yang membahayakan nyawa (level of evidence 2).10 Pemilihan antibiotik
lini pertama di Indonesia yang disarankan adalah ampisilin dan kloramfenikol (community
based), bertujuan untuk mengatasi gram positif dan negatif, sedangkan golongan sefalosporin
diberikan untuk kasus hospital based.4 Kombinasi terapi empiris antibiotik golongan beta dan
makrolid dapat diberikan bila dicurigai adanya infeksi oleh bakteri atipik (level of evidence 2).10 Pada umumnya lama terapi antibiotik diberikan selama 5-10 hari,
walaupun lama pemberian tergantung pada kondisi klinis, terutama kasus yang ringan dan
mendapatkan perawatan di rumah, maka antibiotik dapat diberikan lebih singkat dan
diketahui memiliki efektifitas yang sama (level of evidence 2).10 Pasien pada awalnya
mendapat antibiotik sefotaksim yang diberikan selama 10 hari, klinis sesak dan ronki
perbaikan. Pada saat pasien dicoba weaning O2 terdapat penurunan saturasi perifer, klinis
masih terdapat batuk, Rontgen toraks masih menunjukkan adanya inflitrat namun tidak sesuai
dengan klinis, sehingga pasien dipikirkan memiliki infeksi bakteri atipik dan diberikan
klaritromisin, serta dicari penyebab lainnya yang menyebabkan desaturasi. Pemberian
klaritomisin direncanakan selama 10 hari dan klinis pasien terlihat mengalami perbaikan 3
hari pasca pemberian makrolid. Kejadian pneumonia dapat diturunkan dengan memberikan
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
imunisasi, antara lain Hemophillus influenza (Hib), DTP, influenza, dan pneumokokus (PCV)
(level of evidence 2).13 Pemberian vaksin pneumokokus menurunkan risiko pneumonia
sebesar 30% (level of evidence 1).13
Hipotiroid kongenital (HK) didefinisikan sebagai defisiensi hormon tiroid pada saat lahir.16
Hipotiroid kongenital dikelompokkan menjadi permanen dan transien. Defisiensi hormon
tiroid disebabkan akibat kelainan perkembangan pada kelenjar tiroid (disgenesis atau
agenesis) atau gangguan pada hormon tiroid biosintesis (dishormogenesis).16,17 Kelainan ini
disebut sebagai hipotiroid primer, sedangkan hipotiroid sekunder atau sentral adalah kelainan
yang disebabkan defisiensi tiroid stimulating hormon (TSH). Kedua kelainan ini bersifat
permanen, sedangkan transien HK disebabkan adanya defisiensi hormon tiroid sementara
akibat obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan, antibodi terhadap reseptor tirotropin yang
berasal dari ibu, defisiensi atau kelebihan yodium yang kemudian kadar hormin tiroid ini
akan kembali normal.16,17 Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyakit penyebab
retardasi mental yang dapat dicegah, karena hormon tiroid sangat diperlukan untuk
mielinisasi saraf pasca-natal.17 Sebesar 85% HK terjadi akibat disgenesis tiroid, yang terdiri
dari ektopi tiroid, atireosis, dan hypoplasia tiroid.16 Sebagian besar penyebab tiroid disgenesis
tidak diketahui, dan hanya 2% disebabkan akibat kelainan genetik.16 Jenis kelamin
perempuan memiliki risiko 2 kali lebih besar dibandingkan lelaki.16 Insidens HK diseluruh
dunia berkisar antara 1:4.000-10.000 kelahiran hidup16–18, sedangkan di Indonesia didapatkan
sebesar 1:1.500 kelahiran hidup.19 Pada umumnya kejadian HK timbul secara sporadik.
Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tertentu yang diturunkan secara autosomal
resesif. Mutasi genetik hanya berkontribusi sebesar 2% dari semua kasus HK yang ada,
sehingga pemeriksaan rutin untuk mengetahui kelainan genetik tidak dilakukan.20
Pada umunya pada masa bayi belum memperlihatkan gejala klinis hipotiroid yang jelas, dan
bila ada umunya gejala yang sangat ringan. Manifestasi klinis ini sangat bergantung kepada
etiologi, usia terjadinya in utero, beratnya penyakit, serta lamanya hipotiroid. Gejala klinis
yang sering terlihat adalah ikterus memanjang akibat keterlambatan maturasi enzim
glukoronil transferase hati, letargi, konstipasi, malas minum (kurang kuat) dan masalah
makan lainnya, serta hipotermia.19 Tanda klasik lainnya yang dapat timbul, antara lain wajah
sembab, pangkal hidung rata, pelebaran fontanel, makroglosi, suara tangis serak, distensi
abdomen dengan hernia umbilikalis, kulit yang dingin, dan kutis mamorata (mottled),
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
hipotoni, dan hiporefleks.16,19 Pasien didiagnosis HK berdasarkan gejala dan tanda klinis,
serta pemeriksaan TSH dan FT4.
Bila diagnosis hipotiroid tidak ditegakkan sedini mungkin, maka akan terjadi keterlambatan
perkembangan. Umumnya keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan terlihat pada usia
36 bulan.19 Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis hipotiroid adalah serum T4
bebas, T3 total, dan TSH. Kadar T4 bebas yang rendah dan meningkatnya kadar TSH
mengkonfirmasi diagnosis hipotiroid primer.19,21 Pemeriksaan penunjang lainnya seperti
antibodi antitiroid dan radiologis (skintigrafi, bone age, ultrasonografi) dapat dilakukan untuk
mencari etiologi. Sebagian besar etiologi disgenesis tidak diketahui, namun tata laksana HK
ditujukan untuk mengembalikan fungsi tiroid menjadi normal, tidak seharusnya mencari tahu
penyebab pasti terlebih dahulu.16 Dalam praktek sehari-hari, pemeriksaan skintigrafi bukan
merupakan hal yang mendasar dan tidak boleh menjadi penghambat dalam pemberian terapi
atau pemberian dosis sub-optimal dan tidak memengaruhi pemberian terapi secepatnya
kepada pasien.20 Mengingat gejala klinis HK tidak jelas dan akibat yang ditimbulkannya
sangat memengaruhi kehidupan masa depan anak, maka diperlukan skrining terhadap bayi
baru lahir. Banyak negara yang saat ini sudah melakukan skrining terhadap bayi baru lahir.
Sebagian negara ada yang memilih melakukan skrining T4 dan sebagian lagi melakukan
skrining terhadap TSH. Indonesia menganut skrining TSH pada bayi usia hari ke-3-5 dengan
menggunakan metode stick paper blood spot. Pemeriksaan TSH memiliki keuntungan karena
memiliki false positif yang lebih kecil, namun memiliki kerugian yaitu tidak dapat
mendeteksi defisiensi thyroxine binding globulin (TBG). Apabila didapatkan kadar TSH >20-
25 mU/L, maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan pengambilan sampel darah
vena.16,19,21 Pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas dan pemeriksaan
laboratorium yang terbatas, bila secara klinis ditemukan penderita dengan gejala yang
mencurigakan, untuk mewaspadai kemungkinan HK maka dapat menggunakan sistem
skoring. Bila bayi memiliki skor total > 4 dicurigai menderita HK dan harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid (tabel 3).21
Tabel 3. Skoring hipotiriroid kongenital (Quebec)Tanda dan gejala NilaiFeeding problem 1Konstipasi 1Hipoaktif 1Hipotonia 1Hernia umbilikalis 1
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Lidah membesar 1Kulit mottled 1Kulit kering 1,5Ubun-ubun besar masih terbuka
1,5
Muka khas 3
American Academy of Pediatrics (AAP) dan European Sociey for Paediatric Endocrinology
(ESPE) merekomendasikan pemberian levotiroksin sebagai obat pilihan utama dengan dosis
10-15 µg/kg per hari (tergantung beratnya hipotiroid). Target utama terapi ini adalah untuk
mencapai kadar T4 dalam waktu 1 atau 2 minggu dan kadar TSH dalam waktu 1 bulan. 17
Pemberian levotiroksin dosis awal yang lebih tinggi sebesar 50 µg (mis 12-17 µg/kg), maka
serum T4 akan didapatkan normal dalam 3 hari dan kadar TSH akan kembali kepada kisaran
normal dalam waktu 2 minggu terapi.17 Apabila terdapat keterlambatan dalam diagnosis HK,
maka dosis levotiroksin disesuaikan dengan usia saat pertama kali didiagnosis (Tabel 4).21
Tabel 4. Dosis levotiroksin sesuai usia21
Usia Dosis (µg/kg)0-3 bulan 10-153-6 bulan 8-106-12 bulan 6-81-5 tahun 5-66-12 tahun 4-5> 12 tahun 2-3
Studi di Amerika mendapatkan bayi yang diberikan levotiroksin dengan dosis 50 µg per hari
(12-17 µg/kg/hari) dibandingkan 27,5 µg (10-15 µg/kg/hari) memiliki nilai performa yang
lebih baik terhadap perilaku, keterampilan membaca, mengeja dan matematika.16 Studi
lainnya mendapatkan pasien hipotiroid dalam terapi yang mencapai normalisasi kadar T4
diatas dua minggu memberikan hasil nilai tes perilaku dan kognitif yang lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang mencapai kadar T4 normal dalam waktu kurang dari dua
minggu.22 Berdasarkan penelitian yang ada disimpulkan terapi levotiroksin dengan dosis 10-
15 µg/kg/hari didapatkan pencapaian IQ yang lebih baik (level evidence 1).16
Sejak usia 6 bulan pasien kontrol rutin di poli spesialis anak, namun pasien didiagnosis HK
saat usia 11 bulan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Hal ini merupakan
diagnosis yang terlambat, terutama pasien lahir di bidan dan tidak tersedia pemeriksaan
skrining hipotiroid. Pasien pada saat didiagnosis memiliki tanda dan gejala klinis khas untuk
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
penyakit hipotiroid (konstipasi, makroglosi, ubun-ubun terbuka lebar, hernia umbilikalis,
perawakan pendek dan gagal tumbuh) dan sudah mengalami keterlambatan perkembangan
secara global. Terapi yang diberikan kepada pasien pada awalnya adalah 1x 25 µg (6,25
µg/kg) selama dua minggu pada perawatan di rumah, namun pada saat dilakukan evaluasi
kadar TSH 110 µIU/mL dan T4 0,3 ng/dL belum perbaikan sehingga dosis dinaikkan menjadi
levotiroksin 1x 50 µg PO (10 µg/kg/hari) dan diharapkan kadar TSH dan FT4 dapat kembali
normal secepatnya, serta evaluasi dalam dua minggu. Pasca terapi dua minggu kemudian (21
Juli 2014) saat perawatan di RSCM, kadar TSH mengalami perbaikkan menjadi 6,99 ng/dL
dan FT4 1,57 ng/dL, sehingga terapi dilanjutkan dengan dosis yang sama dan rencana
evaluasi respon terapi dalam dua minggu.
Tujuan terapi pada HK adalah untuk mencapai tumbuh kembang sedekat mungkin dengan
potensi genetiknya.16 Panduan AAP dan ESPE terhadap kadar hormon tiroid pada HK,
sebagai berikut16,17 : 1). Serum FT4 atau FT4 total dipertahankan ke batas atas nilai normal
dalam tahun pertama kehidupan. 2). Nilai target serum T4 dalam tahun pertama kehidupan
adalah 10-16 µg/dL dan kadar T4 bebas 1,4-2,3 ng/dL. 3) Nilai serum TSH dipertahankan
dibawah 5 ng/dL. Perlu dilakukan pemantauan ketat selama tiga tahun pertama dengan
melakukan evaluasi terhadap kadar T4 atau T4 bebas dan TSH. Rekomendasi AAP terhadap
pemantauan terapi adalah sebagai berikut17 :
Dua dan empat minggu awal terapi levotiroksin Setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama Setiap 3-4 bulan antara usia 6 bulan hingga 3 tahun Setiap 6-12 bulan setelah pertumbuhan lengkap Setiap 4 minggu pasca perubahan terapi Pemeriksaan dapat lebih sering diakukan bila terdapat hasil abnormal atau dicurigai
adanya ketidakpatuhan.
Pada tempat dimana fasilitas kesehatan terbatas dan diagnosis pasti HK permanen belum
dapat ditentukan pada anak usia dua hingga tiga tahun, maka AAP dan ESPE
merekomendasikan uji coba penghentian levotiroksin selama 30 hari. Jika didapatkan kadar
T4 dan T4 bebas rendah dan TSH meningkat, maka HK permanen dapat ditegakkan dan pasien
diberikan terapi kembali. Apabila ditemukan kadar T4, T4 bebas ,dan TSH normal, maka
diperkirakan pasien mengalami HK transien dan tidak lagi memerlukan terapi.16,17 Namun
pada pasien dengan transien HK tetap perlu dilakukan pemantauan terhadap tanda dan gejala
hipotiroid, karena pasien ini rentan terhadap hipotiroid berulang saat memasuki masa
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
pubertas dan kehamilan. Pemantauan terapi dan penyesuaian dosis pada pasien direncanakan
berkala sesuai dengan rekomendasi AAP dan pasien direncanakan mendapat terapi hingga
usia 3 tahun. Pemeriksaan penunjang lainnya yang direncanakan adalah pemeriksaan USG
dan skintigrafi untuk mencari etiologi HK.
Mikrosefali didefinisikan sebagai lingkar kepala kurang dari -2 standar deviasi pada
distribusi normal kurva Nelhaus. Definisi ini tidak membedakan etiologi dan dapat
disebabkan oleh genetik maupun faktor lingkungan yang akan menimbulkan gangguan
neurodevelopmental. Etiologi mikrosefali dapat bersifat kongenital (primer) atau didapat
(sekunder). 23 Hipotiroid merupakan salah satu etiologi yang dapat menyebabkan mikrosefali.
Mikrosefali banyak dijumpai pada anak dengan gangguan kognitif dan pertumbuhan. Anak
dengan mikrosefali memiliki risiko lebih tinggi terjadi retardasi mental dan terdapat korelasi
antara derajat mikrosefali dan beratnya gangguan kognitif.23 Studi oleh Woo dkk,
mendapatkan pada anak terutama dengan peningkatan TSH yang terlambat (peningkatan
terjadi mulai usia 3 minggu) memiliki lingkar kepala saat lahir adalah normal, namun seiring
dengan waktu mengalami penyusutan lingkar kepala menjadi dibawah persentil 10
(mikrosefali) (p<0,05).24 Pada anamnesis tidak diketahui lingkar kepala pasien saat lahir.
Berdasarkan anamnesis dengan ibu yang menyatakan selama kehamilan tidak mengalami
masalah, pasien saat lahir terlihat normal, timbul keterlambatan perkembangan, dan adanya
gejala hipotiroid yang muncul sejak pasien usia 2 bulan, sehingga dipikirkan masih mungkin
dibebabkan oleh HK. Jika diagnosis HK terlambat dan tidak diterapi dalam 1 bulan pertama
kehidupan, akan terjadi retardasi berat terhadap perkembangan otak dan pertumbuhan fisik.
Pada kasus ini, pasien mengalami keterlambatan diagnosis, yaitu saat pasien berusia 11 bulan
2 minggu dan hal ini dapat memberikan dampak pada tumbuh kembang dan kecerdasan
intelektual pasien sehingga diperlukan pemantauan secara berkala, serta rehabilitasi bila
diperlukan (level of evidence 1).23
Gagal tumbuh bukanlah merupakan diagnosis, melainkan merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan pertumbuhan yang tidak adekuat atau ketidakmampuan untuk
mempertahankan pertumbuhan, terutama pada bayi dan balita yang dinilai berdasarkan
pengukuran antropometri (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala). Tidak ada
konsensus kriteria antropometri yang secara spesifik digunakan untuk menentukan gagal
tumbuh, sehingga diperlukan lebih dari satu parameter agar lebih akurat dalam
mengindentifikasi anak yang berisiko terhadap gagal tumbuh (level of evidence 3).25
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pemantauan berkala diperlukan untuk mendeteksi terjadinya gagal tumbuh pada anak. World
Health Organization merekomendasikan untuk mendeteksi risiko gagal tumbuh pada anak
dengan melihat weight increment berdasarkan pengukuran pada dua waktu yang berbeda.26
Seseorang dikatakan memiliki risiko terjadinya gagal tumbuh, apabila kenaikan berat badan
berada dibawah persentil 5 (tabel weight increments WHO 2009).26
Pasien mengalami gagal tumbuh berdasarkan pengukuran antropometri, yaitu tinggi badan
dan berat badan sesuai usia berada di bawah -3SD kurva WHO, serta lingkar kepala dibawah
-2SD kurva Nellhaus. Penyebab gagal tumbuh pada pasien akibat asupan nutrisi yang kurang
adekuat dan penyakit penyerta hipotiroid kongenital. Tata laksana pada pasien dengan gagal
tumbuh adalah pemberian nutrisi yang adekuat dan mengatasi penyakit dasar. Intervensi yang
diberikan pada pasien adalah dengan memberikan asupan nutrisi yang adekuat dengan
pemberian makan cair (MC) 8x75 ml (120 kkal/kg/hari) dan disesuaikan dengan toleransi
pasien, sehingga diharapkan kenaikan berat badan dapat optimal dan mengatasi penyakit
dasar hipotiroid dengan terapi levotiroksin. Diperlukan intervensi yang melibatkan multi-
disiplin dalam mempererat hubungan orangtua-anak, meningkatkan berat badan, dan
perkembangan kognitif anak (level of evidence 1).25
Keterlambatan perkembangan global (Global development delay/ GDD) merupakan
gangguan perkembangan yang didefinisikan sebagai keterlambatan yang signifikan pada dua
atau lebih ranah perkembangan: motor kasar/motor halus, bahasa, kognitif, sosial/personal,
dan aktivitas sehari-hari.27 Berdasarkan pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisis, pasien
pada kasus ini mengalami keterlambatan dalam ranah motor kasar, halus, dan bahasa.
Gangguan pada pasien dipikirkan akibat hipotiroid kongenital yang tidak dideteksi sejak awal
sehingga menyebabkan pasien mengalami mikrosefali dan gagal tumbuh, yang pada akhirnya
menyebabkan GDD. Gangguan ini juga diperberat dengan kondisi hipoksia pada saat pasien
mendapat resusitasi jantung paru saat usia 6 bulan. Pada tempat dimana skrining hipotiroid
kongenital tidak dilakukan, HK memberikan kontribusi sebesar 4% terhadap kejadian GDD.27
Tidak ada data yang cukup untuk merekomendasikan pemeriksaan EEG pada pasien dengan
GDD tanpa adanya bukti klinis epilepsi. Pemeriksaan penunjang EEG untuk mencari etiologi
GDD hanya direkomendasikan apabila terdapat gejala epilepsi atau sindrom spesifik epilepsi
(level of evidence 3).27 Pemeriksaan radiologis direkomendasikan untuk mencari etiologi
GDD, terutama dengan adanya penemuan fisik (misalnya, gangguan motor fokal,
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
mikrosefali) dan jika MRI tersedia merupakan pilihan utama dibandingkan dengan CT-Scan
(level of evidence 3).27
Hipertensi pulmonal (HP) merupakan suatu keadaan dimana tekanan arteri pumonalis lebih
tinggi dari nilai normal batas atas berdasarkan pemeriksaan ekokargiografi (36-40 mmHg)
maupun kateterisasi (≤ 30 mmHg).28 Berdasarkan definisi WHO, hipertensi pulmonal
merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular
pulmonal yang menyebabkan kegagalan ventricular kanan dan kematian.29 Gejala klinis yang
dapat terjadi, antara lain sesak, peningkatan usaha napas, sianosis dengan atau tanpa jari
tabuh, dan distensi vena pada leher. Berdasarkan klasifikasi klinis Dana Point tahun 2008,
kejadian HP pada kasus ini termasuk kedalam kategori hipertensi pulmonal dengan
mekanisme multi-faktorial yang tidak jelas pada gangguan metabolik.30 Pada studi yang ada,
ditemukan hubungan antara penyakit tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) dengan kejadian HP
dan ditemukan lebih dari 40% pasien dengan penyakit tiroid memiliki HP.30 Kondisi lain
pada pasien yang dapat menjelaskan terjadinya HP adalah pasien memiliki makroglosia yang
dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas yang terjadi secara kronik sehingga akan
mengakibatkan hipoksia alveolar yang kemudian memberikan respon berupa vasokonstriksi
pulmonal.28 Walaupun mekanisme pasti terhadap respon vasokonstriksi akibat hipoksia
alveolar belum sepenuhnya dimengerti, dipikirkan peran endotelin dan nitrit oksida (NO)
merupakan faktor yang paling bertanggungjawab. Hipotiroid juga dapat menyebabkan
kelemahan otot pernapasan dan memengaruhi kontrol pusat pernapasan berupa depresi
pernapasan.31 Alasan gangguan ventilasi yang terjadi diperkirakan akibat menurunnya
konsumsi oksigen pada hipotiroid.31 Hipoksia alveolar merupakan mekanisme dasar pada
banyak jenis HP, termasuk yang terdapat pada obstruksi jalan napas, dorongan napas tidak
adekuat (penyakit susunan saraf pusat), gangguan otot-otot pernapasan atau dinding dada,
dan dataran tinggi.28 Tata laksana HP adalah mengatasi etiologi dan suportif berupa
vasodilator. Pasien pada kasus ini mendapat terapi penyakit dasar (hipotiroid), pemberian
suplementasi oksigen, inhibitor fosfodiesterase (Sildenafil 4x 5 mg PO), dan inhalasi iloprost
0,25µg sebanyak 4 kali/hari. Pemberian iloprost pada HP meningkatkan hemodinamik
kardiopulmonal dan kapasitas olahraga (level of evidence 2).32 . Evaluasi respon terapi pada
pasien direncanakan 1 bulan pasca terapi dengan pemeriksaan ekokardiografi.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pada hari perawatan ke-15, pasien mengalami anemia berdasarkan kriteria WHO (tabel 5)
dengan hemoglobin (Hb) 10,1 g/dl.33 Nilai MCV,MCH, dan MCHC adalah normal, sehingga
dikategorikan sebagai anemia normositik normokrom. Anemia adalah suatu keadaan yang
menunjukkan kadar Hb seseorang lebih rendah dari kadar hemoglobin normal.33 Keadaan ini
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun.34
Tabel 5. Anemia menurut kriteria WHO33
Umur Kadar Hb (g/dL)
6 bulan- < 5 tahun < 11
≥ 5 tahun – 14 tahun < 12
Dewasa laki-laki < 13
Dewasa perempuan (tidak hamil) < 12
Dewasa perempuan (hamil) < 11
Penyebab anemia di Indonesia, umumnya akibat kekurangan nutrien (terutama zat besi),
disamping protein dan mineral lainnya. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
selain masalah gizi, masalah infeksi turut memperburuk kadar hemoglobin tubuh.35
Metabolisme yang meningkat pada setiap infeksi atau infestasi parasit akan membutuhkan
nutrien yang lebih banyak. Penyebab anemia di dunia adalah kekurangan nutrien, baik
disengaja maupun akibat kekurangan gizi seperti yang terjadi di negara-negara berkembang.
Anemia terjadi akibat ketidakseimbangan antara pembentukan eritrosit dengan proses
hemolisis dan/atau perdarahan. Secara garis besar proses fisiologis yang menjadi etiologi
anemia depat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu (1) produksi eritrosit yang tidak efektif dan (2)
destruksi eritrosit yang meningkat atau perdarahan.34 Anemia yang terjadi pada hipotiroid
disebabkan oleh produksi eritropoietin yang kurang akibat turunnya metabolisme dan
kebutuhan oksigen sehingga rangsangan terhadap produksi eritropoietin berkurang.36
Penegakkan diagnosis memerlukan pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap (Hb,Ht,
leukosit, trombosit), retikulosit, hitung jenis, dan gambaran sediaan apus darah tepi.
Anemia pada pasien dipikirkan akibat adanya infeksi yang terus berlangsung (Gambar 2)
dan juga dipengaruhi oleh penyakit kronik (hipotiroid kongenital). Berdasarkan pemeriksaan
retikulosit dan red cell distribution width (RDW) terjadi hemolisis. Hal ini kemungkinan
besar akibat infeksi yang terjadi. Studi di Turki mendapatkan kejadian infeksi M. pneumonia
dengan kejadian anemia hemolitik.37 Tata laksana adalah dengan mengatasi penyakit dasar
dan terapi suportif.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Gambar 2. Pendekatan diagnosis anemia38
Pemberian imunisasi dasar hingga anak berusia 1 tahun bertujuan untuk mendapatkan
kekebalan pertama kalinya. Saat anak berusia 1-4 tahun, imunisasi yang diberikan merupakan
imunisasi ulangan yang bertujuan untuk memperpanjang masa kekebalan imunisasi dasar.
Periode ini bertujuan untuk imunisasi kejar bagi anak yang mengalami keterlambatan
imunisasi. Pemberian imunisasi ulangan maupun imunisasi kejar bertujuan untuk optimalisasi
kadar proteksi antibodi tubuh.
Imunisasi campak sebaiknya diberikan pada usia 9 bulan dan dosis penguatan (booster)
dilakukan pada usia 24 bulan dan saat anak bersekolah dasar kelas 1-6. Anak yang terlambat
atau belum mendapatkan imunisasi campak, jika saat datang berobat usianya 9-12 bulan,
maka imunisasi campak dapat diberikan kapan pun saat bertemu. Namun jika usia anak > 1
tahun, berikan MMR. Jika sudah diberikan imunisasi MMR pada usia 15 bulan, tidak perlu
campak di usia 24 bulan. Imunisasi Haemophyllus influenza tipe B (Hib) diberikan pada usia
2,4, dan 6 bulan, dan diulang pada usia 18 bulan.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal imunisasi, namun ini
bukan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang memiliki daya perlindungan
panjang seperti campak, jika anak belum mendapat imunisasi tersebut maka akan
meningkatkan risiko tertular oleh penyakit yang ingin dihindari karena belum memiliki
antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Jika anak usia > 9 bulan belum
mendapat imunisasi campak maka jika anak berusia antara 9-12 bulan, vaksinasi campak
kapan saja saat bertemu. Jika anak berusia ≥ 1 tahun, berikan vaksin MMR / campak.39
Haemophyllus influenza tipe B (Hib) merupakan bakteri gram negatif yang dapat
menyebabkan meningitis, pneumonia, selulitis, artritis, dan epiglottitis. Di Indonesia
dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di antara kasus meningitis. Pada penelitian
lanjutan didapatkan bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan
anak berusia < 5 tahun. Kuman ini hanya ditemukan pada manusia dan menyebar melalui
droplet dari individu yang sakit kepada orang lain. Rekomendasi IDAI menyatakan bahwa
apabila suntikan awal diberikan pada usia > 1 tahun maka cukup diberikan 1 kali vaksinasi
tanpa booster.40
Pasien belum mendapat imunisasi campak dan saat ini berusia 12 bulan, sehingga perlu
dilakukan kejar imunisasi. Sesuai dengan rekomendasi imunisasi IDAI, pada pasien
disarankan untuk mendapat imunisasi MMR (measeles, mumps, rubella), PCV, Hib, varicella
dan influenza. Pasien tidak memiliki kontraindikasi untuk diberikan imunisasi, namun
kondisi pasien dengan infeksi berulang menempatkan pasien pada kondisi
immunocompromised. Pemberian vaksin hidup (MMR dan varicella) pada pasien sebaiknya
ditunggu hingga pasien pulih sepenuhnya dari sakit dan dievaluasi berdasarkan klinis pasien,
sedangkan imunisasi lainnya dapat diberikan sesuai dengan jadwal yang ada.
Faktor prognosis HK ditentukan oleh saat pertama kali diagnosis, usia pertama kali terapi
diberikan, kepatuhan minum obat, dan respon terapi. Diagnosis HK yang dilakukan secara
klinis seringkali mendapatkan adanya keterlambatan motor dan kognitif yang berat.
Penelitian yang ada menunjukkan 8% (melalui skrining) berbanding 29% (diagnosis secara
klinis) pada pasien HK mengalami kecacatan intelektual dengan IQ dibawah 70.41 Studi di
Pittsburgh Children’s Hospital, mendapatkan data bahwa anak yang mendapat terapi
levotiroksin sejak usia lahir hingga usia 3 bulan memiliki rata-rata Intelligence Quotient (IQ)
89 (berkisar antara 64-107); terapi dimulai sejak usia 3 hingga 6 bulan rata-rata IQ 71
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
(berkisar antara 35-96), rata-rata IQ 54 (berkisar antara 25-80) bila terapi dimulai sejak usia 6
bulan keatas.16 Terlepas dari program skrining nasional yang ada, negara Swedia
mendapatkan data bahwa terdapat keterlambatan diagnosis HK pada 52% kasus, dimana HK
baru didiagnosis saat usia bayi diatas 3 bulan.16 Studi oleh U.S Northwest Regional Screning
Program mendapatkan bayi yang mendapat levotiroksin dengan dosis yang lebih tinggi
(50µg/hari, setara dengan 12-17 µg/kg/hari) memiliki nilai IQ 11 poin lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang mendapat dosis yang lebih rendah (8,5 µg//hari, setara
dengan 9,4-12,4µg/kg/hari).22 Penilaian mengenai dampak jangka panjang HK memerlukan
follow-up yang panjang hingga pasien dewasa.
Hipertensi pulmonal merupakan suatu penyakit yang progresif dan memberikan prognosis
yang buruk. Sebelum adanya terapi vasodilator, sebagian anak meninggal dalam 1-2 tahun
setelah diagnosis.42 Data United Kingdom Pulmonary Hypertension Service for Children
menyatakan angka kesintaan pada tahun ke-1 sebesar 85,6%, tahun ke-3 sebesar 79.9%, dan
tahun ke-5 sebesar 71.9%.42 Morbiditas dan mortalitas bergantung pada usia, beratnya
penyakit, dan respon terhadap terapi vasodilator. Studi mengenai obat baru dan yang
diberikan secara kombinasi, memberikan angka kesintaan 5 tahun sebesar 80%.42
Kepatuhan berobat sangat dipengaruhi kerjasama antara tim kesehatan dengan orangtua,
karena pada masa ini anak masih bergantung pada orangtua. Edukasi meliputi meliputi
kondisi pasien saat ini, pengobatan, rencana evaluasi, kemungkinan perjalanan penyakit, dan
komplikasi yang dapat ditimbulkan. Saat ini biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS
sehingga tidak ada kendala dalam biaya. Dengan pengetahuan yang adekuat, diharapkan
keluarga dapat mendukung proses pengobatan dan anak dapat mencapai tumbuh kembang
yang optimal dengan kualitas hidup yang baik.
Pasien memiliki prognosis ad vitam dubia. Untuk saat ini tanda vital pasien dalam batas
normal namun kondisi jangka panjang pasien tidak dapat ditentukan, bergantung dari
keberhasilan terapi dan kondisi pasien. Prognosis ad functionam dubia ad malam karena
hipotiroid kongenital pada pasien yang didiagnosis terlambat sehingga dapat menyebabkan
penurunan IQ dan hipertensi pulmonal dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lainnya.
Prognosis ad sanationam dubia ad malam karena hipertensi pulmonal merupakan penyakit
progresif dan kemungkinan memerlukan terapi seumur hidup.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
Daftar Pustaka
1. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau J, dkk. An official American Thoracic Society statement: update on the mechanisms, assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Care Med. 2012;185435–52.
2. Pediatric Respirology Working Group. Pathophysiology of dyspnea. Pelatihan manajemen batuk dan sesak pada anak. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2011. h. 22–45.
3. Loebinger MR, Wilson R. Pneumonia. Medicine. 2012;40:329–34.
4. Supriyanto B. Infeksi respiratorik bawah akut pada anak. Sari Pediatr. 2006;8:100–6.
5. Manikam L, Lakhanpaul M. Epidemiology of community acquired pneumonia. Paediatr Child Health. 2012;22:299–306.
6. Banaszak I, Breborowicz A. Pneumonia in Children. Dalam: Vats M, penyunting. Respiratory disease and infection - a new insight. Ed ke-1. Polandia: In Tech; 2013. h. 137–71.
7. Vervloet LA, Marguet C, Camargos PA. Infection by Mycoplasma pneumoniae and its importance as an etiological agent in childhood community-acquired pneumonias. Braz J Infect Dis. 2007;11:507–14.
8. Korppi M. Diagnosis and treatment of community-acquired pneumonia in children. Acta Paediatr. 2012;101:702–4.
9. Cardinale F, Cappiello AR, Mastrototaro MF, Pignatelli M, Esposito S. Community-acquired pneumonia in children. Early Hum Dev. 2013;89:S49–52.
10. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, dkk. The management of community-acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age: clinical practice guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011;53:e25–76.
11. WHO. Pneumonia. Geneva: World Health Organization; 2013.
12. Stuckey-schrock K, Hayes BL, George CM. Community aquired pneumonia in children. Am Fam Physician. 2012;86:661–7.
13. Harris M, Clark J, Coote N, Fletcher P, Harnden A, McKean M, dkk. Guidelines for the management of community acquired pneumonia in children: update 2010. Thorax. 2011;66:1–23.
14. Korppi M. Non-specific host response markers in the differentiation between pneumococcal and viral pneumonia: what is the most accurate combination? Pediatr Int. 2004;46:545–50.
15. Sectisch T, Prober C. Pneumonia. Dalam: Behrman R, Kliegman R, Jenson H, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-1. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 1432–5.
16. Rastogi M V, LaFranchi SH. Congenital hypothyroidism. Orphanet J Rare Dis. 2010;5:17.
17. Rose SR, Brown RS, Foley T, Kaplowitz PB, Kaye CI, Sundararajan S, dkk. Update of newborn screening and therapy for congenital hypothyroidism. Pediatrics. 2006;117:2290–303.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
18. The University of South Dakota School of Medicine. Developmental disabilities handbook. Edisi ke-1. Sioux Falls: South Dakota Council on Developmental Disabilities; 2003.
19. Susanto R, Julia M. Gangguan kelenjar tiroid. Dalam: Batubara J, B T, Pulungan A, penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. Jakarta: UKK Endokrinologi IDAI; 2010. h. 205–50.
20. Mann NP. Congenital hypothyroidism – what’s new? Paediatr Child Health. 2011;21:295–300.
21. Fadil R. Hipotiroid kongenital. Peran endokrinologi anak dalam proses tumbuh kembang anak. Padang: UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2005. h. 8–17.
22. Selva K, Harper A, Downs A, Blasco P, Lafranchi S. Neurodevelopmental outcomes in congenital hypothyroidism: comparison of initial T4 dose and time to reach target T4 and TSH. J Pediatr. 2005;147:775–80.
23. Ashwal S, Michelson D, Plawner L, Dobyns WB. Practice parameter: evaluation of the child with microcephaly (an evidence-based review): report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. Neurology. 2009;73:887–97.
24. Woo HC, Lizarda A, Tucker R, Mitchell ML, Vohr B, Oh W, dkk. Congenital hypothyroidism with a delay thyroid-stimulating hormone elevation in very premature infants: incidence and growth and developmental outcomes. J Pediatr. 2011;158:538–42.
25. Cole SZ, Lanham JS. Failure to thrive: an update. Am Fam Physician. 2011;83:829–34.
26. Onis M de, Onyango A, Borghi E, Siyam A, Pinol A. WHO child growth standards. World Health Organization. Geneva: World Health Organization; 2014. h. 1–262.
27. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirtz D, dkk. Practice parameter: evaluation of the child with global developmental delay: report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and The Practice Committee of the Child Neurology Society. Neurology. 2003;60:367–80.
28. Park MK, Salamat M. Special problems. Dalam: Park MK, Salamat M, penyunting. The pediatric cardiology handbook. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby; 2010. h. 296–303.
29. Galie N. The endothelin system in pulmonary arterial hypertension. Cardiovasc Res. 2004;61:227–37.
30. Simonneau G, Robbins IM, Beghetti M, Channick RN, Delcroix M, Denton CP, dkk. Updated clinical classification of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol. 2009;54:S43–54.
31. Milla CE, Zirbes J. Pulmonary complications of endocrine and metabolic disorders. Paediatr Respir Rev. 2012;13:23–8.
32. Stringham R, Shah NR, College C. Pulmonary arterial hypertension : an update on diagnosis and treatment. Am Fam Physician. 2010;82:370–7.
33. Wahidayat I. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M, Trihono PP, Kaswandari N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat : masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI/RSCM; 2007. h. 1–3.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014
34. Windiastuti E. Klasifikasi anemia pada anak dan bayi. Dalam: Abdulsalam M, Trihono PP, Kaswandari N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat : masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI/RSCM; 2007. h. 14–9.
35. Wahidiyat PAW. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. Dalam: Addulsalam M, Trihono PP, Kaswandani N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat : masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI/RSCM; 2007. h. 20–30.
36. Adamson JW. Iron deficiency and other hypoproliferative anemias. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL, penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill; 2005. h. 641–52.
37. Kurugol Z, Onen SS, Koturoglu G. Severe hemolytic anemia associated with mild pneumonia caused by Mycoplasma pneumonia. Case Rep Med. 2012;649850.
38. Lanzkowsky P. Classification and diagnosis of anemia in children. Dalam: Lanzkowsky P, penyunting. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. h. 1–13.
39. Soegijanto S, Salimo S. Campak. Dalam: Ranuh I, Suyitno H, Hadinegoro S, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 341–6.
40. Pusponegoro H. Haemophylus influenzae tipe B. Dalam: Ranuh I, Suyitno H, Hadinegoro S, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman imunisasi di indonesiadonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 303–6.
41. Kubicky RA, Weiner E, Carlson B, De Luca F. Effect of prolonged discontinuation of L-thyroxine replacement in a child with congenital hypothyroidism. Case Rep Endocrinol. 2012;2012:841947.
42. Haworth S. Idiopathic pulmonary arterial hypertension in childhood. Cardiol Rev. 2010;18:64–6.
Evaluasi Nasional Kolegium IKA Indonesia, 11-13 Agustus 2014