Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN
SISTEM PERHITUNGAN WAKTU
(Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang)
S K R I P S I Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Strata 1 (S-1) Sarjana Syari’ah
Oleh:
KHUSEIN ALI MOCHAMMAD
NIM: 21109004
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2014
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
“Man Jadda Wa Jadda” Barang siapa yang bersungguh - sungguh akan mendapatkannya.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu melampaui
berbagai proses dalam menyusun skripsi ini dengan judul PELAKSANAAN
IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN
WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang) guna memenuhi tugas untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam
ilmu syari’ah pada jurusan Syari’ah STAIN Salatiga.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan
terimakasih terutama kepada:
A. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Ketua Stain Salatiga.
B. Bapak Benny Ridwan, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Syari’ah dan Ekonomi
Islam.
C. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhsiyah Jurusan Syari’ah.
D. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA. selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu semata-mata membimbing dan mengarahkan penulis
dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi.
E. Bapak Ibu Dosen STAIN Salatiga. Khususnya dosen jurusan syari’ah yang
telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN Salatiga.
F. Bapak Trimo selaku Kepala Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Desa
Jetak.
G. Bapak Ibu yang selalu mendo’akan dan memberi semangat yang tiada henti-
hentinya sampai terselesaikannya skripsi ini.
viii
Demikian skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan segala
keterbatasan dan kemampuan penulis sehingga skripsi ini jauh dari
kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis,
Khusein Ali M
21109004
ix
ABSTRAK
Muhammad, Khusein Ali. PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi jurusan Syari’ah. Program Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA.
Kata kunci: Pelaksanaan Ijab Kabul dan Sistem Hitungan Waktu
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan persepsi masyarakat di desa Jetak dalam menggunakan ikatan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat mengenai pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu? 2) Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu berdasarkan ilmu fiqh? Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui alasan masyarakat jawa menggunakan sistem hitungan waktu dalam melaksanakan ijab kabul pernikahan. Untuk mengetahui persepsi atau tanggapan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama masyarakat jawa khususnya di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang terhadap pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fikih .
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Berdasarkan dari penelitian kebanyakan alasan masyarakat menggunakan tradisi tersebut yaitu peninggalan para leluhur yang harus dilestarikan dan juga untuk menghindari malapetaka dalam acara pernikahan nanti dan mendapat kemantapan dalm pelaksanaan ijab kabul penikahan. Namun ada juga alasan yang mengikuti saran dari orang tuanya atau dari kakeknya.
Dari persepsi tokoh-tokoh agama ada perbedaan pendapat ada yang setuju dan ada yang tidak, ketidak setujuan dari tokoh agam itu adalah dalam syariat Islam tidak ada, sedangkan yang setuju itu merupakan suatu tradisi jadi harus tetap dilestarikan dengan catatan tidak melanggar dari ajaran-ajaran Islam dan dengan adanya tradisi itu bisa menambah keimanannya kepada Allah Swt. Dalam pandangan ilmu fikih kebudayaan merupakan suatu adat tradisi yang memang bersumber dari nenek moyang tetapi dalam ilmu fiqh juga mengatur mengenai tradisi (adat) dalm ilmu fiqh disubut dengan ‘urf. Dalm ‘urf ada beberapa macam ‘urf. apabila adat itu melanggar nash Al Qur’an dan Hadist itu termasuk kedalam ‘urf al-fasid yang tidak bisa dijadikan sebagai tradisi yang sesuai dengan syariat Islam. Dan dari segi keyakinan masyarakat desa Jetak sangat memegang teguh terhadap adat tradisi tersebut dan sampai sekarang ini masih digunakan walaupun adanya unsur-unsur mistik.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
LOGO …………………………………………………………………..... ii
PENGESAHAN ………………………………………………………... iii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING …………………..…………….... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………… v
MOTTO ………………………………………………………………….. vi
PERSEMBAHAN ………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………... vii
ABSTRAK ………………………………………………………………. ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xiv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1
B. Fokus Penelitian ………………………………………………….. 8
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 9
D. Kegunaan Penelitian ……………………………………………... 9
E. Telaah Pustaka …………………………………………………… 10
F. Penegasan Istilah ……………………………………………….... 12
G. Metode Penelitian ………………………………………………… 13
H. Sistematika Penulisan …………………………………………..... 18
xi
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan ………………………………………….. 20
B. Dasar Hukum Perkawinan ………………………………………. 23
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ………………………………….. 26
D. Akad Nikah dan Syarat-Syarat Ijab Kabul ………………………. 29
a) Kata-Kata Dalam Ijab Kabul ………………………………… 31
b) Ijab Kabul Bukan Dengan Bahasa Arab ……………………... 32
c) Ijab Kabul Orang Bisu ………………………………………. 33
d) Ijab Kabulnya Orang Yang Ghaib (Tidak Hadir) ……………. 33
E. Hikmah Nikah …………………………………………………… 34
F. Upacara Pengantin Adat Jawa ……………………………………. 36
G. Menentukan Hari Pernikahan ……………………………………. 40
1. Memilih Hari dan Bulan Yang Baik ………………………… 42
2. Memilih Pasaran dan Waktu Yang Baik …………………..... 45
H. Penggunaan Hitungan atau Memilih Hari Baik Dalam Islam …... 48
I. Pengertian ‘Urf ………………………………………………….. 52
J. Macam-Macam ‘Urf ……………………………………………... 53
K. Syarat-Syarat ‘Urf ………………………………………………. 54
BAB III: HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang ………………………………………………………... 57
xii
1. Letak Geografis ………………………………………………. 57
2. Keadaan Administratif ………………………………………. 58
3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ……………………. 59
4. Tingkat Pendidikan ………………………………………….. 61
B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan
Waktu ………………………………………………………….... 62
1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem
Perhitungan Waktu ………………………………………….. 62
2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu dalam Pelaksanaa
Ijab Kabul Pernikahan ………………………………………. 64
3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik dalam Pelaksanaan
Ijab Kabul Pernikahan Di Desa Jetak Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang ……………………………………….... 65
4. Persepsi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul
Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ….…………. 69
BAB IV: ANALISIS
A. Analisis Penggunaan Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem
Perhitungan Waktu Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh ………………… 72
B. Analisis Praktek Menghitung atau Memilih Waktu Baik ………. 78
C. Analisis Perspektif Masyarakat terhadap Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan
dengan Sistem Perhitungan Waktu …..…………….. 79
xiii
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 82
1. Alasan-Alasan Para Pelaku Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan
Sistem Perhitungan Waktu ………….……………... 82
2. Persepsi Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Pelaksanaan
Ijab Kabul Penikahan Dengan Sistem Perhitungan
Waktu ………………………………………………………. 83
3. Ilmu Fikih Tentang Tradisi Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan
Sistem Perhitungan Waktu ........................................ 83
B. Saran …………………………………………………………….. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
SURAT REKOMENDASI
SURAT KETERANGAN DESA
DATA KELURAHAN
SKK
LEMBAR KONSULTASI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pandangan Islam, manusia dan makhluk yang ada di alam
semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah
lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah mereka mempunyai keterkaitan
kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan keterkaitan tersebut menjadi
hubungan yang benar maka harus melalui pernikahan.
Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Dengan
jalan ini, hubungan yang mulanya haram menjadi halal. Implikasinya pun
besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal mewujudkan sebuah
tatanan masyarakat, karena keluarga peran dalam kehidupan masyarakat. Jika
unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dikatakan bangunan masyarakat
yang diwujudkan akan kokoh dan baik.
Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan
bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk
menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian
dan cinta kasih. Setiap remaja yang telah memiliki kesiapan lahir batin
diperintahkan segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri masa
2
lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan
agama oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan,
maka ia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti dia pula telah
berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Membantu terlaksananya suatu
pernikahan, demikian pula merupakan ibadah yang tidak tenilai
pahalanya.(Hariwijaya, 2005:1) seperti dalam hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
عل�ى عثم�ان ب�ن مظع�ون التبت�ل و ل�و اذن عن س�عد ب�ن اب�ى وق�اص ق�ال: رد رس�ول هللا ص
له الختصينا. احمد و البخارى و مسلم
Artinya: Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah SAW
pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya
Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim)
Hadits Rasulullah SAW :
ج، عن ابن مسعود قال: قال رسول هللا ص: يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزو
وم فانه له وجاء. الجماعةفانه اغض للبصر و احصن لل فرج. و من لم يستطع فعليه بالص
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
“Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah,
maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan
3
pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum
mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi)
pengekang syahwat”. (HR. Jamaah)
Dalam setiap pelaksanaan perkawinan pasti ada suatu syarat atau pun
rukun yang harus dilaksanakan, Apabila salah satu rukun atau syarat tidak
terlaksana akan membuat tidak sahnya suatu perkawinan. Rukun yang paling
pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridho dan setuju
bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus
ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan
ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh
kedua belah pihak yang mengadakan aqad.
Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk
hubungan suami istri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan
oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridho
dan setujunya disebut “qabul”. (Sayyid, 1980:53)
Dalam masyarakat Jawa khususnya pada masyarakat Desa Jetak
Keceamatan Getasan Kabupaten Semarang dalam suatu pernikahan dalam
pelaksanaannya sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan tradisi-
tradisi jawa walaupun sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Tetapi
4
biasanya mereka menganggap atau menyebutnya dengan istilah Islam
kejawen. Dalam penikahan pun di desa itu masih digunakan hitung-hitungan
hari dan waktu.
Agama Islam memandang semua waktu, hari, bulan, dan tahun adalah
waktu yang baik. Tidak ada waktu atau hari sial ataupun hari keramat, namun
sebagian masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek
moyang yang percaya terhadap hari-hari sial atau waktu-waktu sial. Tathayyur
(menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita
yang benar. Karena Islam masuk di Indonesia setelah ajaran Hindu dan Budha
maka orang-orang Jawa masih mempunyai kepercayaan tentang ajaran Hindu
maupun Budha yang berupa tradisi-tradisi dan sebagian besar orang jawa
masih menggunakan kepercayaan yang turun temurun dari zaman dahulu
misalnya dalam masyarakat di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang yang masih menggunakan acara ijab qabul pernikahan dengan
waktu-waktu yang tepat. Mereka tidak berani melanggar tradisi-tradisi
tersebut walaupun mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau tradisi-tradisi itu
dilanggar. Waktu-waktu itu dihitung berdasarkan tanggal kelahiran dari kedua
calon mempelai. Diluar waktu-waktu yang di tentukan maka tidak akan
dilaksanakan ijab qabul pernikahan tersebut, karena apabila tradisi tidak
dipatuhi mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pernikahan tidak lancar, dan
lain sebagainya. Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 170 menerangkan bahwa
5
beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur yang
berbunyi:
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Departemen
Agama Republik Indonesia, 1989:41)
Dan dalam Islam semua hari ataupun waktu itu baik, tidak ada hari sial
atau hari keberuntungan, seperti dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 5:
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
6
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:306)
Dalam hadist Rosulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Muslim,
seseorang yang mendatangi dukun atau paranormal ibadahnya tidak akan
diterima selama 40 hari seperti dalam hadist di bawah ini:
عليه وس عليه وسلم عن النبي صلى هللا لم قال عن صفية عن بعض أزواج النبي صلى هللا
افا فسأله عن شيء لم تقبل له صالة أربعين ليلة من أتى عر
Artinya: Dari Shafiyah, puteri Abu Ubaid dari salah seorang istri
Rasulullah SAW, dari Nabi Muhammad, bahwasanya beliau telah bersabda,
"Barang siapa mendatangi juru ramal {dukun}, kemudian ia bertanya sesuatu
kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam" (HR.
Muslim Juz 4 Bab 39 No. 2230:1751)
Orang yang percaya pada dukun akan terjerumus kedalam perbuatan-
perbuatan yang syirik. Padahal agama Islam melarang seseorang untuk
menyekutukan Allah atau berbuat syirik. Seperti dalam hadist Rosulullah
SAW:
عليه وسلم فق صلى هللا حمن بن أبي بكرة عن أبيه قال كنا عند رسول هللا ال أال عبد الر
ور أو وعقوق الوالدين وشهادة الز شرا بال ور وكان أنبككم بأكبر الكبارر االاا ا قول الز
رها حتى قلنا ليته سكت عليه وسلم متككا فجلس فما زال يكر صلى هللا رسول هللا
7
Artinya: Dari Abdurahman bin Abu Barkah, dari ayahnya
radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Kami pernah berada di sisi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Maukah engkau aku
beritahukan tiga dosa terbesar? Ada tiga (yaitu) Menyekutukan Allah,
durhaka terhadap kedua orang tua dan kesaksian dusta atau ucapan dusta"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan itu sambil bersandar,
kemudian beliau duduk. Tak henti-hentinya beliau mengulangi ucapannya,
sehingga kami mengharapkan, "Semoga beliau diam."(HR. Muslim)
بع الموبقات قيل عليه وسلم قال اجتنبوا الس صلى هللا يا رسول عن أبي هريرة أن رسول هللا
إال بالحق م هللا حر وقتل النفس التي حر والس ر بال وما هن قال الش وأكل مال اليتيم هللا
حف وقذف المحصنات الغافالت المؤمنات با والتولي يوم الز وأكل الر
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hindarilah tujuh perkara
yang mencelakakan" Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah! Apa tujuh perkara
itu?" Beliau bersabda, "(yaitu) Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang
yang diharamkan oleh Allah kecuali terdapat alasan yang dibenarkan,
memakan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dan
menuduh zina terhadap perempuan yang baik yang menjaga kehormatan
dirinya serta beriman.(HR. Muslim)
Dilihat dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jetak yang
masih menganut ajaran-ajaran nenek moyang maka peneliti akan meneliti
8
tentang tradisi-tradisi yang tidak ada dasarnya dalam ajaran agama islam,
maka peneliti akan meneliti tentang tradisi perkawinan. Tetapi dalam
penelitian ini peneliti mengambil judul “ PELAKSANAAN IJAB KABUL
PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi
Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang
menjadi objek masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh
masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu?
2. Bagaimana konsep penggunaan sistem perhitungan pelaksanaan ijab
kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh?
3. Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
oleh penulis yaitu :
9
1. Untuk mengetahui pendapat para pelaku, para tokoh agama dan
tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu.
2. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam
perspektif ilmu fiqh
3. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan pelaksanaan ijab kabul
perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembaca tahu bagaimana pendapat-pendapat para pelaku
pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan
waktu.
2. Pembaca tahu persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarat
mengenai pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang.
3. Pembaca tahu hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan
sistem perhitungan waktu berdasarka ilmu fiqh.
10
E. Telaah Pustaka
Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak
bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan
membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap
melestarikan tradisi jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yazid,
2005:249)
Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat
Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, Ia adalah keseluruhan
jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang
dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu
keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan
sisa-sisa kesesatan.(Qardhawi, 2007:333)
Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang
di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim.
Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau jawa telah
dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa Mubaroq dengan judul
Fiqh Lingkungan Sesajen Kali Dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Desa
Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Penelitian ini mengkaji
tentang sesajen kali di masyarakat Jawa dengan kaitannya fiqh lingkungan.
11
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto dengan judul Penggunaan
Petungan Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus di
Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang). Penelitiannya itu
membahas tentang perhitungan untuk memperoleh hari, tanggal dan bulan
yang baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga
penelitian ini masih membahas hari, tanggal dan bulan secara menyeluruh.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isro’i mengambil
judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali). Penelitiannya ini berisi tentang larangan menikah pada bulan
Muharram dikarenakan pernikahan yang dilakukan di bulan tersebut akan
banyak mendapatkan halangan. Dan bulan suro’ adalah bulan keramat. Tetapi
para ulama di desa tesebut menjelaskan bahwa menikah pada bulan itu
merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt, dan dalam pelaksanaannya
pun belum pernah ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi. Dalam hukum
Islam pun tidak pernah membeda-bedakan bulan atau hari-hari ketika akan
melakukan sesuatu hal. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih
khusus tentang “PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN
DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU”.
Setelah meninjau dari beberapa penelitian-penelitian yang telah
dilakukan. Dilihat dari segi lingkungan adapun juga dari tradisi masyarakat
12
Jawa. Maka disini penulis akan meneliti tentang tradisi jawa yang berkaitan
dengan perkawinan tetapi dalam penelitian ini nanti lebih spesifik yaitu
masalah ijab qabulnya, dengan judul “PELAKSANAAN IJAB KABUL
PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi
Kasus di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.
F. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penulis perlu memberikan
penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah. Istilah-istilah tersebut adalah:
1. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk
bersuami istri (dengan resmi).(Poerwadarminta, 2006:800)
Kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan mejadi suami
istri. (Poerwadarminta, 2006:531-532)
Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan.(Fajri dan
Senja :590)
2. Ijab adalah ikrar penyerahan dari pihak pertama
Kabul adalah ikrar penerimaan dari pihak suami.(Syarifuddin,
2006:61)
3. Waktu adalah sekalian rentetan saat yang telah lampau, sekarang,
dan yang akan datang.(Poerwadarminta, 2006:1360)
13
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah field
research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung kelapangan
guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana
tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk
melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi masyarakat, selain itu
penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap gejala secara menyeluruh melalui
pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan dari peneliti sebagai
instrument kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah.(Moleong, 2009:6)
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu masyarakat Jawa
muslim, khususnya di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
14
Semarang dan penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan serta akibat-
akibat yang ditimbulkan pasca ijab kabul perkawinan.
Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan
penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa
social, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di
masyarakat.(Soekanto, 1986:4-5)
2. Kehadiran peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data
yang ada dilapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan
data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah
pahaman antara peneliti dan informan.
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Jetak Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Karena para masyarakat masih percaya dengan
adanya waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan ijab qabul
pernikahan. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk ditelit. Dan sampai
saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang mereka percayai
itu.
15
4. Sumber data
Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini
meliputi:
a. Data premier yang merupakan data yang pokok atau utama yang
digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data di peroleh
dari para pelaku yang melangsungkan ijab qabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu yang terjadi di Desa Jetak.
b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan
untuk melengkapi data premier. Data sekunder biasanya berwujud
data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini
peneliti menggunakan buku-buku primbon atau buku kejawen
sebagai sumber data resmi serta buku fiqh dan juga buku lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam
penelitian ini juga dapat diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh agama maupun masyarakat umum yang tinggal
disekitar orang-orang yang melaksanakan ijab qabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu.
5. Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan pengumpulan data tidak lain dari
16
suatu proses pengadaan data premier untuk keperluan penelitian.(Nazir,
1988:21)
Peneliti menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode observasi atau pengamatan langsung
Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara
pengambilan data dngan menggunakan mata tanpa ada pertolongan
alat standar lain untuk keperluan tersebut.(Nazir, 1988: 212)
Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk
mengetahui keadaan serta kondisi mengenai objek penelitian.
b. Metode wawancara
Metode wawancara ini digunakan untuk memperoleh
beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung
(Surakhmad, 1990:74). Wawancara ini dilakukan dengan acuan
catatan mengenai pokok masalah yang akan di tanyakan. Sasaran
wawancara adalah para pelaku perkawinan yang menggunakan
ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Maupun
keluarga yang melaksanakan perkawinan serta masyarakat Desa
Jetak.
c. Metode dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa
catatan dan data dari kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan
17
Getasan Kabupaten Semarang. Metode ini digunakan sebagai
pelengkap memperoleh data.
6. Analisi data
Setalah data tekumpul semua maka penulis menentukan bentuk
analisa terhadap data-data tersebut.
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.(Nazir, 1988:405)
Analisis data yang digunakan analisis deskriptif penyelidikan yang
menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan mengklasifikasikan
penyelidikan dengan teknik survey, interview dan observasi.(Surakhmad,
1990:139)
7. Pengecekan keabsahan data
Disini penulis menggunakan triangulasi (menggunakn beberapa
sumber, metode, teori) sebagai teknik. Dimana pengertiannya adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
peneliti.(Moleong, 2009:330)
18
8. Tahap-tahap penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama
yaitu pra lapangan, dimana peneliti melakukan penelitian untuk
menetukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada atau tidaknya
pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
Tahap kedua peneliti terjun langsung kelapangan untuk menggali
informasi dan mencari data dari informan, yaitu dengan observasi,
wawancara dan dokumentasi. Tahap akhir pembuatan laporan penelitian
dengan cara menganalisis data dari informan dan juga memaparkan
dengan narasi deskriptif.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II: Kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian ijab qabul,
pengertian perkawinan, dan juga tahap-tahap penentuan ijab qabul
perkawinan dalam masyarakat Jawa dan dalam ajaran Islam.
19
BAB III: Tetang hasil penelitian yaitu praktek ijab qabul dalam perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu, alasan-alasan pelaku
menggunakan terikatnya waktu dan tidak terikatnya waktu dalam
pelaksanaan ijab qabul. Gambaran umum penduduk Desa Jetak dan
persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu
BAB IV: Analisis tentang praktek pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan
sistem perhitungan waktu. Analisis alasan-alasan pelaku
menggunakan sistem perhitungan waktu dan tidak menggunakan
sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab qabul. Analisis
persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
BAB V: Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis.
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.(Tihami dan Sohari, 2010:6)
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al
Qur’an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur’an
dengan arti kawin, (Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa’ ayat 3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
21
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989:115)
Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur’an dalam arti
kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:
...
...
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:673)
Nikah, menurut bahasa: al jam’u dan al dhamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (zawaj) baiasa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya
akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’ual-zaujah) bermakna menyetubuhi
istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga di kemukakan oleh rahmat
hakim bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun”, yang
22
merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya
“tazawwaja” kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam
bahasa Indonesia.
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikaha dengan kata
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata
“kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”. Istilah kawin
digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan
menunjukkan proses generative secara alami. Berbeda dengan itu, nikah
hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum
nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah ikad
atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan
penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari
pihak lelaki). Selain itu nikah bisa juga diartikan sebgai bersetubuh.(Tihami
dan Sohari, 2010:7)
Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi
sendi masyarakat. Undang-undang kutara Manawa memang menyediakan
peratura-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga,
seperti tukon (mahar), perkawinan, perceraian dan pewarisan.(Muljana,
2006:248)
23
Adapun pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam kompilasi
hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sengat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah Swt.
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji
yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan
perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelia perempuan
(istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan
kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan
(dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rosulullah Saw. menjulukinya sebagai
perbuatan halal yang dibenci Allah. Da itulah pula sebabnya mengapa dalam
akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, disamping wali nikah
meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai rukun atau hanya
tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama
(fuqaha).(Amin, 2005:50)
24
B. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan
biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut, (Tihami dan Sohari, 2010:8) di dalam Al Qur’an ada
beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur’an surat An-
Nuur 32:
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989:549)
Dalam Al Qur’an surat an Nisaa’ ayat 1 yang berbunyi:
25
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.(Departemen Agama Republik Indonesia,
1989:114)
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu
adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai
sunnah Allah dan sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum
asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah
berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan
perempuan menjadi mubah.(Syarifuddin, 2006:43)
26
Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung
pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu, perkawinan yang asalnya
mubah, dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) sesuai
perubahan keadaan, (Tihami dan Sohari, 2010:10) yaitu:
1. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah
mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan
nikah.
2. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri.
3. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh islam.
4. Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah
dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
27
Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti
pada satu sisi Nabi Muhammad Saw. menganjurkan para pemuda yang
memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan; sementara
pada sisi yang lain, Nabi melarang keras umat Islam melakukan tabattul
(membujang selamanya).(Amin, 2005:93)
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari
segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam
arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berbeda di luarnya
dan merupakan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan
dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi
rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria
dari unsur-unsur rukun.(Syarifuddin, 2006:59)
28
Pernikakan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain
yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan
akad.(Tihami dan Sohari, 2010:8) Adapun rukun nikah adalah:
1. Mempelai laki-laki;
2. Mempelai perempuan;
3. Wali;
4. Dua orang saksi;
5. Shighat ijab Kabul.
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul
antara yang mengadakan dan menerima akad sedangakan yang dimaksud
syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan Ijab
Kabul.
Syarat-syarat suami
1) Laki-laki
2) Bukan mahram dari calon istri
3) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri
4) Orangnya tertentu, jelas orangnya
5) Tidak sedang ihram
29
Syarat-syarat istri
1) Perempuan
2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah
3) Merdeka, atas kemauan sendiri
4) Jelas orangnya
5) Tidak sedang berihram
Syarat-syarat wali
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Tidak dipaksa
5) Adil
6) Tidak sedang ihram
Syarat-syarat saksi
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Adil
30
5) Dapat mendengar dan melihat
6) Bebas, tidak dipaksa
7) Tidak sedang mengerjakan ihram
8) Memahami bahasa yang dipergunakan Ijab Kabul
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan
yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadi perkawinan tersebut
tidak sah menurut hukum.
D. Akad Nikah Dan Syarat-Syarat Ijab Kabul
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan
perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga.
Karena perasaan ridho dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat
dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk
menunjukkan kemauan untuk mengadakan perikatan bersuami istri.
Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang
mengadakan akad.(Sayyid, 1980:53)
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua (Syarifuddin, 2006:61). Ijab qabul merupakan satu senyawa yang
tidak tidak boleh dipisahkan antara yang satu dari yang lain, bahkan dalam
31
pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara berdampingan
dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain yang tidak
memiliki hubungan dengan proses ijab qabul.(Amin, 2005:54)
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada
suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat (Sayyid, 1980:53), sebagai
berikut:
1. Calon pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan
sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus
sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat.
Itulah sebabnya mengapa orang gila dan anak kecil yang belum
bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah serta
perbuatan yang manfaat dan mudarat, akad nikah tidak dianggap
sah. Dalam rangka persyaratan mumayyiz inilah fiqh munakahat
dan undang-undang perkawinan selalu saja mencantumkan batas
minimal usia kawin (nikah).
2. Ijab qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan
dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan
antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam kalimat lain, ikrar
ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyatan
lain yang tidak ada relevansinya dengan kelangsungan akad nikah
itu sendiri.
32
3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali
kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan
pernyataan persetujuannya lebih tegas.
4. Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau
yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang
mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami
maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan masing-
masing pihak. Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak
memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,
akad nikah dianggap tidak sah.
a) Kata-kata dalam Ijab Qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang
dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah
sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk
nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau
kabur.(Sayyid, 1980:55)
b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa
selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakad baik semua atau salah
33
satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila
kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya
dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi orang yang
mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah
menggunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat
Imam Syafi’i. menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan
kata-kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga
dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan
kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah.
Adapun orang yang tidak pandai bahasa Arab ia boleh menggunakan
bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga
kewajibannya menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.
Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang maknanya sama
dengan lafadz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang
tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul
bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa
Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang
mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir
shalat.(Sayyid, 1980:57)
c) Ijab Qabul Orang Bisu
34
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat
dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan
jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat
dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab
qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab qabul wajib
dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya.(Sayyid, 1980:59)
d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap
mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau
menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang
lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi
dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya
kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa
akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih
dalam satu majlis.(Sayyid, 1980:59)
E. Hikmah Nikah
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana
tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri,
35
masyarakat dan seluruh umat manusia. (Sayyid, 1980:18) Adapun hikmah
nikah adalah:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana
jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia
yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang
jahat.
Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan
sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.
Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang
yang halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS. Ar-
Ruum: 21
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:644)
36
2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan.
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-
sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena
dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan
batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani
tugas-tugasnya.
Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan
memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam direstui,
37
ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
F. Upacara Pengantin Adat Jawa
Hingga sekarang kebanyakan perkawinan di Jawa masih diatur oleh
orang tua mempelai wanita maupun pria. Bahkan kalau seorang anak laki-laki
berpikiran sendiri tentang gadis mana yang akan dinikahinya, ia akan
melaksanakan maksudnya dengan bantuan orang tua, kalau ia bisa
meyakinkan mereka bahwa pilihannya memang bijaksana. Ini masih
merupakan pola yang berlaku di banyak kalangan yang masih tradisional dan
“kolot”, tetapi pola percintaan yang romantis mulai menjadi gangguan yang
makin sering dan terus terjadi di zaman sekarang.(Geertz, 1981: 69) Ketika
jodoh sudah menghampiri, maka pantaslah bila disambut dengan gembira hati
dan suka ria atas anugrah tuhan tersebut. Sebagai calon laki-laki harus berhati-
hati dalam bersikap, bertutur kata dan berpikiran agar kekasih hati calon
pasangan anak calon laki-laki tidak tersinggung atau marah dan merubah
keputusannya. Betapapun, kehadirannya dalam lingkungan keluarga calon
laki-laki adalah baru. Hal ini perlu banyak penyesuaian baik bagi calon laki-
laki, bagi dia, bagi keluarga besar calon pengantin. Tata cara dan adat
tradisional sudah mengajari, bagaimana memperlakukan orang lain, keluarga
orang lain dan masyarakat lain dalam suatu tatanan upacara adat yang agung,
megah dan adiluhung.(Hariwijaya, 2004:14)
38
Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan.
Dalam hal babat alas ini orang tua pemuda merintis seorang congkok untuk
mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah
umumnya disebut nakokake artinya menanyakan.(Bratawijaya, 1997; 139)
Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya
upacara nontoni. Sang pemuda diajak keluarganya datang kerumah sang gadis
pada saat itu pemuda diajak diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis
pilihan orang tuanya. Kesempatan itu ditandai dengan kepura-puraan yang
sama kakunya; gadis itu, kaku karena malu, menghidangkan teh kepada sang
jejaka tanpa berbicara sama sekali, dan jejaka itu memandangnya dari sudut
mata (dalam kasus tradisional, ini adalah saat pertama mereka bertemu) untuk
memperoleh suatu kesan tentang dia. Kalau ia senang apa yang dilihatnya, ia
akan mengatakannya kepada orangtuanya dalam perjalanan pulang dan
pernikahan pun diatur. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan
(“pertemuan”) selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan.(Geertz,
1981; 70)
Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara
nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar keluarga pihak sang
pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang gadis sebagai
peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya
sandangan sapangadek.
39
Menjelang hari pernikahan diadakan upacara srah-srahan atau asok
tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah
perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupaa hasil bumi,
alat-alat rumah tangga, ternak dan kandang-kandang ditambah sejumlah
uang.(Bratawijaya, 1997; 139)
Adapun rangkaian upacara adat pengantin Jawa dari awal sampai
akhir:
a. Upacara Siraman Pengantin Putra Putri
Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (ijab
kabul). Akad nikah dilangsungkan secara/menurut agama masing-
masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara
adat.(Bratawijaya, 1997; 143)
b. Upacara Midodareni
Dalam upacara midodareni pengantin putri mengenakan busana polos
artinya dilarang mengenakan perhiasan apa-apa kecuali cincin kawin.
Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan
sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra
datang ke rumah pengantin putri.(Bratawijaya, 1997; 145)
40
c. Upacara Akad Nikah
Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing.
Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Bagi
pemeluk agama Islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau
mendatangkan penghulu. (Bratawijaya, 1997; 147)
d. Upacara Panggih
Bagian I
Upacara balangan sedah/lempar sirih yaitu pengantin putra dan
pengantin putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan
berjabat tangan tanda saling mengenal.
Bagian II
Upacara Wiji Dadi
Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh
terlebih dahulu kedua pengantin putra.
Bagian III
Upacara sindur binayang yaitu pasangan pengantin berjalan di
belakang ayah pengantin putri, sedangkan ibu pengantin putri berjalan
dibelakang pengantin tersebut
Bagian IV
Timbang (Pangkon) dan disusul Upacara Tanem
41
Upacara Tanem yaitu bapak pengantin putri mempersilahkan duduk
kedua pengantin dipelaminan yang bermakna bahwa bapak telah
merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami
istri.(Bratawijaya, 1997; 148)
G. Menentukan Hari Pernikahan
Upacara khitanan dan perkawinan seperti juga pergantian tempat
tinggal dan semacamnya tampak perlu ditetapkan dengan kehendak manusia.
Tetapi disini pun penetapan secara sembarang harus dihindari dan suatu
tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan
numerologi yang di sebut petungan atau “hitungan”.(Geertz, 1981:38)
Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah
terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu
harmoni, adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek
aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem petungan memberikan
suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian
menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan
cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam
yang akan membawa ketidakuntungan. (Geertz, 1981:39)
Hajat pesta perkawinan merupakan bagian dari prestige dan wibawa
keluarga. Peristiwa ini banyak mendapat perhatian oleh tetangga dan kerabat
42
serta relasi secara luas. Oleh karena itu banyak hal yang harus dipikirkan.
Orang yang pertama mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu
sapisanan atau mbukak kawah. Sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu
ragil atau tumplak-ponjen. Hal ini nantinya membutuhkan persyaratan
perlengkapan uba rampe tertentu, namun pada dasarnya persiapan yang harus
dilakukan sama saja.
Hari yang paling penting untuk segera dipastikan adalah upacara inti
perkawinan, yaitu ijab kabul. Ijab artinya menyatakan. Pihak orang tua
mempelai perempuan menyatakan bahwa si Anu dikawinkan dengan si Ani
dengan maskawin sejumlah tertentu. Kabul artinya menerima atau
mengabulkan. Pihak laki-laki menyatakan menerima pernyataan ijab dari
orangtua mempelai wanita di atas. Hari itu merupakan hari yang paling
penting bagi si Anu dan si Ani karena mereka bersumpah di depan orang tua
masing-masing, para saksi, penghulu dan semua hadirin. Sumpah ini dalam Al
Qur’an disebut Mitsaqan Ghaliza, artinya sumpah yang besar. Dari sumpah
itu menjadi halal semua yang tadinya diharamkan. Dari sumpah itu, tanggung
jawab orang tua mempelai perempuan jatuh sepenuhnya kepada mempelai
laki-laki, sebagai suami dan kepala rumah tangga yang baru.
Oleh karena pentingnya hal di atas, kendati semua hari baik, tapi
masyarakat Jawa umumnya memilih hari yang paling baik. Orang Jawa
percaya adanya hari-hari yang baik dan kurang baik untuk menyelenggarakan
43
upacara Ijab kabul maupun panggih. Ada beberapa hari baik yang baik untuk
ijab maupun panggih, tapi ada hari-hari yang jelek dan sangat tidak
dianjurkan untuk menyelenggarakan acara pada saat itu.
Masyarakat Jawa menyebut pesta perkawinan itu dengan mantu, yang
maksudnya mengantu-antu yang artinya saat yang ditunggu-tunggu.
Sementara pengantin dalam bahasa Jawa adalah pinanganten, yang kata
aslinya berasal dari pepatah pinang dan ganteng. Pinang terdapat pohon yang
tinggi, sementara ganten terdiri dari kapur dan sirih, terdapat pada tumbuh-
tumbuhan di tanah. Pinang dan ganten ini akhirnya menyatu dalam kunyahan
saat orang makan sirih. Istilah ini maksudnya asam di gunung garam di laut,
bertemu dalam belanga. Pengantin perempuan yang berasal dari kultur yang
jauh berbeda akan bersatu dalam sebuah harmoni keluarga yang saling
melengkapi kekurangan masing-masing sehingga tercipta keluarga bahagia.
1. Memilih Hari dan Bulan yang Baik
Dalam menentukan waktu yang baik bagi upacara ijab maupun
panggih calon mempelai itu biasanya diperhitungkan oleh para sesepuh
atau para ahli adat. Orang jawa umumnya mengenal hari-hari dan bulan-
bulan tertentu yang boleh atau tidak boleh menyelenggarakan acara
pernikahan atau pesta lainnya. Berikut ini tabel hari baik dan tidak baik
itu:
44
Bulan yang baik. Bulan-bulan yang cukup baik untuk acara Ijab
Kabul menurut kepercayaan Jawa adalah bulan Jumadiakhir, Rejeb,
Ruwah dan Besar. Waktu untuk acara ijab ini akan lebih baik lagi kalau di
antara bulan-bulan itu ada hari-hari selasa kliwon jum’at kliwon. Kecuali
Suro dan Pasa, bulan-bulan lain yang kurang bagus untuk ijab pun bisa
menjadi bagus kalau di bulan itu ada hari dan pasaran selasa dan jum’at
kliwon.
Sedangkan hari-hari yang tidak boleh dipakai untuk mengadakan
pernikahan yaitu:
Hari Pada bulan
Senin, selasa Besar, Sura, Sapar
Rabu, kamis Mulud, Rabi’ulakhir, Jumadilakhir
Jum’at Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah
Sabtu, minggu Pasa, Syawal, Dzulka’idah
Adapun tanggal-tanggal yang sebaiknya dihindari untuk
mengadakan pernikahan secara umum adalah sebagai berikut:
Tanggal Bulan 06-10 Besar
11-06 Sura
01-20 Sapar
10-20 Mulud
10-20 Rabiulakhir
45
01-11 Jumadilawal
10-14 Jumadilakhir
02-14 Rejeb
12-13 Ruwah
09-20 Pasa
10-20 Sawal
12-13 Dulka’idah
Bulan dan hari yang tidak baik untuk akad nikah
BULAN HARI
Dzulkaidah, jumadilawal Senen kliwon
Besar, jumadilakhir Selasa legi
Sura, rejeb Rabu pahing
Sapar, ruwah Kamis pon
Rabiulawal, puasa Jumat wage
Rabiulakhir, syawal Sabtu kliwon
Sumber: Kitab Primbon Jawa Betaljemur Adammakna
Bulan yang baik dan bulan yang tidak baik menurut buku primbon
jawa:
a) Sura : Jangan dilanggar, karena kalau dilanggar akan mendapat
kesukaran dan selalu bertengkar.
46
b) Sapar : Boleh dilanggar, walau akan kekurangan dan banyak
hutang.
c) Rabiulawal : Jangan dilanggar, karena salah satu akan
meninggal.
d) Rabiulakhir : Boleh dilanggar, walau sering digunjingkan dan
dicacimaki.
e) Jumadilawal : Boleh dilanggar, walau sering tertipu,
kehilangan dan banyak musuh.
f) Jumadilakhir : Kaya akan harta benda.
g) Rejeb : Selamat, serta banyak anak.
h) Ruwah : Selamat dan selalu damai.
i) Puasa : Jangan dilanggar, akan mendapat kecelakaan besar.
j) Sawal : Boleh dilanggar, walau sering kekurangan dan banyak
hutang.
k) Dulkaidah : Jangan dilanggar, karena akan sering sakit.
l) Besar : Kaya, dan mendapat kebahagiaan.
Dari beberapa bulan baik dan tidak baik diatas ada beberapa
catatan yaitu bulan Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar jika memiliki
hari Selasa Kliwon akan baik untuk hajad nikah. Terlebih baik lagi jika
dalam bulan tersebut, ada hari Jum’at Kliwon. Jika tidak memiliki hari
Selasa Kliwon, bulan-bulan tersebut termasuk bulan yang jelek, jangan
47
untuk hajad nikah. Seandainya terpaksa lebih baik dilakukan pada bulan:
Sapar, Rabiulawal, Jumadilawal atau Sawal, asalkan bulan itu ada hari
Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.(Soemodidjojo, tt:21)
2. Memilih Pasaran dan Waktu yang Baik
Selain hari dan bulan, ada waktu baik yang harus di sesuaikan
dengan pasaran lahir bagi seorang calon pengantin putri di bawah ini
daftar pasaran dan waktu yang baik untuk Ijab Kabul:
a. Pengantin putri yang lahir pon jangan ijab kabul pukul 11.00-13.00
b. Pengantin putri yang lahir wage jangan ijab kabul pukul 09.00-
11.00
c. Pengantin putri yang lahir kliwon jangan ijab kabul pukul 06.00-
08.00
d. Pengantin putri yang lahir legi jangan ijab kabul sore pukul 15.00-
17.00
e. Pengantin putri yang lahir pahing jangan ijab kabul pukul 13.00-
15.00
Selain waktu yang dilarang tersebut, adalah waktu yang baik untuk
menyelenggarakan ijab kabul. Waktu-waktu yang dilarang tersebut adalah
waktu naas, yang akan berakibat kurang baik bila dilanggar.(Harawijaya,
2004:31)
48
Sedangkan dalam kitab primbon Jawa betaljemur adammakna
menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul adalah sebagai
berikut:
Hari Siang Pada Jam Malam Pada Jam
Ahad 07.00-14.00 24.00
Senin 11.00 21.00-04.00
Selasa 08.00-15.00 18.00-01.00
Rabu 12.00 22.00-05.00
Kamis 09.00-16.00 19.00-02.00
Jumat 06.00-13.00 23.00
Sabtu 10.00-18.00 20.00-03.00
Table diatas merupakan waktu-waktu yang baik untuk
melangsungkan ijab kabul pernikahan sampai acara peernikahannya.
Selain waktu yang tertera dalam table merupakan waktu-waktu yang tidak
dianjurkan untuk melangsungkan ijab kabul Kabul
pernikahan.(Soemodidjojo, 1994:25)
Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep
metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai,
sebagaimana kesesuaian kunci sama dengan gembok, obat mujarab
dengan penyakit, suatu soal pemecahan dalam soal matematik, serta
49
persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak,
mereka bercerai).
Kalau anda sepakat dengan pendapat saya, kita cocog; kalau
pakaian yang saya pakai sesuai dengan kedudukan kelas saya, pakaian itu
cocog; kalau arti nama saya sesuai dengan watak saya (dan kalau nama itu
membawa keberuntungan), ia dikatakan cocog juga. Dalam pengertian
yang paling abstrak dan luas, dua hal yang terpisah akan cocog apabila
koinsidensi mereka membentuk suatu pola yang estetis. Ia menyatakan
secara tidak langsung suatu pandangan kontrapuntal terhadap alam raya
dimana yang penting hubungan alamiah antara apa yang dimiliki oleh dua
elemen yang terpisah ruang, waktu dan motivasi manusiawi.(Geertz,
1981:39) Waktu larangan tersebut tidak mengikat secara laangsung, tetapi
menurut pengalaman ilmu budi dan ilmu titen yan dimiliki oleh para orang
tua pendahulu kita sangatlah besar pengaruhnya. Sehebat-hebat manusia,
sesakti-sakti manusia, tetap memiliki kelemahan, kekurangan dan saat
yang naas atau pengapesan. Menghindari waktu pengapesan, merupakan
do’a selamat dunia akhirat.(Harawijaya, 2004:32)
H. Penggunaan Hitungan Atau Memilih Hari Baik Dalam Islam
Agama Islam terdapat pula hari-hari baik atau bulan-bulan tertentu
yang diagungkan, karena disitu terdapat sebuah keutamaan-keutamaan
50
tersendiri. Namun, waktu-waktu tertentu digunakan dalam melakukan
puasa seperti: Dzulhijjah, hari Arafah, bulah Ramadhan dam bulan
Muharram.
Bukhari, Abu Daud, Tirmizdi dan Ibnu Majjah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas: Rasulullah Saw bersabda: tidak ada hari-hari yang paling
dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama (di
bulan Dzulhijjah) ini.
Para sahabat bertanya-tanya wahai Rasulullah, tidak dengan jihad
di jalan Allah? Nabi menjawab: tidak pula jihad di jalan allah, kecuali
dengan orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu
tidak akan kembali.(Abdussalam, 2004:177)
Dalam Islam tidak ada bulan-bulan yang sial, semua bulan dalam
Islam masing-masing memiliki keutamaan, namun dikalangan masyarakat
Jawa kadang menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang sial,
sehingga mereka takut untuk melakukan suatu keperluan.
Orang-orang awam biasa menulis ayat-ayat tentang keselamatan di
atas secarik kertas, misalnya ayat “salamun ‘ala nuh fil ‘alamin” pada hari
rabu terakhir bulan safar, kemudin meletakkannya di dalam bejana untuk
diminum airnya dan untuk mencari keberkahannya karena mereka
berkeyakinan bahwa hal ini akan menghilangkan nasib buruk. Ini adalah
51
keyakinan yang sama sekali salah dan harus dicegah. Juga keyakinan akan
tertimpa kesialan jika makan mentega, ikan dan minum susu pada hari
sabtu dan rabu. Semua ini menunjukkan bahwa setan telah mampu
mewujudkan keinginannya di kalangan manusia dan menghidupkan
kembali kebiasaan jahiliyah karena hal tersebut bertolak belakang dengan
ajaran Islam.
Dalam musnad Shahih Bukhari diriwayatkan: Rasulullah bersabda:
thiyarah (menganggap sial karena pertanda dari sebuah kejadian) adalah
syirik.
Thabrani meriwayatkan: bukan termasuk kami orang yang
berthiyarah atau minta untuk berthiyarah, mendukun atau minta untuk
mendukun melakukan sihir atau minta untuk melakukan sihir.
Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: Rasulullah bersabda
”barang siapa siapa orang melakukan suatu keperluan karena thiyarah
maka ia telah musyrik”. Orang-orang bertanya wahai rasulullah apa
kafaratnya? Nabi bersabda membaca:
اللهم ال طيراالطلير والخيراالخير والاله غير
(Abdussalam, 2004:149)
52
Bangsa Arab menganggap bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab sebagai bulan-bulan suci (al asyhur al huram),
karena bulan-bulan tersebut merupakan rentetan waktu pelaksanaan
ibadah haji memuja ka’bah terbesar dan paling suci, yaitu ka’bah makkah
(bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram). Sementara bulan Rajab
adalah waktu pelaksanaan ibadah umrah. (Karim, 1990:9)
Bahwasanya Allah SWT menyuruh kita menghormati bulan-bulan
haram dan menghentikan perbuatan-perbuatan maksiat di dalamnya,
karena kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan itu dosanya lebih
besar dan kezhaliman yang dilakukan pada waktu itu adalah seburuk
buruk kezhaliman. Dan Allah SWT memberitahu mereka bahwa
perbuatan mengubah-ubah dan mengganti aturan agama adalah sejelek-
jelek keburukan, sebagaimana pekerjaan menunda (amal atau taubat)
menambah kekafiran. Allah SWT menetapkan, bahwa mereka wajib
mengikuti perintah-perintah yang telah digariskan oleh Allah dan
meninggalkan larangan-larangan yang dicegah olehNya.(An-Nablusi,
2004:42)
Nabi Muhammad Saw. pernah menikahkan putrinya dibulan
tertentu, namun hal itu memang disengaja dan tanpa mencarinya terlebih
dahulu. Artinya, sebelum menikahkan putrinya Nabi Saw tidak pernah
memilih bulan apa yang cocok yang baik untuk pernikahan putrinya nanti,
53
namun karena memang sudah waktunya menikah hal tersebut dilakukan,
seperti dalam hadist riwayat Imam Muslim:
انا وكيع حدان ا سفيان حدانا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب واللفظ لزهير قاال حد
جني رس بن عروة عن عروة عن عارشة قالت تزو عن إسمعيل بن أمية عن عبد هللا ول هللا
علي صلى هللا ال فأي نساء رسول هللا ال وبنى بي في شو عليه وسلم في شو ه صلى هللا
ال و وسلم كان أحظى عنده مني قال وكانت عارشة تستحب أن تدخل نساءها في شو
سناد ولم يذكر فعل عارشة انا سفيان بهذا ا حداناه ابن نمير حدانا أبي حد
Artinya: Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, & mulai
berumah tangga bersamaku pada bulan Syawal, maka tak ada di antara
istri-istri Rasulullah yg lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku.
Perawi berkata; Oleh karena itu, 'Aisyah sangat senang menikahkan para
wanita di bulan Syawal. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu
Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan
kepada kami Sufyan dengan isnad seperti ini, namun dia tak menyebutkan
perbuatan 'Aisyah. (HR. Muslim No.2551).(Mustofa, 1993:778)
Hal itu berbeda dengan yang terjadi dikalangan masyarakat Jawa
yang sebelum pernikahan dimulai memang sengaja mencari waktu yang
cocok terlebih dahulu dengan keyakinan agar mendapat berkah, terbebas
dari segala marabahaya dalam pesta pernikahannya nanti.
54
I. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi , ‘urf berarti “yang baik”. Para ulama ushul fiqh
membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya
sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan dengan sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional.
Adapun ‘urf menurut ulama ushul fiqh adalah kebiasaan kaum
baik dalam perkataan atau perbuatan. Menurut Mushthafa Ahmad al-
Zarqa’ mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat
lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku pada
kebanyakan orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok
tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku
dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu
yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada
suatu perkawinan biasanya diambil dari mas kawin yang diberikan suami
dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.(Haroen,
1996:137-139)
J. Macam-Macam ‘Urf
1) Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada:
55
a) Al-‘urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
lafal/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat.
b) Al-úrf al ámali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muámalah keperdataan.
2) Dari segi cakupannya, úrf terbagi dua yaitu:
a) Al-úrf al-ám adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.
b) Al-úrf al-khásh adalah kebiasaan yang berlaku di daerah masyarakat
tertentu. (Haroen, 1996:140)
3) Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
a) Al-úrf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tangah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash ayat atau hadist,
tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
mudarat kepada mereka.
b) Al-úrf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’. (Haroen, 1996:141)
K. Syarat-Syarat ‘Urf
‘Urf bisa dijadikan salah satu dalil dalam menetapkan ada
beberapa syarat(Haroen, 1996:143):
56
1) ‘Urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat
perbuatan dan ucapan, berlaku secara umum. ‘Urf itu berlaku mayoritas
kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2) ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul. Artinya, yang akan dijadikan sandaran hukum itu
lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi.
4) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan.
Ushul fiqh menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan
masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah ilmu yang
bersumber dari nash Al Qur’an dan Hadist, sedangkan tradisi atau
kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih dahulu masuk ke
tanah Jawa khususnya.
57
BAB III
HASIL PENELITIAN
Upacara adat Jawa dilakukan demi mencapai ketentraman hidup lahir
batin, dengan mengadakan upacara tradisional itu orang Jawa memenuhi
kebutuhan spiritualnya. Kehidupan ruhaniah orang jawa memang bersumber
dari agama yang diberi hiasan budaya lokal, oleh karena itu, orientasi
keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang
telah diwariskan oleh nenek moyangnya.(Mubaroq, 2009:38)
Begitu juga dengan ritual-ritual dalam adat pernikahan masyarakat
Jawa yang mana masih banyak yang menggunakan sistem numerologi dan
sistem hitungan guna mencari hari yang dianggap baik untuk melangsungkan
pernikahan. Biasanya orang tua kedua calon mempelai yang mencari hitungan
tersebut dengan meminta bantuan kepada dukun. Namun, kadangkala hanya
dari pihak perempuan yang menentukan, sebab upacara pernikahan bersamaan
dengan upacara akad nikah dilangsungkan di rumah pihak pengantin
perempuan.
58
A. Gambaran Umum Penduduk di Desa Jetak Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang
1. Letak geografis Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang
Desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang merupakan
sebuah desa yang cukup ramai terletak di bawah kaki gunung merbabu,
jalannya naik turun dan udaranya sejuk. Namun demikian, para warga yang
tinggal di desa tersebut sangat ramah. Walaupun desa Jetak ini jauh dari pusat
pemerintahan kecamatan, akan tetapi akses menuju desa Jetak ini cukup
mudah. Sehingga mempermudah perjalanan penulis dalam melakukan
penelitian.
Adapun luas desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang
sampai dengan bulan Oktober tahun 2013 adalah 294. Ha, yang terdiri dari
hutan, ladang dan pemukiman. Sedangkan batas-batas wilayah desa Jetak
adalah
a. Sebelah utara : Desa Samirono Kecamatan Getasan /
Kelurahan Kumpul Rejo Kecamatan Argomulyo
b. Sebelah selatan : Desa Patemon Kecamatan Tengaran / Desa
Jlarem Kecamatan Ampel
c. Sebelah barat : Desa Tajuk Kecamatan Getasan
59
d. Sebelah timur : Desa Randuacir Kecamatan Argomulyo
Sedangkan orbitasi atau jarak dari pusat pemerintahan adalah
1) Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan : 5 km
2) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Negara : 1400 km
3) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Kabupaten : 33 km
4) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Provinsi : 54 km
2. Keadaan administratif
Desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang mempunyai
penduduk yang berjumlah 3820 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
1154 KK.
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Keterangan Jumlah 1. Laki-laki 1946 Jiwa 2. Perempuan 1874 Jiwa
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
Untuk memperlancara kegiatan administrasi pemerintah, di desa Jetak
terdapat perangkat desa, mulai dari kepala desa hingga ketua RT (Rukun
Tetangga). Desa Jetak tebagi dalam dua belas dusun yaitu Setugur, Gajian,
Jayan, Dukuh, Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok,
60
Kendal yang masing-masing dusun mempunyai satu ketua RW dan beberapa
RT.
Tabel 3.2 Jumlah Perangkat Desa/ Kelurahan
No. Keterangan Jumlah 1. KASI, KAUR 5 Orang 2. KADUS 12 Orang 3. BPD 5 Orang
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
Tabel 3.3 Pembinaan RT/RW
No. Keterangan Jumlah 1. Rukun Tetangga (RT) 33 Orang 2 Rukun Warga (RW) 13 Orang
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
Tabel 3.4 Jumlah Kelembagaan Desa/ Kelurahan
No. Keterangan Jumlah 1. LKMD 8 Orang 2. PKK 67 Orang 3. Karang Taruna 27 Orang
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk desa Jetak tidak
menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka hidup
rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap
gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa, misalnya kerja bakti,
hajatan perkawinan dan kematian. Selain itu di desa Jetak ini juga ada tradisi
61
nyadran berupa ziarah kubur yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban dan ada
juga tradisi saparan yang dilaksanakan di bulan Safar. Tradisi ini tetap
mereka jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat
desa Jetak sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang
mereka.
Di desa Jetak mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun ada
juga yang beragama Kristen dan Budha. Tetapi dalam kehidupan mereka
saling menghormati terhadap pemeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya
yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas tidak ada penindasan/
pengucilan terhadap warga minoritas, mereka hidup rukun berdampingan.
Tabel 3.5 Jumlah Sarana Ibadah
No. Keterangan Jumlah 1. Masjid 14 Buah 2. Mushola 4 Buah 3. Gereja 3 Buah 4. Wihara 1 Buah
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
Dengan berbagai adanya kegiatan-kegiatan keagamaan serta masih
dilakukannya tradisi-tradisi adat Jawa tidak membuat penduduk terpecah
belah. Masih adanya tradisi-tradisi seperti itu mempercayai hari-hari baik
dalam pernikahan maka ajaran-ajaran agama yang mayoritas Islam belum bisa
dilaksanakan dengan tegas, namun masih banyak pemakluman dan
62
memasukkan budaya sebagai media dakwah. Selain itu mereka sangat
menghargai akan warisan para leluhur atau nenek moyang yang berupa
kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa.
Dengan sikap di masyarakat tersebut menjadikan pemeluk agama
terkesan lebih toleran dan tidak membedakan antara syari’at dan budaya,
kondisi keagamaan yang demikian menjadikan para warga yang masih
percaya terhadap datangnya keselamatan jika dalam pelaksanaan ijab kabul
tepat dengan hari-hari baik maupun jam-jam yang baik untuk melakukannya.
4. Tingkat Pendidikan
Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang di dapatkan oleh setiap
manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan mencari ilmu
yang hukumnya wajib dalam ajaran agama Islam. Namun, dengan kondisi
ekonomi yang serba pas-pasan bahkan kurang layak menjadikan seseorang
tidak mendapatkan pendidikan yang baik.hanya sebagaian masyarakat yang
mampulah yang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi.
Tabel 3.6 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak
No. Keterangan Jumlah 1. Taman Kanak-Kanak 144 Orang 2. Sekolah Dasar 1167 Orang 3. SMP 334 Orang 4. SMU/SMA 289 Orang 5. Akademi/ D1-D3 62 Orang 6. Sarjana 43 Orang
63
Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem
Perhitungan Waktu
1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan Dengan System
Perhitungan Waktu
Dalam pernikahan ijab kabul merupakan rukun dari nikah yang harus
dilaksanakan. Di desa Jetak pelaksanaan ijab kabul pernikahan ini
menggunakan sistem perhitungan waktu. Dan hasil dari wawancara beberapa
pelaku ijab kabul pernikahan yang menggunakan sistem perhitungan waktu
ini sebagai berikut:
Tabel 3.7 Hasil Wawancara Kepada Masyarakat
No. Nama Agama Jenis kelamin Rt/Rw Keterangan 1. Sarwono Islam Laki-laki 9/III Tidak setuju,
dalam Islam tidak ada
2. Mujiono Islam Laki-laki 9/III Tidak setuju, semua waktu itu baik
3. Bejo trimo Islam Laki-laki 9/III Tidak setuju, dalam syari’at islam tidak ada
4. Hardiyono kemin
Islam Laki-laki 9/III Tidak setuju di syari’at islam tidak ada, adanya dalam adat hindu budha
5. Sukimin Islam Laki-laki 9/III Tidak setuju, dalam islam tidak ada, terlalu ribet
64
6. Jarwono Islam Laki-laki 8/III Setuju, ajaran nenek moyang
7. Tukimin Islam Laki-laki 8/III Setuju, menggunakan waktu sudah di peritungkan
8. Suparno Islam Laki-laki 8/III Setuju, peninggalan dari nenek moyang
9. Wagimin Islam Laki-laki 8/III Setuju, supaya terhindar dari bahaya
10. Sumarto pupon
Islam Laki-laki 8/III Setuju, ikut ajaran nenek moyang
11. Sulastri Islam Perempuan 4/I Setuju, sudah tradisi
12. Zulaikah Islam Perempuan 4/I Setuju, ikut dengan orang tua
15. Parji Islam Laki-laki 4/I Setuju, sudah adat tradisi
16. Dwi agustina
Islam Perempuan 4/I Tidak setuju, ajaran Islam tidak ada
17. Sumiyati Islam Perempuan 3/I Setuju, supaya terhindar dari bahaya
18. Sutrisni Islam Perempuan 2/I Setuju, tradisi dan peninggalan nenek moyang
18. Suwarno Islam Laki-laki 4/I Setuju, supaya pernikahannya lancar tidak terjadi apa-apa
19. Sri kurniawati
Islam Perempuan 3/I Tidak setuju, tidak percaya dengan hal-hal seperti itu
20. Sunato trimo
Islam Laki-laki 2/I Setuju, agar tidak terjadi marabahaya dalam pernikahan
65
21. Martono bolot
Islam Laki-laki 2/I Setuju, pernikahan lancar
22. Sri lestari Islam Laki-laki 2/I Tidak setuju, dal Islam tidak ada dan tidak percaya
23. Mulyadi Islam Laki-laki 3/I Setuju, menghindari hari naas
24. Masykur Islam Laki-laki 2/I Setuju, dalam jawa sudah ada hitungannya
25. Sri wahyuni
Islam Laki-laki 2/I Setuju, sudah adat tradisi
26. Abadi Islam Laki-laki 3/XII Tidak setuju, di sesuaikan jam kantor dengan yang simpel
27. Trimo Islam Laki-laki 1/XIII Setuju, ajaran nenek moyang
28 Tukiman Islam Laki-laki 2/XIII Setuju, ikut orang tua
29. Marjo Islam Laki-laki 2/XIII Setuju, menghindari hari naas
30. Sutrisno Islam Laki-laki 2/XIII Setuju, sudah tradisi
Dari hasil wawancara dan penelitian di desa Jetak banyak yang masih
menggunakan tradisi seperti itu. Dari 30 responden terdapat 8 responden yang
tidak setuju dengan penggunaan pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan
sistem perhitungan waktu Sedangkan 22 responden menyatakan setuju dengan
ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Jika diukur
menggunakan prosentase 82 % menyatakan setuju dan 18 % menyatakan
66
tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem
perhitungan waktu.
2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu Dalam Pelaksanaan Ijab
Kabul Pernikahan
Dari hasil wawancara kepada masyarakat desa Jetak dapat di ambil
beberapa alasan kebanyakan orang menggunakan waktu dalam pelaksanaan
ijab kabul pernikahan. Adapun alasan-alasan yang banyak masyarakat
ucapkan yaitu sebagai berikut:
a. Masyarakat menggunakan waktu balam melaksanakan ijab kabul
pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun yang
diwariskan oleh para nenek moyang dahulu.
b. Dengan menggunakan penentuan waktu palaksanaan ijab kabul
pernikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari semua
ancaman marabahaya.
c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu untuk
melaksanakan ijab kabul pernikahan mereka harus
menggunakannya, selain dalam pernikahan pun mereka juga harus
menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik, jika
dilanggar dipercaya akan mendapatkan marabahaya.
67
d. Bagi masyarakat yang anti menggunakan waktu dalam
pelaksanaan ijab kabul pernikahan mereka menganggap dalam
syariat islam tidak ada.
e. Bagi masyarakat yang anti menggunakan waktu-waktu baik,
mereka beralasan semua waktu itu baik, tidak ada waktu yang
tidak baik tinggal yang punya hajat itu mantab dan yakin tidak ada
ancaman marabahaya.
3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik Dalam Pelaksanaan Ijab
Kabul Pernikahan di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang
Dari hasil observasi dan wawancara terhadap warga Desa Jetak cara
untuk menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan
ternyata dalam menentukan waktu ijab kabul pernikahan di Desa Jetak hanya
ada satu, karena dari beberapa dusun yang yang menjadi tokoh masyarakat
hanya satu yang dijadikan panutan dalam menentukan waktu melaksanakan
ijab kabul pernikahan, Selain itu juga dalam semua hajatan. Di desa Jetak
tokoh masyarakat yang paling sering di mintai tolong yaitu Mbah Sabar yang
bertempat tinggal di dusun Kendal. Mbah Sabar menggunakan buku primbon
yang berjudul primbon jayabaya, beliau menggunakan buku itu untuk
menentukan waktu maupun hari yang dianggap baik. Mbah Sabar dalam
68
menentukan waktu dan hari baik, beliau menggunakan ciri-cirinya tahun,
yaitu sebagai berikut:
1) Tahun Alip
Sasi suro rebo wage
Seloso pon ora keno samu barang gawe
Kamis pon
Jum’at legi
2) Tahun Ehe
Sasi suro ahad pon
Sabtu pahing ora keno samu barang gawe
Senin pahing
Seloso kliwon
3) Tahun Jem awal
Suro jum’at pon
Kemis pahing ora keno samu barang gawe
Sabtu pahing
Ahad kliwon
4) Tahun Je
Suro seloso pahing
Senin legi ora keno samu barang gawe
Rebo legi
69
Kemis wage
5) Tahun Dal
Sabtu legi ora keno samu barang gawe
Jum’at kliwon
Minggu kliwon
Senin pon
6) Tahun B
Suro kemis legi
Rebo kliwon ora keno samu barang gawe
Jum’at kliwon
Sabtu pon
7) Tahun wawu
Suro senin kliwon
Minggu wage ora keno semu barang gawe
Seloso wage
Rebo pahing
8) Tahun Jem akhir
Suro jum’at wage
Kemis pon ora keno semu barang gawe
Sabtu pon
Minggu legi
70
Dalam perhitungan tahun ini pergantiannya setiap 8 tahun sekali atau
sewindu. Sedangkan untuk perhitungan waktu pelaksanaannya ijab kabul
pernikahan Mbah Sabar sudah menentukannya waktu-waktu yang tepat untuk
melangsungkannya yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.8 Daftar Waktu-Waktu Yang Tepat Untuk Ijab Kabul
Pernikahan
No. Hari Jam/Waktu
1. Senin 11.00
2. Selasa 14.00
3. Rabu 10.00 dan 22.00
4. Kamis 07.00 dan 08.00
5. Jum’at 10.00
6. Sabtu 11.00
7. Minggu 07.00 dan 08.00
Sumber Data: hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 23 Juni
2014
71
Penggunaan waktu dan hari baik tidak hanya dilakukan untuk hajatan
pernikahan saja tetapi dalam mendirikan rumah atau bangunan masyarakat
juga menggunakan hari dan waktu yang baik pula. Sedangkan pada bulan
Suro atau Muharram tidak ada orang yang mempunyai hajatan pernikahan dan
juga untuk mendirikan rumah ataupun bangunan karena mereka takut kalau
mendapat malapetaka dan marabahaya dan dari nenek moyang dulu tidak ada
yang melangsungkan kegiatan atau hajatan pada bulan Suro atau Muharram.
(hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 23 juni 2014)
4. Persepsi Tokoh Agama Dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul
Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu
Dari hasil wawancara kepada tokoh agama dan juga tokoh masyarakat
desa Jetak kebanyakan penduduk sangat berpegang teguh kepada tradisi-
tradisi Jawa. Apa lagi dalam hal pernikahan mereka sangat berhati-hati dalam
persiapan pelaksanaan sampai pada acara pernikahannya.
Misalnya menurut pendapat Mbah Sabar selaku tokoh masyarakat dan
orang yang menganggap dukunnya desa, beliau mengatakan bahwa
“pelaksanaan ijab Kabul pernikahan terikat waktu itu sangat penting sekali
karena yang namanya pernikahan adalah hal yang paling sakral dalam
penduduk desa Jetak karena penduduk desa tidak mau nantinya dalam rumah
tangganya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti halnya dalam
72
mencari rejeki tidak lancar, terjadi perselisihan terus dalam berumah tangga,
dan yang ditakutkan lagi kalau sampai adanya perceraian”.
Jadi menurut Mbah Sabar menggunakan waktu-waktu yang baik
dalam pelaksanaan ijab Kabul pernikahan memang sangat diperlukan. Namun
ada pula tokoh agama yang setuju juga dengan pendapat Mbah Sabar yaitu
Bapak Jono, beliau seorang tokoh agama yang selalu ingin melestarikan
tradisi-tradisi jawa seperti halnya tradisi dalam pernikahan. Beliau juga
mengemukakan pendapatnya kalau semua masyarakatnya selalu dihimbau
untuk bisa melestarikan tradisi-tradisi seperti itu karena itu merupakan ajaran-
ajaran dari nenek moyang kita, asalkan saja tidak bertentangan dengan
syariat-syariat Islam.
Sedangkan menurut Pak Sualim sebagai tokoh agama juga beliau tidak
setuju dengan tradisi-tradisi seperti itu karena kata beliau dalam syariat Islam
tidak ada ajaran seperti itu, ajaran seperti adanya cuma di agama Hindu dan
Budha, jadi beliau tidak percaya dengan sepeti hal-hal seperti itu. Menurut
beliau semua waktu dan hari itu baik, tidak ada waktu atau hari yang sial.
Tetapi semua masyarakat masih tetap percaya dengan hal-hal yang mistik itu,
seperti halnya pada bulan Muharram atau biasanya orang mengatakan bulan
Suro, mereka tidak berani mengadakan kegiatan apapun dan juga hajat
apapun.
73
Dalam hal penggunaan waktu dalam pelaksanaan ijab Kabul
pernikahan di desa Jetak masyarakatnya menggunakan waktu sebagai
penentuan palaksanaan ijab kabul pernikahan, tidak hanya pernikahan saja,
semua hajatan apapun juga mwnggunakan waktu-waktu yang baik. Dusun
Kendal mayoritas menggunakan waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan
hajatan. Dan dari semua dusun pun belum pernah ada yang melanggar waktu-
waktu yang dianggap sial, karena mereka takut akan terjadi suatu hal yang
tidak diinginkan dan terjadinya marabahaya dan mereka selalu menghindari
hari-hari sial atau hari-hari na’as.
74
BAB IV
ANALISIS
A. ANALISIS PENGGUNAAN PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU DALAM TINJAUAN ILMU FIQH
Fiqh menurut bahasa artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan
tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama (Islam) karena
kemuliaannya.(Zuhri, 2009:9). Sedangkan ilmu fiqh adalah ilmu yang
membicarakan tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang
penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-
dalil yang terperinci dalam nash Al Qur’an dan Hadist. (Koto, 2009:2)
Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia . senyampang ia tidak
bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan menjustifikasi
(membenarkan)-nya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap
melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yasid,
2005:249)
Di pulau Jawa banyak sekali budaya dan juga tradisi-tradisi zaman
dulu, salah satunya kebudayaan atau tradisi tersebut adalah adanya
penggunaan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Mereka
melakukan itu untuk menentukan waktu-waku yang mereka anggap baik
75
dalam pelaksanaan ijab Kabul pernikahan, selain itu digunakan untuk
membangun rumah dan untuk berpindah rumah.
Namun pada zaman sekarang ini masyarakat Jawa masih menganut
dengan tradisi atau budaya semacam itu dikarenakan adanya berbagai macam
alasan yaitu supaya tidak terjadi marabahaya dalam pelaksanaan pernikahan
serta agar terjalinnya keharmonisan dalam berumah tangga dan untuk
menjaga budaya atau tradisi nenek moyang para leluhur. Tetapi dengan
adanya tradisi tersebut sering disalah artikan dengan mempercayai hal-hal
yang ghaib dan mengadakan ritual-ritual seperti sesajen dan mendatangi
makam para sesepuh dengan membawa sesajen untuk dimintai pertolongan.
Hal ini yang menjadikan suatu kebudayaan itu menjadi rusak dikarenakan
perbuatan-perbuatan yang syirik itu. Dan masih percayanya masyarakat
dengan perkataan-perkataan dukun yang menentukan waktu-waktu yang baik.
Perkembangan Islam memang selalu terbuka dengan ranah sosial
masyarakat, ajaran agama Islam sangat terpengaruh dengan budaya
masyarakat pada zaman dan tempat, bahasa al Qur’an dengan bahasa arab itu
adalah salah satu bukti bahwa ajaran agama Islam itu membuka diri dengan
kearifan budaya lokal dengan menggunakan bahasa yang sudah melekat pada
kaum yang telah mengenal bahasa itu sebelum Islam diturunkan. Masuknya
Islam ke tanah Jawa tidak mudah karena masyarakat Jawa sangatlah kental
dengan budaya keraton yang masih beragama Hindu dan Budha dan ditopang
76
dengan masyarakat bawah yang masih sangat kental dengan aliran dinamisme
dan animisme. Agama Islam masuk ke tanah Jawa juga dipermudah dengan
konsep agama Islam yang equality atau persamaan derajat yang pada masa itu
masih ada perbedaan kasta. Syi’ar agama islam dapat dibedakan menjadi dua
yaitu nonkompromis dan kompromis, ajaran Islam tidak lepas dari peran para
wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga adalah
salah satu dari beberapa tokoh penyebaran agama Islam di tanah Jawa, beliau
memasukkan muatan-muatan ajaran agama Islam pada budaya-budaya yang
ada, contohnya adalah pagelaran “wayang”, masyarakat jawa sangat kental
dengan sesajen karena agama asli orang Jawa adalah animisme dan dinamisme
suatu paham yang mempercayai adanya roh-roh nenek moyang yang memiliki
kekuatan mistik dan menempati pada suatu tempat yang dianggap keramat,
namun budaya yang demikian itu tidak ditolak secara mentah oleh Sunan
Kalijaga, namun dirubah mulanya tanpa harus menolak budaya yang ada.
(Mubaroq, 2009:58)
Begitu juga dalam menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan
ijab kabul. Dalam agama Islam semua waktu itu adalah baik, tidak ada waktu-
waktu sial. Seperti halnya dalam melaksanakan hajat pernikahan itu bisa
dilakukan kapan saja. Tidak ada waktu-waktu tertentu dalam pelaksanaan ijab
kabul pernikahan yang mana dilarang untuk melakukan ijab kabul pernikahan.
Karena pernikahan itu adalah sunnatullah yang mana sangat dianjurkan Allah
77
Swt. Dalam syarat dan rukun ijab kabul pernikahan yang tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang ijab
kabul tidak menyebutkan ijab kabul pernikahan tersebut harus dilakukan pada
waktu-waktu tertentu dan tidak disebutkan pula tentang larangan ijab kabul
pernikahan pada waktu-waktu tertentu. Jadi tidak ada peraturan tertentu yang
melarang sebuah ijab kabul pernikahan yang dilakukannya terikat waktu.
Dalam kaidah-kaidah hukum Islam ada salah satu kaidah yang penting
dalam melakukan suatu kegiatan yaitu kaidah niat yang berbunyi:
االموربمقاصدها
Artinya: Segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya.
Niat yang terkandung didalam hati seseorang saat melakukan
amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum
amal amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan
peribadahan maupun dengan adat kebiasaan.(Tamrin, 2010:26) Sedangkan
landasan hukum niat yaitu Al Qur’an dan Hadist. Dalam firman Allah Swt.
Qs. Al bayyinah: 5
78
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus. (Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989:1084)
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin
Khathab, Nabi Saw. Bersabda:
حفص عمر بن الخطاب رضي هللا عنه قال : سمعت رسول هللا أمير المؤمنين أبي عن انت صلى هللا عليه وسلم يقول : إنمااألعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى . فمن ك
رته إلى هللا ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو هجرته إلى هللا ورسوله فهج امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه (رواه البخاري مسلم)
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar Bin Al Khattab
Radiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) allah dan rasul-nya. Dan siapa yang hijrahnya
79
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain tidak menggunakan ladasan dari kaidah hukum fikih semua
yang dilakukan dengan tidak didasari dengan mengharap ridho Allah Swt
maka perbuatan itu dianggap perbuatan yang syirik. Padahal perbuatan syirik
merupakan dosa yang paling besar.
Akan tetapi masyarakat Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang tetap tidak berani melaksanakan ijab kabul pernikahan dengan
sistem perhitungan waktu. Hal ini karena adanya kepercayaan yang turun
temurun dari zaman dulu bahwa ijab kabul penikahan yang dilakukannya
dengan asal-asalan tidak dengan waktu-waktu tertentu maka dalam kehidupan
rumah tangganya takut akan tidak harmonis dan rejekinya tidak lancar, maka
di masyarakat desa tersubut sampai sekarang ini belum pernah ada yang
melanggar kepercayaan-kepercayaan tradisi itu.
Dalam Islam hal-hal seperti itu disebut thiyarah, yaitu meramalkan
bernasib sial karena melanggar sesuatu. Padahal yang berkuasa menentukan
nasib setiap orang adalah Allah Swt. Jadi apabila manusia tidak percaya
dengan kekuasaan Allah Swt. maka dia itu termasuk golongan orang musyrik.
80
Dan sesungguhnya Allah Swt telah berfirman dalam Qs. Yasin: 19 yang
berbunyi:
Artinya: Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah
karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib
malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".(Departemen
Agama Republik Indonesia, 1989:708)
Kesialan, keburukan sebetulnya itu adalah dari perbuatan manusia
sendiri yaitu adanya sifat kekufuran, keingkaran, dan permusuhahan kalian
terhadap Allah Swt. dan Rasul-Nya.(Qardhawi, 2007:345)
B. ANALISIS PRAKTEK MENGHITUNG ATAU MEMILIH WAKTU
BAIK
Dalam menggunakan sistem perhitungan untuk memilih waktu yang
baik dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat desa Jetak ada satu dukun yang dianggap masyarakat bisa
dijadikan panutan dalam menentuka waktu-waktu yang baik dalam
pelaksanaan ijab kabul penikahan. Untuk penentuannya dukun itu
menggunakan tanggal kelahiran, harridan pasaran kedua calon mempelai yang
81
mau menikah. Tetapi sekarang menggunakan kelahiran calon perempuannya
saja.
Bagi Mbah Sabar salah satu dukun yang ada di Desa Jetak dalam
memilih waktu yang baik biasanya yang punya hajat sudah punya pilihan
waktu sendiri dan dating ke dukun hanyalah untuk berkonsultasi. Dalam hal
ini Mbah Sabar hanya membukakan buku catatannya dan melihat bulah Jawa
dan hari serta bertanya tentang kelahiran calon perempuan.
Praktek hitungan Jawa tidak semua orang dapat memahaminya, namun
hanya orang-orang tertentulah yang mampu memahaminya seperti orang yang
sudah tua umurnya atau yang dituakan dilingkungan tempat tinggalnya.
Kebanyakan orang-orang muda tidak memahami bagaimana cara menentukan
atau memilih waktu yang baik untuk melaksanakan ijab kabul pernikahan.
Jika orang-orang yang paham mau untuk mengajarkan kepada yang
muda tentunya tradisi Jawa ini akan tetap lestari asalkan tidak bercampur
dengan adanya unsure-unsur mistik. Dampak adanya sistem perhitungan
waktu pelaksanaan ijab kabul pernikahan ini adalah masyarakat dan keluarga
yang ingin mempunyai hajat menjadi tenang dari berbagai ancaman
marabahaya mistik dan terpeliharanya budaya nenek moyang, namun dapat
pula berdampak terhadap perilaku mistik yang sampai keperbuatan
82
menyekutukan tuhan dan perbuatan seperti ini jelas dilarang dalam Syari’at
Islam.
C. ANALISIS PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP
PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN YANG TERIKAT
OLEH WAKTU
Islam masuk di tanah jawa setelah ajaran agama Hindu dan Budha,
banyak kebudayaan-kebudayaan yang muncul pada zaman Hindu dan Budha.
Tradisi menentukan waktu yang baik merupakan salah satu ajaran dari Hindu
dan Budha. Di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang masih
menggunakan tradisi-tradisi menggunakan waktu-waktu yang di anggap baik.
Mereka menggunakan waktu yang baik untuk melaksanakan berbagai acara
hajatan salah satu hajatan yang menggunakan yaitu dalam acara ijab kabul
pernikahan. Dari hasil wawancara dan penelitian di desa Jetak banyak yang
masih menggunakan tradisi seperti itu. Dari 30 responden terdapat 8
responden yang tidak setuju dengan penggunaan pelaksanaan ijab kabul
penikahan terikat oleh waktu. Sedangkan 22 responden menyatakan setuju
dengan ijab kabul pernikahan terikat waktu. Jika di ukur menggunakan
prosentase 82 % menyatakan setuju dan 18 % menyatakan tidak setuju dengan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan terikat waktu.
83
Dari responden yang menyatakan setuju dengan pelakanaan ijab kabul
pernikahan terikat waktu beralasan sudah merupakan tradisi dan warisan
nenek moyang. Ada pun yang mengatak menggunakan tradisi seperti itu
supaya nanti dalam pernikahannya lancar, tidak terjadi marabahaya dan
mendapat kemantapan dalam acara ijabnya nanti. Sedangkan yang tidak setuju
beralasan dalam ajaran Islam tidak ada, kebanyakan yang mengatakan tidak
setuju yaitu mereka yang telah mendapat pendidikan keagamaan yang cukup.
Tidak hanya dalam hajatan pernikahan saja mereka tidak setuju tetapi semua
hajatan yang menggunakan tradisi Jawa mereka tidak setuju dan dalam ajaran
Islam pun tidak ada. Namun ada beberapa orang yang anti dengan adat atau
tradisi seperti itu tetapi mereka tetap menggunakan karena mengikuti saran
orang tuanya dan juga nenek atau kakeknya. Sedangkan bagi yang setuju
kebnyakan dari orang-orang tua yang sangat menghormati adat-adat kejawen.
Dengan alasan untuk menghormati dan menghargai warisan para leluhur.
Adapun tokoh agama yang setuju juga dengan tradisi seperti itu dengan
beralasan untuk menghormati juga warisan para leluhur asalkan dalam
menentukuannya tidak ada unsur-unsur yang menjerumus kedalam
kemusyrikan, seperti adanya sesajen atau menyembah-nyembah roh-roh
halus, sampai sekarang ini tradisi pelaksanaan ijab kabul pernikahan terikat
oleh waktu masih digunakan.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak sekali kebudayaan atau tradisi yang masuk di tanah Jawa, itu
disebabkan karena Islam masuk di tanah Jawa setelah agama Hindu dan
Budha. Ajaran Hindu Budha banyak sekali mengajarkan tentang kebudayaan
atau tradisi, maka kebanyakan orang pada zaman sekarang ada sebagian orang
yang menganggap ada Islam kejawen, karena adanya ajaran-ajaran agama
Islam yang tidak ada dalam syari’at Islam tetapi ajaran itu masuk kedalam
tradisi atau kebudayaan. Seperti tradisi yang ada di Desa Jetak yaitu
pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang terikat oleh waktu.
Dari sini peneliti dapat mengambil kesimpulan dengan adanya tradisi
tersebut:
1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh waktu,
yaitu:
a. Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan pelaksanaan
ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun
yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu.
85
b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan ijab
kabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari
semua ancaman marabahaya.
c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu
pelaksanaan ijab kabul pernikahan, mereka harus
menggunakannya. Selain dalam hajat pernikahan pun mereka juga
harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik,
jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan marabahaya.
2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang pelaksanaan
ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu sangatlah
beragam, dari yang setuju dengan alas an supaya mendapat
kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan nenek
moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang tidak
setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem perhitungan
waktu karena mereka beralasan dalam syari’at Islam tidak ada.
3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan
masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah ilmu
yang bersumber dari nash Al Qur’an dan Hadist, sedangkan tradisi
atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih dahulu masuk
ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di tanah Jawa yang di
bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari tradisi-tradisi Jawa. Para
86
wali memasukkan ajaran Islam ke jawa dengan muatan-muatan
budaya Jawa. Jadi dengan adanya budaya-budaya Jawa tidak bisa
ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih yang bersumber dari
syari’at Islam. Tradisi tersebut termasuk dalam ‘urf al-fasid karena
dalam pelaksanaannya masih menggunakan unsur-unsur mistik.
B. Saran
1. Untuk tokoh agama agar bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang
lebih mendalam lagi kepada masyarakat desa mengenai bertentangannya
dengan tradisi atau kebudayaan yang bisa menimbulkan ke arak
kesyirikan.
2. Untuk para tokoh agama yang mempunyai argumen yang berbeda
diharapkan tetap bisa menjadi panutan bagi masyarakat yang masih
membutuhkan ajaran-ajaran agama yang islam supaya dalam lingkup
masyarakat mempunyai satu tujuan yaitu mengharap ridho allah dan tidak
adanya perbedaan antara satu dengan yang lain.
3. Untuk para masyarakat desa yang telah mempunyai tingkat pendidikan
agama yang lebih, bisa mengajarkan kepada masyarakat desa yang tingkat
pendidkan agamanya masih kurang agar bisa mengetahui mana tradisi
yang memang tidak melanggar syari’at agama Islam dan yang melanggar
syari’at Islam.
87
Dengan adanya tradisi yang ada dalam masyarakat desa Jetak dan
adanya beberapa pemeluk agama yang berbeda, diharapkan juga dengan
adanya tradisi masyarakat bisa hidup rukun dan selalu melestarikan
kebudayaan atau tradisi sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nablusi, Imam Abdul Ghani. 2004. Keutamaan Hari dan Bulan Dalam Islam.
Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
An-Naisaaburii, Imam Abil Husain Muslim bin Khajjaj Al Qusairi. Shahih Muslim
Jilid 4.
Asy-Syaqiry, M. Abdussalam Khadr. 2004. Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunnah.
Cet. III. Jakarta: Qisthi Press.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Cet.
I. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Cakraningrat, Harya. 1994. Primbon Betaljemur Adammakna. Yogyakarta:
Soemodidjojo Mahadewa.
Clifordz Geertz. 1960. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama Republik INDONESIA. 1989. Al Qur’an Dan Terjemahan.
Bandung: Gema Risalah Press.
Fajri, Em Zul Dan Ratu Aprilia Senja, tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Indonesia Difa Publisher.
Harawijaya, M. 2008. Tatacara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa.
Yogyakarta: Hanggar Creator.
Haroen, Nasrun, Haji. 1996. Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Logos Publishing House.
Karim, Kholil Abdul. 2003. Syari’ah Sejarah, Perkelahiran, Pemakaman. Cet. I.
Yogyakarta: LKiS.
Koto, Prof. Dr. H. Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Moleong, Lexyj. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Mubaroq, Mikdad Musa. 2009. Fiqh Lingkingan Sesajen Kali dan Kearifan Lokal
(Studi Kasus Di Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang).
Skripsi Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga.
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakertagama. Yogyakarta: LKiS.
Mustofa, Adib Bisri. 1993. Tarjamah Shahih Muslim, Jilid II. Semarang : Asy-Syifa.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghali Indonesia.
Poerwardaminta, W. J. S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Qardhawi Yusuf. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam. Cet IV. Solo: Era
Intermedia.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandunga : Al Ma’arif.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Summa, Prof. Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi
VII. Bandung: CV. Tarsito.
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Tamrin, Dr. H. Dahlan, M.Ag. 2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al-
Khamsah). Malang: UIN-Maliki Press.
Tihami, Prof. Dr. H. MA. Dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Kajian
Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Yazid, Abu. 2005. Fikih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum
Islam Kontemporer. Cet I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zuhri, Saifudin. 2009. Ushul Fiqh Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : KHUSEIN ALI MOCHAMMAD
Tempat / Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 30 Januari 1991
Alamat asal : Kauman Rt : 02, Rw : 05, Tingkir lor, Tingkir,
Salatiga
Pendidikan :
1. SD Negeri 02 Tingkir Lor Salatiga lulus tahun
2003
2. SMP Negeri 6 Salatiga lulus tahun 2006
3. Madrasah Aliyah Negeri Salatiga lulus tahun
2009
4. Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga angkatan
2009
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya
untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Salatiga, 22 agustus 2014
Penulis,
Khusein Ali M 21109004