Upload
trinhbao
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 133
Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak
Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur
Pudjio S.; L.Dyson; Budi Setiawan; Djoko Adi; M.Adib; Retno Andriati; Pinky S; Muaddib A
(Antropologi FISIP- Universitas Airlangga, Surabaya)
Abstract The purpose of this study is to analyze migration abroad as alternative work opportunity for Kepuh-Bawean fishermen to overcome the vulnerability and uncertainty in their income. This study also investigate the con-flict among the fishermen, both local and outside fishermen (andon). The method employed in the study were qualitative method with in-depth interview to 13 informants who have been migrating aboard and those which never beeen but have particular experience as fishermen, such as boat maker and "ambulance fisher-men". In addition, this study also observed the fishermen's daily activities starting from the preparation of the fishing tools until their return to the shore and selling their catch in the market or to the broker. The result of this study showed that Kepuh fishermen is very vulnerable to the change of weather which could resulted in high waves and wind in the ocean. In addition, they still using traditional fishing equip-ments in order to preserve the fish in the Bawean seas. However, fishermen from the outside (andon) came with modern or even destructive tools such as fish bomb, pottasium, and large trawl which could harm the corals. This led to the conflict between local and outside fishermen. Whereas conflict among the local fisher-men almost never occured. Kepuh fishermen in average were able to bought boat from the work they had abroad or from one of their family member who worked abroad. Working abroad is an alternative which greatly support the fishermen's activities even when they are still using traditional fishing tools. Nev-ertheless, not all fishermen who had migrated abroad and returned home are willing to work abroad again, only young fishermen are willing to because they feel they have higher and secure income as well as new experiences.
Keywords: vulnerability, fishermen, migration, conflict
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah menganalisis migrasi ke luar negeri sebagai peluang kerja alternatif bagi nelayan Kepuh Bawean untuk mengatasi kerentanan dan ketidakpastian pendapatannya. Studi ini juga menyelidiki konflik antarnelayan, baik lokal maupun nelayan luar (andon). Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam untuk 13 informan yang bermigrasi kapal dan orang-orang bukan nelayan tetapi memiliki pengalaman yang erat dengan kehidupan nelayan, seperti pembuat perahu dan "ambulans nelayan". Selain itu, kajian ini juga mengamati kegiatan sehari-hari para nelayan mulai persiapan alat memancing sampai kembali dan menjual tangkapan di pasar atau broker. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Kepuh nelayan sangat rentan terhadap perubahan cuaca yang bisa menghasilkan tinggi gelombang dan angin di laut. Selain itu, mereka masih menggunakan pancing tradisional untuk menjaga ikan di laut Bawean. Namun, nelayan dari luar (andon) datang dengan alat-alat modern atau bahkan merusak seperti bom ikan, pottasium dan besar kan yang bisa membahayakan karang. Hal ini menyebabkan konflik antara nelayan lokal dan luar. Sedangkan konflik antara nelayan setempat hampir tidak pernah terjadi. Kepuh nelayan di rata-rata mampu untuk membeli perahu dari karya mereka telah di luar negeri atau dari salah satu anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Bekerja di luar negeri merupakan alternatif yang sangat mendukung kegiatan nelayan bahkan ketika mereka masih menggunakan alat tradisional memancing. Namun demikian, tidak semua nelayan yang bermigrasi luar negeri dan pulang bersedia untuk bekerja di luar negeri lagi, hanya muda nelayan bersedia untuk karena mereka merasa bahwa mereka memiliki pendapatan lebih tinggi dan aman serta pengalaman baru. Kata kunci: kerentanan, nelayan, migrasi, konflik
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 134
odernisasi teknologi yang
dipaksakan oleh pemerintah
Indonesia, melalui kebijakan
pembangunan, telah dirasakan, baik oleh
petani yang dikenal dengan revolusi
hijau, maupun oleh nelayan yang dikenal
dengan revolusi biru. Modernisasi tek-
nologi tidak selamanya dirasakan man-
faatnya secara positif oleh semua lapisan
nelayan sepanjang hidupnya. Dalam fase
awal penerapannya sebagiannya dapat
dirasakan manfaatnya dalam meningkat-
kan taraf ekonomi rumahtangga. Namun
pada fase berikutnya ketika sumberdaya
perikanan telah dikuras sedemikian rupa
secara berlebih (over fishing), termasuk
juga penggunaan berbagai peralatan pe-
nangkapan yang sebelumnya belum per-
nah digunakan, maka mulai terasa betapa
modernisasi teknologi sangat merugikan.
Respon terhadap merosotnya pen-
dapatan dari sektor perikanan agar ter-
lepas dari jerat kemiskinan cukup be-
ragam. Di daerah yang dekat dengan wi-
layah perkotaan pilihan bekerja di sektor
informal menjadi pilihan yang menarik
bagi para nelayan. Namun bagi nelayan
yang jauh dari perkotaan akan tetap ber-
tahan hidup sebagai nelayan dengan kon-
disi yang boleh dikata jauh dari cukup ha-
nya agar bisa hidup saja. Hal yang berbe-
da dilakukan nelayan Bawean. Mereka
tidak menggantungkan hidupnya semata-
mata dari hasil tangkapan ikan yang ma-
kin tidak menentu. Pilihan bermigrasi dan
bekerja sebagai buruh migran di luar ne-
geri sangat diminati. Hal ini tidak terlepas
dari sejarah panjang yang telah dilakukan
sebagian besar penduduk pulau Bawean
sebelumnya yang telah meninggalkan
kampung halamannya menuju negara Ma-
laysia untuk bekerja sebagai pelaut atau
buruh bangunan. Ketika itu banyak laki-
laki di pulau Bawean yang bermigrasi
tanpa mengikutsertakan anggota keluar-
ga lainnya, sehingga yang tertinggal keba-
nyakan anak-anak dan perempuan (feno-
mena ini kemudian memberikan label
pada masyarakat pulau Bawean sebagai
pulau Putri atau pulau Bidadari).
Hal yang menarik untuk dikaji da-
lam penelitian ini adalah sekalipun ber-
migrasi dan bekerja ke luar negeri, para
nelayan tidak lantas menghilangkan atau
menanggalkan profesinya sebagai nela-
yan ketika kembali ke daerah asal, atau
bahkan memutuskan untuk tetap tinggal
di luar negeri dengan memboyong selu-
ruh anggota keluarganya. Hasil pendapat-
an yang diperoleh di luar negeri sebagian
juga diinvestasikan untuk memperbaha-
rui perahu dan mesin. Dengan demikian
memahami makna hidup sebagai nelayan,
keluarga dan bekerja ke luar negeri men-
jadi bagian yang penting dalam penelitian
ini. Di samping itu dorongan untuk mela-
M
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 135
kukan migrasi ke luar negeri tidak terle-
pas dari sistem nilai budaya yang ada di
masyarakat tersebut. Sistem nilai budaya
tidak saja membingkai pengetahuan dan
tindakan anggota masyarakatnya untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu
aktivitas migrasi para nelayan, namun ju-
ga mengatur kelakuan mereka dalam ber-
hubungan dengan nelayan lainnya dalam
penangkapan ikan di lautan.
Penelitian yang dilakukan Donald K.
Emerson (Mubyarto, dkk., 1984:18),
produktivitas tangkapan nelayan di Kabu-
paten Jepara Jawa Tengah mengalami pe-
nurunan secara signifikan sejak tahun
1973 hingga tahun 1977. Jika pada tahun
1963 setiap nelayan dapat memperoleh
rata-rata 670 ton, maka pada tahun 1973
menurun menjadi 363 ton dan 1977 ma-
kin menurun menjadi hanya 154 ton.
Pada tahun 1970-an pemerintah Indone-
sia mengeluarkan program motorisasi pe-
rahu-perahu nelayan. Dengan pengguna-
an motor tempel pada perahu setiap ne-
layan dapat ”menguasai” laut dalam area
yang lebih luas ketimbang saat mereka
hanya mengandalkan layar. Namun akibat
dari itu mereka makin serakah untuk me-
ngeruk sebanyak-banyaknya sumberdaya
perikanan yang ada di dalam laut.
Nelayan di Indramayu (sebagai
lumbung ikan di wilayah Jawa Barat), se-
bagaimana dipublikasikan Pikiran Rakyat,
7 Mei 2003 (dalam Kusnadi, 2003: 15-
16), tangkapan ikan makin sulit diperoleh
akibat kemerosotan daya dukung per-
airan. Nelayan mengaku setiap hari hanya
bisa memperoleh sekitar 15 kg, padahal
sekitar tahun 1970-an mereka bisa mem-
peroleh ikan setiap harinya sebanyak 2-3
blong atau sekitar 60-90 kg. Permasalah-
an ini dihadapi sama oleh banyak nelayan
di seluruh indonesia, khususnya di bagian
Barat indonesia yang mempunyai popula-
si paling banyak dibandingkan wilayah
Timur. Masalah kemiskinan kemudian
menjadi label yang senantiasa disandang
para nelayan tradisional dan kecil yang
jumlahnya sangat banyak dibandingkan
nelayan kaya yang mempunyai banyak
perahu dan peralatan tangkap yang sa-
ngat modern.
Menurut Masyhuri (1996: 154-5)
keadaan tangkap lebih (over fishing) yang
terjadi di wilayah dekat pantai, bahkan
pada akhir abad ke 19 isu over fishing
menjadi topik hangat yang dibicarakan.
Hal ini tidak terlepas dari imbas dikeluar-
kannya peraturan penghapusan sistem
sewa oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tidak adanya lembaga penyedia modal
bagi nelayan menyebabkan makin berku-
rangnya perahu-perahu besar (mayang)
yang mampu mencari ikan di lepas pantai
(offshore), dan sebagai gantinya makin
banyak perahu-perahu kecil (jukung)
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 136
yang hanya bisa mencari ikan di pinggir
pantai.
Masalah yang menjadi perhatian
tulisan ini adalah sebagai berikut: (i) Ba-
gaimana strategi yang dilakukan para ne-
layan dalam menghadapi ketidakpastian
hasil tangkapan ikan untuk keberlang-
sungan hidup keluarga?. (ii) Bagaimana
para nelayan memanfaatkan peluang ber-
migrasi ke luar negeri sebagai salah satu
jalan keluar dalam menghadapi ketidak-
pastian hidup yang mengandalkan hasil
tangkapan ikan? dan (iii) bagaimana ma-
syarakat setempat dalam mengelola kon-
flik yang timbul karena perebutan wila-
yah tangkapan ikan?
METODE
Lokasi penelitian ini terletak di Desa
Ke-puh Kecamatan Tambak-Bawean
Kabu-paten Gresik, Jawa Timur.
Pemilihan lo-kasi ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa pertama, kondisi
Geografis Bawe-an yang dikelilingi oleh
banyak karang menyebabkan daerah
tersebut sangat po-tensial bagi rumah
ikan, selain itu masya-rakat di kawasan
Kepuh juga membuat rumpon (rumah
ikan yang terbuat dari bambu dan daun
kelapa) terutama para juragan, Kedua,
sebagai wilayah kepulau-an yang kecil
dengan luas ± 194,11 km2, dan memiliki
panjang pantai sekitar 40 km2 dengan
fishing ground seluas 27.000 km2, pulau
Bawean memiliki penduduk yang tinggal
di sepanjang pantai yang cu-kup banyak.
Ketiga, dari 2 kecamatan (Sangkapura
dan Tambak) dan 30 desa, terdapat 19
desa yang memiliki penduduk ber-
matapencaharian sebagai nelayan
(mereka tinggal di sepanjang pantai Ba-
wean). Keempat, wilayah Kepuh (Desa Ke-
puhteluk dan Desa Kepuh Legundi) me-
miliki jumlah nelayan yang cukup banyak,
dan bahkan ada satu dusun (Pasir Pan-
jang) yang semua penduduknya memiliki
sarana penangkapan ikan berupa perahu
motor. Kelima, sebagian besar penduduk
desa Kepuh tidak terkecuali para nelayan
pernah atau bahkan sedang berada di luar
negeri (terutama Malaysia) untuk bekerja
sebagai buruh migran pada berbagai
bidang pekerjaan.
Pengumpulan data dilakukan de-
ngan wawancaran dan observasi. Perta-
ma, wawancara yang dilakukan dengan
mengacu pada pedoman wawancara yang
telah dibuat, yang meliputi karakteristik
informan subyek, peralatan penangkapan
ikan yang dimiliki, waktu untuk pergi me-
laut, pendapatan yang diperoleh setiap
bulan sebagai nelayan, pola adaptasi ne-
layan ketika musim paceklik, masalah
yang dihadapi dalam menangkap ikan di
laut, nilai-nilai budaya yang berkembang
di masyarakat sebagai pengendali konflik
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 137
sosial di antara para nelayan, peluang be-
kerja di luar negeri, pengalaman bekerja
di luar negeri, faktor-faktor yang mem-
pengaruhi keputusan untuk bermigrasi ke
luar negeri, makna bekerja ke luar negeri,
makna keluarga yang ditinggalkan, pola
remitansi pendapatan, dan pilihan untuk
tetap bertahan hidup sebagai nelayan.
Kedua, pengamatan (observasi). Penga-
matan dilakukan dalam kegiatan sehari-
hari manusia dengan menggunakan pan-
caindera mata sebagai alat bantu utama-
nya selain pancaindera lainnya seperti
telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Da-
lam penelitian ini pengamatan dilakukan
melalui mata dan telinga, dalam arti men-
catat setiap kejadian atau peristiwa yang
tertangkap oleh mata dan terdengar oleh
telinga. Pengamatan yang dilakukan me-
liputi aktivitas para nelayan dalam beker-
ja menangkap ikan di laut yang meliputi
persiapan peralatan serta waktu untuk
melaut, hasil yang didapat dan proses
penjualan hasil yang tangkapan.
Penentuan informan, dilakukan
dengan memilih dengan cara purposive
yaitu memilih informan sesuai dengan tu-
juan. Informannya adalah mereka yang
mampu menjelaskan tentang proses pe-
nangkapan ikan di laut serta mereka yang
pernah atau akan malakukan migrasi ke
luar negeri. Informan, nelayan yang be-
lum pernah menjadi TKI, serta para nela-
yan yang memiliki keahlian khusus seper-
ti pembuat kapal, serta nelayan yang me-
miliki pekerjaan sampingan sebagai tu-
kang antar jemput mayat dengan meng-
gunakan kapalnya.
Teknik analisis data, dilakukan de-
ngan cara memilah-milah, mengelompok-
kan informasi agar dapat ditetapkan re-
lasi-relasi tertentu antara kategori data
yang satu dengan data yang lain. Proses
analisa data diawali dengan transkrip ha-
sil wawancara dan observasi. Berdasar-
kan transkripsi tersebut data dikategori-
sasi dan diklasifikasi sesuai dengan hal-
hal yang sama dan yang berbeda. Setelah
itu dilanjutkan dengan proses reduksi,
pemaparan data, dan kesimpulan. Proses
reduksi data adalah meruncingkan data
tersebut menjadi data yang terfokus pada
permasalahan penelitian. Setelah itu, pe-
neliti kemudian memaparkan data terse-
but dalam bentuk uraian, tabel, hubungan
kategori, dan sejenisnya.
HASIL
Nelayan yang ada di Kepuh Bawean
bersifat tradisional. Jenis perahu yang
digu-nakan berukuran kecil (Sampan,
Klotok, Jukung, Pajala). Tidak ada satu
pun nela-yan di Kepuh yang memiliki
perahu Porsein, Trawl, atau perahu Slerek
seperti yang banyak terdapat di Madura
dan Jawa. Penggunaan perahu dan alat
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 138
tangkap modern dimulai pada tahun
1970-an sejalan dengan program
pemerintah untuk meningkatkan produk-
tivitas perikanan. Akan tetapi program
modernisasi terse-but tidak diikuti oleh
nelayan Kepuh kecuali sebatas
penggunaan motor diesel pada perahun-
ya. Sedangkan ukuran pera-hu dan jaring
yang digunakan masih tetap mengikuti
cara lama, yakni dengan alat pancing,
jaring pantai, jaring pukat yang mempu-
nyai panjang sekitar 200 meter tinggi 1
meter dengan diameter lubang 3,5 senti-
meter, serta jaring payang. Keengganan
nelayan untuk tidak mengguna-kan
peralatan penangkapan modern bu-kan
karena tidak mampu secara finansial,
melainkan karena kearifan lokal (local
wisdom) yang tetap dipegang secara te-
guh. Kearifan lokal yang dimaksud adalah
keyakinan bahwa sumber kekayaan laut
adalah milik anak cucu yang harus kita
pelihara agar tidak habis.
Nelayan Kepuh sebagai sebuah in-
dikasi kerentanan dan ketidakpastian
peng-hasilan adalah: (1). Jumlah dan jenis
tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh
musim angin yang ada, yakni angin Timur
yang terjadi pada bulan Juni hingga No-
pember, nelayan panen ikan Layang. Pada
bulan Desember hingga awal April musim
angin Barat, nelayan pada umumnya me-
lakukan penangkapan ikan Tongkol, se-
bab pada musim angin barat ikan Tongkol
banyak yang melakukan migrasi ke pe-
rairan Bawean. Di luar bulan-bulan itu ne-
layan masih bisa berharap memperoleh
ikan sekalipun dalam jumlah yang tidak
menentu. Pada saat panen harga ikan
jatuh pada tingkat yang sangat mempri-
hatinkan, sementara pada saat paceklik
sekalipun harga jual mahal, namun untuk
memperoleh ikan dalam jumlah yang cu-
kup saja susah; (2) Gelombang laut yang
tinggi serta angin yang kencang acapkali
terjadi di perairan Bawean baik pada mu-
sim angin barat maupun angin timur. Se-
ringnya cuaca buruk tidak saja berdam-
pak pada berhentinya mereka mencari
ikan, namun juga langka dan mahalnya
harga solar sebagai bahan bakar motor
disel perahunya; (3) Pemasaran hasil
tangkapan yang masih tradisional dan
sangat tergantung pada musim. Penjualan
langsung di tengah laut pada nelayan an-
don asal Jawa (Tuban, Pekalongan, Tegal,
Lamongan), Madura, dan Kalimantan ter-
jadi jika ukuran ikan Layang cukup besar
dan jumlahnya melimpah. Di samping itu
penjualan juga dilakukan di darat untuk
konsumsi masyarakat sekitar Kepuh dan
pada para tengkulak yang biasanya telah
menunggu di tempat pendaratan ikan.
Terbatasnya akses pasar dan transportasi
karena letak pulau Bawean yang “ter-
isolir”; (4) Konflik nelayan Kepuh dengan
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 139
nelayan andon terjadi karena perebutan
daerah penangkapan ikan. Masyarakat lo-
kal menganggap perairan Bawean sejauh
50 mil dari pantai adalah miliknya, se-
mentara itu nelayan andon menganggap
seluruh perairan yang ada di Indonesia
tidak terkecuali perairan Bawean adalah
milik bersama (commons property) dan
olehkarena itu tidak ada larangan bagi
siapapun warga negara Indonesia untuk
menangkap ikan di wilayah tersebut. Di
samping itu perbedaan alat tangkap dan
cara pandang terhadap sumber daya per-
ikanan antara nelayan lokal dengan nela-
yan andon juga menjadi pemicu konflik.
Nelayan lokal (Kepuh) semuanya meng-
gunakan alat tangkap tradisional berupa
jaring payang dan pancing. Sedangkan ne-
layan andon menggunakan jaring pukat
harimau, pukat cincin, cantrang, bom ikan
dan racun untuk menguras sebanyak-ba-
nyaknya ikan. Nelayan lokal menganggap
sumberdaya perikanan harus dijaga ke-
lestariannya agar anak cucu dapat menik-
matinya kelak.
Migrasi orang Bawean ke luar ne-
geri baik ke Singapura maupun ke Ma-
laysia dapat dikata merupakan sejarah
panjang tentang Pulau Bawean di sam-
ping asal-usul etnis Bawean itu sendiri,
meskipun tidak jelas kapan dan dengan
alasan apa pertamakali mereka pergi ke
luar dari pulau Bawean. Namun berdasar-
kan sensus penduduk yang dilakukan pe-
merintah Singapura terhadap orang-
orang Bawean di Singapura pada tahun
1849 yang ter-muat dalam Census of the
Colony of Singapore 1849, jumlah pendu-
duk Bawean di Singapura sebanyak 763
orang yang terdiri 720 laki-laki dan 43
orang perempuan (Vredenbregt, 1990:
94). Selanjutnya dalam Census of Popula-
tion, 1957 (Vredenbregt, 1990) jumlah
orang Bawean yang ada di Singapura me-
ningkat menjadi 22.167 orang yang ter-
diri dari 11.580 laki-laki dan 10.587 per-
empuan. Berda-sarkan data tersebut da-
lam kurun waktu 108 tahun terjadi pe-
ningkatan jumlah penduduk Bawean yang
ada di Singapura sebesar 21.404 jiwa.
Angka tersebut bisa jadi merupakan pen-
duduk Bawean yang menetap secara per-
manen di Singapura. Sementara itu ba-
nyak orang Bawean yang tidak menetap
dan kembali lagi ke daerah asal setelah
bekerja selama beberapa tahun lamanya.
Strategi Menghadapi Ketidakpastian
Strategi untuk mempertahankan
hasil produksi ikan yang dilakukan oleh
para nelayan Kepuh dalam mengatasi
kerusak-an habitat ikan serta memu-
dahkan me-reka memperoleh hasil
tangkapan terutama jenis ikan Layang
adalah dengan me-masang rumpon.
Pemasangan rumpon dilakukan sekitar 6
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 140
– 10 mil jauhnya dari pantai. Rumpon
yang terbuat dari tali yang diberi daun
kelapa menjulur ke ba-wah berfungsi
untuk menggoda ikan agar mendekati dan
tinggal di tempat tersebut, dan selalu
ditambah daun kelapa setiap 15 hari.
Penambahan daun kelapa dimaksudkan
agar ikan lebih banyak yang datang dan
berkumpul di lokasi tersebut. Rumpon-
rumpon yang dipasang oleh para nelayan
ini mempunyai ijin dari pemerintah ka-
bupaten Gresik, sehingga apabila rusak
tersangkut jangkar kapal besar yang ingin
berlindung dari badai pada musim angin
barat bisa dimintakan ganti rugi.
Besarnya ganti rugi sekitar 1 juta sampai
2 juta per rumpon tergantung ke-
mampuan pemilik kapal dan dilakukan
secara musyawarah, di samping juga usia
rumpon tersebut. Artinya semakin lama
usia rumpon tersebut dan senantiasa di-
rawat, maka semakin mahal nilai ganti
ruginya, bahkan ada yang mencapai 10 –
15 juta rupiah. Kerugian yang dialami ne-
layan akibat rumpon rusak tersebut bu-
kan saja dari nilai tali dan daun kelapa
saja, melainkan ikan yang terkumpul di
lokasi tersebut membutuhkan waktu
yang lama untuk mau kembali lagi ke
tempat rumpon baru.
Strategi yang dilakukan adalah be-
kerja sebagai pembuat perahu, memper-
baiki perahu dan menyewakan perahu-
nya. Hanya ada 1 informan yang bekerja
sebagai petani dan berkebun selepas me-
laut. Cukup menarik dari data yang di-
peroleh ada satu informan yang mempu-
nyai pekerjaan sampingan sebagai peng-
antar/penjemput jenasah yang meninggal
di luar Bawean. Perlu diketahui kapal
transportasi yang melayani penyeberang-
an Gresik-Bawean menolak membawa
jenasah, sementara tidak sedikit pen-
duduk Bawean yang meninggal di luar
Bawean entah karena sedang melakukan
perawatan di Rumah Sakit di Gresik atau
Surabaya, ataupun yang tinggal menetap
di Jawa kemudian meninggal dunia dan
ingin dimakamkan di Bawean. Guna me-
ngatasi persoalan ini ada beberapa nela-
yan di Bawean yang memberanikan diri
untuk melayani jasa pengangkutan. Salah
satunya adalah pak Suhan seorang ne-
layan dari desa Kepuh yang juga merupa-
kan informan penelitian. Oleh penduduk
desa pak Suhan diberi sebutan nelayan
ambulan jenasah karena profesi samping-
annya. Tarip yang dipatok pak Suhan un-
tuk sekali mengangkut jenasah sekitar 7-
9 juta rupiah. Jumlah ini memang besar
namun resiko keselamat-an nelayan juga
besar karena ganasnya gelombang perair-
an Bawean dan utara Jawa.
Untuk mengatasi kebutuhan hidup
sehari-hari, strategi yang dilakukan me-
ngandalkan sistem mekanisme sosial-
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 141
budaya yang terdapat di desa. Sistem
yang dimaksud adalah memberikan pin-
jaman hutang (terutama solar) pada saat
nelayan mengalami paceklik, dan dilunasi
ketika musim ikan. Sikap kebersamaan
dan gotongroyong yang dimiliki masya-
rakat desa Kepuh tampaknya mampu me-
ncegah para nelayan yang mengalami ke-
sulitan hidup akibat kerentanan yang
dihadapi pada saat paceklik.
Strategi dalam pemasaran hasil
tang-kapan ikan diperankan oleh perem-
puan/isteri nelayan. Mereka mengelola
hasil tangkapan para suami/kerabat serta
mengolah menjadi bahan-bahan lainnya
seperti kerupuk, pentol, ikan asin untuk
konsumsi keluarga jika ikan yang diper-
oleh tidak habis terjual atau jika melim-
pah mereka mengambil sebagian untuk
keperluan keluarga.
Alternatif penghasilan para nela-yan
diperoleh pada saat musim angin ba-rat
(Januari sampai Maret). Ganasnya om-bak
lautan di perairan Bawean memaksa
kapal-kapal Purse seine dari Jawa, Madura
dan Kalimantan mencari perlindungan di
wilayah Kepuh. Jumlah mereka mencapai
100 kapal lebih. Jika setiap kapal memiliki
ABK 20 orang, setidaknya di musim itu
ada sekitar 2.000 orang yang berteduh di
wilayah Kepuh. Keberadaan mereka ini
direspon oleh para perempuan di sana
untuk mendirikan warung dadakan. Di
samping itu warga juga ada menyediakan
tempat mandi di rumahnya untuk dipakai
ABK. Olehkarena jumlah dan waktu yang
dihabiskan ABK Purse seine ini cukup la-
ma (hingga cuaca membaik), maka peng-
hasilan tambahan para istri nelayan di
Kepuh cukup membantu keuangan ru-
mahtangga di saat para suami berhenti
melaut akibat cuaca yang buruk tersebut.
Pemanfaatan Peluang Bermigrasi
Hampir setiap keluarga yang ada di
wilayah Kepuh ada salah satu anggotanya
yang pernah dan sedang melakukan mi-
grasi ke Luar Negeri. Diperoleh 11 in-
forman yang pernah merantau ke Luar
Negeri, semuanya ke Malaysia. Mereka
merantau ke Malaysia bukan sekedar
karena alasan ekonomi namun juga men-
cari pengalaman, sebab kondisi yang ada
di Bawean dianggap sangat tidak mendu-
kung seseorang untuk bisa memperoleh
ketrampilan dan keahlian di luar sebagai
petani atau nelayan. Tidak cukup banyak
peluang pekerjaan alternatif di luar itu
yang bisa diakses mereka. Sementara
meskipun pada awalnya mereka tidak
mempunyai ketrampilan sebagai tukang
kayu atau bangunan, namun ketika di Ma-
laysia semua ketrampilan tersebut dapat
diperoleh karena bidang pekerjaan itulah
yang banyak tersedia di sana. Selain itu
beberapa orang juga bisa memanfaatkan
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 142
peluang sebagai tukang pijat sekalipun
awalnya juga tidak mempunyai ketram-
pilan itu. Pada saat penelitian ini ber-
langsung peneliti berkenalan dengan dua
orang Bawean yang baru saja kembali da-
ri Malaysia. Dua orang ini sudah memiliki
KTP Malaysia dan bisa pulang pergi ke
Malaysia tanpa rasa kuatir ditangkap pi-
hak Imigrasi di sana. Mereka mengaku
jika di Malaysia ia bekerja sebagai tukang
pijat serta yang satu merangkap sebagai
buruh bangunan. Sebagai tukang pijat ia
dapat memperoleh penghasilan sekitar
75 hingga 150 ringgit sehari, dan itupun
hanya memijat 2 orang saja. Sementara
itu istrinya bekerja sebagai pembantu ru-
mahtangga paruh waktu.
Ekonomi bukan satu-satunya alas-an
yang cukup kuat untuk menarik mere-ka
pergi merantau, namun pengalaman dan
pergaulan yang lebih terbuka di luar
negeri juga patut diperhitungkan. Di sam-
ping itu gengsi atau prestise yang diukur
dari kekayaan yang tampak dari bangunan
rumah juga alasan kuat mereka untuk me-
rantau. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kato (2005) bahwa aktivitas merantau
tidak dimaksudkan untuk menetap di ne-
gara tujuan dan alasannya juga bukan saja
ekonomi melainkan pengalaman, pengeta-
huan/ketrampilan, dan prestise/kema-
syuran. Demikian pula pendapat yang di-
kemukakan Vredenbregt (1990) bahwa
jika di masa lalu emigrasi ke luar negeri
lebih dikarenakan faktor ekonomi dan
penawaran yang menguntungkan di dae-
rah tujuan, namun sekarang kurang tepat
lagi. Di samping kondisi pulau Bawean
yang saat ini mengalami kemajuan yang
pesat dibandingkan tahun 1960-an seperti
yang dikemukakan Vredenbregt (1990),
banyak pemuda-pemudi Bawean yang me-
rantau ke kota-kota besar di Jawa seperti
Jakarta dan Surabaya untuk mencari kerja
dan pendidikan. Artinya keinginan untuk
merantau ke luar negeri sudah berubah
sekalipun masih menjadi idaman bebe-
rapa orang karena ikatan kultural di dae-
rah asal dan daerah tujuan yang telah
berlangsung berabad-abad lamanya.
Konflik Wilayah Tangkapan Ikan
Konflik antar nelayan sesungguhnya
terjadi karena perebutan sumber daya
perikanan yang makin langka akibat sifat
rakus dan eksploitatif sebagian nelayan
yang bermodal besar dan bisa menjang-
kau seluruh perairan yang kaya ikan. Per-
bedaan cara pandang terhadap sumber
daya perikanan yang ada dimana di satu
pihak memandang sumber daya perikan-
an yang ada di seluruh perairan Indonesia
sangat kaya dan tumbuh terus sekalipun
diambil secara terus menerus. Untuk itu
dibutuhkan peralatan dan teknologi yang
canggih. Tanpa maksimalisasi penangkap-
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 143
an tidak akan bisa diperoleh produktivitas
ikan baik dalam skala regional maupun
nasional, bahkan untuk kebutuhan ekspor
pun tak akan dapat dicapai. Sedangkan di
sisi mikro, kebutuhan rumahtangga nela-
yan juga akan tetap miskin dan tak ber-
daya. Sementara itu di sisi lain, para nela-
yan tradisional dan nelayan buruh yang
merupakan nelayan lokal memandang
sumber daya perikanan yang ada itu harus
dijaga kelestariannya agar tidak rusak dan
di masa mendatang anak cucunya masih
dapat menikmati lezatnya hasil perikanan
yang terdapat di wilayah tempat tinggal-
nya. Untuk itu para nelayan tradisional
akan menggunakan cara-cara yang akrab
dengan lingkungan perairan laut seperti
perahu motor yang kecil, menggunakan
jaring payang dan pancing. Perbedaan
cara pandang inilah yang acapkali memicu
konflik seperti yang terjadi di Kepuh an-
tara nelayan lokal yang tradisional dengan
nelayan andon yang modern.
Cara-cara mengatasi konflik yang
terjadi pada masyarakat nelayan acapkali
melalui lembaga adat melalui musyawa-
rah, dan apabila tidak tercapai kata se-
pakat tidak jarang cara-cara kekerasan
yang dipergunakan yakni dengan memba-
kar perahu andon. Di beberapa tempat se-
perti nelayan Pasuruan, Probolinggo de-
ngan nelayan dari Muncar atau Madura
sering terjadi pertikaian fisik di tengah
lautan akibat perebutan wilayah kekua-
saan yang dianggap potensial. Cara-cara
kekerasan ini diambil karena mereka me-
nganggap aparat yang berwenang menin-
dak para nelayan yang mencari ikan de-
ngan cara ilegal atau bertentangan dengan
peraturan pemerintah tidak pernah sung-
guh-sungguh. Demikian pula yang terjadi
pada nelayan Kepuh, berkali-kali mereka
melaporkan pelanggaran yang dilakukan
baik oleh nelayan andon maupun nelayan
masker kepada petugas Ditpolair (Direk-
torat Kepolisian Air) namun tidak pernah
ada tindak lanjutnya. Ketika masyarakat
mulai hilang kepercayaan terhadap aparat
penegak hukum dan merusak perahu yang
bermasalah tersebut, malah justru mereka
ditangkap dan dipenjara.
Kesimpulan
Pertama, masyarakat nelayan di
wilayah Kepuh seperti halnya penduduk
Bawean lainnya pernah setidaknya sekali
dalam hidupnya untuk jangka waktu
tertentu melakukan migrasi atau bahasa
setempat merantau ke luar negeri baik
Singapura maupun Malaysia. Dorongan
merantau ke luar negeri bukan semata
karena kondisi ekonomi yang serba
terbatas, namun juga kebutuhan akan
pengalaman, penambah-an ketrampilan,
prestise ekonomi, dan suasana pergaulan
yang lebih maju.
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 144
Kedua, proses merantau tersebut
acapkali tidak didukung oleh kesesuaian
pasar kerja di luar negeri dengan pendi-
dikan dan ketrampilan. Sekalipun pen-
didikannya setingkat SMA bahkan PT,
namun pasar kerja yang tersedia banyak
di luar negeri adalah sebagai buruh ba-
ngunan atau pekerjaan kasar lainnya, na-
mun hal itu bukan masalah bagi mereka.
Ketiga, pengalaman merantau ke lu-
ar negeri setidaknya memberi manfaat
ekonomi bagi keluarga yang ditinggal-
kannya melalui pengiriman uang (remi-
tances), yang bisa dipakai membangun
rumah dan membeli perahu untuk modal
kelak jika pulang kembali ke daerah asal.
Keempat, peluang bekerja ke luar
negeri masih terbuka untuk jenis peker-
jaan kasar dan serabutan seperti buruh
bangunan, pembantu rumahtangga, tu-
kang pijat, dan buruh perkebunan sawit.
Sekalipun terbuka peluang tersebut na-
mun nelayan tidak lagi meresponnya.
Faktor usia yang lanjut, kondisi fisik yang
tidak kuat, tidak bisa meninggalkan ke-
luarga terlalu lama, dan beratnya tugas-
tugas yang harus dikerjakan serta tun-
tutan disiplin yang ketat merupakan alas-
an mereka yang tidak ingin kembali me-
rantau ke luar negeri. Sedangkan mereka
yang masih menginginkan pergi ke luar
negeri karena gaji yang besar dan pasti,
serta pengalaman kerja di luar negeri ti-
dak mungkin diperoleh kalau mereka te-
tap di Bawean.
Kelima, sifat kekeluargaan dan go-
tongroyong yang ada di lingkungan ma-
syarakat nelayan Kepuh mampu menjaga
keharmonisan dan saling tolong-meno-
long di antara mereka dalam mengatasi
kesulitan dan ketidakpastian hidup se-
bagai nelayan. Selain itu peran perempu-
an dalam membantu perekonomian ke-
luarga dengan bertindak sebagai penjual
ikan hasil tangkapan ke pasar serta me-
ngolah menjadi produk olahan untuk kon-
sumsi keluarga karena sisa-sisa ikan yang
tidak terjual.
Keenam, kurangnya peran peme-
rintah dalam membantu pemberdayaan
masyarakat nelayan, utamanya yang ber-
basis institusi lokal berupa budaya dan
adat kebiasaan masyarakat Bawean.
Daftar Pustaka
Kato, T., G. Asuan & A.Iwata (2005), Adat Minangkabau dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.
Kusnadi. (2002), Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LkiS.
Masyhuri (1996), Menyisir Pantai Utara. Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nu-satama.
Mubyarto, Loekman Soetrisno & Michael Dove (1984), Nelayan dan Kemis-kinan: Studi Ekonomi dan Antro-
Pudjio S. (dkk) , “Pemanfaatan Peluang Bermigrasi ke Luar Negeri: Respon Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Desa Kepuh Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur” hal. 133-145.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 145
pologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV Rajawali.
Vredenbregt, Jacob (1990), Bawean dan Islam (terj.). Jakarta: INIS.