Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
i
PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU (Tela’ah Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) dalam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh : Prayetno
NIM : UT.150220
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
v
v
MOTTO
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-NIsa’ : 7)
vi
vi
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi di kehidupan sehari-
hari banyak masyarakat yang berpendapat bahwa jika seseorang yang berdarah
Minang meninggal dunia maka yang berhak mewarisi hartanya adalah keponakan
orang yang meninggal tersebut. Pendekatan penelitian yang penulis gunakan
merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu suatu penelitian yang
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk
menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli
terdahulu dengan mengikuti perkembangan penelitian.
Hasilnya penulis menemukan lima cara pembagian harta warisan dalam adat
Minangkabau. Pertama, pembagian harta pusaka. Kedua, pewarisan harta bawaan
suami ke rumah istri yang didapat sebelum menikah. Ketiga, pewarisan harta tepatan.
Keempat, pewarisan harta pencarian. Kelima, pembagian harta hibah. Ahli waris
menurut Buya Hamka adalah anak kandung, ayah kandung, ibu kandung, dan saudara
kandung pewaris (jika pewaris meninggal dunia dalam keadaan tidak meninggalkan
anak, ayah dan ibu). Saudara perempuan (se-ibu se-bapak) yang kalalah mendapat
separuh, kalau dia berdua mendapat sepertiga. Kalau mereka banyak ada yang laki-
laki dan perempuan maka juga mendapat dua pertiga. Kalau yang tinggal itu hanya
saudara se-ibu, mereka mendapat seperenam kalau seorang dan mendapat sepertiga
kalau lebih dari seorang.
vii
vii
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi sederhana ini kepada: Ayahanda dan Ibunda Tercinta...
Dua orang yang sangat berjasa dalam hidup saya dan yang sangat saya cintai yaitu Ayahanda Sutam Haryono dan Ibunda Eliya yang telah mendidik dan mengasuhku dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang dan ketulusan yang tak kenal lelah dan batas waktu, agar kelak diriku menjadi anak yang berbakti kepada kedua
orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa seterusnya dapat meraih cita-cita.
Serta adikku (Duwi Mulya Ningsih) yang sangat aku sayangi.
viii
viii
KATA PENGANTAR
ِبْسِم اّللِه الرَّْْحَِن الرهِحْيِم Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga Skripsi yang berjudul
“PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU
(Tela’ah Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)” ini dapat diselesaikan penyusunannya. Shalawat dan salam penulis limpahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan
dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Strata Satu (S1) pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
Selesainya penyusunan Skripsi ini ditulis dengan banyak mendapat masukan,
arahan, serta bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari dosen pembimbing dan
rekan-rekan penulis. Untuk itu, Penulis merasa sangat bersyukur kehadirat Allah
SWT dan mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Hasbullah dan Ibu Sajida Putri, S.Ud., M.Hum selaku
pembimbing I dan pembimbing II yang telah banyak memberikan sumbangan
pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
3. Bapak Prof. Su’aidi Asyari, M.A.,Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Pd, dan Ibu
Dr. Hj. Fadlilah, M.Pd, masing-masing sebagai Wakil Rektor I, II, dan III
UIN Sulthan Thaha Saifuddin jambi.
4. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc.,M.A.,Ph.D, dan
Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag, masing-masing selaku Wakil Dekan I, II, dan
x
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
t ط ` ا ẓ ظ B ب ` ع T ت gh غ Ts ث f ف J ج q ق ḥ ح k ك Kh خ l ل d د m م dz ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ؍ ء sy ش y ى ṣ ص ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
ī ِاى Ā اَ A اَ
aw ا و Á ا ى U اَ
ay ا ى Ū ا و I اَِ
xi
xi
C. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ini ada dua macam:
1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka transliterasinya
adalah/h/.
contoh:
Arab Indonesia Salãh صالة Mir’ãh مراة
2. Ta’Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
maka transliterasinya adalah/t/.
Contoh:
Arab Indonesia Wizãrat al-Tarbiyah وزارةَالتبية
الزمنَمراة Mir’ãt al-zaman
3. Ta’ Marbutah yang berharakat tanwin maka transliterasinya adalah /tan/tin/tun.
Contoh:
Arab Indonesia
Fajannatan فجئة
xii
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i NOTA DINAS ................................................................................................... ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................. iii PENGESAHAN ................................................................................................ iv MOTTO ............................................................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................ vi PERSEMBAHAN ............................................................................................. vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7 C. Batasan Masalah................................................................................ 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 7 E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8 F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II PEMBAGIAN HARTA WARISAN
A. Pembagian Harta Warisan Adat Minangkabau ................................. 14 B. Hukum Waris Islam .......................................................................... 17 C. Hukum Waris di Indonesia................................................................ 30
BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA
A. Riwayat Hidup Buya Hamka ............................................................ 34 B. Riwayat Pendidikan Buya Hamka .................................................... 35 C. Sosial dan Politik Buya Hamka ........................................................ 35 D. Karya-Karya Buya Hamka ................................................................ 36 E. Karakteristik Tafsir Al-Azhar ........................................................... 40
1. Bentuk Tafsir Al-Azhar................................................................. 40 2. Metode Tafsir Al-Azhar ................................................................ 41 3. Corak Tafsir Al-Azhar .................................................................. 42
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN BUYA HAMKA TENTANG HARTA WARISAN ADAT MINANGKABAU TERHADAP SURAH AN-NISA’ AYAT 11
A. Bagian Untuk Anak ........................................................................... 44 B. Bagian Untuk Ibu dan Bapak ............................................................ 47
xiii
xiii
C. Bagian Untuk Suami atau Istri .......................................................... 50 D. Bagian Untuk Kalalah ...................................................................... 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 67 B. Saran-saran ........................................................................................ 68 C. Kata Penutup ..................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 70 CURRICULUM VITAE ............................................................................. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab agung dan suci yang dikirimkan Allah kepada
umat manusia untuk memenuhi segala kebutuhan, baik jasmani maupun rohani.1
Bagi umat Islam Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi dasar dan
pedoman dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari umat Islam
umumnya telah melakukan praktik resepsi terhadap Al-Qur’an, baik dalam
bentuk membaca, memahami dan mengamalkan, maupun dalam bentuk sosio-
kultural. Itu semua karena umat Islam mempunyai belief (keyakinan) bahwa
berinteraksi dengan Al-Qur’an secara maksimal akan memperoleh kebahagian
dunia akhirat.2
Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah
terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.3 Istilah adat berasal
dari bahasa Arab “Adah” yang merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan
secara berulang-ulang. Istilah adat biasanya digabungkan dengan istilah lain,
yaitu istilah hukum, sehingga terjemahan istilah barunya adalah hukum adat.
Hukum adat adalah aturan-aturan hidup yang berupa aturan-aturan tidak tertulis
yang hidup di dalam kesadaran hukum dari rakyat yang memakainya.
Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis menjadikan hukum adat itu
sifatnya dinamis sehingga mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan yang
dibutuhkan zaman. Hukum waris Minangkabau yang merupakan bahagian dari
hukum adat yang banyak seluk beluknya karena pada satu pihak hukum waris
Minangkabau merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut
1 Zubeyr Tekin, Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2007),
1. 2 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, cet. II, (Yogjakarta : Idea Press
Yogyakarta, 2015), 103. 3 I Gede A.B. Wranata, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), 3.
2
hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain ia mempunyai sangkut paut dan
dipengaruhi oleh hukum syarak (agama), sesuai dengan tertib susunan menurut
hukum ibu, maka ahli waris menurut hukum adat Minangkabau dihitung dari
garis ibu. Pengertian Ahli waris ini akan muncul apabila telah ada harta
peninggalan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia.4
Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia, dimana orang dapat
menjumpai masyarakat yang diatur menurut tertib hukum ibu, mulai dari
lingkungan hidup yang kecil, dari keluarga sampai kepada lingkungan hidup yang
paling atas yaitu sebuah nagari sehingga dapat dilihat bahwa faktor turunan darah
menurut garis ibu merupakan faktor yang mengatur organisasi masyarakatnya,
walaupun dalam lingkungan yang terakhir disebutkan yaitu dalam nagari kita
masih menjumpai adanya faktor pengikat lain. Kehidupan yang diatur menurut
tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai kehidupan
menurut adat.5
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Hamka
adalah seorang ulama tafsir Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Hamka
merupakan akronim dari namanya sendiri dan sebutan buya di depan namanya
merupakan panggilan buat orang Minangkabau yang diambil dari bahasa Arab
“Abi atau Abuya” yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat dihormati.
Buya hamka dilahirkan di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada
tahun 1908 dan beliau adalah putra dari Abdul Karim bin Amrullah yang dikenal
sebagai Haji Rasul dan pelopor Gerakan Islah di Minangkabau.6
Berbekal ilmu pengetahuan tentang tulis-menulis, Hamka mampu
menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen),
4Ria Agustar, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan atas Harta Pencarian dalam
Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Tesis, (Semarang : Universitas Diponegoro Semarang, 2008), 2.
5Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1997), 1-2.
6Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013), 164-165.
3
misalnya Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Merantau ke Deli dan agama (tafsir) yaitu Tafsir Al-Azhar. Bahkan ditegaskan
oleh Hamka sendiri, bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis di penjara.7
Tafsir Al-Azhar telah diakui banyak kalangan sebagai karya monumental
Hamka. Ia mencoba menghubungkan sejarah Islam modern dengan studi Al-
Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional.8
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab
semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum
seseorang di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.9
Salah satu sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an sebagai
pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad
atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka berkaitan dengan hal tersebut, di
bawah ini beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan
warisan dalam Islam. Ayat-Ayat tersebut secara langsung menegaskan perihal
pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an.10
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur
dan adil, kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki- laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki
dan perempuan, besar atau kecil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara
7 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer., 167. 8 Ibid. 9 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : Refika Aditama ,2007), 27. 10Andreas Pangoloan, Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan orang Hilang
(mafqud) menurut Hukum Islam, Skripsi, (Fakultas Hukum Unpas, 2016), 3.
4
detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seseorang pun. Bagian yang harus di terima semuanya di jelaskan sesuai
dengan kedudukan nasab terhadap pewaris. Sebagaimana termaktub dalam surah
An-Nisa ayat 11 :
“Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (tentang) orangtua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.”11(QS: An-Nisa ayat 11).
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013), 78.
5
Asbabun nuzul ayat di atas adalah ketika Umrah binti Hazm istri Sa’ad
ibn al-Rabi menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk
kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, kedua orang ini adalah
putri Sa’ad ibn Al-Rabi, Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga
mereka kini yatim, paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan
sedikit pun. Kedua putriku ini tentu sukar mendapat jodoh jika tidak memiliki
harta. Rasulullah SAW bersabda “Allah SWT akan memutuskan permasalahan
itu”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 11) yang menjelaskan tentang
hukum warisan.12
Ayat ini sudah ditegaskan bagian-bagian tertentu, baik bagi laki-laki
maupun perempuan sesuai dengan kedudukan masing-masing terhadap orang
yang meninggalkan harta. Ini adalah ayat qath’i tsubut artinya sudah jelas
sumbernya yaitu Al-Quran dan hadis mutawwatir. Sedangkan Qath’i dilalah
adalah ayat yang secara jelas menunjukkan makna tertentu tidak membutuhkan
penafsiran lain dalam memahami ayat tersebut.
Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil terhadap
mereka, karena dahulu orang-orang jahiliyah memberikan harta pusaka hanya
untuk ahli waris laki-laki saja. Sedangkan ahli waris perempuan tidak
mendapatkan sesuatupun darinya. Maka Allah memerintahkan berlaku adil di
antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok-pokok harta
pusaka. Tetapi bagian jenis ini dibedakan oleh Allah SWT, Ia menjadikan bagian
anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan dikarenakan seorang
lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah dan beban biaya lainnya. Jerih payah
dalam berniaga dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka
sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima perempuan.
Ayat itu juga mengingatkan jangan coba-coba melaksanakan pembagian
harta berdasarkan pertimbangan manfaat atau peranan yang dimainkan oleh
12 Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul, terj. Miftahul Huda, (Solo : Insan Kamil, 2018), 148.
6
masing-masing ahli waris berdasarkan pertimbangan manusia, tetapi hendaknya
sesuai dengan ketetapan Allah.
Berkaitan dengan ayat tersebut Rasullullah juga memerintahkan untuk
membagikan harta menurut kitab Al-Qur’an :
عَ َاَّللََّ اِلَب ْْي َع ِنَْبِنَع بَّاِسَر ِضي َِاْسم َاْلم ع ل ْيِهَو س لَّم َق ال َ َأ لنَِّب َص لَّىَاَّللَّ ْنه َق ال َع ْنَو ج لََّ َع ل ىَِكت اِبَاَّللَِّ َرواهَمسلما ْهِلَاْلف ر اِئض
“Dari Ibn Abbas r.a berkata, Rasullullah SAW bersabda : Bagikanlah hartamu antara pewaris zawil furudh (pemilih bagian tertentu) menurut kitabullah ( Al-Qur’an)”. (H.R.Muslim) Hadis di atas menjelaskan betapa pentingnya Al-Qur’an sebagai sumber
dari hukum waris, namun demikian masih terdapat masalah masalah mengenai
hukum waris yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Fiqh.
Dalam surah An-Nisa ayat 11 di atas mengatakan bahwa bagian satu
orang anak laki-laki sama dengan 2 kali bagian anak perempuan atau sama
dengan bagian dua orang anak perempuan. Orang-orang yang tidak menyenangi
Islam mengemukakan bantahannya “mengapa laki-laki mendapat dua kali bagian
perempuan, mengapa tidak disamakan saja ?”.13
Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar dari masyarakat bahwa jika
seseorang masyarakat Minangkabau meninggal dunia, maka yang lebih berhak
untuk mendapatkan harta warisan adalah para ponakannya. Lalu bagaimana
tela’ah Buya Hamka tentang pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau
tersebut? Karena Buya Hamka sendiri berasal dari tanah kelahiran Minang.
Apakah Buya Hamka menyepakati dengan hukum adat yang sudah melekat pada
13 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, (Singapura : Kerjaya Printing
Industries Pte Ltd, 2013), 1115.
7
masyarakat Minangkabau ataukah memliki pendapat penafsiran yang berlawanan
dengan adat tersebut.
Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis bermaksud mengkaji lebih
jauh persoalan harta warisan dalam skripsi yang berjudul “PEMBAGIAN
HARTA WARISAN DALAM ADAT MINANGKABAU (Tela’ah
Penafsiran Buya HAMKA Pada Surah An-Nisa’ Ayat 11-12)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau?
2. Bagaimana penafsiran buya Hamka dalam surah An-Nisa ayat 11-12?
3. Bagaimana pembagian harta warisan adat Minangkabau menurut Buya
Hamka?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya membahas tentang pembagian harta warisan
dalam adat Minangkabau menurut penafsiran buya Hamka dalam surah An-
Nisa’ ayat 11-12.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pembagian harta warisan dalam adat
Minangkabau.
b. Untuk mengetahui penafsiran buya Hamka tentang ayat 11 surah An-
Nisa.
c. Untuk mengetahui tela’ah Buya Hamka tentang pembagian harta
warisan dalam adat Minangkabau.
2. Kegunaan Penelitian
8
a. Memberikan wawasan yang lebih luas dalam memperkaya khazanah
keilmuaan kajian Al-Quran tentang kajian pustaka terkait pembagian
harta warisan dalam adat Minangkabau.
b. Memberikan kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi
dalam khazanah studi Al-Quran dan kajian tafsir dengan mengunakan
metode (library research).
c. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Starata Satu
(S.I) pada jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan
Study Agama.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran terhadap karya penelitian sebelumnya, ada
beberapa literatur yang membahas tentang harta warisan:
Andreas Pangoloan, dalam skripsinya “Analisis hukum tentang
pembagian harta warisan orang hilang (mafqud) menurut hukum islam”. Skripsi
ini menjelaskan konteks kewarisan seseorang yang hilang (mafqud) dapat
berperan sebagai pewaris bila dalam kepergiannya meninggalkan harta, sementara
ahli lain bermaksud memanfaatkannya dan dapat juga bertindak sebagi ahli waris,
apabila di antara saudaranya meninggal dunia, dalam hal ini para ulama sepakat
menetapkan bahwa harta dari pewaris yang hilang ditahan dahulu sampai ada
berita yang jelas.14 Dalam skripsi tersebut membahas tentang penafsiran ulama
secara umum, tidak adanya tela’ah atas penafsiran Buya Hamka.
Adapun karya lain, Komari “Eksistensi hukum waris di Indonesia : antara
adat dan syari’at”. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pelaksanaan hukum
waris di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh tiga sistem hukum, yaitu hukum
Islam, hukum Adat, dan hukum Barat. Pada masa awal kedatangan Islam di
Indonesia, hukum Islam sangat mendominasi pelaksanaan hukum waris yang
14 Andreas Pangoloan, Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan orang Hilang (mafqud) menurut Hukum Islam, Skripsi, (Fakultas Hukum Unpad, 2016), 57.
9
berkaitan dengan Adat-istiadat dan budaya masyarakat muslim. Memasuki masa
penjajahan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai menerapkan kebijakan
hukum Barat bagi bangsa Eropa dan Timur Asing. Sedangkan bagi pribumi
diberlakukan kombinasi hukum Islam dan hukum Adat. Memasuki fase
kemerdekaan, politik hukum berubah seiring dengan kebijakan kodifikasi dan
unifikasi hukum dengan cara memasukkan hukum Islam ke dalam sistem hukum
positif di Indonesia, termasuk dalam hal pemberlakuan hukum waris. Namun
yang tampak saat ini adalah pelaksanaan hukum waris di Indonesia lebih
bercirikan kombinasi antara Adat dan syariat.15 Dalam penelitian tersebut lebih
memfokuskan kepada pembagian harta warisan secara hukum Islam dan Adat,
bukan dengan ilmu tafsir.
Sementara dalam Tesis Irlia Rozalin “pembagian harta warisan dalam
masyarakat Minangkabau di kecamatan medan area kelurahan tegal sari III Kota
Medan Indonesia”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa hukum waris
mengenal 3 (tiga) sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan matrilineal,
patrilineal dan parental. Masyarakat Minangkabau di Medan dalam pembagian
warisan pada masyarakat Minangkabau tidak lagi menggunakan sistem pewarisan
kolektif tetapi tanpa sadar menggunakan sistem pewarisan mayorat. Pengaruh
hukum Islam sangat kental dalam bidang pewarisan masyarakat Minangkabau,
walaupun cara pewarisan antara hukum adat Minangkabau yang berdasarkan
garis keturunan ibu sangat bertolak belakang dengan sistem kewarisan secara
hukum Islam yang pembagian warisannya berdasarkan garis kebapakan atau
patrilineal.16
Beberapa karya yang telah disebutkan di atas, pada karya yang berkenaan
dengan hukum waris di Indonesia secara umum, belum ada di antara kajian
15Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia : antara Adat dan Syari’at, Asy-Syari’ah
Vol.17, No.2. Agustus 2015, 157-160. 16 Irlia Rozalin, Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan
Medan area Kelurahan Tegal sari III Kota Medan, Tesis, (Medan : Fakultas Hukum USU, 2016), 53-55.
10
tersebut yang membahas tentang pembagain harta warisan dalam adat
Minangkabau (tela’ah penafsiran Buya Hamka surah An-Nisa ayat 11-12).
F. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah metode tahlili (analisis). Penelitian ini
memiliki metode penulisan penelitian sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu
suatu penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama
yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah
ditentukan oleh para ahli terdahulu dengan mengikuti perkembangan
penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas
mengenai topik yang dipilih memanfaatkan data sekunder serta menghindari
duplikasi penelitian.
2. Sumber dan Jenis data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, oleh karena itu sumber
data dalam penelitian ini adalah data-data literature, dokumentasi, atau
berbagai sumber tulis lainnya seperti buku ilmiah, majalah ilmiah, sumber
arsip, dokumentasi pribadi, atau berbagai artikel.17
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat penulis
klasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Data primer
Data primer merupakan data literature yang secara langsung
memiliki keterkaitan dan hubungan langsung dengan topik bahasan
penelitian.
17Moh. Arifullah, et. Al. , Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
UIN STS Jambi, (Jambi : UIN STS Jambi, 2016), 58.
11
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tafsir Al-Azhar
karya Hamka.
b. Data Sekunder
Adapun Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara
ilmiah tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.
Data sekunder merupakan buku penunjang pada dasarnya sama dengan
buku utama akan tetapi dalam buku penunjang ini bukan merupakan
faktor utama. Sumber data sekunder pada penelitian ini berupa, karya
ilmiah, ensiklopedia, artikel-artikel dan buku-buku yang mempunyai
keterkaitan dengan penelitian ini.Dalam penelitian dan penulisan skripsi
ini meliputi bahan-bahan bacaan yang ada hubungannya dengan masalah
kewarisan islam, dan literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian ini mengunakan pengumpulan data atau dokumentasi yang
dimaksud adalah berbagai karya literatul studi/agama dan studi
keislaman18dan juga studi tokoh yang memiliki keterkaitan dengan bahasan
penelitian. Melihat penafsiran Hamka tentang ayat yang mengisyaratkan
tentang pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau di dalam tafsir
Al-Azhar.
Menela’ah isi penafsirannya tentang ayat tersebut untuk kemudian
menerapkannya sebagai konsep yang ditawarkan Hamka dalam masalah ini.
Meninjau penafsiran Hamka tentang ayat-ayat yang terkait dengan konsep
tersebut.
Pengumpulan data documenter dilakukan melalui penghimpunan data
tentang pokok persoalan yang akan diteliti. Data yang dikumpul di tela’ah
18Moh .Arifullah, et. Al, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
UIN STS Jambi., 58.
12
secara literal,kemudian dideskripsikan untuk seterusnya dianalisis yang tidak
menutup adanya kemungkinan proses kritik di dalamnya.
4. Metode analisis data
Metode analisis data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data
sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ke-tidak benaran.19 Karena
obyek studi ini adalah ayat-ayat Al-Qur'an, maka pendekatan yang dipilih di
dalamnya adalah pendekatan ilmu tafsir.
Penelitian ini mencakup pemikiran tokoh dalam karya-karyanya,
sehingga membutuhkan kejelian dalam menganalisa karya yang mereka tulis
khususnya tafsir yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Sebuah karya
yang ditulis seseorang pasti mempunyai hubungan erat dengan latar belakang
pendidikan, lingkungan, dan kondisi sosial yang melingkupinya saat itu.
Untuk itu penulis menggunakan metode deskripsi dimana peneliti
menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran dari tokoh, termasuk di
dalamnya adalah biografi dari tokoh tersebut.
Dalam skripsi ini, yang digunakan adalah metode tahlili, yang
menjelaskan ayat, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta
menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
G. Sistematika penulisan
Untuk mensistematisasi penulisan dan menjawab pertanyan dalam
penelitian ini,maka penelitian merujuk pada tekhnik penulisan yang disepakati
pada fakultas Ushuluddin UIN STS Jambi.20 Peneletian ini akan dibagi dalam
beberapa bab, yaitu :
19 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991),
106. 20Moh. Arifullah, et, Al. Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
UIN STS Jambi., 58.
13
Bab I, Membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II, Menjelaskan tentang pembagian harta warisan dalam adat
Minangkabau dan hukum waris Islam.
Bab III, Berisi tentang biografi Hamka; riwayat hidup, riwayat
pendidikan, sosial dan politiknya serta karya-karyanya. Karakteristik Tafsir Al-
Azhar ; bentuk tafsir, metodologi tafsir dan corak tafsir.
Bab IV, Merupakan bahasan inti,yang diuraikan untuk menjelaskan
penafsiran buya hamka dalam tafsir Al-Azhar tentang harta warisan dalam adat
Minangkabau terhadap surah An-Nisa’ ayat 11-12 dan ayat-ayat harta warisan
dalam tafsir Al-Azhar.
Bab V, Merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir penelitian,saran-saran penulis berkaitan dengan pembagian
harta warisan dalam adat minangkabau. Ini adalah langkah akhir penulis dalam
melakukan penelitian, di mana dalam bab ini penulis berharap mampu
memberikan kontribusi yang berarti berupa kesimpulan terhadap penelitian serta
saran-saran yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi peneliti berikutnya.
14
BAB II
PEMBAGIAN HARTA WARISAN
D. Pembagian Harta Warisan Adat Minangkabau
Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya
Islam, bahkan sebelum Hindu-Budha memasuki wilayah Nusantara.21
Sebelum datang pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah mencapai
puncaknya yang terintegrasi dengan kepribadian yang kokoh.
Pewarisan harta di Minangkabau terbagi atas :22
1. Pewarisan Harta Pusaka
Pewarisan harta pusaka adalah harta yang dikuasai oleh kaum
secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota kaum secara kolektif
pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak menimbulkan masalah.
Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk
dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu.
Pewarisan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya
menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki
unsur harta pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka rendah.
Timbulnya kesukaran ini adalah karena adanya pemikiran bahwa harta
pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh
keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih ke rumah lain
walaupun antara kedua rumah itu terlingkup dalam pengertian satu kaum
dalam artian yang lebih luas.
Harta pusaka ada dua, Yaitu : pusaka rendah dan tinggi
a. Pusaka rendah yaitu termasuk harta warisan dalam kompilasi hukum
Islam karena ia dimiliki secara Milk al-Raqabah.
21 Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, (Padang : Sri Darma,
1971), 11. 22 Irlia Rozalin, Pembagian Harta Warisan Dalam Adat Minangkabau di Kecamatan
Medan Arean Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan, Tesis, (Medan : Fakultas Hukum USU, 2016), 33-40.
15
b. Pusaka tinggi yaitu harta pusaka yang tidak bisa digolongkan ke dalam
harta warisan.23
2. Pewarisan Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami ke rumah
istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil
pencarian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan
atau hibah yang diterimanya dalam massa perkawinan dan harta kaum
dalam bentuk hak pakai genngam beruntuk yang telah berada di tangan
suami menjelang kawin atau didapatnya hak tersebut dalam masa
perkawinan.
Kedua macam harta bawaan tersebut yang timbul di luar usaha
suami istri adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri di
dalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan
berlakulah ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”.
Harta bawaan kembali adalah pulangnya harta itu kembali ke
asalnya yaitu kaum dari suami. Kembalinya harta yang berasal dari harta
pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta pusaka itu hanya
dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum.
3. Pewarisan Harta Tepatan
Maksud harta tepatan atau harta dapatan adalah harta yang telah
ada pada istri pada waktu suami kawin dengan istri itu. Harta yang
didapati oleh suami di rumah istrinya dari segi asal-usulnya ada dua
kemungkinan yaitu : harta pusaka yang ada di rumah itu dan harta hasil
usahanya sendiri.
Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak-anaknya kalau ia
meninggal dunia. Perbedaannya adalah harta hasil usahanya untuk anak-
anaknya saja, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya juga
merupakan hak bagi saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya
bersama dengan saudara-saudaranya.
23
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8094. diakses pada hari Rabu tgl 26 Juni 2019, Pukul 20.30.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8094
16
Bila si suami meninggal dunia, maka harta tersebut tidak akan
beralih keluar dari rumah istrinya. Kaum si suami tidak berhaka sama
sekali atass kedua bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama hidup
hanyalah mengusahakan harta itu yang hasilnya telah dimanfaatkan
bersama dengan keluarga itu. Suami sebagai pendatang, karena
kematiannya itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang
sudah ada di rumah si istri waktu ia datang ke sana.
4. Pewarisan Harta Pencarian
Harta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk
menambah harta pusaka yang sudah ada, dengan demikian, harta
pencarian bergabung dengan harta pusaka bbila yang mendapatkannya
sudah tidak ada. Meenggabungkannya dengan harta pusaka dengan
sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.
Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang
menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya
perubahan ini, maka harta pencarian ayah turun kepada anaknya. Proses
penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada sang anak
diperlakukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu.
Adakalanya harta pencarian itu milik kaum, namum adakalanya pula harta
pencarian itu merupakan hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi
tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencarian secara
murni.
Dalam keadaan demikian tidak mungkin seluruh harta pencarian
itu diwarisi oleh anak. Dalam bentuk yang seperti ini maka berlaku cara
pembagian menurut alur dan yang pantas dilakukan. Tidak adil bila semua
harta diambil oleh anak.
Bila harta bercampur langsung dengan harta pusaka, maka
masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang di
dalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh
hak ponakan pasti terdapat di dalamnya, hanya kurang jelas dalam
pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh karena tidak adanya
17
kepastian tentang kepemilikan harta tersebut sering memunculkan
sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak yang ditinggalkan dan
ponakan, karena ponakan menganggap harta itu adalah harta pusaka kaum,
sedangkan si anak menganggap harta itu adalah harta pencarian ayahnya.
Penyelesaian dilakukan dengan cara pembuktian asal-usul harta tersebut.
Pembagian harta waris ini ditentukan dengan memabagikan harta
pewaris kepada ahli waris menurut hukum faraidh yang berlaku dalam
agama Islam.
5. Hibah
Hibah adalah istilah hukum Islam yang terpakai secara luas dan
menjadi istilah hukum dalam hukum adat Minangkabau. Dalam istilah
hukum Islam, hibah berarti penyerahan/pengalihan hak milik kepada
orang lain selagi hidup yang mempunyai hak tanpa ada suatu imbalan.24
Hibah yang berlaku di Minangkabau adalah hibah yang terdapat dalam
hukum Islam. Hal ini berarti bahwa hibah yang telah melembaga dalam
lingkungan adat Minangkabau adalah pengaruh Islam, yang dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku di
Minangkabau. Harta ini bisa diwariskan kepada anak cucu dari pewaris.
Hibah dalam adat Minangkabau mengandung beberapa prinsip,
yaitu :
a. seorang laki-laki hanya bertanggung jawab terhadap lingkungan
ponakannya yang sewaktu-waktu akan menggantikan peranannya
dalam suatu kerabat matrilineal.
b. harta warisan itu adalah kepunyaan kaum dan hanya dapat digunakan
untuk kepentingan anggota kaum dan tidak dapat beralih keluar
lingkungan kaum.
E. Hukum Waris Islam
1. Pengertian Hukum Waris Islam
24 Said Sabiq, Fiqh As-Sunnah III, (Beirut : Daru Al-Kitabi Al-Arabi, 1971), 535.
18
Secara bahasa, kata waratsa adalah asal kata kewarisan yang
digunakan dalam Al-Qur’an. Kata waratsa memiliki beberapa arti25 :
Pertama, mengganti, sebagaimana dalam QS Al-Naml ayat 16 :
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia (Sulaiman) berkata “wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata”. 26
Maksud kata mewarisi dalam ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman
menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud, serta mewarisi ilmu
pengetahuannya.
Kedua, makna waratsa adalah memberi. Sebagaimana dalam QS.
Al-Zumar ayat 74 :
“Dan mereka berkata segala puji bagi Allah telah memenuhi janjinya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki. Maka (surga itulah) sebaik-baik alasan bagi orang yang beramal”.27
Ketiga, makna waratsa adalah mewarisi. Sebagaimana yang
termaktub di dalam QS. Maryam ayat 6 :
“Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari kelurga Ya’qub dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridhoi”.28
25 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), 281. 2626 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013),
378. 27 Ibid., 466. 28 Ibid., 305.
19
Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing.
Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam
yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris,
menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan
pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.29 Sedangkan menurut M.
Idris Ramulyo, warisah atau hukum waris adalah hukum yang mengatur
segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut sebagai hukum faraidh.30
Ilmu waris juga disebut sebagai ilmu faraidh31, diambil dari kata
mafrudha yang terdapat dalam QS An-Nisa ayat 7 :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibi, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.32
Mafrudha pada ayat di atas diartikan sebagai bagian yang telah
ditetapkan (bagian yang sudah dipastikan kadarnya). Menurut Iman
Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husain, faraidh adalah bagian
yang telah ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya.33
29 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2004), 108. 30 M. Idris Ramulyo, Bebrapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama, (Jakarta : In Hill Co, 1991), 42. 31 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2015), 2. 32 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 33 Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhamad Al-Husain, Kifayah Al-Akhyar, Juz 2,
(Surabaya : Maktabah Iqbal Haji Ibrahim), 3.
20
Sedangkan menurut Al-Qalyubi dan Al-‘Umairah, faraidh adalah ilmu
tentang masalah bagian kewarisan.34
Dari beberapa defenisi di atas, maka secara singkat ilmu faraidh
adalah atau ilmu waris adalah ilmu yang mengatur peralihan harta orang
yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan
ketentuan syariat Islam (Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ ulama, dan ijtihad
ulama).35
2. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas hukum kewarisan Islam yaitu :
a. Asas Ijbari
Yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak
Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan
dari ahli warisnya.
b. Asas Bilateral
Yaitu harta warisan beralih melalui dua arah. Hal ini berarti
bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak
garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan.
c. Asas Individual
Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi yag dimiliki secraa
perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara
tersendiri, tanpa terika dengan ahli waris yang lain.
d. Asas Keadilan Berimbang
yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Besarnya bagian laki-laki didasarkan pada kewajiban yang
dibebankan kepada laki-laki (suami/ayah) yang harus membayar mahar
34 Al-Qalyubi dan Al-‘Umarairah, Hasyiatani ‘ala Minhajit Thalibin, Juz 3, (Beirut : Dar Al-Fikr), 134.
35 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 3.
21
(mas kawin) dalam perkawinan, membiayai nafkah kehidupan rumah
tangga dan biaya pendidikan anak-aak seperti yang diamanatkan Al-
Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi “Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.36 (QS. Al-Baqarah 233)
Sedangkan kaum perempuan (istri/ibu), secara yuridis formal
tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangga
apalagi pembayaran mas kawin. Yang ada hanyalah menerima hak
suami/ayah.
e. Asas Semata Akibat Kematian
yaitu harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain
dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
f. Asas Ketulusan (Integrity)
36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 37.
22
yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan dalam Islam,
diperlukan ketulusan hati untuk menaatinya karena terikat dengan aturan
yang diyakini kebenarannya.
g. Asas Penghambaan Diri (Ta’abbudi)
maksud asas ini adalah melaksanakan pembagian waris secara
hukum Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
h. Asas Hak-hak Kebendaan (Huququl Maliyah)
Maksudnya adalah hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan
yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Sedangkan hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi, seperti suami atau istri, jabatan,
keahlian dalam suatu ilmu dan semacamnya tidak dapat diwariskan.
i. Asas Hak-hak Dasar
Maksudnya adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia.
Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau
seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian, sedangkan ia masih
hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang
belum bercerai, walaupun telah berpisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap mewarisi harta tersebut.
j. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Yaitu membagi semua harta peninggalan hingga tak tersisa.37
3. Sumber Hukum Kewarisan Islam
Sumber hukum kewarisan Islam terdiri dari sebagai beriku :
a. Sumber Al-Qur’an
1. QS An-Nisa ayat 7
37 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 5-7.
23
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.38
Sebelum turun ayat ini, laki-laki dewasa memonopoli dalam
pengambilan harta warisan. Wanita ddan anak-anak tidak mendapat
pembagian sedikitpun dari harta yang ditinggalkan oleh ibu, bapak
atau kerabat. Maka Al-Qur’an mengubah sistem yang cenderung
menindas kaum lemah. Ayat 7 surah An-Nisa di atas menetapkan
bahwa semua karib-kerabat mendapatkan bagian dari harta warisan,
baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak, walaupun pembagiannya
tidak sama banyaknya antara satu dengan yang lain, sesuai fungsi
dan tanggung jawab massing-masing.39
2. Qs An-Nisa ayat 8
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.40
Yang dimaksud dengan ulul qurba dalam ayat di atas adalah
kaum kerabat yang mempunyai hak pembagian harta warisan yang
telah ditetapkan oleh syara’. Apabila mereka tersebut ada pada waktu
membagi warisan, maka seharusnya mereka diberi sekadarnya,
demikian pula anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Hal ini
perlu, guna menjaga agar jangan terjadi rasa iri di hati mereka.
Selanjutnya ayat ini juga memerintahkan agar ucapkanlah kepada
38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 39 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Amzah, 2011), 279. 40 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78.
24
mereka perkataan yang baik-baik ketika akan member, artinya
jangan memberi sambil mengomelinya.41
3. QS An-Nisa ayat 9
“dan hendaklah taku kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang merek khawatir terahadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”42
Ayat ini memberikan peringatan kepada orang tua mengenai
anak-anak yang akan ditinggalkan, hendaklah para orang tua merasa
khawatir terhadap kesejahteraan anak-anak mereka setelah mereka
maninggal dunia.
4. QS An-Nisa ayat 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta nak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.43
5. QS An-Nisa ayat 11
41 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam., 279.. 42 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 78. 43 Ibid.
25
“Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (tentang) orangtua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.”44
6. QS An-Nisa ayat 12
44 Ibid.
26
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dienuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika saudar-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sspertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.45
Ayat 11 dan 12 surah An-Nisa di atas sebab turunnya
masing-masing jelas mendongkrak tradisi hukum Yahudi, hukum
Romawi, hukum adat bangsa Arab Pra Islam bahkan hukum adat
manapun yang mengabaikan bagian waris kaum perempuan. Jika
ayat 7 surah An-Nisa menjamin kepastian hak waris perempuan,
maka ayat ke 11 menentukan bagian konkret yang harus diterima
oleh kaum perempuan. Misalnya, istri mendapat seperempat (1/4)
dari harta yang ditinggalkan suaminya bila suami tidak
meninggalkan anak atau mendapatkan seperdelapan (1/8) bila suami
meninggalkan anak di samping istri.46
45 Ibid., 79. 46 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), 121.
27
7. QS An-Nisa ayat 13
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”47
8. QS An-Nisa ayat 14
“Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar aturan-aturan-Nya, maka akan dimasukkan-Nya ke dalam api neraka, kekal ia di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”.48
9. QS An-Nisa ayat 33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”49
10. QS An-Nisa ayat 176
47 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 79. 48 Ibid. 49 Ibid.
28
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan sau-daranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara pe-rempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”50
Sahabat Jabir adalah orang yang menanyakan perihal
kewarisan kalalah. Kalalah adalah jika seseorang meninggal dunia
tanpa meninggalkan anak laki-laki atau ayah, dia hanya
meninggalkan saudara kandung atau saudara seayah. Jika yang
ditinggalkannya adalah saudara perempuan, saudaranya itu mendapat
seperdua harta. Jika yang ditinggalkannya adalah dua orang saudara
perempuan, masing-masing mendapat sepertiga warisan. Sedangkan
jika yang ditinggalkan itu adalah tiga orang atau lebih saudara
perempuan, menurut jumhur ulama, mereka mendapatkan seluruh
harta.
Apabila di antara saudara-saudara kandung atau saudara
seayah itu ada yang laki-laki, otomatis mereka mewarisi seluruh
50 Ibid., 106.
29
harta sebagaimana jika yang ditinggalkan adalah seorang saudara
laki-laki. Bagian setiap saudara laki-laki adalah dua kali bagian seiap
saudara perempuan. Jika misalnya seseorang meninggalkan tiga
orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka
bagian masing-masing perempuan adalah seperlima, sedangkan
bagian laki-laki dua perlima.
Kasus kalalah ini berlaku untuk seseorang yang
meninggalkan saudara kandung atau saudara seayah. Jika yang
ditinggalkan saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan bagiannya
adalah seperenam.51
11. QS An-Anfal ayat 75
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terpada sesamanya di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.52
b. Sumber Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadis yang Nabi yang menjadi sumber hukum waris Islam, di
antaranya :53
1. “Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”. (HR Bukhari-Muslim)
2. “Dari Usamah bin Zaid r.a berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda “orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim”. (HR Bukhari-Muslim)
3. “Dari Jabir bin Abdullah berkata “janda Sa’ad datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya” lalu ia
51 Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-ayat Wanita, (Solo : Aqwam, 2009), 53-54. 52 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., 186. 53 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia., 300.
30
berkata “wahai Rasulullah, ini dua orang anak Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di Perang Uhud. Paman mereka mengambil mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawan tanpa harta”. Nabi bersabda “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ni” kemudian turun aya-ayat tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata “berikanlah dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istrinya dan selebihnya ambil olehmu”. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
4. “Dari Umar bin Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata ‘bahwa anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya” Nabi menjawab “kamu mendapat seperenam”. (HR Ahmad)
5. “Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rassulullah SAW bersabda “tidak bisa mewarisi yang berlainan agama”. HR Ahmad, Al-Arba’ah dan Tirmidzi)
c. Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan
Rassulullah SAW tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam Al-
Qur’an maupun Sunnah. Karena telah disepakatan oleh para sahabat dan
ulama, ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.54
d. Itjihad
Ijitihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama dalam
menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, yang belum disepakati.
Misalnya masalah radd dan ‘aul. Di dalamnya terdapat perbedaan
pendapat, sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi’in
dan ulama.55
F. Hukum Waris di Indonesia
Perkembangan hukum waris di Indonesia tidak terlepas dari
sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya
dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang
pernah dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam
54 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia., 300. 55 Ibid.
31
tanpa mempelajari hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat
signifikan.56
Hukum waris Islam pada awalnya pada era kerajaan-kerajaan
Islam, pada massa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa (termasuk
sengketa kewarisan) di antara anggota masyarakat, diselesaikan dengan
cara tahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan
berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim disebut muhakam.57
Selanjutnya pada masa pemerintahan VOC, pemerintahan tersebut
memerintahkan D.W Freijer untuk menyusun Compendium yang memuat
hukum perkawinan Islam dan kewarisan Islam dengan diperbaiki dan
disempurnakan oleh tokoh yuris Islam pada masa itu. Hukum waris Islam
di Indonesia dilegalkan pada msa pemerintahan VOC pada tanggal 25 Mei
1760.
Selanjutnya pada masa Hindia-Belanda tahun 1882, melalui Stbl.
No.152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal
bakal Peradilan agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Stbl iniditetapkan
bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. Hal ini berarti
bahwa sengketa urusan kewarisan bagi umat Isslam diselesaikan dalam
Radd Agama. Dimasukkannya kewarisan dalam Radd Agama waktu itu
agaknya mengikuti pakar hukum Belanda yang bernama W. Van den Berg
dengan teorinya yang popular dengan sebutan “receptive in complexu”
yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluruh. Maksudnya bila
seseorang telah menganut agama Islam, maka ia akan menjalankan semua
ajarannya termasuk kewarisan.
Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak
terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi peradilan agama. Karena
berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintahan Bala Tentara
melalui dekritnya No.1 tahun 1942 menyatakan bahwa semua badan
56 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2014), 2.
57 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 139.
32
pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum,
dan semua peratuan dari pemerintahan yang lama dianggap massih tetap
berlaku dalam waktu yang tidak diketahui selama tidak bertentangan
dengan peranturan pemerintahan Bala Tentara Jepang. Kemudian dekrit
No.14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan
sipil di Jawa dan Madura massih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya,
hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam
bahasa Jepang.58
Pada masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang belum
terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum kewarisan yang diterapkan
untuk seluruh warga Negara Indonesia. Karena itu, hukum kewarisan yang
diterapkan kepada seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda59,
mengingat adanya pluralism hukum kewarisan tersebut. Sehingga sistem
hukum kewarisan di Indonesia terdiri dari tiga sistem hukum, yaitu :
1. Hukum Keawarisan Menurut Islam
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas.
2. Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata)
Kewarisan menurut KUH Per diatur dalam buku II title 12
sampai dengan 18, Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130.
3. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat
Dalam masyarakat adat, selain hukum waris Islam, dikenal pula
pembagian warisan dengan menggunakan hukum adat sebagai berikut:
a. Sistem kewarisan individual, bercirikan adanya pembagian harta
kepada orang-orang yang berhak baik dalam system pembagian
patrinial, misalnya masyarakat di tanah Batak, matrinial ataupun
bilateral pada masyarakat Jawa umumnya.
58 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia., 142-143. 59 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Al-Ma’arif), 27.
33
b. Sistem kewarisan kolektif yang bercirikan harta yang dibagi-bagi di
antara sekumpulan ahli waris kecuali untuk dimanfaatkan secara
produktif terutama terhadap mereka yang lebih memerlukan seperti
masayarakat matrinial di Minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat yang bercirikan anak tertua lah yang
menguasai seluruh atau pokok harta peewaris setelah meninggalnya,
seperti masyarakat patrinial beralih-alih diBali.60
60 A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi
Hukum Islam dan Fiqh Sunni), (Yogyakarta : Aswaja Presindo, 2013), 16.
34
BAB III
BIOGRAFI HAMKA DAN GAMBARAN UMUM TAFSIR AL-AZHAR
F. Riwayat Hidup Buya Hamka
Nama lengkap Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Namun ia lebih dikenal dengan Hamka yang merupakan akronim
namanya sendiri. Sebutan buya di depan namanya tak lain merupakan
panggilan buat orang Minangkabau yang disadur dari bahasa Arab, abi atau
abuya, yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat dihormati. Ia lahir
di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908
dan meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta.
Putra Abdul Karim bin Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul
dan pelopor Gerakan Islah di Minangkabau sekembalinya dari Mekkah pada
tahun 1906 mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Darjah
dua. Ketika ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang,
Hamka yang baru berusia 10 tahun segera pindah ke sana.61
G. Riwayat Pendidikan Buya Hamka
Pada usia 10 tahun, buya Hamka memulai mempelajari bahasa Arab di
Sumatera Thawalib yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang. Ia juga
belajar ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh sejumlah ulama
terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo,
Syaikh Ahmad Rasyid dan Syaikh Ibrahim Musa.
Hamka memulai pengabdian terhadap ilmu pengetahuan dengan
menjadi guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
Selang dua tahun kemudian pada tahun 1929, ia juga menekuni profesi serupa
di Padang Panjang. Karena karir cemerlang, pada tahun 1957-1958 ia dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah
61 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
(Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013), 164-165.
35
Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah dijalaninya
pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta.
Kesuksesan Hamka dalam menuntut ilmu tak hanya diperoleh melalui
pendidikan formal. Ia malah sering belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat
secara otodidak.
Dengan kemampuan bahasa Arab, Hamka menelaah karya ulama dan
pujangga besar Timur Tengah. Misalnya, Mustafa Al-Manfaluti, Abbas Al-
Aqqad, hussai Haikal, Jurji Zaidan dan Zaki Mubarok. Karya sarjana Prancis,
Inggris,dan Jerman semisal Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre loti juga tak luput
dari perhatiannya.
Langkah penafsiran Hamka adalah dengan menuliskan teks Al-Qur’an
lengkap, diterjemahkan, kemudian memberi catatan penjelasan. Biasanya, ia
menyajikan bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat, satu sampai
lima ayat dengan terjemahan bahasa Indonesia, kemudian dijelaskan panjang
lebar, bisa sampai lima belas halaman. Kerana itulah Tafsir Al-Azhar lumayan
tebal, terdiri atas beberapa jilid.
Atas jasa pengabdiannya dalam dunia keilmuan, Hamka dianugerahi
gelar kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Al-Azhar pada tahun
1958, Doctor Honoris Causa Universitas Malaisya pada tahun 1974, dan
gelaran Datuk Indo dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.62
H. Sosial dan Politik Buya Hamka
Buya Hamka aktif di organisasi sosil kemasyarakatan, yaitu
Muhammadiyah. Bahkan ia turut mengikuti deklarasi berdirinya
Muhammadiyah pada tahun 1925. Karirnya pun cemerlang, mulai tahun 1928
ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Lalu, dua tahun
kemudian pada tahun 1930 ia menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Pada tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah
62 Ibid., 165-167.
36
di Sumatera Barat, dan jabatan Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
juga pernah disandangnya pada tahun 1953.
Sedangkan di jalur politik, ia terdaftar sebagai anggota Sarekat Islam
pada tahun 1925. Pada tahun 1947, ia dilantik sebagai ketua Barisan
Pertahanan Nasional Indonesia dan juga dilantik menjadi anggota
Konstituante Masyumi. Namun ketika Masyumi diharamkan oleh
pemerintahan Soekarno pada tahun 1960, empat tahun kemudian pada tahun
1964 hingga 1966 ia dipenjara kerena dituduh Pro Malaysia.63
I. Karya-Karya Buya Hamka
Hamka memang tokoh yang kaya ilmu pengetahuan. Kiprahnya di
dunia politik ternyata juga berbanding lurus dengan aksi pengembagan ilmu
pengetahuan. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, ia juga seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi
wartawan beberapa akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan
Masyarakat. Selang empat tahun kemudian pada tahun 1932, ia menjadi editor
dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia pernah juga menjadi editor
majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Berbekal pengetahuan tentang tulis-menulis, Hamka mampu
menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen),
misalnya Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah
dan Merantau ke Deli, dan agama (tafsir), yaitu tafsir Al-Azhar. Bahkan
ditegaskan olehnya sendiri, bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis di penjara.
Tafsir Al-Azhar telah diakui banyak kalangan sebagai karya
monumental Hamka. Ia mencoba menghubungkan sejarah Islam modern
dengan studi Al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-
penafsiran tradisional. Ia menekankan ajaran Al-Qur’an dan konteksnya dalam
bidang keislaman.
63 Ibid., 168.
37
Menurut Prof. Andries Teeuw (seorang pengamat sejarah sastra
Indonesia) bependapat bahwa Hamka adalah pengarang yang paling banyak
tulisannya tentang agama Islam. Hamka memang termasuk penulis yang
produktif. Jumlah karyanya memang banyak dan bernafaskan Islam.64
Berikut adalah karya-karya Buya Hamka65 :
1. Khatibul Ummah Jilid I, II, dan III (1925).
2. Si Sabariah cerita Roman dalam bahasa Minangkabau (1928).
3. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abu Bakar Siddiq) (1929).
4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
5. Ringkasan Tarikh Umat Islam, Ringkasan Sejarah sejak Nabi Muhammad
SAW sampai Kahlifah ke empat, Bani Umayyah dan Bani Abbas (1929).
6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).
7. Hikmah Isra’ dan Mikraj (1930).
8. Arkanul Islam, di Makasar (1932).
9. Laila Majnun, Jakarta (1932).
10. Majalah “Tentara”, di Makasar (1932).
11. Majalah Al-Mahdi, di Makasar (1932).
12. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi) (1934).
13. Di Bawah Lindungan Kaabah, Jakarta (1936).
14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Jakarta (1937).
15. Di Dalam Lembah Kehidupan, Jakarta (1939).
16. Tuan Direktur (1939).
17. Dijemput Mamaknya (1939).
18. Keadilan Ilahi (1939).
19. Tasawuf Modern (1939).
20. Filsafah hidup (1939).
21. Merantau ke Deli (1940).
22. Margaretta Gauthier (Terjemahan) (1940).
23. Lembaga Hidup (1940).
64 Nasir Tamara, et. Al, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983), 139. 65 Solihin Salam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta : Yayasan Nurul
Islam, 1978), 286-288.
38
24. Lembaga Budi (1940).
25. Majalah “Semangat Islam” (1943).
26. Majalah “Menara”, Padang Panjang (1946).
27. Negara Islam (1946).
28. Islam dan Demokrasi (1946).
29. Revolusi Pikiran (1946).
30. Revolusi Agama (1946).
31. Adat Minangkabau menghadapi revolusi (1946).
32. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946).
33. Di Dalam Lembah Cita-Cita (1946).
34. Sesudah Naskah Renville (1947).
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Sesudah Tiga Mac (1947).
36. Menunggu Beduk Berbunyi, Bukit Tinggi (1949).
37. Ayahku, Jakarta (1950).
38. Mandi cahaya di tanah Suci (1950).
39. Mengembara di Lembah Nil (1950).
40. Di Tepi Sungai Dajlah. Ditulis sekembali dari ibadah Haji (1950).
41. Kenang-Kengan hidup I, II, dan III (1950).
42. Kenanga-Kenangan hidup IV (Autobiografi sejak lahir 1908-1950) (1950).
43. Sejarah Umat Islam I, II, dan III (1950).
44. Sejarah Umat Islam Jilid IV (1955).
45. Pedoman Mubaligh Islam (1955).
46. PRIBADI (1950).
47. Agama dan Perempuan (1939).
48. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang (1946).
49. 1001 Soal Hidup (Kumpulan Karangan dari Pedoman Masyarakat) (1950).
50. Pelajaran Agama Islam (1956).
51. Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952).
52. Empat Bulan di Amerika Jilid I dan II (1953).
53. Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kaherah,
Mesir) (1958).
39
54. Soal Jawab (1960).
55. Dari Perbendaharaan Lama, Medan (1963).
56. Lembaga Bintang Hikmat, Jakarta (1963).
57. Islam dan Kebatinan (1972).
58. Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1970).
59. Sayyid Jamaluddin Al-Afgani (1965).
60. Ekspansi Ideologi (1963).
61. Hak-Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968).
62. Falsafah Ideologi Islam (1950).
63. Keadilan Sosial dalam Islam (1950).
64. Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran islam (1970).
65. Studi Islam (1973).
66. Himpunan Khutbah-Khutbah.
67. Urat Tunggang Pancasila.
68. Do’a-Do’a Rasulullah SAW (1974).
69. Sejarah Islam di Sumatera.
70. Bohong di Dunia.
71. Muhammadiyah di Minangkabau (1975).
72. Pandangan hidup islam (1960).
73. Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, dari tahun 1936 sampai 1942
(1936-1942).
74. Memimpin Majalah Panji Masyarakat (1959-1981).
75. Memimpin Majalah Mimbar Agama (1950-1953).
76. Kedudukan Wanita dalam Islam (1973).
77. Tafsir Al-Azhar Juz I-XXX.
Total keseluruhan karangan Buya Hamka sejak tahun 1925 adalah
sebanyak 113 (seratus tiga belas) jilid kitab-kitab yang telah dibukukan
dan masih ada dalam majalah panji masyarakat, karangan-karangan
panjang yang patut dibukukan, seumpama “Pandangan Hidup Muslim” di
40
Panjimas yang dilarang terbit oleh Presiden Soekarno, dan juga “Dari Hati
ke Hati” yang terdapat dalam Panji masyarakat.66
J. Karakteristik Tafsir Al-Azhar
Karakteristik Hamka dalam melakukan tekhnik penafsirannya adalah
mencontoh tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridho. Hamka menyatakan
ketertarikan hati terhadap tafsir Al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridho. Ia
menilai bahwa tafsir Al-manar adalah sebuah sosok tafsir yang mampu
menguraikan ilmu-ilmu keagamaan sebangsa hadis, fiqih, sejarah dan lainnya
lalu menyesuaikannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan
yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu ditulis. Terakhir Hamka lebih
banyak menekankan pada pemahaman ayat secara menyeluruh. Oleh karena
itu dalam tafsirnya, Hamka lebih banyak mengutip pendapat para ulama
terdahulu. Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya
menafsirkan Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu pada pendapat para
mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.67
1. Bentuk Tafsir Al-Azhar
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara
sebaik-baiknya hubungan antara aql dan naql (riwayah dan dirayah).
Buya Hamka tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat
orang yang terdahulu, tetapi ia juga mempergunakan tinjauan pribadinya
sendiri, dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri.
Suatu tafsir yang hanya menuruti dari riwayat orang terdahulu berarti
hanya suatu textbox thinking. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal
sendiri, besar bahayanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan
oleh agama, sehingga tidak disadari akan menjauh dri maksud agama.68
66 Solihin Salam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta : Yayasan Nurul
Islam, 1978), 288. 67 Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No.4, 1992), 57. 68https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/
diakses pada 01 Januari 2019, 19.30.
https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/
41
Melihat dari pendapat di atas dan dari karya Buya Hamka secara
langsung, maka kitab tafsir Al-Azhar lebih cenderung berbentuk bir ra’yi.
Dikatakan demikian karena Buya Hamka lebih cenderung menggunakan
pandangan pribadinya dan pandangan orang-orang terdahulu ketimbang
menggunakan Hadis Nabi SAW.
2. Metode Tafsir Al-Azhar
Metode yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar
adalah tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai urutannya dalam
mushaf serta menganalisis begitu rupa hal-hal penting yang terkait
langsung dengan ayat, baik dari segi makna atau aspek-aspek lain yang
dapat memperkaya wawasan pembaca tafsirnya, terbukti ketika
menafsirkan surah Al-Fatihah, ia membutuhkan sekitar 24 halaman untuk
mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai
macam kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab
an-nuzul ayat, munasabah ayat, barbagai macam riwayat hadis dan yang
lainnya, semua itu disajikan oleh Hamka dengan cukup baik, lengkap dan
mendetail.69
Ketajaman analisis Hamka juga teruji ketika misalnya dengan jeli
menunjukkan korelasi antara makna yang terdapat pada akhir surat Al-
Fatihah dengan makna yang ada pada awal surat Al-Baqarah ayat 2 :
“Inilah kitab itu, tidak ada sebarang keraguan padanya, satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertqwa”.70 (QS. Al-Baqarah : 2)
Buya Hamka mengatakan “kita baru saja selesai membaca surah
Al-Fatihah, di sana kita telah memohon kepada Tuhan agar ditunjuki jalan
yang lurus, jalan yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai atau
sesat”. Baru saja menarik nafas selesai membaca surat itu, kita langsung
69 Lihat Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid I, (Singapura : Kerjaya
Printing Industries Pte Ltd, 2013), 50-58. 70 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Diponegoro, 2013),
3.
42
kepada surat Al-Baqarah dan kita langsung kepada ayat ini. Permohonan
kita di surat Al-Baqarah sekarang diperkenankan. Kamu bisa mendapat
jalan yang lurus yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai dan sesat, asal
saja kamu suka memakai pedoman kitab ini. Tidak diragukan lagi, dia
adalah petunjuk bagi orang yang suka bertaqwa.71
Melihat metode penafsiran yang digunakan, Hamka mencontoh
kepada Tafsir Al-Manar, menjadikan corak yang dikandung oleh Tafsir
Al-Azhar memiliki kesamaan.72 Ia juga berusaha memelihara sebaik
mungkin antara naqal dan ‘aql, antara dirayah dan riwayah. Maksudnya
adalah Hamka menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip
atau menukil pendapat yang terdahulu, tetapi juga menggunakan tinjauan
dan pengalaman pribadi.
3. Corak Tafsir Al-Azhar
Tafsir Buya Hamka cenderung bersifat netral dan tidak memihak.
Sementara dalam menjelaskan ayat, beliau menggunakan contoh-contoh
yang hidup di masyarakat, baik masyarakat kelas atas, bawah maupun
secara individu.
Berdasarkan fakta di atas, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat
adalah bercorak Fiqhi (Hukum-hukum fiqih). Pemikiran Hamka dalam
tafsir Al-Azhar berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut
dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian menghubungkan
nash-nash yang dikaji dengan kenyataan sosial dan system budaya yang
ada.73
71 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid I., 122. 72 Karel Steenbrink, Qur’an Interpretation of Hamzah Fansuri and Hamka : A
Comparison, Jurnal Studi Islamika, Vol II, No.2, 1995, 83. 73 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin
https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/ diakses pada 2 Januari 2019, 10.00.
https://andiuripurup.wordpress.com/2013/06/06/tafsir-al-azhar-karya-prof-dr-hamka/
43