Upload
agungdwi13
View
418
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBAHASAN
Percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan antidot dari air kelapa
yang dapat menawarkan racun sipermetrin pada pestisida. Terapi antidot ialah tata cara yang
secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk
menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah
bahaya selanjutnya. Asas umum dari terapi antidot :
a. Tepat
Artinya kita menangani dengan menggunakan cara yang tepat dan menggunakan
obat yang tepat
b. Cepat
artinya kita menangani keracunan dengan cepat, dimana sebaiknya kita
menanganinya sebelum obat tersebut terdistribusi luas di dalam tubuh.
Adapun tahapan-tahapan penanganan keracunan yaitu :
1. Terapi suportif adalah terapi yang memelihara fungsi vital seperti
pernafasan dan sirkulasi. Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan untuk
menangani keracunan. Dilakukan dengan cara memperlancar pernafasan, denyut
nadi atau dengan memberikan elektrolit (ABCD = Air way, Breathing,
Circulation, and Dextrosa).
a. Airway
Dengan cara mengoptimalkan posisi saluran nafas. Endotrakea tube
(selang yan dimasukan ke trakea rute) dibagi menjadi 2 yaitu nasotracheal
intobation (lewat hidung) dan orotracheal intobation (lewat mulut)
b. Breathing
Dengan cara pemberian O2. Breathing diperlukan saat terjadi komplikasi,
mis karena toksin botulinus (ventilatory failure) yang menyebabkan
saluran untuk mengambil udara tidak berfungsi baik/tidak normal; karena
hipoksia (kekurangan O2); bronchospasm (terjadi kejang).
c. Circulation
Pemeriksaan melalui denyut nadi dan tekanan darah. Gejala dan
penanganan circulation
- Bradikardi
Yaitu perlambatan denyut jantung. Salah satu pertolongannya adalah
dengan pemberian O2. Mis : akibat insektisida organofosfat.
- Takikardi
Yaitu denyut jantung yang cepat. Salah satu pertolongannya adalah
dengan pemberian propanolol. Mis : akibat teofilin.
- Hipotensi
Salah satu pertolongannya dengan dopamine. Mis : akibat barbiturat.
- Hipertensi
Salah satu pertolongannya dengan nifedipin. Mis : akibat amfetamin.
2. Dextrosa
Sebagai langkah terakhir diberikan dextrose.
3. Indentifikasi atau penyidikan penyebab keracunan
Melihat gejala-gejala contoh muntah-muntah
Menanyai ( bila sudah sadar ) kenapa bisa terjadi keracunan misal karena
makanan / minuman, dll.
4. Terapi antidot
Yaitu dengan memberikan obat yang berfungsi sebagai anti racun.
Tujuan dari terapi antidot adalah untuk membatasi penyebaran racun di dalam tubuh,
memperbaiki kondisi pasien dan meningkatkan eliminasi sedangkan sasaran terapinya adalah
penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik. Intensitas efek toksik suatu senyawa
tergantung pada keberadaan (besar kadar dan lama tinggal) senyawa terkait di tempat
aksinya. Dimana keberadaan tersebut tergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, dan
eliminasi senyawa terkait. Oleh karena itu strategi dari terapi antidot adalah melibatkan
penghambatan absorpsi (dengan cara dimuntahkan atau dengan pencucian lambung) dan
distribusi (penggantian tempat ikatan racun dan mengubah pH ) serta peningkatan eliminasi
racun terkait.
Pada percobaan ini akan dilihat bagaimana potensi dari air kelapa wulung dalam
menawarkan racun sipermetrine ( Baygon®). Strategi dari terapi antidot air kelapa adalah
dengan menggeser kurva fase distribusi ke arah kanan karena penyebaran diperlambat.
Mekanisme kerja dari air kelapa yaitu mengoksidasi sebagian hemoglobin menjadi
ferihemoglobin (metheglobin) sehingga dalam aliran darah akan terdapat ion feri, yang oleh
ion sianida akan diikat menjadi sian metheglobin. Ini akan menyebabkan enzim pernafasan
yang terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi. Sedangkan mekanisme kerja dari
sodium thiosulfat yaitu mempercepat perubahan enzimatik dari sianida menjadi rodanida.
Pada pemasukan sianida dengan dosis yang tidak mematikan, tubuh dapat melakukan
detoksifikasi sendiri dengan rodanida sintetase, mengubah CN- menjadi rodanida (thiosianat,
SCN–) yang kurang toksik. Pemberian sodium thiosulfat akan mempercepat perubahan ini
karena senyawa ini menyediakan sulfur yang dibutuhkan untuk pembentukan rodanida.
Natrium thiosulfat merubah sianida menjadi thiosianat (SCN–) yang tidak beracun, sehingga
dapat diekskresikan melalui air seni.
Pada percobaan ini terapi antidot yang dilakukan termasuk metode yang khas karena
senyawa yang bertindak sebagai penyebab keracunan sudah tersidik serta zat antidotnya ada.
Sedangkan yang dimaksud dengan metode tak khas adalah metode umum yang dapat
diterapkan pada sebagian besar racun.
Racun sipermetrine merupakan suatu racun yang bekerja dengan mekanisme intrasel,
dimana potensinya berdasarkan atas afinitasnya terhadap ion fe3+ dari enzim sitokrom
oksidase. Sianida di dalam tubuh dapat bereaksi dengan methemoglobin dan enzim, sitokrom
oksidase mitokondria dengan mekanisme sebagai berikut :
CN- + sitokrom oksidase mitokondria → kompleks sitokrom oksidase-sianida
CN- + methemoglobin → sian methemoglobin
Mekanisme intrasel yang terjadi berdasarkan reaksi diatas dapat dilihat bahwa ion CN - bila
bereaksi dengan sitokrom oksidase akan membentuk kompleks yang bersifat reversibel
dengan mewakili A3 dimana A3 merupakan suatu enzim terminal pada jalur sistem transport
elektron. Pada saraf pusat, adanya kompleks inilah akan mengakibatkan terjadinya kematian
yang disebabkan oleh karena gagal pernafasan. Hal ini disebabkan karena kompleks sitokrom
A3 - CN- dapat direduksi menjadi bentuk fungsionalnya dan penggunaan O2 diturunkan
sehingga metabolisme oksidatif semakin lama menurun hingga mengakibatkan kebutuhan
metabolik tidak dapat lagi tercukupi. Sianida dapat meracuni melalui mekanisme luka
ekstrasel, dimana pada lingkungan ekstrasel ia mampu mengganggu jumlah pasokan oksigen,
dimana oksigen merupakan kebutuhan metabolik yang paling dasar bagi kelangsungan hidup
sel. Racun sianida ini dapat merusak sel-sel pembatas alveolar sehingga menghambat difusi
O2 dari alveoli ke darah yang berakibat pada kekuranagn kapasitas eritrosit sebagai pembawa
oksigen.
Adanya keracunan sipermetrin dapat terjadi karena penghirupan aerosol hasil
semprotan Baygon®. yang berasal dari industri pengasapan, insektisida, plastik atau dapat
juga berasal dari tanaman dimana tanaman tersebut menghasilkan sianida sebagai hasil
metabolit atau setelah penelanan asam hidrosianat atau kalium natrium sianida.
Wujud dari keracunan sipermetrine yaitu pada pemasukan sianida dalam jumlah kecil
akan menyebabkan sakit kepala, pusing, takikardi, dan takipnea; dalam kasus yang lebih
berat terjadi ketidaksadaran , kejang-kejang dan berhentinya pernafasan. Tanda-tanda yang
diamati dalam praktikum ini adalah sianosis (biru pada bagian mata, ekor dan mulut),
kehilangan kesadaran, kejang, gagal nafas dan kematian.
Proses absorpsi sianida ke dalam tubuh, dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu
melalui kulit, membran mukosa, dan inhalasi. Sedangkan proses biotransformasi dan ekskresi
sianida meliputi 2 jalur, yaitu :
- Jalur utama ( mayor pathway )
Jalur ini terjadi ketika sianida dan komponen sianogenik mengalami reduksi menjadi
rhodanase dan reducing S-tiocyanoxide
Reaksi : CN- → SCN → ekskresi
- Minor pathway
Ekskresi langsung :
Sebagai HCN dalam pernafasan
Sebagai CN dalam akskresi
- Oksidase
1. HCOOH → ekskresi
2. HCNO → CO2 → ekskresi
Pada praktikum ini untuk tiap pemberian larutan Baygon® dipejankan dan air kelapa
diberikan dengan cara peroral yaitu agar larutan antidot tersebut dapat langsung masuk ke
dalam saluran sistemik, kemudian menuju pembuluh darah dan langsung mengoksidasi Fe2+
menjadi Fe3+ dalam hemoglobin darah. Adapun gejala sianosis ditandai dengan timbulnya
warna biru pada daerah sekitar mulut, leher, pantat, mata, dan perut yang ,menandakan bahwa
telah terjadi adanya pembentukan methemoglobin. Untuk volume pemberian larutan telah
disesuaikan dengan perhitungan dosis. Larutan sianida disini berfungsi sebagai larutan yang
memberikan efek toksik. Sedangkan larutan sodium tiosulfat berfungsi sebagai larutan
antidot. Larutan Sodium Nitrit berfungsi sebagai pembanding apakah Sodium Nitrit juga
mempunyai efek terapi antidot seperti larutan sodium tiosulfat.
Efektifitas antidot berdasarkan dosis yang diberikan, dimana semakin besar dosis
yang diberikan maka semakin besar efektifitas antidot untuk menetralisir zat toksik. Dan bila
pemberian dilakukan pada waktu yang tidak tepat (terlambat) maka dapat menyebabkan
kematian pada hewan uji. Selain itu keberhasilan terapi antidot juga dipengaruhi oleh faktor
fisiologis dan faktor patologis hewan uji, dimana faktor tersebut berpengaruh dalam
menentukan proses absorpsi, distribusi dan eliminasi. Oleh karena itulah strategi antidot
meliputi penghambatan, absorpsi dan distribusi dan peningkatan eliminasi racun sipermetrine
tersebut.
Sipermetrin diabsorpsi dengan cepat oleh sistem pencernaan. Karena sipermetrin
bersifat lipofilik, maka sipermetrin lebih banyak terdistribusi di jaringan lemak, kulit, hati,
ginjal, adrenal, dan ovarium. Dan tidak ada kepastian sipermetrin terdistribusi di otak.
Sipermetrin biasanya dimetabolisme di dalam tubuh melalui hidrolisis ester, oksidasi dan
konjugasi. Metabolit utama yang dikeluarkan lewat urin adalah berupa konjugat cis dan trans
(DCVA), 3-phenoxybenzoic acid (3PBA)dan 3-(4'-hydroxyphenoxy), benzoic acid
(4OH3PBA). Target utama sipermetrin dalam menimbulkan toksik adalah sodium channel di
membran saraf. Sipermetrin juga dapat menghambat ATP di jaringan hati (Wayne, 1996).
Air kelapa dapat berfungsi sebagai antidotum karena zat tanin yang terkandung
didalamnya. Tanin sebagai antidotum dengan cara mengeluarkan asam tamak yang
tidak larut.
ganti mekanisme tanin!!!!
Terapi antidot dengan pemberian air kelapa merupakan srategi terapi yang
menggeser kurva distribusi ke kanan, dimana metode terapi ini bersifat khas yang ditandai
dengan adanya pembentukan produk yang kurang toksik dengan cara inhibisi kompetitif
metabolisme. Ketika pemejanan sianida pada dosis rendah dimana dosis tersebut tidak
mematikan, maka tubuh dapat melakukan detoksifikasi sendiri yaitu dengan cara mengubah
CN- menjadi rhodanase. Adanya pemberian thiosulfat ini akan mempercepat perubahan CN-
menjadi rhodanida. Rhodanase pada hati berperan pada detoksifikasi racun sianida, akan
tetapi dalam hal ini oto skeletal lebih sangat berperan dalam membersihkan racun sianida bila
dibandingkan dengan rhodanase pada hati. Reaksi yang terjadi :
CN- + Na2S2O3 SCN- + Na2SO3
Berdasarkan reaksi diatas maka dapat dilihat bahwa air kelapa bereaksi langsung
dengan sipermetrin, sedangkan sodium nitrit harus melewati tahap pembentukan
methemoglobin dulu. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa sodium thiosulfat lebih
efektif daripada sodium nitrit melanosme terapi antidot sianida dengan sodium nitrit dan
sodium thiosulfat merupakan strategi terapi yang khas dimana mengakibatkan adanya
pergeseran kurva distribusi ke arah kanan. Hal ini dapat memperlambat penyebaran racun
sehingga keberadaan racun didalam tubuh dapat ditingkatkan yang akhirnya akan segera
dieliminasi sehingga penurunan intensitas efek toksik dapat dipercepat. Terapi antidot ini
dikatakan sebagai metode khas karena zat beracunnya telah diketahui dan zat antidot atau
penawar racun untuk terpinya telah diketahui juga.
Pada percobaan terapi antidotum diperoleh data berupa waktu timbulnya gejala
sianosis, kejang, hilangnya kesadaran, kegagalan pernafasan, dan kematian. Pemberian zat
antidotum secara teoritis akan meningkatkan waktu terjadinya sianosis, kejang, dan
kegagalan pernafasan.
PEMBAHASAN DATA Masing-masing kelompok diberi 7 tikus yang masing-
masing diberi perlakuan :
Tikus pertama : pemberian sianida 0,104 % dengan dosis 26 mg/kg BB secara peroral.
Tikus kedua : pemberian larutan sodium nitrit 0,112 % dosis 62,46 mg/kg BB secara i.p.
Tikus ketiga : pemberian larutan sianida secara p.o kemudian saat gejala nampak, suntik
larutan sodium nitrit. Tikus keempat: pemberian sianida secara p.o. kemudian saat kejang
suntik larutan sodium nitrit secara i.p. Tikus kelima : pemberian larutan thiosulfat 0,643 %
dosis 160,72 mg/kg BB secara i.p. Tikus keenam : pemberian larutan sianida secara p.o.
kemudian saat gejala sianosis nampak, suntik dengan larutan sodium thiosulfat secara i.p
Tikus ketujuh: pemberian sianida secara p.o. kemudian saat kejang suntik larutan sodium
thiosulfat secara i.p.
Dari hasil percobaan didapat data, pada perlakuan I semua hewan uji mengalami
kematian kecuali tikus kelompok D1, hal tersebut mungkin dapat terjadi karena kecepatan
metabolisme dari tikus tersebut tersebut sangat tinggi, zat toksik dapat dibuang melalui
ekskresi dari tubuh, sehingga efek toksik yang ditimbulkan dari sianida dapat berkurang
bahkan hilang, atau juga dapat disebabkan karena dosis sianida yang diberikan tidaklah
cukup besar untuk dapat menyebabkan kematian (faktor fisiologi tikus). Waktu kematian
tikus kelompok D2 jika dilihat dari rata-rata data efek toksik sianida waktu kematian
tergolong yang paling cepat yaitu pada menit ke 16’20. Sedangkan tikus D3 pada menit
16’56. Dan tikus D4 yang paling lama yaitu pada menit 35’37. Hal ini mungkin terjadi karena
ketidaktelitian praktikan dalam mengamati gejala-gejala pada mencit selain itu pengamatan
juga bersifat subjektif.
Pada perlakuan II tidak menimbulkan kematian pada tikus semua kelompok. Hal ini
sudah sesuai dengan teori karena tikus hanya diberi antidotum yang tidak berbahaya bagi
sistem biologi tikus.
Pada perlakuan III yaitu dengan pemberian KCN + natrium nitrit. Pada perlakuan III
pemberian antidot dilakukan setelah hewan uji menampakkan gejala. Ada satu mencit mati,
yaitu mencit kelompok D1. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kesalahan pada saat
penyuntikan zat antidot yaitu ketika mencit kehilangan kesadaran praktikan membutuhkan
waktu terlalu lama untuk menyuntikkan antidotnya, atau ketika menyuntikkan zat antidotnya
melalui intra peritoneal, praktikan menyuntikkan terlalu dalam dan mengenai organ dalam
mencit bukan di cairan dalam perut mencit sehingga racun tidak dapat dibatasi
penyebarannya. Waktu mati yang ditunjukkan juga lebih lambat bila dibandingkan dengan
kelompok I (pemberian tanpa antidotum), dapat disimpulkan pemberian antidotum thiosulfat
berpengaruh untuk memperlambat atau mencegah kematian.
Pada perlakuan IV yaitu dengan pemberian KCN + tiosulfat tidak menimbulkan
kematian pada tikus.
Seharusnya hewan uji pada perlakuan III lebih banyak yang hidup setelah pemberian
antidot dibandingkan dengan kelompok IV. Hal ini disebabkan gejala kejang menunjukan
racun sudah lebih toksik dibanding tahap ilang kesadaran. Namun dari hasil praktikum
jumlah kematian hewan uji pada kelompok III lebih banyak dari perlakuan IV. Ini mungkin
terjadi karena praktikan terlambat dalam memberikan antidot sehingga hewan uji tidak
terselamatkan. Keterlambatan pemberian antidot pada kelompok III terjadi karena praktikan
tidak dapat membedakan tanda-tanda hilang kesadaran pada hewan uji. Sedangkan
keterlambatan pada kelompok IV terjadi karena pemberian antidot dilakukan saat keadaan
kejang menjelang mati. Dari data ini maka dapat disimpulkan bahwa pemberian antidot pada
saat mencit mengalami kejang sudah terlalu terlambat sehingga tidak berpengaruh terhadap
pembatasan distribusi efek toksik zat sianida sehingga mencit akan tetap mengalami
kematian, sedangkan jika pada saat hilang kesadaran efek toksik dapat dibatasi dan
dihilangkan sehingga mencit dapat terhindar dari kematian yang disebabkan dari efek toksik
zat sianida tersebut.
Pada perlakuan V yaitu pemberian sodium thiosulfat tidak menimbulkan kematian
pada tikus. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena tikus hanya diberi antidotum yang tidak
berbahaya bagi sistem biologi tikus.
Pada perlakuan VI yaitu pemberian larutan sianida + natrium thiosulfat saat gejala
sianosis nampak tidak menimbulkan kematian pada semua tikus. Ini berarti sodium thiosulfat
dapat memberikan terapi antidotum dengan baik.
Pada perlakuan VII yaitu pemberian larutan sianida + sodium nitrit saat gejala kejang
nampak menimbulkan 50% kematian pada tikus. Hal ini sudah sesuai teori yaitu %kematian
tikus pada perlakuan VII lebih besar dari %kematian tikus pada perlakuan VI. Hal ini karena
pemberian antidot pada saat mencit mengalami kejang sudah terlalu terlambat sehingga tidak
berpengaruh terhadap pembatasan distribusi efek toksik zat sianida sehingga mencit akan
tetap mengalami kematian, sedangkan jika pada saat hilang kesadaran efek toksik dapat
dibatasi dan dihilangkan sehingga mencit dapat terhindar dari kematian yang disebabkan dari
efek toksik zat sianida tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecepatan dan ketepatan merupakan prasarat utama
penatalaksanaan keracunan. Kecepatan diperlukan untuk mengatasi dan mengurangi berbagai
gejala yang mungkin akan memperburuk kondisi si penderita, sehingga akibat yang fatal
seperti kematian dapat dicegah sedini mungkin. Selain itu, kecepatan juga diperlukan untuk
membatasi penyebaran dan meningkatnya pengakhiran aksi racun. Tentu saja di samping
cepat penatalaksanaan terapi keracunan juga harus dilakukan dengan tepat. Tindakan yang
cepat tetapi tidak tepat, justru akan memperburuk keadaan atau memperburuk atau
memperparah kondisi si penderita. Ketepatan ini berkaitan dengan pemilihan strategis terapi,
berdasarkan pengetahuan atau informasi yang ada atas jenis racun, saat pemejanan, dan
kemungkinan luas penyebaran racun, serta berbagai faktor intrinsik racun maupun faktor
intrinsik si penderita yang mungkin mempengaruhi. Jadi, pada dasarnya terapi keracunan
ditujukan untuk memperbaiki kondisi si penderita, kemudian diikuti dengan membatasi
penyebaran racun dalam tubuh serta meningkatkan pengakhiran aksi racun.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam praktikum ini adalah :
1. Waktu penginjeksian senyawa antidotum yang kurang tepat, karena tidak
jelasnya gejala yang timbul.
2. Penyuntikan yang tidak tepat, ada kemungkinan bahwa zat yang
disuntikkan tidak semuanya masuk.
3. Kondisi fisiologis hewan uji yang mungkin berpengaruh pada efektifitas
kerja zat antidot.
4. Faktor si pengamat, dimana nilainya subjektif karena penilaian gejala-
gejala yang timbul untuk masing-masing orang adalah berbeda.
Analisis SPSS
Dalam analisis ANOVA one way dengan taraf kepercayaan 95% didapat bahwa
waktu timbulnya gejala beringas dan pasif pada perlakuan kontrol, dosis I (0,350 ml/ 20 g
BB), dosis II (0,500 ml/ 20 g BB), dan dosis III (0,715 ml/ 20 g BB) adalah berbeda
bermakna. Dengan signifikan 0,455 untuk waktu timbulnya gejala beringas dan signifikan
0,825 untuk waktu timbulnya gejala pasif. Jadi perlakuan kontrol, dosis I (0,350 ml/ 20 g
BB), dosis II (0,500 ml/ 20 g BB), dan dosis III (0,715 ml/ 20 g BB) mempengaruhi
timbulnya gejala beringas dan pasif. Pada kontrol seharusnya tidak memberikan gejala
beringas dan pasif karena pada perlakuan tersebut tidak dipejankan dengan sipermetrin
melainkan hanya air kelapa dan aquades. Kesalahan ini dapat disebabkan karena tercemarnya
air kelapa oleh sipermetrin, atau syringe yang digunakan masih terdapat sisa sipermetrin
akibat dari pencucian yang tidak bersih..
KESIMPULAN
1. Tujuan terapi antidot adalah membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk
menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, yang akan bermanfaat untuk
mencegah timbulnya bahaya selanjutnya.
2. Sasaran terapi antidot adalah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik
racun.
3. Strategi terapi antidot yaitu penghambatan absorpsi dan distriibusi (translokasi),
peningkatan eliminasi, atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh.
Dapus
Wayne, 1996, Cypermethrin, http://www.inchem.org/documents/pims/chemical/pim163.htm,
diakses tanggal 16 Oktober 2010