14
PEMBAHASAN Percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan antidot dari air kelapa yang dapat menawarkan racun sipermetrin pada pestisida. Terapi antidot ialah tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya selanjutnya. Asas umum dari terapi antidot : a. Tepat Artinya kita menangani dengan menggunakan cara yang tepat dan menggunakan obat yang tepat b. Cepat artinya kita menangani keracunan dengan cepat, dimana sebaiknya kita menanganinya sebelum obat tersebut terdistribusi luas di dalam tubuh. Adapun tahapan-tahapan penanganan keracunan yaitu : 1. Terapi suportif adalah terapi yang memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan untuk menangani keracunan. Dilakukan dengan cara memperlancar pernafasan, denyut nadi atau dengan memberikan elektrolit (ABCD = Air way, Breathing, Circulation, and Dextrosa). a. Airway Dengan cara mengoptimalkan posisi saluran nafas. Endotrakea tube (selang yan dimasukan ke trakea rute) dibagi menjadi 2 yaitu nasotracheal

Pembahasan Antidot Jadi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembahasan Antidot Jadi

PEMBAHASAN

Percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan antidot dari air kelapa

yang dapat menawarkan racun sipermetrin pada pestisida. Terapi antidot ialah tata cara yang

secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk

menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah

bahaya selanjutnya. Asas umum dari terapi antidot :

a. Tepat

Artinya kita menangani dengan menggunakan cara yang tepat dan menggunakan

obat yang tepat

b. Cepat

artinya kita menangani keracunan dengan cepat, dimana sebaiknya kita

menanganinya sebelum obat tersebut terdistribusi luas di dalam tubuh.

Adapun tahapan-tahapan penanganan keracunan yaitu :

1. Terapi suportif adalah terapi yang memelihara fungsi vital seperti

pernafasan dan sirkulasi. Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan untuk

menangani keracunan. Dilakukan dengan cara memperlancar pernafasan, denyut

nadi atau dengan memberikan elektrolit (ABCD = Air way, Breathing,

Circulation, and Dextrosa).

a. Airway

Dengan cara mengoptimalkan posisi saluran nafas. Endotrakea tube

(selang yan dimasukan ke trakea rute) dibagi menjadi 2 yaitu nasotracheal

intobation (lewat hidung) dan orotracheal intobation (lewat mulut)

b. Breathing

Dengan cara pemberian O2. Breathing diperlukan saat terjadi komplikasi,

mis karena toksin botulinus (ventilatory failure) yang menyebabkan

saluran untuk mengambil udara tidak berfungsi baik/tidak normal; karena

hipoksia (kekurangan O2); bronchospasm (terjadi kejang).

c. Circulation

Pemeriksaan melalui denyut nadi dan tekanan darah. Gejala dan

penanganan circulation

- Bradikardi

Yaitu perlambatan denyut jantung. Salah satu pertolongannya adalah

dengan pemberian O2. Mis : akibat insektisida organofosfat.

- Takikardi

Page 2: Pembahasan Antidot Jadi

Yaitu denyut jantung yang cepat. Salah satu pertolongannya adalah

dengan pemberian propanolol. Mis : akibat teofilin.

- Hipotensi

Salah satu pertolongannya dengan dopamine. Mis : akibat barbiturat.

- Hipertensi

Salah satu pertolongannya dengan nifedipin. Mis : akibat amfetamin.

2. Dextrosa

Sebagai langkah terakhir diberikan dextrose.

3. Indentifikasi atau penyidikan penyebab keracunan

Melihat gejala-gejala contoh muntah-muntah

Menanyai ( bila sudah sadar ) kenapa bisa terjadi keracunan misal karena

makanan / minuman, dll.

4. Terapi antidot

Yaitu dengan memberikan obat yang berfungsi sebagai anti racun.

Tujuan dari terapi antidot adalah untuk membatasi penyebaran racun di dalam tubuh,

memperbaiki kondisi pasien dan meningkatkan eliminasi sedangkan sasaran terapinya adalah

penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik. Intensitas efek toksik suatu senyawa

tergantung pada keberadaan (besar kadar dan lama tinggal) senyawa terkait di tempat

aksinya. Dimana keberadaan tersebut tergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, dan

eliminasi senyawa terkait. Oleh karena itu strategi dari terapi antidot adalah melibatkan

penghambatan absorpsi (dengan cara dimuntahkan atau dengan pencucian lambung) dan

distribusi (penggantian tempat ikatan racun dan mengubah pH ) serta peningkatan eliminasi

racun terkait.

Pada percobaan ini akan dilihat bagaimana potensi dari air kelapa wulung dalam

menawarkan racun sipermetrine ( Baygon®). Strategi dari terapi antidot air kelapa adalah

dengan menggeser kurva fase distribusi ke arah kanan karena penyebaran diperlambat.

Mekanisme kerja dari air kelapa yaitu mengoksidasi sebagian hemoglobin menjadi

ferihemoglobin (metheglobin) sehingga dalam aliran darah akan terdapat ion feri, yang oleh

ion sianida akan diikat menjadi sian metheglobin. Ini akan menyebabkan enzim pernafasan

yang terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi. Sedangkan mekanisme kerja dari

sodium thiosulfat yaitu mempercepat perubahan enzimatik dari sianida menjadi rodanida.

Pada pemasukan sianida dengan dosis yang tidak mematikan, tubuh dapat melakukan

detoksifikasi sendiri dengan rodanida sintetase, mengubah CN- menjadi rodanida (thiosianat,

Page 3: Pembahasan Antidot Jadi

SCN–) yang kurang toksik. Pemberian sodium thiosulfat akan mempercepat perubahan ini

karena senyawa ini menyediakan sulfur yang dibutuhkan untuk pembentukan rodanida.

Natrium thiosulfat merubah sianida menjadi thiosianat (SCN–) yang tidak beracun, sehingga

dapat diekskresikan melalui air seni.

Pada percobaan ini terapi antidot yang dilakukan termasuk metode yang khas karena

senyawa yang bertindak sebagai penyebab keracunan sudah tersidik serta zat antidotnya ada.

Sedangkan yang dimaksud dengan metode tak khas adalah metode umum yang dapat

diterapkan pada sebagian besar racun.

Racun sipermetrine merupakan suatu racun yang bekerja dengan mekanisme intrasel,

dimana potensinya berdasarkan atas afinitasnya terhadap ion fe3+ dari enzim sitokrom

oksidase. Sianida di dalam tubuh dapat bereaksi dengan methemoglobin dan enzim, sitokrom

oksidase mitokondria dengan mekanisme sebagai berikut :

CN- + sitokrom oksidase mitokondria → kompleks sitokrom oksidase-sianida

CN- + methemoglobin → sian methemoglobin

Mekanisme intrasel yang terjadi berdasarkan reaksi diatas dapat dilihat bahwa ion CN - bila

bereaksi dengan sitokrom oksidase akan membentuk kompleks yang bersifat reversibel

dengan mewakili A3 dimana A3 merupakan suatu enzim terminal pada jalur sistem transport

elektron. Pada saraf pusat, adanya kompleks inilah akan mengakibatkan terjadinya kematian

yang disebabkan oleh karena gagal pernafasan. Hal ini disebabkan karena kompleks sitokrom

A3 - CN- dapat direduksi menjadi bentuk fungsionalnya dan penggunaan O2 diturunkan

sehingga metabolisme oksidatif semakin lama menurun hingga mengakibatkan kebutuhan

metabolik tidak dapat lagi tercukupi. Sianida dapat meracuni melalui mekanisme luka

ekstrasel, dimana pada lingkungan ekstrasel ia mampu mengganggu jumlah pasokan oksigen,

dimana oksigen merupakan kebutuhan metabolik yang paling dasar bagi kelangsungan hidup

sel. Racun sianida ini dapat merusak sel-sel pembatas alveolar sehingga menghambat difusi

O2 dari alveoli ke darah yang berakibat pada kekuranagn kapasitas eritrosit sebagai pembawa

oksigen.

Adanya keracunan sipermetrin dapat terjadi karena penghirupan aerosol hasil

semprotan Baygon®. yang berasal dari industri pengasapan, insektisida, plastik atau dapat

juga berasal dari tanaman dimana tanaman tersebut menghasilkan sianida sebagai hasil

metabolit atau setelah penelanan asam hidrosianat atau kalium natrium sianida.

Wujud dari keracunan sipermetrine yaitu pada pemasukan sianida dalam jumlah kecil

akan menyebabkan sakit kepala, pusing, takikardi, dan takipnea; dalam kasus yang lebih

berat terjadi ketidaksadaran , kejang-kejang dan berhentinya pernafasan. Tanda-tanda yang

Page 4: Pembahasan Antidot Jadi

diamati dalam praktikum ini adalah sianosis (biru pada bagian mata, ekor dan mulut),

kehilangan kesadaran, kejang, gagal nafas dan kematian.

Proses absorpsi sianida ke dalam tubuh, dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu

melalui kulit, membran mukosa, dan inhalasi. Sedangkan proses biotransformasi dan ekskresi

sianida meliputi 2 jalur, yaitu :

- Jalur utama ( mayor pathway )

Jalur ini terjadi ketika sianida dan komponen sianogenik mengalami reduksi menjadi

rhodanase dan reducing S-tiocyanoxide

Reaksi : CN- → SCN → ekskresi

- Minor pathway

Ekskresi langsung :

Sebagai HCN dalam pernafasan

Sebagai CN dalam akskresi

- Oksidase

1. HCOOH → ekskresi

2. HCNO → CO2 → ekskresi

Pada praktikum ini untuk tiap pemberian larutan Baygon® dipejankan dan air kelapa

diberikan dengan cara peroral yaitu agar larutan antidot tersebut dapat langsung masuk ke

dalam saluran sistemik, kemudian menuju pembuluh darah dan langsung mengoksidasi Fe2+

menjadi Fe3+ dalam hemoglobin darah. Adapun gejala sianosis ditandai dengan timbulnya

warna biru pada daerah sekitar mulut, leher, pantat, mata, dan perut yang ,menandakan bahwa

telah terjadi adanya pembentukan methemoglobin. Untuk volume pemberian larutan telah

disesuaikan dengan perhitungan dosis. Larutan sianida disini berfungsi sebagai larutan yang

memberikan efek toksik. Sedangkan larutan sodium tiosulfat berfungsi sebagai larutan

antidot. Larutan Sodium Nitrit berfungsi sebagai pembanding apakah Sodium Nitrit juga

mempunyai efek terapi antidot seperti larutan sodium tiosulfat.

Efektifitas antidot berdasarkan dosis yang diberikan, dimana semakin besar dosis

yang diberikan maka semakin besar efektifitas antidot untuk menetralisir zat toksik. Dan bila

pemberian dilakukan pada waktu yang tidak tepat (terlambat) maka dapat menyebabkan

kematian pada hewan uji. Selain itu keberhasilan terapi antidot juga dipengaruhi oleh faktor

fisiologis dan faktor patologis hewan uji, dimana faktor tersebut berpengaruh dalam

menentukan proses absorpsi, distribusi dan eliminasi. Oleh karena itulah strategi antidot

meliputi penghambatan, absorpsi dan distribusi dan peningkatan eliminasi racun sipermetrine

tersebut.

Page 5: Pembahasan Antidot Jadi

Sipermetrin diabsorpsi dengan cepat oleh sistem pencernaan. Karena sipermetrin

bersifat lipofilik, maka sipermetrin lebih banyak terdistribusi di jaringan lemak, kulit, hati,

ginjal, adrenal, dan ovarium. Dan tidak ada kepastian sipermetrin terdistribusi di otak.

Sipermetrin biasanya dimetabolisme di dalam tubuh melalui hidrolisis ester, oksidasi dan

konjugasi. Metabolit utama yang dikeluarkan lewat urin adalah berupa konjugat cis dan trans

(DCVA), 3-phenoxybenzoic acid (3PBA)dan 3-(4'-hydroxyphenoxy), benzoic acid

(4OH3PBA). Target utama sipermetrin dalam menimbulkan toksik adalah sodium channel di

membran saraf. Sipermetrin juga dapat menghambat ATP di jaringan hati (Wayne, 1996).

Air kelapa dapat berfungsi sebagai antidotum karena zat tanin yang terkandung

didalamnya. Tanin sebagai antidotum dengan cara mengeluarkan asam tamak yang

tidak larut.

ganti mekanisme tanin!!!!

Terapi antidot dengan pemberian air kelapa merupakan srategi terapi yang

menggeser kurva distribusi ke kanan, dimana metode terapi ini bersifat khas yang ditandai

dengan adanya pembentukan produk yang kurang toksik dengan cara inhibisi kompetitif

metabolisme. Ketika pemejanan sianida pada dosis rendah dimana dosis tersebut tidak

mematikan, maka tubuh dapat melakukan detoksifikasi sendiri yaitu dengan cara mengubah

CN- menjadi rhodanase. Adanya pemberian thiosulfat ini akan mempercepat perubahan CN-

menjadi rhodanida. Rhodanase pada hati berperan pada detoksifikasi racun sianida, akan

tetapi dalam hal ini oto skeletal lebih sangat berperan dalam membersihkan racun sianida bila

dibandingkan dengan rhodanase pada hati. Reaksi yang terjadi :

CN- + Na2S2O3 SCN- + Na2SO3

Berdasarkan reaksi diatas maka dapat dilihat bahwa air kelapa bereaksi langsung

dengan sipermetrin, sedangkan sodium nitrit harus melewati tahap pembentukan

methemoglobin dulu. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa sodium thiosulfat lebih

efektif daripada sodium nitrit melanosme terapi antidot sianida dengan sodium nitrit dan

sodium thiosulfat merupakan strategi terapi yang khas dimana mengakibatkan adanya

pergeseran kurva distribusi ke arah kanan. Hal ini dapat memperlambat penyebaran racun

sehingga keberadaan racun didalam tubuh dapat ditingkatkan yang akhirnya akan segera

dieliminasi sehingga penurunan intensitas efek toksik dapat dipercepat. Terapi antidot ini

dikatakan sebagai metode khas karena zat beracunnya telah diketahui dan zat antidot atau

penawar racun untuk terpinya telah diketahui juga.

Pada percobaan terapi antidotum diperoleh data berupa waktu timbulnya gejala

sianosis, kejang, hilangnya kesadaran, kegagalan pernafasan, dan kematian. Pemberian zat

Page 6: Pembahasan Antidot Jadi

antidotum secara teoritis akan meningkatkan waktu terjadinya sianosis, kejang, dan

kegagalan pernafasan.

PEMBAHASAN DATA Masing-masing kelompok diberi 7 tikus yang masing-

masing diberi perlakuan :

Tikus pertama : pemberian sianida 0,104 % dengan dosis 26 mg/kg BB secara peroral.

Tikus kedua : pemberian larutan sodium nitrit 0,112 % dosis 62,46 mg/kg BB secara i.p.

Tikus ketiga : pemberian larutan sianida secara p.o kemudian saat gejala nampak, suntik

larutan sodium nitrit. Tikus keempat: pemberian sianida secara p.o. kemudian saat kejang

suntik larutan sodium nitrit secara i.p. Tikus kelima : pemberian larutan thiosulfat 0,643 %

dosis 160,72 mg/kg BB secara i.p. Tikus keenam : pemberian larutan sianida secara p.o.

kemudian saat gejala sianosis nampak, suntik dengan larutan sodium thiosulfat secara i.p

Tikus ketujuh: pemberian sianida secara p.o. kemudian saat kejang suntik larutan sodium

thiosulfat secara i.p.

Dari hasil percobaan didapat data, pada perlakuan I semua hewan uji mengalami

kematian kecuali tikus kelompok D1, hal tersebut mungkin dapat terjadi karena kecepatan

metabolisme dari tikus tersebut tersebut sangat tinggi, zat toksik dapat dibuang melalui

ekskresi dari tubuh, sehingga efek toksik yang ditimbulkan dari sianida dapat berkurang

bahkan hilang, atau juga dapat disebabkan karena dosis sianida yang diberikan tidaklah

cukup besar untuk dapat menyebabkan kematian (faktor fisiologi tikus). Waktu kematian

tikus kelompok D2 jika dilihat dari rata-rata data efek toksik sianida waktu kematian

tergolong yang paling cepat yaitu pada menit ke 16’20. Sedangkan tikus D3 pada menit

16’56. Dan tikus D4 yang paling lama yaitu pada menit 35’37. Hal ini mungkin terjadi karena

ketidaktelitian praktikan dalam mengamati gejala-gejala pada mencit selain itu pengamatan

juga bersifat subjektif.

Pada perlakuan II tidak menimbulkan kematian pada tikus semua kelompok. Hal ini

sudah sesuai dengan teori karena tikus hanya diberi antidotum yang tidak berbahaya bagi

sistem biologi tikus.

Pada perlakuan III yaitu dengan pemberian KCN + natrium nitrit. Pada perlakuan III

pemberian antidot dilakukan setelah hewan uji menampakkan gejala. Ada satu mencit mati,

yaitu mencit kelompok D1. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kesalahan pada saat

penyuntikan zat antidot yaitu ketika mencit kehilangan kesadaran praktikan membutuhkan

waktu terlalu lama untuk menyuntikkan antidotnya, atau ketika menyuntikkan zat antidotnya

melalui intra peritoneal, praktikan menyuntikkan terlalu dalam dan mengenai organ dalam

mencit bukan di cairan dalam perut mencit sehingga racun tidak dapat dibatasi

Page 7: Pembahasan Antidot Jadi

penyebarannya. Waktu mati yang ditunjukkan juga lebih lambat bila dibandingkan dengan

kelompok I (pemberian tanpa antidotum), dapat disimpulkan pemberian antidotum thiosulfat

berpengaruh untuk memperlambat atau mencegah kematian.

Pada perlakuan IV yaitu dengan pemberian KCN + tiosulfat tidak menimbulkan

kematian pada tikus.

Seharusnya hewan uji pada perlakuan III lebih banyak yang hidup setelah pemberian

antidot dibandingkan dengan kelompok IV. Hal ini disebabkan gejala kejang menunjukan

racun sudah lebih toksik dibanding tahap ilang kesadaran. Namun dari hasil praktikum

jumlah kematian hewan uji pada kelompok III lebih banyak dari perlakuan IV. Ini mungkin

terjadi karena praktikan terlambat dalam memberikan antidot sehingga hewan uji tidak

terselamatkan. Keterlambatan pemberian antidot pada kelompok III terjadi karena praktikan

tidak dapat membedakan tanda-tanda hilang kesadaran pada hewan uji. Sedangkan

keterlambatan pada kelompok IV terjadi karena pemberian antidot dilakukan saat keadaan

kejang menjelang mati. Dari data ini maka dapat disimpulkan bahwa pemberian antidot pada

saat mencit mengalami kejang sudah terlalu terlambat sehingga tidak berpengaruh terhadap

pembatasan distribusi efek toksik zat sianida sehingga mencit akan tetap mengalami

kematian, sedangkan jika pada saat hilang kesadaran efek toksik dapat dibatasi dan

dihilangkan sehingga mencit dapat terhindar dari kematian yang disebabkan dari efek toksik

zat sianida tersebut.

Pada perlakuan V yaitu pemberian sodium thiosulfat tidak menimbulkan kematian

pada tikus. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena tikus hanya diberi antidotum yang tidak

berbahaya bagi sistem biologi tikus.

Pada perlakuan VI yaitu pemberian larutan sianida + natrium thiosulfat saat gejala

sianosis nampak tidak menimbulkan kematian pada semua tikus. Ini berarti sodium thiosulfat

dapat memberikan terapi antidotum dengan baik.

Pada perlakuan VII yaitu pemberian larutan sianida + sodium nitrit saat gejala kejang

nampak menimbulkan 50% kematian pada tikus. Hal ini sudah sesuai teori yaitu %kematian

tikus pada perlakuan VII lebih besar dari %kematian tikus pada perlakuan VI. Hal ini karena

pemberian antidot pada saat mencit mengalami kejang sudah terlalu terlambat sehingga tidak

berpengaruh terhadap pembatasan distribusi efek toksik zat sianida sehingga mencit akan

tetap mengalami kematian, sedangkan jika pada saat hilang kesadaran efek toksik dapat

dibatasi dan dihilangkan sehingga mencit dapat terhindar dari kematian yang disebabkan dari

efek toksik zat sianida tersebut.

Page 8: Pembahasan Antidot Jadi

Jadi dapat disimpulkan bahwa kecepatan dan ketepatan merupakan prasarat utama

penatalaksanaan keracunan. Kecepatan diperlukan untuk mengatasi dan mengurangi berbagai

gejala yang mungkin akan memperburuk kondisi si penderita, sehingga akibat yang fatal

seperti kematian dapat dicegah sedini mungkin. Selain itu, kecepatan juga diperlukan untuk

membatasi penyebaran dan meningkatnya pengakhiran aksi racun. Tentu saja di samping

cepat penatalaksanaan terapi keracunan juga harus dilakukan dengan tepat. Tindakan yang

cepat tetapi tidak tepat, justru akan memperburuk keadaan atau memperburuk atau

memperparah kondisi si penderita. Ketepatan ini berkaitan dengan pemilihan strategis terapi,

berdasarkan pengetahuan atau informasi yang ada atas jenis racun, saat pemejanan, dan

kemungkinan luas penyebaran racun, serta berbagai faktor intrinsik racun maupun faktor

intrinsik si penderita yang mungkin mempengaruhi. Jadi, pada dasarnya terapi keracunan

ditujukan untuk memperbaiki kondisi si penderita, kemudian diikuti dengan membatasi

penyebaran racun dalam tubuh serta meningkatkan pengakhiran aksi racun.

Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam praktikum ini adalah :

1. Waktu penginjeksian senyawa antidotum yang kurang tepat, karena tidak

jelasnya gejala yang timbul.

2. Penyuntikan yang tidak tepat, ada kemungkinan bahwa zat yang

disuntikkan tidak semuanya masuk.

3. Kondisi fisiologis hewan uji yang mungkin berpengaruh pada efektifitas

kerja zat antidot.

4. Faktor si pengamat, dimana nilainya subjektif karena penilaian gejala-

gejala yang timbul untuk masing-masing orang adalah berbeda.

Analisis SPSS

Dalam analisis ANOVA one way dengan taraf kepercayaan 95% didapat bahwa

waktu timbulnya gejala beringas dan pasif pada perlakuan kontrol, dosis I (0,350 ml/ 20 g

BB), dosis II (0,500 ml/ 20 g BB), dan dosis III (0,715 ml/ 20 g BB) adalah berbeda

bermakna. Dengan signifikan 0,455 untuk waktu timbulnya gejala beringas dan signifikan

0,825 untuk waktu timbulnya gejala pasif. Jadi perlakuan kontrol, dosis I (0,350 ml/ 20 g

BB), dosis II (0,500 ml/ 20 g BB), dan dosis III (0,715 ml/ 20 g BB) mempengaruhi

timbulnya gejala beringas dan pasif. Pada kontrol seharusnya tidak memberikan gejala

beringas dan pasif karena pada perlakuan tersebut tidak dipejankan dengan sipermetrin

melainkan hanya air kelapa dan aquades. Kesalahan ini dapat disebabkan karena tercemarnya

Page 9: Pembahasan Antidot Jadi

air kelapa oleh sipermetrin, atau syringe yang digunakan masih terdapat sisa sipermetrin

akibat dari pencucian yang tidak bersih..

KESIMPULAN

1. Tujuan terapi antidot adalah membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk

menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, yang akan bermanfaat untuk

mencegah timbulnya bahaya selanjutnya.

2. Sasaran terapi antidot adalah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik

racun.

3. Strategi terapi antidot yaitu penghambatan absorpsi dan distriibusi (translokasi),

peningkatan eliminasi, atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh.

Dapus

Wayne, 1996, Cypermethrin, http://www.inchem.org/documents/pims/chemical/pim163.htm,

diakses tanggal 16 Oktober 2010