Upload
edith-perkins
View
21
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gh
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelenjar tiroid ialah organ endokrin yang terletak di leher manusia.Fungsinya
ialah mengeluarkan hormon tiroid. Antara hormon yang terpenting ialah Thyroxine
(T4) dan Triiodothyronine (T3). Hormonhormon ini mengawal metabolisma
(pengeluaran tenaga) manusia.Kerusakan atau kelainan pada kelenjar tiroid akan
menyebabkan terganggunya sekresi hormon-hormon tiroid (T3 & T4), yang
dimana dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dan kelainan bagi
manusia.Kerusakan atau kelainan pada kelenjar tiroid disebabkan oleh beberapa
faktor. Untuk kasus hipotiroid, kelainan kelenjar tiroid disebabkan oleh defisiensi
yodium, sedangkan untuk kasus hipertiroid disebabkan oleh adanya hiperplasia
kelenjar tiroid sehingga sel-sel hiperplasia aktif mensekresikan hormon tiroid, dan
kadar hormon tiroid dalam darah meningkat.Untuk menilai fungsi tiroid dewasa ini
tersedia berbagai metode pemeriksaan in vitro yang dapat menentukan kadar
hormon tiroid T4 (tiroksin) dan T3 (Thyroid Stimulating Hormon) konvensional
atau sensitive. Metode penentuannya dapat berupa metode isotopic seperti RIA
(radioimmunoassay) dan IRMA (immunoradiometric assay), atau metode non-
isotopik seperti ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), ICMA
(immunochemiluminescent assay), FPIA (fluorescence polarization immunnosay),
dan lain-lain. Secara tidak langsung fungsi tiroid dapat ditentukan pula melalui
pemeriksaan isotopik yaitu uji tangkap iodium (iodine uptake test) yang
menggambarkan kinetik iodium intratiroid.
B. Rumusan Masalaha. Jelaskan defenisi dari struma ?
b. Jelaskan anatomi fisiologi dari struma ?
c. Jelaskan manifestasi klnis dari struma ?
d. Jelaskan etiologi dari struma ?
e. Jelaskan patofisiologi dari struma ?
f. Jelaskan komplikasi dari struma ?
1
C. Tujuan penulisanUntuk mengetahui salah satu penyakit dari sistem endokrin salah satunya
struma.bagaimana kita lebih mengetahui tinjauan teori dari penyakit penyakit
endokrin khususnya struma
2
BAB II
PEMBAHASANA. Defenisi struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid
dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya.Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran
kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di
sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan
esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia.
Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen,
nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan
memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia.
B. Anatomi
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini
memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-
masing berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal
1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk
mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap
sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran
darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium
pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon
perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh
lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar pembentukan
hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang
mengandung yodium.4 Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.
3
C. Fisiologi kelenjar tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan
dan metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi
pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan
metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam
ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap
glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon
ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat
lahir dan bayi.
D. Patogenesis struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal
tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH
4
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin
dalamjumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh
makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka
tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi
lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500
gram.20
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat
kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun
seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau
neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan
misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik
misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).
E. Klasifikasi Struma
a. Berdsarkan fisiologinya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar
tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada
di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan
TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma
semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau
fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon
tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang
mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi
5
oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.25,26
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan,
sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran
terganggu dan penurunan kemampuan bicara. 27,28 Gambar
penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
c) Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang
dapat didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh
terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan.29 Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya
sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar
tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu
makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka
udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala
jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas,
mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,
rambut rontok, dan atrofi otot.27,28 Gambar penderita
hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
6
b. Berdasarkan klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan
menjadi sebagai berikut :
a) Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa
toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih
mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau
lebih benjolan (struma multinoduler toksik).Struma diffusa
toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan
dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goter),bentuk tiroktosikosis yang
paling banyak di temukan di antara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun
telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk
reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan
reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif.Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung
7
menyebabkan peningkatan pembentukan antibodi sedangkan
turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasilpengobatan
penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukyna.Apabila gejala gejala hipertiroidisme
bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan
terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang
berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal.
b) Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang
dibagi menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non
toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium
yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma
endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah
yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan
goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat
kimia.Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu
nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma
nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul
c. Berdasarkan morfologinya
a) Struma Hyperplastica Diffusa
Suatu stadium hiperplasi akibat kekurangan iodine (baik
absolut ataupun relatif).Defisiensi iodine dengan kebutuhan
excessive biasanya terjadi selama pubertas, pertumbuhan, laktasi
dan kehamilan. Karena kurang iodine kelenjar menjadi hiperplasi
8
untuk menghasilkan tiroksin dalam jumlah yang cukup banyak
untuk memenuhi kebutuhan supply iodine yang terbatas. Sehingga
terdapat vesikel pucat dengan sel epitel kolumner tinggi dan koloid
pucat. Vaskularisasi kelenjar juga akan bertambah. Jika iodine
menjadi adekuat kembali (diberikan iodine atau kebutuhannya
menurun) akan terjadi perubahan di dalam struma koloides atau
kelenjar akan menjadi fase istirahat.
b) Struma Colloides Diffusa
Ini disebabkan karena involusi vesikel tiroid. Bila kebutuhan
excessive akan tiroksin oleh karena kebutuhan yang fisiologis
(misal, pubertas, laktasi, kehamilan, stress, dsb.) atau defisiensi
iodine telah terbantu melalui hiperplasi, kelenjar akan kembali
normal dengan mengalami involusi. Sebagai hasil vesikel distensi
dengan koloid dan ukuran kelenjar membesar.
c) Struma Nodular
Biasanya terjadi pada usia 30 tahun atau lebih yang
merupakan sequelae dari struma colloides. Struma noduler
dimungkinkan sebagai akibat kebutuhan excessive yang lama dari
tiroksin. Ada gangguan berulang dari hiperplasi tiroid dan involusi
pada masing-masing periode kehamilan, laktasi, dan emosional
(fase kebutuhan). Sehingga terdapat daerah hiperinvolusi, daerah
hiperplasi dan daerah kelenjar normal. Ada daerah nodul hiperplasi
dan juga pembentukan nodul dari jaringan tiroid yang hiperinvolusi.
Tiap folikel normal melalui suatu siklus sekresi dan istirahat untuk
memberikan kebutuhan akan tiroksin tubuh. Saat satu golongan
sekresi, golongan lain istirahat untuk aktif kemudian. Pada struma
nodular, kebanyakan folikel berhenti ambil bagian dalam sekresi
sehingga hanya sebagian kecil yang mengalami hiperplasi, yang
lainnya mengalami hiperinvolusi (involusi yang
berlebihan/mengecil)
9
F. Etologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain : Defisiensi iodiumPada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,lobak, kacang kedelai). Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
G. Patofisiologi
Berbagai faktor diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya hipertrofi kelenjar tiroid termasuk didalamnya defisiensi iodium, goitrogenik glikosida agent ( zat atau bahan ini dapat memakan sekresi hormon tiroid) seperti ubi kayu, jagung lobak, kangkung, kubis bila dikonsumsi secara berlebihan, obat-obatan anti tiroid, anomali, peradangan atau tumor atau neoplasma.Sedangkan secara fisiologis menurut Benhard (1991) kelenjar tiroid dapat membesar sebagai akibat peningkatan aktivitas kelenjar tiroid sebagai upaya mengimbangi kebutuhan tubuh yang meningkat pada masa pertumbuhan dan masa kehamilan. Bahkan dikatakan pada kondisi stress sekalipun kebutuhan tubuh akan hormon ini cenderung meningkat. Laju metabolisme tubuh pada kondisi-kondisi diatas meningkat.
Berdasarkan kejadian atau penyebarannya ada yang disebut Struma Endemis dan Sporadis. secara sporadis dimana kasus-kasus struma ini dijumpai menyebar diberbagai tempat atau daerah. Bila dihubungkan dengan penyebab, maka struma sporadis banyak disebabkan oleh faktor goitrogenik, anomali dan penggunaan obat-obatan anti tiroid, peradangan dan neoplasma. Secara endemis dimana kasus-kasus ini struma ini dijumpai pada sekelompok orang di suatu daerah tertentu, dihubungkan dengan penyebab defisiensi iodium.
Bahan dasar pembentukan hormon-hormon kelenjar tiroid adalah iodium yang diperoleh dari makanan dan minuman yang mengandung iodium. Ion iodium (iodida) darah masuk kedalam kelenjar tiroid secara transport aktif dengan ATP sebagain sumber energi. selanjutnya sel-sel folikel kelenjar tiroid akan mensintesis Tiroglobulin (sejenis glikoprotein) dan selanjutnya
10
mengalami iodinisasi sehingga akan terbentuk iodotironin (DIT) dan mono iodotironin (MIT). Proses ini memerlukan enzim peroksida sebagai katalisator. Proses akhir adalah berupa reaksi penggabungan. Penggabungan dua molekul DIT akan membentuk tetra iodotironin tiroxin (T4) dan molekul DIT bergabung dengan MIT menjadi tri iodotironin (T3) untuk selanjutnya masuk kedalam plasma dan berikatan dengan protein binding iodine. Reaksi penggabungan ini dirangsang oleh hormon TSH dan dihambat oleh tiourasil, Tiourea, sulfonamid dan metilkaptoimidazol.
Melihat proses singkat terbentuknya hormon tiroid maka pemasukan iodium yang berkurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh, hiposekresi TSH, bahan atau zat yang mengandung tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metilkaptoimidazol, glukosil goitrogenik, gangguan pada kelenjar tiroid sendiri serta faktor pengikat dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi hormon tiroid. bila kadar hormon-hormon tiroid kurang makan akan terjadi mekanisme umpan balik terhadap kelenjar tiroid sehingga aktivitas kelenjar meningkat dan terjadi pembesaran (hipertropi). Dengan kompensasi ini kadar hormon seimbang kembali.Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ disekitarya. Dibagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esofagus. Struma dapat mengarah kedalam sehingga mendorong trakea, esofagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak thdp gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. penekanan pada pitasuara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau.
Bila pembesaran keluar, maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat simetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. tentu dampaknya lebih ke arah estetika atau kecantikan. perubahan bentuk leher dapat mempengaruhi rasa aman dan konsep diri klien.
H. Manifestasi KlinisStruma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal
(Mansjoer, 2001) : Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut
struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
11
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau (Tim penyusun, 1994). Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994).
I. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kadar TSH, T3 serum, T4 serum, Tiroksin bebas.
Nilai normal :T4 serum : 4.9 – 12.0 µg/dLTiroksin bebas: 0.5 – 2.8 µg/dLT3 serum : 115 - 190 µg/dLTSH serum: 0.5 – 4 µg/dL
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk:
Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih
12
Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan
beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
Kista Adenoma Kemungkinan karsinoma Tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat
juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. TermografiMetode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada
suatu tempat dengan memakaiDynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <0,9o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
5. Petanda TumorPada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian
tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0
13
ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
J. Penatalasanaan Medis
a) Konservatif / medikamentosa
a. Indikasi :· Usia tua· Pasien sangat awal· Rekurensi pasca bedah· Pada persiapan operasi· Struma residif· Pada kehamilan, misalnya pada trimester ke-3
b. Struma non toksik : iodium, ekstrak tiroid 20-30 mg/dlc. Struma toksik :
· Bed rest· PTU 100-200 mg (propilthiouracil)
Merupakan obat anti-tiroid, dimana bekerjanya dengan prevensi pada sintesis dan akhir dari tiroksin. Obat ini bekerja mencegah produksi tiroksin (T4). Diberikan dosis 3x 100 mg/hari tiap 8 jam sampai tercapai eutiroid. Bila menjadi eutiroid dilanjutkan dengan dosis maintenance 2 x 5 mg/hari selama 12-18 bulan.
· Lugol 5 – 10 tetesObat ini membantu mengubah menjadi tiroksin dan
mengurangi vaskularisasi serta kerapuhan kelenjar tiroid. Digunakan 10-21 hari sebelum operasi. Namun sekarang tidak digunakan lagi, oleh karena propanolol lebih baik dalam mengurangi vaskularisasi dan kerapuhan kelenjar. Dosis 3 x 5-10 mg/hari selama 14 hari.
· Iodium
b) Radioterapi Menggunakan I131, biasanya diberikan pada pasien yang
telah diterapi dengan obat anti-tiroid dan telah menjadi eutiroid.
Indikasi radioterapi adalah pasien pada awal penyakit atau pasien
dengan resiko tinggi untuk operasi dan untuk pasien dengan
14
hipotiroid rekuren. Radioterapi merupakan kontraindikasi bagi
wanita hamil dan anak-anak.
c) Operatif
a. Isthmulobectomy , mengangkat isthmusb. Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gramc. Tiroidectomi total, semua kelenjar tiroid diangkatd. Tiroidectomy subtotal bilateral, mengangkat sebagian lobus kanan dan sebagian kiri.e. Near total tiroidectomi, isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal sinistra dan sebaliknya.f. RND (Radical Neck Dissection), mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n. accessories, v. jugularis eksterna dan interna, m. sternocleidomastoideus dan m. omohyoideus serta kelenjar ludah submandibularis.
K. Komplikasi
1. Gangguan menelan atau bernafas
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.
L. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :
a) Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola
perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b) Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c) Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium
setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum
memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan
d) Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara
ini memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam
15
karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi
dilakukan dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa,
yodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan
yodida dalam sediaan air minum.
e) Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya
adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun,
termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah
endemis berat dan endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi
sesuai umur dan kelamin.
f) Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%)
diberikan 3 tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak
di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu
penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
a) Diagnosis
i. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang
berada di depan penderita yang berada pada posisi
duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit
terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul,
perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi,
ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler
kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan
pembengkakan.
ii. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien
diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi.
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba
tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan
pada tengkuk penderita.
16
iii. Tes fungsi hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat
dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar
total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan
radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik
aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya
sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada
pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada
di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit
tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI)
digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar
tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
iv. Foto rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma
telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas).
v. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran
gondok akan tampak di layar TV. USG dapat
memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan
adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi
waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang
dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista,
adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
vi. Sidikan (scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi
radioaktif bernama technetium-99m dan
yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu
17
kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran,
bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-
bagian tiroid.
vii. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang
mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum
tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini
dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi
biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang
benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya.Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran
kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di
sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan
esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia.
Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen,
nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan
memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia
B. SARAN
STRUMA dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada
penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah
kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.oleh karena itu kami
berharap kepada semua mahasiswa khususnya terhadap mahasiswa yang
berada pada lingkungan kampus STIKES KURNIA JAYA PERSADA
dapat memahami pembahasan dari makalah yang kami buat.saran yang
membangun dari kekurangan makalah ini,kami terima dengan baik.
19
DAFTAR PUSTAKA
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi8), EGC, JakartaCarpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi, EGC,JakartaCorwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, JakartaDoenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan,(Edisi III), EGC, Jakarta. FKUI, 1979, Patologi, FKUI, JakartaGanong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, JakartaHinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, EGC, JakartaSherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta Sobotta, 2003, Atlas Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta
20