Upload
rahadianfebri
View
92
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
Magister Studi Pembangunan-ITB 1 |
I. Pendahuluan
Kota Bandung sebagai Ibukota Provinsi Jawa Barat memiliki luas
16.729,65 Ha. Dengan bentuk bentangan alam berupa cekungan dengan
morfologi perbukitan di bagian utara dan dataran di bagian selatan. Secara
geografis, jarak Kota Bandung relatif dekat dengan Jakarta sebagai Ibukota
Negara Indonesia, menjadikan kota Bandung dapat berkembang dengan pesat.
Pesatnya pertumbuhan dan pembangunan kota Bandung ini antara lain juga
didorong oleh adanya jalan tol Cipularang yang mulai digunakan dan berfungsi
pada tahun 2005, yang mempercepat dan mempermudah akses transportasi
menuju kota Bandung, khsususnya dari kota Jakarta.
Ekses dari pertumbuhan pesat kota Bandung adalah kepadatan penduduk
yang terus meningkat setiap tahunnya dan cenderung menimbulkan berbagai
masalah pembangunan di kota Bandung, terkait permasalahan kondisi
lingkungan maupun kondisi sosial, khususnya dalam penataan tempat tinggal
dan hunian penduduk. Berlandaskan kondisi tersebut, salah satu upaya
alternatif untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk adalah melalui
pembangunan perumahan high-rise yang lebih popular disebut sebagai rumah
susun. Dalam hal ini, banyak kota-kota di dunia yang mengalami masalah sama
dan telah berhasil menjalankan alternatif upaya ini secara tepat. Bandung yang
secara tidak langsung menjelma menjadi kota semi-metropolitan juga harus
memiliki ruang untuk mampu menampung dan menyerap dari tingginya laju
pertambahan penduduk. Rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk kota
bandung setiap tahunnya adalah 1% ditambah dengan pendatang dari luar kota
Bandung.
Salah satu pusat kepadatan penduduk di Bandung adalah daerah
Cihampelas atau bantaran sungai Cikapundung, yang telah menjadi sentra
kegiatan perdagangan barang tekstil dari mulai tahun 80-an. Cihampelas
sendiri dikenal sebagai sentra produksi jeans yang menjadi tempat utama
kunjungan turis dari luar kota Bandung.1 Saat ini kawasan tersebut telah
menjadi kawasan ekonomi yang strategis dan menjadi daya tarik aktivitas
ekonomi penduduk di kota Bandung. Maka tidak mengherankan apabila dalam
beberapa tahun terakhir, di kawasan ini telah banyak dibangun kegiatan bisnis
berupa factory outlet, hotel, apartemen dan lainnya.
1 Pada era 1990-an, kawasan ini pun semakin terkenal sebagai sentra jeans di Kota Bandung, dimana pada saat hari-hari libur maupun akhir pekan kawasan ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan dari mancanegara.
Magister Studi Pembangunan-ITB 2 |
Perkembangan pembangunan tersebut tentunya menghasilkan beberapa
keuntungan dan kerugian. Keuntungan bisa diperoleh dari meningkatnya
Pendapatan Daerah yang bisa ditarik, namun kerugiannya, apabila tidak ditata
dengan baik lambat laun kawasan ini dapat kehilangan daya tariknya akibat
volume kepadatan penduduk maupun lalu lintas yang terlalu tinggi. kebutuhan
hunian baru bagi penduduk asli maupun pendatang. Untuk itu pemerintah kota
perlu mengantisipasi perkembangan tersebut dengan salah satunya dengan
mengadakan pembangunan hunian baru untuk mengatasi permasalahan yang
kebutuhan hunian warga yang tidak hanya menyangkut aspek fisik membangun
rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas, seperti lingkungan hidup,
pertanahan, dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat, agar aspek-aspek
kehidupan masyarakat yang harmonis dapat terwujud. Untuk menyelesaikan
masalah tersebut, pemerintah telah berusaha untuk bekerja sama dengan pihak
swasta untuk bisa membangun hunian-hunian baru melalui program 1000 rusun
yang salah satunya dibangun di kawasan Cihampelas2.
Paper ini bertujuan untuk menganalisis dan melihat dampak sosial dan
lingkungan dari adanya pembangunan Rusunami THE JARRDIN Cihampelas,
dengan fokus pengamatan tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif
upaya penataan kependudukan di kota bandung khususnya daerah cihampelas
yang padat penduduk dan selalu menjadi pusat kemacetan di daerah Bandung
Utara.
2 Berdasarkan wawancara dengan kepala RT 03, Rusun Cihampelas merupakan salah satu perwujudan program 1000 rusun pemerintah.
Magister Studi Pembangunan-ITB 3 |
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Lokasi
Lahan pembangunan rusunami The Jarrdin Cihampelas ini pada awalnya
merupakan kolam renang yang dibangun pada tahun 1902 atas prakarsa Ny.
Homann, istri pemilik hotel Homann. Kolam renang ini didirikan untuk melayani
tamu-tamu Eropanya yang rindu dengan suasana kampung halaman mereka,
setelah sebelumnya digunakan sebagai kolam ikan hias milik sang nyonya
Homann. Selama berpuluh tahun, kolam renang ini telah menjadi penarik turis-
turis Eropa untuk mengunjungi Bandung.
Dari segi arsitektur, kolam renang Cihampelas dibangun dengan model
arsitektur abad 19 yang contoh bangunannya tidak banyak di Bandung.
Penggunaan bentuk atap khas dan dinding batu kali yang masiv menunjukan
adopsi asitektur lokal yang menarik. Kolam ini terhitung cukup lengkap pada
masanya, menyediakan 3 buah kolam dengan standar internasional, pertama
berukurang 25 X 50meter berkedalaman 1,2 hingga 2 meter, kemudian kolam
kedua berukuran 12 X 12 meter, berkedalaman 1,1 meter, sedangkan kolam
ketiga berukuran 8 X 3 meter berkedalam 80 CM khusus untuk anak-anak.
Gamb
a r 1 &
2.
Kolam
Renang Cihampelas
Pada masa kejayaanya pendirian Bandoengse Zwem Bond atau
Perserikatan Renang Bandung tahun 1917 turut mewarnai sejarah pemandian
ini. Perserikatan ini membawahi 7 perkumpulan, diantaranya club-club renang
sekolah seperti OSVIA, MULO dan KWEEKSCHOOL. Pada tahun 1936 Di kolam
renang ini seorang Hindia Belanda bernama Pet Stam berhasil mencatat rekor
0:59.9 untuk 100 meter gaya bebas dan, berhasil dikirim untuk ambil bagian
dalam Olimpiade Berlin atas nama negeri Belanda. Selain renang, pada masa
tersebut olahraga polo air diadakan setiap hari minggu di tempat ini. Setelah
kemerdekaan, kolam renang ini ikut mewarnai perkembangan olahraga Jawa
Magister Studi Pembangunan-ITB 4 |
Barat. Kolam ini menjadi tempat berlatih klub renang Aquarius sejak 1952.
Kolam ini pernah melahirkan atlet-atlet renang Jabar yang berhasil unjuk
kemampuan di tingkat nasional dan internasional, seperti Susanti
Wangsawiguna dan Wijaya Aulia.
Oleh karena itu, apabila dilihat dari sisi dan nilai sejarah, Pemandian
Cihampelas telah memenuhi aspek-aspek bangunan bersejarah menurut Snyder
dan Catanes (1979), yaitu : aspe kelangkaan (tidak dimiliki daerah lain), aspek
kesejarahan (lokasi peristiwa bersejarah), Estetika, Superlativas (keunikan),
Kejamakan (mewakili ragam arsitektur tertentu) hingga pengaruh terhadap
social (meningkatkan citra lingkungan sekitar).
2.2 Konsep Pembangunan ‘High Rise’ Rumah Susun
Rumah susun adalah bangunan bertingkat untuk hunian yang satuannya
dapat dimiliki secara terpisah. Sebagai bangunan hunian yang dapat dimiliki
secara terpisah, penghuni rumah susun mempunyai batasan-batasan dalam
memanfaatkan ruang dan benda yang terdapat dalam rumah susun. Dalam
rumah susun dikenal adanya bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama. Ketiga hal tersebut merupakan hak bersama dari rumah susun yang
tidak dapat dimiliki secara individu, karena merupakan satu kesatuan
fungsional dari bangunan rumah susun yang tidak dapat dipisahkan.
Istilah rumah susun dapat dijumpai dalam berbagai pengertian.
Kondominium menunjuk pada suatu bentuk pemilikan yang melibatkan lebih
dari seorang pemilik bangunan. Sebelum istilah kondominium ini banyak
digunakan, pada waktu lampau sering dikenal istilah seperti co-proprietors
ownership, tergantung pada asal negaranya ( Maria S. W. Sumardjono, 2007).3
Dari pengertian kondominium ini, di samping dikenal adanya milik bersama,
juga dikenal bagian-bagian bangunan yang merupakan satu kesatuan yang
dapat dihuni atau digunakan secara terpisah yang disebut apartemen.
Berdasarkan UU No.16 tahun 1985 tentang rumah susun, pasal 1 ayat 1,
Disebutkan bahwa Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
3 Penggunaan istilah condominium dalam bahasa Latin diawali dengan pencantumannya pada peraturan perundang-undangan di Italia pada tahun 1930an. Secara Harafiah condominium berarti pemilikan bersama. Dominium berarti to have control (over a certain property) dengan cara con atau jointly with one or more others persons.
Magister Studi Pembangunan-ITB 5 |
secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama. Jadi rumah susun merupakan
suatu pengertian yuridis arti bangunan gedung bertingkat yang senantiasa
mengandung sistem kepemilikan perseorangan dan hak bersama, yang
penggunaannya bersifat hunian atau bukan hunian. Secara mandiri ataupun
terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.
Sejak tahun 20’an, Pembangunan rumah susun telah dianggap sebagai
salah satu alternatif pilihan ideal untuk penyediaan hunian yang efektif bagi
suatu kawasan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi serta
permasalahan pada kurangnya ketersediaan hunian, ketidaklayakan hunian dan
keterbatasan lahan4.
Untuk menentukan besaran rumah susun yang akan dibuat dapat diambil
berdasarkan standar kebutuhan ruang perorangan yaitu 9 m2. Dasar pemikiran
bahwa dalam satu keluarga terdiri dari 4 orang anggota keluarga (orang tua
ditambah dua anak), jadi kebutuhan ruang untuk setiap satuan rumah susun
adalah 36 m2. Tetapi ada hal penting yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan luas satuan unit hunian rumah susun adalah kemampuan penghuni
dalam membayar sewa perbulan, biaya listrik dan supply air bersih per bulan.
Menurut US Departement of Housing and Urban Development tahun (2001)
menyebutkan bahwa sebuah keluarga dikatakan mampu membayar sewa rumah
sebesar 20%-30% dari total pendapatan atau maksimal 1/3 dari pendapatan.
Sementara kemampuan ekonomi warga pada kawasan studi adalah masyarakat
berpenghasilan rendah, rata-rata pendapatan mereka antara 800 ribu-1,8 juta
rupiah perbulan.
Dalam aspek psikologi dan social, Young (1976) menyarankan bahwa
pembangunan rumah susun harus memperhatikan aspek perkembangan
kreativitas dan fisik dari anak kecil yang membutuhkan lahan dan fasilitas
bermain. Selain itu, masalah kesehatan juga perlu diberikan perhatian lebih
lanjut. Walaupun belum ada hubungan jelas antara masalah kejiwaan dengan
urbanisasi ‘high density’, pembangunan high density cenderung mengurangi
kontak social dan interaksi komunikasi antar penghuninya. (Young, 1976; HDB,
2000).
4 Konsep ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1922 oleh Le Corbusier, yang mengajukan konsep penggunaan 15% lahan untuk pemukiman dan 85% lahan terbuka untuk rekreasi dan kegiatan lainnya.
Magister Studi Pembangunan-ITB 6 |
2.3 Program Pembangunan Rumah Susun Nasional
Indonesia telah ikut menandatangani Deklarasi Cities Without Slums
Initiative yang mengamanatkan pentingnya upaya perwujudan daerah
perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh. Deklarasi tersebut
ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit dalam mewujudkan daerah perkotaan
yang bebas dari permukiman kumuh yang mengedepankan strategi
pemberdayaan melalui pelibatan seluruh unsur stakeholders dengan
menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya penanganan
permukiman kumuh ini adalah dalam rangka mewujudkan lingkungan
permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan serta terwujud
masyarakat yang mandiri, produktif dan berjatidiri.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan
yang jumlah penduduknya terus meningkat karena pembangunan rusun dapat
mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih
lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi
daerah yang kumuh. Selain itu, Pembangunan rusun bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, dengan meningkatnya daya guna
dan hasil guna tanah di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan hanya
tersedia luas tanah yang terbatas. Dalam pembangunannya diperhatikan antara
lain kepastian hukum dalam penguasaan dan keamanan dalam pemanfaatannya,
kelestarian sumber daya alam yang bersangkutan serta penciptaan lingkungan
pemukiman yang nyaman, lengkap, serasi dan seimbang.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan dalam sistem
perkotaan nasional sebagai bagian Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Kawasan
Perkotaan Bandung Raya. Dalam dokumen ini juga, Kota Bandung juga
ditetapkan sebagai bagian dari kawasan strategis nasional berdasarkan
pertimbangan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan
budaya, pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi serta fungsi
daya dukung lingkungan. Selain itu, Kota Bandung ditetapkan sebagai kawasan
andalan cekungan bandung yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis nasional
yaitu mempunyai kemampuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan
dan wilayah di sekitarnya serta untuk mendorong pemerataan perkembangan
Magister Studi Pembangunan-ITB 7 |
wilayah. Dalam system perkotaan RTRWP Jawa Barat ini, Kota Bandung
ditetapkan sebagai bagian dari PKN Kawasan Perkotaan Bandung Raya
bersama-sama dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten
Sumedang.
Pada Bulan Oktober 2007, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono telah
mencanangkan pembangunan 1000 tower rumah susun sederhana. Lokasi
proyek tersebar di :
1. Jabodetabek atau Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
2. Medidang atau Medan, Binjai dan Deli Serdang.
3. Barelang atau Batam, Rempang dan Pulau Galang.
4. Gerbang Kertosono atau Gresik, Bangkalan, Kertosono, Surabaya dan
Sidoardjo.
5. Mamimasata atau Makassar, Maros, Sunggu Minasa dan Takalar
Dengan rincian rencana pembangunannya adalah 50 persennya (500
tower) dibangun di Jabotabek, 30 persen (300 tower) di Pulau Jawa selain
Jabotabek, sedangkan 20 persen (200 tower) dibangun diluar Pulau Jawa.
Selanjutnya pembangunan rumah susun ini akan dibagi menjadi 2 (dua) macam
rusun yaitu, yakni rusun hak milik yang kepemilikannya akan diperjualbelikan
dan rusun sederhana sewa. Rusun sederhana sewa dibangun untuk masyarakat
yang tinggal di bantaran sungai dan mereka tidak harus membelinya, hanya
menyewa.
2.4 Pembangunan Rumah Susun di Negara Lain sebagai Perbandingan
Negara lain telah jauh lebih dulu menyadari peran pembangunan rumah
susun sebagai suatu solusi untuk mengatasi berbagai masalah penduduk serta
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Negara Singapura di bawah
Perdana Menteri Lee Kuan Yew merupakan negara di Asia yang secara sadar
meninggalkan pendekatan welfare policy dalam kebijakan perumahannya, dan
mengubah cara kerja lembaga tabungan pekerja, Central Provident Fund, yang
diwarisinya dari pemerintah kolonial Inggris, dengan menempatkan kebijakan
strategis perumahan dalam tujuan pembangan ekonomi secara keseluruhan,
serta memadukan lembaga-lembaga keuangan negara untuk tujuan ini terkait
dengan kebijakan pengembangan rumah susun untuk warga dalam jumlah
massal yang dikendalikan melalui program pemerintah. Pengalaman Singapura
ini diikuti dan dikembangkan dengan sukses di Cina dalam skala yang lebih
Magister Studi Pembangunan-ITB 8 |
besar baik untuk kota-kota baru maupun peremajaan dan pembangunan
kembali kawasan-kawasan kota lama.
Program pembangunan perumahan publik (rumah susun) di Cina dimulai
pada tahun 1949, yang bertujuan untuk memberikan fasilitas tempat tinggal
(hunian) dengan biaya yang murah. Akan tetapi, tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk di cina juga memunculkan permasalahan tersendiri, khususnya
terkait ketersediaan dan daya tampung perumahan untuk publik dan kalangan
masyarakat miskin serta masalah lingkungan dimana jumlah ruang-ruang hijau
dan ruang publik di cina terus menurun setiap tahunnya karena beralih fungsi
lahan menjadi rumah penduduk, inilah yang menjadikan landasan dasar
pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan rumah di cina dengan konsep
tower (rumah susun) dengan penentuan lokasi rumah susun di Cina yang
mayoritas didirikan di daerah pinggiran kota. Sampai dengan saat ini,
pembangunan rumah susun di Cina dibangun oleh pihak pemerintah. Harga
rumah susun di China rata-rata mencapai 70.000 Yuan dengan ukuran rata-rata
50-90 meter persegi per unit. (dyck. 2000). Kebijakan pemerintah yang
menyediakan perumahan murah ini disebut sebagai 'Lian Zu Fang' (Rumah
Sewa Murah).
Kebijakan penataan pemukiman kumuh dengan konsep pembangunan
rumah susun di Cina efektif mengurangi kepadatan penduduk dan menambah
ruang-ruang hijau dan ruang umum bagi publik. Selain itu pembangunan ini
juga sangat mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan hidup.
“Thus, on one hand, our strategies were to develop plans that could preserve culture, encourage social interactions, and build a sense of community. On the other hand, we sought design solutions where the landscape can be more ecologically responsive in relation to water conservation and retention and to carbon dioxide absorption; and where the housing can be far more energy efficient. The energy efficient design is to conserve energy by better insulation and reduced infiltration, to maximize the use of solar energy for daylighting and winter heating, and to use solar shading and natural ventilation for summer cooling. However, rather than developing a design that might contain a large palette of available “sustainability techniques,” we sought to develop an understanding of those concepts and technologies that would be most effective; and therefore would make greatest sense for each project.”5
5 Qingyan CHEN 1, Leon GLICKSMAN2, Juintow LIN3, and Andrew SCOTT.” Sustainable Urban Housing in China” Hlm. 2
Magister Studi Pembangunan-ITB 9 |
Gambar 3 : Contoh Skema Proyek Rusun Huilongguan
Keberhasilan pemerintah Cina untuk memindahkan serta mengatur
pemukiman kumuh ini antara lain dipengaruhi oleh berbagai insentif yang
diberikan pemerintah bagi penghuni rumah susun antara lain yaitu :
Mengantisipasi beban cicilan sewa rumah yang besar, pemerintah
China membuat kebijakan skema cicilan kredit yang bisa dibayar
untuk dua generasi. Artinya seorang yang mengkredit rumah susun
diberikan kesempatan untuk menempati hunian dua generasi
termasuk membagi beban dalam mencicil.
Satu keluarga di China diperbolehkan memiliki 2 unit rusun.
Kebijakan ini bertujuan agar rusun yang tak ditempati bisa
disewakan untuk menopang ekonomi keluarga tersebut.
Di lokasi Rumah susun tersebut banyak dibangun sarana
transportasi umum seperti terminal bus, kereta, sehingga akses
masyarakat untuk mencapai lokasi tempat kerja atau menuju kota
menjadi lebih mudah, sehingga masyarakat cenderung menyetujui
ajakan pemerintah untuk memindahkan tempat tinggal mereka ke
rumah susun.
Magister Studi Pembangunan-ITB 10 |
Pemerintah mengatur dan mendata siapa yang akan mengisi
rumah susun tersebut, dengan daftar masyarakat yang berhak
menerima atau menghuni rumah susun tersebut.
2.5 Dampak Lingkungan - Ecological Footprint
Ecological foorprint atau Tapak ekologi, adalah konsep yang
dikembangkan oleh Dr. Mathis Wackernagel dan beberapa koleganya di Kanada
dan Amerika, sebagai usaha untuk mencermati “pengaruh” atau “impact”
manusia terhadap “cadangan kekayaan dan kemampuan dukung bumi”. Melalui
penggunaan konsep “tapak ekologi” ini, bisa dilihat seberapa besar kekayaan
bumi atau suatu wilayah (terutama yang SDA yang terbarukan) yang masih
tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap
ketersediaannya (Wackernagel, 2000).
Ecological footprint merupakan suatu ukuran untuk mengetahui besarnya
sumber daya biologis lahan dan air yang digunakan untuk mendukung aktifitas
konsumsi dan mengasimilasi produksi limbah dari populasi manusia di kawasan
tertentu (Wackernagel et al., 1997). Hal ini didasari oleh ide bahwa setiap
aktifitas individu, komunitas, dan kawasan memiliki dampak terhadap sumber
daya alami bumi melalui penggunaan sumber dayanya, limbah yang dihasilkan,
dan jasa yang diberikan oleh lingkungan. Dengan kata lain, ecological footprint
mengukur tingkat aktifitas manusia di dalam lingkup kapasitas alam sehingga
dapat diketahui apakah aktifitas manusia saat ini masih dalam ambang batas
atau telah melebihi kapasitas yang dapat disediakan oleh alam (carrying
capacity). Jika ecological footprint masih dalam ambang batas kapasitas alam,
maka dapat dikatakan aktifitas manusia di atasnya masih berkelanjutan. Namun
jika melebihi kapasitas yang dapat diberikan oleh alam, maka dapat dikatakan
bahwa aktifitas manusia di atasnya tidak berkelanjutan (Wackernagel et al.,
1997).
Besarnya ecological footprint dari tiap individu dapat diukur dari tingkat
konsumsi dan produksi limbahnya. WWF (http://footprint.wwf.org.uk/) dan
Global Footprint Network (http://www.footprintnetwork.org) menyediakan alat
untuk menghitung secara sederhana footprint individu. Secara umum,
komponen yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut untuk mengetahui
besarnya ecological footprint adalah:
• Tingkat konsumsi daging, susu, telur, sayur, dan ikan per satuan
waktu
Magister Studi Pembangunan-ITB 11 |
• Pengeluaran konsumsi rumah tangga bulanan
• Jumlah individu yang tinggal di dalam rumah dan ukuran rumah
• Sumber daya listrik dan perilaku penggunaannya
• Tingkat perilaku penggunaan kendaraan pribadi dan kendaraan
publik
Dari komponen-komponen di atas, kemudian ditentukan besarnya sumber
daya alam dan jasa lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung tingkat
konsumsi dan mengasimilasi limbah yang dihasilkan dari proses konsumsi
tersebut. Kemudian, keberlanjutan dari sumber daya alami dan jasa lingkungan
yang digunakan dapat ditentukan berdasarkan daya dukung alami (carrying
capacity) yang tersedia.
Konsep ini, merupakan salah satu dari berbagai konsep yang telah
dikembangkan oleh para ilmuwan, untuk lebih mengerti dan mendalami makna
dari “daya dukung bumi” (“earth carrying capacity”), khususnya daya dukung
SDA terbarukan. Apabila konsep “daya dukung bumi” lebih dititik beratkan
pada besar maksimum populasi yang mampu ditopang secara berkelanjutan
oleh suatu luasan area di bumi (termasuk di dalamnya segala sumber daya yang
ada), maka konsep “tapak ekologi”, sebaliknya, lebih menitik beratkan pada
“besarnya pengaruh suatu
populasi terutama manusia
pada ketersediaan
sumber daya yang ada di bumi”.
Gambar 4. Konsep Ecological Footprints
Ide tapak ekologi, di awali dengan pemikiran bahwa bumi kita, yang
hanya satu-satunya, mempunyai luas permukaan (air dan darat), yang tertentu
Magister Studi Pembangunan-ITB 12 |
dan relatif tetap. Dari seluruh luasan permukaan bumi, tidak seluruhnya
merupakan area yang produktif secara biologis (“biologically productive areas
atau BPA”), yang artinya bisa mendukung sistim kehidupan dengan
menghasilkan secara biologi berbagai sumber daya (makanan, obatobatan,
rekreasi alam, bahan pakaian, bahan perabotan, ataupun turunan biologis
berupa minyak bumi dan gas) yang bisa dikonsumsi oleh manusia, dan atau
menjadi tempat pembuangan serta asimilasi sampah hasil konsumsi manusia.
Untuk melihat seberapa besar pengaruh manusia maupun sekelompok
manusia terhadap kapasitas kekayaan sumber daya alam terbarukan di bumi
(“biocapacity”), maka perlu dilakukan perhitungan tapak ekologi. Perhitungan
ini, didasarkan pada dua fakta sederhana yaitu yang pertama, manusia
umumnya dapat menelusuri sebagian besar konsumsi sumber daya alam (baik
berupa produk ataupun jasa), serta sampah yang kita produksi. Kedua adalah,
sebagian besar dari sumber daya ini bisa diukur kesetaraannya dalam bentuk
area permukaan bumi yang produktif secara biologis atau “biologically
productive areas” atau disingkat BPA dalam satuan hektar (ha). Ecological
footprint merupakan alat untuk mengevaluasi tanah yang secara alami mampu
menghasilkan dan mengelola limbah, atau dikenal sebagai tanah produktif
secara biologis. Perhitungan dasar ecological footprints mencerminkan
seberapa banyak alat, energi, dan ruang yang dibutuhkan oleh penduduk dan
kemampuan suatu wilayah atau daerah untuk memenuhi kebutuhan itu.
2.6 Teori Kepadatan dan Kesesakan
Pembangunan Rumah Susun merupakan salah satu solusi bagi penataan
kawasan kumuh, dimana menurut Lampiran Perpres No. 7 tahun 2005
disebutkan bahwa di wilayah perkotaan, telah meningkat luas permukiman
kumuh dari 40.053 Ha pada tahun 1996 menjadi 47.500 Ha pada tahun 2000.
Penataan kawasan kumuh dalam jangka panjang dapat berdampak untuk
mengatasi kemacetan lalu-lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya
tranportasi yang pada akhirnya dapat menekan inefisiensi di dalam
pembangunan ekonomi Indonesia (high cost economy).
Perencanaan pembangunan rumah susun yang baik, sepatutnya
dilakukan mengacu pada jumlah dan kepadatan penduduk, kepadatan
bangunan, rencana rinci tata ruang, layanan prasarana, sarana, dan utilitas
umum, layanan transportasi, alternatif pengembangan konsep pemanfaatan
rumah susun, konsep hunian berimbang; dan analisis potensi kebutuhan rumah
Magister Studi Pembangunan-ITB 13 |
susun.
Peneliti-peneliti seperti Carey (1972) dan Carson (1964) menemukan
bahwa manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (inside-density)
dan diluar rumahnya (outside-density). Dengan mengkombinasikan dua jenis
kepadatan ini maka diperoleh 4 jenis kepadatan, yaitu:
Kepadatan pedesaan dimana kepadatan di dalam rumah tinggi, tetapi
kepadatan di luar rendah
Kepadatan pinggiran kota (suburb) dimana kepadatan di dalam
maupun di luar rumah rendah
Kepadatan pemukiman kumuh di kota dimana kepadatan di luar
maupun di dalam rumah tinggi
Kepadatan pemukiman mewah di kota besar dimana kepadatan di
dalam rumah rendah, tetapi kepadatan di luar rumah tinggi.
2.7 Teori Nilai Lahan dan Konsolidasi Tanah (Land Consolidation)
Teori ini menjelaskan bahwa nilai lahan dan penggunaan lahan
mempunyai kaitan yang sangat erat. Nilai lahan atau land value adalah suatu
penilaian atas lahan didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam
hubungannya dengan produktivas dan strategi ekonominya. Harga lahan adalah
penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang
untuk satuan luas pada pasaran lahan (Hari Sabari Yunus, 2000).
Penilaian atas lahan di perkotaan dapat dilakukan secara tidak langsung
yakni produktivitas lahan yang ditimbulkan oleh keberadaan lokasi. Faktor –
faktor yang mempengaruhi nilai lahan diperkotaan adalah : lingkungan,
drainase dan lokasi dimana lahan tersebut berada serta aksesibilitas. Derajat
aksesibilitaslah yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan. Semakin tinggi
aksesibilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya dan biasanya hal ini
dikaitkan dengan keberadaan konsumen akan barang dan jasa. Derajat
keterjangkauan ini berkaitan dengan :
1. Potential shoppers yang banyak;
2. Kemudahan untuk datang/pergi ke/dari lokasi tersebut.
Kompetisi untuk memperoleh lokasi dengan aksesibilitas tinggi sangat
ketat dan lokasi seperti ini menentukan nilai lahan yang tinggi dan harga lahan
yang tinggi. Selain itu, konsep konsolidasi lahan menjelaskan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan kota dalam perjalanannya telah memunculkan
Magister Studi Pembangunan-ITB 14 |
berbagai persoalan pembangunan. Salah satunya adalah persoalan pertanahan,
ketidakseimbangan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan tanah untuk
memenuhi kebutuhan perumahan, pertanian dan kegiatan usaha serta
penyediaan infrastruktur lingkungannya. Kondisi ini mengakibatkan munculnya
permukiman-permukiman kumuh terutama di pinggiran dan pusat perkotaan
yang sangat minim dengan sarana dan prasarana lingkungan permukiman. Hal
seperti ini dapat dihindari apabila dari awal perencanaan dan penataan kota
berpihak pada kepentingan masa mendatang dengan tetap memperhatikan
keberlanjutan dan kelestarian lingkungannya.
Selama ini, pengaturan pembangunan dan pengelolaan Rumah Susun,
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun (UU Rusun), dimana tujuan pembangunan rumah susun
adalah untuk memenuhi kebutuhan hunian sekaligus meningkatkan kualitas
kehidupan seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan
menengah ke bawah. Selanjutnya lahir Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Pemukiman, yang pada dasarnya hanya suatu aturan
yang bersifat umum, yang seharusnya sudah ada sebelum UU Rusun, demikian
juga beberapa produk hukum dan perundang-undangan dibidang perumahan
dan permukiman telah banyak dikeluarkan.
Magister Studi Pembangunan-ITB 15 |
III. Analisis dan Pembahasan
Penyediaan rumah susun, dalam hal ini The Jarrdin Cihampelas
merupakan salah satu upaya pemerintah kota bandung yang bekerja sama
dengan pihak swasta untuk merubah kawasan kumuh menjadi kawasan
perumahan rumah susun. Namun berdasarkan pada pengamatan di lapangan,
pengembang lebih tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan rumah
untuk warga berpenghasilan tinggi yang lebih menjamin keuntungan. Selain itu,
proses pembangunan perumahan ini juga masih mengandung sejumlah
kelemahan yang bermuara pada tiga masalah besar, yaitu (1) Lingkungan hidup
dan tata-ruang, (2) Dikotomi dan konflik, serta (3) Ketidakadilan.
3.1 Lingkungan Hidup dan Tata Ruang
Seiring dengan pemberlakuan kedua UU No.16 tahun 1985 tentang
rumah susun maka perlu dikaji efektifitasnya dalam mengatur penetapan rumah
susun. Hal ini dikarenakan UU Rusun telah berlaku dalam jangka waktu yang
relatif lama, dengan dilatarbelakangi suasana perpolitikan dan kenegaraan
yang jauh berbeda, serta keadaan sosial budaya masyarakat yang makin
berkembang jauh berbeda, dimana baik secara jumlah maupun pola pikir
masyarakat dewasa ini jauh lebih kompleks dan kritis. UU Rusun dirasakan
tidak mampu mengatur dan mengantisipasi adanya dinamika perubahan
kehidupan perkotaan, perumahan, permukiman dan rumah susun yang terus
berkembang. Perubahan sosial-ekonomi-budaya-politik yang diwarnai dengan
peraturan perundang-undangan baru beserta turunannya menuntut
penyesuaian berbagai sektor kehidupan, termasuk perumahan dan rumah
susun.
Khusus untuk di kota Bandung, pemerintah berusaha merubah kawasan
kumuh menjadi kawasan perumahan rumah susun dengan bekerja sama dengan
pihak swasta (pengembang). Namun seringkali pada kenyataan di lapangan,
pengembang lebih tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan rumah
untuk warga berpenghasilan tinggi yang lebih menjamin keuntungan. Selain itu,
Proses pembangunan perumahan, juga masih mengandung sejumlah kelemahan
yang melekat pada sektor pemerintah dan masyarakat serta sektor swasta , dan
telah menyebabkan tiga masalah besar, yaitu tanah dan tata-ruang, dikotomi
dan konflik, serta ketidakadilan.
Magister Studi Pembangunan-ITB 16 |
Kawasan Cihampelas khususnya bantaran Cikapundung dalam beberapa
periode terakhir telah menjelma menjadi sentra kegiatan ekonomi dan
kepadatan penduduk yang lambat laun meningkatkan jumlah pemukiman
kumuh di daerah ini. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh pergeseran
penduduk masyarakat berpenghasilan rendah dari daerah sekitar bandung
lainnya maupun dari luar kota bandung untuk mencoba mencari manfaat
ekonomi di daerah ini. Perumahan kumuh dicirikan dengan kondisi sanitasi dan
tata ruang yang buruk, yang dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan
penghuninya, kerawanan kebakaran, potensi meningkatnya peluang
kriminalitas, terganggunya norma tata susila dan masalah lingkungan lainnya
seperti banjir serta kurangnya air bersih.
Pembangunan Rumah susun ini tampaknya menjadi upaya pemerintah
untuk meminimalisir dan menata kepadatan penduduk di daerah cihampelas
agar menjadi layak huni. Namun dalam pelaksanaannya, tidaklah demikian,
dimana pembangunan rusunami THE JARRDIN Cihampelas cenderung tidak
bertujuan untuk mencapai tujuan penataan kota dan pemukiman kumuh daerah
cihampelas menjadin lebih baik. Fakta ini dapat dilihat dari relatif tingginya
harga untuk menjadi penghuni rusunami the jarddin cihampelas, dimana harga
yang ditawarkan untuk menjadi penghuni rusunami (sertifikat hak milik/strata
title) tersebut mulai dari Rp.88 juta dengan luas hunian yang bervariasi dari
mulai 18,5m2 sampai dengan 66m2.
Magister Studi Pembangunan-ITB 17 |
Gambar 5. Pembangunan Rusunami The Jarrdin Cihampelas
Kondisi ini menunjukan bahwa target pasar pembangunan rusunami ini
adalah masyarakat kalangan pendapatan menengah dan menengah keatas
dengan menggunakan istilah rusunami sebagai pengganti kata apartemen.
Dengan melihat kondisi tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan
rusunami ini bukanlah untuk menata hunian padat penduduk dan pemukiman
kumuh didaerah sekitar cihampelas, melainkan bertujuan untuk memberikan
alternatif investasi dan tempat tinggal bagi masyarakat kalangan menengah dan
menengah keatas. Dengan kata lain pembangunan ini adalah upaya alternatif
untuk menambah kapasitas ruang hunian baru di daerah yang padat penduduk
yang tentunya akan menambah kepadatan penduduk serta memaksakan
peningkatan daya tampung daerah cihampelas.
Gambar 6 & 7 . Kota Bandung dilihat dari cihampelas
Magister Studi Pembangunan-ITB 18 |
Konsep penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah kota bandung
belumlah menitikberatkan pada kepentingan dan tujuan untuk meminimalisasi
kepadatan penduduk dan pemukihan kumuh di daerah cihampelas. Hal ini
terihat dari relatif mudahnya perijinan untuk alih fungsi lahan untuk dibangun
rusunami di daerah cihampelas. Kondisi ini menunjukan cenderung
diabaikannya dampak sosial, tata ruang dan lingkungan yang akan timbul, serta
tidak memperhitungkan kemampuan daya tampung daerah cihampelas yang
saat ini telah penuh sesak.
Fakta yang ada dilapangan menunjukan bahwa beberapa dampak sosial
dan lingkungan dari adanya pembangunan rumah susun ini antara lain yaitu,
bertambahnya masalah lingkungan hidup dan kepadatan penduduk di
Cihampelas, yang menyebabkan bertambahnya permasalahan sosial di kawasan
cihampelas, khususnya di daerah pembangunan rusunami The Jarrdin. Seperti
diketahui, lokasi apartemen sangatlah dekat dengai sungai Cikapundung yang
sehari-hari digunakan warga untuk berbagai keperluan akan kebutuhan air.
Apabila tidak ada pengolahan limbah yang memadai, kondisi ini memiliki
kecenderungan yang tinggi bahwa output limbah apartemen akan merusak
kualitas air Cikapundung. Selain itu, bila dilihat dari aspek tata ruang, lokasi
pembangunan rusunami ini cendeurng kurang memperhatikan aspek kepadatan
lalu-lintas Cihampelas, padahal salah satu tujuan didirikannya rumah susun
adalah untuk mempermudah mobilitas warga menuju lokasi pekerjaanya.
3.2 Analisis Ecological Footprint Kawasan Cihampelas
Berdasarkan komponen pengukuran ecological footprint sesuai dengan
kajian teori di atas, maka dapat diketahui ilustrasi dari proses konsumsi dan
produksi biologis kawasan Cihampelas bertambah bebannya dengan
dibangunnya rusunami di kawasan tersebut, dilihat berdasarkan daur energi
dan ekologi lingkungan. Untuk mendukung konsumsi makanan masyarakat
Cihampelas, sejumlah sumber daya alam dan jasa lingkungan digunakan dan
bersumber dari kawasan sekitar Bandung. Daging, sayur, dan telur dapat
berasal dari perkebunan dan peternakan di Bandung dan sekitarnya. Namun
untuk konsumsi ikan terutama ikan laut harus mendatangkan ikan dari pusat-
pusat Tempat Pelelangan Ikan, dan menggunakan transportasi yang
menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan limbah gas CO2.
Kendaraan masyarakat Cihampelas akan menghasilkan limbah gas CO2
dimana sejumlah tanaman pohon diperlukan untuk mendaur CO2 dalam proses
Magister Studi Pembangunan-ITB 19 |
fotosintesis. Peternakan dan perkebunan menggunakan tanah dan air untuk
mendukung produksinya, dan juga bahan-bahan lain yang bersumber dari alam
seperti amonium sulfat dan oksigen, cacing untuk dekompos limbah tanah, dan
bahan lainnya. Air yang digunakan untuk proses konsumsi rumah tangga dan
produksi bahan-bahan konsumsi tersebut dapat berasal dari air tanah yang
tersedia di kawasan perbukitan sekitar Bandung. Air tanah ini dapat berkurang
jika tingkat eksploitasi air tanah melebihi tingkat regenerasinya.
Dari ilustrasi proses konsumsi dan produksi di atas, dapat diduga bahwa
tingkat penggunaan sumber daya alam dan jasa lingkungan memberikan
kontribusi yang tinggi terhadap besarnya ecological footprint masyarakat
Cihampelas. Dengan kondisi masyarakat Cihampelas sekarang, beban
lingkungan Cihampelas untuk mendukung proses konsumsi dan produksi
masyarakat sudah cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari padatnya arus
kendaraan di jalan Cihampelas dan tingginya kepadatan populasi penduduk
Cihampelas.
Dengan adanya pembangunan rusunami di Cihampelas tanpa
memindahkan pemukiman horizontal menjadi vertikal, akan semakin
meningkatkan kepadatan populasi penduduk Cihampelas. Hal ini dalam daur
energi dan ekologi lingkungan akan semakin meningkatkan ecological footprint
kawasan Cihampelas, sehingga mungkin di masa depan akan melebihi kapasitas
daya dukung lingkungan Bandung. Departemen Kementrian PU dalam
publikasinya Ecological Footprint of Indonesia (2010) menyatakan bahwa
ecological footprint jawa barat secara umum telah melebihi kapasitas dan daya
dukung lingkungannya. Hal ini dapat berarti bahwa jika beban lingkungan di
Cihampelas semakin meningkat maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang
cukup besar dan akan merugikan tidak hanya masyarakat Cihampelas, namun
juga masyarakat Bandung dan Jawa Barat.
3.3 Perbandingan Konsep Pembangunan Rumah Susun
Melihat keberhasilan penataan pemukiman kumuh dengan pembangunan
rumah susun di cina, dapat diketahui bahwa konsep pembangunan rumah susun
di Indonesia khususnya di lokasi pengamatan studi memiliki beberapa
perbedaan yang cukup signifikan khususnya dalam upaya meminimalisasi
pemukiman kumuh dan keadatan penduduk. Pada pembangunan rusunami The
Jarrdin Cihampelas, terlihat jelas perbedaan tujuan pembangunan rusun dengan
Magister Studi Pembangunan-ITB 20 |
pembangunan-pembangunan rusun di negara cina, seperti lokasi pembangunan
rusunami, harga sewa, infrastruktur dan aspek lingkungan.
Di Cina, pembangunan rumah susun dikelola dan dibangun oleh pihak
pemerintah, pola pembangunan ini menunjukan bahwa pembangunan rumah
susun dibangun layaknya membangun barang yang bersifat publik namun
penghuni rumah susun tersebut tetap diminta membayar uang sewa (bersifat
semi-public). Tujuan pembangunan ini cenderung efektif dan berjalan
sebagaimana mestinya, dimana pemerintah mampu untuk mengatur dan
memindahkan masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh dengan berbagai
insentif yang diberikan, sehingga masyarakat pun secara tertib dan
terkoordinasi diatur untuk mengisi rumah susun yang telah dibangun oleh
pemerintah tersebut. Dampak lingkungan dari adanya pemindahan penduduk
dari lingkungan tersebut antara lain menambah ruang-ruang hijau dan ruang
umum bagi publik. Oleh karena itu di negara cina seluruh pembangunan
perumahan di kota-kota di China saat ini sudah mengedepankan pembangunan
rumah susun dengan menerapkan konsep welfare policy dalam kebijakan
perumahannya, dengan menempatkan kebijakan strategis perumahan dalam
tujuan pembangan ekonomi secara keseluruhan, serta memadukan lembaga-
lembaga keuangan negara untuk tujuan ini terkait dengan kebijakan
pengembangan rumah susun untuk warga dalam jumlah besar yang
dikendalikan melalui program pemerintah.
Sementara itu, di Indonesia khsususnya di lokasi pengamatan,
menunjukan bahwa konsep pembangunan rumah susun cenderung belum
mampu untuk mengatasi permasalahan kepadatan penduduk dan mengurangi
jumlah pemukiman kumuh. Perbedaan konsep ini antara lain dapat dilihat dari
proses pembangunan rumah susun di Indonesia tidaklah dibangun dan dikelola
secara langsung oleh pemerintah, melainkan pemerintah hanya berperan
sebagai otoritas yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi pihak
pengembang swasta (subsidi). Kondisi ini cenderung mempengaruhi pola dan
tercapainya tujuan pembangunan rumah susun.
Pembangunan rusunami THE JARRDIN Cihampelas cenderung tidak
bertujuan untuk menyerap dan memindahkan penduduk lingkungan kumuh di
cihampelas dan memindahkan ke dalam rumah susun tersebut, tetapi rumah
susun yang dibangun ini adalah untuk menyediakan atau menambah kapasitas
dan saya serap ruang penduduk cihampelas walaupun dilakukan dengan cara
Magister Studi Pembangunan-ITB 21 |
menghabiskan ruang-ruang hijau dan ruang publik serta ditambah lagi dengan
lokasi pembangunan di sekitar daerah kumuh. Kondisi ini tidaklah mampu
mewujudkan tujuan penataan kota dan pemukiman kumuh daerah cihampelas
menjadi lebih baik.
3.4 Dikotomi dan Konflik
Dari pengamatan di lapangan, dapat ditemukan beberapa konflik
menyangkut pembangunan Apartemen Cihampelas dengan beberapa kelompok
penduduk yang berakibat pada kendala pada pembangunan apartemen
tersebut. Konflik tersebut pada dasarnya terjadi atas pertimbangan sebagai
berikut :
3.4.1 Konservasi Cagar Budaya
Lokasi pembangunan rusunami ini, pada awalnya adalah kolam
renang pemandian cihampelas yang merupakan lokasi cagar budaya di
daerah cihampelas. Bila dilihat dari sisi dan nilai sejarah, pemandian
Cihampelas telah memenuhi aspek-aspek bangunan bersejarah atara lain
yaitu aspek kelangkaan (tidak dimiliki daerah lain), aspek kesejarahan
(lokasi peristiwa bersejarah), Estetika, Superlativas (keunikan),
Kejamakan (mewakili ragam arsitektur tertentu) hingga pengaruh
terhadap social (meningkatkan citra lingkungan sekitar). Kondisi ini
membuat beberapa kelompok masyarakat menyayangkan pembangunan
apartemen yang bertajuk rusunami yang mengambil lokasi di cagar
budaya kolam renang Cihampelas yang merupakan kolam
renang/pemandian pertama di Hindia Belanda. Kondisi ini berpotensi
menimbulkan konflik sosial dan cenderung mengurangi satu-satunya
wilayah dan ruang hijau di daerah cihampelas.
Gambar 8. Bentuk Penolakan Warga terhadap Pembangunan Apartemen
Magister Studi Pembangunan-ITB 22 |
3.4.2 Kegagalan Komunikasi
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan
warga sekitar, pembangunan apartemen sama sekali tidak melibatkan
masyarakat pada awalnya. Padalah aspek komunikasi dan sosialisasi
merupakan sangat penting untuk mewujudkan konsep Rusun yang
sesungguhnya. Dalam hal ini, pemerintah dan pengembang perlu
meyakinkan penduduk setempat yang sebagian besar berpenghasilan
rendah bahwa rusun bisa menjadi hunian yang layak untuk mereka
tempati.
Selama ini, kenyataan menunjukan bahwa masyarakat
berpenghasilan rendah belum memandang rumah susun sebagai hunian
yang layak berdasarkan pertimbangan bahwa : 1. Permasalahan-
permasalahan sosial yang mungkin timbul di rumah susun. 2. Kesulitan
dalam membiayai perawatan dan pengeluaran lainnya (Air, Listrik, dana
Kebersihan) yang akan dikenakan terhadap penghuni. 3. Penghuni tidak
dapat menjalankan bisnis informal seperti warung atau PKL. 4. Pola pikir
yang kurang bisa jadi menyebabkan penghuni berpenghasilan rendah
menjual unitnya, untuk kemudian membangun hunian kumuh di sisi kota
yang lain.
Konflik lain berkaitan dengan hal-hal teknis seperti kebisingan
selama proyek, kekhawatiran warga atas tertutupnya akses jalan, dan
ganti rugi atas kepentingan warga yang hilang selama pembangunan
apartemen dilaksanakan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut,
pengembang masih menggunakan ‘cara instan’ antara lain dengan
memberikan uang ‘kerohiman’ kepada warga dengan besaran Rp. 19 juta
untuk 100 KK di sekitar lokasi pembangunan yang diberikan setiap
bulannya.
Selain itu, pengembang juga merekrut beberapa warga sekitar
untuk menjadi jasa keamanan selama proyek berlangsung. Perlu juga
diperhatikan, bahwa dari observasi lapangan, tampak tidak ada upaya
dari pengembang untuk mengajak penduduk agar nantinya mau
menempati apartemen setelah pembangunannya rampung. Hal ini
membuktikan bahwa pengembang tidak memproyeksikan penduduk
Magister Studi Pembangunan-ITB 23 |
sekitar sebagai calon penghuni apartemen tersebut, dan sebaliknya
malah mempromosikan apartemen tersebut kepada warga pendatang.6
Gambar 9 : Bentuk Protes Warga Terhadap Pemerintah
3.4.3 Permasalahan lingkungan
Pembangunan Apartemen Cihampelas tidak lepas dari beberapa
permasalahan lingkungan, antara lain lokasi pembangunan yang
mengambil lahan hijau dan sumber air serta letaknya yang bersebelahan
dengan sungai Cikapundung.
3.4 Ketidakadilan
Salah satu masalah di dalam pembangunan apartemen The Jarrdin
cihampelas adalah adanya unsur ketidakadilan dan marjinalisasi yang dirasakan
sebagian besar kelompok masyarakat yang rentan dan kurang berdaya.
Seharusnya pengadaan rumah susun harus dapat menjawab tumbuhnya
permintaan atau tuntutan yang semakin beraneka ragam, yang tidak hanya
terbatas pada menjawab menurut kebutuhan kategori kelompok pendapatan.
Perumahan baru bagi masyarakat berpendapatan rendah semestinya tidak
difokuskan pada tipe kecil, melainkan pada upaya agar kebutuhan ruang
kelompok ini dapat terpenuhi. Artinya, pembangunan rumah susun harus
memacu efisiensi agar diperoleh keadaan perumahan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan ruang dengan harga yang terjangkau, sehingga murah tidak selalu
diartikan kecil dan sederhana. Akan tetapi, pembangunan Rusunami The Jarrdin
Cihampelas cenderung lebih memihak pada kepentingan untuk mencari
6 Pengembang tampak mempersepsikan istilah apartemen dan rumah susun sebagai suatu hal yang berbeda, padahal secara konsep hal tersebut adalah identik. Seperti pengakuan warga sebagai berikut : “…Sampai saat ini tidak ada masalah. Karena memang fungsinya sebagai rusunami…beda dengan apartemen. Keberatan kita tadinya kalau pembangunan ternyata apartemen, pasti akan menutup akses warga, nanti kalau ada yang meninggal atau sakit, sulit….” (Iyat, Kepala RW 05)
Magister Studi Pembangunan-ITB 24 |
keuntungan dan memberikan alternatif hunian bagi kalangan masyarakat
menengah keatas. Pembangunan rusunami ini dirasakan kurang tepat, dimana
pola yang diterapkan dalam pembangunan rusunami adalah layaknya
pembangunan apartemen. Hal ini dilihat dari relatifnya tingginya tingkat harga
jual rumah hunian, yang menunjukan bahwa tujuan utama pembangunan
rusunami ini bukanlah untuk menyediakan dan memindahkan pemukiman
kumuh (pola horizontal) di daerah cihampelas ke dalam rusunami tersbeut (pola
vertikal) , melainkan menambah tingkat kepadatan penduduk yang ironisnya
dibangun di tengah-tengah pemukiman kumuh dan padat penduduk.
Kecenderungan munculnya ketidakadilan ini terjadi akibat praktek
diskriminasi politik, ekonomi dan spasial terhadap kelompok masyarakat yang
kurang berdaya oleh kekuatan-kekuatan hegemonik dalam hal ini adalah
penduduk sekitar lokasi pembangunan. Dalam pembangunan rusunami ini,
pemerintah dan pihak pengembang kurang memberdayakan kelompok
masyarakat tersebut dengan mengembangkan proses-proses dan mekanisme
yang bersifat adil dan setara untuk mendapatkan berbagai peluang dan akses di
dalam pembangunan rumah susun dan diberikannya hak-hak yang setara untuk
mendapatkannya. Upaya kesetaraan dan keadilan ini sangat penting untuk
dilakukan dalam upaya mencapai kesetaraan hak dalam akses dan peluang di
dalam pembangunan yaitu antara lain:
1. hak dan akses atas tanah dan rumah susun;
2. hak atas pelayanan rumah susun;
3. hak dan akses atas informasi dan transparansi pelayanan rumah
susun;
4. hak perlindungan hukum atas masalah rumah susun;
5. hak meminta pertanggungjawaban terhadap pemerintah atas masalah
rumah susun;
6. hak pekerja industri atas perumahan dan pelayanan rumah susun;
7. hak partisipasi masyarakat atas proses produksi dan pemeliharaan
rumah susun.
Pembangunan rumah susun di cihampelas ini cendeurung terfokus pada
penguasaan dengan cara pemilikan rumah, sementara jika dilihat pada
mobilitas (sosial maupun fisik) penduduk perkotaan yang ada sekarang,
terdapat kecenderungan kuat akan kebutuhan rumah dengan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Magister Studi Pembangunan-ITB 25 |
Kepranataan yang ada juga tidak secara signifikan mengakomodasi
kebutuhan perkembangan lingkungan rumah susun yang ada (the existing
stock) sebagai potensi penting bagi pemenuhan kebutuhan perumahan dan
sarana bagi proses transformasi sosial maupun rumah-rumah individual.
Program pembangunan rumah susun secara umum hingga saat ini belum
mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi masyarakat
khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak tetap. Kelayakan
tampaknya perlu dipahami dengan cara pandang lain, yaitu bukan secara teknis
rasional melainkan dengan memahami kehidupan atau sifat sosio-ekonomi
masyarakat yang bersangkutan.
Pada dasarnya masyarakat berpenghasilan rendah akan memilih tempat
tinggal dengan lokasi yang relatif dekat dengan tempat usahanya. Untuk itu
dalam perkembangannya di kota Bandung, khususnya daaerah cihampelas
pertumbuhan kawasan-kawasan kumuh cenderung cepat tumbuh dan
berkembang karena cihampelas merupakan pusat kegiatan ekonomi.
Keterlambatan pemerintah kota bandung dalam menyikapi permasalahan ini
seringkali ditambah dengan kurang tepatnya perencanaan dan penataan kota
yang terlihat dari penentuan lokasi pembangunan rumah susun yang lokasinya
tidak strategis, atau bahkan merubah kawasan kumuh dengan perumahan
susun namun seringkali tidak tepat sasaran, dimana rumah susun tersebut
relatif dihuni oleh masyarakat kalangan pendapatan menengah dan menengah
keatas, sehingga tujuan utama rusun sebagai alternatif hunian dan alteratif
upaya untuk menata lingkungan kumuh sulit untuk dicapai.
IV. Kesimpulan
Berlandaskan hasil pengamatan dan analisis diatas, dapat diketahui
bahwa pembangunan rusunami The Jarrdin di Cihampelas tidaklah mampu
untuk meminimalisir tingkat kepadatan penduduk dan pemukiman kumuh di
daerah Cihampelas. Pembangunan rusunami tersebut cenderung akan
menambah beban lingkungan di cihampelas dan berpotensi mengganggu
keselarasan dan keharmonisan kehidupan sosial. Dari hasil penelitian ini
Magister Studi Pembangunan-ITB 26 |
menunjukan bahwa untuk meminimalisir dan menata pemukiman kumuh di
berbagai daerah di Indonesia khususnya di kota Bandung, penerapan konsep
tower (program pembangunan rusun) layaknya di negara-negara lain denagn
tujuan untuk memindahkan hunian dan tempat masyarakat yang sebelumnya
berpola horizontal menjadi vertikal tidak mampu diterapkan dan diwujudkan.
Ketidakmampuan rusun mengatasi permasalahan kepadatan penduduk dan
pemukiman kumuh tidak dapat dipisahkan dari tujuan dan perencanaan
pembangunan kota dan pengelolaannya. Pemerintah harus memiliki kesadaran
dan komitmen untuk menyediakan rumah layak huni bagi seluruh rakyat seiring
sejalan dengan komitmen mengelola urbanisasi yang berkelanjutan. Urusan
perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks,
sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari
campurtangan kepentingan birokrasi rente maupun politik praktis.
Akan tetapi, di sinilah letak permasalahan yang dihadapi Indonesia, yang
juga dihadapi oleh kota Bandung, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota
dan mekanisme sistem penyediaan perumahan untuk rakyat yang masih sangat
lemah. Sehingga seringkali tidaklah jelas siapa yang dimaksud dengan rakyat
dalam proses dan penerapan serta perumusan suatu kebijakan. Dalam kondisi
backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meluas
dan bertumbuh dengan cepat, kota-kota di Indonesia khususnya kota Bandung
yang menjadi objek penelitian kami, sebenarnya masihlah sangat jauh dari
konsep pembangunan berkelanjutan serta masih relatif sangat rendahnya aspek
kenyamanan dan tingkat pelayanan publik. Di dalam prakteknya, justru banyak
proyek pembangunan menara rusunami yang dibangun tidak terencana sejalan
dan selaras dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di
lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun
hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sd 5000 m2. Hal
ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak
terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik. Akibatnya
pembangunan menara-menara rusunami cenderung merusak daya dukung
prasarana dan fasilitas kota, merusak dan memperburuk kondisi lingkungan
dan kesehatan serta menimbulkan berbagai konflik sosial.
Pembangunan rusunami the Jarrdin cihampelas dengan jelas terlihat
memiliki pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial
dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para
pengembang swasta, yang pada akhirnya menghasilkan tata wilayah dan
Magister Studi Pembangunan-ITB 27 |
perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl) serta merusak
lingkungan. Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota
baru untuk golongan menengah seperti ini cenderung atas menghasilkan tata
wilayah perkotaan dan lingkungan yang semakin tidak berkelanjutan, yang
ditandai kemacetan, kekumuhan, dan banjir.
Belum adanya sikap dan arah kebijakan yang tegas dari pemerintah,
khususnya pemerintah kota Bandung untuk mendukung revitalisasi Perumnas
sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation)
sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri, menyebabkan masalah
perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah. Belum adanya solusi yang
menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-
keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana
diinstruksikan Presiden beberapa waktu lalu dengan konsep 1000 towernya,
ditandai dengan belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan
lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system,
dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal. Padahal sudah ada
contoh di negara-negara lain seperti CODI di Thailand, URA di Singapura dan
HCA di Inggris.
Semua kenyataan ini menunjukkan langkah-langkah pemerintah yang
belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun
kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi
kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas
permukiman kumuh dan layak huni.
Untuk itu, dari hasil pengamatan dan analisis kami, kiranya perlu segera
dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan
perkotaan secara menyeluruh. Sehingga peran pemerintah sebagai pengatur
dan pengelola kehidupan bermasyarakat dapat menciptakan kesejahteraan dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya sekedar mengorbankan
nasib mayoritas rakyat untuk kepentingan dan kesejahteraan segelintir
(minoritas) rakyat.
Magister Studi Pembangunan-ITB 28 |
Daftar Pustaka
Castells, Manuel dan Alejandro Portes. (1989). “World Underneath: The Origins, Dynamics, and Effects of the Informal Economy.” The Informal Economy: Studies in Advance and Less Developed Countries. Alenjandro Portes, Manuel Castells, and Lauren A. Benton. London, The Johns Hopkins
Hugo, Graeme J. (1991). “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat.” Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
H. Juniarso Ridwan. (2008) .Kebijakan Penataan Ruang di Kota Bandung. Diskusi di Kantor Detik.com.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor: 11 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor: 03 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.
Resmi Setia M. (2008). “Menata atau Menggusur?” Opini Pikiran Rakyat.
University Press: 11-37. Ministry of Public Works of Republic of Indonesia. 2010. Ecological Footprint of Indonesia. Directorat General of Spatial Planning: Indonesia.
Wackernagel, M., Onisto, L., Bello, P., et al. 2007. National Natural Capital Accounting With the Ecological Footprint Concept. Ecological Economics 29 (1999): 375 – 390.
Zulviton, H., et al. 2010. Konsep Rusunawa Untuk Urban Renewal Bagi Permukiman Kumuh Studi Kasus Kawasan Pantai Purus Kota Padang. Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010 : 1-14
http://footprint.wwf.org.uk/
http://www.footprintnetwork.org/en/index.php/gfn/page/calculators/
http:// griyaidola.com.htm l/
Magister Studi Pembangunan-ITB 29 |
Lampiran
Script Wawancara dengan penduduk sekitar lokasi pembangunan
Pada saat proses wawancara menggunakan bahasa sunda, namun pada transkrip wawancara dibawah ini telah mengalami editing alih bahasa ke dalam bahasa Indonesia. Serta menghilangkan pembahasan yang tidak berkorelasi dengan tujuan wawancara.
Keterangan : T : Tanya J : Jawab
Waktu : 9 Oktober 2011, 18.35 WIB
Lokasi : Mesjid RW05
Narasumber : Penduduk asli cihampelas
T : Apa tanggapan bapa terhadap pembangunan Rusunami Jarddin cihampelas?
J : Sebetulnya kami sebagai warga merasa kecewa dengan pembangunan rusunami tersebut, kami beserta wakil RW melakukan aksi penolakan, salah satunya dengan membuat spanduk. Kami mengadakan pertemuan seminggu sekali di mesjid ini untuk membahas penolakan terhadap pembangunan rusunami. Namun apa daya, uang sudah punya kuasa, sekarang jadi adem ayem.
Warga sekitar lokasi pembangunan apartemen yang semula mengolah kebun milik pemerintah di lokasi pembangunan rusunami, diberi ganti rugi oleh pihak pengembang rusunami, masing- masing pemilik kebun diberi 1,5jt., pemilik kandang ayam diberi 2,5 jt. Dengan pemberian uang tersebut menyumpel mulut warga, hasilnya warga yang tadinya mempermasalahkan pembangunan rusunami menjadi menutup mulut.
Sebagian warga yang masih memprotes tidak dihiraukan oleh pengembang rusunami. Tiba tiba warga melihat sudah banyak alat alat berat lalu lalang.
Pada jaman saya SD, jalan disekitar lokasi pembangunan rusunami sangat asri, ukuran jalannya besar, kiri kanan pohon cemara, lengkap dengan lampu penerangan jalan, lapangan parkir yang semula dipakai untuk parkir kolam renang, banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk mencari nafkah, seperti pencucian mobil. Selain itu, lapangan parkir sering digunakan untuk kegiatan masyarakat, seperti olahraga, hari raya
Magister Studi Pembangunan-ITB 30 |
islam, solat ied. Yang lebih penting lagi, bangunan kolam renang adalah merupakan bangunan cagar budaya yang seharusnya dilestarikan.
Pada saat peletakan batu pertama, sama sekali Tidak ada tawaran dari pengembang untuk memberdayakan warga sekitar dalam pembangunan proyek tersebut.
Kita merasa kecewa.
T : Apa bapa mengetahui siapa pemilik asli kolam renang cihampelas?
J : Kepemilikan pribadi, sama yang punya centrum, kakak beradik
T : Apakah ada gangguan dari proyek pembangunan rusunami terhadap warga?
J : Ada, gangguan bising dari mesin mesin pengebor.
T : Apa saran dan kritik bapa terhadap pembangunan yang seperti rusunami tersebut?
J : Harusnya pembangunan toko-toko pusat keramaian seperti ini dilakukan di pinggir kota saja. Pindah pindahkan ke pinggiran kota, supaya polusi dan kemacetan bisa diminimalisir.
Waktu : 16 Oktober 2011 pukul 17.15 WIB
Lokasi : Balai RW 08
Narasumber : Ketua RW 08
T : Apa tanggapan bapak terhadap pembangunan Rusunami Jarddin
cihampelas?
J : hanya manis awalnya saja.
T : apa yang pertama di sosialisasikan pengembang kepada warga?
J : harusnya ada ijin tetangga, sebelum terjadi bentrok dengan warga, pengembang tidak meminta ijin warga. Setelah terjadi bentrok, mulai warga dirangkul oleh pengembang. Tidak ada dana sosial dari pihak pengembang kepada warga. Bapa dengan rekan rekan mengajukan proposal, dan ditanggapi oleh pengembang, bahwa sudah telat. Maka saya to the point saja, mau memberi apa ke RW08? Ternyata jawaban dari pengembang sudah tidak ada dana untuk warga. Hal ini membuat saya pusing, dan tidak mau mengurusnya lagi. Pernah warga yang
Magister Studi Pembangunan-ITB 31 |
rumahnya dekat dengan proyek diberi dana kira kira 1 juta, itupun hanya sekali.
T : apakah dari warga sekitar ada yang menjadi pekerja di proyek pembangunan rusunami?
J : ada, , ada beberapa warga yang menjadi security, tetapi tidak melewati pengurus. Warga yang menjadi security di pembangunan proyek, melamar secara pribadi, bukan recruitment dari pengembang.
T : apa ada gangguan ?
J : ada, suara bising yang sering mengganggu selama proses pembangunan. Dalalm jangka panjang, warga terganggu dengan lingkungan yang menjadi gaduh, akibat aktifitas di rusunami, dan limbah semakin menumpuk.
Waktu : 16 Oktober 2011 pukul 19.27 WIB
Lokasi : Rumah Ketua RW 05
Narasumber : Ketua RW 05
T : Terkait dengan warga, apa ada keluhan mengenai proyek pembangunan rusunami cihampelas?
J : Sampai saat ini ga ada masalah. Karena memang fusnginya itu rusunami, kalo apartemen sudah ditutup mungkin ya. jadi karena itu rusunami, ya terbuka aja. Karena antara rusunami dan warga tidak ada batas, beda sama apartemen. Keberatan kita tadinya kalau pembangunan itu apartemen, pasti akan menutup akses warga, nanti kalau ada yang meninggal atau sakit, sulit..
T : Apakah ada kompensasi dari pengembang untuk warga ?
J : Ada.
T : Berupa apa?
J : Berupa uang, hampir satu bulan itu, kompensasi ke 100 kepala keluarga, ada 3 rt, paling banyak rt 8, total 19 juta sebulan untuk 100 kepala keluaga selama proses proyek berjalan. Kalo setelah jadi nanti kita ini lagi, seperti keamanan, perparkiran, ya semua kita minta…mereka juga menghibahkan jalan masuk untuk jalan lingkungan. Dulu pemandian tidak ada kompensasi ke warga, parkir orang lain, penjagaan orang lain, kita aja mau mandi bayar. Semua sekarang dapat kompensasi. Kalo sekarang saya dari rw ya setuju setuju saja, warga semua setuju ya ngapain saya nolak. Penolakan waktu itu kan terjadi gatau karena apa, ya
Magister Studi Pembangunan-ITB 32 |
mungkin karena kurangnya sosialisasi, saya juga gamau tau. Kalau warga menolak, ya saya pun menolak, cuman kan menolaknya karena apa? penolakan harus jelas karena apa penolakan itu. Orang berfikirnya kalau apartemen kan bakal tertutup, tapi kan begitu dikasih tau itu rusunami, yang merupakan proyek nasional 1000 tower, ya sudah.
T : Kalo dari pemerintah ada mediasi ga terhadap warga?
J : Pemerintah ada mediasi melalui lurah n camat sebagai mediator, pertama kan waktu itu mau untuk waterboom, untuk ciwalk, berobah2, tauttau jadi bangunan. Kalau di ijinnya rusunami, rumah susun hak milik. Ya memang kalo apartemen kan kita menolaak, karena sifatnya ekslusif. Kalo konsep awal sih gitu.
T : Jika dilihat dari sisi lingkungan, apakah ada dampak pembuangan limbah ke sekitar warga dari proyek pembangunan ini?
J : Limbah ya dibuang keluar, ya sementara ini kaya keamanan sudah ada dari warga setempat, ditampung disana.paling gitu. Proyek ini juga mundur 6 bulan karena prose’s negosiasi dengan warga yang lama. Kita prinsipnya kalau dari lembaga rw, ya terserah warga.
Magister Studi Pembangunan-ITB 33 |