Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PERSPEKTIF AZYUMARDI AZRA
TAHUN 1983-2016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjanan Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
MAFTUKHIN
NIM: 111 12 142
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
MOTTO
هإن ايغهيرلاالل ت ىبقهىم مه ايغهيرواحه هنفسهممه بأ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.
(Firman Allah)
Selalu belajar hidup berkarya untuk diri sendiri, keluarga, agama, bangsa, dan
negara (Penulis).
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibuku yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, do‟a
yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk putra-putrinya, motivasi yang tak
ternilai, baik dari segi materil atau non materil sehingga skripsi ini bisa
penulis selesaikan.
Kakakku tercinta Mbak Zakiyatul Fakhiroh dan Mbak Fasikhah yang tak
pernah lelah memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis.
Segenap Keluarga besar Yayasan Al Furqon Pesantren Hidayatullah
Kendal, khususnya kepada Almarhum Ustadz Abi Hamzah Ar dan Umi
Rofi‟ah dengan ikhlasnya mendidik penulis serta adik-adik.
Segenap Keluarga besar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kendal,
khususnya Bapak Ustadz Sunardi, M.Ag., Bapak K.H. Misbakhul Fuad,
M.Pd, dan guru-guru lainnya dengan ikhlas dan kesabarannya mendidik
dan mengarahkan penulis, sehingga penulis bisa merasakan betapa
pentingnya pendidikan.
Segenap Keluarga besar Pondok Pesantren Sunan Giri Krasak Ledok
Salatiga, khususnya K.H. Maslikhuddin Yazid, K.H. Muslimin Al Asy‟ari,
Kyai Sa‟dullah dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis yang nakal
ini.
Segenap Keluarga Yayasan Wakaf Literasi Islam Indonesia (WALI),
khususnya K.H Anis Maftukhin yang selalu mengajarkan menjadi manusia
yang benar manusia, yakni hidup berkarya dan hidup bermanfaat.
Segenap Keluarga besar TMI Pondok Pesantren Darul Amanah, para
masyayikh, para asatidz dan asatidzah yang dengan ikhlas mendidik.
Meski hanya tiga tahun merasakan kebersamaan tapi tidak akan saya
lupakan anugrah pertemuannya.
Segenap guru-guru aktivis petani di Aliansi Petani Indonesia (API),
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Maafkan penulis belum bisa
apa-apa, tapi pengalaman dan ilmunya itu adalah harta yang tak ternilai,
terima kasih atas ilmunya.
Segenap sahabat dan teman seperjuangan di Pondok Pesantren Sunan Giri,
Banyak suka duka yang kita lalui, semoga ilmu yang kita dapatkan
bermanfaat dan berkah. Maafkan penulis dengan segala kekurangan.
Segenap keluarga besar LPM Dinamika IAIN Salatiga yang telah menjadi
kelas kuliah sebenarnya, LPM Dinamika tidak akan bisa penulis lupakan,
terima kasih wacana, diskusi, dan jaringannya.
Teman-teman PPL, KKL, dan KKN yang berjuang bersama dalam suka
dan duka untuk menyelesaikan tugas Negara.
Teman-teman seperjuangan di Kampus IAIN Salatiga.
Almamaterku tercinta IAIN Salatiga
Pendamping hidup kelak InsyaAllah, yang namanya masih dirahasiakan
Allah dan namanya terlukis di Lauhil Mahfudz.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PERSPEKTIF
AZYUMARDI AZRA TAHUN 1983-2016”. Sholawat dan Salam Allah SWT,
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi
suri teladan bagi umatnya hingga hari kiamat.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat
diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai phak. Untuk itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah
membimbing dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Ulfah Susilowati, M.SI. Selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan mengarahkan selama kuliah.
6. Bapak/ Ibu dosen dan seluruh karyawan IAIN Salatiga yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis.
7. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. yang telah bersedia diwawancarai
secara khusus oleh penulis.
ABSTRAK
Maftukhin. 2016. Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Perspektif
Azyumardi Azra Tahun 1983-2016. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama
Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Dr. Muh. Saerozi, M. Ag.
Kata kunci: Pembaruan, Pendidikan Islam, Azyumardi Azra.
Salah satu tokoh pembaru Pendidikan Islam di Indonesia yang berjasa
mengkonversikan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN adalah
Azyumardi Azra. Penulis tertarik mengetahui pemikirannya tentang pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana
biografi Azyumardi Azra? (2) Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut
Azyumardi Azra? (3) Bagaimana strategi pembaruan pendidikan Islam (perguruan
tinggi Islam dan pesantren) menurut Azyumardi Azra? (4) Bagaimana relevansi
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra?
Metode penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).
Sumber data primer, dari buku-buku karangan Azyumardi Azra yang berkaitan
dengan pembaruan pendidikan Islam serta wawancara langsung dengannya.
Sumber data skundernya, dari buku-buku lain yang berhubungan dengan
penelitian. Analisa data yang digunakan adalah metode Analisis Isi.
Temuan penulis bahwa Azyumardi Azra adalah akademisi Muslim asal
Indonesia yang dikenal juga cendekiawan Muslim. Pada masa kepemimpinannya
berhasil mengkonversikan IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN sebagai
kampus pembaru Islam di Indonesia. Pembaruan pendidikan Islam adalah proses
pemindahan nilai budaya dan pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam
supaya dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di bumi dan tercapai
kebahagiaan dunia akhirat. Strategi pembaruan Pendidikan Islam ada dua, (1)
Strategi di Perguruan Tinggi Islam dengan cara penataan organisasi,
penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum, peningkatan personal,
reformulasi tujuan, simplifikasi beban perkuliahan, dekompartementalisasi,
liberalisasi sistem sks, dan penguatan akhlakul karimah. (2) Strategi di Pondok
Pesantren dengan cara pembaruan subtansi, metodologi, kelembagaan, fungsi,
penguatan Islam wasatiyah dan penguatan jaringan pondok pesantren. Pemikiran
pembaruan Azyumardi Azra sangat relevan dengan kondisi pendidikan di
Indonesia supaya tidak ada dikotomi ilmu, tercapainya akhlakul karimah, kuatnya
Islam wasatiyah dan jaringan pesantren, serta terbentuknya kurikulum yang ideal.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................ v
MOTTO ................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN ................................................................................. vii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................. x
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 6
E. Telaah Pustaka ......................................................................... 6
F. Metode Penelitian ..................................................................... 9
G. Teknik Analisis ......................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II BIOGRAFI AZYUMARDI AZRA ......................................... 14
A. Latar Belakang Keluarga ......................................................... 14
B. Latar Belakang Pendidikan ..................................................... 15
C. Karir ............................ ............................................................. 17
D. Karya ....................................................................................... 20
E. Pengalaman Keagamaan .......................................................... 24
BAB III PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
AZYUMARDI AZRA ..................................................................... 26
A. Pemikiran Pendidikan Islam ..................................................... 26
1. Arti dan Tujuan Pendidikan Islam ..................................... 26
2. Sumber Pendidikan Islam ................................................... 30
3. Karakteristik Pendidikan Islam .......................................... 30
4. Kurikulum Pendidikan Islam .............................................. 32
5. Metode Pendidikan Islam ................................................... 34
B. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam .................................... 36
1. Pembaruan Perguruan Tinggi Islam ................................... 36
2. Pembaruan Pondok Pesaantren .......................................... 48
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN
ISLAM AZYUMARDI AZRA ....................................................... 56
A. Relevansi Pemikiran Pembaruan Pendidikn Islam ................. 56
1. Relevansi Arti dan Tujuan Pendidikan Islam .................... 56
2. Relevansi Sumber Pendidikan Islam .................................. 59
3. Relevansi Karakteristik Pendidikan Islam ........................ 61
4. Relevansi Kurikulum Pendidikan Islam ............................ 63
5. Relevansi Metode Pendidikan Islam ................................... 65
B. Relevansi Strategi Pembaruan Pendidikan Islam .................. 68
1. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam.... 68
2. Relevansi Strategi Pembaruan Pondok Pesantren ............ 82
BAB V PENUTUP ................................................................................... 95
A. Kesimpulan .................................................................................. 95
B. Saran ............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semangat pendidikan menjadi suatu keharusan bagi seluruh
anggota masyarakat, karena berawal dari pendidikan, kemajuan suatu
bangsa dan negara dapat dilihat. Mulyana (2002: 4) menyatakan bahwa
pendidikan dalam proses pembangunan memberikan kontribusi yang
sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, karena pendidikan
merupakan sarana dalam membangun watak bangsa.
Aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah
berlangsung dan berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka hingga
sekarang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya
program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di Nusantara,
baik berupa pendidikan Pondok Pesantren, pendidikan Madrasah,
pendidikan umum yang bernafaskan Islam, pelajaran Pendidikan Agama
Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum
sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja, maupun pendidikan
agama Islam yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu di
Masyarakat, serta di tempat-tempat ibadah dan media massa (Muhaimin:
2003: 1).
Menurut Azyumardi Azra dalam Kurniawan dan Mahrus (2013:
295-296), bahwa pendidikan Islam di era global dihadapkan pada masalah
yang kompleks, baik internal maupun eksternal. Beberapa persoalan yang
memang secara rill dihadapi oleh sistem pemikiran Islam dan pendidikan
Islam pada umumnya antara lain: Pertama, pendidikan Islam krisis
konseptual. Krisis ini berkaitan dengan definisi dan pembatasan ilmu-ilmu
didalam sistem pendidikan Islam. Krisis konseptual yang dimaksud adalah
terjadinya pembagian ilmu-ilmu didalam keilmuan itu sendiri, yang
menyebabkan pengkotakan pada bidang kelembagaan. Kedua, pendidikan
Islam krisis kelembagaan. Krisis ini adalah akibat adanya dikotomisasi
antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan kepada salah satu
aspek dari ilmu-ilmu yang ada, yaitu diantara ilmu agama atau ilmu
umum. Ketiga, adanya konflik antara tradisi pemikiran Islam dan
pendidikan Islam dengan modernisasi. Keempat, pendidikan Islam krisis
metodologi. Yang terjadi dikalangan lembaga pendidikan Islam sekarang
adalah lebih merupakan proses pengajaran dibandingkan dengan proses
pendidikan. Kelima, Krisis Orientasi. Lembaga pendidikan Islam pada
umumnya lebih berorientasi ke masa silam ketimbang masa depan dalam
batas-batas tertentu.
Melihat kenyataan ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam
perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan,
dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia.
Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam
usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga
perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya
dalam menghadapi perubahan zaman (Sanaky, 2008: 2).
Langkah konkrit pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, pernah
dilakukan oleh Azyumardi Azra, Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dari tahun 1998-2006, dengan cara mengkonversikan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN). Langkah konversi ini mulai diintensifkan
pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan
dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas
Tarbiyah, serta Jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas
Syariah pada tahun akademik 1998/1999. Untuk lebih memantapkan
langkah konversi ini, pada tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis
dan Teknik Informatika bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor
(IPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan
Program Studi Manajemen dan Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan
Fakultas Psikologi dan Dirasat Islamiyah bekerja sama dengan Al-Azhar,
Mesir (https://id.wikipedia.org. Diakses 25 Oktober 2016).
Dengan keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
031 tanggal 20 Mei 2002, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah
menjadi UIN. Peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia pada 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45
dan Lustrum ke-9 serta pemancangan tiang pertama pembangunan
Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui dana Islamic
Development Bank (IDB).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatul
lah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017).
Perjuangan panjang itu membuahkan hasil dengan berbagai
penghargaan yang didapat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, antara lain,
(1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menempati peringkat 3 universitas di
Indonesia versi Google Scholar Citations Januari 2017, dan berada di
ranking pertama perguruan tinggi Islam di Indonesia (2) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia
yang mendapatkan sertifikasi ASEAN University Network-Quality
Assurance (AUN-QA) pada tanggal 26 April 2016 (3) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menempati peringkat 20 universitas di Indonesia
versi Webometrics Januari 2015, dan berada di ranking pertama perguruan
tinggi Islam di Indonesia (4) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menempati
peringkat 36 universitas di Indonesia versi 4icu.org Januari 2015, dan
berada di ranking pertama perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatul
lah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017).
Berangkat dari persoalan pendidikan Islam di atas serta apa yang
dilakukan Azyumardi Azra, maka penulis tertarik mengangkat
pemikirannya sebagai bahan penulisan skripsi dengan sebuah judul
“Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Perspektif Azyumardi
Azra Tahun 1983-2016” artinya, bagaimana penjelasan Azyumardi Azra
mengenai pembaruan pendidikan Islam di Indonesia sebagai sebuah
jawaban atas berbagai persoalan yang sedang terjadi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra?
2. Bagaimana strategi pembaruan pendidikan Islam (Pergurun Tinggi
Islam dan Pondok Pesantren) menurut Azyumardi Azra?
3. Bagaimana relevansi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
menurut Azyumardi Azra ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan objek pokok permasalahan maka tujuan yang ingin
dicapai adalah:
1. Mengetahui pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra.
2. Mengetahui strategi pembaruan pendidikan Islam (Pergurun Tinggi
Islam dan Pondok Pesantren) menurut Azyumardi Azra.
3. Mengetahui relevansi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
menurut Azyumardi Azra.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat berrmanfaat dan memperkaya khazanah
teori pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu, dapat menjadi
dorongan bagi peneliti lainnya untuk mengkaji lebih dalam dan
berkelanjutan, sehingga proses pengembangan pemikiran pendidikan
Islam akan terus berlanjut.
2. Secara Praktis
Dapat bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam.
E. Telaah Pustaka
Sejauh pengamatan yang penulis ketahui terkait dengan penelitian
pemikiran Azyumardi Azra yang berhubungan dengan pendidikan Islam
antara lain:
1. Skripsi yang ditulis Ilham Arif, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2015 yang berjudul Modernisasi Pondok Pesantren
(Studi Pemikiran Azyumardi Azra). Jenis penelitiannya adalah
menggunakan penelitian kepustakaan (library research).
Dalam penelitian ini disimpulkan: Pertama, modernisasi yang dilakukan
pesantren dalam bentuk kelembagaan seperti pertanian, perikanan, atau
sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren telah menimbulkan
kemerosotan identitas pesantren. Kedua, adanya gagasan modernisasi
pesantren yaitu memasukkan ilmu-ilmu sekuler (umum) kedalam
kurikulum pesantren telah menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu
menurut Azyumardi Azra pesantren harus mengkaji ulang secara cermat
dan hati-hati berbagai gagasan modernisasi tersebut dan pesantren harus
lebih mengorientasikan peningkatan kualitas para santrinya kearah
penguasaaan ilmu-ilmu agama. Adapun model pembelajaran metode
sorogan dan bandongan tetap relevan namun perlu dikembangkan
dengan dialogis. Azyumardi Azra juga mengharapkan bahwa
metodologi pesantren harus dipertahankan, yaitu proses pengajaran yang
berlangsung itu lebih merupakan learning, ta‟lim dari pada tarbiyah
yang terlihat formal.
2. Skripsi yang ditulis Neneng Siti Fatimah Nurul Aini, mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2012 dengan judul “Pendidikan Karakter dalam Pandangan
Azyumardi Azra”. Penelitian yang dilakukan tersebut merupakan
penelitian kepustakaan.
Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa pendidikan karakter
dalam pandangan Azyumardi Azra adalah proses suatu bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan
sebagai khalifah dan memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien
berdasarkan sumber-sumber Islam. Implikasi pendidikan karakter
Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam yakni dengan pendidikan
karakter seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
3. Skripsi yang ditulis Ulfi Maslakhah, Jurusan Studi Pendidikan Agama
Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun
2013 dengan judul “Konsep Modernisasi Pendidikan Islam dan
Relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran
Azyumardi Azra)”. Penelitian yang dilakukan tersebut merupakan
penelitian kepustakaan.
Hasil dari penelitian tersebut meliputi pemikiran tentang modernisme
tujuan, kurikulum, dan lembaga Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan
Islam sekarang ini harus ada keseimbangan yakni bahagia dunia dan
akhirat, serta peningkatan kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kurikulum Pendidikan Islam perlu dimasuki ilmu
pengetahuan dan teknologi agar nantinya tercipta sumber daya manusia
yang unggul dan tidak hanya dalam bidang agama namun juga ilmu
pengetahuan dan teknologi. Lembaga pendidikan Islam perlu juga
dikelola secara profesional dan terarah guna pencapaian hasil yang
memuaskan dalam pengembangan potensi peserta didik.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa skripsi
yang penulis angkat mempunyai persamaan dan perbedaan dengan
beberapa penelitian yang sudah ada. Letak persamaan dapat dilihat dari
objek yang diteliti, yakni sama-sama meneliti pemikiran Azyumardi Azra
dalam pendidikan Islam. Sedangkan perbedaan terletak pada fokus kajian
yang diteliti. Pada penelitian pertama lebih fokus kepada modernisasi
kelembagaan dan kurikulum. Penelitian kedua fokus pada konsep
pendidikan karakter menurut Azyumardi Azra, dan penelitian ketiga lebih
fokus pada konsep (hakikat) modernisasi Pendidikan Islam. Fokus
penelitian yang diangkat penulis ini berbeda dengan sebelumnya, yakni
fokusnya lebih menitikberatkan pada strategi pembaruan (modernisasi)
pendidikan Islam perguruan tinggi Islam dan pondok pesantren.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah penelitian studi tokoh. Sebagai jenis penelitian kualitatif,
studi tokoh juga menggunakan metode sebagaimana lazimnya dalam
penelitian kualitatif, yakni wawancara, observasi, dokumentasi, dan
catatan-catatan perjalanan hidup sang tokoh. Dengan demikian
penyusunan karya ilmiah ini didasarkan pada hasil studi terhadap
bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan
Islam Azyumardi Azra serta wawancara langsung.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian mengungkap suatu masalah atau
peristiwa sebagaimana adanya. Hasil penelitian ditekankan pada
gambaran secara objektif mengenai keadaan yang sebenarnya dari
objek yang diteliti (Nawawi,1993 31). Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan factual-historis. Pendekatan
factual-historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan
historisitas faktual mengenai tokoh (Bekker & Zubair, 1990: 61).
Pendekatan ini penulis gunakan untuk mengungkapkan seluk-
beluk perkembangan pemikiran Azyumardi Azra sampai pada
pemikirannya tentang pembaruan pendidikan Islam.
3. Pengumpulan data
a. Dokumentasi.
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara
pengumpulan dokumen buku-buku karya Azyumardi Azra, dan buku-
buku lain yang ada kaitannya dengan permasalahan ini. Metode ini
disebut dengan metode dokumentasi. Data yang dikumpulkan
menjadi data primer dan data sekunder:
1) Sumber data primer, yaitu data yang diambil dari tokoh yang
sedang diteliti dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data
primer dalam penelitian ini meliputi karya tulis Azyumardi Azra
dan wawancara.
Data primer pertama adalah dari hasil karya-karya Azyumardi
Azra, meliputi: (1) Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Raja Grafindo, 1999 (2) Esei-esei
Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998.
Data primer kedua, Wawancara. yaitu proses percakapan dengan
maksud untuk mengkontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua
pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee).
(Bungin, 2011: 155.) Metode ini digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang konsep pembaruan pendidikan Islam perspektif
Azyumardi Azra. Sedangkan yang menjadi narasumber dalam
wawancara penelitian ini adalah Azyumardi Azra yang dilakukan
pada pukul 10.00 tanggal 06 September 2016 di Universitas
Airlangga Surabaya.
2) Sumber data sekunder, yaitu data penunjang yang berkaitan
dengan tema pokok bahasan penelitian. Buku-buku penunjang
sebagian masih karya Azyumardi Azra yaitu (1) Islam Subtantif:
Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan, 2000 (2)
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012 (3) Reformis,
Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999 (4) Dari Harvard sampai Makkah. Jakarta: Penerbit
Republika, 2005. Tidak ketinggalan juga diperoleh dari skripsi,
tesis, disertasi, jurnal, catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, dokumen peraturan, agenda, dan lain-lain.
G. Teknik Analisis Data
Weber dalam Moleong (2002: 163) mengatakan bahwa kajian isi
adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur
untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen.
Penulis menggunakan metode ini untuk menentukan arti atau maksud
dokumen yang diteliti.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan model content analysis,
yakni suatu analisis tekstual dalam studi pustaka melalui investigasi
tekstual terhadap isi pesan atau suatu komunikasi sebagaimana terungkap
dalam literatur-literatur yang memiliki relevansi dengan tema penelitian
ini yang berorientasi pada upaya membangun sebuah konsep atau
memformulasikan suatu ide pemikiran melalui langkah-langkah penafsiran
terhadap teks.
Penelitian ini akan mengkaji dan menafsirkan pemikiran
pembaruan pendidikan Islam yang terdapat dalam buku, teks, atau data
lainnya yang berhubungan dengan pemikiran Azyumardi Azra secara
komprehensif. Satuan makna dan kategori dianalisis, dicari hubungan satu
dan lainnya untuk menemukan makna, arti, tujuan, dan isi dari kata yang
secara eksplisit maupun implisit berhubungan dengan pemikiran
pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra. Hasil analisis ini kemudian
dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian sebagaimana pada
umumnya.
H. Sistematika Penulisan
Bagian awal, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama
dengan sampul), persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak,
daftar isi, dan daftar lampiran. Bagian inti berisi:
BAB I: Pendahuluan berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka,
Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Biografi Azyumardi Azra berisi: Biografi Azyumardi Azra
yang membahas tentang latar belakang keluarga, latar belakang
pendidikan, karir, pengalaman keagamaan, dan karyanya.
BAB III: Pemikiran Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam di
Indonesia serta strategi pembaruan pendidikan Islam (Perguruan Tinggi
Islam dan Pondok Pesantren).
BAB IV: Relevansi Pemikiran Azyumardi Azra tentang pendidikan
Islam di Indonesia serta strategi pembaruan pendidikan Islam (Perguruan
Tinggi Islam dan Pondok Pesantren).
BAB V: Penutup berisi: Kesimpulan dan Saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
BIOGRAFI AZYUMARDI AZRA
A. Latar Belakang Keluarga
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., adalah seorang akademisi Muslim
asal Indonesia. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim (Kompas, 22
November 2009 dalam www.kompas.com dikutip 20 Desember 2016).
Azyumardi Azra dilahirkan di Lubuk Alung, Sumatra Barat pada 4 Maret
1955 dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ia besar di
lingkungan Islam modernis , tetapi justru merasa asyik dalam tradisi Islam
tradisional (Masruroh dan Umiarso, 2011: 151). Azyumardi Azra
menyatakan bahwa pengalaman keislaman yang lebih intens justru ia
dapatkan setelah mempelajari tradisi ulama dan intelektual mereka (Azra,
2000: 19).
Ayah Azyumardi Azra seorang tukang kayu, pedagang kopra dan
cengkih, dan ibunya adalah seorang Guru Agama. Ia merupakan anak
ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bercita-cita keras agar semua anak-
anaknya bisa sekolah meskipun kondisi ekonomi tak memungkinkan untuk
membiayai. Azra menyatakan bahwa ia tahu, betapa sulitnya bagi
ayahnya, akan tetapi anak-anaknya selalu didorong agar belajar dan
balajar (Azra, 2000: 19).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa meskipun orang tuanya tidak
sekolah tinggi tetapi selalu mengajarkan bahwa ilmu itu sangat penting,
oleh karena itu meskipun susah dalam kehidupan, semua anak-anak
sekolah dan semua menjadi sarjana. Orang tuanya sadar bahwa ilmu
sangat bermanfaat bagi kehidupan anak-anak kelak maka orang tuanya
selalu berusaha mendorong untuk selalu menuntut ilmu
(www.tokohindonesia.com. Dikutip 21 September 2016).
B. Latar Belakang Pendidikan
Azyumardi Azra memulai pendidikan formalnya pada umur 9
tahun di Sekolah Dasar (SD) disekitar rumahnya. Kemudian meneruskan
pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang.
(Masruroh dan Umiarso, 2011: 151). Setamat PGAN pada tahun 1975,
Azyumardi Azra sempat bersilang pendapat dengan kedua orangtuanya.
Pada awalnya, Azyumardi Azra tidak bercita-cita menggeluti studi
keislaman. Sebab, ia lebih berminat memasuki bidang pendidikan umum,
yakni Jurusan Sejarah di Universitas Andalas atau IKIP Padang karena
salah seorang gurunya gurunya menyarankan demikian. Akan tetapi, orang
tuanya menginginkan ia kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Padang. Pada akhirnya Azyumardi lebih memilih kuliah di IAIN Syarif
Hidayatullah (Azra, 2000; 20). Ia kuliah di Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan aktif dalam beberapa organisasi intra dan ekstra
institut. Ia pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas
Tarbiyah (1979-1982). Lalu, ia juga pernah duduk sebagai ketua umum
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1981-1982).
Dengan kecerdasannya, setelah menyelesaikan kuliah S1 (1982),
Azyumardi Azra memperoleh beasiswa Fullbright Foundation untuk
melanjutkan program S2 di Universitas Columbia, New York, Amerika
Serikat dan pada tahun 1988 ia memperoleh gelar Master of Art (MA)
dari Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah. Sebenarnya usai S2,
seharusnya ia pulang ke tanah air karena tidak ada biaya untuk program
selanjutnya tapi karena memperoleh beasiswa Columbia University
President Fellowship, ia melanjutkan pada Departemen Sejarah. Dari
jurusan ini ia memperoleh gelar M.Phil pada tahun 1990.
Pada tahun yang sama (tahun 1990), Azyumardi Azra melanjutkan
studi program S3 di UCLA di bidang Sejarah dan memperoleh gelar Ph.D
(Doktor) pada tahun 1992 dengan disertasinya berjudul The Transmission
of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and
Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries
(Syamsul Kurniawan dan Ewin Mahrus, 2013: 286). Kemudian
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul “Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”
yang diterbitkan oleh Mizan Bandung pada tahun 1998.
Disertasi doktor yang relatif berat itu merupakah hasil penelitian di
beberapa tempat, antara lain di Mesir, Belanda, dan Saudi Arabia.
Penelitian itu, atas biaya Ford Foundation yang menghabiskan waktu
setahun. Modal pengalamannya sebagai wartawan memudahkan ia untuk
menganalisis data dan mengorganisirnya menjadi tulisan disertasi
sehingga setelah mengumpulkan data, ia menulis disertasi yang tebal 600
halaman, dengan waktu relatif cepat, yakni dari September 1991 sampai
Juni 1992 (Triyadi, 2009: 60). Setelah menyelesaikan program Doctoral
(S3), Azyumardi Azra terpilih lagi mengikuti program post doctoral di
Oxford University selama setahun (Ninik Masruroh dan Umiarso, 2011:
153).
C. Karir Azyumardi Azra
Di tengah kesibukan belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menyempatkan diri menjadi
wartawan majalah Panji Masyarakat tahun 1979-1985. Pada media rintisan
HAMKA ini, ia sangat produktif menulis untuk mempertajam pemikiran-
pemikirannya. Azyumardi Azra juga menempuh karir sebagai peneliti di
Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI tahun 1982-1983
(Masruroh dan Umiarso, 2011: 155).
Belum genap satu tahun di PPIM, Prof. Dr. H. M. Qurais Shihab
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat itu, pada tanggal 1 Februari
1998, menunjuk Azyumardi Azra sebagai pembantu Rektor I. Banyak
langkah yang dilakukan Azyumardi Azra selama menjabat sebagai
pembantu Rektor I, salah satunya adalah mengeluarkan keputusan untuk
tamatan pesantren, walaupun hanya berbekal ijazah lokal tapi bisa diterima
menjadi mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah. Menurut Azyumardi Azra,
tamatan pesantren sangat memiliki potensi, khususnya di bidang bahasa
dan pengetahuan agama. Selain itu, alasan yang lain adalah untuk menjalin
hubungan dengan umat Islam khususnya dengan kalangan pesantren
(Wachidah, 2016: 55)
Selanjutnya sejak tanggal 14 Oktober 1998 menjadi tahun yang
cukup bersejarah bagi Azyumardi Azra. Pada saat itulah Azyumardi Azra
dikukuhkan menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
menggantikan Qurais Shihab yang bertugas sebagai Duta Besar RI di
Mesir (Asnawan, 2010: 65).
Selama menjabat menjadi Rektor di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Azyumardi Azra mempunyai perhatian terhadap peningkatan
kualitas dosen dan mahasiswa dengan menjalin kerjasama dengan
perguruan tinggi luar negeri, seperti Mesir dan Leiden serta merintis
kerjasama dengan Universitas Aligarh India, Australia National
University, dan Universitas di Philipina dan Malaysia (Azra, 2000: 18).
Pemegang jabatan tertinggi di lingkungan IAIN Jakarta,
Azyumardi Azra membawa misi mengembangkan IAIN menjadi
perguruan tinggi yang tidak hanya mengajarkan dan menjadi pusat
pengembangan ilmu agama, tetapi juga ilmu humaniora, ilmu sosial, dan
ilmu eksakta. Melalui konsep transformasi atau konvensi, IAIN menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN), diharapkan ketiga bidang ilmu tersebut
akan dikembangkan di IAIN secara seimbang. Pada masa kepemimpinan,
status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tanggal 20 Mei 2002
(Kurniawan & Mahrus, 2013: 287).
Untuk kedua kalinya, Azyumardi Azra terpilih kembali menjadi
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 2002, ia juga
ditugasi menjadi Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, yang sebelumnya
dijabat oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid. Dipilihnya Azyumardi Azra
menjadi Rektor, dikarenakan ia dikenal sebagai akademisi yang memiliki
integritas keilmuwan yang mumpuni (Wachidah, 2016: 56).
Disamping sibuk menjadi dosen dan mengurusi kampus, Azra juga
aktif menjadi anggota dewan redaksi jurnal: Ulumul Qur‟an, Islamika,
editor chief Studia Islamika, dan Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta (Azra, 2002: 284). Ia juga dipercaya
menjadi dosen tamu di University of Philipines dan University Malaya
pada 1997. Azra juga aktif sebagai anggota SC SEASREO (Southeast
Asian Studies Regional Exchange Program) Toyota Foundation & The
Japan Foundation sejak ahun 1998 sampai sekarang. Selain itu, Azra juga
termasuk salah seorang pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS)
(Azra, 2000: 26).
Dari berbagai daftar riwayat hidup Azyumardi Azra dalam setiap
buku yang diterbitkannya, dapat diketahui bahwa karir Azyumardi Azra
sebagai berikut:
1. Wartawan majalah Panji Masyarakat(1979 sampai 1985).
2. Lembaga Riset Kebudayaan Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia LRKN LIPI (1982-1983).
3. Wakil direktur Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) di
Jakarta.
4. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Islamika, dan Editorin-
Chief Studia Islamika
5. Dosen tamu di University of Philippines (1997)
6. Dosen tamu di Universiti Malaya (1997).
7. Anggota pada SC SEASREO (Souhteast Asian Studies Regional
Exchange Program) Toyota Foundation & The Japan Foundation
(1998 sampai sekarang).
8. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
9. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS).
10. Guru Besar Sejarah pada Fakultas Adab.
11. Pembantu Rektor I pada 1998 dan Rektor IAIN syarif Hidayatullah
Jakarta sejak 14 Oktober 1998.
12. Tahun 2002 , Azyumardi Azra juga ditugasi untuk menjadi Ketua
Yayasan Wakaf Paramadina, yang sebelumnya dipegang oleh
Nurcholish Madjid.
D. Karya-Karya Azyumardi Azra
Hingga kini lebih dari 15 buku yang telah Azra tulis, tidak
termasuk makalah dan jurnal-jurnal berbahasa Indonesia dan Inggris. Oleh
sebab itu, Azra tergolong penulis paling produktif, khususnya sejarah dan
kajian keislaman (Harian Kompas, 25 Maret 2004 dalam
www.kompas.com. Dikutip 20 Desember 2016).
Buku-buku yang ditulis dan diterbitkannya antara lain, buku
berjudul: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII Dan XVIII terbitan Mizan tahun 1994. Lalu, buku Pergolakan
Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis, hingga Post Modernisme
terbitan Paramadina tahun 1996. Kemudian buku-buku Editannya seperti
Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan terbitan Pustaka Panjimas
tahun 1984, Perkembangan Modern dalam Islam terbitan Yayasan Obor
Indonesia tahun 1984, Agama di Tengah Sekulerasi Politik terbitan
Pusaka Panjimas tahun 1985 (Azra, 2003: 174).
Pada tahun 1999, Azra menerbitkan enam buku terbarunya dan
meluncurkannya pada tanggal 21 September 1999. Buku-buku tersebut
yaitu: Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium
Baru, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam terbitan Logos
Wacana Ilmu Ciputat, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
terbitan Paramadina Jakarta, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan,
Fakta dan Tantangan, dan Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan terbitan Rosda Karya Bandung (Azra, 2000: 30).
Pada tahun 2000 Azra menerbitkan dan meluncurkan buku
kumpulan wawancaranya yaitu Islam Subtantif: Agar Umat Islam Tidak
Jadi Buih terbitan Mizan Bandung, Azra juga telah menyiapkan tiga
manuskrip bukunya berbahasa Inggris yang penerbitnya di Singapura,
ketiganya berjudul Islam In Indonesia: Continuity And Changes In
Modern World. Islam in Malay-Indonesia World dan Islam, dan Ulama
and the State System (Azra, 2003: 134).
Pada tahun 2002, Azra kembali menerbitkan dan meluncuran buku-
buku terbarunya, antara lain: Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktifitas dan Aktor Sejarah terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta,
Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi
terbitan Kompas Jakarta, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut
Kerukunan Antar Umat terbitan Kompas Jakarta, Menggapai Solidaritas:
Tensi Antara Demokrasi, Fundamentalisme dan Humanisme terbitan
Pustaka Panjimas, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi,
Radikalisme dan Pluralitas terbitan Mizan Bandung, Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal terbitan Mizan Bandung (Azra, 2003: 134).
Bulan April tahun 2004, Azra meluncurkan bukunya yang berjudul
The Origins of Islamic in Reformation in South East Asia, buku tersebut
setebal 300 halaman dan disponsori oleh Studies Australian Association
(SAA) yang diterbitkan oleh penerbit komersial Allen dan Unwin
Australia, kemudian Hawai University Press dan KITLV Leiden, Belanda
(Harian Kompas, 25 Maret 2004 dalam www.kompas.com. Dikutip 20
Desember 2016).
Dari sekian banyak karya-karya Azra dikarenakan ia sudah
mengenal tulis menulis sejak mahasiswa. Sebelum lulus dari IAIN Jakarta
ia telah terjun dalam dunia jurnalistik (Azra, 2000: 38). Dari berbagai
daftar riwayat hidup Azyumardi Azra dalam setiap bukunya yang
diterbitkan dapat diketahui bahwa karya-karyanya berupa buku antara lain:
1. Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan (Pustaka Panjimas,
1984).
2. Perkembangan Modern dalam Islam (Yayasan Obor Indonesia, 1984).
3. Agama di Tengah Sekulerasi Politik (Pusaka Panjimas, 1985).
4. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
Dan XVIII (Mizan, 1994) yaitu berasal dari desertasinya.
5. Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalis, Modernis, hingga Post
Modernisme (Paramadina, 1996).
6. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,
(Logos Wacana Ilmu, 1999).
7. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Logos Wacana
Ilmu, 1999).
8. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Paramadina,
1999)
9. Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Rosda
Karya, 1999).
10. Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan
(Rosda Karya, 1999 ).
11. Islam Subtantif: Agar Umat Islam Tidak Jadi Buih (Mizan, 2000).
12. Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktifitas dan Aktor
Sejarah (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002)
13. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi (Kompas, 2002).
14. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar
Umat (Kompas, 2002)
15. Menggapai Solidaritas: Tensi Antara Demokrasi, Fundamentalisme
dan Humanisme (Pustaka Panjimas, 2002)
16. Konflik Baru Antar Peadaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas
(Mizan, 2002).
17. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Mizan, 2002) (Azra,
2003: 134).
E. Pengalaman Keagamaan
Pendidikan keagamaan Azyumardi Azra yang diterimanya dimasa
kecil hingga dewasa begitu berkesan dihatinya. Namun, ia merasakan ada
perubahan yang cukup besar dalam pengalaman keagamaannya saat
menempuh pendidikan pasca sarjana, untuk meraih gelar MA dan Ph.D
dinegeri Barat. Konsentrasi studi saat itu memang sejarah Islam, lebih
khusus lagi mengenai tradisi ulama. Ia sangat tertarik dengan
kecenderungan para ulama yang sufistis. Sejak itulah mulai banyak
mempelajari ilmu tasawuf dan menemukan keasyikan tersendiri baginya,
dan meyakini betapa pentingnya tasawuf bagi kehidupan ini (Wachidah,
2016: 57). Azyumardi Azra menjelaskan perubahan yang cukup besar
dalam pengalaman keagamaannya ketika ia mendalami Islam bukan
dengan pendekatan dogmatis, tetapi historis (Triyadi, 2009: 80).
Azyumardi Azra kini merasa lebih bisa mengapresiasi tasawuf
beserta amalan-amalannya yang sangat berwarna. Ia bahkan meyakini
betapa pentingnya tasawuf itu bagi kehidupan ini (Triyadi, 2009: 80).
Dengan pemahaman keagamaan seperti itu, pada 1991, Azyumardi Azra
berkesempatan mengunjungi Arab Saudi. Satu hal yang sangat berkesan
ketika sampai di sana yakni munculnya keharuan dalam dirinya. Ia
menyadari di tempat yang diinjak itulah Rasulullah pernah bersusah payah
menegakkan Islam. Semua kenangan itu seolah menjelma menjadi sebuah
buku, film, atau video, memperlihatkan bagaimana Rasulullah dan para
sahabat berjuang mengadakan pencerahan di tengah-tengah masyarakat
jahiliyah (Triyadi, 2009: 80).
BAB III
PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM AZYUMARDI AZRA
A. Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra
1. Arti dan Tujuan Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan Islam telah didefinisikan secara berbeda-
beda oleh orang-orang yang berlainan sesuai dengan pendapatnya
masing-masing. Tetapi, semua pendapat itu bertemu dalam pandangan,
bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan
untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Azra, 1998: 3).
Azyumardi Azra merumuskan, bahwa pendidikan secara umum
adalah proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke
generasi berikutnya (Azra, 1998: 5). Menurut Azyumardi Azra
pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu
berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW, agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia
mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan
berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (Azra, 1998: 5).
Jika sistem pendidikan Barat sekarang ini sering disebut-sebut
mengalami krisis yang akut, itu tak lain karena proses yang terjadi
dalam pendidikan tak lain dari pada sekedar pengajaran. Pendidikan
yang berlangsung dalam schooling system tak lebih dari suatu proses
transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka tekno-struktur yang ada.
Akibatnya, katakanlah pengajaran menjadi suatu komoditi belaka
dengan berbagai implikasinya terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan. (Azra, 1999: 3).
Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan antara pendidikan
pada umumnya dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling
menonjol adalah pendidikan Islam bukan hanya mementingkan
pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk
kebahagiaan akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha
membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga
pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai
agama.(Azra, 1998: 6).
Tujuan pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra (1999: 8)
ada dua, yaitu tujuan umum/akhir dan tujuan khusus. Bagi Azra,
pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam
secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas
dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan
dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.
Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa, dan negara maka pribadi
yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil alamin, baik dalam skala kecil
maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat
disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan hidup Muslim sebagaimana difirmankan Allah SWT,
dalam al Qur‟an yaitu:
وس ٱلجه خلقت وما ﴾٦٥﴿ ليعب د ون إل وٱل
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku” (Q.S. Al Dhariyat: 56)
أيها ٱت ق ىا ءامى ىا ٱل ذيه ي ىت ه ول ت قاتهۦ حق ٱلل ىن وأوت م إل تم سلم ﴾٢٠١﴿ م
“Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali „Imran: 102)
Tujuan hidup Muslim atau tujuan akhir pendidikan Islam sesuai
ayat diatas adalah untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan
yang selalu taqwa dan mengabdi kepadaNya. Sebagai hamba Allah
yang bertaqwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam proses
pendidikan Islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan
pengabdian kepada Allah SWT. (Azra, 1998: 8)
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang
lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan
Islam. Tujuan khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep
pendidikan Islam jadinya, tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam
dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu
dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin didalam tahap-tahap
tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang
telah dicapai. (Azra, 1999:8).
Tujuan-tujuan khusus itu tahap-tahap penguasaan anak didik
terhadap bimbingan yang diberikan dalam berbagai aspeknya, pikiran,
perasaan, kemauan, intuisi, ketrampilan, atau dengan istilah lain
kognitif, efektif, dan motorik. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian
dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan
materi, metode dan sistem evaluasi. (Azra, 1999: 9).
Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam,
Azyumardi Azra (1998: 7) mengutip dari keterangannya Omar
Mohammad al Toumy al Syaibani, yaitu:
a. Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu,
pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa
yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan
yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan
pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat.
b. Tujuan-tujuan sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dengan apa
yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang
diingini dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan
yang diingini.
c. Tujuan prefesional yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai
suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Menururt Azyumardi Azra (1999: 7) proses pendidikan Islam
berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yakni tujuan individual, tujuan
sosial, tujuan profesional. Ketiga tujuan itu secara terpadu dan terarah
diusahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan
ini pula, jelas kemana pendidikan Islam diarahkan.
2. Sumber Pendidikan Islam
Selanjutnya sumber pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra
(1998: 9-11) secara singkat adalah sebagai berikut:
a. Al Qur‟an
b. Sunnah
c. Kata-Kata Sahabat
d. Kemaslahatan Masyarakat
e. Nilai-nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial.
f. Hasil pemikiran-pemikiran dalam Islam
3. Karakteristik Pendidikan Islam
Menurut Azyumardi Azra (1998: 12-13), dari dasar-dasar
pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sitem
pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat karakteristik
pendidikan Islam sebagai berikut:
Pertama. Penguasaan ilmu pengetahuan. Ajaran dasar Islam
mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim dan
Muslimat. Setiap Rasul yang diutus Allah lebih dahulu dibekali ilmu
pengetahuan, dan mereka diperintahkan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan itu.
Kedua. Pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai
harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain.
Ketiga. Penekanan pada nilai-nilai akhlak (karakter) dalam penguasaan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat
dari pendidikan Islam terikat oleh nilai-nilai akhlak.
Keempat, Penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hanyalah
untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum.
Kelima, Penyesuaian kepada perkembangan anak. Pendidikan Islam
diberikan kepada anak sesuai dengan umur, kemampuan,
perkembangan jiwa dan bakat anak.
Keenam, Pengembangan kepribadian. Bakat alami dan kemampuan
pribadi tiap-tiap anak didik diberikan kesempatan berkembang sehingga
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pengembangan kepribadian
itu berkaitan dengan seluruh nilai dan sistem Islam, sehingga setiap
anak dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Islam.
Ketujuh, Penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab. Setiap anak
didorong untuk mengamalkan ilmu pengetahuan sehingga benar-benar
bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat Islam secara
keseluruhan. Amal saleh dan tanggung jawab itulah yang
menghantarkannya kepada kebahagiaan di hari kemudian kelak.
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Azyumardi Azra (2012: 9) menyatakan, bahwa kurikulum
merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap
dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap
penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai
pokok dan permanen, yakni persatuan fundamental masyarakat Islam
tanpa dibatasi ruang dan waktu dan persatuan masyarakat internasional
berdasarkan kepentingan teknologi dan kebudayaan bersama atas nilai-
nilai kemanusiaan (Azra, 1998: 25).
Azra menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas
selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai
agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan
khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya
dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan
dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan
dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara
sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan
secara bertahap namun pasti (Azra, 2012: 66).)
Materi pendidikan Islam dalam pandangannya Azyumardi Azra
sangat luas, meliputi semua ilmu. Ilmu dalam Islam yang ada di alam
(dunia) dengan landasan kemanfaatannya, keperluannya dan bagi
bangsa Indonesia. Pandangannya tentang materi pendidikan Islam
sebagaimana para filosof terdahulu, seperti al Farabi, Ibnu Khaldun,
Ibn Sina juga al Ghazali, bahwa Ilmu dalam Islam ada dua sumber.
Pertama ayat kauniyah, ilmu yang diambil atau berasal dari alam
semesta, antara lain fisika, biologi, matematika, kedokteran, humaniora
dan lain sebagainya. Kedua ayat kauliyah, yakni ilmu yang diambil dari
al Qur‟an dan hadis Nabi, seperti tafsir, fikih, ushul fikih dan lain
sebagainya (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra,
selasa 21 Februari 2012).
Menurut Azyumardi Azra, semua ilmu yang bermanfaaat bagi
manusia itulah Islam, sampai keilmuan farmasi dan kedokteran,
demikian juga teknologi sehingga lulusannya dapat membuat alat-alat
untuk pemenuhan kebutuhan manusia, seperti transportasi, pesawat
boing, sehingga ketika ke Arab untuk menunaikan haji bisa digunakan
tanpa memakai dari orang lain selain Islam. Ia menjelaskan bahwa
matematika, IPA (fisika-biologi), IPS adalah ilmu-ilmu Islam yang
diambil dari ayat-ayat kauniyah. Sedangkan al Qur‟an, hadits, tafsir,
ilmu-ilmu Islam dari ayat-ayat qauliyah. Dalam pendidikan harus
memperhatikan aspek kognisi sehingga dengan pengetahuan dapat
diinternalisasikan dalam aspek afektif, lebih lanjut ilmu yang didapat
mampu diamalkan (psikomotorik) (Wawancara Ahmad Halawi dengan
Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012).
5. Metode Pendidikan Islam
Menurut Azyumardi Azra, metode dan strategi harus meliputi
tiga aspek kepribadian peserta didik, yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Semua metode digunakan agar terjadi proses pembelajaran
yang efektif dan efesien sehingga mampu mencapai tujuan
pembelajaran nasional. Metode dalam pendidikan Islam harus
partisipasi, peserta didik dilibatkan ikut serta secara langsung dalam
memperoleh pengetahuan. Adapun dalam penggunaan metode Azra
mengingatkan agar disesuaikan dengan perkembangan peserta didik.
Penggunaan metode yang sesuai sangat ditekankan, karena akan dapat
dengan mudah diterima dan diamalkan oleh peserta didik (Wawancara
Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012).
Metode pendidikan saat ini hanya menitikberatkan pada
kemampuan hafalan daripada kekuatan logika. Dengan kata lain,
menggunakan metode-metode pendidikan yang tidak layak bagi
pemikiran peserta didik sehingga kecenderungan seperti ini
menghasilkan sikap tidak kritis dan patuh terhadap dogma-dogma
(Azra, 1999: 29).
Menurut Azra, proses pembelajaran membutuhkan metode yang
bervariasi, sehingga tidak menimbulkan kejemuan dan kebosanan bagi
peserta didik. Peserta didik jangan hanya dijejali atau diceramahi, tetapi
anak beri ruang untuk berpikir, mencari sendiri dari buku-buku bacaan
dan melaporkan hasilnya, mengakses internet dan lain sebagainya
(Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21
Februari 2012).
Penekanan pendidikan Islam pada bimbingan, bukan pengajaran
yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan,
katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam
maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. (Azra, 1999: 6).
Disini sang guru, lebih berfungsi sebagai fasilitator atau
penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik. Dengan kerangka
dasar pengertian ini, maka guru menghormati anak didik sebagai
individu yang memiliki berbagai potensi. Dari kerangka pengertian dan
hubungan antara pendidik dengan anak didik semacam ini, dapat pula
sekaligus dihindari apa yang disebut banking concept dalam pendidikan
(Azra, 1999: 6).
Azyumardi Azra mengatakan bahwa untuk metode pendidikan
sholat, peserta didik langsung diajak praktek sholat di Musholla atau
Masjid. Pendidikan Islam harus ada ilmu dan juga amal. Keseimbangan
antara teoritis dan praktis. Dengan demikian akan memberikan manfaat
baik di Dunia sampai Akhirat (Wawancara Ahmad Halawi dengan
Azyumardi Azra, selasa Februari 2012).
B. Strategi Pembaruan Azyumardi Azra terhadap Pendidikan Islam
1. Pembaruan Perguruan Tinggi Islam
a. Kritik terhadap Perguruan Tinggi Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah lembaga
pendidikan tinggi Islam milik negara Republik Indonesia yang
dikelola oleh Departemen Agama. IAIN merupakan institut yang
memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam tingkat
universitas, dan pusat pengembangan dan pendalaman ilmu
pengetahuan Islam (Azra, 1998: 124).
Azyumardi Azra (1998: 125) menjelaskan bahwa sampai
sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN sendiri
maupun dari kalangan masyarakat umumnya berkenaan dengan
proses pendidikan dan out put IAIN. Dari satu segi, keluhan atau
tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan diperlukan
untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi
IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya menjadi lebih
bermakna. Kelemahan-Kelemahan IAIN menurut Azyumardi Azra
(1998: 125) adalah:
1) Kelemahan kemampuan bahasa.
Bahasa Arab merupakan alat pokok untuk memahami Al-
Qur‟an dan Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik (kitab
kuning), tetapi penguasaan bahasa Arab mahasiswa IAIN pada
umumnya sangat lemah, karena metode pengajaran bahasa yang
diterapkan relatif masih tradisional. Apa yang diberikan bukan
“pelajaran bahasa”, tetapi “pelajaran tentang bahasa”. Hal ini
bukan hanya pada bahasa Arab, tetapi juga pada bahasa inggris.
Sebagaimana perkataan Azyumardi Azra,
”Jadi itu harus diperkuat, Jadi kalau bisa perguruan tinggi Islam
di Indonesia diwajibkan menggunkan bahasa Arab Inggris,
seperti yang ada dipesantren, bahasanya harus digenjot, karena
zaman sekarang zaman globalalisasi, ada MEA dan macam-
macam. jadi bahasa itu yang diperkuat” (Wawancara penulis
dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
2) Kelemahan sistem dan metode
Sistem dan metode di IAIN sampai sekarang ini umumnya
kurang memberikan kesempatan kepada pengembangan kualitas
mahasiswa secara maksimal. Sistem dan metode yang
berlangsung lebih bersifat satu arah, artinya lebih banyak berada
di tangan dosen.
Sistem pendidikan dan perkuliahan tepatnya lebih
mengikut apa yang disebut Freire sebagai The Banking Concept
of Education (Pendidikan ala Bank), yaitu bahwa dalam proses
belajar mengajar dosen menganggap diri atau dianggap
mahasiswa sebagai pemilik tunggal ilmu sedangkan mahasiswa
adalah wadah kosong yang harus di isi. Jadi dosen lebih banyak
berperan sebagai subyek yang aktif, sementara mahasiswa
menjadi obyek yang pasif.
Sistem dan situasi pendidikan semacam itu pada giliranya
menghalangi munculnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa.
Akhirnya tidak mampu menguak realitas, dan memberikan respon
guna mengubah realitas yang dapat menghadirkan dirinya secara
lebih fungsional.
3) Kelemahan sikap mental ilmiah
Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap mental ilmiah
belum terbentuk di IAIN, baik dikalangan dosen, apalagi
dikalangan mahasiswa. Suasana dikampus sampai sekarang ini
belum dikatakan ilmiah akademis, yang terlihat lebih merupakan
suasana rutinitas civitas akademika yang menyelenggarakan
proses pendidikan dari hari ke hari.
Azyumardi Azra dalam Zainal Abidin Bagir dkk. (2005:
203-205) mengemukakan bahwa lemahnya riset dan
pengembangan ilmiah di sebagian besar negara-negara Islam
terkait realitas institusi-institusi sains yang dimiliki kebanyakan
negara-negara Islam belum berfungsi optimal untuk mendorong
penemuan-penemuan ilmiah. Di Barat dan negara-negara lain,
institusi sains terus tumbuh untuk mengantisipasi era globalisasi,
sementara di hampir kebanyakan negara Islam pertumbuhannya
sangat lambat. Di kebanyakan negara Islam, jumlah institusi-
institusi riset sains masih sangat rendah, anggaran yang
dialokasikan untuk program-program ilmiah hampir tidak
memadai, jumlah komunitas ilmiah dan produktivitas ilmuwan
juga masih rendah.
4) Kekurangan piranti keras
Sampai sekarang lembaga ini pada umumnya masih
menghadapi kekurangan piranti keras. Ini dapat dilihat dari
kurangnya sarana-sarana fisik yang memadai untuk menciptakan
lingkungan kampus ideal, karena yang disebut kampus hanyalah
ruang perkuliahan dan perkantoran. Begitu pula tidak
memadainya perumahan dosen, mengakibatkan intensitas
interaksi dosen-mahasiswa menjadi sangat terbatas.
Selain itu kekurangan tenaga dosen juga merupakan hal yang
dihadapi. Ratio dosen yang ada terus menjadi tak seimbang karena
semakin meningkatnya jumlah mahasiswa sehingga pada giliranya
bimbingan yang baik dan intensif tidak bisa dilaksanakan.
b. Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam
Menghadapi berbagai masalah di atas, terlihat betapa
kompleksnya problem yang dihadapi IAIN. Menurut Azyumardi
Azra (1998:128), untuk mengatasi masalah-masalah itu berbagai
alternatif dan langkah telah dilakukan, yaitu:
1) Penataan organisasi
Banyaknya IAIN dengan fakultas-fakultasnya yang
tersebar di berbagai kota besar dan kecil menimbulkan perbedaan
sarana, fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lain yang pada
giliranya juga mempengaruhi pengorganisasian.
Berhadapan dengan kenyataan itu maka dilakukan
langkah-langkah rasionalisasi sehingga lembaga ini hanya
terdapat di ibukota-ibukota propinsi. Dengan begitu sarana-sarana
yang diperlakukan dapat dimiliki secara lebih memadai, yang
dalam perkembangan selanjutnya akan mendukung langkah-
langkah ke arah penyempurnaan.
2) Penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum
Dalam orientasi ini, struktur kurikulum IAIN diperbaiki.
Jumlah mata kuliah dikurangi, tetapi lebih terarah dan relevan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum diarahkan untuk
memberikan keahlian kepada mahasiswa sesuai dengan
kebutuhan masyarakat masa kini dan masa depan. Dalam hal
sistem pendidikan diterapkan program yang dikenal dengan S1,
S2, dan S3. Dengan program S1, mahasiswa dimungkinkan untuk
mendapatkan gelar sarjana dalam waktu 4 tahun.
Kenyataan yang demikian menurut Azyumardi Azra perlu
segera dicarikan solusi berupa pembaruan sistem dalam
pendidikan Islam sebab, pendidikan Islam merupakan suatu usaha
untuk mempersiapkan Muslim agar dapat menghadapi dan
menjawab tuntutan perkembangan zaman (Fita Purisna Ardianti,
2015: 21).
3) Peningkatan personal
Dari segi kuantitas, ratio dosen tidak berimbang dengan
jumlah mahasiswa. Untuk itu, dalam setiap tahun anggaran
dilakukan pengangkatan tenaga pengajar baru. Untuk peningkatan
kualitas tenaga pengajar juga telah dilakukan berbagai langkah,
yaitu dengan diberikan kesempatan mengikuti program pelatihan,
penelitian, dan pengembangan agama departemen agama, serta
mengikuti program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial dan
program-program lain semisal S2, S3, dan lain-lain.
Pendidik dan tenaga kependidikan juga harus ditingkatkan
baik kuantitas maupun kualitasnya dengan cara pengiriman ke
universitas-universitas besar di Barat dimana mereka akan
mendapat pelatihan dalam pengajaran dan metodologi penelitian,
interpretasi dan analisis. Setelah menggali ilmu di negara-negara
yang pengetahuannya lebih maju maka dapat memberikan atau
membagikan ilmu yang telah didapat ke dunia pendidikan
Indonesia (https://anggaariskaa.blogspot.co.id. Diakses 28
Desember 2016).
Azyumardi Azra menambahkan strategi pembaruan
perguruan tinggi Islam didalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999: 167-168), perlunya
meninjau kembali sistem pendidikan dan kurikulum yang selama ini
diterapkan di IAIN. Berdasarkan pengamatan dan analisis yang
dikemukakan, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan untuk
pengembangan IAIN, yaitu:
1) Reformulasi Tujuan IAIN
Meskipun IAIN diharapkan menjadi pusat pengembangan
pemikiran Islam, sampai saat ini lebih berfungsi sebagai wadah
pembinaan calon pegawai dan guru ketimbang pemikir dan
intelektual Islam. Dalam hubungan ini, IAIN lebih berfungsi
sebagai training center ketimbang center of learning and
research (pusat pembelajaran dan penelitian) atau center of
Islamic thought (pusat pemikiran Islam). Dalam hal ini, sebaiknya
yang ada dipertahankan, sedang cita-cita tetap dilanjutkan.
Artinya ide-ide baru untuk berkembang maju tetap diusahakan.
Jika IAIN karena faktor-faktor tertentu tetap tidak bisa
melepaskan diri dari fungsinya sebagai training center,
seyogyanya juga melakukan langkah-langkah yang lebih
konsisten dan konkret untuk lebih memfungsikan diri sebagai
pusat penelitian dan pengembangan pembaruan pemikiran Islam.
2) Rekonstruksi kurikulum
Perguruan tingg Islam sebagai pusat keilmuwan penelitian
Islam, seyogyanya jurusan-jurusan di IAIN yang berkenaan
dengan disiplin-dispilin keagamaan selain lebih menekuni bidang-
bidang Islamic studies hendaknya juga memberikan kesempatan
bagi penguasaan prinsip-prinsip dari kerangka teori ilmu-ilmu
umum. Ini sekaligus berarti peninjauan ulang terhadap mata-mata
kuliah umum, yang tidak atau sedikit sekali relevansinya dengan
Islamic studies. Mata kuliah hanya menjadi beban yang cukup
berat bagi mahasiswa, yang pada gilirannya menghalangi
terjadinya studi dan penelitian yang intensif terhadap subjek-
subjek Islamic studies yang justru pokok itu.
Kenyataan ini bukan hanya terjadi pada progran S1, tetapi
juga pada program S2 dan S3 yang justru diharapkan sebagai
wadah pengkajian lebih intensif dan mendalam atas subjek-subjek
Islamic Studies. Ini tak berarti bahwa subjek-subjek umum tak
penting, hendaknya diciptakan sistem dan mekanisme sendiri
dalam kurikulum yang memberikan peluang bagi pemberian
subjek-subjek umum. Sekarang ini terlihat kecenderungan
terjadinya tumpang tindih subjek-subjek umum dalam strata
pendidikan yang dilaksanakan.
3) Simplifikasi beban perkuliahan
Penetrasi subjek-subjek yang tidak terlalu relevan dengan
Islamic studies maka beban perkuliahan menjadi amat berat.
Beban kuliah per-semester berkisar antara 8-10 mata kuliah.
Overloaded ini juga terjadi pada program Pasca Sarjana. Idealnya
beban mahasiswa setiap semester tidak lebih dari 5 mata kuliah
saja. Hanya dengan tingkat beban seperti ini bisa dilakukan studi
yang lebih intensif dengan mata kuliah yang diambil. Azyumardi
Azra mengatakan,
”Pembaharuan di perguruan tinggi Islam hampis sudah
terpenuhi dengan gagasan-gagasan di buku saya, cuma yang
belum terlaksana adalah penyederhanaan kurikulum, sekarang
beban kurikulum masih banyak, mata kuliah masih banyak, kalau
bagi saya mata kuliah cukup empat selama satu semester, 4 SKS
atau 5 SKS atau 6 SKS. Sekarang ini yang terjadi SKS-nya besar-
besar, sekarang terlalu banyak 1 semester dengan 12 mata
kuliah. Seharusnya mata kuliah yang cabang-cabang ranting
dikembalikan ke induknya. Misalnya di Tarbiyah itu ada fiqih
tarbawi, fiqih tarbawi sampai beberapa semester, jika mau
dikasih cukup satu semester, tidak usah fiqih tarbawi satu, dua,
sampai, empat, cukup satu saja!” (wawancara penulis dengan
Azyumardi Azra, 06 September 2016).
“Kurikulum menurut Saya kurikulum dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi harus disederhanakan. kadang anak-anak
sekolah itu banyak mata pelajarannya, sehari berapa mata
pelajaran, mungkin 7 atau 8, karena itu mereka jadi mumet.
mumet jadi akhrirnya panas, dan karena itu mudah tawuran,
menurut saya sehari paling banyak belajar 3-4 mata pelajaran”
(wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September
2016).
4) Dekompartementalisasi
Dewasa ini terjadi kompartementalisasi yang cukup parah
di IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa
melangkahkan kaki ke gerbang perguruan tinggi ini. Akibat
kompartementalisasi ini, mahasiswa cenderung mempunyai
pemahaman yang terpilah-pilah tentang Islam. Memasuki
Fakultas Ushuluddin misalnya, kurang apresiatif terhadap
syari‟ah. Memasuki Fakultas Tarbiyah, sangat lemah dalam
bidang pemikiran kalam atau filsafat Islam, dan seterusnya. Untuk
penguasaan yang komprehensif dan integral terhadap Islam,
seyogyanyalah tidak ada pembagian kefakultasan dan jurusan,
setidak-tidaknya dalam dua tahun pertama program S1.
Pada tingkat ini, semua mahasiswa mengambil mata
kuliah yang sama. Masa-masa ini diberikan mata kuliah umum
yang berguna untuk melihat dan mendekati Islam sebagai suatu
objek studi. Fakultas dan jurusan baru hadir pada tahun ketiga
atau keempat (antara semeter 5 samapi 8). Pada semester kelima
mahasiswa yang memang mempunyai minat-minat tertentu dapat
mengarahkan diri kedalam bidang-bidang khusus.
5) Liberalisasi Sistem SKS
IAIN telah cukup lama menerapkan sistem sks, tetapi apa
yang dijalankan lebih merupakan sistem sks paket. Mahasiswa
tidak cukup bebas menentukan sendiri program dan memilih
dosen sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Dosen
hendaklah diberikan peluang untuk menawarkan mata kuliah
baru, sesuai dengan keahliannya dan tuntutan perkembangan
zaman.
Dengan adanya kebebasan ini setidak-tidaknya mulai pada
tahun ketiga (semester 5), dampaknya akan mendorong
pertumbuhan minat dan kreativitas mahasiswa dalam
mengembangkan diri mereka sendiri, tetapi juga merangsang
dosen untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Dengan
demikian, akan terciptalah suatu komunitas intelektual, di mana
setiap individu yang terlibat di dalamnya berusaha secara
kontinyu mengembangkan minat dan kualitasnya.
c. Penguatan Akhlakul Karimah
Dalam wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, (06
September 2016). Ia menambahkan dalam proses pembaruan
perguruan tinggi Islam, perlu adanya penguatan akhlakul karimah.
Azyumardi Azra mengatakan,
”Kita melihat gejala mahasiswa saat ini kecenderungan lebih aktif
dalam isu-isu internal kampus. Saya tidak tahu kalau di UIN
malang dan di UIN surabaya ini. Mahasiswanya suka mendemo
Rektor, kadang-kadang kelakuannya mahasiswanya juga gak bener,
seperi tidak ada akhlaknya, mengatakan Tuhan membusuk dan
macam-macam, saya tidak tahu kalau di UIN malang.”
“Jadi mereka sibuk kedalam, aksi-aksi mereka secara moral dan
akhlak tidak selalu cocok dan tidak sesuai. Kalau mahasiswa tamat
tidak memiliki akhlak yang baik, tidak pas lah. Saya kira sekarang
tugas prioritas utama saat ini adalah penguatan akhlak mulia,
akhlakul karimah,budi pekerti, integritas, itu yang penting
sekarang.”
”Saya kira memang, aktivisme mahasiswa berkurang, aktivisme
dalam arti aktivis sosial politik. Mungkin karena politik di Indonesia
lebih stabil, tapi kan dulu zaman-zaman Gus Dur jadi presiden
politik belum juga stabil, ya banyak gejolak. Tapi semenjak masa
SBY berkurang, politik Indonesia lebih stabil. Kareba stabil
sehingga membuat aktivis jadi berkurang”.
Disisi lain, Azyumardi Azra melihat perkembangan
perguruan tinggi Islam hari ini. Ia mengatakan,
”Perguruan tinggi Islam saat ini baik negeri maupun swasta maju
sekali, dulu kita cuma punya IAIN dan STAIN, tapi sejak tahun 2002
mulai dengan IAIN Jakarta, 20 mei 2002, berubah menjadi UIN,
sejak itu terus beberapa IAIN menjadi UIN, termasuk STAIN
Malang, hingga sekarang jumlahnya sampai 11”.
”Saya kira perguruan tinggi Islam negeri, UIN IAIN sudah maju,
gedungnya juga sudah bagus-bagus. Dosennya juga sudah mulai
banyak, banyak doktor, banyak profesor”.
”Mahasiswa harus bisa mandiri, mahasiswa untuk didorong untuk
lebih banyak belajar sendiri, karena abad kita saat ini adalah abad
informasi”.
”Sekarang tidak masalah ijazah IAIN STAIN itu bisa dipakai, yang
penting mahasiswa itu harus punya kemampuan beradaptasi
dengan dunia yang riil setelah tamat dan kembali ke masyarakat.
Mereka harus siap melakukan penyesuaian-penyesuaian”.
2. Pembaruan Pondok Pesantren
a. Analisis Historis
Mengapa pesantren bisa survive sampai hari ini? Pertanyaan ini
mungkin kedengarannya mengada-ada. Tetapi terus terang, pertanyaan
ini sering menggoda Azyumardi Azra dan mungkin juga banyak
pengamat pendidikan Islam Indonesia lainnya. Sejak dilancarkannya
perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan
dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam
seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap
setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum (untuk tidak
menyebut sistem pendidikan sekuler), atau mengalami transformasi
menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidak-tidaknya
menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi
pendidikan umum (Azra, 1999: 95).
Sebenarnya gagasan pembaharuan pesantren di Indonesia
diperkenalkan oleh kaum modernis dengan gagasan sekolah model
Belanda pada tahun 1924. Pembaharuan pada waktu itu ditentang
banyak oleh kaum konservatif (kyai) dikarenakan model sekolah-
sekolah itu dapat memukul akar kekuasaan kyai yang terdalam.
Namun semangat kaum modernis tidak dapat dibendung, mereka
dengan hati-hati dalam programnya mendesak perlunya pengajaran
mata pelajaran modern dengan cara-cara modern, mereka
memasukkan Islam sebagai suatu mata pelajaran modern dan
membuatnya sebagai bagian yang yang tak terpisahkan dari kurikulum
sekolah.
Adanya gagasan untuk mengembangkan pesantren merupakan
pengaruh program modernisasi pendidikan Islam. Program
modernisasi tersebut berakar pada modernisasi pemikiran dan institusi
Islam secara keseluruhan. Modernisasi pendidikan Islam tidak dapat
dipisahkan dengan kebangkitan kaum muslimin di masa modern maka
pemikiran dan kelembagan Islam termasuk pendidikan pesantren
haruslah dimodernisasi yaitu diperbaharui sesuai dengan kerangka
modernitas (Azra, 2000: 31).
Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia,
harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri.
Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya
mempengaruhi sistem pendidikan Islam justru diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan
kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk
mendapatkan pendidikan (Azra, 1999: 97).
Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren. Merevisi
kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran
umum, atau bahkan ketrampilan umum. Cara pertama seperti
dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan pesantren sejak masa
Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas tetapi dalam masa
kemerdekaan, pembaruan kurikulum itu terus menemukan
momentumnya. Namun perlu ditegaskan bahwa pembaruan kurikulum
ini tidak berjalan merata diseluruh pesantren, bahkan pesantren-
pesantren yang menerima pembaruan tersebut hanya menerapkannya
secara terbatas. Termasuk, terdapat banyak pesantren yang dipimpin
oleh kyai lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan
terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren
(Azra, 1999: 102).
Kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas
pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Sebenarnya telah
mulai dikembangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda. Tetapi
dalam masa kemerdekaan, cara kedua ini semakin menemukan
momentumnya, khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem
kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan dibawah tanggung
jawab dan pengawasan Departemen Agama, yang sejak 1950-an
melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya menegerikan
banyak madrasah swasta (Azra, 1999: 103).
Semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah didalam
komplek pesantren masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap
berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat
pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang
ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam, dan sekaligus
merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren (Azra,
1999: 103).
Sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah orde baru,
pembaruan pesantren pada masa itu mengarah pada pengembangan
pandangan dunia dan subtansi pendidikan pesantren agar lebih
responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Selain itu, pembaruan
pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai
salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukan yang khas, pesantren
diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada
masyarakat itu sendiri (peopole centered development) dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada
nilai (value-oriented development) (Azra, 1999: 105).
Respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan
perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam
masyarakat Indonesia mencakup:
1) Pembaruan subtansi atau isi pendidikan pesantren dengan
memasukkan subjek-subjek umum dan vocational.
2) Pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan.
3) Pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren,
diversifikasi lembaga pendidikan.
4) Pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup
fungsi sosial-ekonomi (Azra, 1999: 105).
b. Pemikiran Keislaman
Munculnya kesadaran di kalangan pesantren dalam mengambil
langkah-langkah pembaruan untuk menjawab tantangan dan
kebutuhan transformasi sosial. Berakibat pondok pesantren harus
menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua
perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga
dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas (Azra, 2000: 51).
Pembaruan pondok pesantren bagi Azyumardi Azra juga harus
ada penguatan pemahaman keagamaan yakni penguatan Islam
wasatiyah. Azra mengatakan,
“Yang dibutuhkan untuk saat ini bagaimana penguatan pemahaman
keagamaan. Yaitu pemahaman keagamaan Islam washatiyah atau
Islam moderat. Perkembangan yang terjadi, banyak pemahaman
keagamaan yang radikal” (wawancara penulis dengan Azyumardi
Azra, 06 September 2016).
Gagasan dan konsep “ummatan wasatan” secara normatif
berasal dari Al Quran. Sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Dan dengan demikian Kami (Allah SWT) telah menciptakan
kamu (kaum Muslimin) sebagai ummatan washatan agar kamu
sekalian dapat menjadi saksi bagi manusia lain dan sesungguhnyalah
Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri kamu sekalian” (QS al-
Baqarah/2: 143).
Harus diakui, gagasan “ummatan wasatan”atau wasatiyyah
kembali menemukan momentumnya setelah peristiwa 11 September,
ketika kalangan Muslim dan Islam menjadi terdakwa dalam aksi-aksi
kekerasan. Padahal jelas, Islam mengecam kekerasan, apalagi
terorisme sehingga terdapat urgensi mendesak untuk memberikan
penjelasan-penjelasan kepada publik internasional tentang Islam dan
kaum Muslimin sebagai entitas wasathiyyah (Azra, 2005: 146).
Bagi Azyumardi Azra pengaruhnya radikalisme tidak main-
main. Ia mengatakan,
“Yang sedang terjadi adalah penyebaran paham-paham Islam yang
tidak sesuai. Mereka itu gigih dalam penyebaran. Berkembangnya
mereka dapat pengikut dari satu-satu akhirnya menjadi banyak. Ini
perlu dilakukan kenangkalan melalui sistem yang sistematis dengan
cara penguatan Islam wasatiyah. Ini penting dilakukan” (wawancara
penuls dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
Dalam masa kontemporer, wasatiyyah menurut Azzam Tamimi,
relevan dan kontekstual dengan modernitas dan demokrasi. Relevansi
dan kontekstualisasi itu bisa dicapai dengan pemahaman yang benar
atas Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Pemahaman yang
tidak kontekstual pada gilirannya hanya akan menghasilkan
ekstrimisme, yang tentu saja tidak selaras dengan kerangka
wasathiyah, dimana akhirnya menimbulkan ekses-ekses yang
merugikan Islam dan kaum Muslimin secara kesuluruhan (Azra, 2005:
147).
Konflik sekte-sekte di Indonesia terbilang baru dan tidak
separah di negara-negara seperti Irak atau Pakistan. Islam di negara-
negara Timur Tengah, Jazirah Arab, hingga Asia Selatan kurang
toleran dan inklusivitasnya rendah, tapi menonjol justru
sektarianismenya. Karena itu, Ia merasa bahwa Islam wasathiyah itu
harus diperkuat (http://fah.uinjkt.ac.id. Diakses 2 Januari 2017).
Dalam konteks masyarakat plural, menurut Azyumardi Azra
seharusnya ditemukan berbagai kesamaan yang mesti ditonjolkan,
bukan malah mencari perbedaan-perbedaannya. Apalagi di antara
sekte-sekte itu lebih banyak kesamaan-kesamaannya ketimbang
perbedaannya. Sayangnya, sekarang ini banyak kelompok, terlebih
kelompok radikal, lebih melihat perbedaan-perbedaan. Apabila
perbedaan-perbedaan yang muncul, konflik menjadi hal yang tak
terelakkan. Apalagi konflik berbasis agama memiliki implikasi yang
amat dahsyat dan daya destruktifnya sangat kuat
(http://fah.uinjkt.ac.id. Diakses 2 Januari 2017).
c. Penguatan Jaringan Pesantren
Pembaruan pondok pesantren terkini bagi Azyumardi Azra
adalah melalui penguatan jaringan pesantren. Azra mengatakan,
“Di Indonesia pesantren, terutama dimiliki kyai-kyai NU, tapi juga
sudah mulai banyak pesantren muhammadiyah, pesantren persis juga
sudah ada dijawa timur, semua itu harus bikin jaringan, saling
membantu mana yang masih tradisional, dimordenisasi diperbaharui,
dalam 3 tadi hal itu, fisik, kelembagaannya, substansinya
pendidikannya, dan metode pembelajarannya, jadi empat itu”
(wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
Azyumardi Azra mengarahkan agar pesantren bersatu, Ia
mengatakan,
”Sekarang ini saya kira pesantren-pesantren besar itu harus
membantu pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, caranya
dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia, tidak
hanya di Indonesia tapi di Filipina, Thailand, Malaysia” (wawancara
penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
Azyumardi Azra melihat sebagian pesantren masih perlu dibantu
dan didukung, ia mengatakan,
”Masih ada pesantren yang pembelajarannya ketinggalan, substansi
pendidikan juga masih ketinggalan, khususnya pesantren kecil”
(wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
AZYUMARDI AZRA DI INDONESIA
A. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra
1. Relevansi Arti dan Tujuan Pendidikan Islam
Disini penulis mencoba memahami hakikat dari pendidikan Islam
perspektif Azyumardi Azra. Menarik dikaji karena tidak sedikit tulisannya
yang telah diterbitkan, baik media cetak maupun media elektronik yang
membahas pendidikan Islam. Apalagi kehadirannya dalam keilmuwan
Islam, menambah dari sekian rentetan cendekiawan Muslim yang ada di
Indonesia.
Baginya, pendidikan Islam adalah suatu proses dimana suatu
bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan
dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Azra, 1998:
3). Pendidikan adalah proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu
generasi ke generasi berikutnya (Azra, 1998: 5). Menurutnya, pendidikan
Islam juga merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan
ajaran-ajaran Islam supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai
khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat (Azra, 1998: 5). Ungkapan ini bila ditelusuri lebih jauh akan
memiliki implikasi dan cakupan yang cukup luas. Disini Azyumardi Azra
memberikan penjelaskan pendidikan Islam secara panjang lebar, ada
proses, ada tujuan, ada nilai-nilai keislaman, ada pelakunya yakni generasi
muda atau peserta didik.
Penjelasan pendidikan Islam Azyumardi Azra seperti yang
disebutkan memiliki korelasi dengan pendidikan Indonesia. Kesesuaian
konsep pendidikan Islam Azyumardi Azra dengan pendidikan Indonesia
bisa dilihat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (http://hukum.
unsrat.ac.id/uu/uu_20_03.htm. Diakses 28 Desember 2016).
Baginya, pendidikan Islam mempunyai tujuan yang jelas dan tegas
yang ia kerucutkan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan
hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi
hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai
kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-
masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi
rahmatan lil „alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup
manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum
atau akhir pendidikan Islam (Azra, 2012: 8). Tujuan pendidikan Islam
Azyumardi Azra ini hampir sama dengan tujuan Pendidikan Nasional yang
lebih menekankan pada aspek kecerdasan intelektual dan pengembangan
manusia seutuhnya, termasuk rasa tanggung jawab yang dikembangkan
mengarah pada masyarakat, bangsa, Negara, dan Tuhan yang maha Esa,
yang tiada lain adalah Allah SWT.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, menyebutkan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(http://hukum. unsrat.ac.id/uu/uu_20_03.htm. Diakses 28 Desember 2016).
Tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin
diwujudkan dalam pribadi peserta didik. Tujuan akhir harus lengkap
mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal
yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai islami dalam
segala aspeknya, yaitu aspek normatif, aspek fungsional, dan aspek
operasional. Dalam pencapaian tujuan pendidikan tersebut tidak mudah,
bahkan sangat kompleks dan mengandung resiko mental-spritual, lebih-
lebih lagi menyangkut internalisasi nilai-nilai islami, yang didalamnya
terdapat Iman, Islam, dan Ihsan, serta ilmu pengetahuan yang menjadi
pilar-pilar utamanya (Abdul Mujib, 2006: 75).
Berbicara mengenai tujuan memang sangat penting, tujuan umum
ini menjadi arah pendidikan Islam kedepan. Untuk keperluan pelaksanaan
pendidikan, tujuan ini harus dirinci menjadi tujuan khusus. Hasan
Langgulung (1986: 57) menjelaskan tujuan khusus pendidikan Islam ini
tergantung pada institusi pendidikan tertentu, pada tahap pendidikan
tertentu, pada jenis pendidikan tertentu, serta tergantung pada masa dan
umur tertentu. Bila tujuan akhir pendidikan Islam adalah bersifat mutlak
dan tidak bisa berubah, maka dalam tujuan khusus pendidikan Islam masih
dapat berubah.
2. Relevansi Sumber Pendidikan Islam
Azyumardi Azra dalam membahas sumber pendidikan Islam,
memiliki kesamaan dengan tokoh-tokoh lain, seperti Hasan Langgulung
dan Sa‟id Ismail Ali, yakni sumber pendidikan Islam berasal dari Al-
Qur‟an, As-Sunnah, kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat, Nilai-
nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial, dan hasil pemikiran-
pemikiran dalam Islam. Dari kesamaan ini menunjukkan bahwa sumber
pendidikan yang disampaikan Azyumardi Azra memang relevan.
Setiap usaha, kegiatan, tindakan yang disengaja untuk mencapai
tujuan haruslah mempunyai dasar atau landasan sebagai tempat berpijak
yang baik dan kuat. Demikian juga dengan proses pendidikan, sebagai
aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan
kepribadian, tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja yang
berfungsi sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan langkah menentukan
arah usaha tersebut. Maka pendidikan Islam memerlukan landasan kerja
untuk memberikan arah bagi programnya.
(https://rusmanhaji.wordpress.com. Diakses 20 Desember 2016). Landasan
atau dasar yang digunakan merupakan sumber dari pada pendidikan Islam.
Lebih jelasnya, sumber pendidikan Islam yang disampaikan oleh
Azyumardi Azra (1998: 8-10) adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an, sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad menjadi sumber pendidikan Islam yang pertama dan
utama.
b. Sunnah Nabi Muhammad, segala yang dinukilkan dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran,
sifat, kelakuan perjalanan hidup, baik yang demikian itu sebelum Nabi
SAW diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Oleh sebab sunnah
mencerminkan prinsip, manifestasi wahyu dalam segala perbuatan,
perkataan dan taqriri Nabi.
c. Kata-Kata Sahabat Nabi Saw. Para sahabat nabi bergaul dengan Nabi
dan banyak mengetahui sunnahnya yang menjadi sumber kedua
pendidika Islam.
d. Kemaslahatan Masyarakat. Maslahat artinya membawa manfaat dan
menjauhkan mudharat. Tegaknya manusia dalam agama, kehidupan
dunia dan akhiratnya adalah dengan berlakunya kebaikan dan
terhindarnya dari keburukan. Kemaslahatan manusia tidak mempunyai
batas dimana harus berbakti. Ia berkembang dan berubah dengan
perubahan zaman dan berbeda menurut tempat.
e. Nilai-Nilai Adat dan Kebiasaaan-Kebiasan Sosial. Adat dan kebiasaan
tersebut tentunya yang positif. Hal ini sesuai dengan pandangan, bahwa
pendidikan adalah usaha pemeliharaan, pengembangan dan pewarisan
nilai-nilai budaya masyarakat yang positif.
f. Hasil Pemikiran-Pemikiran dalam Islam. Pemikiran yang dimaksud
adalah pemikiran para filosof, pemikiran pemimpin, dan intelektual
muslim khususnya dalam bidang pendidikan yang dapat dijadikan
referensi (sumber) bagi pengembangan pendidikan Islam.
Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan disini adalah semua
acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam.
Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam
menghantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu.
Sumber pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal pendidikan
Islam (Abdul Mujib (2006: 31).
3. Relevansi Karakteristik Pendidikan Islam
Selanjutnya, Azyumardi Azra juga menjelaskan karakteristik
pendidikan Islam, yakni bisa menguasai dan mengembangan ilmu
pengetahuan, menekankan pada akhlak, bagian dari pengabdian pada
Allah, menyesuaikan perkembangan anak, menekankan pada amal saleh
dan tanggung jawab.
Bagi Azra karakteristik yang khas dari pendidikan Islam menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat, karena ada perbedaaan tajam dengan
karakteristik pendidikan umum. Menurut Winata Putra, Udin Saripuddin,
Ardiwinata Rustana (http://arifinhamz.blogspot.co.id. Diakses 02
Desember 2016), Ciri-ciri umum pengajaran agama dibandingkan dengan
pengajaran umum, anatara lain:
a. Pengajaran agama mempunyai dua sisi kandungan, dunia dan akhirat.
b. Pengajaran agama yang memihak, tidak netral
c. Pengajaran agama mengarah kepada pembentukan akhlakul karimah.
d. Pengajaran agama amat fungsional, terpakai sepanjang hayat.
e. Pengajaran agama sudah terisi sejak dari rumah.
f. Pengajaran agama tidak diberikan sebagian.
Karakteristik pendidikan Islam yang dikemukakan Azyumardi Azra
berbeda dengan yang sampaikan Abdurrahman An-Nahlawi. Menurut An-
Nahlawi yang dikutip A. Majid dan Dian Andayani (2006: 78-80)
karakteristik pendidikan Islam meliputi:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah
manusia.
b. Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan.
d. Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis.
e. Tidak bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
f. Harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan
Negara.
g. Harus memilih metode yang realistis sehingga dapat diadaptasi ke
dalam berbagai kondisi.
h. Harus efektif dan dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat
behavioristik
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang
bersifat aktivitas langsung.
Bila dipahami dengan seksama, karakteristik Pendidikan Islam
menggambarkan dengan jelas keunggulannya dibandingkan dengan
karakteristik pendidikan lainnya, karena pendidikan Islam mempunyai
ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh
aspek kehidupan. Sehingga menjadi jelas bahwa konsep Pendidikan Islam
Azyumardi Azra dalam pandangan penulis menyesuaikan dan tidak
menutup mata terhadap perkembangan yang ada ditengah masyarakat.
4. Relevansi Kurikulum Pendidikan Islam
Konsep kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih
terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui
tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek; kognitif,
afektif, dan psikomotorik (Azra, 2012: 9). Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow dan Crow bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran
yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang
diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu (Abuddin Nata, 2003: 70).
Dalam Presentasi makalah oleh Yeni Oktarina yang berjudul
Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, di UII
Program Magister Studi Islam. Ia menjelaskan bahwa bagi Azyumardi
Azra dalam kurikulum pendidikan Islam harus jelas selain mesti
berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri
peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini,
pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM
seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan
agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan programatis
dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti
(hasthutibaharuddin.blogspot.com. Diakses 02 Januari 2017). Sehingga
dikotomi ilmu akan hilang dengan sendirinya karena penekanan kurikulum
yang dijalankan berdasarkan kepada nilai agama, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam kurikulum pendidikan Islam Azyumardi Azra tidak
mengenal istilah dikotomi ilmu. Istilah tersebut muncul dari hasil warisan
penjajah Belanda yang berusaha untuk memisahkan secara tegas antara
ilmu agama dan ilmu modern (umum). Seperti yang disampaikan oleh
Ahmad Tafsir (1994: 98-99) bahwa kurikulum pendidikan Islam harus
mencakup seluruh dimensi manusia. Hal ini tidak hanya memperhatikan
akidah, ibadah, maupun akhlak saja. Akan tetapi termasuk semua aspek
kehidupan yang ada.
Azyumardi Azra menjelaskan perencanaan pendidikan bagi peserta
didik muslim baik di negara mayoritas Islam maupun minoritas
memerlukan perombakan radikal dalam bidang kurikulum menyangkut
struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena itu, perencanaan
pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni
persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu,
dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi
dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan (1998: 8). Dengan
kata lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus
memenuhi dua tantangan pokok. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kedua, pengalaman ajaran agama.
5. Relevansi Metode Pendidikan Islam
Masalah pendidikan yang begitu kompleks menghendaki perlunya
pembaruan dalam metode pendidikan Islam. Menurut Azyumardi Azra
metode pendidikan Islam saat ini hanya menitikberatkan pada kemampuan
hafalan dari pada kekuatan logika sehingga kecenderungan seperti ini
menghasilkan sikap tidak kritis dan patuh terhadap dogma-dogma. Hasil
wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra (selasa, 21 februari
2012) menjelaskan bahwa proses pembelajaran membutuhkan metode
yang bervariasi, sehingga tidak menimbulkan kejemuan dan kebosanan
bagi peserta didik. Peserta didik jangan hanya dijejali atau diceramahi,
tetapi anak beri ruang untuk berpikir, mencari sendiri dari buku-buku
bacaan dan melaporkan hasilnya.
Menurut Ibnu Khaldun yang dikutip Muhammad Kosim (2012: 83)
bahwa metode-metode pendidikan Islam antara lain:
a. Metode Hafalan
Metode hafalan telah dikenal sejak awal perkembangan Islam.
Hal ini bisa dilihat dari upaya para sahabat dalam menghafal Al Qur‟an
dan Hadits. Selanjutnya, generasi-generasi sesudahnya pun tetap
mengembangkan hafalan ini. Memang diakui adanya metode hafalan
dalam pendidikan Islam, namun metode ini hanya digunakan dalam
bidang-bidang tertentu saja.
b. Metode dialog
Metode yang paling tepat untuk menguasai suatu disiplin ilmu
ialah dialog. Pemahaman yang diperoleh melalui hafalan tentang suatu
masalah yang termasuk bagian dari ilmu pengetahuan, bisa saja
diperoleh oleh orang awam, siswa baru, maupun sarjana pandai.
Sementara kebiasaan atau kemampuan yang diperoleh melalui metode
diskusi yang bersifat eksklusif hanya dimiliki oleh sarjana atau orang
yang benar-benar mendalami disiplin ilmu pengetahuan.
c. Metode Widya Wisata
Metode widya wisata adalah bagian dari metode pendidikan
dengan melakukan perjalanan (rihlah) untuk menuntut ilmu, karena
dengan cara ini peserta didik akan mudah mendapatkan sumber-sumber
pengetahuan yang banyak sesuai dengan karakteristik eksploratif anak.
Pengetahuan yang berdasarkan observasi langsung itu akan
berpengaruh besar dalam memperjelas pemahaman lewat indrawinya.
d. Metode keteladanan
Secara psikologis, manusia cenderung meniru karakter orang
lain, terutama orang yang difigurkannya. Peniruan tersebut biasanya
bersumber dari kondisi mental seeorang yang senantiasa merasa bahwa
dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain
sehingga dalam peniruan ini anak-anak yang sedang mencari identitas
diri, cenderung meniru orang dewasa.
e. Metode pengulangan (al-Tikrar) dan bertahap (al-Tadrij)
Pada dasarnya metode ini perlu diterapkan berdasarkan asumsi
kemampuan menerima ilmu pengetahuan pada anak yang sedang
berproses. Hal ini karena anak masih mempunyai kekuatan otak yang
minim sekali, sehingga kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan
harus berlangsung secara bertahap.
Nana Sudjana (1989: 78-86) juga menjelaskan bahwa terdapat
bermacam-macam metode dalam pembelajaran, yaitu metode ceramah,
metode tanya jawab, metode diskusi, metode resitasi, metode kerja
kelompok, metode demonstrasi dan eksperimen, metode sosiodrama (role-
playing), metode problem solving, metode sistem regu (team teaching),
metode latihan (drill), metode karyawisata (Field-trip), metode survei
masyarakat, dan metode simulasi.
B. Relevansi Strategi Pembaruan Pendidikan Islam menurut Azyumardi
Azra
1. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam
a. Urgensi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam
Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada
pelbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar tantangan
itu muncul dari proses globalisasi yang terjadi sejak paruhan kedua
abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang.
Lebih dari itu juga akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam
struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia.
Berkaitan dengan perubahan-perubahan itu, lembaga-lembaga
pendidikan Islam, terutama IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi
Islam, perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat
melakukan antisipasi (Rahim, 2000: 409).
Azyumardi Azra sebagai pemikir pendidikan Islam di
Indonesia dan juga praktisi di Perguruan Tinggi Islam menganggap
gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana,
melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. Baginya
ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan
cara inilah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya (Ariefuzzaman,
2007: 69).
Persaingan bebas akan menuntut IAIN untuk dapat
memberikan andil bagi pemenuhan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat. Paling tidak, dikemudian hari akan muncul dua tuntutan
besar. Pertama, tuntutan kualitas disiplin ilmu yang selama ini
diajarkan. Kedua, tuntutan untuk bersaing bebas dengan perguruan
tinggi lain untuk mempersiapkan sumber daya masusia yang mampu
menghadapi kehidupan yang majemuk (plural). Yang dimaksud
tuntutan kualitas adalah keinginan untuk meningkatkan kualitas
disiplin ilmu yang diajarkan di IAIN. Penekanannya meliputi tiga
hal, yaitu (a) sasaran pembinaan karakter (b) pembinaan akademik,
dan (c) pembinaan profesional (Azizy, 2000: 28).
Langkah konversi dari IAIN menuju UIN memang
diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra,
MA., dengan dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan
Matematika pada Fakultas Tarbiyah, serta Jurusan Ekonomi dan
Perbankan Islam pada Fakultas Syariah pada tahun akademik
1998/1999. Untuk lebih memantapkan langkah konversi ini, pada
tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis dan Teknik Informatika
bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Program Studi
Manajemen dan Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan Fakultas
Psikologi dan Dirasat Islamiyah bekerja sama dengan Al-Azhar,
Mesir. Selain itu dilakukan pula upaya kerja sama dengan Islamic
Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana pembangunan
kampus yang modern, McGill University melalui Canadian
International Development Agencis (CIDA), Leiden University
(INIS), Universitas Al-Azhar (Kairo), King Saud University
(Riyadh), Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB),
Ohio University, Lembaga Indonesia Amerika (LIA), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Bank Negara
Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, dan universitas-universitas
serta lembaga-lembaga lainnya
(https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hid
ayatullah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017). Hasilnya tanggal 20
Mei 2002, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi
UIN.
b. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam
Dalam perjalanan IAIN, Masykuri Abdullah (2000: 77)
menjelaskan, menyadari perlunya revisi kurikulum secara periodik,
maka pada 30 Juni 1997 Menteri Agama, H. Tarmizi Taher, telah
meresmikan kurikulum nasional baru IAIN/STAIN. Peresmian
kurikulum baru ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kurikulum
1995 yang dinilai sudah kurang relevan dengan perkembangan dan
pembangunan nasional yang cukup dinamis. Ada beberapa hal baru
yang terdapat dalam kurikulum 1997 ini. Terutama yang terpenting
adalah dekompartementalisasi, bahasa Inggris, serta penekanan
kurikulum lokal yang berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan.
Proses penyempurnaan perguruan tinggi Islam yang
dilakukan Tarmizi Taher diperjelas juga oleh Azyumardi Azra
meliputi: Pertama, Relevansi Penataan Organisasi. Pada bab
sebelumnya sudah dijelaskan langkah-langkah dalam proses
pembaruan perguruan tinggi perspektif Azyumardi Azra yaitu
dengan penataan organisasi. Saat itu penataan organisasi terfokus
pada fakultas-fakultas yang tersebar di berbagai kota yang
dampaknya menimbulkan perbedaan sarana, fasilitas, dan faktor-
faktor pendukung lain antar perguruan tinggi Islam. Pada giliranya
pengelolaan tidak bisa berjalan dengan baik dan teratur. Bagi Azra,
seharusnya perguruan tinggi Islam hanya berada di ibukota-ibukota
provinsi saja karena dengan begitu sarana-sarana yang diperlakukan
dapat dimiliki secara lebih memadai.
Ditangan Mukti Ali, IAIN mulai memasuki proses
rasionalisasi dengan cara menutup fakultas-fakultas daerah yang
secara akademik tidak bermutu. Langkah ini dimaksudkan agar
kinerja administrasi IAIN dapat terselenggara secara lebih efisien
(Hidayat, 2000: xxiii). Kelas-kelas jauh IAIN dihapuskan atau
digabungkan dengan yang lain, jumlah fakultas diupayakan tidak
bertambah lagi, atau bahkan kalau dapat dikurangi, jumlah
mahasiswa juga dikendalikan. Puncak dari kegiatan rasionalisasi
organisasi ini ialah dilepaskannya sekitar 40 fakultas cabang IAIN
menjadi 36 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang
berdiri sendiri pada 1997, diluar 14 IAIN yang ada (Mudzhar, 2000:
67). Dengan terbentuknya 36 buah STAIN maka pengembangan
IAIN mengalami babak baru lagi. Dengan pendirian STAIN, studi
Islam di daerah perkembangannya akan lebih mandiri seperti yang
dialami STAIN Salatiga ini, dan sekarang sudah berubah menjadi
IAIN.
Kedua, Relevansi Rekontruksi Kurikulum. Sistem pendidikan
dan kurikulum pun menurut Azyumardi Azra harus disempurnakan,
terutama berkaitan mata kuliah. Kurikulum pendidikan yang ada di
Indonesia dinilai terlalu kompleks. Hal itu pula yang menyebabkan
banyak siswa di Indonesia merasa dipaksa untuk menguasai
materi/ketrampilan yang sebenarnya tidak sesuai dengan bakat
mereka. Karena beban kurikulum yang berat, tak hanya siswa yang
terbebani, tetapi juga guru dalam mentransfer ilmu juga terbebani.
Hasilnya, siswa tidak bisa menguasai materi-materi, begitu pula
gurunya (http://www.pikiran-rakyat.com/. Diakses 02 Januari 2017).
Gagasan penyederhanaan kurikulum Azyumardi Azra sama
dengan yang disampaikan Masykuri Abdullah (2000: 80) yaitu
pengembalian beberapa bidang studi “pecahan” ke “ilmu induknya”.
Misalnya, kalau dalam mata kuliah tafsir I, II, III, VI pada Jurusan
Tafsir Hadits dengan bobot 8 sks. Ini cukup disebutkan tafsir dengan
jumlah sks yang agak besar (6 sks). Contoh lain adalah tafsir ahkam
pada semua jurusan di Fakultas Syari‟ah. Menurut kurikulum lama
terdiri atas tafsir ahkam I, II, III dengan bobot 6 sks atau tiga
semester, tapi dalam kurikulum baru hanya diberikan bobot 3 SKS
atau satu semester. Dosenlah yang menerjemahkan mata kuliah ini
dan membagi-bagi materi perkuliahan secara rinci dengan mengacu
kepada silabus nasional. Pemadatan memang bisa membawa
pengaruh berkurangnya materi yang diberikan jika dosen kurang
mampu melakukan pemadatan isi.
Ketiga, Relevansi Dekompartementalisasi. Menurut
Azyumardi Azra, dewasa ini terjadi kompartementalisasi yang cukup
parah di IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa
melangkahkan kaki ke gerbang perguruan tinggi Islam. Akibat
kompartementalisasi ini, mahasiswa cenderung mempunyai
pemahaman yang terpilah-pilah tentang Islam. Mereka yang
memasuki Fakultas Ushuluddin misalnya, kurang apresiatif terhadap
syari‟ah, mereka yang memasuki Fakultas Tarbiyah, sangat lemah
dalam bidang pemikiran kalam atau filsafat Islam, dan seterusnya.
Seharusnya, pada semester-semester awal mahasiswa belum
didaftarkan di fakultas dan jurusan, sebagaimana terjadi selama ini.
Baru pada tahun kedua atau ketiga mahasiswa dipersilahkan memilih
fakultas dan jurusan masing-masing, sesuai dengan minat mereka
setelah mengikuti perkuliahan selama setahun. Memang
pengaturannya rumit, tetapi mahasiswa dapat memilih bidang studi
yang diminatinya setelah mereka mengetahui secara jelas arah
masing-masing fakultas atau jurusan. Secara teknis hal ini
menyulitkan, maka bisa dicarikan jalan keluar, misalnya mahasiswa
diberi hak pindah fakultas atau jurusan, meskipun disertai juga
dengan persyaratan tertentu (Abdullah, 2000: 81). Pada masa-masa
inilah mahasiswa yang memang mempunyai minat-minat tertentu
dapat mengarahkan diri ke dalam bidang-bidang khusus.
Keempat, Relevansi Peningkatan Personal. Bagi Azyumardi
Azra dalam pembaruan perguruan tinggi Islam juga harus melakukan
peningkatan personal. Baginya dalam peningkatan personal
dilakukan berbagai langkah, yaitu dengan diberikan kesempatan
mengikuti program pelatihan, penelitian, dan pengembangan agama
departemen agama, serta mengikuti program latihan penelitian ilmu-
ilmu sosial, dan program-program lain semisal S2, S3, dan lain-lain
(Azra, 1998: 128). Pengembangan perguruan tinggi Islam tidak
boleh dianggap remeh, tapi perlu melibatkan para ahli. Termasuk
tidak kalah penting adalah peranan dosen yang berkualitas dan
profesional dalam menentukan efektivitas kurikulum.
Menurut Johan Hendrik Meuleman, salah satu indikator
paling jelas tentang orientasi majemuk IAIN adalah kerjasama
Internasional. Sebagaimana dijelaskan diatas, pada masa sebelumnya
hubungan luar negeri Indonesia dalam bidang kajian Islam lebih
berorientasi ke Timur Tengah. Bahkan sampai sekarang sejumlah
lulusan dan dosen IAIN masih belajar di Timur Tengah. Akan tetapi
belakangan semakin banyak tenaga pengajar dan atau lulusan IAIN
yang melanjutkan studi di dunia Barat. Gejala itu sudah ada sejak
1960-an, tapi semakin kuat sejak akhir 1980-an. Kebanyakan
mahasiswa dan peneliti ini dikirim ke Universitas McGill dan
Leiden, sedangkan jumlah lebih kecil dikirim ke berbagai universitas
di Amerika Serikat, Australia, dan negara Barat lain (Meuleman,
2000: 45). Strategi ini merupakan bagian dari proses peningkatan
personal.
Kelima, Relevansi Reformulasi Tujuan. Menurut penjelasan
M. Atho Mudzhar (2000: 69), sejak paruh kedua dekade 1970-an,
almarhum Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar, Guru Besar jurusan
Sosiologi Universitas Indonesia, seringkali menyatakan bahwa IAIN
harus mengambil sikap yang tegas antara sebagai lembaga dakwah
atau lembaga pendidikan tinggi. Hal itu juga beliau kemukakan
dalam berbagai seminar atau lokakarya yang membahas masalah-
masalah pengembangan IAIN.
Relevan sekali apa yang disampaikan Azyumardi Azra, yaitu
mencanangkan agar ada reformulasi tujuan dalam tubuh IAIN. IAIN
dalam arah tujuan seharusnya sebagai pusat pengembangan
pemikiran Islam, tapi sampai saat ini masih terasa hanya sebagai
wadah pembinaan calon pegawai dan guru ketimbang pemikir dan
intelektual.
Pengembangan IAIN dimasa depan, setelah kita tahu adanya
tuntutan dan tantangan sebagai konsekuensi terjadinya reformasi,
liberalisasi, dan globalisasi serta konsekuensi desentralisasi dan
pemberian otonomisasi, IAIN yang akan datang bisa dikembangkan
dengan beberapa pola sebagai berikut: (1) mencetak ulama‟ abad 21.
Pola pertama tetap menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan
untuk mencetak tenaga ahli dalam ilmu-ilmu keislaman (ilmu Islam)
atau ulama‟ dan sekaligus pemimpin agama. Dengan kata lain,
mencetak ulama abad 21, ini berarti menempatkan IAIN sebagai
pengembangan atau tingkatan lebih tinggi dari institusi pesantren.
(2) Menjadi perguruan tinggi yang Islami. Jika pola pertama
bertujuan mempertahankan IAIN sebagai lembaga yang mencetak
ulama abad 21, maka pola kedua menjadikan IAIN sebagai
perguruan tinggi yang akan menanggapi tuntutan pasar dengan
orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas. Umumnya universitas-
universitas ini tidak memiliki perbedaan dengan universitas negeri
atau swasta murni yang ada di Indonesia. Mereka membuka fakultas
dan jurusan ilmu-ilmu yang biasa disebut sekuler, hanya saja, selain
ilmu sekuler, universitas jenis ini memiliki fakultas Agama.
(3) Ulama dan Pasar bebas. Pola ketiga untuk pengembangan IAIN
merupakan penggabungan kedua pola di atas dengan cara bertahap.
Langkah awal adalah menciptakan IAIN sebagai lembaga
pendidikan untuk mencetak ulama 21. Setelah mapan dan tampak
hasilnya baru dikembangkan untuk menerapkan pola kedua. Pola
kedua belum akan ditempuh jika pola pertama belum mapan (Azizy,
2000: 34-38). Ini menjadi penting untuk arah perguruan tinggi Islam
di masa akan datang dengan disertai visi-misinya.
Keenam, Azyumardi Azra melihat perguruan tinggi Islam,
secara umum belum terbentuk sikap mental ilmiah, baik dikalangan
dosen, apalagi dikalangan mahasiswa. Suasana dikampus sampai
sekarang ini belum dikatakan ilmiah akademis, yang terlihat lebih
merupakan suasana rutinitas civitas akademika yang
menyelenggarakan proses pendidikan dari hari ke hari.
Berdasarkan keterangan Dadi Darmadi (2000: 348), salah
satu indikator paling kuat dari tumbuhnya tradisi intelektual di
kalangan IAIN adalah semakin berkembangnya, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, publikasi karya-karya kalangan
terpelajar IAIN. Sejak awal 1980-an, terjadi peningkatan yang cukup
signifikan di dalam penerbitan buku-buku keislaman. Lebih dari itu,
setidaknya dalam lima tahun terakhir, terdapat jumlah yang
signifikan dari karya-karya tulis kalangan IAIN, utamanya dalam
bentuk koran, artikel di jurnal ilmiah dan buku-buku ilmiah tentang
Islam.
Pemikiran baru dan riset merupakan dua hal yang dapat
memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Banyak isu-isu yang bisa diangkat untuk dijadikan sebuah pemikiran
baru dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bentuk kontribusi ini
pun bisa dilakukan dengan cara pembuatan karya ilmiah. Karya
ilmiah inilah yang nantinya dapat memberikan pengetahuan bagi
masyarakat mengenai pemikiran atau gagasan baru
(http://www.umy.ac.id/. Diakses 28 Desember 2016).
Setidaknya terdapat lima indikator yang diperkuat dengan
beberapa bukti empiris mengenai peranan IAIN di dalam
pengembangan wacana pemikiran keislaman dan intelektual
Indonesia. Kelima indikator tersebut adalah: (1) Beragamnya wacana
keagamaan yang dikembangkan (2) Peningkatan jumlah sarjana,
khususnya yang bergelar doktor dan master (3) peningkatan jumlah
publikasi berupa artikel koran, jurnal ilmiah, dan buku yang
diterbitkan (4) Semakin menjamurnya kelompok-kelompok studi
(5) kemunculan berbagai kelompok-kelompok kajian keagamaan dan
keislaman (Darmadi, 2000: 348).
c. Relevansi Penguatan Akhlakul Karimah
Untuk pembinaan karakter dalam UU tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan iman, taqwa, dan etika. Seharusnya
IAIN mempunyai seperangkat yang paling siap dibandingkan
perguruan tinggi lain. Sebab dengan menawarkan ilmu agama yang
salah satu intinya adalah untuk memperbaiki kehidupan moral, IAIN
semestinya bisa berada di barisan depan. Akan tetapi yang terjadi
tidak demikian. Meskipun disiplin yang diajarkan sarat dengan pesan
moral, sering dalam praktiknya hanya muncul sebagai ilmu
pengetahuan. Kritik pun muncul bahwa IAIN hanya mengajarkan
Islam secara keilmuwan dan miskin praktik serta contoh kehidupan
beragama yang baik dalam keseharian. lebih dari itu, selain IAIN
tidak saja kering dari praktik keberagaman, lembaga ini juga tidak
mampu menjangkau etika sosial, baik dalam tataran konseptual
maupun praktik di tengah masyarakat (Azizy, 2000: 28).
Ini sesuai dengan kegelisahan yang dirasakan Azyumardi
Azra melihat perilaku mahasiswa akhir-akhir ini. Berbagai aksi
menjadi sorotan publik karena tindakannya yang tidak
mencerminkan sebagai mahasiswa Islam. Penguatan akhlakul
karimah Azyumardi Azra menjadi sangat penting karena merupakan
bagian dari strategi pencegahan aksi-aksi yang keluar dari jalur
norma agama.
Berbagai aksi atau perilaku jauh dari norma agama dari
mahasiswa Islam yang penulis temukan antara lain: Pertama, Rabu 1
September 2010, sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Islam
Makassar membubarkan mahasiswa baru yang mengikuti kuliah
perdana, serta merusak dan membakar fasilitas kampus dengan
alasan tidak dilibatkan dalam penyambutan mahasiswa baru
(https://m.tempo.com. Diakses 1 Januari 2017). Kedua, Rabu, 11
Desember 2013, puluhan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga berunjuk
rasa mempermasalahkan uang kuliah tunggal atau UKT. Karena
merasa dihalang-halangi satpam, mereka marah. Awalnya, aksi
berlangsung di pertigaan kampus UIN. Setelah membakar ban bekas
dan berorasi, mahasiswa masuk kampus dan melanjutkan aksi di
dalam gedung. Aksi baku pukul terjadi saat mahasiswa hendak
masuk ke gedung rektorat. Suasana ricuh, terlihat sandal dan kayu
beterbangan ke arah barikade satpam (http://news.detik.com. Diakses
1 Januari 2017). Ketiga, Kegiatan Orientasi Studi Cinta Akademik
dan Almamater Mahasiswa Baru 2014 di Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya,
Jawa Timur, pada 28 hingga 30 Agustus, mendadak ramai
diperbincangkan. Sebabnya adalah mereka mengusung tema "Tuhan
Membusuk" dalam kegiatan itu, dan menjadi buah bibir seluruh
warga kampus yang dulu bernama IAIN Sunan Ampel itu
(https://www.merdeka.com. Diakses 1 Januari 2017). Keempat,
Kasus ucapan mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan
Gunung Djati Bandung dalam ta‟aruf dengan mahasiswa baru
September 2004 cukup menyentak. Di antaranya perkataan,
“Selamat bergabung di area bebas Tuhan”. Malah ada seorang
mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
mengepalkan tangan dan meneriakkan, “Kita berzikir bersama anjing
hu akbar” ( https://pikirancerah.wordpress.com. Diakses 1 Januari
2017).
Azyumardi Azra sangat menyayangkan perilaku mahasiswa
Islam yang megatakan “Tuhan membusuk”. Benar yang disampaikan
Zakiah Daradjat (1995:72), bahwa pentingnya pendidikan moral bagi
anak-anak kita, khususnya bagi para generasi penerus bangsa serta
betapa pula bahaya-bahaya yang terjadi akibat kurangnya atau
merosotnya nilai-nilai moral tersebut.
Atho' Mudzhar yang dikutip Muhaimin (2005: 26) juga
mengemukakan bahwa merosotnya moral dan akhlak peserta didik
disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang
terlampau pada materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan
aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman
yang utuh, selain itu metodologi pendidikan agama kurang
mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta
terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan.
Tim Dosen PAI Universitas Brawijaya (2005: 10-11)
mengatakan bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan
oleh sangat diperlukannya moral dari manusia, padahal moral
bersumber dari agama. Agama menjadi sumber moral, karena agama
mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, serta karena
adanya perintah dan larangan dalam agama.
Posisi pendidikan agama, sebagaimana dikemukakan diatas,
dalam pendidikan di Indonesia semakin penting. Akan tetapi,
pendidikan agama yang ada di sekolah-sekolah, madrasah dan
pendidikan tinggi cenderung berupa transformasi informasi,
pengetahuan dan bukan transformasi pengalaman, pembiasaan, dan
pembentukan sikap dan perilaku. Oleh karena itu yang menjadi
ukurannya adalah angka atau indeks prestasi (IP), bukan sikap dan
tingkah laku. Para siswa yang mendapat nilai baik dalam bidang
agama belum tentu berperilaku jujur. Malah di sekolah sendiri
terkadang menjadi tempat bersemainya nilai-nilai ketidakjujuran.
nyontek, pendongkrakan NEM, IP, sera KKN (Syafrudin, 2000:
142).
2. Relevansi Strategi Pembaruan Pondok Pesantren
a. Relevansi Analisis Historis
Pada era globalisasi, pondok pesantren dihadapkan pada
beberapa perubahan sosial budaya yang tidak terelakkan, pondok
pesantren tidak dapat melepaskan diri dari perubahan-perubahan.
Kemajuan teknologi informasi dapat menembus benteng budaya
pondok pesantren. Dinamika sosial ekonomi telah mengharuskan
pondok pesantren untuk tampil dalam persaingan dunia pasar bebas
(free market), belum lagi sejumlah perkembangan lain yang
terbungkus dalam dinamika masyarakat yang juga berujung pada
pertanyaan tentang resistensi (ketahanan), responsibilitas (tanggung
jawab), kapabilitas (kemampuan), dan kecanggihan pondok
pesantren dalam tuntutan perubahan besar. Apakah pesantren
mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahan-perubahan
tersebut? (Suwendi, 2004:118).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sebagian
masyarakat memandang tidak pernah mengalami perubahan secara
sistemik dan mendasar. Bahkan sebagian masyarakat terkesan
pesantren simbol keterbelakangan dan ketertutupan. Perubahan yang
terjadi pada pesantren dipahami hampir-hampir suatu kemunduran
atau dianggap sebagai suatu pengingkaran terhadap jati diri dan
watak pesantren (Ali, 2007: 39).
Banyak pesantren yang tidak mampu bertahan ditengah arus
perubahan zaman dan dinamika masyarakat. Setelah dilancarkannya
ekspansi pendidikan umum kebanyakan pesantren mengalami
kemunduran karena tidak mampu menyesuaikan diri dan
mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum.
Akibatnya minat orang tua untuk memilih pesantren sebagai
lembaga pendidikan bagi putra-putrinya menjadi kian surut. Pada
kondisi seperti ini pesantren mulai mengalami krisis santri (Ali,
2007: 40).
Azyumardi Azra memiliki pandangan berbeda. Ia
memandang bahwa pesantren bisa survive sampai hari ini. Bahkan
sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan Islam diberbagai
kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional
Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.
Pemikiran Azyumardi Azra tentang pembaruan pondok
pesantren menurut penulis berangkat dari pendekatan historis, bukan
pada hal strategi yang memerlukan step by step, karena memang
Azyumardi Azra dikenal juga sebagai profesor yang ahli sejarah.
Pembaruan pesantren bagi Azyumardi Azra mengalami
perjalanan panjang sehingga muncul konsep atau istilah modernisasi.
Pengalaman pesantren dari sistem pendidikan Belanda dan juga dari
kaum reformis Muslim memicu munculnya gagasan-gagasan baru
dari pihak pesantren. Dalam penjelasan Karel Steenbrink yang
dikutip Huda Ali tentang respon pesantren bahwa dalam konteks
surau tradisional menyebutnya sebagai “menolak dan mencontoh”,
sementara dalam konteks pesantren jawa sebagai “menolak sambil
mengikuti”. Dalam konteks ini pesantren melakukan sejumlah
akomodasi, dan adaptasi sekedar untuk mendukung kontinuitasnya.
Sejumlah penyesuaian dan adaptasi bahkan eksperimentasi terus
dilakukan dalam dimensi waktu: kemerdekaan, pasca kemerdekaan,
masa pemerintahan ORBA sehingga masa kini (2007: 41).
Azyumardi Azra menjelaskan modernisasi pesantren sudah
dilakukan jauh sebelum kemerdekaan seperti yang dilakukan
pesantren Tebuireng, pesantren Rejoso di Jombang, pesantren
Mambaul Ulum Surakarta, pondok modern Gontor, “Sekolah
Diniyah” Zainuddin Labay al-Yunusi, ataupun Sumatera Thawalib.
Azyumardi Azra menjelaskan sedikitnya terdapat dua cara
yang dilakukan pesantren yaitu pertama, merevisi kurikulumnya
dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan
ketrampilan umum. Kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-
fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Pada awal berdirinya, pesantren hanya menerapkan sistem
pendidikan salafiyah, yakni menerapkan metode sorogan dan
bandongan atau wetonan dalam proses belajar mengajar, sehingga
pesantren pada waktu itu lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan
tradisional. Tetapi setelah kira-kira sekitar abad ke-19, terjadi
perubahan penting, antara lain pada tahun 1920 pesantren Denanyar
Jombang mulai memberikan kesempatan bagi santri-santri wanita,
dan pada tahun 1920-an pesantren Tebuireng Jombang dan pesantren
Singosari Malang mulai mengajarkan mata pelajaran umum (Thaha,
2007: 66).
Perubahan tersebut diikuti pula oleh beberapa pesantren yang
lain, tetapi masih sangat terbatas, setidaknya karena dua alasan:
(1) Para pengasuh (kyai) masih tetap mempertahankan tujuan awal
dari pesantren, yakni penyebaran Islam (2) Belum memiliki tenaga
sesuai dengan tuntutan pembaharuan (Thaha, 2007: 66).
Secara kuantitatif perkembangan pesantren tetap bertambah
termasuk jumlah santrinya dan bahkan pengaruhnya sangat dominan,
tetapi pengaruh tersebut mulai menurun setelah penyerahan
kedaulatan pada bulam Desember 1949. Pada saat itu pemerintah
mulai membangun sekolah-sekolah umum secara luas serta jabatan-
jabatan dalam administrasi modern terbuka luas bagi bangsa
Indonesia yang terdidik di sekolah-sekolah umum tersebut. Hal ini
berdampak luas pada menurunnya jumlah santri di pesantren-
pesantren jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang mengikuti
pendidikan umum, sehingga pada tahun 1950-an banyak pesantren
kecil yang dengan terpaksa harus bubar (Thaha, 2007: 67).
Antisipasi terhadap fenomena diatas dilakukan oleh beberapa
pesantren besar dengan cara membuka atau mendirikan sekolah-
sekolah umum seperti SMP dan SMA, bahkan ada pula yang
membuka universitas yang memiliki berbagai fakultas dalam cabang
ilmu-ilmu umum. Namun harus diakui bahwa tidak semua pesantren
mengalami perubahan yang sama, atau bahkan masih ada pesantren
yang tetap mempertahankan keasliannya, sehingga ada macam-
macam tipe pesantren, yang pada umumnya dapat dikelompokkan
pada dua kelompok besar yakni, pesantren salafi dan pesantren
khalafi (Thaha, 2007: 67).
Menurut Azyumardi Azra, respon yang dilakukan pondok
pesantren. Pertama, respon pesantren terhadap pembaruan
pendidikan Islam mencakup pembaruan substansi atau isi, serta
metodologi. Menurut Anik Farida (2007: 10) pembaruan
(modernisasi) kurikulum dilakukan dengan cara tetap memberikan
pengajaran agama Islam, sekaligus memasukkan subjek (pelajaran)
umum sebagai substansi pendidikan. pembaharuan metodologi
dilakukan dengan menerapkan sistem klasikal atau penjenjangan.
Dari kedua unsur tersebut, maka bentuk lembaga pendidikan
madrasah atau sekolah umum serta kelembagaan atau fasilitas-
fasilititas bagi kepentingan pendidikan umum menjadi sebuah
keniscayaan. Dari segi metode pengajaran, tidak lagi menerapkan
sorogan atau bandongan, tetapi telah mulai menggunakan berbagai
metode pengajaran yang diterapkan pada sekolah umum seperti,
tanya jawab, hafalan, sosio-drama, widyawisata, ceramah, hingga
sistem modul.
Kedua, Bagi Azyumardi Azra, pembaruan pesantren juga
terjadi pada sistem kelembagaannya, seperti sistem kepemimpinan.
Kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kyai.
Tetapi dalam perkembangannya, pola kepemimpinan mengarah pada
pengelolaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan
kolektif. Salah satu contoh yang dikemukakan Azyumardi Azra
dalam pengantarnya buku Nurcholish Madjid berjudul Bilik-Bilik
Pesantren adalah transisi kepemimpinan pesantren Maskumambang
di Gresik, yang sejak didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh
keturunan pendirinya, KH Abdul Jabbar. Tetapi pada tahun 1958
kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada Yayasan
Kebangkitan Umat Islam (Azra, 1997: xx). Dengan perubahan pola
kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada
seorang kyai seperti pada pesantren-pesantren zaman dulu jarang
terjadi lagi. Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang
membuat pesantren tetap bertahan dalam menghadapi perubahan dan
tantangan zaman.
Ketiga, Aspek pembaruan fungsionalisasi pada pondok
pesantren juga terjadi menurut Azyumardi Azra. Awalnya pondok
pesantren hanya berfungsi dalam hal kependidikan, tapi
bertambahnya tahun sebagai respon terhadap modernitas, lembaga
pendidikan ini juga terlibat aktif dalam kepentingan sosial dan
ekonomi.
Dalam posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren
memiliki peran sebagai lembaga alternatif pembangunan yang
berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat
pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai.
Setidaknya juga menjadi pusat penyuluh kesehatan, pusat
pengembangan teknologi, dan usaha penyelamat lingkungan hidup,
dan yang lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi
masayarakat (Farida, 2007: 12).
Konsekuensi pembaruan fungsi pesantren dengan cakupan
kegiatan yang sangat luas ini, meliputi fungsi kependidikan, sosial
dan ekonomi maka pengembangan jaringan kerja dengan lembaga
lain merupakan salah satu prasyarat yang tidak boleh ditinggalkan.
Ini sangat sesuai dengan gagasan Azyumardi Azra yaitu pentingnya
penguatan jaringan pesantren.
b. Relevansi Pemikiran Keislaman
Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam
merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu
radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan
wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-
sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam
wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang
memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat
dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat
dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari
sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, fundamentalisme
sampai terrorisme. Bahkan negara-negara Barat pasca hancurnya
komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah
gerakan peradaban yang menakutkan (Madjid, 1995: 270).
Menurut Edi Susanto dalam Jurnal Tadris (2007)
menjelaskan bahwa adanya kemungkinan munculnya radikalisme
Islam komunitas “pondok pesantren” bukan suatu hal yang mustahil.
Namun demikian, penting dicatat bahwa tingkat kemungkinan
munculnya gerakan radikalisme Islam dari lingkungan pesantren
tidak dapat dipukul rata (arbitrer), terutama karena dunia pesantren
sangatlah heterogen. Secara sederhana tingkat kemungkinan tersebut
dapat dikategorikan dengan kemungkinan tinggi dan kemungkinan
rendah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat
kemungkinan tersebut tidak bisa dipukul rata. Pertama, latar
belakang pengetahuan agama dan faham keagamaan para pimpinan
pesantren, antar pesantren satu dengan yang lain berbeda-berbeda.
Kedua, sistem pendidikan, termasuk kualitas tenaga pengajar, bahan
ajar, kurikulum tersembunyi dan literatur pesantren antar satu
dengan yang lain berbeda-berbeda. Ketiga, lingkungan sosial
pesantren, termasuk jaringan sosial dan politik unsur pesantren
(pimpinan, ustadz, dan santri) berbeda-beda. Keempat, pengalaman
perjuangan kehidupan sosial dan politik pimpinan pesantren
berbeda-beda (ejournal.stainpamekasan.ac.id. Diakses 25 Desember
2016).
Bagi Azyumardi Azra tidak mudah memperkuat dan
memberdayakan Islam wasatiyah. Keterbelakangan umat dalam
ekonomi dan pendidikan khususnya, menciptakan suasana yang
tidak cukup kondusif, berujung pada ketiadaan harapan dan
keputusasaan bagi masa depan maka bagi Azra pemberdayaan
ekonomi dan pendidikan menjadi sangat penting. Jika semua itu bisa
diwujudkan, barulah dalam ummatan wasathan betul-betul kuat dan
tangguh ditengah berbagai gejolak zaman (Azra, 2005: 148).
Di tengah pergulatan masyarakat Islam menghadapi berbagai
persoalan yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan aliran,
membutuhkan pengembalian dan rekonstruksi pendidikan Islam
yang berbasis moderatisme. Ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan untuk mengkontruksi pendidikan Islam berbasis
moderatisme:
1) Tasamuh (toleransi). Menurut bahasa tasamuh berarti toleransi
atau tenggang rasa, sedangkan menurut istilah tasamuh adalah
sifat dan sikap tenggang rasa atau saling menghargai antar sesama
manusia, walaupun pendirian atau pendapatnya berbeda
(bertentangan) dengan pendiriannya sendiri. Secara etimologi,
toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan
dada (Misrawi, 2010: 1).
2) I‟tidal (keadilan). Secara umum pengertian adil mencakup, tidak
berat sebelah, berpihak kepada kebenaran, obyektif dan tidak
sewenang-wenang. Cakupan makna ini menjadi ajaran setiap
agama, menjadi paradigma dakwah dan juga menjadi rujukan
hubungan sosialnya (Hasan, 2005: 280).
3) Tawazzun (keseimbangan). Prinsip tawazun, yakni menjaga
keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara
seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan
pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa
datang (Muhammad, 1999: 41).
4) Persamaan. Prinsip persamaan menurut konsep modern
merupakan gagasan tentang persamaan dalam kesempatan.
Menurut doktrin ini, tuntutan persamaan adalah adanya
persamaan di muka hukum (equality before the law) dan
penghapusan terhadap hak-hak istimewa lain yang tidak
dibenarkan, yang hanya menyediakan posisi sosial, ekonomi, dan
politik bagi kelas, golongan, ras atau jenis kelamin tertentu
(Abdilah, 1999: 113-114).
c. Relevansi Penguatan Jaringan Pondok Pesantren
Pondok Pesantren jumlahnya cukup besar yang tersebar di
seluruh penjuru tanah air. Jumlah para santri dari pondok pesantren
kecil sampai pondok pesantren besar mencapai jutaan orang dengan
jumlah kelembagaan puluhan ribu, dan jika ditambah dengan diniyah
yang melakukan kegiatan proses belajar mengajar seperti pondok
pesantren, jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu (Marwan Saridjo,
2011: 117). Data Kementerian Agama tahun 2012 misalnya,
menunjukkan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag sebanyak
27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data 1997, yang
tercatat baru sebanyak 4.196 buah
(http://ditpdpontren.kemenag.go.id. Diakses 5 Februari 2017).
Lebih jelasnya, berdasarkan analisis statistik pendidikan
Islam, Pendataan Pondok Pesantren tahun 2011-2012 berhasil
mendata 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh
Indonesia, hasilnya yaitu: Pertama, Lembaga. Dari seluruh pondok
pesantren yang ada, berdasarkan tipologi pondok pesantren, terdapat
sebanyak 14.459 (53,10%) pondok pesantren salafiyah, dan 7.727
(28,38%) khalafiyah/ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai pondok
pesantren kombinasi. Kedua, Santri/Siswa. Jumlah santri pondok
pesantren secara keseluruhan adalah 3.759.198 orang santri, terdiri
dari 1.886.748 orang santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 orang
santri perempuan (49,81%). Ketiga, Tenaga Pengajar. Tenaga
pengajar pondok pesantren seluruhnya berjumlah 153.276 orang
pengajar, terdiri dari 102.459 orang (66,87%) pengajar laki-laki dan
50.781 orang (33,13%) pengajar perempuan.
Data diatas menunjukkan pondok pesantren menduduki
tempat yang sangat strategis dan memiliki kuatan besar, yang
tersebar diseluruh Indonesia. Ini yang membuat Azyumardi Azra
merasa penting bagi pesantren untuk melakukan penguatan jaringan.
Ia mengatakan bahwa sekarang ini pesantren-pesantren besar harus
membantu pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, caranya
dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia. Melalui
kerjasama antar pondok pesantren akan mempermudah dalam proses
pembaruan. Dampaknya dari kerjasama, kemajuan pada hal
substansi, metodologi, kelembagaan, dan fungsi akan mudah
tercapai.
Melalui jaringan pesantren, pemikiran penguatan Islam
wasatiyah Azyumardi Azra juga akan lebih mudah
terimplementasikan. Fenomena gerakan radikalisme-
fundamentalisme yang mengatasnamakan agama mulai marak
dengan segala isu dan pemberitaannya akhir-akhir ini. Kasus-kasus
terkait dengan konflik Ahmadiyah, peledakan bom di Masjid Polres
Cirebon, peledakan bom Gereja di Surakarta, bom buku, perekrutan
anggota NII dengan cara cuci otak dan lain-lain adalah terkait
dengan agama (https://jurnalsrigunting.wordpress.com. Diakses 4
Januari 2017). Perlu penanganan radikalisme-fundamentalisme
secara bersama-sama melalui jaringan pesantren agar pesantren-
pesantren saling bekerjasama dalam penguatan Islam wasatiyah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari bab I sampai dengan
bab IV guna menjawab fokus masalah dalam penelitian yang dilakukan
dan telah disesuaikan dengan tujuan penulisan skripsi di atas, maka ada
beberapa hal yang menjadi titik tekan sebagai kesimpulan dalam skripsi
ini, yaitu:
1. Pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra antara lain
adalah: (a) pendidikan Islam adalah proses pemindahan nilai-nilai
budaya serta pembentukan individu dari suatu generasi ke generasi
berikutnya berdasarkan ajaran Islam supaya dapat menunaikan
fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan
kebahagiaan di dunia akhirat (b) Tujuan pendidikan Islam ada dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pendidikan Islam
adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia
dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara,
maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil „alamin, baik
dalam skala kecil maupun besar. Adapun tujuan khusus pendidikan
Islam ini tergantung pada institusi pendidikan tertentu, pada tahap
pendidikan tertentu, pada jenis pendidikan tertentu, serta tergantung
pada masa dan umur tertentu. Bila tujuan akhir pendidikan Islam
adalah bersifat mutlak dan tidak bisa berubah, maka dalam tujuan
khusus pendidikan Islam masih dapat berubah (c) Dalam kurikulum,
pendidikan Islam harus jelas selain mesti berorientasi kepada
pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik,
kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (d) Sumber pendidikan Islam antara lain:
Al-Qur‟an, As-Sunnah, kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat,
Nilai-nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial, dan hasil
pemikiran-pemikiran dalam Islam (e) Proses pembelajaran
membutuhkan metode yang bervariasi, sehingga tidak menimbulkan
kejemuan dan kebosanan bagi peserta didik. Macam-macam metode
pendidikan Islam antara lain, metode hafalan, dialog, widya wisata,
keteladanan, pengulangan (al-tikrar) dan bertahap (al-tadrij) (6)
Karakteristik pendidikan Islam, yakni bisa menguasai dan
mengembangan ilmu pengetahuan, menekankan pada akhlak, bagian
dari pengabdian pada Allah, menyesuaikan perkembangan anak,
menekankan pada amal saleh dan tanggung jawab.
2. Strategi pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra ada dua,
(1) Pembaruan Pondok Pesantren dengan cara pembaruan subtansi atau
isi, pembaruan metodologi, pembaruan kelembagaan, pembaruan
fungsi, dan perlunya penguatan Islam Wasatiyah. (2) Pembaruan
Perguruan Tinggi Islam dengan cara penataan organisasi,
penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum, peningkatan
personal, reformulasi tujuan, simplifikasi beban perkuliahan,
dekompartementalisasi, liberalisasi sistem sks, penguatan akhlakul
karimah, dan penguatan jaringan pesantren.
3. Pemikiran Azyumardi Azra tentang pembaruan pendidikan Islam
(perguruan tinggi Islam dan pondok pesantren), jika dikaitkan dengan
sistem pendidikan nasional yang berbunyi pada Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003 memiliki korelasi karena saling menekankan
aspek kecerdasan inteletual dan pengembangan manusia seutuhnya
disertai internalisasi nilai-nilai spritual. Pemikiran Azyumardi Azra
sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia supaya tidak
ada lagi dikotomi ilmu, tercapainya akhlakul karimah, kuatnya Islam
wasatiyah dan jaringan pesantren, serta terbentuknya kurikulum yang
ideal. Pemikirann Azyumardi Azra yang belum tercapai adalah
penyederhanaan kurikulum.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan diatas, perlu kiranya penulis memberikan
saran konstruktif bagi dunia pendidikan Islam yaitu:
1. Bagi Pendidik
Berusaha semaksimal mungkin untuk selalu kreatif dan berinovasi
dalam proses pembelajaran dengan berbagai metode yang digunakan,
bukan hanya menggunakan metode ceramah, akan tetapi dapat
menggunakan berbagai metode yang kekinian sehingga peserta didik
atau mahasiswa dapat menerima pelajaran dengan baik dan maksimal.
2. Bagi Instansi Pendidikan Islam
Telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa
pembaruan pendidikan Islam adalah suatu keniscayaan. Maka
perguruan tinggi Islam maupun pondok pesantren agar selalu berfikir
kreatif dan cerdas untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam
secara berkelanjutan dan berkualitas.
3. Bagi Pemerintah
Diharapkan semaksimal mungkin mendorong dan mendukung
perguruan tinggi Islam dan pondok pesantren dalam
memodernisasinya, baik materil maupun moril. Karena tanpa
dukungan dari pemerintah mustahil pendidikan Islam akan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2006. Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Abdul Mujib. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Arikunto. 2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta : Rineka Cipta.
Azyumardi Azra. 1998. Esei-Esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
______________, 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
______________. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
______________. 1999. Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
______________. 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih.
Bandung: Mizan.
______________. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan
Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
______________. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada
Media.
______________. 2005. Dari Harvard sampai Makkah. Jakarta: Penerbit
Republika.
Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: kencana.
Deddy Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Hasan Langgulung. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam.
Bandung: al Ma‟arif.
Hujair Sanaky. 2008. Mata Kuliah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta :
Fakultas FIAI dan Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
Komaruddin Hidayat dan Hendro, Prasetyo. 2000. Problem & Prospek IAIN
(Antologi Pendidikan Tinggi Islam). Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Lexy Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Masykuri Abdilah. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Moeliono A.M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mohammad Tholhah Hasan. 2005. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural.
Jakarta: Lanta bora Press.
Muhaimin. 2003. Paradigma Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Munawir A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Terlengkap).
Surabaya: Pustaka Progressif.
Nasution. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nata Abuddin. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
Nawawi Hadari. 1993. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada
Universiti Perss.
Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina.
Slamet Triyadi. 2009. Modernisasi Pendidikan Islam Perspektif Prof. Dr.
Azyumardi Azra. Tesis (Online). Tersedia: http://digilib.uinsby.ac.id/7324/.
21 Juli 2016.
Syamsul Kurniawan, Erwin, dan Mahrus. 2013. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikn
Islam. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.
Yulianto. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M2s.
Zakiah Daradjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarata : Bulan Bintang.
Zuhairi Misrawi. 2010. Membumikan Toleransi al-Quran; Inklusivisme,
Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Moslem Moderate Society.
https://m.tempo.com. Diakses 1 Januari 2017.
http://news.detik.com. Diakses 1 Januari 2017.
https://www.merdeka.com. Diakses 1 Januari 2017.
ejournal.stainpamekasan.ac.id. Diakses 25 Desember 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatullah_Jaka
rta. Diakses 02 Januari 2017
http://www.umy.ac.id. Diakses 28 Desember 2016.
http://ditpdpontren.kemenag.go.id. Diakses Diakses 5 Februari 2016
www.tokohindonesia.com. Diakses 21 Juli 2016.
Harian Kompas, 25 Maret 2004.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
Hari/Tanggal : 06 September 2016
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : Universitas Airlangga Surabaya
Keterangan
P : Penulis
I : Nara Sumber
P : Assalamualaikum Prof !
I : Waalaikumsalam Wr. Wb.
P : Saya Maftukhin mahasiswa IAIN Salatiga yang ingin mengadakan wawancara
dengan Prof untuk penelitian skripsi.
I : Oh ya, ya. Silahkan. Ya sudah langsung aja apa pertanyaannya?
P : Bagaimana keadaan pondok pesantren saat ini menurut pandangan Prof?
I : Saya melihat bahwa pondok-pondok pesantren sudah maju, seperti Lirboyo,
Tebuireng itu sudah maju. Substansi, kelembagaan madrasah sudah berubah.
Sistem sebelumnya hanya sorogan dan bandongan, sekarang sudah sistem
klasikal. Bangunan-bangunan pun juga sudah megah, tidak seperti dulu lagi.
P : Apa yang diperbaharui atau dimodernisasi Prof?
I : Kurikulum, metode pengajaran, bangunan dan yang lain sudah bagus. Yang
dibutuhkan untuk saat ini bagaimana penguatan pemahaman keagamaan, yaitu
pemahaman keagamaan Islam washatiyah atau Islam moderat. Perkembangan
yang terjadi dalam beberapa terakhir ini, banyak penyebaran pemahaman
keagamaan yang radikal.
P : Seberapa besar pengaruhnya Prof?
I : Yang sedang terjadi adalah penyebaran paham-paham Islam yang tidak sesuai.
Mereka itu gigih dalam penyebaran. Berkembangnya mereka dapat pengikut
dari satu-satu akhirnya menjadi banyak. Ini perlu dilakukan kenangkalan
melalui sistem yang sistematis dengan cara penguatan islam wasatiyah. ini
penting dilakukan.
P : Bagaimana caranya Prof?
I : Sekarang ini saya kira pesantren-pesantren besar itu harus membantu
pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, karena masih ada pesantren
yang pembelajarannya ketinggalan, substansi pendidikan juga masih
ketinggalan, nah pesantren-pesantren yang besar ini harus membantu, caranya
dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia, tidak hanya di
Indonesia tapi di Filipina, Thailand, Malaysia. Kita harus mengekspor
pesantren kita ini ketempat-tempat lain. Dari sudut substansi,
pembelajarannya, paham keagamaannya yakni wasatiyah-nya itu, harus
diekspor kenegara-negara lain. Itu gagasan yang baru. Pesantren
Muhammadiyah sudah mulai banyak, pesantren PERSIS sudah ada di Jawa
Timur, pesantren Nahdlatul Wathon juga banyak. Semua itu harus bikin
jaringan, saling membantu mana yang masih tradisional, dimodernisasi dalam
tiga hal itu tadi, fisik, kelembagaan, substansi pendidikan, dan metode
pembelajarannya, jadi empat.
P : Berkaitan kyai konservatif bagaimana Prof?
I : Sekarang kyai sudah lebih terbuka, kalau pesantren-pesantren besar terbuka,
kepemimpinannya lebih kolektif. Jadi kalau di Pesantren besar itu, kyai
utamanya wafat maka pesantrennya tidak bubar karena ada menejemennya,
menejemennya sudah cukup kuat.
P : Pandangan Perguruan Tnggi Islam saat ini menurut Prof Bagaimana?
I : Perguruan tinggi Islam saat ini, baik negeri maupun swasta maju sekali. Dulu
kita cuma punya IAIN dan STAIN, tapi sejak 20 Mei 2002 IAIN Jakarta
berubah menjadi UIN. Sejak itu terus beberapa IAIN menjadi UIN, termasuk
STaIN Malang. Hingga sekarang jumlahnya sampai 11. Saya kira perguruan
tinggi Islam Negeri, UIN, IAIN, dan STAIN sudah maju, gedungnya juga
sudah bagus-bagus, Dosennya juga sudah mulai banyak, banyak Doktor,
banyak Profesor.
P : Kemudian yang perlu dimodernisasi apanya Prof?
I : Saya kira sekarang tugas prioritas utama saat ini adalah penguatan akhlakul
karimah, budi pekerti, integritas, itu semua yang penting sekarang. Karena
kalau Mahasiswa tamat tidak memiliki akhlak yang baik itu, gak pas lah.
Pembaruan di perguruan tinggi Islam hampis sudah terpenuhi dengan
gagasan-gagasan di buku saya, cuma yang belum terlaksana adalah
penyederhanaan kurikulum. Sekarang beban kurikulum masih banyak, mata
kuliah masih banyak, kalau bagi saya mata kuliah cukup empat selama satu
semester, tapi sks nya besar-besar 4 sks tau 5 sks atau 6 sks. Sekarang terlalu
banyak 1 semester 12 mata kuliah. Jadi itu agenda kedepan, penyederhanaan
kurikulum. Mata kuliah yang cabang-cabang dikembalikan ke induknya.
Misalnya di Tarbiyah itu ada fiqih tarbawi, Fiqih Tarbawi sampai beberapa
semester, cukup jika mau dikasih cukup satu semester, tidak usah fiqih
tarbawi satu, dua, sampai berapa itu empat, cukup satu saja. Mahasiswa
didorong untuk lebih banyak belajar sendiri, karena abad kita saat ini adalah
abad informasi.
P : Berkaitan mahasiswa saat ini, pandangan prof bagaimana?
I : Saya kira memang, aktivisme mahasiswa berkurang, aktivisme dalam arti
aktivis sosial politik. Mungkin karena politik di Indonesia lebih stabil. Tapi
dulu zaman-zaman Gus Dur jadi presiden, politik belum stabil dan banyak
gejolak tapi semenjak masa SBY berkurang. Mahasiswa saat ini
kecenderungan lebih aktif dalam isu-isu internal kampus. Misalnya saya gak
tahu di UIN Malang, di UIN Surabaya ini mahasiswanya suka mendemo
Rektor, kadang-kadang kelakuan mahasiswanya juga gak bener, kaya tidak
ada akhlaknya, mengatakan Tuhan membusuk dan macam-macam, saya tidak
tau kalau di UIN Malang. Jadi mereka sibuk kedalam. Aksi-aksi mereka
secara moral dan akhlak tidak selalu cocok.
P : Baiklah Prof. Itu aja sepertinya yang mau saya tanyakan. Jika nanti ada
pertanyaan lagi boleh ya Prof?
I : Iya. Boleh.
P : Terima kasih banyak ya Prof atas waktunya.
I : Iya, sama-sama. Hati-hati pulangnya. Kan jauh.
DOKUMENTASI WAWANCARA