Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBATALAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI OLEH
AHLI WARIS
The Cancellation of the Sale and Purchase Agreement by Heir
ARIFUDDIN
P3600214026
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
HALAMAN JUDUL
PEMBATALAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI OLEH
AHLI WARIS
Hasil Penelitian
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Kenotariatan
Disusun dan Diajukan Oleh
ARIFUDDIN
P3600214026
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
TESIS
KEDUDUKAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAMHARTA BERSAMA PADA PERKAWINAN
Disusun dan diajukan oleh:
Nomor P3600214033
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian TesisPada tanggal 16 Januari 2017
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
MenyetujuiKomisi Penasehat
Ketua Program StudiMagister Kenotariatan
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASILAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ARIFUDDIN
Nim : P3600214026
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
PEMBATALAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI OLEH
AHLI WARIS
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Makassar, 18 Agustus 2017,
A R I F U D D I N
P3600214026
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur diucapkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang
selalu memberikan berkat, kasih dan karunianya sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis ini ditulis sebagai syarat penyelesaian Program
Pascasarjana, dengn program studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis mengakui bahwa tesis
ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu, dan
pengalaman dari penulis. Berkat kebaikan, kasih, dan karunia yang
diberikan Allah subhanahu wa ta'ala secara langsung maupun tidak
langsung melalui bantuan dan uluran tangan dan bimbingan dari berbagai
pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan, oleh karena itu di ucapkan
terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta staf;
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan I Prof. Dr.
Ahmadi Miru, S.H., M.H., Wakil Dekan II Dr. Syamsuddin Muchtar,
S.H., M.H., Wakil Dekan III Dr. Hamzah Salim, S.H., M.H;
3. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan beserta staf.
4. Komisi Pembimbing tesis penulis yang telah membimbing dengan
penuh kasih dan kesabaran Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H dan
vi
Dr. Winner Sitorus, SH., MH., L.LM. Terimakasih yang sebesar-
besarnya saya ucapkan bagi kedua pembimbing penulis atas ilmu,
diskusi, dan bantuan selama proses penulisan tesis ini.
5. Komisi Penguji tesis Prof. Dr. Nurhayati Abbas. S.H., M.H., Prof. Dr.
Anwar Borahima, S.H., M.H., dan Dr. Hasbir Paserangi, S.H., M.H.,
M.Si., terimakasih sebesar-besarnya saya ucapkan untuk waktu
dan perhatian yang diberikan dalam setiap ujian yang saya lalui
dari awal hingga akhir.
6. Teman-teman Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas
Hasanuddin angkatan 2014 yang selalu memberi dukungan dan
menghibur saya saat susah dan senang.
7. Terkhusus tesis ini saya persembahkan kepada kedua orang tua
penulis yang selalu mendukung baik secara materi dan moral
H. P. Alimuddin Karim dan Hj. Rusdiana, beserta 6 adik saya .
Tesis ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu jika adanya
kesalahan, saya memohon kritik dan saran sebagai penyempurnaan
selanjutnya.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih banyak dan diakhiri dengan
doa dan harapan agar tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan.
Makassar, 18 Agustus 2017
ARIFUDDIN
vii
ABSTRAK
ARIFUDDIN, “Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Ahli Waris”, Dibimbing oleh Ahmadi Miru dan Winner Sitorus.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum Ahli waris dalam hal pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh pewaris, dan (2) untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum untuk memungkinkan adanya pembatalan oleh Ahli Waris dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan mengkaji substansi perundang-undangan, perjanjian, putusan-putusan hakim dan pendapat para ahli dan disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kedudukan ahli waris dalam perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh pewaris sifatnya hanya melanjutkan apa yang diperjanjikan dan tidak dapat membatalkan perjanjian, karena salah satu kewajiban ahli waris terhadap pewaris yaitu menyelesaikan kewajiban pewaris kepada pihak ketiga; dan (2) Dalam kasus yang penulis jadikan sampel penelitian hakim mempertimbangkan bahwa sebagai ahli waris yang baik dari pewaris, maka hal yang harus dilakukan adalah menunaikan/menyelesaikan kewajiban pewaris dalam hal ini menindaklanjuti perjanjian pengikatan jual beli tanah aquo sesuai ketentuan Pasal 175 ayat 1 b Kompilasi Hukum Islam sehingga seyogiyanya tidak meminta pembatalan perjanjian pengikatan jual beli tanah tersebut melalui gugatan rekonvensi. Kata kunci : pembatalan, perjanjian, pengikatan, jual-beli, ahli waris
viii
ABSTRACT
ARIFUDDIN, “The Cancellation Of The Sale And Purchase Agreement By Heir”, Supervised by Ahmadi Miru and Winner Sitorus.
This research aims to describe and analyze; (1) the legal position of an heirs in the case of cancellation of the a Sale and Purchase Agreement made by a predecessor, and (2) the legal considerations to allow an heir to cancel a Binding Agreement of the Sale and Purchase of Land.
This study was conducted as a normative legal research using statute, conceptual, and case approach. Primary legal, secondary legal, and non legal materials were collected in a library research, then materials were processed and analyzed using the qualitative methods to assess the substance of legislation, agreements, decisions of the judges, and the opinions of experts. The fidings were presented descriptively.
The results show that: (1) The position of an heir in a binding Agreement of sale and purchase made by apredecessor is only to continue what has been contracted and not to cancel the agreement, because one of the obligations of an heir to the predecessor is to fulfil the obligations of the predecessor to the third parties; and (2) In the case selected as the sample of this study, the judge considered that as a good heir of the predecessor,the heir should fulfil the obligation of the predecessor by following the biding agreement of the sale and purchase of the land that becomes the object of sale and purcahse based on the article number 175 varse 1b of the compilation of Islamic Law. It is expected that an heir does not request a cancellation of the agreement through a reconvention lawsuit. Keywords: cancellation, agreement, binding, sale-purchase, heirs.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
ABSTRAK .................................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori........................................................................... 10
1. Teori Perjanjian ...................................................................... 10
2. Asas Kepatutan ..................................................................... 13
3. Teori Keadilan ........................................................................ 14
B. Tinjauan Umum Tentang perjanjian ............................................ 19
1. Pengertian Perjanjian ............................................................. 19
2. Unsur-Unsur Perjanjian .......................................................... 23
x
3. Asas-Asas Perjanjian ............................................................. 25
4. Syarat Sahnya Perjanjian....................................................... 36
5. Alasan-Alasan Pembatalan Suatu Perjanjian ......................... 45
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Pengikatan Jual beli ............ 51
1. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli ............................ 51
2. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli .................................. 53
3. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Sebagai Akta Otentik . 59
D. Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Barat .............................. 67
1. Penggolongan Ahli Waris ...................................................... 67
2. Hak dan Kewajiban Ahli Waris .............................................. 73
E. Kerangka Pikir ............................................................................ 78
F. Definisi Operasional ................................................................... 80
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ............................................................................ 82
B. Jenis Pendekatan Penelitian....................................................... 82
C. Sumber Bahan Hukum ............................................................... 83
D. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 84
E. Analisis Bahan Hukum ................................................................ 85
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Ahli Waris dalam Hal Pembatalan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli .................................................................. 86
1. Hak dan Kewajiban Ahli Waris atas Warisan.......................... 86
2. Hak dan Kewajiban Ahli Waris dalam Menyelesaikan
xi
Perbuatan Hukum Pewaris .................................................... 98
B. Pertimbangan Hukum Pembatalan PPJB oleh Pengadilan ......... 108
1. Itikad Baik Para Pihak ............................................................ 125
2. Kepatutan/Kelayakan Terhadap Pembatalan PPJB ............... 129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 138
B. Saran .......................................................................................... 139
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat
dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh
bahan pangan dari mendayagunakan tanah. Manusia akan hidup senang
serba berkecukupan jika mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai
atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia
akan dapat hidup tentram dan damai kalau mereka dapat menggunakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan batas-batas tertentu
dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam
bermasyarakat.1
Tanah sering dijadikan manusia objek peralihan. Hal itu karena
tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia namun jumlahnya yang
sangat terbatas dan harganya relatif tinggi. Dalam Pasal 19 Ayat (1) dan
Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut Undang – Undang Pokok Agraria
atau UUPA), diatur bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.” Pendaftaran yang dimaksudkan meliputi: (a) pengukuran
1G. Kartasapoetra, R.G. Kartaspoetra, A. G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah
Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, 1985.
Hal. 1
2
perpetaan dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut; dan (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak,
yang berlaku sebagai alat pemuktian yang kuat.
Lebih lanjut, pada ketentuan UUPA, Pasal 26 Ayat (1), diatur
bahwa peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum terjadi karena adanya hubungan hukum oleh para
pihak. Hubungan hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang akan
menjadi beban berupa hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak
yang melakukan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum sebagaimana dijelaskan di atas dapat dilakukan
melalui perjanjian. Jika yang terjadi antara penjual dan pembeli, maka
yang dimaksudkan adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli
merupakan perjanjian penting yang dilakukan masyarakat sehari-hari,
namun terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan
merupakan suatu perbuatan hukum yang memiliki akibat-akibat hukum
tertentu.
Perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli
tidak selamanya merupakan perjanjian Jual beli yang sederhana. Secara
riil bahkan tidak jarang menimbulkan masalah, untuk itu diperlukan aturan
hukum yang mengatur tentang berbagai kemungkinan yang dapat timbul
dalam jual beli. Pengaturan masalah jual beli tersebut di dalam peraturan
perundang-undangan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar,
3
karena jual beli yang terjadi dalam masyarakat sangat beragam, baik dari
jenis barang yang diperdagangkan maupun pembayarannya.2
Hal tersebut juga di atur dalam Pasal 1458 KUHPerdata bahwa :
“Jual beli itu dianggap telah ada antara kedua belah pihak, seketika
orang – orang tersebut mencapai kata sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar ”.
Pasal ini mengartikan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian
konsensuil di mana pada dasarnya perjanjian dapat terwujud dalam
bentuk pernyataan penerimaan, baik yang dilakukan tidak tertulis maupun
dalam bentuk tertulis, meskipun barang yang diperjanjian belum
diserahkan. Pada barang-barang tidak bergerak (tanah) yang mana sering
dibuatkan Perjanjian Pengikatan jual beli dengan diharuskan dibuat dalam
bentuk tertulis berupa akta otentik yang dibuat oleh notaris agar dapat
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, agar mendapat
perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat akta
tersebut, yang mana notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam
membuat akta otentik yang tidak berpihak dan menjaga kepentingan
secara objektif.
Dalam UUPA, diatur bahwa salah satu cara untuk pemindahan hak
atas tanah adalah melalui mekanisme jual beli. Jual beli tersebut harus
dilakukan dengan pembuatan akta otentik yang dikenal dengan nama
Akta Jual Beli (selanjutnya penulis singkat dengan AJB), yang dibuat oleh
2Ahmadi Miru. Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak. Rajawali Pers. Makassar.
2007. Hal. 125
4
dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya penulis singkat
dengan PPAT) berdasarkan pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 24
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah RI Nomor. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sehubungan belum dapat dipenuhinya syarat-syarat yang
diwajibkan untuk melangsungkan AJB antara penjual dan pembeli karena
alasan seperti belum lunasnya pembayaran harga jual beli, belum
dibayarkannya pajak-pajak yang timbul karena jual beli dan sertifikat
masih dalam pengurusan, maka untuk mensiasati hal tersebut agar jual
beli tetap bisa dilakukan, terlebih dahulu pihak penjual dan pembeli
sepakat untuk membuat suatu perjanjian mengenai jual beli atas tanah
atau lebih dikenal dengan istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
dan Bangunan (selanjutnya penulis singkat dengan PPJB). PPJB dapat
dibuat di bawah tangan ataupun dengan akta otentik di hadapan Notaris
dan model perjanjian ini diangkat dan dibuat dari konsepsi Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUHPerdata) yang
merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang
5
dibuat dengan mendasarkan pada Pasal 1320 jo. Pasal 1338
KUHPerdata, sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum
serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi,
belum dilakukannya jual beli atas tanah dan bangunan melalui pembuatan
AJB di hadapan PPAT yang diwajibkan oleh undang-undang dapat
merugikan pihak pembeli, apabila pihak pembeli telah melunasi harga jual
secara tunai karena dengan dibuatnya PPJB dimaksud, kepemilikan hak
atas tanah belum beralih dari pihak penjual ke pihak pembeli. Pembuatan
PPJB tersebut dimaksudkan oleh para pihak bahwa hak atas objek berupa
tanah dan bangunan yang akan diperjual belikan sebagaimana dalam
PPJB tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain,
pembuatan PPJB di hadapan Notaris tersebut hanyalah sebagai alat bukti
yang kekuatan pembuktiannya harus memberikan nilai pembuktian yang
sempurna dan mengikat sebagai akta otentik dan tidak menimbulkan
akibat hukum berupa peralihan kepemilikan hak atas tanah.3
Dengan bantuan notaris para pihak membuat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli tersebut, dengan merumuskan hal-hal yang akan
diperjanjikan haruslah sesuai Pasal 1338 KUHPerdata. Namun suatu
perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan
yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi tertentu dapat ditemukan
berbagai hal yang memungkinkan kesepakatan tersebut berakibat
3Lina Haryanti Latif. Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Atas
Tanah dan Bangunan Antara Pembeli dan Pengembang Dikaitkan Dengan Pelaksanaan
Putusan Pailit Terhadap Pengembang. Tesis. Jogjakata: Universitas Gadjah Mada.
2014. Hal. 6-7
6
mengalami pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun atas
perintah pengadilan.
Di dalam PPJB yang dilakukan, para pihak sepakat untuk saling
mengikatkan diri dengan yang lainnya. Calon penjual terikat untuk
menjual hak atas tanah tersebut kepada calon pembeli dengan syarat-
syarat antara lain mengenai objek, harga, cara pembayaran, kuasa yang
diberikan kepada pembeli, tanggung jawab ahli waris para pihak dan janji-
janji lainnya, Dengan kesepakatan tersebut, pembeli terikat untuk
menyelesaikan hal tersebut setelah mereka mencapai kata sepakat
mengenai yang diperjual belikan dan dengan harga yang harus dibayar.
Dengan syarat tersebut memberikan perlindungan hukum kepada
para pihak dalam akta PPJB mengenai janji memberikan kuasa dari calon
penjual kepada calon pembeli. Kuasa ini diberikan semata-mata agar
calon pembeli dilindungi dalam melaksanakan PPJB tersebut tanpa
melibatkan calon penjual untuk melakukan AJB.
Ketentuan atau janji yang mengenai perjanjian juga tidak berakhir
oleh karena salah satu pihak meninggal dunia, tetapi bersifat turun
temurun dan harus di penuhi oleh ahli warisnya masing – masing.
berdasarkan ketentuan tersebut ahli waris para pihak dikemudian hari
menggantikan hak dan kewajiban yang meninggal dunia.
PPJB ini merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului
proses peralihan hak atas tanah. Sebagai suatu bentuk dari perikatan,
PPJB tanah mengandung hak dan kewajiban dari para pihak yang
7
membuatnya, sehingga apabila hal-hal yang telah disepakati dalam akta
pengikatan jual beli dilanggar atau tidak dipenuhi oleh para pihak yang
membuatnya maka para pihaklah yang berwenang meminta pembatalan
dalam perjanjian tersebut di depan pengadilan.
Di dalam praktiknya perjanjian pengikatan jual beli dapat dibatalkan
oleh ahli waris. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat
perjanjian pengikatan jual beli yang dilakukan oleh pewaris namun
dimintakan pembatalan oleh ahli waris.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip hukum waris barat dan hukum
waris Islam, di mana dalam Hukum Waris barat/ KUHPerdata suatu asas
bahwa “ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-
hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum
harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang di atur dalam Pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya
berlangsung karena kematian, sedangkan Hukum kewarisan menurut
Kompilasi Hukum Islam menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari
garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini
secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
ketika terjadi kematian harta milik sepenuhnya dari pewaris yang telah
bersih dari sangkut paut dengan pihak lain yang sudah dikurangi dengan
kewajiban pewaris yang belum dilunasi katika dikebumikan.
8
Dengan demikian dalam harta peninggalan seseorang yang
meninggal dunia, diatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkannya,
serta akibat-akibatnya bagi para ahli waris. Artinya baik aktiva dan pasiva
kewajiban ahli waris untuk melaksanakan apa yang ditinggalkan pewaris
oleh karena setelah pewaris meninggal dunia, maka seketika itu juga hak-
hak dan kewajiban-kewajiban beralih pada ahli warisnya yang didasari
asas le mort saisit le vif yang artinya orang mati berpegang kepada orang
yang masih hidup.4
Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, isu hukum dalam
persoalan ini yaitu keabsahan pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
oleh Ahli Waris.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan hukum Ahli Waris dalam hal
Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum pembatalan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli oleh Pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan kedua persoalan pokok yang menjadi objek
penelitian, kemudian ditetapkanlah tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum Ahli waris
dalam hal pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
4R. Soetojo Prawirohamidjojo. Hukum Waris Kodifikasi. Jakarta: Airlangga University
Press, 1998. Hal. 6
9
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum
pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Pengadilan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah
sebagai berikut
1. Kegunaan secara akademik, diharapkan agar lebih sesuai dan
dapat diterapkan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan
prestasi yang telah disepakati sebelumnya antara para pihak dalam
perjanjian pengikatan jual beli.
2. Kegunaan secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan masukan bagi para pihak maupun masyarakat luas
yang berkepentingan terkait dalam perjanjian pengikatan jual beli.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Perjanjian
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.
Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan contract atau
overeenkomst (perjanjian). Teori kontrak atau disebut juga dengan
the contract theory (bahasa Inggris), atau contract theorie (bahasa
Belanda) mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Hal ini disebabkan
karena teori ini menganalisis hubungan hukum antara subjek
hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya. Sebelum
menjelaskan pengertian teori kontrak, berikut ini disajikan
pengertian kontrak (perjanjian).5
Dalam konstruksi ini, kontrak dipahami sebagai sebuah
kesepakatan atau janji atau seperangkat janji. Janji (promise)
dikonsepkan sebagai perwujudan niat untuk memberikan sesuatu
,melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan
cara yang ditentukan, sehingga para pihak membenarkan apa
yang telah dilakukan. Isi janji tersebut yaitu di mana salah satu
pihak melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak lainnya
mengakuinya atau janji untuk memberikan kontrak prestasi apabila
5Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapaan Teori Hukum pada Penelitian
Disertasi dan Tesis. Buku Kedua. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2015, Hal. 34
11
terjadi pelanggaran terhadap isi kontrak. Ada dua pihak yang
terikat dalam kontrak ini, yaitu:6
1. Promisor, dan
2. Promisee.
Promisor yaitu orang yang melaksanakan atau
menyampaikan atau menawarkan kehendak atau niatnya,
sedangkan promisee, yaitu orang yang ditujukan terhadap
kehendak atau niat tersebut. Sementara itu, bentuk kontrak yang
dibuat oleh para pihak dapat dibedakan menjadi :7
1. lisan;
2. tertulis; dan
3. perilaku para pihak
Sementara itu, David J, Mack menyajikan pengertian
kontrak. A contract is :8
“ An agrement between two or more parties that creates an
obligation on all parties to perform (or not perform) a
particular action or set of related action”
Kontrak dalam definisi ini dikonstruksikan sebagai sebuah
persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk menciptakan
kewajiban hukum semua pihak, yaitu untuk melakukan (atau tidak
6 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani Ibid.
7 Ibid.
8Ibid.
12
melakukan) tindakan tertentu atau serangkaian tindakan terkait.
Unsur-unsur kontrak dalam definisi ini, meliputi:9
1. Adanya persetujuan;
2. Adanya para pihak atau subjek hukum;
3. Adanya kewajiban hukum dari semua pihak; dan
4. Melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan pengertian teori
kontrak (perjanjian). Teori kontrak (perjanjian) merupakan:“Teori
yang mengkaji dan menganalisis tentang hubungan atau
persetujuan yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan
subjek hukum yang lain, di mana subjek hukum yang satu
berkewajiban untuk melakukan sesuatu, sedangkan pihak yang
lain berhak atas sesuatu.”10
Objek kajian teori kontrak, yaitu:11
1. hubungan hukum para pihak;
2. adanya subjek hukum; dan
3. adanya hak dan kewajiban.
Hubungan hukum atau disebut juga legal relationship
(Inggris) atau rechtsverhouding (Belanda), yaitu keadaan yang
berhubungan atau bersangkut paut atau ikatan yang berkaitan
dengan hukum. Yang pada gilirannya, menimbulkan akibat hukum,
9 Ibid.
10
Ibid.
11 Ibid.
13
yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Subjek hukum, yaitu
pendukung hak dan kewajiban. Hak atau disebut right (Inggris)
atau rechts (Belanda) dikonsepkan sebagai kewenangan atau
kekuasaan dari para pihak untuk melakukan sesuatu, berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu karena telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Kewajiban atau disebut juga
dengan duty atau obligation (Inggris) atau responsibility,
verplichting (Belanda) dikonsepkan sebagai sesuatu yang harus
dilaksanakan oleh para pihak.12
2. Asas Kepatutan
Asas Kepatutan dalam perjanjian ditentukan dalam Pasal
1339 KUHPerdata. Perjanjian tidak hanya mengikat pada hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan dalam isi perjanjian, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan
atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Keterikatan para pihak dalam suatu perjanjian, tidak hanya
terbatas pada kata-kata dalam perjanjian tersebut, tetapi para
pihak terikat juga kepada prinsip yang patut terhadap perjanjian
yang bersangkutan.
Asas kepatutan mau menuntun para pihak agar substansi
atau isi perjanjian yang disepakati harus memerhatikan perasaan
keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat, karena hal inilah yang
12Ibid.
14
akan menentukan hubungan hukum di antara para pihak itu patut
atau tidak patut, adil atau tidak adil. Hazairin13 berpendapat bahwa,
asas kepatutan disebut juga asas kepantasan pada tataran moral
dan sekaligus pada tataran akal sehat, yang terarah pada
penilaian suatu perilaku atau situasi faktual tertentu. Patut
mencakup elemen moral, yaitu berkaitan dengan penilaian baik
atau buruk maupun elemen akal sehat, yaitu penilaian sesuai
dengan hukum, logika atau yang masuk akal.
Asas kepatutan atau kepantasan juga merupakan asas yang
menjadi tolok ukur dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Hal ini
mau menegaskan bahwa, dalam melaksanakan suatu perjanjian
tidak hanya terpusat pada apa yang tertulis, melainkan juga pada
perilaku. Para pihak tidak boleh mengabaikan hal-hal yang wajib
menurut kepatutan dan kepantasan dalam masyarakat.14
3. Teori Keadilan
Kata keadilan berasal dari kata adil. Dalam bahasa Inggris,
disebut "justice”, bahasa Belanda disebut dengan “rechtsvaardig”
Adil diartikan dapat diterima secara objektif. Keadilan dimaknakan
13Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak memahami kontrak dalam prepektif
filsafat,teori, dogmatik, dan praktik hukum (seri Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung.
CV. Mandar Maju. 2012. Hal 103
14
Yulia Vera Momuat. Eksistensi Dan Akibat Hukum Pasal 1266 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Dalam Perjanjian Terhadap debitor Yang Tidak Aktif Dalam
Melaksanakan Perjanjian. Jurnal. Universitas Atma Jaya. 2014. Hal 44
15
sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil. Ada tiga pengertian adil,
yaitu:15
1. Tidak berat sebelah atau tidak memihak;
2. Berpihak pada kebenaran;
3. Sepatutnya atau tidak sewenang-wenang
Ada dua hal yang menjadi fokus keadilan yang dikemukakan
oleh Jhon Stuart Mill, yang meliputi:16
1. Eksistensi keadilan; dan
2. Esensi keadilan.
Menurut Jhon Stuart Mill bahwa eksistensi keadilan
merupakan aturan moral. Moral adalah berbicara tentang baik dan
buruk. Aturan moral ini harus difokuskan untuk kesejahteraan
manusia. Sementara itu, yang menjadi esensi atau hakikat
keadilan adalah merupakan hak yang diberikan kepada individu
untuk melaksanakannya. 17 Rawls 18 dalam bukunya a theory of
justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference
principle dan the principle of fair equality of opportunity.Inti the
difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis
harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi
mereka yang paling kurang beruntung. Berdasarkan teori keadilan
15Jhon Stuart Mill dikutip oleh Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op.cit.
16
Ibid.
17
Ibid.
18 Josef Purwadi Setiodjati SH, M. Hum Dora Kusumastuti. SH. MH , Jurnal. Upaya Pemberdayaaan Konsumen Melalui Pendidikan Konsumen Untuk Mewujudkan Keadilan Berdasarkan Nilai Pancasila.widya Wacana Vol. 9 Nomor 2 Agustus 2014
16
ini maka perlunya suatu kedudukan yang seimbang antara
konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan suatu hubungan
bisnis.
Notonegoro menyajikan tentang konsep keadilan. Keadilan
adalah:19 "Kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan
orang lain apa yang semestinya, apa yang telah menjadi haknya.
Hubungan antara manusia yang terlibat di dalam penyelenggaraan
keadilan terbentuk dalam pola yang disebut hubungan keadilan
segitiga, yang meliputi keadilan distributif (distributive justice),
keadilan bertaat atau legal (legal justice), dan keadilan komutatif
(comutative justice)"
Definisi di atas, hanya menganalisis pengertian keadilan,
tidak menyajikan tentang konsep teori keadilan (a theory of
justice). Untuk Itu, perlu disajikan pengertian teori keadilan. Teori
keadilan merupakan: 20 "Teori yang mengkaji dan menganalisis
tentang ketidak berpihakan, kebenaran atau ketidak sewenang-
wenangan dari institusi atau individu terhadap masyarakat atau
individu yang lainnya.”
Fokus teori ini pada keadilan yang terjadi dalam masyarakat,
bangsa dan negara. Keadilan yang hakiki adalah keadilan yang
terdapat dalam masyarakat. Dalam realitasnya, yang banyak
mendapat ketidakadilan adalah kelompok masyarakat itu sendiri.
19Ibid.
20
Ibid.
17
Sering kali, institusi, khususnya institusi pemerintah selalu
melindungi kelompok ekonomi kuat, sedangkan masyarakat lemah
sendiri tidak pernah dibelanya.
Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau
tidak mau keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan
manusia dalam hubungan dengan tuhannya, dengan sesama
individu, dengan masyarat, dengan pemerintahan, dengan alam
dan mahluk ciptaan tuhan lainnya. Keadilan harus terwujud di
semua lini kehidupan, dan setiap produk manusia haruslah
mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan
produk yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan,
ketidakserasian yang berakibat kerusakan baik pada diri manusia
sendiri maupun alam semesta.21
Rasa keadilan terkadang hidup di luar undang-undang, yang
jelas undang-undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya.
Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak
adil. Ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan dirasakan oleh
mayoritas kolektif maka kepastian hukum akan bergerak menuju
rasa keadilan itu sendiri sebab keadilan dan hukum bukanlah dua
elemen yang terpisah.22
21Sukarno Aburaer, dkk. Filsafat Hukum Dari Rekonstruksi Sabda Manusia dan
Pengetahuan Hingga Keadilan dan Kebenaran. Makassar. Pustaka refleksi. 2010.
22
Ibid. Hal 178 .
18
Dalam menggambarkan hubungan keadilan dan hukum,
Aristoteles menjelaskan perlunya diselidiki perbuatan-perbuatan
mana keadilan itu berhubungan dan di tengah perbuatan-
perbuatan mana keadilan itu berbeda. Keadilan adalah sikap
pikiran yang ingin bertindak adil, yang tidak adil adalah orang yang
melanggar undang-undang yang dengan tidak sepantasnya
menghendaki lebih banyak keuntungan dari orang lain dan pada
hakikatnya tidak menginginkan asas sama rata sama rasa. Segala
sesuatu yang ditetapkan dengan undang – undang adalah adil,
sebab adil ialah apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan
dalam masyarakat. Selama keadilan itu ditunjukkan kepada orang
lain, maka ia merupakan kebajikan. Di antara dua kepentingan
tidak sama, hukum itu harus berdiri sama tengah, sebab barang
siapa yang berbuat tidak adil, mengambil terlalu banyak barang
dan barang siapa yang menderita ketidakadilan mendapat terlalu
sedikit, maka hakim mencabut kepentingan dari orang yang
berbuat tidak adil tadi dengan memperbaiki imbangan dan
hukuman. Sebab pergi kepada hakim berarti pergi kepada keadilan
yang hidup.23
23Muhammad Erwin. Filsafat Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011. hal. 224
19
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Istilah “Perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan
kesepadanan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa belanda,
atau “Agreement” dalam bahasa Inggris.24
“Hukum perjanjian mempunyai cakupan yang lebih sempit
dari istilah “Hukum Perikatan”. Jika dengan istilah “Hukum
Perikatan” dimaksudkan untuk mencakup semua bentuk perikatan
dalam buku ketiga KUHPerdata, jadi termasuk ikatan hukum yang
berasal dari perjanjian dan ikatan hukum yang terbit dari undang-
undang, maka dengan istilah hukum “Hukum perjanjian” hanya
dimaksudkan sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang
terbit dari perjanjian saja”.25
Mengenai istilah “kontrak” atau “perjanjian”, secara
dogmatik, KUHPerdata sebagai produk hukum kontrak warisan
kolonial belanda menggunakan istilah “Overeenkomst” dan
”contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dapat
dicermati dari judul Buku III Titel kedua tentang “Perikatan-
perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam
24Munir Fuady. Hukum Kontrak dari sudut Pandang hukum Bisnis. bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 2001. hal 2.
25
Ibid.
20
bahasa belanda sebagai bahasa aslinya, yakni “An verbintenissen
die uit contract of overeenkomst geboren worden”.26
Pada Pasal 1313 KUH Perdata diatur pengertian mengenai
kontrak atau perjanjian, yaitu : “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Mengenai definisi kontrak atau perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1313KUH Perdata tersebut di atas, para pakar hukum
perdata berpendapat bahwa ketentuan tersebut kurang lengkap
dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung
kelemahan-kelemahan. 27 Sebagaimana para ahli hukum
berpendapat sebagai berikut :28
1) Definisi ini tidak lengkap karena merujuk pada perbuatan,
seharusnya perbuatan hukum. Perjanjian diadakan dengan
tujuan untuk memperoleh akibat hukum, perbuatan yang
dilakukan tidak dimaksudkan untuk menciptakan akibat hukum.
2) Definisi ini bersifat sempit karena hanya menunjuk pada
perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang hanya mempunyai
kewajiban pada satu pihak, sedangkan ada perjanjian yang
26Muhammad Syaifuddin, Op.Cit.hal 15.
27
Purwahid Patrik. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung. CV. Mandar maju. 1994.
hal 45 .
28
Mariam Darus Badrulzaman. Hukum perikatan dalam KUH Perdata buku
ketiga.Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2015. hal 83.
21
mengandung hak dan kewajiban pada kedua belah pihak,
seperti perjanjian timbal balik.
3) Definisi ini terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal
mengenai janji kawin, yaitu perbuatan hukum yang terletak
dalam hukum keluarga yang bersifat perjanjian juga, tetapi
istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan
tersendiri sehingga KUHPerdata buku III secara langsung tidak
berlaku terhadapnya, juga, mencakup perbuatan melawan
hukum, sedangkan di dalam figur ini tidak ada unsur
persetujuan.
Memerhatikan kelemahan pengertian kontrak atau Perjanjian
berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, maka ada beberapa ahli
hukum perjanjian yang membuat pengertian-pengertian perjanjian,
yang pada dasarnya makna dan tujuan yang terkandung dalam
pengertian-pengertian perjanjian tersebut adalah sama. R.
Subekti, mendefinisikan kontrak atau perjanjian adalah :
“suatu perbuatan di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. dari peristiwa ini, timbullah suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
„Perikatan‟. Oleh karena itu perjanjian menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya”.29
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo, mengartikan kontrak
atau perjanjian adalah hubungan hukum antar dua orang yang
29R. Subekti. Hukum Perjanjian. Cetakan keduapuluhtiga. Jakarta. PT. Intermasa.
2010, hal 1.
22
bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu
sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah hukum atau hak
dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan.
Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila kesepakatan
dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenakan
hukum atau sanksi. 30
Kemudian, R. Wirjono Projodikoro, mengartikan pengertian
kontrak atau perjajian ialah “suatu hubungan hukum mengenai
harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan perjanjian itu.31
Adapun Ahmadi Miru, menyatakan kontrak atau perjanjian
merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji
kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.32
Salim H.S, menegaskan pengertian kontrak atau perjanjian
merupakan “Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu
dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, di
mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu
30
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Cetakan kedua. Yogjakarta. Liberty. 2005.
hal. 118. 31
Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Cetakan Kesembilan. Bandung.
CV.Mandar Maju. 2011. hal 4. 32
Ahmadi Miru. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Op.Cit.. hal 2.
23
juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”. Adapun
unsur-unsur dari definisi ini sebagai berikut:33
1) Adanya Hubungan Hukum.
Hubugan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan
akibat hukum.
akibat hukum adalah timubulnya hak dan kewajiban.
2) Adanya Subjek hukum.
Subjek Hukum, yaitu Pendukung hak dan kewajiban.
3) Adanya Prestasi
Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan
tidak berbuat sesuatu.
4) Di bidang harta kekayaan
2. Unsur-Unsur Perjanjian.
1) Unsur Esensialia
Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam
suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur
esensiali ini maka tidak ada perjanjian. Sebagai contoh, dalam
perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang
dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan
33
Salim. H.S. Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan
keempat. Jakarta. Sinar Grafika. 2006. hal 27.
24
harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi
hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.34
2) Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam
undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak
dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, Unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu
dianggap ada dalam perjanjian. Sebagai contoh, jika dalam
perjanjian tidak diperjanjikan tentang cacat tesembunyi, secara
otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang
harus menanggung cacat tersembunyi.35
3) Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau
mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya.
Sebagai contoh, dalam perjanjian jual beli dengan angsuran
diperjanjikan bahwa apabila pihak debitor lalai membayar
utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan
keterlambatan, dan apabila debitor lalai membayar selama tiga
bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik
kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula
klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu
34
Ratna Artha Windari. Hukum Perjanjian. Cetakan pertama. Yogyakarta. Graha ilmu.
2014. Hal 19
35
Ibid.
25
perjanjian, yang bukan merupakan unsur ensensial dalam
perjanjian tersebut.36
3. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Sistem hukum perjanjian dibangun berdasarkan asas-asas
hukum. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa
sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang
terpadu. 37 Pandangan ini menunjukkan bahwa secara subtansif
asas hukum perjanjian adalah suatu pemikiran dasar tentang
kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang hukum dan menjadi
elemen yuridis dalam suatu sistem hukum perjanjian. Perjanjian
yang baik pada prinsipnya harus memuat rumusan Pasal yang
pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan
(unambiguous).38
Di dalam hukum perjanjian terdapat asas-asas yang bersifat
general/umum dan ada pula asas-asas sebagaimana tertuang
dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh
badan pembinaan hukum nasional.39
a. Asas Hukum perjanjian Bersifat General/ Umum.
1. Asas kebebasan Berkontrak ( freedom of contract )
36 Ibid.
37Mariam Darus Badrulzaman. Hukum Benda Nasional. Bandug: Alumnu, 1990. Hal.
19 38
Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Jakarta: Pradana Medan.
2006. Hal. 17 39
Ratna Artha Windari. Op Cit. hal 8
26
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu
asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan
berkontak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya
didasarkan pada Pasal 1338 Ayat (1) BW yaitu :40 “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.” Perjanjian-
perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.41 Demikian
pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 BW.
Pasal 1320 ini, merupakan Pasal yang sangat populer
karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi
untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik
mengenai pihak yang membuat perjanjian atau bisa disebut
syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu
sendiri (isi perjanjian) atau yang bisa disebut syarat
objektif.42
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan
kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di
antaranya:
40
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 4 41
Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Op.Cit. Hal 78. 42
Ibid. Hal 67
27
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian
atau tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan
perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjia;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. Kebebasan-kebebasan lainya yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan satu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal
ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III BW yang hanya
merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak
dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali
terhadap Pasal–Pasal tertentu yang sifatnya memaksa.43
2. Asas Konsensualisme.
Asas konsensualisme merupakan asas essensial dari
hukum perjanjian. Sepakat mereka mengikatkan diri telah
dapat melahirkan perjanjian. Asas ini juga dinamakan asas
otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “adanya”
(raison d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian.44 Artinya asas
konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak
43
Ahmadi Miru. Op.Cit. 44
Mariam darus badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Bandung. Alumni. 2005. Hal 109.
28
detik tercapainya kesepakatan.dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai
hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu
formalitas.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari
Pasal 1320 KUHPerdata huruf (a) yaitu : Sepakat mereka
yang mengikat dirinya.
Pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu
di samping kesepakatan yang telah tercapai bahwa setiap
perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti “mengikat”) apabila
sudah tercapai kesepakatan mengenai hal – hal yang pokok
dari perjanjian itu.45
Namun Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi
semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap
kontrak konsensual oleh undang–undang ditetapkan
formalitas–formalitas untuk beberapa macam perjanjian.
sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak
berlaku.46
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas
pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
45
Subekti. Hukum Perjanjian. Cetakan keduapuluhsatu. Jakarta. PT. Intermasa. 2005.
Hal 15. 46
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 3.
29
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang mempertegas bahwa hakim atau
pihak ketiga menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak layaknya sebuah undang – undang.47
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk
memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut
mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji
tersebut mengikat para pihak sebagaimana sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat diliat pada Pasal
1338 KUHPerdata Ayat (1) yang menentukan bahwa semua
perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.48
4. Asas Itikad Baik (good faith/goede trouw).
Penerapan kebiasaan sebagai sumber perjanjian harus
dilakukan dengan itikad baik.demikian pula dengan undang-
undang dan kebiasaan harus diterapkan termaksud pada
kepatutan dan kelayakan yang juga dilakukan dengan itikad
baik. Kepatutan dan kelayakan tidak dapat ditambahkan
secara mandiri, tetapi diterapkan bersama. Jika ada
kekosongan yang tidak dapat ditutup oleh undang-undang
47
Ratna Artha Windari. Op.Cit.Hal 9. 48
Ahmadi Miru. Op.Cit.Hal 4 – 5.
30
atau kebiasaan,kepatutan dan kelayakan dengan itikad baik
akan merupakan sumber hukum pula.49
Dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata ini asas itikad baik
diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting
untuk diperhatikan terutama didalam membuat perjanjian,
maksud itikad baik disini adalah sebagai pribadi yang baik.50
Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan
objektif. Itikad baik dalam segi subjektif berarti kejujuran. Hal
ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada
saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat
membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang
diperlukan. Itikad baik objektif berarti kepatutan, yang
berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau
pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan
kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma
kepatutan.51
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal
1338 (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa
sebenarnya itikad baik bukan syarat sahnya suatu kontrak
49
Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Cetakan
kedua. PT. Citra Aditya Bakti. 2013. Hal 152 – 153. 50
Herry Susanto. Peran Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak.
Cetakan pertama. FH UII Press. 2010. Hal 33. 51
Novalia Arnita Simamora. Asas Itikad Baik Dalam perjanjian Pendahuluan Pada
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah. Tesis Magister Hukum. Universitas Sumatra
Utara. 2015.
31
sebagaimana syarat sahnya yang terdapat dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan
dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada
“pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam
hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh
unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata.52
5. Asas Kepribadian (personality).
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perorangan saja.
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUHPerdata
dan 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata
diatur bahwa: Pada umumnya tidak seorang pun dapat
mengikat dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkan
suatu perjanjian suatu janji dari pada dirinya sendiri.
Pasal 1315 KUHPerdata menentukan bahwa pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan
atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Selanjutnya
Pasal 1340 KUHPerdata mengatur: “Perjanjian-perjanjian
hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya”.
52
Herry Susanto. Op.Cit.
32
Hal ini mengandung arti bahwa suatu perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.53
Pasal ini menerangkan bahwa perjanjian hanya
mengikat pihak-pihak yang membuatnya, sehingga tidak
bolehnya seseorang melakukan perjanjian yang membebani
pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak
ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang
diatur dalam Pasal 1317 KUHperdata yaitu bahwa siapa
yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh
menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut tersebut
telah menyatakan hendak mempergunakannya.54
Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka
yang membuatnya tak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga
kecuali telah diatur dalam undang-undang, misalnya
perjanjian untuk pihak ketiga.55
b. Asas Hukum Perjanjian Dalam Lokakarya Hukum perikatan.
1. Asas Kepercayaan.
Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa
setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan
53
Ratna Artha Windari. Op.Cit. Hal 10. 54
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 80 55
A. Qiram Syamsuddin. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembanganya.
Liberty. Yogyakarta.1985. Hal 19.
33
memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka
dibelakang hari.56
2. Asas persamaan Hukum.
Asas ini menempatkan para pihak di dalam
persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada
perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan
lain-lain.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk
menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan
tuhan.57
3. Asas Keseimbangan.
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini
merupakan kelanjutan dari asas persamaan. kreditor
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitor. Namun, kreditor memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat
dilihat disni bahwa kedudukan debitor yang kuat diimbangi
56
Salim HS. Pengantar Hukum perdata Tertulis (BW). Cetakan kelima. PT. Sinar
Grafika Offset. 2008. Hal 159. 57
Mariam Darus Badrulzaman. Op.Cit. Hal 89.
34
dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik
sehingga kedudukan kreditor dan debitor seimbang.58
4. Asas Kepastian Hukum.
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung
kepastian hukum. Kepatian ini terungkap dari kekuatan
mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi
para pihak.59
5. Asas Moral.
Asas ini terlihat dalam perikatan alamiah, diamana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak
baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitor.
Juga, hal ini terlihat di dalam mengurus kepentingan orang
lain (zaakwarneming),dimana sesorang yang melakukan
suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang
bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatanya. Asas ini
terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Faktor-faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu berdasarkan “kesusilaan”(moral),
sebagai panggilan dari hati nurani.60
58
Herlien Budiono. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia. PT. Citra
Aditya Bakti. Bandung. 2006. Hal 507.
59
Mariam Darus Badrulzaman. Op.Cit. Hal 90.
60
Ibid. Hal 91.
35
6. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas
kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi
perjanjian. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas
kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini
ukurang tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa
keadilan dalam masyarakat.61
7. Asas kebiasaan.
Asas ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata jo. 1347
KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari
perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa
yang secara tegas dinyatakan.
Asas-asas hukum bersifat abstrak, yang terdiri dari
nilai (value) yang merupakan akar dari hukum positif
lembaga legislatif dan pengadilan wajib berupaya
menentukan bahwa hukum positif berupa Perundang-
undangan dan Putusan Pengadilan wajib mamp
mewujudkan asas-asas tersebut.62
Herlien Budiono mengemukakan pendapat hubungan
timbal balik antara asas-asas hukum dan aturan-aturan
hukum. Dapat dikatakan bahwa asas hukum diakui
61
Ibid.. 62
Ibid.
36
keberadaan dan pengaruhnya oleh pembuat undang-
undang.63
8. Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara
kreditor dan debitor harus dilindungi oleh hukum. Namun,
yang perlu dapat perlindungan itu seringkali adalah pihak
debitor karena pihak debitor berada pada pihak yang
lemah.64
4. Syarat Sahnya Perjanjian
Sebagaimana telah disinggung mengenai syarat yang
ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada empat syarat sah
yang harus di penuhi, yaitu :
1. Kesepakatan para pihak yang mengikat diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;dan
4. Suatu sebab yang legal.
Keempat syarat tersebut selanjutnya juga terdapat dalam
doktrin ilmu hukum yang dalam perkembangannya digolongkan ke
dalam dua unsur pokok, yaitu:65
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang
mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan
63
Herlien Budiono. Op.Cit. Hal 89.
64
Salim H.S. Op.Cit. Hal 160.
65
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Hal 93.
37
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan
objek perjanjian (unsur objektif).
Syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian,
yaitu kesepakatan dan cakap membuat perjanjian. Kedua syarat
objektif yaitu mengenai objek perjanjian dan kausa, yaitu tujuan
mengadakan perjanjian.66
Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut keempat syarat sahnya
perjanjian tersebut, sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri berarti bahwa
kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang
diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak lain. Dengan kata lain mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Misalnya penjual menghendaki sejumlah uang dari barang
yang dijualnya, sedangkan pembeli menghendaki barang yang
dijual oleh penjual.67
Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun
yang paling penting adalah adanya penawaran dan
penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk
66Elly Erawati. Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian.
NLRP. Jakarta. 2010. Hal 48.
67
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Bandung. PT.
Citra Aditya Bakti. 1995. Hal 164.
38
terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara
tegas maupun dengan itikad tegas, yang penting dapat
dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi
penawaran dan penerimaan.68
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara
terjadinya kesepakatan/ terjadinya penawaran dan penerimaan
adalah :69
a. Dengan cara tertulis;
b. Dengan cara lisan;
c. Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan
d. Dengan berdiam diri.
Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan
tersebut diatas, secara garis besar terjadinya kesepakatan
dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana
kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat
berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-
diam.
Di dalam kesepakatan yang dinyatakan secara lisan,
kesepakatan kehendak terjadi pada saat para pihak
menyatakan setuju untuk berbuat sesuatu. Kesepakatan yang
dinyatakan secara tertulis, saat terjadi kesepakatan adalah
68Ahmadi Miru. Op.Cit.Hal 14
69
ibid.
39
pada saat ditandatangani surat atau dokumen yang berisikan
kesepakatan tadi.70
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas,
khusus syarat kesepakatan yang merupakan penentu
terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya
kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi,
walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan
perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang
telah tercapai tersebut mengalami kecacatan, sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan
oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.71
Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi
karena terjadinya hal-hal di antaranya:72
1. Kekhilafan atau kesesatan;
2. Paksaan;
3. Penipuan;dan
4. Penyalagunaan keadaan.
Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam
KUHPerdata sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak
diatur dalam KUHPerdata, namun lahir kemudian dalam
perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak yang
70Herry Susanto. Op.Cit. Hal 19
71
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 17.
72
Ibid.
40
diatur dalam KUHPerdata dapat diliat dalam Pasal 1321-
1328 KUHPerdata.
Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan
terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa
yang di perjanjiakan, namun pihak lain membiarkan pihak
tersebut dalam keadaan keliru.
2. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan
kesepakatannya karena di tekan (dipaksa secara
psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan
paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik
pada dasarnya tidak ada kesepakatan.
3. Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif
memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi
menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.
4. Penyalagunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki
posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi
maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga
pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan
baginya. Penyalahgunaan ini disebut juga cacat kehendak
yang keempat karena tidak diatur dalam KUHPerdata,
41
sedangkan tiga lainnya, yaitu penipuan, kekhilafan, dan
paksaan diatur dalam KUHPerdata.73
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian.
Orang yang dianggap cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang yang telah dewasa yaitu orang-orang
yang telah mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum
atau cakap menurut hukum. Berdasarkan Pasal 1329
KUHPerdata diatur bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap.74 Seorang oleh hukum dianggap tidak
cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut belum
berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum berumur
21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun
keatas, oleh hukum dianggap cakap (Pasal 330 KUHPerdata),
kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan,
seperti gelap mata, sakit ingatan atau pemboros.
Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap
tidak cakap apabila :75
a. Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;
b. Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, atau
pemboros.
73Ibid. Hal 17-18.
74
Herry Susanto. Op. Cit. Hal 20.
75
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 29
42
Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan
bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:76
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus huruf c di atas mengenai perempuan dalam hal
yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak
dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah di
samakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk
orang–orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat
perjanjian tertentu sebenarnya tidak digolongkan sebagai orang
yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu. 77 Lebih lanjut penjelasan tentang
perempuan atau isteri diatur dalam Pasal 31 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Point 1 Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang wewenang seorang isteri
untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di
muka pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.78
76 Ibid.
77
Ahmadi Miru. Op.Cit.
78
Salim HS. Op.Cit. Hal 165.
43
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang
menjadi objek suatu perjanjian. Pasal 1333 KUHPerdata diatur
bahwah barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus
tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja
kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.
Selanjutnya, dalam Pasal 1334 Ayat (1) KUHPerdata
ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada
kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian. 79
Objek perikatan adalah prestasi, maka perjanjian atau kontrak
sebagai bagian dari perikatan, juga memiliki objek yang sama
yaitu prestasi. Pokok persoalan di dalam kontrak adalah
prestasi. Prestasi harus tertentu atau setidak-tidaknya harus
dapat ditentukan.80 Prestasi dapat berupa:
a. Menyerahkan/ memberikan sesuatu;
b. Berbuat sesuatu;dan
c. Tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian,
dapat dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung,
menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk
79H. Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. PT. Alumni.
Bandung. 2013. Hal 209-210 .
80
Ridwan Khairandy. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan. FH
UII Press. Yogyakarta. 2014. Hal 186.
44
menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan
oleh salah satu pihak.81
4. Suatu sebab yang halal.
Kata causa berasal dari bahasa latin yang artinya “sebab”.
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat
perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Causa
yang halal yang dimaksud Pasal 1330 KUHPerdata itu
bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab
dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.82
Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa sesuatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
Dengan demikian, persetujuan tersebut dianggap tidak pernah
ada atau batal demi hukum. Sebab yang halal disini adalah isi
dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang–
undang, ketertiban umum dan kesusilaan83 sebagaimana telah
ditentukan oleh Pasal 1337 KUHPerdata yakni perjanjian
tersebut:
1. Tidak bertentangan dengan undang-undang;
81Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 30.
82
Abdul Muhammad. Hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 1990. Hal
194.
83
Herry Susanto, Op.Cit. Hal 23.
45
2. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;dan
3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan.84
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebab yang tidak
halal adalah sebab yang bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan/Istiadat yang baik.
Ketiga syarat tersebut di atas merupakan sesuatu yang
mutlak dan harus dipenuhi dalam mengadakan suatu
perjanjian. Tidak dipenuhi salah satu syarat tersebut di atas
maka akan berakibat perjanjian itu batal atau dapat
dibatalkan.85
5. Alasan-Alasan Pembatalan Suatu Perjanjian
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena
tidak memenuhi syarat dalam perjanjian, tetapi karena debitor
telah melakukan wanprestasi. 86 Artinya tidak memenuhi prestasi
yang seharusnya dipenuhi berdasarkan perjanjian. Hukum akan
menyediakan saranan untuk pihak yang dirugikan agar bisa
melakukan gugatan kepada yang bersangkutan melalui
pengadilan.87
Jadi pembatalan yang dimaksud adalah pembatalan sebagai
salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditor terhadap
debitor yang telah melakukan wanprestasi. Selain dapat
84Ratna Artha Windari. Op.Cit. Hal 18.
85
Herry Susanto, Op.Cit.
86
Riduan Syahrani. Op.Cit. Hal 228.
87
I. G. Rai Widjaya. Op. Cit. Hal 54 – 55.
46
mengajukan tuntutan pembatalan, kreditor dapat pula mengajukan
tuntutan yang lain yaitu
1. pembatalan perjanjian dan ganti rugi;
2. Ganti rugi saja;
3. Pemenuhan perikatan;
4. Pemenuhan perikatan dan ganti kerugian.
Namun, perlu juga dikemukakan di sini bahwa sementara
ahli ada yang menyebut dengan istilah pemutusan perjanjian
maksud yang sama dengan pembatalan perjanjian.
Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) selalu hak dan
kewajiban di satu pihak saling berhadapan dengan hak dan
kewajiban di pihak lain. Dalam hukum Romawi dikenal asas yang
menyatakan bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian
timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi,
pihak lain pun tidak perlu memenuhi kewajibanya. Dalam
perkembangannya asas ini dituangkan dalam berbagai bentuk.
KUHPerdata sendiri yang mengikuti Code Civil Perancis memilih
sebagai asas syarat batal seperti tercantum dalam Pasal 1266,
yang mengatur sebagai berikut :
1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-
perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.
47
2. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
3. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam
perjanjian.
4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim
adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si
Tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak
boleh lebih dari satu bulan.
Perumusan Pasal 1266 KUHPerdata di atas ini ternyata
mengandung berbagai macam kontradiktif dan menimbulkan
kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan
sendirinya karena hukum begitu debitor melakukan wanprestasi
(Ayat 1), padahal pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan
kepada hakim (Ayat 2). Selain itu, juga menimbulkan kesan
seakan-akan debitor juga berhak menuntut pembatalan perjanjian,
padahal berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata itu yang berhak
menuntut pembatalan perjanjian hanyalah kreditor.88
Dengan adanya ketentuan, bahwa pembatalan perjanjian itu
harus dimintakan kepada hakim, maka tidak mungkin perjanjian itu
sudah batal secara otomatis pada waktu si debitor nyata-nyata
88
Riduan Syahrani. Op.Cit. Hal 229-230.
48
melalaikan kewajibanya. Kalau itu mungkin, permintaan
pembatalan kepada hakim tidak ada artinya. Disebutkan juga
secara jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. Menurut
Subekti, sekarang tidak ada keraguan lagi bahwa tentang
anggapan undang-undang bahwa kelalaian si debitor adalah suatu
syarat batal berdasarkan suatu kekeliruan. Bukan kelalaian atau
wanprestasi debitor yang membatalkan perjanjian, tetapi putusan
hakim. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif,
secara aktif membatalkan perjanjian itu.89
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk terjadi pembatalan
perjanjian yaitu :
1. Perjanjian harus bersifat timbal balik;
2. Harus ada wanprestasi;dan
3. Harus dengan keputusan hakim.
Perjanjian yang bersifat timbal balik adalah perjanjian dimana
kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi, misalnya perjanjian jual-beli, tukar menukar,
sewa – menyewa dan lain sebagainya.
Jika dalam perjanjian yang bersifat timbal balik ini salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya artinya wanprestasi, pihak
lainnya dapat menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditor
menuntut pembatalan, debitor harus diberikan teguran/ pernyataan
89
Subekti. Op.Cit. Hal 50.
49
lalai (ingebrekestelling) lebih dahulu, dan wanprestasi yang
dijadikan alasan harus mengenai hal yang prinsipil sekali jika tidak,
pembatalan tidak dapat dilakukan.90
Dalam praktik, para pihak sering mencantumkan suatu klausula
dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau
mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 Ayat (2) KUHPerdata.
Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian itu batal
demi hukum. Ada beberapa alasan yang mendukung
pencantuman klausula ini, misalnya berdasarkan Pasal 1338 Ayat
(1) KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,
sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan
Pasal 1266 Ayat (2) KUHPerdata, harus ditaati oleh para pihak
selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan
membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga
hal ini tidak efisien bagi pelaku bisnis.91
Jika ketentuan di atas dianggap sebagai ketentuan pelengkap,
maka berdasarkan asas kebebasan berkontrak, ketentuan tersebut
dapat dikesampingkan oleh para pihak. Kemudian berdasarkan
asas kekuatan mengikatnya perjanjian, para pihak mematuhi
ketentuan yang telah disepakati bersama itu. Pengesampingan ini
90
Riduan Syahrani. Op.Cit. Hal 231.
91
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Cetakan keenam, Kencana.
Jakarta. 2009. Hal 63.
50
dapat menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi debitor yang
berada pada posisi lemah. Di dalam praktik, pengesampingan
ketentuan di atas lebih didasarkan pada inisiatif dan kemauan
kreditor, dan umumnya naskah kontrak sudah disiapkan oleh
kreditor.
Pengesampingan ini dapat disalahgunakan oleh pihak kreditor
yang telah mempersiapkan naskah kontrak. Dengan sedikit
kelalaian debitor, kreditor dapat membatalkan kontrak secara
sepihak. Dengan tidak melihat atau mempertimbangkan faktor
penyebab wanprestasi, kreditor juga dapat membatalkan kontrak.
Padahal, adakalanya wanprestasi yang dilakukan debitor juga
disebabkan oleh kesalahan kreditor.
Dalam keadaan demikian, hakim seharusnya tidak hanya
berpegang kepada asas kebebasan berkontrak, tetapi seharusnya
hakim harus memegang teguh asas itikad baik. Inti itikad baik
adalah keadilan. Keadilan adalah tujuan tertinggi hukum. Jadi
kalau ada debitor yang dimaksud, hakim harus menolak
pengesampingan tersebut, hakim atau pengadilan lah yang
memutuskan pembatalan tersebut dengan mempertimbangkan
asas itikad baik.92
Bilamana hakim dengan putusannya telah membatalkan
perjanjian, maka hubungan hukum antara pihak yang semula
92
Ridwan Khairandy. Op.Cit. Hal 285.
51
mengadakan perjanjianpun menjadi batal, sehingga masing-
masing pihak tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila salah
satu pihak sudah memenuhi prestasi, ia dapat menuntut pihak
lainnya yang wanprestasi untuk mengembalikan kerugian yang
terima pihak yang memenuhi prestasi atau jika tidak mungkin lagi,
harganya saja. Pihak yang mengajukan pembatalan perjanjian,
berhak juga menuntut ganti rugi kerugian kepada debitor sebagai
akibat dari pada wanprestasi yang dilakukannya.93
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Pengikatan Jual beli
1. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Pengaturan masalah jual beli secara cermat dalam
peraturan perundang-undangan merupakan suatu kebutuhan
yang mendasar karena jual beli yang terjadi dalam masyarakat
sangat beragam, baik dari jenis barang yang diperdagangkan
maupun cara pembayarannya.94
Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada
perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja
perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir
akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang
memberikan kebebasan seluas – luasnya kepada subjek hukum
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan bentuk
93
Riduan Syahrani. Op.Cit. Hal 232. 94
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal 125-126.
52
apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-
undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.95
Perjanjian pengikatan jual beli atau PPJB merupakan salah
satu bentuk perikatan yang berasal dari perjanjian, dan lahir dari
adanya sepakat di antara para pihak yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber perikatan yang penting, karena
melalui perjanjian para pihak mempunyai kebebasan untuk
mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak
dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum.96
Menurut R. Subekti, Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah
perjanjian antara pihak penjual dan pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat
belum ada karena masih dalam proses, belum terjadi pelunasan
harga.97
Sebutan yang berkembang dalam penggunaan istilah
perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian akan jual beli
atau perjanjian pendahuluan jual beli. Perjanjian pengikatan jual
beli ini adalah perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh calon
penjual dan calon pembeli atas dasar kesepakatan sebelum jual
95
Wanda Lucia. Analisis Yuridis Atas Akta Notaris Terkait Dengan Pengikatan Jual Beli
Hak Atas Tanah Dengan Cicilan. Tesis. Universitas Sumatra Utara. 2013 96
Shinta Chistie. Apek Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Tahapan Jual
Beli Hak Atas Tanah. Tesis. Universitas Indonesia. 2012. 97
R. Subekti, Hukum Perjanjian. Op.Cit. Hal 75.
53
beli dilakukan, dalam rangka meminimalisir benih sengketa
yang mungkin muncul di kemudian hari. Perjanjian ini dilakukan
sebelum terjadinya peristiwa hukum jual beli, dan objek
perjanjiannya dapat berupa benda bergerak dan benda tidak
bergerak.98
Sedangkan menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan
jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas99
2. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa
hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua
orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu
saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu
saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lainnya
menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau
kedua belah pihak menginginkan hal yang sama
Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan
dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis
maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak
98
Shinta Christie. Op.Cit. Hal 25. 99
Herlien Budiono. Artikel “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak”. Majalah Renvoi,
Edisi Tahun I. No. 10. Bulan Maret 2004. Hal 57.dikutip juga oleh Wanda Lucia. Op.Cit.
54
konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan
itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang
menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi
apa yang dijanjikan100
Jika telah dipenuhinya syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana ditentukan antara lain dalam Pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka kontrak
tersebut sudah sah, meskipun dibuat hanya secara lisan saja.
Hanya saja, dengan dibuatnya kontrak secara tertulis, akan
memudahkan dari segi pembuktian dalam praktik di samping
mengurangi kesalahpahaman tentang isi kontrak yang
bersangkutan.
Perjanjian pengikatan jual beli adalah sah apabila telah
tercapai kesepakatan di antara para pihak yang membuatnya.
Kesepakatan yang dimaksud dapat dituangkan dalam suatu
akta tertulis maupun tidak tertulis. Tapi demi mencapai rasa
keadilan dan kepastian hukum di antara para pihak, akan lebih
baik apabila perjanjian pengikatan jual beli ditulis dalam suatu
akta atau surat perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh
para pihak. Pihak yang dimaksud di sini adalah calon penjual
dan calon pembeli.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akta
100
Ahmadi Miru. Op.Cit.
55
mempunyai dua fungsi, yaitu:101
1. Formalitas Causa
2. Probationes Causa
Fungsi pertama, adalah untuk memenuhi syarat formal agar
suatu perbuatan hukum sempurna. Persyaratan formal yang
dimaksud adalah:
a. Harus tertulis berupa akta di bawah tangan.
b. Harus dengan akta otentik.
Fungsi kedua, adalah sebagai alat bukti karena memang sejak
awal dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti (probationes).
1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli di bawah Tangan
Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di bawah
tangan, dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai dan
ditandatangani oleh para pihak dan saksi-saksi. Pihak-pihak
yang dimaksudkan adalah calon penjual dan calon pembeli.
Mereka membuat suatu perjanjian yang isinya ditentukan
sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut
berisikan hal-hal yang disepakati oleh para pihak dan apa
yang diperjanjikan tersebut harus ditaati dan tidak boleh
dilanggar. Dasar hukum dari diperkenankannya para pihak
untuk membuat dan menentukan isi perjanjian sendiri adalah
101
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Penerbit
Liberty, 1998. Hal 23
56
berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh
hukum perikatan.
2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dengan Akta Otentik
Pengertian akta otentik (Authentike Akte)
berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah: “Suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang
undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk maksud itu, di tempat dimana akta dibuat.”
Akta yang dibuat Notaris tersebut hanya akan
menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai
wewenang yang meliputi 4 (empat) hal yaitu:
1. Notaris berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat
itu;
Tidak semua Pejabat Umum dapat membuat
semua akta, akan tetapi seorang Pejabat Umum hanya
dapat membuat suatu akta-akta tertentu, yakni yang
ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan
peraturan perundang- undangan. Dalam Pasal 15 Ayat
(1) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya penulis
singkat dengan UUJN) ditentukan bahwa kewenangan
Notaris adalah membuat akta otentik mengenai semua
57
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik.102
2. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
Notaris tidak berwenang membuat akta untuk
kepentingan setiap orang. Dalam Pasal 52 Ayat (1)
UUJN ditentukan bahwa Notaris tidak diperkenankan
membuat akta untuk diri sendii, istri/suami atau orang
lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau
keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis
kesamping sampai derajat ketiga, serta menjadi pihak
untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan
ataupun dengan perantaraan kuasa;
3. Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat dimana
akta itu dibuat;
Bagi setiap Notaris ditentukan daerah
jabatannya dan hanya dalam daerah yang ditentukan
baginya itu ia berwenang membuat akta otentik.
102
Ibid, hal. 49.
58
Dalam Pasal 18 UUJN mengatur bahwa Notaris
mempunyai tempat kedudukan di Kabupaten/Kota.
Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah
propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat
di luar daerah jabatannya adalah tidak sah.103
4. Notaris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan
akta itu, keadaan dimana Notaris tidak berwenang membuat
akta otentik adalah :
a. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN)
(Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum
mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang berwenang
yang ditunjuk untuk itu berdasarkan undang-undang);
b. Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing) (selama
Notaris diberhentikan sementara maka Notaris yang
bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik
sampai masa skorsingnya berakhir);
c. Selama Notaris cuti (Notaris yang sedang cuti tidak
berwenang membuat akta otentik);
Kelebihan dari akta autentik dibandingkan dengan
akta yang dibuat di bawah tangan ialah grosse dari akta
autentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan
pembuktian eksekutorial seperti putusan hakim, sedang akta
103
Ibid, hal. 140
59
yang dibuat di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian eksekutorial.104
3. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Akta Otentik
Akta merupakan suatu pernyataan tertulis yang
ditandatangani, dibuat oleh seseorang atau oleh pihak-pihak
dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam
proses hukum.
Sehubungan dengan ini, undang-undang mengatur bahwa
pembuktian dengan tulisan dilakukan baik dengan tulisan-
tulisan otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan (Pasal
1867 BW). Dan sebagaimana telah diutarakan di muka
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866,
yang merupakan alat- alat bukti terdiri dari bukti tulisan, bukti
dengan saksi-saksi, persangkaan, dan sumpah.
Surat-surat dapat dibagi menjadi dua, yaitu surat-surat akta
dan surat-surat lain. Sebagaimana telah diuraikan bahwa akta
merupakan tulisan atau surat akta, yang semata-mata dibuat
untuk membuktikan adanya peristiwa atau suatu hal, dan oleh
karena itu suatu akta harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akta dapat dibedakan lagi antara surat akta
resmi atau otentik (autentik) dan surat akta di bawah tangan
atau onder hands.
104
G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. cet.3. Jakarta. Erlangga.1996. Hal. 54.
60
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, sebuah akta dapat
dikatakan otentik apabila telah memenuhi unsur-unsur yaitu:
a. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang;
b. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk pembuatan akta tersebut;
c. Dibuat di wilayah pejabat umum berwenang.
Pejabat umum yang dimaksudkan di atas adalah notaris di
mana profesinya memberikan jasa hukum kepada masyarakat
dalam pembuatan akta yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (7)
UUJN, bahwa akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut
bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa
syarat akta otentik, yaitu:105
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
(bentuknya baku).
b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
Oleh karena perikatan ini dibuat oleh Notaris, maka segala
sesuatunya harus mengikuti UUJN. Suatu akta otentik harus
dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-
saksi serta disertai pembacaan oleh Notaris kemudian
105
Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya
Post, 31 Januari 2001, Hal. 3
61
ditandatangani. 106 Berdasarkan UUJN, pada Pasal 38 diatur
tentang Bentuk dan Sifat Akta, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap akta notaris terdiri dari:
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
2. Awal akta atau kepala akta memuat:
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun;
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris
3. Badan akta memuat:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat
tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka
wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari
pihak yang berkepentingan;
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap
saksi pengenal.
106
Shinta Christie, Op.Cit,
62
4. Akhir atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l atau Pasal 16 Ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
akta;
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi
dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya
perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan
atau penggantian.
Keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu bukti
yang sempurna (volledig bewijs-full evident) tentang apa yang
dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan
akta resmi kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima
dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta, merupakan
peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak
boleh memerintahkan penambahan pembuktian.
Apa yang diperjanjikan, dinyatakan di dalam akta itu adalah
benar seperti apa yang diperjanjikan, dinyatakan oleh para
pihak sebagai yang dilihat atau didengar oleh notaris, terutama
benar mengenai tanggal akta, tanda tangan di dalam akta,
63
identitas yang hadir, dan tempat akta itu dibuat, merupakan
kekuatan pembuktian formal. Sedangkan kekuatan pembuktian
materiil, isi, atau materi akta adalah benar.
Akta dijadikan sebagai alat bukti untuk para pihak beserta
para ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari
mereka. Pejabat umum yang dimaksudkan dalam undang-
undang ialah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan,
pejabat Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Oleh karena itu,
suatu akta notaris, atau suatu surat putusan hakim, atau suatu
proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita, ataupun surat
perkawinan yang dibuat oleh pegawai Kantor Catatan Sipil,
merupakan akta-akta otentik atau akta resmi.107
GHS Lumban Tobing menyatakan bahwa menurut
pendapat umum yang dianut pada setiap akta otentik
dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian dibandingkan surat di
bawah tangan, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah
Maksudnya adalah kemampuan dari akta itu sendiri
untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik.
Kemampuan itu menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak
dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan
karena akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah
107
I. G. Rai Widjaya. Op.Cit.
64
terhadap siapa akta itu dipergunakan apabila yang
menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda
tangannya itu, sedangkan akta otentik membuktikan sendiri
keabsahannya.
2. Kekuatan pembuktian formal
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta
otentik dibuktikan bahwa pejabat yang bersangkutan telah
menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang tercantum
dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang
diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan
dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu.
Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat, akta itu
membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni
dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris
sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya.
3. Kekuatan pembuktian material
Kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan
bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta
itu, akan tetapi juga isi akta itu dianggap dibuktikan sebagai
yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh untuk
dibuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu
mempunyai kekuatan pembuktian material.108
108
G.H.S. Lumban Tobing. Loc.Cit.
65
Adanya kebebasan membuat perjanjian
(contractvrijheid) menyebabkan para Notaris paham bentuk
perjanjian yang sering dikehendaki masyarakat. Ada
kemungkinan masyarakat lebih menginginkan atau
membutuhkan suatu perjanjian baru daripada yang ada dan
diuraikan dalam undang-undang. Pembuatan PPJB oleh
Notaris merupakan salah satu fungsi Notaris di bidang usaha
dalam pembuatan perjanjian. Dalam hal ini dibutuhkan dari
seorang Notaris dengan suatu penglihatan tajam terhadap
materinya serta kemampuan melihat jauh kedepan, apakah
risiko yang mungkin terjadi. Tugas seperti ini dipercayakan
kepada seorang Notaris untuk memberikan kepastian hukum
para pihak. Pembuatan suatu perjanjian seperti PPJB,
dimaksudkan untuk memperhatikan kepentingan yang lemah
dan yang kurang mengerti. Perlindungan yang sama
dipercayakan kepadanya dalam semua tindakan hukum
lainnya yang bentuknya diharuskan dengan akta otentik
(akta notaris). Salah satu kewenangan seorang notaris
adalah untuk memberikan nasihat hukum, guna mencegah
terjadinya sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari.109
PPJB merupakan sebuah akta yang dibuat di
hadapan seorang Notaris sebagai seorang pejabat yang
109
Ibid.
66
berhak untuk melakukan itu. Para pihak yang menghendaki
perbuatan hukum PPJB itu dituangkan dalam sebuah akta
Notariil yang bertujuan untuk menyatakan keinginan yang
terkandung didalamnya atas suatu hak yang telah ada, dan
perbuatan hukum PPJB itu merupakan bagian dari tugas dan
wewenang yang hanya diberikan kepada seorang Notaris
sebagai Pejabat Umum. Untuk keperluan itu para pihak
dengan sengaja datang kehadapan seorang Notaris dan
memberikan keterangannya agar keterangan itu oleh Notaris
dituangkan dan diwujudkan dalam bentuk akta otentik.
Sebagai Pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah,
seorang Notaris bertugas untuk mengatur dan mengesahkan
secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum
antara para pihak yang secara mufakat meminta jasanya.
Adapun akta yang dibuat oleh seorang Notaris
sebagai Pejabat Umum adalah akta yang memuat uraian
secara otentik dari apa yang disaksikan, dilihat dan didengar
oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Notaris
berkewajiban menciptakan otensititas dari akta-akta yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris.
67
D. Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Barat.
a. Penggolongan Ahli Waris.
a. Penggolongan Ahli waris Islam.
Hukum kewarisan Islam biasa juga disbut „al-mirats‟. Kata
„al-mirats‟ berasal dari kata „waratsa-yuritsu-irtsan-miratsan‟.
Secara etimologi bermakna „perpindahan sesuatu dari
seseorang kepada orang lain‟.110
Sedangkan makna al-mirats dalam pandangan terminologi
adalah pemindahaan hak milik dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berupa harta
seperti uang, tanah, dan lain-lain yang bernilai dan sah
secara syar‟i.
Hukum waris islam juga bisa diistilakan dengan Faraidh.
Secara etimologi, faraidh adalah bentuk jamak dari kata
“Faridhah” yang artinya antara lain ketetapan, kepastian, dan
kewajiban. Sedangkan terminologi, Faraidh adalah
pembagian harta orang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya menurut hukum Islam. Harta yang dibagikan
kepada ahli waris adalah sisa harta yang di tinggalkan
setelah pembiayaan selesai seperti pengurusan jenazah,
110 Muammar M Bakry. Akuntansi Dasar Mawaris Membagi Harta Pusaka Secara
Syar’i. Cetakan ke-2. Maret 2014. ICATT Press. Makassar.hal 6.
68
utang, zakat, nazar, dan wasiat yang tidak melebihi dari 1/3
dari jumlah harta.
Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh ahli
waris, maka ahli waris di dalam hukum waris Islam dibagi
dalam tiga golongan, yaitu :111
a. Ashchabul-furudh, yaitu golongan ahli waris yang
bagian haknya tidak tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3,
1/4, 1/6, atau 1/8.
b. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian
haknya tidak tertentu, tetapi mendapatkan ushubah
(sisa) dari Ashchabul-furudh atau mendapatkan
semuanya jika tidak ada Ashchabul-furudh.
c. Dzawil-arham, yaitu golongan kerabat yang tidak
termasuk golongan pertama dan kedua.
Ahli waris yang termasuk golongan Ashchabul-furudh
memiliki kedudukan rangkap sebagai ashabah, beberapa
lainnya dapat berubah menjadi ashabah.
1. Ashchabul-furudh.
Para ahli fara‟id membedakan Ashchabul-furudh ke
dalam dua macam, yaitu Ashchabul-furudh is-sababiyyah
dan Ashchabul-furudh in-nasabiyyah.
111 Otje Salman, Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam.ceatakan ke-3, juni 2010.PT.
Refika Aditama. Bandung. Hal 51.
69
Ashchabul-furudh is-sababiyyah adalah golongan ahli
waris sebagai akibat adanya ikatan perkawinan dengan si
pewaris. Golongan ahli waris ini adalah janda ( laki – laki
atau perempuan ). Sedangkan Ashchabul-furudh in-
nasabiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat
adanya hubungan darah dengan si pewaris. Termasuk ke
dalam golongan ini adalah :
1. Leluhur perempuan : ibu dan nenek;
2. Leluhur laki –laki : Bapak dan Kakek;
3. Keturunan perempuan : Anak perempuan dan cucu
perempuan pancar laki-laki;
4. Saudara seibu : saudara perempuan seibu dan
saudara laki-laki seibu;dan
5. Saudara sekandung/ sebapak : saudara perempuan
sekandung dan saudara perempuan sebapak.
2. Ashabah
Para ahli fara‟id membedakan as abah ke dalam tiga
macam, yaitu ashabah binnafsih, ashabah bil-ghair, dan
ashabah ma‟al-ghair.
Ashabah binnafsih adalah kerabat laki-laki yang
dipertalikan dengan si mati tanpa diselingi oleh orang
perempuan, yaitu :
1. Leluhur laki-laki : bapak dan kakek;
70
2. Keturunan laki-laki : anak laki-laki dan cucu laki-laki;
dan
3. Saudara sekandung/ sebapak : saudara laki-laki
sekandung/ sebapak.
Asabhah bil ghair adalah kerabat perempuan yang
memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk
bersama –sama menerima ushubahb, yaitu
1. Anak perempuan yang mewaris bersama dengan
anak laki-laki;
2. Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-
laki; dan
3. Saudara perempuan sekandung/ sebapak yang
mewaris bersama dengan saudara laki-laki
sekandung/sebapak.
Ashabah ma‟al-ghair adalah kerabat perempuan yang
memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi
orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima
ushubah, yaitu saudara perempuan sekandung dan
saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama
anak perempuan atau cucu perempuan.
3. Dzawil –arham
Dzawil-arham adalah golongan kerabat yang tidak
termasuk golongan ashchubul-furudh dan ashabah.