Upload
hersinta
View
80
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak
diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992
juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya
mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus.
Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak
meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap
dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori
pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan
pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman
terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa
tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai
bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat “partisipasi (participatory), pemberdayaan
(empowering), dan berkelanjutan (sustainable)” (Chambers, 1995 dalam
Kartasasmita, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih
lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai
upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu.
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model
pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan
terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor
produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran;
(3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem
politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative untuk memperkuat
legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum
dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya
yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan
pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the
powerless).
Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau
yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya
dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–
unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk
Universitas Sumatera Utara
memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian
kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses
pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada
sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power
dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya
masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang
umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya
keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.
Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan
dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua,
memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat.
Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia
adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada
proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan
untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan
harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang
mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua
kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan
pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.
Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada
pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha
yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha,
kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan system
pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan
masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan
mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu
masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan
mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa
yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa
apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut
merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama
haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa
setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau
demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu
sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-
langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif.
Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).
Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya
modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain
yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.
Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan
sektor informal, khususnya kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari
masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak
pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang
Universitas Sumatera Utara
mereka miliki yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit
usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan
daerah dari sektor retribusi daerah.
2.2. Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) dalam Sektor Informal
Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau yang sebelumnya disebut Pedagang
Kaki Lima.
Istilah pedagang kaki lima sebenarnya telah ada dari jaman Raffles yaitu
berasal dari istilah 5 feet yang berarti jalur dipinggir jalan selebar lima kaki. Di
Amerika, pedagang semacam ini disebut dengan Hawkers yang memiliki pengertian
orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum,
terutama di pinggir jalan dan trotoar (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).
Perubahan istilah Pedagang Kreatif Lapangan berdasarkan keputusan tiga
kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian
Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di
perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. PKL
bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. PKL
bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan
perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak
terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Masalah yang muncul berkenaan dengan
PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan
PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh
Universitas Sumatera Utara
pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem
perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal
termasuk PKL (Rukmana, 2005).
2.2.1. Karakteristik PKL
Pedagang kreatif lapangan bermula tumbuh dan semakin berkembang dari
adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang menimpa Indonesia
pada tahun sekitar 1998 dimana salah satunya mengakibatkan terpuruknya kegiatan
ekonomi. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup dengan menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri, menuntut masyarakat dengan modal dan ketrampilan terbatas
menjadi pedagang kaki lima. Fenomena tersebut tidak disertai dengan ketersediaan
wadah yang menaunginya dan seolah kurang memberi perhatian terhadap PKL.
Salah satu karakteristik sektor informal adalah cenderung menggunakan
sumber daya lokal dan tidak memiliki ijin resmi sehingga usaha sektor informal
sangat beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang
eceran, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak,
buruh harian, serta usaha-usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, tukang jahit,
tukang tenun, dan lain-lain (Herlianto, 1986).
Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola
penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteristik dari PKL
dijabarkan oleh Simanjutak (1989) sebagai berikut:
1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama yang
rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.
Universitas Sumatera Utara
2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang
umumnya relatif kecil.
3. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha
Berikut ini akan dijabarkan mengenai karakteristik aktivitas PKL yang dilihat
dari segi sarana fisik dan pola pelayanan, yaitu sebagai berikut.
a. Sarana Fisik Berdagang PKL
Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006) bahwa di kota-kota Asia Tenggara
mempunyai bentuk dan sarana fisik dagangan PKL umumnya sangat sederhana
dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu tempat
ke tempat lainnya. Jenis sarana dagangan yang digunakan PKL sesuai dengan jenis
dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL ini terbagi lagi menjadi jenis barang
dagangan dan jenis sarana usaha. Secara detail mengenai jenis dagangan dan
sarana usaha dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Dagangan
Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006), jenis dagangan PKL sangat
dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana PKL tersebut
beraktivitas. Sebagai contoh di kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya
beraneka ragam seperti makanan atau minuman, kelontong, pakaian dan lain-
lain. Adapun jenis dagangan yang dijual oleh PKL secara umum dapat dibagi
menjadi:
a) Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (Unprocessed and
semiprocessed foods). Termasuk pada jenis dagangan ini adalah bahan
Universitas Sumatera Utara
mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga dapat
berupa barang-barang setengah jadi seperti beras.
b) Makanan siap saji (Prepared food). Termasuk dalam jenis dagangan ini
berupa makanan atau minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan
ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik PKL ini biasanya
cenderung mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka.
c) Non makanan (Non foods). Termasuk jenis barang dagangan yang tidak
berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai dengan obat-
obatan.
d) Jasa pelayanan (Services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah jasa
perorangan, seperti tukang membuat kunci, tukang membuat pigura,
reparasi jam dan lain-lain. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan
dan pola pengelompokkannya membaur dengan jenis lainnya.
2. Sarana Usaha
PKL adalah pedagang yang didalam usahanya mempergunakan sarana yang
mudah dibongkar pasang/dipindahkan. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti
bentuk fisik dagangan bagi PKL bukan merupakan bangunan permanen tetapi
bangunan yang mudah untuk dibongkar pasang dan dipindahkan.
Menurut Waworoentoe (Widjajanti, 2000), sarana fisik pedagang PKL dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Kios
Pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang
yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan.
Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.
2. Warung semi permanen
Terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan
meja dan bangkubangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal
atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini
dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.
3. Gerobak/Kereta dorong
Bentuk sarana berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak/kereta dorong yang
beratap sebagai pelindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas,
debu, hujan dan sebagaianya serta gerobak/kereta dorong yang tidak beratap.
Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap.
Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok.
4. Jongkok/Meja
Bentuk sarana berdagang seperti ini dapat beratap atau tidak beratap. Sarana
seperti ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.
5. Gelaran/Alas
Pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain, tikar dan lainnya
untuk menjajakan barang dagangannya. Bentuk sarana ini dikategorikan
Universitas Sumatera Utara
PKL yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang
kelontong.
6. Pikulan/Keranjang
Sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers)
atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang
dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah
untuk dibawa berpindah-pindah tempat.
b. Pola Pelayanan Kegiatan PKL
Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik dagangan PKL yang
digunakan dan jenis usahanya. Adapun menurut Hanarti (1999), pengelompokan
aktivitas perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya
dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan dan
waktu pelayanan. Untuk lebih jelas terkait dengan pengkategorian tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.
1. Fungsi Pelayanan
Penentuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor informal
(PKL) dapat ditentukan dari dominasi kuantitatif jenis barang dan jasa yang
diperdagangkannya. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari satu
fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL
dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yang akan
diuraikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a) Fungsi pelayanan perdagangan dan jasa
Aktivitas pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem perdagangan
kota khususnya dalam bidang pedagang eceran. PKL dalam hal ini berfungsi
memasarkan hasil produksi suatu barang dan jasa dari produsen sampai ke
konsumen akhir.
b) Fungsi pelayanan rekreasi
Aktivitas PKL memiliki fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif yaitu
hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan perkotaan.
Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang diberikan
misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai tempat santai, jalan-
jalan cuci mata, dan sebagainya.
c) Fungsi pelayanan sosial ekonomi
Aktivitas PKL secara umum telah dikemukakan memiliki fungsi sosial
ekonomi yang sangat luas bila dikelola dengan baik. Aktivitas PKL memiliki
fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan masing-masing
pelaku yang terlibat didalamnya.
Berdasarkan pandangan penjaja maka aktivitasnya merupakan sumber
pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Bagi para pengguna
maka aktivitas PKL sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa
yang harganya relatif lebih murah daripada di toko atau supermaket.
Sedangkan bagi pemerintah kota maka aktivitas jasa sektor informal ini
Universitas Sumatera Utara
sedikit banyak dapat membantu pemecahan masalah penyerapan tenaga
kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
2. Golongan Pengguna Jasa
Golongan pengguna jasa yang dilayani oleh aktivitas pedagang sektor informal
pada umumnya terdiri dari golongan pendapatan menengah ke bawah. Hal ini
dapat dilihat dari tarif harga aktivitas perdagangan tersebut yang relatif rendah
sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun. Sedangkan
bagi golongan penduduk berpendapatan tinggi cenderung tidak pergi ke
aktivitas perdagangan tersebut.
Pertimbangannya adalah kualitas barang yang lebih rendah, kemungkinan
adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih
memilih berbelanja di toko-toko atau supermaket walaupun tingkat harganya
lebih tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup
masyarakat kota yang ingin menjaga `gengsi' sehingga mereka merasa lebih
percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai
simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka
juga berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini
hanya terjadi sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas
adanya pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi
golongan pendapatan menengah ke bawah.
Universitas Sumatera Utara
3. Skala Pelayanan
Skala pelayanan suatu aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna
aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal
penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin
kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya
semakin besar.
4. Waktu Pelayanan
Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan
masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula
atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat
juga perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi jumlah PKL
maupun jumlah pengguna jasanya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).
Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh orientasi
aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat-saat
teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat
perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi,
kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sebagainya.
Bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat suatu kawasan perbelanjaan
seperti pasar, maka saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang
hari mengingat kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada
pagi sampai siang hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal
Universitas Sumatera Utara
di suatu kawasan pusat kota maka saat-saat teramai adalah pada jam istirahat
kantor dan sebagainya. (Bromley dalam Manning dan Noer Effendi, 1996).
5. Sifat Layanan
Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006),
pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap (static), pedagang
semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile). Pengertian tentang
ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Pedagang menetap (static hawkers units)
Pedagang menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau
sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau
konsumen harus dating sendiri ke tempat pedagang itu berada.
b) Pedagang semi menetap (semistatic hawkers units)
Merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap
yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka
waktu lama (ada batas waktu tertentu). Dalam hal ini dia akan menetap bila
ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat
bubaran bioskop, pada saat para pegawai mau masuk/pulang kantor, atau
pada saat-saat ramainya pengunjung ke pusat kota. Apabila kemungkinan
pembeli yang cukup besar tersebut tidak dijumpai, maka pedagang tersebut
akan berkeliling, demikian seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
c) Pedagang keliling (mobile hawkers units)
Pedagang keliling adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam
melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi
atau "mengejar" konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat.
Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang
mempunyai volume dagangan yang kecil.
2.3. Pengembangan Wilayah
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah,
meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di
Indonesia lahir dari suatu proses yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman
teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang
bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).
Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek
fungsional.
Miraza (2005) di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unusr dimaksud seperti natural resources, human resources, infrastructure, technology dan culture.
Dengan memahami konsep wilayah diharapkan para perencana dalam
melakukan pendekatan lebih memperhatikan komponen-komponen penyusunan
wilayah tersebut yang saling berinteraksi dan mengkombinasikan potensi dari
Universitas Sumatera Utara
masing-masing komponen sehingga tercipta suatu strategi pembangunan dan
pengembangan wilayah yang baik dan terarah.
Nasution (2009) pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan
masyarakat dengan segala potensinya dan meliputi seluruh aktivitas masyarakat di
dalam suatu wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan budaya, maupun aspek-aspek
lainnya. Sedangkan Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya
mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah
tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia
dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis,
intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah
yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk
mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi
kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu sasaran utama dari pengembangan wilayah adalah mengurangi
kesenjangan regional dan spasial (tata ruang). Kesenjangan antara perkotaan dan
pedesaan dalam lingkup suatu wilayah, kesenjangan antara pusat pertumbuhan
dengan wilayah pengaruh cenderung bertambah besar, hal ini berarti implementasi
dari segi strategi kebijakan kutub pertumbuhan dianggap gagal (Adisasmita, 2010).
Peranan kutub pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak
Universitas Sumatera Utara
utama atau lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil
pembangunan dan dampak pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya.
Dalam pengembangan wilayah sering menghadapi kenyataan bahwa dana
yang tersedia adalah terbatas sedangkan usulan dari masing-masing sektor cukup
banyak (Tarigan, 2006). Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus
dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan,
baik dari sektor swsasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan
standar hidup masyarakat secara cepat (Mahalli, 2005).
2. 4. Penelitian Sebelumnya
Adapun penelitian yang telah dilakukan mengenai pemberdayaan pedagang
kreatif lapangan dalam konteks pengembangan wilayah sebelumnya antara lain:
1. Tohar (2003) dalam penelitiannya “Profil dan Strategi Pengembangan Sektor
Informal di Kota Medan (Studi Kasus Pedagang Makanan dan Minuman)”,
menyimpulkan bahwa pendapatan pedagang sektor informal dipengaruhi secara
signifikan oleh variable modal investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja
yang dikeluarkan.
2. Putra (2005) “Analisisi Peran Pedagang Kaki Lima terhadap Pengembangan
Wilayah di Kecamatan Medan Kota”, menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima
yang terdapat di Kecamatan Medan Kota umumnya adalah kaum urban yang
tinggal di sepanjang kota Medan dan rata-rata mampu menampung tiga orang
tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima
Universitas Sumatera Utara
di Kecamatan Medan Kota adalah modal, jam kerja, lama kerja, lokasi usaha dan
tingkat pendidikan.
3. Fransiska (2006) dalam penelitiannya “Pemberdayaan Sektor Informal, yang
berkaitan dengan studi tentang pengelolaan kelompok pedagang kaki lima dan
konstribusinya terhadap penerimaan PAD di Kota Manado, menyimpulkan bahwa
Faktor-faktor pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan
usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, secara parsial memberi
kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah
(PAD) dari sisi retribusi daerah dan keempat faktor tersebut juga secara simultan
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD dari sisi
retribusi daerah. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan sektor informal, khususnya
pedagang kaki lima (PKL) berperan positif dalam meningkatkan peneriman
pendapatan pemerintah kota Manado untuk membiayai pembangunan kota.
4. Suharyanto (2007) dalam penelitiannya “Dampak Keberadaan IPB Terhadap
Ekonomi Masyarakat Sekitar Kampus dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian
Kabupaten Bogor”, menyimpulkan bahwa ekonomi masyarakat sekitar Kampus
mempunyai keterkaitan dengan keberadaan IPB. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar Kampus IPB Darmaga adalah
faktor pendidikan dan lokasi usaha di dalam kampus IPB. Tingkat pendidikan
berpengaruh nyata terhadap pendapatan pelaku usaha, artinya pendidikan
mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pelaku usaha sektor informal.
Jika tingkat pendidikan pelaku usaha sektor informal meningkat 1 tahun maka
Universitas Sumatera Utara
pendapatan akan bertambah sebesar Rp.1.199.797. Sedangkan lokasi dalam IPB
yang berarti lokasi usaha sektor informal dilakukan di dalam kampus IPB dan
berkaitan langsung dengan aktivitas IPB berpeluang lebih besar untuk meraih
keuntungan yang besar dari pada pelaku usaha yang usahanya atas alasan yang
berasal dari faktor lain.
2.5. Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pembangunan Kota Medan
Modal
Manajemen Usaha
Lokasi Usaha
Pedagang Kreatif Lapangan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi pendapatan
Jam berdagang
Pemko Medan
Pemberdayaan
Pemgembangan Wilayah
Universitas Sumatera Utara
2.6. Hipotesis
Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan
jam berdagang berpengaruh positif terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan
(PKL).
Universitas Sumatera Utara