43
PEMBERDAYAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DENGAN PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PENGETAHUAN LINGUISTIK A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Posisi ilmu tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengajaran bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang menyatakan “Kedudukan linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan dengan sendirinya tercakup pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”. Aksiomatik berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Depdikbud, 1990: 16) Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran linguistik adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan

Pemberdayaan Pembelajaran Bahasa Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

PEMBERDAYAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DENGAN PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN

PENGETAHUAN LINGUISTIK

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Posisi ilmu tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan

kegiatan pengajaran bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang

menyatakan “Kedudukan linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan

dengan sendirinya tercakup pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”.

Aksiomatik berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa

pembuktian (Depdikbud, 1990: 16)

Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran linguistik

adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh

peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilgunaan tugas-tugas

praktis yang menggunakan bahasa sebagai komponen inti”.

Dalam batasan tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pengajaran

linguistik dengan pengetahuan linguistik. Pengetahuan linguistik digunakan untuk

kepentingan praktis, tetapi bidang yang tetap berkaitan dengan bahasa.

Penerapan pengetahuan linguistik di dalam berbagai objek adalah suatu aktifitas.

Aktifitas dalam pengajaran bahasa bukanlah studi teoritis, melainkan penerapan

temuan dalam studi teoritis. Orang yang bergerak dalam pengajaran linguistik

(guru bahasa) adalah pengguna teori dan bukanlah penghasil teori bahasa. Mereka

hanya pengguna teori yang dihasilkan oleh pakar bahasa atau ahli bahasa.

Memang, ahli bahasa dengan guru bahasa berbeda dalam beberapa hal,

misalnya hal yang berhubungan dengan tujuan, metode, dan sikap. Tujuan ahli

bahasa yakni menghasilkan teori dan rincian bahasa, sedangkan guru bahasa

bertujuan agar siswa segera terampil berbahasa dalam bahasa yang sedang

diajarkan. Dilihat dari segi metode, metode ahli bahasa bersifat formal dan

abstrak, sedangkan metode guru bahasa bersifat fungsional dan praktis. Dilihat

dari segi sikap, seorang ahli bahasa melihat bahasa sebagai seperangkat sistem,

sedangkan guru bahasa melihat bahasa sebagai seperangkat keterampilan.

Linguistik menghasilkan teori dan rincian bahasa tertentu. Teori dan

rincian bahasa tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa yang

bersangkutan, termasuk bahasa Indonesia. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia

dibutuhkan pengeta-huan linguistik yang cukup. Pengetahuan tentang linguistik

tersebut yang akan membantu pengajar bahasa sehingga teori dan rincian bahasa

tadi dapat diajarkan dengan baik melalui pengajaran bahasa.

Guru bahasa Indonesia yang tidak memiliki wawasan linguistik selalu

ragu-ragu, baik ketika menjelaskan materi yang diajarkan atau menjawab

pertanyaan siswa. Guru tersebut ragu-ragu apakah yang dijelaskan memang betul

atau kurang tepat? Misalnya seorang siswa bertanya “Manakah yang benar,

menerjemahkan atau menterjemahkan?” Apabila guru tersebut menjawab

menerjemahkan yang benar tentu siswa bertanya lagi mengapa bukan

menterjemahkan karena bentuk itu yang selalu digunakan oleh mayarakat untuk

berkomunikasi? Guru bingung. Guru yang tidak bijaksana akan marah atau akan

menjawab “Ya, dua-duanya benar.” Siswa tidak memperoleh pegangan. Siswa

menangkap kesan bahwa dalam bahasa Indonesia boleh begini, boleh begitu, tidak

ada kaidah yang pasti.

Contoh lain, siswa bertanya, “Apakah kata meja, kata benda?” Guru

menjawab “ya”. Kalau bermeja-meja, misalnya dalam kalimat “Hidangan di pesta

itu diatur bermeja-meja”. Guru bingung lagi. Tadi ia menjawab bahwa bentuk

meja adalah kata benda, tetapi kini ada bentuk bermeja-meja, yang jelas bermeja-

meja dan meja masih ada hubungan bentuk. Guru bingung. Guru yang tidak

bijaksana akan marah atau akan menakut-nakuti siswa yang bertanya tadi. Sikap

yang demikian mengakibatkan wibawanya turun di mata siswa. Guru dikatakan

bodoh dan tidak heran kalau siswa memperolok-olok guru atau tidak

mempedulikan guru. Siswa akan ribut, kelas akan sulit dikendalikan, tidak jarang

ada guru yang lari menghadap kepala sekolah atau tidak bersedia mengajar di

kelas itu.

2. Batasan dan Ruang Lingkup Pokok Bahasan

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang

akan dikemukakan pada makalah ini perlu dibatasi pada pemberdayaan

pengajaran bahasa Indonesia melalui peningakatan dan pengembangan

pengetahuan linguistik. Dengan demikian, rumusan masalah pada makalah ini

dikemukakan dalam bentuk pertanyaan, yaitu “Bagaimanakah peningkatan dan

pengembangan pengetahuan linguistik dapat memberdayakan pengajaran bahasa

Indonesia?”

3. Tujuan Pembahasan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan dan

pengem-bangan pengetahuan linguistik dapat memberdayakan pengajaran bahasa

Indonesia.

4. Manfaat Pembahasan

Berdasarkan tujuan pembahasan di atas, maka makalah ini diharapkan

dapat bermanfaat:

a) sebagai bahan masukan bagi pengajar bahasa Indonesia dalam pemberdayaan

pengajaran bahasa Indonesia; dan

b) untuk memperluas pengetahuan penulis sebagai mahasiswa dan guru mata

pelajaran bahasa Indonesia.

B. Tinjauan Teori

1. Linguistik

a. Linguistik sebagai Suatu Ilmu

Linguistik adalah ilmu tentang bahasa (Depdikbud, 1990: 527). Ilmu ini mengkaji

tentang bahasa secara ilmiah. Kata linguistik berasal dari bahasa Latin lingua

yang berarti bahasa. Objek utama dari linguistik adalah bahasa. Dari beberapa

definisi linguistik yang dikemukakan oleh para linguis, kelihatan bahwa tujuan

dari ilmu ini adalah untuk mengkaji bahasa sebagai bahasa dan untuk bahasa itu

sendiri (Nikelas, 1988: 9).

Linguistik digolongkan ke dalam kelompok ilmu sosial. Ilmu sosial menyatu

dengan ilmu kemanusiaan karena fenomena sosial tergantung sepenuhnya dari

ciri-ciri manusia, sebaliknya, ilmu tentang manusia tidak dapat tidak bersifat

sosial. Linguistik menurut Jean Piage (1970) termasuk ke dalam ilmu nomotik,

yaitu ilmu-ilmu yang berusaha mencari kaidah-kaidah mempergunakan metode

aksperimental dan berusaha untuk memusatkan penelitian pada bidang yang

terbatas. Ilmu lain yang tergolong sebagai ilmu nomotik adalah psikologi,

sosiologi, etnologi, ekonomi, dan demografi. Piage juga mengatakan bahwa

beberapa aspek pendekatan bahasa bersifat historis, dan ada pula beberapa aspek

bahasa yang dapat didekati secara filosofis.

Kridalaksana dalam Kencono (1982) menjelaskan bahwa sekali pun linguistik

merupakan salah satu ilmu sosial atau kemanusiaan, namun kedudukannya

sebagai ilmu yang otonom tidak perlu diragukan lagi, karena linguistik

menyelidiki bahasa sebagai data utama. Selain itu, linguistik sudah

mengembangkan seperangkat prosedur yang sudah dianggap standar.

Sebagai suatu ilmu yang otonom, linguistik harus mempunyai dsar disiplin ilmiah.

Dalam ilmu pengetahuan modern, disiplin ilmiah itu telah mengalmi

perkembangan sebagai berikut.

1) Pertama, tahap spekulasi. Pada tahap ini, data yang dibicarakan tidak

dikemukakan berdasarkan suatu teori atau suatu patokan, melainkan haya

berdasarkan anggapan belaka. Misalnya, dalam bidang kebahasaan, dulu orang

mengira bahwa semua bahasa di dunia berasal dari bahasa Ibrani. Orang juga

mengira bahwa Adam dan Hawa juga berbicara dalam bahasa Ibrani. Benarkah

semua bahasa bersumber atau diturunkan dari bahasa Ibrani dan benarkah

Adam dan Hawa bercakap-calap dalam bahasa tersebut? Sukar dibuktikan.

Anggapan ini tentu cuma spekulasi belaka. Dalam legenda suku Dayak Iban di

Kalimantan dinyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai

satu bahasa tetapi karena keracunan cendawan, mereka jadi berbicara dalam

berbagai bahasa. Ini pun hanya spekulasi yang sukar diterima pada zaman

sekarang.

2) Kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para ahli mengumpulkan

dan menggolong fakta-fakta yang menjadi objek penelitian secara teliti tanpa

memberikan teori apapun. Dalam penyelidikan bahasa tahap ini belum

dianggap tahap yang ilmiah karena ilmu yang matang bukan merupakan

kumpulan fakta semata.

3) Ketiga, tahap perumusan teori. Dalam tahap ini suatu disiplin berusaha

memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi lalu mengajukan pertanyaan-

pertanyaan mengenai masalah itu. Sesudah itu, dirumuskankanlah suatu

hipotesis atau teori yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan

menyusun tes untuk menguji hipotesis yang sudah diajukan tadi.

Linguistik dewasa ini telah mengalami tahap ketiga ini. Jadi, sebagai suatu

ilmu, linguistik sudah benar-benar melalui prosedur ilmiah. Namun, suatu usaha

penyelidikan dan penelitioan baru dapat dikatakan ilmiah kalau sudah memenuhi

tiga syarat dalam pelaksanaan pekerjaannya. Syarat-syarat tersebut adalah

eksplisit, sistematis, dan objektif. Syarat keeksplisitan dapat dipenuhidengan

menyatakan secara jelas kriteria yang dipakai dalam melakukan penelitian

termasuk menyususn peristilahan yang jelas dan konsisten. Kriteria yang eksplisit

diperlukan untuk menandai apa-apa yang diteliti. Peristilahan yang konsisten pun

merupakan syarat bagi pendekatan ilmiah—harus jelas-- batasan istilah yang

dipakai. Antara istilah yang satu dengan yang lain tidak boleh ada kontradiksi.

Syarat kesistematisan dapat dipenuhi dengan tiga hal, yaitu:

1) menyusun prosedur standar yang harus digunakan dalam penelitian. Di sini

peneliti memulai analisisnya dengan melihat berbagai aspek dari data serta

hubungannya dengan aspek-aspek lain. Umpamanya seorang peneliti bahasa

akan menyelidiki bunyi bahasa. Pertama-tama dia harus menentukan dulu apa

yang disebut vokal dan apa yang disebut dengan konsonan; kemudian

menyelidiki satuan-satuan yang lebih besar seperti kata dan kalimat. Setelah itu

baru menyelidiki makna dan akhirnya barulah sampai pada penyelidikan bunyi

tersebut. Dalam mmengikuti prosedur ini yang penting peneliti harus bertindak

secara konsisten.

2) menentukan kerangka deskripsi yang dipakai untuk menyesuaikan pandangan

tentang data. Setiap penyelidik harus mengetahui apa yang harus dilihat dan

dicari, sebab dia tidak mungkin memulai penelitiannya dengan pikiran dan

pandangan yang kosong. Kerangka deskripsi ini merupakan suatu versi

pendahuluan dari pemerian akhir yang diharapkan akan disusun setelah

kegiatan penelitian itu selesai. Kerangka deskripsi itu mungkin tidak begitu

jelas atau lengkap pada mulanya tetapi dalam pekerjaan selanjutnya dapat

terus-menerus disempurnakan.

3) Mengadakan pengujian akhir yang ketat terhadap hipotesis, perkiraan atau

pandangan terhadap bahasa. Pengujian ini dilakukan dengan mengadakan

kontrol terhadap segala kemungkinan yang ada. Semua kemungkinan itu harus

dijelaskan dan adanya saling pengaruh dari setiap kemungkinan itu harus

dilihat dan diketahui.

Syarat keobjektifan dapat dipenuhi dengan mengadakan penelitian

terhadap data eksperimen yang terkontrol. Hasilnya harus terbuka terhadap

pengamatan dan penilaian langsung. Apabila eksperimen itu diulangi, hasil

penilaiannya akan tetap sama. Objektifitas menuntut kita tetap selu bersikap

terbuka terhadap analisis, kritis dengan setiap hipotesis sampai dapat dibuktikan

secara memadai, hati-hati dengan prasangka atau dugaan-dugaan, dan berusaha

selalu menggunakan prosedur standar yang telah ditentukan. Dalam merumuskan

teori tentang bahasa, linguistik juga menggunakan metode induktif dan deduktif

sekaligus.

Berdasarkan metode yang dipakai ahli bahasa dalam mengkaji dan menjelaskan

tentang bahasa, kita dapat menekankan bahwa linguistik merupakan ilmu sosial

yang kedudukanya sangat otonom dan berdiri sendiri dengan cara dan metoda

yang baku dan sistematika ilmiah. Linguistik adalah ilmu praktis yang objeknya

bahasa. Selain menggunakan pendekatan umum yang dibicarakan di atas,

linguistik juga menggukan pendekatan-pendekatan tertentu dalam bahasa.

Kridalaksana dalam Nikelas (1988: 13) menjelaskan sebagai berikut.

1) Linguistik mendekati bahasa secara deskriptif dan tidak secara preskriptif,

artinya yang dipentingkan dalam linguistik adalah apa yang sebenarnya

diungkapkan seseorang, bukan menurut si penyelidik seharusnya diungkapkan.

Bukanlah tugas linguistik menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan apa-apa

yang betul atau yang salah.

2) Linguistik berbeda daripada pendekatan-pendekatan lain. Dalam hal ini

linguistik tidak berusaha untuk memaksakan sesuatu dalam suatu bahasa ke

dalam kerangka bahasa yang lain. Misalnya, beberapa puluh tahun yang lalu

banyak ahli bahasa yang meneliti bahasa-bahasa di Indonesia dengan

menerapkan kategori-kategori yang berasal dari bahasa Latin, Yunani, atau

Arab sehingga kita sekarang mewarisi konsep-konsep yang tidak cocok untuk

bahasa-bahasa Indonesia seperti kata majemuk, tekanan, pengacauan bunyi,

fonem, huruf dan sebagainya. Pendekatan terhadap bahasa yang sudah-sudah

tidak melihat bahwa setiap bahasa itu mempunyai sistem yang bersamaan. Ini

dapat diakui bila telah dibuktikan adanya.

3) Linguistik juga memperlakukan bahasa sebagai suatu sistem dan bukan hanya

sebagai kumpulan dari unsur-unsur yang terlepas. Cara pendekatan semacam

ini disebut pendekatan struktural, sedangkan pendekatan bahasa yang

menganggapnya sebagai kumpulan unsur-unsur yang tidak berhubungan satu

sama lain disebut pendekatan otomatis. Pendekatan terakhir ini menandai ilmu

bahasa abad ke-19 dan sebelumnya.

4) Linguistik bersifat dinamis dan bukan bersifat statis. Linguistik selalu

berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya pemakainya. Oleh

sebab itu, pendekatan kepada bahasa dapat dilakukan secara deskriptif

(sinkronis), yaitu dengan mempelajari berbagai aspeknya pada suatu masa

tertentu. Selain itu, dapat juga dilakukan pendekatan secara historis(diakronis)

yaitu dengan mempelajari perkembangannya dari waktu ke waktu.

5) Linguistik mendekati dan mendekati bahasa sebagai yang diucapkan yang

berupa bunyi; sedangkan bahasa tulisan hanya bersifat sekunder.

b. Bahasa sebagai Objek Linguistik

Bertitik tolak dari definisi linguistik, dapat diambilkesimpulan bahwa objek

linguistik adalah bahasa. Bahasa sebagai objek linguistik yang menyebabkan

linguistik diputuskan menjadi satu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.

Berkaitan dengan kemajuan teknologi sekarang, kita dapat berbicara langsung

dengan orang lain meskipun orang itu tinggal beratus-ratus kilometer dari tempat

tinggal kita. Kiata dapat menghubunginya dengan jalan menelepon jarak jauh

yang berarti kita telah menggunakan bahasa. Semestinya kita harus berlayar

menemuinya, tetapi dengan menggunakan bahasa melalui jasa telepon, kita dapat

meminta—misalnya—agar ia mengirim uang kepada kita.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berkata, “Toni, ambilkan buku itu!”

Tidak beberapa lama kemudian, buku yang kita maksud sudah berada di tangan

kita. Ini berarti dengan menggunakan beberapa patah kata, ada kegiatan manusia

yang diganti. Ini berarti pula bahwa bahasa berfungsi mengganti diri kita dan

kegiatan kita.

Menggunakan bahasa mengirimkan lambang-lambang dari pembicara menuju

pendengan. Oleh karena bahasa yang berwujud kata-kata dan kalimat yang

digunakan berasal dari pribadi seseorang, maka dapat dikatakan bahwa bahasa

bersifat individual. Bahasa berfungsi menghubungkan pribadi dengan pribadi.

Bahasa bersifat personal yang berarti berguna untuk menyatakan pikiran,

perasaan, dan kemauan individu.

Sesuatu yang dikatakan oleh pembicara akan ditafsirkan oleh pendengar. Dengan

kata lain, setelah kata atau kalimat yang berwujud bunyi-bunyi itu dihasilkan,

orang yang mendengarnya bisa saja menaatinya. Ini berarti terjadi kerja sama

antara pembicara dengan pendengar. Ini berarti pula bahwa hakikat bahasa yang

bersifat individual itu menjadi kooperatif. Maksudnya, antara pembicara dengan

pendengar terjadi kerja sama dengan jalan menggunakan bahasa.

Tanpa bahasa manusia tidak dapat melaksanakan amanah kehidupannya di dunia

ini secara sempurna. Bahasa menjadi alat yang sempurna untuk menghubungkan

dunia seseorang dengan dunia di luar dirinya. Bahasa sebagai alat mengacu juga

sebagai alat perekam dan penyampai aktivitas kebudayaan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

c. Bidang-bidang Kajian Linguistik

Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat sekali. Aspek lain yang

berkaitan dengan bidang-bidang kajian linguistik juga berkembang. Kajian

tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja tetapi telah meluas ke bidang

atau aspek-aspek di luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dan

kehidupan manusia. Berikut ini kita lihat pembidangan linguistik.

Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan

makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa

tersebut. Bidang-bidang pada ilmu ini secara umum terbagi atas (1) teori

linguistik, (2) linguistik deskriptif, dan (3) linguistik historis komparatif. Bidang-

bidang ilmu ini secara khusus terbagi atas (1) linguistik deskriptif, (2) linguistik

historis komparatif, dan (3) sejarah linguistik.

Makrolinguistik adalah bidang-bidang yang mengkaji bahasa yang

berhubungan dengan faktor-faktor di luar bahasa; termasuk di dalamnya bidang

antardisiplin dan bidang terapan. Bidang-bidang antardisiplin antara lain

(1)fonetik, (2) stilistik, (3) filsafat bahasa, (4) psikolinguistik, (5) sosiolinguistik,

(6) etnolinguistik, (7) filologi, (8) semiotik, dan (9) epigrafi. Bidang terapan

terbagi atas (1) pengajajaran bahasa, (2) penterjemahan, (3) leksikografi (4)

fonetik terapan, (5) sosiolinguistik terapan, (6) pembinaan bahasa internasional,

(7) pembinaan bahasa khusus, (8) linguistik medis, (9) grafologi, dan (10)

mekanolinguistik.

Teori linguistik adalah cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada teori

umum dan metode-metode umum dalam penelitian bahasa. Linguistik deskriptif

adalah bidang linguistik yang menyelidiki sistem bahasa pada masa tertentu.

Cabang ini terbagi atas fonologi, deskriptif, morfologi deskriptif, sintaksis

deskriptif dan leksikologi deskriptif. Fonologi meneliti ciri-ciri dan fungsi bunyi,

baik bahasa pada umumnya maupun pada bahasa tertentu. Morfologi menyelidiki

kata seta hubungan antara satuan-satuan itu. Morfologi dan sintaksis lazim juga

disebut tata bahasa atau gramatika. Leksikologi berkenaan dengan perbendaharaan

kata atau kosa kata. Linguistik historis komparatif (diakronis) menyelidiki

perkembangan bahasa dari suatu masa ke masa yang lain, serta

menyelidikiperbandingan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.

Fonetik adalah ilmu yang mengkaji tentang bunyi. Stilistika adalah ilmu

yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam bentuk-bentuk sastra. Stilistika

merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan kesusastraan.

Filsafat bahasa adalah ilmu yang menyelidiki kodrat dan kedudukan

bahasa sebagai kegiatan manusia, serta menyelidiki dasar-dasar konseptual dan

teoritis linguistik. Jadi, filsafat bahasa merupakan ilmu antardisiplin antara

linguistik dengan filsafat.

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan

perilaku dan akal budi manusia. Psikolinguistik merupakan ilmu antardisiplin

antara linguistik dan psikologi.

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang menyelidiki hubungan antara bahasa

dan masyarakat. Jadi, sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara

linguistik dengan sosiologi.

Filologi mempelajari naskah-naskah kuno yang yang menjadi bukti

perkembangan budaya manusia. Filologi merupakan ilmu antardisiplin antara

linguistik, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bagsa yang terdapat dalam

bahan-bahan tertulis.

Semiotika mempelajari lambang-lambang atau tanda-tanda lalu lintas,

kode morse, dan sebagainya. Epigrafi mempelajari tulisan kuno yang terdapat

pada prasasti-prasasti.

Pengajaran bahasa merupakan ilmu terapan. Bidang ini mencakup bahan

pengajaran, teknik mengajar, penyusunan bahan dan evaluasi pengajaran bahasa,

dan lain-lain.

Bidang terapan lainnya adalah masalah penterjemahan. Dalam

penterjemahan ini tercakup metode alih bahasa dari satu bahasa ke bahasa lainnya

yang berkaitan dengan linguistik, antara lain leksikografi, yaitu ilmu yang

berkenaan dengan metode dan penyusunan kamus. Fonetik terapan merupakan

ilmu yang berkenaan dengan teknik pengucapan bunyi, seperti melatih orang

gagap, dan lain-lain. Di samping itu masalah pembinaan bahasa juga merupakan

bidang terapan ilmu bahasa, terutama dalam pem-binaan bahasa internasional atau

bahasa-bahasa khusus yang perlu dibina dan dikembangkan. Grafologi adalah

ilmu yang berkenaan dengan seluk-beluk bahasa tulis.

Semantik termasuk ke dalam ilmu linguistik umum yang menitikberatkan

kajian bahasa dari segi makna, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat

deskriptif serta bersifat historiskomparatif. Bidang yang menkaji khusus dalam

bidang penggunaan bahasa lainnya adalah Pragmatik. Pragmatik mengkaji

bagaimana makna dikomunikasikan dengan kata atau kalimat dalam aspek-aspek

konteks bahasa. Pengkomunikasian makna selalu dilihat dari penggunaannya

berdasarkan waktu, tempat, hubungan sosial antara pembicara dan pendengar.

Selain itu, juga dikaji asumsi si pembicara terhadap reaksi pendengar dan

pengertiannya.

Bagan berikut menggambarkan bidang-bidang linguistik (Nikelas, 1988: 16)

MIKROLINGUISTIK MAKROLINGUISTIK

umum 1. teori linguistik

2. linguistik deskriptif

3. linguistik historis komparatif

1. antardisiplin

a. fonetik

b. stilistika

c. filsafat bahasa

d. psikolinguistik

e. sosiolinguistik

f. etnolinguistik

g. filologi

h. semiotik

i. epigrafi

khusus 1. linguistik deskriptif

2. linguistik historis komparatif

2. terapan

a. pengajaran bahasa

b. penterjemahan

c. leksikografi

d. fonetik terapan

e. sosiolinguistik terapan

f. pembinaan bahasa internasinal

g. pembinaan bahasa khusus

h. linguistik medis

i. grafologi

j. mekanolinguistik

sejarah linguistik

3. Pengajaran Bahasa oleh Guru

Tugas utama guru bahasa—kalau dikaitkan dengan tujuan instruksional yang

ingin dicapai—adalah berusaha keras agar siswa menjadi tuntas berbahasa dalam

bahasa yang diajarkan. Tugas guru mengajarkan bahasa dan bukan mengajarkan

teori bahasa. Dewasa ini terdapat kesan bahwa guru lebih banyak mengajarkan

teori bahasa dan tidak mengajarkan bagaimana siswa menggunakan bahasa yang

diajarkan.

Tugas guru bahasa dengan tugas ahli bahasa memang berbeda. Perbedaan tersebut

dapat dilihat pada skema berikut (Pateda, 1991: 37).

Tuntas

Bahasa

I

GURU BAHASA BAHAN SISWA

II

Perian

Bahasa

AHLI BAHASA BAHASA PERIAN BAHASA

Linguistik

Pada skema I terlihat pekerjaan guru bahasa, yakni mengajarkan bahasa tertentu.

Untuk mengajarkan bahasa tertentu itu, guru bahasa melaksanakannya melalui

pengajaran materi tertentu setiap kali pertemuan terpogram. Untuk mengajarkan

bahan itu, guru bahasa harus mempunyai wawasan linguistik. Berhubung banyak

teori kebahasaan yang terdapat dalam teori linguistik, guru bahasa harus pandai-

pandai memilih teori mana yang lebih bermakna untuk melandasi pengajaran

bahan. Tujuan pengajaran itu adalah agar siswa menjadi tuntas dalam bahasa yang

sedang diajarkan.

Pada skema II terlihat pekerjaan ahli bahasa, yaitu meneliti bahasa tertentu lalu

menganalisisnya, mengambil kesimpulan, dan melaporkannya hasil penelitian itu

dalam bentuk perian bahasa yang diteliti. Untuk mengadakan penelitian itu, ahli

bahasa menggunakan teori tertentu, baik yang digunakan untuk mendukung

metodologi penelitian, latar belakang teori yang digunakan, maupun cara

pelaporannya. Hasil akhir pekerjaan ahli bahasa adalah menyusun suatu perian

bahasa atau mengembangkan teori kebahasaan tertentu. Pekerjaan itu ditujukan

untuk pengembangan teori linguistik, kepentingan bahasa tertentu dan hasilnya

ditujukan kepada sesama ilmuwan yang bergerak dalam bidang linguistik dan

praktisi-praktisi kebahasaan, misalnya guru bahasa. Hal itu berbeda dengan guru

bahasa yang pekerjaannya ditujukan kepada siswa.

Menurut Stevick (1982) dalam Pateda (1991: 38), tugas guru bahasa meliputi tiga

hal. Ketiga tugas itu adalah (1) mengembangkan potensi komunikasi, (2)

mengembangkan potensi linguistik, dan (3) mengembangkan potensi personal.

Tugas guru yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kompentensi

komunikasi mengacu pada upaya agar siswa mampu berkomunikas, baik sesama

teman maupun dengan manusia lain. Tugas utama di sini adalah berusaha agar

siswa berani dan tidak ragu-ragu untuk mengemukakan pikiran, perasaan dan

kehendaknya. Ketiga domain itu tentu harus menggunakan bahasa yang benar.

Siswa harus memahami kaidah-kaidah bahasa yang digunakan ketika ia

berkomunikasi. Hal itu perlu agar tidak terjadi salah paham.

Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi linguistik bersama-sama akan

memperkuat kemandirian siswa sebagai makluk yang berkembang dan didengar

pendapatnya. Keberanian berkomunikasi menggunakan bahasa yang tepat

menimbulkan rasa kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia merupakan pribadi

yang berarti. Ia tidak akan ragu-ragu karena ia mengetahui kemampuan dirinya.

Dalam keadaan tertentu ia dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif

yang dihadapinya karena kompentensi personalnya telah berkembang sedemikian

melalui interaksi positif antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dan

siswa dengan lingkungan.

Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi linguistik berkembang secara baik

apabila pada diri siswa sendiri terdapat motivasi. Motivasi yang dimaksud adalah

berkomunikasi, mengembangkan komunikasi linguistik bahkan mengembangkan

komunikasi personal. Dikaitkan dengan motivasi, ada empat faktor utama yang

turut menentukan. Keempat faktor itu adalah (1) sosiolinguistik, (2) siswa, (3)

metode, dan (4) guru.

Faktor sosiolinguistik mengacu kepada hubungan siswa dengan lingkungan

sosialnya. Ini berarti pilihan bahasa siswa dikaitkan dengan fungsi dan situasi.

Faktor siswa mengacu pada upaya sadar yang muncul dari siswa sendiri untuk

mengembangkan poteni yang dimiliki. Faktor metode mengacu pada cara yang

dilaksanakan sehingga siswa secara sadar berkeinginan berkomunikasi. Faktor

guru mengacu pada upaya guru yang mengakibatkan siswa mau berkomunikasi.

Mengajarkan bahasa berarti “aktivitas terpogram menyediakan fasilitas yang

memungkinkan siswa mengembangkan potensi dan keterampilannya” (Pateda,

1991: 39). Sebagai guru bahasa Indonesia sebaiknya ia:

1) menguasai semua metode pegajaran bahasa dan dapat menerapkan metode itu

dalam proses belajar mengajar,

2) menguasai bahan yang akan dan sedang diajarkan,

3) melaksanakan semua kegiatan sekolah, misalnya melaksanakan ulangan,

4) menguasai semua jenis dan prosedur penilaian,

5) menguasai semua tipe latihan berbahasa,

6) menguasai pengelolaan kelas, misalnya dapat mengatasi keributan siswa karena

gangguan,

7) menguasai teknik pegajaran individual,

8) dapat menentukan dan menguasai silabi pelajaran,

9) dapat memanfaatkan media pengajaran yang tersedia,

10) menguasai tujuan pengajaran dan aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut,

dan

11) menguasai teknik-teknik pendidikan.

C. Pembahasan

Tugas guru memang berat karena guru bukanlah manusia yang menghadapi benda

mati, bukan menghadapi tumpukan kertas, guru bukanlah guru tik yang kalau

salah mengetik tersedia tip ex untuk memperbaiki kesalahan itu. Guru adalah

manusia biasa yang penuh keterbatasan. Selain itu, ia menghadapi manusia yang

sedang berkembang yang memiliki sejumlah potensi yang harus dilacak dan

dikembangkan. Dalam kegiatannya, guru harus dibekali dengan berbagai ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu dasar, misalnya ilmu alamiah dasar,

ilmu sosial dasar, dan ilmu budaya dasar. Guru juga harus dibekali dengan ilmu

pendidikan, misalnya dasar-dasar pendidikan, layanan bimbingan belajar,

pengelolaan kelas, interaksi belajar mengajar, penilaian, dan perencanaan

pengajaran bahasa. Tentu saja ilmu yang berhubungan dengan bidang studi harus

mempunyai porsi yang banyak dalam pengalokasian waktu.

Secara ideal, seorang guru bahasa Indonesia adalah seorang ahli bahasa Indonesia,

peneliti, dan penulis bahan pelajaran kebahasaan. Ia juga harus selalu mendalami

dan mengikuti perkembangan ilmu yang diajarkannya. Seorang guru bahasa

Indonesia mau tidak mau harus menguasai linguistik. Sekali pun harapan ideal

pertama, yaitu menjadi ahli bahasa dapat diperlunak, tetapi dengan pengetahuan

linguistik yang dimiliki, guru bahasa Indonesia dapat mengajarkan aspek bahasa

Indonesia sehingga siswa dengan mudah menguasai bahan yang diajarkan.

Bagaimanakah seorang guru bahasa Indonesia menerangkan kata menanamkan

dan menanami kalau tidak menguasai tata bahasa Indonesia. Bagaimana pula guru

bahasa Indonesia mengajarkan pengimbuhan ber + ajar menjadi belajar dan

bukan berajar, kalau guru tersebut tidak menguasai linguistik? Bagaimana guru

bahasa Indonesia dapat mengajarkan pragmatik kalau ia sendiri tidak pernah

bergaul dengan sosiolinguistik?

Pendek kata, seorang guru bahasa Indonesia harus menguasai linguistik kalau ia

ingin menjadi guru yang baik. Guru bahasa Indonesia harus menguasai fonologi,

morfologi, sintaksis, semantik, dan ilmu-ilmu sekerabat dengan linguistik—

misalnya sosiolinguistik dan psikolinguistik—dalam bahasa Indonesia. Tentu saja

pengetahuan linguistik bagi seorang guru bahasa Indonesia lebih bersifat praktis

dalam arti membentengi diri agar dapat menjelaskan gejala bahasa Indonesia yang

diajarkannya. Jelas pula, seorang guru bahasa Indonesia tidak boleh hanya

mengajarkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dapat

diajarkan untuk menuntun pola penggunaan bahasa Indonesia ketika siswa

berkomunikasi. Guru sebaiknya memahami bagaimana agar kaidah bahasa yang

dianalisis berdasarkan konsep linguistik dapat menampakkan diri dalam

pemakaian bahasa siswa. Hal itu perlu ditekankan karena guru bahasa Indonesia

tidak mengajar siswa menjadi ahli bahasa Indonesia, tetapi berusaha agar siswa

mahir berbahasa.

Guru bahasa Indonesia selain memenuhi syarat teknis administratif sebagai guru,

juga harus dilandasi dengan pengetahuan linguistik. Hal itu penting agar

wawasannya tentang pengajaran bahasa Indonesia bertambah luas. Dengan

demikian, linguistik mempunyai kegunaan bagi guru bahasa Indonesia. Kegunaan

itu sekurang-kurangnya dalam tiga hal, yakni (1) kegunaan untuk peningkatan

mutu profesi, (2) kegunaan secara teoritis, dan (3) kegunaan secara praktis

(Pateda, 1991: 41)

1. Kegunaan untuk Peningkatan Mutu Profesi

Guru bahasa Indonesia merupakan profesi dan tidak semua orang bisa melak-

sanakannya. Memang, banyak guru bahasa Indonesia, tetapi tidak akan pantas

disebut guru bahasa Indonesia kalau profesinya hanya digunakan untuk sekedar

memperoleh nafkah. Kalau seorang guru ingin meningkatkan profesinya sebagai

guru bahasa Indonesia maka seharusnya ia ia membentengai pengetahuan dan

keterampilannya dengan teori linguistik. Mengapa? Secara mudah dijawab bahwa

linguistik berobjekkan bahasa, sedangkan di dalam pengajaran bahasa, bahasalah

yang diajarkan kepada siswa.

Jika guru bahasa Indonesia memahami betul wujud, hakikat, karakteristik, tataran,

dan teori bahasa Indonesia, tentu guru tersebut akan melaksanakan tugasnya lebih

baik jika dibandingkan dengan guru bahasa Indonesia yang tidak mengetahui teori

linguistik. Berdasarkan kenyataan, bahasa Indonesia berwujud berdasarkan apa

yang dilihat, yaitu bahasa tulis dan ada yang berwujud berdasarkan apa yang

didengar atau dituturkan, yaitu bahasa lisan. Guru bahasa Indonesia tentu harus

pandai melihat kenyataan ini. Kenyataan ini yang harus diusahakan agar dipahami

dan dapat dipraktikkan oleh siswa.

Dalam kegiatan berbahasa, tugas guru bahasa Indonesia adalah mengelola

kebahasaan kelas sedemikian rupa sehingga siswa yang dihadapi mengalami

perubahan dalam keterampilan berbahasa dari suatu keadaan tertentu menuju

keadaan yang lebih meningkat dari keadaan sebelumnya. Keterampilan berbahasa

tersebut adalah (1) berbicara, (2) mendengar, (3) membaca, dan (4) menulis.

Dalam keterampilan berkomunikasi, dijabarkan tujuan agar siswa dapat

melafalkan kata-kata secara tepat. Guru bahasa Indonesia tentu harus menguasai

prinsip-prinsip fonologi bahasa Indonesia. Demikian juga kalau dirumuskan

tujuan belajarnya agar siswa dapat menyusun kalimat yang benar, guru bahasa

Indonesia harus menguasai prinsip-prinsip sintaksis. Kalau guru dapat

menjelaskannya dengan baik dan siswa dapat memahami dengan baik pola

kebahasaan yang diajarkan, niscaya perubahan tingkah laku berbahasa siswa

terlihat setiap hari. Kalau guru bahasa Indonesia dapat menjawab pertanyaan

siswa secara meyakinkan—karena dilandasi teori linguistik—niscaya keper-

cayaan siswa kepada gurunya bertambah kuat. Dengan demikian, hal tersebut

akan meningkatkan wibawa guru di hadapan anak didiknya.

2. Kegunaan secara Teoritis

Setiap ilmu pengetahuan diusahakan berkembang terus oleh ahlinya, termasuk di

sini linguistik. Dewasa ini, linguistik berkembang pesat berkat kegigihan para ahli

di bidang ini. Disiplin ilmu ini makin meluas dan melahirkan subdisiplin baru,

misalnya telah muncul neurolinguistik, biolinguistik, dan linguistik statistik. Guru

bahasa Indonesia seharusnya mengikuti terus perkembangan ilmu ini karena

profesinya berkaitan erat dengan linguistik. Guru bahasa Indonesia yang

profesional mendalami, memburu, dan meningkatjan terus mutu pengajaran

bahasa Indonesia yang diajarkannya. Sebagai guru yang bersifat pemburu ilmu,

harus membaca, mengikuti siaran radio, televisi, ceramah, pertemuan ilmiah

kebahasaan. Guru sebagai orang yang bersifat suka mening-katkan mutu

pengajarannya, sering mengadakan pembaharuan, baik yang berhubungan dengan

materi yang diajarkannya maupun yang berhubungan dengan metode mengajar.

Guru bahasa Indonesia yang mendalami bidang studinya selalu bertanya apakah

teori kebahasaan yang diketahuinya masih cocok dengan perkembangan ilmu itu?

Seba-gai seorang pemburu ilmu, guru harus bertanya apakah sudah ada pendapat

baru yang berkaitan dengan bahan yang diajarkan? Apakah ada buku baru?

Apakah ada penemuan baru di negara lain yang berkaitan dengan bahan yang

diajarkan? Hal ini memaksa guru untuk berlangganan majalah kebahasaan, setia

mengikuti siaran, menyisihkan waktu membaca surat kabar, dan selalu berusaha

mengikuti pertemuan ilmiah atau ceramah kebahasaan.

Seorang guru bahasa Indonesia bukan menjelaskan teori linguistik tetapi teori

linguistik dimanfaatkannya secara maksimal untuk meningkatkan mutu

pengajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakannya.

Pengetahuan tentang teori linguistik belum cukup bagi guru bahasa. Kalau hanya

pengetahuan teori linguistik saja yang diketahui, guru bahasa akan sama dengan

seorang ahli bahasa. Guru bahasa Indonesia, selain harus memahami teori

linguistik, ia harus meningkatkan profesinya dengan jalan mendalami ilmu

pendidikan dan keguruan. Betapa pun ahlinya guru bahasa dalam bidang

linguistik, kalau ia sendiri tidak mampu melaksanakan kegiatan belajar mengajar

yang berdayaguna dan berhasilguna maka usahanya akan gagal. Guru itu akan

lebih banyak berceramah, berteori, dan akan kurang berhasil mengubah tingkah

laku berbahasa siswa. Pendek kata, seorang guru bahasa Indonesia harus

berwawasan luas, baik dalam bidang studi yang diajarkan, ilmu kependidikan,

maupun ilmu bantu lainnya yang akan turut menunjang proses belajar mengajar.

3. Kegunaan secara Praktis

Kalau berbicara tentang guru bahasa Indonesia, banyak tuntutan aktivitas yang

harus dilaksanakannya. Guru tersebut adalah seorang yang menghadapi sejumlah

siswa di dalam kelas, penulis buku teks, atau seorang yang membuat perencanaan

bahan pengajaran yang siap disajikan.

Selain itu, guru bahasa Indonesia adalah pelayan masyarakat dalam bidang bahasa

Indonesia. Konsekwensinya, guru bahasa Indonesia harus siap menghadapi

pertanyaan anggota masyarakat tentang bahasa Indonesia. Untuk itu tidak ada

pilihan lain selain meningkatkan profesi kependidikan dan sekaligus

pengetahuannya di bidang kebahasaan.

Guru bahasa Indonesia harus banyak melaksanakan kegiatan penunjang agar dapat

meningkatkan mutu profesi dan pengetahuan di bidang kebahasaan. Kegiatan

penunjang itu dapat dilaksanakan dengan dua jalur, yakni jalus formal dan jalur

informal. Kalau melalui jalur formal, guru tersebut dapat berusaha menambah

pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan formal. Pendidikan formal ini,

misalnya dapat diikuti melalui Universitas Terbuka. Kegiatan penunjang yang

dapat dilaksanakan melalui jalur informal antara lain:

a) menambah pengetahuan melalui buku baru yang diperoleh dengan membeli

atau meminjam di perpustakaan,

b) membaca surat kabar atau majalah yang ada hubungannya dengan persoalan

pendidikan atau kebahasaan,

c) mengikuti siaran radio dan televisi,

d) mengikuti kegiatan ilmiah berupa seminar, lokakarya, konfrensi, simposium,

dan sebagainya yang berkaitan dengan bahasa,

e) mengadakan penelitian mandiri, baik biaya sendiri maupun biaya sponsor,

f) bertanya atau berdialog dengan pakar pendidikan dan ilmu bahasa,

g) melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya penyuluhan bahasa,

h) mengikuti perlombaan, dan menyiarkan atau menulis hasil penelitian atau

pengalaman melalui media massa.

D. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Guru bahasa Indonesia di kelas tidak menghadapi benda mati tetapi menghadapi

manusia yang kreatif, berpotensi, dan dinamis. Dalam kegiatannya, guru harus

dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu tentang pendidikan

maupun yang bersangkutan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dalam hal

ilmu pendidikan, guru harus dibekali dengan ilmu pendidikan, misalnya dasar-

dasar pendidikan, layanan bimbingan belajar, pengelolaan kelas, interaksi belajar

mengajar, dan penilaian. Dalam hal peningkatan profesi sebagai guru bahasa

Indonesia, guru tersebut mau tidak mau ha-rus menguasai linguistik. Pengetahuan

linguistik sekurang-kurangnya berguna dalam tiga hal, yakni (1) kegunaan untuk

peningkatan mutu profesi, (2) kegunaan secara teoritis, dan (3) kegunaan secara

praktis.

2. Saran-saran

Mengacu pada pembahasan yang dikemukakan, ada beberapa saran yang dapat

dikemukakan sehubungan dengan pemberdayaan guru bahasa Indonesia melalui

peningkatan dan pengembangan pengetahuan linguistik, yaitu:

a. guru bahasa Indonesia sebaiknya membekali diri dengan ilmu pendidikan dan

pengetahuan linguistik,

b. guru bahasa Indonesia harus mengikuti terus perkembangan ilmu yang

diajarkannya, dan

c. guru bahasa Indonesia harus berusaha menambah pengetahuan dan

keterapilannya, baik melalui pendidikan formal maupun informal.

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mulyono, Anton M. dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

_______ . 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif

di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Nikelas, Syhwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta:

Depdikbud.

Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Nusa Indah.

Soenardji. 1988. Sendi-sendi Linguistika bagi Kepentingan Pengajaran

Bahasa. Jakarta: Debdikbud.

Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta:

Depdikbud.