Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,
MALUKU
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh :
FABIOLA SINTHYA SEITTE
076322002
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
Prof. Dr. A. Supratiknya
Lembaran Pernyataan
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM:
076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 11 Desember 2009,
Penulis
iv
v
Motto
Takut akan Tuhan
adalah permulaan Pengetahuan,
(Amsal 1: 7a)
vi
vii
Kata Pengantar
Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari
Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang
mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten
Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang
menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian
oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami
tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas
mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan
minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap
ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu
pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor
semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak
dapat saya sebutkan satu per satu.
Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB.
Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu,
Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto,
Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton
Haryono yang begitu sabar membimbing saya serta mengajarkan saya banyak hal
baik, termasuk secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kalian. Bahkan
penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan kalian berdua.
Untuk Romo Banar atas diskusi-diskusi menarik yang semakin menambah
wawasan saya. Untuk mbak Hengki atas pelayanannya serta mas-mas dan mbak
pada WS dan perpustakaan.
Danke voor Ketua STAKPN Ambon, R. Souhaly, SH,MH, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, serta para Pembantu Ketua I,II
dan III. Pemda Propinsi Maluku Bidang Kesra yang telah membantu dengan
dukungan dana pada awal saya berstudi. Sesama rekan dari STAKPN Ambon di
Jogja, Bapa Agus, Bu Angky, Usi Udi, Usi Ko, Usi Echi dan Ona, serta untuk Nn
Venty atas semua bantuannya. Teman-teman IRB angkatan 2007, Vivin, Novel,
viii
Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu
Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya.
Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu‟ Tanel) yang selalu memberikan
bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan
termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua
kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan
semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para
informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah
memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan
ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan
mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di
Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan
bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan
anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely (ingatlah “viva forever together”),
Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas
kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya
dalam penyelesaian tesis ini.
Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade
Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri
(Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan
semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta
menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa
Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn
Ema T.
Natalis Mathias Lekitoo, suamiku tercinta serta kedua buah hatiku, Jovi dan
Ona Tasya, atas semua pengorbanan yang diberikan selama ini, untuk doa yang tak
henti-hentinya, untuk cinta dan kepercayaan yang berwujud pada kerelaan kalian
mengizinkan mama pergi belajar jauh di tana orang, untuk celoteh yang
menguatkan ketika kerinduan menyergap hati bahkan untuk kesabaran kalian
menanti mama pulang. Pada akhirnya kesuksesan ini merupakan buah dari
pengorbanan kalian.
ix
Papa Agus dan Mama Sien Seitte, nama kalian yang saya cantumkan
terakhir dalam lembaran ini, bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran dan
pengorbanan kalian tapi saya tetap meyakini bahwa yang terakhir akan menjadi
yang pertama. Karena itu kalian adalah orang pertama dalam hati saya. Karena
kalianlah saya ada. Untuk semua keringat, doa dan air mata yang kalian taruhkan
hanya untuk hidup anak-anakmu. Semuanya tidak akan sia-sia, teriring doa yang
tulus, semoga Tete Manis mau kasih umur panjang voor papa deng mama supaya
tetap menjadi sombar untuk anak- cucu.
x
ABSTRAK
Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan
peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi
peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan
kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya
pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan
pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan-
pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada
pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa
tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk
dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya
ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya
akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan
memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera
daerah.
Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi
pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik
pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan
identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan
dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati.
Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik.
Tesis ini bermaksud menunjukkan bahwa motivasi pemekaran kabupaten
Seram Bagian Barat untuk kepentingan masyarakat, yakni agar masyarakat SBB
dapat menikmati pembangunan yang setara dengan daerah-daerah lainnya. Selain
itu motif lainnya adalah memperjuangkan nasib putera daerah yang setiap kali
harus kalah dan tersingkir dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Namun
motivasi motivasi terselubung yang dibawa oleh masing-masing tokoh pemekaran
justru menjadikan putera daerah berada pada tingkatan yang sama dengan para
pendatang. Identitas sebagai yang asli/lokal bukan menjadi sebuah jaminan
kesuksesan dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Putera daerah pada
xi
akhirnya harus mengalami hal yang sama ketika masih berada dalam wilayah
administratif Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat Waisarisa yang adalah
mantan pekerja pabrik turut merasakannya. Bagi mereka ketika bersama dalam
perebutan sumber daya publik, sesama mantan pekerja pabrik yang merupakan
etnis lain dianggap merupakan saingan. Tetapi ketika mereka sama-sama gagal
dalam perebutan sumber daya publik tersebut, kebersamaa mereka wujudkan dalam
kehidupan yang harmonis sebagai sesama mantan pekerja pabrik.
xii
Daftar Isi
Halaman Judul ……………………………………………………....………i
Lembar Persetujuan ....…..…………………………………………....…...…ii
Lembar Pengesahan ........................................................................................iii
Lembar Pernyataan .........................................................................................iv
Lembar Motto …....……………………………………………………...........v
Kata Pengantar ………………………………………………………....……..vi
Abstrak ……………...……………………………………..………….....…..ix
Daftar Isi ……………………………………………………………....……...xi
Bab I. Pendahuluan
1. Latar Belakang ..…… …………………....……………....…...1
2. Perumusan Masalah ................…………………….....……...5
3. Tujuan Penelitian .……........………………………....……...6
4. Kerangka Konseptual ....……………………………....…....6
5. Tinjauan Pustaka ...........................................................13
6. Metodologi Penelitian ............................................................17
7. Sistematika Penulisan ...........................................................20
Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah
1. Pengantar ...............................................................................21
2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ..................................24
A. Letak Geografis ........................................................24
B. Kondisi Demografi ....................................................26
C. Sumber Daya dan Pembangunan ................................29
3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat .......................31
A. Mitos Yang Berkembang Dalam
Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ..........................33
B. Masa Kolonial Belanda .............................................38
4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...................41
5. Catatan Penutup .....................................................................43
xiii
Bab III. Menuju Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat:
Proses Politik dan Proses Administif
1. Pengantar ...............................................................................45
2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...............................47
A. Di Awal Perjuangan .................................................49
B. Pemekaran Kabupaten Baru ......................................51
C. Alasan-alasan di balik Usulan
Pemekaran ...............................................................57
3. Catatan Penutup ..................................................................64
Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas
1. Pengantar ................................................................................66
2. Mengenal Masyarakat Waisarisa
A. Geografis dan Demografis ........................................69
B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ..........................71
3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik .........................................72
4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟
dan „Pendatang (Orang dagang) „ ......................................75
A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ..............................................76
B. „Pendatang‟ ...............................................................78
5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ......................84
6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ................91
A. Berjuang Untuk Hidup .............................................91
B. Kesamaan Identifikasi Diri .......................................94
7. Catatan Penutup ...................................................................95
Bab V. Penutup ....................................................................................98
Daftar Pustaka ............................................................................................105
Lampiran-lampiran
BAB I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang
Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan,
banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam
bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan
yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk
mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang
otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas1.
Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku
yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya,
dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara.
Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan
masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan
distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya
angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu
sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai
120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun
2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai
membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran
1 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, , Jakarta, KITLV
dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.13.
2
mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan
penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%.2 Jumlah ini
perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup
tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.
Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda
Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran
dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam
masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar
Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam
alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni
transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak
bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling
berdampingan.
Demikian pula dengan apa yang terjadi di „negeri‟3 Waisarisa. Waisarisa
adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang
sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti
Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB
atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka
yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara
besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba
2 www.detiknews.com/ dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan
www.hamline.edu/apakhabar/ dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009. 3 Negeri merupakan sebutan umum untuk desa di Maluku. Ketika pemerintahan orde baru, negeri-
negeri di Maluku mengalami perubahan nama menjadi desa dan sistem pemerintahannya pun
diseragamkan dengan desa-desa di Jawa..
3
untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari
penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus
didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat
dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan
mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat
menyusahkan kehidupan mereka bersama.
Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik
etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan
multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu
agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali.
Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga
konflik relatif dapat dihindari.
Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi
daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah
kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa
harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat
masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya
adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang
disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini
(SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan
tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana
yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah
pengutamaan “anak daerah”4 dan bukan “orang dagang”
5. Walaupun sudah hidup
4 Istilah ini artinya sejajar dengan putera daerah
4
bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang
luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang
bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan
pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah
terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis
menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan
keyakinan.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa.
Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang-
orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti
grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat
orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis “anak daerah” SBB bahwa mereka
akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka.
Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal
ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka
beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih
berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa
kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK
besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan
pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan
menutup mata terhadap nasib mereka.
5 Istilah ini selalu dikenakan kepada orang asing atau bukan penduduk asli setempat yang berdiam
ditengah-tengan penduduk asli. Misalnya saja orang Waisarisa menyebut orang dari etnis luar yang
berdiam ditengah-tengah mereka dengan sebutan ini. Istilah ini bukan saja ditujukan pada orang-
orang dari luar propinsi Maluku tetapi juga kepada sesama orang Maluku, yang berlainan pulau
maupun negeri/kampung.
5
Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan.
Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi
setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan
dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan
saya kaji.
2. Perumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul
adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber
daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat?
Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang?
Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka?
2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu
“putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil pasca pemekaran?
3. Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang
maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis
pasca seleksi CPNS?
3. Tujuan Penelitian
6
Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru.
2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan
sumber- sumber daya publik.
4. Kerangka Konseptual
Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran
Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang
tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian
Barat. Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah,
dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang
besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri”. Demikianlah ungkapan seorang
ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak
daerah ini patut digarisbawahi. Ungkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci
bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini
merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain
yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam)6 yang diwariskan.
Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang
terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi
instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas
6 Kata ini sengaja penulis cetak miring. Fam bagi orang Maluku merupakan sebutan untuk nama
keluarga/marga, dan masing-masing etnis Maluku memilikinya dibelakang nama depannya,
misalnya nama keluarga yang penulis pakai.
7
selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang
identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau
lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.7 Artinya,
identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak
tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika
situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita
dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa
identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang “diri” itu selalu
terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.
Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa
identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh
pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks
dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa
identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan
dari komunitasnya.8 Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall
dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan
pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang-
ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan
Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer
bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik,
bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun
7 Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed),
Culture, Globalization And The World-System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm.
49. 8 Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed)
Discourse and Identity, Crambridge, Cambridge University, 2006, hlm. 142-143.
8
sama tergantung siapa pelakunya.9 Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia
bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan
kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang
menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya
dan orang lain untuk tujuan interaksi.10
Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai
tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika
berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika
masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas
pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya
saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan
kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat
dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya
merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya
etnis, agama, pekerjaan, dll.
Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam),
orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk
membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama
keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis
pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten
Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?
9 Kobena Mercer, “1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed),
Cultural Studies, New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424. 10
Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, Bergen and London, Universitets Forlaget and George Allen & UNWIN, 1970, hlm.14.
9
Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan
sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang
sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas11
.
Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang
telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada
dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah
memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta
terikat dengan tanah tumpah darah.12
Mengacu pada kedua pendapat ini maka,
mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa
mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos
terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan Kairatu), Eti (Kecamatan
Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan Taniwel), sejarah dan budaya yang sama,
tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari
sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan
demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik,
etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah.
Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah
memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.
Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya
perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan
isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan
11
Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John
Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27 12
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT.Rineka Cipta, 2007, hlm.6.
10
jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu
pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun
identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.13
Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari
luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai
orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di
negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa
negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan
dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik
identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas
kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh
kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh
agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi
yang lebih progresif.14
Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah
memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu
menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh
etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan
sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara
tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi
kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi
13
Ari Setyaningrum, „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟, Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18. 14
Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar
internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.
11
penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia
tidak merasa bahwa sesama pekerja etnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia
menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama
dalam urusan memperjuangkan hidup.
Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan
berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu
dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep
otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk
mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa
sendiri.15
Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek
kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi
daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri
merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah,
dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan.16
Sejalan
dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan
bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan
provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.17
Dari
kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah
daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara
administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.
15
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm.7. 16
Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika
Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11 17
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, op.cit, hlm.25.
12
Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri
lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah
mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh
dibandingkan ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu
(kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang
lebih sekitar 148 km18
, belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak
berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka
orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus
ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga
memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak
langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi
geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit
menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi,
alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih
pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk
mempersempit rentang kendali pemerintahan.
5. Tinjauan Pustaka
Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada
pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan
desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat
kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di
daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi
18
http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008.
13
maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi
daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah
digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.
Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi
daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul
Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik
lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya
untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John
F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi
kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik
identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher,
2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan
kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang
dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan
sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau
kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam
bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis “dominan”.
Dalam tulisan Myrna Eindhoven misalnya, alasan terpisahnya kepulauan
Mentawai sebagai sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten Padang Pariaman
di daratan Sumatera disebabkan kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman yang berada di daratan Sumatra terhadap pembangunan di
kepulauan ini. Selain itu juga adanya diskriminasi agama yang dimunculkan
sebagai sebuah persyaratan, yakni dengan adanya peraturan daerah yang
14
mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama
Islam.
…Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang
bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar
orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di
pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20,
mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai
bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa
kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk
agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama
Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.19
Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas
beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut
menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”.
Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya
ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal
etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan
mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik
identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan
(Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah
mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi
Barat.20
Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi
sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah
19
Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik
Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92. 20
Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar
internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.
15
baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama
pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh
Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan
mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi
pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli”
dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan
seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang
yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll).
Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari
bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda.21
Misalnya, orang Saparua memanggil
orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal
ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh
berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa
Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap
disebut orang dagang.22
Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk
lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel
kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.
Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya
Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga
ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup
penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena
21
Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten I Sekda Maluku 2007,
http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008. 22
Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja pabrik berinisial AS, tanggal 13 Januari
2009.
16
dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat
tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri-
negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.23
6. Metodologi Penelitian
A. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus, dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni:
1. Observasi lapangan dengan mengamati langsung kehidupan
penduduk Waisarisa baik orang lokal maupun pendatang yang
sampai saat ini masih bertahan di kemp perusahaan serta wacana-
wacana seputar pemekaran wilayah.
2. Wawancara; teknik ini diharapkan dapat menggali sejumlah
informasi penting melalui interaksi dengan para informan.
3. Pendalaman berbagai dokumen tertulis untuk mendapatkan
gambaran tentang sejarah adat masyarakat SBB sampai pada upaya-
upaya pemekaran dan seputar politisasi identitas dalam perebutan
sumber-sumber daya publik.
23
Pada umumnya negeri-negeri di Maluku, memiliki pemeluk agama yang homogen. Artinya bahwa sebuah agama menjadi agama tunggal di sebuah negeri tertentu pula sehingga ketika
menyebut sebuah nama negeri maka orang akan langsung tahu agama yang dianut oleh masyarakat
negeri tersebut. Misalnya negeri Kamariang, orang langsung tahu bahwa ia merupakan sebuah
negeri Kristen sedangkan Mamala, orang langsung tahu bahwa itu adalah negeri Islam. Kalaupun
pada akhirnya ada dua negeri yang memiliki kesamaan nama mungkin karena adanya pertalian
darah antara leluhur negeri-negeri tersebut (ade-kaka) maka akan ada penambahan nama
berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat negeri tersebut, misalnya negeri Sirisori Sarane
(Sirisori Kristen) dan Sirisori Salam (Sirisori Islam). Agama Islam telah lebih dulu ada
dibandingkan agama Kristen. Agama tersebar lewat jalur perdagangan yang dikembangkan oleh
para pedagang dari Jawa dan Gowa (Sulawesi Selatan) dan juga pengaruh dari kerajaan Ternate dan
Tidore di Maluku Utara. Sedangkan agama Katolik dan Protestan disebarkan oleh bangsa Portugis
dan Belanda yang cukup giat mengadakan pengkristenan terhadap negeri-negeri yang pada awalnya
telah beragama Islam.
17
Kombinasi ketiga teknik pengumpulan data ini digunakan untuk
mendapatkan data yang tidak dapat digali dari satu teknik tertentu.
B. Yang menjadi informan adalah penduduk Waisarisa baik pendatang maupun
lokal, yang telah memiliki pekerjaan maupun belum, teristimewa mantan
tenaga kerja pabrik kayu lapis, aparat pemerintahan setempat (bisa dari
negeri Waisarisa maupun dari pemerintah kabupaten). Hal ini guna
mendapat data yang akurat tentang pemekaran dan implikasinya pada
politisasi identitas. Selain dari masyarakat Waisarisa dan pemerintah,
penulis juga berupaya mendapat data dari beberapa orang tua asal SBB
guna penyempurnaan data mengenai sejarah adat masyarakat SBB. Penulis
merasa tertarik menulis tentang kondisi kabupaten baru ini karena walaupun
sebagai etnis Seram Bagian Barat yang tidak pernah merasakan pahit
getirnya hidup di negeri asal, kondisi pasca pemekaran ini dengan berbagai
permasalahan yang terjadi menimbulkan pertanyaan besar tentang politik
identitas yang sedang dipraktekkan. Walaupun para informannya sebagian
berasal dari etnis lain, penulis tetap pada posisi tidak berpihak dan
menganggap bahwa informasi yang didapatkan dari setiap informan itu
penting. Mungkin akan ada keraguan dari etnis pendatang tentang
keberadaan penulis sebagai putera daerah SBB dan rasa subjektivitas
sebagai seorang peneliti bisa saja muncul. Untuk mengatasi masalah
tersebut, penulis menggunakan seorang mantan pekerja pabrik etnis Jawa
yang mendampingi penulis melakukan wawancara awal dengan para
informan.
18
C. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan pertanyaan semi terstruktur.
Artinya informasi digali lewat wawancara berdasarkan pertanyaan-
pertanyaan penelitian tetapi bisa juga terjadi pengembangan pertanyaan
berdasarkan informasi yang diberikan. Kesemuanya bertujuan untuk
menggali lebih jauh sejumlah informasi penting yang belum terdapat dalam
lampiran pertanyaan-pertanyaan operasional. Selain itu juga agar para
informan dapat mengemukakan apa yang mereka tahu dan rasakan serta
harapan-harapan mereka tanpa harus diintervensi oleh penulis terlebih
dulu.
D. Penelitian ini dilakukan di negeri Waisarisa, Kecamatan Kairatu, Kabupaten
Seram Bagian Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki keunikan.
Penduduknya bukan hanya penduduk asli/lokal, tetapi terdiri dari berbagai
etnis karena dulunya di wilayah ini berdiri pabrik pengolahan kayu lapis
yang mempekerjakan banyak orang dari berbagai etnis. Ketika pabrik ini
tutup, orang-orang tersebut tetap tinggal dan menetap di negeri ini
bersamaan dengan pemekaran wilayah Kabupaten SBB. Selain itu pula
yang cukup menarik dari Waisarisa adalah penduduk asli Waisarisa juga
bukan merupakan etnis SBB, melainkan orang-orang yang berasal dari
Pulau Nusalaut di Kecamatan Maluku Tengah. Mereka sudah menempati
tanah ini sekitar dua generasi.
7. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas 5 bab dengan sistematika sebagai berikut : bab I
merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penilitian, kerangka teori yang memaparkan sejumlah kata kunci yang menjadi
19
sandaran penulisan ini, tinjauan pustaka yang mengupas penelitian-penelitian
dengan topik yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda, serta
metodologi penelitian. Bab II akan memaparkan gambaran Kabupaten Seram
Bagian Barat baik letak dan kondisi geografis, demografi, serta deskripsi sejarah
lokal. Deskripsi sejarah lokal diawali dengan mitos tentang asal-usul etnis Seram
sampai pada perjuangan mengusir Belanda dari Seram Barat serta penentuan batas
wilayah yang dirunut dari sejarah tersebut. Bab III akan membahas proses
pemekaran wilayah baik secara administratif maupun secara politik ditingkat
birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah dan dalam lingkup masyarakat SBB
sendiri serta implikasinya dengan isu politik identitas. Bab IV akan menyoroti
identifikasi pendatang dan penduduk lokal dalam kaitannya dengan proses
rekrutmen pegawai negeri, indikator-indikator yang dipakai Pemda untuk
mengetahui pendatang dan penduduk lokal serta upaya-upaya untuk meredam
kemungkinan terjadinya ketegangan antar etnis akibat politisasi identitas dalam
rekrutmen CPNS. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari
seluruh hasil penulisan serta saran-saran.
20
B A B II
SERAM BAGIAN BARAT:
GEOGRAFI, DEMOGRAFI DAN MIT0S-SEJARAH
Sejarah harus dihormati,…..
Sejarah tidak bersinonim dengan nostalgia hampa
atau pemujaan tanpa pandang bulu pada masa lalu.
Sebaliknya, ia mewadahi semua yang telah dibangun selama berabad-abad:
ingatan, lambang-lambang, pranata-pranata, bahasa,
karya seni dan semua hal lain tempat orang bisa terikat secara sah.
(Amin Maalouf, 2004)
1. Pengantar
Desentralisasi pemerintahan yang terjadi saat ini turut membuka artikulasi
keberadaan suatu kelompok etnis yang selama ini merasa didominasi etnis lain.
Berbagai upaya dilakukan etnis itu untuk menggali kembali simbol-simbol budaya
yang sebelumnya terkungkung oleh budaya Orde Baru. Penggalian simbol budaya
ini kemudian menjadi sebuah pemicu ide pemekaran karena adanya kesamaan
budaya yang dianggap berbeda dengan budaya mayoritas/dominan. Oleh sebab
itu setiap komunitas yang relatif homogen mempunyai kebudayaan tersendiri
yang merupakan ciri khas dari kelompok etnis tersebut.24
Dari sinilah perasaan
primordial dibangun, entah itu secara kesukuan ataupun kepercayaan/religi.
24
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007, hlm.2.
21
Bab ini akan memaparkan gambaran Seram Bagian Barat (SBB) bukan
semata-mata sebagai satu kesatuan administratif (geografis, demografi) tetapi juga
sebagai sebuah kesatuan kultural-historis. Hal ini karena pemekaran wilayah yang
berlangsung di tahun 2004 membagi Pulau Seram menjadi tiga wilayah
administratif. Tetapi secara kultural historis masyarakat Seram tetap satu yang
terbagi dalam dua suku, yakni Alune dan Wemale. Kultur historis masyarakat
Seram ini menarik karena sama seperti masyarakat lainnya, masyarakat Seram pun
memiliki sejarah panjang dengan warisan budaya yang sampai saat ini tetap
dipelihara dari generasi ke generasi. Bahkan sejarah awal masyarakat Seram dapat
ditelusuri dari mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Diantaranya mitos Nunusaku.25
Mitos Nunusaku masyarakat Seram sampai saat ini masih dipercaya
merupakan cikal bakal masyarakat Maluku pada umumnya. Dalam tuturan mitos
ini terkandung patokan yang dijadikan penentuan batas wilayah administratif
Seram Bagian Barat pada saat kabupaten ini sedang diperjuangkan menjadi sebuah
wilayah administratif baru. Mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat ini menjadi gambaran kehidupan etnis Seram, bagaimana mereka
memandang diri mereka dan orang-orang lain di sekitar mereka. Mitos Nunusaku
merupakan gambaran kehidupan dalam kebersamaan dengan orang luar.
Mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat Seram dan sejarah panjang
mereka menjadi bukti bahwa sejak dulu etnis Seram bukan etnis yang menutup diri
terhadap etnis lain yang ada disekitarnya, walaupun mereka merupakan etnis
25
Nunusaku secara etimologi berarti pohon beringin. Nunu artinya beringin dan saku artinya pohon.
22
mayoritas. Nunusaku yang menjadi mitos sentral26
etnis Seram merupakan sebuah
gambaran keterbukaan etnis Seram terhadap orang luar. Sehingga pada akhirnya
ketika kabupaten Seram Bagian Barat berdiri, nilai-nilai filosofis Nunusaku
diharapkan dapat tertanam dalam setiap kehidupan etnis Seram, yakni mereka tetap
memandang etnis lain sebagai sesama mereka, kendati terjadi perebutan sumber-
sumber daya publik di Seram Bagian Barat.
Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum Seram
Bagian Barat. Gambaran SBB akan dimulai dengan mengenal SBB lebih dekat
baik letak wilayah, kondisi demografinya serta potensi yang dimiliki oleh SBB
berupa sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Selain itu bab ini juga
berisikan sejarah panjang masyarakat Seram yang dapat ditelusuri lewat mitos-
mitos berkembang dalam kehidupan masyarakat Seram dan yang merupakan dasar
masyarakat Seram berpikir tentang diri mereka. Sejarah ini juga akan menyinggung
perjuangan masyarakat Seram ketika berada dalam penguasaan kolonial Belanda
sampai pada perjuangan untuk mekar menjadi sebuah kabupaten baru.
2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat27
A. Letak Geografis
Seram Bagian Barat (SBB) adalah salah satu kabupaten baru hasil
pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Wilayahnya meliputi Pulau Seram
bagian barat serta beberapa pulau kecil yang berada diseputarnya namun sebagian
besar wilayahnya berada di Pulau Seram. Secara geografis kabupaten ini terletak
26
Kata ini sengaja penulis miringkan untuk menunjukan pentingnya mitos Nunusaku dalam kehidupan etnis Seram 27
Data diambil dari Buku Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007, hasil kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Seram Bagian Barat serta beberapa sumber lainnya.
23
antara 2˚ 55‟ – 3˚ 30‟ Lintang Selatan dan 127˚ - 55˚ Bujur Timur, dengan batas
wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah;
b. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Buru;
c. Sebelah utara dengan Laut Seram;
d. Sebelah selatan dengan Laut Banda.
Ketika melihat peta Seram Bagian Barat maka sudah dapat dipastikan
bahwa kabupaten ini memiliki luas laut yang lebih besar dibandingkan luas
daratannya. Luas laut mencapai 79.005 km² dan luas daratan sekitar 5.176 km² dari
total keseluruhan luas wilayahnya sekitar 84.181 km². Kabupaten ini juga terbagi
atas 4 kecamatan yakni:
1. Kecamatan Huamual Belakang seluas 569,36 km²;
2. Kecamatan Seram Barat seluas 879,92 km²;
3. Kecamatan Kairatu seluas 1.811,60 km² dan,
4. Kecamatan Taniwel seluas 1.915,12 km²
Kabupaten ini terdiri dari 62 pulau dengan Pulau Seram sebagai pulau yang
terbesar dan yang berpenghuni hanya sekitar 10 pulau dan yang tidak berpenghuni
sekitar 52 pulau. Kabupaten ini banyak dialiri aliran sungai besar dan kecil, tetapi
yang menjadi pusat cerita yang diwariskan turun temurun adalah Sungai Tala di
Kecamatan Kairatu, Sungai Eti di Kecamatan Seram Barat dan Sungai Sapalewa di
Kecamatan Taniwel yang oleh Bupati Seram Bagian Barat dikatakan sebagai
“aliran sungai kehidupan”.28
28
Disampaikan pada acara pembukaan seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang Air tanggal 15 Januari 2009, Tabloid Umum Nusa Ina, Kamis 22 s/d Selasa, 27 Januari 2009.
24
Dengan beribukota di Piru maka pelayanan publik dipermudah. Jarak yang
ditempuh dari masing-masing kecamatan ke ibukota kabupaten tidaklah jauh jika
dibandingkan ke ibukota kabupaten lama (Masohi ibukota Kabupaten Maluku
Tengah). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat yang
memakan waktu beberapa jam saja. Kalaupun ada yang masih menggunakan
transportasi laut, hal ini lebih disebabkan pada belum tersedianya akses jalan raya
ke Piru (sampai draf ini ditulis sementara masih dikerjakan) misalnya beberapa
desa di kecamatan Huamual Belakang. Berikut jarak masing-masing kecamatan
dengan Piru selaku ibukota kabupaten :
a. Waesala (Kec. Huamual Belakang) 35,0 km;
b. Piru (Kec. Seram Barat) 1,0 km;
c. Kairatu (Kec. Kairatu) 48,0 km;
d. Taniwel (Kec. Taniwel) 76,7 km.
Dengan melihat jarak antara kecamatan-kecamatan yang ada dengan Piru
selaku ibukota kabupaten maka dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah ini
setidaknya memang telah membantu masyarakat memperpendek jarak untuk
urusan pelayanan publik. Walaupun demikian, ketika Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tentang pemekaran kabupaten ini disahkan, sempat terjadi polemik
seputar letak ibukota kabupaten yang baru tersebut.
B. Kondisi Demografi
Dalam setiap pembangunan, yang menjadi sasaran pembangunan adalah
masyarakat. Di sisi lain penduduk atau masyarakat juga adalah pelaku
pembangunan itu sendiri. Sedangkan pemerintah adalah fasilitator dan pelayan
masyarakat, menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pelayanan bagi
25
aktivitas warga masyarakat. Oleh karena itu sumber daya manusialah yang selalu
diperhatikan oleh pemerintah yang sedang membangun. Hal ini terjadi mengingat
masyarakat di daerah-daerah yang baru dimekarkan selalu menuntut untuk dapat
berperan dalam bidang-bidang pemerintahan.29
Hal ini menjadi masalah apabila
pada daerah-daerah ini kualitas sumber daya manusianya dianggap belum layak
untuk berperan dalam bidang pemerintahan tersebut. Ditambah pula dengan
tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan
pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga terjadi pada Kabupaten SBB.
Jumlah penduduk SBB menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah (BKPMD) Maluku tahun 2004-2005 adalah sekitar 148.988 jiwa dengan
klasifikasi laki-laki :75.115 jiwa sedangkan perempuan 73.873 jiwa yang tersebar
pada empat kecamatan. Kecamatan Seram Barat: 53.909 jiwa; Kecamatan Kairatu:
49.481 jiwa; Kecamatan Taniwel: 16.936 jiwa dan Kecamatan Huamual Belakang:
28.662 jiwa.. Penduduk ini tersebar pada 89 desa serta 126 dusun.30
Jumlah ini
mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Data yang
diperoleh dari Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa
pada tahun 2006 jumlah penduduk SBB sebanyak 157.318 jiwa dan menjadi
158.478 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan penduduk mengalami
peningkatan sebesar 0,62 persen pada tahun 2006 menjadi 0,74 persen pada tahun
2007. Faktor peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi ini pendukungnya
adalah penerimaan pegawai yang cukup banyak tetapi berasal bukan dari
Kabupaten SBB sendiri, melainkan berasal dari Maluku tengah dan kota Ambon,
29
J.W.Ajawaila, “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah”, opini dalam Harian Siwalima, Selasa 23 September 2003 Edisi 243/IX Tahun IV. 30
http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.
26
bahkan luar propinsi Maluku. Selain itu juga masih kurang kesadaran sebagian
penduduk (terutama yang bermukim di pedesaan) untuk membatasi jumlah anak.
Hal ini disebabkan mereka membutuhkan banyak tenaga untuk berkebun dan yang
diharapkan untuk membantu adalah anak-anak mereka sendiri. Selain itu adanya
proses pewarisan nama keluarga/fam yang mengikuti garis keturunan laki-laki,
sehingga setiap keluarga tetap berupaya memiliki anak laki-laki.
Pemda SBB telah berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut.
Hal ini dilakukan mengingat tingginya angka pertumbuhan penduduk selalu tidak
berimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, baik pada birokrasi
pemerintah maupun pada sektor swasta. Oleh karena itu salah satu cara yang
ditempuh pemda adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana
(KB). Program KB ini diharapkan dapat menggugah masyarakat demi alasan
perbaikan hidup anak cucu di kemudian hari.
Selain program KB, perhatian Pemda SBB juga diarahkan pada upaya
pemerataan penyebaran penduduk. Hal ini dikarenakan sekitar 36 persen penduduk
SBB terkonsentrasi di Kecamatan Seram Barat. Padahal luas kecamatan ini hanya
17 persen dari luas kabupaten. Keadaan ini kontras dengan kecamatan Taniwel.
Kecamatan Taniwel memiliki luas sekitar 37 persen dari luas seluruh kabupaten
tetapi hanya dihuni oleh sekitar 11 persen dari jumlah penduduk SBB. Pemda
Kabupaten SBB boleh saja berupaya melakukan penyebaran penduduk agar tidak
hanya terkonsentrasi pada Kecamatan Seram Barat yang dianggap sudah padat.
Namun tindakan nyata pemda untuk mengurangi kepadatan itu belumlah nampak.
Program ini akan menemui kesulitan jika pemda tidak memiliki gambaran jelas
penyebab terjadinya ketimpangan penyebaran penduduk tersebut.
27
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
penyebaran penduduk. Misalnya, Piru sebagai ibukota kabupaten, sedikit banyak
memberikan sumbangan bertambahnya jumlah penduduk yang mendiami Piru dan
daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat semua
kegiatan administrasi pemerintahan maupun ekonomi berpusat di Piru. Selain itu
akses jalan raya yang menghubungkan Piru dengan dua kecamatan lainnya
(Huamual belakang dan Taniwel) rusak parah, apalagi di musim hujan. Ini
menyebabkan lambatnya pembangunan di dua kecamatan ini. Pembangunan yang
berjalan lambat di dua kecamatan ini tentu saja akan menghambat laju
perekonomian karena pengusaha lokal yang berasal dari luar kecamatan ini enggan
berinvestasi di daerah-daerah ini. Tingginya modal yang harus dikeluarkan tidak
seimbang dengan daya dukung masyarakat. Akibatnya justru mereka akan merugi.
Dalam bidang pendidikan, Pemda SBB telah berupaya semaksimal
mungkin mengupayakan pendidikan yang layak bagi warganya. Upaya-upaya itu
diantaranya dengan mengadakan program pemberantasan buta huruf serta
penambahan jumlah tenaga pengajar (guru) dan sejumlah gedung sekolah yang
pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah siswa. Hal ini dilakukan dengan
harapan ketersediaan fasilitas-fasilitas pendidikan akan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Jumlah sekolah sampai tahun 2005 adalah 274 buah dengan rincian
TK: 17, SD/MI: 183, SLTP/MTS: 52 dan SMU/MA: 22.31
C. Sumber Daya dan Pembangunan
Sebagaimana diungkapkan Bosko bahwa dengan adanya permintaan akan
persediaan sumber daya alam menyebabkan adanya pencarian dan gerakan
31
http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.
28
eksploitasi sumber-sumber ini sampai pada daerah-daerah terpencil.32
Di sela-sela
upaya peningkatan dan optimaliasi SDM yang sedang gencar-gencarnya dilakukan
oleh Pemda SBB, berdasarkan hasil survei para ahli yang khusus didatangkan dari
Jakarta, kabupaten ini bukan hanya berlimpah dengan hasil hutan, perkebunan atau
hasil laut (ikan dan mutiara), tetapi juga telah ditemukan sejumlah titik yang
mengandung hasil tambang bernilai jual tinggi, diantaranya nikel dan emas.
Bahkan menurut seorang informan, hasil tambang nikel dan emas jika nantinya
diolah hasilnya dapat dipakai untuk membangun Kota Piru sebagai ibukota
kabupaten, terutama di bidang infrastruktur. Apalagi dalam merancang tata kota
ini pemda mengadakan kerja sama dengan ITB.33
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bisa jadi suatu saat nanti ada perusahaan yang tertarik untuk
berinvestasi dan bekerja sama dengan pemda SBB. Keuntungannya dapat dipakai
untuk pembangunan daerah.
Pembangunan di bidang infrastruktur ini ditegaskan karena memang sampai
saat ini kantor-kantor masih dibangun secara bertahap. Misalnya saja kantor bupati
masih menggunakan bekas kantor Camat Seram Barat karena kantor definitifnya
masih belum dibangun (sementara masih dalam penggusuran jalan ke lokasi
kantor). Bahkan ada sebagaian instansi yang masih mengontrak/menyewa rumah-
rumah warga sebagai kantor (misalnya Kesbanglinmas, kantor Pendidikan dan
Olahraga, dll). Dalam pandangan penulis sendiri sebenarnya tidak layak disebut
kantor apalagi dalam konteks kabupaten. Hal ini dikarenakan dengan ruangan yang
sempit dan jumlah ruangan yang terbatas sangat menyulitkan pelayanan
32
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam (terjem), Jakarta, Elsam, 2006, hlm. 84. 33
Wawancara dengan seorang bapak berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008.
29
administrasi kepada warga. Belum lagi pada siang hari sering terjadi pemadaman
listrik dari PLN sehingga semakin memperumit pengurusan. Dari kondisi ini
terlihat belum adanya kesiapan SBB sebagai kabupaten baru dalam hal persiapan
infrastukturnya, bahkan sampai ulang tahun yang ke-5 tanggal 07 Januari 2009
lalu.
3. Sejarah Lokal Masyarakat SBB
Terbentuknya kabupaten Seram Bagian Barat tidak dapat dipisahkan dari
sejarah masyarakat adat yang ada sampai saat ini. Bagi masyarakat adat SBB,
sejarah tentang asal-usul mereka tidak akan terlupakan. Apalagi konflik yang
mendera Propinsi Maluku beberapa waktu lalu ikut menegaskan keberadaan
mereka sebagai penjaga “Nusa Ina”34
.
Sampai saat ini etnis Seram masih mempercayai cerita tentang Nunusaku
dan asal-muasal mereka sebagai orang Seram. Bahkan bukan cuma etnis Seram
tetapi orang Maluku pada umumnya. Walaupun demikian mereka tidak dapat
mengatakan bahwa cerita ini merupakan sebuah mitos ataukah sejarah. Bagi
mereka itu tidak terlalu penting dibandingkan makna filosofis yang terkandung
dalam cerita tersebut.35
Hal ini tentu dapat dipahami mengingat cerita ini sudah
turun temurun diwariskan oleh orang-orang tua mereka. Penulispun mendengar
tuturan cerita yang sama oleh orang tua yang adalah etnis Seram, dan penulispun
menganggap bahwa cerita Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos. Sebab
sampai saat ini ada beberapa versi cerita tentang Nunusaku tersebut. Pertanyaan
34
Nusa Ina merupakan sebutan untuk Pulau Seram. Nusa Ina sendiri artinya Pulau Ibu. Nusa artinya pulau dan Ina artinya Ibu. Ada banyak cerita yang berkembang seputar penyebutan Pulau Seram
sebagai “Pulau Ibu” 35
Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009
30
yang muncul adalah benarkah Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos? Lalu
apakah sebenarnya mitos itu?
Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai apa yang terjadi di masa
lalu. Sejarah di sini dipahami sebagai sejarah kudus/sakral karena berbicara tentang
sesuatu yang bersifat mistis. Ia hadir untuk memproklamirkan kehadiran sebuah
situasi kosmis baru atau sebuah kejadian kuno.36
Dengan demikian dapat dipahami
dari pemikiran Eliade bahwa mitos merupakan cara masyarakat arkais
menceritakan keberadaan mereka melintasi dunia yang supra-natural menuju
kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus sehingga perlu adanya pewarisan
bagi generasi berikutnya. Bahwa untuk mengetahui keberadaan/asal usul maupun
segala ritus-ritus dan tindakan mereka di dunia dapat dipahami melalui
kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh mitos tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Eliade di atas ketika dibenturkan dengan
pandangan etnis Seram tentang Nunusaku, maka akan dijumpai sebuah makna
mendalam. Makna inilah yang diyakini merupakan kosmologi etnis Seram tentang
keberadaan mereka. Cerita Nunusaku hadir untuk menceritakan kejadian kuno
etnis Seram. Kejadian ini adalah cerita tentang awal mula kehidupan etnis Seram
dibawah pemerintahan sebuah kerajaan besar namun akhirnya hancur karena
adanya perpecahan dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan Eliade, Susanto
mengelompokkan mitos ke dalam beberapa tipe, yakni mitos kosmogoni
(menceritakan tentang penciptaan alam semesta secara keseluruhan) dan mitos
asal-usul (menceritakan tentang asal mula segala sesuatu, asal mula makluk hidup,
pulau-pulau, tempat-tempat suci, dsb). Tipe mitos asal-usul ini melengkapi mitos
36
Mircea Eliade, Sakral dan Profan (terjemahan), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002, hlm. 94.
31
kosmogoni, menceritakan tentang bagaimana dunia itu diubah, ditambah atau
dikurangi.37
Dari pengertian mitos serta beberapa tipenya, cerita Nunusaku dapat
dikatagorikan sebagai mitos asal-usul. Sebab cerita Nunusaku inilah yang menjadi
dasar kepercayaan masyarakat Seram dan Maluku pada umumnya tentang asal-
usul keberadaan mereka sebagai penduduk pribumi yang menempati pulau-pulau di
Maluku. Selain itu keberadaan Nunusaku tidak dapat dibuktikan secara faktual,
walaupun banyak tetua adat menyatakan bahwa Nunusaku berada di salah satu
gunung di Seram Bagian Barat. Bagi sebagian etnis Seram, ada yang merasa takut
untuk menceritakan kisah Nunusaku bahkan untuk mencari tahu letak Nunusaku
tersebut melebihi apa yang diketahui. Karena bagi mereka ini merupakan sebuah
hal yang tabu (mengandung sanksi baik bagi individu maupun kelompoknya).
A. Mitos yang Berkembang dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat
Menurut tuturan para tetua adat bahwa pada awalnya di Pulau Seram (Nusa
Ina) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Nunusaku. Diperkirakan bahwa
Nunusaku ini berada di wilayah Seram Bagian Barat.38
Dalam kerajaan ini
terdapat kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaannya. Kelompok yang pertama
adalah kelompok menenun atau dalam bahasa tana39
disebut kelompok Auna
(yang akhirnya melahirkan suku Alune) dan kelompok kedua adalah kelompok
berburu atau kelompok Wema (menurunkan suku Wemale). Kelompok ini timbul
37
Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm. 74,76-77. 38
J. E. Lokollo, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998, hlm. 3. 39
Bahasa tana merupakan istilah masyarakat lokal yang menunjuk pada bahasa daerah setempat (Seram/Alune dan Wemale). Bahasa ini umumnya dipakai pada upacara-upacara adat.
32
karena adanya kebiasaan yang sama. Walaupun demikian bahasa yang digunakan
saat itu masih satu artinya bahasa komunikasi mereka masih sama. Dari dua
kebiasaan yang berbeda ini mulailah terjadi segregesi dalam masyarakat
Nunusaku.40
Suatu ketika terjadi kekacauan (perang saudara) di Nunusaku. Alasan
peperangan karena kedua kelompok (Wema dan Auna) memperebutkan Rapie
Hainuwele41
, perempuan yang terkenal paling cantik di kerajaan tersebut. Karena
terjadi peperangan, seluruh penduduknya menyebar ke seluruh pulau (Pulau
Seram) bahkan ada yang sampai meninggalkan pulau dan menyeberang ke pulau-
pulau lainnya di Maluku.42
Setelah perpisahan tersebut, para orang tua dari kedua
kelompok kemudian menurunkan bahasa yang berbeda kepada anak cucu mereka.
Kelompok Auna kemudian menurunkan suku Alune dengan bahasa Alune dan
kelompok Wema menurunkan suku Wemale dengan bahasa Wemale. Lama
kelamaan bahasa asli yang mereka gunakan ketika masih sama-sama di Nunusaku
perlahan-lahan mulai hilang.43
Pengakuan bahwa penduduk yang mendiami
pulau-pulau di Maluku berasal dari Pulau Seram bukan hanya milik orang Seram
semata. Pengakuan ini juga milik orang Maluku pada umumnya. Mereka juga
menganggap bahwa memang tete nene moyang44
mereka berasal dari Pulau Seram
40
Wawancara dengan beberapa orang tua etnis SBB, tanggal 25 Februari 2009 dan 2 Maret 2009 41
Mitos tentang Rapie Hainuwele ini merupakan awal terjadinya peperangan antara kedua kelompok dalam masyarakat Nunusaku. Rapie Hainuwele sendiri artinya putri yang berasal dari
kuming kelapa. Mitos Rapie Hainuwele ini sudah ditulis oleh Agustina Kakiay dalam tesis tahun
2001. 42
Wawancara dengan Bapak AS, tanggal 18 Desember 2008, hal ini ikut pula menegaskan keyakinan masyarakat Maluku bahwa mereka berasal dari Pulau Seram. 43
Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat SBB berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009. 44
Tete nene adalah sebutan lokal untuk kakek nenek, tetapi dalam konteks bahasa diatas diterjemahkan sebagai nenek moyang atau para leluhur.
33
dan setelah beranak pinak, mereka akhirnya menyebar ke seluruh wilayah
Maluku.45
Menurut Lokollo, ada beberapa perkembangan kehidupan sosial di
Nunusaku yang ikut membuat masyarakatnya berpencar. Diantaranya adalah
adanya pertambahan jumlah penduduk, dasar ucapan dan cara rumpun Patasiwa
dan Patalima berbahasa dan adanya perbedaan ketrampilan, antara lain cara
menenun pakaian diantara anggota kedua rumpun tersebut.46
Patasiwa adalah
kelompok sembilan dan patalima adalah kelompok lima. Masyarakat Maluku
Tengah (termasuk Seram Barat) umumnya termasuk salah satu kelompok ini.
Adapun susunan sosial kelompok sembilan terdiri dari sembilan satuan yang lebih
kecil, misalnya sembilan pemukiman, dsb. Begitu pula dengan kelompok lima.47
Itu berarti bahwa susunan dan perangkat negeri/desa atau adat tersebut termasuk
dalam kelompok Patasiwa atau Patalima.
Dari pembagian itu dapatlah dikatakan bahwa penghuni Pulau Seram pada
umumnya terdiri dari dua suku, yakni Alune dan Wemale. Terjadinya perpecahan
dalam masyarakat Nunusaku ikut menentukan terbentuknya kelompok-kelompok
baru. Terbentuknya kelompok baru ini dengan membawa pola kehidupan sama
dari kelompok asal mereka yang pada akhirnya mereka pelihara sampai menyebar
ke pulau-pulau lainnya di Maluku, terutama Ambon-Lease (Saparua, Haruku dan
Nusalaut).
45
Pemda Propinsi Maluku, The Wondeful Islands Maluku, Jakarta-Ambon, Gibon Books dan Pemprov Maluku, 2008, hlm. 82. 46
J. E. Lokollo, op cit, hlm. 8, hal ini juga diungkapkan oleh NE, tanggal 2 Maret 2009 47
Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (terjemahan), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 118.
34
Menurut Cooley, kelompok Patasiwa menghuni wilayah Seram sebelah
barat Sungai Mala, sedangkan orang-orang Patalima menghuni daerah-daerah
sebelah timurnya.48
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan salah satu tokoh
masyarakat SBB bahwa kelompok Patalima menghuni wilayah sebelah timur
Sungai Makina (perbatasan Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB dengan
Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah) dan di sebelah selatannya
dengan Sungai Mala. Jadi wilayah sebelah timur sungai Mala merupakan wilayah
Patalima. Sedangkan sebelah barat Sungai Mala dan Makina merupakan wilayah
Patasiwa. Walaupun demikian ada juga kelompok patasiwa yang pada akhirnya
masuk pada wilayah patalima dan begitu pula sebaliknya. Dalam pandangan
masyarakat Seram, kelompok patasiwa dan patalima merupakan nama lain dari
suku Wemale dan Alune. Tetapi ada perkecualian untuk suku Wemale, misalnya
saja tidak semua suku Wemale termasuk dalam kelompok Patasiwa, Wemale
Ulipatai49
ada sebagian Patasiwa dan ada sebagian Patalima.50
Kelompok Patasiwa dan Patalima ini mungkin merupakan gabungan dari
beberapa sub-sub suku dari Alune dan Wemale dan mungkin juga merupakan
sebuah bentuk kelompok politik yang berupaya membendung serangan dari Utara
(empat kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo/Halmahera).
Hal lain yang berkembang juga adalah bahwa ketika terjadi perang antara Patasiwa
dan Patalima yang memakan banyak korban, orang-orang tua dari kedua
kelompok bersepakat untuk melupakan permusuhan dan mengangkat sumpah
48
Frank L. Cooley, ibid, hlm. 119 49
Ini merupakan nama sub suku yang diberikan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Selain Wemale Ulipatai ada juga Wemale Yapioupatai yang menghuni daerah Elpaputi yang secara
administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku tengah, sedangkan Wemale Ulipatai masuk
dalam wilayah administratif Kabupaten SBB (Kecamatan Taniwel). 50
Wawancara tanggal 2 Maret 2009.
35
untuk hidup bersatu dalam perdamaian satu dengan yang lain dan tidak ada lagi
bakalai51
apalagi dalam skala besar seperti konflik Maluku.
Perjanjian orang-orang tua antara dua kelompok tadi dilakukan di batas
wilayah kedua kelompok, yakni di Kali Makina dan Kali Mala. Janji ini dipegang
teguh supaya pada gilirannya nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya. Bahkan menurut penuturan salah satu orang tua, adanya janji ini
dapat memotivasi seluruh aparatur SBB agar memiliki kinerja yang baik. Dari
peristiwa itu diperkirakan muncul istilah miloku atau maloku, yang artinya diikat
menjadi satu. Diduga bahwa kedua kata ini ikut melahirkan kata Maluku yang
diambil menjadi nama propinsi.52
Selain itu pula bahwa kata miloku dan maloku
dianggap pula berasal dari bahasa Maluku Utara atau setidaknya telah mendapat
pengaruh dari bahasa Maluku Utara. Hal ini dapat dipahami mengingat pada saat
itu telah terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
B. Masa Kolonial Belanda
Ketika Belanda menguasai Maluku, seluruh etnis Seram/Nusa Ina
mengadakan perlawanan. Kekuasaan Kolonial Belanda menghancurkan sistem
Pata/Uli. Sebagai gantinya Belanda mendirikan negeri-negeri/desa yang berdiri
sendiri yang langsung tunduk kepada pejabat-pejabat VOC.53
Hal ini dilakukan
Belanda guna mempersempit ruang gerak masyarakat pribumi supaya tidak
mengadakan perlawanan. Dengan kata lain, untuk mempermudah penguasaan
daerah-daerah yang dianggap potensial mengadakan perlawanan, pemerintah
kolonial menyeragamkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal. Selain itu juga untuk
51
Pertengkaran/perkelahian 52
Wawancara tanggal 2 Maret 2009 53
Frank L. Cooley, op.cit, hlm. 224
36
membantu Belanda memperlancar monopoli perdagangan rempah-rempah yang
sangat laku di pasaran Eropa.
Ketika Belanda datang dan menggantikan Portugis, mereka membentuk
Inama-inama (semacam kantong-kantong pemerintahan) dengan tujuan untuk
dapat menguasai Seram dan memadamkan perlawanan-perlawanan masyarakat
yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Di daerah Seram Bagian Barat
dibentuk tiga inama besar yang meliputi tiga sungai besar di daerah itu, yakni
Inama Etibatai (secara administratif masuk Kecamatan Seram Barat), Inama
Talabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Kairatu) dan Inama
Sapalewabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Taniwel). Dari ketiga
Inama ini diangkatlah lembaga tua-tua adat (Saniri) yang nantinya mengatur
kehidupan masyarakat yang berada pada ketiga Inama tersebut, tetapi tetap tunduk
secara mutlak kepada pejabat VOC.
Adapun pembentukan ketiga inama ini berdasarkan pada aliran ketiga
sungai tersebut, yakni Tala, Eti dan Sapalewa. Menurut informasi seorang bapak
bahwa pembentukan berdasarkan sungai-sungai ini karena menurut cerita yang
dia terima dari orang-orang tua, kapala air (hulu) ketiga sungai berasal dari
Nunusaku tersebut. Air yang keluar dari sebelah bawah akar beringin (nunu)
kemudian tertampung dalam sebuah danau dimana danau inilah yang menjadi
kapala air ketiga sungai.54
Itulah mengapa sampai ketiga air ini sangat penting
bagi kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat. Mereka tetap menganggap diri
mereka satu, karena berasal dari satu kapala.
54
Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009
37
Selain itu menurut informan tersebut, Belanda juga ingin membentuk
Inama Ulipatai yang meliputi wilayah seputar Sungai Uli. Namun ini tidak jadi
dilaksanakan entah apa sebabnya. Tetapi pada intinya inama-inama dibentuk
Belanda guna pengendalian kekuasaan. Hal ini dilakukan karena sebelum Belanda
menguasai Seram, telah terjadi perang antara etnis Seram/Nusa Ina melawan
Portugis yang dikenal dengan nama Perang Sahulau. Bahkan menurut tuturan
orang-orang tua, hal ini merupakan perang pertama kalinya di Maluku, walaupun
kepastian tahunnya tidak jelas dan tidak pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.55
Ternyata usaha Belanda untuk menaklukkan Seram Barat melalui
pendekatan pada daerah-daerah adat sama seperti cara yang dipakai di Kalimantan.
Dengan menggunakan pendekatan adat, yakni mengayau (headhunting) yang
memiliki citra yang mampu menimbulkan dampak psikologis kepada publik
sangat besar untuk kemudian dipakai mencapai kepentingan kolonial.56
Kedua cara
ini memang kelihatannya cukup berhasil dengan makin bertambahnya wilayah-
wilayah jajahan.
Walaupun inama-inama telah dibentuk namun masih saja terjadi berbagai
perlawanan masyarakat ketiga inama tersebut. Salah satunya adalah perlawanan
masyarakat Taniwel yang pada saat itu masih berdiam di daerah pegunungan.
Daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Riring-Romasoal dan Uweng
Pegunungan. Hal ini dikarenakan kedua daerah ini merupakan pusat perlawanan
dari daerah Taniwel. Pada tahun 1820 terjadi perang Romasoal, dan di tahun 1825-
55
Wawancara tanggal 18 Desember 2008 dan 2 Maret 2009. 56
John Bamba, “Borneo Headhunters : Imej dan Manipulasi” dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan
CSEAS Universitas Kyoto, 2006, hlm. 117-118.
38
1826 Belanda mengadakan ekspedisi ke Romasoal dan berhasil menaklukannya.57
Selain itu juga daerah-daerah lain di Seram Barat dapat ditaklukkan oleh Belanda.
Dari penaklukan inilah, Belanda semakin memperketat keamanan dengan
membentuk Saniri Tiga Batang Air (Tala, Eti dan Sapalewa) yang sangat berperan
dalam menggalang persatuan di antara masyarakat adat ketiga inama tersebut.
Selain itu ketiga inama ini memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan peraturan-
peraturan yang berlaku pada ketiga wilayah ini. Kepemimpinan Saniri Tiga Batang
Air ini merupakan contoh besarnya peran lembaga-lembaga adat dalam kehidupan
masyarakat Maluku.58
4. Sejarah Panjang yang Berujung Pada Pemekaran Wilayah
Ketika pada akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia dan
meninggalkan Indonesia, akar masyarakat adat ketiga inama itu telah tertanam
dalam kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat hingga saat ini. Ketika pada
akhirnya otonomisasi daerah yang memungkinkan pengembangan daerah propinsi
dan kabupaten/kota muncul, ada suatu pemikiran untuk berdiri sendiri lepas dari
kabupaten Maluku Tengah. Dengan bermodalkan sejarah panjang itu masyarakat
Seram Bagian Barat menuntut hak untuk dapat mengatur kehidupan mer