22
PemerintaH pemerintahan Refleksi pada Era Reformasi dan DaeraH Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia

PemerintaH - bisariyadi.files.wordpress.com filePemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) xiv DAFTAR ISI JALAN

  • Upload
    lyxuyen

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PemerintaH pemerintahan

Refleksi pada Era Reformasi

dan

DaeraHMembaca

Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia“

Insight IndonesiaProjectP U B L I S H I N G

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH: REFLEKSI PADA ERA REFORMASI

(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

Penulis:Yuzuru Shimada,

Bhima Yudhistira Adhinegara, dkk

Editor: Budy Sugandi & Ali Rif’an

Desain Cover & LayoutTeam Aura Creative

PenerbitAURA

CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI

No.003/LPU/2013

xviii+ 159 hal : 15.5 x 23.5 cmCetakan, Juli 2018

ISBN: 978-602-5636-85-1

AlamatJl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, Komplek Unila

Gedongmeneng Bandar LampungHP. 081281430268

E-mail : [email protected] Website : www.aura-publishing.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

xiv

DAFTAR ISI

JALAN TERJAL OTONOMI DAERAH ....................................................... v INDONESIA SETELAH 20 TAHUN REFORMASI .................................. viii PENGANTAR EDITOR ................................................................................. xiii DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI

Pembangunan Otonomi Daerah Jepang dan Hubungan Pusat-Daerah: Satu Perbandingan Dengan Indonesia Profesor Yuzuru Shimada, Graduate School of International Development, Nagoya University, ................................................................... 1 Otonomi Daerah Pemicu Ketimpangan Bhima Yudhistira Adhinegara, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) .................................................................... 8 Konflik Agama dan Kapasitas Deliberatif Pemerintah Daerah: Studi tentang Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Resolusi Konflik Adhi Cahya Fahadayna, Northeastern University, Boston .................. 14 Pemerintah Daerah dan Politik Tata Ruang: Otoritas dan Ruang sebagai Sumber Daya yang Terbatas M. Fajar Shodiq Ramadlan, Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya .......................................................................................... 27 Elaborasi Terhadap Koneksitas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Refleksi UU Pemda Terkait Kebhinnekaan Winda Wijayanti, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI..................................................................................... 36

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) xv

DAFTAR ISI

JALAN TERJAL OTONOMI DAERAH ....................................................... v INDONESIA SETELAH 20 TAHUN REFORMASI .................................. viii PENGANTAR EDITOR ................................................................................. xiii DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI

Pembangunan Otonomi Daerah Jepang dan Hubungan Pusat-Daerah: Satu Perbandingan Dengan Indonesia Profesor Yuzuru Shimada, Graduate School of International Development, Nagoya University, ................................................................... 1 Otonomi Daerah Pemicu Ketimpangan Bhima Yudhistira Adhinegara, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) .................................................................... 8 Konflik Agama dan Kapasitas Deliberatif Pemerintah Daerah: Studi tentang Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Resolusi Konflik Adhi Cahya Fahadayna, Northeastern University, Boston .................. 14 Pemerintah Daerah dan Politik Tata Ruang: Otoritas dan Ruang sebagai Sumber Daya yang Terbatas M. Fajar Shodiq Ramadlan, Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya .......................................................................................... 27 Elaborasi Terhadap Koneksitas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Refleksi UU Pemda Terkait Kebhinnekaan Winda Wijayanti, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI..................................................................................... 36

Rasionalitas Desentralisasi Asimetris dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Faiz Rahman, Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada............................................ 46

REFORMASI HUKUM DAN POLITIK

Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Iklim Demokrasi Daerah Hani Adhani, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, International Islamic University Malaysia (IIUM), Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi RI .............................................................. 59 Masihkah Hukum Alam Diperlukan Dalam Reformasi? Tomy Michael, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya .................................................................................................................... 67 Perihal Pemekaran Wilayah dan Tapal Batas Daerah Yang Menjadi Problematika Konstitusi Bisariyadi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI .............................................................................................................. 73 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Pan Mohamad Faiz, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI..................................................................................... 90 Quo Vadis Pengujian Perda/Perkada Luthfi Widagdo Eddyono, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI, aktif pada Center for Democratization Studies, Insight Indonesia, dan Indonesia Turkey Research Community ............................................................................ 98 Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Luthfi Widagdo Eddyono, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI, aktif pada Center for Democratization Studies, Insight Indonesia, dan Indonesia Turkey Research Community ............................................................................ 105

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

xvi

REFORMASI BIROKRASI DAN PENYELENGGARAAN

DEMOKRASI

Transparansi Informasi Publik Andry Simatauw, Institut Agama Kristen Negeri Ambon ................... 113 Pelembagaan, Check and Balances dan Korupsi di Daerah Pasca Reformasi Iqbal Fajar Dwiranda, Pusat Pengkajian Inovasi Kelembagaan dan Pemerintah Daerah (PUSPIDA) ........................................................ 119 Trend Korupsi Pemerintahan Daerah Di Era Reformasi Oly Viana Agustine, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI..................................................................................... 127 Menyoal Kebijakan Birokrasi salam (Pusaran) Reformasi Tedi Sudrajat, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ................................................................................................................ 135 Televisi Lokal di Masa Reformasi Tri Sulistianing Astuti, Center for Democratization Studies dan Insight Indonesia .................................................................................................... 142 Pelayanan Publik Zaman Now Vica Jillyan Edsti Saija, Fakultas Hukum Universitas Pattimura ..... 149

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 73

Referensi: Ana Marta González. Contemporary Perspectives on Natural Law:

Natural Law as a Limiting Concept, 2012, Ashgate Publihing. John Locke, Second Treatise of Government, 2008. Patrialis Akbar, Hubungan Lembaga Kepresidenan Dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Dan Veto Presiden, 2013, Yogyakarta, Total Media.

Polybius, The Rise Of The Roman Empire, 2014, England, Penguin Group.

Ramlan Surbakti, Reformasi Kekuasaan Presiden, 1998, Jakarta, PT Grasindo.

Thomas Hibbes, De Cive or The Citizen, 1949, America, Appleton-Century-Crofts Incorporated.

Tomy Michael, Memaknai Pemikiran Jean-Jacques Rousseau Tentang Kehendak Umum Menciptakan Keadilan, Prosiding Kajian Multi Disiplin Ilmu Dalam Pengembangan IPTEKS Untuk Mewujudkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Saing Global, Universitas Stikubank Semarang, 28 Juli 2016, hal. 528-534.

Perihal Pemekaran Wilayah dan Tapal Batas Daerah Yang Menjadi Problematika Konstitusi

Bisariyadi

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI Pendahuluan Pasal 18(1) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia dibagi atas provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten kota. Susunan konstitusional (constitutional arrangement) ini adalah untuk mengukuhkan bentuk negara kesatuan yang diadopsi oleh Indonesia sejak menjadi negara merdeka. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012. Pertimbangan majelis hakim memuat pandangan bahwa pilihan kata “dibagi” yang digunakan oleh para penyusun Perubahan UUD 1945 adalah untuk menghindari frasa “terdiri dari” atau “terdiri atas” (para. [3.13.1]). Frasa “terdiri atas” akan menimbulkan penafsiran bahwa daerah provinsi, kabupaten atau kota telah ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Sebaliknya, kata “dibagi” memberikan konstruksi bahwa wilayah negara kesatuan Indonesia telah terbentuk kemudian dibagi-bagi menjadi provinsi, kabupaten atau kota.

Pemerintah pusat tidak pernah mengharamkan pembentukan atau pemekaran daerah-daerah baru. Akan tetapi, perbedaan yang mencolok terlihat pada jumlah daerah-daerah baru yang dibentuk sebelum dan sesudah era reformasi (lihat tabel 1). Pada masa Orde Baru, pemerintah pusat memegang kendali penuh akan pembentukan daerah otonom baru (DOB) sedangkan pada masa reformasi pembentukan DOB menekankan pada proses bottom up. Dinamika masyarakat pada zaman reformasi menginginkan agar masyarakat senantiasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan hingga bahkan menjadi insiator kebijakan. Dalam konteks pemekaran wilayah, kebijakan pembentukan DOB banyak yang datang dari masyarakat. Tidak aneh bilamana kemudian jumlah daerah-daerah otonom baru meningkat pesat.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

74

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum

1999 Sesudah 1999

Jumlah Penambahan

%

Provinsi 26 34 8 30,7% Kabupaten 234 415 181 77,3% Kota 59 93 34 57,6%

Sumber: Kemendagri, 2017

Seiring menjamurnya pemekaran wilayah terdapat sebuah persoalan pelik. Pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan kemampuan daerah untuk berkembang secara mandiri. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011, terhadap 34 Kota dan 164 Kabupaten hasil pemekaran menunjukkan bahwa ada 15 Kota dan 71 Kabupaten yang memiliki skor dibawah rata-rata dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat, tata kelola pemerintahan, ketersediaan pelayanan publik dan peningkatan daya saing daerah (2011: 47). Artinya, ada 43% daerah otonom baru yang belum bisa untuk menggerakkan roda pemerintahan secara mandiri.

Dalam konteks penyelenggaraan fiskal, studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyimpul kan bahwa kinerja keuangan DOB cenderung konstan sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung naik (2008: 32). Ditambah lagi dengan fakta bahwa DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibanding daerah induk, dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang makin melebar.

Pemerintah berupaya menahan laju pemekaran dengan mengeluarkan kebijakan moratorium (Berita Kemendagri, 2017). Meskipun, kebijakan ini mendapat pertentangan dari beberapa kalangan politisi di parlemen (RMOL.co, 2017). Tri Ratnawati mensinyalir bahwa pemekaran wilayah merupakan salah satu strategi pemenangan partai politik, selain juga sebagai bentuk agenda politik terselubung dengan melihat banyaknya proses legislasi pemekaran wilayah datang dari inisiatif parlemen (2009:15).

Persoalan pemekaran wilayah tidak hanya berhenti pada ruang perdebatan politik. Akan tetapi, permasalahan ini telah merambah pada lingkup kewenangan peradilan, terutama peradilan konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah banyak terlibat dalam memutus

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 75

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum

1999 Sesudah 1999

Jumlah Penambahan

%

Provinsi 26 34 8 30,7% Kabupaten 234 415 181 77,3% Kota 59 93 34 57,6%

Sumber: Kemendagri, 2017

Seiring menjamurnya pemekaran wilayah terdapat sebuah persoalan pelik. Pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan kemampuan daerah untuk berkembang secara mandiri. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011, terhadap 34 Kota dan 164 Kabupaten hasil pemekaran menunjukkan bahwa ada 15 Kota dan 71 Kabupaten yang memiliki skor dibawah rata-rata dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat, tata kelola pemerintahan, ketersediaan pelayanan publik dan peningkatan daya saing daerah (2011: 47). Artinya, ada 43% daerah otonom baru yang belum bisa untuk menggerakkan roda pemerintahan secara mandiri.

Dalam konteks penyelenggaraan fiskal, studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyimpul kan bahwa kinerja keuangan DOB cenderung konstan sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung naik (2008: 32). Ditambah lagi dengan fakta bahwa DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibanding daerah induk, dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang makin melebar.

Pemerintah berupaya menahan laju pemekaran dengan mengeluarkan kebijakan moratorium (Berita Kemendagri, 2017). Meskipun, kebijakan ini mendapat pertentangan dari beberapa kalangan politisi di parlemen (RMOL.co, 2017). Tri Ratnawati mensinyalir bahwa pemekaran wilayah merupakan salah satu strategi pemenangan partai politik, selain juga sebagai bentuk agenda politik terselubung dengan melihat banyaknya proses legislasi pemekaran wilayah datang dari inisiatif parlemen (2009:15).

Persoalan pemekaran wilayah tidak hanya berhenti pada ruang perdebatan politik. Akan tetapi, permasalahan ini telah merambah pada lingkup kewenangan peradilan, terutama peradilan konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah banyak terlibat dalam memutus

konstitusionalitas UU yang merupakan dasar pembentuk daerah otonom baru. Uraian Statistik Perkara Konstitusi dalam hal Pemekaran Wilayah Hingga saat ini, MK telah memeriksa dua puluh empat (24) Undang-Undang yang merupakan dasar pembentukan daerah otonom. Pemeriksaan UU ini dijabarkan dalam 30 perkara konstitusi, dimana satu perkara masih dalam tahap persidangan dan belum diputus oleh MK (Lampiran I).

Diagram 1. Statistik Putusan MK dalam Perkara Pengujian UU

Pemekaran Daerah

Dari 29 perkara yang telah diputus MK (Diagram 1), tiga (3) diantaranya ditarik kembali oleh pemohon. Putusan MK lebih didominasi oleh putusan “tidak dapat diterima” sebanyak 13 putusan. Putusan ini berarti permohonan yang diajukan bukanlah merupakan kewenangan MK atau pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum. Dalam hal pemeriksaan pokok perkara, MK memutus untuk “menolak” delapan (8) permohonan dan lima (5) putusan menyatakan mengabulkan permohonan.

10%

17%

28%

45%

Penarikan Kembali Dikabulkan

Ditolak Tidak Dapat Diterima

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

76

MK mengabulkan permohonan dalam hal (1) pembatalan pembentukan provinsi Irian Jaya Tengah yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 (Putusan 018/PUU-I/2003); (2) Memasukkan Pulau Berhala kedalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 (Putusan 62/PUU-X/2012); (3) Perubahan batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2003 (Putusan 123/PUU-VII/2009); (4) Memasukkan Distrik-distrik tertentu dalam Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong ke dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw yang dikukuhkan dalam UU Nomor 56 Tahun 2008 (Putusan 127/PUU-VII/2009); dan (5) Memindahkan ibukota Kabupaten Maybrat dari Kumurkek menjadi Ayamaru, yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2009 (Putusan 66/PUU-XI/2013). Bila memperhatikan beberapa putusan MK yang mengabulkan permohonan, isu yang menjadi pokok perkara sukup beragam. Beberapa putusan ini juga merefleksikan pemeriksaan perkara pengujian konstitusionalitas UU yang membentuk daerah otonom secara umum. Keberagaman isu tersebut dapat dikelompokkan menjadi antara lain mencakup (1) persoalan batas wilayah, (2) masalah perpindahan ibukota, (3) masalah timpangnya perlakuan daerah induk dengan daerah pemekaran. Secara umum, permasalahan sengketa batas wilayah merupakan persoalan yang mendominasi pokok perkara dalam pemeriksaan isu konstitusionalitasnya di MK.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 77

MK mengabulkan permohonan dalam hal (1) pembatalan pembentukan provinsi Irian Jaya Tengah yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 (Putusan 018/PUU-I/2003); (2) Memasukkan Pulau Berhala kedalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 (Putusan 62/PUU-X/2012); (3) Perubahan batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2003 (Putusan 123/PUU-VII/2009); (4) Memasukkan Distrik-distrik tertentu dalam Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong ke dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw yang dikukuhkan dalam UU Nomor 56 Tahun 2008 (Putusan 127/PUU-VII/2009); dan (5) Memindahkan ibukota Kabupaten Maybrat dari Kumurkek menjadi Ayamaru, yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2009 (Putusan 66/PUU-XI/2013). Bila memperhatikan beberapa putusan MK yang mengabulkan permohonan, isu yang menjadi pokok perkara sukup beragam. Beberapa putusan ini juga merefleksikan pemeriksaan perkara pengujian konstitusionalitas UU yang membentuk daerah otonom secara umum. Keberagaman isu tersebut dapat dikelompokkan menjadi antara lain mencakup (1) persoalan batas wilayah, (2) masalah perpindahan ibukota, (3) masalah timpangnya perlakuan daerah induk dengan daerah pemekaran. Secara umum, permasalahan sengketa batas wilayah merupakan persoalan yang mendominasi pokok perkara dalam pemeriksaan isu konstitusionalitasnya di MK.

Diagram 2. Statistik Perkara Pemekaran Wilayah berdasarkan Topik

Ada 20 perkara yang berkenaan dengan sengketa wilayah dan perebutan tapal batas daerah. Sedangkan, yang menguji konstitusionalitas perpindahan ibukota kabupaten/kota ada 4 perkara (tabel 2). Terakhir mengenai adanya ketimpangan perlakuan antara daerah induk dan daerah pemekaran hanya ada 2 perkara, yaitu konstitusionalitas sanksi atas kelalaian daerah induk memberi bantuan kepada daerah pemekaran (Putusan 070/PUU-II/2004) dan adanya penundaan pengisian jabatan publik di Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Putusan 16/PUU-XI/2013).

sengketawilayah

perpindahanibukota

timpangnyaperlakuandaerah indukdan daerahpemekaran

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

78

Tabel 2. Perkara Pengujian Konstitusionalitas yang Berkenaan Dengan Perpindahan Ibukota

No. No. Putusan

Undang-Undang Amar

1. 6/PUU-VI/2008

UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowoli dan Kabupaten Banggai Kepulauan

Tidak Dapat Diterima

2. 19/PUU-X/2012

UU Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara Di Provinsi Sulawesi Tenggara

Ditolak

3. 18/PUU-VII/2009

UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

Tidak Dapat Diterima

4. 66/PUU-XI/2013

UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

Dikabulkan

Hal yang menarik dalam pemeriksaan konstitusionalitas UU yang

mengatur mengenai pembentukan daerah otonom baru adalah persoalan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Ada 3 kelompok kualifikasi pemohon yang menjadi pemohon dalam pengujian UU pembentukan daerah otonom baru, yaitu perseorangan warga negara, unsur pemerintahan daerah (kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD) dan kelompok masyarakat hukum adat.

Dalam hal pemohon yang merupakan kelompok masyarakat hukum adat, MK memutus bahwa pemohon dalam perkara pemindahan ibukota Kabupaten Banggai (Putusan 6/PUU-VI/2008) tidak memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya. Begitu pula, dengan perkara pembentukan Kota Tual (Putusan 31/PUU-V/2007), kepentingan pemohon sebagai masyarakat hukum adat tidak dirugikan dengan adanya pembentukan Kota Tual. Berbeda halnya dengan perkara dalam pembentukan Kabupaten Tambrauw di Papua Barat (Putusan 127/PUU-VII/2009). Para pemohon yang merupakan kepala suku yang mewakili kepentingan masyarakat adat dari sukunya masing-masing. Pada saat proses pembahasan pembentukan Kabupaten Tambrauw, para pemohon telah bersepakat melalui musyawarah adat,

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 79

Tabel 2. Perkara Pengujian Konstitusionalitas yang Berkenaan Dengan Perpindahan Ibukota

No. No. Putusan

Undang-Undang Amar

1. 6/PUU-VI/2008

UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowoli dan Kabupaten Banggai Kepulauan

Tidak Dapat Diterima

2. 19/PUU-X/2012

UU Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara Di Provinsi Sulawesi Tenggara

Ditolak

3. 18/PUU-VII/2009

UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

Tidak Dapat Diterima

4. 66/PUU-XI/2013

UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

Dikabulkan

Hal yang menarik dalam pemeriksaan konstitusionalitas UU yang

mengatur mengenai pembentukan daerah otonom baru adalah persoalan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Ada 3 kelompok kualifikasi pemohon yang menjadi pemohon dalam pengujian UU pembentukan daerah otonom baru, yaitu perseorangan warga negara, unsur pemerintahan daerah (kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD) dan kelompok masyarakat hukum adat.

Dalam hal pemohon yang merupakan kelompok masyarakat hukum adat, MK memutus bahwa pemohon dalam perkara pemindahan ibukota Kabupaten Banggai (Putusan 6/PUU-VI/2008) tidak memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya. Begitu pula, dengan perkara pembentukan Kota Tual (Putusan 31/PUU-V/2007), kepentingan pemohon sebagai masyarakat hukum adat tidak dirugikan dengan adanya pembentukan Kota Tual. Berbeda halnya dengan perkara dalam pembentukan Kabupaten Tambrauw di Papua Barat (Putusan 127/PUU-VII/2009). Para pemohon yang merupakan kepala suku yang mewakili kepentingan masyarakat adat dari sukunya masing-masing. Pada saat proses pembahasan pembentukan Kabupaten Tambrauw, para pemohon telah bersepakat melalui musyawarah adat,

bahwa para pemohon merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri atas 5 (lima) etnis atau 5 (lima) kepala suku dengan satu budaya, satu adat dan satu bahasa yang tidak bisa dipisahkan oleh siapapun dengan dalih apapun tidak terpisahkan, yang berasal dari 10 (sepuluh) distrik di pegunungan Tambrauw. Akan tetapi dalam proses pembahasannya di tingkat Pemerintah dan DPR, terjadi perubahan wilayah yang tidak sesuai dengan aspirasi daerah. MK berpendapat bahwa aspirasi pembentukan Kabupaten Tambrauw merupakan hak konstitusional warga masyarakat adat yang memenuhi syarat-syarat dan mekanisme yang secara konstitusional maupun secara hukum dapat dibenarkan. Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak konstitusional dari masyarakat adat MK menetapkan bahwa cakupan wilayah dan batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw harus mengikutsertakan empat distrik dari Kabupaten Manokwari yaitu masing-masing Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, serta satu distrik dari Kabupaten Sorong yaitu Distrik Moraid.

Kualifikasi pemohon dalam perkara sengketa tapal batas juga banyak yang diajukan oleh unsur pemerintahan daerah, baik kepala daerah maupun pimpinan DPRD. Tidak sedikit pula putusan yang menyatakan bahwa unsur pemerintahan daerah tidak memenuhi kriteria kerugian konstitusional sehingga putusannya adalah “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijkverklaard - NO). Dalam konteks ini, ada pendapat MK yang penting untuk diperhatikan oleh para pemohon, terutama pemohon yang merupakan bagian dari unsur pemerintahan daerah. Dalam perkara pengujian UU Nomor 46 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Barat, MK berpendapat bahwa dalam perkara yang menyangkut sengketa tapal batas daerah maka “... pimpinan DPRD tidak dapat mewakili kepentingan daerah di hadapan pengadilan tanpa bersama-sama dengan kepala daerah, sebaliknya yang harus mewakili kepentingan daerah adalah kepala daerah dengan persetujuan DPRD” (Putusan 61/PUU-XII/2014, para. [3.8]).

Dengan memperhatikan banyaknya perkara yang berkaitan dengan sengketa tapal batas daerah yang diajukan oleh unsur pemerintahan daerah sendiri maka memunculkan wacana mengenai kemungkinan menjadikan penyelesaian perkara sengketa batas wilayah daerah menjadi dalam kewenangan sengketa kewenangan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

80

lembaga negara dan bukan merupakan perkara pengujian Undang-Undang.

Mengapa Pengujian Undang-Undang, Bukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara?

Pembentukan daerah otonom baru harus berdasarkan UU. Oleh karenanya, pemeriksaan perkara konstitusi yang berkenaan dengan sengketa tapal batas wilayah daerah diajukan dalam konteks melihat obyek sengketanya, yaitu berupa UU. Dengan memperhatikan pada bentuk peraturan perundang-undangannya, maka sengketa batas wilayah daerah menjadi masuk dalam ranah kewenangan MK untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD.

Namun demikian, ada hal yang sepertinya luput dari pertimbangan bahwa obyek permasalahan sengketa batas wilayah daerah bukanlah mengenai konstitusionalitas norma yang memiliki karakteristik voluntair. Sengketa batas wilayah merupakan perkara yang lebih bersifat contentious karena adanya dua pihak yang saling berhadapan untuk memperebutkan kepentingannya. Ditambah lagi dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa perkara pengujian UU mengenai pembentukan daerah otonom baru banyak diajukan oleh pemohon dari unsur pemerintahan daerah. Kepala daerah dan DPRD selaku unsur pemerintahan daerah memiliki kepentingan untuk memperoleh kepastian sejauhmana batas wilayah yang masuk dalam lingkup kewenangan pemerintahannya. Sebagai contoh adalah sengketa yang berkaitan dengan perebutan wilayah Pulau Berhala yang diajukan dalam pengujian tiga (3) UU dan diperiksa dalam empat (4) perkara pengujian UU. Dalam sengketa mengenai Pulau Berhala, sejatinya, menunjukkan bahwa batas wilayah daerah dapat diatur dalam beberapa UU dan bila tidak dilakukan harmonisasi perundang-undangan maka yang terjadi adalah tumpang tindih atau bahkan ketidakjelasan garis tapal batas.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 81

lembaga negara dan bukan merupakan perkara pengujian Undang-Undang.

Mengapa Pengujian Undang-Undang, Bukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara?

Pembentukan daerah otonom baru harus berdasarkan UU. Oleh karenanya, pemeriksaan perkara konstitusi yang berkenaan dengan sengketa tapal batas wilayah daerah diajukan dalam konteks melihat obyek sengketanya, yaitu berupa UU. Dengan memperhatikan pada bentuk peraturan perundang-undangannya, maka sengketa batas wilayah daerah menjadi masuk dalam ranah kewenangan MK untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD.

Namun demikian, ada hal yang sepertinya luput dari pertimbangan bahwa obyek permasalahan sengketa batas wilayah daerah bukanlah mengenai konstitusionalitas norma yang memiliki karakteristik voluntair. Sengketa batas wilayah merupakan perkara yang lebih bersifat contentious karena adanya dua pihak yang saling berhadapan untuk memperebutkan kepentingannya. Ditambah lagi dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa perkara pengujian UU mengenai pembentukan daerah otonom baru banyak diajukan oleh pemohon dari unsur pemerintahan daerah. Kepala daerah dan DPRD selaku unsur pemerintahan daerah memiliki kepentingan untuk memperoleh kepastian sejauhmana batas wilayah yang masuk dalam lingkup kewenangan pemerintahannya. Sebagai contoh adalah sengketa yang berkaitan dengan perebutan wilayah Pulau Berhala yang diajukan dalam pengujian tiga (3) UU dan diperiksa dalam empat (4) perkara pengujian UU. Dalam sengketa mengenai Pulau Berhala, sejatinya, menunjukkan bahwa batas wilayah daerah dapat diatur dalam beberapa UU dan bila tidak dilakukan harmonisasi perundang-undangan maka yang terjadi adalah tumpang tindih atau bahkan ketidakjelasan garis tapal batas.

Tabel 3. Rekapitulasi Perkara Konstitusi mengenai Sengketa Pulau Berhala

No. Undang-Undang Putusan Amar 1. UU Nomor 31 Tahun

2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau

32/PUU-X/2012

Ditolak

2. UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan KabupatenTanjung Jabung Timur

47/PUU-X/2012

Tidak Dapat Diterima

3. UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau

48/PUU-X/2012

Tidak Dapat Diterima

62/PUU-X/2012

Dikabulkan

Akan tetapi, menjadikan sengketa batas wilayah menjadi masuk

dalam ranah kewenangan sengketa antar lembaga negara juga memiliki sisi negatif. Kesan yang muncul dalam penyelesaian sengketa ini adalah berkembangnya paham federalisme dimana negara terdiri dari negara-negara bagian. Padahal, Indonesia menekankan pada karakteristik negara kesatuan yang sangat kental. Bahkan, Pasal 37 (5) UUD 1945 menyebutkan “khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Ketentuan ini dikenal dengan sebutan “unamendable provisions” (Roznai, 2015). Setiap konstitusi pasti memiliki ketentuan yang tidak boleh diubah. Hal ini untuk menegaskan bahwa ketentuan tersebut merupakan ruh dari konstitusi dan jiwa dari bernegara.

Bermain-main dengan wacana federalisme tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Akan ada kontroversi, dukungan dan pertentangan. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan bilamana MK mempertimbangkan untuk menafsirkan penyelesaian sengketa wilayah masuk dalam domain sengketa antar lembaga negara dan bukan ranah pengujian UU.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

82

Arah Kebijakan untuk Masa Depan Persoalan pemekaran wilayah dan sengketa batas wilayah harus

dilihat secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Di hulu, persoalan pemekaran wilayah merupakan ranah politik dan pemerintahan. Pasca reformasi, pemekaran wilayah di desain dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya. Proses pemekaran wilayah dirancang dengan lebih menitikberatkan pada proses bottom up. Akan tetapi, pemerintah arus berani mengevaluasi kebijakan ini dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi prosesnya. Kebijakan moratorium pemekaran wilayah yang diambil pemerintah dan DPR dewasa ini merupakan salah satu langkah yang perlu diapresiasi dalam rangka mengevaluasi secara menyeluruh pemekaran wilayah yang telah dilakukan. Adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa sebagian besar daerah otonom baru yang dibentuk pasca reformasi tidak mampu untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri merupakan sebuah sinyal agar pemekaran wilayah perlu dilakukan secara hati-hati di masa depan.

Proses pemekaran wilayah merupakan proses politik yang mengedepankan prinsip demokrasi. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dibuka selebar-lebarnya, dan pengambilan keputusan juga berasal dari akar rumput. Namun demikian, proses ini tidak bisa sepenuhnya bottom up. Bentuk negara kesatuan yang melandasi sistem ketatanegaraan Indonesia membuka kemungkinan bahwa proses pemekaran wilayah juga merupakan proses yang harus dilakukan secara top down. Pasal 18(1) UUD 1945 menekankan bahwa negara “dibagi” menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pembagian daerah juga perlu mempertimbangkan skema bahwa pemerintahan bisa meraih jangkauan kepada publik secara efektif. Jumlah daerah yang tidak dibatasi bisa menjadi persoalan dalam upaya menjangkau layanan pemerintahan. Ditambah dengan adanya derajat ketimpangan perkembangan daerah yang jauh berbeda.

Oleh karena itu proses politik dalam pemekaran wilayah harus dapat menemukan keseimbangan antara proses bottom up dan top down. Pertimbangan aspirasi dan kepentingan masyarakat adalah penting, begitu juga pertimbangan dari pemerintah pusat yang memiliki data mengenai kemampuan pemerintah memberikan layanan kepada masyarakat.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 83

Arah Kebijakan untuk Masa Depan Persoalan pemekaran wilayah dan sengketa batas wilayah harus

dilihat secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Di hulu, persoalan pemekaran wilayah merupakan ranah politik dan pemerintahan. Pasca reformasi, pemekaran wilayah di desain dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya. Proses pemekaran wilayah dirancang dengan lebih menitikberatkan pada proses bottom up. Akan tetapi, pemerintah arus berani mengevaluasi kebijakan ini dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi prosesnya. Kebijakan moratorium pemekaran wilayah yang diambil pemerintah dan DPR dewasa ini merupakan salah satu langkah yang perlu diapresiasi dalam rangka mengevaluasi secara menyeluruh pemekaran wilayah yang telah dilakukan. Adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa sebagian besar daerah otonom baru yang dibentuk pasca reformasi tidak mampu untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri merupakan sebuah sinyal agar pemekaran wilayah perlu dilakukan secara hati-hati di masa depan.

Proses pemekaran wilayah merupakan proses politik yang mengedepankan prinsip demokrasi. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dibuka selebar-lebarnya, dan pengambilan keputusan juga berasal dari akar rumput. Namun demikian, proses ini tidak bisa sepenuhnya bottom up. Bentuk negara kesatuan yang melandasi sistem ketatanegaraan Indonesia membuka kemungkinan bahwa proses pemekaran wilayah juga merupakan proses yang harus dilakukan secara top down. Pasal 18(1) UUD 1945 menekankan bahwa negara “dibagi” menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pembagian daerah juga perlu mempertimbangkan skema bahwa pemerintahan bisa meraih jangkauan kepada publik secara efektif. Jumlah daerah yang tidak dibatasi bisa menjadi persoalan dalam upaya menjangkau layanan pemerintahan. Ditambah dengan adanya derajat ketimpangan perkembangan daerah yang jauh berbeda.

Oleh karena itu proses politik dalam pemekaran wilayah harus dapat menemukan keseimbangan antara proses bottom up dan top down. Pertimbangan aspirasi dan kepentingan masyarakat adalah penting, begitu juga pertimbangan dari pemerintah pusat yang memiliki data mengenai kemampuan pemerintah memberikan layanan kepada masyarakat.

Di hilir, masalah sengketa wilayah akan berakhir di meja majelis hakim konstitusi. MK memiliki kewenangan untuk menguji UU yang menjadi dasar pembentukan daerah sekaligus penetapan tapal batas wilayah daerah. Hal inilah yang kerap dilakukan oleh MK. Manuskrip ini dimaksudkan memulai wacana yang membuka kemungkinan bahwa dalam hal sengketa wilayah dan tapal batas daerah, MK perlu mempertimbangkan untuk menjadikan perkara ini masuk dalam ranah kewenangan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Hal ini didasarkan pada karakteristik dasar perkara yang lebih bersifat contentious dibanding voluntair. Selain itu, perkara sengketa wilayah juga banyak diajukan oleh pemohon dalam kualifikasinya sebagai lembaga negara, mengingat kapasitasnya merupakan unsur pemerintahan daerah, yaitu kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD. Tulisan singkat ini tidaklah cukup representatif untuk mengubah kebijakan tetapi adalah medium yang tepat untuk memulai dan menggulirkan sebuah wacana.

Referensi: Badan Perencanaan Pebangunan Nasional (Bappenas) dan United

Nations Development Programme (UNDP), 2008, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, (Bridge, Juli 2008)

Berita Kemendagri, “Pemerintah Putuskan Masih Moratorium Pemekaran Daerah”, Selasa, 18 Juli 2017, diunduh dari http://www.kemendagri.go.id/news/2017/07/18/pemerintah-putuskan-masih-moratorium-pemekaran-daerah

Kementerian Dalam Negeri, 2011, Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) 2011. (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, 2011)

Kementerian Dalam Negeri, 2017, Kebijakan Penataan Daerah terkait Daerah Otonom Baru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Presentasi disampaikan di Jakarta 29 Maret 2017

RMOL.co, “DPR dan DPD desak Mendagri Cabut Moratorium Pemekaran Daerah”, Senin, 28 Agustus 2017, diunduh dari http://politik.rmol.co/read/2017/08/28/304861/DPR-Dan-DPD-Desak-Mendagri-Cabut-Moratorium-Pemekaran-Daerah-

Roznai, Yaniv. 2015, “Unamendability and the Genetic Code of the Constitution", European Review of Public Law, Vol 27, No. 2, 2015, hal. 775-825

Tri Ratnawati, 2009, Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

84

Lampiran I. Rekapitulasi Perkara Konstitusi yang berkaitan dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru (diolah oleh Penulis)

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan 1. UU Nomor 10 Tahun 1950

tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah

63/PUU-XI/2013 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas UU yang menggabungkan Daerah Surakarta ke Provinsi Jawa Tengah

73/PUU-XI/2013 Tidak Dapat Diterima

idem

2. UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkayang

18/PUU-X/2012 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas UU yang menggabungkan Kecamatan Sungai Raya ke Kabupaten Bengkayang

3. UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

018/PUU-I/2003 Dikabulkan Pemekaran Provinsi Papua hanya berlaku untuk Provinsi Papua (Irian Jaya) dan Papua Barat (Irian Jaya Barat), tetapi tidak berlaku untuk Papua Tengah (Irian Jaya Tengah)

4. UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowoli dan Kabupaten Banggai Kepulauan

6/PUU-VI/2008 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat untuk mengajukan perkara konstitusionalitas pemindahan ibukota Kabupaten Banggai di Luwuk

5. UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,

056/PUU-II/2004 (Ketetapan) Penarikan Kembali

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 85

Lampiran I. Rekapitulasi Perkara Konstitusi yang berkaitan dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru (diolah oleh Penulis)

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan 1. UU Nomor 10 Tahun 1950

tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah

63/PUU-XI/2013 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas UU yang menggabungkan Daerah Surakarta ke Provinsi Jawa Tengah

73/PUU-XI/2013 Tidak Dapat Diterima

idem

2. UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkayang

18/PUU-X/2012 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas UU yang menggabungkan Kecamatan Sungai Raya ke Kabupaten Bengkayang

3. UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

018/PUU-I/2003 Dikabulkan Pemekaran Provinsi Papua hanya berlaku untuk Provinsi Papua (Irian Jaya) dan Papua Barat (Irian Jaya Barat), tetapi tidak berlaku untuk Papua Tengah (Irian Jaya Tengah)

4. UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowoli dan Kabupaten Banggai Kepulauan

6/PUU-VI/2008 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat untuk mengajukan perkara konstitusionalitas pemindahan ibukota Kabupaten Banggai di Luwuk

5. UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,

056/PUU-II/2004 (Ketetapan) Penarikan Kembali

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam

6. UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan KabupatenTanjung Jabung Timur

47/PUU-X/2012 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara mengenai batas wilayah antara kabupaten Lingga dan Kabupaten Jabung Timur

7. UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang

016/PUU-III/2005 Tidak Dapat Diterima

Pemohon sebagai perseorangan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas batas wilayah pemekaran Kota Singkawang

8. UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau

48/PUU-X/2012 Tidak Dapat Diterima

Pemohon sebagai perseorangan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas batas wilayah pemekaran Kabupaten Lingga dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau

62/PUU-X/2012 Dikabulkan Mengabulkan permohonan bahwa Pulau Berhala masuk dalam batas wilayah Provinsi Kepulauan Riau

9. UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan Di Provinsi Kalimantan Selatan

26/PUU-VI/2008 Tidak Dapat Diterima

Pemohon sebagai Pemerintah Kabupaten Banjar tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan konstitusionalitas penentuan batas

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

86

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan

10. UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu

112/PUU-X/2012 Ditolak Menolak argumentasi pemohon bahwa pembentukan Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur telah mengurangi luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan

11. UU Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam

010/PUU-I/2003 Ditolak Menolak memutus kekeliruan penetapan batas wilayah sebab perbaikan (perubahan) harus dilakukan oleh pembentuk UU (pemerintah dan DPR)

12. UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau

32/PUU-X/2012 Ditolak Menolak argumentasi pemohon sebab perkara batas wilayah administrasi Pulau Berhala telah diputus oleh Mahkamah Agung

13. UU Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara

4/PUU-VI/2008 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas masalah batas wilayah antara Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Serdang Bedagai

14. UU Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku

8/PUU-VII/2009

(Ketetapan) Penarikan Kembali

123/PUU-VII/2009

Dikabulkan Mengabulkan batas wilayah kabupaten Seram Bagian Barat tidak berbatasan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 87

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan

10. UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu

112/PUU-X/2012 Ditolak Menolak argumentasi pemohon bahwa pembentukan Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur telah mengurangi luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan

11. UU Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam

010/PUU-I/2003 Ditolak Menolak memutus kekeliruan penetapan batas wilayah sebab perbaikan (perubahan) harus dilakukan oleh pembentuk UU (pemerintah dan DPR)

12. UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau

32/PUU-X/2012 Ditolak Menolak argumentasi pemohon sebab perkara batas wilayah administrasi Pulau Berhala telah diputus oleh Mahkamah Agung

13. UU Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara

4/PUU-VI/2008 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas masalah batas wilayah antara Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Serdang Bedagai

14. UU Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku

8/PUU-VII/2009

(Ketetapan) Penarikan Kembali

123/PUU-VII/2009

Dikabulkan Mengabulkan batas wilayah kabupaten Seram Bagian Barat tidak berbatasan

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan langsung dengan Kecamatan Amahai tetapi dengan Sungai Tala

15. UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat

070/PUU-II/2004 Ditolak Menolak argumentasi Pemohon yang mengajukan konstitusionalitas pemberian sanksi atas kelalaian daerah induk memberi bantuan anggaran kepada daerah pemekaran

16. UU Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara Di Provinsi Sulawesi Tenggara

19/PUU-X/2012 Ditolak Menolak permohonan Pemohon untuk memindahkan ibukota Kabupaten Buton Utara dari Buranga ke Kalisusu

17. UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku

31/PUU-V/2007 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat untuk mengajukan perkara konstitusionalitas pembentukan Kota Tual

18. UU Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara

61/PUU-XII/2014 Tidak Dapat Diterima

Pemohon sebagai Pimpinan DPRD Kabupaten Nias tidak dapat mewakili kepentingan daerah tanpa kepala daerah terutama dalam pembahasan anggaran yang telah menjadi wilayah daerah pemekaran (kabupaten Nias Barat)

19. UU Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat

127/PUU-VII/2009

Dikabulkan Para pemohon sebagai kepala suku Tambrauw diakui kedudukan hukumnya dan menyatakan bahwa batas wilayah

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

88

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan Kabupaten Tambrauw mencakup empat distrik dari Kabupaten Manokwari yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, serta satu distrik dari Kabupaten Sorong yaitu Distrik Moraid

19/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon karena ne bis in idem dengan Putusan 127/PUU-VII/2009

20. UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

18/PUU-VII/2009 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas perubahan ibukota Kabupaten Maybrat

66/PUU-XI/2013 Dikabulkan Mengabulkan permohonan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Maybrat dari Kumurkek ke Ayamaru

21. UU Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara

16/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon dalam hal pengisian jabatan publik di daerah pemekaran

22. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Mahakam Ulu di Provinsi Kalimantan Timur

139/PUU-XII/2014

(Ketetapan) Penarikan Kembali

23. UU Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 56 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw Di Provinsi Papua Barat

105/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon untuk mengeluarkan empat distrik dalam Kabupaten Tambrauw menjadi Kabupaten baru

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 89

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan Kabupaten Tambrauw mencakup empat distrik dari Kabupaten Manokwari yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, serta satu distrik dari Kabupaten Sorong yaitu Distrik Moraid

19/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon karena ne bis in idem dengan Putusan 127/PUU-VII/2009

20. UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat

18/PUU-VII/2009 Tidak Dapat Diterima

Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara konstitusionalitas perubahan ibukota Kabupaten Maybrat

66/PUU-XI/2013 Dikabulkan Mengabulkan permohonan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Maybrat dari Kumurkek ke Ayamaru

21. UU Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara

16/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon dalam hal pengisian jabatan publik di daerah pemekaran

22. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Mahakam Ulu di Provinsi Kalimantan Timur

139/PUU-XII/2014

(Ketetapan) Penarikan Kembali

23. UU Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 56 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw Di Provinsi Papua Barat

105/PUU-XI/2013 Ditolak Menolak argumentasi pemohon untuk mengeluarkan empat distrik dalam Kabupaten Tambrauw menjadi Kabupaten baru

No. Undang-Undang Nomor Putusan Amar Keterangan yaitu Kabupaten Manokwari Barat

4/PUU-XII/2014 Ditolak Menolak argumentasi pemohon untuk distrik Moraid dipindahkan dari Kabupaten Tambrauw ke Kabupaten Sorong

24. UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara

24/PUU-XVI/2018 Belum Putus