Upload
truongnga
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN DAN POLA TANAM
MENGGUNAKAN METODE PALMER
(STUDI KASUS: JAWA BARAT)
AULIA CITRA UTAMI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Indeks
Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa
Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Aulia Citra Utami
NIM G24100055
iv
v
ABSTRAK
AULIA CITRA UTAMI. Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam
Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat). Dibimbing oleh
YONNY KOESMARYONO dan YON SUGIARTO.
Kekeringan berhubungan erat dengan penurunan curah hujan yang dapat
mempengaruhi penurunan produksi padi di salah satu wilayah sentra produksi
padi, yaitu Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat
kekeringan, peta sebaran indeks kekeringan dan pola tanam tanaman pangan di
wilayah Jawa Barat. Pengolahan data curah hujan bulanan, suhu rata-rata bulanan,
jenis tanah dan tata guna lahan dilakukan dengan metode Palmer. Nilai indeks
Palmer tertinggi yaitu 22 dan indeks terendah adalah -34. Wilayah dengan tingkat
kekeringan tertinggi yaitu wilayah utara Jawa Barat, sedangkan wilayah Jawa
Barat bagian tengah dan selatan cenderung lebih basah. Puncak kekeringan terjadi
pada bulan Agustus dan September. Pada tahun-tahun El Nino kuat, nilai curah
hujan menjadi lebih rendah diikuti dengan nilai indeks kekeringan yang semakin
rendah. Pada lahan non irigasi, pola tanam yang dapat diaplikasikan adalah padi-
padi-palawija dengan awal musim tanam pada bulan November, sedangkan untuk
lahan irigasi padi dapat ditanam hingga tiga kali setahun. Pada lahan non irigasi di
wilayah utara yang cenderung lebih kering pola tanam yang dapat diterapkan
adalah padi-palawija-palawija dengan awal tanam pada bulan Desember, jika
kondisi irigasi memadai padi dapat ditanam dua hingga tiga kali setahun.
Kata kunci: El Nino, indeks Palmer, kekeringan, pola tanam.
vi
ABSTRACT
AULIA CITRA UTAMI. Drought Index Mapping and Cropping Patterns Using
Palmer Methods (Case Study: West Java). Supervised by YONNY
KOESMARYONO and YON SUGIARTO.
Drought is closely related to rainfall decrease could affect the decline in
rice production in one of rice production centers: West Java. This research aims to
determine the drought level, drought index distribution map, and cropping pattern
in West Java. Monthly rainfall, monthly average temperature, soil type, and land
use data is processed by Palmer method. The highest value index is 22 and the
lowest is -34. Area with the highest drought level is Northern area of West Java,
while the central and southern part of West Java area tends to be wet. Peak of the
drought occurs in August and September. On the strong El Nino years, the rainfall
value becomes lower followed by drought index value. In the non-irrigated land,
cropping patterns that can be applied is paddy-paddy-crop with the beginning of
the season in November, while for the irrigated land rice can be planted up to
three times a year. In the non-irrigated land at the north area that tends to be dryer,
cropping patterns that can be applied is paddy-crop-crop with the beginning of
planting season in December, if conditions are adequate irrigation of rice can be
planted two or three times a year.
Keywords: El Nino, Palmer index, drought, cropping pattern.
vii
PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN DAN POLA TANAM
MENGGUNAKAN METODE PALMER
(STUDI KASUS: JAWA BARAT)
AULIA CITRA UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
Pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
viii
ix
Judul Skripsi : Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan
Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat)
Nama : Aulia Citra Utami
NIM : G24100055
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
Pembimbing I
Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam
Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat).
Terimakasih sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini, antara lain:
1. Allah SWT.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. dan Bapak Yon Sugiarto, S.Si,
M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal dan
memberikan saran untuk penulisan karya ilmiah ini.
3. Seluruh dosen dan staff Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah
memberikan ilmu dan bantuan yang tak terhingga. Serta kepada Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah memberikan bantuan data.
4. Kedua orang tua terhebat di dunia ini, ayahanda Soleh Suhendar dan Ibunda
Batin Wardah serta adik-adik tersayang Mustari Nur Alam dan Ratu Tazkia
Amini atas do’a, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tak terhingga.
5. Sahabat-sahabat terbaik Ina Agistina, Fikriyatul Falashifah, Nurmujahidah
Syam, Linda Yuliyanti, Deti Triani dan Riana Pangestu atas semua dukungan,
semangat, do’a, waktu, bahu dan hati yang diberikan dan selalu tersedia
kapanpun dibutuhkan.
6. Ryan Karida Pratama atas seluruh bantuannya dalam karya tulis ini serta
Budiarto yang selalu siap sedia membantu apapun dan kapanpun dibutuhkan.
7. Sister’s dan Brother’s satu bimbingan, Ina, Aat, Dewi, Fitri dan Onip atas semua
saran dan semangatnya. Juga untuk sister 48, Nita, Ayuvira dan Revi yang
menemani untuk bimbingan dan semangatnya.
8. Sahabat-sahabat GFM’ers 47, Himma, Em, Indro, Disti, Murni, Mani, Alan,
Ryco, Aden, Wanto, Basith,Rony, Dewi Sul, Shailla, Icha Kar, Aji, Dirgha,
Lira, Enggar, dan semuanya atas semangat serta persahabatan selama berkuliah.
9. Ani Miuw, Dini, Edo, Diki, Hasan, Mukhlis, Rita, Farik, Ifa serta teman-teman
semuanya di BEM KM Berani Beda, Sainstek dan BPH BEM FMIPA, BEM
TPB 47, Geng gong (Fahmi, Zikri, Muhi, Fariz dan Hayu),IGTF Nganjuk, SUIJI
Tegal dan Trashsure Foundation atas pengalaman, semangat dan warna-warni
selama menuntut ilmu di IPB. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan
perlu dilakukannya pengembangan agar dapat dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat luas. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Akhir kata, semoga
Allah selalu memberkati kita semua.
Bogor, Mei 2015
Aulia Citra Utami
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kekeringan 2
Indeks Kekeringan 3
Palmer Drought Severity Index (PDSI) 3
Tanaman Pangan 4
METODOLOGI 5
Bahan 5
Alat 5
Prosedur Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Karakteristik Wilayah 8
Kondisi Klimatologis Wilayah 9
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT) 11
Perhitungan Neraca Air 11
Indeks Kekeringan 15
Hubungan Antara Curah Hujan dan Indeks Kekeringan 20
Pola Tanam Tanaman Pangan 20
KESIMPULAN DAN SARAN 23
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
RIWAYAT HIDUP 50
xiv
DAFTAR TABEL
1. Kelas Indeks Kekeringan dan Sifat Cuaca (Palmer 1965) 4
2. Sebaran curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat 11
3. Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina dari tahun 1980-2012 16
DAFTAR GAMBAR
1. Peta wilayah kajian 8
2. Hubungan antara curah hujan dan suhu rata-ratatahun 1980-2012bagian
utara (a), tengah (b) dan selatan (c) Jawa Barat 9
3. Pola curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat 10
4. Grafik nilai koefisien evapotranspirasi (α) dari 3 wilayah di Jawa Barat 12
5. Grafik nilai koefisien recharge (β) dari 3 wilayah di Jawa Barat 13
6. Grafik nilai koefisien runoff (γ) dari 3 wilayah di Jawa Barat 13
7. Grafik nilai koefisien loss (δ) dari 3 wilayah di Jawa Barat 14
8. Perbandingan sebaran rata-rata indeks kekeringan tahun normal di Jawa
Barat 15
9. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino di Jawa Barat 17
10. Perbandingan sebaran indeks kekeringan maksimum tahun El Nino dan
Normal di Jawa Barat 18
11. Grafik hubungan curah hujan dan indeks kekeringan bulan Juni sampai
September pada tahun El-Nino kuat (1987, 1997 dan 2002) di Jawa Barat 21
DAFTAR LAMPIRAN
1. Diagram Alir Penelitian 26
2. Langkah perhitungan indeks kekeringan 27
3. Tabel penggunaan kapasitas air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah
dan vegetasi penutup (Thornthwaite dan Mather 1957) 30
4. Tabel penggunaan lahan di Jawa Barat 31
5. Presentase tata guna kahan per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat
berdasarkan Jenis Penutupan 32
6. Jenis tanah di Jawa Barat 33
7. Tabel Kapasitas Air Tersedia (KAT) berdasarkan jenis tanah dan
penggunaan lahan di Jawa Barat 35
8. Peta pembagian wilayah grid 37
9. Tabel Pembagian wilayah grid 38
10. Peta distribusi curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat 39
11. Peta distribusi suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat 39
12. Peta guna lahan Provinsi Jawa Barat 40
13. Peta jenis tanah Provinsi Jawa Barat 40
14. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1980 41
15. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1981 41
xv
16. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1982 41
17. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1983 41
18. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1984 41
19. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1985 41
20. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1986 42
21. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1987 42
22. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1988 42
23. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1989 42
24. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1990 42
25. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1991 42
26. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1992 43
27. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1993 43
28. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1994 43
29. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1995 43
30. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1996 43
31. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1997 43
32. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1998 44
33. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1999 44
34. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2000 44
35. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2001 44
36. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2002 44
37. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2003 44
38. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2004 45
39. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2005 45
40. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2006 45
41. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2007 45
42. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2008 45
43. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2009 45
44. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2010 46
45. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2011 46
46. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2012 46
47. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (DJF) 47
48. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (MAM) 47
49. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (JJA) 47
50. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (SON) 47
51. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (DJF) 48
52. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (MAM) 48
53. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (JJA) 48
54. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (SON) 48
55. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (DJF) 49
56. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (MAM) 49
57. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (JJA) 49
58. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (SON) 49
xvi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kekeringan merupakan kejadian yang berhubungan erat dengan curah hujan,
di mana curah hujan merupakan hal utama yang berkaitan dengan ketersediaan
dan kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kekeringan
merupakan kejadian klimatologis alami dan dapat terjadi secara bervariasi antara
suatu wilayah dengan wilayah lainnya dan biasanya dimulai dengan berkurangnya
curah hujan dibandingkan keadaan normalnya (NOAA 2008). Menurut Setiawan
(2000), faktor dasar dari kekeringan adalah kekurangan curah hujan untuk
aktivitas tertentu seperti pertumbuhan tanaman, penyediaan irigasi ataupun tinggi
muka air laut.
Kekeringan dapat menjadi ancaman yang paling mengganggu sistem produksi
pertanian di Indonesia terutama untuk tanaman pangan. Indonesia merupakan
negara agraris yang menjadikan pertanian sebagai salah satu pekerjaan bagi
masyarakat. Namun, kekeringan yang terjadi di Indonesia banyak merugikan para
petani di beberapa daerah karena padi yang ditanam mengalami puso atau gagal
panen. Kekeringan yang terjadi di Indonesia memiliki dampak di beberapa
wilayah seperti Jawa Barat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pulau Jawa khususnya Jawa Barat
merupakan salah satu provinsi penghasil padi terbesar di Indonesia dengan
produksi beras nasional mencapai 20%. Tiga kabupaten tertinggi dalam jumlah
produksi padi di Jawa Barat yaitu Indramayu, Karawang dan Subang.
Walhi Jawa Barat menyatakan dalam lima tahun terakhir hingga tahun 2013,
rata-rata luas wilayah yang mengalami kekeringan parah mencapai 65.781 ha.
Sementara lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Jawa Barat mencapai
500.000 ha. Secara ekonomi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan
pertanian, sawah dan ladang akan berpengaruh pada menurunnya produksi hasil
tani hingga terjadi puso dan gagal panen. Hal ini akan berpengaruh pada
berkurangnya pendapatan para petani dan buruh tani. Berdasarkan perhitungan
Walhi Jawa Barat, potensi kerugian ekonomi akibat kekeringan di Jawa Barat
mencapai Rp 45 miliar - Rp 150 miliar/tahun.
Untuk meminimalisir dampak negatif kekeringan yang terjadi yaitu dengan
memahami karakteristik iklim dan kekeringan. Karakteristik kekeringan
merupakan analisis sifat-sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi
kekeringan menggunakan indeks kekeringan. Salah satu metode yang digunakan
untuk menentukan indeks kekeringan adalah metode Palmer di mana indeks
kekeringan sebagai parameter kelembaban tanah (Hadiani 2009). Palmer
menggunakan data iklim berupa curah hujan, suhu udara dan kelengasan tanah
sebagai peubah untuk menduga tingkat kekeringan di suatu wilayah. Perbedaan
topografi lokal, elevasi dan kedekatannya dengan laut, jenis tanah dan teksturnya
maupun bentuk penggunaan lahan akan mencirikan suatu tempat dengan tingkat
kekeringan yang berbeda. Pemetaan indeks kekeringan atau pengenalan daerah
rawan kekeringan merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menyusun upaya antisipasi, penanggulangan kekeringan maupun penentuan pola
tanam tanaman pangan pada wilayah tersebut.
2
Salah satu pemetaan wilayah kekeringan menggunakan metode Palmer telah
dilakukan oleh Turyanti (1995) di daerah Jawa Barat yang menyatakan bahwa
evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat
kekeringan di Jawa Barat sangat bervariasi dengan nilai indeks sekitar -25 hingga
139. Hal ini berarti kondisi lengas tanah di Jawa Barat sangat beragam, dari mulai
ekstrim kering hingga ekstrim basah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Menentukan indeks kekeringan di wilayah Jawa Barat menggunakan metode
Palmer
2. Memetakan sebaran indeks kekeringan wilayah Jawa Barat
3. Menentukan pola tanam tanaman pangan berdasarkan hasil indeks kekeringan
TINJAUAN PUSTAKA
Kekeringan
Menurut International Glossary of Hydrology (WMO 1974), kekeringan
adalah keadaan tanpa hujan yang berkepanjangan atau masa kering dibawah
normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi
terganggu secara serius.
Biro Cuaca Amerika Serikat (Handayani 1993) mendefinisikan kekeringan
sebagai berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang
dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah dan akan
menyebabkan pula berkurangnya cadangan air untuk keperluan hidup sehari-hari.
Murthy (1996) dan kamus Agricultural Meteorology mendefinisikan
kekeringan (drought) adalah suatu keadaan dimana pada saat musim hujan tidak
terjadi presipitasi selama lebih dari 15 hari berturut-turut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kekeringan sangat berhubungan dengan curah hujan.
Kekeringan dapat terjadi secara meteorologis atau klimatologis dan
kekeringan dari berbagai aspek seperti kekeringan secara hidrologi dan
kekeringan secara pertanian (Grigg 1996). Kekeringan meteorologi merupakan
suatu masa dimana pasokan air hujan aktual pada suatu lokasi jatuh atau turun
lebih sedikit dibandingkan pasokan air klimatologis yang sesungguhnya sesuai
estimasi normal (Palmer 1965). Kekeringan meteorologis berkaitan dengan
tingkat curah hujan dibawah normal dalam satu musim. Kekeringan hidrologis
berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan
pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air dalam tanah sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode tertentu pada
wilayah yang luas.
3
Indeks Kekeringan
Menurut Hounam et al. (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi kecendrungan klimatologis menuju keadaan kering atau tingkat
kekeringan dari suatu wilayah.
2. Memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu.
3. Mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal.
4. Melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional.
Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju, aliran
sungai dan indikator sumber lainnya. Curah hujan merupakan indeks tunggal yang
paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan hanya dilihat
dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada
waktu dan tempat penelitian (Ogallo dan Gbeckor-kove 1989).
Indeks kekeringan banyak macamnya, antara lain: Standardized Precipitation
Index (SPI), Palmer Drought Severity Index (PDSI), Crop Moisture Index (CMI),
Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Index (RDI), dan
masih banyak lagi (Hayes et al. 2011). Metode yang masih sering digunakan
dalam analisis kekeringan yaitu metode Palmer dimana indeks kekeringansebagai
parameter kelembaban tanah (Hadiani 2009).
Palmer Drought Severity Index (PDSI)
Palmer Drought Severity Index (PDSI) atau lebih dikenal dengan indeks
Palmer pertama kali dikembangkan oleh Wayne Palmer pada tahun 1960-an.
Indeks Palmer merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam
menentukan indeks kekeringan. Perhitungan indeks Palmer menggunakan data
suhu dan curah hujan serta Avalaible Water Capacity (AWC) untuk menentukan
kekeringan di suatu wilayah (Guttman et al.1992).
Palmer menggunakan model dua lapis tanah yaitu lapisan atas dan lapisan
bawah. Evapotranspirasi potensial diduga dari suhu rata-rata dengan metode yang
telah dikembangkan oleh Thornthwaite. Hasil dari metode ini selain nilai indeks
juga koefisien parameter iklim, yaitu koefisien limpasan (run off), koefisien
imbuhan (recharge), koefisien evapotranspirasi, dan koefisien kehilangan lengas
(loss). Dari koefisien tersebut dilakukan perhitungan curah hujan yang telah
terjadi selama bulan tertentu untuk mendukung evapotranspirasi, limpasan, dan
cadangan lengas yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal (Hounam et
al.1975). Indeks Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan kekeringan
jangka panjang, terutama untuk daerah beriklim semiarid dan beriklim sub-humid
kering (Guttman et al.1992).
Menurut National Drought Mitigation Center (2006), indeks Palmer sangat
baik dan lebih memberikan prediksi kekeringan yang signifikan apabila
diterapkan pada area yang luas dan daerah dengan topografi yang seragam,
sehingga cakupannya lebih luas.
Indeks Palmer menunjukkan indeks terlalu basah dan terlalu kering
menggunakan klasifikasi angka. Jika indeks menunjukkan nilai postif atau lebih
besar dari nol, maka daerah tersebut bersifat basah atau tidak mengalami
kekeringan. Semakin besar nilai indeks menyatakan bahwa wilayah tersebut
mengalami ekstrem basah. Sedangkan saat indeks menunjukkan nilai negatif atau
4
kurang dari nol, maka daerah tersebut mengalami kekeringan. Semakin kecil nilai
indeksnya maka kekeringan yang terjadi di wilayah tersebut semakin ekstrem.
Nilai kelas indeks kekeringan ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1Kelas Indeks Kekeringan dan Sifat Cuaca (Palmer 1965)
Indeks Kekeringan Sifat Cuaca
>4.00
3.00-3.99
2.00-2.99
1.00-1.99
0.50-0.99
0.49-(-0.49)
-0.50-(-0.99)
-1.00-(-1.99)
-2.00-(-2.99)
-3.00-(-3.99)
>-4.00
Ekstrem Basah
Sangat Basah
Agak Basah
Sedikit Basah
Awal Selang Basah
Normal
Awal Selang Kering
Sedikit Kering
Agak Kering
Sangat Kering
Ekstrem Kering
Tanaman Pangan
Tanaman pangan tersebar hampir secara merata di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk Jawa Barat. Beberapa contoh tanaman pangan diantaranya
adalah Padi, Jagung dan kedelai. Wilayah penghasil beras antara lain daerah
Indramayu, Karawang dan Subang (BPS 2012). Sedangkan Garut, Majalengka
dan Sumedang merupakan wilayah penghasil jagung terbesar di Jawa Barat (BPS
2012). Untuk produksi kedelai sendiri lebih banyak di hasilkan di wilayah Cianjur
dan Garut.
Tanaman padi merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat penting.
Pada umumnya padi tumbuh di wilayah tropis basah, sub tropis dan daerah
beriklim sedang. Umur padi berkisar antara 90-150 hari bergantung dari varietas,
suhu dan panjang hari wilayah setempat Kebutuhan air tanaman padi berkisar
380-880 mm/periode atau sekitar 85-185 mm/bulan (McWilliams et al. 1999).
Ketersediaan air selama masa pertumbuhan sangat berpengaruh untuk
mendapatkan hasil produksi yang baik. Tanaman padi sendiri memiliki periode
sensitif yaitu pada akhir masa vegetatif sampai masa pembentukan bunga pada
bulan ketiga.
Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis
rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal. Jagung merupakan tanaman
dengan umur antara 80-150 hari pada suhu 18°C dan dapat mencapai 200-300 hari
jika suhu mencapai 15°C. Untuk mendapatkan hasil produksi terbaik diperlukan
air sebanyak 350-400 mm/periode tanam atau 85-100 mm/bulan. Pada fase
vegetatif suhu dan ketersediaan sangat mempengaruhi pertumbuhan jagung. Suhu
rendah akan memperlambat keluar daun, meningkatkan jumlah daun, dan
menunda terbentuknya bunga jantan. Kekeringan pada faseini juga akan
memperlambat munculnya bunga betina (McWilliams et al. 1999).
Kedelai merupakan tanaman polong-polongan yang banyak menjadi bahan
makanan. Tanaman kedelai memerlukan kondisi yang seimbang antara suhu udara
5
dengan kelembaban yang dipengaruhi oleh curah hujan. Pada umumnya, kondisi
iklim yang paling cocok untuk pertumbuhan tanaman kedelai adalah daerah-
daerah yang mempunyai suhu antara 250-28
0C, kelembaban udara rata-rata 60%,
penyinaran matahari 12 jam/hari atau minimal 6 10 jam/hari, dan curah hujan
paling optimum antara 100 - 400 mm/bulan atau berkisar antara 300 - 400 mm/3
bulan (Cahyono 2007). Sewaktu masih muda, kedelai memerlukan iklim basah,
menjelang tua memerlukan iklim kering. Untuk memperoleh produksi yang baik,
tanaman kedelai memerlukan hawa panas. Jika iklim terlalu basah, kedelai
tumbuh subur tetapi produksi bijinya kurang (Suhaeni 2007).
METODOLOGI
Bahan
1. Data curah hujan bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) wilayah Jawa
Barat Periode 1980-2012 yang dapat diperoleh dari website:
http://badc.nerc.ac.uk/
2. Data suhu rata-rata bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) wilayah
Jawa Barat Periode 1980-2012 yang dapat diperoleh dari website:
http://badc.nerc.ac.uk/
3. Peta dan data jenis tanah wilayah Jawa Barat yang diperoleh dari Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDPL)
4. Peta dan data tata guna lahan wilayah Jawa Barat tahun 2010 yang didapatkan
dari Badan Informasi Geospasial (BIG)
5. Data Digital Elevation Model (DEM) wilayah Jawa Barat yang dapat
diperoleh dari website: http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp dan
http://glovis.usgs.gov/
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer.
Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah Ms. Office (Word, Excel dan
Power Point), ArcMap GIS 10.1 serta Grid Analysis and Display System
(GrADS) versi 2.0.a9.oga.1.
Prosedur Penelitian
Pembagian Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian dibagi ke dalam 20 wilayah berdasarkan data suhu dan
curah hujan bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) yang memiliki resolusi
spasial 0.5° x 0.5° (Mitchell & Jones 2005).
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Pada tahap ini dilakukan overlay peta jenis tanah dan peta penggunaan
lahan sehingga didapatkan prakiraan luas penggunaan lahan dan jenis tanah pada
setiap wilayah tersebut.
6
Lapisan tanah terbagi menjadi dua jenis, yaitu lapisan tanah bagian atas
sedalam ± 25 cm dan lapisan tanah bagian bawah yang dalamnya sesuai dengan
zone perakaran. Nilai KAT didapatkan menggunakan bantuan tabel pendugaan
KAT dari Thornthwaite dan Mather (1957). Nilai KAT pada setiap lapisan dapat
dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
(1)
Di mana:
KAT1 = Kapasitas air tersedia tiap lapisan (mm)
L = Presentase luas penggunaan lahan (%)
KATj = Kapasitas air tersedia pada tiap jenis tanah (mm/m)
T1 = Tebal lapisan tanah (m)
Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (ETp)
Evapotranspirasi potensial diduga menggunakan data suhu rata-rata
bulanan yang diperoleh dari satelit Climate Research Unit (CRU) pada setiap
wilayah. Pendugaan nilai ETp digunakan menggunakan metode Thornthwaite
dengan rumus sebagai berikut:
(2)
(3)
(4)
(5)
Di mana:
ETp = Evapotranspirasi terkoreksi (mm)
T = Suhu rata-rata bulanan (°C)
a = 6,75 x 10-7
I3 -7,7 x 10
-5 I
2 +1,792 x 10
-2 I +0,49239
D = Panjang hari berdasarkan lintang (jam)
i = (T/5)1,514
Perhitungan Neraca Air dan Indeks Kekeringan
Setelah seluruh data curah hujan, evapotranspirasi potensial dan kadar air
tanah lengkap, maka perhitungan masuk ke tahap utama yaitu perhitungan indeks
kekeringan. Asumsi yang digunakan pada perhitungan neraca air adalah lengas
tanah pada lapisan atas tidak akan masuk ke bawah sebelum jenuh dan sebaliknya
lengas pada lapisan bawah tidak akan keluar apabila lengas pada lapisan tersebut
belum habis. Selain itu, perlu diperhitungkan juga loss, recharge, evapotranspirasi
aktual, dan limpasan permukaan (runoff). Limpasan permukaan akan terjadi
ketika kedua lapisan tanah telah mencapai kapasitas lapang. Perhitungan neraca
air digunakan untuk menghitung konstanta-konstanta yang mendefinisikan
karakteristik iklim, yaitu :
α : Koefisien evepotranspirasi
β : Koefisien recharge
γ : Koefisien runoff
δ : Koefisien loss
K : Pendekatan pertama terhadap faktor pembobot K
KAT1 = L x KATj x T1
ETp* = ETp x f
ETp = 16 (10T/I)a
I = Ʃ ij
f = D/30
7
Metode Palmer memiliki faktor pembobot K sehingga penyimpangan dari
iklim rata-rata yang terjadi diharapkan dapat diperbandingkan secara lokal baik
dalam skala ruang maupun waktu (Guttman 1995). Sebagai contoh, nilai -3 di
suatu wilyah akan memiliki arti yang sama di wilayah lainnya, meskipun memiliki
jarak yang jauh dan waktu yang tidak sama.
Menurut Hounam et al. (1975), untuk menurunkan kelima konstanta
tersebut memerlukan analisis klimatologi dalam jangka panjang. Koefisien-
koefisien terebut memungkinkan untuk menghitung presipitasi yang telah terjadi
selama bulan tertentu, yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal yang
mengacu pada ketersediaan air. Besarnya evapotranspirasi pada bulan tersebut
dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
(6)
Di mana:
P = Presipitasi dugaan
ETp = Evapotranspirasi potensial
PR = Potential recharge
PRO = Potential runoff
PL = Potential loss
Kenormalan nilai curah hujan sangat bergantung pada perhitungan
cadangan air dan evapotranspirasi bulan sebelumnya. Selisih antara curah hujan
pengamatan dan curah hujan dugaan diwakili oleh huruf d. Apabila selisih
tersebut dikalikan dengan faktor pembobot K, maka akan diperoleh nilai indeks
anomali lengas yang diwakili oleh huruf Z. Indeks kekeringan akhir (X)
bergantung pada nilai Z yang sebelumnya didapatkan dengan persamaan empiris:
(7)
(8)
Dari persamaan 8 dapat dilihat bahwa (Z/3) merupakan keparahan
kekeringan selama satu bulan dan -0.103 (Z/3)j-1 adalah nilai untuk melihat tingkat
keparahan. Nilai 0,103 merupakan nilai yang didapatkan dari penurunan rumus
jumlah kekeringan abnormal yang dibutuhkan untuk melihat tingkat keparahan
kekeringan yang terjadi sehingga didapatkan tingkat perubahan keparahan
kekeringan untuk mendapatkan nilai indeks kekeringan (Palmer 1965).
Jika nilai indeks menunjukkan nilai postif atau lebih besar dari nol, maka
daerah tersebut bersifat basah atau tidak mengalami kekeringan. Sedangkan saat
indeks menunjukkan nilai negatif atau kurang dari nol, maka daerah tersebut
mengalami kekeringan.
Indeks kekeringan Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan
kekeringan jangka panjang dan daerah beriklim tropis, sedangkan untuk
menentukan kekeringan jangka pendek dan daerah beriklim semiarid serta sub-
humid kering indeks Palmer kurang efektif digunakan (Guttman et al.1995).
P = α.ETp + β. PR + γ. PRO + δ.PL
X = (Z/3)j-1 + ΔX
Di mana; ΔX = (Z/3)j – 0.103 (Z/3)j-1
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Provinsi Jawa Barat berada di daratan Pulau Jawa bersama dengan
Provinsi lainnya seperti Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Secara
astronomis wilayah Provinsi Jawa Barat ini terletak pada koordinat antara 550' -
750' Lintang Selatan (LS) dan 10448' - 10848' Bujur Timur (BT) dengan batas
wilayah sebelah utara adalah Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta, sebelah timur
adalah Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan adalah Samudera Indonesia dan
sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas
3.735.327 hektar dan garis pantai sepanjang 755,829 km. Daratan Jawa Barat
dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah
Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500m di atas
permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di
bagian Tengah dengan ketinggian 10-1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas
(54,03%) terletak di bagian Utara dengan ketinggian 0 -10 m dpl (BIG 2010).
Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa sawah (29,03 % dari luas
wilayah Jawa Barat), perkebunan dan ladang (28,52%), dan hutan primer serta
hutan sekunder (18,73%), sementara lahan terbangun dan kawasan industri di
Jawa Barat hanya 12,37% dari seluruh luas wilayah Jawa Barat (BIG 2010).
Berdasarkan data BBSDLP, jenis tanah di wilayah Jawa Barat didominasi
oleh Latosol. Latosol merupakan tanah yang mempunyai kadar liat tinggi (>60%)
dan merupakan jenis tanah yang cocok untuk tanaman padi, palawija, kopi, coklat,
lada, buah-buahan, sayuran dan ubi. Selain Latosol, jenis tanah yang ada di
wilayah Jawa Barat meliputi Aluvial, Andosol, Brown Forest, Glei, Grumosol,
Latosol, Litosol, Mediteran, Organosol, Podsol Merah Kuning, dan Regosol.
Gambar 1 Peta wilayah kajian
UTARA
TENGAH
SELATAN
9
Kondisi Klimatologis Wilayah
Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 17,4 - 30,7°C dan
kelembaban udara antara 73-84%. Data BMKG menyebutkan bahwa sepanjang
tahun 2008, turun hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan
antara 3,6 hingga 332,8 mm (Diperta 2014). Jawa Barat tergolong wilayah dengan
tipe curah hujan monsoonal. Pola curah hujan tipe ini memiliki perbedaan yang
jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau dengan satu puncak musim
hujan dan satu puncak musim kemarau. Secara umum, dapat dilihat pola seperti
huruf U yang tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada pertengahan
tahun. Wilayah dengan pola curah hujan ini dipengaruhi oleh angin monsoon
barat dan angin monsoon timur.
Berdasarkan data curah hujan dan suhu yang didapatkan melalui satelit
CRU untuk wilayah Jawa Barat, dapat dilihat pola sebaran pada gambar berikut.
a b
c
Gambar 2 Hubungan antara curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1980-2012
bagian utara (a), tengah (b) dan selatan (c) Jawa Barat
2424.52525.52626.52727.52828.529
0
100
200
300
400
500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Agu
st
Sep
Okt
No
p
De
s
CH
(m
m)
CH Suhu
24
24.5
25
25.5
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
0
100
200
300
400
500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Agu
st
Sep
Okt
No
p
De
s
CH
(m
m)
CH Suhu
2424.52525.52626.52727.52828.529
0
100
200
300
400
500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Agu
st
Sep
Okt
No
p
De
s
CH
(m
m)
CH Suhu
10
Berdasarkan gambar tersebut, dapat terlihat bahwa curah hujan tertinggi
terdapat di wilayah Jawa Barat bagian selatan sedangkan suhu tertinggi berada
dibagian utara. Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat memiliki nilai curah hujan
tertinggi sebesar 412 mm pada bulan November dan terendah pada bulan Agutus
dengan 75 mm, sedangkan suhu sebesar 25,5-26,5°C. Untuk wilayah utara curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 335 mm dan terendah pada
bulan Agustus sebesar 53 mm, untuk suhu sebesar 27-28°C. Dapat dillihat pada
bulan Juni Juli dan Agustus terjadi penurunan suhu sebesar 0,2-0,3°C, penurunan
suhu tersebut terjadi karena adanya pengaruh radiasi matahari ataupun kecepatan
angin yang cukup tinggi terjadi pada saat itu.
Berdasarkan kondisi klimatologis wilayah Jawa Barat, dapat dikatakan
bahwa wilayah utara lebih panas dibandingkan wilayah bagian tengah dan selatan.
Hal tersebut dapat dilihat pada nilai rata-rata curah hujan yang lebih kecil dan
nilai rata-rata suhu yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Bagian utara
Jawa Barat merupakan wilayah dataran rendah yang dekat dengan pantai dan
memiliki topografi yang landai, selain itu bagian utara didominasi oleh lahan
terbangun dan sawah dengan kemampuan tanah untuk menyimpan air yang cukup
rendah.
Kejadian El Nino akan mempengaruhi wilayah dengan pola curah hujan
monsoonal. Selain El Nino, La Nina pun akan mempengaruhi keadaan curah
hujan suatu wilayah. Perbedaan sebaran curah hujan pada tahun normal, El Nino
dan La Nina dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3 Pola curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat
Secara umum, dapat terlihat bahwa pada tahun-tahun El Nino, sebaran
curah hujan yang dimiliki lebih kecil dibandingkan pada saat tahun-tahun normal
dan La Nina. Untuk curah hujan pada tahun-tahun La Nina, cenderung lebih besar
dibandingkan pada tahun normal meskipun terkadang memiliki curah hujan yang
sama besar. Pada tahun normal curah hujan mencapai 105 – 380 mm. Untuk tahun
La Nina sebaran curah hujan yaitu 80 – 390 mm sedangkan pada tahun-tahun El
Nino nilai curah hujan sebesar 25 – 350 mm (Tabel 2).
050
100150200250300350400450
CH
(m
m)
Normal El Nino La Nina
11
Tabel 2 Sebaran curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat
Bulan CH
Normal El Nino La Nina
Januari 380 343 330
Februari 285 282 338
Maret 321 284 315
April 308 281 301
Mei 182 179 257
Juni 126 70 141
Juli 105 66 106
Agustus 106 25 82
September 121 84 156
Oktober 295 168 280
Nopember 320 306 386
Desember 318 316 334
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Kapasitas air tersedia merupakan kemampuan atau kapasitas tanah untuk
menyimpan air dan dimanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk tumbuh. Menurut
Turyanti (1995), lapisan tanah terbagi menjadi dua jenis, yaitu lapisan tanah
bagian atas sedalam ±25 cm dan lapisan tanah bagian bawah yang dalamnya
sesuai dengan zone perakaran. Nilai KAT sendiri didapatkan menggunakan
bantuan tabel pendugaan KAT dari Thornthwaite dan Mather (1957).
Wilayah Jawa Barat bagian utara didominasi oleh sawah dan lahan
terbangun, dengan luas sawah mencapai 30-65% dan luas wilayah terbangun
mencapai 15-45%. Nilai KAT pada lapisan atas berkisar 40-60 mm, sedangkan
nilai KAT pada lapisan bawah berkisar antara 60-120 mm.Wilayah Jawa Barat
bagian selatan dan barat di dominasi oleh kebun dan hutan dengan nilai KAT
bagian atas berkisar 60-70 mm dan nilai KAT bagian bawah berkisar antara 160-
230 mm. Untuk wilayah Jawa Barat bagian tengah di dominasi oleh tutupan lahan
sawah, kebun dan hutan dengan nilai KAT bagian atas berkisar antara 50-60 mm
dan 120-180 mm untuk nilai KAT bagian bawah.
Perhitungan Neraca Air
Neraca air dihitung pada setiap wilayah yang sudah dibagi. Masing-
masing akan menghasilkan nilai koefisien neraca air, yaitu α (koefisien
evepotranspirasi), β (koefisien recharge), γ (koefisien runoff) dan δ (koefisien
loss). Dimana setiap koefisien neraca air tersebut akan digunakan dalam
perhitungan indeks Palmer.
Besarnya selisih curah hujan dan evapotranspirasi potensial dapat
mempengaruhi cadangan air tanah. Hujan yang turun setelah terjadi penurunan
cadangan air tanah, diasumsikan mengisi air tanah lebih dulu hingga mencapai
kapasitas lapang, kemudian terjadi limpasan. Saat selisih curah hujan dan
evapotranspirasi bernilai negatif maka akan terjadi loss (L). Loss merupakan
12
jumlah kehilangan air pada kedua lapisan tanah. Jika tidak terjadi hujan pada
periode tersebut, maka jumlah kehilangan air disebut Potential Loss (PL).
Apabila nilai negatif ini terus berlangsung, maka tanah dilapisan bawah akan
mengalami kehilangan air karena air pada tanah lapisan atas sudah habis terlebih
dahulu dan kehilangan cadangan air.
Recharge (R) terjadi saat selisih curah hujan dan evapotranspirasi bernilai
postitif dan kedua lapisan tanah belum mencapai kapasitas lapang. Potential
Recharge (PR) sendiri merupakan jumlah air yang diperlukan untuk pengisian
cadangan air tanah kedua lapisan hingga mencapai kapasitas lapang. Ketika tanah
telah mencapai kapasitas lapang maka PR akan bernilai 0, hal ini dkarenakan
hujan yang jatuh di permukaan tanah seluruhnya akan menjadi RO dan perkolasi
sebagai surplus air. Nilai RO dan PR saling bertolak belakang satu sama lain. Saat
nilai RO menurun maka nilai PR akan menurun, begitu juga sebaliknya.
Koefisien evapotranspirasi (α) merupakan nilai yang menggambarkan
besarnya evapotranspirasi di suatu wilayah yang berkisar antara 0 sampai 1. Pada
umumnya nilai koefisien evapotranspirasi mendekati 1 pada bulan-bulan basah
dan mendekati 0 pada saat bulan kering. Hal tersebut menunjukkan bahwa
evapotranspirasi akan mencapai nilai potensialnya saat wilayah tersebut
mengalami musim hujan. Sedangkan nilai koefisien evapotranspirasi akan
mernurun saat memasuki musim kemarau, karena kondisi cadangan air pada
musim kemarau akan menurun dan mempengaruhi evapotranspirasi aktual.
Gambar 4 Grafik nilai koefisien evapotranspirasi (α) dari 3 wilayah di Jawa Barat
Wilayah Jawa Barat memiliki nilai koefisien evapotranspirasi lebih dari
0,7 yang berarti bahwa evapotranspirasi aktual yang terjadi lebih dari 70% dan
melebihi nilai evapotranspirasi potensialnya. Berdasarkan gambar 4, wilayah
tengah dan selatan mempunyai pola yang relatif sama, dengan nilai koefisien
tertinggi 1 yang terjadi pada bulan-bulan basah dan nilai koefisien terendah yaitu
0,4 yang terjadi pada bulan September dan Oktober. Wilayah utara memiliki nilai
koefisien terendah pada bulan Oktober dengan nilai mendekati 0 dan memiliki
nilai tertinggi yaitu 1 pada bulan-bulan basah. Penurunan nilai koefisien
evapotranspirasi yang terjadi lebih awal pada bulan Mei menyebabkan wilayah
tersebut mengalami penurunan kondisi cadangan air tanah yang lebih lama
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Utara Tengah Selatan
13
dinbandingkan wilayah lain dan berpotensi menjadi daerah kering. Umumnya
wilayah dengan nilai koefisien terendah adalah wilayah utara Jawa Barat.
Gambar 5 Grafik nilai koefisien recharge (β) dari 3 wilayah di Jawa Barat
Koefisien recharge (β) merupakan nilai yang menggambarkan besarnya
pengisian air tanah yang terjadi saat hujan hingga mencapai kapasitas lapang.
Nilai β mendekati 1 saat terjadi penambahan air hujan kedalam tanah setelah
terjadinya defisit cadangan air tanah. Saat koefisien recharge bernilai 1 maka
pengisian air tanah saat hujan telah mendekati nilai potensialnya hingga mencapai
kapasitas lapang. Nilai β akan mendekati 0 saat tidak terjadinya defisit air tanah
sehingga hujan yang turun diasumsikan melimpas. Secara umum, nilai koefisien
recharge bernilai 1 saat musim hujan dan bernilai 0 saat musim kemarau.
Berdasarkan gambar 5, nilai koefisien recharge cenderung menurun
bahkan mendekati nol saat bulan Juni hingga September. Hal ini dikerenakan pada
bulan-bulan tersebut, curah hujan yang jatuh ke permukaan cenderung menurun
sehingga nilai β pun ikut menurun. Secara umum, nilai β cenderung tak beraturan,
karena selain dipengaruhi oleh besarnya curah hujan tapi dipengaruhi juga oleh
faktor-faktor lain seperti vegetasi, tekstur dan struktur tanah dan juga kelerengan
yang tidak dihitung pada perhitungan ini.
Gambar 6 Grafik nilai koefisien runoff (γ) dari 3 wilayah di Jawa Barat
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Utara Tengah Selatan
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Utara Tengah Selatan
14
Koefisien runoff (γ) merupakan nilai yang menggambarkan besarnya curah
hujan yang mengalir menjadi limpasan permukaan (runoff). Pada dasarnya,
fluktuasi nilai γ hampir sama dengan fluktuasi nilai α. Nilai koefisien runoff akan
mendekati 1 saat musim hujan, karena hujan yang turun dan jatuh ke permukaan
akan menjadi runoff seluruhnya. Sedangkan saat musim kemarau nilainya akan
mendekati 0 karena hujan yang jatuh akan terinfiltrasi kedalam tanah.
Berdasarkan gambar 6, pada musim hujan nilai koefisen runoff mendekati
1 dan perlahan menurun saat memasuki musim kemarau. Pada wilayah utara, nilai
koefisien limpasan paling cepat mengalami penurunan dan memiliki nilai
koefisien paling tinggi diantara wilayah lainnya. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa wilayah bagian utara mengalami penurunan curah hujan dan juga tidak
memiliki daerah resapan yang cukup efektif. Berbeda halnya dengan wilayah
tengah yang memiliki nilai koefisien runoff mendekati 0 pada musim kemarau,
hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi daerah yang efektif terhadapan resapan air
atau karena curah hujan yang menurun.
Gambar 7 Grafik nilai koefisien loss (δ) dari 3 wilayah di Jawa Barat
Koefisien loss (δ) merupakan nilai yang menunjukkan kehilangan lengas
tanah yang terjadi. Nilai δ berkebalikan dengan ketiga paramater sebelumnya,
dimana pada musim kemarau nilai δ lebih tinggi hingga mendekati 1 dan pada
musim hujan nilai δ akan lebih rendah mendekati 0. Pada musim kemarau, hujan
yang jatuh ke permukaam menurun sehingga cadangan air tanah dan
evapotranspirasi aktual menurun dan potensial kehilangan lengas pun menurun.
Sedangkan pada musim hujan, diasumsikan tidak terjadi evapotranspirasi
sehingga potensi kehilangan lengas cukup besar.
Berdasarkan gambar 7, pada musim kemarau nilai koefisien loss perlahan
meningkat hingga mencapai titik tertinggi pada bulan September. Hal tersebut
membuktikan bahwa pada ketiga wilayah tersebut, potensial kehilangan lengas
tertinggi terjadi pada bulan September. Sedangkan pada musim hujan, nilai
koefisien loss cenderung menurun bahkan mendekati 0.
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Utara Tengah Selatan
15
Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan Palmer merupakan indeks yang menggunakan angka
dengan kisaran -4 sampai 4. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan,
indeks kekeringan di Jawa Barat menunjukkan sebaran yang cukup besar, dengan
nilai tertinggi yaitu 22 dan nilai terendah -34. Nilai tersebut jauh melebar
dibandingkan klasifikasi yang telah disusun oleh Palmer. Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya perbedaan curah hujan di tempat penelitian Palmer dan di
Indonesia, khususnya Jawa Barat. Selain itu, kondisi El Nino dan La Nina pun
dapat menyebabkan kondisi kering dan basah pada suatu wilayah semakin
panjang, terutama pada wilayah dengan pola hujan monsoon dimana pengaruh El
Nino akan lebih kuat (Tjasyono 1997).
DJF MAM JJA SON
Gambar 8 Perbandingan sebaran rata-rata indeks kekeringan tahun normal di Jawa
Barat
Berdasarkan Gambar 8 dapat terlihat bahwa Jawa Barat merupakan
wilayah dengan kategori normal. Pada bulan SON dan DJF wilayah Jawa Barat
bagian selatan cenderung basah, sedangkan pada bulan MAM dan JJA wilayah
bagian utara memiliki indeks lebih kering. Secara umum, bagian selatan Jawa
Barat lebih basah dibandingkan bagian selatan. Hal ini dikarenakan bagian selatan
berada pada elevasi tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan sehingga curah hujan
dan kemampuan tanah untuk menyimpan cadangan air lebih tinggi.
ENSO merupakan salah satu fenomena iklim yang berkaitan dengan
indeks osilasi selatan yang terjadi di Samudera Pasifik. Peristiwa ENSO terbagi
menjadi dua yaitu El Nino dan La Nina, dimana keduanya dapat mempengaruhi
variabilitas iklim di Indonesia. El Nino dapat menyebabkan memanasnya suhu
muka air laut di daerah Samudra Pasifik yang terjadi secara berkala dan dalam
selang waktu tertentu, serta ditandai dengan meningkatnya perbedaan tekanan
udara antara Darwin dengan Tahiti. Pada saat yang bersamaan, terjadi perubahan
pola tekanan udara yang berdampak luas dengan gejala yang berbeda-beda. Secara
umum fenomena ini mengakibatkan curah hujan berkurang di daerah-daerah yang
terkena dampaknya (Fox 2000). Tingkat Kejadian El Nino dan La Nina dapat
diklasifikan menjadi tiga skala yaitu ringan, sedang dan tinggi. Perbedaan
intensitas tesebut dipengaruhi oleh nilai SST di Samudera Pasifik dan nilai
perubahan tekanan udara yang dapat terbaca melalui nilai SOI yang menyatakan
semakin semakin besar nilai negatifnya maka intensitas El-Nino akan semakin
kuat. Selama periode antara tahun 1980-2012 telah terjadi beberapa kejadian El-
Nino dan La-Nina dalam tiga skala tersebut, seperti pada tabel berikut
16
Tabel 3 Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina dari tahun 1980-2012
El-Nino La-Nina
Weak Moderate Strong Weak Moderate Strong
2004-2005 1986-1987 1982-1983 1983-1984 1998-1999 1988-1989
2006-2007 1991-1992 1987-1988 1995-1996 2007-2008 1999-2000
1994-1995 1997-1998 2000-2001 2010-2011
2009-2010 2002-2003 2005-2006
2008-2009
2011-2012
Sumber: ggweather.com/enso/oni.htm
ENSO berpengaruh terhadap iklim monsun yang ada di Indonesia (Qian et
al. 2010) yaitu sirkulasi atmosfer dan cuaca. Indonesia menerima dampak ENSO
yang besar karena merupakan daerah pemanasan samudera yang paling intensif
yang akan memengaruhi sirkulasi konvektif. Faktor tersebut menyebabkan
Indonesia memiliki curah hujan tinggi dan menjadi sumber utama pemanasan
atmosfer global (Kahya 1993).
Secara keseluruhan kondisi El Nino di wilayah Indonesia menyebabkan
penurunan curah hujan hingga 100 mm/bulan. Penurunan curah hujan tertinggi
terjadi di wilayah Indonesia bagian timur sedangkan peningkatan curah hujan
terjadi di sebagian wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau
hingga 50 mm/bulan. Kondisi anomali suhu permukaan laut (ASPL) di perairan
Indonesia mengalami penurunan sedangkan di Samudera Pasifik mengalami
peningkatan ASPL sehingga Indonesia mengalami tekanan tinggi dan angin akan
membawa uap air yang berpotensi menjadi awan hujan bergerak menuju perairan
yang bertekanan rendah.
Menurut Tjasyono (1997) pengaruh ENSO akan kuat pada daerah dengan
pola curah hujan monsoon, lemah pada daerah dengan pola curah hujan equatorial
dan tidak jelas dengan pola curah hujan lokal. Jawa Barat dengan pola curah hujan
monsoon membuat Jawa Barat menjadi wilayah yang dipengaruhi oleh El Nino.
Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El Nino juga
berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. Di samping itu periode musim
hujan akan lebih pendek (Kailaku 2009).
Pulau Jawa merupakan wilayah beriklim monsun yang menerima dampak
El Nino. Akan tetapi, topografinya yang kompleks menyebabkan terjadinya
keragaman pengaruh. Efek orografis yang terjadi pada wilayah pegunungan lebih
dipengaruhi oleh iklim lokal (angin gunung) dibandingkan dengan iklim monsun
(Mc Gregor 1998).
17
Gambar 9 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino di Jawa Barat
Gambar 9 menunjukkan sebaran indeks kekeringan maksimal pada tahun-
tahun El Nino. Sebagian besar wilayah utara Jawa Barat mengalami kekeringan
dengan indeks sedikit kering hingga ekstrem kering. Hal ini dapat menyebabkan
wilayah utara Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang rawan terhadap
kekeringan.
Indeks kekeringan yang didapat pada tahun-tahun normal, El-Nino dan La-
Nina berbeda satu sama lain. Pada tahun-tahun El-Nino terdapat indeks bernilai
negatif yang terjadi selama 5-6 bulan berturut-turut bahkan terus berlangsung
hingga tahun berikutnya. Nilai indeks negatif pun dapat terjadi pada tahun normal
bahkan tahun basah. Hal ini terjadi hanya pada wilayah tertentu dengan situasi-
situasi lokal yang ada. Secara keseluruhan selama periode 1980-2012 wilayah
Jawa Barat cenderung berada pada kategori normal. Hanya pada bulan-bulan dan
pada wilayah-wilayah tertentu indeks bernilai negatif dan tidak berlangsung
dalam waktu yang lama.
El Nino Normal
DJF
18
MA
M
El Nino
Normal
JJA
SO
N
Gambar 10 Perbandingan sebaran indeks kekeringan maksimum tahun El Nino
dan Normal di Jawa Barat
Berdasarkan gambar 10, terlihat bahwa pada tahun normal bulan SON
kondisi wilayah Jawa Barat mulai basah dibagian selatan, sedangkan pada tahun
El Nino bulan SON wilayah Jawa Barat lebih kering dibandingkan bulan lainnya.
Menurut Qian et. al (2010) dampak El Nino lebih signifikan pada bulan
September Oktober November (SON), El Nino pun dapat memberikan dampak
signifikan dalam menurunkan curah hujan pada bulan Desember Januari Februari
(DJF). Hal ini sesuai dengan Aldrian (2003) yang menyatakan bahwa pengaruh
ENSO di Indonesia dimulai pada bulan April dan akan mencapai puncak pada
bulan Agustus dan September serta terus menurun sampai bulan November dan
Desember. Hal ini dikarenakan anomali curah hujan dan suhu permukaan laut
(ASPL) Pulau Jawa bernilai negatif sejak musim JJA hingga SON dengan
anomali negatif tinggi pada musim SON hampir di seluruh wilayah pulau Jawa.
19
Pada bulan SON, terdapat dua wilayah kuat yang terkait dengan atmosfer antara
Sanudera Pasifik dan Samudera Hindia serta sirkulasi Walker dimana pusat
tekanan panas fenomena atmosfer tropis berada dekat dengan Indonesia.
Meningkatnya kekeringan bulan SON pada tahun El Nino merupakan salah satu
penyimpangan iklim yang terjadi dimana seharusnya pada bulan-bulan tersebut
kekeringan sudah mulai berkurang sehingga kondisi akan semakin basah. Dapat
dikatakan bahwa puncak kekeringan pada tahun El Nino terjadi pada bulan
Agustus dan September.
Tingginya indeks kekeringan pada bulan SON, selain dipengaruhi oleh
ENSO juga dipengaruhi oleh kemampuan tanah dalam menyimpan cadangan air.
Pada perhitungan indeks kekeringan yang dilakukan, nilai indeks kekeringan juga
dipengaruhi oleh nilai KAT lapisan tanah pada bulan sebelumnya. Hal ini terjadi
karena proses pergerakan air dalam tanah memerlukan waktu sehingga terjadinya
lag. Turyanti (1995) menyatakan bahwa indeks kekeringan sangat dipengaruhi
oleh curah hujan bulanan pada periode yang sama dan oleh curah hujan bulan
sebelumnya. Penurunan curah hujan dalam waktu yang singkat jika kondisi
sebelumnya normal tidak akan begitu berpengaruh terhadap kondisi air tanah pada
saat itu. Tetapi jika curah hujan berkurang terus-menerus, maka kondisi air tanah
akan mulai terpengaruh. Hal inilah yang menyebabkan terkadang masih terjadi
penurunan nilai indeks ketika curah hujan mulai meningkat.
Wilayah utara Jawa Barat berada pada sabuk pantai (the coastal belt) yang
membentuk dataran rendah yang terbentang dari laut ke bukit-bukit dibawah
gunung. Sungai yang mengalir melintasi dataran ini pun menyediakan air irigasi
untuk menngaliri lahan pertanian. Kondisi inilah yang menjadikan wilayah pantai
utara cocok dijadikan lahan pertanian terutama sawah bahkan menjadi sentra
produksi beras Nasional. Menurut Pramudia (2002), wilayah pantai utara Jawa
Barat memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kekeringan dan
penurunan produksi, terutama pada tahun-tahun El Nino.
Secara umum dapat terlihat bahwa wilayah Jawa Barat bagian utara lebih
kering dan lebih rawan kekeringan dibandingkan bagian selatan. Daruati (2011)
menyatakan bahwa kekeringan lebih banyak terjadi pada kemiringan lereng datar
yang biasanya terdapat di daerah dataran rendah, hal tersebut disebabkan dataran
rendah memiliki suhu yang lebih tinggi dan penguapan yang lebih besar. Kondisi
tersebut terjadi di wilayah utara Jawa Barat yang mempunyai tingkat kekeringan
lebih tinggi dibandingkan daerah yang lebih bergunung. Selain dipengaruhi oleh
faktor topografi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor tutupan lahan. Wilayah
utara merupakan daerah dataran rendah dengan tutupan lahan sebagian besar
berupa sawah. Sedangkan wilayah selatan berada pada elevasi cukup tinggi karena
terdapat banyak pegunungan dan tutupan lahannya didominasi oleh hutan primer
dan hutan sekunder serta semak belukar yang lebih efektif untuk menampung
cadangan air tanah. Kebutuhan air yang cukup besar di wilayah utara pun dapat
menjadi salah satu faktor penyebab kekeringan jika tidak diimbangi dengan
ketersediaan air di wilayah tersebut. Wilayah pantai utara mempunyai kebutuhan
air yang tinggi, selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari,
tingginya kebutuhan air pun digunakan untuk mengairi sawah. Menurut Siregar
(2011) sebagian besar air tanah permukaan di wilayah utara memiliki tingkat
salinitas yang tinggi sehingga tidak bisa digunakan untuk mengairi sawah di
musim kemarau.
20
Hubungan Antara Curah Hujan dan Indeks Kekeringan
Penyebaran Curah hujan sangat beragam dan tidak merata menurut tempat,
topografi dan waktu. Perbedaan penyebaran curah hujan itulah yang menyebabkan
adanya perbedaan tingkat kekeringan antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Hal itulah yang menyebabkan dampak yang ditimbulkan akan berbeda pula.
Sehingga dapat dikatakan bahwa indeks kekeringan pada suatu wilayah
dipengaruhi oleh intensitas curah hujan.
Tahun-tahun El Nino yang diambil yaitu tahun 1987, 1997 dan 2002.
Tahun-tahun tersebut diambil karena merupakan tahun El Nino dengan kondisi
terkering. Menurut Irawan (2006) dan Australian Boreau of Meteorology, pada
tahun 1987 terjadi El Nino selama 10 bulan dengan nilai SOI sebesar -15,7 dan
pada tahun 1997-1998 El Nino terjadi selama 14 bulan dengan nilai SOI mencapai
-18. Nugroho (2003) pun menyatakan bahwa tahun 2002 merupakan tahun dengan
nilai indeks kekeringan tertinggi.
Gambar 11 menunjukkan hubungan antara curah hujan dan Indeks
kekeringan pada bulan-bulan kering dengan Sumbu X adalah nilai curah hujan
dan sumbu Y adalah nilai indeks kekeringan. Nilai indeks terkecil terjadi pada
bulan September tahun 1997 dengan nilai indeks mencapai -3 pada curah hujan
nol. Grafik trendline berkorelasi negatif sehingga dapat dinyatakan bahwa pada
saat bulan-bulan kering hubungan antara tingkat kekeringan dan curah hujan
adalah berbanding terbalik. Semakin tinggi curah hujannya maka tingkat
kekeringannya akan semakin rendah.
Pola Tanam Tanaman Pangan
Ketersediaan air merupakan variabel utama yang mempengaruhi petani
untuk memutuskan jadwal pola tanam, panen serta kegiatan yang lain dalam
mengelola tanaman. Umumnya penetapan awal tanaman dan pola tanaman padi
dan palawija untuk setiap daerah di Indonesia sebagian besar masih seragam
karena hanya berpatokan pada musim hujan dan musim kemarau saja. Petani
bercocok tanam dua atau tiga kali setahun, tergantung pada pola curah hujan dan
ketersediaan air irigasi pada wilayah tersebut.
Indeks kekeringan Palmer dapat digunakan untuk menganalisis pola tanam
karena dalam perhitungannya terdapat faktor curah hujan dan ketersediaan air
tanaman. Dalam indeks Palmer parameter curah hujan merupakan satu-satunya
sumber air yang diperhitungkan, sedangkan irigasi tidak dimasukkan sebagai
parameter input. Nilai positif pada indeks Palmer menunjukkan daerah tersebut
bersifat basah sedangkan nilai negatif menunjukkan terjadinya kekeringan. Dapat
diasumsikan pada bulan-bulan dengan nilai indeks negatif kondisi cenderung
lebih kering sehingga tidak direkomendasikan melakukan penanaman.
21
1987 1997 2002 JU
NI
JU
LI
AG
US
TU
S
SE
PT
EM
BE
R
Gambar 11 Grafik hubungan curah hujan dan indeks kekeringan bulan Juni sampai
September pada tahun El-Nino kuat (1987, 1997 dan 2002) di Jawa
Barat
y = 0.0021x - 0.4075 R² = 0.1143
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 100 200
Ind
eks
CH
Juni Linear (Juni)
y = 0.0088x - 0.6575 R² = 0.1425
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 100 200
Ind
eks
CH Juni Linear (Juni)
y = 0.0024x - 0.256 R² = 0.1932
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 100 200
Ind
eks
CH
Juni Linear (Juni)
y = 0.0003x - 0.0749 R² = 0.1097
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 200
Ind
eks
CH Juli Linear (Juli)
y = 0.0052x - 0.4397 R² = 0.0979
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 100 200
Ind
eks
CH Juli Linear (Juli)
y = 0.0006x - 0.0381 R² = 0.202
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 100 200
Ind
eks
CH
Juli Linear (Juli)
y = 0.0111x - 0.1943 R² = 0.2673
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 10 20 30
Ind
eks
CH Agustus Linear (Agustus)
y = 0.0076x - 0.0672 R² = 0.2748
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 10 20 30
Ind
eks
CH
Agustus Linear (Agustus)
y = 0.012x - 0.143 R² = 0.2517
-1.0
-0.5
0.0
0.5
0 10 20 30
Ind
eks
CH
Agustus Linear (Agustus)
y = 0.0028x - 0.1794 R² = 0.1662
-3.0
-2.0
-1.0
0.0
1.0
2.0
0 50 100Ind
eks
CH September Linear (September)
y = 0.0208x - 0.5457 R² = 0.062
-3.0
-2.0
-1.0
0.0
1.0
2.0
0 50 100
Ind
eks
CH September Linear (September)
y = 0.0088x - 0.2853 R² = 0.185
-3.0
-2.0
-1.0
0.0
1.0
2.0
0 50 100
Ind
eks
CH September Linear (September)
22
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan air saat bercocok tanam yaitu
dengan irigasi. Air irigasi ditambahkan kedalam tanah untuk menyediakan air
yang diperlukan saat pertumbuhan tanaman serta mendinginkan tanah dan
atmosfer sehingga menimbulkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan
tanaman dan mengalirkan air yang mengandung zat-zat berguna bagi tanaman.
Irigasi yang diterapkan pada lahan pertanian juga berpengaruh terhadap pola
bercocok tanam tanaman. Jenis irigasi yang ada dapat pula menentukan
kerawanan suatu wilayah terhadap kekeringan.
Berdasarkan data dari Kementrian Pekerjaan Umum tahun 2005,
didapatkan bahwa dari 16 Kabupaten di Jawa Barat hanya 3 kabupaten yang tidak
tercakup wilayah irigasi, yaitu kabupaten Bandung, Subang dan Sumedang.
Walaupun demikian, menurut Daruati (2011) di Kabupaten Subang banyak dibuat
sumur untuk pengairan sawah yang dialirkan pipa-pipa sehingga bisa panen tiga
kali dalam setahun. Wilayah yang paling luas cakupan irigasinya adalah
Kabupaten Karawang, Indramayu, Bekasi dan Cirebon yang keseluruhan
wilayahnya berada di Pantai Utara Jawa Barat.
Ketersediaan air irigasi pada dasarnya sangat berkorelasi dengan volume
curah hujan. Las et al. (1999) dan Irianto et al. (2001) menyatakan bahwa
kejadian El Nino memiliki pengaruh terhadap curah hujan yang juga akan
mempengaruhi ketersediaan air irigasi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian. Penurunan debit air irigasi saat El Nino dapat menurunkan produksi
pangan di daerah beririgasi terutama pada musim kemarau. El-Nino pun dapat
menyebabkan pergeseran waktu dan pola tanam bahkan untuk semua jenis
tanaman.
Pada tahun El Nino, sebagian besar wilayah Jawa Barat mengalami
kekerigan awal. Untuk mengantisipasi kekeringan ekstrem yang terjadi, tanaman
padi dapat ditanam 1 hingga 2 kali namun hasil produksi padi akan menurun.
Sedangkan tanaman palawija dapat ditanam sembarang waktu atau pada saat
tanaman padi sedang tidak ditanam. Untuk penanaman pada saat El Nino, harus
dipastikan ketersediaan kebutuhan air tanaman dapat terpenuhi dari sistem irigasi.
Secara umum awal musim tanam di sebagian besar wilayah Jawa Barat
rata-rata dimulai pada bulan November kecuali di wilayah Jawa Barat bagian
utara dan timur awal tanam terjadi pada bulan Desember. Pola tanam yang dapat
digunakan adalah padi-padi palawija pada Jawa Barat bagian selatan dan padi-
palawija-palawija pada wilayah Jawa Barat bagian utara dengan asumsi tidak
adanya irigasi. Jika memperhitungkan adanya irigasi, maka pola tanam yang dapat
digunakan adalah Padi-Padi-Padi untuk bagian selatan dan Padi-Padi-Palawija
untuk bagian utara. Pola tanam Padi-Padi-Padi dapat diterapkan pada bagian utara
jika kondisi irigasi cukup baik. Menurut Ruminta (2012) awal musim tanaman
pangan di sebagian besar wilayah Jawa Barat berkisar antara 18-24 dasarian (6
hingga 7 bulan) dengan rata-rata 22 dasarian, kecuali di wilayah Jawa Barat
bagian utara dan timur seperti Subang dan Cirebon lama masa tanam kurang dari
15 dasarian (kurang dari 5 bulan).
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan indeks kekeringan yang diperoleh, Jawa Barat memiliki
indeks tertinggi 22 dan nilai terendah -34. El Nino mempengaruhi kekeringan di
Jawa Barat. Puncak kekeringan terjadi pada bulan Agustus dan September.
Secara umum, dapat terlihat bahwa wilayah Jawa Barat bagian utara
memiliki kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan bagian tengah dan selatan
Jawa Barat yang cenderung lebih basah.
Pola tanam untuk sebagian besar wilayah Jawa Barat yang dapat
diaplikasikan jika tidak ada irigasi adalah, padi-padi-palawija dengan awal musim
tanam pada bulan November, jika terdapat irigasi, padi dapat ditanam hingga tiga
kali setahun. Sementara untuk wilayah utara yang cenderung lebih kering jika
tidak ada irigasi pola tanam yang dapat diterapkan adalah padi-palawija-palawija
dan awal tanam pada bulan Desember, jika kondisi irigasi memadai padi dapat
ditanam dua hingga tiga kali setahun
.
Saran
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan faktor kelerengan
yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap neraca air sehingga analisis yang
dilakukan akan lebih akurat. Ketersediaan air irigasi pada suatu wilayah pun akan
mempengaruhi keakuratan penentuan pola tanam dan awal musim tanam setiap
wilayah. Selain itu, besarnya pengaruh ENSO di wilayah utara dan selatan Jawa
Barat pun dapat menjadi salah satu fokus utama untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian ES. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International
Journal Climatology 23: 1435-1452.
[BPS JABAR] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2012. Luas panen, produktivitas
dan produksi pertanian di Jawa Barat [Internet]. [diunduh 24 Desember
2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/pertanian
Cahyono B. 2007. Kedelai, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Jakarta (ID): Aneka Ilmu.
Daruati D. 2011. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi
Jawa Barat [Tesis]. Jakarta (ID). Universitas Indonesia.
[DIPERTA] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2014.
Geografi dan Topografi Jawa Barat. [Internet]. [diunduh 24 Desember
2014]. Tersedia pada: http://diperta.jabarprov.go.id.
Fox JJ. 2000.The Impact of the 1997-1998 El Nino on Indonesia, In : R.H. Grove
and J Chappell, El Nino – History and Crisis, Studies from the Asia-Pacific
region. Cambridge UK (GD). The White House Press.
Grigg NS. 1996. Water Resources Management: Principle, Regulations and
Cases. United States (US): McGraw-Hill.
24
Guttman NB, Wallis JR, Hosking JRM. 1992. Spatial comparability of the Palmer
Drought Severity Index. Water Resources Bulletin. 28(6):1111-1119.
Hadiani RR. 2009. Analisis Kekeringan Berdasarkan Data Hidrologi [Disertasi].
Malang (ID). Universitas Brawijaya Malang.
Handayani, W. 1993. Agihan dan Kecenderungan Kekeringan Menggunakan
Indeks Kekeringan Menurut Thornwaite di Daerah Kedu Selatan [Skripsi].
Yogjakarta (ID). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Hayes MJ, Svoboda MD, Wall N, Widhalm M. 2001. The Lincoln declaration on
Drought Index Recommended. Bulletin of the American Meteorologist
Society. 92(4): doi:10.1175/2010BAMS313.1.
Hounam CE, Burgos JJ, Kalik MS, Palmer WC, Rodda J. 1975. Drought and
Agriculture. Technical Note 138. United States (US). World Meteorological
Organization.
Irawan B. 2006. Fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan
jangka panjang dan pengaruhnya terhadap produksi pangan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 2006 Jul. Bogor (ID). 24(1): 28-45.
Irianto G, Amien I, Las I, Rachman B. 2001. Laporan hasil penelitian pengelolaan
air berbasis pulau untuk mengantisipasi kelangkaan air dan mencapai
ketahanan pangan. Jakarta (ID): Puslitbangtanak.
Kahya E, Dracup JA. 1993. US Streamflow Patterns in Relation to the El
Nino/Southern Oscillation. Water Resources Research 29 (8): 2491- 2503.
Kailaku TE. 2009. Pengaruh ENSO (El Nino-Southern Oscillation) dan IOD
(Indian Ocean Dipole) terhadap dinamika waktu tanam padi di wilayah tipe
hujan equatorial dan monsunal (studi kasus Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Las I, Makarim AK, Sumarno S, Purba M, Mardiharini, Kartaatmaja S. 1999.
Laporan hasil penelitian analisis peluang penyimpangan iklim dan
ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP Padi 300. Jakarta (ID):
Puslitbangtanah.
McGregor GR, Nieuwolt S. 1998. Tropical Climatology. United Kingdom (GD).
John Wiley & Sons Ltd.
McWilliams DA, Berglund DR, Endres GJ. 1999. Corn Growth and Management
Quickguide[Internet]. [diunduh 24 Desember 2014]. Tersedia pada:
www.ag.ndsu.edu
Mitchell TD, Jones PD. 2005. An improve method of constructing a
database of monthly climate observations and associated high-resolution
grids. Int. J. Climatol 25: 693-712.
Murthy, VRK. 1996. Terminology in Agricultural Meteorology. India (IN).
Andhara Padesh Agricultural University India.
[NOAA] National Oceanic and Atmosphere Administration. 2008. Drought.
National Oceanic Atmosphere Administration National Weather Service.
Nugroho AP, Hadiani R, Susilowati. 2013. Analisis kekeringan daerah aliran
sungai Keduang dengan menggunakan metode Palmer. Konferensi Nasional
Teknik Sipil. 2013 Okt 24-26. Surakarta (ID). Universitas Sebelas Maret.
Ogallo LJ, Gbckor-kove N. 1989. Droughtand desertification. WCAP7WMO/TD
No.286.
25
Palmer WC. 1965. Meteorological Drought. Research Paper 45. Washington DC
(US). US Weather Bureau.
Pramudia A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di
Pantai Utara Jawa Barat terhadap Kekeringan dan El Nino [Tesis]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Qian JH, Robertson AW, Moron V. 2010. Interaction Among ENSO, the
Monsoon and Diurnal Cycle in Rainfall Variability Over Java, Indonesia.
Journal of the Atmospheric Sciences 67: 3509 – 3524.
Ruminta. 2012. Analisis Dampak Perubahan Pola Curah Hujan Terhadap Sistem
Pertanian tanaman Pangan Lahan Kering di Jawa Barat [Internet]. [diunduh
26 Januari 2015]. Tersedia pada: http://blogs.unpad.ac.id/ruminta/
files/2012/07/Penelitian-Stategis-Nasional.pdf.
Setiawan AC. 2000. Analisis Wilayah Rawan Kekeringan Untuk Pengembangan
Sistem Usaha Pertanian Padi Gogo di Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Siregar PR, Crane TA. 2011. Climate Information and Agricultural Practice in
Adaptation to Climate Variability: The Case of Climate Field Schools
in Indramayu, Indonesia. Culture, Agriculture, Food and Environment
Journal (33): 2.
Subdiyakto. 1985. Evaluasi Kekeringan di Daerah Kedu Selatan dengan
Menggunakan Indeks Palmer [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Suhaeni N. 2007. Petunjuk Praktis Menanam Kedelai. Bandung (ID): Nuansa.
Tjasyono B. 1997. Mekanisme fisis pra, selama dan pasca El Nino. Workshop
Kelompok Peneliti Dinamika Atmosfer. 1997 Mar13-14. Indonesia (ID).
Turyanti A. 1995. Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. [Skripsi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
[WMO]. World Meteorological Organization. 1974. International Glossary of
Hydrology. Geneva (CH). WMO-No.385.
26
LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian
27
Lampiran 2 Langkah perhitungan indeks kekeringan
1. KAT = Kapasitas air tersedia (mm)
KATa = Kapasitas sir tersedia tanah lapisan atas
KATb = Kapasitas air tersedia tanah lapisan bawah
2. CH = Curah hujan
ETP = Evapotranspirasi Potensial
CH-ETP = Selisih curah hujan dan ETP
3. Perubahan lengas tanah (ΔS)
ΔSa = Perubahan lengas lapisan atas pada akhir bulan (mm) dihitung
dengan syarat:
- Jika CH < ETP, maka ΔSa = Saj-i atau ETP-CH, dipilih mana yang
paling kecil
- Jika CH > ETP dan jika Sbj-i maka ΔSa = KATa - Saj-i dan ΔSa
maksimum = CH – ETP
- Pada bulan-bulan dengan CH < ETP, maka ΔSa adalah negatif
ΔSb = Perubahan lengas lapisan bawah pada akhir bulan (mm) dihitung
dengan syarat:
- Jika CH < ETP, maka ΔSb = (ETp – CH - | ΔSa|) x Sbj-i / KAT
- Jika CH > ETP dan Sbj-i < KATb, maka
ΔSb = CH-ETP- ΔSa dan
ΔSa maksimum = KATb - Sbj-i
- Jika CH > ETP dan jika Sbj-i = KATb, maka ΔSb = 0
- Pada bulan-bulan dengan CH < ETP, maka ΔSb adalah negatif
4. Jumlah lengas tanah
Sa: Jumlah lengas lapisan tanah atas pada akhir bulan (mm) dihitung
dengan
Sa = Saj-i + ΔSa
Sb: Jumlah lengas lapisan tanah atas pada akhir bulan (mm) dihitung
dengan
Sb = Sbj-i + ΔSb
S: Jumlah lengas pada kedua lapisan tanah pada akhir bulan (mm) dihitung
dengan
S = Sa + Sb
5. Potential Recharge (PR)
Merupakan jumlah lengas agar tanah mencapai kondisi kapasitas lapang.
Dituliskan dengan rumus:
PR = KAT - St j-1
6. Recharge (R)
Selama sebulan dihitung dengan syarat sebagai berikut:
Jika PR = 0, maka R = 0
Jika PR ≠ 0 dan jika CH > ETP, maka R = ΔSa + ΔSb
Jika PR ≠ 0 dan jika CH < ETP, maka R = 0
28
7. Potensial Loss
Merupakan jumlah potensial loss pada tanah lapisan atas (PLa) dan tanah
lapisan bawah (PLb) yang dapat dituliskan dengan rumus:
PL = PLa +PLb
Adapun PLa = ETP atau Saj-i, dipilih yang terkecil
PLu = (ETP – PLa) x Sbj-i / KAT
8. Loss (Kehilangan)
Yaitu kehilangan lengas tanah selama sebulan (mm), dapat dihitung
dengan rumus
Jika CH > ETP maka L = 0
Jika CH < ETP maka L = |ΔSa| + |ΔSb|
9. Evapotranspirasi aktual (ETa)
CH > ETp, maka ETa = Etp
CH < ETp, maka ETa = CH + L
10. Runoff
Merupakan limpasan permukaan selama sebulan (mm) dihitung setiap
bulan selama tahun pengamatan dengan syarat:
Jika S ≥ KAT, maka RO = CH – (ETp + PR)
Jika S ≤ KAT, maka RO = 0
11. Menentukan lima buah konstanta (koefisien) yaitu:
α : Koefisien evepotranspirasi
β : Koefisien pengsisian lengas kedalam tanah
γ : Koefisien limpasan
δ : Koefisien kehilangan air
κ : Pendekatan pertama terhadap faktor pembobot K
dimana;
α =
β = /
γ = /
δ = /
κ = ( + ) / ( + )
12. Menentukan nilai CAFEC (Climatically Appropriate For Existing
Conditions)
Yaitu nilai dugaan suatu parameter (ETa, R, RO, CH atau L) yang secara
klimatologis sesuai dengan kondisi waktu dan tempat yang diuji. Nilai-
nilai tersebut dihitung dengan rumus:
= α x ETp
= β x PR
= γ x PRO
= δ x PL
= + -
29
13. D (Periode Kekurangan atau kelebihan Hujan)
Untuk menentukan periode kelebihan (surplus) atau kekuranga (defisit)
hujan, digunakan rumus:
d = CH -
dimana merupakan pendugaan nilai parameter water balance
14. merupakan rataan nilai mutlak
15. K’ (pendekatan kedua terhadap nilai faktor K, menggunakan rumus:
K’ = 1.5 log10
+ 0.5
DK’ = x K’
16. Karakter iklim sebagai faktor pembobot (K)
K =
∑
K’
17. Penduga nilai Z
z = d * k
18. Indeks penyimpangan (Anomali) lengas, dihitung dengan rumus:
Z = d * K
19. Indeks Kekeringan (X)
X = (Z/3)j-1 + Δx
Adapun; Δx = (Z/3)j – 0.103 (Z/3)j-1
30
Lampiran 3 Tabel penggunaan kapasitas air tersedia berdasarkan kombinasi tipe
tanah dan vegetasi penutup (Thornthwaite dan Mather 1957)
Tipe Tanah Air Tersedia (Avaiable Water)
(mm/m)
Zone Perakaran
(m)
Lengas Tanah
Tertahan (mm)
Tanaman berakar
dangkal
Pasir halus 100 0.50 50
Lempung berpasir halus 150 0.50 75
Lempung berdebu 200 0.62 125
Lempung berliat 250 0.40 100
Liat 300 0.25 75
Tanaman berakar
sedang
Pasir halus 100 0.75 75
Lempung berpasir halus 150 1.00 150
Lempung berdebu 200 1.00 200
Lempung berliat 250 0.80 200
Liat 300 0.60 50
Tanaman berakar
dalam
Pasir halus 100 1.00 100
Lempung berpasir halus 150 1.00 150
Lempung berdebu 200 1.25 250
Lempung berliat 250 1.00 250
Liat 300 0.67 200
Orchard
Pasir halus 100 1.50 150
Lempung berpasir halus 150 1.67 250
Lempung berdebu 200 1.50 300
Lempung berliat 250 1.00 250
Liat 300 0.67 200
Hutan tua tertutup
Pasir halus 100 2.50 250
Lempung berpasir halus 150 2.00 300
Lempung berdebu 200 2.00 400
Lempung berliat 250 1.60 400
Liat 300 1.17 350
31
Lampiran 4 Tabel penggunaan lahan di Jawa Barat
Jenis Tutupan Luas
Km2 %
Hutan Primer 651,152 17,600
Hutan Sekunder 342,615 9,261
Kawasan dan Zona Industri 8,383 0,227
Kebun Campuran 265,185 7,168
Ladang/Tegalan 209,540 5,664
Perkebunan 232,091 6,273
Rawa 0,120 0,003
Sawah 1326,599 35,857
Semak/Belukar 153,289 4,143
Waduk 52,672 1,424
Tambak/Empang 53,357 1,442
Terbangun 404,656 10,938
Jumlah 3699,658 100,000
32
Lampiran 5 Presentase tata guna kahan per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat berdasarkan Jenis Penutupan
Kabupaten/ Kota
Jenis Tutupan
Hutan Primer(Km2)
Hutan Sekunder(Km2)
Kawasan dan Zona
Industri(Km2)
Kebun Campuran(K
m2)
Ladang/ Tegalan(K
m2)
Perkebunan(Km2)
Rawa(Km2) Sawah (Km2)
Semak/ Belukar (Km2)
Waduk (Km2)
Tambak/ Empang (Km2)
Terbangun (Km2)
Jumlah (Km2)
Kab. Bandung Barat 19,562 8,467 0,044 49,550 1,926 2,787 0,000 33,766 0,868 1,622 0,000 6,890 125,483
Kab. Bandung 54,819 15,332 0,285 4,303 8,297 6,820 0,000 67,879 4,281 2,573 0,023 13,539 178,151
Kab. Bekasi 0,000 0,741 1,531 4,270 8,302 0,000 0,000 63,052 0,059 2,106 6,238 40,636 126,934
Kab. Bogor 57,563 22,252 1,310 32,632 25,479 17,975 0,073 58,338 22,449 2,929 0,010 58,279 299,287
Kab. Ciamis 54,039 23,760 0,000 40,568 3,753 7,528 0,000 101,198 5,850 2,741 0,036 33,585 273,059
Kab. Cianjur 80,429 37,130 0,006 29,580 47,516 45,756 0,026 57,323 35,273 8,283 0,001 18,564 359,886
Kab. Cirebon 24,644 11,209 0,006 3,190 0,909 0,000 0,010 56,751 0,543 1,798 0,878 7,319 107,258
Kab. Garut 75,826 25,539 0,000 10,538 19,519 17,657 0,000 112,729 21,596 3,108 0,039 23,128 309,680
Kab. Indramayu 3,121 31,420 0,000 1,121 2,756 0,663 0,003 127,911 0,515 4,598 16,110 21,112 209,329
Kab. Karawang 14,136 6,733 4,154 3,052 5,555 0,000 0,000 114,022 0,640 2,639 17,452 23,235 191,617
Kab. Kuningan 29,409 12,925 0,000 9,292 2,569 0,000 0,000 55,865 1,362 1,508 0,000 5,997 118,927
Kab. Majalengka 27,136 17,690 0,011 3,198 3,194 0,000 0,000 63,312 2,818 1,864 0,000 14,596 133,820
Kab. Purwakarta 15,960 15,573 0,146 3,410 2,010 3,256 0,000 32,467 1,282 6,851 0,000 11,275 92,229
Kab. Subang 13,074 19,843 0,234 3,629 3,460 22,208 0,000 122,649 0,357 1,197 12,477 17,905 217,034
Kab. Sukabumi 79,351 39,955 0,000 30,960 53,214 91,737 0,000 61,315 33,418 2,368 0,037 23,920 416,275
Kab. Sumedang 36,471 25,203 0,053 2,895 5,556 2,325 0,000 64,579 6,118 2,230 0,000 10,405 155,837
Kab. Tasikmalaya 52,980 23,295 0,000 30,264 9,258 13,051 0,000 99,214 12,215 2,687 0,035 27,477 270,475
Kota Bandung 4,466 1,961 0,026 0,041 0,076 0,000 0,000 8,398 0,012 0,227 0,000 1,625 16,833
Kota Banjar 3,712 1,630 0,000 0,239 0,015 0,000 0,000 6,951 0,002 0,188 0,000 0,483 13,219
Kota Bekasi 0,000 0,000 0,280 0,259 2,617 0,000 0,000 5,106 0,129 0,230 0,000 13,036 21,657
Kota Bogor 0,000 0,000 0,001 0,645 0,746 0,000 0,004 3,117 0,112 0,112 0,000 6,520 11,256
Kota Cimahi 0,000 0,000 0,122 0,079 0,179 0,000 0,000 0,353 0,124 0,000 0,000 3,219 4,075
Kota Cirebon 0,000 0,000 0,000 0,188 0,154 0,000 0,000 1,598 0,081 0,062 0,018 1,755 3,856
Kota Depok 0,000 0,000 0,173 1,044 2,397 0,000 0,006 0,367 0,273 0,141 0,000 15,614 20,014
Kota Sukabumi 0,000 0,000 0,000 0,185 0,059 0,000 0,000 0,000 2,871 0,381 0,000 1,372 4,869
Kota Tasikmalaya 4,454 1,956 0,001 0,050 0,026 0,328 0,000 8,341 0,042 0,226 0,003 3,171 18,599
Jumlah 651,152 342,615 8,383 265,185 209,540 232,091 0,120 1326,599 153,289 52,672 53,357 404,656 3699,658
32
33
Lampiran 6 Jenis tanah di Jawa Barat
Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Luas Lahan (Km2)
Aluvial Coklat Kelabu Endapan liat Dataran 54,997
Aluvial Hidromorf Endapan liat Dataran 43,349
Aluvial Kelabu Tua Endapan liat Dataran 156,004
Andosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan basis Volkan 17,209
Andosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 5,567
Andosol Coklat Kekuningan Abu/pasir volkan intermedier sampai basis Volkan 24,456
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan Endapan liat dan pasir Dataran 251,753
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 290,433
Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu Endapan liat Dataran 16,967
Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu Endapan liat Dataran 137,597
Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kekuningan Tuf volkan intermedier Volkan 30,685
Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 58,232
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat Tuf volkan intermedier Volkan 100,498 Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit Air Tanah Tuf volkan intermedier Volkan dan Bukit lipatan 162,527
Asosiasi Litosol dan Mediteran Merah Batuan volkan dan endapan Bukit lipatan 21,951
Asosiasi Mediteran Coklat dan Litosol Campuran tuf volkan intermedier dan batuan endapan Volkan 10,515
Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu Endapan liat dan pasir Dataran 139,367
Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol Batuliat Bukit lipatan 27,523
Grumusol Kelabu Endapan liat Dataran 15,662
Grumusol Kelabu Tua Batu kapur dan napal Bukit lipatan 5,689
Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran Batu kapur dan napal Bukit lipatan 142,726 Kompleks Lateritik Merah Kekuningan dan Podsolik Merah Kekuningan Batuliat dan batupasir Bukit lipatan 38,116
Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol Tuf - dan batuan volkan masam, intermedier dan basis
Volkan, bukit lipatan, intrusi dan bukit angkatan 9,505
Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan 57,768 Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol Batuan volkan masam dan intermedier Volkan 98,425
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Batuan endapan dan - volkan Volkan dan Bukit lipatan 168,254
33
34
Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Luas Lahan (Km2)
Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol Tuf - dan batuan volkan intermedier Volkan 11,916
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol Batukapur dan napal Bukit lipatan 66,073 Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol Batupasir dan batuliat Bukit lipatan 494,937
Kompleks Regosol dan Litosol Abu/pasir volkan intermedier sampai basis Volkan 47,005
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol Abu/Pasir -, tuf - dan batuan volkan intermedier sampai basis Volkan 68,243
Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Forest Soil Batu kapur Bukit lipatan 119,595
Latosol Coklat Tuf volkan intermedier Volkan 266,947
Latosol Coklat Kekuningan Tuf volkan intermedier Volkan 88,741
Latosol Coklat Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan 83,233
Latosol Coklat Tua Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan dan Bukit lipatan 184,257
Organosol Bahan rumput-rumputan Dataran 2,098
Podsolik Kuning Batuliat Bukit lipatan 16,780
Podsolik Merah Tuf volkan masam Volkan 7,908
Podsolik Merah Kekuningan Batuliat Bukit lipatan 83,397
Regosol Coklat Endapan pasir Dataran 5,763
Regosol Coklat Abu/Pasir - dan tuf volkan intermedier sampai basis Volkan 5,359
Regosol Kelabu Endapan pasir Dataran 5,751
34
35
Lampiran 7 Tabel Kapasitas Air Tersedia (KAT) berdasarkan jenis tanah dan penggunaan lahan di Jawa Barat
Nomor Grid 3
Lintang -6,25 Bujur 106,75 Luas Polygon (Km2) 1102,512647
Penggunaan Lahan Jenis Tanah Tanah Lapisan (m) Air Tersedia (mm)
Bentuk Luas (Ha) Luas (Km2) Luas (%) Tekstur Air Tersedia (mm/m) Atas Bawah Atas Bawah
Hutan 9907,244 99,072 8,986 Liat 300 0,25 1,17 6,739 31,541 kebun 15001,507 150,015 13,606 Liat 300 0,25 0,6 10,204 24,491
Ladang/Tegalan 13075,796 130,757 11,859 Liat 300 0,25 0,6 8,894 21,347 Sawah 15194,333 151,943 13,781 Liat 300 0,25 0,35 10,336 14,470 Semak/Belukar 6177,260 61,772 5,602 liat 300 0,25 0,67 4,202 11,261 Badan Air 1154,759 11,547 1,047 - - - - - - Terbangun 49650,335 496,503 45,033 Liat 300 - - - - Lain-lain 90,028 0,900 0,081 Lempung Berliat 250 0,25 0,35 0,051 0,071
JUMLAH 110251,264 1102,512 100
40,428 103,184
Nomor Grid 5 Lintang -6,25
Bujur 107,75 Luas Polygon (Km2) 1735,393 Penggunaan Lahan Jenis Tanah Tanah Lapisan (m) Air Tersedia (mm)
Bentuk Luas (Ha) Luas (Km2) Luas (%) Tekstur Air Tersedia (mm/m) Atas Bawah Atas Bawah
Hutan 729,371 7,293 0,420 Lempung berliat 250 0,25 1 0,262 1,050 kebun 13734,46 137,344 7,914 Liat 300 0,25 0,6 5,935 14,245 Ladang/Tegalan - - - - - - - - - Sawah 110737,9 1107,379 63,811 Liat 300 0,25 0,35 47,858 67,001 Semak/Belukar 1,127 0,011 0,065 Liat 300 0,25 0,67 0,048 0,001 Badan Air 22420,98 224,209 12,919 - - - - - - Terbangun 25915,51 259,155 14,933 Liat 300 - - - - Lain-lain - - - - - - - - -
JUMLAH 173539,3 1735,393 100 54,057 82,299
35
36
Nomor Grid 10 Lintang -6,75
Bujur 107,25 Luas Polygon (Km2) 3077,702 Penggunaan Lahan Jenis Tanah Tanah Lapisan (m) Air Tersedia (mm)
Bentuk Luas (Ha) Luas (Km2) Luas (%) Tekstur Air Tersedia (mm/m) Atas Bawah Atas Bawah
Hutan 65724,44 657,244 21,355 Liat 300 0,25 1,17 16,016 74,956 kebun 57205,07 572,050 18,586 Liat 300 0,25 0,6 13,940 33,456 Ladang/Tegalan 22434,6 224,345 7,289 Lempung berliat 250 0,25 0,8 4,555 14,578 Sawah 92906,65 929,066 30,187 Liat 300 0,25 0,35 22,640 31,696 Semak/Belukar 13986,79 139,867 4,544 Liat 300 0,25 0,67 3,408 9,134 Badan Air 16918,13 169,181 5,497 - - - - - - Terbangun 38594,51 385,945 12,540 Liat 300 - - - - Lain-lain - - - - - - - - -
JUMLAH 307770,2 3077,702 100
60,561 163,822
Nomor Grid 17 Lintang -7,25
Bujur 107,75 Luas Polygon (Ha) 292518,7 Penggunaan Lahan Jenis Tanah Tanah Lapisan (m) Air Tersedia (mm)
Bentuk Luas (Ha) Luas (Km2) Luas (%) Tekstur Air Tersedia (mm/m) Atas Bawah Atas Bawah
Hutan 71704,15 717,041 22,944 Lempung berliat 250 0,25 1 14,340 57,361 kebun 61093,85 610,938 19,549 Liat 300 0,25 0,6 14,662 35,189 Ladang/Tegalan 44285,85 442,858 14,171 Lempung berliat 250 0,25 0,8 8,856 28,342 Sawah 70665,71 706,657 22,612 Lempung berliat 250 0,25 0,35 14,132 19,785 Semak/Belukar 35621,5 356,214 11,398 Lempung berliat 250 0,25 1 7,124 28,496 Badan Air 855,337 8,553 0,273 - - - - - - Terbangun 28282,07 282,820 9,050 Lempung berliat 250 - - - -
Lain-lain - - - - - - - - -
JUMLAH 312508,5 100
59,116 169,175
36
37
Lampiran 8 Peta pembagian wilayah grid
37
38
Lampiran 9 Tabel Pembagian wilayah grid
Grid Area Grid 2 Grid 3
Grid 4+1 Grid 5 Grid 6 Grid 8 Grid 9
Grid 10 Grid 11 Grid 12
Grid 13+7 Grid 14 Grid 15 Grid 16 Grid 17 Grid 18 Grid 19
Grid 20+21 Grid 22 Grid 23
Depok Depok Bekasi dan Karawang Subang Indramayu Bogor dan Sukabumi Bogor dan Sukabumi Cianjur, Purwakarta dan Bandung Subang, Sumedang dan Bandung Majalengka, Sumedang dan Indramayu Cirebon dan Kuningan Sukabumi Sukabumi Cianjur dan Bandung Bandung dan Garut Tasikmalaya dan Ciamis Ciamis dan Kuningan Garut Tasikmalaya dan Ciamis Ciamis
39
Lampiran 10 Peta distribusi curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat
Lampiran 11 Peta distribusi suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat
40
Lampiran 12 Peta guna lahan Provinsi Jawa Barat
Lampiran 13 Peta jenis tanah Provinsi Jawa Barat
41
Lampiran 14 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1980
Lampiran 15 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1981
Lampiran 16 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1982
Lampiran 17 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1983
Lampiran 18 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1984
Lampiran 19 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1985
42
Lampiran 20 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1986
Lampiran 21 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1987
Lampiran 22 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1988
Lampiran 23 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1989
Lampiran 24 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1990
Lampiran 25 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1991
43
Lampiran 26 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1992
Lampiran 27 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1993
Lampiran 28 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1994
Lampiran 29 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1995
Lampiran 30 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1996
Lampiran 31 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1997
44
Lampiran 32 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1998
Lampiran 33 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 1999
Lampiran 34 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2000
Lampiran 35 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2001
Lampiran 36 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2002
Lampiran 37 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2003
45
Lampiran 38 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2004
Lampiran 39 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2005
Lampiran 40 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2006
Lampiran 41 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2007
Lampiran 42 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2008
Lampiran 43 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2009
46
Lampiran 44 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2010
Lampiran 45 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2011
Lampiran 46 Peta sebaran indeks kekeringan
tahun 2012
47
Lampiran 47 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (DJF)
Lampiran 48 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (MAM)
Lampiran 49 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (JJA)
Lampiran 50 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (SON)
47
48
Lampiran 51 Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (DJF)
Lampiran 52 Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (MAM)
Lampiran 53 Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (JJA)
Lampiran 54 Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (SON)
48
49
Lampiran 55 Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (DJF)
Lampiran 56 Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (MAM)
Lampiran 57 Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (JJA)
Lampiran 58 Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (SON)
49
50
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Aulia Citra Utami, dilahirkan di Bogor pada
tanggal 3 November 1992 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan
ayahanda Soleh Suhendar dan ibunda Batin Wardah. Penulis menyelesaikan
jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di MI Muhammadiyah
Leuwiliang, kemudian lulus SMPN 1 Cibungbulang pada tahun 2007 dan
menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Leuwiliang, Kabupaten Bogor
pada tahun 2010. penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor
sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi, Mayor Meteorologi
Terapan melalui jalur tanpa tes atau USMI.
Selama berkuliah di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi diantaranya
sebagai Bendahara Umum II BEM TPB 2011, Koordinator Administrasi dan
Keuangan BEM FMIPA 2012, Bendahara Departemen Sains dan Teknologi BEM
FMIPA 2013 dan Sekretaris Umum bagian Eksternal BEM KM 2014. Selain itu,
penulis juga aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan diantaranya sebagai Panitia
Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) Angkatan 48, Masa
Perkenalan Fakultas (MPF) MIPA Angkatan 48, Koordinator bagian Kompetisi
Pesta Sains Nasional 2013, Steering Commitee ExploScience 2013, Crew
International Seminar on Science (ISS) FMIPA 2013, Steering
CommiteeLeadership and Entrepreneurship School (LES) 2014 dan Steering
CommiteeMasa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) Angkatan 51.
Penulis pun mengikuti berbagai kegiatan Pengabdian Masyarakat, diantaranya
IPB Goes to Field (IGTF) pada tahun 2013 dengan tema: Pemetaan Irigasi dan
Kesuburan Tanah Wilayah Nganjuk-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh
LPPM IPB, sebagai Koordinator Curriculum Project Trashsure Foundation yang
bekerjasama dengan LPPM IPB, serta mengikuti kegiatan IGTF International
yang merupakan bagian dari SUIJI (Six University Initiative Japan Indonesia)
yang diselenggarakan di Tegal-Jawa Tengah pada tahun 2014.