10
Pembahasan Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi CTM secara in vitro dengan menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Absorbsi merupakan proses pergerakan obat dari tempat pemberian menuju sirkulasi sistemik, sedangkan in vitro merupakan preparasi yang dilakukan diluar tubuh makhluk hidup atau hewan uji dengan menggunakan salah satu hewan uji. CTM merupakan antihistamin yang sering digunakan untuk mengatasi gejala alergi, rhinitis alergi (hay fever) dan konjungtivitis, urtikaria gigitan serangga, dan gatal-gatal karena dasar alergi. Langkah selanjutnya dilakukan dengan menimbang sebanyak 10 mg CTM kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan dilarutkan dengan air karena menurut Farmakope Indonesia, CTM larut dalam 4 bagian air, dalam 10 bagian etanol (95%) P dan dalam 10 bagian kloroform P; sukar larut dalam eter P. Pembuatan CTM ini dilakukan secara kuantitatif karena akan digunakan untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS. Chlorpheniramina maleat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan strukturnya chlorpheniramine maleat memiliki gugus kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible.

pemhasan BIOFAR

  • Upload
    juanda

  • View
    10

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hfjddkffjfkkfjfj

Citation preview

Page 1: pemhasan BIOFAR

Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi CTM secara in vitro dengan

menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH

terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Absorbsi merupakan

proses pergerakan obat dari tempat pemberian menuju sirkulasi sistemik, sedangkan in vitro

merupakan preparasi yang dilakukan diluar tubuh makhluk hidup atau hewan uji dengan

menggunakan salah satu hewan uji. CTM merupakan antihistamin yang sering digunakan

untuk mengatasi gejala alergi, rhinitis alergi (hay fever) dan konjungtivitis, urtikaria gigitan

serangga, dan gatal-gatal karena dasar alergi.

Langkah selanjutnya dilakukan dengan menimbang sebanyak 10 mg CTM kemudian

dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan dilarutkan dengan air karena menurut Farmakope

Indonesia, CTM larut dalam 4 bagian air, dalam 10 bagian etanol (95%) P dan dalam 10

bagian kloroform P; sukar larut dalam eter P. Pembuatan CTM ini dilakukan secara

kuantitatif karena akan digunakan untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan

spektrofotometri UV-VIS.

Chlorpheniramina maleat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer

UV-Visible karena berdasarkan strukturnya chlorpheniramine maleat memiliki gugus

kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang

dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible.

Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan CTM dengan lima

seri konsentrasi.  Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan

pengenceran terhadap larutan CTM, yaitu 20, 30, 40, 50 dan 60 ppm. Masing-masing

konsentrasi larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis.

Pengukuran absorbansi dari CTM dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang

gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga

maksimum karena pada panjang gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi untuk

setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimum

juga, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer

terpenuhi. Selain itu, jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh

pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali ketika digunakan panjang

gelombang maksimul. Panjang gelombang maksimum yang didapat dari percobaan dan

digunakan untuk pengukuran CTM adalah 261,80 nm.

Setelah kelima seri konsentrasi tersebut diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva

yang merupakan hubungan antara absorbansi (sumbu x) dengan konsentrasi (sumbu y).

Page 2: pemhasan BIOFAR

Pada konsentrasi 20 ppm absorbansi sampel rata-rata adalah 0,26 , pada konsentrasi

30 ppm absorbansinya 0,393 , pada konsentrasi 40 ppm absorbansi sampel 0,553 , pada

konsentrasi 50 ppm absorbansi 0,698 dan pada konsentrasi 60 ppm absorbansinya 0,85. Dari

data absorbansi dan konsentrasi CTM, didapatkan persamaan kurva yaitu y = 0.0149x - 0.044

dimana y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu

0.9995. Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya dalam

menghitung konsentrasi sampel.

Pada percobaan ini hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan. Tikus

putih biasa digunakan dalam percobaan laboratorium karena mudah dikembangbiakkan dan

mudah dalam perawatannya, hewan ini juga memiliki struktur anatomi fisiologi yang hampir

sama dengan manusia. Sehingga hasil uji yang dicobakan pada tikus putih yang menyangkut

struktur fisiologi anatomi dapat diaplikasikan pada manusia.

Sebelumnya, tikus percobaan dipuasakan dari makanan selama 20-24 jam, tapi diberi

minum air masak. Tujuan dari tikus dipuasakan agar tidak ada faktor makanan lain yang

mengganggu saat dilakukan percobaan serta untuk mengosongkan lambung dan usus.

Lalu tikus dibunuh dengan eter. Eter biasa digunakan sebagai obat bius yang

diberikan melalui pernapasan. Kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea

mediana adalah garis yang melintas tepat ditengah tubuh dengan arah lintasan atas

bawah/vertikal) dan usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (pilorus adalah

daerah atau bagian lambung bawah yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus

duabelas jari) dibuang dan 20 cm dibawahnya dipotong untuk percobaan. Usus dibagi dua

bagian sama panjang, kemudian dibersihkan. Ujung dari potongan usus tersebut diikat

dengan benang, kemudian dengan menggunakan pinset kecil dan pipet volum usus tersebut

dibalik secara perlahan agar usus tidak sobek, sehingga bagian mukosa terletak diluar. Tujuan

dari peletakan mukosa usus diluar karena ingin menyamakan pengondisian seperti dalam

tubuh manusia, dimana mukosa usus adalah bagian yang lipofil, sehingga diharapkan

nantinya akan dapat diukur seberapa besar kadar zat aktif obat yang bersifat lipofil yang

dapat diabsorpsi oleh mukosa usus. Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus yang belum

terikat. Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosal

1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida 0,9% b/v. Kantong usus yang sudah berisi

cairan serosal ini dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal 75 ml (yang

mengandung bahan obat yaitu CTM) pada suhu 37°C. Kantong usus untuk kontrol dilakukan

dengan cara yang sama, tetapi dengan menggunakan cairan mukosal tanpa obat.

Page 3: pemhasan BIOFAR

Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam

cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per

menit.

Pada waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini

seluruh cairan serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9% b/v

natrium klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9% b/v natrium klorida.

Usus tikus yang telah didapatkan direndam dalam larutan NaCl fisiologis 0,9%  yang

bersifat isotonis agar tidak kering dan rusak. Kemudian usus dipotong 20 cm dari bagian

ujung dekat pilori (lambung) untuk dibuang, dan diambil 7 cm dari sisa usus untuk

dibersihkan lalu dibalik sehingga bagian dalam usus berada diluar dan bagian luar usus

berada didalam dengan pinset. Usus harus dibalik karena percobaan ini bertujuan untuk

mengetahui kadar absorpsi obat oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur

sesuai pH lambung dan pH usus secara in vitro (menggunakan instrumen yang menyerupai

bagian dalam tubuh).

Setelah itu, salah satu ujung usus disambungkan ke kanula pada instrument modifikasi

Crane dan Wilson dan diikat dengan benang agar tidak mudah lepas. Kemudian, ujung usus

yang lain diikat dengan benang. Lalu larutan NaCl fisiologis dimasukkan kedalam usus

sebanyak 1,4 ml melalui kanula agar usus tetap basah dan tidak rusak, digunakan larutan

NaCl fisiologis yang isotonis karena menyerupai cairan tubuh tikus atau mamalia.

Selanjutnya, kedalam tabung instrument dimasukkan larutan dapar pH 1,2  melalui pipa

untuk keluarnya gas sebanyak 75 ml menggunakan syringe, larutan dibuat pada pH 1,2 agar

menyerupai kondisi dalam lambung tikus atau mamalia. Larutan dapar yang telah bercampur

dengan CTM harus selalu diberikan oksigen melalui pipa untuk oksigen. Oksigen diberikan

agar sel-sel usus tetap hidup. Setiap 5 menit, larutan NaCl fisiologis 0,9% didalam usus

diambil melalui kanula menggunakan syringe dan dimasukkan kedalam vial yang telah diberi

label, kemudian diganti dengan 1,4 ml larutan NaCl fisiologis yang baru. Hal ini dilakukan

sampai 30 menit berlangsung. Larutan NaCl fisiologis diambil dari usus setiap rentang waktu

5 menit karena akan dihitung kadar CTM yang terabsorpsi melalui filia usus dan masuk

kedalam larutan untuk mengetahui absoprsi optimal dari CTM pada perbedaan pengaturan

pH yang disesuaikan kondisi dalam tubuh mamalia.

                   Percobaan ini juga dilakukan dengan tabung instrumen diisi larutan dapar pH 7,6

yang disesuaikan dengan kondisi didalam usus. Kemudian dilakukan percobaan kontrol

negatif dengan prosedur yang sama menggunakan larutan dapar pH 1,2 dan pH 7,6 tanpa

Page 4: pemhasan BIOFAR

ditambahkan obat. Setelah itu, semua vial yang telah berisi larutan NaCl fisiologis 0,9%

diberi perlakuan awal untuk dianalisis menngunakan spektrofotometer UV.

Setelah dilakukan pengambilan cuplikan dari setiap rentang waktu 5 menit (5, 10,15,

20, 25 dan 30 menit) pada masing-masing pH 1,2 dan 7,6 dari masing-masing tabung, maka

masing-masing cuplikan tersebut dianalisis menggunakan spektrofotometri UV untuk

menetapkan konsentrasi CTM selama proses absorpsi di dalam usus hewan percobaan. Pada

analisis menggunakan spektrofotometri UV menggunakan panjang gelombang maksimum.

Alasan memilih panjang gelombang maksimum adalah karena panjang  gelombang

maksimum memiliki kepekaan maksimal karena terjadi perubahan absorbansi yang paling

besar dan pada panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbansi terhadap konsentrasi

memenuhi hukum Lambert-Beer. Sebelum dianalisis, masing-masing cuplikan dilarutkan

kedalam larutan barium hidroksida 0,3 N (4,732 gram dalam 100 ml) dan seng sulfat 5% ( 5

gram dalam 100 ml). Fungsi barium hidroksida dan seng sulfat adalah untuk mengekstraksi

CTM dan memisahkan CTM dari senyawa-senyawa lain yang mungkin terikut, sehingga

hanya CTM yang akan dianalisis menggunakan spektrofotometri UV. Pertama-tama harus

dibuat larutan barium hidroksida 0,3 N dan seng sulfat 5%. Barium

hidroksida (Ba(OH)2.8H2O) ditimbang sebanyak 4,732 gram, dilarutkan kedalam air panas

sebanyak 100 ml. Sedangkan seng sulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak 5 gram dan

dilarutkan kedalam 100 ml air. Barium hidroksida agak sukar larut dalam air dingin, sehingga

butuh pemanasan untuk melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium hidroksida

masih belum larut sempurna sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil dipanaskan,

sedangkan seng sulfat sangat larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari larutan barium

hidroksida dan 2 ml seng sulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml cuplikan,

kemudian campuran larutan tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan dengan

filtratnya. Dimana filtrat yang berupa cairan jernih tersebut yang mengandung CTM. Pada

saat sentrifugasi, campuran larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifugasi lalu

tabungnya ditempatkan kedalam alat sentrifugasi secara berseberangan dan dengan jumlah

yang sama, setelah itu diatur kecepatan pemutarannya selama 5 menit. Hasil sentrifugasi

berupa larutan jernih di bagian atas dan endapan di bagian bawah. Bagian atas yang berupa

larutan jernih diambil menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam kuvet. Sebelum sampel

diukur, alat spektrofotometer terlebih dahulu di reference kedalam panjang gelombang yang

sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH 1,2 dan 7,4 pada waktu = 0 menit.

Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur absorbansinya. Adapun jumlah cuplikan

yang diukur ada 24 buah yaitu 12 buah cuplikan dalam dapar asam pH 1,2 (6 kontrol negatif

Page 5: pemhasan BIOFAR

dan 6 kontrol positif) dan 12 cuplikan dalam dapar basa pH 7,6 (6 kontrol negatif dan 6

kontrol positif) pada pengambilan 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit. Absorbansi yang diperoleh

dicatat.

Berdasarkan data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan

hukum Lambert Beer, yaitu konsentrasi yang baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8

yang terdeteksi dengan spektro UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh

yaitu pada pH 1,2 untuk kontrol positif: 0,1880 (5 menit), 0,2380 (10 menit), 0,1950 (15

menit), 0,2040 (20 menit), 0,2700 (25 menit), 0,3050 (30 menit). Sedangkan pada pH 7,6

utnuk kontrol positif: 0,2070 (5 menit), 0,2550 (10 menit), 0,2300 (15 menit), 0,2700 (20

menit), 0,3900 (25 menit), 0,3600 (30 menit).

Pada pH 1,2 untuk kontrol negatif: 0,0030 (5 menit), 0,0320 (10 menit), 0,0060 (15

menit), 0,0071 (20 menit), 0,0440 (25 menit), 0,0030 (30 menit). Sedangkan pada pH 7,6

utnuk kontrol negatif: 0,0060 (5 menit), 0,0031 (10 menit), -0,0320 (15 menit), -0,0540 (20

menit), -0,0600 (25 menit), -0,0170 (30 menit).

Semua absorbansi yang terdapat pada pH 1,2 dan pH 7,6 dalam kontrol negatif tidak

terdapat di rentang 0,2-0,8 artinya larutan yang dianalisis tidak terbaca serapannya oleh alat

spektrofotometer UV. Sedangkan semua absorbansi yang terdapat pada pH 1,2 dan pH 7,6

kontrol positif semuanya bernilai positif, tetapi ada  2 nilai absorbansi yang bernilai positif

tetapi tidak memenuhi hukum Lambert Beer yaitu pada pH 1,2 : 0,1880 (5 menit), 0,1950 (15

menit). Hal ini terjadi karena kemungkinan waktu yang tidak cukup bagi obat CTM untuk

terabsorpsi. Kemungkinan CTM akan terabsorpsi pada rentang waktu setelah 30 menit. Hasil

absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk mencari konsentrasinya. Nilai

absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari kurva baku CTM. Dari data

pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut menyimpang dari yang seharusnya,

misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat aneh, nilai absorbansinya menurun

kemudian naik pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama, maka absorbansinya

semakin tinggi secara konstan, karena seharusnya semakin banyak obat yang terabsorpsi.

Namun data nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 7,6 lebih tinggi dibandingkan dengan

pada pH 1,2  itu adalah salah dan tidak sesuai dengan teori, yaitu bahwa suatu obat yang

bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat yang bersifat basa

terabsorpsi optimum di pH basa (usus). Hal ini mungkin di karenakan salah satunya terjadi

kebocoran pada usus.

Pada percobaan kali ini, senyawa obat yang digunakan adalah CTM (chlorpeniramina

maleat), dimana senyawa obat ini bersifat asam lemah, sehingga obat ini akan terabsorpsi

Page 6: pemhasan BIOFAR

optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan konsentrasi berdasarkan persamaan

regresi linier dari kurva baku CTM, maka data-data absorbansi dan konsentrasi di plotkan

kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah mg terkoreksi dan sumbu –y nya adalah waktu.

Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik mg terkoreksi terhadap waktu. Dari grafik terlihat

bahwa, pada pH 7,6 konsentrasi paling tinggi adalah pada waktu kurang lebih ke-25 menit,

sedangkan pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke-30 menit.

Dilihat dari nilai lag time pada pelarut asam pH didapat nilai lag time sebesar 9,6

menit sedangkan pada pH basa sebesar 6,4 menit. Jika nilai lag time yang lebih dari 15 menit

akan menimbulkan masalah pada absorpsi obat.

Kesimpulan

Dari hasil data pengamatan perbedaan variasi pH 1,2 dan pH 7,6 pada absorpsi obat

melalui saluran pencernaan secara in vitro dengan interval waktu yang berbeda-beda

menunjukkan perbedaan konsentrasi yang berbeda-beda dengan konsentrasi tertinggi pada

pH 1,2 terdapat pada interval waktu ke-30 menit dengan % terabsorpsi 48,2700% sedangkan

konsentrasi tertinggi pH 7,6 terdapat pada interval waktu ke-25 dengan % terabsorpsi

49,4600%.