Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
73
PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA
Hesti Pancawati
ABSTRAK
Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting
sepanjang sejarah manusia. Dengan berpolitik, manusia saling
mengelola potensi di antara mereka, saling memahami dalam perbedaan
yang ada, saling menjaga peraturan yang disepakati bersama. Ada yang
dipimpin, ada yang memimpin ada yang memerintah dan ada pula yang
diperintah. Semuanya merupakan aktivitas manusia.
Bagi Al-Farabi, politik berperan sebagai etika dan swakarsa
yang terkait-erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Al-
Farabi memulai pemikiran politiknya tatkala menyinggung asal-usul dan
kemunculan negara atau kota. Menurutnya, masyarakat mucul dari
keberadaan persatuan di antara individu-individu yang saling
membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi
kebutuhannya sendiri-sendiri, baik itu kebutuhan primer maupun
sekunder.
Pemikiran politik Al-Farabi banyak mendapat pengaruh dari
para Filosof Barat, terutama Plato dan Aristoteles. Penggambaran
negara utama yang diterapkan oleh Al-Farabi sama dengan konsep
Plato. Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan bagaimana konsep
pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana pengaruh
pemikiran Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik
dan negara? bagaimana perbedaan konsep Al-Farabi tentang politik dan
negara dengan Filosof Islam lainnya?. Dari rumusan masalah tersebut,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pemikiran
Al-Farabi tentang politik dan negara, pengaruh pemikiran Filsafat
Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara, dan
perbedaan pemikiran Al-Farabi dengan ilmuan lainnya.
Metodologi yang digunakan dalam memahami persoalan ini
adalah kajian studi perpustakaan (Library research) yaitu
mengumpulkan data dari buku-buku dan referensi lain yang relevan
dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan dalam menganalisis
data, digunaka metode induktif dan deduktif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini ialah konsep
negara utama yang digambarkan Al-Farabi merupakan konsep sebuah
negara yang di dalamnya terdapat kebahagiaan yang didapatkan dari
hasil kerjasama antar penduduknya. Negara utama tersebut haruslah
74
dipimpin oleh seseorang yang sempurna yang baik secara akhlak
maupun kecerdasannya.
Selain Al-Farabi, tentunya banyak filsuf-filsuf Islam lain yang
juga turut menyumbangkan pemikiran politiknya, seperti Ibnu Abi’Rabi,
Al-Mawardi dan masih banyak yang lainnya, yang masing-masing
memiliki konsep yang berbeda-beda.
Keywords: Al-Farabi, Politik, Negara
A. PENDAHAULUAN
1. Pengertian Politik dan Negara Secara Umum
a) Pengertian Politik
Kata politik menjadi sebuah kata yang tidak asing dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang politik telah ada sejak
manusia megenal peradaban. Politik ibarat sebuah kebutuhan di dalam
kehidupan manusia, di mana segala sesuatu tidak dapat dipisahkan
dengan politik.
Definisi politik sangat beragam tergantung kecenderungan dan
sudut pandang setiap pemikir. 1 Tak sedikit pula para ahli yang
mengutarakan pendapatnya mengenai politik. Kata politik sendiri
berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polis yang dapat diartikan sebagai
kota atau negara.2 Sedangkan dalam bahasa Inggris, politik disebut
dengan Politic yang menunjukan sifat pribadi atau perbuatan dan
dalam bahasa Prancis politik disebut dengan adalah Politique
(kebijaksanaan). 3 Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan as-
siyasah ( السياسة) mashdar dari kata َفهَُوَ سَائِس –يسَُوْسُ –سَاس yang
berarti kebijaksanaan/cara bertindak menghadapi permasalahan.4
Di dalam Alquran sendiri, tidak didapati istilah politik sama
sekali. Namun, ini tidak berarti esensi politik itu sendiri tidak dikenal
dalam Islam. Istilah politik yang dihubungkan dengan masalah
1 Jasiman, Rijalud Daulah : Mempersiapkan Pejabat Politik yang Merakyat,
(Solo : Era Adicitra Intermedia, 2012), p. 1. 2 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet III, p. 34. 3Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011), p.
3. 4 Atabaik Ali, Kamus Indonesia-Arab, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2008),
p.1171.
75
kemanusiaan dan pemerintahan banyak terdapat di dalam Alquran.
Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan
kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (An-Nisa :
54)5
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
(Al-Hajj : 41)6
Kedua ayat tersebut di atas berhubungan dengan politik. Kata-kata
seperti : kerajaan, kedudukan, dan hukum, telah mewakili esensi dari kata
politik itu sendiri, di mana politik erat sekali hubungannya dengan hal-hal
tersebut di atas.
Ayat pertama7 berbicara mengenai Ibrahim, di mana Allah telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar. Kata kerajaan ini dapat
ditafsirkan sebagai kekuasaan yang diberikan oleh Allah kepada Ibrahim.
Jika dikaitkan dengan politk, maka ayat ini sesungguhnya berbicara
masalah politik karena kekuasaan erat sekali kaitannya dengan politik.
Selanjutnya ayat yang kedua 8 menjelaskan tentang sifat-sifat manusia
ketika memperoleh kemenangan dan ketika berhasil mendirikan
masyarakat. Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang diberikan
kemenangan dan kedudukan di muka bumi berupa kekuasaan mengelola
suatu wilayah dalam keadaan merdeka dan berdaulat, maka sesungguhnya
mereka akan melaksanakan hal-hal yang disebutkan di dalam ayat di
5 Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Riyadh : Darussalam, 2006), p. 113. 6 Ibid., p.469. 7 Q.S An-Nisa (4) : 54. 8 Q.S. Al-Hajj (22) : 41.
76
atas.9 Tafsir ayat ini jelas membicarakan masalah politik. hal-hal yang
berkenaan dengan kekuasaan dan masyarakat.
Secara istilah, banyak sekali pengertian politik yang dapat
ditemukan. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan dalam buku Legalitas
Politik, bahwa : “Politik adalah mengerjakan sesuatu yang mendatangkan
kemaslahatan baginya.”10 Kemudian, bagi ulama-ulama terdahulu, politik
memiliki dua makna, Pertama, makna secara umum, yaitu mengatur
urusan manusia dan urusan-urusan dunia mereka dengan syariat-syariat
agama. Kedua, makna secara khusus, yaitu pandangan atau hukum dan
ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin sebagai
upaya untuk menghindari kerusakan yang diperkirakan akan terjadi atau
solusi atas suatu kondisi tertentu.11
Hakikat politik sesungguhnya berkaitan erat dengan fitrah
manusia, kepemimpinan, perlindungan dan kekuasaan. Pertama, politik
sebagai fitrah manusia. Sudah menjadi suatu fitrah bagi setiap setiap jenis
makhluk, bahwa diantara mereka terdapat satu pemimpin yang dihormati
karena keunggulannya, baik unggul dalam kecerdasan, keberanian,
kekuatan, kemantapan jiwa dan lain sebagainya. Pemimpin itulah yang
akan melindungi dan menjaga rakyatnya dari ancaman bahaya.12 Kedua,
politik adalah kepemimpinan. Allah menciptakan manusia sebagai
khalifah dimuka bumi. Dalam pandangan Islam, setiap manusia-apa pun
profesi dan kedudukannya- merupakan seorang pemimpin. Ketiga, politik
adalah perlindungan. Perlindungan yang diberikan seorang pemimpin
kepada rakyatnya dari segala bentuk keburukan. Dan yang keempat,
politik adalah kekuasaan. Di mana kekuasaan dan politik menjadi bagian
yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.13
9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan Kesan dan Keserasian Alquran,
(Jakarta : Lentera Hati, 2011), Cet. IV, p.228. 10 Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash Dan Asy-
Syariah, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), p. 53. 11 Ibid., p.60. 12 Jasiman, Op.Cit., p.13. 13 Ibid. P. 14-16.
77
b) Pengertian Negara
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara
merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Ia merupakan alat
bagi masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam bermasyarakat dan menerbitkan gejala-gejala
kekuasaan di dalam masyarakat.14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara merupakan
bentuk kata benda yang abstrak, yang diartikan dengan: “Bentuk
organisasi dalam satu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang
syah dan ditaati oleh rakyat. Kelompok sosial yang menduduki wilayah
atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan
pemerintah yang efektif, mempunyai kekuasaan politik, berdaulat dan
berhak menentukan tujuan nasionalnya sendiri.”15
Negara mempunyai istilah yang berbeda dalam bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, negara diistilahkan dengan kata
Daulah yang diartikan sebagai Hukumah yang berarti pemerintahan atau
negara, sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai untuk kata
negara adalah state, nation, atau country. Adapun secara terminologi,
menurut Shiddiq Abdurrahman yang dikutip oleh B. Syafuri, yang
dimaksud dengan negara adalah suatu komunitas masyarakat manusia
yang hidup. Di dalamnya terdapat aparatur negara yang bertugas
melaksanakan administrasi sosial, manejemen internal dan eksternal, baik
dalam keadaan perang maupun damai.16
Dari pernyataan di atas, jelaslah disebutkan bahwa berdirinya
suatu negara terdiri dari tiga unsur pokok yaitu : rakyat, wilayah, dan
pemerintahan yang berdaulat. Hal yang sama dikemukakan dalam buku
Inilah Politikku, disebutkan bahwa unsur-unsur negara terdiri atas
manusia, tanah, dan pemerintahan.17
Sama halnya dengan istilah politik dalam Alquran yang tidak
disebutkan secara jelas, istilah negara pun tidak disebutkan secara
langsung baik di dalam Alquran maupun Hadits. Walaupun di dalam
14 Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogayakarta : Ar-Ruzz Media,
2010), p. 229. 15 Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Depdikbud, 1988), p. 610. 16 B.Syafuri, Pemikiran Politik Dalam Islam, (Serang : FSEI Press, 2010), p. 27. 17 Muhammad Elvandi, Op. Cit., p. 27.
78
Alquran disebutkan kata Dulah (dulatan bainal aghniya), tapi tidak
bermaksud sebagai negara, melainkan dikaitkan dengan istilah ekonomi
atau perputaran harta.18
Banyak definisi negara yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan
dan ahli filsafat, antara lain sebagai berikut :
Roger F. Soultau mengatakan negara adalah alat (agency) atau
wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan
bersama atas nama masyarakat. 19 Menurut Jean Bodin, negara adalah
persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang
dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat. 20 Hugo Grotius
menyatakan bahwa negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna
dari orang-orang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. 21
Sedangkan menurut Max Weber, negara ialah komunitas manusia yang
secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam
wilayah tertentu.22
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
negara merupakan suatu komunitas, yang di dalamnya terdapat
sekumpulan manusia yang mempunyai tujuan yang sama demi
kepentingan bersama.
Sebuah negara didirikan dengan maksud dan tujuan-tujuan
tertentu. Tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk hal-hal yang
bersifat baik. Misalnya untuk kesejahteraan bersama, memakmurkan
warga negaranya, menjaga kedamaian, menciptakan keadilan dan lain
sebagainya. Tujuan negara adalah melanggengkan ketimpangan kelas,
dan itu terjadi karena negara memiliki alat-alat pemaksa dan menguasai
aparatur-aparatur hukum, sosial, dan politik.
Negara merupakan integrasi dan kekuasaan politik masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat. Dengan adanya negara yang merupakan
organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
18 B. Syafuri, Loc. Cit., 19 Abu Bakar Ebyhara, Op. Cit., p. 232. 20 Ibid., 21 Ibid., 22 Ibid., p. 233.
79
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.23
Menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh B. Syafuri,
negara terbentuk karena lanjutan dari keinginan manusia bergaul
(solidaritas) antara seseorang dengan lainnya dalam rangka
menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam rangka
mempertahankan diri maupun menolak musuh.24 Sementara itu, menurut
Fazlur Rahman, tujuan dari didirikannya negara adalah untuk
mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara
terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu
sehingga setiap warga negaranya menyadari kemampuannya dan bersedia
menyumbangkannya demi kesejahteraan seluruh warga negara.25
Didirikannya suatu negara tidak lain adalah guna mewujudkan
keteraturan dan merealisasikan kepentingan bersama dalam masyarakat.
Banyak sekali para tokoh Islam yang mengungkapkan tujuan didirikannya
suatu negara, seperti Ibnu Taimiyah, dan Al-Ghazali. Keduanya memiliki
pandangan yang sama dalam merumuskan tujuan-tujuan didirikannya
negara, yang terangkum sebagai berikut: pertama, negara sebagai alat
untuk menjalankan syari’at Islam di tengah-tengah kehidupan umat
manusia sebaik-baiknya. Kedua, negara berfungsi untuk menciptakan
kemaslahatan bersama secara hakiki, lahir dan batin bagi seluruh rakyat.
Ketiga, negara merupakan lembaga yang harus bertanggung jawab dalam
menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.26
2. Teori Politik dan Negara Menurut Sarjana Barat
Pemikiran politik, pertama kali muncul di Yunani Kuno, yakni
pada tahun 450 SM. Hal ini dikarenakan, Yunani Kuno merupakan negara
pertama yang membentuk dan mempraktikan ide-ide tentang pemeritahan
demokratis. Di Yunani Kuno pula lah, isu-isu tentang kenegaran pertama
kali diangkat. Nilai-nilai tentang kebebasan, hak individu, dan keadilan
diakui.
23 B.Syafuri, Op. Cit., p. 69. 24 Ibid., p.70. 25 Ibid., p.71. 26 Ibid., p.76.
80
Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh yang paling berpengaruh
dalam bidang pemikiran politik di antara seluruh filsuf, baik pada zaman
kuno, pertengahan, maupun modern. Termasuk juga dalam
mempengaruhi pemikiran politik filsuf Islam, yaitu Al-Farabi.
a. Pemikiran Politik Plato
Plato merupakan orang yang pertama kali melontarkan
pemikiran politik yang sistematis. Karya Plato yang berjudul
Republic, merupakan karya yang yang cukup terkenal hingga kini
tentang bagaimana negara harus ditata dan bagaimana keadilan dapat
diraih dalam tatanan masyarakat.27
Plato berpendapat bahwa tidak adanya kebebasan individu
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan ketergantungan kepada
orang lain merupakan sebab berdirinya negara atau kota. 28
Selanjutnya, menurut Plato, ada empat konsep fundamental yang
menjadi dasar filsafat politik, yakni :29
1) Kebajikan adalah Pengetahuan
Terdapat tiga konsep yang harus dipahami dalam hal ini,
yaitu : Pertama, kebenaran harus obyektif dan tidak berubah agar
kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya. Sebaliknya, kita
hanya bisa memiliki opini dan bukannya pengetahuan yang sejati.
Kedua, karena kebajikan disamakan dengan pengetahuan, maka
orang yang mengetahui harus diberi peran yang menentukan
dalam urusan publik. Tugas untuk menemukan penguasa yang
baik dan bijak, dengan demikian, dilakukan dengan ujian
pengajaran. Ketiga, negara harus mengambil peran aktif dalam
mendidik rakyatnya, khususnya kepada orang-orang yang percaya
dengan bimbingan dan arahan kehidupan publik. Suatu
masyarakat yang semakin bijak dan berfungsi dengan baik akan
dibantu dengan pelatihan hingga memperoleh kemampuan yang
luas.30
27 Abu Bakar Abyhara, Op. Cit., p. 20. 28 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), p. 28. 29 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern, (Yogyarkarta : Pustaka Pelajar , 2009), cet III, p.59. 30 Abu Bakar Abyhara, Op. Cit., p. 102.
81
2) Ketidaksetaraan antar-manusia
Manusia memiliki bakat, kecerdasan, dan kemampuan yang
tidak sama. Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealistis di kalangan
manusia untuk menghargai bakat dan kemampuan. Plato meyakini
bahwa alam membuat kemampuan manusia berbeda, baik karena
pengejaran fisik maupun intelektual atau karena mencapai
kebajikan. 31 Oleh karena itu, ia menganggap bahwa
ketidaksetaraan dan perbedaan status dan kelas, merupakan hal
yang ditentukan oleh Tuhan. Kemudian, berdasarkan prinsip
bakatnya, anggota negara yang ideal dibagi menjadi tiga kelas :
penguasa, prajurit, dan produsen. Kelas penguasa adalah yang
memiliki nalar baik, yang menetukan seluruh bagian negara
melalui legislasi dan aturan umum. Kelas prajurit adalah yang
menggunakan kebesaran nafsu dan jiwanya yang berani. Yang
terdiri atas golongan militer, dan pejabat administrasi yang
bertugas menjaga negara dan menegakkan hukum. Sedangkan,
produsen adalah bagian terbesar dari rakyat yang bertugas
menyediakan kebutuhan material untuk masyarakat.32
3) Negara adalah lembaga yang alami
Bagi Plato, negara merupakan keinginan dari tiap-tiap
individu. Asal mula negara terletak dalam kebutuhan-kebutuhan
dan keinginan-keinginan manusia yang bermacam-macam dan
kebutuhan untuk bekerjasama. Oleh karena itu, Plato berpegang
pada konsep negara organik. Konsep ini mendorongnya untuk
membandingkan negara dengan tubuh manusia. Negara
merupakan entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda
yang saling melengkapi dan saling tergantung dan bertindak
bersama-sama dalam mengejar tujuan bersama. Jika salah satu
anggota dalam kelompok ini melarat atau terluka, kesehatan
seluruh anggota masyarakat juga terganggu.33
4) Tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama.
31 Ibid. 32 Ibid., p. 103. 33 Ibid., p.104.
82
Negara muncul karena ketidakcukupan individu untuk
menyediakan kebutuhan bagi dirinya. Tugas utama negara,
menurut Plato ialah untuk mengarahkan kehidupan manusia agar
mereka memperoleh kebahagiaan. Karena negara terbentuk dari
individu-individu yang berbeda, tujuan negara bukanlah untuk
kepentingan individu, melainkan untuk kebaikan dan
kesejahteraan umum.
Selain, premis-premis pemikiran tersebut di atas. Plato juga
menjelaskan tentang kepemimpinan. Ia menjelaskan, bahwa
seorang pemimpin atau kepala negara harus memiliki sifat-sifat
fitrah, seperti tendensi terhadap filsafat, mencintai ilmu
pengetahuan, menyayangi sahabat, dan keras terhadap musuh.34
Plato mencampurkan antara politik, etika, dan filsafatnya.
Kemudian Plato mengaitkan teori negara-kota-nya dengan teori
etikanya. Hal ini karena menurutnya, kota atau negara yang baik
harus bijaksana, pemberani, berjiwa suci, dan adil. Hal inilah yang
membuat Plato akhirnya menjadikan politik sebagai suatu etika
yang luas.
Kemudian, plato mengelompokkan masyarakat ke dalam
tiga kelas, yakni : Kelas pertama, kelas paling tinggi. Kelas para
pemimpin dari kalangan filosof yang mengatur urusan
pemerintahan dn administrasi pengelolaan negara dengan akal dan
kebijkasanaan. Kelas kedua, kelas serdadu atau pasukan perang.
Yang bertugas mempertahankan negara dari rongrongan dari
dalam dan luar. Yang memiliki jiwa pemberani. Kelas ketiga,
kelas buruh pabrik, pedagang dan petani. Mereka adalah
masyarakat umum yang berkewajiban mengamankan sektor
produksi untuk keberlangungan hidup.
b. Pemikiran Politik Aristoteles
Aristoteles merupakan tokoh dan pemikir politik dari
Yunani Kuno yang sangat terkenal, yang lahir pada tahun 384 SM
di Stagira sebuah kota kecil di Yunani di semenanjung Chalcidice.
Dia berasal dari keluarga menengah ke atas. Ayahnya menjadi
dokter di istana Anyntas II, ayah dari Philip Agung. Pada usia 17
34 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p. 30.
83
tahun, ia pergi ke Athena untuk belajar di akademik Plato.
Aritoteles merupakan murid dari filsuf Yunani sebelumnya, yakni
Plato. Ia datang menemui gurunya tersebut pada usia 61 tahun.
Aristoteles wafat pada tahun 323 SM pada usia 62 tahun.
Karyanya yang paling mengesankan mencakup risalah-risalah
dalam bidang yang sangat beragam, seperti logika, fisika,
metafisika, biologi, meteorologi, retorika, puisi, etika, dan politik.
Karyanya dalam bidang politik yang paling terkenal adalah
Politic.35
Pandangan politik Aristoteles tidak kalah menarik dengan
pemikiran Plato, gurunya. Aristoteles menganggap manusia
sebagai “Binatang yang berpolitik” (Zoon Politicon). Bagi
Aristoteles, politik ialah ilmu praktis, ada hukum moral universal
yang harus dipatuhi semua manusia, sedangkan negara merupakan
institusi alamiah. Politik Aritoteles menegaskan tentang
pentingnya negara, yang merupakan suatu komunitas tertinggi,
dan mempunyai tujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi.
Menurut Aristoteles, suatu negara terbentuk dimulai dari keluarga,
yang terbentuk atas dua relasi antar laki-laki dan perempuan.
Kemudian sejumlah keluarga bergabung membentuk sebuah desa,
dan beberapa desa melahirkan sebuah negara dengan syarat
perkumpulan tersebut mampu untuk berswasembada. 36
Aristoteles mengungkapkan bahwa orang yang mendirikan
negara adalah seseorang yang sangat dermawan sebab negara telah
mengikat manusia dengan peraturan dan hukum yang diterapkan
di dalamnya, sedangkan manusia tanpa hukum diibaratkan sebagai
binatang yang paling ganas. 37 Suatu negara terdiri dari
pemerintahan. Suatu pemerintahan dianggap baik jika mempunyai
tujuan untuk mencapai kebaikan bagi seluruh masyarakat, dan
dianggap buruk jika hanya mementingkan dirinya sendiri. Negara
bukanlah masyarakat yang tujuannya sekedar pertukaran dan
35 Henry J. Schmandt, Op. Cit., p. 83. 36 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio
Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), cet III, p.
252. 37 Ibid.,
84
mencegah kejahatan. Tujuan negara adalah kehidupan yang baik
untuk semua masyarakatnya.
Menurut Aristoteles, ada tiga macam pemerintahan yang
baik, yaitu : monarki, aristokrasi, dan pemerintahan konstitusional
(polity). Selain itu ia mengkalsifikasikan tiga macam
pemerintahan yang buruk : tirani, oligarki, dan demokrasi.38
Yang dimaksud dengan monarki adalah pemerintahan yang
berada di bawah pimpinan seorang raja. Aristokrasi merupakan
pemerintahan yang berada di tangan sekelompok kecil pilihan atas
dasar harta dan kedudukan. 39 Dan pemerintahan Konstitunional
merupakan pemerintahan yang dipimpi oleh banyak orang untuk
kepentingan rakyat. Dalam pemerintahan yang buruk, Aristoteles
mengartikan oligarki sebagai pemerintahan yang berada di tangan
sekelompok kecil orang kaya. Sedangkan pemerintahan demokrasi
merupakan peemerintahan yang berada di tangan seluruh rakyat.40
Dan yang dimaksud dengan tirani adalah bentuk pemerintahan
oleh seorang raja yang bertindak sewenang-wenang untuk
kepentingan sendiri.
Aristoteles membandingkan macam-macam pemerintahan
tersebut. Pertama, ia membandingkan pemerintahan aristokrasi
dan oligarki. Aristokrasi merupakan pemerintahan oleh orang-
orang yang memiliki keutamaan, sedangkan oligarki merupakan
pemerintahan oleh orang-orang golongan kaya. Selanjutnya, ia
juga membandingkan pemerintahan demokrasi dan Polity.
Perbedaan antara keduanya terletak pada segi etiknya, selain itu di
dalam Polity terdapat unsur-unsur Oligarki. Sedangkan antar
monarki dan tirani perbedaannya terletak pada segi etiknya saja.41
Dalam sistem pemerintahan yang dinilai baik, pemerintahan
monarki lebih baik dibanding aristokrasi, dan aristokrasi lebih baik
daripada polity. Sedangkan dalam pemerintahan yang dinilai
buruk berlaku sebaliknya, sistem pemerintahan tirani lebih jelek
38 Ibid., p. 257. 39 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 340. 40 Ibid., p. 341 41 Betrand Ruseell, Op.Cit., p. 257
85
daripada oligarki, dan oligarki lebih buruk ketimbang demokrasi.42
Pemikiran Aristoteles tentang negara dan hukum sungguh
dianggap sebagai kemajuan penting dalam pemikiran politik.
Terdapat persamaan pemikiran antara Aristoteles dan Plato dalam
mendefinisikan negara. Bagi mereka adalah puncak paling tinggi
dari pergaulan hidup manusia dan negara dianggap sebagi suatu
bentuk masyarakat yang memberikan kesejahteraan umum.
3. Teori Politik dan Negara Menurut Sarjana Muslim
a. Ibnu Abi Rabi’
Syihab al-Din Ahmad Ibn Abi Rabi’, atau lebih dikenal
dengan Ibnu Abi Rabi’, dilahirkan di dalam masa pemerintahan
khalifah ke-8 Abbasiyah, mu’tashim putra Khalifah Harun Ar-
Rasyid.43
Menurut Ibnu Abi Rabi’, manusia tidak dapat hidup tanpa
bantuan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan alaminya,
ia senantiasa membutuhkan peran orang lain di dalamnya. Saling
ketergantungan ini, pada akhirnya menyebabkan sebagian manusia
berkumpul di suatu tempat untuk melakukan kerjasama dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka kemudian mendirikan
suatu kota sebagai tempat untuk melakukan aktivitasnya.
Selanjutnya, terkait dengan kebutuhan manusia, terdapat berbagai
jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi guna kelangsungan
hidupnya, yaitu: pertama, Kebutuhan pangan, untuk mengganti
energi yang digunakan manusia ketika beraktivitas. Kedua,
Kebutuhan sandang, berfungsi sebagai pelindung dari hawa panas,
dingin, maupun angin. Ketiga, Kebutuhan tempat tinggal, yang
dapat menjaga manusia dari bahaya yang mengancam di luar.
Keempat, Kebutuhan reproduksi, sebagai penjamin kelangsungan
eksistensi manusia. Kelima, Kebutuhan pelayanan kesehatan.44
Ibnu Abi Rabi’ mempunyai sudut pandang yang berbeda
dengan filsuf yang lainnya. Ia mengatakan bahwa watak manusia
42 Ibid., 43 A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Jakarta : PT. Gaya Media Pratama,
1995), cet II, p. 1. 44 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 338.
86
cenderung untuk bermasyarakat, sesuai dengan sifatnya sebagai
makhluk sosial dan berbudaya. Watak manusia ini sejatinya
diciptakan oleh Allah untuk manusia. Ia juga menambahkan,
bahwa Allah telah menetapkan berbagai aturan untuk ditaati
manusia dan Allah telah mengangkat pemimpin-pemimpin yang
bertugas menjaga terlakasananya peraturan-peraturan-Nya.45 Hal
inilah yang membedakan pemikiran Ibnu Abi Rabi’ dengan
pemikiran ilmuwan yang lainnya. Dimana ia menyisipkan
orientasi agama berupa sentuhan-sentuhan ketuhanan ke dalam
pemikiran politiknya.
Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ selanjutnya adalah
mengenai bentuk pemerintahan dan syarat mendirikannya.
Menurutnya, tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa adanya
seorang pemimpin. Oleh karena itu, kehadiran pemimpin sangat
dibutuhkan oleh suatu negara/kota guna melindugi rakyat.
Pemimpin tersebut haruslah seorang yang mempunyai pengaruh
besar dan memiliki perangai yang baik, hal ini pernah
dikemukakan juga oleh Plato.46 Mengenai bentuk pemerintahan,
Ibnu Abi Rabi’ menjelaskan bahwa pemerintahan yang paling
baik adalah pemerintahan yang berbentuk monarki atau kerajaan
yang dipimpin oleh seorang raja. Alasannya, apabila suatu negara
berada ditangan sekelompok orang seperti bentuk pemerintahan
oligarki, aristokrasi, demokrasi, dan demagogi, maka negara itu
akan terus kacau dan sukar membina persatuan.47
Selanjutnya mengenai syarat-syarat dalam mendirikan
suatu negara, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan ada enam hal pokok
yang menjadi faktor penting, syarat-syarat tersebut ialah : tersedia
air tawar yang cukup, memungkinkan untuk mendatangkan
bantuan, lokasi yang strategis dan memiliki udara yang bersih,
dekat dengan tempat pengembalaan dan tempat kayu bakar,
45 Ibid., p. 339. 46 Ibid., p. 340. 47 Ibid., p.341.
87
terjaminnya tempat tinggal dari musuh dan hal-hal yang ditakuti,
dan memungkinkan mengontrol komponen negara.48
b. Al-Mawardi
Banyak karya dalam bidang politik yang di tulis al-Mawardi,
diantaranya : al-Ahkam al-Sulthaniyah (norma-norma pemerintahan),
Nashihah Al-Muluk (Nasihat untuk para pemimpin), Tahsir An-Nazhr
wa Ta’jil Azh-Zhafr, dan Qawanin Al-Wazarah wa Siyasah Al-Muluk
(Undang-undang Kementerian dn Politik para pemimpin).49
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang
lain dalam menjalankan kehidupannya karena ia tidak mungkin
memenuhi semua kebutuhannya sendirian. Seperti yang diungkapkan
oleh beberapa filsuf barat dan Islam. Dalam hal ini pun, al-Mawardi
mempunyai pandangan yang sama, dimana ia menyatakan bahwa
manusia merupakan makhluk yang paling membutuhkan bantuan dari
spesiesnya. Namun, terdapat perbedaan antara al-Mawardi denga Al-
Farabi dalam hal tersebut di atas. Al-Mawardi memasukkan makna
agama ke dalam kehidupan manusia. Ia menegaskan bahwa Allah telah
menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan lemah, sehingga dapat
disadari bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rezeki. Dan
manusia membutuhkan-Nya, untuk menghindarkan manusia dari sifat
sombong dan membangkang. Dalam mendirikan suatu negara, al-
Mawardi berpendapat bahwa negara membutuhkan enam sendi utama
yang akan menjadikan suatu negara tidak akan hancur, yakni : 1)
Agama yang dihayati; 2) Pemimpin yang berwibawa; 3) Keadilan yang
menyeluruh; 4) Keamanan semesta; 5) Kemakmuran sandang-pangan;
dan 6) Harapan kelangsungan hidup.50
Menurut al-Mawardi, sebuah pemerintahan dipimpin oleh
seorang pimpinan yang dikenal dengan imam, sultan dan raja. Dalam
pemilihan seorang imam, terdapat dua unsur yang harus dipenuhi. Dua
48 Ibid., p.342 49 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 366 50 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p.368-369
88
unsur tersebut adalah ahl-ikhtiyar (para pemilih) dan ahl al-imamah
(para kandidat imam).51
Ahl al-ikhtiyar merupakan orang-orang yang memilih imam
untuk umat. Terdapat tiga syarat untuk menjadi ahl al-ikhtiyar, yaitu :
adil, mempunyai wawasan luas tentang siapa yang berhak menjadi
imam, serta memiliki kebijaksanaan sehingga dapat memilih imam
dengan tepat. Sedangkan, ahl al-imamah merupakan calon-calon yang
dipersiapkan untuk menjadi imam. Calon imam tersebut harus
memenuhi tujuh persyaratan , yaitu : adil, memiliki ilmu yang luas,
sehat pancaindranya, puny kemampuan untuk menjalankan
pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah
kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan
Arab Quraisy.
Dalam pengangkatan imam, al-Mawardi menegaskan ada dua
prosedur, yakni : Proses pemilihan yang yang dilakukan oleh ahl al-
aqdi wa al-halli (para wakil rakyat), dan Penunjukan atau wasiat dari
imam sebelumnya.52
Menurut al-Mawardi, dalam pemerintahan hendaknya ada
sebuah lembaga yang sejajar dengan lembaga kementerian (al-
wazarah). Kemudian, wazarah menurut al-Mawardi memiliki
beberapa arti, yakni: pertama, Al-Wizru (beban berat) karena seorang
menteri membawa beban berat dari kepala negara. Kedua Al-Izr
(punggung) karena kepala negara menjadi kuat dengan adanya menteri
seperti halnya badan menjadi kuat dengan adanya punggung. Ketiga,
Al-Wazr (tempat berlindung), raja berlindung kepada masukan atau
pandangan menteri-menterinya dan bantuannya.53
Selain itu adapula dikenal pemerintahan daerah. Pemerintahan
daerah dibagi dua, pemerintahan yang bersifat khusus dan bersifat
umum. Pemerintahan yang bersifat umum terbagi menjadi dua, yakni
‘Imarah istikfa’ dengan kontrak lewat pemilihan atau pengangkatan
oleh khalifah, dan ‘Imarah istila’ dengan kontrak melalui kekuatan
atau perbuatan paksa.
51 Ali Abdul Mu’ti Muahammad, Op. Cit., p. 371 52 Ibid., p. 372 53 Ibid., p.377.
89
Ruang lingkup tugas dan tanggung jawab amir istikfa adalah
memberi kuasa penuh dari khalifh untuk memimpin wilayah daerah.
Adapun imarah istila’ adalah pemerintahan yang dipegang oleh
seseorang yang merebut secara paksa oleh kekuasaan amir setempat
yang telah diangkat oleh khalifah. 54
Al-mawardi mengklasifikasikan dinas pemerintahan ke dalam
beberapa bagian, yakni : jabatan militer, lembaga peradilan, mahkamah
banding atas tindak ketidak-adilan pejabat negara, dan dinas ketertiban
umum. Selain itu adapula Mahkamah Banding atas tindak
ketidakadilan pejabat negara (Al-Muzhalim). Mahkamah Mazhalim
bertugas untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan: 1)
Tindak keadilan yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintah
lainnya terhadap rakyat. 2) Ketidakadilan dalam penilaian atau
penarikan pajak. 3) Supervisi keuangan pejabat publik di biro-biro
pemerintahan. 4) Pengawasan atau pemeliharaan pajak. 5)
Mengembalikan hak milik yang diambil secara paksa.55
c. Ibnu Taimiyah
Karya Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling
penting adalah As-Siyasah Asy-Syar’iyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-
Ra’iyah (politik yang berdasarkan Syari’ah bagi Penguasa dan
Rakyat). Melalui karyanya inilah, Ibnu Taimiyah berusaha
memperbaiki keadaan rakyat yang telah rusak.56
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat
memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting,
namun bukan berarti pula bahwa agama tidak dapat berdiri tanpa
adanya suatu negara. 57 Menurut Ibnu Taimiyah, kesejahteraan
manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya dalam satu tatanan sosial
dimana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. 58 Ibnu
Taimiyah senantiasa berusaha mengembalikan peranan Alquran dan
Sunnah ke dalam kehidupan manusia. Hal ini ia lakukan karena ia
54 Ibid., p.382. 55 Ibid., p.387. 56 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p. 395. 57 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op. Cit., p. 33. 58 Ibid.
90
ingin memperbaiki kerusakan politik dan sosial yang terjadi pada
masanya. Ia berpendapat bahwa kerusakan dapat diperbaiki apabila
umat Islam kembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul. Untuk itu,
ia menyatakan bahwa politik yang berlandaskan agama adalah sesuatu
yang paling ideal yang dapat mengembalikan umat Islam kepada
kemuliaan, kekuatan dan kesatuannya.59
Unsur-unsur Politik yang bersendikan Agama
1. Menunaikan amanat
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa penunaian amanah
menyangkut dua hal : kepemimpinan dan harta. Untuk masalah
kepemimpinan, Ibnu Taimiyah sangat berhati-hati dalam
menyampaikan pendapatnya. Menurutnya seorang pemimpin
harus berkualitas dan ditempatkan di tempat yang cocok dengan
keahliannya. Seorang raja tidak boleh mengangkat orang untuk
menjadi pemimpin berdasarkan kedekatan, uang, maupun
kedudukan sosial. Jika raja mengangkat pejabat yang tidak pantas
karena hal-hal tersebut di atas, maka sungguh ia telah berkhianat
kepada Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin.60
Terdapat dua syarat utama untuk menjadi seorang
pemimpin, yakni kekuatan dan amanah. Namun, Ibnu Taimiyah
menyadari bahwa sedikit sekali orang yang memenuhi dua suarat
tersebut. Karena itu, bila terdapat dua orang kandidat yang hanya
memiliki salah satu syarat saja, maka yang lebih diutamakan
adalah kandidat yang kuat dan berwibawa.61
Sedangkan masalah pengelolaan kekayaan negara, antara
penguasa dan rakyat terdapat kerjasama. Seorang penguasa harus
menggunakan dan mengolah kekayaan negara dengan tepat,
sedangkan rakyat berkewajiban melakukan kontrol terhadap
penggunaan kekayaan negara.62
2. Pelaksanaan Hukum
Pelaksanaan hukum ini bersifat hukum pidana. Menurut
Ibnu Taimiyah, hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni hukum
59 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 396. 60 Ibid., p. 399. 61 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op. Cit., p. 37. 62 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 400.
91
pidana yang berkaitan dengan hak Allah dan hukum pidana yang
berkaitan dengan hak manusia.
Hukum pidana yang berkaitan dengan hak-hak Allah
adalah hukum yang penerapannya tidak pandang bulu, dan tanpa
melihat status tindakan kriminal. Hukum ini bermanfaat bagi
semua orang. Dan telah di atur di dalam Alquran. Hukum ini harus
tetap diadakan meskipun tidak ada pelanggar hukum.63
Yang kedua adalah hukum yang pidana yang berkaitan
dengan hak-hak manusia. Hukum ini berlaku atas pelanggaran
hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban manusia. Baik
itu yang berhubungan dengan kejahatan seperti pembunuhan,
pencurian, perampokan dan lain sebagainya, maupun yang
menyinggung hak-hak yang berhubungan dengan rumah tangga,
dalam transaksi, dan yang lainnya. Jika hak dan kewajiban ini
dilanggar, maka hukum pidana inilah yang akan menanganinya.
3. Musyawarah dan perlunya menyelenggarakan pemerintahan
Musyawarah di dalam suatu pemerintahan amatlah
penting. Seorang kepala negara tidak dapat meninggalkan
musyawarah dalam kepemimpinannya. Allah SWT. berfirman :
... ...
Artinya : ... karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu...64
Musyawarah merupakan ciri utama demokrasi Islam.
Dengan bermusyawarah, tidak akan ada pemaksaan dalam
menerapkan suatu gagasan. Selain itu, dengan bermusyawarah
seorang kepala negara tidak akan berlaku sesuka hatinya,
melainkan aka mempertimbangkan pendapat yang lainnya, seperti
pendapat ulama, fiqih, dan pakar diberbagai bidang.
63 Ibid., p.402 64 Q.S. Al-‘Imran (3) : 159.
92
4. Hubungan Politik, Negara dan Agama dalam Islam
Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup
semua dimensi kehidupan dengan syari’at dan pengarahannya. Islam
mengatur kehidupan manusia sejak manusia itu dilahirkan sampai
meninggal dunia. Bahkan sejak sebelum dilahirkan sampai sesudah
meninggal dunia. Allah SWT. Berfirman :
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksakarena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.65
Segala aspek yang terdapat dalam kehidupa dunia dan akhirat
diatur oleh ajaran-ajaran Islam. 66 Selain itu, Islam juga menata
kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan
kehidupan politik. Baik mengenai persoalan beristinja sampai dengan
masalah pemeritahan. 67 Islam membawa konsep politik untuk
membahagiakan manusia dunia dan akhirat.68
Hubungan antara agama politik dan negara dalam Islam, telah
diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad SAW. Hubungan satu
sama lain sangat erat. Nabi muhammad bukan hanya seorang Nabi
yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan risalah Islam saja,
melainkan juga untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi,
yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah
negara. Pertumbuhan dan perkembangan agama dalam Islam
bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik.
sejak Rasulullah SAW. melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah,
65 Q.S. Al-Maidah (5) : 3. 66 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta : Teraju, 2002), p. 113. 67 Yusuf al-Qaradhawy, Fiqh Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997), p. 29. 68 Muhith Muhammad Ishaq, Fiqh Politik Hasan Al-Bana, (Jakarta : Robbani
Press, 2012), p. 30.
93
Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah
kenegaraan. 69 Negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad SAW.
adalah mode bagi hubungan antara agama politik dan negara dalam
Islam.
Agama bukan hanya sekedar urusan pribadi atau ajaran moral
yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh
interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi
manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun
manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara
bahkan dipandanng sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan
agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah
diterapkan sejak Rasulullah Saw. berhijrah dan menjadi kepala negara
Islam di Madinah
Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun
perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh
atas masyarakat luas. Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan
Islam itu, maka dapat dikatakan bahwa hubungan agama dengan
politik dan negara di dalam Islam, merupakan satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan.
Hubungan antara agama, negara dan politik di dalam Islam
mendapat perhatian yang cukup besar dari para pemikir Barat. Banyak
pengaruh dari Barat yang menyatakan bahwa Islam tidak mempunyai
hubungan dengan politik dan negara.70 Tujuan dari pengaruh tersebut
tidak lain adalah untuk mengacaukan pemikiran umat Islam. Hal ini
jelas sangat bertentangan dengan kenyataan sesungguhnya, Islam
sebagai agama yang sempurna, mengajarkan kepada kita semua aspek
kehidupan. Permasalahan politik dalam Islam jelas sekali dicontohkan
oleh Rasul dalam membangun sebuah peradaban. Hubungan antara
agama politik dan negara dalam Islam tidak hanya diakui oleh para
pemikir Islam itu sendiri, para orientalis pun mengakui adanya
hubungan tersebut. Berikut adalah berbagai pendapat dari para
orientalis.
69 B. Syafuri, Op.Cit., p.17. 70 Yusuf al-Qaradhawy, Loc.Cit.,
94
Dr. V. Fitgerald menyatakan bahwa Islam bukan hanya sekedar
agama, tapi juga sistem politik. Walaupun akhir-akhir ini muncul dari
kalangan kaum muslimin beberapa orang yang menganggap dirinya
sebagai “modernis” berupaya untuk memisahkan antara kedua hal itu,
namun tuntutan pemikiran Islam semuanya dibangun berdasarkan
kedua sisi yang saling terkait tersebut, tidak mungkin dipisahkan satu
sama lain.71 Selain itu, Prof. C. A. Nallino mengatakan “pada waktu
yang sama, Muhammad mendirikan agama dan negara. Kedua hal ini
selalu harmonis sepanjang hidup beliau. Dr. Schacht mengatakan
“disamping Islam memberikan pengertian lebih dari sekedar agama,
maka ia juga merupakan berbagai teori hukum dan politik. secara
ringkas dapat dikatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang
integral, yang mencakup agama dan negara sekaligus.72 Sementara itu,
menurut Sir T. Arnold mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW.
pada waktu yang sama adalah seorang pemuka agama dan kepala
negara.73
B. PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN
NEGARA
1) Pengertian Politik dan Agama
Politik, pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Nabi
Muhammad SAW. dengan agama yang dibawa pada urutannya
membentuk jejaring kekuasaan untuk menyebarkan dan mewujudkan
doktrinnya. Ini berarti agama mesti memiliki kekuasaan politik.
Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting
sepanjang sejarah manusia. dengannya, manusia saling mengelola
potensi yang berserakan di antara mereka; saling bersinergi dalam
tujuan yang sama; saling memahami dalam perbedaan yang ada; juga
saling menjaga aturan yang disepakati bersama. 74 Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, politik merupakan suatu usaha yang ditempuh
bersama guna mencapai kebahagiaan bersama.
71 Ibid.,p. 35-36. 72 Ibid., p.36. 73 Ibid., 74 Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,
2011),p.1.
95
Agama secara hakiki berhubungan dengan politik.
Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang
oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak
legal. Seringkali agamalah yang memberi legitimasi kepada
pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam
masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak
mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah
pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi
legitimasi pada kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat
dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar
tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan
keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik,
harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta
bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi
adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu
memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan
sumbernya yang transcendent. Dalam agama telah ada kesepakatan
bahwa sumber utama ajarannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. telah
memberikan petunjuk kepada semua umat manusia, termasuk dalam
hal negara dan politik.
2) Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi
Al-Farabi dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah
Mu’tamid (870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan
khalifah Muti’. Ia hidup di tengah-tengah kondisi politik Islam yang
paling kacau dan tidak ditemukan stabilitas politik di dalamnya. 75
Putra-putra raja dan penguasa lama (Persia dan Turki), berusaha
merebut kembali wilayah dan kekayaan nenek moyangnya. Selain itu,
75 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari
Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, ( Jakarta : Kencana Prenada media
Group,2013), Cet II, p. 16.
96
sekelompok kaum Zenj 76 juga melakukan pemberontakan terhadap
khalifah saat itu, hingga berhasil menguasai daerah sekitar Basrah.
Saat itu pula lah, kewibawaan khalifah telah jatuh, khalifah tidak lebih
hanyalah sebuah simbol belaka.77
Sebelumnya, pemerintahan dinasti Abbasiyah pernah
mengalami masa kejayaan. Namun semenjak kekuasaan dipegang
oleh orang-orang dari Turki, Persi, Daila, dan Seljuk, pemerintah
Islam pun mulai melemah. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan
dalam pemerintahan tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga
kekacauan pun terjadi dimana-mana. Peristiwa terjadi sejak khalifah
al-Mu’tashim Billah naik tahta. 78 Kekacauan berlangsung sampai
dengan masa pemerintahan al-Mu’tamid. Kemudian pemerintahan
pindah ke tangan al-Mu’tadid, lalu pindah ke al-Muktafi billah (anak
al-Mu’tamid), kemudian pindah lagi ke tangan saudaranya, al-
Muqtadir, dan direbut oleh al-Ghalib billah Ibn Abdullah. Sampai
kemudian direbut kembali oleh para pengikut setia al-Muqtadir dan
diserahkan kembali kepadanya. Pada masa pemerintahan al-Muqtadir
inilah kekacauan dan instabilitas politik semakin memuncak.79
Pemikiran politik Al-Farabi banyak dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi pemerintahan saat itu. Dalam situasi politik seperti itu,
muncullah karya Al-Farabi yag monumental yaitu kitab Ara’ Ahl
Madinah al-Fadhilah. Di dalam karya tersebut, Al-Farabi membahas
permasalahan hubungan antara teologi dan politik yang pada saat itu
jarang dibicarakan seseorang.
Pada masa pemerintahan Nashr II, Al-Farabi meninggalkan
negeri Samaniyyah, menuju barat seperti Baghdad. Dimana, saat itu
Baghdad merupakan wilayah yang memiliki akses-akses yang tidak
didapatkan di wilayah Timur.
76 Kaum Zenj merupakan sekelompok orang Negro yang berasal dari Afrika
Timur. 77 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990), p.50. 78 Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran Al-
Farabi dan Al-Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,
http://Imamsukardi.wordpress.com/2013/10/22/tradisi-pemikiran-sosio-politik-islam-
kilasan-pemikiran-al-farabi-dan-al-mawardi-dalam-lintasan-sejarah-islam/, diunduh pada
tanggal 09-05-2014, pada pukul 14:12 WIB. 79 Ibid.,
97
Setelah kepergian Al-Farabi, Samaniyyah mulai berkembang.
Hal ini ditandai dengan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan
sebagai pusat keilmuan. Puncaknya, zaman keemasan Samaniyyah
berlangsung pada pemerintahan Nashr IV. Pada masa ini, Bukhara
sebagai ibukota pemerintahan terkenal sebagai pusat ilmu dan
kesusastraan. Perpustakaan di Istana Samaniyyah di Bukhara terkenal
di seluruh Imperium.80
3) Pengaruh Teori dan Praktek Politik Bangsa Yunani
Pengaruh pemikiran Yunani amat besar terhadap pemikiran
politik Al-Farabi, terutama pengaruh dari pemikiran filosof Plato dan
Aristoteles.
a) Pengaruh Plato pada Al-Farabi
Sebelum Al-Farabi, masyarakat Islam memandang hasil karya
dari para filsuf adalah sia-sia. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan
mereka dalam menghubungkan karya-karya kuno dengan prinsip-
prinsip Islam yang mendasar. Al-Farabi menjadi filsuf pertama yang
dapat menarik ide-ide filosofis pendahulunya dan menghubungkan
mereka ke ajaran agama Islam. Dia menarik pemikiran filsafat Plato
tentang bagaimana mendirikan sebuah komunitas politik dan
menempatkannya dalam konteks Islam. Konsep Al-Farabi tentang
kota utama merupakan perpaduan antara utopianisme platonik
dengan doktrin politik Islam.
Plato percaya bahwa warga negara tidak memiliki peran aktif
dalam politik. Menurutnya, peran individu dapat dibagi menjadi tiga
kelas tertentu dalam masyarakat. Yang pertama adalah ‘Para Wali’,
atau yang disebut dengan kelas emas, mereka memiliki
kebijaksanaan paling luas. Yang kedua adalah ‘Pelengkap’, atau
kelas silver, yang berada di bawah peraturan yang dibuat oleh Para
Wali. Mereka memiliki keberanian dan sebuah kesadaran hakiki. Dan
yang terakhir adalah Kelas para pekerja yang paling besar, atau kelas
80 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam, (Bandung :
Mizan, 2003), Cet. II, p.54.
98
perunggu, yang mempunyai disiplin diri dan mengendalikan diri atas
keinginan tertentu.81
Al-Farabi mengikuti Plato dalam banyak hal.82 Para sarjana
mengakui kesamaan antara karya Al-Farabi dan Plato. Kedua karya
mereka, Negara-negara utama Al-Farabi dan Republiknya Plato
dimulai dengan menghadirkan Allah sebagai penyebab utama dari
undang-undang dan mengklaim bahwa warga negara harus
memahami keyakinan penting dari ilahi agar dapat berkontribusi
pada rezim politik yang baik. Di dalam keduanya pula dikatakan
bahwa, para penguasa harus mencoba untuk membuat kebenaran
yang dapat diakses oleh warga tentang Ilahi. Juga, keduanya
mengklaim bahwa warganya harus bertindak baik dalam perjalanan
mereka untuk mencapai kebahagiaan tertinggi.83
b) Pengaruh Aristoteles pada Alfarabi
Selain menerapkan konsep-konsep Plato dalam pemikiran
politiknya, Al-Farabi juga mencoba menggunakan konsep-konsep
Aristoteles ke dalam ide pemikirannya. Terutama terhadap konsep
warga dan kegiatan warga Negara. Konsep warga negara dan
kemampuan warga negara yang dikemukakan oleh Aristoteles
tampaknya penting bagi Al-Farabi.
Aristoteles mendefinisikan warga negara dalam hal
partisipasinya dalam memberikan penilaian dan dalam memegang
jabatan. Tidak hanya mengacu pada raja, pemimpin, dan posting
politik serta hukum di bagian kepala negara, tetapi juga bagian
resmi lainnya termasuk juri, pemungut cukai, dll. Aristoteles
menyatakan bahwa warga negara adalah seseorang yang telah
berpartisipasi dalam urusan negara, baik itu sebagai deliberatif atau
yudikatif, maka dia telah menjadi warga negara itu; dan sejumlah
orang-orang tersebut bertugas untuk mengamankan hidup kita
81 Derek E. Hines, The Influence of Plato and Aristotle on Alfarabi,
(Departmental Honors : Government Department, 2008), p. 7.
82 Firdaus Syam, Op.Cit., p. 62. 83 Derek E Hines. Op. Cit., p.8.
99
dalam sebuah negara. Al-Farabi juga percaya akan pentingnya
keterlibatan warga negara, tetapi tidak sampai sebatas Aristoteles.84
Banyak kontroversi diantara para ulama mengenai peran
Aristoteles terhadap pemikiran Al-Farabi. Salah satunya adalah
Strauss. Ia mengatakan bahwa negara utama dapat didefinisikan
sebagai negara dimana warga negaranya bekerja sama dengan
tujuan untuk menjadi baik, melakukan kegiatan mulia, dan
mencapai kebahagiaan. Strauss berpendapat selain mengacu pada
konsep pemikiran Plato, Al-Farabi juga menunjukkan bahasa yang
menyerupai ide-ide Aristoteles dalam pemikirannya.85
Yang menarik tentang Al-Farabi adalah bahwa keyakinan
politik yang sebenarnya ditulis dalam istilah dan interpretasi dari
Plato dan karya Aristoteles. Sementara banyak filsuf berusaha untuk
langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
politik, kebebasan, dan keadilan, Al-Farabi pernah sepenuhnya
menjelaskan visinya untuk warga negara. Al-Farabi mencoba untuk
memindahkan filsafat Islam dalam arah tertentu. Dia berusaha
untuk memberikan warga negara hak lebih dan lebih dari sebuah
peran dalam politik. Ini mungkin tampak seolah-olah Al-Farabi
menjual kepada kekuatan yang lebih tinggi dengan tidak pernah
sepenuhnya menangani masalah warga negara; Namun, kita bisa
memuji dia untuk cara merevolusi konsep warga negara di tengah-
tengah waktu di mana ide-ide seperti itu tidak disukai. Al-Farabi
berupaya untuk menggabungkan aspek filsafat Platonis dan
Aristotelian. Namun, ia mampu menciptakan warga negara yang
sempurna dalam prinsip-prinsip agama Islam. Dia mengacu pada
konsep-konsep musyawarah Aristotelian dan menempatkan mereka
dalam sebuah masyarakat Platonis.
4) Pandangan Al-Farabi tentang Politik dan Negara
Dalam filsafat Islam, Al-Farabi terkenal sebagai ahli logika,
metafisika dan seorang filsuf politik. Ia mencoba untuk menyatukan
filsafat politik dengan Islam. Sebenarnya, Al-Farabi merupakan
84 Ibid., p. 11. 85 Ibid., p. 12.
100
seorang filsuf yang mengemukakan konsepsi politik kenegaraan
secara lengkap dengan konsep maupun teori politiknya. Sebagai
seorang filsuf Islam, ia banyak membicarakan masalah sosial
masyarakat. Walaupun ia tidak banyak berkecimpung dalam
persoalan kemasyarakatan.
Politik Al-Farabi merupakan suatu etika dan swakarsa yang
terkait-erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. 86 Al-
Farabi berpendapat bahwa politik harus didasari usaha konsepsi
bersama dari manusia untuk mencapai kebahagiaan (conception of
collective efford and mankind) yang tertinggi, dengan pikiran dan
tindakan pribadi yang suci dan dengan kerjasama masyarakat harmoni
serta semangat simpati. 87 Konsep politik Al-Farabi ada dua, yakni
negara utama dan lawan negara utama.
a. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Dalam Ara al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai
kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia tidak mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. 88
Kesempurnaan manusia sesuai dengan watak alamiah manusia itu
sendiri., tidak akan tercapai tanpa berhubungan dengan manusia-
manusia yang lain. Kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu
kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam
suatu komunitas (ummah), dan kerja sama antar sesama penduduk
kota (madinah).89
Menurut Al-Farabi, manusia tidak dapat mencapai
kesempurnaan yang ingin mereka capai, tanpa adanya asosiasi politik.
Sebab, mereka selalu membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka
dalam penyediaan kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup mereka.
Asosiasi politik tersebut terbagi menjadi tiga, yakni : bagian terbesar
diidentikan dengan dunia pada umumnya (ma’murah), bagian sedang
86 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, (Bandung :
Mizan, 2002) Cet. II, p. 47. 87 Firdaus Syam, Loc.Cit. 88 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Mesir : Maktabah Matba’ah
Muhammad Ali, 1959), p.96. 89 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op.Cit., p. 53.
101
diidentikkan dengan bangsa (umat), dan bagian kecil disebut dengan
negara kota (madinah polis). 90 Asosiasi politik tersebut dapat
diarahkan untuk mencapai kebahagiaan sejati, selain itu hal tersebut
bisa dimanfaatkan untuk kesenangan atau akuisisi kekayaan.
Al-Farabi menggambarkan suatu kota sebagai suatu
keseluruhan yang saling berkaitan. Dimana perumpamaannya ia
kaitkan dengan organisme tubuh. Antara organ satu dengan organ
yang lainnya saling berhubungan, apabila ada bagian yang sakit, maka
yang lainya akan bereaksi dan menjaganya. Begitu juga dalam
penggambarannya tentang sebuah kota, setiap orang di dalamnya
saling berhubungan satu sama lain, demi tercapainya tujuan bersama,
yakni sebuah kebahagiaan.91
Kota utama merupakan kota yang semua warga negaranya
merupakan warga yang mengenali hakikat Tuhan, intelek aktif,
kehidupan akhirat, dan bersandar pada tata nilai kebajikan. 92 Kota
utama harus dipimpin oleh seorang imam/pemimpin yang dapat
membawa umatnya mencapai tujuan yakni kebahagiaan. Dua
kualifikasi penting dari seorang pemimpin dalam kota utama adalah
disposisi alam atau bakat untuk memerintah, ditambah dengan sifat
sukarela. Penguasa kepala kota utama ini harus memiliki
kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek dan objek
pemikiran ('aqil, ma'qul).93
Negara utama memiliki 3 syarat keunggulan, unggul dalam
ilmu pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama.
Dengan dipimpin oleh seorang kepala negara yang ideal, yakni
seorang filsuf yang bersifat seperti nabi. 94 Kepala negara adalah
seorang yang paling ulung dalam ilmu pengetahuan serta paling suci
akhlak serta rohaninya yang dinamakan filsuf yang bersifat nabi.
Pemimpin ini hendaknya merupakan seseorang yang dapat mengelola
90 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism: His Life Work and
Influence, (England : Oneworld Publication, 2002), p. 110. 91 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1998) Cet. XI, p.73. 92 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op. Cit., p. 54. 93 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and
Influence, Op. Cit., p. 111. 94 Firdaus Syam, Op.Cit.,p. 64.
102
bidang kehidupan dengan sebaik-baiknya. Ia harus pula mampu
menerima pencerahan intelek aktif, baik lewat bakat maupun
pengembangan diri. Hal tersebut yang akan menjadikan dia sebagai
seorang filsuf yang memiliki sifat nabi.
Al-Farabi kemudian menjelaskan kualifikasi seorang kepala
negara di dalam negara utama. Menurutnya, terdapat 12 kualifikasi
yang harus dimiliki oleh seorang kepala negar, diantaranya sebagai
berikut : Pertama, kepala negara harus mempunyai tubuh dan anggota
tubuh yang baik, agar ia dapat melakukan setiap fungsi atau tugas
yang diberikan kepadanya. Kedua, ia harus mampu memberikan
pemahaman yang baik dan memahami apa yang diberitahukan
kepadanya, sesuai dengan maksud si pembicara. Ketiga, ia harus
memiliki ingatan yang baik terhadap apa yang ia pahami, lihat, dengar
atau yang ia rasakan. Keempat, ia harus cerdas dan cepat berpikir,
sehingga dapat memahami apapun yang diberikan. Kelima, ia harus
fasih dalam mengartikulasikan sepenuhnya apapun yang dia ingin
menyampaikan. Keenam, ia harus mencintai pembelajaran,
sepenuhnya menerima instruksi, tidak terhalang oleh petugas di
atasnya. Ketujuh, ia tidak boleh menjadi tamak dalam hal makanan,
minuman atau jenis kelamin, membenci permainan dan kesenangan
yang ditimbulkan olehnya. Kedelapan, ia harus mencintai kebenaran
dan ahlinya, serta membenci dusta dan ahlinya. Kesembilan, ia harus
murah hati dan mencintai kehormatan dan membenci apapun yang
dapat memalukan. Kesepuluh, ia tidak mempunyai minat akan uang
dan barang-barang yang berbau dunia. Kesebelas, ia harus mencintai
keadilan dan membenci ketidakadilan; adil dalam berurusan dengan
orang-orang yang tertindas dan cepat untuk menanggapi panggilan
untuk ganti rugi. Kedua belas, ia harus bersikap tegas dalam tekad
untuk melakukan apa yang dianggap benar.95
Tidak semua orang dapat menjadi pemimpin kota atau negara.
Yang boleh menjadi seorang pemimpin adalah orang yang sempurna.
Menurut Al-Farabi, kota utama tersebut dipimpin oleh seorang
95 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and
Influence, Op. Cit., p.113.
103
pemimpin saja. Jika tidak memiliki pemimpin yang bijaksana, maka
suatu kota akan hancur.
Konsep kepala negara yang diterangkan Al-Farabi mempunyai
kemiripan dengan konsep-konsep yang ada pada pemikiran Plato.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pemikiran Al-
Farabi tidaklah terlepas dari peran filsuf Yunani Kuno tersebut, yakni
Plato.
b. Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Selain negara utama yang telah dipaparkan di atas, Al-Farabi
pun mengklasifikasikan lawan-lawan dari negara utama tersebut.
Terdapat 4 negara yang dijelaskan Al-Farabi sebagai lawan-lawan
dari negara utama, yakni negara bodoh, negara fasik, negara sesat, dan
negara yang berubah.
1. Negara bodoh (al-Madinah al-Jahilah)
Negara bodoh adalah negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan dan tidak pernah memikirkan kebahagiaan.
Apabila diingatkan mereka tidak akan mempercayainya dan jika
ditunjukkan pada kebahagiaan mereka tidak mau mengerjakannya.
Bagi mereka kebahagiaan dan kebaikan adalah memilki badan
yang sehat, harta yang cukup dan hal-hal yang berhubungan
dengan kenikmatan, kemudahan, dan kelezatan layaknya
kenikmatan yang dirasakan binatang.96 Al-Farabi membagi negara
bodoh ini ke dalam 6 sub bagian, yakni :
a) Kota Primitif (al-madinah al-dharuriyyah), kota dimana
penduduknya hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan pokok
hidup. Mereka bekerja sama untuk mendapatkan kebutuhan
dasar mereka demi kelangsungan hidup dan kesehatan badan
mereka. Seperti mendapatkan makanan, minuman, tempat
tinggal, jodoh, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya. Oleh
karena itu, kota ini disebut juga dengan kota kebutuhan
dasar.97
96 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,
(Bandung : Pustaka Setia, 2010), p. 361-362 97 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam, (Bandung :
Mizan, 2003), Cet. II, p.68
104
b) Kota Hedonis (al-madinah al-nadzalah), yaitu kota yang
penduduknya hanya memerhatikan penumpukan kekayaan dan
kemudahan-kemudahan materi. Warganya bekerja sama untuk
meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebihn-
berlebihan yang kemudian mereka membelanjakannya untuk
memenuhi kebutuhan badani.98
c) Kota Hina dan Sakit (al-madinah al-khassas), kota ini
berisikan warga yang hanya memikirkan kesenangan belaka,
baik yang bersifat duniawi seperti makanan, minuman,
hubungan seks dan hiburan lainnya, maupun yang berifat
kesenangan khayali. Mereka mencukupkan diri dengan
kekayaan dan kepemilihan materiil saja.99
d) Kota Penghormatan (al-madinah al-karamah), adalah kota
yang tujuan hidup rakyatnya hanya untuk dihormati, dipuji dan
tersohor di antara bangsa-bangsa lain.100
e) Kota Tirani atau Despotis (al-madinah al-taghallub), kota
bodoh yang kelima adalah kota yang penduduknya saling
bekerja sama demi satu tujuan, yakni berkuasa atas orang lain
dan mencegah orang lain berkuasa atasnya. 101 Di dalamnya
terdapat penaklukkan dan upaya saling menjatuhkan
antarwarga demi sebuah kekuasaan.
f) Negeri Anarkis (al-madinah al-jama’iyah), negeri dimana
rakyatnya ingin menikmati kebebasan berbuat sekehandaknya
karena kebebasan individual menjadi tujuan utama meskipun
pada akhirnya menimbulkan anarki. 102
2. Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah)
Merupakan negara yang prinsip-prinsipnya menganut ideologi
negara utama, yakni negara yang penduduknya mengenal
kebahagiaan, Tuhan, dan Akal. Akan tetapi setelah mengetahui
pengetahuan tentang hal-hal tersebut, mereka menolak untuk berbuat
sesuai dengan keyakinan dan pengetahuan yang mereka ketahui.
98 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit.,p. 362. 99 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Op. Cit., p. 53. 100 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 15. 101 Yamani, Op. Cit., p.69. 102 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Loc. Cit.,
105
Tingkah laku mereka dalam upaya memenuhi kebutuhannya tak
ubahnya seperti negara bodoh. Oleh sebab itu, apa yang mereka
lakukan terkadang berbeda dengan yang mereka katakan. Itulah
sebabnya mereka disifati dengan fasik, karena mereka tahu keutamaan
tetapi berbuat kehinaan.103
3. Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah)
Kota ini diliputi kesesatan, penipuan dan kesombongan. 104
Penduduk negara ini mempunyai pemikiran yang salah tentang Tuhan
dan Akal aktif. Para warga kota ini sesungguhnya menginginkan
kebahagiaan sejati, kebahagiaan di akhirat kelak. Namun,
kepercayaan mereka dalam menempuh kebahagiaan tersebut bersifat
keliru. Pemimpin mereka adalah seorang penipu dan pembohong. Ia
berpura-pura menerima wahyu, kemudian ia menipu orang lain
dengan ucapan dan tingkah lakunya agar mereka mengikutinya
sebagaimana halnya seorang Nabi.105
4. Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah)
Al-madinah al-mutabaddilah merupakan negara yang awalnya
mempunyai pikiran yang sama dengan penduduk negara utama.
Pandangan hidup masyarakatnya seiring dengan pandangan dan
perbuatan penduduk negara utama. Namun, seiring berkembangnya
zaman, keadaan mereka pun berganti. Pandangan hidup dan
perbuatan yang menyimpang menjadi dominan di negeri ini.
Pelanggaran dan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Hingga akhirnya
mereka mengalami kemunduran dan kerusakan pada pikirannya
sendiri.106
5) Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan
Pemikir Yunani
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran politik Al-Farabi
mendapat pengaruh yang cukup besar dari pemikir-pemikir Yunani,
terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Terdapat kemiripan-kemiripan
antara pemikiran Al-Farabi dengan pemikiran Plato dan Aristoteles.
103 Al-Farabi, Loc. Cit., 104 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p.363. 105 Yamani, Op. Cit., p. 70. 106 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Loc. Cit.,
106
Selain pengaruh yang diberikan Yunani ke dalam pemikiran Al-Farabi,
terdapat perbedaan antara Al-Farabi dengan filosof Yunani. Salah satunya
adalah Al-Farabi tidak mengikuti cara-cara Yunani dalam membagi
negara. Yunani membagi bentuk-bentuk negara berdasarkan kedudukan
kepala negaranya, berupa bentuk negara monarki, aristokrasi dan
demokrasi.
Selanjutnya Al-Farabi sendiri tidak menyetujui pembagian secara
modern yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan
dan kedaulatan hukum. Ia memiliki gagasan tersendiri mengenai negara
dengan mengemukakannya berdasarkan ideologi. Berdasarkan
ideologinya, Al-Farabi membagi bentuk negara ke dalam dua macam,
yakni Madinatul Fadhilah (Model State) Negara Utama sebuah negara
yang memiliki ideologi di mana warga negaranya sadar dengan tujuan
yang tegas; serta Madinatul Jahiliah (State of Ignore) Negara Jahiliah,
sebagai negara yang tidak memiliki ideologi yang tinggi, dengan
menganut ideologis salah serta bertentangan dengan kebahagiaan, materil
dan spiritual.107
Selain itu, perbedaan antar Al-Farabi dengan pemikir Yunani
terutama Plato adalah dalam hal kepala negara. Plato beranggapan bahwa
seorang kepala negara haruslah seorang filsuf. Sebelum seorang filsuf
menjadi raja, atau seorang raja menjadi filsuf, maka kebahagiaan suatu
negara tidak akan tercapai dan kesengsaraan dunia tidak akan berakhir.108
Sedangkan menurut Al-Farabi seorang kepala negara selain
sebagai seorang filsuf, ia juga harus seseorang yang mendapatkan
kearifan baik secara pikiran dan rasio ataupun berdasarkan wahyu.
Seorang kepala negara haruslah bersifat arif dan bijaksana dalam
menentukan dan mengelola suatu negara.109
6) Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan
Pemikir Islam
Terdapat persamaan dalam konsepsi pemikiran dari para pemikir
Islam klasik, seperti al-Farabi, Ibnu Abi Rabi’, Ibnu Taimiyah dan yang
107 Firdaus Syam, Loc. Cit 108 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13 109 Ibid.,
107
lainnya, yakni tentang asal mula berdirinya suatu negara. Pemikiran
mereka banyak dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani terutama Plato.
Selain itu, pemikiran mereka juga diwarnai oleh bumbu-bumbu yang
berbau agama, yakni Islam.
Yang menjadi pembeda antara pemikir Islam dengan filsuf Yunani
Kuno tersebut adalah pemikiran mereka disisispi ajaran-ajaran agama.
Bagi mereka, tujuan didirikannya suatu negara semata-mata bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan lahiriah saja, tetapi juga kebutuhan yang
bersifat ruhaniah dan ukhrawiyah.
Selanjutnya, diantara pemikir Islam tersebut pun terdapat
perbedaan. Terutama antara perbedaan antara Al-Farabi dengan pemikir
yang lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada konsep-konsep seperti
jabatan kepala negara, siapa yang harus menjadi kepala negara, sumber
kekuasaan kepala negara, dan hubungan antar kepala negara dengan
rakyatnya.
Berbicara masalah kepala negara, Al-Farabi mengatakan bahwa
seorang kepala negara merupakan seorang filsuf yang mendapat kearifan
melalui pikiran dan rasio ataupun melalui wahyu. 110 Sementara itu,
pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah senantiasa
berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa Islam. Mereka dengan tegas
menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara merupakan mandat yang
diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka mengatakan
bahwa pemimpin negara merupakan khalifah yang dipilih Allah, dengan
kata lain khalifah tersebut khalifah adalah khalifah Allah, yang
kedudukannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.
Besarnya pengaruh politik Yunani dalam pemikiran al-Farabi,
mengaburkan nuansa pemikiran Islam dari konsep politik al-Farabi.
Diantara pemikir Islam yang lainnya, al-Farabi mengadakan idealisasi
tentang semua aspek kehidupan bernegara. Konsepsinya bersifat utopis
seperti konsep yang dikembangkan Plato dan tidak mungkin untuk
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
110 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13
108
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarakan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya,
maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Pemikiran politik Al-Farabi dimulai dengan awal mula
terbentuknya suatu negara. Ia mengatakan bahwa, suatu negara
terlahir dari perkumpulan manusia yang mempunyai tujuan
yang sama, yakni mencapai kebahagiaan sejati. Manusia hidup
dengan cara bekerjasama antar sesamanya, ia tak dapat
memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain.
b. Pemikiran politik Al-Farabi banyak diwarnai oleh pemikiran
politik filosof Yunani, yakni Plato dan Aristoteles. Dimana
banyak ide-ide dari kedua filosof tersebut yang diterapkan
oleh Al-Farabi ke dalam konsep Islam. Pemikiran politik Al-
Farabi dikenal dengan konsep negara utama. Konsep ini mirip
dengan konsep Plato. Negara utama merupakan negara yang
perumpamaannya dikaitkan dengan tubuh manusia. Dimana
organ-organ di dalam tubuh tersebut saling berkaitan. Begitu
pula dengan keberadaan negara utama, organ-organ di
dalamnya satu sama lain saling berkaitan. Demi tercapainya
tujuan bersama. Negara utama merupakan negara yang warga
negaranya faham akan hakikat tentang ketuhanan, kehidupan
akhirat dan bersandar pada nilai-nilai kebajikan. Negara
Utama di pimpin oleh seorang filuf yang bersifat nabi. artinya
seorang yang sempurna baik dalam hal kecerdasan maupun
perilaku. Pemikiran yang mengenai lawan dari negara utama.
Terdapat 4 lawan negara utama, yakni: negara bodoh, negara
fasik, negara sesat, dan negara yang berubah, yang masing-
masing terbagi lagi ke dalam beberapa bagian.
c. Selain Al-Farabi, ada beberapa ilmuwan Islam yang juga
mengutarakan konsep pemikiran politiknya, seperti Ibnu Abi
Rabi’, Ibnu Taimiyah, da Al-Mawardi. Masing-masing dari
mereka memiliki konsep yang berbeda dalam pemikirannya.
109
DAFTAR PUSTAKA
Jasiman, Rijalud Daulah : Mempersiapkan Pejabat Politik yang
Merakyat, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2012)
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-
Qur’an, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet III
Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,
2011)
Atabaik Ali, Kamus Indonesia-Arab, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika,
2008)
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Riyadh : Darussalam, 2006)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan Kesan dan Keserasian
Alquran, (Jakarta : Lentera Hati, 2011), Cet. IV
Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash Dan
Asy-Syariah, (Bandung : Pustaka Setia, 2008),
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogayakarta : Ar-Ruzz
Media, 2010)
Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Depdikbud, 1988)
B.Syafuri, Pemikiran Politik Dalam Islam, (Serang : FSEI Press, 2010)
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2010),
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani
Kuno sampai Zaman Modern, (Yogyarkarta : Pustaka Pelajar ,
2009), cet III
Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi
Sosio Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2007)
A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Jakarta : PT. Gaya Media
Pratama, 1995)
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta : Teraju, 2002)
Yusuf al-Qaradhawy, Fiqh Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997)
Muhith Muhammad Ishaq, Fiqh Politik Hasan Al-Bana, (Jakarta :
Robbani Press, 2012)
Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,
2011)
110
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam :
Dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, ( Jakarta :
Kencana Prenada media Group,2013)
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990)
Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran
Al-Farabi dan Al-Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,
http://Imamsukardi.wordpress.com/2013/10/22/tradisi-pemikiran-sosio-
politik-islam-kilasan-pemikiran-al-farabi-dan-al-mawardi-dalam-lintasan-
sejarah-islam/, diunduh pada tanggal 09-05-2014, pada pukul 14:12 WIB.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam,
(Bandung : Mizan, 2003)
Derek E. Hines, The Influence of Plato and Aristotle on Alfarabi,
(Departmental Honors : Government Department, 2008)
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis,
(Bandung : Mizan, 2002) Cet. II, p. 47
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Mesir : Maktabah
Matba’ah Muhammad Ali, 1959), h.96
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His
Life Work and Influence, (England : Oneworld Publication, 2002),
M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998) Cet. XI,
p.73
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan
Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) 1 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam,
(Bandung : Mizan, 2003)