Upload
lamdung
View
227
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH TENTANG HUKUM
KELUARGA: STUDI ANALISIS PERSPEKTIF JENDER
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Munawir
1112044200016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017
iv
ABSTRAK
Muhammad Munawir. NIM 1112044200016. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang
Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender. Program Studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum
Keluarga), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1438/2017 M, ix + 75 halaman.
Skripsi ini menjelaskan bahwa pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan jender yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama
terutama ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus jender
sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun kultural. Kehadiran KH.
MA. Sahal Mahfudh dengan pandangan jender yang moderat dan progresif ini menjadi angin segar bagi
perjuangan menuju keadilan jender terutama dalam bidang hukum keluarga. Pengaruh besar dan otoritas
keilmuan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam komunitas NU dan bangsa secara umum menjadikan
pandangannya diterima banyak kalangan dengan legitimasi keagamaan yang sangat kuat. Tujuan dari
penulisan ini ada beberapa hal: a) mengetahui bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam
bidang hukum perkawinan, b) bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum
perkawinan ditinjau dari perspektif jender, dan c) bagaimana kontribusi pemikiran KH. Sahal Mahfudh
tentang jender dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah library research. Data dikumpulkan dengan studi pustaka, baik berupa
buku karangan langsung KH. MA. Sahal Mahfudh maupun karangan orang lain yang menulis tentang
KH. MA. Sahal Mahfudh. Sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan KH. MA.
Sahal Mahfudh yaitu Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010). Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan pendekatan logika induktif yaitu pendekatan yang berangkat dari
serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa: a) Diantara pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang
hukum perkawinan dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Terkait wali
mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon
perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH.
MA. Sahal Mahfudh mengatakan jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka istri boleh
mengajukan cerai. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih
berhak memelihara anak. dengan pertimbangan kasih sayang ibu dengan anak lebih kuat, lebih sabar dan
lembut sehingga lebih sesuai melakukan tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz,
KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka lebih baik diam dan
mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari cara kekerasan. b) Pemikiran KH.
MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut terlihat sekali lebih menjunjung tinggi
keadilan jender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal
Mahfudh mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu juga terkait
nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak memberi nafkah. Karena, nafkah adalah
kewajiban suami. Akan tetapi terkait hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi
laki-laki. Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan mengenai
nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz komunikasilah yang paling
efektif dan dapat menghindari kekerasan. c) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah
memberikan kontribusi dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut
dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada dengan KH. MA.
Sahal Mahfudh.
Kata Kunci : KH. MA. Sahal Mahfudh, Hukum Keluarga, Jender.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH., M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2016.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikmat sehat, nikmat iman dan Islam kepada hambanya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyelesaikan pendidikannya.
Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas,
dengan adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., ketua program studi dan
sekretaris program studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., dosen pembimbing skripsi sekaligus sahabat
diskusi bagi penulis yang sangat bijaksana, sabar dan selalu memberikan
semangat kepada penulis. Serta bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Almarhum KH. MA. Sahal Mahfudh selaku tokoh yang menjadi sumber
utama dalam penulisan skripsi ini.
6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk melakukan studi kepustakaan.
7. Paling istimewa bagi Ayahanda Abdul Ghofur dan Ibunda Zubaedah yang
selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
vii
8. Sahabat Administrasi Keperdataan Islam (AKI) angkatan 2012, yang tak akan
terlupakan oleh penulis, selama empat tahun perjuangan dan kebersamaan
pada masa menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh sahabat prodi hukum keluarga angkatan 2012, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu namanya, terimakasih atas dukungan dan
sumbangan pendapat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10. Sahabat alumni Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah, seperti Hambali,
Muthi, Qodir, Jilda, Afifah, Arif, Muti, Surismat, Faisal, Fauzi, Surismat, dan
Desy. terimakasih sudah memberi dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca umumnya, serta
menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa
yang dapat penulis berikan, semoga setiap bantuan, do‟a, motivasi yang telah
diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah
SWT dan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak. Aamiin.
Jakarta, 10 Januari 2017
Penulis
Muhammad Munawir
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
E. Review Studi Terdahulu ...................................................... 8
F. Metodologi Penelitian ......................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 13
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH
A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga ............................. 14
B. Pendidikan ........................................................................... 16
C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh ................................. 18
ix
D. Karya-karyanya ................................................................... 24
BAB III JENDER DAN DISKURSUS PERNIKAHAN
A. Jender dalam Islam .............................................................. 25
B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fikih Munakahat ................... 30
1. Perwalian ........................................................................ 30
2. Nafkah ............................................................................. 37
3. Hadhanah ........................................................................ 43
4. Nusyuz ............................................................................ 46
BAB IV PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH TENTANG ISU-ISU
JENDER
A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang
Perkawinan .......................................................................... 53
B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh
dalam Bidang Perkawinan dari Perspektif Jender ............... 65
C. Kontribusi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang
Jender dalam Dinamisasi Problematika Hukum Keluarga
Islam di Indonesia ............................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 70
B. Saran .................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jender sebagai konstruksi sosial kultural tentang sifat yang melekat pada laki-
laki dan perempuan adalah persoalan sosial yang menyita perhatian masyarakat
secara luas.1 Definisi tersebut menjelaskan bahwa jender tidak hanya persoalan
perempuan, tapi juga laki-laki. Relasi laki-laki dan perempuan menjadi kajian utama
jender. Perempuan banyak dikaji dalam isu jender karena perempuan diasumsikan
sebagai kodrat yang membawa ketidakadilan dalam relasinya dengan laki-laki dalam
berbagai bentuk, antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, beban
kerja lebih panjang dan lebih banyak, dan sosialisasi ideologi nilai peran jender.2
Perempuan dimitoskan sebagai makhluk yang kurang akal dan agama. Mitos
ini terkait erat dengan budaya patriarkhis yang menempatkan relasi laki-laki dan
perempuan secara hirarkhis. Laki-laki sebagai makhluk superior, sedangkan
perempuan adalah makhluk inferior.3
Lahirnya kaum feminis yang mengusung isu jender bertujuan agar perempuan
memperoleh perlakuan yang adil dalam aspek kehidupan, baik domestik, politik,
1 Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 8.
2 Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 12-13.
3 Sri Suhandjati, Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya, (Semarang: Puslit IAIN
Wali Songo, 2010), h. 2-3.
2
sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dari sini lahir teori persamaan kelamin (sexual
equality) pada tahun 1895.4 Terciptanya sistem dan struktur masyarakat yang
menghargai keadilan (justice) dan kesetaraan (equality) adalah kepedulian
feminisme.5 Oleh karena itu, kaum feminis menuntut adanya kesetaraan peran laki-
laki dan perempuan di ranah publik.
Lahirnya kaum feminisme tidak lepas dari era pencerahan yang menuntut
kebebasan berekspresi, berserikat, dan beraktualisasi sebagai salah satu komponen
utama hak asasi manusia. Perempuan sama dengan laki-laki untuk mendapatkan
kebebasan tersebut, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dan subordinasi. Pada abad
19, feminisme memfokuskan pada agenda transformasi kultural, tapi tetap kritis
terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Transformasi kultural dilakukan untuk
penguatan aspek agama, perkawinan, dan rumah tangga.6
Pada abad 20, feminisme memfokuskan pada agenda politik. Politik menjadi
kekuatan utama untuk melakukan perubahan praktis.7 Pada abad 21, feminisme
memfokuskan pada penghapusan kelas, etnik, ras,dan seksualitas antara laki-laki dan
perempuan.8 Semua bentuk perjuangan feminis bertujuan untuk menciptakan keadilan
dan kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik agar keduanya
bisa saling melengkapi dalam proses transformasi sosial yang berkembang.
4 Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, tt), h. 83.
5 Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, h. 86.
6 Josephine Donovan, Feminist Theory, (New York: Continuum International, 2000), h. 17.
7 Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 183.
8 Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 199.
3
Perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan
berhadapan dengan dominasi agama dan budaya yang patriarkhis. Patriarkhi adalah
sistem struktur atau praktek sosial yang memberikan kewenangan kepada laki-laki
untuk mendominasi, menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki
terhadap perempuan terjadi pada badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya,
dan statusnya dalam keluarga dan masyarakat. Patriarkhi inilah yang melahirkan
norma sosial, hukum, dan moral yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan,
sehingga perempuan tersubordinasi dan termarginalkan.9
Banyak sekali isu jender yang digunakan untuk mendobrak patriarkhi, baik
dalam konteks sejarah, ibadah, pernikahan, dan politik, antara lain: asal usul
perempuan, adzan, imam shalat, menjadi khatib, batas „aurat, kepemimpinan
perempuan dalam politik, menjadi wanita karir, waris, saksi, hak memilih pasangan,
poligami, hak reproduksi, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, „iddah, nikah beda
agama, talak, wali nikah, beban ganda, dan TKW (tenaga kerja wanita).10
Pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender
yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama
Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus
jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun
9 Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan, Bagaimana Al-Qur‟an dan Penafsir Modern
Menghormati Kaum Hawa?, (Bandung: Marja, 2011), h. 32-33.
10
Tutik Hamidah, Fikih Perempuan Berwawasan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2001),
h. 59-184.
4
kultural. Secara struktural, di birokrasi, adanya Menteri Peranan Wanita adalah
contoh konkret perhatian besar negara dalam pemberdayaan kaum perempuan.11
Secara kultural, lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga
kajian dan penerbitan yang fokus pada kajian keadilan dan kesetaraan jender, seperti
Rahima Jakarta, Woman Crisis Center di Jombang, Jawa Timur, dan Fahmina Institut
Cirebon, gencar mengusung agenda jender.12
Dalam konteks merespons gerakan jender ini, para ulama NU menjadikan
kitab kuning yang berhaluan Aswaja sebagai referensi utama. Forum yang fokus pada
kajian persoalan aktual dalam perspektif kitab kuning adalah bahtsul masa‟il al-
diniyah (mengkaji masalah-masalah agama) yang diselenggarakan oleh Lembaga
Bahtsul Masa‟il (LBM) yang melibatkan para kiai, baik yang menjadi pengasuh
pondok pesantren atau tidak, santri pondok pesantren, akademisi dari kampus, aktivis
lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain.
Menurut Ahmad Zahro, LBM NU tidak lepas dari tradisi pemikiran fikih
mazhabi, yaitu fikih yang mengikuti pendapat salah satu mazhab empat, yakni
Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali. Dalam memecahkan masalah, fikih empat
mazhab ini menjadi acuan utamanya.13
Revitalisasi pandangan jender ulama NU merupakan sebuah hal penting. Hal
ini agar Islam mampu merespons dinamika zaman yang berjalan sangat kencang
11
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 261.
12
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 262.
13
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 1.
5
sehingga dituntut mencari formula yang dinamis dan progresif, tidak terjebak dalam
romantisme historis, tapi mampu memadukan semangat ajaran yang ada dalam kitab
kuning dan spirit global yang meniscayakan kesetaraan gender. Dalam konteks ini,
ada seorang ulama dan aktivis NU yang memegang pemimpin puncak dalam lembaga
kaum sarungan ini yang mempunyai pandangan moderat-progresif dalam merespons
problema perempuan.14
Beliau adalah Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh yang sampai meninggal masih
menjabat sebagai Rais „Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Menurut banyak orang,
begawan fikih sosial ini mempunyai pikiran-pikiran menarik tentang jender yang bisa
dijadikan model pemikiran jender ideal dalam konteks keindonesiaan yang plural.
Tidak hanya itu, Sahal Mahfudh juga memperjuangkan keadilan jender dalam aksi
nyata di masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan umat secara luas.15
Betulkah demikian? Bagaimanakah sesungguhnya Pemikiran KH. MA. Sahal
Mahfudh ini terkait posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga?.
Di sinilah pentingnya mengkaji dinamika pemikiran Sahal Mahfudh untuk
mendapatkan autentisitas pandangan-pandangannya tentang isu-isu jender dalam
hukum keluarga.
14 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 267. 15
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 267.
6
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian: “Pemikiran KH. MA.
Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender”.
B. Identifikasi Masalah
Penelusuran pemikiran Sahal Mahfudh, sebagai kajian dalam tulisan ini,
mengacu tentang konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam bidang
hukum perkawinan. Ruang lingkup kajian ini, kemudian akan lebih disistematisir
dalam bentuk analisis dan uraian seputar konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh
mengenai jender dalam bidang hukum perkawinan, pokok-pokok pikirannya tentang
sumber dan dalil hukum sebagai kerangka dasar bagi konstruksi pemikiran
hukumnya, aplikasi metode pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender serta
kontribusi pemikirannya dalam dinamika perkembangan hukum keluarga di
Indonesia.
Selanjutnya sesuai dengan kajian tersebut, secara khusus dalam pembahasan
ini penulis lebih berupaya pada penyelidikan pemikiran Sahal Mahfudh mengenai
jender dalam wacana reformulasi hukum keluarga Islam di Indonesia dan pemikiran
kontemporer dalam perumusan dan pengembangan hukum keluarga di Indonesia.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah pokok yang dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana
sesungguhnya pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender dalam bidang hukum
keluarga dan dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia.
7
Karena ruang lingkup kajian Hukum Keluarga sangat luas, maka dalam
penelitian ini hanya dibatasi tentang persoalan wali dalam perkawinan, nafkah,
hadhanah dan nusyuz. Keempat kajian tersebut dipilih karena tulisan Sahal Mahfudh
cukup panjang berkenaan hal tersebut.
Untuk menganalisis kajian ini, maka masalah tersebut dirumuskan dengan
perincian sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum
Perkawinan?
2. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum Perkawinan
ditinjau dari perspektif jender?
3. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender dalam
dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan terpenting yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan.
2. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan
ditinjau dari perspektif jender.
3. Mengetahui sejauh mana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang
jender dalam perkembangan hukum keluarga di Indonesia.
E. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan
dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai.
8
Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yang belum
diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.
1. Abdul Karim, Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Fiqh Perempuan
Kontemporer (Studi Pemikiran Zaitunah Subhan dan Ratna Megawangi), Skripsi,
Tahun 2001 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi tersebut menjelaskan
bagaimana Pemikiran Zaitunah Subhan dengan kritik dan kajiannya terhadap salah
satu sumber Hukum fiqh yakni al-Qur‟an dengan berbagai macam corak
penafsirannya, mencoba memberikan pandangannya terhadap pentingnya
reinterpretasi. Zaitunah Subhan hendak membuktikan konsepnya tentang
kesetaraan guna menghilangkan penafsiran al-Qur‟an yang masih bias gender.
Sedang Ratna Megawangi lebih terpengaruh oleh pemikiran sufistik dan
menyajikan hasil penelitian di lapangan.
2. Imamul Muttaqin, Studi Analisis terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh
tentang Wali Mujbir, Jurnal Al-Hukama volume 2 No.1, Juni 2012. Jurnal ini
membahas bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang wali mujbir?
Kemudian bagaimana metode istinbath hukum KH. MA. Sahal Mahfudh? Serta
bagaimana analisis terhadap pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh mengenai wali
mujbir?. Di dalam penelitian ini, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait wali
mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan
setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak
gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Menurutnya, meminta
persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi nilai ajaran yang disampaikan
9
Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-khilaf mustahab,
keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda
adalah lebih disukai. Mengingat perkawinan ini merupakan suatu ibadah, maka
hendaknya dalam melaksanakan perkawinan tidak hanya memerhatikan
kepentingan sepihak semata, namun juga mesti memerhatikan kepentingan semua
pihak yang bersangkutan.
Kedua penelitian di atas ini jelas berbeda dengan penulis lakukan, karena
penulis meneliti Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga:
Studi Analisis Perspektif Jender. Yang mana di dalamnya ingin mengetahui dan
meneliti bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Hukum Keluarga,
kemudian bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ditinjau dari perspektif
jender, dan bagaimana kontribusi KH. MA. Sahal Mahfudh dalam problematika
perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat
atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya,
atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak diubah dalam bentuk
simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan
data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan /
diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Karenanya teknik
pengumpulan datanya menggunakan library research (studi kepustakaan) yaitu
10
upaya mengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap
dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan tema, objek dan
masalah penelitian.16
2. Sifat Penelitian
Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah
metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami
dan dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat
dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan,
mengklarifikasi serta secara objektif data-data yang dikaji kemudian
menganalisisnya.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M.
Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur terdiri dari:17
1. Data Primer. Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya KH. MA.
Sahal Mahfudh yang berjudul Dialog Problematika Umat.
2. Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah yang menuliskan
tentang KH. MA. Sahal Mahfudh seperti buku Mengembangkan Fikih Sosial
KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama), Epistemologi Fiqh
Sosial (Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat), dan Fiqh Sosial
16
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.
17
M. Djunaidi Ghony, Fauzan Almanshur, Petunjuk Praktis Penelitian Pendidikan, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), h. 196.
11
(Masa Depan Fiqh Indonesia). Kemudian buku-buku lain yang ditulis oleh KH.
MA. Sahal Mahfudh seperti: Wajah Baru Fikih Pesantren, Pesantren Mencari
Makna, dan Nuansa Fikih Sosial.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini hanya pada studi dokumen.
Mulai dari buku-buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh sampai tulisan orang lain
mengenai KH. MA. Sahal Mahfudh.
5. Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga analisis datanya
menggunakan pendekatan logika induktif yang membangun silogisme pada hal-hal
khusus atau data yang ada pada buku-buku dan bermuara pada kesimpulan-
kesimpulan yang umum. Tahap analisis induktif adalah sebagai berikut: Pertama,
melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena sosial, melakukan identifikasi,
revisi, dan pengecekan ulang terhadap data. Kedua, melakukan kategorisasi
terhadap data yang diperoleh. Ketiga, menelusuri dan menjelaskan kategorisasi
yang dibuat. Keempat, menjelaskan hubungan kategorisasi. Kelima, menarik
kesimpulan umum. Keenam, membangun atau menjelaskan suatu teori.18
6. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah
atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini mengggunakan pendekatan
18 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 143-
144.
12
historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan
objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta
mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan
yang kuat.19
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini, merujuk pada penulisan skripsi, tesis, disertasi disertai
denga buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta 2012.20
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab.
Bab pertama adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang riwayat hidup KH. MA. Sahal Mahfudh yang
terdiri dari kelahiran, latar belakang keluarga, pendidikan, perjuangan KH. MA. Sahal
Mahfudh dan karya-karyanya.
19
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), h. 73. 20
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012.
13
Bab ketiga landasan teori penelitian yang membahas tentang jender dan
diskursus isu-isu pernikahan. Yang terdiri dari pembahasan mengenai jender dalam
Islam dan isu-isu jender dalam fikih munakahat.
Bab keempat yang merupakan analisa terhadap pemikiran KH. MA. Sahal
Mahfudh tentang isu-isu jender. Bab ini mengupas tentang pemikiran KH. MA. Sahal
Mahfudh dalam bidang perkawinan, analisa atas pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh
dalam bidang perkawinan dan perspektif jender, kemudian kontribusi pemikiran KH.
MA. Sahal Mahfudh dalam dinamisasi perkembangan hukum keluarga Islam di
Indonesia.
Bab kelima adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari penelitian ini
dan rekomendasi saran-saran bagi penelitian lebih lanjut.
14
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH
A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin
Mahfudz bin Abdus Salam al-Hajaini. Lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso,
Kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut memang tidak sama dengan
tanggal yang digunakan dalam Kartu Tanda Penduduk maupun dokumen-dokumen
resmi lainnya. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya
yang menerangkan tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17
Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M.1
Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang bukti bahwa
Kiai Sahal lahir pada 16 Februari 1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun
sebelum beliau wafat.2 Data mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang berbeda-
beda. Umumnya yang digunakan adalah tanggal 17 Desember 1937.3 Yang agak
berbeda adalah data yang tertera dalam buku yang berjudul “Kiai Sahal, Sebuah
1 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), (Pati:
PUSAT FISI, 2016), h. 3.
2 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 3.
3 Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.
15
Biografi”. Dalam buku tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari
1934.4
Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting untuk diluruskan, terutama
bagi para peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan Kiai Sahal
berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal, maupun usia. Perbedaan data
mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan keterangan
yang menyatakan bahwa Kiai Sahal ditinggal wafat oleh ayahandanya pada usia 7
tahun, jika merujuk tanggal lahir Kiai Sahal adalah tanggal 17 Desember 1937.
Namun, Kiai Sahal sendiri mengaku bahwa beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya
ketika berusia sekitar 11 tahun, dan ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau
adalah 16 Februari 1933.5
Perbedaan tanggal lahir ini kemudian juga berdampak pada pernyataan yang
tidak sama mengenai pada usia berapa Kiai Sahal mulai berkorespondensi dengan
Syekh Yasin al-Fadani, kemudian kapan Kiai Sahal mulai menulis kitab-kitabnya,
hingga usia berapa Kiai Sahal wafat. Mengenai usia wafatnya, misalnya, jika merujuk
pada tanggal lahir yang pertama, 17 Desember 1937, maka Kiai Sahal wafat pada usia
77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal lahir yang kedua, 16 Februari 1933,
maka Kiai Sahal wafat pada usia 81 tahun.6
4 Mujib Rahman dkk., Kiai Sahal, Sebuah Biografi. (Jakarta: Penerbit KMF Jakarta, Cet. I,
2012), h. 11. 5 Tutik Nurul Janah, Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji, (Pati: Staimafa Press,
Cet. I, 2005), h. 186. Lihat juga: catatan kaki buku Epistemologi Fiqh Sosial, Konsep Hukum Islam
dan Pemberdayaan Masyarakat, (Pati: Staimafa Press & Fiqh Sosial Intitute, Cet. I, 2014), h. 90.
6 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 4.
16
Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari
kehidupan pesantren. Beliau lahir dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abdus Salam dan
Nyai Badi‟ah. Kiai Mahfudz bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu)
KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, yang wafat pada 25 April
1981. Istri Kiai Sahal sendiri, Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu KH. Bisri Sansuri.7
Pada tahun 1969 KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Dra. Hj. Nafisah binti
KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang
dan memiliki putra yaitu Abdul Ghofar Rozin.8
B. Pendidikan
Perjalanan intelektual Kiai Sahal adalah sejarah dari pesantren ke pesantren.
Karenanya, jika berbincang mengenai tradisi keagamaan dan model keilmuan seperti
apa yang menjadi latar belakang kehidupan Kiai Sahal, maka jawabannya adalah
tradisi keilmuan dan corak pemikiran pesantren.9
Pesantren yang dimaksud adalah pesantren ala Nahdliyyin yang mendasarkan
pemikiran fiqhnya berdasarkan fiqh empat madzhab dan melandaskan tasawufnya ala
Abu Musa al Asy‟ari dan al-Maturidi. Namun dalam kenyatannya, pesantren di
Indonesia pesantren di Jawa bisa disebut sebagai pengikut fanatik madzhab Syafi‟i.
7 Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.
8 Zamakhsari Dhafi, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), cet. 3
(Jakarta: LP3ES, 1984), h. 61
9 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13.
17
Maka dapat disimpulkan bahwa Kiai Sahal tumbuh diantara tradisi keagamaan dan
masyarakat Nahdlatul Ulama.10
Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali‟ul
Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa
Timur hingga tahun 1957. Setelah dari Kediri, Kiai Sahal memutuskan untuk
memperdalam ushul fiqh dengan mengaji secara langsung kepada Kiai Zubair di
pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960.11
Selama di Sarang inilah Kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat-
menyurat dengan ulama kharismatik asal Padang yang berdomisili di Mekkah.
Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah
haji, Kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin al-Fadani
di Mekkah untuk pertama kalinya.12
Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada Syeikh Yasin al-Fadani
datang untuk kedua kalinya ketika Kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua
kalinya bersama istri tercinta, Nyai Nafisah. Kesempatan kedua ini merupakan saat
Kiai Sahal dan Nyai Nafisah banyak menerima ijazah secara langsung dari Syeikh
Yasin.13
Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun
disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal bukan saja
10
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13-14.
11
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
12
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
13
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
18
menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti bahasa Arab, tafsir,
fiqh, hadis, ushul fiqh, tasawwuf, mantiq, balaghah dan lain-lain.14
Namun, lebih dari
itu, Kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota
dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tingkat kecerdasan di atas rata-rata
yang dimilikinya, Kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar.
Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru yang dirasa
bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini
ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari Bahasa
Inggris, Bahasa Belanda, Tata Negara, Administrasi dan Filsafat melalui kursus
privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.15
C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh
Proses pembentukan pemikiran Kiai Sahal berangkat dari liku-liku
kehidupannya. Lahir dari keluarga pesantren dan ditinggal wafat oleh ayahnya dan
kemudian disusul oleh ibunya pada saat usianya masih belasan tahun, membuat Kiai
Sahal muda tumbuh sebagai sosok yang cukup perasa. Getir hidup di usia muda
merupakan pelecut semangatnya untuk dapat berbuat semaksimal mungkin yang bisa
dilakukannya.16
Kiai sahal sendiri memang selalu melandaskan pemikiran dan gerakannya
sebagai bagian dari tujuan utamanya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sadar bahwa berorganisasi merupakan salah satu kekuatan utama yang harus
14 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14-15.
15
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 15. 16
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 20.
19
dibangun agar umat menjadi kuat dan berdaya, Kiai Sahal mulai aktif dalam berbagai
organisasi. Baik organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Saat
memulai kiprahnya di Nahdlatul Ulama, saat itu NU sedang menjadi partai politik.
Karenanya Kiai Sahal juga tercatat pernah aktif sebagai pengurus di Partai Nahdlatul
Ulama. Dan itulah satu-satunya waktu dimana Kiai Sahal aktif dalam partai politik.
Sepulang dari nyantri di Sarang, kemudian memutuskan untuk menikah dan
menetap di kampung halamannya, Kajen, Kiai Sahal praktis memulai segala
aktifitasnya sembari mengasuh pesantren yang didirikan oleh orang tuanya. Kiai
Sahal memiliki aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul
Huda dan Direktur Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, beliau juga memimpin
beberapa organisasi dan bergaul dengan tokoh-tokoh muda pada awal 1980-an. Salah
satu tokoh muda kala itu yang cukup akrab dengan Kiai Sahal adalah KH.
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil „Gus Dur‟ dan KH. Mustofa Bisri
atau yang akrab dipanggil „Gus Mus‟. Bersama Gus Dur yang masih terhitung
sebagai keponakannya sendiri itu, Kiai Sahal mulai banyak bergaul dengan para
aktifis LSM dan pegiat gerakan-gerakan sosial.17
Pada tahun 80-an hingga 90-an ini bisa disebut sebagai masa paling aktif
dalam kehidupan Kiai Sahal. Saat itu Kiai Sahal memasuki usia 50-an, dengan
kondisi kesehatan yang terbilang cukup prima dan dengan semangat pengabdian
masyarakat yang dilakukannya Kiai Sahal mulai aktif menjadi pembicara dalam
berbagai forum ilmiah di Indonesia dan di manca negara. Dalam hal ini Kiai Sahal
17
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.
20
banyak menulis mengenai kesehatan keluarga, kependudukan dan kontrasepsi. Pro-
kontra banyak dirasakannya. Bahkan ada pula masa ketika Kiai Sahal dipertanyakan
keberpihakannya karena seolah-olah menjadi corong pemerintah lantaran
keikutsertaannya dalam kampanye yang dilakukannya ini, Kiai Sahal pernah diganjar
penghargaan oleh PBB sebagai tokoh masyarakat yang peduli terhadap isu
kependudukan.18
Pada tahun 80-an hingga 90-an ini juga dapat dikatakan sebagai masa paling
produktif bagi Kiai Sahal. Baik produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah
maupun dalam gerakan sosial. Jika sebagian besar kitab-kitab berbahasa Arab ditulis
Kiai Sahal pada masa beliau nyantri di Sarang, pada tahun 80-an sampai 90-an ini
Kiai Sahal lebih banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya ilmiah
berbahasa Indonesia. Tulisannya juga mulai tersebar di media lokal maupun nasional.
Pada tahun-tahun tersebut Kiai Sahal telah bertransformasi dari seorang santri yang
lebih banyak menyimak pesan dari gurunya menjadi seorang ulama yang siap
merealisasikan ide-ide fiqh sosial tentang gerakan sosial. Pada fase ketiga inilah, Kiai
Sahal mulai menampakkan kekhasan corak berfikir dan kemudian corak gerakannya.
Oleh karena itu, menelusuri jejak pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal juga akan lebih
mudah dari karya-karya beliau yang ditulis pada tahun 80-an sampai 90-an.19
Dengan tetap berkonsultasi dengan pamannya, Kiai Abdullah Salam, yang
senantiasa menjadi pengayom utama Kiai Sahal pasca meninggalkan ayahandanya,
18
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.
19
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21-22.
21
Kiai Sahal mulai mengukuhkan pemikiran dan gerakan sosial yang dilakukannya
dalam tinta sejarah.20
Kiai Sahal sendiri mengakui bahwa baik gerakan di bidang ekonomi,
kesehatan maupun pendidikan yang dilakukannya tidak menemui kesulitan yang
berarti karena gerakan ini menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat secara
umum. Gerakan ekonomi Kiai Sahal dimulai dengan upaya beliau merintis dan
merealisasikan program pengembangan masyarakat yang profesional sebagai upaya
membantu masyarakat sekitar pesantren pada khususnya dan masyarakat lain pada
umumnya. Melalui pesantren yang dipimpinnya, Kiai Sahal membentuk sebuah
lembaga yaitu Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Lahirnya
BPPM bermula dari keprihatinan Kiai Sahal pada sulitnya kondisi ekonomi
masyarakat sekitar pesantren.
Pemikiran ekonomi Kiai Sahal bersambut, manakala Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari Jakarta menawarkan kepada
Kiai Sahal untuk mendirikan sebuah lembaga yang berbasis pengembangan ekonomi
pesantren dan masyarakat. Maka pada tahun 1979 secara resmi dibentuk lembaga
Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) yang kemudian pada tahun
1980 dilembagakan dengan akta notaris Imam Sutarjo, SH. Nomor 2, dan pada tahun
1987 disempurnakan dengan akta notaris nomor 34.21
20 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 22.
21 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 24.
22
Selain gerakan di bidang ekonomi, Kiai Sahal juga aktif mendorong gerakan
di bidang kesehatan. Demi menunjang pencapaian kehidupan yang sehat dan
pentingnya menjaga kesehatan, maka penting dibentuk sebuah lembaga yang
menangani kesehatan umat.
Dalam usaha memperbaiki kesehatan, terutama gizi keluarga, Kiai Sahal
melihat bahwa akar masalah sebenarnya berhubungan erat dengan masalah ekonomi,
kebudayaan dan agama. Karenanya, Kiai Sahal mengawali gerakan di ranah
kesehatan dengan berinisiatif untuk mendorong santri di madrasah yang dipimpinnya
yakni Perguruan Islam Mathali‟ul Falah (PIM) terlibat dalam kegiatan Taman Gizi
(semacam POSYANDU) untuk ibu dan balita di lingkungan sekitar.
Selain Taman Gizi, Kiai Sahal juga menginisiasi berdirinya Rumah Bersalin
(RB) yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Islam Pati. Inisiatif
Kiai Sahal untuk mendirikan RSI Pati ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan
masyarakat merupakan persoalan yang harus ditangani oleh orang yang ahli dalam
bidangnya. Rumah Sakit sebagai institusi yang menaungi para ahli medis dipandang
sangat tepat untuk menyelesaikan kesehatan masyarakat.22
Selain di bidang ekonomi dan kesehatan yang tak kalah penting adalah
dedikasi Kiai Sahal untuk dunia pendidikan. Berangkat dari pesantren yang
diasuhnya, Kiai Sahal berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan karakter untuk
menuju terciptanya manusia yang shalih akram. Selain mendidik santri di Pesantren
Maslakul Huda dan di Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, Kiai Sahal juga tercatat
22
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 32.
23
menginisiasi berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIMAFA), yang kini
sudah beralih status menjadi Institut Pesantren Mathali‟ul Falah (IPMAFA) dan
menginisiasi berdirinya INISNU (kini UNISNU). Kiai Sahal berharap pesantren
dengan sistem pendidikannya yang khas mampu mewarnai pendidikan di Indonesia.23
Kiai Sahal mempunyai peran penting dalam organisasi sosial keagamaan
terbesar di dunia yang pernah dipimpinnya selama tiga periode, yakni Nahdlatul
Ulama. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi tertinggi dalam organisasi
Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal telah aktif dalam organisasi tersebut semenjak dari level
terbawah. Tercatat beliau pernah menjadi Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati
sejak tahun 1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga
tercatat pernah menjadi ketua Rabithah Ma‟ahid Islamiyah Jawa Tengah dan ketua
MUI Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga Kiai Sahal dipercaya
sebagai Wakil Rais „Am hingga akhirnya Rais „Am Nahdlatul Ulama selama tiga
periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di Lirboyo pada tahun 1999,
kemudian muktamar NU di Solo pada tahun 2004, dan muktamar NU di Makassar
tahun 2010. Selain sebagai Rais „Am Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bahkan ketika wafat, Kiai Sahal masih dalam
masa menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.
Kiai Sahal Mahfudh wafat pada hari Jum‟at, tanggal 24 Januari 2014, pukul
01.00 dini hari di kediamannya, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah
23
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 33.
24
D. Karya-karyanya
Terdapat sepuluh kitab yang ditulis Kiai Sahal, diantaranya:
1) Thariqat al-Husnul „alaa Ghayah al-Ushul.
2) Al-Tsamarah al-Hajayniyah.
3) Al-Fawa‟id al-Najibah.
4) Al-Bayan al-Mulamma‟ ‟an Alfdz al-Lumd‟.
5) Intifah al-Wajadayn „inda Munadharah al-„Ulama Hajayn fi Ru‟yah al-
Mabi‟ bi-Zujaj al-„Aynayn.
6) Faid al-Hija „ala Nayl al-Raja.
7) Al-Tarjamah al-Munbalijah „an Qasiidah al-Munfarijah.
8) Al-Murannaq penjelas atas Kitab Sullam al-Munawraq
9) Izalat al-Muttaham penjelas atas Idlah al-Mubham „an Ma‟ani al-Sullam
karya Ahmad Ibn Abd al-Mun‟im al-Damanhuri.
10) Anwar al-Bashair Penjelas atas kitab Al-Asybah wa al-Nadhair karangan
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti.
Selain kitab-kitab berbahasa Arab, Kiai Sahal juga telah menghasilkan
beberapa buku berbahasa Indonesia, diantaranya:
1) Nuansa Fiqih Sosial.
2) Pesantren Mencari Makna.
3) Wajah Baru Fiqh Pesantren.
4) Dialog Problematika Umat.
5) Ensiklopedi Ijma‟, Karya bersama KH. A. Mustofa Bisri.
25
BAB III
JENDER DAN DISKURSUS ISU-ISU PERNIKAHAN
A. Jender dalam Islam
Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”.1
Dalam Webster‟s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.2
Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.3
Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan
disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; jender adalah
sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi
yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan.4
Jender adalah perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dititik
beratkan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh
1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, Cet. XII,
1983), h. 265. 2 The apparent disparity between man and women in values and behavior). Lihat Victoria
Neufeldt (ed.), Webster‟s New World Dictionary, (New York: Webster‟s New World Clevenland,
1984), h. 561. 3 Helen Tiemey (ed.), Women‟s Studies Encyclopedia, Vol. I, (New York: Green Press, t.th), h.
153. 4 Yudhie R.Haryono, Bahasa Politik Al-Qur‟an, (Jakarta: Gugus Press, 2002), h. 251.
26
kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.
Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan jender adalah sebuah
konstruksi sosial (social construction). Singkat kata, jender adalah interprestasi
budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.5
Berbicara jender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an, antara
lain QS. Al-Hujurat, [49]:13, An-Nisaa‟, [4]:1, Al-A‟raf, [7]:189, Az-Zumaar, [39]:6,
Fatir, [35]:11, dan Al-Mu‟min, [40]:67.
Diantaranya dalam Al-Qur‟an surat al-Hujurat (QS, 49: 13)
ناكم من ذكر وأن ثى وجعلناكم شعوبا وق بائل لت عارفوا إن أكرمكم عند اللو أت قاكم يا أي ها الناس إنا خلق (٣١إن اللو عليم خبري.)احلجرات:
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara
manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya
antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas
suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas jender terhadap lainnya.
Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama
manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas
5 Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, (Yogyakarta:
elSAQ Press, 2005), h. 103.
27
menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.
Senada dengan Al-Qur‟an, sejumlah hadits Nabi pun menyatakan bahwa
sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki.
Meskipun secara biologis keduanya; laki-laki dan perempuan berbeda
sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur‟an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak
sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan.
Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan
mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk
menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi
superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun
manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan
dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling
mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, keduanya harus
bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan
abadi di akhirat nanti.6
Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni
dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari perspektif
penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan
adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak
beralasan memandang perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki. Pernyataan ini
6 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h. 6.
28
misalnya terdapat dalam QS. Al-Mu‟minun, [23]:12-16; Al-Hajj. [22]:5; dan Shaad,
[38]:71. Sebagaimana al-Qur‟an surat Shaad (QS, 38: 71):
(١٣إذ قال ربك للملئكة إني خالق بشرا من طني.)ص: Artinya: “(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (Shaad, [38] 71).
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan
ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban
untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta
kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar
ma‟ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera
(baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali
diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena
masyarakat sudah terlalu lama terkungkung oleh nilai-nilai patriarkhi dan nilai-nilai
bias jender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai
patriarkhi selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala
sesuatu yang berciri laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, laki-laki dan perempuan
adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuatkan segresi
ruang yang ketat; laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan cukup di
ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan subordinat dari laki-laki.7
Bukankah Al-Qur‟an sudah menegaskan:
7 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, h. 8.
29
هم أجرىم بأحسن ما كانوا من عمل صاحلا من ذكر أو أن ثى وىو مؤمن ف لنحيي نو حياة طييبة ولنجزي ن (٧١ي عملون.)النحل:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka pasti akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik. dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl, [16]:97).
Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk kepada
kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti
perdamaian, pembebasan, dan egalitarianisme termasuk persamaan derajat antara
laki-laki dan perempuan banyak tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur‟an. Kisah-kisah
tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW, seperti Siti
Khadijah, Siti Aisyah, dan lain-lain, telah banyak ditulis. Begitu pula tentang sikap
beliau yang menghormati kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra
dalam perjuangan.
Al-Qur‟an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan
sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat
yang sama. Namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi
ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat,
sistem (termasuk sistem ekonomi dan politik), serta sikap dan perilaku individual
yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut.8
8 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, h. 6.
30
B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fiqh Munakahat
Beberapa isu jender dalam bidang Hukum Perkawinan yang akan dibahas
dalam skripsi ini, diantaranya:
1) Perwalian
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-wali dengan
bentuk jamak awliya yang berarti pencinta, saudara, atau penolong.9 Dalam istilah
lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,
adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa.
Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin pria).10
Perwalian adalah seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap
seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung.
Sedangkan seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta
haknya lantaran ia tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang
lain.11
Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad
nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-laki yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan
9 Louis Ma‟luf, Al Munjid, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1975), h. 919.
10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 1007. 11
Hammudah Abd. al „Afi, Keluarga Muslim, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 89-90.
31
oleh walinya.12
Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali
dalam al-Fiqh „ala Mazhab al-Arba‟ah:
الوىل ىف النكاح ىو: ما يتوفق عليو صحة، العق د فل يصح بد ونو Artinya: “Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah,
maka tidak sah akadnya tanpa adanya (wali)”.13
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa wali dalam
pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai
wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan
tanpa wali dinyatakan tidak sah. Wali yang bersifat umum dan yang bersifat
khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau
negara yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.
Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab
atau wali yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan yang
akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya
sebagai hakim atau penguasa.14
Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek
(bapaknya bapak), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-
laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 77. 13
Abdurrahman Al Jaziry, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz
4, h. 29. 14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 75.
32
seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, keluarga
yang mendapatkan ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim.15
Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad
nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan
sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang
diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.
Ayat yang menjelaskan wali nikah adalah sebagai berikut:
احلني من عبادكم وإمائكم إن يكونوا ف قراء ي غنهم اللو من فضلو واللو وأنكحوا اليامى منكم والص (١٣)النور: واسع عليم
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur
ayat 32)
Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama.
Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama
sepakat dalam mendudukannya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan.
Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad
dengan sendirinya dan oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya.16
15
M. Al-Khin, dkk., Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i, Vol. 2.,
(Damaskus: Dar al-Qolam, 2005), h. 59. 16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 69.
33
Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (baligh) baik ia sudah janda
atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab
Maliki, Syafi‟i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya,17
sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia
berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain.
Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan sudah baligh dan cakap
hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain
berpedoman kepada Hadis Nabi SAW.18
ها والبكر تستأ أحق بن فسها من و لث ييب وسلم قال : ))الو عليو عن ابن عباس ان النىب صلى الل مر لي ي ت ها ((. )رواه مسلم( كو ىف ن فسها وإذن ها ص
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis
dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)19
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali
perempuan berpedoman kepada hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut
riwayat Ibn Majah:
وال ت زويج المرأة ة المرأة ويج المرأ عن أب ىري رة قال : قال رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم : )) ال ت ز ن فسها فإن الزانية ىي الت ت زويج ن فسها(( )رواه ابن جمو(
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan
tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh
17
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966), h. 9. 18
Al Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982), h. 241-247. 19
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Terjemah A. Hasan, (Bandung: Diponegoro,
1996). h. 297-298.
34
mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang
mengawinkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah).20
Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, Hafiz Muhammad Anwar
merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang
perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka
lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi
banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon
suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki
yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Sedangkan
hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya”. Bermaksud perempuan lebih berhak untuk
menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan
(menjadi wali) dirinya.21
Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan
menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya.
Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini menimbulkan
asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini
dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak
20
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, h. 298. 21
Hafiz Muhammad Anwar, Wilayat al-Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy, (Riyadh: Dar
Balansiyah, t.th), h. 579.
35
ijbar. Hak ijbar dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu
perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.22
Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu wali nikah yang
mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki dalam
batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis
keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk
dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.23
Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya
jika penting untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat
sebagai berikut:24
1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. 2) Jika
mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putrinya. 3)
Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. 4) Jika tidak ada
konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.
5) Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.
Menurut beberapa Ulama Mazhab, wali mujbir dalam daerah perwalian
(wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka baginya boleh
memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan sang Ayah. Pendapat ini
merupakan pendapat dari Ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan
pendapat lain, Abu Hanifah menyatakan bahwa anak gadis yang telah dewasa
22
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 78. 23
Imamul Muttaqin, Jurnal AL-HUKAMA, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 23. 24
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 202.
36
tidak boleh dipaksa untuk menikah. Pendapat ini juga senada dengan pendapat al-
Auza‟i.25
Adapun konsekuensinya, hak untuk menentukan jodoh dan melakukan
perkawinan adalah hak pribadi perempuan itu sendiri sehingga tidak tergantung
atau terpengaruh kepada wali nikah. Jika perkawinan tetap dilakukan juga oleh
wali, yakni yang ijabnya diucapkan oleh wali, tetap dinyatakan sah, tetapi
dipersyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai perempuan
yang bersangkutan. Begitu juga dalam persoalan orang-orang yang berhak menjadi
wali. Dengan dibolehkannya perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka wajar
jika dibolehkan pula menjadi wali nikah kerabatnya.26
Tentang wali mujbir, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab
hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah
perwaliannya kecuali atas izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa
dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum
berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya,
sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan
berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijbar bagi perempuan dewasa
dan cakap hukum dengan alasan, adanya nash-nash yang mensyaratkan izin
perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasulullah SAW terhadap
25
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid Juz II. Dapat dilihat juga Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, h. 83-88. 26
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI, 2008),
h. 232.
37
pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat Imam Muslim di atas secara tegas
mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan.
2) Nafkah
Kata نفقة berasal dari akar kata ق -ف-ن yang memiliki arti sebagai berikut:
„Nafaqa‟ dengan jamak „Anfaq‟ artinya „jalan terowongan atau jalan bawah tanah
yang lancar‟. „Nafaqa‟ dengan bentuk masdar „Nafaqan‟ artinya pasar yang
bersirkulasi aktif atau semarak. „Nafaqa‟ dengan masdar نفوق‘ ‟ artinya „hilang,
hancur dan habis‟. Jadi, kata نفقة yang bentuk jamaknya adalah „Nafakat‟ dan
„Nifak‟ secara bahasa mengandung makna „sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi
atau diberikan kepada orang dan yang membuat kehidupan orang yang
mendapatkannya tersebut berjalan lancar, lalu karena dibagi atau diberikan maka
nafkah tersebut secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya‟. Secara syara‟ dan
istilah نفقة diartikan sebagai „Maa Yajibu min al-Maal li al-Ta‟min al-Dharuriyyat
li al-Baqa‟, yaitu „Sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk memenuhi
kebutuhan yang diperlukan dalam mempertahankan hidup‟. Dari pengertian ini
terlihat bahwa termasuk di dalam nafkah adalah math‟am (makanan), malbas
(pakaian), dan maskan (tempat tinggal).27
Ulama fikih menyimpulkan kewajiban memberi nafkah terjadi pada tiga
tempat dan sebab; istri dengan sebab perkawinan, kaum kerabat karena sebab
nasab, dan hamba ataupun orang-orang lainnya sebab di bawah penguasaan.
27
Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha, (Beirut:
Dar al-Nafa‟is, 1985), h. 485.
38
Kewajiban disebabkan perkawinan merupakan dasar pertama dan lebih utama dari
kedua sebab lainnya, sementara kewajiban karena nasab lebih utama dari
kewajiban karena pemilikan. Kewajiban karena nasab berurutan dari mulai yang
paling dekat sampai seterusnya.28
Dalil-Dalil nash yang dikemukakan para ulama dalam hal kewajiban nafkah
ini:
ل اللو ب عضهم على ب عض وبا أن فقوا من أموالم فالصاحلات الريجال ق وامون على النيسا ء با فضت تافون نشوزىن فعظوىن واىجروىن ف ال مضاجع قانتات حافظات للغيب با حفظ اللو والل
غوا عليهن سبيل إن اللو كان عليا كبريا )النساء: واضربوىن ف (١٣إن أطعنكم فل ت ب Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Kesimpulan hukum pemikiran para ulama dari dasar-dasar hukum nafkah
sebagaimana disebut sebelumnya adalah menempatkan suami sebagai pihak yang
dibebankan kewajiban nafkah kepada istrinya. Sementara ketika suami tersebut
telah dikaruniai anak, ia pun dibebankan pula kewajiban nafkah baik kepada
istrinya maupun anak-anaknya.29
28
M. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah-Qismu al-Zawaj, h. 228. 29
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1973), h. 169-170.
39
Keterangan di atas semakin menegaskan bahwa nafkah sesungguhnya menjadi
tanggung jawab kaum laki-laki dan tidak dibebankan kepada kaum perempuan.
Hukum asal kewajiban laki-laki atas nafkah, berawal dari konteks hubungan akad
nikah yang menempatkan perempuan sebagai objek (muqtadha al-„aqd; tuntutan
yang terdapat dalam akad). Oleh karena itu, akad nikah seolah menjadi ruang yang
mana perempuan tertanggung (ihtibas) kehidupannya di dalam ruang itu. Maka
suami menjadi aktor paling penting tentang kepemilikan terhadap ruang gerak
istrinya, sehingga suami secara utuh berkewajiban untuk memberi nafkah.
Mufid Abdullah menjelaskan, terkait dengan persoalan nafkah, perlu
ditegaskan bahwa ulama fiqh mengemukakan persoalan penting yang berkaitan
dengan nafkah istri.30
Pertama, keengganan suami membayar nafkah atau suami
tidak mampu. Apabila suami enggan membayar nafkah istrinya, sedangkan ia telah
menentukan nafkah istrinya atau hakim telah menetapkan nafkah wajib yang harus
dibayarkannya, maka menurut ulama fiqh hukumnya sebagai berikut. Apabila
suami itu orang yang mampu dan memiliki harta, maka hakim berhak menjual
harta itu secara paksa dan membayarkan nafkah istrinya sesuai dengan
kebutuhannya. Apabila harta suami yang mampu itu tidak diketahui dan istrinya
menuntut kepada hakim, maka hakim boleh menjarakannya sampai ia membayar
nafkah istrinya tersebut. Akan tetapi, apabila ternyata suami itu memang tidak
mempunyai harta, maka ia tidak boleh dipenjarakan sekalipun istrinya mengajukan
30
Mufid Abdullah, Pemberian Nafkah Narapidana Kepada Istrinya; Studi Kasus di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2006), h. 63-
65.
40
gugatan kepada hakim karena Allah SWT. menyatakan apabila seseorang dalam
kesulitan maka harus ditunggu sampai ia berkelapangan.
آتاه اللو ال يكليف اللو ن فسا إال ما آتاىا لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ما (١سيجعل اللو ب عد عسر يسرا )الطلق :
Artinya: “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut
kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak akan memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
Allah memberikan kelapangan sesudan kesempitan”. (QS. Al-Thalaq : 7)
Menurut jumhur ulama, ketidakmampuan suami membayar nafkah istrinya
bukan berarti kewajibannya membayar nafkah itu gugur sama sekali, tetapi tetap
menjadi hutang bagi suami yang harus dibayar ketika ia telah mampu, bahkan
menurut Mazhab Syafi‟i dan Hanbali, apabila suami tidak mampu sama sekali
membayar nafkah, istrinya boleh meminta fasakh. Namun, menurut Mazhab
Hanafi dan Maliki, suami yang tidak mampu membayar nafkah istrinya tidak
boleh dipisahkan (diceraikan). Menurut Mazhab Hanafi, nafkah yang belum
dibayarkan suami itu menjadi utang baginya yang harus dibayarnya ketika ia telah
mampu. Bahkan, menurut Mazhab Maliki, karena suami tidak mampu membayar
nafkah istrinya, maka selama ketidakmampuan itu kewajiban nafkah gugur dari
suami.31
Adapun pendapat Maliki, Syafi‟i, Imamiyah dan satu Jama‟ah: suami hanya
wajib memberikan tempat tinggal (maskan) dan tidak wajib memberikan makan
serta pakaian. Pendapat ini mendasarkan diri pada zhahir lafaz ayat 6 surat at-
31 Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, h. 160-161.
41
thalaq di atas. Selain itu, hadis dari Fatimah bint Qays tetapi melalui riwayat
Maliki dimana Nabi menyuruh Fatimah bint Qays untuk menjalankan „iddahnya di
rumah Ummu Maktum tanpa memerintahkan untuk memberinya nafkah.32
Pendapat ini merupakan konsekuensi dari prinsip golongan ini, yang
menyandarkan pemberian nafkah pada kemungkinan suami me-wathi‟ isterinya,
sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak memiliki kemungkinan itu.
Adapun hadis tersebut:
مة بن عبد الرحن يزيد موىل السود بن سفيان عن أب سل حد ثن يي عن مالك عن عبد اهلل بن ها بن عوف عن فاطمة بنت ق يس أن أبا عمرو ام فأرسل إلي بن حفص طلقها البتة وىو غائب بالش
نا من شي ت إىل رسول اهلل صل اهلل عليو وسلم ئ فجاء وكيلو بشعري فسخطتو ف قال واهلل مالك علي تلك امرأة فذكرت ذلك لو ف قال ليس لك عليو ن فقة وامرىا أن ت عتد ف ب يت أمي شريك ث قال
ي عند عبد اهلل بن ي غشاىا أمي مكتوم فإنو رجل أعمى تضعني ثيابك عنده فإذا أصحاب اعتديا حللت ذكرت لو أن م عاوية بن أب سفيان وأباجهم بن ىشام خطبان حللت فآذنين قالت ف لم
ا معاوية ف ف قال رسول اهلل صل اهلل عليو اأبوجهم فليضع عصاه عن عاتقو وأم صعلوك ال وسلم أماهلل ف مال لو انكحي أسامة بن زيد قالت فكرىتو ث قال انكحي أسامة بن زيد فنكحتو فجعل
را واغ تبطت بو ذلك خي Artinya: Telah menceritakan kepada Yahya dari Malik dari Abdullah bin Yazid
mantan budak al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf
dari Fatimah binti Qais bahwa Abu „Amru bin Hafsh menjatuhkan talak ba‟in
kepadanya, padahal dia sedang berada di Syam. Lalu Abu „Amru mengutus
wakilnya untuk mengirimkan gandum kepadanya, hingga menjadikan Fatimah
marah kepada Abu „Amru berkata, “Demi Allah, kamu tidak berhak atas apapun
dariku.” Fatimah bin Qais lantas mendatangi Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam dan mengkisahkan kejadian itu kepada beliau. Beliau lalu bersabda:
“Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.” Kemudian beliau
32
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al
Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj, h. 383.
42
menyuruhnya untuk menunggu masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Setelah itu
beliau bersabda: “Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para
sahabatku. Maka tunggulah masa iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum,
dia adalah seorang yang buta, sehingga kamu dapat meletakkan pakaianmu di
sisinya. Jika masa iddahmu telah selesai maka beritahukanlah kepadaku.”
Fatimah berkata, “Ketika masa iddahku telah selesai, aku ceritakan kepada beliau
bahwa Mu‟awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm bin Hisyam telah melamarku.
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam lalu bersabda: “Jahm itu seorang laki-
laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya, sedangkan Mu‟awiyah
adalah seorang laki-laki miskin yang tidak mempunyai harta. Nikahlah dengan
Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Sebenarnya aku tidak menyukainya.” Maka
aku pun menikah dengannya, dan ternyata Allah menjadikan kebaikan di dalam
pernikahan itu, hingga aku merasa bahagia.”33
Pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan Abu Tsaur, Ishaq, dan satu
Jama‟ah: suami tidak wajib memberikan tempat tinggal, makan dan pakaian.
Alasan golongan ini adalah berdasarkan hadis tentang Fatimah bint Qays yang
dikemukakan Ibn „Abbas dan Jabir Ibn „Abdullah. Hadis ini diriwayatkan oleh
Ahmad dan Nasa‟i.34
Menurut Husein Muhammad, bahwa pada dasarnya seorang istri dibebaskan
dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan hidupnya, apalagi
untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga yang menjadi
kebutuhan pokok adalah kewajiban suami. Sehingga apabila suami ternyata tidak
memberikannya, istri berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa
izin suami.35
33
Imam Malik, Al-Muwatha‟, (Kairo: Dar al-Kutub, t.th), h. 359. 34
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-
Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj, h. 383. Hadisnya dapat dilihat pada h. 7. 35
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h.
125.
43
Dari beberapa keterangan di atas, bahwa kewajiban menafkahi itu ada pada
suami. Akan tetapi, ketika istri ingin bekerja atau ingin membuka usaha untuk
menutupi kebutuhan hidupnya, maka tidak ada larangan baginya. Hal tersebut,
dapat dikatakan sudah berkeadilan jender.
3) Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata حضنا –يحضن –حضن yang berarti الجنب 36
(lambung, rusuk) erat atau dekat, jadi hadhanah ialah “meletakkan sesuatu dekat
dengan tulang rusuk atau di pangkuan”. Seperti kata, hadhanah ath-thoairu
baidhohu artinya burung itu menghimpit (mengeram) telur di bawah sayapnya.
Demikian juga jika seorang ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan
dipangkuannya seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.
Sehingga lebih tepatnya hadhanah secara bahasa ialah memelihara anak dengan
meliputi biaya dan pendidikannya.37
Para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah adalah: melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa
perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani,
36
Ahmad Warson Munawar, Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 212. 37
Abdurrahman Al Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h.
594.
44
rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya.38
Hadhanah merupakan kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang
belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa
mengerjakan keperluan diri sendiri. Kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki
kaum wanita karena naluri kewanitaan yang ia miliki dan kesabarannya dalam
menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding laki-laki.39
Mengenai ketentuan batas pengasuhan, para Imam Mazhab berpendapat
diantaranya adalah Imam Hanafi mengatakan: Masa asuhan adalah tujuh tahun
untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Sedang Imam Syafi‟i
berpendapat: tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama
ibunya sampai dia bias menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau
ayahnya. Apabila anak sudah sampai pada tingkat ini, anak disuruh memilih
apakah tinggal bersama ibu ataukah ayahnya.
Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka anak
boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari,
agar ayah bias mendidiknya. Sedangkan apabila anak itu perempuan dan memilih
tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam.
38
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al Ma‟arif, t.th), h. 173. 39
Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermasa, 1996), h. 415.
45
Tetapi anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian,
apabila anak diam (tidak memberikan pilihan) dan ikut bersama ibunya.40
Menurut pendapat Imam Syafi‟i ini tidak ada batas waktu yang jelas mengenai
pengasuhan akan tetapi ada catatan bahwa sebelum anak bisa menentukan pilihan
apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Maka tetap anak tersebut tinggal
bersama ibunya selama anak bisa menentukan pilihannya. Sementara pendapat
Imam Hanafi ada batasan waktu dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
anak laki-laki masa asuhannya tujuh tahun, sedangkan anak perempuan sembilan
tahun. Dan di sini tidak dijelaskan kepada siapa anak memilih untuk dan kapan
waktunya, yang jelas ada batas waktu ditentukan pengasuhannya.
Berbeda halnya dengan pendapat Imam Maliki bahwa masa asuh anak laki-
laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga
menikah. Ketentuan ini batas waktu untuk laki-laki lebih rendah yaitu hingga
baligh dan perempuan hingga menikah, ini artinya jauh perbedaan masa asuh laki-
laki dengan perempuan. Pendapat lain adalah Imam Hambali dan Imamiyah.
Masing-masing berpendapat, Imam Hambali: masa asuh anak laki-laki sama
dengan perempuan yaitu tujuh tahun, dan setelah itu ada kebebasan untuk memilih
antara ibu atau ayahnya. Sementara pendapat yang terakhir adalah pendapat
Imamiyah: masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh
tahun.41
40
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 417. 41
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 418.
46
Menurut Zaitunah Subhan, hak sebagai pengasuh itu tidak harus kepada
ibunya saja melainkan ayah juga. Hal tersebut menurutnya ibu tidak selamanya
berjiwa keibuan, melainkan tidak sedikit laki-laki yang berjiwa keibuan, semangat
dalam mengasuh dan memelihara anak.42
Dari beberapa keterangan di atas, maka dalam ketentuan hadhanah dari
perspektif jender yakni; yang mengasuh anak itu tidak selamanya harus seorang
ibu, melainkan ayah juga dapat mengasuhnya. Dengan beberapa catatan, ketika
pada kasus perceraian didasarkan atas selingkuh atau kasus pelanggaran moral
yang dilakukan istri, maka lebih baik pengasuhan anak lebih baik kepada ayahnya.
Karena ditakutkan nantinya seorang anak akan meniru tingkah laku ibunya yang
nakal misalnya. Begitu juga sebaliknya, apabila suami yang melakukan
perselingkuhan atau melakukan pelanggaran moral, maka pengasuhan anak lebih
baik kepada ibunya. Oleh karena itu, permasalahan pengasuhan tersebut dapat
diatasi untuk kemaslahatan suami istri dan terutama untuk masa depan anak-anak.
4) Nusyuz
Kata nusyuz adalah turunan dari akar kata na-sya-za yang memiliki arti
“Irtikâb‟ atau “Irtifâ‘ ba‘da ittido‘”dan „irtifaʻ min makânibi‟ yaitu
„mengangkatkan kembali‟ (dari tempat atau keadaannya yang pertama) dan
„Intihâd‟ yaitu melegakan nafas dan membagi secara adil‟.
42
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 318.
47
Dari surat an-Nisa‟ 34, fuqaha menemukan istilah nusyûz al-mar‟ah atau
nusyuz perempuan yang diartikan “pembangkangan istri dan keburukan
kelakuannya pada suami”. Ada juga yang mengartikan “perbuatan isteri
meninggalkan rumah tanpa alasan yang dapat dibenarkan menurut syara‟ yang
akibat dari perbuatan ini seorang isteri tidak berhak mendapat nafkah”.43
Dalam al-Qur‟an turunan kata na-sya-za terdapat pada empat tempat; al-
Baqarah 259, surat al-Mujadalah 11, an-Nisa‟ 34 dan 128. Dalam surat yang
pertama artinya mengangkatkan kembali, dengan maksud menyusun kembali
tulang-tulang burung yang telah dihancurkan menjadi kerangka Dalam surat kedua
artinya mengangkatkan diri, dengan maksud menyegerakan dan melaksanakan
suruhan kebaikan yang diminta, namun ada juga yang mengartikan „bernafas lega
atau berlapang dada‟ yaitu tidak berkeluh kesah; Surat yang ketiga ayat 34 artinya
mengangkat ketaatan, maksudnya membangkang; dan ayat 128 mengangkatkan
kebaikan yaitu perilaku suami yang menekan isteri, menyakiti, dan sebagainya.44
Al-Qur‟an tidak secara tegas menyebutkan bahwa isteri yang nusyuz tidak
berhak mendapat nafkah. Para fuqaha menarik kesimpulan ini melalui pemahaman
kompensasi hak dan kewajiban antara suami isteri. Dengan mengacu kepada surat
an-Nisa‟ ayat 34, fuqaha menetapkan bahwa ketaatan isteri adalah wajib dan
merupakan hak suami sebab kalau ketaatan isteri tidak menjadi hak suami maka
kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini tidak akan terlaksana. Hak
43
Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha‟, h. 480. 44
Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma‟tsur, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1990), Vol. 1, h. 588; vol.6, h. 345; vol.3, h. 277 dan 411.
48
suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas lagi diterangkan dalam ayat yang
memberikan wewenang kepada suami untuk menghukum istrinya dalam rangka
memperbaiki kelakuan istri (ta‟dib), yaitu mengembalikan ketaatannya kepada
suami.45
Selanjutnya, fuqaha menetapkan bahwa nafkah adalah hak istri sebagai
balasan kewajiban taatnya kepada suami. Jadi, meninggalkan atau melepaskan
kewajiban taat oleh isteri kepada suami disimpulkan mengakibatkan gugurnya hak
(nafkah) istri dari suaminya.
Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak nafkah istri
tetapi mereka berbeda pendapat tentang pengertian dan batasan perilaku nusyuz
(tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut. Perbedaan ini
timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek perkawinan yang
menimbulkan kewajiban nafkah.
a) Hanafiah: yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah adalah beradanya
wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan wathi‟ tidak ada
hubungannya dengan kewajiban nafkah. Karenanya, walaupun istri mengunci
dirinya di kamar dan tidak bersedia dicampuri sekalipun tanpa dasar syara‟
yang benar selama dia tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, istri
tersebut masih dipandang patuh (muthi‟ah) dan tidak menggugurkan haknya
atas nafkah. Pendapat ini membedakan diri dari seluruh pendapat mazhab
lainnya. Oleh karena itu, menurut Hanafi dan juga Imamiyah serta satu
45
Abi Bakr Ahmad ibn „Ali al-Razi al-Jassas, Ahkam al-Qur‟an, h. 375.
49
golongan dari hanabilah, istri yang sakit, nafkahnya tidak gugur, sedangkan
menurut Maliki gugur.46
b) Mazhab selain Hanafi semuanya berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak
keluar rumah tetapi jika dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk
menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa ada alasan yang logis serta
dibenarkan oleh syara‟, maka istri tersebut dipandang nusyuz dan tidak berhak
atas nafkah.47
c) Ulama Syafi‟iyyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun istri masih
bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami kalau dia bersikap enggan dan
tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas, “Aku menyerahkan
diriku kepadamu”, istri tersebut belum cukup dianggap patuh.48
Imam Nawawi
menerangkan lebih spesifik bahwa yang dikatakan nusyuz adalah dengan
menolak suami berhubungan tanpa ada „uzur dari pihak suami ataupun dari
pihak istri. Begitu juga, bila istri keluar dari rumah yang disuruh tempatin oleh
suami tanpa izinnya serta bukan untuk kepentingan suami. Termasuk dalam hal
ini keluar rumah untuk ibadah haji wajib dan juga ziarah kepada orang tua,
umrah, puasa sunnah, dan amal ibadah lainnya. Jadi, tindakan istri yang
dilakukan tanpa mengantongi izin suami akan dikategorikan sebagai tindakan
nusyuz, dan konsekuensinya tidak berhak mendapakan hak nafkah dan mut‟ah.
46
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102. 47
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102. 48
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 59; Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-
Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.
50
Hal ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi yang menjadikan keluar
rumah sebagai kriteria fundamental dalam menilai nusyuz seorang istri. Adapun
menurut Imamiyah dan Hambali kepergian seorang istri untuk menunaikan
ibadah wajib walaupun tanpa izin suami tidak menyebabkan nusyuz dan tidak
menggugurkan hak nafkahnya.49
Dalam fiqh dinyatakan bahwa apabila terjadi nusyuz, tindakan pertama yang
boleh diambil oleh suami adalah menasihati istri dengan tetap mengajaknya tidur
bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah
tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan
kedua, yaitu memisah tempat tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri tetap
melakukan aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga, yaitu memisah
tidurnya dan boleh memukulnya.50
Tindakan demikian menurut kalangan ulama fiqih bisa dilakukan setiap kali
suami menduga kalau istri sedang nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab fiqih klasik
dinyatakan:
ىجرىا فإن أقامت عليو ىجورىا وضرهبا ويسقط وإذاخاف نشوزاملرأة وعظها فإن أبت إال النشوز .قسمها ونفقتها وزبالنش
Artinya: “Apabila dikhawatirkan seorang istri akan berbuat nusyuz, nasihatilah;
ketika dinasihati membantah dan masih tetap nusyuz, pisahlah tempat tidurnya; dan
49
Yahya Ibn Syarif an-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh Mazhab al-
Imam al-Syafi‟i, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996), h. 154. 50
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
(Bandung: Mizan, 2001), h. 183.
51
apabila masih saja melakukan nusyuz, pisah dan pukullah, dengan nusyuz ini hak
mendapat giliran apabila dia dipoligami hak mendapatkan nafkah menjadi gugur.51
Apabila kita lihat pernyataan kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja,
seorang suami sudah boleh mengklaim bahwa istrinya melakukan nusyuz. Jelas,
posisi istri dalam hal ini rentan sekali. Istri tidak mempunyai kesempatan untuk
melakukan pembelaan diri, apalagi koreksi, terhadap tindakan suaminya sebab setiap
bentuk koreksi sehalus apa pun bisa diklaim oleh suaminya sebagai tindakan
pembangkangan (nusyuz). Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat
leluasa untuk menentukan apakah tindakan istri sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz
atau tidak.52
Menurut Syafiq Hasyim, dalam merekonsturuksikan konsep nusyuz, fiqih kita
selama ini tidak adil. Fiqih tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki
sehingga kedudukan perempuan dalam menegosiasikan hal ini sangat lemah. Untuk
itu, dalam memahami persoalan nusyuz, kita harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut: pertama, prinsip keadilan. Kita yakin Al-Qur‟an selalu dalam posisi
yang adil dalam mengemukakan persoalan, artinya ketika istri melakukan nusyuz,
harus dilihat apa sebabnya. Jadi, yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam
melihat nusyuz adalah prinsip ketika istri nusyuz tidak hanya dipahami pada sisi
ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya, bagaimana
perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak istri sudah dipenuhi suami atau
51
Abu Syuja‟, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.th), h.
32. 52
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
h. 184.
52
belum. Kedua, prinsip mu‟asyarah bi al-ma‟ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan
prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri, baik istri maupun suami,
masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar
dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadi nusyuz.53
Oleh karena itu, tidaklah
diperkenankan memukul istri yang nusyuz sebelum mengetahui sebab terlebih dahulu.
Dari penjelasan di atas, maka ketentuan nusyuz tersebut dilihat dari perspektif
jender semestinya seorang suami harus meneliti terlebih dahulu mengapa terjadi
nusyuz. Apakah tindakan nusyuz istri itu memang semata-mata dilakukan karena istri
mempunyai niat membangkang kepada suami, atau disebabkan karena istri ingin
mengambil haknya yang tidak diberikan oleh suami? Semua ini harus melihat secara
jernih agar tidak mudah menjatuhkan tuduhan nusyuz kepada istri. Oleh karena itu,
tidak semestinya suami langsung mengategorikan istri nusyuz tanpa adanya
penulusuran lebih lanjut mengenai pembangkangan istrinya tersebut. Karena,
terkadang suami langsung menjustifikasi perlakuan negatif yang dilakukan istrinya,
tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu dari istrinya tersebut.
53
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
h. 187.
53
BAB IV
PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH
TENTANG ISU-ISU JENDER
A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan
Pemikiran jender KH. MA. Sahal Mahfudh merupakan angin segar bagi kaum
perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu
menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka
memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa. Jika hal ini terjadi, maka
masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan dalam semua
aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial, teknologi, dan
lain-lain.1
Untuk mempermudah dan mempertajam dalam menganalisa, maka penulis
hanya akan membahas beberapa hal saja terutama dalam bidang perkawinan.
1. Wali Mujbir
Menurut Sahal Mahfudh bahwa setiap insan tentu ingin membina rumah
tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan
sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajah
atau jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah
SWT untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat
proses imarah al-ard (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. Sudah
1 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi
Lima Ciri Utama), (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 272.
54
pasti pula, dengan perkawinan diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir
batin, suatu keadaan yang sering diistilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah
dan rahmah yang karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat
menjadi nyata.2
Menurutnya, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami
merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses
tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kasih kehati-hatian, karena akan
sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan
yang diidealkan. Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih
jodoh ternyata seseorang tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sebagai pihak
yang menjadi perantara kehadirannya di dunia.3
Di samping alasan moral tersebut, Sahal Mahfudh mengatakan bahwa orang
tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan
membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain
serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka. Akan tetapi,
keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan
dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang memang
tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya
2 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010), h. 239.
3 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 239.
55
anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua
lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan.4
Sahal Mahfudh berpendapat bahwa perbedaan tersebut pada gilirannya akan
mengakibatkan adanya ketidaksamaan dalam membuat kriteria calon yang
diinginkan, apabila tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang
memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang
nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menjerumuskan diri ke
dalam dunia hitam yang justru merugikan diri sendiri. Hal ini adalah suatu
kenyataan yang sangat disesalkan. Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli
fiqh) dalam masalah tersebut? Ini merupakan permasalahan yang layak untuk
dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman
ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam
segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam
sikap ifrath.5
Dalam Mazhab Syafi‟i, sebagaimana termaktub pada literatur fikihnya,
ternyata diakui adanya wali mujbir yaitu bapak atau kakek yang memiliki hak
memaksa anak perempuannya bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki
tanpa persetujuannya. Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua
sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya.
Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi
4 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240.
5 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240.
56
fitrahnya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bila
berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang
dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru.6
Sahal Mahfudh mengatakan bahwa sangatlah berbahaya bila masalah hukum
hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karenanya hak ijbar (memaksa)
tersebut hanya bisa diberlakukan jika telah memenuhi beberapa persyaratan yang
sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas
diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon
pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan
kaya dalam arti mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut
tidak dipenuhi, maka pernikahannya tidak sah.7
Selain itu, menurut Sahal Mahfudh ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi,
maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak
kurang dari mahar mitsil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara
perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan di
daerahnya serta diserahkan secara kontan.8
Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu adalah sederajat
atau setingkat dalam aspek nasab status (kemerdekaan, profesi, dan agama).
Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral.
6 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241.
7 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241.
8 Pendapat tersebut beliau kutip dari Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-
Madzahib al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Jawad, 1996), h. 368.
57
Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara
dengan yang berprofesi kurang terhormat.9 Kesetaraan merupakan hak anak dan
orang tua. Si anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara
tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk
menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai
hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak
atau melakukan al-adhal.10
Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut,
menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab Hasyiyah
Sulaiman Al-Bujairimi „ala Al-Khatib‟, hanya diperkenankan jika tidak
dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang
dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah,
melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap
dihindari.11
Sebaliknya dianjurkan (sunnah) meminta izin dan persetujuan si anak.
Hak ijbar juga dijumpai dalam Madzhab Maliki dan Hanbali.12
Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar
terhadap anak perempuan yang telah baligh secara mutlak, baik perawan maupun
janda. Mereka adalah pendukung Madzhab Hanbali. Pendapat itu sangatlah
beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur taradhi (kerelaan, lawan
9 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241.
10 KH. MA. Sahal Mahfudh mengutip pendapat tersebut dari Zainuddin bin Abdul Aziz Al-
Malibary, Fath Al-Mu‟in, (Beirut: Daar al-Kutub, 1996), h. 317. 11
Lebih lengkap lihat Sulaiman bin Muhammad al-Bujarimi, Hasyiyah Sulaiman Al-
Bujairimi „ala Al-Khatib, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1951), h. 245. 12
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241.
58
dari ikrah, paksaan) menjadi syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunnah bahkan
lebih baik juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini
mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat
itu diperkuat asumsi, yaitu setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan
nasib sendiri.13
Disamping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual
(naqli) berupa hadis riwayat Ibnu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa
al-Haram fi Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang
kepada Rasulullah SAW Mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan
laki-laki saudaranya (keponakan) yang tidak disukainya. Dalam arti, dia diberi hak
membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya
memperbolehkan tindakan bapakku, akan tetapi saya ingin memberitahukan
kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya
mereka tidak berhak memaksa”.14
Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik satu kesimpulan, bahwa menurut
Sahal Mahfudh persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian
sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi
pengamatan ajaran Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-
13
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 242. 14
Baca Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1960).
Lihat juga Terjemahan oleh Mu‟ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Pandangan Islam,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), h. 160.
59
khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang
berbeda-beda adalah sunnah.
2. Nafkah
Sahal Mahfudh membahas mengenai hak anak atas nafkah pasca perceraian,
ia berpendapat bahwa seorang suami tetap harus memberi nafkah kepada anak-
anaknya meskipun telah bercerai dengan istrinya.
Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya
perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah SWT:
ىن ر وإن كن أوالت حل فأنفقوا عليهن حت يضعن حلهن فإن أرضعن لكم فآتوىن أجو (٦)الطلق:
Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya...” (QS. Ath-Thalaq: 6)
Menurut Sahal Mahfudh, secara sosiologis, pengabaian nafkah pasca
perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala
cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau
menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk
mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal suami.15
Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun
membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan
hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak
15
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 274.
60
mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian. Hal tersebut
tentu bila nafkah minimal tidak dapat dipenuhi suami.
Karena itu dalam sebuah hadis riwayat Abdullah ibn Mas‟ud, Rasulullah
SAW. bersabda:
باب من استطا يا م ل يستطع فإنو أعض للبصر واحصن للفرج ومن ع منكم البآءة ف ليت زوج عشر الش .إنو لو وجآء بالصوم ف عليو ف
Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu
membayar biaya(ongkos) pernikahan maka kawinlah. Karena sesungguhnya nikah
dapat mencegah penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa yang belum
mampu, maka berpuasalah. Karena sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng.16
Para ulama mengartikan al-ba‟ah dengan kemampuan memberi nafkah dan
mahar. Jadi, anjuran menikah oleh Rasulullah SAW. Ditujukan kepada pemuda
yang secara ekonomis sudah mapan. Karena setelah berubah status menjadi suami,
ia wajib menafkahi diri sendiri dan istrinya. Dan setelah menjadi ayah, menafkahi
anaknya.
Dalam kitab-kitab fikih terdapat 3 (tiga) kategori suami; kaya, sedang, dan
fakir.17
Seorang istri yang salehah semestinya menyadari kemampuan suaminya.
Tidak sepatutnya menuntut suami di luar kemampuannya. Sikap qana‟ah
(menerima) perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya, suami yang baik tidak
bakhil, tetapi bersikap sakha‟ (dermawan). Ada ulama yang membagi nafkah
menjadi dua, yaitu nafkah rohani atau batin dan jasmani atau lahir. Nafkah batin
16
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Muhirrah al-Bukhari, Kitab
Shahih al-Bukhari hadis ke-5066, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 955. 17
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277.
61
adalah melakukan hubungan suami istri (jimak). Sedangkan nafkah jasmani adalah
kebutuhan sandang, papan dan pangan.18
Sahal Mahfudh mengatakan, Jika suami impoten (al-„unnah), istri berhak
mengajukan perceraian, sebab sang suami tidak bisa memberikan nafkah batin.
Demikian halnya kalau suami tidak mampu memberikan nafkah jasmani. Bahkan
yang kedua jauh lebih penting. Karena ketiadaan nafkah jasmani membawa
dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah batin. Hal ini
sesuai dengan hirarki kebutuhan yang dibuat oleh sebagian psikolog yang
menempatkan kebutuhan fisikologis makanan atau minum pada urutan pertama.
Orang dapat hidup meskipun kebutuhan seksual tidak terpenuhi.19
Sahal Mahfudh juga berpendapat bahwa seorang Tenaga Kerja Wanita
diperbolehkan bekerja ke luar negeri tanpa didampingi mahramnya. Artinya, hal
tersebut berbeda dengan pendapat para ulama klasik yang melarangnya. Namun,
menurutnya hal tersebut diperbolehkan jika sudah masuk dalam kategori bekerja
wajib, yaitu ia sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga, atau dirinya sendiri,
tidak ada lapangan pekerjaan di daerah atau di negaranya, dan kondisinya tidak
mengkhawatirkan.20
18
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. 19
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277. 20
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi
Lima Ciri Utama), h. 269.
62
3. Hadhanah
Menurut Sahal Mahfudh, dalam menentukan siapa yang lebih berhak
melakukan hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak
yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan,
minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur
7 (tujuh) tahun. Pada perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan
menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau
baligh) menjadi terbiasa dan terlatih.21
Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyiz berhak
mendapatkan hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan
oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan-
perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak
yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis
samping dari ayah.
Secara lebih detail, kitab Al-Fiqh Al-Manhaji menerangkan, pemegang
hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1) Beragama Islam bila mana
anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4)
tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu
pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli.22
21
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 280-281. 22
Pendapat tersebut dikutip oleh KH. MA. Sahal Mahfudh dari kitab Musthofa al-Bugha,
dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, Juz 2. (Damaskus: Dar al-Qolam, 1992), h. 186-187.
63
Berdasarkan keterangan di atas, maka hak asuh ibu didahulukan atas ayah.
Hal ini di samping bersandar pada dalil naqli juga didukung dalil aqli. Dalam satu
hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Didatangi
oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya,
susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan
sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku”.
Mendengar pengaduan itu Rasulullah SAW. Memberi keputusan seraya berkata,
“Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi”.23
Jadi, Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih berhak memelihara anak,
dengan pertimbangan kasih sayang ibu („athifah al-umumah) pada umumnya lebih
besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan
ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih
sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.
Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu
semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya.24
Jadi, tidak dibenarkan apabila ayah secara tidak bertanggung
jawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya, semua biaya perawatan
atau nafkah ditanggung oleh ibu.
23
Musthofa al-Bugha, dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, h. 182. 24
Kompilasi Hukum Islam Pasal 156.
64
4. Nusyuz
Sahal Mahfudh membahas mengenai nusyuz, ia mengatakan kebolehan
memukul istri bila melakukan nusyuz (pembangkangan) seperti pendapat para
ulama klasik. Akan tetapi, ia juga menegaskan bahwa meskipun dibolehkan,
namun lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif
dan menghindari cara-cara kekerasan.25
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
ما ن هى اللو عنو )رواه جر من ى المسلم من سلم المسلم من لسانو ويده والمهاجر أحد(Artinya: “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin
(masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan
tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang
dilarang oleh Allah”. (HR. Ahmad)26
Didahulukannya lisan dari tangan pada hadis di atas karena dampak yang
ditimbulkannya bisa lebih fatal dari tangan. Yang terluka akibat lisan adalah hati
dan perasaan, yang jelas lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Ucapan yang
tidak baik semakin dicela jika dilakukan terhadap orang-orang yang semestinya
dihormati seperti kedua orang tua dan suami atau istri.
Kalau kemudian ditemukan kekurangan-kekurangan atau ketidakpuasan pada
pasangannya, sebaiknya diadakan dialog untuk mencari solusi yang efektif. Dan
25
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263. 26
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Hanbal, (Kairo: Mu‟assasah Qurtubah, t.th),
h. 266.
65
hendaknya tiap-tiap pihak menyadari, tidak ada manusia yang baik dan benar
secara mutlak.27
B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan
dari Perspektif Jender
Keunikan pendapat Sahal Mahfudh dibandingkan dengan pendapat para
ulama klasik yaitu menurut penulis terletak pada keutamaan mementingkan maslahat
pada pencarian solusi terhadap masalah yang ada pada zaman sekarang ini, seperti
permasalahan mengenai wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Sehingga Sahal
Mahfudh tidak terpaku pada pendapat salah satu ulama klasik yaitu misalnya Imam
Syafi‟i saja, akan tetapi, beliau tidak ragu juga merujuk pada pendapat berbagai
ulama seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki. Bahkan berbeda
dengan pendapat para ulama klasik. Hal tersebut dapat membedakan Sahal Mahfudh
dengan ulama-ulama NU lainnya yang terkadang fanatik terhadap salah satu mazhab.
Melihat pemikiran Sahal Mahfudh sebelumnya, maka penulis ingin
menganalisis bahwa pemikiran Sahal tersebut sudah memenuhi kriteria keadilan
jender atau justru kebalikannya. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya, maka dapat
dijelaskan terlebih dahulu, diantaranya:
1. Wali Mujbir
Sahal Mahfudh dalam bukunya mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus
minta izin kepada calon perempuan supaya bangunan yang dirajut bisa sakinah,
27
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263.
66
mawaddah wa rahmah. Hal ini jelas berbeda dengan pendapat ulama klasik yang
mengatakan bahwa wali mujbir boleh memaksa anak perempuan menikah tanpa
adanya izin terlebih dahulu kepada calon perempuan tersebut.
Oleh karena itu, pendapat Sahal Mahfudh mengenai wali mujbir ini sudah
berkeadilan jender. Hal tersebut terlihat dalam pendapatnya bahwa meskipun wali
mujbir mempunyai hak untuk memaksa anak perempuan menikah tanpa izin
terlebih dahulu, akan tetapi alangkah baiknya jika meminta izin terlebih dahulu,
guna terciptanya rasa ikhlas/kerelaan calon perempuan dalam menentukan
pilihannya serta terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
2. Nafkah
Dalam pembahasan mengenai nafkah ini, Sahal Mahfudh memiliki dua
pendapat, yaitu hak istri atas nafkah pasca perceraian dan hak anak atas nafkah. Ia
mengatakan bahwa istri dan anak memiliki hak untuk mendapatkan nafkah setelah
cerai. Menurut Sahal Mahfudh, pengabaian nafkah pasca perceraian oleh ayah
telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita
dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani
pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi
nafkah anaknya setelah ditinggal suami.
Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun
membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan
hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak
mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian.
67
Oleh karena itu, hal tersebut sudah mengandung unsur keadilan jender apabila
si suami malas dan tidak mau bekerja. ketika suami seperti itu, maka istri boleh
mengajukan permohonan cerai kepada suaminya. Karena hal tersebut tidak adil
bagi perempuan dan dapat merugikan perempuan. Lain halnya dengan suami yang
sudah bekerja keras akan tetapi tidak memenuhi kebutuhan istri, kemudian istri
mengajukan permohonan perceraian kepada suami, maka hal tersebut justru tidak
adil bagi laki-laki. Dengan demikian, hal yang baik dilakukan terhadap suami
seperti itu adalah istri mendoakannya serta menyemangatinya agar dapat terpenuhi
kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya. Bukan justru menceraikan atau
meninggalkan suaminya tersebut.
3. Hadhanah
Menurut Sahal Mahfudh, hak asuh anak lebih kepada ibunya daripada
ayahnya. Hal tersebut dikarenakan ibu lebih sabar dan lembut daripada ayah,
kemudian ketika anak masih kecil, anak tersebut lebih membutuhkan ASI ibunya,
dan hubungan batin anak dengan ibunya lebih kuat. Selanjutnya biaya
pemeliharaan anak tetap tanggung jawab ayah berdasarkan kemampuannya.
Menurut penulis, bahwa pendapat Sahal Mahfudh mengenai hadhanah ini
belum termasuk keadilan jender, karena menurutnya ibu mempunyai rasa kasih
sayang yang kuat terhadap anaknya. Akan tetapi, pada kenyataanya tidak sedikit
kasih sayang seorang ayah pun mampu sama seperti kasih sayangnya seorang ibu,
sehingga tidak ada yang tidak mungkin, bahwa ayah bisa mengasuh anak secara
baik. Oleh karena itu, apabila ingin berkeadilan jender seharusnya pengasuhan
68
anak itu tidak harus kepada ibunya, melainkan ayah juga berhak mengasuh
anaknya. Karena sekarang ini tidak sedikit ayah juga memiliki rasa kasih sayang
yang penuh kepada anaknya dan lebih sabar dalam merawat anaknya.
4. Nusyuz
Dalam masalah ini Sahal Mahfudh menegaskan, ketika istri nusyuz
(melakukan pembangkangan) maka lebih baik diam dan mengedepankan dialog
untuk mencari solusi efektif dan menghindari cara-cara kekerasan. Hal ini sedikit
berbeda dengan pendapat para ulama klasik.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Sahal Mahfudh dalam penjelasan ini,
lebih berkeadilan jender. Dengan mementingkan dialog antara suami-istri agar
mendapat solusi yang terbaik diantara keduanya daripada harus memukul istri
meskipun untuk tujuan mendidik atau menasehati.
C. Kontribusi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Jender dalam
Dinamisasi Problematika Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi
terhadap dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut
dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada
dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.
Dengan demikian, Pemikiran jender Sahal Mahfudh merupakan angin segar
bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu
menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka
memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Jika hal ini
69
terjadi, maka masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan
dalam semua aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial
teknologi, dan lain-lain.
Pemikiran Sahal Mahfudh mendorong kaum perempuan untuk membumikan
ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan optimalisasi
kemanfaatan publik dan mencegah kerusakan dalam segala bidang. Pemikiran Sahal
Mahfudh mempercepat aplikasi ajaran Islam yang sesuai dengan maqasid as-
syari‟ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Secara filosofis, Sahal Mahfudh meneguhkan pandangan bahwa perempuan
sama dengan laki-laki sebagai makhluk Allah yang mempunyai tugas sebagai
„Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (mandataris Allah) yang bertanggung
jawab untuk mengelola bumi ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah. Artinya,
KH. MA. Sahal Mahfudh mendorong perempuan untuk meningkatkan kapabilitasnya
secara profesional sehingga bisa diposisikan sama dengan laki-laki.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan dalam
skripsi ini dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz.
Terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali tetap harus
izin kepada calon perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa
jika suami impoten, istri berhak mengajukan perceraian, sebab suami tidak dapat
memberikan nafkah batin. Demikian halnya ketika suami tidak mampu
memberikan nafkah jasmani, karena menurutnya ketiadaan nafkah jasmani
membawa dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah
batin. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa
ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu
terhadap anak lebih kuat, lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai melakukan
tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz, KH. MA. Sahal
Mahfduh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka suami lebih baik
diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari
cara-cara kekerasan.
71
2. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut
terlihat sekali lebih menjunjung tinggi keadilan jender. Hal ini terlihat dari
beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh
mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu
juga terkait nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak
memberi nafkah. Karena, nafkah adalah kewajiban suami. Akan tetapi terkait
hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi laki-laki.
Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan
mengenai nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz
komunikasilah yang paling efektif dan dapat menghindari kekerasan.
3. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi
terhadap dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat dari munculnya para pemikir-pemikir muda yang
pemikirannya tersebut seide atau senada dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.
B. Saran-saran
Akhir dari penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat bagi
kita semua, yaitu kepada penulis khususnya dan kepada para pembaca umumnya.
Adapun beberapa saran sehubungan dengan sasaran penelitian ini adalah sebagai
berikut:
72
1. Penelitian mengenai jender atau kesetaraan jender terutama dalam bidang hukum
keluarga masih perlu digalakkan untuk melihat lebih jauh dari segi problematika
hukum keluarga di Indonesia agar dapat mendapat solusi terbaik terhadap
masalah-masalah yang ada dalam keluarga.
2. Seorang perempuan haruslah memiliki kecerdasan dengan cara memperbanyak
ilmu dan pengalaman agar dapat mengikuti perkembangan zaman yang semakin
maju.
3. Untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai jender dan atau
sebagainya, sebaiknya lebih menekankan pada studi empiris. Dengan studi empiris
diharapkan dapat menampilkan teori-teori yang ada mengenai jender dengan
realitas kehidupan perempuan, agar dapat lebih diarahkan pada kondisi zaman
yang dinamis.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks.
Yogyakarta: elSAQ Press, 2005.
Abd. al „Afi, Hammudah. Keluarga Muslim. Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Ahkam al-Zawaj fi Dhau‟i al-Kitab wa al-Sunnah.
Jordania: Dar al-Nafa‟is, 1997.
Al-Bukhori, Muhammad Ibn Ismail. Matan al-Bukhori. Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub
al-„Arabiyah Isa al-Halaby, t.th.
Al-Jassas, Abi Bakr Ahmad Ibn „Ali al-Razi. Ahkam al-Qur‟an. jilid I. Beirut: Dar al-
Fikri, t.th.
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Al-Kasani. Bada‟i al-Shana‟i. Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982.
Al-Khin, M. dkk. Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i. Vol. 2.
Damaskus: Dar al-Qolam, 2005.
Al-Syafi‟i, Muhammad Idris. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikri, 1983.
An-Nawawi, Yahya Ibn Syarif. Minhaj al-Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh
Mazhab al-Imam al-Syafi‟i. Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996.
Anwar, Hafiz Muhammad. Wilayat al-Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy. Riyadh: Dar
Balansiyah, t.th.
Asmani, Jamal Ma‟mur. Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh
Elaborasi Lima Ciri Utama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.
As-Suyuti, Jalaluddin. ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma‟tsur. Cet. I. Beirut: Dar
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1990.
Baidowi, Ahmad. Memandang Perempuan, Bagaimana Al-Qur‟an dan Penafsir
Modern Menghormati Kaum Hawa?. Bandung: Marja, 2011.
Dahlan, Abdul Aziz. et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Intermasa, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
74
Dhafi, Zamakhsari. Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai). cet. 3
Jakarta: LP3ES, 1984.
Donovan, Josephine. Feminist Theory. New York: Continuum International, 2000.
El Baroroh, Umdah dan Tutik Nurul, Janah. Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh
Indonesia), Pati: Pusat Studi Pesantren & Fiqh Sosial, 2016.
Fakih, Mansoer. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Ghony, M. Djunaidi, Fauzan Almanshur. Petunjuk Praktis Penelitian Pendidikan.
Malang: UIN Malang Press, 2009.
Hamidah, Tutik. Fikih Perempuan Berwawasan Gender. Malang: UIN Maliki Press,
2001.
Haryono, Yudhie R. Bahasa Politik Al-Qur‟an. Jakarta: Gugus Press, 2002.
Hasyim, Syafiq. Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan
dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Ibn al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim. Juz III. Kairo: t.th.
Janah, Tutik Nurul. Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji. Pati: Staimafa
Press, Cet. I, 2005.
Karni, Asrori S, Abdul Wasik. Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai
Sahal. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam
Perspektif Agama Islam, (Jakarta, 2004.
Mahfudh, MA. Sahal. Dialog Dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, Solusi
Problematika Umat. Surabaya: Ampel Suci & LTNNU Jatim.
Mahfudh, MA. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, cet.1
Mahfudh, MA. Sahal. Pesantren Mencari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999.
Mahfudh, MA. Sahal. Wajah Baru Fikih Pesantren. Jakarta: Citra Pustaka, 2004.
Mahfudz, Asmawi. Pembaruan Hukum Islam, Telaah Manhaj ijtihad Shah Wali
Allah Al-Dihlawi. Yogyakarta: Teras, 2010.
75
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2011.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001.
Neufeldt, Victoria. Webster‟s New World Dictionary. New York: Webster‟s New
World Clevenland, 1984.
Ma‟luf, Louis. Al Munjid. Beirut: Dar al-Masyrik, 1975.
M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
Cet. XII, 1983.
Munawar, Ahmad Warson. Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
Mustakim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis. Yogyakarta: Logung Pustaka, tt.
Qal „aji, Muhammad Rowas. dan Hamid Sodiq Qanibi. Mu‟jam lughah al-Fuqaha.
Beirut: Dar al-Nafa‟is, 1985.
Rahman, Mujib, dkk. Kiai Sahal, Sebuah Biografi. Jakarta: Penerbit KMF Jakarta,
Cet. I, 2012.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Bandung: Al Ma‟arif, t.th.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-KAHFI,
2008.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Tiemey, Helen. Women‟s Studies Encyclopedia. Vol. I, New York: Green Press, t.th.
Wadud, Amina. Qur‟an menurut Perempuan. Jakarta: Serambi, 2001.
Zahrah, M. Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyyah-Qismu al-Zawaj...
Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu...