Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKAD NIKAH MELALUI MEDIA TELEKOMUNIKASI
(Studi Perbandingan Antara Pandangan Huzaimah Tahido Yanggo dan M.A. Sahal Mahfudh)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RICKI AHMAD FAISAL MUKHTAR
NIM:1112044100078
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2017M/1438H
iv
ABSTRAK
Ricki Ahmad Faisal Mukhtar. NIM 1112044100078. Akad Nikah Melalui
Media Telekomunikasi (Studi Perbandingan Antara Pandangan Huzaemah Tahido
Yanggo Dan M. Ahmad Sahal Mahfudh). Skripsi, Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017 M/ 1438 H.
Skripsi ini bertujuan untuk: mengetahui kedudukan akad nikah berdasarkan
persfektif hukum Islam, untuk memahami pandangan Huzaemah Tahido Yanggo dan
M. Ahmad Sahal Mahfudh tentang akad nikah melalui media telekomunikasi, dan juga
untuk mengetahui sisi persamaan dan perbedaan pandangan Huzaemah Tahido Yanggo
dan M. Ahmad Sahal Mahfudh.
Jenis penelitian ini adalah jenis kepustakaan (library research) yaitu penelitian
yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur atau penelitian
yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka. sumber-sumber data diperoleh dari
berbagai karya tulis seperti buku, artikel, jurnal, yang secara langsung maupun tidak
langsung membicarakan persoalan yang diteliti, dan melakukan pengumpulan data
melalui buku-buku, artikel, jurnal karya Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad
Sahal Mahfudh, serta literatur-literatur lain yang menunjang yang berkaitan dengan
akad nikah melalui media telekomunikasi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Huzaemah Tahido Yanggo berpendapat
bahwasanya akad nikah melalui telekomunikasi ini hukumnya sah dan diperbolehkan.
M. Ahmad Sahal Mahfudh berpendapat bahwasanya akad nikah melalui telekomunikasi
ini hukumnya tidak sah, karena beliau beranggapan bahwa akad nikah itu merupakan
suatu akad yang sakral (suci) dan berbeda dengan akad-akad yang lain. Keduanya
menitikberatkan kepada ittihadu fil majelis dalam proses akad nikah serta menyoroti
peran saksi/kesaksian. Perbedaan pandangan terletak pada konsep ittihad fil majelis dan
kesaksian, menurut Huzaemah Tahido Yanggo saksi itu bisa lebih dari dua sehingga
memungkinkan membagi para saksi pada dua tempat majelis dengan tidak
menghilangkan urgensi kesaksian serta pencatatan perkawinan, Sedangkan menurut M.
Ahmad Sahal Mahfudh, media telekomunikasi ataupun alat komunikasi lainnya itu
masih meragukan, sehingga tidak bisa menjamin sebagai pembuktian pernikahan dan
juga beliau berpendapat bahwa pernikahan merupakan hal yang sakral dan suci
sehingga harus dilaksanakan dengan baik dan aman.
Kata Kunci : Akad Nikah, Telekomunikasi, Studi Perbandingan, Huzaemah
Tahido Yanggo, Sahal Mahfudh.
Pembimbing : Dr. Hj, Azizah, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1960 s.d Tahun 2016.
v
KATA PENGANTAR
Segala puja-puji syukur bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang
telah melipmpahkan segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya di
dunia ini, terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Akad Nikah Melalui Media
Telekomunikasi (Studi Perbandingan Antara Pandangan Huzaemah Tahido
Yanggo Dan M. Ahmad Sahal Mahfudh) Sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan
motivasi dari berbagai sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi
dan tentunya dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga
terselesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Arip Purkon, M.A. Ketua dan
Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Hj. Azizah, M.A. pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan
serta saran-saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
vi
4. Sri Hidayati, M.A. Dosen Penasehat Akademik yang selalu
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan
saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mendidik dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis
beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan
pelayanan terpadu selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Kepada yang terisitimewa kedua orang tua penulis, Ayahanda dan
Ibunda (H. Mukhtar dan Hj. Jaleha), yang telah begitu banyak
mencurahkan perhatian, pengorbanan serta kasih sayangnya yang
tiada bandingannya di dunia ini. Kakak (Amir Syarifudin, Abu
Rizal, Iwan Setiawan) dan adikku (M. Akbar Ramadhan), tempat
bercanda dan berbagi di waktu luang maupun sempit.
7. Sahabat tersayang Istiqlali, Habibi, Reza, Andi Asyraf, Nur Alim
Amalkan, Satria Erlangga yang selalu memberikan semangat dan
warna kepada penulis. Semoga Allah selalu meridhai persahabatan
kita. Terima kasih untuk segala kenangan yang telah terukir,
semoga persahabatan kita tak berhenti sampai disini.
8. Keluarga besar HMI Komfaksy, Sahabat seperjuangan (Fawwaz,
Aslam, Binjo, Dzikri, Didin, Farid, dan Kanda-Yunda yang tidak
bisa disebutkan satu-persatu). Terkhusus kepada Keluarga Besar
HMI Hukum keluarga (Iqbal, Amir Khuzaifi, Ais, Fahra, Mela,
vii
Eno, Cile, Riyadh, Ilham, Rifki, Pace, Indra, Kurnia, Sidiq, Ulhaq,
Neng emawati), Sahabat Kecil Peradilan Agama-B angkatan 2012,
terkhusus penghuni Pohon Dosa (Faisal kemal, Cepi, Miqdad,
Anto, Zainudin, Alip, Izhar, Yahya, Zaenuri, Sule, Abay, Bobi,
Hannah, Ipeh, dan kalian yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu) teman-teman KKN Gelaskaca UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta, Gooners UIN, Sahabat Gie. Terimakasih untuk canda tawa
cerita yang selalu hadir dan akan selalu ada ayunan rindu untuk
kalian semua. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga sampai
kapanpun.
9. Mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dan memberikan doa, semangat serta motivasi kepada
penulis.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih perlu perbaikan. Oleh
karena itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan
umumnya serta dicatat menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Amin.
Ciputat, 16 Januari 2017
Ttd.
Ricki Ahmad Faisal Mukhtar
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 8
C. Pembatasan Masala ............................................................. 8
D. Rumusan Masalah ............................................................... 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 9
F. Tinjauan (review) Studi Terdahulu ...................................... 10
G. Metode Penelitian ................................................................ 13
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 16
BAB II PEMBAHASAN AKAD NIKAH MELALUI MEDIA
TELEKOMUNIKASI DALAM KAJIAN HUKUM ISLÂM
A. Pengertian dan Hukum Perkawinan ................................... 18
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ......................................... 24
C. Syarat dan Rukun Perkawinan............................................. 26
D. Urgensi Ijab Kabul dalam Perkawinan ................................ 33
ix
E. Akad Nikah Melalui Media Telekomunikasi ..................... 36
BAB III BIOGRAFI HUZAEMAH TAHIDO YANGGO DAN
MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUDH
A. Huzaemah Tahido Yanggo .................................................. 43
1. Biografi Huzaemah Tahido Yanggo .............................. 43
2. Aktifitas Dan Karir ........................................................ 44
3. Karya-Karya .................................................................. 45
B. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh ................................... 46
1. Biografi M. Ahmad Sahal Mahfudh .............................. 46
2. Aktifitas Dan Karir ........................................................ 51
3. Karya-Karya .................................................................. 54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN AKAD NIKAH MELALUI
MEDIA TELEKOMUNIKASI MENURUT HUZAEMAH
TAHIDO YANGGO DAN MUHAMMAD AHMAD SAHAL
MAHFUDH
A. Akad Nikah Melalui Media Telekomunikasi Menurut
Huzaemah Tahido Yanggo.................................................. 60
B. Akad Nikah Melalui Media Telekomunikasi Menurut M.
Ahmad Sahal Mahfudh ....................................................... 67
C. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Kedua Tokoh ......... 72
D. Analisis Penulis ................................................................... 73
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 77
B. Saran-saran .......................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan masyarakat sering melahirkan persoalan-persoalan
baru. Persoalan-persoalan baru tersebut jika dinisbatkan dengan ajaran Islam
maka paling tidak terdapat dua kemungkinan. Pertama, persoalan tersebut
apabila dicarikan landasan syar’i-nya, maka dapat ditemukan kedudukan
hukum dan jawaban yang tegas, jelas serta eksplisit pada sumber-sumber
utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua, tidak
ditemukannya landasan syar’i yang eksplisit atas persoalan-persoalan baru
dalam Al-Qur’an dan al-sunnah. Untuk yang kedua ini membutuhkan
pemikiran-pemikiran hukum dari ulama yang memiliki otoritas tentangnya.
Para ulama harus bekerja keras memecahkan dan mencari solusi atas
persoalan-persoalan baru tersebut. Berbagai langkah pun ditempuh, antara
lain melakukan kajian mendalam, berijtihad, dalam proyek reinterpretasi
terhadap sumber-sumber tekstual, termasuk memecahkan permasalahan yang
secara tekstual tidak didapati kejelasannya didalam kedua sumber ajaran
Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.1
Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang
dan meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis dan
kuantitasnya, mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat
1 Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. v
2
membawa dinamisasi dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu,
tempat, dan lingkungan dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap
syariah (hukum-hukum) Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa
hukum itu berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan
niat.” Sebagai contoh praktis untuk membuktikan pengaruh waktu, tempat,
dan lingkungan terhadap syariah Islam ini dapat ditangkap dari qawl qadim
dan qawl jadid Imam Syafii (150-204H) ketika ia berada di Irak dan di
Mesir.2
Perkembangan teknologi dari hari ke-hari semakin pesat dan
memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (discovery) dibidang kedokteran,
kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-teknologi baru
dibidang konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting penemuan
dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah internet, telepon, video call,
teleconference, handphone(hp), telegram, telegrap, faximile dan lain
sebagainya.
Warnet (warung internet) dan media telekomunikasi lainnya tumbuh
berkembang semakin maju. Sehingga tidak heran jika media komunikasi
semacam ini kini mulai sangat akrab dan kental dengan aktivitas kehidupan
masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas pergaulan (sosial media),
pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian, hiburan, dan bisnis online. Bahkan
telah terjagi praktek masyarakat yang menggunakan media telekomunikasi
tersebut untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
2 Hasbi Umar, “Nalar Fiqh Kontemporer”, h. 2
3
Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah
tangga. Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tercipta
keturunan yang baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.3 Dalam sejarah
peradaban umat manusia adanya lembaga perkawinan, disadari atau tidak,
merupakan faktor dominan dalam membentuk keteraturan umat manusia
sebagai makhluk sosial. Lebih dari itu, rumah tangga yang terbentuk atas
perkawinan ternyata dapat melahirkan hikmah yang amat tinggi nilainya.
Pasangan suami-isteri yang serasi dan taat akan mendatangkan kebahagiaan
dan melahirkan keturunan yang baik, sehingga akan terbentuklah keluarga
yang baik pula. Dari keluarga-keluarga yang baik inilah diharapkan terbentuk
masyarakat yang baik. Dan sekali lagi, sah atau tidaknya perkawinan menurut
Islam tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad
dalam perkwinan itu, maka berdasarkan dalil-dalil yang mereka temui, para
fuqaha telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun sahnya suatu akad
nikah.4
Perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Saripati aturan-aturan Islam
mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan, pewarisan dan lainnya ini
bersumber dari literatur-literatur fikih Islam dari berbagai madzhab yang
dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua
dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan
3 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer,
(Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h.134 4 Huzaemah Tahido Yanggo, dan Hafiz Anshary, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer”(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 106-107
4
dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan
perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di
masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad, dikarenakan
tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.
Sebagian fuqoha dalam mengemukakan hakikat perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat dari
sahnya perkawinan hanya terbatas pada timbulnya kebolehan terhadap
sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni hubungan badan antara laki-
laki dengan perempuan.5
Pemahaman seperti diatas muncul dari pengertian yang dapat disimak
dari definisi nikah yang mereka susun. Fuqaha dan para pengikut imam yang
empat (Syafi’i, Malik, Hanafi dan Hambali) umumnya mendefiniskan nikah
sebagai ‘aqd yang membawa kebolehan bagi seorang laki-laki (suami) untuk
berhubungan badan dengan seorang perempuan (isteri). Salah satu hal yang
bisa ditangkap dari rumusan ini adalah hakikat perkawinan (pernikahan) tidak
lain dari institusi yang diletakkan oleh syar’i guna menyalurkan tabiat
kemanusiaan yang memilik syahwat atau nafsu birahi, secara sah. Berkaitan
dengan hal ini, sebagaimana dimaklumi, perhubungan badan sebelum akad
nikah adalah perbuatan zina yang diharamkan. Dengan terlaksananya akad
nikah, maka perhubungan yang sebelumnya dilarang itu menjadi boleh dan
halal.6
5 Huzaemah Tahido Yanggo, dan Hafiz Anshary, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer”, h. 102 6 Huzaemah Tahido Yanggo, dan Hafiz Anshary, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer”, h. 102
5
Meskipun terlihat agak dangkal, akan tetapi justru menunjukkan betapa
pentingnya kedudukan akad nikah ditinjau dari sudut tabiat kemanusiaan.
Dengan terlaksananya akad nikah, yang haram menjadi halal. Karena itu, jika
tabiat kemanusiaan telah sampai pada tingkat mendesak, satu-satunya jalan
yang benar untuk ditempuh adalah melaksanakan pernikahan agar seseorang
jangan sampai terjerumus melakukan perbuatan zina.
Definisi lain dari akad nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan
agama. Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan
qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan
badaniah sebagaimana suami isteri yang sah yang mengandung syarat-syarat
dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.7
Salah satu rukun akad perkawinan yang disepakati ialah ijab dan qabul.
Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami. Berkenan pelaksanaan ijab dan
qabul ini, atas pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
muncul pertanyaan baru: sahkah akad nikah dan ijab qabulnya dilaksanakan
melalui telekomunikasi? Bahkan masalah baru ini bukan baru terbatas pada
pernyataan melainkan telah muncul berbagai kasus yang pernah terjadi dan
dilakukan oleh warga Indonesia yang beragama Islam. Tepatnya kasus akad
nikah melalui media telepon pada tanggal 13 Mei 1989 yang dialami oleh
pasangan Ario Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo dengan Nurdianti binti
7 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta:
elSAS, 2008), h. 3-4
6
Prof. Baharudin Harahap.8 Kemudian status pernikahan ini dimohonkan
pengesahannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya
Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan.
Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang memeriksa perkara
tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak baik.
Nikah melalui telepon, internet, atau media telekomunikasi
mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau
penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan
(confused/syak), apakah telah terpenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-
syarat nikahnya dengan baik. Dikhawatirkan jika akad dilaksanakan jarak
jauh maka akan terjadi manipulasi. Misalnya suaranya di dubbing ataupun
gambarnya dan backgroundnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan
merugikan pihak perempuan. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan
hadits Nabi/kaidah fikih:
دع ما ير يبك الى ما ل ير يبك
Artinya:“Tinggalkanlah sesuatu yang merugikan engkau,
(berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak merugikan
engkau.”9
م على جلب ا لمصا لح درع ا لمفا سد مقد
Artinya: “Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas
usaha menarik (mencari) maslahah.”10
8 Huzaemah Tahido Yanggo, dan Hafiz Anshary, “Problematika Hukum Islam
Kontemporer”, h.106-107 9 Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad,
Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, (Jakarta: Pustaka as-sunnah, 20070), Cet. 1, h. 498 10 Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad,
Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, h. 498
7
Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek
akad nikah tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju
dengan menggunakan fasilitas video teleconference. Teknologi video
teleconference lebih mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan
suara, teknologi ini dapat menampilkan gambar atau citra secara realtime
melalui jaringan internet. Hal ini seperti yang dipraktekkan oleh pasangan
Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4
Desember 2004 silam.11 Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria
sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta
mempelai wanita berada di Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat
melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan video teleconference dari
Indosat.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul
“Akad Nikah Melalui media Telekomunikasi” (Studi Perbandingan Pandangan
Antara Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad Sahal Mahfudh ). Penulis
tertarik karena kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait
masalah akad nikah melalui telekomunikasi. Oleh sebab itu, penulis ingin
membandingkan teori pemikiran hukum kedua tokoh tersebut karena
pembahasan mengenai persoalan baru atau fikih kontemporer itu memang
sangat dibutuhkan dan dinantikan oleh masyarakat Indonesia mengingat
bahwa persoalan zaman akan senantiasa baru dan tantangan masalah aktual
11 Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 desember 2004
8
fiqh semakin banyak, sementara nash Al-qur’an dan sunnah jumlahnya tetap
dan terbatas serta tidak mungkin bertambah lagi.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pandangan Islam tentang hakikat akad nikah yang di
dalamnya membahas esensi ijab dan qabul?
2. Bagaimana pandangan Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad
Sahal Mahfudh mengenai akad nikah melalui media
telekomunikasi?
3. Bagaimana relevansi pandangan antara Huzaemah Tahido Yanggo
dan M. Ahmad Sahal Mahfudh tentang akad nikah melalui media
telekomunikasi dalam konteks perkembangan masyarakat di
Indonesia?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah. Di sini penulis membahas tentang bagaiman akad nikah dalam
ruang lingkup hukum Islam. Kemudiam penulis melakukan perbandingan
pandangan antara Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad Sahal Mahfudh
mengenai akad nikah melalui media telekomunikasi, dan bagaimana relevansi
pandangan kedua tokoh tersebut tentang esensi akad nikah.
9
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana kedudukan akad nikah berdasarkan persfektif hukum
Islam?
2. Bagaimana pandangan Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad
Sahal Mahfudh tentang akad nikah melalui media telekomunikasi?
3. Bagaimana sisi persamaan dan perbedaan pemikiran antara
Huzaemah Tahido Yanggo dengan Sahal Mahfudh ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian:
1. Untuk mengetahui kedudukan akad nikah berdasarkan perspektif
hukum Islam.
2. Untuk memahami pandangan Huzaemah Tahido Yanggo dan M.
Ahmad Sahal Mahfudh tentang akad nikah melalui media
telekomunikasi.
3. Untuk mengetahui sisi persamaan dan perbedaan pandangan
Huzaemah Tahido Yanggo dan Sahal Mahfudh .
Kegunaan penelitian:
1. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum sera masyarakat luas pada umumnya.
10
2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah
kepustakaan Islam. Khususnya dalam bidang studi Hukum
Keluarga
3. Memberikan pandangan dan menambah wawasan baru dalam
persoalan fikih kontemporer yang berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi.
F. Review Studi Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan
review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas.
Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis diantaranya :
Skripsi dengan judul “Hukum Akad Nikah Melalui net meeting
teleconference” oleh Mizanul Jihad, jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Dalam penelitian tersebut,
Mizanul Jihad lebih cenderung bersifat umun dalam menerangkan tentang
pandangan hukum Islam, seperti rukun dan syarat tentang pelaksanaan akad
nikah melalui telekomunikasi net meeting teleconference. Sebagai hasil
analisisnya dia menyimpulkan bahwa akad nikah melalui telekomunikasi net
meeting teleconference itu sah berdasarkan pendekatan dari berbagai
pendapat ulama salaf.12
Skripsi dengan judul “Hukum Akad Nikah Melalui Media
Telekomunikasi (Studi Komparasi Mazhab Hanafi Dan Syafi’i), oleh
Rohmat, pada jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah
12 Mizanul Jihad, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Melalui Net Meeting
Teleconference,” Skripsi Pada Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, h.57-58.
11
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007. Rohmat
menjabarkan tentang hukum media telekomunikasi net meeting
teleconference dari sudut pandang perbandingan mazhab Hanafi dan Syafi’i
berbeda pendapat tentang penafsiran satu majelis. Mazahab Hanafi
menyatakan sah akad nikah itu dikarenakan memenuhi satu majelis, yaitu
dalam satuan waktu(berlangsung dalam waktu hampir bersamaan).
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i tentang akad nikah itu kurang afdal,
sebab akad nikah itu masih dikategorikan dua majelis. Dan sebagai hasil
analisisnya dia menyimpulkan bahwa sah akad nikah melalui telekomunikasi
dengan mengkomafarasikan pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i dengan
mempertimbangkan sudah cukupnya media sebagai pengganti dalam akad
nikah yang dapat dijamin bukti pelaksanaannya.13 Sedangkan skripsi yang
disusun oleh penyusun ini bukan komparasi beberapa mazhab, tetapi lebih
cenderung kepada pemikiran tokoh ulama zaman sekarang.
Skripsi dengan judul “Studi Komfarasi Pernikahan Secara Online
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” yang ditulis oleh Moh. Hasyim
Asy’ari pada jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung tahun 2016. Hasyim
membandingan hukum yg ada dalam Islam dan hukum positif Negara
Indonesia tentang pernikahan secara online. Dalam tulisannya Hasyim
menemukan bahwa pernikahan secara online belum diatur dalam UU
13 Rohmat, “Hukum Akad Nikah Melalui Telekomunikasi (Net Meeting
Teleconference) Studi Komparasi Mazhab Hanafi Dan Syafi’i,” Skripsi Pada Jurusan Al-
Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2007, h.91-92.
12
Perkawinan di Indonesia sedangkan dalam hukum Islam mutlak tidak
membolehkan. Sedangkan skripsi yang penulis bahas lebih spesifik dan detail
yakni membandingan pemikiran tokoh antara Huzaemah Tahido Yanggo dan
Sahal Mahfudh .14
Skripsi pada Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul, “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Melalui media net meeting
teleconference (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam K.H.M.A. Sahal
Mahfudh ) oleh Fatah Zukhrufi tahun 2012. Fatah memfokuskan pada hukum
akad nikah melalui telekomunikasi net meeting teleconference dengan
mendekatkan pada alur pemikiran KH.M.A. Sahal Mahfudh yang mana
beliau tidak mengesahkan akad nikah melalui media net meeting
teleconference. Karena beliau beranggapan bahwa suatu pernikahan
khususnya dalam akad nikah itu suatu yang berbeda dengan akad yang lain.
Akad nikah merupakan akad yang agung, suatu akad yang menyatukan dua
manusia untuk menjadi pasangan suami isteri yang mana diharapkan dari
keduanya nanti bisa menjadi keluarga yang sakinnah, mawaddah dan
rahmah15. Sementara itu, penyusun dalam penelitian ini menitikberatkan pada
hukum akad nikah melalui telekomunikasi net meeting teleconference dengan
mendekatkan alur pemikiran Huzaimah Tahido Yanggo yang mengesahkan
14 Moh. Hasyim Asy’ari, “Studi Komparasi Pernikahan Secara Online Menurut
Hukum Islam Dan Hukum Positif,” Skripsi Pada Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, 2016, h.88-89 15 Fatah Zukhrufi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Net Meeting
Teleconference (Studi Pemikiran K.H. M.A. Sahal Mahfudh)”, Skripsi Pada Jurusan Al-
Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012, h. 76
13
akad nikah melalui media telekomunikasi. Dengan demikian, pemikiran
Huzaemah Tahido Yanggo berkontradiksi dengan pendapat M. Ahmad Sahal
Mahfudh yang mana tidak mengesahkan akad nikah melalui media
telekomunikasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan
pemikiran tokoh antara Huzaemah Tahido Yanggo dan Sahal Mahfudh .
Keduanya dikenal sebagai tokoh ulama yang banyak menghasilkan karya-
karya dibidang hukum Islam.
Huzaemah Tahido Yanggo juga dikenal sebagai tokoh ilmu
perbandingan fiqh dan gigih menentang pemikiran-pemikiran kelompok
Islam liberal dan masih banyak lagi kiprahnya untuk menjaga kemurnian
ajaran Islam. Di dunia pendidikan, Prof. Huzaimah juga tercatat sebagai
perintis berdirinya Fakultas Dirasat Islamiyah, Program Studi Internasional
Berbahasa Arab kerjasama UIN Jakarta dengan Al-Azhar, Kairo.
G. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarrnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan
dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.16
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
16 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), h.2
14
Jenis penelitian ini adalah jenis kepustakaan (library research) yaitu
penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah
literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka. Sumber-
sumber data diperoleh dari berbagai karya tulis seperti buku, artikel, jurnal,
yang secara langsung maupun tidak langsung membicarakan persoalan yang
diteliti.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian menyusun
berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu sumber data
utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian
dengan menggunakan alat pengukur atau alat pengmbilan data langsung pada
subyek sebagai sumber informasi yang dicari.17 Adapun data primer yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi pustaka pemikiran
Huzaemah Tahido Yanggo dan Sahal Mahfudh .
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang peneliti gunakan ialah dengan melalui
observasi terhadap studi kepustakaan seperti buku, karya ilmiah, jurnal, serta
kasus-kasus berkaitan yang di dapat melalui sumber-sumber yang akurat.
Contohnya: Google.scholar
3. Teknik Pengumpulan Data
17 Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 91
15
Teknik pengumpulan data adalah proses diperolehnya data dari sumber
data, adapun sumber data adalah subyek dari penelitian yang dimaksud.18
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan
data-data kualitatif. Yaitu dengan mengumpulkan data dan mencari konsepsi-
konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan yang berhubungan
erat dengan pokok-pokok permasalahan.19 Pada penelitian ini, penulis
melakukan pengumpulan data melalui buku-buku, artikel, jurnal karya
Huzaemah Tahido Yanggo dan Sahal Mahfudh, serta literatur-literatur lain
yang menunjang dan berkaitan dengan akad nikah melalui media
telekomunikasi.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode yang
dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki unsur
kesamaam sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus. Analisa
dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan serta membandingkan
pemikiran Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad Sahal Mahfudh
menengai akad nikah dalam Islam secara umum lalu ditarik kesimpulan
khusus.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat
18 M. Subana, Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmia, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h., 115. 19 Khuzaifah, Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode penelitian Hukum, (Surakarta:
UMS Press, 2004), h., 47.
16
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi
atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang
menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas secara umum tentang akad nikah dalam Islam
secara mendetail dan juga tentang telekomunikasi. Pokok bahasan dalam bab
ini berisikan, definisi akad nikah dalam Islam dan juga definisi dari
telekomunikasi serta prosesi akad nikah melalui media telekomunikasi
tersebut.
Bab ketiga, dalam bab ini melihat sosok yang menjadi obyek penelitian.
diletakkan pada bab ini karena sebelum mengetahui bagaimana dan seperti
apa pemikiran kedua tokoh dalam hal ini pandangan Huzaemah Tahido
Yanggo dan M. Ahmad Sahal Mahfudh tentang akad nikah melalui media
telekomunikasi dengan terlebih dahulu mengetahui latar belakang dan
biografi kedua tokoh tersebut. Apa saja karyanya dan aktivitas selama ini
yang dihasilkan serta corak pemikirannya tentang hukum keluarga Islam.
Bab keempat, analisis untuk mengetahui argumentasi, validitas atas
dasar hukum yang diambil Huzaemah Tahido Yanggo dan M. Ahmad Sahal
17
Mahfudh tentang kelayakan media telekomunikasi/net meeting teleconference
sebagai alat pendukung prosesi akad nikah.
Bab kelima, merupakan bab terakhir dari rangkaian bab-bab yang ada
dalam skripsi ini, bab ini menjelaskan hasil dari penelitian yang dilakukan
dan saran-saran yang diberikan oleh peneliti untuk peneliti selanjutnya yang
akan mengkaji tentang tokoh yang menjadi obyek dalam penelitian ini. Bab
ini merupakan penutup dari serangkaian penelitian yang dilakukan oleh
peneliti.
18
BAB II
AKAD NIKAH MELALUI MEDIA TELEKOMUNIKASI
DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Hukum Perkawinan
Perkawinan menurut istilah fiqih diambil dari kata ‘nikah’ atau ‘zawaj’
yang berasal dari bahasa Arab, dilihat secara makna etimologi (bahasa)
berarti ‘berkumpul dan mendidih’, atau dengan ungkapan lain bermakna
‘akad dan setubuh’ yang secara syara’ berarti akad pernikahan1. Al-Nikah
mempunyai arti al-Wath’I, al-Dhommu, al-Tadakhul, al-Jam’u atau ibarat
‘an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul,
jima’ dan akad2.
Secara terminologi perkawinan/nikah yaitu akad yang membolehkan
terjadinya istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang
wanita tersebut bukan dengan seorang wanita yang diharamkan baik dengan
sebab keturunan atau seperti sebab susuan.3
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah. Sunnah Allah SWT
yang menentukan bahwa setiap makhluk-Nya yang ada dibumi ini hidup
berpasang-pasangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-
Dzariyat: 49:
جين لعلكم تذكرون ومن كل شيء خلقنا زو
1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar
Mazhab, (PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 1 2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011) h. 4 3 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 4
19
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
Dalam memaknai hakekat nikah ada ulama yang menyatakan bahwa
pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath’i), sedangkan
pengertian nikah sebagai akad merupakan pengertian yang majazy. Sementara
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad,
sedangkan pengertian nikah dalam arti bersenggama (wath’i) merupakan
pengertian yang bersifat majazy4.
Menurut ulama Hanafiah, “Nikah adalah akad yang memberikan faedah
(mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja)
bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut mazhab Maliki. Nikah adalah
sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab
Syafi’i, nikah dirumuskan dengan “Akad yang menjamin kepemilikan (untuk)
bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij; atau
turunan (makna) dari keduanya.” Sedangkan ulama Hanabilah
mendefinisikan nikah tangan “Akad (yang dilakukan dengan menggunakan)
kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang).”5
Menurut Sajuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia,
perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan6:
4 Asrorun Niam Soleh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
elSAS, 2008), h. 3 5 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 4 6 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986), Cet-5, h. 47
20
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu
perjanjian, oleh Al-qur’an Surat An-nisa ayat 21:
وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقا غليظا
Artinya: “Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal
kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah
mengambil janji yang kuat dari kalian?”
Dinyatakan perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut
dengan kata-kata “mitsaqan ghalizhan”. Juga dapat dikemukakan sebagai
alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah
karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah di atur terlebih dahulu
yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah
di atur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talaq, kemudian fasakh,
syiqaq dan sebagainya.7
2. Perkawinan dilihat dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui penilaian yang umum bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.8
3. Perkawinan dipandang dari segi agama.
Dalam agama, perkawinan di anggap sebagai suatu lembaga yang suci,
yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling
7 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 47 8 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 47
21
minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.9
Sebagaimana diingatkan oleh al-Qur’an surat an-Nisa ayat 1;
جال يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة و خلق منها زوجها و بث منهما ر
الذي تسائلون به و الرحام كان عليكم رقيبا كثيرا و نساء و اتقوا للا إن للا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan) mempergunakan (nama- Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan) peliharalah (hubungan
silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal
1 ayat 2 berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Dengan kata lain, pernikahan adalah suatu akad yang
secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan
merupakan ucapan seremonial yang sakral.10
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena
Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan ini, tegas dinyatakan bahwa perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga
9 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 47 10 Sobari Sahrani dan M.A Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Pt Rajagrafindo
Persada, 2009), h. 8
22
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki
unsur batin/rohani11.
Demikianlah Allah SWT mengokohkan bangunan keluarga dan
masyarakat dengan pondasi yang kuat sebagaimana firman Allah SWT dalam
al-Qur’an surat an-Nur ayat 32:
الحين من عباد و أنكحوا اليامى فضله كم و إمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم للا من منكم و الص
و للا واسع عليم
Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara
kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut
buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan
memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu
adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui
(akan nasib dan kehendak hambaNya)”
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan definisi lain yang tidak
mengurangi arti-arti definisi Undang-Undang tersebut di atas, namun bersifat
menambah penjelasan, dengan rumusan Pasal 2 sebagai berikut: “Perkawinan
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Kata miitsaqan ghalizan12 ini ditarik dari firman Allah SWT yang
terdapat pada surat An-nisa ayat 21 yang artinya:
ا غليظا وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاق
Artinya: “Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal
kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah
mengambil janji yang kuat dari kalian?”
11 Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 43 12 Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI, h. 43
23
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian tentang
perkawinan, pada pasal 26 yang menyebutkan bahwa undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas
hanya memandang hubungan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara
seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan
perkawinan
Dalam perspektif fiqh, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-
Qur’an, sunah dan ijma’. Dan dari segi ijma’. Para ulama sepakat mengatakan
nikah itu di syariatkan13. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun
bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu
untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan zina.
Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan
haram.
2. Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan
membawa mudarat kepada isterinya karena ketidakmampuan dalam
memberi nafkah lahir dan batin.
3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila
tidak menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan
perbuatan haram dan, apabila ia menikah, ia yakin tidak akan
menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya.
13Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI), h. 5
24
4. Makruh hukumnya apabila seorang secara jasmani cukup umur
walau belum terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai
penghasilan tetap sehingga bila ia kawin akan membawa
kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya14.
B. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan
Di antara tujuan dan hikmah perkawinan adalah agar tercipta suatu
keluarga atau rumah tangga yang harmonis, penuh kedamaian, saling terjalin
rasa kasih sayang antara suami-isteri. Untuk membangun rumah tangga ideal
tersebut, harus melalui ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan-
ketentuan ajaran Islam15. Hanya dengan cara demikian, konsekuensi adanya
hak dan kewajiban serta rasa tanggung-jawab antara pasangan suami-isteri
dapat muncul dalam membina dan membangun keluarga yang sejahtera dan
bahagia, sebagaimana dalam surat ar-Rum ayat 21:
ة ورحمة إن في لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم اته أن خلق ومن آي ذلك مود
آليات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan
rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum
21].
Dan melalui ikatan perkawinan tersebut diharapkan lahirnya generasi
penerus yang berkualitas dan dapat melangsungkan keturunan umat manusia
sebagai khalifah dimuka bumi ini. dalam surat An-nahl ayat 72:
14 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 12 15 Hasanudin AF, Perkawinan dalam perspektif al-Qur’an: nikah, talak, cerai, ruju,
(Jakarta: Nusantara Damai Press, 1999), h. 12
25
جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بن ات ين وحفدة ورزقكم من الطيب وللا
هم يكفرون أفبالباطل يؤمنون وبنعمة للا
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu,
anak-anak dan cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-
baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah. “
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut:
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan.
2. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Memperoleh keturunan yang sah.
4. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan
yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab.
5. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah
(Keluarga yang tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang).
6. Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati
perintah Allah SWT bertujuan untuk membentuk dan membina
tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan syarat Hukum Islam.
Hikmah melakukan perkawinan yaitu sebagai berikut:16
1. Menghindari terjadinya perzinahan.
16 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 11
26
2. Menikah dapat merendahkan pandangan mata dari melihat
perempuan yang diharamkan.
3. Menghindari terjadinya penyakit kelamin yang diakibatkan oleh
perzinahan seperti aids.
4. Lebih menumbuh-kembangkan kemantapan jiwa dan kedewasaan
serta tanggung jawab kepada keluarga.
5. Nikah merupakan setengah dari agama.
6. Menurut M Idris Ramulyo hikmah perkawinan dapat menimbulkan
kesungguhan, keberanian, kesabaran, dan rasa tanggung jawab
kepada keluarga, masyarakat dan negara. Perkawinan
memperhubungkan silaturahmi, persaudaraan dan kegembiraan
dalam menghadapi perjuangan hidup dalam masyarakat dan
sosial.17
C. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan
umpama rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan
tidak sah apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian
17 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 11
27
atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang
berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya18.
Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang
berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri
sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di
antara para ulama. Syarat dan rukun nikah dalam sebuah hukum fiqh
merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil (nash)
serta kondisi objektif masyarakat setempat. Menurut jumhur ulama, rukun
nikah itu ada 4, yaitu: 1) shighah (ijab dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon
suami dan (4) wali. Berbeda dengan Hanafiyah, yang mengatakan bahwa
rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul, tidak ada yang lain. Al-
Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada
lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada
akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini di syaratkan bebas dari
halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram) dan (5)
sighah. Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun
sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua
saksi dan (5) sighah.
Ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah.
Pada hakikatnya rukun nikah yang hakiki adalah kerelaan hati kedua belah
pihak (laki-laki dan wanita). Karena kerelaan tidak dapat diketahui dan
18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 59
28
tersembunyi dalam hati, maka hal itu harus dinyatakan melalui ijab dan
qabul. ijab dan qabul adalah merupakan pernyataan yang menyatukan
keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri masing-masing dalam
suatu perkawinan19. Sementara, selain pada dua hal tersebut, mereka berbeda
pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan qabul
adalah suami, istri, wali dan dua saksi. Adapaun menurut Malikiyah, selain
ijab dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali dan
mahar.
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas
bermadzhab Syafi’i adalah yang lima, yakni: (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4)
dua saksi dan (5) sighah20.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan adalah suatu perbuatan
hukum. Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum,
berupa hak dan kewajiban baik bagi suami istri itu sendiri maupun bagi orang
ketiga. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya itu21.
Ini berarti untuk menentukan sah tidaknya perkawinan seseorang, ditentukan
oleh ketentuan hukum agama yang dipeluknya. Bagi seorang Islam, misalnya,
sah tidaknya perikahan yang dilakukan tergantung pada dipenuhi tidaknya
semua rukun nikah menurut hukum (agama) Islam.
19 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, ( Jakarta: SIRAJA,
2003), h. 55 20 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 125 21 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), h. 28
29
Adapun kalau kita perhatikan bahwasanya Undang-Undang Perkawinan
sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang
Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana
syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan22. Di dalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan
sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mammpu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
22 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 61
30
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 14;
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
1. Calon Suami;
2. Calon Isteri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi dan;
5. Ijab dan Kabul.
Yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi’i dengan tidak
memasukkan mahar dalam rukun.
Syarat- syarat Perkawinan dalam Hukum Perdata, terdiri dari23:
1. Syarat Materil
Syarat Materil adalah syarat yang dihubungkan dengan keadaan pribadi
orang yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu :
23 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta:
PT Pradnya Pramita, 2002), Cet. Ke-32, h. 8
31
a. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan
kawin sehingga tidak terjadi bigami (pasal 27 KUH.Perdata).
b. Persetujuan sukarela antara kedua belah pihak (pasal 28
KUH.Perdata).
Memenuhi ketentuan umur minimum yakni pria 18 tahun dan
wanita 15 tahun (pasal 29 KUH.Perdata).
c. Bagi wanita yang putus perkawinan harus telah melewati 300 hari
sejak putus perkawinan sebelumnya (pasal 34 KUH.Perdata). Izin
atau persetujuan pihak ketiga bagi :
1) Orang yang belum dewasa (minderjaring) dari orang tua atau
walinya (pasal 35 – 37 KUH.Perdata).
2) Orang yang berada dibawah pengampuan (curandus) (pasal 38 dan
151 KUH.Perdata).
3) Perkawinan tidak dilakukan dengan orang-orang yang dilarang oleh
undang-undang yaitu:
a) Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan darah
atau keluarga.
b) Antara keluarga dalam satu garis lurus keatas dan kebawah dan
antara keluarga dalam garis lurus kesamping, misalnya saudara
laki-laki dengan saudara perempuan baik sah maupun tidak sah
(pasal 30 KUH.Perdata)
c) Antara ipar laki-laki dengan ipar peremuan, antara paman dan bibi
dengan kemenakan (pasal 31 KUH.perdata).
32
d) Larangan perkawinan antara mereka yang karena putusan hakim
terbukti melakukan overspel (pasal 32 KUH.Perdata)
e) Larangan kawin karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya,
selama belum lewat waktu satu tahun (pasal 33 KUH.Perdata).
Syarat Materil dalam poin a,b,c,d dan e disebut syarat Material Mutlak,
yaitu syarat yang apabila tidak dipenuhi maka orang tidak berwenang
melakukan perkawinan atau perkawinan tidak dapat terjadi atau batal demi
hukum.
2. Syarat Formil
Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau
formalitas–formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu:
a. Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil
(pasal 50 KUH.Perdata).
b. Pengumuman kawin (huwelijks afkondiging) dikantor Catatan Sipil
(pasal 28 KUH.Perdata).
c. Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak berdiam di
daerah yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan
Sipil tempat pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing
(pasal 53 KUH.Perdata).
d. Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman
kawin tersebut (pasal 75 KUH.Perdata)
e. Jika pengumuman kawin (Huwelijks afkondiging) telah lewat satu
tahun, sedang perkawinan belum juga dilangsungkan, maka
33
perkawinan itu menjadi kadaluarasa dan tidak boleh dilangsungkan
kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru
(pasal 57 KUH.Perdata).
D. Urgensi Ijab Kabul Dalam Perkawinan
Ada dua istilah dalam Alqur’an yang berhubungan dengan perjanjian,
yaitu al-aqda (akad) dan al’ahd (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah
satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung menjadi seperti
seutas tali yang satu.24
Akad nikah adalah didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela.
Oleh karena perasaan rela sama rela itu adalah hal yang tersembunyi, maka
sebagai manisfestasinya adalah ijab dan kabul. Oleh karena itu, ijab dan kabul
adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad nikah.25 Ijab diucapkan oleh
wali, sebagai pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya kepada calon
suami, dan kabul diucapkan oleh calon suami, sebagai pernyataan rela
mempersunting calon istrinya. Lebih jauh lagi ijab berarti menyerahkan
amanah Allah kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang bagi
kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dengan ijab dan kabul menjadi
halal sesuatu yang tadinya haram.26 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh muslim, Rasulullah bersabda: “ takutkah kalian kepada Allah dalam hal
24 Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Di Indonesia, (Jakarta:PT Prenada Media,
2007), h.45 25 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h.2 26 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 3
34
wanita. Mereka (perempuan) ditangan kalian sebagai amanah dari Allah,
dan dihalalkan bagi kalian dengan kalimat Allah.”
Yang dimaksud “kalimat Allah” dalam hadits tersebut ialah ucapan ijab
dan kabul. Oleh karena demikian penting arti ijab dan kabul bagi keabsahan
akad nikah, maka banyak persyaratan secara ketat yang harus dipenuhi untuk
keabsahannya. Diantaranya adalah ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam
melakukan akad nikah.27
Al- Jazairi menyimpulkan bahwa rukun nikah ada dua. Pertama, al-
ijab,yaitu lafaz yang muncul dari wali atau orang lain yang menempati
kedudukan wali. Kedua, al-qabul, yaitu shighat lafadz yang muncul dari
calon suami atau orang lain yang menempati kedudukannya. Dengan ini,
dapatlah diketahui bahwa esensi akad nikah terdiri atas tiga faktor: al-ijab, al-
qabul, dan “ikatan” yang timbul atas akibat terlaksananya al-ijab, al-qabul,
tersebut. Adapun yang dimaksudkan dengan “orang lain yang menempati
kedudukan wali atau kedudukan calon suami” seperti tersebut di atas adalah
wakil, dalam keadaan jika keduanya atau salah satu mewakilkan atau diwakili
orang lain.28
Selain dari rukun nikah, Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Malik sepakat
menyatakan bahwa syahadah, yakni kesaksian, merupakan syarat
nikah.29Sedangkan Abu Tsaur dan satu jamaah berpendapat, kesaksian sama
sekali bukanlah merupakan syarat nikah; bukan syarat sah, dan bukan pula
27 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 3 28 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008) h.108 29 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.108
35
syarat tamam. Pendapat seperti dalam praktek telah dilakukan oleh Hasan bin
Ali. Diriwayatkan darinya bahwa ia telah melaksanakan nikah tanpa saksi,
akan tetapi ia umumkan bahwa ia telah menikah.30
Para ulama memang berselisih pendapat mengenai apakah kesaksian itu
merupakan syarat sahnya akad nikah, atau hanya merupakan syarat tamam.
Kendati demikian, mereka sependapat bahwa tidak sah nikah sirr. Pangkal
tolak perselisihan para fuqoha tentang masalah kesaksian ini ialah perbedaan
anggapan mereka dalam menghadapi hadis-hadis yang berkenaan dengan
masalah kesaksian ini. Di antara fuqaha ada yang berpendapat bahwa hadis-
hadis tentang syahadah itu sanadnya lemah, dan bahkan ada yang munqathi.31
Dengan menetapkan kesaksian sebagai syarat sahnya akad nikah, selain
mengamalkan hadis-hadis yang menyuruh adanya saksi dalam pernikahan,
sekaligus juga mengamalkan hadits yang menganjurkan perlunya
pengumuman setelah nikah kepada orang banyak. Dengan kata lain, anjuran
mengumumkan peristiwa pernikahan itu secara minimal sudah dapat dicakup
dengan menetapkan adanya dua orang saksi laki-laki dalam akad nikah. Akan
tetapi hal terakhir ini bukanlah alasan terpenting untuk menyetujui pendapat
yang mengatakan perlu adanya dua saksi laki-laki itu, yang lebih mendasar
lagi sebagai bahan pertimbangan ialah karena mengingat hukum zina amatlah
berat. Dengan adanya saksi dalam akad nikah maka suami isteri yang sudah
kawin itu tidak akan dapat dituduh melakukan zina atau kumpul kebo yang
30 Ibn Rusyd, Bidayat Al-mujtahid, (Mesir: Mushtafa Al- Babiy Al-Halabiy, 1960, Jl.
II), h.18. 31 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.109
36
sangat dilarang oleh Islam dengan ancaman hukuman yang sangat berat.
Sebaliknya pula suami atau isteri tidak akan dapat memungkiri perkawinan
itu lagi dengan alasan sepihak, karena perkawinan mereka telah disaksikan
oleh orang yang memang sah menjadi saksi, kecuali secara resmi menggugat
untuk cerai. Kemungkinan untuk memungkiri perkawinan itu juga masih
dapat terjadi bila pernikahannya bersifat sirriy, umpamanya pernikahan itu
hanya disaksikan oleh saksi yang tidak resmi dan bersifat pasif. Oleh
karenanya, maka tepat sekali jumhur berpendapat bahwa nikah sirriy tidak
sah.32
E. Akad Nikah Melalui Media Telekomunikasi
Dewasa ini tingkat pengetahuan manusia semakin maju. Komunikasi
antar anggota masyarakat tidak hanya dilakukan ketika mereka berdekatan,
akan tetapi juga dapat diadakan komunikasi jarak jauh. Artinya, antara
komunikator (sumber) dan penerima (komunikan/sasaran) tempatnya
berjauhan. Untuk dapat berlangsungnya komunikasi jarak jauh seperti
demikian, diperlukan semacam alat (media) pengangkut/penyampai
(transportasi) khusus.33
Definisi dari telekomunikasi adalah pertukaran informasi (perubahan
bentuk informasi) pada hubungan jarak jauh, dimana pertukaran informasi
(dimana terjadi perubahan “format informasi”) pada hubungan komunikasi
jarak jauh yang terjadi secara elektris/elektronis dimana terdapat beberapa
32 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.109 33 Gouzali saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia (Bandung : Alfabeta, 2006,
Cet. Ketiga), h. 6
37
contoh dari jenis informasi yaitu: suara= telepon, suara dan gambar= video
phone, tulisan yang dicetak (berita)= telegrafi/telex, tulisan yang dicetak
(data)= komonikasi data, tulisan yag dicetak (teks)= teletex, dokumen=
telefax, gambar= televisi, video tex, gambar, tulisan dan suara= multimedia.34
Telekomunikasi adalah sejenis komunikasi elektronika yang
menggunakan perangkat-perangkat telekomunikasi untuk berlangsungnya
komunikasi yang kita maksudkan. Dengan demikian, telekomunikasi
merupakan upaya lanjutan komunikasi yang dilakukan oleh manusia disaat
jarak sudah tidak mungkin lagi memberikan toleransi antara kedua pihak
yang sedang melakukan komunikasi. Bila jarak kedua pihak masih dekat,
maka keduanya masih bisa melakukannya dengan suara, memberikan isyarat,
atau berteriak bila jarak tersebut makin jauh. Tetapi kalau jarak sudah ratusan
bahkan ribuan kilometer, maka komunikasi yang merupakan kebutuhan
manusia tadi masih bisa dilakukan, yaitu melalui media telekomuikasi.35
Telekomunikasi, terdiri dari dua suku kata, yaitu tele= jarak jauh, dan
komunikasi= kegiatan untuk menyampaikan berita atau informasi. Jadi
telekomunikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya
penyampaian berita dari suatu tempat ke tempat lainnya (jarak jauh) yang
menggunakan alat atau media elektronik.36
Pasal 1 Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
mengemukakan definisi atau pengertian telekomunikasi, bahwa:
34 Uke kurniawan Usman, Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandung : Informatika
Bandung, Cet. Kedua), h.1 35 Gouzali saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia, h. 7 36 Gouzali saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia, h. 7
38
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.
Sedangkan alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang di
gunakan dalam bertelekomunikasi. Kemudian dalam pasal 4 Undang-undang
yang sama dijelaskan lagi bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan
pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Pembinaan tersebut diarahkan
untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.37
Sah atau tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada
akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu,
maka berdasarkan dalil-dalil yang mereka temui, para fuqaha telah berijtihad
menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya suatu akad nikah.38
Salah satu dari rukun akad perkawinan yang telah disepakati ialah ijab
dan qabul. Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami. Berkenaan dengan
pelaksanaan ijab dan qabul ini, atas pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan baru; sahkah akad nikah yang
ijab dan qabulnya dilaksanakan melalui telepon? Bahkan masalah ini bukan
baru terbatas pada pertanyaan melainkan telah muncul sebagai kasus yang
telah terjadi dan dilakukan oleh warga negara Indonesia yang beragama
Islam. Tepatnya, kasus akad nikah melalui telepon dimaksud ialah seperti
37 Gouzali saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia, h. 8 38 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.107
39
yang dialami oleh pasangan Ario sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo
dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharuddin Harahap.39
Dari uraian mengenai ijab-qabul dan saksi sebagaimana uraian diatas,
maka dapat difahami mengapa para fuqaha sepakat mensyaratkan
pelaksanaan akad nikah itu hendaklah dalam satu majlis – artinya baik wali
ataupun yang mewakilinya, maupun calon suami ataupun yang mewakilinya
dan kedua orang saksi semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan
ijab dan qabul. Dari sini maka barangkali sudah bisa diajukan pertanyaan;
apakah dengan kehadiran “suara” saja baik ijab untuk calon suami maupun
qabul untuk wali atau yang mewakili keduanya, dianggap menyimpang dari
pengertian satu majlis dalam akad nikah? Di sinilah sebenarnya permasalahan
pokok yang harus dipecahkan dalam menghadapi kasus nikah melalui
telepon. Permasalahan lain yang muncul berikutnya ialah taukil yakni
mewakilkan dalam nikah; apakah suara lewat telepon itu dapat disejajarkan
dengan kedudukan wakil dalam nikah?40
Dalam kenyataan dapat dialami langsung oleh siapa saja walaupun oleh
orang yang tak mengerti seluk beluk teknologi telepon, bahwa telepon dapat
menyampaikan suara dari jarak jauh. Suara yang disampaikan melalui telepon
itu bisa terdengar persis sebagaimana dari sumbernya. Baik sumber itu
langsung orang ataupun rekaman kaset.41 Bahkan walaupun pada jarak jauh
39 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.107 40 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.110 41 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.110
40
telepon dapat mengirimkan suara itu dengan cepat, sebanding dengan
kecepatan suara ketika dua orang berbicara dengan berhadap-hadapan
langsung dalam satu tempat.demikian pula halnya walaupun melalui
mediator, mic dan loudspeaker umpamanya, agar suara yang muncul
bertambah keras sehingga bisa didengar oleh orang banyak, telepon tetap
dapat menyampaikan suara dari sumbernya secara persis – terutama tekanan
vokalnya.
Dengan perkataan lain, menipulasi suara dalam telepon hanya mungkin
terjadi melalui sumber yang berupa rekaman, baik rekaman piringan hitam,
tape recorder, maupun video cassete. Selama dapat diketahui bahwa suara
dalam telepon benar-benar bersumber dari orang yang sedang bicara
langsung, maka tidaklah perlu diragukan akan terjadi penyamaran.42
Untuk mengetahui dari siapa suara dalam telepon sudah barang tentu
pertama, antara dua pihak yang terlibat dalam pembicaraan terlebih dahulu
harus sudah saling mengenal sebelumnya. Kedua, apakah suara itu langsung
atau rekaman hal ini dapat diuji dengan konteks atau tidaknya pembicaraan
antar kedua belah pihak untuk membuktikan apakah suara itu reaksi langsung
atau bukan. Kalau yang terakhir ini sudah terbukti, maka hakikat pembicaraan
sama dengan berhadap-hadapan tanpa berhadapan secara fisik.43
Berdasarkan data seperti tersebut diatas, selama dua pihak yang
berbicara melalui telepon sudah saling mengenal sebelumnya, sejauh itu pula
42 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.111 43 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.111
41
pembicaraan melalui telepon atau media telekomunikasi sejenisnya itu sama
dengan pembicaraan dalam satu majlis. Adapun pengecekan secara fisik,
maka hal itu kalau memang dianggap perlu akan dapat diatur sebelumnya dan
dibuktikan lebih lanjut setelah pembicaraan di telepon itu selesai. Untuk
kepentingan ini misalnya dapat dilakukan dengan menetapkan saksi-saksi
yang cakap bertindak.44
Maka, dapatlah diambil penegasan sementara bahwa ijab dan qabul
dalam akad nikah dapat dilakukan melalui media telekomunikasi berupa
telepon karena telepon kenyataannya tidak menghalangi terjadinya dialog
langsung antara pihak-pihak yang berbicara sebagaimana yang dilakukan
dalam ijab qabul dalam satu majelis. Dengan memakai alat pengeras suara,
suara dalam telepon akan dapat didengar oleh sekitarnya – dalam akad nikah
para saksi akan dapat mendengarkan langsung semua shighat dan lafadz ijab
dan qabul. Untuk memastikan apakah suara yang ada dalam telepon itu benar-
benar suara wali atau wakilnya yang bertindak mengijabkan, maka
disyaratkan calon suami harus mengenalnya terlebih dahulu.45
Dan untuk meyakinkan lebih dalam lagi sebelum ijab dimulai harus
dilakukan tanya-jawab tentang kebenaran identitas masing-masing sekaligus
mencek suara, untuk mencocokannya dengan suara dalam ijab dan qabul.
Demikian pula sebaliknya, wali yang mengijabkan disyaratkan sebelumnya
sudah mengenal betul suara calon suami, agar dalam qabul diperoleh
44 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.111 45 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.112
42
kepastian bahwa yang menyatakan qabul itu memang bukan orang lain.
Dengan ungkapan ini, yang dimaksudkan dengan mengenal suara disini ialah
telah terjalin keakraban sebelum dilaksanakan akad.46
Keadaan seperti itulah yang telah dialami keluarga Prof. Dr.
Baharuddin Harahap dengan calon suami puterinya yang sedang berada di
Amerika pada waktu itu.47 Dengan keakraban yang memang telah terjalin
sejak sebelumnya, maka sang profesor merasa begitu terharu dan khidmat
dalam pelaksanaan pernikahan anaknya melalui media telepon yang
berlangsung pada tanggal 13 Mei 1989. Jarak yang amat jauh antara Jakarta
dan Amerika dirasakan begitu dekat melingkupi suasana pernikahan lewat
media telekomunikasi berupa telepon itu.
46 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.112 47 Majalah, Amanah, No: 77, juni 1989, h. 12, 104-105
43
BAB III
MENGENAL HUZAEMAH TAHIDO YANGGO DAN M.
AHMAD SAHAL MAHFUDH
A. HUZAIMAH TAHIDO YANGGO
1. Biografi Huzaemah Tahido Yanggo
Huzaemah Tahido Yanggo lahir pada tanggal 30 Desember tahun 1946
di Palu Sulawesi Tengah, beliau adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri Jakarta. Tugas umumnya adalah sebagai
dosen di Fakultas Syariah dan Hukum serta Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1987.1
Riwayat pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) Negeri dan
Madrasah Ibtidaiyah AlKhairaat, Palu (tamat 1959), lalu ke SMP Negeri
Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Alkhairaat empat tahun (tamat 1963),
kemudian di PGAN enam tahun di Palu (tamat 1967). Setelah meraih gelar
Sarjana Muda (BA) dari Fakultas Syari’ah Universitas Islam Al- Khairaat
Palu (1975)2. Ia melanjutkan ke Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab
jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (tahun
1977) dan memperoleh gelar Master of Arts (MA), tahun 1981 dengan
Yudisium Cumlaude. Gelar doktor diperolehnya pada tahun 1984 di
1 Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Palu: Yamiba, Cet.1,
2013), cover halaman 2 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,
2003), Cet. III, h. 178.
44
universitas yang sama dengan spesialisasi di bidang Hukum Islam
Perbandingan. 3
2. Aktifitas dan Karir
Dalam dunia pendidikan, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan
Perbandingan Mazhab Dan Hukum tahun 1988-2002 dan sebagai Pudek 1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2002-
2006 dan dosen Universitas Al-Khairat pusat Palu sejak 1985. Sampai
sekarang juga aktif menjadi Dosen pada beberapa Perguruan Tinggi di
Jakarta, yaitu di Institut Ilmu Al-qur’an (IIQ) Jakarta dan Sekolah Tinggi
Agama Islam Darun-Najah masing-masing sejak tahun 1987, Univesitas
Muhammadiyah Jakarta sejak tahun 1991, Institut Islam Darur Rahman tahun
1992-1998, anggota dewan penilai karya ilmiah kenaikan pangkat dosen
IAIN/STAIN/UIN tahun 1990-2007 dan guru besar 1999-2008, Ketua Pusat
Studi Wanita IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1994-1998 dan Direktur
Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta sejak 1998, salah seorang ketua
PB. Al-Khairat sejak 1996.
Selain itu juga beliau pernah terpilih dalam MUNAS MUI sebagai salah
satu seorang ketua MUI 2 periode, yaitu tahun 2000-2010 dan sejak 2010
diangkat menjadi wakil ketua komisi Fatwa MUI. Beliau juga menjadi ketua
dewan pengawas Syariah Asuransi Syariah Great Ekstern sejak tahun 2000,
anggota dewan pengawas Syariah bank Niaga Syariah tahun 2005-2010, lalu
menjadi ketua dewan pengawas Syariah Asuransi Syariah AXA sejak tahun
3 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), Cet. I, h.211
45
2009, anggota dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Sejak tahun 1999,
anggota komisi fatwa MUI tahun 1987-2000 dan lain-lain.4
Dan dari tahun 2014 kemarin, beliau sedang menjabat sebagai Rektor
Instititut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta periode 2014-2018 menggantikan
Rektor sebelumnya yaitu Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad MA. Prof.
Huzaemah dalam sambutannya ia mengatakan; “Saya dipilih menjadi Rektor
IIQ, padahal saya bukan yang terbaik di antara kalian. Bila saya dalam
memimpin IIQ, sesuai dan sejalan dengan visi, misi dan tujuan mulia IIQ
Jakarta, maka dukunglah dan bantulah saya. Dan bila saya tidak sesuai
dengan visi, misi dan tujuan mulia IIQ, maka tegurlah saya”. Demikianlah
beliau menyampaikan pidatonya, mirip sebagaimana ketika Sayyidina Abu
Bakkar as-Shiddiq ketika dibai’at menjadi khalifah. Lebih jauh, beliau di
antaranya mengatakan; “Saya akan melanjutkan hal-hal atau program-
program yang baik yang pernah dilakukan kepemimpinan sebelum saya, dan
akan meneruskan program-program yang belum selesai dilakukan oleh
kepemimpinan sebelum saya, seperti upaya penambahan program studi, dari
tiga prodi yang selama ini dimiliki IIQ Jakarta, menjadi enam Prodi”.5
3. Karya-Karya
Tidak kurang dari 100 karya tulis (ilmiah) dari kegiatan seminar atau
simposium yang diikutinya didalam dan diluar negeri, baik sebagai peserta
atau pemakalah mengenai persoalan agama terutama hukum islam,
4 Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, cover halaman 5 “Pelantikan Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo Ma. Sebagai Rektor Iiq Jakarta
2014-2018”, Artikel diakses pada tanggal 08 November 2016, jam 01:17 wib.
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/warta/44-warta/365-pelantikan-prof-dr-hj-
huzaemah-t-yanggo-ma-sebagai-rektor-iiq-jakarta-2014-2018.
46
pendidikan, wanita dan IPTEK. Disela-sela kesibukkannya, ia juga sempat
melakukan penelitian secara individual maupun kolektif (tim), terutama
tentang pendidikan dan hukum islam.
Hasil tulisannya menghiasai banyak majalah dan media masa seperti
majalah Ahkam, Harkat, Akrab dan Studi Islamika. Beliau juga mengisi
Forum Konsultasi Agama Islam dalam majalah PARAS. Beberapa karya
tulisnya banyak menghiasi berbagai majalah dan media masa, seperti majalah
Ahkam, Harkat, Akrab, Studia Islamika, dan lain-lain. Adapun karya tulis
yang telah dibukukan dan diterbitkan, antara lain6:
1. Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997, Cetakan
Pertama)
2. Perempuan: Antara Idealitas dan Fakta Kekinian (Jakarta: Bmoiwi,
2003)
3. Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung:
Angkasa, 2005)
4. Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam (Adelina, 2005)
5. Fikih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak
(Jakarta: Mawardi Prima, 2005)
6. Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)
7. Hukum Keluarga Dalam Islam (Jakarta: IKAPI, 2013)
B. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUDH
1. Biografi M. Ahmad Sahal Mahfudh
6 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h.211
47
Kiai Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad
Sahal Bin Mahfudz Bin Abdus Salam Al-Hajaini. Lahir di Kajen, kecamatan
Margoyoso, kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut
memang tidak sama dengan tanggal yang digunakan dalam kartu tanda
penduduk maupun dokumen-dokumen resmi lainnya. Namun belakangan
ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya yang menerangkan
tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17 Desember
1937, namun tanggal 16 Februari 1933. Data terakhir ini belum banyak
dipublikasikan karena memang bukti bahwa Kiai Sahal lahir pada 16 Februari
1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun sebelum beliau wafat. Data
mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang berbeda-beda. Umumnya yang
digunakan adalah tanggal 17 Desember 1937. Yang agak berbeda adalah data
yang tertera dalam buku berjudul “Kiai Sahal: Sebuah Biografi”. Dalam buku
tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari 1934.7
Beliau lahir dari pasangan Kiai Mahfudz Bin Abdus Salam dan nyai
Badi’ah. Kiai Mahfudz Bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu)
KH. Bisri Sanusi, salah seorang pendiri Nahdhatul Ulama, yang wafat pada
25 April 1981. Istri Kiai Sahal sendiri, Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu K.H.
Bisri Sanusi. Jika diruntut lebih jauh, keluarga ini mempunyai nasab sampai
kepada KH. Ahmad Mutamakkin yang juga diyakini sebagai seorang
Waliyullah yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kajen dan sekitarnya.8
7 Umdah El Baroroh Dan Tutik Nurul Jannah, Fiqh Sosial; Masa Depan Fiqh
Indonesia, (Pati: PUSAT FISI, 2016) , h.3 8 Umdah El Baroroh dan Tutik Nurul Jannah, Fiqh sosial, masa depan fiqh
indonesia,h. 4-5
48
Selepas dari pesantren Matholi’ul Falah, beliau melanjutkan
pendidikannya dipesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun
1957. Setelah dari Kediri, Kiai Sahal memtuskan untuk memperdalam ushul
fiqh dengan mengaji secara langsung kepada Kiai zubair dipesantren Sarang,
Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960. Usai nyantri di Sarang,
Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah haji, Kiai Sahal bertemu
dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin Al-Fadani di Makkah
untuk pertama kalinya. Kesempatan kedua bertemu dan berguru dengan
Syeikh Yasin didapatkan ketika beliau menunaikan ibadah haji kedua kalinya
bersama istri tercinta, Nyai Nafisah.9
Sejak santri di Matholi’ul falah, Sahal muda seperti “terprogram” untuk
menguasai ilmu Ushul Fiqh, Bahasa Arab dan Ilmu kemasyarakatan yang
memang digemarinya. Ia dididik oleh ayahnya, KH Mahfudh, lalu nyantri
kepada Kiai Muhajir di Kediri dan Kiai Zubair di Sarang, Lasem. Namun
sangat dipengarhi oleh kekiaian pamannya sendiri, KH Abdullah Salam. Di
Kajen, sebuah kawasan yang secara historis amat kaya dengan tradisi
pesantren, Kiai Sahal mengemban tugas untuk mengawal kesinambungan
pengajaran Ilmu Fiqh, Bahasa Arab dan Ilmu Kemasyarakatan. Sudah barang
tentu tugas itu tidak dibebankan pada Kiai Sahal sendiri, namun karena
kepakarannya pada bidang itu, ia bisa disebut sebagai “panglima” yang
bertanggung jawab atas jalannya pengawalan itu.
9 Umdah El Baroroh dan Tutik Nurul Jannah, Fiqh sosial, masa depan fiqh indonesia,
h.14
49
Namun kepakaran Kiai Sahal itu diuji oleh sebuah situasi sosial
ekonomi lokal yang timpang. Kajen, desa kecil dimana lebih dari 15
pesantren berada disitu, merupakan desa yang tak tersedia sejengkalpun
sawah maupun lahan perkebunan, namun dijejali penduduk miskin yang
hidup dari kerajinan “kerupuk tayamum”. Sangat tidak menarik secara
ekonomis, namun disitu pula agama diuji untuk bereksperimentasi, berdialog
dengan kenyataan yang timpang.10
Maka, sebuah perjumpaan dialektik antara agama dan kenyataan harus
terjadi. Penghindaran perjumpaan dengan semangat realitas sosial akan
membuat agama stagnan dan segera kehilangan relevansi kemanusiaaannya.
Dalam jagat pesantren, ilmu fiqh yang dimiliki Kiai Sahal tak dapat dielakkan
merupakan bagian ilmu yang paling besar tantangannya. Pergulatan Kiai
Sahal untuk mengoperasionalkan fiqih, dilakukan antara lain melalui forum
bahtsul masail di tingkat MWC NU kecamatan Margoyoso. Forum itu sangat
produktif dan efektif, hampir-hampir menjadi “pengadilan rakyat” karena
masalah yang digelar tak hanya masalah keagamaan, tetapi masalah ekonomi,
kebudayaan, bahkan politik. Berawal dari bahsul matsail tingkat kecamatan
itu, sebuah keputusan penting tentang nasib petani pernah dihasilkan, ketika
Muktamar NU ke-28 di Krapyak memutuskan bahwa tebu rakyat intensifikasi
(TRI) merupakan transaksi ekonomi yang tidak sah (mu’amalah fashilah),
dan karena itu haram diterapkan. Pencarian relevansi fiqh itu tidak terhenti
dalam ruang bahtsul masail, melainkan bergulir menjadi program
10 Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994) h. xvii
50
kemasyarakatan, seperti pada program pemanfaatan dana zakat untuk
kegiatan produktif di Pati dan biro pengembangan masyarakat dari pesantren
di Kajen sendiri dan desa-desa disekitarnya.11
Ditingkat itu saja tampak, tugas seorang Kiai Sahal dulu tidak sekedar
mengawal keberlangsungan pengajaran funun yang telah dikuasainya, tetapi
juga dituntut untuk melakukan penyegaran atasnya. Menyadari hal itu, berarti
meyakini ada suatu “doktrin” dan “tradisi” yang harus dirombak. Dalam
bahasa fiqihnya, diperlukan tajdid. Telah menjadi diktum bahwa tajdid
mempunyai daerah lingkup yang sangat terbatas. Artinya kualitas tajdid mesti
dinilai dari konteks historisitas dan lokalitasnya. Dengan teropong seperti ini,
terlihat kelompok keagamaan paling konservatif pun pasti melakukan tajdid.
Sekecil apapun bentuk tajdid yang telah dilakukan.
Dalam kapasitas yang masih bisa diperdebatkan, Kiai Sahal, tak dapat
dibantah, merupakan eksponen penting pembaharuan ditubuh pesantren. Ia
terlibat langsung dalam berbagai kegiatan halaqah yang tujuan umumnya
bisa disederhanakan sebagai suatu upaya mencari “jalan baru” bagi penerapan
fiqih secara kontekstual.12
Jika Kiai Mustafa Bisri seringkali menyatakan bahwa seorang ulama
akan senantiasa melihat umatnya dengan ainun rahmah atau pandangan kasih
sayang, maka demikianlah adanya Kiai Sahal. Jika ditelisik lebih jauh, nuansa
tasawuf sangat terasa dalam fiqih sosial Kiai sahal. Tasawuf sebagai etika
11 Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh sosial, h. xviii-xix 12 Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh sosial, h. xix
51
banyak dirujuk Kiai Sahal dari kitab-kitab karya Hujjah Al-Islam Al-
Ghazali.13
2. Aktifitas dan Karir
Kiai Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu
fatwanya, atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga
seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan
Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap
problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang diterima beliau
terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan gelar Doktor
Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh
serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua
periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-
2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-
2010. Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam
Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk
periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa
bakti 2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali,
Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), beliau pun dipilih untuk periode kedua
2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
13 Umdah El Baroroh dan Tutik Nurul Jannah, Fiqh Sosial, Masa Depan Fiqh
Indonesia, h.20
52
(NU). Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi
Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan
kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an
juta orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi
Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban
oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-
sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen,
Pati (1963 – 2014).
Sedangkan pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru di
Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di
Kajen (1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976),
Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis
tetap di Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara
Merdeka, Semarang (1991-sekarang), Rais ‘Am Syuriyah PBNU (1999-
2004), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua
Dewan Syari’ah Nasional (DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan
Pengawas Syari’ah pada Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002-2014).
Sosok seperti Kiai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua
orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak
mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984),
53
Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000)
dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri saja.
Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka studi
komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas sponsor
USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun
1983 atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983,
studi komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi
komparatif pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU
berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh tahun 1987,
dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992, berkunjung ke
Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (BPPN) tahun 1997.14
Kiai Sahal adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam), yang sejak
menjadi santri seolah sudah terprogram untuk menguasai spesifikasi ilmu
tertentu yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab dan Ilmu
Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi
permasalahan umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut,
contohnya dalam bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian
tersendiri dalam fiqh.
14 Qusyairy Sunny, “Biografi KH. MA. Sahal Mahfudh”. Artikel diakses pada tanggal
08 November 2016, 01:10 wib. http://jqh.or.id/biografi-kh-ma-sahal-mahfudz/.
54
Dalam bidang kesehatan Kiai Sahal mendapat penghargaan dari WHO
dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri untuk
menangani anak-anak balita (hampir seperti Posyandu). Selain itu juga
mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit
Islam.
3. Karya Karya
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti
Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, Al-Barokatu
al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai
Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah15:
a. Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):
1. Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna,
2000)
2. Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
3. Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alfdz al-Lumd”, (Semarang: Thoha
Putra, 1999)
4. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh,
(Semarang: Suara Merdeka, 1997)
5. Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
15 Shabra Syatila, ”Biografi Kh Ahmad Sahal Mahfudh”. Artikel diakses pada tanggal
08 November 2016, jam 01:06 wib. http://www.fimadani.com/biografi-kh-ahmad-sahal-
mahfudh/.
55
6. Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari
kitab Mausu’ah al-Ij ma’). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
7. Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
8. Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren
Maslakul Huda, Pati).
9. Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
b. Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):
1. Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA
2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
2. Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah,
(Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
3. Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma
Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama
dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
4. Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah
Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
5. Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-
Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
6. Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari
LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
7. Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan
Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga
56
Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni
1997)
8. Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11
Desember 1996)
9. Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar
LP Ma’arif, Jepara, 14 Juli 1996)
10. Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan
Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
11. Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan
Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan
Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia
Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
12. Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas,
(disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
13. Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi
Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
14. Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei
1994)
15. Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat,
(disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember
1994)
57
16. Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku
Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim
Asy’ari, Jombang, 27 Desember 1994)
17. Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
18. Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut
Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5
September 1992).
19. Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah
Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
20. Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat
Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung,
Semarang, 26 Agustus 1992).
21. Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember
1992)
22. Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan,
(Pati, 13 Pebruari 1992)
23. Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga,
Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata
Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
24. Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar
Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
25. Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV,
Semarang, 18-19 September 1991)
58
26. Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan,
Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret
1991)
27. Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
28. Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan
NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10
September 1989)
29. Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran
Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
30. Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan
Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September
1988)
31. Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing
Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
32. Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL
GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
33. AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS
dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
34. Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma’arif, (Raker LP
Ma’arif, Pati, 21 Desember 1986)
35. Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
36. Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
59
37. Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam,
(Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8
April 1986)
38. Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif
membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB,
Jakarta, 23-27 Januari 1984)
39. Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya
Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari
1983)
40. Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan
Nasional, (27 Nopember 1979)
41. Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama
Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
42. Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
43. Wasmah al-Sibydn ild I’tiqdd ma’ da al-Rahman, (Risalah tidak
diterbitkan)
44. I’dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
45. Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja,
1961 (Risalah tidak diterbitkan)
46. Al-Tarjamah al-Munbalijah ‘an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah
tidak diterbitkan)
60
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN AKAD NIKAH MELALUI
MEDIA TELEKOMUNIKASI MENURUT HUZAEMAH TAHIDO
YANGGO DAN SAHAL MAHFUDH
A. Akad Nikah Melalui Media Telekomunikasi Menurut Huzaemah Tahido
Yanggo
Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan mahramnya.1 Akad perkawinan dalam hukum Islam
bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci yang terkait
keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah
dalam perkawinan. untuk itu perkawinan itu harus dipelihara dengan baik
sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam
yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat
terwujud.2
Para ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan kabul antara wanita yang
dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang
nmenggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa ada akad.3 Akad ijab dan
1 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003), Cet. 1, h. 29 2 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 206 3 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’faria, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Lentera, 2011), Cet.I, h.309
61
akad qabul sebagaimana telah disinggung di bab-bab terdahulu, para fuqaha
sepakat menetapkan antara al-ijab dengan al-qabul haruslah bersambung,
kecuali Imam Malik. Tampaknya yang dimaksudkan dengan “bersambung”
dalam ijab dan qabul itu ialah masih berkait, tidak keluar dari konteks yang
dihadapi. Artinya, antara ijab dan qabul diyakini melahirkan ikatan. 4 Oleh
karenanya selama semua yang terlibat dalam akad itu masih meyakini
munculnya ikatan oleh ijab dan qabul itu, walaupun tidak benar-benar
bersambung antara shighat ijab dengan shighat qabul, maka masih tetap sah.
Kecuali kalau memang telah diselingi oleh pekerjaan lain yang menyimpang
dari konteks, baik sengaja dilakukan ataupun terpaksa karena pengaruh luar,
harus diulangi.
Persoalan yang timbul berikutnya ialah di sekitar masalah peranan saksi
akad. Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang
saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad
perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i’lan
(pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum.5 Dalam hal ini Abu
Hanifah berpendapat boleh saksi itu terdiri dari dua orang laki-laki yang
fasiq, karena menurut beliau kesaksian dalam nikah itu hanyalah berfungsi li
al-i’lan yakni untuk menyiarkan saja.6
4 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta :Pustaka Firdaus, 2008) h.112 5 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’faria, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali, h.313-314 6 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.112
62
Menurut Prof Huzaemah, fungsi saksi itu bukan sekadar untuk
menyiarkan, melainkan benar-benar dapat dijadikan alat bukti dalam hal
terjadi pengingkaran. Akan tetapi apapun fungsi saksi itu, dalam kaitan
dengan pelaksanaan nikah media telekomunikasi seperti telepon/video call
(net meeting teleconference) akan tetap dapat dicapai. Yang menjadi masalah
ialah berkurangnya peranan saksi disebabkan terpecahnya majelis menjadi
dua mejelis: majelis al-ijab pihak wali dan majelis al-qabul di pihak calon
suami. Apakah dengan terpisahnya tempat wali dengan tempat suami itu
berarti sekaligus membatalkan persyaratan dalam “satu mejelis” sebagaimana
pendapat para fuqaha. Para fuqaha menetapkan persyaratan di atas bukanlah
berdasarkan nash melainkan dengan jalan istidlal. Dan kelihatannya
penetapan syarat tersebut adalah menerapkan kaidah fiqhiyyah. 7
Yang dimaksud ialah, untuk tercapainya ikatan perkawinan dari
pelaksanaan akad nikah diperlukan pengakuan semua pihak yang terlibat
dalam akad itu tentang sahnya akad tersebut. Pihak-pihak yang dimaksudkan
adalah termasuk pihak saksi dalam pelaksanaannya saksi memang
menyaksikan langsung baik ijab maupun qabul dalam satu majelis. Dan kalau
demikian, maka sebenarnya yang diperlukan ialah bukan semata-mata
satunya mejelis, akan tetapi yang lebih penting ialah adanya keyakinan saksi-
saksi terhadap sahnya ijab dan qabul. Jika demikian masalahnya, maka
sebenarnya bisa saja akad itu dilaksanakan dalam dua majelis yang terpisah
7 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.113
63
sebagaimana telah tergambar diatas, asalkan fungsi saksi dapat tercapai
karenanya. 8
Persoalan lain yang muncul ialah persyaratan dua saksi yang harus
mengikuti semua proses akad, berkurang peranan mereka karena terpecahnya
majelis menjadi dua. Dengan berkurangnya peranan kesaksian dua orang
saksi maka dengan sendirinya mengurangi fungsi mereka “menyaksikan”.
Dan kalau demikian persoalannya, maka sebenarnya dapat diatasi dengan
cara menetapkan masing-masing dua orang saksi bagi masing-masing
majelis. Mejelis pihak ijab dua orang dan pada mejelis qabul juga ada dua
orang saksi. Dalam hal ini menurut Prof. Huzaemah9 boleh saja dilakukan,
karena walaupun jumlah bilangan saksi ditambah akan tetapi fungsinya tetap
satu kesatuan, yakni menyaksikan proses pelaksanaan satu akad nikah.
Dengan demikian ke-tidakhadiran fisik calon suami di depan wali pada
saat ijab qabul, sama sekali tidaklah mengurangi nilai ikatan yang muncul
dari ijab qabul. Dengan perkataan lain, dengan menetapkan dua orang saksi
pada masing-masing majelis yang terpisah itu, tidaklah berarti merubah
hakikat persyaratan bahwa akad nikah harus dilaksanakan dalam satu
majelis.10
Dalam undang-undang republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan
8 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.113 9 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.113 10 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.114
64
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peraturan lain
yang berlaku di indonesia menetapkan bahwa pelaksanaan pencatatan
perkawinan dilakukan melalui pegawai pencatat perkawinan. Sebagai warga
negara yang baik, menurut Prof. Huzaemah ketentuan-ketentuan tersebut
haruslah ditaati.11
Berkaitan pelaksanaan nikah melalui media telekomunikasi seperti
telepon antar negara menurut beliau peraturan-peraturan tersebut diatas wajib
ditaati. Pengertian wajib disini adalah menjadi syarat untuk dapat
dilangsukannya akad nikah tersebut. Oleh karena itu sebelum akad itu
dilangsungkan, maka semua data yang diperlukan untuk kelangsungan akad
itu, haruslah sudah dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan ditempat akan
dilaksanakannya ijab yakni domisili calon isteri tersebut. Data calon isteri,
wali dan dua orang saksi yang akan menyaksikan ditempat akan
dilangsungkannya ijab pernikahan itu di Indonesia, hendaklah sudah dicatat
sebagaimana yang berlaku biasanya. Data mengenai calon suami dan dua
orang saksi ditempat calon suami, hendaklah sudah dicatat pegawai pencatat
perkawinan dengan melalui atau mengindahkan peraturan lainnya yang
berkaitan dengan prosedur dan status warga negara yang berada diluar negeri.
Ringkasnya semua peraturan pemerintah yang dapat terkait dengan
pelaksnaan akad melalui media telekomunikasi yang melibatkan pihak pihak
yang berdomisili pada negara yang berlainan, wajib ditaati.12
11 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.114 12 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.115
65
Kewajiban tersebut diatas muncul atas dasar saddzur dzariah karena
kalau peraturan-peraturan pemerintah itu tidak dilaksanakan maka terbuka
kemungkinan terjadinya nikah yang sia-sia. Dalam keadaan demikian maka
yang bisa menyelesaikannya hanyalah pemerintah. Demikian pula semua data
mengenai pelaksanaan akad nikah itu jika telah terlaksana, wajib dicatat oleh
pegawai pencatat perkawinan. Dan jika persyaratan yang disebut terakhir itu
tidak dilaksanakan, maka pernikahan melalui media telepon itu tidak boleh
dilaksanakan dan kalaupun masih tetap dilaksanakan, maka dapat
dibatalkan.13
Pencatatan perkawinan memiliki tujuan untuk menjaga ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu cara yang diatur oleh
Undang-undang untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan.
melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila
terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu pihak baik suami
atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Karena dengan bukti akta pencatatan
tersebut, suami dan istri memiliki bukti hukum atas perbuatan hukum yang
telah dilakukan.14
Adapun syarat bisa dilakukan nikah melalui telepon kaitannya dengan
jarak yang memisahkan kedua calon suami isteri, Prof. Huzaemah
berpendapat jika keduanya tinggal pada negara yang berlainan karena
13 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.115 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (PT RajaGrafindo Persada, jakarta,
1995), h. 107
66
disebabkan menunaikan hajat pokok dalam waktu lama yang ditentukan oleh
pihak luar, maka hal itu dapat membolehkan dilaksanakannya nikah melalui
media telekomunikasi seperti telepon. Jika nikah itu dilaksanakan karena
kekahwatiran akan terjerumus kepada ma’siya, maka walaupun melalui media
telekomunikasi asalkan memenuhi berbagai persyaratan, nikah itu perlu
segera dilaksanakan.15
Jika antara pihak-pihak yang harus terlibat dalam pelaksanaan akad itu
memang sudah saling mengenal sejak sebelumnya, maka ijab dan kabul
dalam akad nikah tersebut dapat dilaksanakan dengan sempurna sebagai
dalam satu majelis. Disini harus diakui bahwa telepon ataupun media
telekomunikasi lainnya adalah merupakan satu jenis alat yang dapat dipakai
dalam komunikasi timbal-balik dan langsung. Dengan timbal balik dan
lansgung maka penyamaran dapat dicegah.16
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad nikah itu disyaratkan
pelaksanaannya dalam satu majelis. Dalam pembicaraan akad nikah melalui
media telekomunikasi, syarat tersebut secara lahir jelas tidak terpenuhi. Akan
tetapi tampaknya, pengertian “satu majelis” menurut jumhur itu bermakna
agar semua pihak yang terlibat dalam akad nikah itu dapat mengikuti semua
proses yang dilakasanakannya, terutama ijab dan qabul.17
15 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.115 16 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.118 17 Huzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.118
67
Dengan mengikuti semua proses, maka ikatan (irtibath) yang
ditimbulkan ijab dan qabul disadari dan diakui oleh semua pihak, termasuk
para saksi. Dalam nikah melalui telekomunikasi ijab dan qabul tidak bisa
disaksikan secara fisik dengan utuh karena memang secara fisik calon suami
berada ditempat terpisah. Akan tetapi keadaan demikian tidak tertutup
kemungkinan untuk dicapainya makna “satu majelis”.18
Dengan menetapkan dua orang saksi pada masing-masing majelis ijab
dan majelis qabul, maka makna dalam “satu majelis” sebagaimana
dimaksudkan jumhur, akan tercapai. Disini walaupun jumlah saksi menjadi
empat (diluar ketentuan:dua) orang, akan tetapi fungsi kesaksiannya sama
saja dengan hanya dua orang saksi, mengingat kesaksian empat orang tersebut
adalah dalam dua majelis yang terpisah. Dengan menetapkan dua orang saksi
ditempat calon suami melaksanakan kabul, maka dapat dipastikan bahwa
lafadz dan shigat qabul memang secara fisik bersumber dari calon suami.
Dengan ilustrasi diatas seperti diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa
pelaksanaan akad nikah melalui telepon atau media telekomunikasi lainnya
dengan tekhnik tersebut, dinyatakan sah.19
B. Akad Nikah Lewat Media Telekomunikasi Menurut Sahal Mahfudh
Lingkungan Kiai Sahal adalah masyarakat pesantren yang mengakui
berpegang pada mazhab yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali),
namun ternyata dalam tindakannya “bersikeras” pada Syafi’i saja. Kiai Sahal
18 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.119 19 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.119
68
mengkritik kecenderungan ini. Salah satu keberatannya, Syafi’i dalam hal
yang tidak ditegaskan oleh nash, secara metodeologis lebih menekankan
qiyas, sehingga kurang menekankan mashlahah. Dalam posisi ini, Kiai Sahal
tampaknya telah memilih jalan lain dalam berfiqih. Jalan Al-Syatibi
merupakan pilihannya yang dominan, meski didalam banyak hal ia tetap
berada di jalur “kontekstualisasi teks fiqih syafi’iyah”. Bagi Kiai Sahal,
kepentingan umum (mashlahah ‘ammah) harus menjadi pertimbangan
terdepan dalam proses pengambilan keputusan (hukum). Agar kepentingan
umum ini tetap terjaga, seorang mujtahid harus memiliki kepekaan sosial.
Dengan prinsip ini, Kiai Sahal dalam beberapa kasus dapat memilah, mana
yang memang kepentingan umum dan mana yang kepentingan kelompok atau
pemerintah semata.20
Memang para fuqoha kini dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang jawaban kongkritnya teramat sulit dicari dalam rumusan-rumusan baku
yang telah mereka pegang selama ini. Soal negara-bangsa, asuransi, bank,
pajak, KB, kepemimpinan, lingkungan dan lain-lain antri menuntut kepastian
kebijakan hukum. Jika jawaban selalu ditunda (mauquf), masyarakat fiqih
akan gamang. Pada titik inilah relevansi keinginan meneropong secara kritis
apa yang dilakukan Kiai Sahal.21
Pada zaman ini, alat ukur sudah berteknologi canggih termasuk
dibidang komunikasi. Alat-alat itu sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Wartel (warung Telekomunikasi) tumbuh bagaikan jamur di musim
20 Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. xx 21Sahal Mahfudh, Nuansa fiqh sosial, h. xxi
69
labuh. Kenyataan tersebut mengilhami sebagian orang untuk melangsungkan
pernikahan lewat telepon, karena dipandang lebih praktis apalagi bagi orang
yang sangat sibuk.22
Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari peristiwanya, itu
memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya teknologi
dewasa ini maka hukum (undang-undang) akan jauh ketinggalan.23 Namun,
memutuskan hukum, tidaklah cukup hanya didasarkan atas pertimbangan
kepraktisan semata. Perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang lain. Sebab
menurut ajaran islam, pernikahan itu sangat sakral. Pernikahan merupakann
mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kokoh), yang bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinnah, mawaddah wa
rahmah.24
Dilihat dari segi fungsinya, pernikahan merupakan satu-satunya cara
yang sah untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan mendapat keturunan,
disamping meningkatkan ketakwaan seseorang.Melihat kedudukannya yang
demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda dengan akad jual
beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tanwir Al-qulub,
at-Tanbih, dan kifayah al-Akhyar, akad perniakahan hanya dianggap sah jika
dihadiri mempelai laki-laki, seorang wali ditambah minimal dua orang saksi
yang adil.25
22Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, (Surabaya : Khalista, 2010), h. 234 23Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, (Liberty, Yogyakarta,
2004), h.104 24 Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 234 25 Sahal mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 235
70
Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis
semata. Lebih dari itu ia adalah syariatun azhimatun (syariat yang agung)
yang dimulai sejak nabi adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh
Allah Swt. Pernikahan adalah sunnah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk
ibadah bila dimotivasi oleh sunnah Rasul itu.Pernikahan merupakan bentuk
ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanannya diikat dan diatur
oleh ketentuan syarat dan rukun.26
Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan
qabul saja. Sementara menurut jumhur ulama ada empat macam meliputi,
shigat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali.
Ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun,
tetapi jumhur ulama memandang keduanya sebagai syarat.
Dari ketentuan tersebut kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-
satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka semua
sepakat hal itu namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur Ulama
memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat
bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah atu pihak yang
melakukan akad, baik itu dari suami atau isteri, sedangkan qabul adalah
jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur ulama, ijab memiliki
pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai wanita atau dari
seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang
menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki
26 Sahal mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 236
71
atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu
datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh perempuan.
Berbeda dengan hanafiyah, jumhur ulama mengharuskan ijab datang dari
wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.27
Di masa dulu, akad nikah (ijab-qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu
yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke
majelis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat
intensitas aktifitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas,
sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus
semua batas dunia dengan alat semacam internet, telepon, faks dan lain-lain.
Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu
dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad
nikah dalam hal ini ijab qabul.28
Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi
adalah dengan menu e-mail dan chatting yang secara essensial sama dengan
surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang
digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan
waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangkan email atau chatting
menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses
dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.
Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah
dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khitabh
27 Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 237 28 Sahal mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 237
72
min al-ghai’ib bi manzilah al-khithab min-alhadhir) dengan syarat dihadiri
oleh dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga
sah asal disaksikan oleh dua orang saksi. Meskipun ada pendapat yang
memperbolehkan akad nikah melalui komunikasi jarak jauh, namun pendapat
itu ditentang oleh jumhur Ulama. Ini mengingat pernikahan memiliki nilai
yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan
kukuh), yang bertujuan meweujudkan rumah tangga sakinnah, mawaddah,
rahmah bahkan tatanan sosial yang kokoh pula. Oleh karena itu pelaksanaan
akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal
ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi.29
Pengertian “dihadiri” disini, mengharuskan mereka secara fisik
(jasadnya) berada dalam satu majelis. Hal itu mempermudah tugas saksi dan
pencatatan. Sehingga kedua mempelai yang telibat dalam akad tersebut pada
saat akad yang datang tidak mempunyai peluang untuk mengingkarinya.30
Karenanya, akad nikah melalui media seperti telepon dan media
komunikasi lainnya (internet, telepon, faks dan lain-lain) tidaklah sah, sebab
tidak dalam satu majelis dan sangat sulit dibuktikan. Disamping itu juga
sesuai dengan pendapat Malikiyah Syafi’iyah Dan Hanabilah yang
menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah.31
C. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Kedua Tokoh
Persamaan pemikiran atau pandangan antara Huzaemah Tahido Yanggo
dan Sahal Mahfudh, keduanya sepakat menyatakan bahwa ijab kabul
29 Sahal mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 238 30 Sahal mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 238 31Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 237-238
73
merupakan rukun perkawinan sebagaimana pendapat para fuqaha tentang
rukun dan syarat perkawinan. Keduanya menitik beratkan kepada ittihadu fil
majelis dalam proses akad nikah serta menyoroti peran saksi/kesaksian
Perbedaan pandangan terletak pada konsep ittihad fil majelis dan
kesaksian, menurut Huzaemah Tahido Yanggo saksi itu bisa lebih dari dua
sehingga memungkinkan membagi para saksi pada dua tempat majelis
dengan tidak menghilangkan urgensi kesaksian serta pencatatan perkawinan.
Dengan demikian, hal tersebut bisa menjamin keotentikan data dan menjadi
alat bukti yang kuat untuk memungkinkan akad nikah melalui
telekomunikasi.
Sedangkan menurut Sahal Mahfudh, telekomunikasi ataupun alat media
komunikasi lainnya itu masih meragukan, sehingga tidak bisa menjamin
sebagai pembuktian pernikahan dan juga beliau berpendapat bahwa
pernikahan merupakan hal yang sakral dan suci sehingga harus dilaksanakan
dengan baik dan aman.
D. Analisis Penulis
Seiring pesatnya Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat menyebabkan perubahan masyarakat yang drastis dalam
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat sehingga sering memunculkan
persoalan-persoalan baru. Apabila persoalan-persoalan baru tersebut
dinisbatkan kepada ajaran Islam maka akan melahirkan paling tidak dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, persoalan tersebut dapat di temukan
solusinya pada al-Qur’an dan As-Sunnah yang mempunyai kedudukan hukum
74
yang jelas dan kontekstual. Persoalan kedua, tidak dapat ditemukannya
landasan yang jelas serta eksplisit atas persoalan tersebut pada Al-qur’an dan
As-Sunnah.
Maka dari itu, untuk persoalan yang kedua tadi memerlukan kerja keras
pemikiran-pemikiran para ulama yang memiliki potensi dalam bidang kajian
hukum untuk memecahkan dan mencari solusi atas persoalan-persoalan baru.
Berbagai langkah harus ditempuh, yakni melakukan kajian mendalam,
berijtihad, serta melakukan penafsiran ulang mengenai persoalan yang secara
tekstual tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu,
persoalan akad nikah melalui media telekomunikasi ini merupuakan
persoalan baru dan merupakan salah satu problematika hukum keluarga
(perkawinan) Islam kontemporer ini.
Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah
tangga. Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tercipta
keturunan yang baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.32 Dalam Islam,
perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam syariat
sebagai pemeluk agamanya. Syariat tersebut diturunkan dengan tujuan untuk
kemaslahatan manusia, khususnya umat Islam.
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada
dipenuhinya atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara
formal, nikah melalui media telekomunikasi seperti telepon dapat memenuhi
rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali
32 Huzaemah Tahido Yanggo, “Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer,”
(Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h.134
75
pengantin putri, ijab qabul. Perkawinan atau akad nikah yang dilakukan
dengan media telekomunikasi, menurut penulis merupakan perkawinan yang
sah selama pelaksanannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perkawinan dan terpenuhi persyaratan-persyaratan baru yang muncul akibat
terpisahnya jarak antara kedua mempelai.
Dengan kerangka berfikir seperti diatas, menurut penulis hukum akad
menikah melalui media telekomunikasi yang menjadi bahasan pokok masalah
ini titik permasalahannya adalah terdapat pada konteks ijab dan qabul yang
disampaikan. Ketidakhadiran fisik calon suami tidak lagi menjadi penghalang
sahnya perkawinan.
Dalam persoalan akad nikah melalui media telekomunikasi para ulama
berbeda pendapat dalam hal konsep satu majlis. Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa hal tersebut sudah memenuhi satu majlis, maka perkawinannya di
anggap sah, pendapat tersebut yang menjadi pegangan Huzaemah Tahido
Yanggo. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali
berpendapat bahwa hal tersebut belum memenuhi konsep satu majlis dan
mensyaratkan kedua calon harus berkumpul dalam satu tempat, pendapat
tersebut yang menjadi pegangan M. Ahmad Sahal Mahfudh. Menurut penulis
dengan menyadari perkembangan dunia saat ini, apa yang menjadi pendapat
Huzaemah Tahido Yanggo itu lebih maslahat dan relevan dengan konteks
perkembangan IPTEK daripada pendapat. M. Ahmad Sahal Mahfudh yang
terlalu kaku dan stagnan.
76
Penulis juga sepakat dengan pendapat Prof. Huzaemah yang
memberikan persyaratan sebelum dilakukan akad nikah melalui media
telekomunikasi yaitu, dengan menambahkan dua orang saksi sehingga jumlah
saksi menjadi empat dengan pembagian dua orang saksi pada masing-masing
majlis ijab dan kabul. Maka dengan demikian makna satu majelis yang
dimaksudkan jumhur ulama dapat tercapai.33 Ditambah Jika antara pihak-
pihak yang harus terlibat dalam pelaksanaan akad itu memang sudah saling
mengenal sejak sebelumnya, maka ijab dan kabul dalam akad nikah tersebut
dapat dilaksanakan dengan sempurna sebagai dalam satu majelis.
Dengan demikian akad nikah melalui media telekomunikasi dapat
dilakukan dan sah secara syar’i, dengan catatan yaitu memenuhi syarat-
syarat ijab dan kabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syarat sah nikah yang lain. Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab
dan kabul dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak
secara langsung, media telekomunikasi merupakan satu jenis alat bantu yang
dapat dipakai dalam komunikasi timbal balik dan langsung, maka dari itu
penipuan ataupun penyamaran bisa dihindari.
.
33 Huzaemah Tahido Yanggo Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h.119
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan yang telah penulis kemukakan pada bab-bab
sebelumnya tentang akad nikah lewat mediatelekomunikasi ini, akhirnya
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum Islam adalah
tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad
dalam perkawinan itu, maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemui,
para fuqaha telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun
untuk sahnya suatu akad nikah. Oleh karena itu, pentingnya arti ijab
dan kabul bagi keabsahan akad nikah, maka banyak persyaratan
secara ketat yang harus dipenuhi untuk keabsahannya. Diantaranya
adalah ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam melakukan akad
nikah.
2. Huzaemah Tahido Yanggo berpendapat bahwasanya akad nikah
melalui telekomunikasi ini hukumnya sah dan diperbolehkan.
Namun, Huzaemah Tahido Yanggo memberikan beberapa
persyaratan dan catatan diiantaranya yaitu mensyaratkan sebelum
dilangsungkannya ijab dan kabul kedua pasangan mempelai harus
memberikan data atau identitas diri agar terhindar dari penipuan
serta penambahan saksi yang tadinya 2 orang saksi menjadi 4 saksi
78
dengan pembagian 2 orang saksi ditempat ijab dan 2 orang saksi di
tempat qobul. Sedangkan menurut penulis, apa yang menjadi
pemikiran beliau ini sudah tepat untuk merespon perkembangan
zaman yang semakin tak terkendali. Adapun penulis menambahkan
tentang media telekomunikasi yang dapat digunakan untuk akad
nikah tersebut adalah media telekomunikasi yang funsi serta alatnya
itu terjamin tanpa ada unsur pemalsuan dan sebagainya. M. Ahmad
Sahal Mahfudh berpendapat bahwasanya akad nikah melalui
telekomunikasi ini hukumnya tidak sah, karena suatu pernikahan
khususnya dalam akad nikah itu suatu akad yang berbeda dengan
akad-akad yang lain. Akad nikah merupakan akad yang agung, suci
dan sakral. Lalu penulis merepon apa yang menjadi prinsip Sahal
Mahfudh diatas tersebut terlalu kaku, seharusnya fikih harus bisa
relevan dengan ditambah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta dunia digital era sekarang ini.
3. Persamaan pandangan antara Huzaemah Tahido Yanggo dan Sahal
Mahfudh, keduanya sepakat menyatakan bahwa ijab qabul
merupakan rukun perkawinan sebagaimana pendapat para fuqaha
tentang rukun dan syarat perkawinan. Keduanya menitikberatkan
kepada ittihadu fil majelis dalam proses akad nikah serta peran
saksi/kesaksian. Perbedaan pandangan terletak pada konsep ittihad
fil majelis dan kesaksian, menurut Huzaemah Tahido Yanggo saksi
itu bisa lebih dari dua sehingga memungkinkan membagi para saksi
79
pada dua tempat majelis dengan tidak menghilangkan urgensi
kesaksian serta pencatatan perkawinan, Sedangkan menurut Sahal
Mahfudh, telekomunikasi ataupun alat media komunikasi lainnya itu
masih meragukan, sehingga tidak bisa menjamin sebagai pembuktian
pernikahan dan juga beliau berpendapat bahwa pernikahan
merupakan hal yang sakral dan suci sehingga harus dilaksanakan
dengan baik dan aman.
B. Saran-saran
Akhir dari penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan adannya
manfaat bagi kita semua, yaitu kepada penulis khususnya dan kepada para
pembaca umumnya. Adapun beberapa saran sehubungan dengan sasaran
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kepada segenap civitas Akademika bahwa Penelitian mengenai akad
nikah melalui media telekomunikasi masih perlu terus digalakkan
untuk melihat lebih jauh aspek-aspek media telekomunikasi agar
dapat diaktualisasikan dimasa-masa mendatang.
2. Alat telekomunikasi semakin berkembang dan canggih sehingga
sangat perlunya fiqh atau hukum islam merepon akan perkembangan
ini. Oleh karena itu, Pemerintah selaku pembuat Undang-undang pun
harus segera membuat aturan sehingga tercapainya kepastian hukum
yang menjamin masayarakat Indonesia.
80
3. Untuk para peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai akad
nikah dan atau sebagainya dengan konsep studi komparasi
(perbandingan), sebaiknya lebih ditekankan pada studi empiris.
Dengan studi empiris diharapkan dapat ditampilkan tentang teori-
teori yang ada dengan realitas kehidupan era saat ini agar dapat lebih
relevan dan efektif dengan perkembangan hukum.
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Mazhab,
PT. Prima Heza Lestari, 2006.
Al-Asqalani, Al-Hafidz ibnu Hajar. Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad,
Ibnu ALI, Muhammad Khuzainal Arif, Jakarta: Pustaka as-sunnah, 2007, Cet. 1.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002.
Anwar, Saifuddin. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Baroroh, Umdah El. Dan Tutik Nurul Jannah, Fiqh Sosial; Masa Depan Fiqh Indonesia,
Pati: PUSAT FISI, 2016.
Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Di Indonesia, Jakarta: PT Prenada Media, 2007.
Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, Jakarta: Prenada Media,
2004.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: SIRAJA, 2003.
Hasanudin AF, Perkawinan dalam perspektif al-Qur’an: nikah, talak, cerai, ruju,
Jakarta: Nusantara Damai Press, 1999.
Khuzaifah, dkk. Metode penelitian Hukum, Surakarta: UMS Press, 2004.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia, 1989,
Cet. Ke-8.
Mahfudh, Sahal. Dialog Problematika Umat, Surabaya : Khalista, 2010.
Mahfudh, Sahal. Nuansa fiqh sosial, Yogyakarta: LKIS, 1994.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di DuniaIslam Modern, Yogyakarta:graha ilmu,
2011.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2004
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab : Ja’faria, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, Jakarta : Lentera, 2011, Cet.I
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI),
Jakarta: Kencana, 2004.
Rahman Ghazali, Abdul. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003, Cet. 1
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995
82
Rusyd, Ibnu. Bidayat Al-mujtahid, Mesir: Mushtafa Al- Babiy Al-Halabiy, 1960,jl. II.
Sahrani, Sobari. dan M.A Tihami. Fikih Munakahat, Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada,
2009.
Saydam, Gouzali. Sistem Telekomunikasi Di Indonesia, Bandung: Alfabeta, 2006, Cet.
Ketiga.
Soleh, Asrorun Niam. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: elSAS,
2008.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Subana, M. Dan Sudrajat. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta:
PT Pradnya Pramita, 2002.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.
Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986, Cet-5
Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Usman, Uke kurniawan. Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : Informatika Bandung,
Cet. Kedua.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Yanggo, Huzaemah Tahido Dan Hafiz Anshary, Ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia,
2010, Cet. I.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Hukum Keluarga Dalam Islam, Palu: Yamiba, Cet.1, 2013.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, Bandung:
Penerbit Angkasa, 2005
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 2003,
Cet. III.
Artikel dan Majalah
Sunny, Qusyairy. “Biografi KH. MA. Sahal Mahfudh”. Artikel diakses pada tanggal 08
November 2016, 01:10 wib. http://jqh.or.id/biografi-kh-ma-sahal-mahfudz/.
Syatila, Shabra.”Biografi Kh Ahmad Sahal Mahfudh”. Artikel diakses pada tanggal 08
November 2016, jam 01:06 wib. http://www.fimadani.com/biografi-kh-ahmad-
sahal-mahfudh/.
83
“Pelantikan Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo Ma. Sebagai Rektor Iiq Jakarta 2014-
2018”, Artikel diakses pada tanggal 08 November 2016, jam 01:17 wib.
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/warta/44-warta/365-pelantikan-prof-dr-hj-
huzaemah-t-yanggo-ma-sebagai-rektor-iiq-jakarta-2014-2018.
Majalah, Amanah, No: 77, juni 1989, h. 12, 104-105.
Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 desember 2004
Skripsi
Zukhrufi, Fatah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Net Meeting
Teleconference (Studi Pemikiran K.H. M.A. Sahal Mahfudh, Skripsi Pada Jurusan
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Rohmat, Hukum Akad Nikah Melalui Telekomunikasi (Net Meeting Teleconference)
Studi Komfarasi Mazhab Hanafi Dan Syafi’i, Skripsi Pada Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhsiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2007.
Jihad, Mizanul. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Melalui Net Meeting
Teleconference, Skripsi Pada Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.
Asy’ari, Moh. Hasyim. Studi Komparasi Pernikahan Secara Online Menurut Hukum
Islam Dan Hukum Positif, Skripsi Pada Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, 2016.