7
560 Hukum dan Pembangunan PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*) Oleh: T. Mulya Lubis Penganlar Bagi suatu negar3 yang bersiCat demokratis, pelaksanaan pemilihan Ulnum haruslah dilaksanakan demi mewujlldkan kedaulalan rakyat. Di Indonesia Pemilu yang menjadi samna demokratis itu diatur dalam undang- II lid aliI( No. I Tahun 1985 haruslah melcslarikan demokrasi Pallcasila. Namun kenyataan masih ada aspek kekurangall dalam pelaksanaannya, dalam IlIlisan 101 meuganalisa Pemilu Hukum Tala Negara. penillis mencoba Ditinjall dari Dalam pasal I UUD 1945 seeara tegas dinyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan scpcnuhnya oleh Majclis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jadi kita menganut paham kedaulatan rakyat yang artinya rakyatlah yang berkuasa menentukan dasar negara, hukum negara dan tata eara negara tcrsebut diperintah. Rumusan pasal I UUD 1945 ini sangat ideal dan inilah yang menjadi mimpi dari para pcndiri negara ini, mcski ada perbedaan paham disana sinL Tet.1pi pcrbcdaan itu tidak berarti apa-apa karena pasal 1 UUD 1945 sudah diterima dan UUD 1945 adalah "Ihe supreme law oCthe land" meninjau istilah yang sering dipakai dalam literatur yurisprudensi Amerika . • ) Disampaikan pada Sem inar Kajian Huk.um Tala Ncgara. pada laJIggal 13 November 1991. diseJenggarakan olch Lcmbaga Kajian Keilmuan Seoat Mabasiswa FHUI, di Auditorium Djokosoetono Depok.

PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

560 Hukum dan Pembangunan

PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

Oleh: T. Mulya Lubis

Penganlar

Bagi suatu negar3 yang bersiCat demokratis, pelaksanaan pemilihan Ulnum haruslah dilaksanakan demi mewujlldkan kedaulalan rakyat. Di Indonesia Pemilu yang menjadi samna demokratis itu diatur dalam undang­II lid aliI( No. I Tahun 1985 haruslah melcslarikan demokrasi Pallcasila. Namun kenyataan masih ada aspek kekurangall dalam pelaksanaannya, dalam IlIlisan 101

meuganalisa Pemilu Hukum Tala Negara.

penillis mencoba Ditinjall dari

Dalam pasal I UUD 1945 seeara tegas dinyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan scpcnuhnya oleh Majclis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jadi kita menganut paham kedaulatan rakyat yang artinya rakyatlah yang berkuasa menentukan dasar negara, hukum negara dan tata eara negara tcrsebut diperintah. Rumusan pasal I UUD 1945 ini sangat ideal dan inilah yang menjadi mimpi dari para pcndiri negara ini, mcski ada perbedaan paham disana sinL Tet.1pi pcrbcdaan itu tidak berarti apa-apa karena pasal 1 UUD 1945 sudah diterima dan UUD 1945 adalah "Ihe supreme law oCthe land" meninjau istilah yang sering dipakai dalam literatur yurisprudensi Amerika .

• ) Disampaikan pada Seminar Kajian Huk.um Tala Ncgara. pada laJIggal 13 November 1991. diseJenggarakan olch Lcmbaga Kajian Keilm uan Seoat Mabasiswa FHUI, di Auditorium Djokosoetono Depok.

Page 2: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

Pemilu 561

Akan tetapi dalam perjalanan sejarah kita melihat pasang surut kedaulatan rakyat sehingga seperti zaman Orde Lama, kita melihat kedaulat rakyat dikebiri oleh kultus individu terhadap Soekamo. Rekayasa . politik PKI yang seharusnya berasas kerakyatan temyata menjadi anti kedaulatan rakyat. Sepertinya waktu itu yang ada adalah kedaulatan Presiden. Lalu kedaulatan Presiden tersebut bisa pula mengukuhkan kedaulatan negara karena secara formal Presiden itu bertindak untuk dan atas nama negara.

Sekarang kita sudah kembali kepada pelaksanaan VVD 1945 secara mumi dan konsekwen. Ini tekad orde baru, tetapi apakah kedaulatan rakyat sudah betul-betul terwujud ? Pendapat resmi tentu m.ejawab pertanyaan ini secara positif tetapi berbagai kalangan diluar pemerintahan maalahan mensinyalir menguatnya paham kedaulatan negara. Artinya, yaang menentukan bagaimana negara ini diperintah adalah negara yang diwakili oleh birokrasi dengan berpuncak pada petinggi- petinggi negara. Karenanyalah sering muneul statemen yang mengatakan bahwa ada kesenjangan antara negara (state) dengan masyarakat (society) dalam arti sektor negaralebih kuat dari masyarakat. Ada logika terbalik disini.

Perdebatan mengenai hal ini bisa jadi panjang sekali, tetapi inilah realitas objektif dewasa ini. Tafsiran resmi sepertinya membenarkan paham bahwa VVD 1945 memberikan keuasaan yang besar kepada negara khususnya eksekutif sehingga allli Tata Negara Ismail Suny menyebutkan sebagai ".executive heavy" ini tentll logis memperkuat paham kedaulatan negar. Pertanyaan kita apakah realitas ini merupakan kehendak otentik (original intent) para peo(iiri negara ini ? Beberapa pertanyaan para pendiri negar ini secara tegas l)1emilih k",daulatan negara ini seprti yang tertulis dalam notulen rapat Dokuritsu Zyuubi Tyoosakai Ketika diadakan pemilihan suara soal bentuk negara, 55 suara memilih Republik, 6 suara memilih kerajaan, 2 memilih lain-lain, dan 1 suara memilih blanko. Konsekuensi dari memilih republik. adalah memilih pemerintahan dalam suatu pemilihan umum yang demokratis, dan bukan memilih dan memelihara raja yang turun temurun. Artinya yang kita anut adalah faham kedaulatan rakyat, bukan kedaul~tan raja. Kalaupun dewasa ini faham kedaulatan rakyat melemah dan sebaliknya paham kedaulatan negara menguat, hal ini tentunya oleh dikarenakan menguatnya sektor negara. Diln ini dpat disebut sebagai interprestasi politik dari elit PQlitik

Desember 1991

Page 3: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

562 Hulwm dan Pembangunan

yang memerintah negeri ini.

Politik or Regulation

Istilah ini berasal dari seoranag ahli ilmu politik australia David Reeve yang menulis discrtasi ten tang Golkar. Intinya dia hanya mengatakan bahwa pcmerintah onle haru memang herniat untuk menjadi kuat, dan untuk itu scktor masyarakat (swasta, organisasi politik, organisasi sosial) harus dihuat lcmah. Pcngalaman traumatik tahun 1950-an dimana pemcrintah hcgitu lemah dikcrjain oleh partai politik schingga sclalu gonta ganti hegitu mcmbekas dihati hanyak pctinggi orde baru, apalagi pada zaman ordc lama keadaan ekonomi membuat negara ini hampir bangkrut. Atas d"sar itu, pcmbangunan ekonomi normal sehagai agenda utama orde haru, dan untuk itu scm boyan politic no, development yes serta strong government muneul dihanyak statemen resmi pemerintah. Dan nyatanya pcmcrintah Soeharto dapatlah dikatakan scbagai rezim pembangunan ekonomi.

Istilah rcstrukturisasi politik juga mulai bcrgema yang pad a akhirnya menggiring tcrjadinya fusi part.1i-partai sehingga jumlah berkurang menjadi tiga, PPP, POI dan Golkar. Selain itu pewadah tunggalan organisasi kemasyarakatan/profcsi juga tcrjadi dcngan hcrpuncak pada Golkar schagai partai pCl1lerintah. Struktur korparatis sceara gradual terhcntuk, dan lchih dari itl! dikalang:1D parpol dan pcmcrintah lahir13h "kollsensus orde haru" yang bukan saja mcnjadi dasar rcstrllktUl·i~asi politi\(, tetapi sekaligus mcmheri Icgitimasi bagi sistem pcmilu yang sifalnya ·proporsional, hukan sistem dislrik scperti yang mulanya dikchendaki olch ABRI. Imbalan hagi ABRI adalah 100 (scratus) kursi di DPR tanpa turut pcmilu , suatu imhalan yang malta!. ABRI yang populasinya tidak sampai 1 persen dari total populasi kita bcrolch 20 perscn dari kursi DPR. Konon inilah kchendak para tokoh parpol yang takut tcrgusur dari kancah polilik nasion ala karena semakin kualnya scktor

negara. Scjarah mcmhuktikan bahwa parpol 5.1lah memhaea tanda-tanda zaman, dan kunsellsus orde harlljustru mempcrkuat negara (pcmerint.1h) dan mcnggusur parpol dari pen las politik kitl. Kalaupun hasil restrukturisasi politik mclahirkan 3 parpol, banyak orang yang ragu tentang realitas sehcnarnya sehah hukankah yang tcrjadi adalah tcrciptanya scbuah tat.1nan politik monolitik dcngan tiga orbit atau satelit yang tidak berbeda

Page 4: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

Pemilu 563

secara substantial. Dengan tatanan politik baru ini tidak melihat proses politik sebagai saran a demokratis tetapi sebagai upacara demokrasi. Jadi politik tidak lagi diJihat sebagai perspektif kontes dan kompetisi tetapi dalam perspektif harmoni dan seremoni (upacara) .

Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa depofitisasi dan massa mengambang (floating mass) dijadikan sebagai kebijakan politik meski kalau dilihat dari hukum tata negara depolitisasi ' dan massa mengambangini merupakan pengingkaran hak politik rakyat. Esensi pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak berserikat dan berkumpul secara diametral bertentanga dengan depolitisasi dan massa mengambang. Karena depolitisasi dan massa mengambang menjegal partisipasi politik rakyat. Lebih dari itu dia bisa berfungsi sebagai latar politik yang ampuh dan membuat parpol lemah sehingga pada gilirannya masyarakat juga lemah. Agenda kerja orde baru yang menghendaki strong govenment tercapai dengan sempurna. Persoalan kita sekarang adalah bagaimana agar strong government itu bisa sekaligus strong dan democratic government.

Pemilu: Beberapa Catatan

Retorika demokrasi berulang-ulang diucapkan dan bersamaan dengan itu dilontarkan bahw;I demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal. Demokrasi yang kita terapkan adalah Demokrasi Pancasila sebagai pengejetawahan dari Pancasila. Disini kita tidak mengenal dominasi mayoritas dan tirani minoritas --- karena negani ini adalah negara kekeluargaan yang dikelola secara musyawarah dan mufakat atau konsensus. Jadi hukan demokrasigontok-gontokan.

Pemilu yang menjadi sarana demokrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 1/1985 sebagai perubahan UU no. 15/1969, UU No. 4/1975 dan UU No. 2/1980 haruslah melestarikan Demokrasi Pancasila. Para kontestan haruslah berusahaa seoptimal mungkin memenangkan Pemiludengan tidak mengalahkan pihak lainnya. Persoalannya: apa mungkin ? apa mungkin Pemilu sesuai dengan ketentuan perundangan diatas diadakan dan sejalan dengan demokrasi? disini ada 2 persoalan yang kita hadapi ya,itu persoalan sistem Pemilu itu sendiri dan kedua adalah bagaimana Pemilu itu dilaksanakan. Dari mana kita berangkat ? apakah kita mau berbicara dengan sistem pemilu itu sendiri yang sebetulnya masih belum memenuhi persyarakatan demokrasi. Ismail Suny menyebut pemilu kita ini hanya

Desember 1991

Page 5: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

564 Hukum dan Pembangunan

menghasilkan Demokrasi 40 % karena dari keseluruhan· anggota MPR

yang menjalankan kedaulatan rakyat banya 40% yanag dipilih oleh rakyat.

S isanya yang 60 % adalah hasil penunjukan dan pengangkatan. Disini

kcraguan akan adanya kedaulatan rakyat seharusnya bisa dipahami karena

tidak mungkin pasal 1 UUD 1945 dilaksanakan oleb 40% wakil-wakil

rakyat yang dipilih. Scandainya yang 40% itu dapat mewakili 40% rakyat,

itu masih lumayan. Tetapi mereka yang 40% itu biasanya kalab oleb

mereka 60% yang nota bene diangkat dan ditunjuk. Sebarusnya kita mesti

punya 100% wakil rakyat yang dipilh, tetapi jika hal ini tidak mungkin

untuk mengakomodir kelompok-kelompok minoritas maka seyogyianya

jumlah yang diangkat tidak lebih dari 10 %. Jadi kedaultan rakyat seperti

yang dikehendaki oleb pasal 1 UUD 1945 bisa kita wujudkan.

Persoalan yang juga sangat mendasar adalah persoalan siapa wakil­

wakil rakyat kita ? Apakah para anggota MPRIDPR bctul-betul mewakili

rakyat, dalam arti berasal dari rakyat, berdomisili diwilayah rakyat

pcmilihnya? Sistcm pcmilu yang kita anut --- sistem proposional --- tidak

mcnjawab pertanyaan ini, karen a sistem itu menyerahkan semua ealon

"wakil-wakil rakyat" kepada partai, dan nomor urut Uadi atau tidak jadi)

tergantung kepada "hargaining" oi partai. ladi scorang wakil rakyat

sesungguhnya hisa tiuak tcrpilih karena itu persyaratan domisili atau

"resident requirement" harus mcnjadi syarat nomor s..'\tu jangan mayoritas wakil-wakil rakyat herdomisili di Ibu kota. Indonesiakan bukan

lakarta? Karena itu sistem uistrik yang uiusulkan olch Seminar AD tahun

1966 dulu layak untuk uipertimhangkan.

Persoalan lain yang kita hisa ajukan adalah hal eara atau

penyclenggaraan Pemilu yang kaL1nya harus langsung, umum, hehas , dan

rahasia. lni memang prinsip umum yang bcrlaku dimanapun. Tetapi dari

pengalaman sclama orue haru ini kita selalu membaca hanyak sekali

pclanggaraan aL1S penye1enggaraan pcmilu ini yang pada umumnya

mcrugikan parta yang tidak berkuasa (PPP dan POI). Pemerintab yang

seharusnya berpcran sebagai "wasit yang impartial" sering dituduh scbagai

yang tidak impartial. Tctapi kcrena negara kekeluargaan yang bersandar

pada harmoni bcgitu disakralkan , pcrbedaan pendapat serta kon(1ik

cendcrung dikcsampingkan padahal rekonsiliasi atas pcrbcdaan pendapat

dan konOik tersebut yang kalau perlu melalui pengadilan justru sangat

mungkin melahirkan sintesa pikiran baru yang mungkin lebih menyem-

Page 6: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

Pemilu 565

purnakan penyelenggaraan Pemilu nantinya. Karena kepentingan politik pemerintah begitu kuat, sebaiknya wasit

juga diwasiti oleh pihak parpol dan golkar, dal!)ika perlu oleh LSM dan pers kita. Yang bisa saja berupa suatu task force khusus yang dibentuk disetiap pemilu. Sebuah Komite Pengawasan Pemilu agaknya lebih baik mengundang Komite Pengawas Internasional seperti yang terjadi di Nikaragua dan Philipina.

Berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu ini ada baiknya kita persoalkan soal kesederajatan peserta Pemilu dalam segalahal. Hendaknya ada aturan main yang jelas, yang tidak merugikan pihak tertentu. Perihal kampanye misalnya, kesederajatan inipenting termasuk dalam penggunaan fasililas negara. Jangan hendaknya pihak yang kebetulan menguasai birokrasi memanfaatkan birokrasi ini untuk kampanye, sementara pihak lain harus mengeluarkan dompetnya. Mungkin disini ada persoalan etika karena bisa saja pejabat yang bertugas ke daerah tiba-tiba berkampanye mewakili partainya. Ini bisa jadi tidak melawan hukum, tetapi hal ini bisa melanggar etika politik yang mengasumsikan peserta Pemilu sarna hak dan kewajibaimya. tentu hal ini tidak bisa dihilangkan secara tunlas, tetapi secara gradual hendaknya setiap pihak mawas diri bahwa dia bisa jadi menyalahgunakan birokrasi untuk kepentingan partai yang diwakilinya.

Persoalan lain yang kita harus kemukakan disini adalah persoalan litsus yang pernah diramaikan. Litsus ini pada dasamya adalah sensor alau screaning yang bisa saja bersifat administratif tetapi berdampak ideologis. Sebetulnya setelah kita memiliki Undang-Undang No. 1/1985 tentang Pemilu, UU No.311985 tentang Parpol dan Golkar, UU No.5/1985 tentang Referendum" dan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka tidak ada lagi alasan untuk mengadakan litsus. Sebab kelima undang-undang diatas telah menyelesaikan sacara tuntas ideologis, dan ternyata tidak ada yang mempersoalkan Pancasila lagi. Tidak berlebihan jika disirnpulkan bahwa litsus itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dengan kelima undang-undang diatas, tetapi anehnya tidak satupun yang mempersoalkannya, apalagi membawanya ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ditilik dari segi apapun litsus itu bisa merugikan kepentingan politik warganegara yang dianggap belum atau tidak pancasilais. Asas praduga 13k bersalah sudah dilanggar dengan ketentuan litsus ini.

Desember 1991

Page 7: PEMILU 1992 DITINJAU DARI HUKUM TATANEGARA*)

566 Hulcum dan Pembangunon

What Next Banyak yang dapat dikerjakan oleh peserta Pemilu baik pada masa

Pemilu maupun setelah Pemilu. Kalau agenda kerja akan dibuat maka agenda kerja itu bisa padat dengan rencana. Antara lain yang paling mendesak mungkin menghidupkan kembali perdebatan tentang sistem Pemilu dan jika mungkin mendorong terwujudnya sistem distrik agar Pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia bisa tercapai, agar kita betul-betul memiliki wakil rakyat bukan wakil fraksi dan wakil partai. Selanjutnya mengusahakan agar perdebatan di MPR/DPR tidak mutIak ditandai oleh sikap partisan dalam arti menjadi alat dari fraksi atau partai. Sebaiknya wakil rakyat menjadi wakil rakyat lebih dahulu barn wakil fraksi. Kepentingan fraksi harus tunduk kepada kepentingan rakyat bukan sebaliknya. Karena itu tidak salah jika dalam fraksi ada yang keluar garis, berbeda pendapat dan berbeda suara dengan fraksi, kalau dia memang menyuarakan kepentingan (aspirasi) politik masyarakat pemilihnya. Sebab tanggungjawab wakil rakyat terutama sekali harus diberikan kepada rakyat pemilih, bukan kepada fraksi. lni kalau kita mau menjadikan MPR/DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat bukan sekedar tempat nangkring wakil-wakil partai dan Golkar. Atas dasar ini kita seharusnya menghapuskan "hak recall" dari budaya politik kita.

Barangkali ide agar jumlah yang diangkat dikurangi secara gradual sampai akhimya tidak lebih dari 10% perlu diperjuangkan. Jangan nanti peserta Pemilu disalahkan sejarah karena mengabaikan tugas melaksanakan kedaulatan rakyat. Dan jika mau lebih jauh memikirkan dimungkinkannya peserta Pemilu baru, jika tidak melalui partai baru mungkin secara individual. Teknis mungkin akan sulit, tetapi jika ada calon wakil rakyat yang mau maju secara individual, hal ini barangkali bisa dipikirkan. Kalau hal ini dianggap melanggar konsensus Orde Baru, konsensus kan bisa diperbaiki ? Janganlah pembaharuan format politik terhambat karen a telah adanya konsensus karena pada akhimya, konsensus adalah jawaban situasional yang dibuat dalam kurun waktu tertentu dan mungkin kurun waktu lain kita sudah perlu konsensus lebih baru.

Untuk merancang sebuah agenda kerja yang berwawasan pembaharuan tentu dibutuhkan keterbukaan politik, tetapi yang tidakkalah pentingnya adalah kesiapan intelektual, politik dan financial dari partai dan Golkar khususnya mereka yang berada di Litbang. lnilah tantangan Litbang dimasa depan.