19
Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting Putu Sulistiawati Dewi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstrak Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi masalah itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak tersebut. Bone grafting merupakan teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graftsetelah pencabutan diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan. Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278. PENDAHULUAN Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal mikroskopik kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor sistemik. Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang dilakukan dengan tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.

Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bone g

Citation preview

Page 1: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting

Putu Sulistiawati Dewi

                         Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar     

Abstrak

Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur

tulang setelah pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya.

Untuk mengatasi masalah itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak

tersebut. Bone grafting merupakan teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru

ke dalam 

rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan.

Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal

dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda

genetik (allograft). Penempatan bone graftsetelah pencabutan diharapkan dapat merangsang

pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.

Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft

Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079,

7642701, 261278.

PENDAHULUAN

Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal

mikroskopik kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang

merupakan suatu kondisi patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor

lokal maupun faktor sistemik. Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang

dilakukan dengan tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada

tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk melakukan secara ideal dengan

teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan mencegah kemungkinan

terjadi komplikasi pencabutan gigi.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang kedokteran gigi telah memacu

perkembangan transplantasi jaringan. Transplantasi bertujuan untuk melakukan rekonstruksi

bagian tubuh yang mengalami kerusakan oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam

melakukan rekonstruksi dibutuhkan jaringan pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri

sendiri, species yang sama, maupun species yang berbeda. Pencabutan gigi yang melibatkan

pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan kerusakan pada tulang.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, adalah dengan

Page 2: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

penempatan bone graft pada tulang tersebut.3 Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan

kerusakan tulang rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut,

sehingga rahang tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang rahang.

Dalam pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang

sangat penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6 Perawatan kerusakan tulang dapat

dilakukan dengan memberikan bahan yang dapat merekonstruksi kerusakan tulang dengan cara

merangsang pembentukan tulang baru.

PENCABUTAN GIGI

Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan berubahnya posisi gigi dari tempatnya,

fraktur mahkota maupun akar gigi. Semua keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus

dicabut. Trauma yang lebih berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi

yang terletak pada garis fraktur, harus dicabut.

Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi atau akar gigi secara utuh, dengan

trauma jaringan pendukung gigi yang minimal dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini

membuat luka bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan

masalah prostetik pasca operasi dimasa mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi

tergantung pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen periodontal, serta perlekatan gingiva.

Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya diikuti dengan sedikit fraktur

pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan pencabutan dengan elevator dan tang tergantung

bagaimana kita melonggarkan alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan

perlekatan gingiva, oleh karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat

tersebut.

KERUSAKAN TULANG

Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik hilangnya struktur tulang yang dapat

disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi secara normal, penurunan formasi tulang pada saat

terjadi reabsorpsi secara normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan

formasi tulang. Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor

lokal penyebab kerusakan tulang adalah terjadinya inflamasi dan traumatik oklusi yang

menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian lateral

hingga permukaan akar. Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah pencabutan

gigi, trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang. Kerusakan tersebut sebagian

besar (90%) disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, terutama yang tidak mendapat

penanganan lebih lanjut.

Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan berlangsung lama dan tidak akan dapat

pulih seperti semula. Gusi cenderung mengempis karena semakin jarang digunakan atau

beraktivitas. Hal ini akan berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan

mengganggu dan menyulitkan pergerakan rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan

Page 3: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

memakai gigi tiruan, namun kerusakan tulang dan pengempisan gusi tidak dapat diatasi sehingga

terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting dilakukan untuk

merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi.

PERAWATAN CACAT TULANG

Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu:

banyaknya dinding tulang yang tersisa, luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar

yang terlibat, luasnya destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan

debridemen pada daerah cacat. Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit

daerah cacat semakin baik pula prognosisnya. Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu

perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor pemilihan kerusakan yang keliru,

kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan tulang serta adanya infeksi

dan disintegrasi dari bekuan darah.

Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara

yaitu : 1) Flap/kuretage/ debridement : beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan

seperti ini dapat menghasilkan peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini

sangat baik pada kerusakan tulang pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan

terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan furkasi derajat II

dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi ini. Pemilihan pasien dan

jenis kerusakan yang akan dirawat berperan penting bila biaya yang harus dikeluarkan

merupakan suatu pertimbangan,3)Ekstraksi selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan

untuk memberikan prognosis pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan

akan terisi dan dapat memberikan dukungan yang lebih baik.5,6

BONE GRAFT

Bone graft adalah tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk

rehabilitas kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu. Bone grafting merupakan

pembedahan untuk menempatkan tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau di antara

lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu

sendiri (autograft), atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau species

yang sama tetapi beda genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk, bentuk pipih, batangan, dan

kubus. Bahanbone graft merupakan suatu biomaterial yang memiliki sifat biokompatibilitas

sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempunyai pengaruh toksik atau menimbulkan

jejas terhadap fungsi biologis. Bone graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang

rusak (fraktur) yang disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak

dapat disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak normal, dan

sebagai penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.

Page 4: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Beberapa aplikasi bone grafting di dalam mulut adalah: menumbuhkan tulang yang

hilang akibat penyakit gusi, membentuk tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk

melakukan dental implant (hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut

terjadi pengurangan massa tulang), menempatkan graft pada daerah sinus untuk pemasangan

implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan kehilangan dasar

dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting untuk penempatan implant) dan

memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat infeksi gigi atau gigi impaksi.

Jenis-Jenis Bone Graft

Persyaratan dasar bahan graft adalah harus dapat diterima secara imunologis dan harus

mempunyai potensi osteogenik serta harus mempunyai sifat osteokonduksi dan

osteoinduksi. Bone graft dapat dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila

tulang diambil dari individu yang sama,allograft apabila tulang diambil dari individu yang beda

dengan spesies yang sama,xenograft, apabila tulang diambil dari spesies yang berbeda

serta graft bahan sintetis.

Autograft

Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel, konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa

didapatkan dari ekstra oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang

konselus memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tulang

konselus memiliki komposisi yang kurang padat. Walaupun demikian tulang ini lebih sulit

diambil dan biasanya tersedia dalam jumlah yang terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus

kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan konselus dengan prosentase tulang

kortikol yang lebih besar. Tulang yang berasal dari intra oral dapat diambil dari koagulum

tulang, tuberositas maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.

Penggunaan sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti prosedur

pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering berefek traumatik

terhadap pasien. Bahan dari luar mulut dapat diambil dari tulang Ilium.

Allograft

Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil dari individu yang berbeda sehingga

dapat menimbulkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali

diproses secara khusus. Berbagai usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah

dengan proses radiasi, pembekuan atau kimia.

Xenograft

Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu atau babi untuk digunakan pada

manusia. Graft hidroksiapatit yang berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau

Page 5: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

pemanasan tinggi (osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini menghasilkan

suatu hidroksiapatit alami tulang manusia. Bentuk lain dari xenograft adalah emdogain, suatu

kelompok protein matrik email yangdiambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong

pembentukan cementum yang kemudian diikuti oleh deposisi tulang.

Teknik Bone Grafting

Bone graft ditempatkan dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit

tertutup. Splin atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan

kerusakan tulang dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu pembersihan jaringan

granulasi, kemudian lakukan detoksifikasi permukaan akar untuk memudahkan masuknya

pembuluh darah dan sel yang baru, lalu tempatkan bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak,

padatkan dengan tekanan ringan hingga sedikit lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian

berikan instruksi pada pasien baik secara lisan maupun tertulis untuk memperkecil kemungkinan

komplikasi.

PENATALAKSANAAN BONE GRAFTING

Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang pasca pencabutan adalah sebagai berikut:

1) Setelah gigi dicabut, soket ditekan dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga

daerah bekas pencabutan terlihat jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan

jaringan granulomatous). Sebelum penempatan bahan bone graft ke dalam soket, semua jaringan

granulomatous harus dibersihkan dengan alat kuret atau alat bedah lain yang mempunyai fungsi

seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak diangkat, maka kemungkinan infeksi dapat terjadi

dan pembentukan tulang baru tidak akan terjadi meskipun diisi dengan bahanbone graft. 3)

Evaluasi dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran kerusakannya. Langkah

pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada soket. Faktor yang

menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah parahnya infeksi pada gigi, variasi

anatomi dan teknik pencabutan. Apabila dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan

untuk mengisi bahan bone graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus.

Membran yang dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai

banyak keuntungan untuk grafting pada tempat pencabutan. Jika garis incisi terbuka selama

penyembuhan, membran non resorbable akan terinfeksi dan mengurangi jumlah regenerasi

tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke daerah sel osteoprogenitor dan sebagai faktor

pertumbuhan tulang. Tanpa adanya suplai darah yang adekuat, proses grafting tidak akan

berhasil. Jaringan lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya

memperoleh suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami

perdarahan setelah pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin. 5)Memilih

bahan graft yang akan ditempatkan pada tulang yang rusak. Walaupun sulit didapat

tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik karena terdapat elemen-elemen sel-sel yang

Page 6: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

hidup dan masih aktif sehingga memungkinkan pertumbuhan tulang. Bahan graft dari tulang

sintetis atau bahan graft lainnya(PepGen P-15) merupakan bahan graft yang baik dan banyak

digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis ke dalam soket bekas

pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan gusi yang bertujuan untuk

penyembuhan di sekitar jaringan lunak. Setelah beberapa waktu diharapkan bahan graft akan

mulai meresorbsi dan merangsangpertumbuhan tulang yang baru.

Gambar 1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi

PEMBAHASAN

Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat terjadi meskipun sudah dilakukan

tindakan sebaik mungkin. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang

alveolar. Untuk mengetahui adanya kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya

fragmen tulang alveolar yang menempel pada akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang

alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang pencabut gigi atau adanya kelainan,

misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus terkadang disertai komplikasi fraktur

tulang labial khususnya bila tulang alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi incicivus kedua

atau dari gigi premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak

dicabut pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.

Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi oleh tulang yang telah rusak atau

hancur. Setelah gigi dicabut, akan terjadi resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan

terganggunya estetik, prostetik dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut

dapat dilakukan penambahan bahan dengan teknik Bone grafting yaitu prosedur pembedahan

untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke dalam tulang yang rusak sehingga dapat

menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau menempatkan bahan graft ke dalam soket

gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone graft bertujuan untuk mengembalikan kehilangan

atau kerusakan tulang yang disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat

pemakaian gigi tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk

penempatan implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang hilang di daerah

senyum dan mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi dicabut, tulang di sekitar akan

kolaps sehingga bone graft merupakan indikasi.

Page 7: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan dampak negatif dari segi estetik,

prostetik dan struktur tulang. Kerusakan tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting,

yang berfungsi mengembalikan kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru.

DAFTAR PUSTAKA

1. Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan kerusakan

tulang periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10 (edisi khusus): 520-25.

2. Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman

(penterjemah). 2ed Jakarta: EGC. 1999.

3. Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006

4. Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR syntetic

bone: histological long-term case history report. Journal of oral implantology 2000; 26(4): 276-

90

5. Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF, Vernino AR, Gray

JL. Silabus Periodonti 2000. 4ed Jakarta: EGC: 125-33.

6. Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass bone

replacement graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier membrane in treating

human mandibular molar class II furcations. J Periodonto2001; 72(2): 125-33

7. Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah).

Jakarta: EGC.1996.

8. Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman, Takei,

Carranza, Carranza’s clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB Saunders Co. 2002.

9. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic syllabus), Amaliya

(penterjemah). 4ed Jakarta: EGC.

10. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah). Jakarta:

Hipokrates. 1993.

11. Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting 1999-2007.Available

from: URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12, 2006.

12. Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry: review of

application and principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd

Den Today; 23(5): 108- Accessed May 30, 2004.

13. Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction. Available from:

URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting. Accessed sept 12, 2006.

Vol5No2

Asimetri dental dan wajah

Surwandi Walianto

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Page 8: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

ABSTRACT

Orthodontic treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic

diagnosis and treatment planning, it is important to recognize asymmetry. Undiagnosed

asymmetry may cause treatment time to be prolonged due to in change in treatment plan. The

cause of facial asymmetry fall into three main categories: trauma related, development defect, or

pathology. Asymmetry can be classified into dental, skeletal, muscular, functional, or

combination. In diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic

assessment are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle

involvement. Clinical evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry to assess

optimal relationship between dental and skeletal. It is necessary to supplemented diagnostic

records by photographs, PA radiograps, study models, facebow transfers.

Key words: asymmetry, dental, facial.

Korespondensi: Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax.

(0361) 261278

PENDAHULUAN

Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan adanya ketidaksimetrisan pada dental

atau wajah dari penderita yang merupakan keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh

pasien yang datang. Perawatan ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika

dental dan wajah, oleh karenanya pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan harus

diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga didapatkan hasil perawatan yang

simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan rahang bawah serta garis tengah

wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan

gigi atau penampilan wajahnya. Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari

adanya asimetri, akan membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus

melakukan perubahan pada rencana perawatan.

Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh asimetri pada lengkung gigi atau asimetri

relasi skeletal antara maksila dan mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah,

dapat ditemukan beberapa tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada

jaringan lunak, dan jaringan keras mempunyai peran yang besar terjadinya asimetri. Banyak

metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai besarnya asimetri, termasuk evaluasi

proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan menggunakan foto wajah, analisis radiografik atau

pemeriksaan klinis secara langsung.

ASIMETRI

Page 9: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang, titik

atau garis pada sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri

dentofasial adalah kompleks yaitu tidak terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi

juga seluruh komponen wajah dan seluruh struktur di sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks

dapat terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior, superoinferior dan mediolateral.

Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan

asimetri dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi

pada individu yang sama.2

PREVALENSI

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui prevalensi asimetri pada

remaja yang dirawat ortodontik, memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah

deviasi garis tengah mandibula terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah

kedua rahang (46%), deviasi garis tengah rahang atas terhadap garis tengah wajah (47% pada

geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar kiri dan kanan pada bidang

anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%) dan asimetri oklusal rahang bawah

(18%).4 Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-

kasus ortodontik.

Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat ortodontik memperlihatkan hasil

sebagai berikut : asimetri molar (30%), garis tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang

asimetris (12%) dan terlihat hubungan yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar

dengan asimetri wajah, garis tengah yang berimpit, dan ras.

ETIOLOGI

Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada

beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal

terlalu dini, atau akibat pencabutan gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan

kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula.5 Meskipun penyebabnya sangat

beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu defek

perkembangan, trauma, patologi.

ASIMETRI WAJAH

Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog

pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang

asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu

diperhatikan dalam merawat suatu maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa

asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal.

Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian yang

Page 10: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau

penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak

dapat dirawat dengan perawatan ortodontik.2

Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak

menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan

posteroanterior sefalogram. Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena

didukung jaringan lunak bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi

asimetri karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya

merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat diklasifikasikan

sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.

ASIMETRI DENTAL

Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan lengkung gigi

yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada segmen yang

sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau

sebagian. Deviasi garis tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis.

Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II.

Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang posterior karena pergeseran

mandibula,pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula (tidak

terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas.

DIAGNOSIS

Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan ketidaksimetrisan yang terjadi

akibat kelainan skeletal atau dental. Untuk mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat

dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi,

fungsional dan pola jaringan lunak wajah.

A. Pemeriksaan Klinis

1).Pemeriksaan kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head,mandibula dalam

keadaan relasi sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8 Pasien duduk di kursi dan

pemeriksa berdiri tepat di depannya. Langkah pertama adalah membuat garis tengah wajah,

dapat dilakukan dengan bantuandental floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas

kepala sampai bagian terbawah dari dagu. Garis yang terbentuk membagi dua alis mata,

mata, zygoma, lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.

2).Evaluasi garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini, oklusi

sentrik.

3).Evaluasi pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan dalam

ukuran, bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan anteroposterior horisontal. Gambar 2

Page 11: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

memperlihatkan pandangan frontal dan lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran

posterior unilateral. Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu

pasien lebih pendek dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak adanya

perbedaan panjang maksila kiri dan kanan. Relasi oklusi gigi memperlihatkan relasi molar Klas I

Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle pada sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada

pandangan oklusal, gigi molar kanan dan kiri tidak

memperlihatkan perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar

permanen pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke anterior

dibandingkan sisi kiri.12

Gambar 2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran posterior unilateral mandibula sebelah

kiri.12

4). Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam ukuran,

bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar 3 memperlihatkan

pasien dengan gigi dan bibir dalam keadaan berkontak. Garis terputus–putus menggambarkan

ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi dibandingkan sebelah kiri. Gambaran intra oral

memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap bidang oklusal. Pada sisi kanan pasien, terlihat

bagian maksila lebih besar dan ramus mandibula lebih panjang, bidang oklusalnya lebih rendah.

Pada sisi kiri, maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal

lebih tinggi.

Gambar 3. Asimetri karena pergeseran vertical.12

Pasien dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih tinggi

Page 12: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

dibandingkan mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi

dibandingkan yang kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang kanan, dan ramus

sebelah kiri lebih panjang dibandingkan sebelah kanan. Gambaran oklusi intra oral

memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada sisi kiri dan kanan.

Gambar 4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran vertikal.

5). Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan adanya

perbedaan pada jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial

pada sisi kiri dibandingkan dengan yang kanan. Pasien dengan kelainan ini (Gambar 5), pada

pandangan inferior terlihat ujung dagu bergeser ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital.

Mata kiri tampak lebih tinggi. Muka bagian bawah memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke

lateral terhadap bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri. Telinga sebelah kanan lebih

posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan silang pada gigi

molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri terlihat perkembangan yang

normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual

yang merupakan gigitan silang, tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.

Page 13: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Gambar 5. Asimetri karena pergeseran horizontal.

6). Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang disebabkan

pergeseran seluruh bagian maksila atau mandibula. Pada Gambar 6 terlihat seorang wanita

dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan pergeseran anterior unilateral pada maksila kiri.

Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat pada pandangan inferior mandibula. Ujung dagu dan

sudut gonial menentukan adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan tersebut, seluruh

mandibula berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari sebelah

kanan, dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.

Gambar 6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke kanan, dan pergeseran ke

anterior  maksila kiri.

B. Pemeriksaan radiografik

Page 14: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

1). Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur tulang,

bentuk kondil dan ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.

2). Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari struktur bagian

kiri dan kanan wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik maupun dengan mulut terbuka

untuk melihat adanya deviasi fungsional.

3). Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma, zygomatic arches.

DISKUSI

Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat diklasifikasikan sebagai kelainan

dental, skeletal, otot, dan fungsional. Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi

sulung secara dini, kehilangan gigi secara kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari,

dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri skeletal dapat pula disebabkan oleh

kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua rahang. Kelainan hemifasial

atrophy dan cerebral palsy dapat menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-

otot yang terlibat. Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan

yang menghalangi terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik. Penyebabnya dapat

berupa kontriksi rahang atas atau posisi gigi yang salah. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan

kontak dini saat relasi sentrik yang mengakibatkan terjadinya pergeseran mandibula.

Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi secara bersamaan, sehingga kita harus

dapat\ mendiagnosis dengan benar supaya dapat membuat rencana perawatan yang tepat.

Diagnosis adanya asimetri pada dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis,

pemeriksaan radiografik atau dapat pula dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan

tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing. Radiografik Panoramik

mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari proyeksinya membuat

pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram mempunyai keuntungan

dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata karena jaraknya dari sumber sinar

relatif sama, lebih akurat membandingkan bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis

tengah wajah dan gigigeligi. Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik

pemeriksaan klinis karena mereka mempresentasikan rekaman yang statis pada satu posisi saat

gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam posisi mandibula atau posisi kepala miring akan

menyebabkan foto atau posterior-anterior sefalogram tidak  akurat.

Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya sulit mendapatkan postur kepala yang

tepat, dan terjadinya superimpos juga menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan

tetapi posterior-anterior sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur bermacam-

macam lebar dental dan skeletal serta asimetri skeletal. Pemeriksaan secara klinis sangat penting

dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa pasien dalam relasi sentrik, oklusi sentrik,

dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat itu juga bila posisi pasien tidak benar. Pemeriksaan

klinis memerlukan pemeriksaan tambahan seperti foto, model,facebow transfer, agar lebih

akurat.

Page 15: Penatalaksanaan Kerusakan Tulang Pasca Pencabutan Dengan Teknik

Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena kelainan pada struktur dental,

skeletal, otot, dan fungsional, serta dapat terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama.

Oleh sebab itu dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang

teliti dan hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang peranan yang sangat penting dalam

mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi

pasien dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil yang

akurat diperlukan juga pemeriksaan lain seperti posterior –anterior sefalogram, panoramik

dan submental vertex radiografik untuk menganalis kelainan skeletalnya, sedangkan model

dan facebow transfer untuk melihat oklusi di luar mulut pada model.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134.

2. Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954; 24(4): 79-183.

3. Goldstein RE. Change your smile. 3ed. HongKong: Quintessence Publishing. 1997: 4-5.

4. Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of orthodontic

asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3):144.

5. Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries.Semin

Orthod 1998; 4(3): 153.

6. Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod1992; 19(4): 273.

7. Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces.Angle

Orthod 1991; 61(1): 47.

8. Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998; 4(3): 190-3

9. Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601.

10. Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review.Angle

Orthod 1994; 64(2): 92-5.

11. Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent Clin North

Am 1997; 41(1):31-4.

12. Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J Orthod 1961;

47(11): 814-25.

13. Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987;

21(7): 448.