89
PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S. H.) Oleh: KHAERUL RIZAL NIM 11140480000123 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

  • Upload
    ledien

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK

SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S. H.)

Oleh:

KHAERUL RIZAL

NIM 11140480000123

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK

SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah

Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

KHAERUL RIZAL

NIM 11140480000123

Pembimbing:

Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

NIP. 19540303 197611 1 001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 3: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK

SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK

INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)”

telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program

Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal

10 Januari 2019, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 23 Januari 2019

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.

NIP 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. (…………….)

NIP. 19691121 199403 1 001

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. (…………….)

NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. (…………….)

NIP. 19540303 197611 1 001

4. Penguji I : Abdul Qodir, S.H., M.Hum. (…………….)

NIP. 19550614 197803 1 002

5. Penguji II : Dr. Sodikin, S.H., M.H. (…………….)

NIDN. 3100568001

Page 4: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Khaerul Rizal

NIM : 11140480000123

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 11 Juli 1995

Prodi/Fakultas : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum

Alamat : Kp. Guha Desa Lembang Sari, RT/RW

009/05 Rajeg, Tangerang, Banten.

No. Handphone : +62838 7014 2014

Dengan ini, menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Desember 2018

KHAERUL RIZAL

NIM 11140480000123

Page 5: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

ABSTRAK

KHAERUL RIZAL 11140480000123 FUNGSIONARIS PARTAI

POLITIK SEBAGAI CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

DAERAH DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018), Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019

M/1439 H, x + 74 Halaman.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah adanya dua Putusan Pengadilan

yang eksis dan bertentangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/218

tentang pencalonan fungsionari partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan

Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan pencalonan

fungsionaris partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

selain itu untuk mengetahui penyebab terjadinya dualisme Putusan Mahkamah

Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018 tentang keabsahan fungsionaris partai politik sebagai calon anggota

DPD, dan untuk mengetahui implikasi kedua putusan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis

normatif dengan pendekatan konseptual. Bahan kajian utama adalah Putusan

Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018. Mahkamah Agung menyatakan Pasal 60A Peraturan

KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU

Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak sah dan batal demi hukum.

Peraturan KPU tersebut merupakan tindak lanjut oleh KPU terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

tidak berlaku surut. Mahkamah Agung menilai bahwa sejak putusan Mahkamah

Kontitusi tersebut dikeluarkan tahapan pemilu sudah dimulai dengan adanya

penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD. Di sisi lain,

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tetap menjalankan Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dan tidak mencantumkan calon anggota DPD yang tidak

mengundurkan diri sebagai fungsionaris partai politik dalam Daftar Calon Tetap

(DCT) calon anggota DPD. Terjadinya dualisme putusan tersebut karena

perbedaan penafsiran oleh KPU dan Mahkamah Agung terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 tentang Daftar Calon Sementara

(DCT) calon anggota DPD.

Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Fungsionaris Partai Politik, Mahkamah

Agung.

Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2016

Page 6: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi Wassallam.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara langsung

maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan

menyelesaikan skripsi

4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi, yang

dengan arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa

menyelesaikan skripsi ini

5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan

sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.

6. Pihak­pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan

studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan

pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang

bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti

Page 7: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para

pembaca umumnya. Amiin

Jakarta, 22 Desember 2018

Peneliti,

Khaerul Rizal

Page 8: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8

D. Metode Penelitian ............................................................................. 9

E. Sistematika Penelitian .................................................................... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual .................................................................... 14

1. Negara Demokrasi ................................................................... 14

2. Sistem Pemilu di Indonesia ..................................................... 18

3. Judicial Review ....................................................................... 22

B. Kerangka Teori ............................................................................... 32

1. Teori Demokrasi Konstitusional ............................................. 32

2. Teori Sistem Bikameral ........................................................... 33

3. Teori Kedaulatan Rakyat ......................................................... 35

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu .............................................. 36

Page 9: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

iii

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK DAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

A. Partai Politik ................................................................................... 40

1. Pengertian Partai Politik .......................................................... 40

2. Sejarah Singkat Partai Politik di Indonesia ............................. 44

3. Sistem Partai Politik di Indonesia ........................................... 49

B. Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) .................................................. 51

1. Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Daerah ............................ 51

2. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah ................................ 55

3. Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah ...................... 58

BAB IV FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI CALON

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM

PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 ...... 62

B. Dualisme Putusan Mahkamah Agung Nommor 65 P/HUM/2018

dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 .... 68

C. Implikasi Putusan Mahkamah Agung Nommor 65 P/HUM/2018

dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 .... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 72

B. Rekomendasi .................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75

Page 10: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada 15 Agustus 2018 Presiden Indonesia mengesahkan Undang-

undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam Undang-

undang tersebut terdapat peraturan atau pasal-pasal yang berkaitan dengan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pasal-pasal tersebut salah satunya

mengatur tentang peserta pemilihan umum anggota DPD, yaitu pasal 181,

pasal 182 dan pasal 183.

Kemudian pada 4 April 2018, terdapat permohonan pengujian

Undang-undang Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan

tersebut atas nama Muhamad Hafidz. Pemohon memohonkan pengujian

atas Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilu, yaitu:

“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 dapat

menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:

(l) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,

notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan

pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan

keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan

konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai

anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Menurut pemohon, tidak adanya pemaknaan yang jelas terhadap

frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf l Undang-undang Pemilu telah

memberikan kemungkinan terhadap fungsionaris partai politik sebagai

calon anggota DPD. Selain itu, menurut pemohon apabila terdapat anggota

DPD yang berasal dari fungsionaris partai politik, maka anggota DPD

dimaksud akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform partai

Page 11: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

2

politik ketimbang mengutamakan kepentingan daerah secara keseluruhan.

Oleh karena itu, petitum dari permohonan yang diajukan oleh Muhamad

Hafidz yaitu menyatakan frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf (l)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

dimaknai termasuk sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik.

Pada 23 Juli 2018 Mahkamah Konstitusi memutus pengujian

Undang-undang Pemilu tersebut dan mengabulkan permohonan pengujian

yang diajukan oleh Muhamad Hafidz, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018.

Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga negara yang lahir dari

hasil amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dengan tuntutan reformasi 1998 dan tujuan menghilangkan

penyelenggaraan negara yang bersifat sentralistik pada masa pemerintahan

sebelumnya yang secara signifikan telah menimbulkan kekecewaan

terhadap daerah kepada pemerintah pusat. Selain itu, hal tersebut juga

merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam mengelola daerah sebagai

basis bernegara. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dimaksudkan juga untuk

memperkuat hubungan daerah-daerah dan sebagai wadah aspirasi daerah

sekaligus memperteguh persatuan bangsa dengan membawa isu-isu yang

ada di daerah menjadi suatu isu Nasional.1 Dewan Perwakilan Daerah

merupakan lembaga yang memiliki kedudukan sebagai wakil dan

representasi dari daerah (Provinsi).2

Salah satu tujuan perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945

adalah agar terciptanya fungsi Check and Balances dalam lembaga

kenegaraan dengan demikian kekuasaan tidak bertumpu dengan hanya pada

1 Khamami Zada, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Reformasi

Kelembagaan Perwakilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No. 1

(Juni, 2015), h. 26-27.

2 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfa, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung:

PT Alumni, 2010), Cet. 1, h. 126.

Page 12: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

3

satu institusi negara saja. Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah salah

satunya dimaksud agar mekanisme Check and Balances berjalan relative

seimbang.3 Dalam amandemen ketiga dan keempat keberadaan DPD

mendapatkan dukungan kuat dari gerakan reformasi 1998. Pada

amandemen ketiga anggota DPD yang merupakan fraksi di Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi dipilih oleh presiden dalam

proses rekrutmennya, tetapi anggota DPD dipilih oleh langsung oleh rakyat

melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem rekrutmen anggota DPD

tersebut yang semula ditunjuk menjadi dipilih oleh rakyat melalui pemilu

merupakan salah satu wujud dari desakan gerakan 1998 dalam mewujudkan

demokrasi di Indonesia. Sri Sumantri dan Mochamad Isnaeni Ramadhan

menyatakan bahwa pembentukan DPD tidak lepas dari adanya tuntutan

demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan

rakyat sebagai pemilih.4 Selain dalam hal pemilihan, hak yang diberikan

negara kepada warga negaranya dapat menjadi cermin dari kehidupan

demokrasi di negara teersebut. Negara yang menganut demokrasi akan

memberikan hak pilih baik pasif maupun aktif kepada setiap warga

negaranya tanpa terkecuali.5 Oleh karena itu, sistem yang dipakai sekarang

dalam perekrutan anggota DPD adalah sistem pemilihan umum. Ketentuan

tentang pemilihan umum diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilihan umum.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara

pemilu. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara

Republik Indonesia 1945. Dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, pada tanggal 9 Agustus 2018 Komisi

3 Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD

1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 113.

4 Muhamad Ali Safa’at, Parlemen Bikameral, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010)

h. 95.

5 Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali

Press, 1982), h. 70.

Page 13: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

4

Pemilihan Umum mengesahkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018

Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Daerah.

Pada 25 September, Oesman Sapta mengajukan judicial review

terhadap Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tersebut kepada Mahkamah

Agung. Pemohon adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan

jabatan sebagai Ketua, selain itu juga sebagai Ketua Umum Pimpinan Partai

Hati Nurani Rakyat (HANURA) Periode 2015-2020. Petitum dari

permohonan tersebut salah satunya adalah menyatakan Peraturan KPU

Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (1) dan (2)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, jo Pasal 10 Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, Selain itu menyatakan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018

tidak sah dan batal demi hukum.

Pada 25 Oktober 2018, Mahkamah Agung mengabulkan

permohonan Oesman Sapta, tetapi putusan Mahkamah Agung baru disebar

pada tanggal 10 November 2018. Putusan tersebut adalah Putusan

Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dengan amar putusan

mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 60A

Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat

(1) huruf i Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Peraturan KPU Nomor 14 Tahun

2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Perserta Pemilu Anggota Dewan

Perwakilan Daerah, yaitu:

Pasal 60A

(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan peserta Pemilu menjadi

bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal

60 ayat (1) huruf p, termasuk tidak dalam kedudukannya sebagai

Page 14: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

5

pengurus partai politik tingkat pusat, pengurus partai politik

tingkat daerah provinsi dan pengurus partai politik tingkat

daerah kabupaten/kota.

(2) Bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pengurus

partai politik sebelum masa pendaftaran calon Anggota DPD.

(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah memenuhi syarat calon

atau belum memenuhi syarat calon dan sedang dalam proses

perbaikan syarat calon atau sedang dilakukan verifikasi syarat

calon, dapat tetap menjadi bakal calon Anggota DPD dengan

wajib menyampaikan:

a. Surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik

yang bernilai hukum dan tidak dapat ditarik kembali,

yang ditandatangani oleh bakal calon Anggota DPD

yang bersangkutan dan dibubuhi materai cukup; dan

b. Keputusan pimpinan partai politik sesuai dengan

kewenangannya berdasarkan anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga partai politik, tentang

pemberhentian bakal calon Anggota DPD yang

bersangkutan sebagai pengurus partai politik.

(4) Surat pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud

pada Ayat (3) huruf a disampaikan kepada KPU melalui KPU

Provinsi/KIP Aceh paling lambat 1 (satu) hari sebelum

penetapan DCS Anggota DPD.

(5) Keputusan pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) huruf b, disampaikan kepada KPU melalui KPU

Provinsi/KIP Aceh paling lambat 1 (satu) hari sebelum

penetapan DCT Anggota DPD.

(6) Dalam hal surat pernyataan pengunduran diri dan keputusan

pimpinan partai politik tidak disampaikan pada masa

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), bakal calon

Page 15: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

6

Anggota DPD dinyatakan tidak memenuhi syarat dan namanya

tidak dicantumkan dalam DCS Anggota DPD atau DCT

Anggota DPD.

Dalam hal ini, menurut “asas kesesuian antara jenis, hierarki, dan

materi muatan” seharusnya segala bentuk peraturan perundang-undang dan

Putusan pengadilan terdapat harmonisasi di dalamnya. Dalam hal ini,

Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 terdapat

ketidakwajaran karena terdapat kesenjangan dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Menurut Pakar Hukum Tata Negara

Refly Harun, Putusan Mahkamah Agung yang menguji dan mengabulkan

permohonan uji materi yang diajukan Ketua Umum Partai Hanura Oesman

Sapta Odang (OSO) bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

(Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018). Selain itu,

Menurutnya dikabulkannya gugatan uji materi oleh Mahkamah Agung

dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, karena terdapat dua putusan

yang eksis dan bertentangan.6

Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Mantan Ketua Mahkamah

Konstitusi Mahfud MD berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Agung

tentang uji materi yang diajukan Oesman Sapta tersebut tidak wajar. Selain

itu, Mahfud MD menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

setara dengan Undang-undang.7 Kemudian senada dengan Mahfud MD,

Bivitri Susanti seorang pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia

(STHI) sekaligus pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

(PSHK) menilai bahwa Putusan uji materi Peraturan KPU ini adalah

cerminan buruk karena proses uji materi di Mahkamah Agung tidak terbuka

yang tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya putusan Mahkamah

6 Bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Agung Timbulkan

Ketidakpastian Hukum. https://nasional.kompas.com/read/2018/11/01/06042201/bertentangan-

dengan-mk-putusan-ma-soal-oso-bisa-timbulkan-ketidakpastian.

7 Mahfud MD: Putusan Mahkamah Agung Soal Oso Tak Wajar.

http://m.tribunnews.com/nasional/2018/11/07/mahfud-md-putusan-ma-soal-oso-tak-wajar.

Page 16: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

7

Agung tersebut mengandung keanehan karena telah membenturkan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang derajatnya setara dengan Undang-

undang.8

Berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan “asas keselarasan jenis,

hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan” perlunya kajian

lebih lanjut tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018.

Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan judul Pencalonan

Fungsionaris Partai Politik Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, beberapa pokok permasalahan perlu

dikaji dan diteliti yaitu diantaranya:

a. Ketidakpastian hukum pencalonan fungsionaris partai politik

sebagai calon anggota DPD.

b. Dualisme Putusan Peradilan yaitu Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Mahkamah Agung

Nomor 65 P/HUM/2018.

c. Penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor

26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU

Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan

Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah

yang dinilai berlaku surut.

d. Ketidakselarasan hukum sebagai implikasi dari Putusan

Mahkaham Agung Nomor 65 P/HUM/2018.

8 Alasan Mahkamah Agung Batalkan Larangan Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD Untuk

Pemilu 2019. https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5be426e49644e/alasan-ma-batalkan-

larangan-parpol-jadi-anggota-dpd-untuk-pemilu-2019.

Page 17: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

8

2. Pembatasan Masalah

Mengingat cakupan persyaratan dan ketentuan pencalonan anggota

DPD dalam undang-undang pemilu dan peraturan KPU cukup luas.

Oleh karena itu, peneliti membatasi hanya pada ketentuan pencalonan

fungsionaris partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) Republik Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Perumusan masalah peneliti jabarkan dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana kebasahan fungsionaris partai politik sebagai calon

anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?

b. Mengapa terjadi dualisme Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018 dan Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 tentang

keabsahan fungsionaris partai politik sebagai calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD)?

c. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keabsahan pencalonan anggota DPD.

b. Untuk mengetahui penyebab terjadinya dualisme Putusan

Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah

Agung 65 P/HUM/2018 tentang keabsahan fungsionaris partai

politik sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

c. Untuk mengetahui implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018.

Page 18: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

9

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu secara

teoritis diharapkan memberi sumbangan penelitian terhadap khasanah

keilmuan terhadap bidang hukum, sekaligus sebagai data kajian lanjutan

bagi peneliti yang hendak meneliti tekait fungsionaris partai politik

sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah. Secara praktis, penelitian

ini diharapkan memberi manfaat sebagai bahan evaluasi dan masukan

untuk menentukan regulasi pencalonan anggota Dewan Perwakilan

Daerah (DPD). Selain itu, memberikan pengembangan wacana dan

pemikiran bagi pembuat peraturan perundang-undangan dan penegak

hukum.

D. Metode Penelitian

Dalam metode penelitian dibahas dua hal, yaitu metode

pengumpulan data dan metode analisis data. Penelitian yang merupakan

kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang

dilakukan secara metodologis, konsisten dan sistematis. Metodologis

artinya menggunakan metode tertentu dan sistematis yaitu berdasarkan

suatu sistem yang sudah ditetapkan.

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

pendekatan ilmu perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

ilmu perundang-undangan adalah menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.9

Perundang-undangan yang berkaitan dengan fungsionaris partai politik

sebagai calon anggota DPD diantaranya yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

c. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h.

93.

Page 19: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

10

Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Daerah

d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018

e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/XVI/2018

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah jenis

penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang berlaku dan

hidup dimasyarakat, norma-norma hukum dalam peraturan perundang-

undangan, serta norma-norma hukum yang tercantum dalam putusan-

putusan pengadilan.10

3. Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, artinya data

yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder tersebut

diantaranya adalah dokumen-dokumen resmi, buku-buku ilmiah, hasil

penelitian yang berbentuk laporan, dan lain-lain.11 Data sekunder

tersebut meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier. Oleh karena itu, bahan hukum yang digunakan

dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam

penelitian ini, diantaranya yaitu: (1) UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum. (3) Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018. (4) Putusan Mahkamah Agung Nomor

65 P/HUM/2018. (5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor

10 Soedjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peraturan dan Penggunaan Kepustakaan di

Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979) h. 18.

11 Soedjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,

1986), cet 3, h. 43.

Page 20: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

11

14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

adalah buku-buku kajian hukum, buku kajian tentang DPD, jurnal

hukum, skripsi tentang hukum dan DPD, dan karya tulis ilmiah

lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan Tersier

Bahan non-hukum merupakan bahan untuk penelitian ini yang

memberikan petunjuk atau penjelasan tentang hal yang berkaitan

dengan penelitian ini. Bahan non-hukum tersebut seperti Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan ensiklopedia.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah mengmpulkan semua bahan kajian yang diperoleh. Setelah itu

semua data tersebut di sortir sesuai hierarki peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia. Teknik pengumpulan data

penelitian ini menggunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan

untuk mengklarifikasi masalah yang di teliti. Bagi penelitian hukum

normatif data-data yang diperlukan diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Oleh karena itu, dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum

tersebut tidak lepas dari berbagai penafsiran yang disebut dengan ilmu

hukum.12

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah yang digunakan

12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003), h. 163.

Page 21: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

12

untuk menemukan kebenaran berdasarkan norma dalam logika

keilmuan hukum.13

5. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah

Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tentang Pengujian Materiil Peraturan

Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018

Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Daerah.

Sumber lainnya dijadikan bahan tambahan sebagai pelengkap

penulisan penelitian ini yang didasarkan untuk mendapatkan data dan

infomrasi yang akura kemudian dikembangkan untuk menemukan

solusi dari permasalahan yang sedang dialami.

6. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian disortir

menjadi Bab dan sub-bab. Selain itu, data yang telah disortir disusun

dan dirinci secara beruntutan dan sesuai hierarki peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia. Kemudian data tersebut diolah

dengan metode induktif dan deduktif. Metode induktif dilakukan

dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berkaitan dengan objek

yang diteliti, sedangkan metode deduktif dilakukan dengan membaca,

menafsirkan dan melakukan komparasi terhadap bahan hukum lain yang

berkaitan sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan

penelitian.14

7. Analisis data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten.

Semua bahan yang telah dikumpulkan dan disortir tersebut kemudian

13 J. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Univeristas Muhamadiyah Malang Press, 2007), h. 57.

14 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1997), h. 71.

Page 22: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

13

dikaji dan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan atau

putusan pengadilan dari objek penelitian. Selain itu, turut pula dikaji

dengan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pemilihan dan

pencalonan anggota DPD. Kemudian hal yang utama adalah pengkajian

terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 terkait

substansi, makna, kata, ide, atau materi yang terdapat dalam objek

penelitian tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh tentang penelitian ini,

maka sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I, terdiri dari latar belakang masalah, idenfikiasi masalah, pembatasan

masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.

BAB II, berisi kajian pustaka tentang negara demokrasi, pemilu dan judicial

review. Selain itu, terdapat juga pemaparan teori demokrasi konstitusional,

teori sistem bikameral dan teori kedaulatan rakyat.

BAB III, menjelaskan profil lembaga subjek penelitian tentang Mahkamah

Agung. Pemaparan tentang Mahkamah Agung meliputi sejarah

terbentuknya Mahkamah Agung, judicial review di Mahkamah Agung dan

putusan Mahkamah Agung.

BAB IV, berisi analisis terhadap putusan Mahkamah Agung dan komparasi

dengan putusan Mahkamah konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Selain

itu, dicantumkan juga implikasi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor.

BAB V, merupakan penutup dari pembahasan dan penelitian ini. Dalam

bagian ini, berisi simpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi

berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.

Page 23: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Negara Demokrasi

Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata state (Inggris), staat

(Jerman dan Belanda) atau Etat (Prancis) yang diserap dari bahasa Latin

status atau statum yang artinya sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang

tetap dan tegak. Istilah bahasa Latin status dan statum berkaitan dengan

istilah lo stato yang diperkenalkan oleh Noccolo Machiaveli (1469-

1527) dalam bukunya yang berjudul The Prince.1 Negara (state) telah

dikenal sejak masa Yunani Klasik, yaitu Polis yang artinya Kota (city)

yang merupakan suatu negara. Polis atau Negara memiliki wilayah yang

tidak luas, sehingga rakyatnya tidak berjumlah banyak dan relatif saling

mengenal. Oleh karena itu, dalam sejarahnya daerah tersebut

menerapkan demokrasi langsung yang diawali oleh pidato Pericles di

depan masyarakat Athena pada zaman Yunani Klasik sebelum masehi.2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Negara mempunyai

beberapa arti, yaitu (1) organisasi di suatu wilayah yang mempunyai

kekuasaan tertinggi yang sah yang ditaati oleh rakyat (2) kelompok

sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi

di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai

kekuasaan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan

nasionalnya.3

Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, yaitu organisasi

pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari

1 F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 90.

2 Anwar Arifin, Perspektif Ilmu Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h. 33.

3 Rafael Marga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 189.

Page 24: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

15

masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-

hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala

kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama

sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah

organisasi yang dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan

kekuasannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya

dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Negara

menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat

digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu dan golongan

atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian dapat

mengintegrasikan dan membmbing kegiatan-kegiatan sosial dari

penduduknya ke arah tujuan bersama.4

Negara mempunyai tugas yaitu mengatur dan mengendalikan

gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat yang

bertentangan antar sesama. Selain itu, negara juga bertugas

mengorganisir dan mengintegrasikan aktivitas individu dan golongan

supaya tercapai tujuan dari cita-cita masyarakat.5

Tujuan Negara pada umumnya yaitu, (1) Menlindungi masyarakat

dan bangsanya dari berbagai bahaya kehancuran yang datang dari luar.

(2) Melindungi masyarakat terhadap kehancuran dari dalam karena

pertentangan masyarakat itu sendiri. (3) Meningkatkan kesejahteraan

umum dan memajukan kebudayaan.6

Selain itu, menurut Charles E. Merriam yang dikutip oleh Ellya

Rosana dalam jurnalnya yang berjudul Demokrasi dan Hak Asasi

Manusia disebutkan tujuan negara adalah sebagai berikut:

a) Kemanan ke luar (External Security)

4 A. Ubadillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan

Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 33.

5 Soelistyati dan Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h.

59-60.

6 Soelistyati, Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik,… h. 73.

Page 25: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

16

b) Ketertiban di dalam (Internal Order)

c) Keadilan (Justice)

d) Kesejahteraan Umum (General Welfare)

e) Kebebasan (Freedom)7

Sementara itu, Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani. Secara

etimologis yaitu terediri dari dua kata yaitu demos dan cratos. Demos

berarti rakyat atau penduduk suatu tempat. Cratos berarti kekuasaan

atau kedaulatan. Oleh karena itu, secara bahasa demokrasi adalah

keadaan negara dalam sistem pemerintahannya kedualatan berada di

tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dakam keputusan bersana

rakyat, rakyat berkuasa pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh

rakyat.8 Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan

suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan

warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara

tersebut.9

Pengertian demokrasi menurut beberapa ahli yaitu, menurut Sidney

Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan

dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung

atau tudak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang

diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.10 Selain itu, Affan Gafar

memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara

normatif dan empiris. Demokrasi normatif adalah demokrasi yang

secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, sedangkan

demokrasi empiris adalah demokrasi dalam perwujudan pada dunia

7 Ellya Rosana, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs, XII, 1

(Januari, 2016), h. 42.

8 Dede Rosyada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada

Media, 2000), cet. 1. h. 110.

9 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219.

10 Dede Rosyada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani,… h. 112

Page 26: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

17

politik praktis.11 Di sisi lain, Henry B. Mayo menyatakan demokrasi

sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa

kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang

diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan selenggarakan dalam

suasana terjaminnya kebebasan politik.12

Makna demokrasi sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara

memberikan pengertian bahwa rakyat berhak menentukan ketentuan

dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam

menilai kebijakan negara, kebijakan tersebut dapat menentukan arah

kehidupan rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem

demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak

dan kemauan rakyat. Menurut Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya

demokrasi sebagai sistem masyarakat dan bernegara. (1) Hampir semua

negara di dunia telah menerapkan demokrasi menjadi asas yang

fundamental. (2) Demokrasi sebagai asas kenegaran secara esensial

telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk

menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu di

perlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga

masyarakat tentang demokrasi.13

Di sisi lain, Juan J. Linz dan Alferd Stephan membuat kriteria pokok

mengenai demokrasi, yaitu:

Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-

alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat,

berbicara dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang.

Persaingan yang bebas dan anti kekerasan diantara pemimpin

11 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society, (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012) cet.1, h. 41.

12 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan Kuliah di

Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) ed. 3 cet. 2, h. 100.

13 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 86.

Page 27: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

18

dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang

pemerintahan, dimasukkanya seluruh jabatan politik yang efektif

didalam proses demokrasi dan hak berperan serta bagi semua

anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka. Secara

praktis ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai partai politik

dan menyelenggarakan Pemilihan Umum yang bebas dan jujur

pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politik

efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung.14

Menurut Franz Magnis Suseno, ciri-ciri hakiki negara demokratis

yaitu, (1) Negara Hukum, (2) Pemerintahan yang dibawah kontrol

masyarakat, (3) Pemilihan umum yang bebas, (4) Prinsip Mayoritas, dan

(5) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.15

2. Sistem Pemilu di Indonesia

Pemilu adalah salah satu representatif dari kedaulatan rakyat yang

konkrit karena melibatkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan

negara. Pemilu mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme

pemerintahan secara tertib, teratur dan damai. Di samping itu, pemilu

diharapkan menciptakan suatu masyarakat yang kritis dalam arti bersifat

selektif dalam menentukan pilihannya. Masyarakat memilih seseorang

untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaannya dalam pemerintahan

negara sekaligus sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya

pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena pemilu

merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung serta

mewujudkan kepentingan masyarakat yang dirumuskan daam berbagai

bentuk kebijaksanaan.16

14 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 72.

15 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi,… h. 72.

16 Budiyono, “Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis”, Jurnal Fiat Justicia

Ilmu Hukum, 7, 3 (September 2014), h. 282.

Page 28: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

19

Dalam sejarah perjalanan Indonesia, pemilu merupakan upaya nyata

dalam mewujudkan tegaknya demokrasi dan merealisasikan kedaulatan

rakyat dengan prinsip jujud dan adil (jurdil) serta langsung, umum,

bebas dan rahasia (luber). Pemilu juga merupakan panggung bagi partai

politik dalam berkompetisi untuk mendapatkan simpati rakyat dalam

memperoleh kekuasaan politik yang legitimasinya sah secara

konstitusional.

Menurut Matori Abdul Djalil, Pemilu adalah memberikan kepastian

terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan secara konstitusional untuk

melahirkan pemimpin yang legitimatif. Pemilihan umum adalah wujud

dari pelaksanaan kedaulatan rakyat secara mendasar di negara

demokrasi. Pemilihan umum dimaksudkan sebagai wahana formal

untuk membentuk tatanan negara dan masyarakat menuju tatanan yang

lebih baik dapat menjadi filter kepercayaan rakyat terhadap partai politik

yang menjadi pemikiran rakyat.17 Sedangkan menurut Syamsudin Haris

menyatakan bahwa Pemilu adalah 2 lembaga sekaligus praktek politik

yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.18

Di sisi lain, Muhamad A. S Hikam menyatakan bahwa pemilu

merupakan lembaga sekaligus praktek politik yang mempunyai dua

dimensi yang terlihat berseberangan. 19 Pertama, pemilu pada umumnya

dimengerti sebagai sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat dan

sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk memilih wakil-wakil

mereka. Kedua, pemilu merupakan salah satu sarana untuk memperkuat

politik pemerintah, sehingga keberadaannya, kebijaksanaanya, dan

17 Matori Abdul Djalil, Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu 1999 dalam

Transisi, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 33-35.

18 Syamsudin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1998), h. 7.

19 Muhamad A. S Hikam, Pemilu dan Legitimasi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1998), h. 49-50.

Page 29: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

20

program-program yang dibuatnya dapat diwujudkan dengan lebih

mudah dan memiliki sanksi yang kuat.

Menurut Jimly Asshiddiqie, tujuan dari penyelenggaraan pemilu

yaitu ada empat: (1) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan

kepemimpinan pemerintah secara tertib dan damai; (2) Untuk

memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili

kepentingan rakyat dilembaga perwakilan; (3) Untuk melaksanakan

prinsip-prinsip kedaulatan rakyat di lembaga perwakilan; (4) Untuk

melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.20

Indonesia telah mengenal pemilihan umum pertama sejak tahun

1955 hingga yang terakhir 2014. Pemilihan umum yang pertama

dilaksanakan pada masa Orde Lama keikutsertaan empat partai besar

yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), NU, Partai Komunis Indonesia

(PKI), dan Masjumi serta beberapa partai kecil lainnya seperti Partai

Katholik, Parkindo dan PSII.21 Setelah masa Orde Lama, Pemilu

selanjutnya yaitu pada tahun 1971 yaitu pada masa Presiden Soeharto

dengan keikutsertaan sepuluh partai politik. Pada masa itu serangkaian

pemilu “dikuasai” oleh rezim yang hanya mengizinkan tiga partai politik

yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia

(PDI), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya pada tahun

1999 penyelenggaraab pemilu terdapat perubahan, partai politik

dikembalikan pada fungsi awalnya. Kemudian pada 2004 dengan

perkembangan dan pola pemillihan presiden yang dilakukan secara

langsung, maka pada pemilu 2009 diadakan kembali sistem pemilu yang

dama dengan perbaikan pada beberapa kekurangan pada pemilu

sebelumnya. Terkahir pemilu tahun 2014 untuk pemilihan legislatif

pusat dan daerah pada bulan April 2014, dan pemilihan presiden pada

20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 175.

21 Farahdiba Rahma Bachtiar, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai

Representasi”, Jurnal Politik Profetik, 3, 1 (2014), h. 7.

Page 30: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

21

Juli 2014 dengan perbaikan sebagai hasil dari evaluasi terhadap pemilu

sebelumnya termasuk pada Pemilu 2009.22

Salah satu perubahan mendasar dalam ketentuan mengenai

pemilihan umum pada masa sebelum dan sesudah reformasi yaitu

dimasukannya Pemilihan Presiden ke dalam Rezim Pemilu karena

adanya perubahan dalam UUD NRI 1945 atas perspektif kedaulatan

rakyat. Perdebatan pandangan tersebut mengakibatkan diubahnya bunyi

pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat 2 UUD Negara

Republik Indonesia 1945 menyebutkan “kedaulatan adalah ditangan

rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat”. Kemudian diubah pada saat amandemen ketiga UUD Negara

Republik Indonesia 1945 sehingga pasal tersebut berubah menjadi:

“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”. MPR semula menjadi pemegang kedaulatan

sepenuhnya dari rakyat atau pemegang mandat rakyat tertinggi, berubah

pada pandangan bahwa MPR tidak lagi sebagai penerima mandat

tunggal tertinggi, melainkan mandat kedaulatan tersebut dilaksanakan

menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Perubahan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam

UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara langsung juga

mempengaruhi pada cara bagaimana rakyat memberikan mandat pada

penyelenggara kekuasaan negara. Sebagai contoh yang bisa dilihat pada

pemilihan Presiden. Presiden yang semula dipilih oleh MPR sekarang

Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Begitu juga mekanisme

pemberian mandat yang diberikan pada para wakil rakyat, dimana

seluruh anggota DPR dan DPD dipilih melalui mekanisme pemilihan

umum dan tidak ada anggota wakil rakyat yang dipilih melalui

mekanisme penunjukan seperti pernah terjadi sebelumnya.

22 Farahdiba Rahma Bachtiar, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi”,… h. 7.

Page 31: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

22

Untuk pelaksanaan Pemilu di Indonesia diatur dalam Pasal 22E

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

menyatakan bahwa:

1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik.

4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Daerah adalah perseorangan.

5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

Selain itu, Pemilu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilihan Umum sebagai pengaturan lebih lanjut dari

Pasal 22E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Sesuai ketentuan tersebut, maka asas-asas dalam pemilihan umum

tersebut diantaranya; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Kelima asas tersebut haruslah menjadi dasar dari penyelenggaraan

pemilu dan peraturan perundang-undangan tentang pemilu.

3. Judicial Review

Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa

terdiri dari perkataan “pengujian” dan “peraturan perundang-

undangan”. Pengujian berasal dari kata uji yang memiliki arti percobaan

untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga “pengujian” diartikan sebagai

proses, cara, perbuatan, menguji. Di sisi lain, peraturan perundang-

Page 32: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

23

undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh

lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara

umum. Dengan demikian pengujian peraturan perundang-undangan

dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan tertulis baik

yang oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang yang

memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum. Oleh karena itu,

pengujian peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai suatu

proses untuk menguji, berkaitan dengan “siapa” (subjek) dan “apa”

(objek) dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan

tersebut.23

Judicial review merupakan istilah teknis khas hukum tata Negara

Amerika Serikat yang merujuk pada kewenangan pengadilan dalam

membatalkan setiap perbuatan pemerintahan yang bertentangan dengan

konstitusi. Istilah judicial review pertama kali digunakan dalam kasus

“Marbury vs Madison” pada tahun 1803.24 Kasus ini bermula dari

peristiwa pengangkatan sekelompok hakim baru di larut malam (the

midnight judges) oleh Presiden John Adams menjelang serah terima

jabatan dengan Presiden terpilih yang baru yaitu Thomas Jefferson.

Pengangkatan itu memicu kemarahan seorang hakim baru, yaitu

William Marbury yang merasa keberatan dengan surat

pengangkatannya selaku hakim tidak diberikan oleh Secretary of State,

James Madison berdasarkan perintah Presiden Thomas Jefferson.

Pemerintah bermaksud membatalkan pengangkatan hakim-hakim baru

di malam yang larut itu. William Marbury memohon kepada Supreme

Court agar mengeluarkan Write of Mandamus guna memerintahkan

Secretary of State, James Madison menyerahkan surat pengangkatan

dirinya. Berdasarkan Judiciary Act 1789, perkara yang diajukan

23 Jimly Ashiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2005), h. 4.

24 Pusat Studi Konstitusi FHUA, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di

Mahkamah Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI,

2010), h. 161.

Page 33: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

24

Marbury termasuk original jurisdiction dari Supreme Court sehingga

tidak perlu melalui pengadilan yang lebih rendah. Majelis Hakim Agung

di bawah Chief Justice John Marshall memutus perkara dimaksud

dengan cara pengujian materil undang-undang yaitu mengadakan

judicial review terhadap undang-undang yang dipandang bertentangan

dengan konstitusi. Sejak putusan itu dunia peradilan Amerika dibekali

kewenangan judicial review terhadap undang-undang termasuk untuk

perkara individual.25

Konsep judicial review tersebut juga melatari pengembangan dari

judicial review negara penganut civil law system. Salah satunya adalah

pemikiran Hans Kelsen salah satu ahli hukum pada abad ke-20. Ada dua

konsep dasar pemikiran Hans Kelsen tentang judicial review, yaitu (1)

konstitusi harus didudukan sebagai norma hukum yang superior dari

undang-undang biasa dan harus ditegakkan menurut superioritasnya. (2)

Adanya ketidakpercayaan luas terhadap badan peradilan biasa dalam

melaksanakan konstitusi, sehingga diperlukan suatu badan khusus yang

terpisah dari pengadilan biasa untuk mengawasi undang-undang serta

membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-undang

Dasar sebagai perangkat norma hukum dasar negara.26 Dengan

demikian kesatuan hukum merupakan satu kesatuan yang selaras

sehingga tidak terdapat kesenjangan secara hierarkies diantaranya.

Austria adalah negara yang menerapkan pemikiran Hans Kelsen

tentang judicial review pada Oktober 1920. Sebelum itu, Negara

Cekoslovakia telah menerapkan konsep tersebut lebih dahulu. Hans

Kelsen mendesain judicial review dengan pola Mahkamah Konstitusi

yang diterapkan oleh Cekoslovakia pada Februari 1920.27 Kemudian

25 Kartono, “Politik Hukum Judicial Review di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, 11

(Februari, 2011), h. 19.

26 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,

1, 1 (November, 2012), h. 5.

27 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”,… h. 5.

Page 34: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

25

Indonesia sendiri menerapkan judicial review dengan konsep

Mahakamah Konstitusi pada amandemen ketiga Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara beroperasi pada

tahun 2003.

Sebelum amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

pada era reformasi tidak dikenal dengan uji materiil sebuah peraturan

perundang-undangan terhadap konstitusi. Dalam Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang

ini sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970) disebutkan kewenangan uji materiil peraturan perundang-

undangan dibawah dan terhadap undang-undang.28

Selain itu, judicial review merupakan kewenangan lembaga

peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk

hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di

hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap

produk-produk sabang kekuasaan legilatif dan eksekutif adalah

konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balances berdasarkan

pada doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu

kewenangan untuk melakukan judicial review melekat pada fungsi

hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian

dilakukan oleh bukan hakim, tetapi dillakukan oleh lembaga parlemen

maka pengujian tersebut dinamakan legislative review. Jika pengujian

perundang-undangan dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada

struktur yang lebih tinggi terhadap produk perundang-undangan yang

dihasilkan oleh pemerintah yang berada dibawahnya, maka pengujian

tersebut dinamakan administrative review.

Keberadaan hak menguji undang-undang terhadap sebuah undang-

undang dasar, dalam praktik kenegaraan di Indonesia pernah dilakukan

28 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 125.

Page 35: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

26

dengan beberapa model dan kewenangan yang menyertainya, seperti

adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.

XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk

Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.29 Menurut Padmo

Wahyono, dalam hal tersebut bahwa undang-undang merupakan refleksi

dari kedaulatan rakyat dan paralel dengan itu layak diuji/diganti/diubah

oleh yang berwenang membuatnya.30

Berlanjut setelah itu, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No.

XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber

Tata Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia.

Jenjang waktu dari lahirnya kedua produk MPRS ini merupakan upaya

memurnikan kembali pelaksanaan Undang-undang Dasar Negara

Reppublik Indonesia dengan penguasaan kepada pemerintah bersama-

sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan

peninjauan kembali produk-produk legislatif. Berbarengannya upaya

tersebut, dapat dimaknai sebagai pengakuan terhadap sumber tata tertib

dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

diperinci dengan jelas. Penegasan mengenai sumber tertib hukum dan

tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia, menurut Soehino

hal tersebut bertujuan untuk terwujudnya kepastian dan keselarasan

hukum serta kesatuan tafsiran dan pengertian pelaksanaan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.31

Peninjauan kembali dan upaya-upaya penegasan terhadap sumber

tata tertib hukum dan tata urutan perundang-undangan tersebut

ditenggarai karena kekacauan dari macam bentuk peraturan perundang-

29 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986), h. 15.

30 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,… h. 15.

31 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, (Yogyakarta: Liberty, 2008)

h. 7.

Page 36: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

27

undangan dalam melaksanakan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam

konteks saat itu jenis peraturan perundang-undangan yang ada diatur

oleh Undang-undang Dasar Negara 1945 hanya ada tiga yaitu Undang-

undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan

Pemerintah.32 Dalam praktiknya beberapa materi muatan yang

seharusnya diatur oleh Undang-undang, tetapi ternyata diakomodasi

dalam bentuk Penetapan Presiden atau dengan Peraturan Presiden,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

dan Undang-undang yang menyimpang dari Undang-undang Dasar

1945.33

Pasca reformasi tepatnya pada amandemen Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 yang ketiga terdapat beberapa

perubahan lembaga negara salah satunya dalam kekuasaan kehakiman.

Selain itu terdapat pula pengaturan tentang judicial review. Perubahan

tersebut melahirkan lembaga baru yaitu mahkamah konstitusi yang

salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian undang-undang

terhadap Undang-undang Dasar, hal tersebut tercantum dalam Pasal

24C Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu,

dalam Pasal 24A Ayat (1) terdapat pula perubahan kewenangan

Mahkamah Agung yang salah satunya menyatakan bahwa Mahkamah

Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang.

Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh

dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Mahkamah

Konstitusi berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-

undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji

32 Ni’matul Huda dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan,

(Bandung: Nusa Media, 2011) h. 54.

33 Ni’matul Huda dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, h.

54.

Page 37: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

28

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang.

Menurut Jimly Asshiddiqie, pengujian terhadap undang-undang ada

dua macam,34 yaitu: (1) Pengujian materiil, adalah pengujian atas

baguan undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat

berupa Bab, Ayat, Pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal

atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian

materiil berkaitan dengan kemungkinan pertnentangan materi suatu

peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut

kakhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-

norma yang berlaku umum. (2) Pengujian formil, adalah pengujian yang

dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi

substansi norma yang diatur menjadi suatu bentuk hukum tertentu

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Substansi norma

hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Dengan kata

lain, pengujian formil biasanya terkait dengan hal-hal prosedural dan

berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.

Hakim berhak membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan

tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang

bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan

perundang-undangan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang

memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Ada beberapa landasan diterimanya doktrin Judicial Review secara

mendunia menurut Munir Fuady, yaitu (1) Prinsip-prinsip hukum

harusnya berlaku umum di dunia. (2) Prinsip-prinsip hukum yang

berlaku di suatu negara seasas dan selaras. (3) Pengakuan kepada hukum

yang suci sebagai perintah dewa-dewi (Tuhan). (4) Pengakuan kepada

hukum sebagai titah Tuhan. (5) Pengakuan terhadap hukum alam dalam

arti klasik. (6) Pengakuan terhadap hukum alam berdasarkan kepada

34 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpress, 2006),

h. 57.

Page 38: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

29

ratsio manusia. (7) Pengakuan terhadap due process of law. (8)

Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.

a. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang lahir

pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang

ketiga. Ada beberapa hal yang mendasari terbentuknya Mahkamah

konstitusi.35 Pertama, sebagai perwujudan dari konsep negara

hukum yang demokratis. Kenyataan yang terjadi di masyarakat

suatu peraturan atau keputusan tidak selalu sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukannya lembaga yang

berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap

Undang-undang Dasar. Kedua, pasca amandemen UUD Negara

Republik Indonesia 1945 terciptanya beberapa lembaga baru di

Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah lembaga negara

menyebabkan potensi sengketa antar lembaga menjadi semakin

banyak. Maka untuk itu perlu adanya suatu lembaga peradilan yang

netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, adanya kasus

aktual yang terjadi pada tahun 2001. Kasus tersebut adalah

penurunan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden

berdasarkan hasil sidang istimewa MPR pada tahun 2001. Kasus

tersebut merupakan suatu pendorong terciptanya pemikiran untuk

mengatur mekanisme hukum proses pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang tidak berdasarkan alasan politis

semata. Untuk itu keperluan adanya lembaga yang memutus dan

mengadili pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau

Wakil Presiden yang dapat menyebabkan diberhentikan sebelum

masa jabatannya habis. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

tercantum dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-undang dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai berikut:

35 Ismail Hasani, Legilasi Berkeadilan,… h. 133.

Page 39: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

30

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

3) Memutus pembubaran partai politik;

4) Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan

5) Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun

2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus

permohonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi

merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya

bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta tidak ada

upaya hukum lain.

b. Judicial Review di Mahkamah Agung

Dasar hukum judicial review di Mahkamah Agung

tercantum dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara Republik

Indonesia 1945.

Pasal 24A Ayat (1)

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

Page 40: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

31

terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang

diberikan oleh undang-undang.

Dalam hal ini terdapat perbedaan judicial review di Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jika dalam judicial review di

Mahkamah konstitusi alat ukur pengujiannya adalah Undang-

undang Dasar, sedangkan di Mahkamah Agung adalah undang-

undang. Objek yang diuji pun berbeda, Mahkamah Agung menguji

peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah

Konstitusi hanya menguji undang-undang saja, bukan peraturan lain

yang tingkatannya berada di bawah undang-undang. Karena itu,

tepatlah jika dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji the

constitutionality of legislative law or legislation, sedangkan

Mahkamah Agung menguji the legality of regulation.36

Sebagaimana hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah Provinsi; dan

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang dapat dilakukan terhadap materi muatan

36 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 6.

Page 41: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

32

ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-

undangan.37

B. Kerangka Teori

1. Teori Demokrasi Konstitusional

Kata “Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti

rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat

diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal

sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan

warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara

tersebut.38

Pada masa saat ini, demokrasi dikenal dengan berbagai macam

istilah, antara lain: demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer,

demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, dan

demokrasi nasional. Dalam beberapa jenis demokrasi tersebut salah

satunya adalah demokrasi konstitusional, demokrasi konstitusional

mencita-citakan pemerintahan yang terbatas kekuasannya, yaitu suatu

negara yang patuh pada rule of law.39

Ciri khas demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah

yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan

tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga

negaranya. Kekuasaan negara dibagi sedimikian rupa, hal tersebut

dilakukan sebagai upaya agar penyalahgunaan diperkecil, yaitu secara

37 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 144.

38 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219. 39 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo), h. 259.

Page 42: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

33

tidak memusatkan pada 1 (satu) pemerintahan atau 1 (satu) badan saja.

Perumusan yuridis dan prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara

Hukum (Rechtsstaat) dan Rule of Law.40

Menurut Mahfud MD, bahwa satu asas yang merupakan pasangan

logis dari asas demokrasi adalah asas negara hukum, artinya bagi satu

negara demokrasi pastilah menjadikan pula hukum sebagai salah satu

asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari,

oleh dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari

kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi

pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau

dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain

hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang-

wenang. Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat

perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-

peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk

mengadakan peraturan-peraturan tersebut.41

2. Teori Sistem Bikameral

Sejak awal munculnya gagasan demokrasi perwakilan, muncul

pemikiran untuk menciptakan wadah demokrasi perwakilan yang

bertugas menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam urusan

bernegara demi kesejahteraan warga yang diwakili. Pada umumnya

dikenal ada 2 (dua) macam lembaga perwakilan atau parlemen, yaitu

parlemen dua kamar (bicameral parliament) dan parlemen satu kamar

(unicameral parliament).42

Sistem satu kamar (unicameral parliament) adalah sistem

pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau

40 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 108.

41 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2001), h. 85. 42 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral Di

Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, 2, 1 (Juni, 2014), h. 167.

Page 43: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

34

lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu

kamar, terutama negara kesatuan yang kecil dan homogen dan

menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu,

sementara itu lembaga perwakilan dua kamar (bicameral parliament)

pada hakikatnya merupakan suatu bentuk wadah demokrasi perwakilan

yang terdiri dari dua kamar atau dua dewan dalam lembaga legislatif.

Bentuk lembaga perwakilan semacam ini merupakan hasil proses

panjang penyelenggaraan negara di berbagai belahan dunia.43

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem dua kamar

adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen

sebauh negara yang terdiri atas dua kamar (majelis).

Giovanni Sartori membagi lembaga perwakilan rakyat bikameral

menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Sistem bikameral yang lemah (weak

bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih

dominan atas kamar lainnya. (2) Sistem bikameral yang kuat (symmetric

bicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua dua

kamar hampir sama kuat. (3) Sistem bikameral (Perfect bicameralism)

yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.44

Menurut Tsebelis dan Money, terdapat dua karakteristik khusus

dalam sistem bikameral yaitu45; pertama, keanggotaan dari kedua kamar

berdasarkan metode yang diseleksi dan katergori dar warga negara yang

diwakili. Dikemukakan bahwa pada sebagian besar lower house

(majelis rendah) dipilih secara langsung oleh warga negara, sedangkan

seleksi pada upper house (majelis tinggi) dapat melalui metode seleksi

atau golongan yang diwakili (the type of representative). Kedua,

43 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah”,… h. 167.

44 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi

Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 2010) h. 25.

45 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral,… h.

28.

Page 44: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

35

Kewenangan formal kedua kamar yang tercermin pada mekanisme

penyelesaian jika terjadi perbedaan.

Dalam konteks Indonesia, Parlemen dua kamar dalam satu parlemen

dimaksudkan untuk mengakomodasi semangat checks and balances

dalam parlemen. Hal ini berimplikasi pada pola hubungan kamar

pertama dan kedua dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Parlemen

Indonesia menganut sistem bikameral karena susunan parlemen dua

kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili rakyat sebagai

kamar pertama, dan Dewan Perwakilan Daerah yang mewakili daerah

provinsi sebagai kamar kedua. Ramlan Subakti dan Bagir Manan

menyatakan bahwa sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme

check and balances antar kamar-kamar dalam suatu badan perwakilan.46

3. Teori Kedaulatan Rakyat

Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan dari kata

“kedaulatan” dan “rakyat”. Secara etimologi, kedaulatan berarti

superioritas belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut

berarti superioritas dalam arti khusus. Kedaulatan dalam kenegaraan

yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk

membuat hukum.47 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

kedaulatan artinya kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara. Di sisi

lain, Jimly Asshiddiqie mengartikan kedaulatan sebagai konsep

kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Menurut Jean Bodin48, kedaulatan rakyat sebagai suatu kekuasasan

penuh dan langgeng dimiliki oleh satu republik sehingga tidak terpecah-

46 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Konstitusi republik Indonesia menuju perubahan

ke-5 (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2009), h. 216.

47 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-

bentuk Konstitusi di Dunia, (Bandung: Nusamedia, 2004), h. 9.

48 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2001), h. 73.

Page 45: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

36

belah mengingat di dalam negara hanya terdapat satu kekuasaan

tertinggi yang dimiliki oleh rakyat.

Indonesia merupakan negara yang menganut kedaulatan rakyat. Hal

tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia yaitu; “kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Selain itu,

dinyatakan juga dalam sila ke-4 Pancasila yaitu; “kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan

perwakilan”.

Bentuk kedaulatan rakyat di Indonesia menggunakan sistem

perwakilan (representative democracy). Hal ini sejalan dengan

diterapkannya teori pemisahan kekuasaan pada tiga kelompok

kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.49 Pada hakikatnya

rakyat Indonesia tetap menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi

tidak secara langsung melainkan melalui perwakilan yang dipilih sesuai

undang-undang dan diberi mandat dalam menjalankan pemerintahan.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penulisan karya tulis ini, untuk menghindari kesamaan atau

kemiripan dengan pembahasan fungsionaris partai politik sebagai calon

anggota DPD (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65

P/HUM/2018) maka peneliti memaparkan beberapa kajian terdahulu.

Sebelumnya telah ada beberapa karya tulis ilmiah yang membahas tentang

Dewan Perwakilan Rakyat serta ketentuan yang berkaitan dengan hal

tersebut.

Sri Handayani dalam skripsinya yang berjudul Kewenangan

Legislasi DPD Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Skripsi ini adalah hasil karya tulis

ilmiah dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penelitian tersebut, Sri Handayani menyimpukan bahwa dalam

49 Nur Rohim Yunus, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan

Bernegara”, Social Science Education Journal, II, 2 (Februari, 2015) h. 162.

Page 46: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

37

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD telah terjadi inkonstitusional dalam muatan formiil maupun materill.

Sri Handayani menyatakan bahwa Undang-undang tersebut tidak sesuai

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahkan

dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan sehingga menyulitkan DPD untuk

melaksanakan kewenangannya. Dalam Penelitiannya Sri Handayani

menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan

komparatif. Berdasarkan uraian tersebut, perbedaan penelitian Sri

Handayani dengan penelitian ini yaitu Sri Handayani membahas tentang

kewenangan DPR dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD dan DPRD, sedangkan penelitian ini terfokus pada

pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.

Miki Pirmansyah dalam skripsinya yang berjudul Eksistensi Dewan

Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di Indonesia. Skripsi ini

merupakan karya tulis ilmiah dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsinya, Miki Pirmansyah menyimpulkan

bahwa eksistensi DPD dalam sistem bikameral di Indonesia belum

seimbang dengan DPR khususnya dalam fungsi kewenangannya. DPD

hanya berwenang mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu yang

berkaitan dengan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran sertapenggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Miki Pirmansyah

menyayangkan bahwa DPD hanya ikut membahas usulannya pada tingkat

pertama, sedangkan dalam tataran memutuskan usulan tersebut menjadi

undang-undang, DPD tidak mempunyai kewenangan sedikitpun. Perbedaan

Skripsi Miki Pirmansyah dengan penelitian ini yaitu Miki Pirmansyah

membahas tentang kewenangan dan eksistensi DPD dalam sistem bikameral

Page 47: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

38

di Indonesia, sedangkan penelitian ini membahas tentang pencalonan

fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.

Beberapa buku yang membahas tentang Dewan Perwakilan Daerah

diantaranya yaitu, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya,

ditulis oleh Charles Simabura. Dalam bukunya, Charles Simabura

menjelaskan tentang konsep-konsep dalam parlemen, periodisasi parlemen

Indonesia dari sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai pasca

amandemen UUD 1945. Selain itu, Charles juga memaparkan sistem

bikameral dalam Negara Unitaris atau Kesatuan dan Negara Federal seperti

Jepang dan Amerika Serikat. Dalam bukunya, terdapat pernyataan bahwa

keinginan untuk menjadikan parlemen di Indonesia menjadi dua kamar

dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa aspirasi dan kepentingan politik

yang tercermin di DPR lebih mengemuka dibandingkan aspirasi dan

kepentingan teritorial atau kedaerahan. Perbedaan buku yang ditulis oleh

Charles Simabura dengan penelitian ini adalah bahwa Charles Simabura

melakukan pembahasan pada lintas sejarah parlemen di Indonesia dan studi

komparatif sistem bikameral dengan Negara Unitaris/Kesatuan dan Negara

Federal, sedangkan penelitian ini membahas pada cakupan sejarah singkat

DPD dan pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.

Selain itu, terdapat buku yang berjudul Implementasi Sistem

Bikameral Dalam Parlemen di Indonesia, ditulis oleh Reni Dwi

Purnomowati. Dalam bukunya, Reni menyimpulkan bahwa kamar kedua

dalam sistem bikameral dibentuk sebagai tempat untuk menampung

perwakilan lain, selain perwakilan politik yang ditempatkan pada kamar

pertama. Biasanya kamar kedua menampung perwakilan yang berbeda

dengan kamar pertama, yaitu untuk kepentingan sosial, kepentingan

ekonomi, atau perbedaan teritorial. Pada umumnya terhadap kamar kedua

secara konstitusional diberikan untuk perwakilan teritorial. Perbedaan buku

tersebut dengan penelitian ini adalah tentang konsep tentang sistem

bikameral di Indonesia dan perbandingannya di berbagai negara dan

tinjauan historis penerapan bikameralisme di Indonesia, sedangkan

Page 48: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

39

penelitian ini membahas keabsahan fungsionaris partai politik sebagau

calon anggota DPD.

Selain itu, terdapat jurnal yang membahas tentang DPD, yaitu

Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Reformasi Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal ini ditulis oleh Khamami Zada dalam

Jurnal Cita Hukum Vol. II Nomor 1 Juni 2015. Dalam jurnalnya, Khamami

Zada menyimpulkan bahwa dengan struktur bikameral diharapkan proses

legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang

memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat

disalurkan secara luas. DPR merupakan representasi politi, sedangkan DPD

mencerminkan representasi teritorial atau regional. Kewengangan legislasi

DPD masih dibatasi, DPD tidak memiliki kewenangan membentuk undang-

undang, meskipun dapat mengajukan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah. Perbedaan jurnal yang ditulis oleh

Khamami Zada dan penelitian ini yaitu Khamammi Zada meneliti hanya

pada cakupan kewengangan legislasi yang dimiliki DPD pasca putusan

Mahkamah Konstitusi dan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sedangkan penelitian ini mencakup

pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.

Page 49: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

40

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK DAN DEWAN

PERWAKILAN DAERAH

A. Partai Politik

1. Pengertian Partai Politik

Dalam politik modern, pemilu merupakan syarat mutlak bagi

terselenggaranya pemerintahan berdasarkan prinsip keterwakilan.1

Selain itu, pemilu juga merupakan bagian yang penting dari konsolidasi

demokrasi. Sebab, esensi konsolidasi demokrasi adalah legitimasi dan

pemilu merupakan satu-satunya jalan bagi pemerintah demokratis untuk

mendapatkan legitimasi dari rakyat. Dengan kata lain, pemilu akan

menghasilkan pemerintahan perwakilan yang diabsahkan dan diakui

bersama oleh rakyat yang membentuknya.2

Partai politik merupakan salah satu komponen yang amat

menentukan kesuksesan dan kegagalan pemilu, karena di dalam

kegiatan pemilu terdapat tiga pilar utama, yaitu partai politik sebagai

peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara

pemilu, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.3 Melalui

partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyampaikan

pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam

bermasyarakat dan bernegara. 4 Partai politik merupakan komponen

yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian

1 Hermawan Sulistio, Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Acuan Teoritik Pengalaman

Masa Transisi, (Jakarta: KIPP, 2000), h. 1.

2 Tommi A. Legowo, Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Perwakilan Politik,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 77-78.

3 Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik, (Jakarta: Kemenkopolkam, 2003) h. 12.

4 Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik,… h. 9.

Page 50: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

41

penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan

rakyat, yaitu kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan.

Secara etimologi politik berasal dari kata polis (Yunani) yang berarti

Kota atau Negara Kota. Kemudian diturunkan kata-kata polities yang

berarti warga negara, politike te ckne’ berarti kemahiran politik dan

politike episteme yang berarti ilmu politik. Secara istilah politik adalah

usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita atau ideologi.5

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik merupakan suatu kelompok

terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,

dan satu cita-cita. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) secara

konstitusional untuk melaksanakan programnya.6 Begitu juga menurut

Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang

terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan

pengusaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya, dan

berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota partainya

kemanfaatan yang bersifat adil serta material.7

Indonesia mempunyai regulasi tentang partai politik. Undang-

undang tersebut yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa partai

politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Pancasila

dan UUD Negara Republik Indonesia.

5 Soelistyati Ismail Gami, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 14.

6 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 160.

7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2008), h. 160.

Page 51: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

42

Partai politik memiliki peran dan posisi yang strategis karena partai

politik merupakan bagian penting dari pilar-pilar demokrasi. Demokrasi

prosedural maupun substansial senantiasa menempatkan aktor politik

utama yakni partai politik sebagai instrument yang menentukan jalannya

pemilu.8

Dalam mencapai hal tersebut dibutuhkan fungsi-fungsi dan tujuan

partai politik yang kemudian diatur dalam Pasal 11 Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik yaitu:

(1) Partai politik berfungsi sebagai sarana:

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar

menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan

kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara;

b. Pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat

dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. Partisipasi politik warga Negara Indonesia;

e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui

mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan

keadilan gender.

(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diwujudkan secara konstitusional.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada umumnya para ilmuwan

politik menggambarkan 4 (empat) fungsi partai politik yaitu meliputi:

(a) komunikasi politik, (b) sosialisasi politik (political socialization), (c)

8 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Pelnyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta:

Fajar Media Press, 2011), h. 22.

Page 52: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

43

rekrutmen politik (political recruitment), dan (d) pengatur konflik

(conflict management).9

a. Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi

mengenai politik dari pemerintah kepada warga masyarakat, dan

dari warga masyarakat kepada pemerintah. Dalam konteks ini

partai politik berfungsi sebagai komunikator politik, tidak

terbatas menyampaikan segala keputusan dan penjelasan

pemerintah kepada warga masyarakat tetapi juga menyampaikan

aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada

pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai politik dalam

sistem politik demokrasi.

b. Sosialisasi Politik

Sosialisasi Politik adalah proses pembentukan sikap dan

orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses

sosialisasi politik para anggota masyarakat dapat memperoleh

sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung

dalam masyarakat.

c. Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau

pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk

melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada

umumnya dan pemerintahan pada khususnya, semakin besar

fungsinya manakala partai politik itu mayoritas di parlemen,

sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem

demokrasi.

9 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik, (Malang: UB Press,

2016), h. 34.

Page 53: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

44

d. Pengatur Konflik

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi

berfungsi untuk bisa mengendalikan konflik melalui dialog

dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan

memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak

yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam

musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk

mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik (kompromi

di antara para wakil rakyat yang berasal dari partai-partai

politik).

2. Sejarah Singkat Partai Politik di Indonesia

a. Era Orde Lama (1945-1966)

Beberapa bulan setelah kemerkdekaan Indonesia terbuka

kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga

bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian

Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu: Masyumi,

PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut

sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik

memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan

bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata

tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan

fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak

dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya

pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik pula. Masa

demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959 dan

dilanjutkan dengan demokrasi terpimpin.10

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik

mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat

10 Artis, “Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di

Indonesia”, Jurnal Sosial Budaya, 9, 1 (Januari, 2012), h. 62.

Page 54: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

45

kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM

(Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan

PKI. Sejak Indonesia merdeka pada Tahun 1945 sampai

dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia telah

berganti-ganti Konstitusi yaitu diantaranya Undang-undang Dasar

1945 (Periode 1945-1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(periode 1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara

(periode 1950-1959).11

Sebelum ditetapkannya UUD 1945, Indonesia terlebih dulu

mengalami perdebatan tentang konsep dasar negara pada awal

kemerdekaan Indonesia. Menurut Salman Maggalatung, terdapat

dua paham dalam perdebatan tersebut yaitu; pertama, yaitu paham

yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kedua, paham

yang menghendaki Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara

yang persatuan yang terlepas dari agama.12

Untuk menyelesaikan perdebatan tersebut, maka dibuatlah

panitia yang terdiri dari; Soekarno, Muhammad Hatta, A.A.

Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A.

Agus Salim, Ahmad Subardjo, H. Abdul Wahid Hasyim, dan

Muhammad Yamin. Panitia tersebut untuk menyusun rancangan

pembukaan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam Piagam

Jakarta, terdapat kandungan yang menyatakan “Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Pada waktu itu pemimpin-pemimpin Islam tetap teguh bahwa Islam

harus menjadi dasar negara Indonesia.

Kemudian pada 18 Agustus 1945 dibentuknya PPKI yang

tugasnya sama dengan BPUPKI yaitu menetapkan UUD. Para

anggota PPKI tidak setuju jika preambule UUD tidak diubah, karena

11 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia

(Perspektif Hukum Islam), (Jakarta: Focus Grahamedia, 2012), h. 200.

12 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959…, h. 161

Page 55: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

46

jika menggunakan Islam sebagai dasar negara maka itu akan

menimbulkan disintegrasi di Indonesia terutama penolakan dari

wilayah luar Jawa dan Indonesia Bagian Timur. Oleh karena itu,

Bung Hatta bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin Islam yaitu

Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo,

dan Teuku Hasan untuk membicarakan masalah tersebut.

Keberhasilan Bung Hatta mengghilangkan tujuh kata dalam kalimat

tersebut yaitu “…dengan Kewajiban Menjalankan Syariat bagi

Pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Hal tersebut dirasakan sebagai kerugian bagi umat Islam,

tetapi demi persatuan dan kesatuan sebagai keluarga besar yang baru

saja merdeka agar golongan Protestan, Katholik dan sebagian

Indonesia Bagian Timur tidak memisahkan diri, maka umat Islam

bersedia berkorban. Pada 5 Juli 1959, Soekarno menegaskan bahwa

Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari UUD 1945.13

b. Era Orde baru (1966-1998)

Setelah Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-

partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa

Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah

munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya

(Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai

pemenang partai yang diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU,

Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI. Pada tahun 1973

terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat

partai politik Islam, yaitu: NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan

Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima

partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai

Murba dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)

13 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959,… h. 164-168.

Page 56: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

47

bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun

1977 hanya terdapat 3 organisasi kekuatan politik Indonesia yaitu

Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan

Golongan Karya (GOLKAR). Golkar pada masa orde baru bisa

dikatakan bukan partai politik sebab organisasi ini merupakan suatu

organisasi kalangan eksekutif yang selalu diikutsertakan dalam

pemilu.14

Sedikitnya partai politik juga diakibatkan juga karena

adanya Undang-undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi,

yaitu Undang-undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963. Tercatat dalam

sejarah bahwa pada masa orde baru Soeharto berkuasa selama 32

tahun menjadi presiden Indonesia. Pada masa awal pemerintahan

Soeharto, kondisi perpolitikan bisa dikatakan belum stabil karena

disibukkan untuk menghilangkan citra Bung Karno dan Orde Lama.

Manuver politik penguasa pada masa Orde Baru terkesan pada

politik pencitraan serta kontrol ketat pemerintah dengan

menggunakan militer, birokrasi dan Golkar. Orde baru juga tak

segan melakukan tindakan represif untuk menindak segala gerakan

yang mengancam kekuasaannya. Terdapat pula lawan politik yang

menjadi tahanan politik karena tidak sejalan dan menolak untuk

tunduk dan patuh.15 Hal tersebut kemudian menjadi salah satu faktor

penyebab sedikitnya partai politik peserta pemilu pada masa orde

baru.

Menurut Salman Maggalatung, Soeharto dengan Kekuatan

ABRI-nya sebenarnya menggunakan segala macam cara bahkan

dengan kekerasan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaaan selama

32 tahun. Oleh karena itu, masyarakat khususnya dari golongan

14 Artis, Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di

Indonesia, h. 63.

15 Dwi Wahyono Hadi, “Propaganda Orde Baru 1966-1980”, Jurnal Verlede, Vol. 1, No.

1 (Desember, 2012) h. 48.

Page 57: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

48

muda, cendekiawan, dan masyarakat yang kritis untuk menyuarakan

perlunya untuk mengakhiri kekuasaan Soeharto. Pada saat itu,

terjadi demonstrasi besar pada 1998 yang menyebabkan gerakan pro

demokrasi menguasai dan menduduki gedung DPR/MPR-RI

sehingga menyebabkan suasana tidak terkendali dan Soeharto pun

memlilih mundur sebagai Presiden. Pada 21 Mei 1998 Soeharto

resmi mengundurkan diri dan Wakil Presiden B. J. Habibie dilantik

sebagai Presiden menggantikan Presiden Soeharto.16 Setelah masa

tersebut terdapat beberapa penambahan dan perubahan konstitusi

yang menjamin demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah

Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan

Undang-undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963 Tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi.

c. Era Reformasi (1998-sekarang)

Seiring dengan bergulirnya reformasi 1998 dengan ditandai

jatuhnya pemerintahan orde baru tepat pada tanggal 21 Mei 1998,

maka terdapat beberapa perubahan dalam demokrasi dan sistem

pemerintahan.

Era kebebasan dalam berpolitik dan berpendapat semakin

dilindungi dengan keluarnya UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Hal ini berlanjut dengan dibukanya pendaftaran partai politik baru

untuk mengikuti pemilu yang pertama kali diselenggarakan pasca

tumbangnya orde baru pada tahun 1999. Ketentuan peraturan

perundang-undangan pertama kali secara khusus mengatur partai

politik pada masa reformasi adalah Undang-undang No 2 Tahun

1999 tentang partai politik. Berdasarkan undang-undang ini, partai

politik diakui sebagai sarana yang sangat penting arti, fungsi dan

perannya. Partai politik merupakan wujud kemerdekaan berserikat,

16 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959…, h. 138.

Page 58: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

49

berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan

kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.17

Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya

untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan

bernegara. Sedangkan untuk pendirian partai politik dilakukan

dengan akta notaris dan didaftarkan pada Departemen Hukum dan

HAM. Partai politik yang telah didaftarkan, disahkan pendiriannya

menjadi badan hukum yang diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia oleh Menteri Hukum dan HAM. Pendaftaran

tersebut merupakan syarat formal untuk memperoleh status sebagai

badan hukum. Maka pada pemilu tahun 1999 tersebut ada sekitar 48

partai yang telah terdaftar sebagai peserta pemilu.18

Kemudian pada tahun 2004 pemilihan umum sudah

dilaksanakan secara langsung sesuai dengan yang diamanatkan

UUD 1945 pasal 22E ayat 1,”Pemilihan umum dilaksanakan secara

umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.

Dengan beberapa koeksi dari pemilu sebelumnya, Dalam pemilu

2004 terdapat perbedaan yaitu pemilihan presiden secara langsung

oleh rakyat. Selain itu, dengan selesainya amandemen Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia pada tahun 2002 membuat

seleksi keikutsertaan partai-partai baru dalam pemilu 2004 semakin

ketat. Hal ini menghasilkan hanya 24 partai yang lolos seleksi dan

berhak mengikuti pemilihan umum 2004 setelah diverifikasi oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU).

3. Sistem Partai Politik di Indonesia

Sistem kepartaian dapat didefinisikan sebagai struktur kompetisi

dan kerjasama partai politik. Sedangkan Duverger menyatakan sistem

kepartaian adalah relasi diantara karakteristik tertentu partai politik

17 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 77.

18 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 78.

Page 59: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

50

diantaranya jumlah, ukuran respektif, sekutu, lokasi geografis, distribusi

politik dan sebagainya.19

Berdasarkan penelitian Scott Mainwarning yang dikutip oleh

Mustafa Lutfi dan Miwan Satriawan dalam bukunya Risalah Hukum

Partai Politik, ada tiga bentuk sistem kepartaian yang lebih umum

disetiap pemerintahan yaitu20:

a. Sistem Partai Tunggal

Sistem partai tunggal yaitu hanya ada satu partai yang diakui

oleh pemerintah. Sistem ini biasanya dipraktekkan dalam negara-

negara komunis semacam Republik Rakyat Cina (RRC), Kuba dan

sebagainya.

b. Sistem Dwi Partai

Sistem dwi partai yaitu hanya ada dua partai besar yang berhak

ikut serta dalam setiap pemilihan atau dalam kepustakaan ilmu

politik dalam suatu negara. Sistem dwi partai biasanya diartikan

bahwa ada dua partai di antara beberapa partai yang berhasil

memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara

bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.

Dewasa ini hanya ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem

dwi partai, yaitu Amerika Serikat antara partai Republik dan

Demokrat, Inggris, Filipina, Kanada dan Selandia Baru.

c. Sistem Multi Partai

Sistem multi partai yaitu terdapat lebih dari dua partai dalam

setiap pelaksanaan pemilu. Perbedaan yang tajam antara ras, suku,

budaya dan agama cenderung mendorong golongan-golongan ini

untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya dalam satu wadah

yang sempit saja. Fenomena ini biasa terjadi jika pluralitas budaya

terjadi sehingga sistem multi partai lebih cocok digunakan. Beberapa

19 Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute

For Democracy and Wellfarism, 2011) h. 43.

20 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 60-61.

Page 60: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

51

negara yang menganut sistem multi partai diantaranya yaitu

Malaysia, Prancis dan Indonesia.

B. Dewan Perwakilan Daerah

1. Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwaklan Daerah (DPD) adalah lembaga yang

berkedudukan sebagai lembaga negara.21 Dewan Perwakilan Daerah

adalah Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi

keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat

nasional. Setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan

yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaannya dimaksudkan utuk

memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Dewan Perwakilan

Daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui

pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.22

Sementara itu, menurut Ni’matul Huda didalam buku hukum tata

negara Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga

perwakilan dearah yang berkedudukan sebagai lembaga negara dan

mempunyai fungsi; (1) Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan

memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi

tertentu. (2) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.23

Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 telah menjadi salah satu

titik balik struktur ketatanegaraan yang berkaitan dengan lembaga

perwakilan di Negara Republik Indonesia, diantaranya adalah

mencakup proses perubahan atau amandemen Undang Undang Dasar

21 Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014), h. 133.

22 Entol Zaenal Muttaqin, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, (Serang: Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2014), h. 107.

23 Ni’matu Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),

h. 181.

Page 61: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

52

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu perubahan yang

penting setelah dilakukannya amandemen ketiga tahun 2001 adalah

perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan: “Majelis

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui

pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Dewan Perwakilan Daerah bersanding dengan lembaga Dewan

Perwakilan rakyat (DPR) dalam komposisi keanggotaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah semula dimaksudkan

dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua

kamar (bicameral) yaitu terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan struktur bikameral itu

diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan double-

check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat

secara relative dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.

DPR merupakan cermin representasi politik (political representation),

sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi territorial atau

regional (regional representation).24 Dibentuknya lembaga DPD sejalan

dengan semangat untuk mengakomodasi keterlibatan daerah dalam

pengambilan kebijakan nasional dan juga sesuai dengan prinsip check

and balances yang ingin di terapkan oleh pemerintah pada waktu itu.25

Gagasan-gagasan tentang pentingnya keberadaan perwakilan daerah

di parlemen, pada awalnya diakomondasikan dalam konstitusi pertama

Indonesia, yaitu UUD 1945, dengan konsep utusan daerah di dalam

MPR, yang bersandingan dengan utusan golongan dan anggota DPR.

24 Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan

Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 7-8.

25 M.yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitektur Histori, Peran Dan

Fungsi DPD RI Terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),

h.35.

Page 62: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

53

Hal tersebut diatur dalam pasal 2 UUD 45, yang menyatakan bahwa

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR ditambah

dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,

menurut aturan yang diterapkan dengan undang-undang.” Pengaturan

tersebut, kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan

perundangan-undangan. Selain itu, terdapat pula gagasan mengenai

pembentukan DPD dengan sistem bikameral yang diusulkan Soepomo

dalam perundingan pada 1 Maret 1948 antara Republik Indonesia

dengan Belanda dibantu oleh UNCI (United Nations Commission for

Indonesia). Soepomo pada waktu itu mengusulkan beberapa poin yang

berkaitan dengan sistem bikameral, diantaranya yaitu:26

a. Negara Indonesia Serikat memiliki dua kamar, kamar pertama

mewakili rakyat Indonesia secara keseluruhan (Dewan-dewan Wakil

Rakyat) dipilih untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, sedangkan kamar

kedua (senat) dipilih oleh rakyat di negara bagian, untuk masa

jabatan 4 (empat) tahun.

b. Pembentukan undang-undang federal dilaksanakan oleh Pemerintah

bersama-sama dengan Dewan Wakil Rakyat dan Senat (Badan

Perwakilan Rakyat Federal), tetapi khusus RUU tentang anggaran,

Pemerintah mengajukannya pada Badan Perwakilan Rakyat Federal.

c. Dewan Wakil Rakyat dan Senat memiliki hak inisiatif dan hak

amandemen.

d. Kabinet hanya bertanggung jawab terhadap Dewan Wakil Rakyat.

e. Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat

membubarkan pemerintah federal.

f. Dalam hal ihwal ketegangan yang memaksa, Pemerintah Federal

berhak menerapkan Peraturan Pemerintah Federal sebagai UU

Federal, dan harus disahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Federal

26 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral,

(Jakarta: UI Press, 2010), h. 54.

Page 63: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

54

dalam persidangan yang berikut, jika tidak mendapat pengesahan

maka peraturan tersebut tidak berlaku.

Pada periode Republik Indonesia Serikat, gagasan tersebut

diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia yang mewakili

negara bagian dan bekerja berdampingan dengan DPR-RIS. Oleh karena

itu, Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (Senate atau upperhouse)

dimaksudkan agar mekanisme Check and balances dapat berjalan

relative seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan di pusat

dan kebijakan di daerah. Menurut Ramlan Surbakti, beberapa

pertimbangan Indonesia membentuk DPD: (1) Distribusi penduduk

Indonesia menurut wilayah sangat penting dan terlampau besar

terkonsentrassi di pulau jawa. (2) Sejarah Indonesia menunjukan

aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang

sangat kuat, yaitu adanya pluralisme daerah otonomi seperti daerah

istimewa dan daerah khusus.27

Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia secara yuridis kedudukan DPD diatur dalam Pasal 2 Ayat (1),

Pasal 22C dan 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Menurut Salman Maggalatung, ada beberapa asumsi dasar

lahirnya DPD dalam ketatanegaraan Indonesia, 28 yaitu pertama, harus

ada keterwakilan penduduk, keterwakilan ruang (daerah, dan

keterwakilan deskriptif dalam sistem keterwakilan di Indonesia. kedua,

keterkaitan budaya, sejarah, sosial, politik dan ekonomi antara

penduduk dan ruang (daerah) dan penyebaran penduduk yang tidak

merata di Indonesia. ketiga, pluralisme yang kuat dan cakupan daerah

yang luas. Keempat, menghindari monopoli pembuatan undang-undang

27 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amendemen

UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 196.

28 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 68-69.

Page 64: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

55

di ranah legislatif. Kelima, mewujudkan mekanisme check and balances

dalam legislatif untuk menghindari penyelewengan kekuasaan.

Selain itu, peraturan tentang DPD juga diatur dalam Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Untuk

pengaturan pemilihan lebih lanjut tentang pemiliihan anggota DPD

diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pasal 2 Ayat (1) UUD

Negara Republik Indonesia 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut

dengan undang-undang.

2. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

Dalam ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945, DPD tidak

mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang. Namun

dalam bidang pengawasan meskipun hanya terbatas pada hal-hal yang

berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan undang-undang

tertentu. Oleh karena itu, DPD lebih berkonsentrasi dalam bidang

pengawasan, sehingga fungsinya dapat efektif di daerah-daerah.29

Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Pasal 22D

UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan ke DPR rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

29 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 139.

Page 65: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

56

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan

daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, bungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan belanja negara,

pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil

pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai

bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Selain itu, kewenangan DPD juga tercantum dalam Pasal 249

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD, yaitu:

(1) DPD mempunyai wewenang dan tugas:

a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, Pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

kepada DPR.

b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf.a,

c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah

rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan

Page 66: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

57

Rakyat atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana

dimaksud dalam huruf a.

d. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan

undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan Pajak, Pendidikan, dan agama;

e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

surnber daya alarn, dan sumber daya ekonomi lainnya,

pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,

dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan,

dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti;

g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK

sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;

h. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan

anggota BPK;

i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, Pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

j. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan

daerah dan peraturan daerah.

(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan

Page 67: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

58

pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah

pemilihannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam bidang

pengawasan keberadaan DPD bersifat utama yang sederajat dengan

DPR, Sedangkan dalam bidang legislasi fungsi DPD hanya sebagai co-

legislator di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tugas DPD

dalam bidang legislasi hanya menunjang tugas konstitusional DPR.

Dalam proses pembentukan undang-undang atau legislasi, DPD tidak

mempnyai kewenangan untuk memutuskan atau berperan dalam proses

pengambilan keputusan.30

Menurut peneliti, dalam kondisi saat ini keberadaan DPD hanya

sebatas pendamping DPR, lemahnya kewenangan membuat DPD hanya

bisa mengusulkan dan ikut membahas tentang hal-hal yang terkait

dengan otonomi daerah dan tidak diberi kewenangan membuat

keputusan terhadap hal tersebut. Keberadaan DPD perlu diberi

kewenangan untuk turut serta membahas dan membuat peraturan

perundang-undangan, oleh karena itu dalam perlu dilakukannya

amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

3. Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Mekanisme pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

pertama diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 11

mengatur peserta pemilihan umum dari perseorangan, dalam pasal

tersebut ditegaskan bahwa:

(1) Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta pemilu dari

perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:

30 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

h. 139.

Page 68: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

59

a. Provinsi yang berpendudukan sampai dengan 1.000.000 (satu

juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000

(seribu) orang pemilih.

b. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 1.000.000 (satu juta)

sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung

sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih.

c. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 5.000.000 (lima juta)

sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung

sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih.

d. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 10.000.000 (sepuluh

juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus

didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang

pemilih.

e. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 15.000.000 (lima belas

juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000

(lima ribu) orang pemilih.

(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di

sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto kopi Kartu

Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah.

Kemudian susunan dan kenggotaan DPD diatur dalam Undang-

undang Nomor 22 tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa DPD terdiri

atas wakil-wakil daerah provisi yang dipilih melalui pemilihan umum.

Selain itu juga dinyatakan dalam Pasal 33 yaitu:

(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang.

(2) Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah Anggota

DPR.

Page 69: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

60

(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden.

(4) Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama

bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia.

Di samping itu, persyaratan untuk calon anggota DPD tercantum

dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Persyaratannya

yaitu; (1) Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-

kurangnya tiga tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan

tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh)

tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang bersangkutan. (2) Tidak

menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun

yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

Selanjutnya dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003

Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dinyatakan

bahwa calon anggota DPD yang berasal dari pegawai negeri sipil,

anggota TNI, atau anggota Polri harus mengundurkan terlebih dahulu

dari pegawai negeri sipil, anggota TNI, atau anggota Polri.

Dalam hal tersebut, pada Pemilu 2004 calon anggota DPD tidak

boleh dari pengurus partai politik. Hal ini menegaskan bahwa kedudukan

DPD sebagai perwakilan dari rakyat daerah, sedangkan ranah partai

politik sudah tersedia dengan adanya DPR. Hal ini dimaksudkan untuk

mengakomondasi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari

utusan daerah dan anggota yang sudah dihapuskan. Dengan demikian,

tokoh-tokoh daerah tokoh-tokoh masyarakat nonpartai, memiliki

kesempatan menjadi anggota DPD tanpa harus berafiliasi dengan partai

politik.

Kemudian pada Pemilu 2009 terdapat perubahan tentang

persyaratan calon anggota DPD. Dengan undang-undang pemilu yang

baru yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

Page 70: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

61

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam undang-undang tersebut

dihapuskan syarat calon anggota DPD yang harus dari orang non-partai

politik. Begitu juga dengan Pemilu 2014. Implikasinya adalah upaya

menjadikan DPD sebagai perwakilan daerah yang berasal dari politisi

non-partai pun tidak terjadi.

Page 71: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

62

BAB IV

PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI CALON

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018

Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa:

“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 dapat

menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:

(l) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,

notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan

pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan

keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan

konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai

anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Kemudian pada tanggal 4 April 2018 terdapat permohonan

pengujian Pasal 182 tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon

bernama Muhamad Hafidz, pemohon adalah peserta pemilu tahun 2014

sebagai calon anggota DPD RI Provinsi Jawa Barat. Selain itu, pemohon

belum pernah menjadi anggota partai politik dan hendak mencalonkan diri

kembali menjadi calon anggota DPD RI pada Pemilu 2019.

Pengujian tersebut adalah terhadap frasa “pekerjaan lain” yang

tercantum dalam Pasal 182 tersebut. Menurut pemohon frasa tersebut telah

memberi kemungkinan terhadap fungsionaris partai politik sebagai calon

anggota DPD. Selain itu, apabila terdapat anggota DPD yang berasal dari

fungsionaris partai politik maka dikhawatirkan hal tersebut akan lebih

mengutamakan kepentingan partai politik. Oleh karena itu, petitum dari

pemohon tersebut adalah menyatakan bahwa Pasal 182 huruf l Undang-

Page 72: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

63

undang Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemilihan Umum bertentangan

dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai

pengurus (fungsionaris) partai politik.

Kemudian pada tanggal 23 Juli 2018 Mahkamah Konstitusi

memutus pengujian undang-undang tersebut dengan amar putusan

mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018.

Pada tanggal 9 Agustus 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU)

dengan maksud menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

membuat Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan

Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Daerah. Dalam Peraturan KPU tersebut, terdapat Pasal yang mengatur

tentang persyaratan calon anggota DPD. Pasal tersebut yaitu Pasal 60A yang

menyatakan bahwa:

Pasal 60A

(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan peserta Pemilu menjadi bakal

calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)

huruf p, termasuk tidak dalam kedudukannya sebagai pengurus partai

politik tingkat pusat, pengurus partai politik tingkat daerah provinsi dan

pengurus partai politik tingkat daerah kabupaten/kota.

(2) Bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pengurus partai politik

sebelum masa pendaftaran calon Anggota DPD.

(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah memenuhi syarat calon atau belum

memenuhi syarat calon dan sedang dalam proses perbaikan syarat calon

atau sedang dilakukan verifikasi syarat calon, dapat tetap menjadi bakal

calon Anggota DPD dengan wajib menyampaikan:

Page 73: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

64

a. Surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik yang

bernilai hukum dan tidak dapat ditarik kembali, yang

ditandatangani oleh bakal calon Anggota DPD yang bersangkutan

dan dibubuhi materai cukup; dan

b. Keputusan pimpinan partai politik sesuai dengan kewenangannya

berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai

politik, tentang pemberhentian bakal calon Anggota DPD yang

bersangkutan sebagai pengurus partai politik.

(4) Surat pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada Ayat

(3) huruf a disampaikan kepada KPU melalui KPU Provinsi/KIP Aceh

paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan DCS Anggota DPD.

(5) Keputusan pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

huruf b, disampaikan kepada KPU melalui KPU Provinsi/KIP Aceh

paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan DCT Anggota DPD.

(6) Dalam hal surat pernyataan pengunduran diri dan keputusan pimpinan

partai politik tidak disampaikan pada masa sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) dan ayat (5), bakal calon Anggota DPD dinyatakan tidak

memenuhi syarat dan namanya tidak dicantumkan dalam DCS Anggota

DPD atau DCT Anggota DPD.

Kemudian pada tanggal 25 September 2018, Peraturan KPU tersebut

di mohonkan untuk di uji di Mahkamah Agung dengan pemohon Oesman

Sapta Odang. Oesman Sapta Odang merupakan Ketua DPD RI dan

sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA).

Selain itu, Oesman Sapta Odang sebagai fungsionaris partai politik dan juga

telah mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD RI Provinsi Kalimantan

Barat. Oleh karena itu, maka dalam petitumnya pemohon menyatakan

bahwa Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan

Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Page 74: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

65

Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di

atasnya serta tidak sah dan batal demi hukum.

Selanjutnya pada tanggal 25 Oktober 2018 Mahkamah Agung

memutus perkara tersebut yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM.2018, tetapi Putusan Mahkamah Agung tersebut baru disebar

secara publik pada 10 November 2018. Amar Putusan Mahkamah Agung

Nomor 65 P/HUM.2018, yaitu:

1. Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Dr. OESMAN

SAPTA tersebut

2. Menyatakan ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun

2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun

2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Daerah, bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 5 huruf d dan Pasal

6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3. Menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun

2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun

2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan

Perwakilan Daerah, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan

berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut terhadap Peserta

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah

mengikuti Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan

Umum Tahun 2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017.

4. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya.

Dalam Mahkamah Agung tersebut, salah satu pertimbangan

Mahkamah Agung yaitu bahwa Bahwa meskipun telah nyata Putusan

Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap terhitung sejak

diucapkan, namun ternyata pihak Termohon tetap memberlakukan

Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 secara surut

Page 75: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

66

(retroactive) terhadap Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Tahun 2019, dengan dalih pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Terhadap hal demikian, menurut Mahkamah penerapan peraturan a quo

tersebut tidak efektif, karena perubahan suatu aturan disertai dengan suatu

kewajiban (yang sebelumnya belum diatur) pada saat tahapan, program, dan

penyelenggaran pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019

yang telah dilaksanakan dan sedang berlangsung dapat menimbulkan

persoalan hukum baru.1

Berdasarkan hal tersebut, pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum

dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai bahwa putusan Mahkamah

Agung tersebut bisa berbahaya bagi sistem tata negara. Bivitri Susanti

menyatakan bahwa Mahkamah Agung keliru memaknai Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Selain itu, jika Komisi

Pemilihan Umum (KPU) mengikuti putusan yang sebenernya keliru, maka

hal tersebut berbahaya bagi sistem tata negara Indonesia.2

Sementara itu, berentangan dengan Bivitri Susanti, Yusril Ihza

Mahendra selaku Pakar Hukum Tata Negara sekaligus kuasa hukum dari

pemohon yaitu Oesman Sapta Odang mengatakan bahwa Putusan

Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tidak bertentangan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 terkait

pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Yusril,

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bersifat retroaktif, melainkan

harus berlaku prospektif. Pada pemilu 2024 Komisi Pemilihan Umum

(KPU) berhak memberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang

1 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018.

2 Putusan MA soal Oso Dianggap Membahayakan Sistem Tata Negara,

https://nasional.tempo.co/read/1147633/putusan-ma-soal-oso-dianggap-membahayakan-sistem-

tata-negara

Page 76: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

67

menyatakan fungsionaris partai politik tidak berhak mencalonkan diri

sebagai calon anggota DPD.3

Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret nama

Oesman Sapta Odang dalam Daftar Calon Tetap (DCT) perseorangan

peserta pemilu anggota DPD berdasarkan Keputusan KPU Nomor

1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September 2018 dengan

maksud sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018 .

Di sisi lain Refly Harun menyatakan bahwa Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut mengacu pada Undang-undang, sedangkan Putusan

Mahkamah Agung hanya menganulir Peraturan KPU. Selain itu,

menurutnya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut karena

belum ada Daftar Calon tetap (DCT) calon anggota DPD yang ditetakan

oleh KPU, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jelas untuk

diterapkan pada Pemilu 2019.4

Berdasarkan uraian di atas, Putusan Mahkamah Agung Nomor 65

P/HUM/2018 menyatakan bahwa Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14

Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang melarang fungsionaris partai

politik mecalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Peraturan KPU

tersebut sebagaimana sebagaimana tindak lanjut dari Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Mahkamah Agung dalam

putusannya tesebut menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut, karena sudah terdapat Daftar

3 Yusril Sebut KPU Berkelit Tak Mau Jalankan Putusan PTUN soal OSO,

https://nasional.kompas.com/read/2018/11/28/09515331/yusril-sebut-kpu-berkelit-tak-mau-

jalankan-putusan-ptun-soal-oso.

4 Refly Harun: Ironi Putusan MK dan MA Dalam Gugatan OSO,

http://www.dakta.com/news/17368/refly-harun-ironi-putusan-mk-dan-ma-dalam-gugatan-oso

Page 77: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

68

Calon Sementara (DCS) anggota DPD. Di sisi lain, Komisi Pemilihan

Ummum (KPU) menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

tidak berlaku surut, karena pada saat itu Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan tersebut belum terdapat Daftar Calon Tetap (DCT)

anggota DPD sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku

untuk Pemilu 2019.

B. Dualisme Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018

Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari kronologi pada 23 Juli 2018

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018

yang menyatakan fungsionaris partai politik tidak berhak mencalonkan diri

sebagai calon anggota DPD. Pada saat itu telah terdapat Daftar Calon

Sementara (DCS) calon anggota DPD. Kemudian pada 9 Agustus dengan

maksud sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan KPU Nomor 26

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14

Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dalam peraturna KPU tersebut

terdapat ketentuan bahwa fungsionaris partai politik harus mengundurkan

diri dari partai politik jika mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.

Oleh karena itu, pada 20 September 2018 KPU mengeluarkan Daftar Calon

Tetap (DCT) dan mencoret Oesman Sapta Odang dari calon anggota DPD

Pemilu 2019 dalam Putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor

1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018. Kemudiaan Oesman sapta Odang

mengajukan judicial review terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah

Agung dan melakukan gugatan atas Putusan KPU tersebut di Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN). Mahkamah agung mengeluarkan Putusan Nomor 65

P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam Peraturan KPU

tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan pertimbangan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut.

Page 78: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

69

Jika penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD

merupakan tahapan pencalonan anggota DPD, maka Putusan Mahkamah

Agung tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018. Di sisi lain, jika penetapan Daftar Calon Sementara

(DCS) calon anggota DPD bukan merupakan tahapan pencalonan anggota

DPD, maka Putusan Mahkamah Agung bertentangan dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan pembentukan

Peraturan KPU tersebut tidak menyalahi asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yaitu asas berlaku surut.

Menurut Bivitri Susanti, tahap pemilu baru berhenti tahap

pendaftaran ketika Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan. Oleh karena itu,

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 keluar waktu

masih dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan KPU mengirimkan surat

pemberitahuan kepada bakal calon terkait hal tersebut dan memberitahukan

untuk pengunduran diri sebagai fungsionaris partai politik. berdasarkan hal

tersebut, Bivitri Susanti menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku retroaktif, karena Daftar Calon

Tetap (DCT) belum ditetapkan.5

C. Implikasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018

Berdasarkan uraian di atas, beberapa implikasi kedua putusan

tersebut di uraikan secara kronologis. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018, menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU)

menetapkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan

Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Daerah. Kemudian KPU juga menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) calon

anggota DPD pada surat keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4.-

5 Pakar: Hanya Oesman Sapta Odang (OSO) yang Melawan Putusan MK Soal Larangan

Pengrus Parpol Jadi Calon Anggota DPD,

https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2018/11/18/pakar-hanya-oso-yang-melawan-putusan-mk-

soal-larangan-pengurus-parpol-jadi-calon-anggota-dpd

Page 79: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

70

Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September 2018 yang telah diubah dengan

Keputusan KPU Nomor 1174/PL/01.4-KPt/06/IX/2018. Dengan keputusan

itu, beberapa Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD dicoret

dari Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD, termasuk nama Oesman

Sapta Odang yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.

Kemudiaan Oesman sapta Odang mengajukan judicial review

terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah Agung dan melakukan

gugatan atas Putusan KPU tersebut di Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN). Mahkamah agung mengeluarkan Putusan Nomor 65 P/HUM/2018

yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam Peraturan KPU tersebut tidak sah

dan batal demi hukum dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap melaksanakan kebijakan

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018.

Dalam surat keputusannya KPU memberikan jangka waktu kepada para

bakal calon anggota DPD yang masih menjadi fungsionaris partai politik

untuk mengundurkan diri. Oleh karena itu, 200 (dua ratus) calon anggota

DPD yang mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan

mengundurkan diri sebagai fungsionaris partai politik.

Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret Oesman

Sapta Odang lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai

politik. Pada tanggal 8 Desember 2018 KPU mengirimkan surat kepada

Oesman Sapta Odang untuk memberikan kelonggaran waktu sampai 21

Desmeber 2018 untuk menyerahkan surat pengunduran diri tersebut, tetapi

pada jumat 21 Desember Pihak Oesman Sapta Odang tetap tidak ada yang

menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Oleh Karena itu, Pada 22

Desember 2018 KPU tetap tidak melakukan perubahan Surat Keputusan

Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD, sehingga Oesman Sapta

Page 80: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

71

Odang tetap tidak tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) calon

anggota DPD.6

6 KPU Coret Oesman Sapta Odang (OSO) dari Daftar Caleg DPD Pemilu 2019,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181222143424-32-355726/kpu-coret-oso-dari-daftar-

caleg-dpd-pemilu-2019

Page 81: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diteliti pada bab-bab

sebelumnya, maka peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Fungsionaris partai politik tidak berhak mecalonkan diri sebagai calon

anggota DPD sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018. Dalam surat keputusan KPU tidak dicantumkannya

Oesman Sapta Odang dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD,

terdapat pernyataan calon yang berasal dari fungsionaris partai politik

diberi waktu untuk mengundurkan diri dari partai politik sampai pada

waktu yang ditentukan. Jika pengunduran diri dari partai politik tersebut

tidak dilakukan, maka yang bersangkutan tidak bisa mencalonkan diri

sebagai calon anggota DPD.

2. Terdapat dualisme putusan adalah karena berbeda penafsiran yang

dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap Oesman Sapta

Odang sebagai bakal calon anggota DPD dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan tahapan pemilu. Hal tersebut

mengakibatkan Oesman Sapta Odang mengajukan judicial review

terhadap Peraturan KPU Nomor Nomor 26 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang

Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Daerah dan Keputusan KPU tentang Daftar Calon Tetap

(DCT) calon anggota DPD. Kemudian Mahkamah Agung

mengeluarkan Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 yang mengabulkan

judicial review Oesman Sapta Odang.

3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018,

menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan

KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

Page 82: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

73

KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kemudian KPU

juga menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD pada

surat keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018 pada

20 September 2018 yang telah diubah dengan Keputusan KPU Nomor

1174/PL/01.4-KPt/06/IX/2018. Dengan keputusan itu, beberapa Daftar

Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD dicoret dari Daftar Calon

Tetap (DCT) calon anggota DPD, termasuk nama Oesman Sapta Odang

yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Selain itu, lebih dari

200 (dua ratus) bakal calon anggota DPD mengundurkan diri dari

kepengurusan partai politik, sedangkan Putusan Mahkamah Agung

Nomor 65 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam

Peraturan KPU tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan

pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-

XVI/2018 tidak berlaku surut.

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai

berikut:

1. Para hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus lebih

jeli dan memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan dalam

mengadili perkara judicial review sehingga tidak terjadi ketidak

selarasan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Selain itu, pembuat peraturan perundang-undangan pun harus

menafsirkan putusan lembaga peradilan dengan sebaik-baiknya.

2. Dalam kedudukan DPD sebagai perwakilan daerah seharusnya tidak

dari fungsionaris partai politik, karena dikhawatirkan terjadi

ketimpangan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban

sebagai anggota DPD.

3. Partai politik perlu melakukan himbauan kepada anggota-anggotanya

untuk tidak juga mencalonkan diri sebagai anggota DPD, karena DPR

sudah merupakan representasi dari partai politik, sedangkan DPD

Page 83: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

74

merupakan representasi dari perwakilan daerah. Jika perlu seharusnya

bukan hanya melarang fungsionaris partai politik sebagai calon anggota

DPD, tetapi juga seluruh anggota partai politik. Hal ini seperti ketentuan

yang pernah berlaku di Indonesia yaitu Pasal 63 Ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa syarat menjadi calon

anggota DPD yaitu tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-

kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal

pengajuan calon.

Page 84: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

75

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Al-Quranul Karim

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Arifin, Anwar, Perspektif Ilmu Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2015.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta:

Konpress, 2006.

______________, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai

Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,

2006.

______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008.

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Konstitusi republik Indonesia menuju

perubahan ke-5, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia,

2009.

Djalil, Matori Abdul, Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu

1999 dalam Transisi, Jakarta: KIPP, 1999.

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem

Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai

Negara, Jakarta: UI Press, 2010.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Negara, Demokrasi dan Civil Society,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfa, Hukum Lembaga Kepresidenan

Indonesia. Bandung: PT Alumni, 2010.

Page 85: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

76

Haris, Syamsudin, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Hikam, Muhamad A. S, Pemilu dan Legitimasi Politik, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1998.

Huda, Ni’matul dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-

undangan, Bandung: Nusa Media, 2011.

______________, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2007.

Ibrahim, J. Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang: Univeristas Muhamadiyah Malang Press, 2007.

Isjawara, F., Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980.

Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik, Jakarta: Kemenkopolkam,

2003.

Legowo, Tommi A., Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Perwakilan

Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Lutfi, Mustafa dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,

Malang: UB Press, 2016.

Maggalatung, A. Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu

Negara (Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), Bandung:

Fajar Media, 2013.

______________, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di

Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Jakarta: FOCUS

Grahamedia, 2012.

______________, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD

1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.

Maran, Rafael Marga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta,

2014.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media, 2010.

MD, Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,

1993.

Page 86: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

77

______________, Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,

Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Muttaqin, Entol Zaenal, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, Serang:

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2014.

Nurtjahyo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Pamungkas, Sigit, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,

Yogyakarta: Institute for Democracy and Wellfarism, 2011.

Rosyada, Dede, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani,

Jakarta: Prenada Media, 2000.

Safa’at, Muhamad Ali, Parlemen Bikameral, Malang: Universitas

Brawijaya Press, 2010.

Sardini, Nur Hidayat, Restorasi Pelnyelenggaraan Pemilu di Indonesia,

Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.

Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta:

Liberty, 2008.

Soekanto, Soedjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1986.

______________, Soedjono dan Sri Mahmudji, Peraturan dan Penggunaan

Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat

Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979.

Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1984.

Soemantri, Sri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,

Jakarta: Rajawali Press, 1982.

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah

dan Bentuk-bentuk Konstitusi di Dunia, Bandung: Nusamedia,

2004.

Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan

Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Page 87: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

78

Suharti, Eni, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD,

Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1997.

Sulistio, Hermawan, Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Acuan Teoritik

Pengalaman Masa Transisi, Jakarta: KIPP, 2000.

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-

Amendemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010.

Ubaidilah, A., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)

Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta

Press, 2000.

Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1986.

Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan

Kuliah di Perguruan Tinggi cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 2014.

Yusuf, M., Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitektur

Histori, Peran Dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah Di Era

Otonomi Daerah), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

B. JURNAL HUKUM

Artis, “Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks

Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Sosial Budaya, Vol. 9, 1 (2012).

Bachtiar, Farahdiba Rahma, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi

dari Berbagai Representasi”, Jurnal Politik Profetik, Vol. 3, 1

(2014).

Budiyono, “Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis”, Jurnal

Fiat Justicia Ilmu Hukum, Vol. 7, 3 (2014.

Kartono, “Politik Hukum Judicial Review di Indonesia”, Jurnal Dinamika

Hukum, 11 (2011)

Pirmansyah, Miki, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem

Bikameral Di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 2, 1 (2014).

Rosana, Ellya, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs,

Vol. XII, 1, (2016).

Page 88: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

79

Yunus, Nur Rohim, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan

Berbangsa dan Bernegara”, Social Science Education Journal, II,

2 (2015).

Zada, Khamami, ‘Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam

Reformasi Kelembagaan Perwakilan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi’, Jurnal Cita Hukum. Vol. II, (2015).

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD

dan DPRD

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018

Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018

Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan

Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Daerah

D. INTERNET

Aditya, Boy, Refly Harun: Ironi Putusan MK dan MA Dalam Gugatan OSO.

Artikel diakses pada 23 November 2018 dari

http://www.dakta.com/news/17368/refly-harun-ironi-putusan-mk-

dan-ma-dalam-gugatan-oso.

Florenti, Vindry, Putusan MA soal Oso Dianggap Membahayakan Sistem

Tata Negara. Artikel diakses pada 23 November 2018 dari

https://nasional.tempo.co/read/1147633/putusan-ma-soal-oso-

dianggap-membahayakan-sistem-tata-negara.

Page 89: PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44789/1/KHAERUL RIZAL-FSH.pdf · melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem

80

Farisa, Fitria Chusna, Yusril Sebut KPU Berkelit Tak Mau Jalankan Putusan

PTUN soal OSO. Artikel diakses pada 1 Desember 2018 dari

https://nasional.kompas.com/read/2018/11/28/09515331/yusril-

sebut-kpu-berkelit-tak-mau-jalankan-putusan-ptun-soal-oso.

Jurnaliston, Reza, Bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi, Putusan

Mahkamah Agung Timbulkan Ketidakpastian Hukum. Artikel

diakses pada tanggal 11 September 2018 dari

https://nasional.kompas.com/read/2018/11/01/06042201/bertentan

gan-dengan-mk-putusan-ma-soal-oso-bisa-timbulkan-

ketidakpastian.

Umam, Chaerul, Mahfud MD: Putusan Mahkamah Agung Soal Oso Tak

Wajar. Artikel diakses pada tanggal 11 November 2018 dari

http://m.tribunnews.com/nasional/2018/11/07/mahfud-md-

putusan-ma-soal-oso-tak-wajar.

Mardatillah, Aida, Alasan Mahkamah Agung Batalkan Larangan Pengurus

Partai politik Jadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Untuk Pemilu 2019. Artikel diakses pada 12 November 2018 dari

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5be426e49644e/alasan-

ma-batalkan-larangan-parpol-jadi-anggota-dpd-untuk-pemilu-

2019.