11
PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK Defamation in the Forensic Linguistics Perspective Hasnawati Nasution Kantor Bahasa Lampung Jalan Beringin II No. 40, Kompleks Gubernuran, Telukbetung Utara, Bandarlampung Telepon (0721) 486407, faksimile (0721) 486408, pos-el: [email protected] Diajukan: 15 Februari 2019, direvisi: 4 Mei 2019 Abstract This paper examines two uploads on social media whose alleged sentences contain elements of defamation. The method used in this study is qualitative, i.e., describing data to determine the elements that can defame someone. Determination of these elements requires forensic linguistic analysis that is using linguistic evidence in law enforcement efforts. This evidence can be analyzed using lexical, grammatical and pragmatic semantic studies that are part of forensic linguistic studies. Based on the analysis, it can be concluded that from the lexical semantic perspective, the word used in the uploaded sentence has a negative denotation meaning. Based on the grammatical semantic analysis the sentence means demeaning a group of people. Pragmatically, not being said by the uploader is an expressive illocutionary act, which is an expression of disappointment and anger. In addition, the sentence uploaded to the account is also provocative, namely inviting the public to follow the uploader's opinion. Expressive illocutionary acts lead to acts of perlocution on the speech partners mentioned in the sentence. The act of occlusion is in the form of anger from community groups or individuals referred to in uploads. Keywords: Forensic linguistics, defamation, pragmatics Abstrak Makalah ini mengkaji dua unggahan di media sosial yang diduga kalimatnya mengandung unsur pencemaran nama baik. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif, yakni mendekripsikan data untuk menentukan unsur-unsur yang dapat mencemarkan nama baik seseorang. Penentuan unsur tersebut memerlukan analisis linguisik forensik yakni menggunakan bukti kebahasaan dalam upaya penegakan hukum. Bukti tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan kajian semantik leksikal, semantik gramatikal, dan pragmatik yang merupakan bagian dari kajian linguistik forensik. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa dari sudut pandang semantik leksikal, kata yang digunakan pada kalimat yang diunggah tersebut memiliki makna denotasi yang negatif. Berdasarkan analisis semantik gramatikal kalimat tersebut bermakna merendahkan sekelompok masyarakat. Secara pragmatik, tidak tutur yang dilakukan oleh penggunggah adalah tindak ilokusi ekspresif, yakni ekspresi kekecewaan dan kemarahan. Selain itu, kalimat yang diunggah pada akun tersebut juga bersifat provokatif, yakni mengajak masyarakat mengikuti pendapat si pengunggah. Tindak ilokusi ekspresif menimbulkan tindak perlokusi pada mitra tutur yang disebut dalam kalimat tersebut. Tindak perlokusi itu berupa kemarahan kelompok masyarakat atau individu yang disebut di dalam unggahan. Kata kunci: Linguistik forensik, pencemaran nama baik, pragmatik

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Defamation in the Forensic Linguistics Perspective

Hasnawati Nasution

Kantor Bahasa Lampung Jalan Beringin II No. 40, Kompleks Gubernuran, Telukbetung Utara, Bandarlampung

Telepon (0721) 486407, faksimile (0721) 486408, pos-el: [email protected] Diajukan: 15 Februari 2019, direvisi: 4 Mei 2019

Abstract

This paper examines two uploads on social media whose alleged sentences contain elements of defamation. The method used in this study is qualitative, i.e., describing data to determine the elements that can defame someone. Determination of these elements requires forensic linguistic analysis that is using linguistic evidence in law enforcement efforts. This evidence can be analyzed using lexical, grammatical and pragmatic semantic studies that are part of forensic linguistic studies. Based on the analysis, it can be concluded that from the lexical semantic perspective, the word used in the uploaded sentence has a negative denotation meaning. Based on the grammatical semantic analysis the sentence means demeaning a group of people. Pragmatically, not being said by the uploader is an expressive illocutionary act, which is an expression of disappointment and anger. In addition, the sentence uploaded to the account is also provocative, namely inviting the public to follow the uploader's opinion. Expressive illocutionary acts lead to acts of perlocution on the speech partners mentioned in the sentence. The act of occlusion is in the form of anger from community groups or individuals referred to in uploads. Keywords: Forensic linguistics, defamation, pragmatics

Abstrak

Makalah ini mengkaji dua unggahan di media sosial yang diduga kalimatnya mengandung unsur pencemaran nama baik. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif, yakni mendekripsikan data untuk menentukan unsur-unsur yang dapat mencemarkan nama baik seseorang. Penentuan unsur tersebut memerlukan analisis linguisik forensik yakni menggunakan bukti kebahasaan dalam upaya penegakan hukum. Bukti tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan kajian semantik leksikal, semantik gramatikal, dan pragmatik yang merupakan bagian dari kajian linguistik forensik. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa dari sudut pandang semantik leksikal, kata yang digunakan pada kalimat yang diunggah tersebut memiliki makna denotasi yang negatif. Berdasarkan analisis semantik gramatikal kalimat tersebut bermakna merendahkan sekelompok masyarakat. Secara pragmatik, tidak tutur yang dilakukan oleh penggunggah adalah tindak ilokusi ekspresif, yakni ekspresi kekecewaan dan kemarahan. Selain itu, kalimat yang diunggah pada akun tersebut juga bersifat provokatif, yakni mengajak masyarakat mengikuti pendapat si pengunggah. Tindak ilokusi ekspresif menimbulkan tindak perlokusi pada mitra tutur yang disebut dalam kalimat tersebut. Tindak perlokusi itu berupa kemarahan kelompok masyarakat atau individu yang disebut di dalam unggahan. Kata kunci: Linguistik forensik, pencemaran nama baik, pragmatik

Page 2: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Pencemaran Nama Baik...(Hasnawati Nasution)

13

1. Pendahuluan Keberadaan media sosial tidak

hanya memberikan pengaruh positif, tetapi juga pengaruh negatif dalam interaksi sosial masyarakat. Pengaruh positif yang ditimbulkan media ini dapat berupa media silaturahmi, bisnis, dan berbagi informasi. Pengaruh negatif yang ditimbulkan berupa pengungkapan berbagai ekspresi kekesalan, kemarahan, dan kekecewaan yang dapat berakibat tindakan ekspresif dari masyarakat.

Salah satu media sosial yang banyak digunakan masyarakat adalah facebook. Pengguna facebook merasa bebas mengekpresikan perasaan dan emosinya pada akun yang mereka miliki. Pengguna tidak hanya mengunggah foto, tetapi juga menuliskan perasaanya pada dinding akunnya. Dinding facebook menjadi tempat curhat bagi sebagian penggunanya. Tentu saja, segala yang dituliskan seseorang pada akunnya tersebut dapat dibaca oleh semua teman yang terhubung dengan akun tersebut. Mereka dapat saling melihat status dan berkomentar tentang status yang diunggah oleh temannya.

Namun, tidak selamanya status yang diunggah di facebook bersifat positif karena sering kali media ini menjadi ajang untuk mengungkapkan kemarahan dan kekesalan kepada orang lain. Saling berbalas komentar melalui kolom komentar sering menimbulkan konflik karena munculnya pro dan kontra dalam menyikapi status tersebut. Konflik ini dapat meluas menjadi komentar yang saling memojokkan bahkan saling menghina yang dapat berujung dengan kasus pencemaran nama baik. Kalimat yang mengungkapkan kemarahan dengan menyebutkan nama seseorang dan

orang yang disebut namanya tidak terima dengan tuduhan itu dapat berakibat laporan kepada pihak yang berwajib. Hal inilah yang menyebabkan munculnya berbagai laporan kasus pencemaran nama baik.

Pencemaran nama baik berhubungan dengan kehormatan. Menurut (KBBI, 2018) kehormatan merupakan ‘hal yang berberhubungan dengan nama baik atau harga diri’. Kehormatan adalah sesuatu hal yang berhubungan dengan masyarakat karena setiap orang berhak diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Pencemaran nama baik berarti ‘menyerang kehormatan seseorang di mata masyarakatnya’. Menurut (KBBI 2018) pencemaran berasal dari kata cemar yang berarti ‘buruk; tercela yang dihubungakan dengan hal nama baik’. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan. Salah satu contohnya adalah pengungkapan kata matamu. Pada masyarakat Jawa, kata matamu yang diucapkan oleh seseorang dapat mengungkapkan kemarahan atau penghinaan. Namun, pada masyarakat Minang, kata matamu yang diucapkan oleh seseorang tidak memberikan efek marah atau jengkel. Perbuatan pencemaran nama baik merupakan tindak pidana yang membuat seseorang terhina kehormatannya dalam pandangan masyarakatnya(Mudzakir, 2004). Analisis kebahasaan diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya unsur yang dapat mencemarkan nama baik tersebut. Untuk menentukan ada atau tidaknya unsur pencemaran nama

Page 3: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Kelasa, Vol.14,No.1, Juni 2019: 12—22

14

baik berdasarkan analisis kebahasaan diperlukan kehadiran ahli bahasa. Perbuatan pencemaran nama baik dapat dilaporkan kepada polisi karena perbuatan tersebut dapat merugikan seseorang, yakni melecehkan kehormatan atau merusak nama baiknya. Pemerintah menerbitkan undang-undang komunikasi elektronik yang lebih dikenal dengan undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 yang direvisi lagi dengan UU Nomor 19 tahun 2016. Undang-undang ini mengatur berbagai tindak kejahatan yang berhubungan dengan informasi dan transaksi elektronik. Masalah pencemaran nama baik diatur pada pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pada pasal 28 juga diatur tentang berita bohong dan ujaran kebencian yang dapat menimbulkan perpecahan antarmasyarakat. Pasal 28 berbunyi (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hukuman bagi pelaku pencemaran nama baik diatur dalam undang-undang ini pasal 45 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kasus terbaru yang ramai dibicarakan publik saat ini adalah kasus Ahmad Dhani (2019) karena menyebut kata idiot dan kasus istri dari Andre Taulani yang dianggap mencemarkan nama baik seorang tokoh nasional (2019). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menelaah kasus-kasus yang berhubungan dengan pencemaran nama baik. Mintowati dalam jurnal Paramasastra mengkaji kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Florence Sihombing yang melakukan pencemaran nama baik berupa penghinaan terhadap Kota Jogja. Penghinaan terhadap Kota Jogja dianalogikan sebagai bentuk penghinaan terhadap masyarakat Jogja (Ms. Minowati, 2016). Selain itu, terdapat kasus Ervami Enihandayani yang mengomentari pemilihan pemimpin di sebuah Butik. Supriyadi dalam jurnal Mimbar Hukum menelaah kasus Prita Mayasari yang dituntut karena mengunggah ketidakpuasannya terhadap layanan rumah sakit (Supriyadi, 2010) dan Nazmi (Nurun Nazmi, Gunawan Jatmiko, 2016) mengkaji pencemaran nama pada publik figur di media sosial.

Selanjutnya pada makalah ini, akan ditelaah beberapa laporan kasus pencemaran nama baik yang terjadi di Provinsi Lampung yang ditangani oleh kepolisian. Kasus yang dikaji pada penelitian ini sudah mendapatkan keputusan hukum di pengadilan. Ada dua data yang akan dianalisis yakni dua unggahan yang diduga mencemarkan nama baik suku Lampung secara umum dan satu unggahan yang diduga mencemarkan nama baik sebuah kelompok masyarakat. Linguistik Forensik

Linguistik forensik digunakan untuk menganalisis kasus-kasus yang

Page 4: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Pencemaran Nama Baik...(Hasnawati Nasution)

15

menggunakan ihwal kebahasaan sebagai bukti kejahatannya. Upaya penegakan hukum untuk kasus seperti itu memerlukan analisis bukti-bukti kebahasaan untuk memecahkan persoalannya. Hal ini juga diungkapkan Mahsun dalam bukunya Linguistik Forensik bahwa kajian ilmiah atau saintifik kebahasaan diperlukan untuk memecahkan persoalan forensik. Bukti-bukti kebahasaan dari suatu tindak kejahatan dianalisis secara saintifik untuk tujuan penegakan hukum dari suatu tindak kejahatan (Mahsun, 2018). Jadi, linguistik forensik merupakan penerapan prinsip-prinsip dan metode kajian linguistik dalam masalah hukum dan penegakan hukum (McMenamin, 2002) dalam Mahsun 2018. Artinya, ilmu-ilmu yang berada pada tataran linguistik seperti semantik, pragmatik, fonologi, dialektologi dan ilmu linguistik lainnya dapat diterapkan dan digunakan untuk menganalisis sampel bahasa dalam penyelidikan.

Hal ini diungkapkan juga oleh Mc Menamin bahwa ilmu kebahasaan yang digunakan untuk menangani kasus kebahasaan dapat melibatkan beberapa cabang ilmu linguistik seperti sosiolinguistik, pragmatik, semantik, fonologi, dalam upaya penegakan hukum (McMenamin, 2002). Kajian fonologi diperlukan untuk kasus yang berhubungan dengan rekaman suara. Data yang berbentuk rekaman menggunakan ilmu fonetik linguistik untuk meneliti kata-kata yang diucapkan pada rekaman tersebut Semantik Leksikal dan Gramatikal

Pada sebuah kasus pencemaran nama baik, hal yang pertama kali dianalisis adalah makna kata yang kemudian dihubungkan dengan makna kalimat. Sebuah kata dapat dipahami dalam beberapa makna bergantung pada pengertian, nilai rasa, nada, dan

maksud penyampaian kalimat tersebut (Pateda, 2010).

Setiap kata memiliki makna leksikal sehingga dianggap sebagai suatu satuan semantik. Selain kata, ada juga istilah leksem yang merupakan satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari berbagai bentuk inflekdtif sebuah kata, sehingga dalam pembahasan semantik leksikal, kata-lah yang menjadi tumpuannya. (Kridalaksana, 1982). Umumnya, makna leksikal dapat diperoleh dari kamus. Pada sebuah kamus dimuat makna kata saat berdiri sendiri atau makna lepas sebuah kata sebelum kata tersebut dimasukkan ke dalam kalimat.

Makna leksikal sebuah kata saat berdiri sendiri dapat berbeda dengan makna kata jika dimasukkan dalam sebuah kalimat. Perubahan makna tersebut dapat disebabkan oleh konteks penggunaan kata tersebut dalam sebuah kalimat. Misalnya kata anjing, dari sudut pandang semantik leksikal bermakna hewan menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya.

Makna kata anjing akan berubah jika dimasukkan dalam sebuah kalimat yang dihubungkan dengan konteks kalimat tersebut, misalnya penggunaan kata anjing pada kalimat (1) saya suka memelihara anjing dengan (2) kalimat sikapmu suka menjilat seperti anjing. Meskipun dua kalimat itu mengunakan kata anjing, makna yang muncul sangat berbeda. Anjing pada kalimat (1) bermakna hewan dan anjing pada kalimat (2) bermakna sifat yang negatif. Analisis makna kata yang mempertimbangkan bentuk kalimat dan konteks penggunaan kalimat merupakan analisis semantik gramatikal (Verhaar dalam Pateda 2010)

Page 5: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Kelasa, Vol.14,No.1, Juni 2019: 12—22

16

Tindak Tutur

Ada beberapa aspek makna yang dikemukakan oleh Pateda diantaranya makna afektif, yakni makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat, makna denotasi dan konotasi; makna emotif, yakni makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai apa yang dipikirkan atau dirasakan (Shiply dalam Pateda, 2010). Reaksi emotif merupakan reaksi emosi pendengar atau pembaca terhadap kalimat yang disampaikan pembicara.

Austin dalam Bachari (Bachari, 2017) mengungkap tiga jenis tindak tutur yakni lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah sebuah tuturan yang memiliki makna tetapi tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi orang. Lokusi hampir mirip dengan tuturan konstantif, karena bersifat sekadar menyampaikan informasi saja. Ketika seseorang mengatakan saat ini kota Pekanbaru ditutupi kabut asap, kalimat ini bisa jadi hanya mengandung makna sebuah informasi tanpa ada makna atau maksud lain yang terkandung dalam kalimat tersebut.

Namun, jika kalimat saat ini kota Pekanbaru ditutupi kabut asap diucapkan pada seseorang yang ingin melakukan perjalanan udara ke Kota Pekanbaru maka kalimat tersebut tidak hanya bermakna seperti kata-kata yang diucapkannya. Kalimat saat ini kota Pekanbaru ditutupi kabut asap bisa jadi memiliki kekuatan yang mendorong pendengarnya membatalkan penerbangan ke Pekanbaru karena jadwal penerbangan bisa terganggu oleh kabut asap. Ketika kondisi ini terjadi, sebuah tuturan dikatakan memiliki daya ilokusi, yang disebut tindak ilokusi (Bachari, 2017). Searle dalam Leech membagi tindakan ilokusi pada

beberapa kategori, yakni asertif, direktif, komisif, dan ekspresif (Leech Geoffrey, 1993).

Tindak tutur yang selanjutnya adalah perlokusi. Dalam perlokusi, efek atau konsekuensi dari sebuah tuturan telah dirancang oleh penutur sehingga yang mendengar akan terpengaruh oleh penutur, baik secara aktif maupun pasif. Ada unsur kesengajaan yang yang dibuat oleh penutur untuk mengarahkan isi tuturannya kepada yang mendengarkan. Ungkapan perlokusi biasanya ditemukan pada tindakan persuasif, ajakan, sindiran, motivasi, menggembirakan, melakukan sesuatu, meredakan ketegangan, mempernalukan, menarik perhatian, dan lain-lain. Kata-kata yang disampaikan oleh penutur bisa meyakinkan pendengar sehingga efek dari tindak perlokusi benar-benar terjadi. Misalnya, suatu saat seseorang bertamu ke rumah temannya dan dia berkata, “hari ini panas sekali, enaknya minum yang segar ya?”. Kira-kira efek apa yang akan timbul dari kalimat tersebut? Tentunya tuan rumah akn segera menyiapkan segelas minuman yang dingin untuk tamunya. (Searle, J.R. and Vanderken, 1985). Secara tidak langsung, kalimat “hari ini panas sekali, enaknya minum yang segar ya?” merupakan permintaan penutur kepada pendengarnya untuk menyediakan minuman.

Kasus pencemaran nama baik dapat dikelompokkan pada tindak ilokusi ekpresif karena kalimat yang digunakan biasanya mengungkapkan rasa kesal, tidak puas, atau marah. J.R Searle dalam Tarigan (Tarigan, 2015), mengungkapkan bahwa tindak ilokusi ekspresif berfungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap pembicara menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi, misalnya mengucapkan selamat, menyalahkan,

Page 6: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Pencemaran Nama Baik...(Hasnawati Nasution)

17

mengampuni, dan menuduh. Tindak ilokusi ekpresif tersebut tentunya akan menimbulkan tindak perlokusi. Seseorang yang merasa menjadi subjek dalam kalimat yang diunggah tersebut akan marah dan tidak bisa menerima perlakuan si pengunggah. Kemarahan orang yang merasa disebut nama atau identitasnya disebar di media sosial merupakan tindak perlokusi. Selain marah, tindak perlokusi lainnya yang mungkin muncul adalah laporan kepada pihak yang berwajib.

Pada kasus seperti ini, kalimat yang diunggah di akun facebook tersebut harus dikaji secara kebahasaan dari segi semantiknya leksikal dan semantik gramatikal untuk mendeskrpsikan makna kata-kata dan makna kata tersebut bila dianalisis dalam kalimat utuh. Analisis teks secara keseluruhan ini tidak dapat dilepaskan dari konteksnya dan situasinya. Konteks budaya juga menjadi penentu karena berhubungan dengan norma dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat.

2. Metode Penelitian

Penelitian pencemaran nama baik dalam perspektif linguistik menggunakan metode kualitatif yang difokuskan pada deskripsi fenomena aspek-aspek linguistik yang diduga mengandung unsur pencemaran nama baik. Kajian ini menggunakan perspektif linguistik forensik untuk menganalisis bukti-bukti kebahasaan pada teks yang diperkirakan dapat merugikan seseorang sehingga dapat mencemarkan nama baiknya.

Teks yang dianalisis berupa kalimat yang diunggah pada akun facebook. Namun, esensi teks tidak dapat dilihat hanya dari makna leksikal, karena esensinya juga dilihat dari makna gramatikal yang yang ditimbulkan oleh teks tersebut

(Wiratno, 2018). Metode analisis disajikan dalam bentuk desktiprif yang bertujuan menjelaskan setiap unsur kalimat yang dapat menimbulkan pencemaran pada nama baik seseorang atau kelompok. Pada tahap analisis ini diperlukan kajian semantik dan pragmatik. Kajian semantik dari sudut pandang semantik leksikal dan gramatikal akan menjelaskan makna kata yang dihubungkan dengan makna kalimat secara utuh. Analisis kalimat ini nantinya akan memberikan bukti kebahasaan ada atau tidaknya unsur-unsur kalimat yang dapat mencemarkan nama baik. Kajian pragmatik akan menjelaskan maksud dan tujuan seseorang dengan mengucapkan atau menuliskan sebuah kalimat. Analisis pragmatik meliputi tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Samuel dan Kiefer (1966) mengingatkan untuk memeperhatikan beberapa hal, antara lain, (1) Apakah kalimat tersebut memiliki makna atau tidak?, (2) Apabila ada maknanya, berapakah makna yang terkandung dalam kalimat tersebut, (3) Apakah makna kalimat itu dapat dipahami secara umum atau ada makna lain yang terkandung dalam kalimat tersebut? Setelah kalimat dianalisis, akan dapat disimpulkan bahwa kalimat tersebut mengandung unsur pencemaran nama baik atau tidak. Untuk menentukan ini, diperlukan perspektif linguistik forensik.

Data penelitian ini diambil dari kalimat yang diunggah oleh seseorang melalui akun facebook. Unggahan tersebut membuat seseorang merasa terhina tercemarkan nama baiknya, sehingga dia melaporkan pengunggah kepada pihak yang berwajib.

3. Hasil dan Pembahasan

Kasus yang dianalisis pada pembahasan ini merupakan delik aduan,

Page 7: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Kelasa, Vol.14,No.1, Juni 2019: 12—22

18

yakni delik yang diproses berdasarkan laporan seseorang yang merasa dirugikan karena dicemarkan nama baiknya melalui media sosial. Sekelompok orang merasa nama baik sukunya dan warganya tercemar karena tidak terima dengan bunyi kalimat yang diunggah di facebook. Kasus ini telah mendapat keputusan pengadilan bahwa kalimat yang diunggah mengandung unsur pencemaran nama baik. a. Pencemaran nama baik Kampung Pesisir

pencemaran nama baik di Kampung Mesir berawal dari rasa kecewa seseorang berinisial WD pada seorang gadis dari kampung Mesir di Kabupaten Waikanan. Kekecewaan WD diungkapkannya melalui akun di facebook. Kalimat yang diunggah oleh WD menggunakan bahasa Lampung dalam bentuk sebuah pantun. Pantun yang dituliskan oleh WD pada akunnya adalah sebagai berikut.

beli kemangi di puseser tigoh nua kak layu gakuk muli dimeser ancak gakuk asu

Arti pantun tersebut dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut

beli kemangi di Pesisir sampai di rumah sudah layu mengambil gadis di Muser lebih baik mengambil anjing

Di dalam pantun tersebut, WD tidak menyebutkan nama gadis yang telah mengecewakannya, tetapi dia menyebutkan nama kampung asal gadis tersebut, yakni Mesir yang dilafalkan dengan kata Meser. Penyebutan muli Meser pada pantun tersebut menggeneralisasi gadis yang berasal dari kampung tersebut. Pemuka masyarakat yang mengetahui masalah ini tidak terima jika rasa tidak suka WD diungkapkan di facebook dengan

menyebutkan nama kampung mereka. Hal ini dapat menyebabkan buruknya nama kampung mereka, khususnya para gadis. Oleh karena itu, pemuka kampung melaporkan WD dengan tuntutan pencemaran nama baik pada kampung mereka.

Pantun yang diunggah WD terdiri atas dua baris sampiran dan dua baris isi. Sampiran pertama beli kemangi di puseser yang bermakna ‘membeli kemangi di Pesisir’. Secara semantik leksikal makna kemangi menurut KBBI merupakan ‘tumbuhan yang daunnya biasa dilalap’. Makna leksikal pesisir merupakan istilah untuk ‘daerah landai dan berpasir yang berada di sepanjang pantai’. Namun, berdasarkan konteks kalimat pada pantun tersebut, pesisir yang dimaksud pada status WD merupakan nama daerah yang terletak di bagian pesisir Barat, Provinsi Lampung. Sampiran baris kedua tigoh nua kak layu. Tigoh artinya ‘sampai’, nua artinya ‘rumah’, kak artinya ‘sudah’ dan layu artinya ‘layu’. Kalimat kedua ini dapat dilihat makna leksikalnya menurut KKBI yakni, layu artinya ‘tidak segar lagi tentang tumbuhan, bunga, daun, dan sebagainya’. Kalimat tigoh nua kak layu bermakna ‘sampai di rumah sudah layu’.

Pada bagian isi pantun, kalimat ketiga berbunyi ngakuk muli di Meser. Kata ngakuk bermakna ‘mengambil’, sedangkan kata muli bermakna ‘gadis’, dan frasa di Meser bermakna ‘di daerah Meser’. Meser merupakan nama salah satu kecamatan yang ada di Pesisir Barat. Istilah ngakuk muli pada kalimat tersebut bermakna ‘mengambil atau memilih seorang gadis dari daerah Meser untuk dijadikan istri’. Kalimat keempat adalah ancak gakuk asu. Kata ancak bermakna ‘lebih baik’, kata ngakuk bermakna ‘mengambil’, dan kata asu bermakna ‘anjing’. Bila dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, yakni ngakuk muli di Meeser ancak ngakuk

Page 8: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Pencemaran Nama Baik...(Hasnawati Nasution)

19

asu, kalimat ini bermakna ‘dari pada mengambil gadis dari Meser untuk dijadikan istri, lebih baik mengambil anjing untuk dijadikan istri’.

Secara semantik leksikal, kata-kata pada pantun tersebut yang memiliki makna lebih dari satu adalah kata ngakuk ‘mengambil’ dan asu ‘anjing’. Makna leksikal kata mengambil menurut KBBI adalah ‘memegang sesuatu lalu dibawa’ dan kata anjing bermakna ‘binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya’. Dari analisis secara leksikal, kata ngakuk dan asu tidak bermakna negatif.

Kalimat yang ditulis WD pada akunnya tidak dapat hanya dianalisis dari semantik leksikal, tetapi juga harus dianalisis dari segi semantik gramatikal, yakni menentukan makna kata berdasarkan frasa, kalimat, dan klausa serta perubahan makna yang dipengaruhi oleh faktor sosial (Ullman dalam Pateda, 2010). Perubahan makna yang disebabkan oleh faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan makna kata tersebut dalam masyarakat. Frasa ngakuk muli secara semantik gramatikal yang dihubungkan dengan faktor sosial masyarakat bermakna mengambil seorang gadis untuk dijadikan istri/pasangan. Frasa ngakuk asu secara semantik gramatikal bermakna menjadikan anjing untuk dijadikan istri/pasangan. Kata anjing bila dilihat secara leksikal tidak bermakna negatif, tetapi apabila dianalisis secara semantik gramatikal pada frasa ngakuk asu maknanya berubah menjadi sesuatu yang sangat negatif. Kata anjing yang ditujukan pada seseorang akan membuat orang itu terhina dan tercemar namanya karena dalam pandangan masyarakat Indonesia menjadikan hewan anjing yang diasosiasikan pada manusia merupakan penghinaan. Kata ancak bermakna ‘lebih baik’ berfungsi sebagai adverbia atau

kata keterangan pembanding yang membandingkan antara muli dan asu. Frasa di Meser bermakna ‘di Meser’, yaitu daerah bernama Mesir di Kabupaten Waikanan.

Kalimat ngakuk muli di Meeser ancak ngakuk asu dapat membuat orang terhina karena kata anjing pada kalimat tersebut dibandingkan dengan manusia, dalam hal ini seorang gadis. Secara keseluruhan, kalimat tersebut bermakna ‘dari pada mengambil gadis dari Meser untuk dijadikan istri/pasangan lebih baik mengambil anjing, artinya anjing sebagai hewan yang berasosiasi negatif disebut lebih baik dari pada gadis yang berasal dari kampung Meser. Kata muli pada kalimat tersebut bersifat jamak sehingga muli di Meser bermakna gadis-gadis yang berasal dari kampung Meser. WD menggeneralisasi gadis-gadis yang berasal dari kampung Meser tidak ada yang berbudi pekerti baik sehingga dia menyimpulkan bahwa lebih baik mengambil anjing sebagai pendamping dari pada mengambil gadis-gadis yang berasal dari Kampung Meser.

Berikutnya, pantun tersebut dianalisis dengan pendekatan pragmatik. Pada data status facebook WD, dituliskan ngakuk muli di Meser ancak ngakuk asu yang bermakna ‘dari pada mengambil gadis di Meser lebih baik mengambil anjing’. Berdasarkan teori tindak tutur Searle (dalam Leech Geoffrey, 1993) kalimat yang dituturkan WD merupakan tindak tutur ilokusi ekspresif yang mengungkapkan ekspresi kekecewaan dan kemarahannya pada seorang gadis yang berasal dari Kampung Meser. Kalimat tersebut juga termasuk ekspresif profokatif karena WD secara tidak langsung mengajak pembaca untuk tidak bergaul bahkan mencari gadis yang berasal dari Kampung Meser. Secara implisit, ia menyatakan bahwa lebih baik berpasangan dengan anjing

Page 9: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Kelasa, Vol.14,No.1, Juni 2019: 12—22

20

dari pada mengambil gadis yang berasal dari Kampung Meser.

Tuturan ilokusi ekspresif WD memunculkan dua perlokusi, pertama, kalimat yang ditulis WD memancing emosi masyarakat Kampung Meser yang tidak terima dengan pernyataan WD. Kedua, WD dilaporkan kepada pihak berwajib oleh tokoh adat Kampung Meser yang tidak terima nama baik gadis-gadis dari kampung Meser tercemar.

b. Ujaran Kebencian pada Suku Lampung

Kasus yang kedua adalah ujaran kebencian yang diunggah pada akun facebook dengan inisial UM. Kalimat yang diunggah UM diduga telah memenuhi unsur yang disebutkan pada pasal 28 UU ITE tahun 2008 yakni menyebarkan informasi melalui media sosial yang bermuatan informasi negatif dan menunjukkan kebencian yang berhubungan dengan suku atau ras. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut suku Lampung anjing semua... setuju gx kalau suku Lampung dibasmi dari muka bumi ini.

Berdasarkan makna semantik leksikal, kata-kata yang perlu diperhatikan dari kalimat tersebut adalah kata anjing, suku, Lampung, dan dibasmi. Seperti halnya kasus WD, UM juga menggunakan kata anjing sebagai metafora yang diasosiasikan dengan manusia, dalam hal ini suku Lampung. Secara leksikal, kata anjing tidak mengandung makna negatif, tetapi saat kata anjing digunakan sebagai metafora yang berasosiasi dengan manusia dan digunakan di masyarakat berbudaya Timur maka kata anjing menjadi sebuah kata yang bersifat negatif. Kata suku menurut KBBI bermakna ‘golongan orang-orang yang berasal dari keturunan nenek moyang yang sama’. Kata Lampung menurut KBBI bermakna

‘sebuah suku yang bertempat tinggal di wilayah Lampung dan dapat juga bermakna bahasa yang digunakan oleh suku Lampung’. Selanjutnya, kata dibasmi bermakna ‘ditumpas’ atau ‘dimusnahkan’. Ditinjau dari semantik gramatikal, terdapat dua kalimat pada unggahan tersebut. Kalimat pertama berbunyi suku Lampung anjing semua. Frasa suku Lampung bermakna ‘masyarakat yang berasal dari keturunan berbagai marga yang ada di Lampung dan menggunakan bahasa Lampung’. Sedangkan penduduk Lampung yang suku asalnya Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak, dan lain-lain tidak disebut suku Lampung karena mereka adalah pendatang di Lampung. Jadi, kelompok masyarakat yang dimaksud pada status UM adalah masyarakat asli keturunan suku Lampung. Menggunakan hewan anjing sebagai metafora yang berasosiasi dengan kelompok masyarakat Lampung tentunya akan membuat mereka merasa terhina dan marah. Kalimat kedua pada unggahan UM yang berbunyi setuju gx kalau suku Lampung dibasmi dari muka bumi ini bila ditinjau dari semantik gramatikal merupakan sebuah ajakan kepada pembaca status itu untuk ikut membenci suku Lampung bahkan membasmi atau memusnah mereka.

Ditinjau dari sisi pragmatik, kalimat yang diunggah UM merupakan tindak tutur ilokusi ekpresif, yakni sebuah ungkapan yang muncul karena rasa marah dan kecewa. Kalimat yang diunggah UM juga dapat dikelompokkan pada tindak tutur ilokusi ekspresif provokatif karena kalimat tersebut juga bersifat ajakan pada pembaca untuk membasmi suku Lampung Tindak ilokusi ekpresif yang dilakukan UM memunculkan tindak perlokusi, yakni UM dilaporkan dan ditangkap pihak kepolisian karena ujaran kebencian.

Page 10: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Pencemaran Nama Baik...(Hasnawati Nasution)

21

c. Tinjauan dalam Perspektif Linguistik Forensik

Dari sudut pandang linguistik forensik yang dianalisis dengan teori semantik dan pragmatik, kalimat ngakuk muli di Meeser ancak ngakuk asu dapat mencemarkan nama baik gadis dari Meser dan dapat menimbulkan permusuhan individu atau masyarakat yang berkaitan dengan suku atau kelompok masyarakat Kampung Meser. Berdasarkan makna semantik, kalimat yang diunggah WD bermakna dari pada mengambil gadis yang berasal dari Kampung Meser lebih baik mengambil anjing untuk dijadikan istri/pasangan. Kalimat ini juga mengandung makna bahwa gadis dari desa Meser memiliki kepribadian yang buruk. Anjing merupakan hewan yang bermakna negatif jika diasosiasikan dengan manusia. Pernyataan ini dapat mencemarkan nama baik gadis-gadis yang berasal dari Kampung Meser karena pernyataan ini diunggah di media sosial yang dapat dibaca oleh masyarakat umum. Dintinjau dari segi pragmatik, kalimat yang diunggah WD merupakan tindak tutur ilokusi ekspresif yang menyebabkan munculnya tindak tutur perlokusi berupa kemarahan warga Kampung Meser sehingga melaporkan WD kepada pihak kepolisian. Oleh karena itu, kalimat yang diunggah WD memenuhi unsur pencemaran nama baik dan menimbulkan permusuhan ntarindividu atau masyarakat seperti yang disebutkan pada pasal 27 dan 28 UU ITE tahun 2008.

Selanjutnya, kalimat yang diunggah UM yakni suku Lampung anjing semua, setuju gx kalau suku Lampung dibasmi dari muka bumi ini adalah kata anjing, suku, Lampung, dan dibasmi juga memenuhi unsur yang disebutkan dalam pasal 28 pada UU ITE tahun 2008 yakni tentang penyebaran

informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan antarindividu atau masyarakat. Kalimat yang diunggah UM dapat menimbulkan kemarahan masyarakat yang bersuku Lampung karena mereka diasosiasikan dengan anjing. Selain itu, kalimat itu juga bersifat propokatif karena mengajak pembaca membenci orang Lampung dan membasmi mereka dari muka bumi ini. Tindak tutur perlokusi yang timbul dari ilokusi kalimat ini adalah kemarahan masyarakat Lampung dan melaporkan UM pada pihak yang berwajib. Berdasarkan makna kalimat dan tindakan perlokusi yang ditimbulkan oleh kalimat tersebut, dari sudut pandang linguistik forensik, kalimat yang diunggah UM di akun facebook tersebut memenuhi unsur-unsur ujaran kebencian seperti yang dimaksud pada pasal 28 UU ITE tahun 2008.

4. Simpulan

Berdasarkan analisis semantik dan pragmatik yang diterapkan pada kalimat-kalimat yang diunggah pada akun facebook ditemukan makna yang mengandung unsur pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Analisis semantik dan pragmatik merupakan bagian dari linguistik forensik dalam mengungkapkan data bahasa untuk mendapatkan upaya hukum.

Teori semantik digunakan untuk menentukan makna leksikal dan gramatikal, sedangkan teori pragmatik diperlukan untuk menentukan jenis tidak tutur yang muncul akibat unggahan kalimat tersebut. Secara semantik, makna yang terkandung dalam kalimat-kalimat tersebut mengandung unsur pencemaran nama baik karena menggunakan metafora anjing yang diasosiasikan dengan manusia. Penggunaan kata anjing kepada manusia berasosiasi negatif dan dianggap sebagai sebuah penghinaan.

Page 11: PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK

Kelasa, Vol.14,No.1, Juni 2019: 12—22

22

Secara pragmatik, kalimat yang diunggah di akun facebook tersebut sebagai tindak ilokusi ekspresif yang yang juga bersifar provokatif. Tindak ilokusi tersebut menimbulkan tindak perlokusi berupa rasa marah masyarakat yang disebut nama kelompoknya pada unggahan tersebut dan laporan pencemaran nama baik kepada pihak yang berwajib.

Daftar Acuan

Bachari, A. D. (2017). No TitlePragmatik: Analisis Penggunaan Bahasa (M. Fasya, Ed.). Bandung: Penerbit Prodi Linguistik SPS UPI.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, K. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Kamus versi online/daring (dalam jaringan).

Kridalaksana, H. (1982). Kamus Linguistik (1st ed.). Jakarta: Gramedia.

Leech Geoffrey. (1993). Prinsip-Prinsip Pragmatik (1st ed.; L. Geoffrey, Ed.). Jakarta: UI Press.

Mahsun. (2018). Linguistik Forensik Memahami Forensik Linguistik Berbasis dengan Analogi DNA (1st ed.; Mahsun, Ed.). Depok: Rajawati Pers, Rajagrafindo Persada.

McMenamin, G. R. (2002). Forensic Linguistics: Advances in Forensic Stylistics. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=QA7OBQAAQBAJ

Ms, M. (2016). PENCEMARAN NAMA BAIK: KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK. Paramasastra, 3. https://doi.org/10.26740/parama.v3i2.1525

Mudzakir. (2004). Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik. Dictum 3.

Nurun Nazmi, Gunawan Jatmiko, D. R. M. (2016). Perbandingan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Terhadap Publik Figur Melalui Media Sosial dan Media

Masa. Jurnal.Fh.Unila.Ac.Id/Index.Php/Pidana/Article/Download/841/725. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jmh.16219

Pateda, M. (2010). Semantik Leksikal (2nd ed.). Jakarta: Rineka Cipta.

Searle, J.R. and Vanderken, D. (1985). No TitleFoundations of Illocutionary Logic. Melbourne Sydney: Cambridge University Press.

Supriyadi. (2010). Penerapan Hukum Pidana Dalam Perkara Pencemaran Nama Baik. Mimbar Hukum, 22(1), 1–200.

Tarigan, H. G. (2015). Pengajaran Pragmatik. Bandung: CV Angkasa.

Wiratno, T. (2018). Pengantar Ringkas Linguistik Sistemik Funsional (1st ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.