Upload
ngotuyen
View
226
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Wilayah negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau serta memiliki
daerah pantai yang sangat panjang, yaitu sekitar 81.000 km. Pantai menjadi salah
satu keunggulan dan ciri khas negara Indonesia. Pantai menjadi tempat untuk
menggantungkan hidup bagi masyarakat pesisir yang kebanyakan bermata
pencaharian sebagai nelayan. Pantai juga berfungsi sebagai daya tarik tersendiri
untuk wisatawan-wisatawan asing agar berkunjung ke Indonesia, sehingga dapat
menghasilkan devisa yang berguna untuk menambah pemasukan negara. Kawasan
yang menghubungkan antara wilayah darat dan laut dinamakan pantai. Kawasan
pantai menjadi transisi ekosistem laut dengan ekosistem darat. Dua pertiga luas
wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi
strategis bagi negara Indonesia.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002
tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu menyebutkan
bahwa wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang saling berinteraksi, 12 mil dari garis pantai ke arah laut untuk propinsi dan
sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan
ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota ( Menteri Lingkungan Hidup,
2002).
2
Kawasan pesisir pantai merupakan daerah yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Daerah pantai memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi
pemerintah daerah, karena daerah pantai merupakan wilayah yang paling mudah
dikembangkan sebagai sarana transpotasi dari satu daerah ke daerah lain.
Wilayah pantai menghasilkan sumber daya alam yang sangat produktif,
baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi
maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Kawasan pantai dijadikan tumpuan
harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa yang akan
datang. Sekitar 50 – 70 % manusia hidup dan bekerja di wilayah pantai yang
luasnya hanya 8% dari muka bumi. Wilayah pesisir pantai sangat potensial
sebagai penghasil 26% dari produksi perikanan global. Wilayah pantai merupakan
wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia (Darsef, 2003: 3).
Pemanfaatan wilayah pesisir pantai yang meningkat, perlahan-lahan
membuat daerah pantai akan berubah fungsi menjadi daerah yang sangat komplek,
sehingga dapat menyebabkan berkurangnya daya dukung wilayah pantai jika
penggunaaannya tidak dilakukan secara terpadu dan terkendali.
Kondisi lingkungan pesisir di beberapa pantai di Indonesia akhir-akhir ini
cenderung mengalami penurunan kualitas, sehingga lingkungan pesisir di lokasi
tersebut dapat berkurang fungsinya atau bahkan sudah tidak mampu berfungsi lagi
untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara
berkelanjutan. Penurunan kualitas lingkungan pesisir di banyak tempat terjadi
terutama akibat pencemaran atau perusakan lingkungan di sekitanya.
3
Pencemaran lingkungan pantai dapat terjadi karena masukan polutan dari
kegiatan di sepanjang garis pantai, secara tidak langsung: melalui aliran sungai,
kegiatan di lepas pantai, karena intrusi (tercampurnya) air laut ke dalam air tanah
dan sebagainya. Kerusakan lingkungan pantai dapat berupa: abrasi pantai,
kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang, penurunan sumber daya
perikanan, serta penambangan pasir yang berlebihan. Akibat berbagai eksploitasi
yang berlebihan terhadap sumber daya alam lingkungan pesisir dan laut pada
umumnya ini, dapat merugikan masyarakat, khususnya penduduk sekitar pantai
(Menteri Lingkungan Hidup, 2009).
Pihak pemerintah mulai memikirkan berbagai cara untuk menanggulangi
permasalahan-permasalahan yang semakin merusak ekosistem lingkungan pantai.
Salah satunya dengan mengupayakan program penanaman mangrove. Program
tersebut mulai diaplikasikan di daerah pantai Baros, Bantul.
Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan untuk
menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut
maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas
tumbuhan tersebut (Keeley, 2007:1-2).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah perairan pesisir. Pantai memiliki fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai
4
macam biota, penahan abrasi, amukan angin, juga berfungsi sebagai pemecah
gelombang. Hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomis penting yaitu
sebagai penyedia kayu, sebagai bahan bangunan maupun sebagai kayu bakar
(Dahuri,1993: 3-4).
Berdasarkan manfaat yang terdapat dari hutan mangrove tersebut dapat
diketahui pentingnya peranan hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan baik
di darat maupun di laut, luas hutan mangrove dari tahun ke tahun semakin
berkurang. Data yang ada menyebutkan luas hutan mangrove pada tahun 1982 di
Indonesia sekitar 4,25 juta hektar sedangkan pada tahun 1993 menjadi sekitar 2,49
juta hektar. Hutan mangrove penting sekali untuk dipertahankan dan dijaga
kelestarian ekosistemnya (Mentri Lingkungan Hidup, 2009).
Penelitian ini akan menganalisis permasalahan hubungan manusia dengan
alam tersebut melalui sudut pandang teori Deep Ecology Arne Naess. Deep
Ecology merupakan teori etika lingkungan yang memandang manusia bukan
sebagai pusat dari alam melainkan hanya merupakan bagian dari alam. Semua
unsur alam dan manusia mempunyai kedudukan yang sama di dalam suatu
lingkungan hidup. Nilai-nilai moral bukan hanya berlaku bagi komunitas manusia,
tetapi juga komunitas seluruh anggota lingkungan hidup.
Pusat perhatian Deep Ecology meliputi dua hal. Pertama tentang manusia
dan kepentingannya. Manusia bukan hanya memenuhi kepentingannya saja,
melainkan juga kepentingan seluruh komunitas lingkungan hidup untuk
kepentingan jangka panjang. Kedua, Deep Ecology diterjemahkan dalam aksi
yang nyata dan konkret. Aksi/gerakan ini berusaha untuk mengubah paradigma
5
secara revolusioner, yaitu: perubahan cara pandang, nilai, dan gaya hidup manusia
yang antroposentris (Keraf, 2002:76). Aksi/gerakan nyata ini diterjemahkan oleh
Naess ke dalam platform aksi, dan beberapa prinsip-prinsip yang dijadikan
pedoman dalam gerakan/aksi Deep Ecology. Platform aksi dan prinsip-prinsip
dalam gerakan Deep Ecology yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar analisis
untuk permasalahan hubungan manusia dengan lingkungan hutan mangrove yang
berada di pesisir pantai Baros.
2. Rumusan Masalah
Analisis pada latar belakang permasalahan menjadi dasar perumusan
permasalahan, yaitu:
a. Bagaimana kehidupan masyarakat dan keadaan habitat mangrove di
lingkungan pesisir pantai Baros?
b. Apa konsep pemikiran Deep Ecology Arne Naess?
c. Apa peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan
pesisir pantai Baros ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess?
3. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa skripsi yang membahas
mengenai permasalahan lingkungan dan aliran etika lingkungan. Skripsi tersebut
di antaranya, yaitu:
6
a. Skripsi Davit Oktiyadi tahun 2002 yang berjudul Relevansi Konsep
Ecosophy dalam Etika Ekosentrisme sebagai Alternatif atas Krisis
Ekologis di Indonesia.
Davit Oktiyadi dalam penelitiannya memposisikan Ecosophy dalam etika
ekosentrisme sebagai sebuah solusi alternatif atas krisis ekologis yang
sedang terjadi di Indonesia. Pertimbangan itu menurut Davit muncul dari
dampak modernisasi yang terjadi saat ini.
b. Skripsi Irfan Ardani tahun 2007 yang berjudul Eksistensi Manusia dalam
Aliran Deep Ecology Movement: Study Filsafat Manusia.
Irfan dalam penelitiannya menjelaskan tentang posisi kedudukan manusia
dan alam, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan manusia
bisa berfikir semaunya. Dengan adanya penjelasan tentang kedudukan
manusia dengan alam ini diharapkan manusia dapat lebih menghargai alam
dan melestarikannya.
c. Skripsi Ayu Tyas Fitriani tahun 2008 yang berjudul Konsep Etika
Lingkungan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Utara Gunung
Arjuna ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess.
Ayu Tyas dalam penelitiannya mengungkapkan keanekaragaman dan nilai
kompleksitas ekologi serta etika lingkungan yang terdapat dalam
lingkungan kehidupan masyarakat lereng Utara gunung Arjuna dengan
menggunakan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deep
Ecology.
7
d. Skripsi Yan Warisma Tri Wulansari tahun 2009 yang berjudul Sampah
Plastik sebagai Masalah Lingkungan Hidup ditinjau dari Konsep Deep
Ecology Arne Naess.
Yan Warisma dalam penelitiannya memberi pemaparan tentang
permasalahan sampah, terutama sampah plastik yang ada dalam kehidupan
sehari-hari dan itu terkadang dianggap remeh. Yan Warisma memberi
pengertian akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar menggunakan
pendekatan dengan konsep pemikiran Deep Ecology.
e. Skripsi Nirmala Ekawati tahun 2009 yang berjudul Deep Ecology sebagai
Dasar Mengatasi Permasalahan Illegal Loging di Indonesia .
Nirmala dalam penelitiannya memberikan sorotan kritis mengenai
permasalahan Illegal Loging yang terdapat di Indonesia dengan
menggunakan konsep pemikiran Deep Ecology. Dengan adanya penelitian
tersebut diharapkan masyarakat memiiki kesadaran serta pemahaman yang
lebih baik tentang menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
f. Skripsi Estine Dewi Damayanti tahun 2010 yang berjudul Peran
Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Pesisir Ditinjau dari Deep
Ecology Arne Naess (Studi Kasus pada Masyarakat sekitar Pantai Samas
Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
Estine dalam penelitiannya menggunakan pemikiran Deep Ecology
sebagai solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan yang ada di
lingkungan pesisir. Di sini Deep Ecology diharapkan dapat memberikan
8
penjelasan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan
hidup.
Beberapa penelitian di atas memiliki objek formal dan materi yang hampir
sama dengan penelitian ini. Adapula beberapa penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa fakultas Kehutanan UGM, yang juga membahas tentang hutan
mangrove. Penulis belum menemukan penelitian yang membahas sebuah aliran
dalam etika lingkungan yang membicarakan satu kasus permasalahan lingkungan
yang penulis angkat dalam penelitian ini, yakni peran masyarakat dalam
pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros sebagai objek
materi dan objek formal Deep Ecology Arne Naess sebagai konsep yang
memberikan alternatif pemecahan masalah.
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa menambah inventarisasi
penganalisaan baru terhadap kasus lingkungan, khususnya ilmu pengetahuan
tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove serta peranan masyarakat dalam
pengelolaan hutan mangrove di daerah pesisir pantai Baros.
b. Bagi Filsafat, penelitian ini diharapkan sedikitnya mampu menambah
wawasan mengenai permasalahan lingkungan ditinjau dari pemikiran yang
menyeluruh di bidang etika lingkungan atas suatu fenomena dan mampu
mengkritisi terhadap fenomena yang terjadi. Pengelolaan lingkungan tidak
mungkin mengabaikan nilai-nilai hidup masyarakatnya.
9
c. Bagi bangsa Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman
serta wacana tersendiri pada masyarakat mengenai permasalahan yang terjadi
di lingkungan masyarakat dan agar masyarakat juga dapat menyadari akan
pentingnya menjaga lingkungan terutama memberi kesadaran akan pentingnya
hutan mangrove di wilayah pantai.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menganalisis kehidupan masyarakat pantai Baros serta merumuskan
pengertian serta manfaat dan fungsi dari hutan mangrove.
b. Merumuskan pemahaman prinsip-prinsip dalam Deep Ecology Arne Naess.
c. Menganalisis peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di
lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan Deep Ecology Arne
Naess sebagai konsep yang memberikan alternatif pemecahan masalah.
C. Tinjauan Pustaka
Lingkungan hidup bagi manusia adalah sebagai tempat tinggal, tempat
berinteraksi, dan tempat bagi manusia menjalankan segala aktivitasnya. Aktivitas
atau perilaku yang dilakukan manusia terhadap lingkungan alam sekarang bisa
dikatakan berlebihan, sehingga menyebabkan kerusakan pada diri alam dan
ketidak seimbangan pada seluruh realitas ekosistem, termasuk manusia. Salah
satunya adalah kerusakan pada ekosistem di daerah pantai.
10
Kerusakan yang terjadi pada ekosistem daerah pantai adalah salah satu
contoh permasalahan lingkungan hidup yang sering diabaikan oleh manusia.
Beberapa penyebabnya adalah faktor alam itu sendiri dan faktor dari aktivitas
yang berlebihan dari manusia. Kerusakan daerah pantai yang disebabkan oleh
faktor alam biasanya diantisipasi oleh pemerintah agar dampaknya dapat
diminimalkan, namun kerusakan daerah pantai seringkali diperparah oleh aktivitas
manusia. Aktivitas manusia yang berlebihan dalam mengembangkan atau
mengeksploitasi sumber daya daerah pantai menimbulkan permasalahan serius
dalam etika lingkungan. Perilaku manusia sudah tak terkendali dan mengabaikan
semua larangan, sanksi, atau yang paling parah mengabaikan semua dampak dari
perbuatannya.
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no 32 pasal 1 ayat 1 dan
2 tahun 2009 telah menetapkan bahwa, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, serta perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pemerintah kabupaten Bantul mulai berupaya membudidayakan tanaman
mangrove, yang ditempatkan di daerah pantai Baros tepatnya di desa Tirtohargo,
kecamatan Kretek. Upaya pembudidayaan tersebut diharapkan dapat mengurangi
11
berbagai kerusakan yang terjadi di daerah pesisir pantai dan diharapkan dapat
mengembalikan keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah pantai selatan
D.I. Yogyakarta.
Mangrove adalah tanaman yang tumbuh di daerah rawa-rawa yang berair
payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surutnya air
laut. Tanaman ini tumbuh khususnya di tempat terjadinya pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Biasanya terdapat di teluk-teluk yang terlindung dari
gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai dengan aliran air melambat
dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Hutan mangrove
merupakan formasi khas daerah tropika, terdapat pada pantai yang landai dengan
lebar kawasan berkisar antara 25 m sampai beberapa kilometer ke darat (Keeley,
2007: 3).
Hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini pada umumnya
tumbuh pada daerah interdial yang cukup mendapat genangan air laut dan air
tawar secara berkala, selain itu juga terlindungi dari gelombang besar dan arus
pasang-surut yang kuat. Mangrove sering dijumpai di daerah pantai teluk yang
dangkal, estuaria , delta, dan daerah pantai yang terlindungi.
Beberapa definisi lain tentang hutan mangrove adalah:
a. Hutan mangrove: hutan yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis di
sepanjang pantai atau estuaria dan dipengaruhi oleh pasang-surut.
12
b. Hutan mangrove: formasi hutan yang vegetasinya hidup di muara sungai,
daerah pasang-surut dan tepi laut ( Harahab, 2010: 28).
Program pembudidayaan tersebut tidak akan berjalan dengan baik bila
tanpa adanya suatu kerja sama, koordinasi antara masyarakat, pemerintah dan
pihak-pihak yang terkait sangat dibutuhkan dalam menanggulangi permasalahan
lingkungan di pesisir pantai. Namun masyarakat seringkali kurang berperan serta
dalam koordinasi pengelolaan lingkungan pesisir pantai. Dibutuhkan strategi
pengelolaan yang sangat bagus untuk memberdayakan masyarakat secara optimal.
Sosialisasi tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
diadakan pada tanggal 11 Februari 2010 di Yogyakarta oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup secara jelas mengemukakan bahwa peran masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai hak dan kewajiban
yang sama untuk berperan aktif dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (pasal 70 RUU PPLH).
Penelitian ini akan memperhatikan kebijakan pemerintah kabupaten Bantul
untuk mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat, terutama pemberdayaan
nilai-nilai hidup masyarakat setempat agar terjalin pengelolaan lingkungan pesisir
secara baik oleh semua pihak-pihak yang terkait.
D. Landasan Teori
Etika lingkungan hidup merupakan disiplin ilmu yang berbicara mengenai
norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan
dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam
13
berhubungan dengan alam tersebut (Keraf, 2006: 26). Etika lingkungan hidup
disini mengungkapkan bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam,
manusia bagian dari alam bukan terpisah dari alam.
Etika lingkungan hidup memiliki teori-teori dalam menentukan pola
perilaku manusia dengan lingkungan. Teori-teori tersebut antara lain:
Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak asasi alam, dan
Ekofeminisme (Keraf, 2002: 31-32). Salah satu teori lingkungan hidup yang
penulis angkat adalah Ekosentrisme.
Ekosentrisme merupakan teori etika lingkungan hidup yang memusatkan
perhatian etika pada seluruh makhluk ciptaan, baik yang hidup (biotis) maupun
yang kebendaan (abiotis). Ekosentrisme menekankan hubungan seluruh makhluk
ciptaan di dalam realitas ekosistem, karena satu sama lain saling terkait.
Kewajiban dan tanggung jawab moral bukan hanya milik komunitas makhluk
hidup melainkan juga milik seluruh realitas ekosistem (Keraf, 2002: 75). Etika
Ekosentrisme adalah suatu usaha untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem (Borrong,
2000: 157).
Ekosentrisme pertama kali dibangun atas dasar etika tanah klasik Aldo
Leopold. Leopold mempunyai keyakinan bahwa awal etika muncul adalah sebagai
sarana untuk organisasi sosial dan bahwa manusia mempunyai tugas dan
kewajiban terhadap komunitas tempat manusia berada, dan kepada masing-masing
sesama anggota (Tucker dan Grim, 2003:30).
14
Salah satu teori Ekosentrisme yang terkenal adalah Deep Ecology (ekologi
dalam). Deep Ecology pertama kali dikenal sebagai istilah untuk permasalahan
lingkungan oleh Arne naess, seorang filsuf asal Norwegia, pada tahun 1973
(Keraf, 2002:75). Naess memperkenalkan istilah Deep Ecology pada tulisannya
yang berjudul “The Shallow and the Deep, Long-range Ecology Movement”,
Naess membedakan antara Shallow Eecology (ekologi dangkal) dan Deep Ecology
(ekologi dalam), seperti berikut:
“The emergence of ecologist from their former relative obscurity marks a turning point in our scientific communities. But their message is twisted and misused. A shallow, but presently rather powerful, movement, and a deep, but less influential, movement, complete for our attention. I shall make an effort to characteristic the two: The shallow ecology movement dan The deep ecology movement” (Naess, 1989: 27).
(Kemunculan pemahaman ekologi dari para pendahulu kita relatif
tidak dikenal secara jelas yang ditandai sebuah point penting pada komunitas ilmiah kita. Tetapi pesan dari mereka (para pendahulu) adalah membingungkan dan disalah gunakan. Dangkal, namun di masa kini lebih kuat, sebuah gerakan, dan dalam, namun kurang berpengaruh, sebuah gerakan, menyeluruh untuk perhatian kita. Aku (Naess) akan membuat sebuah upaya untuk mengkhaskannya menjadi dua: Ekologi dangkal dan Ekologi dalam)
Shallow Ecology lebih memperhatikan pada pemenuhan
kepentingan/kebutuhan umat manusia dalam mengelola alam tanpa
memperhatikan daya dukung alam tersebut. Deep Ecology mengubah paradigma
pemikiran banyak orang tentang manusia dan alam, bahwa pusat dari seluruh alam
bukanlah manusia (antroposentris ) melainkan seluruh realitas ekosistem
(ekosentris). Seluruh komunitas ekosistem, termasuk komunitas manusia,
mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkungan alam.
15
Deep Ecology dipahami oleh Naess melalui filsafat dasarnya, yakni
Ecosophy. Ecosophy berasal dari kata Eco yang berarti rumah tangga dan Sophy
yang berarti kearifan, sehingga pengertian Ecosophy adalah kearifan yang
mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam
pengertian yang luas.
Beberapa tahun kemudian tepatnya sekitar tahun 1984, Naess merumuskan
dasar gerakan/aksi Deep Ecology (Deep Ecology Movement) yang dinamakannya
Platform Aksi. Naess membuatkan versi mudah dalam Platform Aksi bagi semua
kalangan, tak terkecuali masyarakat umum yang ingin mengerti dan membuat
gerakan lingkungan yang berdasarkan Deep Ecology. Naess merumuskan
Platform Aksi ini menjadi delapan butir (Naess, 1989: 29), yaitu:
1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk lain di
bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak
tergantung dari apakah dunia luar manusia mempunyai kegunaan atau
tidak bagi kehidupan manusia.
2. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai
sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai
pada dirinya sendiri dan mempunyai sumbangsih bagi perkembangan
manusia dan bukan manusia di bumi ini.
3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan
keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
yang vital
16
4. Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring
dengan penurunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk.
Perkembangan kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan
jumlah penduduk seperti itu.
5. Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah
sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk.
6. Perlu ada perubahan kebijakan, sehingga mempengaruhi struktur ekonomi,
teknologi, dan ideologi. Hasilnya akan berbeda dari keadaan sekarang ini.
7. Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas
kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang semakin
meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai perbedaan antara besar dan
megah.
8. Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu mempunyai
kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil bagian
mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan.
Naess dalam perkembangannya juga merumuskan 5 prinsip dasar dari
gerakan Deep Ecology (Keraf, 2002 : 91-95), antara lain:
1. Prinsip Non-Antroposentrisme.
Sebuah pandangan tentang manusia yang merupakan bagian dari alam,
bukan di atas atau terpisah dari alam. Posisi manusia tidak dilihat sebagai
tuan dan penguasa dari alam semesta, tetapi sama statusnya sebagai
ciptaan Tuhan.
17
2. Prinsip Kesamaan status organisme (Biospheric egalitarianism-in
principle).
Sebuah pengakuan bahwa semua organism dan makhluk hidup adalah
anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga
memiliki martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukan adanya sikap
hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta.
3. Prinsip Realisasi diri (Self-realization).
Sebuah anggapan tentang manusia yang dapat merealisasikan dirinya
dengan mengembangkan potensi di dalam dirinya. Hanya melalui hal
tersebut manusia dapat mempertahankan hidupnya.
4. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas
ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.
Hubungan simbiosis berarti hidup bersama secara saling menguntungkan.
Setiap bentuk kehidupan yang menjadi bagian dari komunitas ekologis
seluruhnya harus mempertahankan keanekaragamannya, agar dapat
menunjang kelangsungan hidup dari ekosistem itu sendiri.
5. Perubahan politik menuju Ecopolitics.
Bagi Naess persoalan politik paling pokok bagi Shallow Ecological
Movement adalah rekayasa sosial, dalam bentuk modifikasi perilaku
manusia demi kesejahteraan dalam jangka pendek. Permasalahan tersebut
tentu dapat menyebabkan kerusakan alam karena produksi dan konsumsi
yang berlebihan. Upaya untuk menyelamatkan lingkungan diperlukan
adanya perubahan politik yang mendasar untuk melahirkan ecopolitics.
18
Perubahan itu tidak hanya melibatkan individu tapi juga membutuhkan
transformasi kultural dan politik yang dapat mempengaruhi serta
menyentuh struktur-struktur dasar ekonomi dan ideologi.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pengambilan data yang dilakukan
melalui studi pustaka. Penelitian ini menggunakan model penelitian tentang
masalah aktual. Model penelitian ini membahas permasalahan aktual, yaitu peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir dengan
menggunakan kerangka pemikiran aliran dalam etika lingkungan yaitu Deep
Ecology untuk menganalisis permasalahan.
1. Bahan dan Materi Penelitian
Bahan-bahan dalam penelitian ini didapat dari sumber kepustakaan.
a. Primer :
1. Kusmana, Cecep, 2003, Jenis-Jenis Pohon Mangrove, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor, Bogor
2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2009, Undang-undang
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Bapedal, Jakarta
3. Dahuri, 1993, Ekosistem Hutan Mangrove. Balai Pustaka Institut Pertanian
Bogor, Bogor
19
4. Keeley Martin, 2007, Hutan Mangrove Yang Menakjubkan. Mangrove
Action Project Indonesia dan Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
5. Harahab, Nuddin, 2010, Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove
Aplikasinya Dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu,
b. Sekunder :
1) Naess, Arne, 1989, Ecology, Community and Lifestyle, Diterjemahkan
oleh David Rothenberg, Cambridge University Press, New York
2) Borrong, Robert P, 2000, Etika Bumi Baru, Gunung Mulia, Jakarta
3) Keraf, Sonny, 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta
4) Soemarwoto, Otto, 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan,
Djambatan, Jakarta
5) Tucker, Mary. E dan Grim, John. A, 2003, Agama, Filsafat, dan
Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta
6) Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat Tentang Kosmos
dan Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta
7) Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta.
8) Resosoedarmo, R. Soedjiran, Kartawinata, Kuswata dan Soegiarto,
Apriliani, 1985, Pengantar Ekologi. Remaja Karya CV, Bandung.
9) Bertens. K, 1993, Etika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
10) Skolimowski, Henryk, 2004, Filsafat Lingkungan. Bentang Budaya,
Jogjakarta.
20
Data mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di
lingkungan pesisir di beberapa daerah di Indonesia diperoleh dari jurnal, majalah,
media cetak dan elektronik, serta essai.
2. Jalan Penelitian
Jalan penelitian ini melewati empat tahap :
a. Pengumpulan data; mengumpulkan sumber pustaka yang berkaitan
dengan objek penelitian yang dikaji.
b. Klasifikasi; data yang telah diperoleh dikelompokkan sebagai data primer
dan sekunder.
c. Pengolahan data; menganalisis hasil dari data yang sudah diklasifikasi
sehingga diperoleh pemahaman dalam menentukan arah penelitian.
d. Memaparkan hasil analisis berupa uraian tertulis.
3. Analisis Hasil
Penelitian ini menggunakan hermeneutika filosofis dengan menggunakan
unsur-unsur metodis merujuk pada buku Metode Penelitian Filsafat (Bakker dan
Zubair, 1993 : 107-113), antara lain:
a. Deskripsi; Uraian dan Gambaran menyeluruh mengenai data yang terkait
dengan objek formal dan objek material.
b. Interpretasi; Usaha mengungkapkan konsepsi filosofis dari data tentang
objek formal dan objek material.
c. Idealisasi; penggunaan objek formal yaitu Deep Ecology sebagai sikap
yang cocok digunakan untuk menganalisis permasalahan peran masyarakat
dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.
21
d. Induksi; Usaha untuk mengumpulkan data dan mengidentifikasi mengenai
permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di
lingkungan pesisir pantai Baros.
e. Holistika; Usaha memahami konsep Deep Ecology yang tersirat dalam
permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di
lingkungan pesisir pantai Baros.
F. Hasil Yang Telah Dicapai
Penelitian ini akan mencapai beberapa hasil sebagai berikut:
1. Memperoleh pengetahuan tentang habitat mangrove, serta pengelolaan
hutan mangrove yang baik di kawasan pantai Baros oleh masyarakat untuk
upaya menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
2. Memperoleh pemahaman mengenai sejauh mana pentingnya koordinasi
yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.
3. Memberikan pengetahuan dan alternatif pemecahan masalah dalam
menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir pantai Baros dengan
mengikut sertakan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove
di lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan dasar analis dari
teori DeepEecology Arne Naess.
22
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, antara lain:
Bab I : Berisi pendahuluan tentang latar belakang dilakukannya
penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang
digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tentang pengertian, manfaat, serta permasalahan yang
terdapat dalam pengelolaan hutan mangrove di pesisir pantai Baros dengan
studi kasus peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di
lingkungan pesisir pantai Baros Kabupaten Bantul.
Bab III: Berisi tentang teori etika lingkungan hidup, dan konsep Deep
Ecology yakni platform aksi beserta prinsip-prinsipnya yang digunakan
untuk menganalisis permasalahan.
Bab IV : Berisi tentang analisis permasalahan pada studi kasus jika ditinjau
dari teori Deep Ecology Arne Naess.
Bab V : Berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari keseluruhan
permasalahan beserta saran.